BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Individu selama rentang kehidupannya akan selalu menghadapi berbagai masalah. Permasalahan yang dihadapi individu akan berbeda satu dengan yang lainnya, baik dari segi bentuk maupun tingkat kesulitannya. Permasalahan juga dapat timbul bertubi-tubi di waktu yang berdekatan atau bahkan bersamaan. Semakin dewasa seseorang, semakin banyak tanggung jawab dan permasalahan yang akan muncul. Disinilah letak tantangan kehidupan terutama bagi orang-orang dewasa, yaitu untuk tetap dapat mengatasi berbagai permasalahan dalam kehidupan dengan tetap menjaga kualitas dirinya dalam berkarya di lingkungan tempat hidupnya. Salah satu karakter individu yang sudah dewasa menurut Allport (dalam Feist & Feist, 2011) adalah mampu mengatasi permasalahan kehidupannya dengan baik atau mampu menahan reaksi yang berlebihan terhadap masalah yang dihadapinya dan mentoleransi frustrasi. Di era yang sudah semakin maju ini, pribadi dewasa akan menghadapi permasalahan yang juga semakin kompleks dan membutuhkan kepiawaian dalam pemecahannya. Kenyamanan terhadap diri sendiri membantu individu untuk dengan percaya diri mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hidupnya, sekaligus memberikan rasa aman dari penilaian orang lain atau lingkungan luar. Kenyamanan diri ini bisa didapatkan dengan adanya penerimaan diri. Selain itu, penerimaan diri berkontribusi pada kepuasan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung karena penerimaan diri berarti individu telah berdamai dengan kekurangan dirinya 1
2 (Ceyhan & Ceyhan, 2011). Dengan demikian, individu yang menerima diri akan lebih percaya diri dan fokus terhadap pengembangan diri dan mampu menjalin interaksi baik dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Hal ini ditandai dengan pemikiran kritis, komunikasi dua arah yang sinergis dengan pihak luar, mampu menguasai diri dan memiliki regulasi diri yang baik (Arican, Dundar, & Saldana, 2015). Oleh karena itu, penerimaan diri menjadi variabel yang penting untuk diteliti karena berdampak pada banyak hal dalam hidup manusia. Kegagalan penerimaan diri dapat tercermin dalam beberapa perilaku yang sedang marak dilakukan masyarakat usia produktif antara lain tindakan bunuh diri dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Data World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia tahun 2015 menyatakan bahwa bunuh diri di sejumlah negara merupakan penyebab kematian nomor dua pada penduduk berusia 1529 tahun, dan setiap tahunnya terhadap 800.000 orang meninggal dunia karena bunuh diri. Secara lebih spesifik data estimasi WHO tahun 2012, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 4,3 per 100.000 populasi. Sedangkan berdasarkan laporan kepolisian tahun 2012 terdapat 981 kasus kematian karena bunuh diri dan 921 kasus pada tahun 2013, dan angka tersebut belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan. Kasus bunuh diri bahkan lebih tinggi jika dibandingkan jumlah korban perang dan pembunuhan dengan persentase mencapai 57 persen (Maharani, 2015). Di sisi lain, berdasarkan estimasi Kementrian Kesehatan pada 2012, terdapat 1.095.970 Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL) atau gay baik yang tampak maupun tidak. Sementara badan PBB memprediksi jumlah LGBT sebesar tiga juta jiwa pada tahun 2011 (Syalaby, 2016). Estimasi ini sulit dipastikan karena masih banyaknya kaum LGBT yang masih menyembunyikan identitas dirinya.
3 Selain kedua kasus tersebut, terdapat beberapa isu minor lainnya terkait remaja dan dewasa yang sedikit banyak mencerminkan kegagalan penerimaan diri seperti kecenderungan mereka untuk mengikuti trend konsumsi produk dan gaya hidup yang sedang marak di kalangan masyarakat. Tindakan tersebut kebanyakan dilakukan tanpa memperdulikan kesesuaian produk dan gaya hidup dengan keadaan diri mereka masing-masing, dan dilakukan hanya demi gengsi semata. Contoh mudahnya dapat dilihat pada kecenderungan remaja untuk membeli smartphone yang branded atau sudah memiliki nama yang terkenal di kalangan masyarakat, meskipun tidak sesuai kebutuhan dan keadaan finansial kurang memadai untuk membeli smartphone tersebut. Gaya merokok yang sekarang mulai tergeser oleh vaporizer juga banyak ditiru kaum remaja dan dewasa yang bahkan tidak mengetahui kandungan yang terdapat dalam alat tersebut serta esensi dari mengonsumi vaporizer itu sendiri. Dalam hasil diskusi informal yang dilakukan oleh penulis pada 14 Oktober 2015 pada seorang wanita berusia 35 tahun dengan inisial YSW, dituturkan oleh narasumber bahwa ia mengalami kegagalan dalam menerima dirinya sendiri. Hal ini ditandai dengan seringnya ia membandingkan diri dengan orang lain, menyalahkan diri atas terjadinya hal buruk, sering merasa tidak berguna. “Aku nggak nyaman ngerjain sesuatu yang berkelompok. Aku akan selalu merasa inferior dibanding orang itu, terus jadi rendah diri. Kalo udah gitu, aku ngerasa apapun yang aku kerjakan nggak berguna. Kalau ada yang nggak beres, itu pasti salahku” Perasaan-perasaan tersebut muncul karena ia sadari kemudian bahwa ia sendiri tidak memahami karakteristik dirinya; tidak mengenali potensi, minat, dan keunikan diri. “Aku tuh sejak kecil kebiasaan apa-apa diatur sama Ibuku, bahkan sampe SMA yang temen-temenku semua ibaratnya udah jalan sendiri, Ibu masih ngurus ini itu
4 buatku. Sampe-sampe aku nggak punya otoritas terhadap diriku sendiri. Jadi sering malu, aku nggak tau aku sukanya apa, nggak tau bisanya apa..Soalnya semua udah disiapin Ibu.” Kebutaannya akan karakteristik diri sendiri memunculkan kebingungan pada dirinya mengenai bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi tantangan dan permasalahan yang datang dalam hidupnya, maka selama hampir tujuh tahun ia bergulat meniru gaya coping orang lain yang rupanya tidak sesuai dengan pribadinya. “Karena dari masa remaja nggak dibiasakan mengurus diri, dilarang ini itu, dikasih aturan ini itu, aku nggak tau gimana harus bersikap kalau dihadapkan ke permasalahan gitu. Aku kan tetep nggak mau Ibu tahu aku berantem sama temenku gitu misalnya, tapi aku bingung mesti ngapain selama berantem sama temenku itu… Jadi aku ya cuma bisa ngikutin cara temenku yang lain kalau lagi ada permasalahan yang sama. Gituu terus caraku, tujuh tahunan. Sampe kebawa ke hubungan yang lebih lanjut, aku cuma nurutin kata temenku atau pake cara temenku. Tapi ya pasti ada yang ngganjel gitu.” Narasumber juga menambahkan bahwa ia tidak nyaman berada dalam lingkungan orang asing, dan tidak senang bergaul dengan banyak orang. Kebanyakan kegiatan yang narasumber lakukan tidak melibatkan partisipasi orang lain selain Ibunya. “Nah terus aku tuh dari kecil nggak punya temen.. Ya ibarat kata semua cuma kenalan aja, aku nggak suka bergaul sama orang banyak, ya nanti kan ngaruh lagi ke masalah aku banding-bandingin diri sama mereka. Aku lebih suka ngapa-ngapain sendirian, atau ya paling enggak sama Ibuku aja. Malah sering merasa terancam gitu loh kalau banyak gaul sama orang lain..Nggak nyaman, mereka terlalu banyak suara, terlalu banyak pemikiran. Mumet aku” Selain itu, segala aktivitas yang ia lakukan, baik dari segi pemanfaatan waktu luang hingga pencarian harta materi, semata-mata dilakukan sebagai hasil imitasinya terhadap orang lain yang ia rasa patut dijadikan panutan, seperti sahabatnya atau saudara kandungnya. Hal ini terakumulasi selama bertahun-tahun hingga satu titik YSW merasa begitu depresi hingga ingin bunuh diri.
5 “Aku ikut kepanitiaan ini itu jaman SMA ngikutin kakakku, sampe sekarang kerja di bagian turisme juga ngikutin Ibuku. Aku nggak tau aku mesti ngapain, jadi ya ngekorin kakak-kakakku sama Ibuku aja. Makin ngerasa nggak berharga deh pokoknya, mumet aku. Mau ngapa-ngapain dibatasi juga soalnya… Sampe coba bunuh diri sekali waktu itu.” Narasumber lain, mahasiswa wanita berusia 24 tahun berinisial MA diwawancarai informal pada tanggal 28 Oktober 2015, mengaku sadar bahwa ia seorang introvert dan tidak menyukai kenyataan itu. “Aku tau istilah introvert sejak SMP. Hobiku memang baca dan buku-buku psikologis sering kubaca. Dari buku itu aku tau tipe kepribadian introvert sama ekstrovert. Lalu aku refleksikan ke diriku sendiri, aku adalah seorang introvert. Tapi aku nggak suka sama kepribadian introvert, menurutku terlalu arogan. Dimataku orang berpribadi introvert itu sok bisa, sok kuat, sok paham.” MA mengaku sering mencoba berusaha menjadi seorang ekstrovert, yang beberapa kali ia anggap berhasil dan menciptakan kesenangan sesaat. Tetapi kesenangan itu tidak bertahan lama karena pada akhirnya ia merasa membohongi diri sendiri, hal lain yang juga tidak ia sukai. “Demi nggak jadi orang introvert aku sering memaksakan diri untuk banyak kenalan sama orang-orang baru, mencoba jalin pertemanan, ikut panitia acara ini itu yang menuntut aku untuk pinter menyesuaikan diri. Awalnya aku senang itu semua, temenku banyak, bisa dibilang aku populer, punya banyak kesibukan. Tapi hampir setiap malam aku merasa capeeek luar biasa karena harus keep up with everyone. Bukan karena kegiatanku, tapi karena keterlibatan orang lain di kegiatan yang aku ikuti. Aku nggak suka mereka ikut campur, aku hanya butuh mereka disaat berkegiatan.Tapi balik lagi, demi ekstorvert aku jalanin itu semua. Jadi lebih capek lagi karena harus bohongin diri sendiri.” Dari hasil kedua wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa interaksi dengan lingkungan sosial diakui narasumber membantu mereka membenahi pola pikir mereka terhadap diri sendiri. Banyaknya interaksi dengan orang-orang luar menambah wawasan, melatih kemampuan berkomunikasi, dan meningkatkan kepercayaan diri individu. Adanya input informasi dari orang luar membantu narasumber menata kembali pandangan terhadap diri sendiri, berakibat pada perasaan nyaman terhadap diri
6 sendiri. Sebaliknya, bila seseorang tidak banyak melakukan interaksi sosial maka ia akan terjebak dalam pemikirannya sendiri yang suatu saat akan menimbulkan ketidaknyamanan yang berujung pada depresi dan berbagai permasalahan psikologis lainnya. Ketidakmampuan para dewasa mengatasi permasalahannya bisa disebabkan oleh banyak hal; diantaranya adalah ketidakmampuan seseorang untuk menerima dirinya. Penerimaan diri adalah sejauh mana seseorang menyadari dan mengenali karakteristik pribadinya dan menggunakannya secara optimal untuk keberlangsungan hidupnya. Seseorang dikatakan dapat menerima dirinya bila telah mampu mengakui segala kelebihan dan kelemahan yang ada pada dirinya tanpa menghiraukan orangorang disekitarnya dan terus berusaha mengembangkan diri lebih optimal (Handayani, Ratnawati, & Helmi, 1998). Penerimaan diri yang positif berkaitan dengan konsep diri yang positif. Mereka yang memiliki konsep diri positif dapat menerima fakta yang sangat berbeda dari dirinya, dan dengan demikian menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar dan seluruh pengalaman mentalnya sehingga evaluasi mengenai dirinya juga positif (Calhoun & Acocella, 1990). Dalam menghadapi permasalahan kehidupan, seseorang perlu lebih dulu memahami dan menerima kapasitas dirinya. Dari pemahaman ini kemudian individu dapat menyesuaikan diri untuk menyelesaikan permasalahan tanpa berpikiran negatif atas diri sendiri atau melakukan self-blaming. Pendapat Calhoun dan Acocella yang menyatakan bahwa penerimaan diri akan membantu individu dalam menyesuaikan diri sehingga sifat-sifat dalam dirinya seimbang dan terintegrasi senada dengan pernyataan Skinner (dalam Feist & Feist, 2011) yang menyebutkan bahwa salah satu kriteria utama bagi suatu kepribadian yang terintegrasi baik adalah menerima diri sendiri. Ada hubungan yang erat dengan
7 kesehatan psikologis seseorang, penerimaan diri juga berkaitan erat dengan kesehatan fisik. Menurut Ryff (1996) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri, pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya tanda-tanda depresi. Individu yang dapat mencapai psychological well-being ditandai dengan adanya sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki banyak tujuan yang dapat membuat hidup menjadi bermakna, serta berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri sendiri secara optimal. Penerimaan diri menjadi salah satu fungsi psikologi positif yang dimiliki oleh individu dan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan serta kepuasan dalam diri individu dan menghindarkan individu dari tanda-tanda depresi. Kondisi ini menandai kesejahteraan psikologis seseorang, maka apabila banyak orang mampu mencapai penerimaan diri yang baik, semakin besar angka kesejahteraan psikologis masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian Arican dkk (2015), penerimaan diri menciptakan perasaan aman dan nyaman bagi kalangan muda yang seringkali dipresentasikan dengan evaluasi eksternal akan kelayakan diri mereka terutama dalam konteks akademis. Selain itu, menurut Aykut dan Esra (dalam Ceyhan & Ceyhan, 2011), penerimaan diri berkontribusi terhadap kepuasan hidup secara langsung dan
8 tidak langsung. Mereka yang dapat menerima diri dengan baik dicirikan sebagai berikut: menghargai diri, puas akan hidup, mengenal diri, dapat menerima dan mengatasi sisi negatif yang ada pada diri, memiliki kepribadian yang sehat dan kuat. Hasil penelitian Chamberlain & Haaga menunjukkan bahwa penerimaan diri mahasiswa di Amerika berkaitan erat dengan self-esteem dan keadaan mood setelah dipapar dengan kejadian negatif, tetapi berbanding terbalik dengan kecemasan dan narsisme. Penerimaan diri sering diasosiasikan dengan depresi, kebahagiaan dan selfdeception. Asosiasi ini digambarkan dengan semakin baik tingkat penerimaan diri seseorang, semakin kecil kemungkinan individu tersebut mengalami gejala-gejala depresi. Kebahagiaan akan dialami oleh mereka dengan penerimaan diri yang baik, serta terhindar dari kebencian terhadap diri sendiri (Chamberlain & Haaga, 2001). Hal ini kurang lebih menggambarkan individualisme yang cukup kuat pada sebagian mahasiswa di Amerika karena tidak terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi penerimaan diri mereka. Sedangkan menurut Sarafino (2006), dukungan sosial membantu individu melihat stressor dengan optimisme akan adanya bantuan sehingga tidak menjadi beban pikiran, menjadi panutan dalam menghadapi permasalahan dan sumber dukungan afektif bagi individu. Dengan kata lain, dukungan sosial menjadi faktor eksternal kesejahteraan dan penerimaan diri individu. Menurut Hurlock (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri antara lain: pemahaman diri, harapan-harapan yang realistik, bebas dari hambatan lingkungan, sikap terhadap lingkungan seseorang, ada tidaknya tekanan emosi yang berat, frekuensi keberhasilan, identifikasi, perspektif diri, latihan masa kanak-kanak dan konsep diri yang stabil. Untuk mencapai tahap penerimaan diri, individu perlu terlebih dahulu mengenali dirinya sendiri. Bagaimana individu mengenali diri dapat terjadi dengan
9 keterbukaan pikiran dan perilaku terhadap lingkungan sosial serta adanya interaksi sosial yang baik. Interaksi sosial ini dapat terjalin dengan adanya pengaruh kepribadian yang dimiliki individu tersebut karena kepribadian menjadi landasan utama individu dalam memandang dirinya sendiri, memandang lingkungan luar serta berperilaku sehari-hari dan mengolah seluruh pengalaman fisik dan metafisik menjadi motivasi untuk bertindak dalam mengatasi situasi-situasi dalam hidup, sehingga kepribadian memiliki pengaruh terhadap penerimaan diri. Menurut Eysenck kepribadian seseorang dibagi menjadi duatipe, yaitu kepribadian ekstrovert dankepribadian introvert. Ekstrovert adalah sebuah sikap yang menjelaskan aliran psikis ke arah luar sehingga orang yang bersangkutan akan memiliki orientasi objektif dan menjauh dari subjektif (Feist & Feist, 2011). Eysenck mencirikan ekstrovert dengan pemikiran yang keras, sering bertindak secara impulsif, memiliki kecenderungan untuk ramah terhadap banyak orang, memiliki hasrat akan hal-hal baru atau keingintahuan yang tinggi terhadap hal baru. Kemudian tipe kepribadian introvert didefinisikan sebagai aliran energi psikis ke arah dalam yang memiliki orientasi subjektif sehingga orang yang bersangkutan akan suka dunia dalam atau dirinya sendiri. Introvert dicirikan dengan pemikiran lembut dan perasa, seringkali melakukan introspeksi, lebihserius dalam berpikir, lebih menyenangi kegiatan yang hanya melibatkan dirinya sendiri dan memiliki sensitivitas terhadap rasa sakit (Eysenck, 1970). Tipe kepribadian ekstrovert adalah satu kecenderungan untuk mengarahkan kepribadian lebih banyak ke luar daripada ke dalam diri sendiri. Seorang ekstrovert mempunyai ciri bersifat sosial, lebih banyak berbuat daripada berkontemplasi (merenung, berpikir), dan seseorang dengan motif-motif yang dikondisikan oleh
10 kejadian-kejadian eksternal (Chaplin, 2001). Jung (dalam Schultz & Schultz, 2005) mengatakan bahwa ciri-ciri orang dengan tipe kepribadian ekstrovert adalah memiliki sikap periang/sering berbicara, lebih terbuka, dan lebih dapat bersosialisasi, tanggap terhadap lingkungan, pandai bergaul, memiliki mood yang berubah-ubah, impulsif dalam bertindak, suka kegiatan, suka perubahan, dan dapat beradaptasi dengan mudah. Sedangkan menurut Eysenck (dalam Hall & Lindzey, 2010) ciri utama kepribadian ekstrovert adalah sebagai berikut: sifat yang keras hati, menuruti dorongan hati ketika bertindak, cenderung santai, perasaan gembira yang dialami dapat meningkatkan perfoma, lebih suka pekerjaan yang berhubungan dengan orang banyak, toleran terhadap rasa sakit, suka hal-hal yang baru (perubahan), dan suka mengambil kesempatan. Kepribadian introvert menurut Chaplin (2001) adalah salah satu kecenderungan kepribadian untuk menarik diri dari kontak sosial dan minatnya lebih mengarah ke dalam pikiran-pikiran dan pengalamannya sendiri. Jung (dalam Schultz & Schultz, 2005) mengatakan ciri-ciri orang dengan tipe kepribadian introvert adalah memiliki sifat pemalu, tidak banyak bicara, dan cenderung berpusat pada diri mereka sendiri, suka melamun, menghindari kontak sosial, tenang, tidak terlalu emosional, berpikir dahulu sebelum bertindak, suka termenung, tidak menyukai perubahan, dan tidak mudah beradaptasi. Sedangkan menurut Eysenck individu yang berkepribadian introvert memiliki ciri-ciri bertolak belakang atau berlawanan dengan individu yang berkepribadian ekstrovert dimana ciri utama kepribadian introvert adalah sifat hatinya lembut, berpikir dulu sebelum bertindak, cenderung serius, perasaan gembira yang dialami dapat mengganggu performa, menyukai pekerjaan bersifat menyendiri, sensitif
11 terhadap rasa sakit, suka hal-hal yang teratur (tetap), dan cenderung penyegan atau malu-malu (Hall & Lindzey, 2010). Mengenali diri juga merupakan hal penting yang menjadi tuntutan perkembangan manusia di masa remaja menurut teori Erikson (dalam Feist & Feist, 2011) maka mau tak mau tingkat perkembangan individu sedikit banyak berpengaruh terhadap penerimaan diri seseorang. Menurut penelitian sebelumnya, identitas diri seseorang menciptakan pemahaman diri, pemaknaan melalui komitmen dengan orang lain, perasaan kebebasan untuk berkehendak, harmonisasi antara nilai, keyakinan dan komitmen, serta kesadaran akan potensi individu (Arican, Dundar, & Saldana, 2015). Aykut dan Esra (2011) menuturkan bahwa penerimaan diri mahasiswa di usia 22-24 tahun lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa di tahun-tahun awal pada usia sekitar 18-21 tahun. Penerimaan diri ini terbukti meningkat dalam kurun waktu empat tahun studi mahasiswa di universitas, konsisten dengan hasil penelitian bahwa level penerimaan diri tinggi atau baik dalam kelompok mahasiswa yang lebih tua. Menurut Hurlock (2006), masa remaja akhir adalah masa usia 17-20 tahun, dicirikan dengan adanya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, terjadi perubahan emosi, tubuh, minat dan pola perilaku serta perubahan nilai, terjadi pencarian identitas, dan ambang masa kedewasaan dimana remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan orang dewasa. Individu yang telah berhasil melewati masa remaja akhir dengan baik akan beranjak ke usia dewasa awal yang biasanya ditandai dengan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa awal diharapkan memainkan peran baru, seperti suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah, keinginan-keinginan baru, mengembangkan sikap-sikap
12 baru, dan nilai-nilai baru sesuai tugas baru ini. Di Indonesia batas kedewasaan adalah 21 tahun juga. Hal ini berarti bahwa pada usia itu seseorang sudah dianggap dewasa dan selanjutnya dianggap sudah mempunyai tanggung jawab terhadap perbuatanperbuatannya (Monks, Knoers, & Haditono, 2001). Dikatakan oleh Hurlock (2006) bahwa seseorang dikatakan dewasa bila telah memiliki kekuatan tubuh secara maksimal, siap berproduksi, dan telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor, serta dapat diharapkan memainkan peranannya bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat. Ciri-ciri masa dewasa awal menurut Hurlock (1996) antara lain masa pengaturan tanggung jawab dan hak, melakukan reproduksi, mengalami ketegangan emosi, menghadapi banyak permasalahan baru, mengalami keterasingan sosial, menjalani komitmen, bergantung pada banyak orang dalam berbagai lingkungan yang berbeda, mengalami perubahan nilai, mengalami penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan muncul kreativitas. Ditinjau dari tingkat perkembangan, masa remaja akhir yang ditandai dengan pencarian identitas dan penyesuaian mental belum memenuhi indikator penerimaan diri yang baik seperti menyadari dan mengenali dengan baik karakteristik pribadi. Di sisi lain, masa dewasa awal yang ditandai dengan kesiapan kognisi, afeksi, dan psikomotor serta kemampuan menempatkan diri sesuai dengan peranannya cukup memenuhi indikator penerimaan diri yang baik yaitu pemanfaatan karakteristik pribadi untuk pengembangan diri yang optimal dan keseimbangan serta integrasi yang baik antar sifat-sifat dalam dirinya. Kemudian ditinjau dari tipe kepribadian, individu dengan kepribadian introvert yang dicirikan dengan pemikiran yang bersifat ke dalam diri sendiri dan tidak lihai
13 dalam bersosialisasi cukup memenuhi indikator penerimaan diri yang baik yaitu mengenali
karakteristik
pribadinya
serta
mampu
mengembangkannya
tanpa
menghiraukan pendapat atau kritik orang lain disekitarnya. Di sisi lain, individu dengan kepribadian ekstrovert yang dicirikan dengan bersifat sosial, aktif berbuat tidak hanya berpikir dan toleran terhadap rasa sakit cukup memenuhi indikator penerimaan diri yang baik yaitu percaya kemampuan diri dan perasaan sederajat dengan orang lain sehingga menimbulkan rasa toleransi dan penerimaan dalam lingkungan sosial yang baik. Ekstraversi, digabungkan dengan faktor perubahan hidup dan kesulitan sosial memberi pengaruh sebesar 34% terhadap kemampuan seseorang menyesuaikan keadaan psikologisnya (Searle & Ward, 1990). Hal ini memungkinkan individu untuk dapat dengan positif menerima dirinya. Dari uraian di atas dapat diketahui bagaimana penerimaan diri seseorang dipengaruhi oleh banyak variabel, diantaranya adalah tingkat perkembangan dan tipe kepribadian seseorang. Terdapat perbedaan penerimaan diri pada usia remaja dan dewasa. Begitu pula dengan kepribadian ekstrovert dan introvert yang dapat mempengaruhi penerimaan diri mereka. Bagaimanapun, hasil penelitian sebelumnya berasal dari banyak negara dengan kebudayaan yang berbeda dari Indonesia dan memiliki hasil penelitian yang tidak konsisten satu dengan yang lainnya, sehingga muncul pertanyaan penelitian apakah terdapat perbedaan penerimaan diri ditinjau dari tipe kepribadian dan tingkat perkembangan.
14 B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini ialah untuk melihat apakah terdapat perbedaan penerimaan diri pada orang-orang dengan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan remaja akhir dan dewasa awal.
C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan ilmiah dan pemahaman dalam keilmuwan psikologi mengenai kepribadian dan penerimaan diri 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi konsultan atau terapis atau psikolog dalam menangani kasus-kasus akibat tidak menerima diri sendiri. b. Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi konsultan atau terapis atau psikolog untuk mengenali lebih lanjut karakteristik individu dengan kepribadian introvert dan ekstrovert.