BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi dalam masyarakat, banyak individu menganggap bahwa tampil menarik di hadapan orang lain merupakan suatu hal yang penting. Penampilan fisik seorang individu secara tidak langsung tentunya akan memancing penilaian individu lain dan akan mempengaruhi individu itu sendiri dalam menilai citra tubuhnya. Body image merupakan representasi seseorang mengenai bagaimana penampilan yang terlihat oleh orang lain. Bagaimana seseorang mempersepsikan tubuhnya sendiri, dan bagaimana individu menggambarkan tubuhnya berdasarkan pikirannya sendiri. Citra tubuh yang positif dan negatif tentunya akan terbentuk dalam pikiran seorang individu. Setiap kelompok masyarakat memiliki standar nilai yang berbeda untuk menentukan apa yang disebut menarik atau tidak menarik. Citra tubuh ideal berkaitan juga dengan mitos-mitos kecantikan yang berlaku dalam masyarakat tersebut (Wolf, 2004). Tetapi dalam budaya Budaya Pop Jepang, kecantikan tidak mengenal jenis kelamin, tidak seperti stigma yang melekat pada masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap laki-laki yang berpenampilan menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki, walaupun respon yang lebih positif diterima bagi perempuan yang berpenampilan maskulin daripada laki-laki yang berpenampilan feminim. Sedangkan menurut Chase (2001) jenis
1
kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi citra tubuh (body image) seorang individu, di mana kaum wanita lebih merespon segala macam bentuk feedback orang-orang di sekitarnya, yang akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap tubuhnya, dibandingkan kaum pria. Dalam budaya Jepang, terdapat istilah Bishounen yang memiliki arti “laki-laki cantik” justru menjadi idola para remaja putri di banyak negara yang memiliki ketertarikan terhadap budaya Jepang dan bukannya pria macho dengan badan yang berotot. Istilah bishounen tersebut membuat banyak laki-laki maupun wanita pecinta budaya Jepang dapat dengan leluasa melakukan hobby mereka, yakni crossplay. Seorang crossplayer yang selalu menggunakan pakaian dari lawan jenis dan berperan dengan atribut lawan jenis saat melakukan hobby mereka, yakni crossplay, mereka seringkali lebih mendapat pujian saat memakai atribut dan perlengkapan lawan jenis tersebut di banyak festival kebudayaan Jepang dan komunitasnya, tidak seperti seseorang yang bukan seorang crossplayer yang akan menghadapi stigma saat mereka memakai pakaian & atribut lawan jenis di kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Dacey & Kenny (2001) menyatakan bahwa body image merupakan keyakinan seseorang akan penampilan mereka dihadapan orang lain. Putriana (2004) mengemukakan bahwa orang-orang yang menunjukkan body image positif memiliki penerimaan diri yang baik sedangkan orang-orang yang menunjukkan body image negatif memiliki penerimaan diri yang kurang baik, termasuk kepuasan terhadap bagian-bagian tubuh dan keseluruhan tubuh, begitu pula pada remaja, yang merupakan range usia penggemar cosplay/crossplay terbanyak di
2
dunia. Erikson (Papalia, Olds & Feldman, 2009) mengemukakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan
krisis
ke-5
dalam
tahap
perkembangan
psikososial.
Tugas
perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang utuh dan memiliki peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Untuk menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya. Hal ini memunculkan keingintahuan bagaimana seorang crossplayer, yang mayoritas adalah remaja ataupun orang-orang yang berada di masa perkembangan dewasa awal, menghayati citra tubuh atau body image mereka bila dilihat dari dukungan positif yang mereka dapat dari pujian orang lain saat mereka bercrossplay.Beberapa crossplayer dan cosplayer yang berada dalam masa perkembangan dewasa awal semakin meningkat karena umur mereka yang seiring waktu secara mutlak bertambah dan mereka telah menjadi seorang crossplayer sejak dalam masa perkembangan usia remaja. Crossplay merupakan bagian dari Cosplay. Cosplay merupakan sebuah bentuk “konsumsi performatif” di mana seseorang menggunakan pakaian dan tubuhnya sendiri untuk berubah menjadi karakter-karakter yang mereka pilih (Hills, 2000). Sedangkan Crossplay adalah bagian dari Cosplay, di mana crossplayer membawakan tokoh dari jenis kelamin berbeda dari jenis kelamin
3
mereka yang sebenarnya. Cosplayer menyatakan bahwa mereka merasa sukses ketika mereka merasa telah memainkan karakter dengan “sempurna”. Cosplayer memiliki kriteria seperti “meniru dengan sempurna” detil kostum dan property, ketepatan mimic, gesture dan ekspresi wajah, kemiripan fisik cosplayer dengan tokoh yang diperankan, kemiripan secara umum dan sebagainya yang mencerminkan pengetahuan cosplayer mengenai tokoh yang mereka bawakan. (Winge, 2006). Fenomena kegiatan cosplay di Indonesia bermunculan setelah maraknya berbagai acara (event) bertema Jepang dengan mengikutsertakan kegiatan cosplay. Kegiatan cosplay tidak hanya berpusat kepada karakter yang berasal dari anime (animasi Jepang), tetapi juga pada karakter-karakter yang muncul di tokusatsu (superhero ala Jepang), permainan video, Harajuku Style (trend busana khas prefektur Harajuku di Jepang), maupun karakter orisinil yang terinspirasi dari media yang disukai. Kegiatan cosplay tersebut diadakan baik sebagai kompetisi maupun sekedar memeriahkan acara. (Sandika, 2010 : 26) Cosplay sering dijadikan sub-acara pada banyak festival Jepang berskala besar maupun kecil yang diadakan di kota-kota besar Indonesia sebagai acara tahunan yang selalu diadakan pihak swasta maupun dengan campur tangan pemerintah daerah, misalnya Gelar Jepang Universitas Indonesia, Jak-Japan Matsuri, Little Tokyo Ennichisai Blok M, HelloFest Kostumasa, Anime Festival of Asia in Indonesia (AFAID), CLAS:H, dan sebagainya.
4
Gambar 1.1. Stay – seorang internationally-recognized cosplayer wanita yang sering melakukan Crossplay sedang ber-crossplay berbagai tokoh laki-laki.
Cosplay mulai marak di Indonesia sekitar tahun 2000 dan mayoritas penggemarnya berada di range usia remaja. Semakin lama, budaya pop Jepang semakin berkembang di Indonesia seiring bertambahnya keharmonisan hubungan bilateral Indonesia dengan Jepang di berbagai aspek, bahkan semakin banyak acara televise yang menyiarkan banyak program yang bertemakan Jepang selain animasi dan drama Jepang. Pada awal tahun 2013 ini, Metro TV mulai menayangkan program yang berhubungan dengan kebudayaan dan perkembangan aktual Jepang seperti program Channel Japan, dan Kokoro no Tomo yang mulai tayang sejak awal Maret 2013 dan disiarkan setiap minggunya yang telah didahului program lainnya di stasiun TV nasional lainnya.
5
Sekitar akhir tahun 1998 sampai awal tahun 2000 para penggemar Anime (animasi asal Jepang), video games, dan Tokusatsu (Superhero ala Jepang) yang mayoritas adalah remaja, mulai bermunculan di kota-kota besar di Indonesia, mereka mulai secara terbuka melakukan Cosplay membawakan karakter favorit mereka dalam private photosession, lalu pada tahun 2000 mulai diselenggarakan banyak kompetisi Cosplay yang memang pada saat itu tidak menjajikan hadiah uang, melainkan sebatas award berupa trophy dan merchandise yang berhubungan dengan anime, games dan tokusatsu. Pada tahun-tahun awal kompetisi Cosplay dilakukan, hal tersebut masih sangat implisit bagi masyarakat luas, informasi mengenai kompetisi hanya disebarluaskan dalam komunitas pecinta budaya Jepang. Berbeda dengan Cosplay, Crossplay dilakukan dengan menggunakan kostum dan atribut dari jenis kelamin berbeda dari jenis kelamin cosplayer yang sesungguhnya, laki-laki memerankan karakter perempuan, perempuan memerankan karakter laki-laki. (Winge, 2006) Dalam Crossplay, terkadang make-up dan segala macam perlengkapan kostum membuat orang sulit mengenali jenis kelamin asli dari seorang crossplayer bila tidak mengetahui bahwa ia sedang melakukan Crossplay. Bahkan dari fenomena Crossplay tersebut telah banyak diakui professional cosplayer yang selalu sempurna memerankan gender-switch character dari banyak tokoh fiktif maupun tokoh idola yang iconic. Dengan demikian, latar belakang permasalahan ini berangkat dari banyaknya data mengenai crossplayer yang selalu memerankan tokoh dengan jenis kelamin berbeda dari jenis kelamin mereka sesungguhnya dan tidak mendapat respon buruk dari para pecinta budaya Jepang, serta pernyataan Chase (2001) yang
6
menyatakan bahwa jenis kelamin adalah faktor paling penting dalam perkembangan body image seseorang. Didukung dengan pendapat Dacey & Kenny (2001) juga sependapat bahwa jenis kelamin mempengaruhi body image. Dari uraian pada latar belakang masalah mengenai body image dan crossplay yang semakin berkembang bersamaan dengan perkembangan pesat tumbuhnya kecintaan terhadap kebudayaan Jepang, termasuk seni crossplay tersebut di Indonesia, saya tertarik untuk mengetahui secara lebih dalam bagaimana para crossplayer yang selalu memerankan tokoh dari jenis kelamin berbeda menghayati gambaran citra diri mereka saat tidak sedang memerankan tokoh tersebut (sedang tidak ber-crossplay) di kehidupan keseharian mereka.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dirumuskan pokok dari penelitian ini adalah :
1. ”Bagaimana gambaran citra tubuh (body image) crossplayer saat sedang tidak in-character/ber-crossplay dalam kehidupan sehari-hari? 2. ” Bagaimana gambaran citra tubuh (body image) crossplayer saat bercrossplay? ”
7
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran gambaran citra tubuh (body image) pada crossplayer saat ber-crossplay dan di luar identitasnya sebagai crossplayer, serta bagaimana mereka memahami dan menilai secara subjektif body image diri mereka sendiri saat sedang tidak in-character/ber-crossplay dalam kehidupan sehari-hari yang mereka jalani di masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitaian ini diharapkan bermanfaat secara praktis maupun teoritis di kehidupan nyata untuk membantu pihak-pihak yang ingin mengadakan penelitian lanjutan, crossplayer, orang-orang yang terkait atau ingin mengetahui tentang lebih dalam mengenai body image para crossplayer saat ber-crossplay dan di luar perannya saat ber-crossplay.
1. Manfaat Praktis Membantu memberikan pandangan kepada masyarakat luas mengenai fenomena Cosplay dan Crossplay yang mulai marak di Indonesia sejak akhir tahun 90-an hingga awal tahun 2000 dan untuk menambah pengetahuan mengenai body image para crossplayer saat ber-crossplay dan tidak sedang ber-crossplay.
8
2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan dengan memberi tambahan data empiris tentang bagaimana gambaran body image para Crossplayer saat sedang tidak ber-crossplay. Bagi penelitian selanjutnya dapat mengembangkan hasil penelitian ini dan memperkaya data yang telah dikumpulkan.
9