BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendengaran sebagai salah satu indera, memegang peranan yang sangat penting karena perkembangan bicara sebagai komponen utama komunikasi pada manusia sangat tergantung pada fungsi pendengaran. Gangguan pendengaran merupakan defisit sensorik yang paling sering pada populasi manusia, mempengaruhi lebih dari 250 juta orang di dunia. Di dunia, menurut perkiraan WHO pada tahun 2005 terdapat 278 juta orang menderita gangguan pendengaran, 75 - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Dari hasil WHO Multi Center Study pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4 (empat) negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3 (tiga) lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%) (WHO, 2006). Tuli kongenital merupakan masalah yang cukup serius dalam dunia kedokteran khususnya yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pada anak. diperkirakan terjadi pada 1/1000 bayi baru lahir (Wrightson, 2007). Prevalensi tuli kongenital di Amerika 1/1000 atau sekitar 0,1%. Prevalensi bayi sehat yang mengalami gangguan pendengaran dengan berbagai derajat mencapai 3:1000 dan prevalensi bayi dengan faktor risiko yang mengalami gangguan pendengaran mencapai 6:1000 (Gregg et al.,2004).
Anak dengan gangguan
pendengaran tidak memiliki kemampuan untuk mendengar suara pada spektrum 250 Hz – 4 KHz.
Gangguan pendengaran ini menyebabkan keterlambatan
perkembangan bicara dan bahasa (Gregg et al.,2004; Yoshinaga et al.,1998;
1
2
Moeller,2000). Berdasarkan penyebabnya tuli pada anak dibagi dua yaitu sindromik(10%-15%) dan non sindromik (60%). Berdasarkan jenis ketulian ada 4 tipe tuli yaitu konduktif, sensorineural, campuran dan sentral (Yoshinaga et al., 1998). Insidensi gangguan pendengaran sensorineural (SNHL) yang berat sampai sangat berat pada anak secara global sekitar 1: 2000 pada bayi baru lahir dan 6 : 1000 usia 18 tahun (Billing et al., 1999). Walaupun jumlah ini mengindikasikan kejadian SNHL namun hal ini masih tidak ditanggapi dengan baik dan tidak mengarah
curiga
dalam
mendiagnosisnya.
Sebagai
contoh,
kehilangan
pendengaran berat dan sangat berat secara unilateral kadang tidak diketahui sampai masa waktunya anak sekolah TK, anak terdiagnosis setelah menjalani pemeriksaan audiometri. Registrasi pada anak dengan faktor risiko yang tinggi dirancang
untuk membantu menentukan skrining pendengaran awal. Hasil
pemeriksaan anak yang menderita SNHL
hanya didapatkan pada 50% dari
kelompok bayi yang memiliki faktor risiko tinggi dan 50% anak lainnya tidak memiliki risiko ini, sehingga kelompok faktor risiko tinggi ini tidak mengapresiasi terjadinya SNHL. Banyak negara-negara yang tidak mempunyai undang-undang melakukan skrining pada anak dan tidak menghiraukan faktor risiko sehingga banyak anak tidak terdeteksi (Billings et al., 1999). Faktor risiko terjadinya SNHL pada masa neonatal berdasarkan Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) adalah : Lahir prematur (Umur kehamilan <34 minggu); Berat badan lahir rendah (BBLR, berat badan <1500gram); Adanya riwayat keluarga; Infeksi Toxoplasmosis, Rubella dan Cytomegalovirus dan
3
Herpes (TORCH); Adanya kerusakan pada saraf; hiperbilirubinemia; anomali kraniofasial; sindrom yang berhubungan dengan kerusakan pendengaran dan asfiksia berat pada saat lahir (APGAR < 7 pada 5 menit) (JCIH, 2000). Faktor risiko yang lain adalah pemakaian obat-obatan pada masa kehamilan, Tekanan paru yang tinggi dan menetap (Meyer et al., 1999), Perdarahan intra ventrikular (Kountakis et al., 1997), C-reactive protein (CRP) yang tinggi (≥10 mg/dl) tetapi tidak terlalu berpengaruh (Yoshikawa et al., 2004). Berdasarkan data rekam medis di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2014, sebanyak 22 pasien rawat jalan untuk usia 2-5 tahun, 28 pasien rawat jalan untuk usia 0-2 tahun, dan 15 pasien rawat inap untuk usia 0-2 tahun yang didiagnosis sebagai Gangguan Pendengaran sensorineural (ICD 10 adalah kode H90.5). Terdapat 182 pasien rawat jalan untuk usia 2-5 tahun, 108 pasien rawat jalan untuk usia 0-2 tahun, dan 3 pasien rawat inap untuk usia 0-2 tahun yang didiagnosis sebagai Gangguan Pendengaran, tidak ditentukan (ICD 10 kode adalah H91.9). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dan fakta-fakta tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Angka kejadian SNHL pada anak termasuk tinggi. 2. Faktor risiko yang terjadi pada neonatal dapat mempengaruhi angka kejadian SNHL pada anak. 3. SNHL pada anak mempunyai dampak keterlambatan bicara dan gangguan berkomunikasi.
4
4. Berdasarkan Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) terdapat beberapa faktor risiko kejadian SNHL pada anak. 5. SNHL pada anak perlu diketahui letak lesi nya; sensori (koklea), neural (retrokoklea); dan besaran peranan faktor risiko pada tipe lesi; sehingga dapat untuk tatalaksana selanjutnya C. Pertanyaan penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat diajukan pertanyaan penelitian faktor risiko apakah yang paling berperan secara signifikan pada kejadian gangguan pendengaran sensorineural pada anak? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui faktor risiko paling berperan secara signifikan pada kejadian gangguan pendengaran sensorineural pada anak. E. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data besaran peranan faktor resiko pada kejadian gangguan pendengaran sensorineural pada anak. 2. Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan pengembangan penelitian selanjutnya baik faktor risiko lainnya, diagnosis, terapi maupun prognosis dari gangguan pendengaran sensorineural (SNHL) pada anak. F. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai faktor-faktor risiko terhadap kejadian gangguan pendengaran sensorineural sudah banyak dilakukan di negara-negara lain termasuk di Indonesia, tetapi penelitian mengenai faktor risiko mana yang paling
5
berperan secara signifikan dan bermakna
terhadap kejadian
gangguan
pendengaran sensorineural pada anak belum banyak dilakukan, dalam hal ini di RSUP Dr. Sardjito. Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan di negaranegara lain tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Penelitian-penelitian SNHL Peneliti (thn )
Rancangan Penelitian
Tujuan
Bielecki et al., (2011)
Cross sectional
Misono et al., (2011)
Kasus kontrol
Christine et al., (2009)
Kohort prospektif
Mengetahui faktor risiko terjadinya 5.282 neonatus yang terbagi dua Pengobatan ototoksik merupakan faktor gangguan pendengaran pada grup yaitu 2.986 dengan faktor risiko paling tinggi (33,13%), selanjutnya risiko, 2.296 tanpa faktor risiko. kelahiran prematur (16.21%), berat badan neonatus lahir rendah (12,04%); perawatan intensif lebih dari 7 hari (10,64%). Mengetahui kekuatan hubungan Anak-anak berusia lebih dari 4 1,4% dari kontrol dan 9,9% dari kasus yang mengalami (rasio odds: 10,5, 95% confidence interval, infeksi cytomegalovirus dengan tahun 2,6-92,4) positif terinfeksi cytomegalovirus. kejadian penurunan pendengaran penurunan pendengaran. pada anak Skrining Hearing loss pada bayi Semua bayi baru lahir beresiko Dari 1461 bayi yang diskrining, 66 sampel dengan faktor resiko menggunakan gangguan pendengaran. (4,55%) HL, 10% loss to follow up. OAE dan BERA
Chalkiadakis al., (2002)
et Kohort prospektif
Billings et al., (1999)
Retrospektif
Menentukan prevalensi gangguan pendengaran diantara neonatus risiko tinggi dan identifikasi faktor risiko yang terlibat Untuk mencari penyebab umum dari SNHL
Sampel
Hasil Penelitian
173 neonatus yang dirawat di Dari faktor risiko hanya infeksi TORCH NICU dengan 1 atau lebih faktor yang berhubungan dengan gangguan risiko gangguan pendengaran. pendengaran, baik ANSD maupun HL (p=0,004). 301 anak yang berusia antara Dari 301 anak, 68,1% disangka memiliki 1minggu sampai 18 tahun. penyebab SNHL, 18,9%, memiliki 1 atau lebih penyebab; 31,9% dan tanpa penyebab.
6