Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Penelitian ini hendak melakukan telaah kritis terhadap konsepsi human security (keamanan manusia) 1 yang mulai populer di tahun 1990an dan semakin memperolah gaungnya dalam berbagai forum internasional maupun perbincangan di kalangan akademisi saat ini2. Kritisme yang dimaksud ialah menggugat pembacaan konsepsi tersebut yang cenderung mengandaikannya sebagai konsep yang normatif dan nir kepentingan3. 1
Gagasan Human Security yang dibahas dalam penelitian ini dalam artian gagasan Human Security di level global bukan lokal (level nasional sebuah negara). Adanya perbedaan level global-lokal (nasional) ini perlu ditegaskan mengingat potensi tumpang tindih dalam memahami gagasan Human Security ini. Sejatinya pada keduanya ada titik hubungnya, yakni terkait dengan perbandingannya dengan konsepsi keamanan lama yakni state security. Dalam konsepsi state security, yang menjadi referent object (obyek yang harus dilindungi) ialah negara, sehingga mekanisme keamanan dirancang untuk memastikan survivalitas negara. Berbeda dengan Human Security yang menempatkan referent object pada manusia, bukan lagi negara. Adanya perubahan pada referent object inilah yang melahirkan implikasi di level global-lokal. Pertama, Di level global perubahan referent object ini menjadikan negara bangsa yang dalam konsepsi westphalia memegang kuasa penuh atas wilayahnya (prisip non intervensi) menjadi tidak lagi relevan. Karena hakikatnya meskipun kedaulatan secara formal masih diakui, namun dalam konsepsi Human Security negara tidak lagi dianggap sebagai aktor tunggal dalam menjamin keamanan manusia. Komunitas internasional dalam derajat tertentu dapat terlibat dalam menjamin keamanan manusia ini. Bahkan dalam konteks penelitian ini yakni kasus R2P, dapat dikatakan di pundak komunitas internasional itulah kuasa tertinggi atas keamanan manusia diberikan. Sehingga dapat dikatakan relevansi konsepsi Westphalia secara terselubung telah dihilangkan maknanya. Pada konteks inilah penelitian ini dilakukan, dan peneliti memegang asumsi yang negatif tentang konsepsi Human Security dalam konteks ini. Kedua, Di level “lokal”, perubahan ini dapat dikatakan (potensial) lebih bernuansa positif. Sebagai contoh dalam ketika negara dahulu menjadi referent object dari keamanan, eksistensi intelejen, militer, polisi, dan aparat keamanan lainnya lebih difungsikan untuk melindungi survivalitas negara. Sebagai contoh implikasinya misalnya intelejen tidak segan melakukan berbagai aksi penyadapan, penangkapan, bahkan pembunuhan pada warga yang dianggap berbahaya bagi negara. Ketika referent object berubah akibat penerimaan konsep Human Security, maka berbagai perubahan secara otomatis terjadi. Intelejen harus diformat sedemikian rupa (misalnya dengan pengawasan dan transparansi tertentu) agar tidak berbuat semena-mena pada warga yang seharusnya menjadi obyek yang dilindungi oleh intelejen. Konteks “lokal” ini tidak menjadi fokus pada penelitian ini, sehingga pembahasan tentangnya tidak dimuat. Perlu ditekankan bahwa meskipun ada perbedaan nuansa di dua level tersebut, penulis meyakini bahwa keduanya seperti dua sisi koin mata uang dalam artian akan muncul bersamaan. Karena sebagaimana ditegaskan di atas adanya dua level muncul akibat perubahan referent object dari negara ke manusia, yang suka atau tidak mengubah secara fundamental konsepsi keamanan dalam level “lokal” (nasional) dan juga “global”. Sehingga dalam konteks ini mungkin dapat dikatakan bahwa Human Security potensial melahirkan anugerah dan bencana. Lebih jauh tentang bergesernya konsep keamanan dari model State security ke Human Security dapat disimak pada Bab II. 2 Tentang munculnya wacana Human Security sejak tahun 1990an dan popularitasnya hingga kini misalnya dapat disimak pada: Chandler, David. 2013. Rethinking the Subject of Human Security. Dalam Pasha, Mustapha Kamal (ed). Globalization, Difference, and Human Security. Abingdon: Routledge,hlm. 40; Barrett, Hazel R. 2010. The Securitisation of HIV/AIDS: Human Security, Global Health Security, and The Rise of Biopolitics. Dalam McIntosh,Malcolm &Alan Hunter (ed). New Perspectives on Human Security. Sheffield: Greenleaf Publishing,hlm. 51; Thomas,Caroline. 2007. Globalization and Human Security. Dalam McGrew,Anthony &Nana K. Poku (ed). Globalization, Development and Human Security. Cambridge: Polity Press,hlm. 109; Dedring, Jurgen. Human Security and UN Security Council. Dalam Hans Günter Brauch et al (ed). Globalization and Environmental Challenges: Reconceptualizing Security in 21st Century. Berlin:
7
Berbeda dengan pembacaan tersebut, peneliti memandang human security sebagai konsepsi yang sangat bernuansa politis, dan layak disebut sebagai arena dan wujud kuasa. Secara spesifik dalam penelitian ini terkait dengan pendefinisian ancaman dan pembuatan strategi/ instrumentasi untuk memastikan ancaman tersebut sirna. Dalam konteks arena kuasa, definisi ancaman dan instrumentasi dapat disusun oleh berbagai pihak untuk kepentingan terselubung tertentu4. Ketika instrumen telah terbentuk secara baku dan diterima secara luas maka secara otomatis area kuasa telah bertransformasi menjadi wujud kuasa. Penelitian ini akan membatasi diri untuk mencermati definisi ancaman ala Mazhab Kanada dan instrumentasinya bernama Responsibility to Protect (R2P)5. Poin penting dari kuasa pendefinisian ialah dampak yang menyertainya di dunia nyata (ketika telah menjadi wujud kuasa). Sebagai contoh nyata dalam sejarah AS tercatat ada sebuah instrumen identifikasi tindak kejahatan unik dengan memasukkan bentuk fisik –dalam hal ini warna kulit- sebagai kriterianya. Dimana orang-orang yang berkulit hitam didefinisikan dalam instrumen tersebut sebagai kalangan yang “sangat potensial” melakukan tindak kejahatan6. Springer,hlm. 605; Turner, Mandy, Neil Cooper & Michael Pugh. 2011. Institutionalized and co-opted: Why Human Security has Lost its Way. Dalam Chandler,David &Nik Hynek (ed). Critical Perspectives on Human Security: Rethinking Emancipation and Power in International Relations. Abingdon: Routledge,hlm. 83; Beier, J. Marshall. 2011. Introduction: Everyday Zones of Militarization. Dalam Beier, J. Marshall(ed). The Militarization of Childhood: Thinking Beyond the Global South. New York: Palgrave Macmillan,hlm. 20; Mykal, Olena.2011. The EU-Japan Security Dialogue: Invisible But Comprehensive. Amsterdam : Amsterdam University Press,hlm.20 3 Tidak hanya dipanang normatif dan nir kepentingan, bahkan gagasan Human Security cenderung dipuja-puja setinggi langit karena diimajinasikan menciptakan model keamanan baru yang berorientasi pro-manusia (people centered security). Lihat wacana positif semacam ini misalnya di: Ribot, Jesse. 2013. Vurnerability Does Not Fall From The Sky: Toward Multi-Sclae Pro-Poor Climate Policy. Dalam Redclift, Michael R &Marco Grasso (ed). Handbook on Climate Change and Human Security. Cheltenham: Edward Elgar Publishing,hlm. 169; MacFarlane, S. Neil& Yuen Foong Khong. 2006. Human Security and the UN A Critical History. Bloomington, IN: Indiana University Press,hlm.159-160; Peou, Sorpong. 2009. Critical Challenges for Globalism in Human Security Studies. Dalam Peou, Sorpong (ed). Human Security in East Asia: Challenges for Collaborative Action. Abingdon: Routledge,hlm. 14-15 4 Hal ini dapat terjadi karena meskipun Human Security menjadikan manusia sebagai entitas yang harus dilindungi dari berbagai ancaman yang potensial mengancam namun perlu didudukkan secara seksama bahwa manusia dalam konsepsi Human Security hanyalah berkedudukan sebagai obyek yang pasif. Manusia bukan sebagai subyek aktif yang dapat menegartikulasikan pandangannya sendiri tentang ancaman dan cara melindunginya. Sehingga dapat dikatakan model keamanan ini sifatnya top down, bukan bottom up. Atas yang dimaksud ialah mazhab dalam Human Security (menenetukan definisi ancaman dan instrumentasi) dan komunitas internasional (pelaksana lapangan instrumentasi) . Lebih detail mengenai permasalahan ini akan dibahas pada bab II. 5 Secara singkat R2P memungkinkan intervensi asing ke dalam teritorial sebuah negara bangsa ketika negara tersebut dirasa tidak mampu menegakkan kemanan warganya dari ancaman konflik kekerasan. Opsi intervensi asing mencakup pula operasi militer (yang diklaim berdasarkan kaedah perang Humanitarian). Mengenai penjabaran secara detail mekanisme R2P dapat disimak dalam Bab III 6 Poindeter, Paula M. 2011. African-American Images in The News: Understanding the Past to Improve Future Potrayals. Dalam Ross, Susan Denta &Paul Martin Lester (ed). Images That Injure: Pictorial Stereotypes in the Media. California: ABC-CLIO,LLC,hlm.110-111; Unnever, James D. 2014. Race, Crime, and Public Opinion. Dalam Bucerius, Sandra M. &Michael Tonry (ed). The Oxford Handbook of Ethnicity, Crime, and Immigration.
8
Gambar 1.1 Orang Berkulit Hitam Identik dengan Kriminalitas
Sumber: DNA Learning Centre, no date
Tentu saja pendefinisian seperti ini akan berimplikasi negatif dalam pergaulan antar ras di AS. Semisal orang kulit hitam potensial mendapatkan diskriminasi, kecurigaan berlebihan dari sebagian masyarakat atau aparat keamanan saat di tempat umum, bahkan tindakan kekerasan terhadapnya, karena dianggap sebagai penjahat 7.
Oxford: Oxford University Press,hlm. 82-83;Williams, Francis M. 2014. Racial Hoaxes and Media Representations. Dalam Jones-Brown, Delores D., Beverly D. Frazier &Marvie Brooks (ed). African Americans and Criminal Justice: An Encyclopedia. California: Greenwood,hlm.437; Cotton, Allison M & Rhonda Ntepp. 2009. Media Potrayals of African Americans. Dalam Greene, Helen Taylor (ed). Encyclopedia of Race and Crime. California: SAGE Publications,Inc,hlm. 495 7 Wacana ini secara fakta tidak benar karena yang terbanyak melakukan kejahatan di AS justru kulit putih. Akan tetapi wacana ini nyatanya mampu mempengaruhi banyak orang, sebagaimana tergambar dalam Social Survey Question di tahun 1990 yang menyatakan 54% orang AS (warga kulit putih) meyakini wacana semacam itu. Bahkan wacana ini mampu mempengaruhi warga kulit hitam di AS sendiri, sebagaimana tergambar dalam National Race Survey di tahun 1991 yang menyatakan mayoritas warga kulit putih dan kulit hitam sepakat bahwa warga kulit hitam itu agresif dan kasar/bengis (aggressive or violent). Lihat Welch, Kelly. 2007. Black Criminal Stereotypes and Racial Profiling. Dalam Journal of Contemporary Criminal Justice Volume 23 Number 3, hlm.277-278
9
Tentunya menjadi pertanyaan siapa yang diuntungkan dengan adanya instumentasi rasis semacam itu? Jawabannya ialah warga kulit putih AS. Pendefinisian kejahatan dengan instrumen warna kulit sangat menguntungkan bagi terus berlangsungnya ideologi supremasi ras kulit putih (white supremacy) yang sudah terbentuk di AS sejak zaman perbudakan warga kulit hitam di sana. Ketika pada akhirnya perbudakan berakhir di AS, maka perlu dikembangkan teknologi kuasa untuk memastikan relasi tidak setara antara kulit putih dan kulit hitam terus berlangsung. Disinilah instrumen identifikasi kejahaan berbasis warna kulit memainkan peranannya8. Kemunculan gagasan human security sendiri tidak dapat dilepaskan dari nama Dr. Mahbub Ul Haq. Ia merupakan otak di balik munculnya Human Development Report (HDR) di tahun 1994 yang dikeluarkan oleh UNDP yang menegaskan tentang konsep human security. Konsep ini sendiri sejatinya berpijak pada gagasan seorang Presiden AS bernama Roosevert yang mendambakan dunia dimana manusia dapat hidup bebas dari ancaman fisik/rasa takut (freedom from fear) dan bebas dari kekurangan (freedom from want)9. Tentu saja rilis laporan UNDP tersebut tidak hanya mengajak untuk merenungi impian Roosevelt, tetapi juga seruan nyata (dengan modifikasi tentunya) untuk memikirkan bagaimana dapat mewujudkan impian tersebut. Berpijak pada gagasan Roosevelt tentang bebas dari ketakutan dan kekurangan (freedom from fear and want) sebagai prasyarat mencapai dunia yang “indah”, maka dokumen UNDP mencoba menganalisa berbagai potensi ancaman yang seharusya menjadi perhatian bagi konsep keamanan ala human security. Proses analisis tersebut akhirnya berujung pada sejumlah kategorisasi penting, yang dapat disebut sebagai pilar dari human security.
8
Thompson, Sherwood (ed). 2015. Encyclopedia of Diversity and Social Justice. Lanham: Rowman & Littlefield, hlm. 588. Lihat pula Oklopcic, Biljana. 2009. “The Nigger that’s going to Sleep with your sister”: Charles Bon and Joe Christmas As Balack Rapist in William Faulkner’s Oeuvre. Dalam Plath, Lydia & Sergio Lussana (ed). Black and White Masculinity in the American South, 1800-2000. Newcastle Upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing,hlm. 136 9 Wellman Jr, James K&Clark B Lombardi.2012. Religion and Human Security: A Global Perspective. New York: Oxford University Press, hlm.4. Sebenarnya masih ada dua gagasan lain dari Roosevet yang terkait namun tidak disebut dalam laporan UNDP yaitu kebebasan berbicara (freedom of speech) dan kebebasan beragama (freedom of religion). Keempat ide tersebut termuat dalam buku Roosevelt yang berjudul The Four Freedoms. Lihat Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 1995. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,hlm.170. Penting juga untuk disebutkan pengertian kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) dan bebas dari kekurangan (freedom from want) menurut Roosevelt sendiri, yakni dimana kebebasan dari rasa takut terkait dengan impian penghapusan senjata dari dunia secara bertahap sehingga ada satu masa dimana sebuah negara tak dapat melakukan agresi ke negara lain. Sedangkan bebas dari kekurangan terkait dengan impian adanya keadaan dimana seluruh negara di dunia memiliki masa damai yang sehat bagi seluruh rakyatnya. Lihat Ibid
10
Kategorisasi tersebut secara lengkap yakni, pertama, keamanan ekonomi (economic security), kedua, keamanan lingkungan (environment security), ketiga, keamanan kesehatan (health security), keempat, keamanan politik (political security), kelima, keamanan personal (personal security), keenam, keamanan komunitas (community security), ketujuh, keamanan pangan (food security)10. Semenjak digulirkannya dokumen UNDP, kajian mengenai human security terus dikembangkan, terkhusus mengenai ruang lingkup/definisi ancaman seperti apa yang seharusnya menjadi prioritas perhatian dalam konsep keamanan baru tersebut. Diantara wacana yang muncul ke permukaan disuarakan oleh Mahbub Ul Haq, yang merupakan otak di balik keluarnya dokumen UNDP 1994. Menurut Mahbub Ul Haq, human security menyangkut/ perhatian terhadap harkat manusia 11. Sehingga human security secara luas dapat dimaknai sebagai apa saja yang terkait dengan martabat manusia. Hal ini sesuai dengan penjabaran sejumlah ancaman yang disebutkan dalam dokumen UNDP, dimana diyakini segala ancaman tersebut merupakan penghalang krusial bagi terwujudnya kehidupan manusia yang bermartabat. Gagasan Mahbub Ul Haq mengenai definisi ancaman tersebut tidak serta merta diterima, karena pembahasan human security. Mazhab pertama yang sering juga disebut mazhab Kanada12, berpijak pada posisi mengenai definisi ancaman terus berlanjut hingga akhirnya melahirkan dua mazhab besar di dalam memaknai mengutamakan perlindungan atas keamanan manusia dari ancaman fisik/rasa takut (karena eksistensi senjata). Sementara di sisi lain muncul mazhab kedua yang mengutamakan perlindungan atas keamanan manusia dari ancaman kekurangan (non militeristik/orientasi pembangunan) 13. Eksistensi dua mazhab 10
United Nations Development Programme (UNDP). 1994. Human Development Report 1994. New York: Oxford University Press, hlm. 24-25. Lihat penjelasan detail mengenai 5 kategori tersebut pada Ibid,hlm.25-33 11 Haq, Mahbub ul. 1995. Reflections on Human Development. Oxford: Oford University Press,hlm. 116. Lihat pula Taylor, Viviane. 2004. From State Security to Human Security and Gender Justice. Dalam Agenda: Empowering Women for Gender Equity No. 59, hlm. 65; Valasek, Kristin. 2014. Please Leave Your Weapon at the Door: Re-Gendering Human Security from Human Security Now to Disarment. Dalam Boyd, Rosalind (ed). The Search for Lasting Peace: Critical Perspectives on Gender-Responsive Human Security. England: Ashgate Publishing Limited,hlm. 28; Taylor, Viviane. 2015. Human Right & Human Security: Feminists Contesting The Terrains. Dalam Baksh, Rawwida &Wendy Harcourt (ed). The Oxford Handbook of Transnational Feminist Movements. Oford: Oford University Press,hlm.355 12 Mazhab inilah yang menjadi pokok pembahasan pada penelitian ini, terkhusus dengan instrumentasinya yang bernama R2P 13 Mazhab ini disebut mazhab Jepang/mazhab freedom from want. Perlu ditekankan bahwa sejatinya mazhab ini juga menyimpan kuasa tertentu yang tak kalah membahayakannya dengan mazhab Kanada, salah satunya mengenai penekannaya pada masalah iklim (Climate Change). Namun dikarenakan mazhab ini bukan menjadi pokok pembahasan dari penelitian, yang secara spesifik hanya akan berbicara terkait R2P dan mazhab di belakang gagasan tersebut (yakni Kanada), maka pembahasan mazhab Jepang hanya berupa tambahan informasi saja untuk memberikan gambaran utuh adanya dua poros besar mazhab dalam gagasan Human Security. Terkait sisi kelam mazhab Jepang tidak akan disinggung dalam penelitian ini.
11
dengan pendefinisian khasnya dapat dikatakan berhasil mengunci jenis/bentuk ancaman seperti apa yang seharusnya menjadi perhatian utama human security. Tentu saja pendefinisian baku ancaman tersebut berimplikasi pula pada kewenangan masing-masing mazhab untuk “berkreasi” menciptakan strategi/instrumentasi untuk menjamin tegaknya kemanan manusia dari ancaman yang potensial melandanya. Salah satu instrumen penting yang berhasil dikembangkan oleh mazhab Kanada dan menjadi fokus peneitian ini ialah Responsibility to Protect (R2P)14. Mazhab Kanada -juga sering disebut mazhab freedom of fear-, yang menekankan pada ancaman fisik, tentunya memformulasikan strategi yang sifatnya semi-militeristik dan lebih bersifat paksaan. Dimana unsur diplomasi, sanksi, bahkan operasi militer bisa dipergunakan untuk mengatasi masalah keamanan tersebut (sebagaimana tercermin dari R2P)15. Ruang lingkup penerapan strategi ala mazhab ini juga tidak jauh dari persoalan konflik dan kekerasan seperti resolusi konflik, pencegahan konflik, dan pembangunan perdamaian16. Dengan wajah semacam itu tidak salah jika dikatakan mazhab ini lebih dekat dengan pengertian keamanan tradisional yang notabene terkait militer. Hanya saja jika keamanan tradisional fokusnya negara, human security versi mazhab freedom of fear berfokus kepada keamanan manusia yang terancam oleh berbagai aksi kekerasan dan konflik17. Dari sisi pendefinisian ancaman saja nampak jelas kepentingan politik di baliknya. Adalah Gunhild Hoogensen Gjørv misalnya yang membongkar alasan mengapa mazhab Kanada18 memilih mendefinisikan ancaman terkait dengan soal kekerasan dan konflik. Alasan terselubungnya menurut Gjørv, tidak lain terkait dengan kepentingan nasional negara Kanada itu sendiri. Kanada bersama dengan Norwegia (yang juga pendukung mazhab ini) merupakan negara middle power. Middle power sendiri merupakan negara yang tidak dapat dikategorisasikan sebagai negara yang besar yang pengaruhnya dalam percaturan
Lebih jauh mengenai terciptanya mazhab Jepang dan Kanada akan dibahas pada Bab II 14 Perlu ditegaskan bahwa meskipun eksistensi dua mazhab seakan menegasikan satu dengan yang lainnya, namun keduanya berakar dari titik tolak yang sama yakni redefinisi ulang peran utama negara bangsa sebagai penyedia keamanan di dalam negerinya masing-masing. Kedua mazhab sama-sama beranggapan komunitas internasional menjadi aktor penting utama menggantikan negara bangsa sebagai penjamin (baru) keamanan masyarakat internasional. Negara bangsa dalam skema baru tersebut tidaklah hilang akan tetapi didudukkan sebagai “bawahan” dari komunitas internasional. Lihat penjelasan secara lebih rinci pada Bab II 15 Okubo,Shiro. 2011. Globalization, Human Security, and The Right to Live in Peace. Dalam Okubo,Shiro &Louise Shelley (ed). Human Security, Transnational Crime and Human Trafficking: Asian and Western Perspectives. Abingdon: Routledge,hlm. 21 16 Akpenino, James Ohwofasa. 2013. Modern Concepts of Security. Bloomington, IN: AuthorHouse,hlm..64 17 Tentu saja ini sekedar klaim. Realitasnya di lapangan inilah yang menjadi fokus penelitian ini. 18 Mazhab yang menjadi fokus dalam penelitian ini
12
internasional sangat kuat seperti AS, tetapi juga bukan negara kecil yang pengaruhnya terbilang kecil dalam percaturan internasional19. Dengan statusnya sebagai middle power tersebut, konsepsi human security versi mazhab freedom from fear digunakan Kanada sebagai senjata diplomasinya untuk mengangkat pamornya di level internasional.
Hal ini dapat dilakukan mengingat fear
(ketakutan) berada di luar lingkup negara Kanada, seperti di negara-negara dunia ketiga. Sedangkan dalam negeri Kanada sendiri tidak bermasalah. Sehingga dengan pendefinisian semacam itu Kanada menjadi punya legitimasi untuk turut campur dalam penanganan berbagai ancaman terhadap human security di level internasional20. Terbukti dengan sejumlah inisiasi Kanada untuk mengaluarkan draf konvensi anti ranjau di tahun 1997 dan terlibat dalam pendirian International Criminal Court (ICC)21. Dari keterangan diatas terungkap jelas bahwa ada motif politik di balik dukungan Kanada dan sekutunya pada gagasan human security, yakni sebagai basis bagi negara middle power untuk lebih meningkatkan pengaruhnya di level internasional secara positif. Namun keterangan tersebut dirasa belum cukup, karena tidak menunjukkan adanya masalah serius yang melekat (inheren) dalam gagasan human security. Karena pada hakikatnya tidak ada masalah jika kepentingan pribadi sebuah negara tercapai bersamaan dengan suksesnya penjaminan kemanan manusia dari ancaman. Sebagai contoh apakah salah ketika
Indonesia menyatakan berkomitmen menjaga
lingkungan hidup dengan menadatangani perjanjian dengan Norwegia guna implementasi REDD di Indonesia22, karena didorong keinginan Indonesia untuk “bersinar” di pergaulan Internasional23? Jika penelusuran berhenti sampai di pada penyingkapan ambisi terselubung Indonesia tersebut, tentunya sama sekali tidak menafikkan implikasi positif dari perjanjian Indonesia-Norwegia yang berorientasi pro lingkungan hidup.
19
Capie, David H&Paul M. Evans. 2002. The Asia-Pacific Security Lexicon. Singapore: Institute of Souheast Asian Studies,hlm. 162 20 Gjørv, Gunhild Hoogensen. 2014. Virtuous Imperialism or a Shared Global Objective? The Relevance of Human Security in Global North. Dalam Gjørv, Gunhild Hoogensen, Dawn R. Bazely, Marina Goloviznina and Andrew J.Tanentzap (ed). Environmental and Human Security in the Arctic. New York: Routledge,hlm.65 21 Ibid,hlm.63 22 Lima, Mairon Bastos et al. 2013. Case Study Indonesia. Dalam Gupta,Joyeeta, Nicolien van der Grijp &Onno Kuik (ed). Climate Change, Forests and REDD: Lessons for Institutional Design. Abingdon: Routledge,hlm. 133; Alcorn, Janis B. & Antoinette G. Royo. 2015. Best REDD Scenario: Reducing Climate Change in Alliance with Swidden Communities and Indigeneous Peoples in Southeast Asia. Dalam Cairns, Malcolm F. (ed). Shifting Cultivation and Environmental Change: Indigenous People, Agriculture, and Forest Conservation. Abingdon: Routledge,hlm. 299 23 Jotzo, Frank. 2012. Can Indonesia Lead on Climate Change? Dalam Reid, Anthony (ed). Indonesia Rising: The Repositioning of Asia's Third Giant. Singapore: ISEAS,hlm. 94-95
13
Senada dengan penandatanganan Indonesia-Norwegia, tidak ada yang salah dengan gagasan human security jika penelusuran behenti sampai pada penemuan fakta adanya keinginan Kanada dan sekutunya untuk lebih “bersinar” dalam pergaulan internasional, karena tidak merubah sama sekali esensi gagasan Human Security yakni menjamin keamanan manusia. Yang menjadi permasalahan serius ketika kepentingan pribadi tersebut justru mengalahkan atau berposisi diatas upaya penjaminan keamanan manusia yang dipersyaratkan Human Security, dimana dalam konteks penelitian ini keamanan manusia dari kekerasan dan konflik -sebagaimana digaungkan sendiri oleh mazhab Kanada-. Jika kepentingan pribadi justru berada diatas kepentingan penegakan kemanan manusia maka secara terang benderang menunjukkan bahwa Human Security tidak lebih dari teknologi kuasa untuk melegitimasi atau sarana mewujudkan kepentingan tertentu, tentunya dengan “topeng” dan “janji manis” akan penciptaan kondisi lebih baik bagi manusia global yang bebas dari berbagai ancaman keamanan (dalam hal ini kekerasan). Studi ini secara khusus menyoroti secara kritis terhadap gagasan Responsibility to Protect (R2P) yang merupakan instrumentasi penegakan Human Security ala mazhab Kanada, dan hingga kini dikenal sebagai instrumen paling utama guna memastikan penciptaan human security di level global24. Guna kepentingan penelitian yang ingin membongkar R2P sebagai teknologi kuasa untuk melegitimasi kepentingan tertentu, bukannya demi penegakan keamanan manusia, maka diperlukan penelusuran kritis akan realitas penerapan R2P di lapangan. Ada dua pedoman penting untuk membaca R2P secara kritis yang dipergunakan dalam peneitian ini, yakni: pertama, kepentingan terselubung apa di balik penerapan penerapan R2P, kedua, bagaimana realitas penegakan keamanan manusia yang seharusnya menjadi sentralitas dilangsungnya operasi R2P di negara tertentu25.
1.2. Rumusan Masalah
24
Tatah, Mentan. 2014. Africa: Facing Human Security Challenges in the 21st Century. Bamenda: Langaa RPICG,hlm. 476. Lihat pula: Janzekovic,John &Daniel Silander. 2014. Responsibility to Protect and Prevent: Principles, Promises and Practicalities. Lodon: Anthem Press,hlm. 55; Peltonen, Hannes. 2013. International Responsibility and Grave Humanitarian Crises: Collective Provision for Human Security. Abingdon: Routledge,hlm. 27-28 25 Apakah penerapan R2P di lapangan benar-benar “seideal” yang dipropagandakannya atau tidak, dimana seharusnya penerapan R2P membuahkan keamanan manusia dalam wilayah yang diinisasi operasi tersebut. Dalam penelitian ini asumsi “ideal” tersebut diuji apakah benar-benar terbukti di lapangan atau tidak. Jika yang terjadi justru sebaliknya, dimana R2P tidak menjamin keamanan manusia (dari aksi kekerasan) di wilayah operasi R2P tersebut maka sangat jelas menunjukkan bahwa operasi R2P hakikatnya tidak dimaksudkan untuk menegakkan keamanan manusia tetapi hanyalah justifikasi kepentingan tertentu yang “bertopeng” atau berkedok penegakan keamanan manusia di wilayah tersebut.
14
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan: 1. Bagaimana implikasi negatif penerapan Responsibility to Protect (R2P) di lapangan?
1.3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian Penelitian yang mengambil fokus kajian tentang instrumen penegakan Human Security versi mazhab kanada bernama R2P yang hingga kini dikenal secara internasional sebagai “wajah nyata” Human Security, Apakah instumentasi R2P
benar-benar
membebaskan manusia dari ketidakmanan? Ataukah justru panggang daripada api, dimana eksistensi R2P sama sekali tidak berpotensi menjaga keamanan manusia atau bahkan potensial memperburuk keamanan manusia global26? Adapun signifikansi penelitian ini dapat berkontribusi secara teoritik terhadap pengembangan gagasan human security, dalam konteks memberikan perspektif yang lebih kritis dalam memahami atau memandang konsepsi human security itu sendiri, maupun memberikan perspektif kritis secara khusus –yang menjadi fokus penelitian inimengenai instrumentasi penegakannya di lapangan yang bernama R2P. Sikap kritis haruslah dibangun untuk melakukan penilaian kritis apakah berbagai asumsi dan klaim yang diwacanakan R2P tersebut hakikatnya berkesesuaian dengan realitas penerapannya di lapangan ataukah justru bertentangan dengan klaimnya sendiri? Tentunya studi ini diharapkan dapat memicu berbagai penelitian kritis lanjutan terkait gagasan human Security, baik mendalami instumen R2P atau instumen-instumen lain yang muncul sebagai akibat dari eksistensi ide Human Security, terkhusus di level global27.
1.4. Literatur Review Terkait dengan misi kajian yang mencoba melakukan telaah kritis pada gagasan human security, literatur review akan dibagi menjadi dua kategori yang saling terkait. Kategori pertama, telaah pada literatur yang mengungkap mengenai relasi antara ilmu (mencakup teori, paradigma, dan semisalnya) dan kekuasaan. Penelusuran literatur dalam kategori ini menjadi penting sebab sejalan dengan misi tulisan ini yang berupaya melakukan analisis kritis terkait gagasan human security yang merupakan teori/paradigma yang telah berkembang luas di kalangan akademis. 26
Khususnya manusia dunia ketiga Tawaran penelitian lebih lanjut guna membangun kritisme terhadap ide Human Security secara umum (baik di level global maupun lokal) dapat dicermati pada bab IV 27
15
Kategori kedua, telaah pada literatur yang membahas mengenai human security. Penelusuran ini menjadi penting untuk melihat bagaimana corak dan pandangan yang telah berkembang di kalangan akademisi selama ini dalam melihat gagasan human security. Penelusuran juga menjadi penting untuk memastikan kebaharuan yang coba ditawarkan dalam tulisan ini. Diharapkan kebaharuan yang disumbangkan dalam tulisan ini dapat berfungsi pula sebagai pelengkap karya-karya yang telah dipublikasikan sebelumnya, sehingga semakin berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan ke depan, khususnya dalam kajian kritis terhadap human security. Kategori pertama, yakni terkait literatur yang membahas mengenai relasi antara ilmu dan kekuasaan. Literatur dalam kategori ini dapat dipilah menjadi dua rumpun besar berdasarkan model Foucauldian28. Rumpun pertama, literatur yang menekankan pada pelacakan episteme29 dalam bidang keilmuan tertentu. Istilah episteme sendiri secara bebas dapat diartikan sebagai batas, sekat, belenggu yang tidak nampak namun memiliki daya menstruktur pemikiran yang berkembang dalam satu periode tertentu. Dalam kaitannya dengan relasi ilmu dan kekuasaan, episteme memberikan batas-batas pemikiran yang “boleh” atau “sah” dikembangkan, sebaliknya “menghapus”, “merepresi” pemikiran yang “tidak sah” dikembangkan. Sangat jelas implikasi kuasa yang dihasilkan akibat eksistensi episteme ini, karena pada hakikatnya mampu membuat manusia secara umum, dan akademisi secara khusus terpenjara dalam kerangka berfikir tertentu tanpa ia sadari. Diantara contoh literatur yang menekankan pada pelacakan misalnya dapat ditemui pada karya Farid Alatas berjudul Diskurus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Melalui karyanya tersebutAlatas memberikan penegasan bahwa ilmu sosial yang berkembang di Asia tersekat oleh epsiteme eurosentrisme. Sehingga penyembangan ilmu sosial yang becorak Asia sulit untuh tumbuh dan berkembang di wilayahnya sendiri. Sebaliknya karena pengaruh eksistensi episteme eurosentrisme,banyak diantara akademisi ilmu sosial Asia yang terjangkiti penyakit mimesis (peniruan tanpa kritis 28
Karya Foucault yang membahas mengenai ilmu dan kekuasaan tidak lepas dari dua corak: pembahasan mengenai epsiteme atau pembahasan mengenai teknik/strategi/teknologi kuasa. 29 Episteme dalam gagasan Foucault mirip makananya dengan worldview. Dapat juga disebut sebagai rezim wacana yang menentukan wacana (termasuk ilmu pengetahuan) seperti apa yang dapat berkembang. Perlu diingat bahwa dalam term Foucauldian, episteme sesungguhnya tidak hadir hanya dalam satu bidang keilmuan saja (misal sosiologi, ilmu politik) tetapi lingkupnya sangat luas, termasuk keseluruhan ilmu pengetahuan tercakup di dalamnya dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Lihat Naugle, David K.. 2002. Worldview: The History of a Concept. Cambridge: Wm. B. Eerdmans Publishing,hlm.181. Lihat pula O’ Quinn, Daniel. 1995. Episteme. Dalam Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms. Toronto: University of Toronto Press,hlm. 544; Werner Sollors. 1993. The Return of Thematic Criticism. Cambridge,MA: Harvard University Press,hlm.143 Namun dalam tulisan ini epsiteme dipakai dalam ruang lingkup yang lebih sempit, dapat dipergunakan untuk menandai satu era rezim tertentu dalam sebuah negara, atau dalam lingkup keilmuan tertentu secara lebih mikro.
16
sedikitpun) terhadap model ilmu sosial Barat 30. Dampak dari penyakit tersebut menurut Alatas sangat merugikan pengembangan ilmu sosial di Asia itu sendiri. Semisal karya-karya akademisis Asia justru menjadi kepanjangan suara cara berfikir orientalis yang menyematkan label barbar, terbelakang, irasional kepada dirinya (masyarakat Asia) sendiri 31. Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Purwo Santoso dalam tulisannya berjudul Ilmu Sosial Transformatif. Santoso sendiri berupaya menyoroti pengembangan ilmu sosial yang berkembang di Indonesia, sembari secara khusus menyoroti pengembangan ilmu politik di Indonesia. Sebagaimana Alatas yang menyatakan tentang penyakit mimesis pada ilmuan sosial Asia, Santoso menggunakan istilah sintaksis, yang diambil dari gagasan tiga derajat learning organization32.
Sintasksis sendiri menitikberatkan pada peniruan, bukan
pengembangan secara mandiri33. Tentunya sebagaimana pandangan Alatas, episteme sintaksis pada Barat ini potensial berimplikasi negatif pada pengembangan keilmuan sosial di Indonesia. Santoso misalnya mencontohkan efek negatif episteme ini pada teori demokrasi yang menjadi salah satu pembahasan penting dalam kajian ilmu politik di Indonesia (dan dunia). Menurut Santoso tercatat pemerintah Indonesia (Orde Baru) giat mengkampanyekan gagasan musyawarah mufakat. Gagasan ini ditolak mentah-mentah oleh para ilmuan ilmuan politik bahkan mencibirnya34. Alasan mencibir menurut Santoso sebenarnya sangat ironis, hanya karena tidak menjadi “tren” teori demokrasi yang dikembangkan di Barat. Akan tetapi ilmuan politik seakan “kena batunya” karena pada akhirnya di era kontemporer (paska Orde Baru) merebak luas gagasan teori demokrasi baru di Barat yang secara inti sejalan dengan konsep musyarawah mufakat. Gagasan tersebut di Barat dikenal dengan nama demokrasi deliberatif atau deliberative democracy35. Sesuatu yang terbilang “baru” di Barat tetapi sejatinya sudah melekat atau berkembang secara luas di Indonesia sejak lama. Dengan kata
30
Dalam istilah Chakrabharty, kalangan ilmuan sosial non Barat tidak mampu berfikir lepas dari framework teoritik Barat. Padahal menurutnya berbagai konsep, teori, ketegorisasi, dan genealogi yang menjadi bahan “copy paste” amat bias tradisi Barat. Lihat Chakrabharty, Dipesh. Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (2000). Dalam Jenkins,Keith &Alun Munslow (ed). The Nature of History Reader. London: Routledge,hlm. 191. Lihat pula Mandair, Arvind-pal Singh. 2009. Religion and the Specter of the West: Sikhism, India, Postcoloniality, and the Politics of Translation. New York: Columbia University Press,hlm. 383 31 Alatas, Syed Farid. 2010. Diskurus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Jakarta: Mizan,hlm. 15 32 Dalam gagasan learning organization ada tiga derajat pembelajaran yakni sintaksis (tahap awal), semantik (tahap kedua), dan transformatif (tahap final). 33 Santoso, Purwo. 2011. Ilmu Sosial Transformatif. Dipresentasikan pada Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Madapada tanggal19 April 2011di Yogyakarta,hlm. 4 34 Ibid,hlm.6 35 Ibid
17
lain sintaksis justru menghasilkan kemunduran besar dalam pengembangan teori demokrasi di Indonesia karena harus mundur jauh ke belakang (pra demokrasi deliberatif), dan kemudian pada akhirnya harus perlahan-lahan mempelajarinya kembali (demokrasi deliberatif). Itupun bukan mengambil atau memperkaya dengan “kearifan lokal” yang ada, tetapi tetap “mengimpor” dari Barat secara mentah. Karya lain yang lebih kontemporer dalam memotret episteme dalam ilmu sosial Indonesia dilakukan oleh Hamzah Fansuri dalam karyanya yang berjudul Sosiologi Indonesia: Diskursus Pengetahuan dan Reproduksi Kekuasaan. Secara khusus Fansuri menyoroti eksistensi episteme dalam pengembangan ilmu sosiologi di Indonesia dan berhasil memetakan tiga episteme yang berbeda sejak masa kolonialisme hingga era kontemporer. Pertama, episteme kolonial. Kedua, episteme pasca kolonial I, dengan penekanan pada pengembangan sosiologi di masa Orde Baru. Ketiga, episteme paska kolonial II, dengan penekanan pada pengembangan sosiologi di era paska Orde Baru. Menurut Fansuri ada titik temu dantara tiga episteme tersebut yakni sama sama tidak membumi, asing, tidak indegenous. Dapat dikatakan gagasan Fansuri ini mirip dengan Alatas dan Santoso yang menjabarkan mengenai epsiteme mimesis/sintaksis di tingkat Asia dan Indonesia (khususnya ilmu politik) yang tidak memungkinkan gagasan “indegenous” dikembangkan secara luas. Menurut Fansuri keberadaan epsiteme tersebut membuat gagasan sosiologi yang “khas” Indonesia berbasis Pancasila, Kerakyatan, Populisme hingga saat ini tidak pernah menjadi mainstream di negeri sendiri. Padahal sudah dikembangkan sejak masa kolonial36. Selain karya Alatas, Farid, dan Santoso, ada pula karya Hilmar Farid berjudul Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia. Senada dengan tiga penulis sebelumnya, artikel yang ditulis Farid juga menyoroti implikasi negatif dari eksistensi episteme yang mampu “menyensor” dan “meminggirkan” gagasan lain yang dianggap “tidak sah” 37. Secara khusus Farid menyoroti zaman Orde baru di Indonesia,dimana menurutnya epsiteme yang eksis pada saat itu cenderung anti pendekatan kelas dalam ilmu sosial. Sehingga menurutnya kajian analisis kelas cenderung minoritas bahkan dapat dikatakan menghilang dalam studi ilmu sosial semasa Orde Baru38. Sebaliknya dikarenakan eksistensi episteme anti pendekatan
36
Fansuri, Hamzah. 2015. Sosiologi Indonesia: Diskursus Kekuasaan dan Reproduksi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES,hlm.190 37 Hanya saja berbeda dengan penulis sebelumnya yang diangkat, Farid tidak memfokuskan pembahasan pada hilangnya ilmu yang “indigeneous”. 38 Farid. Hilmar. 2006.Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia . Dalam Hadiz, Vedi R & Daniel dakhidae. (ed). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT. Equinox,hlm. 187
18
kelas, memungkinkan analis bercorak lain –khususnya teori modernisasi- berkembang dengan cepat dalam kultur akademik ilmu sosial Indonesia. Bahkan Farid secara berani menyebutkan kepopuleran teori modernisasi di kalangan akademisi ilmu sosial indonesia sampai menjadikan teori modernisasi itulah yang disebut ilmu sosial 39. Sehingga teori lain yang bertentangan dengan teori modernisasi mungkin saja muncul dan berkembang secara terbatas, namun tidak akan mendapatkan tempat berarti karena tidak masuk dalam “definisi resmi” ilmu sosial yang berlaku saat itu. Rumpun kedua, literatur yang menekankan pada pelacakan mekanisme, strategi, teknik, teknologi kuasa40. Literatur semacam ini lebih menonjolkan telaah pada sebuah teori atau paradigma tertentu yang ditengarai menyimpan kuasa pendisiplinan guna mencapai tujuan politis tertentu. Telaah pada berbagai macam teori atau paradigma tertentu tersebut umumnya dilakukan dengan menganalisis secara kritis klaim-klaim yang diwacanakan oleh teori atau paradigma yang seolah netral. Penelusuran juga meliputi analisis terhadap kuasa apa di balik eksistensi teori atau paradigma tersebut, serta bagaimana dampak yang dihasilkan dari eksistensi tersebut (secara negatif tentunya). Diantara contoh model literatur semacam ini dapat ditemui pada literatur yang menggugat teori modernisasi Rostow dan good governance. Kedua teori tersebut sempat dipersepsikan secara mainstream bebas nilai, nir kepentingan, netral, dan bertujuan mulia 41. Kehadiran teori modernisasi Rostow yang ditandai dengan peluncuran karyanya yang monumental berjudul The Stages of Economic Growth. Dalam karyanya tersebut Rostow menjelaskan mengenai 5 tahapan pertumbuhan ekonomi yang bermula dari fase tradisional menuju modern. Secara detail 5 tahapan tersebut ialah the traditional society (masyarakat tradisonal), the procondition for take off (prasyarat untuk lepas landas), the take off (lepas landas),the drive to maturity (gerakan kearah kedewasaan), dan the age of high mass consumption (masa konsumsi tinggi) 42. Perkembangan dari fase tradisional ke modern 39
Ibid,hlm. 191 Mekanisme atau teknologi kuasa ini memiliki tujuan utama yakni mendisiplinkan perilaku individu dan memastikan ketundukan total mereka kepada sebuah tujuan tertentu. Kepatuhan ini pada akhirnya dalam istilah Foucault menghasilkan docile body (tubuh yang jinak). Sarana pendisiplinan itu sendiri beraneka regam. Foucault misalnya menelusuri teknologi kuasa ini dalam bentuk sekolah dan penjara. Ilmu pengetahuan sendiri merupakan salah satu bentuk teknologi kuasa. Sebagai contoh Foucault secara khusus menyinggung sains dan psikoanalisis sebagai teknologi kuasa yang membentuk kedisiplinan individu tentang seksualitas. Lihat Peraino,Judith A. 2006. Listening to the Sirens: Musical Technologies of Queer Identity from Homer to Hedwig. California: University of California Press,hlm. 195 41 Dalam kasus good governance bahkan hingga kini klaim netralitas dan bebas nilai masih terus didengungkan dan masih menjadi mainstream berfikir di kalangan akademisi 42 Rostow, W.W. 1959. The Stages Of Economic Growth. The Economic History Review, New Series, Volume 12 No 1,hlm.4-13. Dalam karyanya Rostow merinci ciri khas masing-masing tahapan dan perubahan seperti apa yang harus ditempuh untuk beranjak dari satu kondisi (yang lebih tradisional) menuju kondisi lain (yang lebih 40
19
dibayangkan Rostow ditandai dengan perubahan masyarakat dari yang tadinya miskin menjadi berkecukupan. Sehingga pada hakekatnya upaya transformasi fase tradisional ke fase modern merupakan strategi pembangunan manusia guna meningkatkan harkat dan martabat manusia. Terlebih teori Rostow sendiri diyakini dapat berlaku universal di seluruh dunia, dimana setiap negara dapat diposisikan dalam sebuah tahapan ekonomi yang tergambar dalam teori tersebut 43, sehingga dapat direkayasa untuk mencapai fase teratas. Kehadiran teori modernisasi dengan segera menjadi perbincangan hangat di kalangan intelektual dan secara nyata coba diimplementasikan di sejumlah negara berkembang dengan dukungan dari pemerintah AS. Tercatat Presiden AS Kennedy mengangkat Rostow untuk menduduki posisi penting di dalam lembaga National Security Council guna menjadikan teori modernisasi ujung tombak kebijakan pemerintahan Kennedy terhadap negara dunia ketiga44. Lebih jauh sebuah lembaga khusus bernama Agency for International Development (AID) untuk mengaplikasikan teori modernisasi secara nyata45. Di kemudian hari barulah sejumlah analisa kritis mengungkap berbagai kelemahan dalam teori tersebut.
Sejumlah kalangan yang sering dijuluki sebagai pengusung teori
ketergantungan (dependensi) mengungkap ketidaksinkronan antara klaim yang diusung pendukung teori modernisasi bahwa pengaplikasian teori modernisasi sebagai model pembangunan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi menuju kesejahteraan dengan realitas. Realitas yang terjadi dalam level makro, yakni perbedaan antara negara berkembang (dicirikan ekonomi tradisional) dan negara maju (dicirikan ekonomi modern), justru semakin jauh jaraknya 46. Dari temuan tersebut, muncullah berbagai analisis kritis terhadap teori Rostow dari kalangan pengusung teori ketergantungan, seperti gugatan terhadap ahistorisnya teori Rostow. Perkembangan teori modernisasi mengandaikan sejarah semua negara itu sama, padahal pada hakikatnya berbeda-beda, sehingga tidak bisa dibuat resep yang sama untuk semua negara47. Lebih jauh kalangan teori ketergantungan juga mengkritisi teori modernisasi
modern). Sebenarnya Rostow juga menambahkan satu tahapan lanjutan dari the age of high mass consumption, walaupun kajian tentang fase ini dapat dikatakan masih terbilang hipotesis awal. Menurut Rostow fase ini terlihat jelas di AS yang ditandai dengan naiknya angka kelahiran di negara tersebut (lihat Ibid, hlm. 13) 43 Waters JR, Robert Anthony.2009. Historical Dictionary of United States-Africa Relations. Maryland: Scarecrow Press, hlm.174 44 Ibid 45 Ibid 46 Bauzon, Kenneth E. Development Studies: Contending Approaches and Research Trends. Dalam Bauzon, Kenneth E (Ed). 1992. Development and Democratization in the Third World: Myths, Hopes, and Realities. Washington: Taylor dan Francis,hlm.38 47 Leonard, Thomas M. 2006. Encyclopedia of the Developing World. New York: Routledge, hlm.460
20
yang gagal melihat dampak kolonialisme pada negara berkembang yang sedikit banyak tidak menguntungkan posisi negara berkembang untuk melakukan pembangunan 48. Kritik lain yang muncul ialah pada hakekatnya teori modernisasi modernisasi menjadikan barat sebagai tolak ukur pembangunan (eurosentrisme). Sebagaimana tercermin jelas dari pembedaan antara tradisional dan modern dalam teori modernisasi, dimana yang tradisional haruslah lenyap demi modernisasi. Tentu saja teori modernisasi mengabaikan adanya kompleksitas keterkaitan antara tradisionalisme dengan kemodernan 49. Bahkan teori modernisasi seakan mengaggap remeh secara politis kekuatan dari tradisionalisme yang bisa berbentuk banyak hal seperti agama, klientelisme, dan etnisitas 50. Padahal jika dicermati secara kritis sejumlah bentuk tradisionalisme yang disebutkan diatas merupakan prinsip asasi bagi kalangan masyarakat non barat tertentu, sehingga menjadi hal yang dipertanyakan ketika pembangunan yang diklaim akan mensejahterakan masyarakat justru bertabrakan dengan identitas yang dianggap asasi dan penting dari masyarakat tersebut. Sejumlah kritik tersebut menunjukkan bahwa berbeda jauh dari slogan yang dieluelukan oleh teori modernisasi yang menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi dunia ketiga, pada kenyataannya teori ini justru merusak dunia ketiga. Namun sebagaimana ditegaskan oleh Graham Ellison & Nathan Pino, memang hakikat terselubung dari teori ini bukan murni kajian akademik semata, namun berisikan kuasa terselubung yang menguntungkan negara Barat, terkhusus AS. Dikarenakan di masa teori ini muncul, terjadi pertentangan antara Blok Barat (dipimpin AS) dan Blok Timur (dipimpin Soviet). AS diuntungkan melalui teori ini sebab dunia ketiga secara tidak sadar akan mengikuti nilai yang diusung AS saat itu51. Sehingga dapat dikatakan teori ini memberi jalan bagi hegemoni AS di negara dunia ketiga secara terselubung. Teori good governanceyang hingga saat ini masih mainstream dibicarakan dan dijadikan resep jitu guna mensukseskan pembangunan manusia secara global juga tidak seindah yang dibayangkan. Gagasan good governance sendiri dapat dilacak kemunculannya hingga tahun 1989, dimana muncul laporan dari Bank Dunia (World Bank) berjudul SubSaharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth. Di dalam laporan inilah terdapat sitilah governance yang intinya mengenai perlunya arah baru reformasi pemerintahan. Reformasi yang dimaksud ialah konsensus dan legitimasi politik menjadi prasyarat keberhasilan 48
Ibid Haynes, Jefferey. 2008. Development Studies: Short Introduction. Cambridge: Polity Pres, hlm.23 50 Ibid 51 Ellison,Graham&Nathan Pino. 2012. Globalization, Police Reform and Development: Doing it the Western Way?New York: Palgrave Macmillan,hlm. 44 49
21
pembangunan berkelanjutan52. Reformasi ini mencakup pendefinisian ulang peran negara yang sifatnya reduktif (dari bersifat regulatif ke fasilitatif), serta dilibatkannya aktor non negara dalam pembangunan53. Selain mensyaratkan pelibatan aktor non negara (dalam hal ini pasar dan civil society) dan reduksi peran negara, gagasan ini menekankan bahwa pembangunan haruslah menyesuaikan dengan konteks negara tertentu alias memperhatikan lokalitas, baik sejarah, budaya, atau kondisi sosial-politik-ekonomi setempat54. Sehingga berbeda dengan modernisasi ala Rostow yang dikritik karena abai dan cenderung antipati terhadap lokalitas masyarakat, good governance justru memandang lokalitas (atau dalam istilah Rostow “tradisional”) sebagai hal yang positif bagi pembangunan 55, karena hakikatnya pembangunan untuk kepentingan masyarakat setempat. Sejumlah klaim yang nampaknya menjanjikan bagi masyarakat di negara berkembang atau dunia ketiga tersebut ternyata menyimpan kuasa terselubung yang pada hakikatnya justru kontreproduktif bagi pengembangan kesejahteraan masyarakat. Rita Abrahamsen yang melakukan studi kritis tentang gagasan good governance, dengan telaah secara khusus di Afrika, mememukan fakta penting bahwa good governance mendelegitimasi negara di mata rakyatnya sebagai entitas yang “asing”, “berseberangan dengan rakyat” ,bahkan negara tidak lebih dari “produk barat”. Sebaliknya entitas pasar justru lebih dekat dengan sejarah Afrika 56. Jelas sekali arah pewacanaan semacam ini akan memuluskan jalan bagi liberalisasi ekonomi, yang belum tentu berdampak positif bagi rakyat. Sejalan dengan Rita yang kritis memandang good governance, Massimo De Angelis juga sampai pada kesimpulan menarik setelah mencermati sejarah good governance, dimana gagasan ini menurutnya sangat dipengaruhi oleh paham neoliberal. Dimana good governance adalah model penyelenggaraan pemerintahan yang mengakomodasi gagasan dari konsensus Washington. Konsensus Washington sendiri memiliki tiga resep penting, yakni pertama, negara harus mundur dari sektor sosial, kedua, pasar harus diberikan kemudahan atau akses ke seluruh elemen kelidupan masyarakat, dan ketiga, rakyat harus melepaskan ketergantungan sosial ekonominya dari negara 57.
52
Ibid Ibid 54 Sangita,S.N. 2002. Administrative Reform for Good Governance. Dalam The Indian Journal of Political Science Volume 63 No 4 ,hlm.325 55 Abrahamsen, Rita. 2004. Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: Lafadl,hlm. 99 56 Ibid,hlm.84-85 57 Angelis, Massimo De. 2005. The Political Economy of Global Neoliberal Governance. Dalam Review(Fernand Braudel Center) Volume 28 No. 3,hlm.238 53
22
Jelaslah dari temuan Massimo bahwa sejatinya yang paling diuntungkan dari penerapan good governance adalah pasar dan bukannya rakyat. Karena sebagaimana dinyatakan dalam konsensus Washington, negara seakan tidak bleh lagi hadir dengan berbagai pelayanan publiknya, karena rakyat tidak boleh tergantung pada negara. Sebaliknya pasar dengan mudah menggantikan peran negara sebagai penyedia layanan dan rakyat dipaksa menjadi pembeli dari produk pasar. Konseksuensinya uang menjadi penentu seseorang dapat mengakses produk pasar, jika tidak maka akses tidak akan diberikan. Sangat jelas yang dirugikan adalah rakyat, terkhusus di negara berkembang yang butuh akan kehadiran negara. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Massimo bahwa penerapan good governance justru menimbulkan jarak yang melebar antara yang berpunya dan tidak berpunya dalam lingkup sebuah negara ataupun antar negara 58. Dengan kata lain klaim yang disusung good governance tidak berkesesuaian dengan realitas yang justru menguntungkan negara industri maju ataupun korporasi internasional bukan rakyat ataupun negara dunia ketiga. Terkait posisi tulisan ini cenderung mengikuti model kedua, dengan penekanan menganalisis strategi/teknik/teknologi kuasa, dimana pilihan ini dirasa tepat sebab Human Security layaknya good governance dan teori mdoernisasi merupakan sebuah teknologi kuasa untuk “mendisiplinkan” populasi manusia global. Tentu saja sebagaimana good governance dan teori modernisasi yang berkedok “netral” plus dengan berbagai klaim menjanjikannya namun hakikatnya merusak, human security sejatinya memiliki potensi sama merusaknya dengan dua teori tersebut. Tabel 1.1 Rumpun Literatur yang membahas mengenai Ilmu dan Kekuasaan No
Corak Literatur Episteme Penulis
Mekanisme/Teknik/strategi/Teknologi kuasa
Intisari Gagasan
Penulis Literatur
Intisari Gagasan
literatur 1
58
Hamzah
Tiga episteme dalam Rita Abrahamsen
Good
Fansuri
ilmu
sosiologi
(teori) mengandung
indonesia,
dimana:
kuasa pendisiplinan
pertama.
Episteme
cara
governance
berfikir
Ibid
23
kolonial.
Kedua,
Episteme
Pasca
masyarakat
(Orde
ketiga. Gagasan ini
kolonial
I
Baru/Perang
dingin).
terhadap negara pada dunia
mendelegitimasi
Ketiga, Episteme paska
eksistensi
Kolonial
khususnya di mata
II
negara
(globalisasi/pasar
masyarakat
bebas). Tiga episteme
ketiga
tersebut memiliki titik
sesuatu entitas yang
temu yakni cenderung
“tidak indegeneous”.
latah terhadap gagasan
Sebaliknya
“impor”
(korporasi)
dari
barat,
dunia sebagai
pasar
meminggirkan
diwacanakan sebagai
gagasanindigeneous.
entitas
Episteme
“indegeneous”
tersebut
yang ,
menghalangi/merepresi
lekat dengan sejarah
ilmu/teori
masyarakat
yang
bercorak
indigenous
ketiga.
dunia
Tujuannya
dalam pengembangan
guna
sosiologi Indonesia
liberalisasi ekonomi di
memuluskan
negara
dunia
ketiga. 2
Farid Alatas
Episteme eurosentris di Massimo De Angelis
Good
governance
Asia (khususnya pada
(teori) mengandung
pengembangan
ilmu
kuasa pendisiplinan
sosial). Episteme ini
dunia ketiga dalam
menjadikan
memandang negara.
pengembangan
ilmu
Gagasan ini relatif
sosial
Asia
menghapus
di
peran
cenderung
bercorak
eurosentris.
Dengan
pelayanan
publik.
kata lain tidak bisa
Tujuannya
guna
lepas
memuluskan
dari
gagasan
negara khususnya di
24
Barat yang sejatinya
masuknya
bias.
neoliberalisme
Upaya
pengembangan
ilmu
sosialbercorak
non
eurosentris
menjadi
minim
atau
paham
dunia
di ketiga,
menguntungkan negara industri maju sebagai
pemasok
termarginalkan.
kebutuhan ke negara
Dampaknya:
dunia ketiga.
akademisi dunia ketiga layaknya “beo” yang tidak kritis terhadap berbagai
pemikiran
“impor” dari Barat 3
Hilmar Farid
Episteme
anti Graham Ellison & Teori
Modernisasi
pendekatan kelas pada Nathan Pino
mengandung
ilmu sosial Indonesia
penisiplinan
masa
pembangunan
orde
Episteme
Baru. ini
dunia
kuasa
di ketiga.
menjadikan
Pembangunan
pengembangan kajian
dunia
berbasis analisis kelas
ditundukkan dengan
menjadi minim, jika
cara
tidak
menyatakan
Barat sebagai kiblat
direpresi
sedemikian
pembangunan
rupa.
Sebaliknya
(eurosentris).
ketiga
menjadikan
epsiteme ini memberi
Tujuannya
ruang
memuluskan
analisis
subur
bagi
non
kelas,
di
hegemoni Blok Barat
secara khusus gagasan
(AS)
atas
dunia
developmentalisme ala
ketiga/memudahkan
AS
format dunia ketiga sesuai imajinasi AS dan sekutunya
25
4
Purwo Santoso
Episteme pada
sintaksis
ilmu
Indonesia
sosial
(termasuk
ilmu politik). Episteme tersebut
menjadikan
pengembangan
ilmu
sosial-politik
di
Indoensia
hanya
mampu meniru segala gagasan yang ada di Barat,
tanpa
memungkinkan pengembangan
ilmu
sosial-politik
yang
“indigeneous”. Episteme tersebut juga tak ramah dan sangat antipati
dengan
gagasan “indegeneous”. Padahal “indegeneous” jadi
lebih
gagasan bisa “maju”
dibandingkan gagasan yang selalu ditiru dari Barat.
Kategori kedua, yakni terkait literatur yang membahas mengenai hakikat human security. Mengenai literatur terkait Human Security sejatinya dapat dipilah menjadi dua kategori besar, yakni pertama memandang Human Security dalam level global. Sedangkan
26
kategorisasi kedua, yakni memandang Human Security dalam level lokal (di dalam wilayah sebuah negara bangsa)59. Kategorisasi lokal-global menjadi menarik untuk ditelusuri guna mengungkap seperti apa implikasi gagasan yang lahir dari ide Human Security baik di tingkat global maupun lokal. Pembahasan menjadi penting untuk menegaskan kedudukan penelitian ini yang mengambil posisi mengkaji secara spesifik gagasan Human Security di level global. Namun perlu ditegaskan kembali bahwasanya kategorisasi lokal-global berpijak pada akar yang sama yakni pemindahan referent object (obyek yang harus dilindungi) dari negara ke manusia (individu), sehingga dapat dikatakan lokal dan global akan muncul beriringan dalam satu waktu dan tidak terpisahkan. Terkait dengan naskah yang menekankan pada Human Security dalam konteks lokal, setidaknya masih dapat dibagi lagi ke dalam dua kategorisasi yang berbeda 60, yakni rumpun yang banyak berbicara mengenai persoalan security sector reform (SSR)61 dan rumpun yang berbicara mengenai kesejahteraan sebagai wujud keamanan baru. Perbedaan tersebut sebenarnya terkait erat dengan corak dua mazhab besar dalam gagasan Human Security yakni mazhab Jepang dan Kanada. Gagasan SSR sejatinya terpengaruh kuat oleh corak mazhab Kanada. Sebagaimana disinggung sebelumnya mazhab ini menakankan pada kemaanan manusia dari ancaman
59
Perlu ditegaskan kembali di sini bahwasanya lokal dan global terkait dengan perubahan yang terjadi di level lokal dan global sebagai implikasi eksistensi gagasan Human Security. Dalam konteks global perubahan yang terjadi terkait dengan konsepsi negara westphalia yang berasaskan non intervensi. Paska Human Security, konsepsi tersebut mengalami perubahan karena negara bukan lagi dianggap sebagai satusatunya penyedia keamanan warganya di dalam negeri. Komunitas internasional menjadi aktor lain –bahkan lebih penting dari negara bangsa- yang juga “bertanggung jawab” atas keamanan warga global. Sedangkan dalam konteks lokal, Human Security memicu redefinisi konsepsi keamanan nasional yang tadinya bersifat negara sentris menjadi masyarakat sentris. Perubahan di level lokal inipun masih dapat dibedakan lagi menjadi dua bagian yakni konsepsi keamanan nasional baru (masyarakat sentris) yang berorientasi “non tradisional/non militer” yakni berbasis kesejahteraan (terkena pengaruh corak mazhab Jepang) dan keamanan nasional “tradisional/militer” namun lebih pro rakyat (terkena pengaruh corak mazhab Kanada). Perlu ditambahkan dalam konteks Indonesia dua orientasi tersebut (corak mazhab Jepang & Kanada) diupayakan berjalan beriringan. Dengan kata lain keamanan nasional Indonesia sejatinya ingin dibentuk dengan menggabungkan dua corak mazhab tersebut. Lihat penjabaran model baru konsep keamanan Indonesia yang berbasis dua corak mazhab human Security ini ini dalam Sekretaris Jendral Dewan Ketahanan Nasional. 2010. Keamanan Nasional : Sebuah Konsep Dan Sistem Keamanan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional,hlm. 53, 65 60 Dua kategorisasi tersebut bukan bermaksud membatasi. Hanya saja merujuk pada berbagai pengembangan literatur terkait Human Security di tingkat lokal sampai saat ini peneliti mendapati adanya pengembangan keilmuan dan wacana ke arah tersebut. 61 Yang dimaksud dengan sektor keamanan mencakup segala institusi negara yang memiliki otoritas sah menggunakan, mengotorisasi, dan mengancam menggunakan kekuatan (fisik) demi melindungi warga negara. Lihat Perwita, Anak Agung Banyu. 2005. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 9 Nomor 1,hlm. 54 Berbasis definisi tersebut maka sektor keamanan memeiliki lingkup yang luas, diantaranya meliputi militer, kepolisian, kehakiman, dan intelejen.
27
kekerasan fisik, yang notabene berasal dari senjata. Dalam konteks SSR, sebagaimana keyakinan mazhab Kanada negara bangsa yang tadinya dalam bayangan paradigma state security menjadi pelindung utama warga kini dipandang dengan penuh kecurigaan. Hal ini muncul dikarenakan tidak jarang justru negara itu sendirilah yang dianggap sebagai biang keladi kekerasan pada manusia di sebuah negara 62. Sehingga perubahan paradigma keamanan berkonsekuensi pula pada pentingnya perombakan fundamental pada eksistensi aparat keamanan yang potensial menjadi ancaman bagi keamanan warganya sendiri, seperti polisi, intelejen, kehakiman, dan militer. Harapannya dengan diadakannya reformasi pada aparat keamanan akan menjamin eksistensi mereka bermanfaat bagi penjagaan keamanan manusia secara konsekuen, dan bukannya keamanan rezim sehingga bukannya rasa aman yang didapat oleh warga melainkan ketakutan dan tindakan sewenang wenang akibat eksistensi aparat keamanan tersebut. Perlu ditegaskan bahwasnaya tidak semua referensi yang membahas mengenai SSR memberikan penjelasan yang ekspisit tentang akar Human Security di balik gagasan tersebut. Namun ada pula referensi yang secara eksplisit memberikan penjelasan keterkaitan erat antara gagasan Human Security dan SSR. Referensi yang dimaksud berjudul Panduan Media Dan Reformasi Sektor Keamanan yang diterbiitkan melalui kerjasama Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) dengan Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI)63. Dalam salah satu artikel yang terdapat dalam buku
62
Popovski, Vesselin. 2010. Responsibility to Protect. Dalam Hodges, Adrian, Malcolm McIntosh & Alan Hunter (ed). New Perspectives on Human Security. Sheffield: Greenleaf Publishing,hlm. 205 Alasan negara gagal melindungi rakyatnya dari ancaman kekerasan fisik yang diakibatkan kelompok tertentu dalam negara tersebut atau negara sendiri yang berperan menjadi pelaku kekerasan terhadap warganya sendiri inilah dalam konteks Human security versi global menjadi alasan bagi penciptaan mekanisme R2P, yang menjadi intisari pembahasan dalam penelitian ini. 63 Kerjasama DCAF merupakan salah satu contoh dukungan internasional terhadap penerapan SSR di Indonesia. Sebagai informasi tambahan saja, gagasan SSR sendiri juga didukung kuat oleh komunitas internasional. Salah satu manifestasi nyatanya tergambar dari eksistensi UN SSR unit, lembaga internasional di bawah payung PBB yang membidangi SSR. Tugas lembaga tersebut ialah membantu pelaksanaan SSR di berbagai negara dunia. “Bantuan” yang ditawarkan PBB diformalkan secara tegas dalam resolusi dewan keamanan PBB no 2151 tahun 2014: “Stresses the importance of the relevant bodies of the United Nations undertaking mission planning processes for security sector reform, where mandated, that gives full consideration to supporting national security sector reform efforts, taking into account the specific needs of the host country, and collaborating with other relevant international and regional actors providing security sector reform assistance to the national government”. Lihat UNSC. 2014. Resolution 2151 (2014). Diakses di http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/2151(2014)&referer=http://www.un.org/en/sc/do cuments/resolutions/2014.shtml&Lang=E pada tanggal 22 November 2015 pukul 10.51 WIB Fakta diatas menunjukkan bahwa meskipun wajah Human Security di level lokal dan global berjalan pada relnya masing masing (antara format baru keamanan nasional versus format baru relasi antar negara), namun tetap tidak menutup peluang bagi global untuk turut mengintervensi yang lokal, salah satunya melalui mekanisme SSR ini yang notabene merupakan wajah Human Security di level lokal. Tentunya dibutuhkan kajian lebih serius dan mendalam mengenai implikasi intervensi asing dalam upaya implementasi SSR di berbagai negara termasuk Indonesia.
28
tersebut Rizal Darma Putra menyebutkan bahwa SSR tidak dapat dilepaskan dari konteks paska perang dingin dimana lahir paradigma kemanan baru bernama human security64. Senada dengan Putra, Mufti Makaarim juga menyatakan dengan tegas menyatakan eksistensi SSR memiki akar pada kemunculan gagasan Human Security paska perang dingin 65. Tentunya gagasan Human Security yang secara spesifik dimaksud di sini ialah mazhab Kanada, yang menekankan perlindungan manusia dari ancaman kekerasan fisik. Referensi yang membicarakan mengenai SSR sendiri dapat dikatakan cukup melimpah, dikarenakan luasnya pembahasan yang dibicarakan. Dalam konteks Indonesia misalnya -sebagai salah satu contoh lokalitas-, referensi mengenai SSR pada umumnya membahas mengenai SSR dalam konteks militer, intelejen, dan kepolisian. Cornelis Lay misalnya, mencoba membahas mengenai SSR dalam konteks intelejen. Dalam artikelnya, Lay menawarkan sebuah mekaniske reformasi intelejen pada tataran lembaga dan individu. Pada level lembaga Lay misalnya menyarankan agar dibuat batas yang tegas antara tugas intelejen dan Yustisia. Intelejen harus berjalan pada relnya saja, dalam artian menghimpun berbagai informasi penting terkait ancaman kemanan yang mungkin terjadi. Sedangkan di ranah penindakan (yustisia) maka intelejen tidak boleh menerobos garis ini. Penindakan haruslah dilaksanakan instutusi lain yang membidanginya, yakni polisi dan lembaga penegak hukum lain66.
Sementara pada level individu, Lay misalnya memberikan tawaran agar
dibuat sebuah tata aturan teknis baku yang mengikat kepada setiap individu agen 67. Diharapkan dengan adanya tata aturan tersebut perilaku agen dapat didisiplinkan sedemikian rupa agar tetap dalam tata aruran yang berlaku 68. Selain
masalah
intelejen,
ada
pula
contoh referensi
yang
memfokuskan
pembahasaannya pada kepolisian, misalnya laporan yang disusun lembaga International Crisis Group (ICG). Dalam laporan lembaga tersebut ada sejumlah rekomendasi bagi reformasi polisi sejalan dengan misi SSR. Sebagai contoh ICG menyerukan dibentuknya
64
Putra, Rizal Darma.2010. Pengantar. Dalam Sukadis, Beni, Aditya Batara & Amdy Hamdani (ed). Panduan Media Dan Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta/ Jenewa: Lesperssi, IDSPS & DCAF,hlm. 3 65 A, Mufti Makaarim. No date. Akuntabilitas Reformasi Sektor Keamanan Paska 1998. Jakarta: Elsam,hlm. 7 66 Lay, Cornelis. 2005. Menjaring Bayang-bayang: Dilema Pengawasan Intelijen dalam Masyarakat Demokratis. Dalam Widjajanto, Andi (ed). Reformasi Intelijen Negara. Jakarta: Pacivis,hlm. 236-237 67 Ibid,hlm.235 68 Contoh fiksi yang mungkin menggambarkan gawatnya bila seorang agen yang tidak memiliki (atau tidak mematuhi) aturan baku seorang agen adalah film agen rahasia kenamaan Inggris 007 James Bond. Dalam film tersebut nampaknya kaedah “menghalalkan segala cara” demi tercapainya tujuan agen nampaknya dapat dilakuan. Dalm berbagai adegan film 007 nampak jelas perilaku agen yang membahayakan keamanan masyarakat seperti aksi kejar kejaran dengan menggunakan kendaraan disertai tembak menembak di tempat umum, menghancurkan bangunan, dan aksi kekerasan lain tentunya membahayakan keamanan masyarakat luas di tempat operasi dilakukan.
29
ombusdman atau lembaga pengawasan eksternal lainnya untuk memantau kinerja Polisi dan menerima berbagai pengaduan yang berhubungan dengan tindakan oknum polisi. Selain pengawasan eksternal yang sifatnya berupa lembaga negara, ICG juga mendorong penguatan kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi kinerja kepolisian 69. Sejumlah rekomendasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kepolisian Indoesia yang selama ini dinilai korup, tidak efisien dan efektif70. Sebagai contoh misalnya diberikan oleh ICG yakni dengan adanya pepatah umum yang beredar di kalangan masyarakat Indonesia bahwa jika melaporkan ayam hilang, bisabisa sapi hilang71. Pepatah tersebut menyiratkan perilaku korup polisi yang meminta upah pada masyarakat jika ingin dilakukan penindakan sebuah kasus. Itupun dalam artian upah guna penindakan, belum pasti penindakan berujung pada selesainya permasalahan secara menggembirakan. Misal dalam kasus kecurian ayam belum tentu ayamnya kembali, sehingga sudah susah-susah membayar mahal (sapi hilang) tetapi ayam tetap hilang. Hal ini menggambarkan potret buram aparat keamanan yang seharusnya melindungi masyarakat dari ancaman kemananan namun pada kenyataaanya tidak berhasil menegakkannya 72. Selain Lay dan ICG yang berkonsentrasi membahas SSR di sektor intelejen dan kepolisian, artikel Dimas P Yudha dapat menjadi salah satu contoh karya yang membahas SSR di sektor militer. Menurut Yudha reformasi di tubuh militer Indonesia hingga era Yudhoyono73 telah menunjukkan sejumlah perkembangan positif. Perkembangan tersebut diantaranya dihapuskannya dwifungsi ABRI dan netralitas TNI dalam pilkada 74. Akan tetapi ada masalah krusial yang menurut Yudha haruslah dibenahi agar reformasi TNI dapat berjalan dengan baik di masa mendatang yakni penaturan bisnis TNI. Menurut Yudha salah 69
ICG. 2001. Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional. Brussels/Jakarta: ICG,hlm.iii Ibid,hlm.1 71 Ibid,hlm.11 72 Lebih parah lagi ketika polisi justru menjadi penyebab ketidakamanan warga. Dalam kasus Densus 88 misalnya –yang notebene di bawah kendali kepolisian- tidak jarang orang tidak bersalah menjadi korban salah tangkap bahkan penembakan yang dilakukan aparat keamanan tersebut. Mislanya Nur Iman, seorang warga yang ditembak Densus ketika melakukan pengejaran terhadap para terduga teroris di Sukoharjo. Densus juga pernah menangkap dua warga tidak bersalah bernama Mugi Hartanto dan Sapai di Jawa Timur. Keduanya menjalani penahanan tanpa bukti selama tujuh hari berturut turut dan pada akhirnya dibebaskan. Selain Densus 88, kepolisian secara umum juga kerap melakukan tindakan fisik kepada warga yang diduga pelaku kejahatan namun pada akhirnya tidak terbukti (salah tangkap). Salah satu contohnya ialah JJ Rizal yang dituduh membawa narkoba. Rizal sempat ditangkap dan dipukuli selama 15 menit. Selain Rizal, Tartusi mengalami peristiwa serupa (bahkan mungkin lebih buruk). Tartusi dituduh sebagai pelaku kejahatan. Betisnya menjadi sasaran tembak polisi dan dipaksa mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya. Akhirnya Tartusi dibebaskan setelah tuduhan padanya tidak bisa dibuktikan. Lihat: Kontras. No date. Data Kasus Kekerasan Polisi Okt - Des 2009. Jakarta: Kontras,hlm.1; Kontras. No date. Potret Buram Densus 88 Anti Teror dalam Bingkai Hak Asasi Manusia. Jakarta: Kontras,hlm. 2; Kontras. No date. Data Penyiksaan Januari-Juni 2014. Jakarta: Kontras,hlm.1 73 Saat ini pemerintahan Indonesia berada di bawah kendali Joko Widodo dan Jusuf Kalla 74 Yudha, Dimas P. 2010. Reformasi Sektor Keamanan Pemerintahan SBY 2004-2009: Sebuah Review. Dalam Indonesian Review Volume I Agustus,hlm.46 70
30
satu alasan krusial dari pengaturan bisnis TNI ini untuk memastikan supremasi sipil 75, yang pada hakekatnya adalah penjaminan penegakan Human Security. Keterkaitan bisnis dengan supremasi sipil dan Human Security dapat dilihat dari sisi anggaran TNI. Jika TNI hanya mengandalkan anggaran –untuk bergaai aktivitasnya, seperti baik bagi prajurit mauapun pembelian persenjataan- maka fungsi kontrol akan dapat dilakukan secara lebih baik, karena secara formal yang memegang kuasa anggaran ialah sipil76. Jikalau TNI mememiliki pendanaan lain non anggaran maka perilakunya akan lebih sulit dikontrol dan memungkinkan bagi mereka untuk bertindak “semau gue”. Terlebih lagi, bisnis TNI kerap kali justru menghadapkan TNI sebagai penyebab ancaman keamanan fisik bagi warga di sejumlah wilayah. Hal ini misalnya terjadi dalam kasus sengketa Alastlogo pada tahun 200777. Pada kasus tersebut TNI berposisi berhadap-hadapan dengan warga karena TNI memiliki kepentingan bisnis di wilayah tersbeut yakni dengan adanya kerjasama antara Induk koperasi TNI AL dengan PT Rajawali Nusantara Indonesia 78. Implikasinya warga menjadi korban kekerasan yang dilakukan anggota TNI AL. Tercatat dalam laporan Kontras sebanyak 4 warga tewas terkena peluru aparat TNI AL sedangkan 8 warga lainnya mengalami luka-luka. Selain korban, sejumlah fasilitas umum dan rumah warga juga mengalami kerusakan79. Berbeda dengan corak referensi yang menekankan pada SSR, ada pula referensi yang berbicara mengenai model keamanan baru berbasis kesejahteraan. Salah satu literatur yang memiliki corak seperti ini dapat ditemukan pada karya Yohanes Sanak. Sanak sendiri berupaya membuat arumentasi mengenai pentingnya integrasi gagasan Human Security – dalam artian keamanan berbasis kesejahteraan- dalam pengelolaan daerah perbatasan di Indonesia80. Selama ini gaya pengelolaan perbatasan menurut Sanak masih bercorak state security yang mengandalkan kapasitas militer di perbatasan, terlebih lagi orientasi militer 75
Ibid,hlm.47 Ibid 77 Sebenarnya kasus Alastlogo telah dimulai sejak 1960an, dimana areal tersebut direbut paksa dari tangan warga oleh TNI AL dengan alasan guna kepentingan latihan militer. Tercatat pengambilalihan lahan dilakukan dengan mekanisme jual beli secara curang, karena TNI AL menggunakan pemalsuan cap jempol dan tanda tangan. Sektika tanah berpindah tangan kepada TNI secara otomatis warga yang menempati lahan tersebut harus mengikuti aturan main TNI AL. Tercatat jenis tanaman yang wajib dibudidayakan warga di wilayah tersebut ialah wijen dan jarak. Itupun dengan catatan para warga harus membayar sewa lahan pada TNI AL. Lebih parahnya jika warga gagal memenuhi target penen yang ditetapkan TNI AL maka warga bersangkutan dapat ditahan atau dapat dipekerjakan secara paksa. Lihat Sri Endah Kinasih, Bambang Budiono, Sarkawi B. Husain. 2010. Model Resolusi Konflik dan Pembentukan Negara: Pemahaman Budaya Hukum secara Holistik di Masyarakat Rawan Konflik. Dalam Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Th 31 no 1,hlm. 31 78 Ibid 79 Kontras. No date. Laporan Sementara Insiden Alas Tlogo, Lekok, Pasuruhan (6 Juni 2007). Jakarta: Kontras,hlm.1 80 Dalam konteks Sanak secara khusus perbatasan Indonesia dengan Timor Leste 76
31
yang utama ialah untuk menjaga kedaulatan teritorial dari kemungkinan serangan negara lain. Sehingga jelas yang sedang dilindungi oleh militer ialah negara, dalam hal ini keutuhan wilayahnya. Aspek manusia, tidak menjadi penting dalam penempatan militer di perbatasan. Sanak sendiri mencontohkan misalnya dilakukan pembangunan gapura yang megah di pintu perbatasan, padahal realitas masyarakat di wilayah tersebut relatif memprihatinkan dari sisi kesehatan, ekonomi, dan pendidikannya. Sehingga Sanak berseimpulan bahwa Gapura hanyalah diperuntukkan untuk semakin menambah “citra kuat” eksistensi militer di daerah tersebut81. Sanak sendiri mencoba menawarkan kebaharuan pengelolaan perbatasan dengan mengintergasikan gagasan Human Security yang lebih berorientasi pembangunan (keamanan berbasis kesejahteraan/seide dengan mazhab Jepang). Dengan agenda pembanguan di daerah perbatasan, menurut Sanak hasil yang dicapai sesungguhnya justru lebih meyakinkan. Pada satu sisi rakyat akan mendapatkan kebutuhan yang diperlukannya sehingga diharapkan terjadi peningkatan nasionalisme warga perbatasan untuk siap mempertahankan negerinya 82. Disisi lain Sanak berkeyakinan bahwa pembngunan wilayah perbatasan sebagai strategi keamanan akan mengubah pola “defensif” keamanan menjadi “ofensif”. Dalam artian “defensif” karena membayangkan militer sebagai penjaga ancaman yang mungkin datang dari luar, bukan menyerang areal lawan. Sebaliknya dengan paradigma Human Security yang berbasis pembangunan maka keamanan perbatasan menjadi “ofensif” karena diharapkan masjunya wilayah perbatasan akan menambah citra positif Indonesia di hadapan negara lain, sehingga mereka akan kagum bahkan segan dengan Indonesia 83. Terkait dengan model literatur yang membahas Human Security dalam konteks global sejatinya berpusat pada ide redefinisi kedaulatan negara bangsa yang dalam konteks pergaulan internasional disebut prinsip non intervensi (non interference)84. Dengan datangnya ide Human Security konsepsi ini mendapatkan gugatan yang kuat sekaligus tawaran redefinisi kedaulatan negara yang sama sekali baru (khas Human Security)85. Referensi yang secara jelas menegaskan implikasi Human Security dalam level global ini (dan juga mendukungnya) ialah karya Paul Heinbecker. Heinbecker menegaskan secara jelas impilasi eksistensi paradigma Human Security terhadap konsepsi kedaulatan negara
81
Sanak, Yohanes. 2012. Human Security & Politik Perbatasan. Yogyakarta: Polgov,hlm.102 Ibid,hlm.137 83 Dalam bahasa Sanak: “tampilan masyarakat di wilayah perbatasan lebih menarik daripada tampilan masyarakat di wilayah perbatasan tetangga”. Lihat Ibid,hlm.136 84 Kedua mazhab dalam Human Security (Kanada dan Jepang) sepakat dalam permasalahan ini, hanya saja mereka berbeda soal ruang lingkup ancaman dan -tentunya sebagai implikasinya- solusi apa yang dapat ditempuh untuk menolak ancaman tersebut. 85 Model baru kedaulatan negara ini akan dibahas secara lebih rinci pada bab II 82
32
bangsa. Menurut Heinbecker negara bangsa yang sejak lama dilekatkan padanya kuasa untuk menjamin keamanan di dalam negerinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk dipertahankan. Heinbecker menjelaskan contoh kasus negara gagal (failed state) yang menyebabkan negara tersebut tidak mampu menjamin keamanan rakyatnya. Jika dalam kondisi semacam itu Heinbecker menegakan bahwa harus ada skema khusus yang memungkinkan penjaminan keamanan manusia 86. Secara spesifik ia menyebut Kanada87 menawarkan gagasan menarik untuk merancang suatu skema dan instrumen khusus yang memungkinkan aktor lain (komunitas inetrnasional berkontribusi menciptakan keamanan pada kondisi semacam itu di sebuah negara bangsa 88. Dari pemaparan Heinbecker diatas sangat jelas menyiratkan perubahan besar yang muncul paska munculnya paradigna Human Security, yakni yakni: pertama, ternadinya redefinisi konsep kedaulatan negara bangsa. Kedua, eksistensi skema khusus yang memungkinkan
“bantuan
bagi
penciptaan
kemanan”
dilakukan
oleh
komunitas
internasional89. Sebuah perubahan yang tentunya mengubah drastis relasi antar negara yang sebelumnya sangat dipengaruhi prinsip non intervensi ala Westphalian. Jelas dengan eksistensi Human Security intervensi menjadi sebuah barang “halal” –atas nama keamanan global-, bukan lagi barang “haram” sebagaimana dibayangkan konsepsi Westphalia di masa lampau. Selain Heinbecker ada sejumlah argumentasi lain yang sejalan dengannya, yang misi utamanya membenarkan perubahan konsep negara bangsa demi penciptaan keamanan manusia di dalam negara tersebut dalam konteks negara gagal90. Sebut saja karya Commision on Human Security (CHS)91 berjudul Human Security Now yang diberi kata pengantar oleh akademisi terkemuka dunia Amartya Sen. Sebagaimana gagasan Heinbecker (dan Kanada) Menurut karya tersebut, pemberian kewenangan penuh kepada negara untuk memastikan
86
Heinbecker, Paul. 2000. Human Security The Hard Edge. Dalam Canadian Military Journal Spring Edition,hlm. 13 87 Jika membaca secara keseluruhan artikel Heinbecker jelas menunjukkan dirinya merupakan pendukung mazhab Kanada 88 Ibid 89 Dua perubahan ini termanifestasi sangat jelas dalam konsepsi R2P, bahakan dapat dikatakan menjadi pondasi dasar pendirian R2P. Lebih jauh mengenai pembahasan R2P akan dibahas pada Bab III 90 Gagal dalam artian negara dianggap berada dalam kondisi tidak bisa menjaga keamanan rakyatnya (kelemahan pada dirinya) ataupun negara dianggap tidak mau menjaga keamanan rakyatnya (negara kontra rakyat). 91 Lembaga ini berorientasi kepada mazhab Jepang. Namun sebagaimana ditegaskan dalam sejumlah tempat dalam penelitian ini kedua mazhab berada pada pijakan yang sama yakni redefinsi konsep kedaulatan negara bangsa sekaligus menekankan pada aktor baru non negara (komunitas internasional) sebagai aktor utama penegakan keamanan global. Jadi kedua mazhab sebenarnya saling memperkuat satu sama lain dalam konteks ini.
33
keamanan warganya sudah tidak relevan lagi di era kontemporer (abad 21) 92. Sama dengan alasan Heinbecker, CHS juga menekankan realitas adanya sejumlah negara yang dianggap gagal dalam melakukan tugas penyediaan keamanan sehingga merugikan warganya. Solusi yang ditawarkan oleh CHS sangat jelas yakni mengubah referent object (obyek yang harus dilindungi) dari negara ke individu. Sehingga individu dapat lebih dijamin keamannya 93. Perubahan tersebut tentunya otomatis meredefinisi kedaulatan negara bangsa dan perlunya pembuatan skema khusus yang memungkinkan bantuan penciptaan kemanan dilakukan oleh aktor non negara (komunitas internasional) 94 Berbeda dengan cara pandang yang ditawarkan oleh literatur ala Heinbecker dan CHS, disadari atau tidak telah muncul literatur yang memberikan informasi penting adanya gugatan terhadap implikasi konsepsi Human Security terhadap konsepsi westphalia tersebut. Namun perlu ditegaskan kembali bahwa dapat dikatakan banyak karya yang mengandung informasi penting ini sejatinya juga tidak bermaksud mengkritik human security, namun justru membelanya. Salah satu literatur yang memenuat informasi penting ini misalnya karya Shahrbanou Tadjbakhsh &Anuradha Chenoy. Dalam karyanya sejatinya Tadjbakhsh & Chenoy bermaksud mendukung gagasan human security. Namun sadar atau tidak dalam karya dua akademisi tersebut memuat opini lain yang mempertanyakan implikasi dari gagasan human security tersebut. Opini lain yang dimaksud ialah kedasaran diantara kedua akademisi tersebut bahwa sejatinya gagasan human security potensial bias barat (terkhusus yang berorientasi freedom from fear/ mazhab Kanada). Bahkan Tadjbakhsh & Chenoy memberikan informasi penting mengenai sikap negara G77 yang pernah menyatakan kecurigaan akan gagasan human security yang dianggap dapat menjadi teknologi kuasa baru bagi Barat untuk mengintervensi dunia ketiga 95. Namun dalam artikel tersebut Tadjbakhsh & Chenoy berupaya menepis opini lain tersebut, seraya menyatakan gagasan human security sebenarnya justru menguntungkan dunia ketiga yang menginginkan agar masalah non militer
92
Commission on Human Security. 2003. Human Security Now. New York: Commission on Human Security,hlm. 2 93 Ibid 94 Dalam istilah CHS: “The security of one person, one community, one nation rests on the decisions of many others”. Lihat Ibid Many others disini tentunya bermakna komunitas internasional, sebagaimana tercermin dengan jelas di dalam karya CHS yang berulangkali disebut. Selain istilah komunitas internasional dalam karya CHS juga digunakan istilah “interlinked world” yang tentunya semakin menambah keyakinan akan bangkitnya orde keamanan baru yang berbasis kesepakatan di level internasional, bukan lagi urusan negara per negara. 95 Tadjbakhsh, Shahrbanou &Anuradha Chenoy. 2007. Human Security: Concepts and implications. New York: Routledge,hlm. 35
34
lebih diperhatikan dalam pembicaraan keamannan internasional -secara khusus persoalan pembangunan dunia ketiga-96. Dari keterangan diatas terlihat jelas bahwa Tadjbakhsh & Chenoy berusaha memadamkan kecurigaan dan kekhawatiran negara G77 akan potensi negatif dari kemunculan gagasan Human Security. Dengan lihau Tadjbakhsh & Chenoy berupaya mengalihkan dan kemudian memframing pembicaraaan dengan menekankan soal non militer (pembangunan dunia ketiga) sebagai isu keamanan yang lebih diinginkan untuk dibicarakan dunia ketiga dalam forum internasional, tidak melulu soal militer. Agumen Tadjbakhsh & Chenoy yang seakan membela negara dunia ketiga sejatinya mengandung kekeliruan besar. Memang benar Human Security membuka peluang bagi pembicaraan keamanan yang berspespektif non militer. Namun bukankan Human Security di level global berpijak di atas redefinisi konsep kedaulatan negara bangsa? Jika peluang ini dibuka bukankah potensial memberi ruang bagi berkembangnya mazhab freedom from fear yang Tadjbakhsh & Chenoy sendiri memandang bias barat? Apakah ada jaminan pembahasan non militer yang akhirnya mendominasi pembicaraan keamanan global diantara negara bangsa dunia? 97. Permasalahan itulah yang seharusnya menjadi titik pembahasan terlebih dahulu, tidak sebagaimana dilakukan Tadjbakhsh & Chenoy dengan memindah pembicaraan ke isu keamanan yang bercorak non militer. Bahkan jikalau pembahasan berhasil diarahkan ke isu kemanan non militer -dalam hal ini pembangunan98-, maka apakah secara otomatis negara dunia ketiga menjadi diuntungkan dengan hal tersebut? Sekali lagi perlu ditegaskan implikasi gagasan Human Security di level global adalah meredefinisi konsep kedaulatan negara bangsa. Dimana aktor luar (komunitas internasional) bahkan diposisikan lebih linggi dari negara bangsa. Maka apakah bisa dijamin pembangunan ala komunitas internasional bakal bermanfaat bagi dunia ketiga? Sisi kelam teori modernisasi dan governance -yang telah dibahas dalam paper ini- menjadi pelajaran penting untuk selalu kritis terhadap berbagai gagasan asing yang mengusung tema pembangunan bagi negara dunia ketiga99.
96
Ibid Faktanya hingga hari ini justru wajah Human Security yang dianggap paling nyata di dunia internasional ialah mazhab Kanada yang notebene dekat dengan isu militer lewat instrumennya bernama Responsibility to Protect (R2P) 98 Model pembangunan (non militer) inilah yang menjadi pusat perhatian mazhab Jepang 99 Paper ini tidak membicarakan mengenai sisi non militer (khsuusnya pembangunan) dari gagasan Human Security yang notabene masuk dalam domain mazhab Jepang. Tentunya ini merupakan tema penelitian menarik yang dapat dikembangkan di masa depan untuk mengkaji secara kritis arah pembangunan ala mazhab Human Security versi Jepang/ freedom from want yang juga didukung oleh lembaga internasional semacam UNDP 97
35
Meskipun peneiti tidak sepakat dengan argumen pribadi yang diwacanakan Tadjbakhsh & Chenoy, namun tidak bisa dipungkini nilai penting dari karya Tadjbakhsh & Chenoy yang membuka mata mengenai adanya suara lain yang menggugat klaim netralitas yang diusung oleh gagasan Human Security. Penelitian ini sendiri mengambil sikap sejalan dengan “suara lain” yang hadir dalam karya Tadjbakhsh & Chenoy, dimana memandang human Security secara umum di level global secara kritis. Namun sebagaimana misi awal penelitian, studi ini akan dibatasi hanya pada telaah kritis salah satu instrumen penegakan Human Security bernama Responsibility to Protect (R2P), yang hingga kini berkedudukan sebagai instrumen utama penegakan human security secara global.
Tabel 1.2 Rumpun Literatur yang membahas Human Security
N o
Penulis
Corak Literatur Human Security Konteks Global KonteksLokal Pro (Redefinisi konsep kedaulatan negara bangsa)
1
Cornelis Lay
Memuat suara lain (kritis terhadap redefinisi konsep kedaulata n negara bangsa)
Security Sector Reform (SSR)
Keamanan berbasis Kesejahteraan (non militer)
Membahas mengenai SSR di sektor intelejen. Intelejen menjadi penting untuk dibenahi agar eksistensinya jangan disalahgunakan untuk membahayakan keamanna manusia. Lay menawarkan 36
2
Internationa l Crisis Group (ICG)
reformasi intelejen (indonesia) dengan dua mekanisme yakni: 1.) pembenahan pada level organisasi,misalny a penegasan ranah mana yang merupakan hak intelejen dan ranah mana yang merupakan hak penegak keamanan lain semisal polisi. Tidak boleh masing-masing pihak melanggar batasan ranah tersebut. lewat 2.) pembenahan pada level individu, meislanya merencang standar baku kerja seorang agen. Agar di lapangan tidak bertindak semenamena Membahas mengenai SSR di sektor kepolisian. Kepolisian menjadi penting untuk dibenahi agar eksistensinya benar-benar memberikan rasa aman pada rakyat (konteks indonesia). ICG menawarkan reformasi intelejen (indonesia) dengan dua mekanisme yakni: 1.) pembenahan pada level organisasi,misalny 37
3
Dimas Yudha
P
a penegasan ranah mana yang merupakan hak intelejen dan ranah mana yang merupakan hak penegak keamanan lain semisal polisi. Tidak boleh masing-masing pihak melanggar batasan ranah tersebut. lewat 2.) pembenahan pada level individu, meislanya merencang standar baku kerja seorang agen. Agar di lapangan tidak bertindak semenamena. ICG salah satunya menawarkan solusi pengawasan polisi oleh lembaga eksternal (yang tentunya juga harus diperkuat) semaca ombudsman dan kelompok masyarakat sipil lain Membahas mengenai SSR di sektor militer. Militer menjadi penting untuk dibenahi agar eksistensinya mendukung keamanan rakyat, bukan sebaliknya menjadi musuh rakyat. Yudha mengapresiasi langkah reformasi yang telah 38
dilakukan selama ini seperti penghapusan dwifungsi ABRI, pemisahan tugas kepolisian dan TNI, netralitas TNI dalam pilkada. Namun Yudha juga mendorong reformasi tidak cukup sampai di level itu saja. Misalnya ia menegaskan pentingnya pendisiplinan bisnis-bisnis militer. Dimana alasan bisnis itulah yang potensial menyebabkan militer justru berhadapan bahkan menggunakan keekrasan kepada rakyat di berbagai wilayah. Atau dengan kata lain militer justru aktor penyebab ketidakamanan warga. 4
Yohanes Sanak
Human Security (versi mazhab Jepang/berbasis pembangunan) menjadi gagasan esensial yang harus diintegrasikan dalam konsep keamanan nasional (dalam hal ini Indonesia), terkhusus mengenai konsep keamanan perbatasan. Jika diterapkan secara 39
khusus di wilayah perbatasan akan meningkatkan ketahanan Indonesia, karena dengan kondisi rakyat yang sejahtera dibayangkan akan meningkatkan rasa cinta tanah air mereka. Kekuatan rakyat inilah yang diharapkan mampu menjadi benteng kuat penegakan kemanan di Indonesia,khususnya a perbatasan. 5
Paul Heinbecker (pro mazhab Kanada)
Perlunya redefinisi ulang konsep kedaulatan negara bangsa di era kontemporer. Alasannya akibat fenomena negara gagal yang notebene tidak mampu lagi menyediakan fungsi keamanan bagi warganegarany a. Redefinisi inilah yang mampu ditawarkan Human Security, dimana memungkinkan terbukanya ruang bagi aktor non negara untuk terlibat aktif 40
6
7
menyediakan keamanan warga dunia. Commision Sejalan dengan on Human Heinbecker. Security Human Security (pro dinyatakan Mazhab sebagai konsep Jepang) kemanan abad 21. Eksistensinya penting untuk memastikan perlindungan pada individu yang seringkali tidak mendapat perlindungan memadahi dari negara Tadjbakhsh &Chenoy
Kedua akademisi sadar adanya potensi bias kepentingan Barat pada gagasan Human Security terkhusus dalam gagasan freedom from fear, bahkan memberikan informasi kekhawatran serupa juga pernah dilontarkan negara G77. Namun keduanya sepakat untuk mengajak pada pembacanya tetap optimis terhadap eksisitensi Human Security.
1.5. Kerangka Teori Guna melakukan telaah kritis terhadap gagasan Human Security yang dipandang nirkepentingan dan normatif, namun sejatinya menyimpan aspek kuasa terselubung dapat dijelaskan dengan bantuan teori Foucault tentang kuasa/pengetahuan ditambah dengan 41
konsepsi biopower. Sebelum membahas mengenai penggabungan dua teori yang sama-sama dicetuskan oleh Foucault tersebut ada baiknya menjelaskan secara ringkas apa yang menjadi gagasan utama kedua teori tersebut. Setelah penjelasan masing-masing teori kemudian dilanjutkan dengan pemaparan penggunaan dua teori tersebut untuk kepentingan riset dalam tulisan ini.
1.5.1 Kuasa/Pengetahuan Foucault Salah satu sumbangan berharga Foucault dalam dunia akademik adalah idenya tentang kuasa/pengetahuan. Bagi Foucault kuasa dan pengetahuan memiliki hubungan yang saling mengisi atau saling terkait, dalam artian pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari kuasa tertentu dan pengetahuan juga membentuk kuasa tertentu100. Sebuah poin penting terkait pengetahuan ini cenderung terlihat netral, tidak menyimpan kuasa, dan normatif. Foucault sendiri menganalisis kelahiran pemerintahan liberal yang muncul di Eropa tidak dapat dilepaskan dari kemunculan pengetahuan tertentu, dimana salah satu pilarnya adalah perkembangan ilmu-ilmu sosial101. Sebuah contoh menarik mengenai kuasa yang mampu mendorong perubahan sosial ditunjukkan dalam penelitian Walter d. Mignolo mengenai upaya dekolonialisasi konsep tanah yang dilakukan di Amerika Latin. Menurut Mingono selama ini konsep yang berkembang secara global dan juga berpengaruh besar di Amerika latin tentang tanah didominasi gagasan kapitalis liberal dan komunisme. Konsepsi tanah dalam dominasi paradigma liberal mengandaikan tanah adalah properti privat dari individu atau korporasi. Sedangkan tanah dalam paradigma komunisme diyakini sebagai milik negara, dan tidak ada hak kepemilikan di tangan individu. Walaupun negara dapat mengalokasikan tanah kepada komunitas tertentu, tetapi tetap hak milik masih berada di tangan negara 102. Keberadaan dua konsepsi tersebut dianggap bertentangan dengan konsepsi tradisional masyarakat Amerika Latin dalam memandang tanah. Menurut mereka tanah bukan merupakan milik negara ataupun individu, karena tanah tidak bisa menjadi hak milik 100
Konsepsi ini secara tegas dinyatakan oleh Foucault: “power and knowledge directly imply one another; that there is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time power relations”. Lihat Foucault, Michel. 1995. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books, hlm.27 101 Lihat Howe, Adrian. 1994. Punish and Critique: Towards a Feminist Analysis of Penality. New York: Routledge,hlm.72-73 dan Hindess, Barry. 1998. Knowledge and Political Reason. Dalam Nola, Robert (ed). Foucault. New York: Routledge,hlm. 64 102 Mignolo, Walter D. 2008. Preamble: The Historical Foundation of Modernity/Coloniality and the Emergence of Decolonial Thinking. Dalam Klaren, Sara Castro (ed). A Companion to Latin American Literature and Culture. Blackwell Publishing, Oxford: Blackwell Publishing, hlm.18-19
42
siapapun. Mignolo menambahkan bahwa secara realitas, upaya mengubah konsepsi ini sudah dicoba oleh Evo Morales yang melakukan renegosiasi dengan sejumlah perusahaan gas alam dan Cola mengenai masalah lahan yang ditempatinya 103. Poin penting dari kajian Mignolo ialah bahwasanya wacana mengenai tanah yang didominasi paradigma liberal atau komunis berimplikasi pada banyak hal. Sebagai contoh jika paradigma yang berkembang tentang tanah didominasi komunis tentunya berimplikasi pada banyak hal terkait seperti kewenangan negara, relasi negara-rakyat, dan hak milik. Negara memiliki kewenangan yang kuat karena sebagai satu-satunya aktor yang memiliki hak atas tanah. Tentunya kondisi ini memicu bentuk relasi negara-rakyat yang khas. Begitu juga dengan model liberal, tentunya akan menimbulkan berbagai realitas baru, seperti munculnya berbagai institusi terkait sertifikasi tanah. Dalam konteks Bolivia misalnya, sebelum Morales memimpin, konsepsi dominan tentang tanah (dipengaruhi paradigma liberal) dengan jelas merubah drastis realitas sosial yang ada di negara tersebut. Dimana masyarakat tradisional yang memiliki konsepsi tanahnya sendiri, menjadi terpinggirkan karena tanah yang dulu tidak dimiliki sia-siapa kini menjadi rebutan kalangan berpunya (individu atau peruasahaan) untuk kepentingan mereka 104. Namun karena adanya wacana yang membentuk rezim kebenaran maka seakan akan proses tersebut absah. Foucault juga memberikan penekanan bahwa pengetahuan tidaklah lahir dari ruang hampa. Pengetahuan itu juga dibentuk oleh kuasa yang memiliki historisitas tertentu. Sebagai contoh nyata adalah wajah ilmu sosial Indonesia terkhusus di Era Orde Baru yang dapat dikatakan didominasi pandangan Amerika sentris. Wajah ilmu sosial tesebut tidak dapat dilepaskan dari kepentingan AS yang dalam percaturan internasional tengah menghadapi lawan besarnya yakni Uni Soviet. Kedua negara tersebut berupaya berebut pengaruh agar makin banyak negara dunia yang berhasil masuh dalam pengaruhnya. AS sendiri melihat bahwa dunia ketiga, temasuk Indonesia menjadi penting untuk dirangkul agar tidak jatuh ke tangan komunis Uni Soviet 105. Salah satu langkah yang ditempuh AS ialah memberikan sejumlah beasiawa kepada intelektual Indonesia untuk menempuh studinya di sejumlah universitas terkemuka di AS. Perlu dicatat bahwa stetagi ini tidak hanya dilakukan melalui 103
Ibid,hlm.19 Sebagai contoh tercatat hanya sekitar 50.000 keluarga yang mampu mengakses 90% tanah produktif di Bolivia. Jutaan lainnya tidak memiliki akses kepada tanah tersebut, kalaupun ada hanya memiliki akses yang relatif kecil. Lihat Veltmeyer, Henry. 2007. On the Move: The Politics of Social Change in Latin America. Ontario: Broadview Press, hlm.159-160 105 Samuel, Hanneman. 2010. Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia Dari Kolonoalisme Belanda hingga Modernisme Amerika. Depok: Penerbit Buku Kepik Ungu,hlm.101 104
43
pemerintah, tetapi juga berkat kerja yang dilakukan lembaga non pemerintah seperti Ford Foundation106. Pemberian beasiswa tesebut tebukti berhasil, dimana sejak masa Sukarno upaya Amerikanisasi ilmu sosial telah mulai dirintis. Sebagai contoh di kalangan sosiolog Indonesia sejumlah pandangan khas Amerika seperti parsoanian dan teori modernisasi mulai disebarluaskan. Di masa Orde Baru proses ini semakin masif karena jaringan yang solid sudah terbentuk, salah satunya melalui jaringan pusat studi Indonesia di tiga universitas AS (Yale, Cornell, dan MIT)107. Salah satu dampak dari Amerikasisasi ini salah satunya nampak mempengaruhi cara pandang tentang pembangunan ekonomi yang banyak dipengaruhi “mafia Berkeley”.
1.5.2 Biopower Foucault Pembicaraan mengenai biopower tidak dapat dilepaskan pula dari nama Michel Foucault, yang karya-karyanya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang masalah kekuasaan dan pendisiplinan. Terkait dengan definisi biopower dari Foucault sendiri dapat dikatakan kurang jelas, namun sebagaimana dikatakan oleh Jen Pylypa, istilah biopower berkonotasi menggambarkan sebuah kekuasaan yang cakupannya sangat luas sebagai berikut: “power as dispersed throughout society, inherent in social relationships, embedded in a network of practices, institutions, and technologies--operating on all of the "microlevels" of everyday life”108. Istilah ini dipakai Foucault untuk menggambarkan model kekuasaan baru yang tumbuh di Eropa pada abad modern yang berbeda dengan kekuasaan model militer109. Istilah biopower sendiri seringkali mengalami kekaburan karena bersinggungan dengan istilah Biopolitics yang sama-sama dinyatakan oleh Foucault. Sebagai ilustrasi dalam catatan kali buku Security, Territory, Population dinukilkan ucapan Foucault dalam buku “La Volonté de savoir” (Sejarah Seksualitas), dimana ia menggunakan kedua istilah tersebut secara bersamaan dalam konteks pemaknaan yang sama: “What does this new technology of power, this biopolitics, this bio-power that is beginning to establish itself, involve110?”. Bertolak dari pemakaian Foucault sendiri yang tumpang tindih maka dalam penelitian ini istilah Biopower atau Biopolitics dianggap sama. 106
Ibid,hlm.109-110 Ibid,hlm.116 108 Pylypa, Jen. 1998. Power And Bodily Practice: Applying the Work of Foucault to an Anthropology of The Body. Dalam Arizona Antropologist Volume 13,hlm.21 109 Ibid 110 Foucault, Michel. 2007. Security, Territory, Population (Lectures at the College de France). New York: Palgrave Macmillan, hlm.16 (penekanan ditambahkan) 107
44
Lalu apakah Biopower atau Biopolitic itu? Dapat dikatakan Biopower ialah teknologi kuasa yang objeknya adalah
masyarakat (society)111. Stategi ini sebenarnya lebih tepat
dinyatakan sebagai perluasan teknologi kuasa “lama” yang pernah diperbincangkan Foucault dalam sejumlah karyanya yakni teknologi kekuasaan pada level individu (yang sering diistilahkan sebagai “anatomo-politics” atau “disciplines”)112. Jika fokus anatomo-politics pada upaya penciptaan identitas, norma, bahkan hasrat tertentu yang berfungsi menciptakan individu yang patuh113, atau seringkali diistilahkan “docile body” (tubuh yang jinak) maka biopower bertujuan menciptakan sebuah equirilibium (homoeostatis) atau “kenormalan” dalam sebuah populasi. Diantara contoh biopower ini seperti kebijakan pro-natalis dan pencegahan endemi dalam sebuah populasi114. Sebagai ilustrasi bekerjanya biopower digambarkan secara menarik oleh Clare Hanson yang memotret bekerjanya biopower di Inggris di tahun 1949. Paska Perang dunia II, Inggris mengalami masalah kependudukan dimana laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan. Pemerintah Inggris yang khawatir tentang masalah pertumbuhan membuat sebuah badan yang dianmakan Royal Commision on Population. Menarik mencermati apa yang diwacanakan oleh lembaga tersebut di bawah payung sebuah slogan besar yaitu “vitalitas populasi Inggris”115. Slogan tersebut memiliki dua katogorisasi spesifik untuk mendefinisikan apa yang disebut “vitalitas populasi”, yaitu vitalitas secara kualitatif dan kuantitafif. Guna mewujudkan impian “vitalitas populasi Inggris”, Royal Commision on Population menyebarkan wacana bahwa dibandingkan dengan populasi Inggris, populasi di negara oriental (timur) meningkat pesat, dan dapat menjadi tantangan bagi dunia Barat116. Asumsinya karena bangsa barat (termasuk warga Inggris) merasa “terancam” akan segera berfikir untuk meningkatkan populasi mereka dengan semakin memperbanyak keturunan 117. Apabila mencermati penjelasan Clare Hanson diatas dapat disimpulkan bagaimana dampak pewacanaan tersebut pada masyarakat Inggris. Masalah berapa jumlah anak atau 111
Biebricher, Thomas. 2011. The Biopolitics of Ordoliberalism. Dalam Foucault Studies No 12,hlm. 174 dan Friedner, Michele. 2010. Biopower, Biosociality, and Community Formation: How Biopower is Constitutive of the Deaf Community. Dalam Sign Language Studies Vol.10 No.3 ,hlm. 340 112 Biebricher, Thomas. 2011.Op.cit 113 Takeshita,Chikako. 2012. The Global Biopolitics Of The IUD : How Science Constructs Contraceptive Users And Women’s Bodies. London: The MIT Press,hlm. 21 114 Hanson, Clare. Biopolitics, Biological Racism and Eugenics. Dalam Morton, Stephen and Stephen Bygrave (ed). 2008. Foucault in an Age of Terror: Essays on Biopolitics and the Defence of Society. New York: Palgrave Macmillan. hlm.106-107 115 Ibid. hlm. 109 116 Ibid.hlm. 108-109 117 Sebaliknya cara berfikir terbalik juga dapat muncul dari pewacanaan semacam ini, yakni bagaimana Inggris (dan Barat) berupaya menciptakan “normalitas” populasi bangsa non Barat agar gap diantara kedua populasi (Barat-non Barat) tidak semakin melebar dan potensial mengancam dunia Barat.
45
masalah kehamilan yang semula dalam ruang privat berubah menjadi masalah pubik ketika wacana Royal Commision muncul. Tentunya sebagai dampak dari wacana tersebut pemerintah dilekatkan hak (kuasa) guna menginfiltrasi kehidupan masyarakat ke level yang lebih dalam, baik masyarakat Inggris sendiri atau masyarakat Timur yang diposisikan sebagai “ancaman”. Nyatanya dalam konteks campur tangan pemerintah terhadap masalah kehamilan di luar negeri hingga saat ini masih terjadi. Satu fakta menarik yang patut untuk dikaji ialah hingga saat ini Inggris mendanai proyek strelisiasi paksa yang dilakukan oleh pemerintah India. Fakta ini salah satunya dijelaskan secara terperinci oleh seorang peneliti London School of Economics and Political Science (LSE) bernama Kalpana Wilson. Menurut kajian Wilson, kebijakan yang telah berlangsung sejak tahun 1970an tersebut dipenuhi oleh sejarah kekerasan, kematian, dan berbagai penipuan. Semisal di tahun 70an, banyak lelaki India yang menjadi korban “penculikan” oleh aparat negara dan dipaksa untuk melakukan vaksetomi di kamp-kamp sterilisasi118. Tidak hanya laki-laki, perempuan juga menjadi korban –bahkan dapat dikatakan lebih parah-. Seringkali mereka menjadi korban penipuan dengan diiming-imingi sejumlah reward jika melakukan sterilisasi, dalam keadaan lain mereka diancam tidak mendapatkan sejumlah akses program pemerintah terkait kesejahteraan (welfare), bahkan tidak jarnag sebagaimana kaum laki-laki disana mereka dibawa paksa ke kamp untuk kemudian dilaksanakan sterilisasi119. Lebih menyedihkan lagi menurut temuan Wilson, kondisi kamp tidaklah baik sehingga tidak jarang banyak wanita yang menjalani operasi di sana berakhir dengan kematian120. Tentu saja kenyataan semacam ini tidak diperlihatkan oleh Inggris. Wajah “kehidupanlah” yang diperlihatkannya. Semisal dengan mewacanakan “hak-hak reproduksi”, padahal menurut Wilson sejatinya rasisme dan partiarkal121. Kenyataan menyedihkan tersebut menurut Wilson tidak menyurutkan Inggris terus menggelontorkan dana kepada pemerintah India melalui The Department for International Development (DFID) guna membiayai kebijakan tersebut 122. Alasan pembiayaan terus menerus ini tentunya sangat terkait dengan ketakutan demografi yang dihadapi Inggris pasca 118
Wilson, Kalpana. 2014. Britain Must End Its Support For Sterilisation In India Diakses di http://blogs.lse.ac.uk/southasia/2014/11/20/britains-population-policies-are-fuelling-atrocities-like-indiassterilisation-camp-deaths/ pada tanggal 25 November 2015 pukul 10.41 WIB 119 Ibid 120 Ibid 121 Wilson, Kalpana. 2014. Britain’s Population Policies Are Fuelling Atrocities Like India’s Sterilisation Camp Deaths. Diakses di http://blogs.lse.ac.uk/southasia/2014/11/20/britains-population-policies-are-fuellingatrocities-like-indias-sterilisation-camp-deaths/ pada tanggal 25 November 2015 pukul 10.42 WIB 122 Ibid
46
perang dunia II. Sebagaimana dibahas sebelumnya, Inggris ketakutan jika populasi dunia Timur, termasuk India yang merupakan negara bekas jajahannya dapat menjadi pesaing bagi dunia Barat123. Selain itu meningkatnya populasi dunia tentunya akan semakin berimplikasi pada pemakaian sumber daya alam dunia. Tentunya Inggris akan lebih memilih populasi Inggris yang menikmati sumber daya itu dibandingkan dengan warga dunia Timur 124. Kasus diatas menunjukkan bagaimana mengerikannya kuasa biopower. Seakan muncul dengan wajah “kehidupan” yang berupaya membenahi populasi Inggris paska perang dunia II yang tentunya mengalami penurunan drastis dan kualitas yang buruk akibat perang. Namun wajah “kematian” sekaligus menyertainya, dimana salah satunya terbukti dari kebijakan bantuan sterilisasi Inggris untuk menghalangi sebisa mungkin meningkatnya populasi di dunia Timur (termasuk India yang merupakan wilayah jajahannya) agar tercipta demografi yang “normal” antara warga Inggris (dan Barat lain) dengan warga Timur. Poin penting yang perlu ditekankan pada biopower ini ialah pembacaannya yang kritis dalam melihat kuasa besar di balik pengaturan populasi. Sebagaimana dipahami bahwa biopower memiliki tujuan menciptakan homoeostatis atau “kenormalan” di level masyarakat (populasi). “Kenormalan” yang dimaksud seakan bernuansa positif, yakni meningkatkan kualitas populasi, yang dalam istilah Foucault “power to make live125”. Dalam kasus Inggris diatas, pemerintah punya hak memastikan kuantitas dan kualitas populasi Inggris. Guna mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan intervensi di tingkat populasi. Padahal intervensi ini hakikatnya bagai dua sisi koin, dimana satu sisi terkait dengan wajah “kehidupan” namun pada sisi lain terkait dengan wajah “kematian”. Maksud dari dua sisi tersebut ialah guna menjamin “kenormalan” pada populasi maka berbagai intervensi yang notabene bertentangan dengan “kehidupan”, seperti penolakan, hukuman, bahkan memusnahkan menjadi legal untuk
123
Tidak heran AS sebagai aktor kuat dunia Barat saat ini menggantikan Inggris juga terlibat aktif mendanai sterilisasi paksa di India ini lewat mekanisme USAID. AS sendiri melalui mekanisme USAID hanya mementingkan hasil (melalui sistem kuota). Sehingga dapat dikatakan keadaan manusia (khususnya wanita) India tidak lain diyakini layaknya benda mati, tidak punya pilihan. Ukuran kuota berapa banyak yang sanggup disterilisasi dalam kurun waktu tertentu yang menjadi ukuran. Bukan mau tidaknya sang pasien, bagaimana kondisi kamp, cara seperti apa yang harus dilakukan agar target kuota terpenuhi tidak menjadi hal yang penting bagi AS. Lihat Celeste McGovern. No date. USAID Funding of Sterilization Camps in India. Shenandoah Valley: The Population Research Institute,hlm.14-15 Perlu ditambahkan, tentunya AS maupun Inggris beserta “partnernya”, yakni pemerintah India tidak menunjukkan wajah “kematian”nnya dalam melakukan sterilisasi paksa ini. Sebagaimana yang ditegaskan 124 Menariknya program pengurangan populasi global lewat program sterilisasi (yang dalam konteks indonesia dikenal dengan nama KB) termasuk instrumentasi penegakan Human Security yang diusung dalam laporan UNDP tahun 1994. Sehingga menarik pula untuk menjadi topik penelitian ke depan untuk mencermati proyek sterilisasi ini. 125 Foucault, Michel. 2003. Society Must Be Defended Lectures At The College De France 1975-1976. New York: Picador,hlm. 247
47
memastikan kehidupan tersebut 126. Menjadi sebuah ancaman yang menakutkan ketika kuasa “kematian” ini pada hakikatnya dilakukan oleh si pemegang kuasa (dalam konteks Inggris pemerintah Inggris). Dialah yang memiliki kuasa penuh menentukan apa yang dianggap membahayakan kondisi “kenormalan” populasi inggris sehingga bisa ditindak dengan berbagai kebijakan yang “relevan”. Sebuah contoh sederhana dapat memberikan gambaran mengenai dua wajah kuasa biopower sebagaimana diisustrasikan oleh Foucault sendiri. Menurut Foucault kuasa biopower secara nyata termanifestasi dalam negara Jerman Nazi. Kekuasaan Nazi sendiri berpijak pada gagasan besarnya yakni meningkatkan taraf hidup populasi Jerman/bangsa Arya. Tujuan tersebut jelas sejalan dengan konsepsi biopower yang bertujuan mengontrol populasi agar mencapai homoeostatis.
Dibungkus tujuan “mulia” tersebut (yang dapat
disebut “wajah” kehidupan) rezim NAZI secara otomatis terlekati kuasa “kematian”127. Dampaknya tentu dapat disaksikan bahwa Jerman Nazi berupaya menghapus sejumlah “ketidaknormalan” pada sejumlah kalangan masyarakat–menurut anggapan rezim- dengan cara membinasakannya agar tidak merusak populasi Jerman secara keseluruhan. Contoh nyata Jerman dalam menghapus “ketidaknormalan” ini ialah kebijakannya pada kalangan difabel. Kalangan difabel dianggap “mengotori” populasi “normal” bangsa Arya, dan meningkatnya jumlah difabel tentunya akan semakin mempengaruhi komposisi “normal” dan “tidak normal” dalam populasi Arya Jerman. Maka sejumlah kebijakan diambil oleh Nazi untuk mengembalikan “kenormalan” populasi Arya dengan sejumlah cara, seperti: pertama, sterilisasi bagi kalangan difabel. Langkah ini guna menghambat peningkatan populasi difabel di masa mendatang. Kedua, eliminasi bagi kalangan difabel. Sejumlah cara ditempuh Nazi untuk mengeliminasi difabel. Tercatat pembunuhan bayi yang lahir dalam keadaan difabel sebagai langkah utama, dibarengi dengan sejumlah langkah lain seperti memberi obat atau suntikan racun (euthanasia) bahkan memebiarkannya kelaparan sampai mati128. Tidak terbatas pada kaum difabel saja, sejumlah kalangan yang mengidap penyakit tertentu juga dianggap “membahayakan” populasi, sehingga perlu diambil tindakan dengan mengeliminasi mereka. Tercatat Nazi menganggap sejumlah penyakit seperti sipilis, epilepsi,
126
Ibid,hlm.254-256 Ibid,hlm.256-260 128 Friedlander, Henry. 1995. The Origins Of Nazi Genocide : From Euthanasia To The Final Solution. Chapel Hill ; London : University North Carolina Press, hlm. 151 dan Branson, Jan & Don Miller. 2002. Damned For Their Difference : The Cultural Construction Of Deaf People As "Disabled" : A Sociological History. Washington, D.C. : Gallaudet,hlm. 33 127
48
dan shizophernia sebagai “perusak” populasi, dan individu yang dianggap mengidapnya akan dihabisi. Langkah ini direalisasikan Nazi dengan nama operasi T4, dimana dilaksanakan di ibukota Jerman Berlin. Cap “normal” atau “tidak” akan diberikan oleh dokter-dokter T4 pada individu, dan siapa yang mendapat cap “tidak” maka akan dihabisi dengan menggunakan kamar gas129. Tindakan Nazi tersebut dapat dikatakan sebagai perwujudan yang dapat ditemukan sebagai manifestasi biopower di dunia ini, dimana ia memiliki kuasa “kehidupan” yang berada pada sisi depan sebuah koin (yang nampak di permukaan) dan kuasa “kematian” yang berada pada sisi belakang sebuah koin (yang tidak nampak di permukaan). Maka tidak heran Foucault memberikan penekanan penting pada kuasa terselubung yang hadir di balik wajah “indah” biopower dengan ungkapan “if you want to live, the other must die130”, yang mengambarkan relasi tak terpisahkan dari dua kuasa tersebut. Secara mudah kuasa biopower sebagaimana dijelaskan panjang lebar diatas ialah sebuah kuasa yang berbeda dengan model kuasa masa lalu (pra modern) yang “berwajah” kematian. Contoh dari model kuasa model ini ialah kekuasaan ditandai dengan tentara, hukuman mati, penjara, upeti, dan mekanisme lain yang sangat menyeramkan. Sehingga ketundukan pada kuasa dikarenakan ketakutan seseorang pada mekanisme-mekanisme kuasa tersebut. Berbeda dengan kuasa masa lalu, biopower yang memiliki wajah yang berbeda 180 derajat. Kuasa biopower merupakan jenis kuasa masa kontemporer (modern). Kuasa ini justru menampilkan “wajah” kehidupan, bukannya kematian. Walaupun secara hakikat “wajah” kematian tetap hadir di balik “wajah” kehidupan. Contoh dari model kuasa ini terlihat dari cara NAZI membangun kekuasaannya. NAZI berpijak pada gagasan perbaikan bangsa Jerman sehingga menjapai fase yang lebih baik. Sebuah gagasan yang nampaknya indah di permukaan. Namun sebagaimana dinyatakan Foucault, “wajah” kehidupan ini sejatinya sekaligus membawa “wajah” lain yakni kematian. Karena itulah NAZI dengan mudah mendapatkan legitimasi luas dari rakyat Jerman untuk membinasakan berbagai kelompok ras/individu yang tidak “normal” agar tujuan “mulia” perbaikan bangsa Jerman tercapai. Istilahnya pengorbanan diperlukan demi kemajuan. Dua teori yang telah dipaparkan diatas terbukti sangat bermenfaat untuk memudahkan analisa terhadap gagasan Human Security secara kritis. Namun tentunya sebagaimana janji di awal kedua terori tersebut haruslah dirangkai sedemikian rupa agar dapat membantu 129
Poore, Carol. 2007. Disability in Twentieth-century German Culture. Ann Arbor : University of Michigan Press,hlm.87 130 Foucault, Michel. 2003. Society Must Be Defended Lectures At The College De France 1975-1976. New York: Picador,hlm. 255
49
menghasilkan pembacaan yang kritis mengenai Human Security. Secara detail penggabungan dua teori tersebut dapat disimak pada skema 1.1
Skema 1.1 Alur Berfikir Human Security [konteks global] sebagai bentuk pengetahuan yang melahirkan kuasa ala Foucault: Dimana termanifestasi dari redefinisi konsep kedaulatan negara bangsa dan hak bagi aktor non negara (komunitas internasional) untuk terlibat aktif “memastikan kemanan” di suatu negara
Misi Penelitian: Melucuti “topeng” R2P: Membuktikan bahwa kepentingan negara yang memiliki power menjadi prioritas utama. Keselamatan manusia di wilayah penerapan R2P bukan merupakan prioritas bahkan sama sekali tidak dianggap penting jika tidak berkesesuaian dengan upaya mewujudkan kepentingan negara yang memiliki power. Staretgi Penelitian: “Melucuti topeng R2P”: 1.Menyingkap kepentingan terselubung apa di balik suatu misi R2P 2. Mencermati secara kritis penerapan di lapangan apakah kepentingan terselubung itu yang menjadi prioritas atau keamanan rakyat di wilayah yang dilanda konflik-kekerasan
Implikasinya: Memungkinkan negara yang memiliki power untuk menjalankan ambisinya memformat dunia berkedok perlindungan keamanan manusia global dengan justifikasi negara gagal menjaga keamanan wilayahnya sendiri
Tantangan: Harus ada skema/ mekanisme/instumentasi yang jelas untuk memastikan ambisi negara yang memiliki power tersebut terlaksana, namun dengan “wajah” yang bersahabat (Sebagai contoh saja: eksistensi tambang diklaim sebagai instumentasi kesejahteraan rakyat di berbagainegara dunia ketiga (termasuk Indonesia). Namun faktanya demi elit lokal dan asing saja. Rakyat menderita. Terjadi kutukan sumber daya alam )
Responsibility to Protect (R2P) sebagai salah satu instumentasi untuk mewujudkan ambisi negara yang memiliki power tersebut dan menjadi fokus penelitian ini Instumen R2P sendiri merupakan hasil karya dari mazhab Human Security ala Kanada yang menekankan pada perlindungan manusia dari ancaman konflik kekerasan Melalui R2P opsi operasi militer dan pendudukan wilayah oleh komunitas internasional atas nama keamanan manusia di sebah negara terbuka lebar 50
1.6. Metode Penelitian 1.6.1 Desain Penelitian, Teknik pengumpulan& Analisa data Penelitian meilih menggunakan metode studi kasus sebagai desain penelitiannya. Alasannya studi kasus dianggap sebagai meode yang sesuai dengan misi penelitian yakni mengungkap sudut gelap penerapan salah satu Instrumen penegakan Human Security yakni Responsibility to Protect (R2P) yang hingga kini menjadi manifestasi paling nyata atau dapat pula dikatakan “wajah” dari Human Security global kontemporer. Studi kasus yang dimaksud dalam penelitian ini mengikuti pendefinsian kasus yang dinyatakan oleh George & Bennet131 yakni “an instance of a class of events of interest to the investigator”132. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya ada dua hal mendasar dalam penelitian studi kasus merujuk pada mengertian George & Bennet, yakni: 1.) instance of a class of events, yang mendakan bahwa dalam penelitian studi kasus diperlukan contoh kejadian yang jamak namun saling terkait satu sama lain (ada benang merah pada kasus tersebut). 2.) interest to the investigator, yang menandakan pemilihan kasus yang saling terkait itu ditentukan sepenuhnya oleh subjektivitas sang investigator/ peneliti dengan alasan tertentu. Dimana dalam hal ini tentunya terkait dengan tujuan peneitiannya. Mencermati keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa studi kasus amat relevan dengan tujuan peneitian ini yang ingin mengungkap sudut gelap penerapan R2P di lapangan. Tentunya untuk memenuhi tujuan tersebut dibutuhkan sejumlah penenusuran aktivitas R2P di lapangan yang tentunya terjadi dalam lingkup geografis yang beragam. Dengan skema studi kasus sebagaimana didefinsikan oleh George & Bennet maka misi penelitian yang ingin dicapai penulis dapat dikerangkai dengan baik. Dimana: Pertama, instance of a class of events yang dimaksud oleh George & Bennet merujuk pada episode historis (sejarah) suatu fenomena ilmiah yang terdefinisikan dengan baik 133. Dalam konteks penelitian ini berbagai 131
Bennet sejatinya menukil dari George. Namun dalam sejumlah referensi belakangan kedua nama tersebut tidak dipisahkan karena Bennet sendiri mengafirmasi dan ikut serta mempopulerkan ide George. Sehingga dalam penelitan ini nama George & Bennet dipakai secara bersama-sama. 132 Bennett, Andrew. 2002. Case Study Methods: Design, Use, and Comparative Advantages. Dalam Sprinz, D. F., & Wolinsky, Yael. Cases, Numbers, Models: International Relations Research Methods. Ann Arbor: University of Michigan Press,hlm. 28 133 ; George, Alexander L. & Andrew Bennett. 2004. Case Studies and Theory Development in the Social Sciences. Cambridge: MIT Press,hlm. 18 Lihat pula: Levy, Jack S. 2009. Case Studies and Conflict Resolution. Dalam Bercovitch, Jacob, Victor Kremenyuk & I William Zartman (ed). The SAGE Handbook of Conflict Resolution. London: Routledge,hlm. 73; Llacay, Barbara & Gilbert Peffer. 2009. Foundation for A Framework for Multiagent-Based Simulation of Macrohistorical Episodes in Financial markets. Dalam Hernandez, Cesareo, Marta Posada& Adolfo Lopez-Paredes (ed). Artificial Economics. Heidelberg: Springer,hlm. 135
51
kasus lapangan penerapan R2P sejatinya dapat dimasukkan dalam satu ikatan (class) yang berciri episode historis, dimana beragam penerapan R2P di lapangan yang sangat luas secara geografis (Afrika, Asia, Eropa) merupakan sebuah narasi besar dari proses evolusi R2P dari penciptaannya menuju proses mencapai “kesempurnaan” 134. Kedua, soal interest to the investigator maka membuka peluang bagi peneliti untuk memasukkan kasus mana saja dalam proses evolusi R2P tersebut yang dirasa sangat penting untuk membuktikan misi penelitian, yakni menyingkap sisi gelap (implikasi negatif) eksistensi R2P. Tentunya pilihan yang sifatnya subjektif tersebut haruslah dijustifikasi alasannya. Termasuk juga variabel apa yang dipakai untuk mengamati kasus tersebut dan relasinya dengan teori yang digunakan dalam peneitian ini. Berbekal pendefinisian studi kasus ala George & Bennet maka dibutuhkan rasionalisasi mengenai instance of a class of events apa untuk dipergunakan sebagai fokus penelitian ini berikut alasannya. Sebagaiman dibahas dalam paragraf sebelumnya, peneitian ini akan berfokus pada sebuah realitas bernama Responsibility to Protect (R2P), secara spesifik mengenai penerapannya di lapangan. Dikarenakan misi penitian yang ingin membuktikan bahwasanya R2P dalam penerapannya di lapangan tidak seindah yang dipropagandakan selama ini (berimplikasi negatif) alias ingin mengungkap sisi gelap R2P maka diperlukan sejumlah kasus yang cukup representatif untuk membuktikan hipotesis tersebut. Sebagaimana ditegaskan oleh George & Bennet bahwa studi kasus terkait erat dengan episode historis (sejarah) sedangkan penerapan R2P di lapangan secara faktual juga terkait erat dengan episode historis tertentu yakni sejarah evolutif R2P menuju proses “kesempurnaan” (1999-2011)135, maka haruslah dipilih peristiwa penerapan R2P yang “menonjol” atau mempunyai andil besar dalam mentukan sejarah evolusi R2P hingga fase “kesempurnaan”. Penelitian ini sendiri akan mengambil sejumlah peristiwa historis penerapan R2P sejak awal kelahirannya hingga tahap kesempuran dengan alasannya sebagai berikut: 134
Satu tonggak besar dalam proses kesempurnaan ini ialah penerimaan luas dunia internasional di tahun 2005 dan pada akhirnya R2P dikenal sebagai wajah dari Human Security di level global. Sehingga R2P seakan telah menjadi sinomin dari Human Security itu sendiri padahal sejatinya ia merupakan salah satu instumentasi Human Security di level global. Dari sisi tersebut saja sudah sangat layak untuk menyebut R2P telah memasuki fase kesempurnaan. Lihat secara lebih detail proses evolusi R2P hingga mencapai tahap “kesempurnaan” pada bab III 135 Sebagai informasi penting, R2P dianggap mulai terbentuk atau lahir ketika terjadi intervensi NATO pada perang Kosovo pada tahun 1999. Sementara fase “kesempurnaan” R2P dapat dikatakan dimulai pada tahun 2005 ketika secara resmi dunia internasional menerima doktrin ini sebagai norma yang disepakai secara global. Fase kesempurnaan menjadi utuh ketika terjadi krisis Libya di tahun 2011 yang berujung pada penerapan operasi R2P di wialyah tersebut sebagai test case paska formalisasi R2P di tahun 2005, dan dianggap berhasil dengan gemilang. Lihat secara lebih detail proses evolusi R2P hingga mencapai tahap “kesempurnaan” pada bab III
52
Tabel 1.3 Lokasi Misi Responsibility to Protect (R2P) yang menjadi Fokus Kajian
Lokasi
Tahun
Alasan
Penerapan Kosovo
1999
Merupakan tonggak awal dimana ide R2P muncul. Diklaim perang Kosovo menajdi tonggak dimulainya era baru perang
humanitarian
sebagimana perang
bukan
lama -yang
bersifat destruktif, demi kepentingan kejayaan bangsa tertentu-. Perang bukan soal mengalahkan musuh tapi keselamatan manusia136 Indonesia/Timor 1999
Merupakan sebuah peristiwa penting
Leste137
dalam sejarah evolusi R2P dimana R2P diklaim mampu mengadirkan kembali
nuansa
perang
demi
humanitarian ala Kosovo. Peristiwa Timor
Leste
ini
sebagaimana
Kosovo, juga menandai bagaimana komunitas
internasional
sebagai
pemutus
Indonesia-rakyat
berfungsi
perselisihan Timor
Leste
136
Mary Kaldor memberikan strategi membedakan apa yang disebut sebagai “perang baru” yang bercorak humanitarian dengan “perang lama”. Menurutnya cara membedakan perang tersebut pada tujuannya. Pada “perang baru” tujuan utama perang adalah:1.) mencegah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (keamanan manusia dari konflik kekerasan). Perang tidak dimaksudkan untuk menghabisi musuh. 2.) Perang bersifat defensif bukan ofensif. Termasuk juga perang coba diminimalisir eksalasinya. Bukannya perang model lama yang notabene justru “gandrung” dengan eskalasi misal dengan mencoba membuka berbagai macam front demi memperoleh kemenangan. Lihat Kaldor, Mary. 2012. Introduction. Dalam Kaldor, Mary (ed). Global Insecurity. London: Bloomsbury Continuum,hlm. 21 137 Perlu diingat R2P dilaksanakan pada sebuah wilayah negara bangsa yang dianggap gagal atau bertindak sebagai pelanggar kemanan manusia. Bukan dalam konteks negara lain yang melakukan invasi dan kemudian melakukan pelanggaran kemanan manusia (seperti msial NAZI yang menginfasi berbagai negara Eropa dan melakukan kekejaman terhadap warganya). Dalam konteks penelitian R2P ini Timor Leste bukan sebagai negara merdeka sebagaimana Kosovo hingga sebelum misi R2P dilaksanakan tetapi bagian dari entitas besar bernama negara Indonesia (dalam kasus Kosovo, wilayah itu merupakan bagaian dari negara Serbia-Yugoslavia).
53
mengenai
masa
depan
wilayah
tersebut lewat Referendum,
dan
nation bulider negara baru Timor Leste
yang
lepas
dari
wilayah
Indonesia yang sukses Libya
2011
Merupakan pelaksanaan R2P secara resmi pertama kali oleh komunitas internasional
paska
pengesahan
norma R2P di tahun 2005. Diklaim secara luas sebagai bukti sukses penerapan R2P di lapangan
Dari pemaparan dalam tabel diatas dapat dilihat secara jelas lokasi penerapan R2P yang menjadi fokus penelitian ini beserta alasannya. Dikarenakan peneitian ini membatasi rentang waktu penelitian yakni sejak 1999 hingga 2011 maka sejumlah kasus yang terkait dengan misi R2P paska fase “kesempurnaan” di tahun 2011 tidak menjadi fokus penelitian. Karena asumsinya ketika R2P memasuki fase “kesempurnaan” doktrin tersebut telah memiliki posisi kuat
sebagai norma internasional sehingga sulit
digugat. Alasanya ketika fase
“kesempurnaan” telah tercapai tidak butuh lagi “pembuktian” yang diperlukan bagi pengusung R2P kepada dunia internasional bahwa doktrin tersebut tidak bermasalah. Faktanya saat ini R2P dianggap sebagai wajah Human Security itu sendiri. Bukti tersebut saja sudah menunjukkan bahwa tahap “kesempurnaan” R2P telah berhasil tercapai dengan baik. Dengan alasan tersebut maka kasus R2P paska 2011 tidak menjadi pembahasan dalam penelitian ini, misal kasus Suriah yang kondisinya semestinya membutuhkan campur tangan komunitas internasional lewat doktrin R2P138. Perlu ditambahkan bahwa Pemilihan kasus ini juga merujuk pada kasus yang secara umum sudah disepakati sebagai bagian dari operasi R2P 139. Sedangkan kasus yang tidak 138
Kasus Suriah sendiri menjadi unik karena warga tidak hanya dihadapkan pada kekerasan yang dilakukan oleh rezim Bashar Al Assad tetapi juga oleh milisi anti rezim terkhusus ISIS. Keberadaan ISIS bahkan tidak hanya mengancam Human Security warga Suriah saja tetepi juga Iraq karena wilayah ISIS melebar sampai wilayah Iraq. Bahkan tercatat pimpinan ISIS saat ini memang berasal dari wilayah Iraq bernama Abu Bakr Al Baghdadi. Situasi ini seharusnya jelas mengisyaratkan R2P namun hingga saat ini tidak terdengar adanya inisiasi R2P di wilayah tersebut. Kasus Suriah dapat menjadi topik menarik untuk agenda penelitian ke depan mengenai R2P, sebagai pelengkap atas penelitian ini (yang dibatasi rentang waktu: tahun 1999-2011) 139 Lihat misalnya Hall, Lucy & Lara J. Shepherd. WPS and R2P: Theorising Responsibility and Protection. Dalam Davies, Sara E. , Zim Nwokora & Eli Stamnes,Sarah Teitt (ed). Responsibility to Protect and Women, Peace and Security: Aligning the Protection Agendas. Leiden: Brill,hlm. 55 (Timor Leste & Kosovo); Branch,
54
dianggap secara umum sebagai bagian dari sejarah R2P maka tidak dimasukkan dalam penelitian ini seperti Perang Iraq tahun 2003. Sejatinya perang Iraq potensial untuk dikaji dikarenakan AS mendasarkan pijakan operasi militernya salah satunya dengan retorika penegakan keamanan manusia Iraq. Di mata AS Saddam telah gagal menjamin keamanan manusia Iraq, bahkan rezimnya itulah biang keladi ketidakamanan rakyat Iraq sehingga patut bagi AS untuk mengintervensi Iraq 140. Namun karena kasus Iraq ini dianggap bukan bagian dari sejarah R2P maka tidak disertakan141. Sebagai sebuah informasi tambahan guna menghilangkan pertanyaan yang mungkin muncul terkait mengapa ada jeda waktu yang cukup lama antara tahun 1999 hingga 2005 saat R2P resmi disahkan dunia internasional? Sehingga kasus yang diambil terkesan melompat? Jawabannya ialah semenjak tahun 2001 hingga tahun 2003 dunia internasional dihebohkan oleh peristiwa 9/11 yang menandai era baru dunia yang dikenal dengan “zaman teror”. Paska 9/11 dunia dapat dikatakan disibukkan dengan sejumlah aksi unilateral yang dilakukan AS dan sekutunya ke sejumlah negara yang dicurigai membantu terorisme internasional di bawah
Adam. 2014. Responsibility to Protect and Africa’s International Relations. Dalam Murithi, Tim (ed). Handbook of Africa's International Relations. Abingdon: Routledge,hlm. 192 (Libya) 140 Salah satu wacana yang dimunculkan Bush misalnya pada 26 Februari 2003 saat menghadiri acara makan malam di American Enterprise Institute: “The First benefit of Free Iraq would be the Iraqi People, themselves. Today they live in scarcity and fear, under a dictator who has bought them nothing but war, misery, and torture. Their lives and freedom matter little for Saddam Hussein –but their lives and freedom matter greatly for us”. Lihat Bush, George W. 2003. Iraq is Fully Capable of Living in Freedom. Dalam Sifry, Micah L & Christopher Cerf (ed). The Iraq War Reader: History, Documents, Opinions. New York: Touchstone,hlm. 557 Sangat jelas wacana ini menyiratkan pesan pentingnya penjaminan keamanan manusia Iraq dan ketidakmampuan rezim Saddam menyediakan keamanan ini. Sehingga AS berhak mengintervensi Iraq demi kepentingan warga Iraq sendiri. 141 Diantara sebab kasus Iraq tidak dianggap sebagai bagian dari R2P misalnya: 1.) tidak ada peristiwa kekejaman massal yang terjadi secara real time di tahun 2013. 2). Ada tumpang tindih alasan perang Iraq dilaksanakan, seperti alasan humanitarian, kepemilikan senjata penusnah massal, dan perang melawan teror. Lihat Hashemi, Nader & Danny Postel (ed). The Syria Dilemma. Cambridge: The MIT Press,hlm. 267; DiMaggio, Anthony R. 2015. Selling War, Selling Hope: Presidential Rhetoric, the News Media, and U.S Foreign Policy Since 9/11. Albany: State University of New York Press,hlm. 81-82 Terkait dengan argumen pertama, dapat dikatakan sangat lemah, mengingat R2P tidak hanya bersifat reaktif (jika ada kasus kekejaman massal yang real time) tapi juga mencakup pencegahan. Jika menerima asumsi bahwa Saddam adalah sosok tiran kejam penindas rakyatnya sendiri secara brutal maka sejatinya tidak ada alasan untuk tidak menindak Saddam melalui mekanisme R2P sedini mungkin, bukan menunggu ia akan melakukan kekejaman layaknya di tahun 1990an terhadap Kurdi dengan menggunakan senjata kimia. Terkait alasan no 2, maka menurut peneliti dapat diterima karena misi R2P haruslah berpijak pada misi utama penegakan keamanan manusia bukan penghancuran musuh. Jika ada berbagai retorika yang menjadi basis perang, terlebih lagi alasan perang melawan teror dimana Saddam berkoalisi dengan Al Qaeda maka mau tidak mau perang haruslah ditujukan untuk menghancurkan rezim Saddam. Tentunya dengan misi yang secara eksplisit sangat bernuansa “perang lama” guna menghancurkan musuh ini sangat sulit untuk didamaikan dengan “perang baru” yang corak idealnya bernuansa defensif, non eskalatif, dan berorientasi perlindungan pada keamanan manusia di wilayah tersebut.
55
komando Al Qaeda, seperti Afghanistan dan Iraq dengan sandi “perang melawan teror (war on terror)142. Dari realitas diatas dapat disimpulkan bahwasanya perhatian dunia sempat teralihkan kepada permasalahan terorisme global. Perang melawan teror sendiri dapat dikatakan lebih bernuansa “perang lama” yang sangat jelas bernuansa menghabisi musuh sehancurhancurnya. Atau dapat dikatakan masa “perang melawan teror” ini nuansa “bermain cantik” tidak termanifestasi secara baik sebagaimana dalam konsepsi R2P yang mengusung gagasan “perang baru”. Guantanamo misalnya, merupakan salah satu bukti paling nyata dimana pelanggaran HAM ala “perang melawan teror” terpampang dengan jelas di mata dunia internasional dan hingga kini merusak citra AS di mata dunia 143. Mungkin dapat dikatakan ketakukan akan terus berlangsungnya “perang lama” dengan slogan “melawan teror” yang sifatnya unilateral tanpa mempertimbangkan “kehendak” komunitas internasional secara umum itulah yang juga menjafi faktor pendorong penerimaan dunia internasional terhadap gagasan R2P. Dimana gagasan R2P diimajinasikan menawarkan konsep “perang baru” yang humanis demi menjamin tegaknya keamanan manusia global dari berbagai konflik kekerasan. R2P sendiri dilakukan dengan memperhatikan “kehendak” komunitas internasional sehingga dapat meredam fenomena unilateralisme ala AS dengan “perang melawan terornya” 144. Paska penetapan kasus yang menajdi fokus penelitian dan alasannnya, maka perlu menentukan variabel apa yang dipakai untuk mengamati kasus tersebut dan relasinya dengan teori yang digunakan dalam peneitian ini. Dikarenakan teori yang dipakai dalam penelitian 142
Kaldor, Mary. 2012. A Decade of the War on Terror and The ‘Responsibility to Protect. Dalam Kaldor, Mary, Henrietta L. Moore & Sabine Selchow (ed). Global Civil Society 2012: Ten Years of Critical Reflection. London: PalgraveMacmillan,hlm. 88 143 Ibid 144 Namun tentunya itu hanyalah ilusi belaka karena sejatinya R2P sama saja dengan perang melawan teror, dalam artian bukan bertujuan demi menegakkan kemanan manusia (atau dalam konteks perang melawan teror ialah membasmi teroris) tetapi lebih pada upaya format dunia sesuai keinginan negara yang memiliki power, seperti AS. Dalam kasus perang Iraq dengan pijakan melawan teror (Saddam dianggap memiliki relasi dengan Al Qaeda), Iraq di bawah Saddam yang dianggap ikon anti AS di Timur Tengah dapat diruntuhkan. Pasca Saddam, AS dapat mengontrol negeri itu demi kepentingan nasionalnya, khususnya terkait masalah minyak. Fenomena perang demi minyak ini sangat jelas terlihat selama berjalannya perang. Tentara AS terbukti berupaya menduduki kilang minyak di Iraq sejak perang resmi dimulai. Selain kilang minyak saat memasuki Baghdad sasaran utama pendudukan tentara AS salah satunya adalah kantor kementrian minyak Iraq. Sementara berbagai aksi penjarahan di kota Baghdad yang merugikan warga Iraq dibiarkan saja oleh tentara AS. Jadi pernag tersebut bukan untuk menumpas teroris, untuk membebaskan rakyat Iraq, atau untuk mendemokratisasikan Iraq. Misi utama pernag ialah memastikan kepentingan AS terpenuhi. Perlu ditambahkan dengan penguasaan minyak Iraq oleh AS, negara tersebut dapat memastikan keamanan energinya dari kemungkinan tekanan OPEC soal harga minyak -karena Iraq adalah anggota OPEC yang signifikan kontribusinya- dan ketergantungan dari minyak Rusia (musuh AS). Lihat James DeFronzo. 2010. The Iraq War: Origins and Consequences. Boulder, CO: Westview Press,hlm.132; McGoldrick, Dominic. 2004. From '9-11' to the 'Iraq War 2003': International Law in an Age of Complexity. Oregon: Oxford and Portland,hlm.19
56
ini ialah teori kuasa/pengetahuan dan biopower ala Foucault yang pada intinya melihat doktrin R2P instrumen kuasa negara yang memiliki power untuk memformat dunia sesuai kepentingan mereka namun dengan kedok kebaikan, maka ada dua variabel penting yang sekiranya menjadi pokok penelusuran kasus-kasus diatas yakni: 1.) kepentingan non keamanan manusia (humanitarian) apa yang tersembunyi di balik lahirnya misi R2P di sebuah wilayah. 2.) Bagimana wujud keamanan manusia di wilayah yang menjadi target misi R2P. Apakah benar-benar terwujud pasca kehadiran misi R2P? Hipotesis yang ingin dibangun sangat sederhana. Apakah misi R2P benar benar sesuai dengan yang diimajinasikan/diidealkan benar terjadi ataukah tidak. Jika R2P lebih memprioritaskan kepentingan terselubung non keamanan manusia (humanitarian) dalam pelaksanaan misinya terlebih lagi jika kondisi keamanan manusia di wilayah yang menjadi target misi R2P tidak membaik (atau justru memburuk) maka sangat jelas R2P pada hakikatnya merupakan instrumen kuasa ala biopower sebagaimana hipotesis peneliti dengan berbekal konsepsi Foucault. Terkait dengan data yang dipakai untuk kepentingan peneitian ini dan teknik pengumpulannya maka secara penuh data yang dipakai ini berupa data kepustakaan. Sehingga teknik pengumpulannya juga mengandalkan teknik studi pustaka. Terkait dengan pustaka yang dimaksud dalam penelitian ini ialah segala literatur yang terkait dengan misi peneitian, yakni pustaka yang memuat gagasan Responsibility to Protect (R2P), Human Security, penerapan R2P di berbagai wilayah yang diteliti, serta berbagai literatur lain yang relevan dengan penelitian ini. Perlu ditambahkan bahwa jenis literatur utama yang dipakai dalam penelitian ini mengandalkan buku atau jurnal ilmiah yang relevan. Penggunaan sumber-sumber elektronik, seperti artikel online diupayakan yang dipublikasikan oleh lembaga kredibel seperti lembaga penelitian atau think thank. Peneitian ini berupaya menghindari penggunaan jenis literatur yang masih diperselisihkan penggunaanya di dunia akademik seperti wikipedia dan blog pribadi145.
Fase analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini sendiri setidaknya terbagi dalam dua tahapan penting yakni: 1.) menjabarkan konstruksi ideal misi R2P yang secara mainstream dibangun mengenai penerapan R2P di sejumlah wilayah yang menjadi fokus penelitian. Penjabaran ini menjadi penting sebagai basis untuk melangkah pada fase 145
Khususnya yang menggunakan akhiran wordpress. Namun jika blog itu resmi milik universitas atau lembaga penelitian kredibel dan penulisnya merupakan pihak yang kompeten maka dapat dipergunakan dalam penelitian ini.
57
selanjutnya, yakni telaah kritis terhadapnya. Mustahil melakukan telaah kritis dilakukan jika tidak ada penggambaran konstruksi yang akan dikritik. Fokus penelitian dalam fase ini ialah mengungkap argumen yang menjadi landasan berpijak untuk menyatakan penerapan R2P sukses sesuai dengan prinsip yang digembar-gemborkannya sendiri, yakni perlindungan manusia dari konflik kekerasan. 2.) kritik terhadap konstruksi mainstream tersebut. Tolak ukur kritik didasarkan pada penelusuran realitas di lapangan: apakah benar keamanan manusia menjadi prioritas penerapan R2P atau tidak? Jika yang terjadi adalah tidak apa alasannya? Pasal alasan inilah yang coba ditelusuri dengan pencarian kepentingan politikekonomi di balik penerapan misi R2P tersebut. Secara lebih ringkas fase analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dapat disimak pada tebel berikut: Tabel 1.4 Fase Analisis Data
Fase I
Fase II
Menjabarkan Konstruksi mainstream yang terkesan “ideal” menyangkut penerapan R2P di lapangan Melakukan kritik terhadap pembacaan mainstream
Tolak ukur: Mengapa dapat dikatakan misi sukses?
Tolak ukur: Benarkah manusia menjadi prioritas penerapan R2P? Jika tidak: apa alasan politik ekonomi di baliknya?
Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman perlu ditegaskan fase analisa data tidak berbanding lurus dengan alur penulisan yang dilakukan pada peneitian ini. Fase analisa data digunakan sebagai kerangka berfikir yang logis untuk melakukan telaah kritis pada R2P. Sementara alur penulisan sendiri sifatnya lebih cair.
1.7. Sistematika Bab Penelitian ini terdiri atas empat bab, yang disajikan dengan sistematika sebagai berikut : Bab Bab I
Judul Pendahuluan
Isi Bab Menjelaskan tentang penelitian itu sendiri hingga sampai pada sistematika Bab ini Diantara poin penting pada bab ini mencakup: 58
Bab II
Kelahiran Rezim Human Security Global
Bab III
Memikir Ulang Responsibility to Protect146
Bab IV
Kesimpulan dan Agenda Penelitian Ke Depan
1. Misi Penelitian: Telaah kritis R2P sebagai instrumen penegakan Human Security: apakah benar R2P menjamin penegakan keamanan manusia global atau justru alat kuasa negara yang memiliki power sehingga justru menjadi masalah kemanan baru? 2. Lokasi Penelitian: Penerapan R2P di Kosovo, Timor Leste/Indonesia, Libya (1999-2011) 3. Basis Teoritik: Kuasa Pengetahuan & Biopower Foucault 4. Hipotesis: R2P alat kuasa negara yang memiliki power sehingga justru menjadi masalah kemanan baru Menjelaskan tentang perubahan paradigma keamanan global: dari State security menjadi Human Security dan konsekuensi penting perubahan tersebut pada posisi negara bangsa dalam pergaulan internasional
Menjelaskan tentang implikasi negatif dari penerapan R2P
146
Terinspirasi judul artikel Mahmoud Mamdani berjudul: Responsibility to Protect or Responsibility to Punish?
59