BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Jerawat atau yang biasa disebut dengan acne vulgaris adalah gangguan pada folikel rambut dan kelenjar sebasea (Harper & Fulton, 2007). Walaupun bukan merupakan penyakit serius yang mengakibatkan kematian, namun pengaruh psikologis (misalnya krisis kepercayaan diri, depresi, dan kegelisahan) akibat jerawat setara dengan pengaruh yang diakibatkan penyakit sistemik, seperti diabetes dan epilepsi (Mallon dkk., 1999; Dalgard dkk., 2008; Uhlenhake dkk., 2010). Jerawat terjadi akibat tersumbatnya folikel pilosebasea (saluran minyak) yang salah satu penyebabnya adalah infeksi bakteri Propionibacterium acne, Staphylococcus
epidermidis
dan
Staphylococcus
aureus
(Mitsui,
1997;
Wasitaatmadja, 1997). Pengobatan yang biasa dilakukan untuk kasus jerawat adalah antibiotik, baik oral maupun topikal. Penggunaan antibiotik dalam jangka panjang selain dapat menimbulkan resistensi mikroba juga dapat menimbulkan kerusakan organ dan imunohipersensitivitas (Wasitaatmadja, 1997). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh alternatif pengobatan jerawat menggunakan bahan atau senyawa yang lebih aman dan tidak menimbulkan resistensi. Pada saat ini bahan alam semakin marak digunakan dalam pengobatan karena bahan alam dinilai memiliki efek samping yang lebih rendah dibanding obat sintesis atau kimia, harganya lebih terjangkau, dan bahan bakunya mudah 1
2
diperoleh. Salah satu tanaman yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam pengobatan terutama sebagai agen antibakteri adalah seledri (Apium graveolens L.). Seledri terbukti memiliki aktivitas antibakteri. Berdasarkan penelitian Khaerati & Ihwan (2011), ekstrak etanolik seledri memiliki aktivitas bakteriostatik terhadap E. coli dan S. aureus. Berdasarkan penelitian Setyowati (2015), ekstrak etanolik seledri dapat menghambat pertumbuhan bakteri P. acne. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ekstrak etanolik seledri juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab jerawat lainnya yaitu S. epidermidis dan S. aureus. Kedua bakteri tersebut menimbulkan infeksi sekunder pada jerawat, infeksi bertambah parah jika jerawat sudah bernanah (Mitsui, 1997). Dengan diketahuinya aktivitas ekstrak etanolik seledri terhadap bakteri penyebab jerawat diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan jerawat yang lebih aman. Aktivitas suatu tanaman bahan alam (herbal) berhubungan dengan kandungan metabolit sekunder yang terdapat di dalamnya. Metabolit sekunder yang terkandung dalam seledri diantaranya terpenoid, flavonoid, saponin, dan kumarin (Nasri dkk., 2008; Chen dkk., 1998) dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri. Sintesis metabolit sekunder merupakan respon terhadap faktor eksternal dan bagian dari strategi adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal meliputi kondisi daerah tumbuh diantaranya ketinggian daerah tumbuh, curah hujan dan pH tanah, suhu dan kelembaban, serta intensitas cahaya matahari (Djajadiningrat, 1990; Mustafa dkk., 2012; Morison & Lawlor, 1999). Daerah tumbuh suatu
3
tanaman dapat mempengaruhi kualitas dan komposisi metabolit sekunder di dalamnya, sehingga daerah tumbuh juga mempengaruhi aktivitas dari metabolit sekunder yang dihasilkan, termasuk aktivitas antibakteri. Pada penelitian ini herba seledri yang digunakan berasal dari tiga daerah berbeda, yaitu Wonosobo, Tawangmangu, dan Sukabumi, untuk mengetahui ada/tidaknya pengaruh perbedaan daerah tumbuh seledri terhadap aktivitas antibakteri S. epidermidis dan S. aureus.
B. Rumusan Masalah 1. Apakah ekstrak etanolik seledri dari ketiga daerah mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. epidermidis ATCC 12228 dan S. aureus ATCC 25923? 2. Apakah ekstrak etanolik seledri dari ketiga daerah tumbuh berbeda mempunyai aktivitas antibakteri yang berbeda? 3. Berapakah Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanolik seledri terhadap bakteri S. epidermidis ATCC 12228 dan S. aureus ATCC 25923? 4. Golongan senyawa apakah yang terkandung dalam ekstrak etanolik seledri?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanolik seledri terhadap S. epidermidis ATCC 12228 dan S. aureus ATCC 25923. 2. Mengetahui ada/tidaknya perbedaan aktivitas antibakteri ekstrak etanolik seledri berdasarkan perbedaan daerah tumbuh.
4
3. Mengetahui Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanolik seledri terhadap bakteri S. epidermidis ATCC 12228 dan S. aureus ATCC 25923. 4. Mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanolik seledri.
D. Pentingnya Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aktivitas antibakteri dari ekstrak etanolik seledri terhadap S. epidermidis ATCC 12228 dan S. aureus ATCC 25923 serta ada/tidaknya perbedaan aktivitas antibakteri tersebut berdasarkan pengaruh daerah tumbuh. Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan daya guna dan mengoptimalkan potensi seledri sebagai alternatif pengobatan jerawat akibat bakteri S. epidermidis dan S. aureus yang lebih aman.
E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian Tanaman Seledri (Apium graveolens L.) a. Klasifikasi Tanaman Divisi
: Spermatophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Apiales
Famili
: Apiaceae
Genus
: Apium
5
Species
: Apium graveolens L. (Backer & Van den Brink, 1965)
b. Nama Daerah Apium graveolens L. memiliki beberapa nama daerah seperti seledri (Melayu), saladri (Sunda) (Anonim, 2001), selederi, seleri, daun sop, daun soh, sadri, dan sederi (Jawa) (Anonim, 2010a). c. Morfologi Tananaman Tanaman seledri merupakan herba dengan tinggi kurang lebih 50 cm, umur 1-2 tahun, batang tidak berkayu, beralur, beruas, bercabang, tegak, hijau pucat. Daun tipis majemuk, daun muda melebar atau meluas dari dasar, hijau mengkilat, segmen dengan hijau pucat, tangkai di semua atau kebanyakan daun merupakan sarung. Bunga tunggal dengan tangkai yang jelas, sisi kelopak yang tersembunyi, daun bunga putih kehijauan atau merah jambu pucat dengan ujung yang bengkok. Bunga betina majemuk yang jelas, tidak bertangkai atau bertangkai pendek, sering mempunyai daun berhadapan atau berbatasan dengan tirai bunga. Tirai bunga tidak bertangkai atau dengan tangkai bunga tidak lebih dari 2 cm panjangnya. Daun bunga putih kehijauan atau putih kekuningan1/2-3/4 mm panjangnya. Buah sekitar 1 mm panjangnya, batang angular, berlekuk, sangat aromatik, akar tebal (Backer & Van den Brink, 1965). d. Kandungan Kimia Seledri memiliki kandungan minyak atsiri, flavonoid (apigenin, apiin, isokuersetin) (Nasri dkk., 2008), saponin, kumarin, polisakarida, glikosida
6
jantung (Chen dkk., 1998), tanin 1%, sedanolida, asam sedanoat, manitol, kalsium, fosfor, besi, protein, glisidol, vitamin (A, B1, B2, C, dan K) Anonim (2010a). Ekstrak etanolik seledri mengandung tanin, flavonoid, steroid, triterpenoid, dan alkaloid. Sedangkan serbuk kering herba seledri juga mengandung saponin (Iswantini dkk., 2012). e. Khasiat Herba seledri berkhasiat sebagai obat tekanan darah tinggi, obat masuk angin dan penghilang rasa mual (Anonim, 2001). Selain itu berkhasiat sebagai peluruh haid (Anonim, 1985), obat sakit mata xeroptalmia dan terkilir (Mardisiswojo & Rajakmangunsudarso, 1985). f. Penelitian Terdahulu Ekstrak dietil eter dari seledri memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri K. pneumonia, M. smegmatis, M. luteus, S. aureus dan C. albicans
(Dostbil,
2007).
Minyak
atsiri seledri
memiliki
aktivitas
penghambatan yang kuat terhadap E. coli dan sedang terhadap P. aeruginosa dan S. aureus (Baananou dkk., 2013). Ekstrak etanolik seledri memiliki aktivitas bakteriostatik terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Khaerati & Ihwan, 2011).
2. Ekstraksi Ekstraksi adalah peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam
7
cairan penyari (Ditjen POM, 1986), sedangkan ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). Ekstraksi dipengaruhi oleh derajat kehalusan serbuk. Semakin keras simplisia maka semakin panjang tebal lapisan batas, sehingga konsentrasi zat aktif yang terlarut dan tertinggal dalam sel semakin banyak. Oleh karena simplisia perlu diserbuk sehalus mungkin dan dijaga jangan terlalu banyak sel yang pecah. Simplisia yang lunak mudah ditembus oleh cairan penyari sehingga tidak perlu diserbuk sampai halus. Perbedaan konsentrasi pada pusat butir serbuk simplisia hingga permukaannya (tebal lapisan batas) juga mempengaruhi penyarian. Semakin besar perbedaan konsentrasi maka semakin besar daya dorong untuk perpindahan massa, sehingga semakin cepat ekstraksinya. Cairan penyari harus dapat mencapai seluruh serbuk dan secara terus menerus mendesak larutan yang memiliki konsentrasi yang lebih tinggi keluar (Ditjen POM, 1986). Zat aktif yang terkandung dalam simplisia bermacam-macam. Struktur kimia yang berbeda mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap, pemanasan, logam berat, udara, cahaya, dan derajat keasamanan. Dengan mengetahui zat aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 1986), diantaranya sifat kepolaran, dimana dapat dilihat dari gugus polar
8
senyawa tersebut yaitu gugus OH dan COOH. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar sedangkan senyawa non polar lebih mudah larut dalam pelarut non polar (Ditjen POM, 1992). Ekstraksi selain memperhatikan sifat fisik simplisia dan sifat zat aktifnya, harus memperhatikan zat-zat yang sering terdapat dalam simplisia seperti protein, karbohidrat, lemak, dan gula. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga terjaga adanya perbedaan konsentrasi yang sekecilkecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Keuntungan ekstraksi dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan serta tidak digunakan panas sehingga tidak merusak kandungan senyawa dalam tanaman.. Kerugiannya adalah cara pengerjaannya lama dan menyari kurang sempurna. Oleh karena itu dilakukan remaserasi dimana ampas hasil maserasi pertama digunakan untuk maserasi ulang menggunakan cairan penyari baru dengan jenis dan volume yang sama. Pada penyari baru tersebut belum terjadi kejenuhan zat aktif dan
9
masih mempunyai gradien konsentrasi sehingga dapat meningkatkan zat aktif yang terlarut (Ditjen POM, 1986). 3. Jerawat Jerawat atau yang biasa disebut acne vulgaris adalah gangguan pada folikel rambut dan kelenjar sebasea, umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat pula dialami oleh dewasa. Bagian tubuh yang banyak ditumbuhi jerawat adalah bagian wajah, dada, dan punggung (Harper & Fulton, 2007). Jerawat terjadi akibat tersumbatnya folikel pilosebasea, sehingga menyebabkan sebum tidak dapat keluar dan menimbulkan peradangan. Peradangan ini menyebabkan komedo yang merupakan permulaan terjadinya jerawat (Wasitaatmadja, 1997). Faktor utama penyebab terjadinya jerawat adalah peningkatan produksi sebum, peluruhan keratinosit, pertumbuhan bakteri, dan inflamasi (Athikomkulchai dkk., 2008). Menurut Wasitaatmadja (1997), penyebab terjadinya jerawat adalah penyumbatan pada saluran minyak yang diakibatkan oleh: a. Perubahan jumlah dan konsistensi lemak kelenjar yang dipengaruhi oleh faktor hormonal, infeksi bakteri, makanan, penggunaan obat-obatan, dan psikososial. b. Tertutupnya saluran kelenjar sebasea oleh massa eksternal, seperti kosmetik, bahan kimia, debu, dan polusi. c. Saluran keluar kelenjar sebasea menyempit (hiperkeratosis) akibat radiasi sinar ultraviolet, sinar matahari, atau sinar radio aktif
10
Penanggulangan jerawat meliputi usaha pencegahan terjadinya jerawat (preventif) dan pengobatan jerawat yang terjadi. Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan penggalakan cara hidup teratur dan sehat, menjaga kebersihan kulit dari kelebihan minyak, jasad renik, kosmetik, debu, kotoran, dan polusi lainnya yang dapat menghambat folikel sebagai pemicu timbulnya jerawat (Wasitaatmadja, 1997), sedangkan usaha pengobatan jerawat dilakukan dengan penggunaan antibiotik topikal untuk mengobati jerawat ringan (mild) hingga sedang (moderate), antibiotik oral/sistemik untuk jerawat sedang (moderate) hingga parah (severe) atau jika manifestasi penyakit tersebut menyebabkan stres psikososial bagi pasien. Beberapa kelompok antibiotik yang biasa digunakan dalam pengobatan jerawat adalah sulfonamide, makrolida, tetrasiklin, dan dapson. Meskipun demikian, penggunaan antibiotik secara luas dan dalam jangka waktu lama menyebabkan resistensi terhadap P. acne dan Staphylococcus. Penggunaan antibiotik sering dikombinasi dengan retinoid, terapi hormonal, dan benzoyl peroxide (Tan & Tan, 2005; Eady, 1998; Leyden dkk., 2009). Pada wanita, pengobatan jerawat ringan hingga sedang dapat dikombinasikan dengan kontrasepsi oral (Arowojolu dkk., 2009).
4. Uraian Mikrobiologi a. Bakteri Bakteri merupakan organisme bersel tunggal yang hidup bebas tanpa klorofil dan memiliki baik DNA maupun RNA (Gupte, 1990). Menurut Jawetz dkk. (1991), siklus pertumbuhan bakteri terdiri atas 4 fase:
11
1) Fase Lag (penyesuaian diri) Fase lag mewakili periode dimana sel, mengalami kekurangan metabolit dan enzim sebagai hasil dari kondisi tidak menguntungkan yang dipertahankan sebelumnya, beradaptasi ke lingkungan baru. Enzim dan senyawa intermediate dibentuk dan berakumulasi hingga mencapai konsentrasi yang diperlukan untuk pertumbuhan dilanjutkan kembali. 2) Fase Log atau eksponensial (pembelahan) Fase dimana material sel baru disintesis dengan kecepatan konstan, tetapi material baru tersebut merupakan katalis, dan massa meningkat secara eksponensial. Hal ini berlanjut hingga nutrisi dalam media habis atau terjadi akumulasi metabolit toksik dan menghambat pertumbuhan. 3) Fase stasioner Kondisi kekurangan nutrisi atau akumulasi produk toksik mengakibatkan pertumbuhan terhenti. Dalam beberapa kasus, sel mengalami fase stasioner dimana jumah sel baru yang dibentuk seimbang dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah bakteri yang hidup tetap sama. 4) Fase penurunan/kematian Setelah periode waktu pada fase stasioner yang bervariasi pada tiap organisme dan kondisi kultur, kecepatan kematian meningkat sampai mencapai tingkat yang tetap. Setelah mayoritas sel mati, kecepatan kematian menurun hingga drastis, sehingga hanya sejumlah kecil sel yang hidup.
12
Bakteri termasuk dalam golongan prokariota, yang strukturnya lebih sederhana dari eukariota, kecuali bahwa struktur dinding sel prokariota lebih komplek dari eukariota (Assani, 1993). Berdasarkan struktur pembungkus sel dan dinding sel, bakteri dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif. Pembungkus sel bakteri Gram negatif merupakan struktur berlapis-lapis dan sangat kompleks, terdiri dari selaput sitoplasmik (dinamakan selaput dalam pada Gram negatif) dikelilingi oleh lapisan datar tunggal dari peptidoglikan, lipoprotein selaput luar, dan polisakarida yang tersusun dari lipid, lemak, dan substansi lipid dalam jumlah yang besar sehingga dinding sel bakteri ini bersifat non polar. Pembungkus sel pada bakteri Gram positif relatif lebih sederhana, hanya terdiri dari 3 lapisan, yaitu selaput sitoplasmik, lapisan peptidoglikan yang tebal, dan lapisan luar bervariasi yang dinamakan simpai. Dinding sel pada bakteri Gram positif terutama terdiri atas peptidoglikan dan asam teikhoat. Asam teikhoat merupakan polimer yang larut dalam air, berfungsi sebagai transport ion positif untuk keluar atau masuk. Sifat larut air inilah yang menunjukkan bahwa dinding sel bakteri Gram positif bersifat lebih polar. Senyawa polar akan lebih mudah berinteraksi dengan lapisan peptidoglikan pada dinding sel bakteri Gram positif yang bersifat polar (Jawetz dkk., 1991). b. Bakteri Penyebab Jerawat Jerawat muncul apabila jumlah flora normal pada kulit berlebih dimana jumlah normal bakteri pada kulit berkisar 103-104 mikroorganisme/cm2.
13
Bakteri-bakteri tersebut berploriferasi berulang-ulang selama masa pubertas sehingga sering dimasukkan sebagai salah satu penyebab jerawat. Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus menimbulkan infeksi sekunder pada jerawat, infeksi bertambah parah jika jerawat sudah bernanah (Mitsui, 1997). 1) Staphylococcus epidermidis Klasifikasi dari S. epidermidis adalah sebagai berikut: Divisi
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Micrococcoceae
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: Staphylococcus epidermidis
(Salle, 1961)
S. epidermidis merupakan bakteri Gram positif yang bersifat anaerob fakultatif dengan morfologi sel berbentuk bola dengan diameter 1 µm yang tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur. Koloninya berwarna abuabu hingga kuning gelap, beberapa koloni hanya dapat membentuk pigmen setelah masa inkubasi yang lama, sedangkan pigmen tidak terbentuk secara anaerob atau dalam media cair. Bakteri ini merupakan flora normal kulit yang banyak terdapat pada kulit, saluran pernapasan dan gastrointestinal manusia, tidak bersifat invasif, menghasilkan koagulase negatif, dan cenderung nonhemotilik (Jawetz dkk., 1991).
14
Aktivitas S. epidermidis adalah menginfeksi kulit terluar sampai unit sebasea (Burkhart dkk., 1999). Enzim lipase yang dimiliki S. epidermidis telah diketahui dapat menghidrolisis trigliserida di unit sebasea menjadi asam lemak bebas yang dapat menyebabkan terjadinya keratinisasi dan inflamasi. Inflamasi dan keratinisasi yang berlebihan inilah yang akan menimbulkan jerawat (Kligman, 1994). 2) Staphylococcus aureus Klasifikasi dari S. aureus adalah sebagai berikut: Divisi
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Micrococcoceae
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: Staphylococcus aureus
(Salle, 1961)
S. aureus adalah bakteri Gram positif, berbentuk bola dengan diameter 0,8-1,0 µm tersusun dalam kelompok-kelompok tidak teratur, berkoagulase positif, tidak membentuk spora, tidak bergerak, dan dapat tumbuh pada suasana aerob. Pada biakan cair terlihat kokus yang tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai. S. aureus tumbuh paling cepat pada temperature 37˚C tetapi paling baik membentuk pigmen kuning emas pada suhu kamar 20˚C, koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat, halus, menonjol, dan berkilauan. S. aureus adalah parasit manusia yang terdapat dimana-mana. Beberapa S. aureus tergolong flora normal kulit
15
dan selaput lendir manusia, lainnya menyebabkan supurasi, pembentukan abses, berbagai infeksi patogenik, dan bahkan septicemia yang fatal (Jawetz dkk., 1991). S. aureus dapat menginvasi jaringan atau organ tubuh manusia sehingga menyebabkan infeksi jaringan yang terdeteksi dengan ciri-ciri khas, yaitu berwarna merah, peradanan, abses (nanah). Bakteri ini bersifat patogen pada manusia, seperti menyebabkan infeksi lokal pada kulit seperti jerawat (Brooks dkk., 2001). c. Antibakteri Antibakteri adalah substansi yang mampu menghambat pertumbuhan (bakteriostatik) dan atau membunuh bakteri (bakterisida) (Gupte, 1990). Antibakteri yang ideal adalah antibakteri yang bekerja secara selektif, dimana berbahaya bagi parasit namun tidak berbahaya bagi inang. Menurut Jawetz dkk. (1991), mekanisme aksi antibakteri dapat dikelompokkan menjadi empat, antara lain: 1) Menghambat pembentukan dinding sel Antibiotik dengan cincin β-laktam, seperti penisilin dan sefalosporin, dapat menghambat
biosintesis
peptidoglikan
pada
dinding
sel
bakteri
menyebabkan aktivasi enzim lytic dan mengakibatkan lisis sel jika lingkungan isotonis.
16
2) Mengambat fungsi membran sel Antibiotik, seperti polimiksin, bekerja dengan merusak fungsi sitoplasma sehingga makromolekul dan ion keluar dari sel, dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel. 3) Menghambat pembentukan protein Kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, eritromisin, dan linkomisin dapat menghambat pembentukan protein pada bakteri. 4) Menghambat pembentukan asam nukleat Sulfonamid berkompetisi dengan PABA (asam p aminobenzoat) sehingga menghalangi sintesis asam folat yang merupakan koenzim esensial yang berfungsi dalam sintesis purin dan pirimidin. Tidak adanya koenzim menyebabkan aktivitas seluler yang normal akan terganggu. d. Kloramfenikol
Gambar 1. Struktur kloramfenikol
Obat ini terikat pada protein L16 dari ribosom sub unit 50s bakteri, menghambat aktivitas enzim peptidil transferase sehingga transfer asam amino ke ikatan peptide menjadi terhambat menyebabkan tidak terjadinya sintesis protein mikroba (MSU, 2011).
17
Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas baik bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Aktivitas kloramfenikol bersifat bakteriostatik, tetapi dapat berupa bakterisidal pada konsentrasi tinggi atau terhadap Streptococcus pneumonia, Neisseria meningtidis atau Haemophilus influenzae (Koup dkk., 1978). e. Metode Uji Aktivitas Antibakteri 1) Metode Difusi Padat Metode ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri suatu senyawa uji. Berdasarkan Hugo & Russels (1998), uji difusi dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain metode Kirby and Bauer, E-Test, Ditch-Plate Technique dan Cup-Plate Technique. Pada metode Kirby and Bauer digunakan kertas cakram berisi substansi antibakteri yang diletakkan pada media agar yang telah ditanami bakteri. Prinsip metode difusi padat adalah uji potensi berdasarkan pengamatan diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri akibat berdifusinya senyawa antibakteri dari titik awal pemberian ke daerah difusi. Menurut Lorian (1980), aktivitas antibakteri pada metode difusi padat dapat berupa: a) Zona hambatan total (radikal) jika zona hambatan yang terbentuk di sekitar sumuran atau kertas cakram terlihat jernih dimana sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri.
18
b) Zona hambatan parsial (irradikal) jika masih ada koloni bakteri yang tumbuh pada zona hambatan berarti pertumbuhan bakteri dihambat oleh zat uji tersebut. 2) Metode Dilusi Pada prinsipnya antibakteri diencerkan sampai diperoleh beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi obat ditambah suspensi bakteri dalam media. Sedangkan pada dilusi padat setiap konsentrasi obat dicampur media agar lalu ditanami bakteri. Larutan uji senyawa antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih atau dengan tingkat kekeruhan terendah ditetapkan sebagai Kadar Hambat Minimum (KHM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC). Kemudian larutan tersebut ditansfer pada media pertumbuhan padat. Jika pada media padat tersebut tidak ada pertumbuhan bakteri, maka kadar larutan uji tersebut ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimum (KBM) atau Minimal Bactericidal Concentration (MBC) (Tortora dkk., 2001). 3) Metode Bioautografi Bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil KLT yang memiliki aktivitas antibakteri, antifungi, dan antivirus. Keuntungan metode ini adalah sifatnya yang efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran konpleks. Akan tetapi kerugiannya tidak dapat digunakan untuk menentukan Kadar Hambar Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) (Pratiwi, 2008).
19
Menurut Cannell (1998), bioautografi dapat dilakukan dengan dua metode, antara lain: a) Bioautografi langsung Metode ini dilakukan dengan menyemprotkan suspensi mikroorganisme pada plat KLT yang telah dielusi atau dengan menyentuhkan plat KLT selama beberapa waktu pada media kultur. Letak senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba dapat terlihat sebagai area jernih dengan latar belakang keruh. b) Bioautografi overlay Metode ini dilakukan dengan menuangkan media Agar yang telah disuspensikan dengan mikroorganisme di atas permukaan plat KLT, lalu diinkubasi setelah media memadat. Zona hambatan dapat dideteksi dengan menyemprotkan garam tetrazolium. Senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba akan tampak sebagai zona jernih yang berlatar belakang warna ungu. Identifikasi golongan senyawa aktif antibakteri ditentukan oleh nilai Rf bercak pada plat KLT yang menunjukkan zona jernih pada media kultur bioautografi dibandingkan dengan Rf bercak pada plat KLT (profil kromatogram) yang sudah dideteksi golongan senyawanya (Horvath dkk., 2002).
20
5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) KLT merupakan metode pemisahan fisikokimia yang digunakan untuk memisahkan senyawa secara tepat dengan prosedur sederhana, mudah dideteksi walau tidak secara langsung, dan memerlukan jumlah cuplikan yang sedikit. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut, yang bergerak di dalam fase diam karena ada daya kapiler. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah plat atau lapisan diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok, pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (Stahl, 1973). Bercak pemisahan pada KLT umumnya tidak berwarna. Cara penampakan digunakan untuk mengetahui letak bercak senyawa tidak berwarna pada lapisan yang telah dikembangkan. Deteksi umum adalah dengan sinar UV pada lapisan yang mengandung indikator fluoresensi, walaupun terbatas pada lempeng bercincin aromatik/berikatan rangkap terkonjugasi. Pada umumnya cara khas adalah menyemprot lapisan dengan pereaksi yang akan menimbulkan warna bila bereaksi dengan bercak cuplikan (Gritter dkk., 1985). Pada kromatogram dikenal istilah faktor retardasi (Rf) untuk tiap bercak cuplikan kromatogram yang didefinisikan sebagai: Rf =
21
Sedangkan untuk maksud analisis kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan bercak kromatogram sampel dengan bercak kromatogram reference standart yang dikenal sebagai faktor retensi relative (Rx): Rx = (Mulja & Suharman, 1995).
6. Senyawa Metabolit Sekunder yang Diduga Memiliki Aktivitas Antibakteri Tanaman mengandung berbagai metabolit sekunder yang dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri. Diantara senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam seledri berikut senyawa yang dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri: a. Fenol sederhana dan asam fenolat Senyawa fenolat adalah senyawa yang terdiri dari sebuah cincin fenol tersubstitusi. Banyaknya gugus fungsi hidroksil pada golongan fenol berhubungan dengan toksisitas pada mikroorganisme, dimana bertambahnya hidroksilasi menghasilkan penambahan toksisitas (Cowan, 1999). Senyawa fenol dapat menyebabkan denaturasi protein bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah, terbentuk kompleks protein-fenol dengan ikatan lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein bakteri. Pada kadar tinggi, fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis, mengubah permeabilitas membran bakteri (Soekardjo & Siswandono, 2000).
22
b. Flavonoid Flavonoid adalah senyawa fenolat terhidroksilasi dengan struktur C6C3 berhubungan dengan cincin aromatis. Efek farmakologi dari flavonoid berhubungan dengan kemampuan flavonoid untuk bekerja sebagai antioksidan kuat dan penangkal radikal bebas, membentuk khelat dengan logam dan berinteraksi dengan enzim (Bylka & Pilewski, 2004). Flavonoid disintesis oleh tanaman sebagai respon terhadap infeksi mikroba, sehingga secara in vitro flavonoid efektif sebagai substansi antimikroba (Cowan, 1999). Struktur flavonoid yang berbeda memiliki target komponen dan fungsi sel bakteri yang berbeda. Mekanisme antibakteri flavonoid diantaranya menghambat sintesis asam nukleat pada sintesis DNA dan RNA bakteri, menghambat fungsi membran sitoplasma seperti mengurangi kecairan membran sel, merusak membran sel bakteri serta menghambat motilitas bakteri, dan menghambat metabolisme energi bakteri seperti menghambat konsumsi oksigen, menghambat NADHsitokrom c reduktase, serta menghambat sintesis makromolekul bakteri (Cushnie & Lamb, 2005). c. Kumarin Kumarin termasuk dalam turunan benzopiron yang terbentuk dari gabungan benzena dengan cincin α-piron. Kumarin merupakan lakton asam o-hidroksisinamat (Jain & Joshi, 2012). Asam o-hidroksisinamat memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri Gram positif (Cowan, 1999). Hasil isolasi kumarin, termasuk glikosida kumarin, umbelliferone, daphnetin dan
23
derivate asil memiliki aktivitas terhadap Staphylococcus aureus, methicillin resistant Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa (Rehman dkk., 2010). d. Terpenoid Terpenoid memiliki struktur dasar isoprena. Efek antimikroba dari terpenoid dikaitkan dengan kemampuannya berikatan dengan fraksi lipid dari membran plasma bakteri, sehingga terjadi perubahan permeabilitas membran dan kebocoran komponen intraselular. Terpenoid juga dapat menembus membran sel, masuk ke dalam sel dan berinteraksi dengan bagian intraselular penting dalam sel bakteri (Trombetta dkk., 2005). e. Saponin Saponin dapat membentuk busa yang stabil pada larutan encer seperti sabun. Menurut Cavalieri dkk. (2005), saponin dapat berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang rentan, lalu mengikat membran sitoplasma dan mengganggu atau mengurangi kestabilan sel. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel.
7. Senyawa Metabolit Sekunder dan Pengaruh Daerah Tumbuh Metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman seringkali disebut sebagai senyawa yang tidak berperan dalam proses kehidupan tanaman, namun penting dalam interaksi tanaman untuk adaptasi dan pertahanan terhadap lingkungan. Metabolit ini dibutuhkan tanaman sebagai pertahanan terhadap herbivora dan
24
pathogen serta proteksi melawan stress lingkungan. Metabolit sekunder juga berkontribusi terhadap bau, rasa, dan warna dari tanaman. Metabolit sekunder banyak digunakan sebagai sumber untuk aditif makanan dan perasa serta sediaan farmasetikal dan industri. Metabolit sekunder biasanya diproduksi oleh tanaman dalam jumlah kecil (bobot kering kurang dari 1%) dan sangat tergantung pada fase fisiologi dan perkembangan tanaman. Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi perbedaan sifat dan komposisi metabolit sekunder dari suatu tanaman antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kualitas genetik dan umur tanaman, sedangkan faktor eksternal meliputi kondisi daerah tumbuh diantaranya: a. Ketinggian daerah tumbuh Tempat tumbuh merupakan gabungan antara kondisi biotik, iklim, dan tanah dari sebuah tempat. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap iklim terutama curah hujan dan suhu udara yang mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Curah hujan berkorelasi positif dengan ketinggian, sedangkan suhu udara berkorelasi negatif (Djajadiningrat, 1990). b. Curah hujan dan pH tanah Curah hujan akan mempengaruhi pH tanah, karena curah hujan berpengaruh terhadap kekuatan erosi dan pencucian tanah, sedangkan pencucian tanah yang cepat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi rendah). Nilai pH tanah penting untuk diketahui sebab pH tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tumbuhan (tumbuhan yang hidup di tanah dengan pH netral lebih mudah menyerap unsur hara),
25
menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun dan mempengaruhi perkembangan mikroorganisme tanah (Mustafa dkk., 2012). c. Suhu dan kelembaban Suhu dan kelembaban merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Aktivitas metabolisme dalam tanaman banyak dikendalikan oleh suhu. Penambahan ketinggian menyebabkan suhu udara semakin turun. Laju penurunan suhu umumnya sekitar 0,6°C setiap penambahan ketinggian sebesar 100 m dpl. Namun hal ini berbeda-beda tergantung pada tempat, musim, waktu, kandungan uap air dalam udara, dan faktor lingkungan lain (Whitten dkk., 1984). Perbedaan suhu setiap rentang ketinggian menyebabkan proses metabolisme pada suatu tanaman berbeda, sehingga produksi metabolisme sekunderpun berbeda. Variasi suhu berefek pada regulasi metabolit, permeabilitas, laju reaksi intraseluler pada kultur sel tanaman. Perubahan temperatur akan mengubah fisiologis dan metabolisme kultur sel, kemudian mempengaruhi pertumbuhan dan produksi metabolit sekunder (Morison & Lawlor, 1999). Kelembaban dan temperatur optimal bagi suatu jenis tanaman belum tentu optimal bagi tanaman lainnya. Dengan demikian sifat metabolit sekunder antara tanaman yang tumbuh di dataran rendah dengan suhu dan kelembaban relatif lebih tinggi dengan tanaman yang tumbuh di dataran tinggi akan berbeda. Peningkatan temperatur sebesar 5°C akan menurunkan
26
fotosintesis dan produksi biomassa P. quinquefoliusi, namun meningkatkan ginsenosida yang dihasilkan (Jochum dkk., 2007). d. Pengaruh cahaya matahari Cahaya matahari merupakan faktor yang mempengaruhi produksi metabolit. Produksi zat makanan melalui fotosintesis dalam jaringan tanaman memerlukan cahaya matahari. Aktivitas tersebut tergantung pada banyaknya cahaya matahari yang mengenai tanaman, yang dipengaruhi pula oleh ketinggian daerah tumbuh. Intensitas cahaya akan semakin kecil dengan semakin tingginya daerah tumbuh. Hal ini disebabkan berkurangnya penyerapan dari udara sehingga menghambat pertumbuhan karena proses fotosintesis terganggu (Djajadiningrat, 1990). Cahaya matahari juga dapat mestimulasi beberapa metabolit sekunder, seperti produksi gingerol dan zingiberin dalam Z. officinale. Menurut Chalker-Scott & Fnchigami (1989), terdapat korelasi positif antara peningkatan intensitas cahaya dengan kadar senyawa fenolik. Larsson dkk. (1986) melaporkan penurunan tanin dan glikosida fenolik pada tanaman Salix.
8. Profil Daerah Wonosobo, Tawangmangu, dan Sukabumi a. Wonosobo Kabupaten Wonosobo terletak di Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak diantara 70 11‘ dan 70 36‘ Lintang Selatan, 1090 43’ dan 1100 04’ Bujur Timur. Kabupaten Wonosobo merupakan daerah pegunungan
27
dengan ketinggian berkisar antara 275 meter sampai dengan 2.250 meter di atas permukaan laut. Sebagai daerah beriklim tropis, Wonosobo hanya mengenal dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Sepanjang tahun 2013 curah hujan fluktuatif selama 181 hari dan beragam menurut bulan. Curah hujan tertinggi tercatat pada bulan Desember dengan 589 mm, sedangkan terendah pada bulan September dengan 1 mm (Anonim, 2014d). b. Tawangmangu Tawangmangu merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Timur dengan ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut (Anonim, 2014c). Bila dilihat dari garis bujur dan garis lintang, Kabupaten Karanganyar terletak antara 70 28‘ - 70 46‘ Lintang Selatan dan 1100 40’ - 1100 70’ Bujur Timur. Rata-rata curah hujan 7.231,4 mm dengan banyak hari hujan 115,6 hari selama tahun 2013. Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Februari dan April, sedangkan terendah pada Bulan Agustus dan September (Anonim, 2014b). c. Sukabumi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak diantara 60 57‘ - 70 25‘ Lintang Selatan dan 1060 49’ - 1070 00’ Bujur Timur. Bentuk topografi wilayah Kabupaten Sukabumi pada umumnya meliputi permukaan yang
28
bergelombang di daerah selatan dan bergunung di daerah utara dan tengah. Ketinggian berkisar antara 0 – 2.960 m dpl. Kabupaten Sukabumi beriklim tropis. Udara yang cukup hangat tersaji hampir setiap tahunnya. Pada tahun 2013 curah hujan tertinggi yang tercatat di pusat pemantauan Goalpara terjadi pada bulan Februari dengan curah hujan 549 mm dan terjadi selama 23 hari. Sedangkan curah hujan terkecil terjadi di bulan Agustus sebesar 86 mm (Anonim, 2014a).
F. Landasan Teori Seledri (Apium graveolens L.) memiliki kandungan terpenoid, flavonoid, saponin, dan kumarin (Nasri dkk., 2008; Chen dkk., 1998) Golongan senyawa tersebut dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dengan mekanisme yang bermacam-macam. Teori tersebut didukung oleh penelitian Khaerati & Ihwan (2011) dimana ekstrak etanolik seledri memiliki aktivitas bakteriostatik terhadap bakteri Gram negatif dan Gram positif yang diwakili oleh E. coli dan S.aureus. Infeksi bakteri merupakan salah satu faktor utama penyebab jerawat. Berdasarkan hal tersebut di atas, ekstrak etanolik seledri diduga memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri penyebab jerawat. Kandungan senyawa metabolit sekunder dipengaruhi oleh faktor internal dari tanaman dan faktor eksternal. Faktor eksternal meliputi kondisi daerah tumbuh antara lain ketinggian daerah tumbuh, curah hujan dan pH tanah, suhu dan kelembaban, serta intensitas cahaya matahari, dapat mempengaruhi kualitas dan
29
komposisi metabolit sekunder di dalamnya, sehingga mempengaruhi aktivitas antibakteri yang dihasilkan pula.
G. Hipotesis Berdasarkan teori di atas dapat ditarik hipotesis bahwa ekstrak etanolik seledri memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. epidermidis ATCC 12228 dan S. aureus ATCC 25923. Aktivitas antibakteri ekstrak etanolik seledri dari tiga daerah tersebut berbeda karena perbedaan komposisi metabolit sekunder di dalamnya.