BAB I PENDAHULUAN
Justice, sir, is the greatest interest of man on Earth. It is the ligament which holds civilized beings and civilized nations together. (Daniel Webster, 1845) A. Latar Belakang Masalah Perubahan merupakan tantangan nyata bagi organisasi dalam aktivitasnya. Proses perubahan pada setiap organisasi sangatlah unik, hal ini dikarenakan perbedaan sifat organisasi, sifat bisnis yang digelutinya, nilai-nilai dan budaya kerja dalam organisasi tersebut, manajemen dan gaya kepemimpinan yang berjalan, atau perilaku serta sikap karyawan. Ketidak mampuan untuk memahami perubahan akan berkontribusi pada kegagalan usaha-usaha perubahan yang pada akhirnya akan membawa kerugian waktu, uang, serta sumber daya lainnya yang sangat besar pada organisasi (Kotter, 1998). Perubahan dilakukan tidak hanya bertujuan agar organisasi menjadi kompetitif semata, tetapi juga bertujuan untuk memelihara eksistensi organisasi. Organisasi selalu berusaha untuk mengefektifkan dan mengefisienkan segala aktivitasnya agar posisi kompetitifnya semakin meningkat. Dalam kehidupan organisasi, tantangan dan masalah biasanya datang dari tekanan lingkungan internal dan eksternal. Tantangan dan masalah ini pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, efisiensi karyawan, pertumbuhan organisasi, bisnis yang baru dijalankan, dan peluang serta inovasi yang tidak berkembang. Karyawan menjadi pihak yang paling terkena dampak dari lambatnya penanganan terhadap masalah dan tantangan organisasi, karena karyawan dapat 1
2
mempunyai pikiran, perasaan, dan perilaku negatif (seperti resistance to change) atas situasi yang tidak bisa dikendalikannya. Dengan memahami perilaku karyawan dalam lingkungan dan kondisi sosial yang berbeda, pemimpin mendapatkan keuntungan dengan munculnya perilaku yang diinginkan. Perubahan organisasi seringkali mendatangkan ketidakpastian bagi karyawan. Menurut Beer dan Nohria (2000), ketidakpastian yang timbul dari proses perubahan yang merugikan mempengaruhi tujuan pencapaian peningkatan kinerja dalam kaitannya dengan perubahan organisasi. Situasi pekerjaan yang tidak pasti menyebabkan peningkatan ketidakamanan pekerjaan sehingga mengakibatkan resistance to change organisasi dan tingkat penurunan kepuasan kerja serta komitmen organisasi (Davy, Kinicki, & Scheck, 1997). Selain dari ketidakamanan kerja, perubahan juga dapat menyebabkan stres kerja pada karyawan ketika mereka tidak biasa terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan kerja mereka sehingga dapat mempengaruhi kinerja dan sikap mereka terhadap perubahan (Kalyal & Saha, 2008). Perubahan yang terjadi, akan mempengaruhi ketidakamanan pekerjaan pada karyawan sehingga mereka menjadi enggan untuk mendukung proses perubahan tersebut (Herscovitch & Meyer, 2002). Perubahan menciptakan ketidakamanan bekerja pada karyawan sehingga kepuasan, kinerja serta komitmen organisasi pada karyawan menjadi rendah (Davy, dkk, 1997; Kalyal & Saha, 2008). Perubahan
organisasi
tidak
bisa
dilakukan
begitu
saja,
dibutuhkan
kebijaksanaan untuk melakukannya. Meskipun kebutuhan akan perubahan dan implementasi perubahan organisasi mengalami peningkatan, diperkirakan dua pertiga dari usaha perubahan organisasi tidak sesuai dengan harapan ataupun tidak
3
mendukung pengembangan yang berkelanjutan (Choi & Ruona, 2011). Walau demikian, inisiatif untuk melakukan perubahan merupakan hal yang penting dan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Menumbuhkan dan meningkatkan persepsi keadilan prosedural, kepuasan kerja, dan komitmen afektif pada karyawan sebagai perangkat yang dapat mendukung keberhasilan perubahan memang membutuhkan usaha dan biaya lebih, namun usaha untuk mengatasi resistance to change yang muncul pada karyawan membutuhkan usaha dan biaya lebih besar lagi. Para peneliti semakin menyadari arti penting resistance to change bagi organisasi, resistance to change bisa menjadi legitimasi dan akan membawa manfaat bagi proses perubahan organisasi (Oreg, 2003; Piderit, 2000; Folger & Skarlicki, 1999). Resistensi atau ketidaksetujuan dapat menjadi katalis penting untuk mengembangkan pengetahuan baru, dan penelitian-penelitian tentang proses perubahan strategis yang ada mendukung gagasan bahwa penolakan dapat memainkan peranan penting dalam pembaharuan organisasi (Piderit, 2000). Folger dan Skarlicki (1999) berpendapat, mempertahankan adanya resistensi yang bertujuan baik dalam kondisi tertentu bisa mendatangkan perubahan tambahan yang diperlukan oleh organisasi. Hasil penelitian yang dilakukan Piderit (2000) menunjukkan, daripada berusaha sekuat tenaga untuk mencegah dan mengatasi resistensi, ambivalensi yang dihasilkan oleh perubahan harus dipelihara dengan alasan-alasan yang sama. Dalam artian jika inisiatif perubahan diterima dengan tangan
terbuka,
maka
perubahan
mempertimbangkan asas manfaat.
mungkin
akan
dilaksanakan
tanpa
4
Keadilan prosedural peneliti gunakan sebagai variabel independen dalam penelitian ini karena telah terbukti menjadi determinan yang kuat bagi perilaku menyimpang karyawan (Skarlicki, Folger, & Tesluk, 1999). Dalam penelitian yang dilakukan Oreg (2006) dijelaskan bahwa keadilan prosedural sangat mungkin menjadi penyebab perilaku resistensi pada karyawan, sedangkan keadilan distributif lebih terkait pada komponen afektif dan kognitif dari resistensi karyawan. Lebih jauh lagi, banyak hasil penelitian (misalnya Cohen-Charash & Spector, 2001; Colquitt, Conlon, Wesson, Porter, & Ng, 2001) yang mendukung hubungan antara keadilan prosedural (prosedur yang dipakai untuk membuat keputusan, dan perlakuan sosial oleh manajemen) dengan berbagai hasil kerja (misalnya perilaku kerja yang kontraproduktif, dan keinginan untuk keluar dari tempat kerja). Studi empiris yang dilakukan oleh Gopinath dan Becker (2000) menemukan bahwa persepsi keadilan prosedural yang tinggi pada karyawan ternyata berkorelasi dengan tingkat kepercayaan yang tinggi pada pemilik baru (perusahaan yang menjadi tempat penelitian kali ini telah berganti dari PT. INCO ke PT. VALE), studi ini juga menemukan bahwa komunikasi yang baik dari manajemen akan membantu meningkatkan persepsi keadilan prosedural jika terjadi divestasi dan PHK. Kepuasan kerja merupakan faktor kritis untuk mempertahankan karyawan yang berkualifikasi baik. Aspek-aspek spesifik yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu kepuasan yang berhubungan dengan gaji, keuntungan, promosi, kondisi kerja, supervisi, praktek organisasi dan hubungan dengan rekan kerja (Riggio, 2003; Oreg, 2003, 2006; Colquitt, Conlon, Wesson, Porter, & Ng, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Elton Mayo pada tahun 1924-1932 (Bisen & Priya, 2010)
5
membuktikan adanya hubungan antara kepuasan kerja (kepuasan yang dirasakan oleh karyawan dari hubungan sosialnya di tempat kerja) dengan produktivitas kerja. Namun, Porter dan Lawler (1968, dalam Riggio, 2003) memberikan pernyataan yang sebaliknya: performa kerja yang baik akan menyebabkan kepuasan kerja. Teori Model Porter dan Lawler adalah teori hubungan kepuasan kerja dan kinerja dimediasi oleh reward yang berhubungan dengan kerja. Menurut Porter dan Lawler (1968, dalam Riggio, 2003), kepuasan kerja dengan kinerja tidak berhubungan secara langsung. Komitmen organisasi sangat terkait dengan keinginan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya, dan keinginan untuk mencari alternatif perkerjaan lain. Komitmen juga sangat berkorelasi dengan performa keuangan (Colbert & Kwon, 2000). Selain itu komitmen organisasi juga dapat memprediksi perilaku karyawan (Abbott, White, & Charles, 2005). Sehingga menciptakan kondisi yang dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya komitmen di tempat kerja merupakan tugas penting manajemen. Tindakan manajerial dapat mempengaruhi kondisi di tempat kerja, dan kondisi yang baik akan menggabungkan komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen normatif menjadi satu (Goleman, 2000). Sebagai salah satu dimensi komitmen organisasi, komitmen afektif terbukti berhubungan dengan turnover, absenteeism, kinerja, OCB, dan resistance to change (Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky, 2002). Karyawan yang secara afektif berkomitmen terhadap organsiasi akan membangun ikatan emosional dengan organisasi, menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi, melibatkan diri dalam organisasi serta mengembangkan perilaku yang menguntungkan bagi organisasi (Meyer, & Allen,
6
1997). Pemahaman yang baik mengenai komitmen afektif akan membuat organisasi dapat mengatasi perilaku yang tidak diinginkan. Beberapa hasil penelitian mendukung hubungan antara persepsi keadilan prosedural, kepuasan kerja, dan komitmen afektif dengan resistance to change (misalnya McFarlin & Sweeney, 1992; Lok & Crawford, 2001; Cohen-Charash, & Spector, 2001; Colquitt, Conlon, Wesson, Porter, & Ng, 2001; Oreg, 2003, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh McFarlin dan Sweeney (1992) menunjukkan bahwa keadilan distributif adalah prediktor yang lebih kuat dari kepuasan kerja dibandingkan dengan keadilan prosedural. Hal ini sepertinya tidak sesuai dengan hasil penelitian yang mempergunakan teori dua faktor, keadilan prosedural mempersepsikan keadilan dengan cara membandingkan hasil berdasarkan systemreference. Sedangkan keadilan distributif mempersepsikan keadilan dengan cara membandingkan hasil berdasarkan person-reference. Sebagai tambahan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Masterson, Lewis, Goldman dan Taylor (2000) menunjukkan keadilan prosedural dapat menjadi prediktor yang kuat bagi kepuasan kerja dibanding keadilan interaksional, meskipun keduanya memiliki dampak independen yang signifikan. Salah satu alasan karyawan mengenai penggunaan prosedur yang adil dalam pengambilan keputusan karena hal tersebut merupakan bukti kepedulian dan perhatian yang tulus dari organisasi untuk kesejahteraan karyawannya (Lind & Tyler, 1988). Perasaan karyawan telah diperlakukan secara adil oleh organisasi akan memotivasi mereka untuk terus berada di dalam organisasi, hingga pada akhirnya akan menekan kecenderungan resistensi pada karyawan.
7
Hadirnya masalah-masalah merupakan tantangan yang dihadapi organisasi tanpa memandang jenis organisasinya. Perusahaan-perusahaan pertambangan saat ini sedang berada dibawah tekanan dari berbagai pihak, termasuk tekanan dari masyarakat lokal, kelompok-kelompok masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah (LSM), lembaga global, lembaga keuangan, tanggung jawab atas investasi yang ditanamkan, tanggung jawab kepada pemegang saham, dan tanggung jawab kepada pemerintah. Konflik-konflik yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat disekitarnya dapat dilihat sebagai interaksi yang berawal dari perselisihan kecil, kemudian mengalami peningkatan ekskalasi dan berakhir dengan konflik kekerasan. Perusahaan pertambangan global khususnya seringkali dituduh menjadi penyebab konflik baik itu secara sadar atau tidak sadar dan seringkali memperburuk kondisi masyarakat (Zandvliet & Anderson, 2009; Humphreys, Sachs, & Stiglitz, 2007). Konflik antara perusahaan-masyarakat biasanya dipicu oleh keprihatinan masyarakat yang merasa terancam kehidupan ekonomi atau mata pencahariannya, akses kepada penggunaan tanah dan pemanfaatan air, dampak keberadaan perusahaan terhadap lingkungan, dampaknya kepada kehidupan sosial masyarakat dan kepercayaan-kepercayaan yang dimiliknya (budaya), pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan perlakuan tidak adil lainnya, adanya jurang yang dirasa oleh masyarakat antara manfaat dan resiko yang harus ditanggungnya, dan makna dari “pembangunan” itu sendiri (Bebbington, Hinojosa, Bebbington, Burneo, & Warnaars, 2008; Bridge, 2004; Reed, 2002). Bahkan untuk kasus yang lebih ekstrim hubungan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar dipandang sebagai medan perang,
8
sehingga seringkali terjadi konflik kekerasan antara masyarakat dengan perusahaan karena sama-sama merasa mempunyai hak atas sumber daya yang ada. Perusahaan pertambangan seringkali mencari sumber daya baru pada lingkungan dan daerah yang sensitif secara sosial (lokasi yang dihuni masyarakat adat atau etnis minoritas), perusahaan juga seringkali beroperasi pada daerah yang sistem hukum, lembaga politik, serta pemerintahannya lemah, korup dan kredibilitasnya rendah yang biasanya ditandai oleh ketidakseimbangan kekuatan politik, ekonomi dan budaya (Escobar 2006; Reed, 2002). Perusahaan yang beroperasi dalam keadaan seperti ini akan mendapatkan tantangan yang tidak ringan, termasuk penanganan isu pemberdayaan masyarakat lokal tanpa harus menggunakan usaha-usaha yang ekstrim. Berkembangnya isu-isu seperti ini akan sangat merugikan bagi perusahaan, misalnya keterlambatan pengerjaan proyek, infrastruktur yang dirusak, reputasi perusahaan menurun, penghentian operasi sementara waktu, biaya hukum serta organisasional lainnya (Reed 2002). Konflik perusahaan dengan masyarakat seharusnya ditangani dengan cara yang lebih bermartabat serta berinteraksi dengan cara yang lebih etis. Bagaimana perusahaan memandang dan merespon kompleksitas hubungan perusahaan-masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap jalannya kehidupan kedua belah pihak. Hal diatas sesuai dengan masalah yang ditemukan pada PT. VALE INDONESIA, Tbk. Dari beberapa wawancara yang dilakukan penulis dengan karyawan perusahaan menunjukkan hasil sebagai berikut: -
Tidak jelasnya kelanjutan kontrak karya yang akan berahir 2025 nanti.
9
-
Makin tingginya tuntutan masyarakat sekitar terkait penerimaan tenaga kerja, kesempatan berusaha, dan lain-lain.
-
Birokrasi dan regulasi yang semakin rumit
-
Euforia otonomi daerah
Dari
hasil
wawancara
tersebut,
diketahui
bahwa
karyawan
merasakan
ketidakpastian berhubung karena ketidakjelasan keberlanjutan kontrak kerja yang akan berakhir 2025 nanti. Sehingga karyawan merasa was-was dengan masa depannya yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan itu sendiri.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan bahwa permasalahan penelitian ini adalah: 1. Apakah keadilan prosedural, kepuasan kerja, dan komitmen afektif berpengaruh terhadap resistance to change? 2. Variabel manakah yang mempunyai pengaruh paling besar pada resistance to change?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh keadilan prosedural, kepuasan kerja, dan komitmen afektif terhadap resistance to change.
10
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini penulis harapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu psikologi industri dan organisasi secara teoritis, sehingga penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi penelitian berikutnya. Secara praktis, penelitian ini penulis harapkan dapat memberikan dampak positif bagi organisasi yang menghadapi permasalahan berupa resistance to change agar dapat menangani permasalah tersebut sebaik-baiknya sehingga bisa mendatangkan manfaat yang maksimal bagi organisasi. Resistensi seharusnya dilihat sebagai hal yang dapat menguatkan organisasi bukan dilihat sebaliknya sebagai hal yang merugikan bagi organisasi. Organisasi sebaiknya lebih menitikberatkan perhatiannya pada peningkatan keadilan prosedural, berusaha untuk lebih meningkatkan kepuasan kerja karyawannya, serta berusaha untuk meningkatkan komitmen afektif pada karyawannya agar resistensi yang muncul dapat direduksi. Hal ini dilakukan karena akan lebih menguntungkan bagi organisasi daripada berusaha untuk memfokuskan sumber daya yang dimilikinya pada penanganan resistensi saja.
E. Keaslian Penelitian Istilah resistance to change seringkali didapati dalam berbagai literatur yang membahas perubahan organisasi. Penelitian kali ini mempertimbangkan perlakuan perusahaan pada karyawannya (keadilan prosedural) serta aspek dari karyawan itu sendiri (kepuasan kerja dan komitmen organisasi) dalam menangani munculnya
11
perilaku resistance to change pada karyawan. Penelitian tentang keadilan prosedural belum banyak dilakukan di Indonesia, apalagi penelitiannya pada organisasi-organisasi yang terletak pada remote area karena biasanya penelitianpenelitian yang ada dilakukan pada daerah sekitar perkotaan saja. Beberapa penelitian mengenai resistance to change telah dilakukan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian Handayani (2006) tentang hubungan kepuasan kerja dan dukungan sosial dengan persepsi perubahan organisasi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan dukungan sosial berpengaruh terhadap persepsi perubahan organisasi. Semakin tinggi kepuasan kerja dan dukungan sosial maka akan semakin baik pula persepsi karyawan terhadap perubahan organisasi. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja dan dukungan sosial maka akan semakin buruk pula persepsi karyawan terhadap perubahan organisasi. Prihatsanti (2010)
tentang
hubungan kepuasan kerja dan
need for
achievement dengan kecenderungan resistance to change pada dosen UNDIP Semarang, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara kepuasan kerja dan need for achievement dengan kecenderungan resistance to change. Semakin tinggi kepuasan kerja dan need for achievement karyawan maka akan semakin rendah kecenderungan resistance to change. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kepuasan kerja dan need for achievement karyawan maka akan semakin tinggi kecenderungan resistance to change. Penelitian lain tentang keadilan organisasional dilakukan oleh Williamson, dan Williams (2010) dengan judul Organisational justice, trust and perceptions of fairness
12
in the implementation of agenda for change. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa resistensi merupakan konsekuensi yang tidak dapat dielakkan dari perubahan organisasi dan harus mendapatkan penanganan yang baik untuk menghindari hasilhasil yang tidak diinginkan. Persepsi terhadap keadilan merupakan bagian yang sangat integral untuk memastikan bahwa resistensi dikelola secara efektif untuk mencegah rendahnya moral kerja sebagai konsekuensi dari resistensi, perilaku menarik diri (withdrawal) dan berkurangnya komitmen organisasi. Penulis mencoba melihat variabel lain yang mempengaruhi resistance to change, yaitu variabel keadilan prosedural, kepuasan kerja, dan komitmen afektif dengan alasan bahwa interaksi antara organisasi dengan karyawan sangat berperan dalam tinggi atau rendahnya resistensi karyawan. Penulis mengasumsikan bahwa keadilan prosedural, kepuasan kerja, dan komitmen afektif menjadi faktor yang penting dalam menangani resistensi karena persepsi negatif karyawan terhadap perubahan akan berkurang jika ketiga variabel (keadilan prosedural, kepuasan kerja, dan komitmen afektif) semakin tinggi. Hal inilah yang ingin diketahui penulis dan penulis beranggapan bahwa tema penelitian ini berbeda dengan penelitianpenelitian lain, oleh karena itu keaslian penelitian dapat dipertanggung jawabkan.