BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1
Perkembangan Musik Keroncong di Indonesia Industri musik di Indonesia bisa jadi merupakan industri yang lebih menjanjikan, jika dibandingkan dengan industri seni yang lain, misalnya sastra atau teater. Maraknya industri rekaman dan meningkatnya produksi album lagu di Indonesia dari tahun ke tahun sampai dengan saat ini, telah menjadi bukti ke”eksis”an dunia musik. Banyak sekali ragam dan jenis musik yang dapat ditemukan di Indonesia dari yang tradisional sampai yang modern. Termasuk salah satunya adalah jenis musik keroncong. Namun sayangnya, ke”eksis”an dan ledakan penjualan album tersebut jarang sekali terjadi pada musik keroncong. Booming hanya terjadi pada musik-musik populer. Para petinggi industri musik Indonesia seringkali hanya
mementingkan
bisnis
dan
permintaan
pasar
saja
dan
mengesampingkan kualitas. Usaha yang dilakukan pihak kapitalis adalah membentuk selera pasar atau mengeksploitasi selera publik, misalnya apa yang dikonsumsi publik akan menentukan apa yang diproduksi dalam tujuan untuk memperoleh keuntungan maksimal (Frith, 1981; Middleton dalam Coates, 2005). Padahal, musik keroncong justru merupakan musik yang berkualitas tinggi, karena tak sembarang orang bisa menyanyikan dan memainkan musiknya. Selain itu, faktor penyebab ketidakpopuleran keroncong saat ini dikarenakan kurangnya minat generasi muda akan musik ini. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh penulis melalui kuesioner, Dari sebanyak 62 responden kuisioner berusia 17-25 tahun, hanya 35% saja yang menggemari musik keroncong. Hal tersebut berarti masih kurangnya minat para generasi muda untuk menikmati musik keroncong. Mayoritas responden beranggapan bahwa musik ini kurang familiar bagi telinga mereka dan dianggap sebagai musik orang tua yang membosankan.
1
Tentu saja hal itu adalah paradigma yang salah dan harus dirubah. Padahal sebenarnya, musik keroncong banyak yang telah diaransemen dan digubah dengan gaya yang lebih modern sesuai dengan selera kaum remaja saat ini. Mengutip perkataan Sundari Soekotjo bahwa perlu pendekatan khusus untuk generasi
muda
agar
keroncong
tidak
punah
karena
ketiadaan
penerus.1Upayanya salah satunya adalah dengan mengawinkan musik keroncong dengan genre musik lain seperti pop, jazz, bahkan rock. Terlihat dari pementasan musik keroncong yang digelar oleh Yayasan Keroncong Indonesia yaitu Kedjora (Keroncong Djoeara Nusantara) yang melibatkan musisi dari beragam genre dan beragam usia serta beberapa musisi muda papan atas.2 Tujuannya adalah agar semakin banyak yang menikmati, mencintai, serta mengapresiasi para seniman di industri musik keroncong. Musik Keroncong adalah jenis musik yang sederhana, sopan dan mengandung falsafah yang tinggi. Namun kini sangat jarang ditemukan album keroncong di pasaran. Yang ada hanyalah album lama yang dinyanyikan oleh penyanyi legendaris seperti Waljinah, Gesang, Sundari Sukotjo,dan lain lain yang hanya dicopy ulang. Peletakan album di toko musik pun seringkali ditempatkan di tempat yang kurang mendapat perhatian. Sebenarnya banyak penyanyi keroncong muda yang bermunculan di Indonesia, yang bisa dilihat pada ajang kompetisi seperti Gelar Seni Keroncong, Bintang Radio dan Lomba Penyanyi Keroncong yang sampai sekarang ini masih rutin dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, namun nyatanya masih belum dapat bersaing dengan penyanyi di genre musik yang lain di industri musik Indonesia.3 Sudah seharusnya budaya lokal menjadi aset berharga yang harus dijaga dan
dilestarikan, seiring dengan semakin pesatnya pengaruh
modernitas dan perkembangan teknologi. Namun sayangnya, usaha masyarakat untuk memeliharanya sendiri masih sangat minim. Belakangan banyak sekali isu tentang kebudayaan Indonesia yang diklaim pihak lain. Misalnya saja batik dan reog. Memang, masyarakat langsung bereaksi keras
1
Kedaulatan Rakyat, 2 April 2015, hlm. 1. Ibid., hlm. 7 kol. 1. 3 Jogjaningrum, D. 2013. Eksistensi Keroncong Dalam Musik Industri Di Indonesia. Thesis S2 Jur Ilmu AntarBidang UGM 2
2
dengan berbagai adu pendapat sebagai ungkapan rasa tidak terima. Namun ironinya, mereka hanya mampu mencaci maki pihak yang mengklaim tersebut, tetapi tidak mau mempelajari tradisi itu sendiri. Seharusnya diperlukan tindakan nyata yang bisa dimulai dari hal-hal kecil, misalnya belajar membatik maupun mempelajari tarian, dengan begitu kita menjadi terbiasa untuk mencintai budaya asli Indonesia. Sama halnya dengan musik keroncong, yang merupakan musik tradisi asli Indonesia. Beberapa penggiat seni musik keroncong mulai mengkhawatirkan kesenian tradisi ini akan diklaim oleh negara lain. Hal ini bisa saja terjadi lantaran mulai menurunnya minat masyarakat akan musik ini dan bahkan banyak yang melupakan jika musik ini merupakan musik asli Indonesia yang harus dilestarikan. 1.1.2
Potensi Seni Musik Keroncong di Surakarta Kota Surakarta terkenal sangat kental dengan budayanya. Budayanya pun sangat beragam, mulai dari kesenian, tempat bersejarah, kerajinan, sampai kuliner. Salah satu yang paling menonjol adalah keseniannya. Dapat dilihat dari banyaknya pagelaran seni, kirab, dan pertunjukan yang diselenggarakan secara rutin. Seni budaya di Kota Surakarta pun tak terhitung banyaknya. Salah satu seni budaya yang menjadi perhatian para penggiat seni di Surakarta adalah seni musik keroncong. Musik keroncong mulai masuk ke Surakarta sekitar tahun 1920-an, walaupun sebenarnya sudah ada terlebih dulu di Jakarta. Awal perkembangan keroncong di Surakarta muncul pada saat diadakannya festival musik di Sriwedari yang menampilkan berbagai jenis musik termasuk keroncong. Dari festival itulah muncul kumpulan orkes-orkes keroncong. Pada tahun 1960-an banyak sekali kelompok keroncong. Salah satunya OK Bintang surakarta yang dipimpin oleh Waljinah Budi. Pada Tahun 1976 terbentuk organisasi sebagai wadah untuk semua artis dan musisi keroncong yang bertujuan sosial dan memperhatikan perkembangan musik keroncong, yang disebut HAMKRI (Himpunan Artis Musisi Keroncong Indonesia).4 Banyak
4
Maulana, Fahrisa. 2013. Perkembangan Musik Keroncong Di Indonesia Dari Masa Ke Masa. http://fahriisamaulana.blogspot.com/2013/08/perkembangan-musik-keroncong-dari-masa.html diakses 8 April 2015 pukul 15.00
3
pula maestro keroncong yang berasal dari Surakarta. Misalnya saja Gesang dengan karyanya yang tersohor berjudul “Bengawan Solo” dan juga Waljinah dengan “Walang Kekek”nya. Waljinah juga pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan Artis Musik Keroncong Republik Indonesia (HAMKRI) Solo. Beliau juga telah membuka sanggar seni kecil-kecilan di rumahnya. Menurut Bapak Wartono, saat ini juga cukup banyak komunitas dan grup keroncong di Surakarta. Sedikitnya ada sekitar 60an grup, dan menjadi kota yang paling aktif menggiatkan keroncong. Adanya berbagai event yang menampilkan keroncong, menjadi bukti bahwa keroncong masih sangat hidup di Kota Surakarta. Diantaranya, Solo Festival Keroncong yang sudah ada sejak tahun 2009 dan diadakan setiap tahun, serta pagelaran keroncong yang diselenggarakan oleh oleh HAMKRI yang diadakan setiap Selasa minggu ketiga bulan genap di Taman Budaya Surakarta, Minggu kedua di Gedung Kesenian RRI Surakarta, Minggu ketiga di Gramedia Pusat, serta Jumat dan Minggu di pendopo Sriwedari. Ada pula event-event lain yang menampilkan keroncong di dalamnya, seperti SIPA (Solo International Performing Arts) dan Kreasso. Jumlah penontonnya masih terbilang cukup banyak, walaupun mayoritas orang tua, namun pemain musik dan penyanyinya rata-rata anak muda.5
Gambar 1.1 Solo Festival Keroncong Sumber: solopos.com
1.1.3
Fasilitas Sanggar Seni Kurang Representatif Dari berbagai penjelasan tersebut, telah menjadi bukti bahwa musik keroncong masih eksis dan dijaga kelestariannya sampai sekarang di Indonesia. Terlebih lagi di Kota Solo, yang merupakan ikon terkuat dari musik
5
Wawancara dengan Bapak Wartono dari Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (HAMKRI) Surakarta. 13 April 2015.
4
keroncong. Usaha untuk menumbuhkan penyanyi-penyanyi keroncong baru pun sudah membuahkan hasil. Namun tetap saja penyanyi-penyanyi muda ini masih belum bisa dikenal seperti pendahulunya. Sedikitnya “ruang” yang tersedia sebagai tempat berkreasi dan berekspresi menjadikan keroncong semakin tersisih dari industri musik di tanah air. Kurangnya perhatian masyarakat menjadi faktor yang membuat musik keroncong kurang dikenal. Fasilitas sanggar seni masih sangat jarang dan yang ada pun masih kurang representatif.
Gambar 1.2 Tempat pelatihan yang seadanya Sumber: keroncongsolo2.wordpress.com
Para seniman keroncong di Surakarta hanya membuka pelatihan kecil-kecilan dan seadanya di rumahnya, seperti Waljinah, alm. Gesang, dan ada beberapa nama seperti Taruna Kusuma (Pucangsawit), Sapto Haryono (Mangkubumen), Karvanada (Purwopuran), Harmoni (Sangkrah), dan Suara Bengawan. Selain itu ada SMKN 8 yang telah memasukkan keroncong sebagai kurikulum. Sebenarnya, telah dibangun sebuah taman yang sekaligus sebagai sanggar seni, yang didirikan untuk mengapresiasi alm. Gesang di daerah Taman Satwa Taru Jurug, yang bernama Taman Gesang. Namun sayang, kondisinya sangat terbengkalai.
Gambar 1.3 Taman Gesang yang terbengkalai Sumber: Dokumentasi Penulis,2015
5
Selain itu, fasilitas pertunjukannya pun masih kurang memadai sehingga kurang menumbuhkan minat masyarakat. Biasanya pertunjukan diadakan berpindah-pindah, di Joglo Sriwedari, auditorium RRI, Balai Soedjatmoko di Gramedia, atau di taman budaya. Kondisi tempat pertunjukan pun dirasa kurang sesuai bagi pertunjukan musik keroncong. Auditorium RRI (gambar kiri) sudah cukup tua sehingga menambah kesan membosankan pada keroncong.
Gambar 1.4 Fasilitas pertunjukan kurang representatif Sumber: Dokumentasi Penulis, 2015
Oleh sebab itu masih belum ada wadah yang dapat menyatukan komunitas-komunitas serta wadah bagi pelatihan keroncong yang lebih representatif. Melalui perancangan sanggar seni musik keroncong ini, penulis mencoba memberikan gagasan sebuah sanggar seni yang mampu membangun
minat
menumbuhkan
masyarakat
kreativitas
terhadap
khususnya
musik
bagi
keroncong,
kaum
muda
serta dalam
mengembangkan musik keroncong yang seiring dengan perkembangan modernitas, namun tetap fleksibel bagi penikmat keroncong terdahulu.
1.2 Rumusan Permasalahan 1.2.1
Permasalahan Arsitektural 1. Bagaimana mendesain bangunan sanggar seni yang berbeda dengan sanggar pada umumnya. 2. Bagaimana menciptakan bangunan yang mengintegrasikan komunitas dan sanggar seni serta pertunjukan. 3. Bagaimana mentransformasikan karakteristik musik keroncong ke dalam konsep perancangan arsitektur.
6
1.2.2
Permasalahan Non Arsitektural 1. Bagaimana memberi ruang bagi musik keroncong di masyarakat masa kini dan mendatang. 2. Bagaimana mengembangkan potensi keroncong dan menciptakan suatu sarana pengenalan musik keroncong pada publik. 3. Bagaimana
menciptakan
fasilitas
yang
representatif
untuk
menumbuhkan minat akan keroncong dan kreatifitas masyarakat dari semua kalangan.
1.3 Tujuan dan Sasaran 1.3.1
Tujuan 1. Menciptakan ruang di tengah masyarakat melalui sanggar seni musik keroncong. 2. Menciptakan sarana dan fasilitas pelatihan dan pertunjukan seni keroncong yang atraktif. 3. Menciptakan
fasilitas
yang
representatif
bagi
pelatihan
dan
pengembangan musik keroncong baik untuk menumbuhkan minat generasi muda tetapi tetap aksesibel bagi penikmat keroncong dari kalangan orang tua. 4. Mengeksplorasi ruang dan bentuk yang kreatif berdasarkan analisa kebutuhan dan karakteristik musik keroncong dan masyarakat. 5. Mendapatkan landasan konseptual perancangan bangunan yang mampu mengkomunikasikan secara jelas informasi yang ingin disampaikan kepada masyarakat. 6. Menemukan konsep rancangan dengan mentransformasikan karakter musik keroncong pada perancangan bangunan melalui pendekatan arsitektur.
1.3.2
Sasaran Menemukan keserasian antara karakter musik keroncong dengan perancangan arsitektur bangunan sanggar seni musik keroncong.
7
1.4 Lingkup Pembahasan Penyusunan konsep perencanaan dan perancangan Sanggar Seni Musik Keroncong di Surakarta meliputi seluruh elemen bangunan yang terdiri atas aspek: 1.4.1
Arsitektural a. Eksterior 1) Kondisi Tapak 2) Bentuk bangunan yang terdiri atas gubahan serta susunan massa 3) Struktur dan konstruksi bangunan serta penggunaan material 4) Karakter bangunan dan ruang 5) Sirkulasi dari luar tapak ke dalam tapak b. Interior 1) Fungsi bangunan 2) Program Ruang 3) Bentuk ruang 4) Sirkulasi dari dalam tapak ke dalam bangunan 5) Suasana di dalam bangunan
1.4.2
Non Arsitektural a. Karakteristik pengguna baik individu maupun kelompok b. Karakteristik kegiatan atau aktivitas yang diwadahi
1.5 Metode Penulisan Metode penulisan digunakan untuk memperoleh informasi dari berbagai sumber. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu suatu metode menganalisis data kualitatif untuk memperoleh suatu kesimpulan. Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara yaitu: a. Data Primer
Studi Kasus Metode yang dilakukan dengan mempelajari dan membandingkan beberapa preseden bangunan sanggar seni yang sudah ada serta bangunan yang menggunakan pendekatan desain yang serupa, untuk melihat dan memahami persyaratan, standar dan fungsi dalam perancangan.
8
Observasi Lapangan Metode pengumpulan data melalui survey dan observasi langsung ke lapangan, yaitu dengan mengumpulkan data melalui tinjauan langsung ke kawasan Sriwedari, Padepokan Seni Bagong Kussudiarja, Taman Gesang, sekretariat HAMKRI, dan auditorium RRI Surakarta.
Kuesioner/angket Metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan kepada orang lain yang dijadikan responden untuk dijawab.
Wawancara narasumber Teknik pengumpulan data melalui tatap muka dan tanya jawab pada narasumber yang berkompeten dan menguasai materi tentang musik keroncong, yaitu Bapak Wartono dari HAMKRI Surakarta serta narasumber dari Disbudpar Surakarta tentang Kawasan Sriwedari.
b. Data Sekunder
Studi literatur Memperoleh data-data empirik dan teoritik serta persyaratan dan standar dalam perencanaan dan perancangan Sanggar Seni Musik Keroncong. Studi literatur diperoleh dari data-data milik Instansi yang berkaitan, referensi pustaka, maupun internet.
1.6 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Berisi latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan, sasaran, lingkup pembahasan, metode penulisan, sistematika penulisan, keaslian penulisan serta kerangka berfikir dari isi dan tema pembahasan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berisi tinjauan umum tentang musik keroncong meliputi sejarah, perkembangan, alat musik, karakteristik, tokoh, komunitas, dan elemen dalam pertunjukan, dan tinjauan secara umum sanggar seni meliputi pengertian, fungsi,
9
kegiatan, fasilitas, dan standar perancangan yang disertai contoh studi kasus dan preseden bangunan sanggar seni. BAB III TINJAUAN LOKASI DAN ANALISIS Berisi tentang tinjauan lokasi site, yang berisi keadaan eksisting kawasan rencana bangunan sanggar seni dan analisis potensi site terpilih yang nantinya akan mempengaruhi konsep perancangan. BAB IV KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Pengkoneksian antara teori, keadaan tapak dan konsep pendekatan yang digunakan sebagai konsep desain untuk mengarahkan kepada pemilihan elemenelemen bangunan sesuai citra dan fungsi bangunan yang dikehendaki.
1.7 Keaslian Penulisan Belum ditemukan makalah dengan judul yang sama. Namun terdapat beberapa makalah yang dijadikan acuan oleh penulis karena adanya kemiripan pada tipe bangunan, konsep, maupun pendekatan yang digunakan. Beberapa judul tersebut diantaranya:
Pamungkas, Nova Putra. 2011. Konservasi Jazz di Yogyakarta Karya Arsitektur sebagai Representasi Fiksional dengan Metode Transformasi Musikal.
Maharani, Rizka Tiara. 2013. Perancangan Konservatori Musik Kontemporer di Yogyakarta dengan Pendekatan Akustik dan Musik
Persamaan terletak pada tipologi bangunan yang merupakan tempat pendidikan musik non formal dan konsep transformasi musik ke dalam arsitektur. Kekhususan dalam tugas akhir ini terletak pada transformasi musik ke dalam arsitektur sesuai dengan karakteristik musik keroncong sehingga didapatkan pendekatan secara arsitektural.
10
1.8 Kerangka Pemikiran
Gambar 1.5 Diagram Kerangka Pemikiran Sumber:Analisis Penulis,2015
11