1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah SWT, terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur itu, masingmasing untuk menopang kebahagiaan hidup manusia dunia dan akhirat. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasangan-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Sudah kodrat manusia antara satu sama lain selalu saling membutuhkan karena manusia merupakan makhluk sosial. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri tersebut mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup terartur, demikianlah pula diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya mereka cenderung merasa tenteram serta dijadikan-Nya diantara suami dan isteri itu kasih sayang. “Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan laki-laki, ada yang saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama.” 1 Perkawinan juga merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Dan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum. Dari perkawinan akan timbul hubungan
1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984,
Hal. 7.
1
Universitas Sumatera Utara
2
hukum antara suami dan isteri dan dengan lahirnya anak-anak menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak mereka. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, maka dalam pelaksanaan pernikahan atau perkawinan tersebut diperlukan norma hukum terutama dalam rangka mengatur hak dan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Pasangan seorang pria dan seorang wanita yang membentuk rumah tangga dalam suatu ikatan perkawinan, pada dasarnya merupakan fitrah atau naluri manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan kehidupannya, pengelompokan kehidupan manusia tersebut dalam realitanya dapat dilihat dengan adanya berbagai bentuk kesatuan sosial di dalam kehidupan masyarakat. Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya yang belum dewasa. Sedangkan sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta benda bersama, maupun tempat tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.2 Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang
2
Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Usaha Nasional, Surabaya, 1994,
Hal.19
Universitas Sumatera Utara
3
lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, pernikahan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Dalam taraf permulaan, ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan batin ini tercermin dari adanya kerukunan suami isteri. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Dalam pernikahan perlu ditanamkan bahwa pernikahan itu adalah berlangsung untuk selama-lamanya kecuali dipisahkan dengan kematian. “Dari sudut ilmu bahasa atau semantik perkataan perkawinan berasal dari kata kawin yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab Nikah.”3 “Di dalam pernikahan, perempuan ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, dia diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak kemanusiaan yang sempurna. Dia harus dilamar secara layak dari wali atau keluarganya.”4 “Dalam Islam pernikahan merupakan suatu aqad (perjanjian) yang diberkahi antara seorang laki-laki dan seorang wanita, yang dengannya dihalalkan bagi keduanya mulai mengarungi kehidupan safari yang panjang, yang diwarnai dengan rasa cinta dan kasih, saling tolong menolong, saling pengertian dan penuh toleransi,
3
Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia Dan Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, Hal.3. 4 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
4
masing-masing saling memberikan ketenangan, ketentraman, dan kenikmatan hidup”.5 Oleh karena itu, untuk menyatukan hati, maka terlebih dahulu harus ada penyesuaian terhadap keadaan jiwa dan arah yang akan dituju dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Pernikahan sebagaimana yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul merupakan salah satu manifestasi ibadah bagi umat Islam, terjadinya perkawinan adalah cikal bakal adanya kehidupan bermasyarakat yang teratur. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah pernikahan. “Islam adalah aturan hidup yang memberi hak kepada semua pihak sehingga tidak akan membiarkan terjadinya ketimpangan dan kejanggalan dalam kehidupan masyarakat.”6 Menurut ajaran Islam tujuan pernikahan adalah membentuk rumah tangga berupa keluarga yang tunduk pada amanah Allah untuk memperoleh keturunan. Oleh karena tujuan pernikahan Islam ialah membentuk keluarga dan memperoleh keturunan, maka Islam, kendatipun tidak menghendaki terjadinya perceraian, tetapi memperkenankannya, jika kehidupan diantara suami isteri mengalami kegagalan. “Perkawinan yang tidak harmonis keadaannya, tidak baik dibiarkan berlarutlarut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak suami dan isteri, perkawinan yang demikian diputus cerai. Tentu berakibat pada anak-anak putra-putri nya, yang tidak pernah berbuat salah, menanggung akibat perbuatan orang tuanya.” 7 Menjalankan kehidupan rumah tangga tidaklah mudah “Sudah merupakan sifat manusia apabila timbul percekcokan dan kesalahpahaman di dalam keluarga. 5 6
Muhammad Ali Al-Hasyimy, Jati Diri Wanita Muslimah, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, 1998, Hal 143. K.H Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro & Kontra, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 95.
7
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2011, Hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
5
Oleh karena itu, setiap anggota keluarga dituntut untuk selalu bertaqwa kepada Allah, bersabar dan melakukan pengendalian diri.” 8 Ajaran Islam tentang kehidupan rumah tangga terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman dan kasih sayang yang terdiri atas isteri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat, serta kerabat yang saling membina silahturahim dan tolong-menolong keluarga tersebut mengetahui hak-haknya dan melaksanakan kewajibannya. Karena itu Islam mengatur hak dan kewajiban suami isteri dengan jelas dan tegas agar kehidupan rumah tangga dapat berjalan harmonis. 9 UU No. 1 tahun 1974 yang selanjutnya ditulis dengan Undang-undang perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun kenyataan sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun membuktikan bahwa tidak selalu tujuan itu dapat dicapai, bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata sepakat atau karena salah satu pihak ataupun perilaku kedua belah pihak yang tidak sesuai dengan ajaran agama. “Menurut DR. Mr. Hazairin, Undang-undang perkawinan ini adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku bagi setiap warga Negara Republik Indonesia”.10 Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
8
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengakap Hukum-Hukum Allah (syariah), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal. 171. 9 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit. ,Hal. 69. 10 Hazairin, Tinjauan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Penerbit Tintamas, Jakarta, 1975, Hlm. 260.
Universitas Sumatera Utara
6
Perkawinan adalah sah, apabila dialakukan menurut masing-masing hukum agamanya atau kepercayaannya itu. Kepercayaannya itu sesuai dengan memori penjelasan pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 yang dimaksud dengan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing itu, termasuk golongan agama dan kepercayaan sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dari undang-undang yang berlaku. “Berlakunya undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, seperti yang kita ketahui semuanya adalah hasil kompromi antara pemerintah dengan fraksi-fraksi yang ada di DPR. Seperti biasanya undang-undang hasil dari suatu kompromi tidaklah memuaskan semua pihak.” 11 Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian yang dimaksudkan oleh undang-undang. Juga telah dijelaskan bahwa akad nikah dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu pentingnya akad nikah ia ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan. “Disamping itu, pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian (mistaqan galizan) aspek hukum yang timbul dari perkawinan. Realisasi dari pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing salinannya dimiliki oleh istri dan suami. Akta tersebut dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila
11
Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, C.V Percetakan Mestika,Medan, 1977, Hal. 404.
Universitas Sumatera Utara
7
ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.” 12 Adapun fungsi akta pernikahan atau fungsi pencatatan dalam suatu perkawinan dimaksud untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, maupun bagi orang lain dan masyarakat, hal ini dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam daftar khusus yang disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan di mana perlu terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik. Perkawinan itu terikat pada bentuk tertentu, yaitu harus dilakukan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh negara. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinannya diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkwinan akan dilangsungkan. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan wajib meneliti apakah syarat-syarat perkawinan yang bersangkutan telah dapat terpenuhi secara lengkap. Bahwa sesunguhnya seseorang yang akan melaksanakan sebuah perkawinan diharuskan memberitahukan terlebih dahulu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan oleh seorang maupun oleh kedua mempelai. Dengan adanya pemberitahuan tersebut, K. Watjik Saleh berpendapat : “Maksud untuk melangsungkan perkawinan itu harus dinyatakan pula tentang nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai. Dalam hal
12
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2006, Hal.26.
Universitas Sumatera Utara
8
salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin, harus disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu”.13 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seseorang yang akan melangsungkan suatu perkawinan diharuskan mendaftarkan diri terlebuh dahulu, maksudnya agar lebih mengetahui dengan jelas identitas dirinya. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) disamping mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang berhubungan dengan keabsahan pernikahan, dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai pada Kantor Urusan Agama kecamatan. PPN juga harus segera menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan termasuk mengenai hal akta pernikahan. Akta pernikahan merupakan hal yang penting dan perlu. Semua akta pernikahan yang dikeluarkan oleh KUA merupakan akta otentik yang mengandung kebenaran murni, merupakan kekuatan dan kepastian hukum. “Negara ataupun pemerintah harus diutamakan untuk dilindungi dari segala tindak pidana yang akan ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Adalah merupakan kewajiban sosial bagi setiap warga Negara untuk turut serta melindungi Negara dan pemerintahannya, setidak-tidaknya tidak menimbulkan sesuatu yang sifatnya negative bagi Negara dan pemerintah.”14 Oleh karena itu dalam membuat keterangan diperlukan adanya kejujuran dan ketelitian antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta pernikahan. Apabila penghadap 13 14
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, Hal. 19.
Madjwes, Perlakuan Hukum Pidana Terhadap Pegawai Negeri Sipil, Prima karya, Jakarta, 1987, Hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
9
memberikan kerterangan palsu dalam akta pernikahan maka akta pernikahan dapat dicabut kembali dan dinyatakan batal. Dan si penghadap dapat dituntut pula dengan kejahatan tindak pidana. “oleh karena itu pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkanoleh syari’at Islam adalah perbiatan yang sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang wajib dicegah oleh siapapun yang mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila pernikahan itu telah dilaksanakannya. Hukum islam menganjurkan agar sebelum pernikahan dibatalkan terlebih dahuku diadakan penelitian yang mendalam untuk memeperoleh keyakinan bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam sudah terpenuhi. Jika persyaratan yang telah ditentukan masih belum lengkap atau masih terdapat halangan pernikahan maka pelaksanaan pernikahan haruslah dicegah.”15 Untuk memiliki bukti dalam menentukan status kejadian diatas, maka orang tersebut harus mendaftarkan peristiwa atau kejadian itu pada kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, dengan demikian orang tersebut akan memperoleh bukti tertulis berupa akta catatan sipil. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan lanjutan dari “Lembaga Catatan Sipil pada jaman pemerintahan kolonial Belanda yang dikenal dengan nama “Burgerlijke Stand” atau dikenal dengan singkatan B.S yang mengandung arti suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwaperistiwa penting bagi para warga negara seperti kelahiran, perkawinan, kematian.”16 Bagi non muslim Akta Catatan Sipil merupakan hal yang penting dan perlu karena 15
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, Hal. 42. 16 Subekti dan R. Tjtrosoedibro, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1979, Hal 22
Universitas Sumatera Utara
10
dengan demikian orang dapat dengan mudah memperoleh kapasitas mengenai kejadian-kejadian penting yang dalam hal ini pernikahan. Bila bagi muslim harus mendaftarkan diri di Pejabat Pembuat Akta Nikah (P3N). Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam keluarga maka terdapat macam-macam akta catatan sipil, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Akta Kelahiran Akta Perkawinan/Pernikahan Akta Kematian Akta Perceraian Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak Akta Penggantian Nama. 17 “Dengan demikian bahwa akta catatan sipil merupakan hal yang sangat
menentukan akan kebenaran dan suatu pemalsuan apabila diperkarakan. Dalam lingkungan internasional akta catatan sipil mendapat pengakuan yang sah.”
18
Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat (1) Undangundang Perkawinan). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa
17
Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, Hal. 1 18 Ibid Hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
11
KCS tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau melaksanakan putusan-putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan penganut kepercayaan. Bagi umat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (2) dan (3) dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Namun sayangnya, salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-undang perkawinan. Ini berarti bahwa perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya undang-undang tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian. Tentu ini sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian. Selain itu proses yang akan dijalanipun akan memakan waktu yang lama. Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak, seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak. Jadi sebaiknya, sebelum memutuskan menjalani sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah syiri), pikirkanlah terlebih dahulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi, artinya perkawinan menurut negara yang dicatatkan di KUA atau KCS, pilihan ini jauh lebih baik. Karena jika tidak, ini akan membuat kesulitan ketika menuntut hak. Dalam Pasal 2 Undang-undang perkawinan, disebutkan :
Universitas Sumatera Utara
12
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu; 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Ujudnya suatu pernikahan hanya dapat dibuktikan dengan akta-akta yang telah didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil.” 19
Pada pasal 2 ayat (2) undang-undang perkawinan menyatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.20 Kejujuran dari si pelapor dalam melaksanakan pencatatan perkawinan sangat penting dalam memberikan keterangan identitas yang sejelas-jelasnya dan sebenarbenarnya tanpa ada yang ditambahi ataupun dikurangi demi lancarnya proses pencatatan perkawinan . Sehingga pernikahan yang dilangsungkan sah dimata agama dan sah pula dimata hukum. Dan apabila terjadi pemalsuan identitas atau keterangan yang diberikan oleh si pelapor yang akan melangsungkan pernikahan maka pernikahan dapat dinyatakan batal atau dapat dilakukan pembatalan perkawinan. Dan si pelapor dapat dikenakan sanksi.
19
Jafizham, op. cit., Hal. 165. Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Pradya Paramita, Jakarta, 1987, Hal. 33. 20
Universitas Sumatera Utara
13
“Pembatalan suatu pernikahan hanya dapat dimajukan ke Pengadilan Agama oleh yang berkepentingan.” 21
Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar tidak menimbulkan akibat hasil perkawinan itu tidak terlindung oleh hukum, karena dengan adanya kekurangan persyaratan-persyaratan tersebut dan dengan adanya pelanggaranpelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan, perkawinannya menjadi tidak sah. Akibatnya kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dinyatakan tidak sah tersebut merupakan anak yang tidak sah pula menurut hukum.22 “Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian dari Pejabat Umum yang dilihat dan disaksikan Pejabat Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan dalanm bentuk akta otentik.”23 Dengan kedudukan Pejabat Umum seperti ini, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Pejabat Umum bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata. “Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peran penting dan setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, manjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindarinya terjadinya sengketa,
21
Ibid, Hal.112. Achmad Ichsan, op. cit., Hal. 63. 23 Herman Adriansyah, Keterangan Palsu dalam Akta Otentik, http://www.scribd.com/doc/20321341/Keterangan-Palsu-Dalam-Akta-Otentik , diakses tanggal 15 Mei 2012. 22
Universitas Sumatera Utara
14
walaupun sengketa itu sendiri dalam kondisi-kondisi tertentu tidak dapat terelakkan.”24 Penempatan Pejabat Umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Pejabat Umum sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, maka hal trsebut telah mencederai akta otentik dan institusi Pejabat Umum yang
tidak
dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta otentik dan Pejabat Umum di Indonesia. Dalam tataran hukum yang benar mengenai akta otentik.
Keterangan palsu adalah suatu keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu, hal mana diatur dalam pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa tindak pidana menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu didalam suatu akta otentik merupakan suatu tindak pidana pemalsuan. 25 Salah satu contoh permasalahan yang sering terjadi yaitu pada kasus pemalsuan identitas yang terjadi di kantor KUA Kecamatan Medan Labuhan. Tuan J sebagai penggugat melaporkan Tuan S dan Nyonya H yang telah melaksanakan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Labuhan, bahwa lebih kurang 1 bulan setelah terjadi pernikahan antara Tuan S dan Nyonya H datanglah seorang wanita bernama Nyonya YM ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan
24 25
Putri A.R, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris, PT Sofmedia, Medan, 2011, Hal. 106. Adamichazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,
Hal. 114.
Universitas Sumatera Utara
15
Labuhan. Nyonya YM mengajukan keberatan atas pernikahan yang dilakukan Tuan S dan Nyoya H dikarenakan Nyonya YM masih berstatus istri sah dari Tuan S dan tidak ada bukti-bukti lain yang menyatakan telah terjadi perceraian antara Nyoya YM dan Tuan S. Namun surat keterangan untuk nikah atas nama Tuan S menyatakan bahwa Tuan S berstatus duda dengan dilampiri surat keterangan kematian isteri. Dalam hal ini Tuan S telah melakukan pemalsuan identitas karena ternyata Nyonya YM selaku isterinya masih hidup. Dengan terjadinya kasus semacam ini maka akan menyebabkan KUA harus meminta bantuan Pengadilan Agama untuk mempertanggungjawabkan akta yang telah dibuatnya, mengingat KUA merupakan instansi yang berwenang dalam membuat akta pernikahan yang dalam hal ini merupakan akta otentik yang dibuatnya setelah ditandatangani oleh para penghadap dan sudah menjadi dokumen negara. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kewenangan Kantor Urusan Agama dalam memastikan kecermatan identitas calon mempelai? 2. Bagaimana keabsahan akta nikah yang dibuat dengan menggunakan dokumen palsu? 3. Bagaimana sanksi hukum kepada penghadap yang memberikan dokumen dan keterangan palsu?
Universitas Sumatera Utara
16
C. Tujuan penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kewenangan Kantor Urusan Agama dalam memastikan kecermatan identitas calon mempelai. 2. Untuk mengetahui keabsahan akta nikah yang dibuat dengan menggunakan dokumen palsu. 3. Untuk mengetahui sanksi hukum kepada penghadap yang memberikan dokumen dan keterangan palsu. D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan
kajian
pada umumnya,
khususnya
pengetahuan
dalam hal
pertanggungjawaban KUA terhadap akta nikah yang menggunakan dokumen palsu. 2. Manfaat Praktis a.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat
dalam
hal
mengetahui
secara
jelas
tentang
pertanggungjawaban KUA terhadap akta nikah yang menggunakan dokumen palsu.
Universitas Sumatera Utara
17
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Indonesia, Kantor Urusan Agama dan lebih khusus lagi bagi pemerintah kota Medan, Kantor Urusan Agama Kota Medan sebagai bahan evaluasi pelaksanaan dalam pembuatan akta pernikahan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Tinjauan Yuridis Pembatalan Akta Nikah Yang dibuat Dengan Menggunakan Dokumen Palsu” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli. Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah : 1. Penelitian yang dilakukan oleh saudara Siti Maimana sari, Masiswa Program Magister Ilmu Hukum Sumatera Utara, dengan judul Pertanggungjawaban Notaris Dalam Hal Pembuatan Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu.
Penelitian
tersebut
menitikberatkan
pembahasannya
tentang
bagaimana aspek hukum pidana dalam kasus keterangan palsu dalam akta otentik dan bagaimana penegakan hukum oleh penegak hukum dalam kasus tersebut serta bagaimana pertanggungjawaban pidana Notaris dalam kasus tersebut. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai
landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga
Universitas Sumatera Utara
18
penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.”26 Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori pembuktian dan teori fasakh yang berarti merusak atau membatalkan. “Jadi fasakh sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.”27 Menurut Muhammad Yahya Harahap : “Pembuktian adalah ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan oleh Undang-undang membuktikan kesalahan yang dilakukan kepada terdakwa.”28 Dikenal ada 3(tiga) teori tentang pembuktian antara lain : a. Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-undang secara positif Pembuktian menurut Undang-undang secara positif keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan Undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Pembuktian menurut Undang-undang sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.29 b. Teori Hukum Pembuktian menurut keyakinan hakim “Teori hukum pembuktian menurut keyakinan hakim terdapat 2 (dua) bentuk polarisasi yaitu :
26
W. Friedman, Teori dan Filsafat Umum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 2 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Yayasan Pena, Banda Aceh, 2010, Hal. 143 28 M. Yahya Harahap, Pembebasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding dan Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 252. 29 Ibid,M. Yahya Harahap, Hal 789-790. 27
Universitas Sumatera Utara
19
1.
2.
Conviction Intime berarti kesalahan terdakwa tergantung kepada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terkait oleh suatu peraturan misalnya : Dalam putusan hakim berdasarkan pada mistik, keterangan medium, dukun dan lain sebagainya. Conviction Raisonce berarti keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi penerapan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan.30
c. Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif “Teori pembuktian menurut Undang-undang negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat-alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh Undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.”31
Menurut Amir Syarifuddin : Fasakh ini pada dasarnya terjadi atas inisiatif pihak ketiga, yaitu hakim setelah hakim mengetahui bahwa perkawinan itu tidak dapat dilanjutkan, baik pada perkawinan yang telah berlangsung ternyata terdapat kesalahan, seperti tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maupun pada diri suami atau isteri terdapat kekurangan yang tidak mungkin dipertahankan untuk kelangsungan perkawinan itu.32 Batalnya suatu pernikahan hanya dapat diputuskan oleh Hakim, pasal 85 KUH Perdata. “ Keputusan tentang batalnya suatu pernikahan : (1) karena suami isteri masih terikat dalam perkawinan yang lebih dahulu. Dengan demikian laki-laki beristri lebih dari seorang dan seorang perempuan bersuami lebih dari seorang, (2) ketika pernikahan dilangsungkan tanpa kemauan (persetujuan) yang bebas dari kedua suami isteri atau salah seorang dari padanya, (3) pernikahan dilangsungkan oleh seorang yang mempunyai 30 Ismail, Analisis Terhadap Penerapan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, 2010, Hal. 14. 31 Ibid, Hal. 14. 32 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Ed. I, Cet. I, Pranada Media, Jakarta, 2006, Hal. 243.
Universitas Sumatera Utara
20
cacad rohaninya, (4) pernikahan dilangsungkan oleh seorang yang belum mencapai umur laki-laki 18 tahun dan wanita 15 tahun.33 Perkawinan dapat dibatalkan, bila: 1. perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No. 1/1974). 2. salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974). Identitas palsu misalnya tentang status, usia atau agama. 3. suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 01 tahun 1974). 4. Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU Perkawinan).34 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 71, disebutkan yang dapat dibatalkan, yaitu: 1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, 2. Wanita yang diketahui ternyata masih menjadi istri laki –laki lain, 3. Wanita yang dikawini masih dalam masa iddah, 4. Perkawinan yang melanggar batas minimal usia yang ditentukan oleh Undangundang Perkawinan, 5. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak, 6. Perkawinan karena dipaksa.35 Apabila, perkawinan dilaksanakan yang terjadi sabagai mana yang disebutkan di atas, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan dengan mengajukan ke Pengadilan dimana pasangan atau salah satu pasangan suami istri itu bertempat tinggal. (Pasal 25 Undang – undang Nomor 1 tahun 1974). Siapa yang berhak mengajukan pembatalan pernikahan tersebut: Berdasarkan pasal 23 Undang – udang Nomor 1 tahun 1974, disebutkan para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, 33
T. Jafizham S.H, op. cit, Hal.165. YLBH APIK Jakarta, Batalnya Suatu Perkawinan http://www.lbh-apik.or.id/fac-no.27.htm, diakses tanggal 29 Februari 2012 35 ibid 34
Universitas Sumatera Utara
21
suami atau istri, pejabat yang berwenang atau pejabat pengadilan. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal 73, menyebutkan: para keluarga dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah dari suami atau istri, pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan menurut undang – undang, para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang – undangan. Mereka yang disebutkan dalam peraturan tersebut dapat mengajukan pembatalan perkawian, baik oleh dirinya sendiri atau menguasakan kepada kuasa hukumnya, dengan datang ke pengadilan yang mewilayahinya.36 Dalam pasal 26 ayat (2) Undang – undang Nomor 1 tahun 1974, hak untuk membatalkan oleh suami atau istri gugur, apabila mereka sudah hidup bersama sebagai suami-istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Begitu juga dalam hal adanya ancaman, setelah pasangan tersebut hidup bersama selama jangka waktu 6 (enam) bulan tidak menggunakan haknya dan ancamannya telah berhenti, maka tidak dapat lagi diajukan pembatalan (Pasal 27 ayat (3) Undangundang Nomor 1 tahun 1974). Pembatalan suatu perkawinan berlaku setelah ada keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, (pasal 28 ayat (1) Undang – undang Nomor 1 tahun 1974). Cara membatalkan perkawinan yaitu : a. Mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim (UU No.7/1989 pasal 73) b. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua Pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus. 36
Abdul Kadir, Pembatalan Perkawinan, http://hukum.kompasiana.com/2011/04/28/pembatalan-perkawinan/, diakses tanggal 29 Februari 2012.
Universitas Sumatera Utara
22
c. Sebagai Pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai Termohon harus datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan 28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125) d. Pemohon dan Termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut. e. Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. f. Pemohon dan Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan g. Setelah menerima akta pembatalan, sebagai Pemohon segera meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).37 Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan sendiri (misalnya karena suami memalsukan identitasnya atau karena perkawinan terjadi karena adanya ancaman atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan anda masih hidup bersama sebagai suami istri, maka untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974). Tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini dirasakan meningkat, sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang sedang terjadi di segala bidang yang membawa akibat yang sangat jauh khususnya dalam modernisasi strata sosial . adapun salah satu bagian yang paling menonjol dalam 37
YLBH APIK Jakarta, http://www.lbh-apik.or.id/fac-no.27.htm, loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
23
hubungan ini adalah bahwa masyarakat Indonesia pada saat ini merasakan betapa penting dan perlunya seseorang memiliki bukti tertentu dalam membuktikan status seseorang atas kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa salah satunya yakni perkawinan. Penyelesaian sengketa pernikahan, adalah usaha-usaha dari Petugas Pencatat Nikah (PPN) sebagai Pegawai Kantor Urusan Agama untuk bertanggungjawab dan mencari jalan keluar agar pihak-pihak yang bersengketa dapat mengambil jalan islah (perdamaian) agar pernikahan dapat dilaksanakan tanpa merugikan pihak manapun. Pencatatan Pernikahan adalah ihwal pencatatan yang meliputi pemeriksaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam. Tindak pidana pemalsuan surat dalam KUHP diatur dalam buku II Bab XII, (Pasal 263 sampai dengan pasal 275). Ketentuan pasal 263 KUHP menyatakan : (1)Barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu dapat mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun. (2)Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu dapat mendatangkan kerugian. Ketentuan pasal 264 KUHP menyatakan :
Universitas Sumatera Utara
24
(1)Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap : a. Akta-akta otentik b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu Negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; c. Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; d. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam b dan c, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; e. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan; (2)Dipidana dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak asli atau dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Ketentuan Pasal 266 KUHP yang menyatakan : (1)Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. (2)Di pidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja mempergunakan akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian. 2.
Kerangka Konsepsi “Kerangka konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori,
peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau
Universitas Sumatera Utara
25
memperkuat
keyakinannya
akan
konsepnya
sendiri
mengenai
sesuatu
permasalahan.” 38 “Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitai hukum.”39 Guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, dan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini, yang dimaksud dengan : “Akta otentik adalah suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis di dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya,tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna, dala arti ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan sutau alat bukti yang mengikat dan sempurna.”40 “Keterangan palsu adalah keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran tersebut oleh pelaku harus dibuat untuk dicantumkan dalam suatu akta otentik oleh pejabat yang memang berwenang untuk membuat akta otentik tersebut”.41 “Tindak pidana pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek)
38
M. Solly Lubis, loc. Cit. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatau Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal. 7. 40 R. Subekti (I), Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, Hal 27. 41 P. A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus (Kejahatan-Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum Terhadap Surat-Surat, Alat-Alat Pembayaran, Alat-Alat Bukti dan Peradilan), Mandar Maju, Bandung, 1991, Hal 83. 39
Universitas Sumatera Utara
26
yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan sebenarnya”.42 G. Metode Penelitian 1.
Spesifikasi Penelitian Penelitian ini adalah “usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang
dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis dan sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.” 43 Penelitian mengenai “Tinjauan Yuridis Pembatalan Akta Nikah Yang Dibuat Dengan Menggunakan dokumen Palsu” bersifat deskriptif analisis, maksudnya: “untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data, baik primer maupun sekunder langsung diolah dan dianalisis dengan tujuan untuk memperjelas data tersebut secara kategoris, penyusunan dengan sistematis dan selanjutnya dibahas dan dikaji secara logis.” 44 Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normative (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal
42
Adamichazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, Hal 2-3 Soegeng Santosa, Dodi radjasa Waluyo, dkk, Kongres Luar Biasa Up-Grading Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia (27-29 Januari 2005), Grafindo Media Pratama, Bandung, 2005, Hal. 3. 44 Joko. P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, Hal. 2. 43
Universitas Sumatera Utara
27
ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru ( suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis). 2.
Sumber Data Penelitian yang dilakukan dengan cara pengumpulan data dengan melakukan
penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 1. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari : a. Norma dasar atau kaidah dasar yaitu pembukaan UUD 1945; b. Peraturan dasar :mencakup diantaranya Batang Tubuh UUD 1945 dan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Peraturan perundang-undangan; d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat; e. Yurisprudensi f. Traktat g. Bahan hukum dari masa penjajahan yang hingga kini masih berlaku. 45 2. Bahan Hukum Sekunder Yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah.” 46 3. Bahan Hukum Tertier Yaitu “bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya.” 47
45 Muliyadi Nur, Tipologi Penelitian Hukum, http://muliadinur.wordpress.com/2008/07/16/tipologipenelitian-hukum/, diakses tanggal 29 Februari 2012. 46 Peter Mahmud Marzuki , Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, hal. 141.
Universitas Sumatera Utara
28
3.
Pengumpulan Data Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga
apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pegumpulan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara. 1. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, baham hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. “ Langkah-langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud di mulai dari studi dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.“48 2. Wawancara dengan informan yang berhubungan dengan materi penelitian ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini digunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (dept interview) secara langsung yaitu kepada : a. Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) b. Hakim Pengadilan Agama (PA) 47 Mirandarule, Metode Penelitian Hukum Normatif, http://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/, diakses tanggal 29 Februari 2012. 48 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 13-14.
Universitas Sumatera Utara
29
4.
Analisis Data Analisa data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, memanfaatkan data
yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data ini dikenal adanya metode kualitatif . “Penggunaan analisis kualitatif sangat tepat apabila dipergunakan dalam penelitian yang bersifat eksploratoris. Analisis kualitatif juga dipergunakan dalam penelitian hukum normatif, namun untuk penelitian hukum
empiris/sosiologis
analisis kualitatf dapat dipergunakan bersama-sama dengan analisis kuantitatif.”49
49
Bambang Waluyo, S.H. , Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991,
Hal. 78.
Universitas Sumatera Utara