BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Bangsa Eropa sudah berada di kepulauan Nusantara sejak abad ke-16 Masehi, diawali dengan kedatangan orang-orang Portugis di Sumatra pada tahun 1510 di bawah pimpinan Alphonzo de Albuquerque. Satu tahun kemudian yaitu, pada tahun 1511 Albuquerque menaklukkan Malaka (Raffles, 2008: xvii). Disusul oleh kedatangan bangsa Eropa lainnya seperti Spanyol, Inggris, dan Belanda. Orang-orang Belanda lah yang paling lama menduduki Nusantara dan mereka tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Mereka yang pada awalnya hanya bertujuan untuk mencari rempah-rempah berubah haluan, karena melihat potensi kekayaan Nusantara, sehingga muncul keinginan untuk menguasai Nusantara sepenuhnya. Orang-orang Belanda yang datang pertama kali pada bulan Juni tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman di Banten yang merupakan pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat (Ricklefs, 2007: 38). Kedatangan mereka tidak disambut dengan baik di Banten karena berseteru dengan Portugis dan penduduk lokal, kemudian mereka memutuskan untuk berlayar ke bagian utara Pulau Jawa dan tiba di Sidayu. Di sana sempat terjadi insiden antara awak kapal Mauritus dan Amsterdam yang dibawa oleh de Houtman dengan penduduk pribumi. Setelah kejadian itu mereka banyak kehilangan awak kapal, tetapi mereka meninggalkan tempat tersebut pada tahun berikutnya kembali ke Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah (Ricklefs, 2007: 3839). 1
2
Pada tahun 1598 sebanyak 22 buah kapal milik lima perusahaan berbeda di Belanda mengadakan pelayaran. Zaman ini dikenal sebagai zaman pelayaran ‘liar’.
Perusahaan-perusahaan
ekspedisi
Belanda
saling
bersaing
untuk
mendapatkan rempah-rempah Indonesia. Empat belas buah kapal dari 22 kapal yang berlayar ke Nusantara akhirnya kembali ke Belanda. Armada di bawah pimpinan Jacob van Neck pertama kali tiba di Maluku pada Maret 1599. Mereka disambut dengan baik, dan kembali lagi ke Belanda pada 1599-1600 dengan membawa
cukup
banyak
rempah-rempah
yang
menghasilkan
banyak
keuntungan (Ricklefs, 2007: 39). Pengalaman pada pelayaran tahun 1598 yang menghasilkan keuntungan membuat
perusahaan-perusahaan
Belanda
tersebut
kembali
melakukan
pelayaran ke Nusantara. Karena adanya persaingan yang tidak sehat antara perusahaan-perusahaan Belanda di Banten, maka pada tahun 1602 dibentuklah sebuah Perserikatan Maskapai Hindia Timur atau yang dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) (Ricklefs, 2007: 39). Pada tahun 1610, gubernur jenderal pertama, Pieter Both tiba di Banten. Namun, ia berpendapat bahwa tempat tersebut tidak cukup baik untuk tempat tinggal tetap sehingga mereka pindah ke Batavia, yang kemudian pada tahun 1621 dijadikan ibukota Hindia Timur (Raffles, 2008: xviii). Selama tahun 1683 hingga 1816 silih berganti terjadi perebutan kekuasaan antara Inggris dengan Belanda hingga akhirnya bendera Belanda kembali berkibar di Batavia (Raffles, 2008: xviii). Dari tahun ke tahun VOC semakin melebarkan sayap ke seluruh wilayah Nusantara dengan memperalat kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Kerajaan-kerajan di Jawa juga mengalami pergolakan. Pergolakan itulah yang dimanfaatkan VOC, dalih bekerja
3
sama dengan kerajaan-kerajaan tersebut digunakan agar tujuan untuk ikut serta menguasai wilayah Nusantara tercapai. Kehidupan orang-orang Belanda di Indonesia, makin lama mengalami banyak perkembangan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup orang-orang Belanda di Indonesia, maka dibangun sarana-prasarana penunjang. Sarana penunjang yang dimaksud seperti, akses jalan, permukiman, kantor-kantor pemerintahan, sekolah, rumah sakit, tempat peribadatan, dan juga kompleks makam. Pemakaman merupakan suatu tempat untuk menguburkan jasad orang yang telah meninggal atau disebut juga dengan pekuburan. Sebuah pemakaman mempunyai peran sebagai persembahan untuk orang yang meninggal itu sendiri, keluarga dan juga kerabat yang ditinggalkan sebagai bagian dari sejarah untuk generasi-generasi yang akan datang, sehingga mereka dapat mengetahui leluhurnya (Farrell, 2003: 10). Pemakaman Belanda di Jawa dikenal dengan sebutan kerkop. Kata tersebut berasal dari bahasa Belanda kerkhof. Secara harafiah, kerk berarti gereja (Moeimam dan Steinhauer, 2008: 511) dan hof berati taman (Moeimam dan Steinhauer, 2008: 436), istilah tersebut digunakan untuk pemakaman yang terletak di halaman gereja dan secara umum dapat diartikan sebagai makam atau pekuburan (Moeimam dan Steinhauer, 2008: 511). Makam Belanda terkesan lebih megah, dan memiliki hiasan serta ornamen yang raya bila dibandingkan dengan makam pribumi. Kompleks pemakaman Belanda banyak tersebar di wilayah Indonesia, salah satunya adalah Makam Belanda Peneleh Surabaya. Makam Peneleh merupakan makam Belanda tertua keempat di Indonesia. Makam Belanda tertua pertama adalah makam Belanda yang terletak di dalam kompleks Benteng Speelwijk Banten yang berdiri tahun 1686 (Rahardjo, 2011: 57). Kemudian,
4
makam Belanda Kebon Jahe Kober di Batavia yang diresmikan pada tahun 1795 (Handayani, 2008: 2). Ketiga, adalah makam Belanda Krembangan di Surabaya yang dibangun sekitar tahun 1793-1810. (http://www.dodenakkers.nl/artikelen/buitenland/733-peneleh.html?start=1) Makam Belanda Peneleh memiliki nama resmi De Begraafplaats Peneleh Soerabaja dengan luas wilayah 4,5 ha. Makam tersebut diresmikan pada tahun 1847 dan terletak di Jalan Peneleh Surabaya. Makam ini dibangun karena makam di Krembangan sudah penuh dan tidak dapat digunakan kembali. (http://www.dodenakkers.nl/artikelen/buitenland/733-peneleh.html?start=1) Di Makam Peneleh terdapat 3.821 makam dengan berbagai macam variasi baik dari sisi ragam hias, bentuk maupun bahan. Variasi ragam hias pada makam tersebut antara lain berupa simbol kekristenan, angels, tengkorak, dan floral. Kemudian, bentuk-bentuk yang umum dijumpai di sana yaitu, bentuk papan (slab), balok, dan silinder. Selain itu, bahan nisan yang digunakan juga cukup bervariasi, yang banyak dijumpai adalah nisan dengan bahan marmer, bata, dan logam. Pada saat ini, kondisi Makam Belanda Peneleh dalam keadaan kurang terawat, bahkan ada beberapa nisan yang sudah rusak dan hilang. Di makam ini disemayamkan tokoh-tokoh penting Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia, antara lain Pieter Merkus seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda sekaligus Panglima Tertinggi Angkatan Laut di Tanjung Harapan. Selain Merkus juga dimakamkan seorang pendeta ordo Yesuit di Surabaya yaitu, Martinus van den Elzen. Kemudian, satu kelompok makam untuk menguburkan 54 orang biarawati Ursulin, satu liang kubur untuk Mr. S. van der Tuuk seorang pimpinan Dewan Agung Kehakiman di Surabaya bersama anaknya, Dr. Herman Neubronner van der Tuuk seorang pakar linguistik. Selain itu, terdapat pula
5
makam Wakil Kepala Dewan Pemerintahan Hindia Belanda P.J.B. de Perez. Lalu, makam Letnan Satu Artileri J. Welter, juga makam Letnan Kolonel Artileri Paul Franҫois Corneille yang dimakamkan bersama istrinya Vrouwe Diederika Elisabeth. Adanya Makam Belanda Peneleh menunjukkan bahwa Surabaya merupakan salah satu kota penting yang dikelola oleh pemerintahan Hindia Belanda. Surabaya menjadi kota transit sebelum kapal-kapal dagang Belanda berlayar ke Indonesia timur. Menurut Ambary (1988: 10) dalam penelitian tentang nisan, penafsiran fungsi tidak diperlukan karena fungsi nisan kubur sejak semula hingga sekarang sudah jelas, yaitu sebagai tanda adanya jenazah yang dikubur di tempat itu. Di dalam budaya barat, batu-batu nisan juga memuat informasi tentang peran mereka semasa hidup. Batu nisan dapat dipandang sebagai buku kenangan atau kumpulan tulisan kenang-kenangan (festschrift) dari kerabat dekat ketika seseorang mencapai usia senja dan tidak lagi aktif dalam jabatannya. Tema yang dipilih atau tertulis pada nisan biasanya adalah tema yang paling disukai oleh orang yang telah meninggal tersebut semasa hidupnya (Suratminto, 2007: 1). Menurut Fagan (1975: 7) dan Sharer & Ashmore (1979: 11), Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari keadaan sosial budaya masa lalu melalui peninggalan-peninggalan kebendaan, dengan tujuan untuk merekonstruksi aspek-aspek kehidupan masa itu. Dalam hal ini, nisan merupakan tanda kubur yang memuat banyak informasi mengenai si mati baik dari segi identitas hingga status sosialnya. Melalui nisan tersebut, dapat diinterpretasikan bagaimana kehidupan pada saat pemakaman tersebut masih digunakan. Itulah sebabnya penelitian mengenai nisan dalam arkeologi penting dilakukan.
6
B. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas mengenai ragam nisan yang ada di makam Belanda Peneleh Surabaya, maka diperoleh permasalahan sebagai berikut : 1. Apa sajakah variasi nisan pada Makam Belanda Peneleh? 2. Apakah makna ragam hias nisan Makam Belanda Peneleh? Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut, kemudian penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Menginventarisasi ragam nisan pada Makam Belanda Peneleh 2. Menjelaskan mengenai penggunaan bahan, bentuk, dan variasi ragam hias nisan yang terdapat di Makam Belanda Peneleh 3. Menjelaskan makna ragam hias nisan Makam Belanda Peneleh
C. KEASLIAN PENELITIAN DAN TINJAUAN PUSTAKA Penelitian mengenai Makam Belanda Peneleh pernah dilakukan oleh Puji Astutik dalam skripsi Jurusan Arsitektur Universitas 17 Agustus (UNTAG) Surabaya yang berjudul “Revitalisasi Makam Peneleh di Surabaya” yang membahas mengenai rancangan atau konsep untuk merevitalisasi Makam Peneleh Surabaya, dan tidak ada deskripsi mengenai tipologi nisan yang terdapat di Makam Peneleh. Baik penelitian maupun pembahasan secara rinci dan mendetail mengenai Makam Belanda Peneleh masih belum dilakukan. Sejauh pengamatan, tulisan mengenai Makam Belanda Peneleh terdapat dalam blog. Di dalam beberapa blog tersebut terdapat informasi mengenai kondisi Makam Belanda Peneleh saat ini yang cukup memprihatinkan karena kurang terawat, lalu terdapat informasi mengenai sejarah Makam Belanda Peneleh
7
secara umum kaitannya dengan sejarah Surabaya serta penjelasan mengenai beberapa tokoh penting yang dimakamkan di Peneleh. Pembahasan mengenai nisan pada makam kuna pernah dilakukan oleh 1.
Lilie Suratminto dalam penelitiannya yang berjudul : -“Teks pada Batu Nisan Baron van Imhoff dilihat Melalui Analisis Semiosis Model Peirce dan Danesi-Perron” pada tahun 2007, menjelaskan mengenai batu nisan Gustaaff Willem Baron van Imhoff yang terdapat di museum Taman Prasasti Jakarta. Batu nisan tersebut memiliki ciri-ciri lambang heraldik yang khusus. Penelitian ini menggunakan analisis semiosis mikro dan makro. Melalui analisis tersebut, dapat diketahui pada teks batu nisan Baron van Imhoff menunjukkan bahwa data verbal dan non-verbal dapat mendukung dan melengkapi data historis Baron van Imhoff. -“Abreviasi dan Akronim pada Batu Nisan Masa VOC di Batavia” pada tahun 2010, menjelaskan mengenai kebiasaan menggunakan abreviasi dan akronim pada masyarakat VOC di Batavia abad 17 dan 18 yang terdapat pada batu-batu nisan masa VOC di Museum Taman Prasasti Jakarta, Museum Wayang Jakarta, Gereja Sion Jakarta, dan Pulau Onrust salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Data abreviasi-abreviasi dan akronim-akronim yang ditemukan kemudian dikelompokkan berdasarkan jenisnya dan dianalisis satu per satu berdasarkan kaidah-kaidah morfologis bahasa Belanda. -“Kronik, Seni, dan Penggunaan Bahasa Belanda pada Makam Belanda di Museum Wayang Jakarta (Suatu Pendekatan Historis, Semiotis, dan Linguistik)” pada tahun 2000, menjelaskan tentang kronik, seni, dan
8
penggunaan bahasa pada batu-batu makam tersebut. Dari seni ukirnya berhasil didapatkan data mengenai makna simboliknya berdasarkan studi tentang seni heraldik di Eropa khususnya di Belanda, serta pada inskripsi diperoleh data tentang perbedaan penggunaan bahasa pembuka kalimat, sistem ejaan yang tidak konsisten, pergeseran makna kosa kata dan juga beberapa kesalahan ejaan atau pemahatan huruf. 2. Rosaeny Handayani dalam skripsi jurusan Arkeologi Universitas Indonesia yang berjudul “Bentuk-bentuk Nisan di Museum Taman Prasasti, Jakarta.” Pada tahun 2009 menjelaskan tentang beragam bentuk yang ada pada nisan-nisan
di
Museum
Taman
Prasasti.
Nisan-nisan
tersebut
diklasifikasikan berdasarkan bentuknya sehingga diperoleh bentuk-bentuk apa saja yang ada pada nisan. Selain itu, nisan-nisan tersebut juga dilihat berdasarkan ragam hias dan letak inskripsi pada nisan. Dalam skripsinya disebutkan beberapa jenis bentuk nisan dan ragam hias yang terdapat di Museum Taman Prasati Jakarta. Bentuk-bentuk nisan tersebut antara lain, nisan bentuk papan (slab), nisan bentuk balok, nisan bentuk silinder, nisan bentuk bangunan, nisan bentuk buku, nisan bentuk salib, dan nisan bentuk antropomorfik. Ia juga mengelompokkan bentuk ragam hias pada nisan di Museum Taman Prasasti antara lain berupa: tengkorak, floral, simbol kekristenan, coat of arm, antropomorfik, inskripsi, bingkai, dan deret bintang. 3. Zulkarnain, dalam skripsi jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Makam Raja-Raja Kesultanan Pasir Balengkong (Tinjauan Atas Bentuk Makam dan Ragam Hiasnya)” pada tahun 1999 menjelaskan mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi pengunaan ragam hias pada
9
makam raja-raja Pasir Balengkong, beserta makna simbolis dari ragam hias tersebut. Kemudian berdasarkan kajian atas ragam hiasnya dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana hubungan atau keterkaitan antara Kerajaan Pasir Balengkong dan Kerajaan Kutai Kertanegara.
D. BATASAN PENELITIAN 1. Batasan Wilayah Wilayah penelitian meliputi Kompleks Pemakaman Belanda Peneleh, di Jalan Makam Peneleh, Surabaya, Jawa Timur. 2. Batasan Kajian Batasan kajian dalam penelitian ini adalah kajian tentang bentuk dan ragam hias nisan. Data pokok berupa variasi ragam hias, bentuk, dan bahan nisan yang terdapat pada makam Belanda Peneleh Surabaya. Melalui ragam hias nisan yang ada akan diperoleh makna dari masing-masing ragam hias tersebut.
E. METODE PENELITIAN Metode merupakan suatu cara kerja untuk memperoleh dan memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penalaran induktif, yaitu penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris. Sifat penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai suatu fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian. Penelitian ini mengutamakan kajian data daripada menerapkan konsep-konsep, hipotesis atau teori tertentu. Jika ada
10
hipotesis, maka hipotesis tersebut bersifat ‘liar’ atau dugaan-dugaan lepas (Tanudirjo, 1988-1989: 34). Adapun penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahapan sebagai berikut: 1.
Pengumpulan Data Data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui observasi atau pengamatan langsung objek di kompleks makam Belanda Peneleh Surabaya. Data ini berupa bentuk-bentuk nisan, bahan, dan variasi ragam hias yang terdapat pada keseluruhan nisan yang terdapat pada makam Belanda Peneleh Surabaya. Data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka digunakan untuk melihat data yang berasal dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Sumber data sekunder tersebut antara lain buku-buku, artikel, dan laporan penelitian yang berhubungan dengan objek penelitian, arsip-arsip Belanda, serta wawancara yang dilakukan untuk mendapatkan data mengenai sejarah dan gambaran kondisi lingkungan masa lalu Makam Belanda Peneleh.
2.
Deskripsi Data Tahap deskripsi data merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan gambaran yang memuat informasi-informasi yang diperoleh dari pengumpulan data. Tahap deskripsi tersebut menjelaskan peran Makam Belanda Peneleh ketika masih berfungsi sebagaimana mestinya, serta
alasan
pemilihan
lokasi
makam
tersebut.
Data
tersebut
digambarkan baik secara tulisan maupun gambar atau foto untuk bisa
11
menjelaskan kondisi fisik nisan (bahan, bentuk, dan ragam hias nisan) serta lokasi makam. 3.
Pengolahan dan Analisis Data Setelah memperoleh gambaran keseluruhan dari hasil observasi akan diketahui jenis-jenis ragam hias, bentuk, dan bahan nisan apa saja yang terdapat di Makam Belanda Peneleh. Berdasarkan jumlah ragam hias
yang
ada
pada
keseluruhan
nisan
yang
utuh
kemudian
diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu ragam hias raya, sedang, dan sederhana. Setelah diketahui jumlah nisan dengan masing-masing kategori tersebut, sampel diambil menggunakan purposive sampling. Purposive Sampling adalah teknik penentuan sampel yang didasarkan atas tujuan dan pertimbangan tertentu. Dalam hal ini sampel yang dimaksud ialah nisan yang secara fisik masih relatif utuh dan memiliki ragam hias yang termasuk dalam ketegori raya, sedang dan sederhana. Selain itu, sampel nisan juga memiliki inskripsi yang masih dapat terbaca dengan
baik
(http://www.scribd.com/doc/52842072/PURPOSIVE-
SAMPLING). Setelah menentukan sampel yang diambil, kemudian dibuat klasifikasi berdasarkan ragam hias nisan, bentuk dan bahannya. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis melalui analisis bentuk dan variasi ragam hias nisan. Analisis variasi ragam hias nisan bertujuan untuk mengetahui variasi bentuk ragam hias nisan dan mengungkapkan makna dibalik variasi ragam hias tersebut. Analisis tersebut didukung melalui analisis kontekstual, yaitu analisis yang dilakukan melalui atribut kontekstual. Atribut kontekstual ialah ciri-ciri yang diperoleh melalui
12
pengamatan konteks artefak yang didasarkan pada data sejarah dan penempatan
makam
(Clarke,
1978: 14).
Hasil analisis
tersebut
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai makna ragam hias pada nisan di Makam Belanda Peneleh Surabaya. 4.
Sintesis Tahap ini merupakan tahap penjelasan secara keseluruhan yang menggabungkan hasil analisis bentuk, analisis ragam hias, dan analisis kontekstual untuk
menjawab
pertanyaan
penelitian.
Dari analisis
kontekstual yang dilakukan melalui historical context dan analisis lokasional nantinya akan diketahui nama tokoh, pekerjaan semasa hidup, dan sebagainya untuk memberikan gambaran mengenai makna ragam hias nisan yang ada pada Makam Belanda Peneleh (Clarke, 1978: 14). 5.
Penarikan Kesimpulan Tahap terakhir ini adalah menarik kesimpulan dari data yang telah dianalisis. Bertujuan untuk melihat variasi nisan pada makam Belanda Peneleh berdasarkan ragam hias yang didukung oleh bentuk dan bahannya serta makna ragam hias nisan. Dari hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai kajian tentang ragam hias nisan.
13
F. BAGAN ALIR PENELITIAN Pengumpulan Data
-
Data Primer Bahan Bentuk Ragam Hias Keletakan
Data Sekunder - Sejarah makam Belanda Peneleh - Peta Surabaya tahun 1800-1900 - Arsip Belanda - Wawancara
Observasi - Pengambilan sampel nisan dengan Purposive Sampling -Pendokumentasian Deskripsi Nisan
-
Ragam Hias Simbol Kekristenan Tengkorak Floral Angels, dll Inskripsi
Bahan - Logam - Marmer - Bata yang disemen Bentuk - Papan (slab) - Tugu
Analisis Bentuk Analisis Kontekstual Analisis Ragam Hias
Sintesis Bentuk dan Ragam Hias Nisan Makam Belanda Peneleh
Kesimpulan