BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Gingiva merupakan bagian mukosa oral yang menutupi prosesus alveolaris dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan gingiva interdental. Secara histologis gingiva tersusun atas jaringan ikat dan epitelium stratifikatum skuamosum (Chandra, 2007). Berbagai tindakan pada kedokteran gigi tidak jarang menimbulkan luka pada gingiva. Luka didefinisikan sebagai terputusnya keutuhan jaringan yang disebabkan secara fisik maupun mekanik. Setiap jenis luka menimbulkan inflamasi yang merupakan reaksi tubuh terhadap cidera dan sebagai bagian dari proses penyembuhan luka (Tambayong, 2000). Proses dasar biokimia dan seluler yang sama terjadi dalam penyembuhan semua jaringan lunak. Penyembuhan luka adalah proses dinamis yang mencakup inflamasi, angiogenesis, fibroplasia, epitelisasi, kontraksi luka dan remodelling. Proses yang komplek ini dibagi menjadi tiga fase penyembuhan yang saling tumpang tindih (overlapping) yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi (Kumar dkk., 2005; Morison, 2003). Penyembuhan luka pada mukosa oral melalui tahapan yang sama dengan penyembuhan luka pada kulit, namun pada mukosa oral penyembuhan luka lebih cepat dan jaringan parut yang terbentuk relatif minimal. Proses inflamasi dengan infiltrasi sel neutrofil, makrofag, dan limfosit T yang lebih rendah dibandingkan 1
2
dengan luka pada kulit dengan ukuran yang sama, menyebabkan proliferasi dan migrasi sel lebih cepat pada mukosa oral (Turabelidze dan DiPietro, 2012). Pada awal fase inflamasi, 6-8 jam pertama setelah terjadi luka, sel yang dominan adalah sel neutrofil. Migrasi sel neutrofil menuju daerah luka salah satunya dimediasi oleh chemoattractant yang diproduksi platelet. Sel neutrofil berfungsi untuk membersihkan luka dari debris dan mikroorganisme dengan cara fagositosis. Jumlah sel neutrofil paling banyak pada 24-48 jam setelah luka, dan mulai berkurang pada jam ke-72. Sel makrofag selanjutnya akan meneruskan pembersihan luka dan sekaligus memproduksi growth factor selama 3-4 hari setelah terjadi luka (Merchadetti dan Cohen, 2013). Respon inflamasi berfungsi untuk membuang sel yang rusak, melawan mikroorganisme penginvasi seperti bakteri, virus atau jamur, dan memulai proses reparasi jaringan luka. Tanda utama inflamasi yaitu kemerahan, pembengkakan, panas, nyeri dan hilangnya fungsi. Respon inflamasi yang berlebihan dapat menyebabkan pembengkakan kronis dan nyeri, jika dibiarkan berlangsung terus menerus dapat menyebabkan kerusakan progresif pada jaringan (Vitahealth, 2007; Kee dan Hayes, 1996). Masyarakat dan budaya saat ini cenderung kembali pada penggunaan tumbuhan-tumbuhan untuk tujuan pengobatan karena secara umum dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern. Obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit daripada obat modern apabila digunakan secara tepat, yang meliputi kebenaran bahan, ketepatan dosis, ketepatan waktu penggunaan,
3
ketepatan cara penggunaan, ketepatan telaah informasi, dan tanpa penyalahgunaan obat tradisional itu sendiri (Sari, 2006; Malahayati, 2010). Indonesia merupakan suatu negara yang beriklim tropis dan salah satu tanaman yang dapat tumbuh pada iklim tropis yaitu pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.). Pandan wangi banyak ditanam di halaman, di kebun-kebun, atau tumbuh liar di tepi sungai, tepi rawa dan di tempat-tempat yang agak lembab (Dalimartha 2005). Kandungan kimia pada pandan wangi diantaranya alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, polifenol dan zat warna (Hariana, 2008). Daun pandan wangi biasa digunakan sebagai perasa makanan dan obat tradisional di negara Filipina, Thailand dan Indonesia (Nanato, 2008). Flavonoid merupakan salah satu kandungan dari pandan wangi, pada percobaan in vitro menunjukkan bahwa flavonoid memiliki sifat antiinflamasi, antialergi, antivirus dan antikarsinogen (Nijveldt dkk., 2001). Beberapa mekanisme flavonoid sebagai antiinflamasi, diantaranya melalui regulasi aktivitas seluler dari sel inflamatori, modulasi aktivitas enzim metabolisme asam arakidonat, modulasi produksi molekul proinflamatori dan modulasi eksprsi gen proinflamatori (Lafuente dkk., 2009). Pada penelitian ini akan digunakan gel ekstrak daun pandan wangi dengan konsentrasi 70%. Yasinta (2013) telah melakukan percobaan tentang potensi ekstrak daun pandan wangi terhadap ketebalan epitel gingiva pasca pencabutan gigi tikus Wistar menggunakan ekstrak daun pandan wangi dengan konsentrasi 40% tetapi hasil penelitian menunjukkan perbandingan yang tidak signifikan antara ketebalan epitel pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.
4
Dumaoal dkk. (2010) pada penelitiannya, menguji efek ekstrak pandan wangi dengan konsentrasi 5% 10%, 20%, dan 40% dalam menghambat pertumbuhan beberapa bakteri, pada hasil penelitian disebutkan bahwa aktifitas in vitro pandan wangi dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus baru tampak pada konsentrasi ekstrak 40%. Penggunaan konsentrasi 70% pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan efek yang lebih signifikan dibandingkan konsentrasi 40%. Penelitian dilakukan pada hewan coba (tikus Wistar) karena bahan uji (obat) yang akan dimanfaatkan pada manusia harus melalui uji in vitro dan dilanjutkan uji in vivo untuk mengetahui kelayakan dan keamanannya. Penggunaan hewan coba dalam penelitian dapat menunjukkan respon biologis tubuh yang lebih relevan dan komprehensif dibandingkan uji in vitro. Hewan coba diperlukan untuk mengamati dan mengkaji seluruh reaksi dan interaksi bahan uji yang diberikan, serta dampak yang dihasilkan. Kelayakan penggunaan hewan percobaan pada penelitian harus dikaji dengan membandingkan risiko yang dialami hewan percobaan dengan manfaat yang akan diperoleh untuk manusia (Anderson, 2001).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, timbul suatu permasalahan: Bagaimana pengaruh aplikasi topikal gel pandan wangi terhadap jumlah sel makrofag dan sel neutrofil pada proses penyembuhan luka gingiva tikus Wistar.
5
C. Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu tentang daun pandan wangi, salah satunya adalah mengenai potensi ekstrak daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) terhadap ketebalan epitel gingiva pasca pencabutan gigi tikus Wistar oleh Yasinta (2013). Penelitian tersebut menggunakan ekstrak daun pandan wangi dengan konsentrasi 40% dan hasilnya menunjukkan ketebalan epitel pada kelompok perlakuan lebih tebal dibandingkan kelompok kontrol tetapi tidak signifikan. Sejauh peneliti ketahui, penelitian tentang pengaruh aplikasi topikal ekstrak daun pandan wangi terhadap jumlah sel makrofag dan sel neutrofil belum pernah dilakukan.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi topikal gel ekstrak daun pandan wangi terhadap jumlah sel makrofag dan sel neutrofil pada penyembuhan luka gingiva tikus Wistar.
E. Manfaat Penelitian 1.
Dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai pengaruh gel ekstrak daun pandan wangi dalam proses penyembuhan luka gingiva.
2.
Menggali potensi tanaman pandan wangi sebagai bahan obat alternatif dalam proses penyembuhan luka gingiva.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan dalam bidang Kedokteran Gigi sebagai obat alternatif pada luka gingiva.