1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemampuan merawat diri merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia (Ramawati, 2011). Kemampuan merawat diri adalah suatu kebutuhan yang ditujukan pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat universal, yaitu meliputi pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari – hari (Hidayat, 2004). Aktifitasnya meliputi: kemampuan makan, mandi, kebersihan diri, berpakaian, dan toileting (Istanti, 2006). Kemampuan merawat dan mengurus diri sendiri pada anak normal tidak mengalami banyak masalah (Hidayat, 2004). Kemampuan sensorik dan motorik yang baik adalah modal untuk beraktifitas pada anak normal dan mereka dapat menguasainya hanya melalui pengamatan atau diajarkan oleh orangtua, sedangkan bagi anak berkebutuhan khusus terutama anak retardasi mental sedang kemampuan merawat diri mereka sangat terbatas (Finaros, 2012). Anak retardasi mental sedang merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata yakni IQ berkisar antara 35-50 (Tomb, 2003). Anak retardasi mental sedang memiliki banyak keterbatasan salah satunya adalah keterbatasan dalam hal kemampuan merawat diri sendiri (Maramis,2004). Keterbatasan yang dimiliki anak retardasi mental dapat membuat anak sulit untuk dapat hidup di dunia sosial karena ketidakmampuan berdaptasi terhadap tuntutan lingkungan maupun tuntutan dalam pemenuhan kebutuhan
2
perawatan diri sendiri. Anak akan selalu bergantung pada orang lain dalam segala hal. Ketidakmampuan anak dalam melakukan aktifitas perawatan diri tersebut menyebabkan rendahnya aktifitas dan partisipasi pada anak yang berpengaruh terhadap kualitas hidup dan kesejahteraan anak retardasi mental serta keluarga yang mencemaskan mengenai masa depan anaknya esok (Elbasan, Duzgun, & Oskay, 2013). Berdasarkan data terbaru Riskesdas (2013) menyebutkan jumlah penduduk Indonesia yang mengalami disabilitas sebesar 8,3 persen dari total populasi. Dari jumlah tersebut, 6,2% diantaranya adalah anak usia 15-24 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Populasi anak retardasi mental menempati angka paling besar dibanding jumlah anak dengan keterbatasan lainnya. Prevalensi tunagrahita atau retardasi mental di Indonesia saat ini diperkirakan, sekitar 6,6 juta jiwa (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2010). Prevalensi yang cukup tinggi serta permasalahan yang timbul akibat ketidakmampuan mereka dalam melakukan aktifitas perawatan diri menunjukan bahwa anak retardasi mental merupakan bagian dari komunitas yang perlu untuk diberikan perhatian lebih (Finaros, 2012). Dari hasil penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa anak retardasi mental merupakan anak dengan keterbatasan intelektual dan perilaku adaptifnya dimana keterbatasan intelektual ini mempengaruhi kemampuan perilaku sehari – hari. Intervensi khusus diperlukan untuk mampu mengembangkan potensi anak retardasi mental, seperti dimulai dengan memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu merawat diri sendiri (Ramawati, 2011). Pemahaman dan pengenalan secara komprehensif sangat diperlukan untuk mengembangkan kemampuan anak
3
retardasi mental dalam melakukan keterampilan perawatan diri secara mandiri baik dari dalam diri anak sendiri maupun keluarga dan lingkungan sekitar atau sekolah (Adriana, 2011). Anak retardasi mental sedang masih bisa dilatih melakukan perawatan diri sendiri, meliputi personal hygiene, berpakaian atau berdandan, makan dan minum serta toileting. Untuk melatih anak retardasi mental sedang pada Sekolah Luar Biasa (SLB) saat ini terdapat program pendidikan anak yang mengajarkan materi terkait kemampuan merawat diri, yang menjadi bagian dari mata pelajaran Bina Diri (Finaros, 2012). Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Sekolah Luar Biasa 1 Yogyakarta dan Sekolah Luar Biasa 2 Yogyakarta, diperoleh keterangan dari guru – guru di kedua sekolah tersebut bahwa anak – anak didik mereka ada yang sudah mampu melakukan perawatan diri, namun mayoritas dari mereka masih membutuhkan bantuan karena keterbatasan kemampuannya. Kendala yang dihadapi saat ini Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Bina Diri belum ditetapkan atau belum disusun oleh Departemen Pendidiikan Nasional. Hal ini berdampak pada tidak terciptanya pelaksanaan pendidikan merawat diri yang merata di Indonesia. Program bina diri dilaksanakan berdasarkan hasil pengkajian kebutuhan anak, sehingga diperlukan kreatifitas para guru untuk mengembangkan program yang dapat diadaptasikan bagi anak. Peer play therapy di sekolah tersebut belum pernah dilaksanakan (Data primer, 2014). Proses belajar dengan menggunakan metode peer play therapy diharapkan mampu meningkatkan kemampuan perawatan diri anak. Menurut Prendeville, Patricia, & Gregory (2006) menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan pada anak retardasi
4
mental, dapat menunjang pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang memungkinkan anak mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin. Perawat dalam pengabdiannya kepada masyarakat memiliki kewajiban untuk mendukung pengembangan dan peningkatan kualitas anak retardasi mental (Sholikhah, 2011). Dari latar belakang di atas maka peneliti melakukan penelitian mengenai alternatif intervensi yaitu peer play therapy atau terapi bermain dengan teman sebaya, yang diharapkan lebih mampu untuk meningkatkan kemampuan perawatan diri anak retardasi mental di Sekolah Luar Biasa 1 Yogyakarta dan Sekolah Luar Biasa 2 Yogyakarta. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh kesenangan. Kegiatan bermain mencerminkan kemampuan fisik, intelektual, dan sosial anak. Salah satu fungsi bermain adalah sebagai terapi. Aktivitas bermain mengandung motivasi instrinsik, memberi kesenangan, dan kepuasan bagi anak – anak yang terlibat. Bermain dapat membantu klien anak mencegah atau menyelesaikan kesulitan – kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri (Sholikhah, 2011). Menurut Wong (1996) selain sebagai terapi, bermain juga berfungsi untuk perkembangan sensorimotorik, intelektual, moral dan sosial, kreativitas, dan konsep diri. Dalam perkembangan sensorimotorik, bermain dapat meningkatkan ketrampilan
motorik
kasar
dan
halus,
koordinasi
serta
meningkatkan
5
perkembangan rasa. Aktivitas bermain dapat meningkatkan peluang untuk mempraktikkan dan mengembangkan ketrampilan bahasa, ketrampilan sosial, meningkatkan interaksi dan sifat positif kepada yang lainnya, memfasilitasi perkembangan identitas diri, dan sebagainya. Wong, et al., (2009) menambahkan tahap perkembangan anak merupakan fase laten yang membutuhkan teman sebaya dalam berhubungan sosial. Pada awal kehidupan, bermain adalah konteks utama bagi pengembangan hubungan positif dengan teman sebaya. Melalui bermain, anak – anak mengembangkan keterampilan sosial, emosi, kognitif, dan bahasa yang berkontribusi terhadap kemampuan untuk membangun dan mempertahankan interaksi peer efektif. Tingkat penguasaan anak pada tantangan perkembangan mempengaruhi kemampuan akademik dan sosial. Ini berhubungan dengan kompetensi membangun hubungan yang efektif dengan teman sebaya selama masa usia dini (Bredecamp & Copple, 2009). Pada anak retardasi mental, persahabatan dapat mendukung aktivitas sekolah dan masyarakat, meningkatkan kesenangan, meningkatkan kesejahteraan, membantu anak untuk mempelajari norma dan nilai yang penting, dan berkontribusi untuk meningkatkan keluaran pada tahun pertama setelah keluar dari sekolah (Carter, Asmus, & Moss, 2013). Terapi bermain dengan sebaya atau peer play therapy bagi anak retardasi mental adalah salah satu usaha yang membantu anak retardasi mental agar aspek fisik, intelektual, emosi, dan sosialnya dapat berkembang secara optimal (Martini, 1995).
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana pengaruh peer play therapy terhadap kemampuan perawatan diri anak retardasi mental di Sekolah Luar Biasa 1 Yogyakarta dan Sekolah Luar Biasa 2 Yogyakarta?” C. Rumusan Masalah 1.
Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh peer play therapy terhadap kemampuan perawatan diri anak retardasi mental.
2.
Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah mengetahui gambaran kemampuan perawatan diri anak retardasi mental di SLB 1 Yogyakarta dan SLB 2 Yogyakarta sebelum dan sesudah dilakukan penelitian. D. Manfaat Penelitian
1.
Aspek Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh peer play therapy terhadap kemampuan perawatan diri anak retardasi mental Sekolah Luar Biasa 1
7
Yogyakarta dan Sekolah Luar Biasa 2 Yogyakarta. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber bagi penelitian selanjutnya, serta menambah kajian tentang perawatan pada klien yang mengalami retardasi mental agar menjadi lebih mandiri dan dapat mencapai derajad kesehatan yang optimal. 2.
Manfaat Praktis a. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat bahwa peer play therapy dapat meningkatkan kemampuan perawatan diri anak retardasi mental. b. Bagi Lembaga Pendidikan Sekolah Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan informasi dan evaluasi bagi Sekolah Luar Biasa 1 Yogyakarta dan Sekolah Luar Biasa 2 Yogyakarta dalam mengoptimalkan kemampuan perawatan diri anak asuh sehingga taraf kehidupannya menjadi lebih baik. c. Bagi Profesi Keperawatan Memberikan gambaran dalam menentukan penanganan dan peningkatan kemampuan perawatan diri anak retardasi mental. d. Bagi Peneliti Selanjutnya
8
Sebagai dasar acuan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terkait anak dengan retardasi mental. e. Bagi Peneliti Peneliti mendapatkan pengalaman untuk melakukan penelitian dan menambah wawasan ilmu pengetahuan kemampuan perawatan diri anak retardasi mental di SLB 1 Yogyakarta dan SLB 2 Yogyakarta E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan dan literatur yang ditelaah, penelitian tentang pengaruh peer play therapy terhadap kemampuan perawatan diri pada anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta belum pernah dilakukan. Penelitian yang berhubungan dengan peer play, play therapy, kemampuan perawatan diri pada anak retardasi mental yang pernah dilakukan antara lain: 1. Solikhah, (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh therapeutic peer play terhadap kecemasan dan kemandirian anak usia sekolah selama hospitalisasi di rumah sakit wilayah Banyumas”. Persamaan dengan penelitian ini adalah diberikannya intervensi terapi bermain pada kelompok intervensi. Sedangkan perbedaannya adalah variabel penelitian, metode penelitian, subjek penelitian, dan tempat penelitian. Variabel penelitian yang akan diteliti adalah kemampuan
9
perawatan diri, sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah quasy experiment dengan non equivalent control group pre – test dan post – test design pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Subjek penelitian adalah anak retardasi mental di SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta. Kelompok intervensi diberikan perlakuan peer play therapy. 2. Tanta, et al. (2005) melakukan penelitian yang berjudul “The Effects of Peer-Play Level on Initiations and Responses of Preschool Children With Delayed Play Skills”. Persamaan dengan penelitian ini adalah diberikannya intervensi terapi kelompok Sedangkan perbedaannya adalah variabel penelitian, metode penelitian, pemberian intervensi, subjek penelitian, dan tempat penelitian. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Istanti (2006), dengan judul Kemampuan Perawatan Diri Anak Retardasi Mental di SLB C Wiyata Dharma II Yogyakarta. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variable penelitian, yaitu kemampuan perawatan diri anak retardasi mental dan instrument yang digunakan juga berdasarkan skala Vineland. Sedangkan perbedaannya adalah variabel penelitian, metode penelitian, pemberian intervensi, subjek penelitian, dan tempat penelitian.