78
BAB III KETAHANAN HUMAN SECURITY DI ASEAN A. Latar Belakang dan Sejarah Kawasan Asia Tenggara yang secara geopolitik dan geoekonomi mempunyai nilai strategis, menjadi incaran bahkan pertentangan kepentingan negara-nrgara besar pasca perang dunia ke II. Karenanya, kawasan ini dijuluki “Balkan-nya Asia”. Persaingan antar negara adidaya dan kekuatan besar lainnya di kawasan anatara lain terlihat pada perang Vietnam. Disamaping itu, konflik kepentingan juga pernah terjadi diantara sesama negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia.1 Dilatarbelakangi perkembangan situasi di kawasan pada saat itu, negaranegara Asia Tenggara menyadari perlunya dibentuk kerjasama yang dapat meredakan saling curiga sekaligus membangun rasa saling percaya serta mendorong pembangunan di kawasan. Sebelum terbentuknya ASEAN tahun 1967, negara-negara Asia Tenggara telah melakukan berbagai upaya untuk menggalang kerjasama regional baik yang bersifat intra maupun ekstra kawasan seperti Association of Southeast Asia (ASA), Malaya, Philippina, Indonesia (MAPHILINDO), South East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) South East Asia Treaty Organization (SEATO) dan Asia and Pacific Council (ASPAC). 1
ASEAN Selayang Pandang, Edisi 2008: “Sejarah Berdirinya ASEAN, hlm 1-4
79
Meredanya rasa saling curiga diantara negara-negara Asia Tenggara membawa damapak positif yang mendorong pembentukan organisasi kerjasama kawasan. Pertemuan-pertemuan konsultatif yang dilakuakan secara instensif antara Menteri Luar Negri Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menghasilkan rancangan Joint Declaration, yang antara lain mencakup kesadaran perlunya meningkatkan saling pengertian untuk hidup bertetanggasecara baik serta membina kerjasama yang bermanfaat diantara negara-negara yang sudah terikat oleh pertalian sejarah dan budaya Selanjutnya pada tanggal 8 agustus 1967 di Bangkok, lima wakil negara /pemerintahan Asia Tenggara yaitu Wakil Perdana Menteri Luar Negri Malaysia Tun Abdul Razak dan para Menteri Luar Negri Indonesia Adam Malik, Menteri Luar Negri
Filipina Narcio R. Ramos, Menteri Luar Negri Singapura S
Rajaratnam, dan Menteri Luar Negri Thailand Thanat Khoman duduk bersama untuk menandatangani Deklarasi ASEAN atau Dekalarasi Bangkok. Deklarasi tersebut menandai berdirinya suatu organisasi regional yang diberi nama Association of Southeast Asian Nations/ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara).
80
.
Gambar 2. Penandatangan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand
Organisasi ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial,dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya, serta memajukan perdamaian di tingkat regional yang masih pada tahap kooperatif dan belum bersifat integratif.
81
Proses perluasan keanggotaan ASEAN hingga tercapainya ASEAN-10 adalah sebagai berikut: 1. Brunai Darussalam secara resmi diterima menjadi anggota ke-6 ASEAN pada tanggal 7 januari 1984, dalam sidang khusus MenteriMenteri Luar Negri ASEAN di Jakarta. 2.
Veitnam diterima menjadi anggota ke-7 ASEAN dalam Pertemuan Para Menteri Luar Negri (AMM) ke-28 pada tanggal 29-30 juli 1995 di Bandar Seri Begawan.
3. Laos dan Myanmar diterima sebagai anggota penuh ASEAN melalui suatu upacara resmi pada tanggal 23 juli 1997 dalam rangkaian Pertemuan Para Menteri Luar Negri ASEAN (AMM) ke-30 di Subang Jaya, Malayasia, tanggal 23-28 juli 1997. 4. Kamboja diterima sebagai anggota penuh ASEAN pada upacara penerimaan resmi di Ha Noi tanggal 1999. Dengan diterimanya Kamboja, maka cita-cita para pendiri ASEAN untuk mewujudkan ASEAN yang mencakup sepuluh Negara Asia Tenggara (visi ASEAN10) telah tercapai. Menjelang abad ke-21, ASEAN menyepakati untuk mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis di tahun 2020. Harapan tersebut dituangkan dalam visi
82
ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997. Untuk merealisasikan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yang menyetujui pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community). Komunitas ASEAN tersebut terdiri atas 3 (tiga) pilar yaitu komunitas keamanan ASEAN (ASEAN security community/ASC), komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic community/AEC) dan komunitas sosial-budaya ASEAN (ASEAN
socio-cultural
community/ASCC).
Indonesia
menjadi
penggagas
pembentukan komunitas keamanan ASEAN dan memainkan peran penting dalam perumusan dua pilar lainnya. Pada saat berlangsungnya KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Laos tahun 2004, konsep komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya tiga rencana aksi (plan of Action/PoA) untuk masing-masing pilar yang merupakan program jangka panjang untuk merealisasikan kondep komunitas ASEAN. KTT ke-10 ASEAN juga mengintegrasikan ketiga rencana aksi komunitas ASEAN ke dalam Vientine Action Programme (VAP) sebagai landasan program jangka pendekmenengah untuk priode 2004-2010 Pencapaian komunitas ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by2015” oleh para pemimpin ASEAN pada KTT ke -12 ASEAN di Cebu, Filipina 13 januari 2007. Dengan ditandatangani deklarasi ini, para pemimpin ASEAN menyepakati percepatan pembentukan komunitas ASEAN dari tahun 2020
83
menjadi tahun 2015. Seiring dengan upaya perwujudan komunitas ASEAN, menyepakati untuk menyusun semacam kostitusi yang akan menjadi landasan dalam penguatan kerjasamanya. Dalam kaitran ini, proses penyusunan piagam ASEAN dimulai sejak tahun 2006 melalui pembentukan Eminent Persons Group dan kemudian dilanjutkan oleh High Level Task Force untuk melakukan negoisasi terhadap draft piagam ASEAN pada tahun 2007. Pada usia ke-40 tahun para kepala Negara/Pemerintah pada KTT-13 ASEAN di Singapura tanggal 2007 telah menandatangani Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang merubah ASEAN dari suatu asosiasi longgar menjadi rule-based organization dan mempunyai legal personality. Dalam rangka mencapai komunitas ASEAN 2015, ASEAN juga menyusun blueprint (cetak biru) dari ketiga pilar komunitas politik keamanan, ekonomi, dan sosial budaya, yang merupakan program aksi untuk memperkuat kerjasamanya. 1. Tujuan ASEAN dan Prinsip ASEAN Dengan berlakunya Piagam ASEAN, tujuan ASEAN tertuang dalam Piagam adalah: 1.
Memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas serta lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian di kawasan;
2.
Meningkatkan ketahanan kawasan dengan memajukan kerja sama politik, keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang lebih luas;
84
3.
Mempertahankan Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Senjata Nuklir dan bebas dari semua jenis senjata pemusnah massal lainnya;
4.
Menjamin bahwa rakyat dan Negara-Negara Anggota ASEAN hidup damai dengan dunia secara keseluruhan di lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis;
5.
Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh; dan arus modal yang lebih bebas;
6.
Mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan pembangunan di ASEAN melalui bantuan dan kerja sama timbal balik;
7.
Memperkuat demokrasi, meningkatkan tata kepemerintahan yang baik dan aturan hukum, dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari Negara-Negara Anggota ASEAN;
8.
Menanggapi secara efektif, sesuai dengan prinsip keamanan menyeluruh, segala bentuk ancaman, kejahatan lintas-negara dan tantangan lintas-batas;
9.
Memajukan pembangunan berkelanjutan untuk menjamin perlindungan lingkungan hidup di kawasan, sumber daya alam yang berkelanjutan, pelestarian warisan budaya, dan kehidupan rakyat yang berkualitas tinggi;
85
10.
Mengembangkan sumber daya manusia melalui kerja sama yang lebih erat di bidang pendidikan dan pembelajaran sepanjang hayat, serta di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk pemberdayaan rakyat ASEAN dan penguatan Komunitas ASEAN;
11.
Meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak bagi rakyat ASEAN melalui penyediaan akses yang setara terhadap peluang pembangunan sumber daya manusia, kesejahteraan sosial, dan keadilan;
12.
Memperkuat kerja sama dalam membangun lingkungan yang aman dan terjamin bebas dari narkotika dan obat-obat terlarang bagi rakyat ASEAN;
13.
Memajukan ASEAN yang berorientasi kepada rakyat yang di dalamnya seluruh lapisan masyarakat didorong untuk berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat dari, proses integrasi dan pembangunan komunitas ASEAN;
14.
Memajukan identitas ASEAN dengan meningkatkan kesadaran yang lebih tinggi akan keanekaragaman budaya dan warisan kawasan; dan
15.
Mempertahankan sentralitas dan peran proaktif ASEAN sebagai kekuatan penggerak utama dalam hubungan dan kerja samanya dengan para mitra eksternal dalam arsitektur kawasan yang terbuka, transparan, dan inklusif.
Sementara itu, dalam mencapai tujuan tersebut di atas, negara-negara anggota ASEAN memegang teguh prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
86
1. Menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, dan identitas nasional seluruh Negara-Negara Anggota ASEAN; 2. Komitmen bersama dan tanggung jawab kolektif dalam meningkatkan perdamaian, keamanan dan kemakmuran di kawasan; 3. Menolak agresi dan ancaman atau penggunaan kekuatan atau tindakantindakan lainnya dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan hukum internasional; 4. Mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai; 5. Tidak campur tangan urusan dalam negeri Negara-Negara Anggota ASEAN; 6. Penghormatan terhadap hak setiap Negara Anggota untuk menjaga eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi, dan paksaan; 7. Ditingkatkannya
konsultasi
mengenai
hal-hal
yang
secara
serius
mempengaruhi kepentingan bersama ASEAN; 8. Berpegang teguh pada aturan hukum, tata kepemerintahan yang baik, prinsipprinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional; 9. Menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, dan pemajuan keadilan sosial; 10. Menjunjung tinggi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional, yang disetujui oleh Negara-Negara Anggota ASEAN; 11. Tidak turut serta dalam kebijakan atau kegiatan apa pun, termasuk penggunaan wilayahnya, yang dilakukan oleh Negara Anggota ASEAN atau Negara non-ASEAN atau subjek non-negara mana pun, yang mengancam
87
kedaulatan, integritas wilayah atau stabilitas politik dan ekonomi NegaraNegara Anggota ASEAN; 12. Menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama yang dianut oleh rakyat ASEAN, dengan menekankan nilai-nilai bersama dalam semangat persatuan dalam keanekaragaman; 13. Sentralitas ASEAN dalam hubungan eksternal di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, dengan tetap berperan aktif, berpandangan ke luar, inklusif dan non-diskriminatif; dan 14. Berpegang teguh pada aturan-aturan perdagangan multilateral dan rezimrezim yang didasarkan pada aturan ASEAN untuk melaksanakan komitmenkomitmen ekonomi secara efektif dan mengurangi secara progresif ke arah penghapusan semua jenis hambatan menuju integrasi ekonomi kawasan, dalam ekonomi yang digerakkan oleh pasar.
2. Keanggotaan ASEAN Prosedur pengajuan dan penerimaan keanggotaan ASEAN wajib diatur oleh Dewan Koordinasi ASEAN dengan kriteria letaknya secara geografis diakui berada di kawasan Asia Tenggara; pengakuan oleh seluruh negara anggota ASEAN; kesepakatan untuk terikat dan tunduk kepada Piagam ASEAN dan kesanggupan serta keinginan untuk melaksanakan kewajiban keanggotaan. Di samping itu, penerimaan anggota baru wajib diputuskan secara consensus oleh KTT ASEAN berdasarkan rekomendasi Dewan Koordinasi ASEAN. Negara Pemohon wajib diterima ASEAN pada saat penandatanganan aksesi Piagam ASEAN.
88
Hingga saat ini keanggotaan ASEAN terdiri dari sepuluh negara, yaitu Brunei Darussalam,Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Viet Nam. Negara-negara anggota ASEAN memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana diatur dalam Piagam ASEAN. Dalam kaitan ini, negaranegara anggota ASEAN wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan, termasuk pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai, guna melaksanakan ketentuan dalam Piagam ASEAN secara efektif dan mematuhi kewajiban-kewajiban keanggotaan. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran serius atau ketidakpatuhan negara anggota ASEAN terhadap Piagam, hal dimaksud dirujuk ke KTT untuk diputuskan sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 Piagam ASEAN. 3. Kerjasama ASEAN di Bidang Politik dan Keamanan
Dua tujuan utama tersirat dalam Deklarasi Pembentukan Perserikatan BangsaBangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada tanggal 8 agustus 1967: pertama, merukunkan kembali kehidupan intraregional; dan, kedua mengelolanya menjadi suatu tatanan regional
Asia Tenggara atas dari sistem sosial ekonomi masing-masing negara
anggota. Kedua tujuan ini hendak dicapai melalui usaha “mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan” serta status quo territorial. Kedua tujuan ini hendak dicapai melalui tujuan ketiga, yaitu mempercepat “pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan budaya. “Tujuan-tujuan ini memang memang lebih menonjol dari pada tujuan untuk” memperkuat perdamaian dan stabilitas regional.” Kendati demikian, para pendiri ASEAN amat yakin bahwa ada hubungan yang amat erat antara pembangunan
89
ekonomi, masyarakat, perdamaian dan perkembangan di kawasan guna memperkuat dasar bagi sebuah komunitas yang damai dan sejahtera di Asia Tenggara. Kedua maksud dan tujuan didirikannya ASEAN untuk meningkatkan perdamaian stabilitas keamanan kawasan.2 Keterkaitan ini diungkapkan dalam semua pidato mereka dan di dalam persetujuan-persetujuan yang ditandatangani sejak tahun-tahun pembentukan itu. Mereka juga bertekad untuk “menjamin stabilitas dan keamanan dari intervensi luar dalam bentuk dan manifestasi apa pun “guna” melindungi identitas nasional mereka sesuai dengan ideal dan aspirasi bangsa-bangsa mereka”. Karena itu, “semua pangkalan asing sementara sifatnya dan hanya ada dengan persetujuan negara-negara yang bersangkutan dan tidak dimaksudkan untuk digunakan langsung ataupun tidak langsung untuk mengancam kedaulatan dan kebebasan nasional “ negara-negara anggota.3 Di masa lalu telah terdapat banyak kegagalan dalam membangun kerjasama keamanan di Asia Tenggara, maupun di Asia Pasifik. Tahun 1951 terdapat aliansi ANZUS (Australia, Amerika Serikat dan Selandia Baru), tetapi aliansi ini gagal malah memperuncing ketegangan Australia, Selandia Baru. Pada tahun 1955 dibentuk Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) yang terdiri dari Inggris, Amerika Serikat, Australi, Selandia Baru, Pakistan, Thailand dan Filipina. Gagasan ini gagal karena hanya dua negara Asia Tenggara yang ikut.4
2 3 4
Wisber Loies, “Mewujudkan ASEAN Security”, Pikiran Rakyat, Bandung 15 september 2003 . C.P.F Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru. Center for Strategic and Internasional Stuides, Jakarta, 1997, hal. 123 Nanang Pamuji M,”ASEAN Concrod kedua”, suara pembaruan, 1 oktober 2003
90
Dua tahun kemudian dibentuk Anglo-malayan Defense Arrangements pada tahun 1971. Ini pun tidak efektif, karena hanya dua negara Asia Tenggara yang ikut yaitu Malaysia dan Singapura. Pada tahun 1961, Filipina , Malaysia dan Thailand membentuk Association For Southeast Asia (ASA). Aliansi ini pun hancur ketika Filipina mengklaim Sabah. Untuk mencoba lagi membentuk komunitas keamanan yang baru maka di bentuk MAPHILINDO yang terdiri dari Malaysia, Philipina dan Indonesia. Kembali lagi institusi ini gagal, ketika presiden pertama RI Ir. Soekarno mendeklarasikan konfrontasi dengan Malaysia. Kemudian pada tahun 1990-an dibentuklah ASEAN Regional Forum (ARF) sebagai sarana dialog keamanan regional. Perkembangan kerjasama politik dan keamanan ASEAN selama ini telah tertuang di dalam beberapa instrument yang masing-masing dan totalitasnya merupakan pijakan untuk kerjasama politik dan keamanan selanjutnya. Dokumen utama kerjasama politik terutama yang mengacu pada keamanan antara lain adalah: 1. ASEAN Declraration. Bangkok,8 Agustus 1967. 2. Zone of Peace, freedom and Neurality Declaration (ZOPFAN). Kuala Lumpur, 27 November 1971. Pembentukan ZOPFAN dimaksudkan untuk menutup peluang bagi segala bentuk intervensi dan campur tangan pihak luar sehingga negara-negara di kawasan Asia Tenggara dapat melaksanakan rencana pembangunan masing-masing dalam suasana damai 3. Declaration of ASEAN Concord. Bali, 24 Febuari 1976, berisikan berbagai program yang akan menjadi kerangka kerjasama ASEAN
91
selanjutnya di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan keamanan. 4. Treaty Of Amity and Cooperation in Southeast Asia. Bali, 24 Febuari 1976. Disepakati diantaranya prinsip-prinsip fundamental dalam satu sama lain seperti tidak ikut campur tangan dalam urusan dalam negri satu sama lain, menyelesaikan perbedaan dan sengketa secara damai dan penolakan terhadap pemakaian dan ancaman pemakaian kekerasan. Juga dimuat kemungkinan memanfaatkan sebuah High Council yang terdiri dari wakil-wakil setingkat menteri negara-negara anggota lain untuk berperan dalam menyelesaikan sengketa diantara anggota. 5. ASEAN Declaration on the sea South China Sea. Manila, 22 Juli 1992, yang menegaskan perlunya penyelesaian secara damai masalah kedaulatan dan yuridiksi di laut Cina selatan, perluntya kerjasama keselamatan pelayaran, komunikasi, pencegahan polus, SAR,dll. 6. The ASEAN Regional Forum. A Concept Paper. Banda Seri Begawan, 1 Agustus 1995. Dokumen ini menjadi dasar didiriakannya ARF sebagai sarana dialog keamanan regional yang didukung oleh negaranegara besar dan ASEAN sebagi motornya 7. Treaty on the Southeast Asia Nucler Weapon-Fee Zone (SEANWFZ). Bangkok, 15 Desember 1995. Perjanjian ini menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas nuklir yang merupakan komponen ZOPFAN dan salah satu prasyarat bagi perwujudannya.
92
8. ASEAN Visions 2020. Kuala Lumpur, 15 Desember 1997. Dokumen ini menguraikan visi ASEAN untuk menciptakan ASEAN Community menjelang
tahun
2020.
Rangkaian
upaya-upaya
yang
akan
dilaksanakan untuk tercapainya tujuan tersebut yaitu ASEAN yang perhatian akan kehidupan nasionalnya, lebih berpandangan ke luar, hidup berdampingan secara damai, stabilitas dan kemakmuran, bersama-sama membentuk persahabatan dalam pembangunan yang dinamis dan menjaga suatu komunitas. 9. Rules of Procedures of the High Council of the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC). Hanoi 23 Juli 2001. 10. 2001 ASEAN Declaration on joint Action to Counter terrorism. Bandar Seri Begawan, 5 November 2001. 11. Declaration on Terrorism of Parties in The South China East. PnomPhen, 4 November 2002. Deklarasi ini ditandatangani Menlu-menlu ASEAN bersama Menlu RRC. Sesuai dengan judulnya, deklarasi memuat cara-cara bertindak para pihak dalam interaksi mereka mengenai isu-isu yang menyangkut Laut Cina Selatan.5 Adapun landasan dan kebijakan dari kerjasama politik yang dikeluarkan pada KTT ASEAN III di Manila pada tahun 1987, yaitu sebagai berikut :6 1. Negara anggota ASEAN akan meperkuat ketahanan nasional dan regional untuk memjamin keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. 5 6
Wisber Loies, Loc. Cit. ASEAN Document Series, 1967-1988, hlm. 47.
93
2. Regionalisme ASEAN yang didasarkan pada keterpaduan politik, ekonomi, sosial, budaya adalah lebih utama untuk masa depan Asia Tenggara. 3. ASEAN akan meningkatkan solidaritas dan kerjasama dalam keadaan apaun, terutama yang mengancam keamanan internal. 4. Ketegangan intra regional akan diselesaikan dengan cara damai sesuai dengan kesepakatan bersama dan piagam PBB 5. Selama masing-masing negara anggota bertanggung jawab terhadap keamanannya sendiri maka stabilitas akan tercipta dengan baik. Sejak ASEAN terbentuk hingga KTT ASEAN I di Bali merupakan percobaan dengan upaya menyelesaikan konflik diantara mereka dan mencoba membentuk kelembagaan ASEAN. Masalah-masalah yang penting di kawasan menuntut organisasi ini untuk lebih mempercepat persahabatan dan meningkatkan kerjasama politiknya, sehingga mereka harus merubah perbedaan-perbedaan dan mungkin merubah atau mengurangi konflik kawasan yang ada intervensi dari negara di luar kawasan, mereka dapat menetapkan sikap bersama di bawah organisasi ASEAN. Untuk itu harus ada kemauan politik (political will) dari ASEAN untuk bekerjasama menyelesaikan masalah-masalah politik, baik secara anggota ASEAN maupun proyek jangka panjang mereka dalam upaya menciptakan kawasan yang damai dan stabil. Hal ini merupakan dasar dari kerjasama mereka di bidang politik ketika diadakannya KTT ASEAN I di Bali yang menghasilkan Deklarasi Kerukunan ASEAN yang pada prinsipnya untuk menjadikan masyarakat ASEAN yang kuat
94
dengan menyelesaikan masalah-masalah dalam segala bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. ASEAN bertekad untuk memperkokoh perdamaian dan stabiliatas regionalnya dengan
berpegang
pada
prinsip-prinsip
piagam
PBB.
Terlihat
dengan
ditandatanganinya Deklarasi mengenai Zona Damai, Bebas, dan Netral di Asia Tenggara (ZOPFAN) 1971 dan perjanjian persahabatan dan kerjasama Asia Tenggara (TAC) 1976. Komite tersebut bertujuan untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang aman dan damai, bebas dari campur tangan kekuatan-kekuatan dari luar kawasan, serta mengupayakan penyelesaian-penyelesaian konflik melalaui cara-cara damai dan bersahabat. B. Dimensi Keamanan Dari Konsep Tradisional Menuju Non Tradisional Di Asia Tenggara Terdapat pemikiran bahwa “Kejahatan Lintas Negara (Transnasional Border Crime) belum dapat diklasifikasi dalam jaringan sebuah organisasi kejahatan. Dalam perkembangan kemudian, dampak sangat besar dari kejahatan lintas negara itu, mendorong pihak keamanan dan pemerintah untuk mengkontekskan perbuatan tersebut sebagai “Transnasional Organized Crime” (TOC). Kejahatan
teroganisir
antarnegara
tersebut
semakin
diawasi
setelah
penyerangan di New York tanggal 11 september 2001. Modus operandi itu, kini diperhitungkan sebagai seuah fenomena dan tindakan kriminal (terorisme) baru.
95
Maka definisi jelas tentang TOC, tetapi salah satu faktor pemicunya adalah kemudahan akses internasional, di sektor telekomunikasi, teknologi dan informasi. Karena lemahnya penegakan hukum di negara-negara berkembang anatara lain Indonesia, berkaibat juga pada maraknya kejahatan lintas batas negara itu. Sebuah perbuatan diklasifikasikan sebagai kejahatan lintas negara atau kejahatan terorganisi antarnegara memenuhi dua aspek utama. Pertama, terjadinya perbuatan lintas batas yang dilakukan baik oleh individu atau kelompok secara illegal; ditinjau dari sisi hukum dan keamanan dua atau lebih negara terkait. Dari sudut pandang dua negara bersangkutan, perbuatan serupa dikelompokkan sebagai “ perbuatan melawan hukum”. Kedua, dari perspektif internasional, perbuatan kriminal serupa itu jelas melanggar baerbagai perjanjian bilateral, triteral, multilateral, konvensi atau deklarasi tenteng isu dan kasus yang sudah disepakati. Artinya telah ada kekuatan hukum sebagai dasar dan rujukan untuk menilai sebuah perbuatan melawan hukum negara dan patut di hukum. Kejahatan lintas negara itu adalah sebuah kejahatan yang kompleks dan melibatkan para pihak (stakeholders); yang sungguh mengancam keamanan global. Lima faktor penyebab meliputi isu militer, ekonomi, politik, lingkungan, sosial. Lima elemen ini pada tataran konsepsional dapat dibedakan, tetapi pada level praksis, ketika timbul ancaman keamanan, subtansi keterhubungan antar faktor-faktor itu menjadi rumit dan sulit dipilah. Artinya sangat sukar secara sepihak mendeterminasi bahwa, sebuah ancaman keamanan nasional, regional, dan internasional hanya disebabkan oleh satu faktor saja (a single factor), misalnya faktor ketidakadilan ekonomi atau diskriminasi politik. Setelah era Perang Dingin (the cold
96
war) usai, terjadilah pergeseran paradigm untuk memahami ancaman dan praktik keamanan antara lain- kejahatan lintas negara- tidak saja pada aspek militernya, tetapi sudah
lebih
terfokus
pada
aspek
non-militer
dan
lebih
rumit
subtansi
permasalahannya. Salah satu ancaman keamanan lintas negara terutama di daerah perbatasan setiap Negara di dunia yakni: human trafficking, smuggling people, dan penyelundupan barang. Modus operandi ini menjadi potensi ancaman besar bagi keamanan lintas negara yang sulit di berantas. Senator Amerika Serikat, Jhon Kerry menganggap kejahatan lintas negara yang saat ini mengglobal sudah menggurita, yang erat terpaut dengan aspek bisnis yang sangat menggiurkan. Kejahatan lintas negara juga melibatkan organisasi mafia, beraliansi dengan mitra lokal, pihak militer, birokrat, pebisnis dan masyarakat. Perdagangan illegal antarnegara meliputi obat-obat terlarang, senjata, barang elektronik, manusia untuk tenaga kerja murah, perjualan organ tubuh, industri seks dan modal. Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia (ADB) tahun 2009, setiap tahun, jumlah manusia yang “diantarnegarakan” berjumlah antara 1.500.000-2.000.000 di seluruh dunia. Sebanyak 150.000 orang berasal dari Asia Barat, dan 225.000 dari Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina merupakan pusat negara transit human trafficking. Untuk menghadapi salah satu bentuk kejahatan lintas negara yang terorganisir, maka Indonesia dan Filipina telah mengambil langkah preventuf untu memberantas perdagangan manusia (human trafficking). Filipina melegislasi Anti-Trafficking in Person Act of 2003 (Republic Act No 9208). Sudah disepakati piranti hukum di antara negara-negara ASEAN tentang TOC, sejak tahun 1970an , seperti “Sosek Malindo”, “The Declaration of Asean
97
Concord”,dan perjanjian antara Malaysia, Indonesia dan Filipina pada 2002 seperti “Agreement on Information Exchange and Establishment of Communication Procedures”. Perjanjian-perjanjian
anatarnegara
itu
untuk
memberantas
terorisme,
pencucian uang (money laundering), penyelundupan, bajak laut, pembajakan, memasuki negara lain secara illegal, human trafficking, drug trafficking, illegal looging pencurian sumber daya laut, polusi laut dan penyelundupan senjata, tetapi sebaliknya kejahatan multidimensi tersebut terus bertambah. Untuk mengatasi kejahatan lintas negara yang kian menjamur di wilayah Asia Tenggara, maka sejumlah langkah perlu dilakukan. Pertama, untuk Indonesia agar DPR segera menetapkan undang-undang mengenai human trafficking dan perbuatan sejenis, sebagimana yang telah dilakukan oleh Filipina. Kedua, meningkatkan kerja sama anatarnegara (bilateral, triteral, dan multirateral) dalam memberantas “ Transnational Crime or Trans Organized Crime”. Ketiga, penegakan hukum sangat diwajibkan bagi para pelaku kejahatan, tanpa pandang latar belakang sosial. Keempat, mempersiapkan perangkat hukum, fasilitas dan sumberdaya manusia yang andal dan berintegras untuk menangani kasuskasus kejahatan lintas negara. Mekanismenya dapat melalui kerja sama regional dan internasional, dengan melibatkan berbagai pihak seperti Polri, Bea Cukai, Imigrasi, Interpol, Oraganisasi Internasional, Ngo, dan Kementrian Luar Negri, sosial, kesra, pemberdyaan perempuan dan anak, dan masyarakat.7
7
Jhon Haba, Indonesia Netradio, 28 januari 2007
98
1.
Human Trafficking Kasus yang mulai menjadi perhatian negara-negara anggota
ASEAN dalam lima tahun belakangan ini adalah kasus penjualan manusia. Kasus ini menjadi penting untuk di tanggulangi karena kasus ini menyangkut Hak Asasi Manusia. Korban pemjualan manusia di kawasan ASEAN hampir terjadi pada wanita dan anak-anak. Tujuan dari human trafficking itu sendiri adalah untuk dijadikan wanita-waniat penghibur, sedangkan anak-anak dijual sebagi tenaga kerja di bawah umur, yang apabila kita telah lebih jauh, hal tersebut akan membahayakan jiwa anak tersebut. Dari banyak kasus inilah akhirnya ASEAN menganggap bahwa Human Trafficking menjadi salah satu agenda kerja yang harus di selesaikan secepatnya. Karena jika dibiarkan terus menerus akan mangakibatkan polemik yang berkepanjangan. 2. Peredaran Narkoba Kebebasan arus globalisasi dan informasi mengakibatkan negaranegara di Asia Tenggara mulai kewalahan menghadapi masalah peredaran narkoba yang menghancurkan otak-otak generasi muda di negaranya. Peredaran narkoba terjadi akibat ketidak siagapan negaranegara Asia Tenggara dalam menanggulangi masalah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari dua tahun kebelakang dimana ditemukannya pabrik-
99
pabrik narkoba dalam skala besar berdiri di kawasan Asia Tenggara. Seperti ditemukan di Indonesia dimana kepolisian sekitar tahun 2009 menemukan sedikitnya tiga pabrik ekstasi dalam skala besar dan salah satunya berada di daerah Banten dan pabrik tersebut merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Kemudia, kepolisian Thailand juga telah berhasil menemukan pabrik ekstasi yang diduga kuat berhubungan dangan bandar internasional. Dari penemuan-penemuan inilah negaranegara Asia Tenggara dianggap belum mampu menanggulangi kejahatan lintas negara tersebut. Karena ini menyangkut rendahnya pengamanan
keamanan
di
wilayah
Asia
Tenggara
dalam
menagamankan arus peredaran narkoba di daerahnya (drugs trafficking). 3.
Ancaman Terorisme Terorisme
adalah
serangan-serangan
terkoordinasi
yang
bertujuan membangkitkan perasaan terror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Istilah teroris para ahli kontrateorrisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan
100
bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa
serangan-serangan
teroris
yang
dilakukan
tidak
berprikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan “terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasaan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Adapun makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang. Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama. Selain oleh pelaku individual, terorisme bias dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorisme). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukan fakta bahwa Amerika Serikat
101
melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.8 Pada
perkembangannya,
kawasan
ini
(Asia
Tenggara)
dipercaya telah menjadi tempat berkembangnya jaringan teroris internasional, yang di kawasan ini dikenal di dunia “internasional” sebagai tempat berkembangnya jaringan teroris yang bernama Jamma’ah Islamiah yang dipercaya sebagai jaringan teroris internasional Al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden, di kawasan Asia Tenggara, bagaimana tidak Islam mtercitrakan sebagai teroris dan seperatis di dunia internasional, kita lihat GAM dengan bendera syaria’at Islam bersebrangan dengan NKRI, kelompok Minoritas Muslim Thailand Selatan yang bersebrangan dengan pemerintah yang berdaulat di Thailand dan yang paling ekstrim adalah pergerakan Muslim Moro di Filipina Selatan yang terus menghantui pemerintah yang berdaulat di Filipina. Itulah sebagian besar ancaman Transnasional Organized Crime (TOC) yang dapat mengganggu kedaulatan serta keamanan dan ketahan suatu negara.
8
http://id.wikipedia.org/wiki/terorisme di akses pada 2 Agustus 2010
102
1. Regionalisme Pertahanan dan Keamanan
Dalam Kerja Sama
ASEAN Selama kerjasama ASEAN telah berkembang secara nyata dengan dicapainya beberapa kepakatan kerjasama, baik pada pertemuan tingkat Menteri di Phnom Penh, 12-20 Juni 2003, maupun pada KTT ke-9 ASEAN di Bali, 7-8 Oktober 2003. Perkembangan ini juga mencerminkan kepemimpinan Indonesia, antara lain dengan keberhasilan menyelenggarakan KTT Bali dengan tema Towards An ASEAN Community: ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, and ASEAN Socio-cultural Community; yang menghasilkan Declaration of ASEAN Concrod II (Bali Concord II). KTT ke-9 ini merupakan saru tonggak kerjasama ASEAN yangt meneruskan semangat KTT pertama di Bali tahun 1976; dengan moto from Bali to Bali kesepakatan para pemimpin ASEAN yang tertuang dalam Bali Concord II merupakan komitmen bersama untuk menciptakan komunitas ASEAN pada tahun 2020 yang akan bertumpu pada tiga pilar yaitu: ASEAN (ASEAN
Security Community),
komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), dan komunitas SosialBudaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). Ketiga pilar tersebut saling terkait dan menunjang demi tercapainya satu kawasan yang damai, stabil dan makmur. Komitmen bersama untuk memperkuat kerjasama ASEAN di bidang politik dan keamanan tercermin dari di terimanya usulan Indonesia untuk membentuk suatu komunitas Keamanan ASEAN, sebagai upaya bersama kearah terwujudnya tatanan
103
kawasan dalam lingkungan yang adil, demokratis dan selaras. Komunitas Keamanan ASEAN tidak didasarkan atas kekuatan militer, melainkan suatu rasa ke-kita-an (wefeeling) yang tumbuh lewat hubungan yang terbuka dan bersahabat di antara negara ASEAN dan dengan negara-negara di luar kawasan. Dalam upaya membangun mekanisme kawasan untuk penyelesaian sengketa secara damai, para pemimpin ASEAN meyepakati pentingnya implementasi mekanisme High Council, yang merupakan instrument penting dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia tahun 1976 (TAC). Ditandatanganinya aksesi TAC oelh China dan India pada KTT ke-9 di Bali dan juga keinginan kuat Jepang yang sudah dideklarasikan pada KTT ASEAN-Jepang tanggal 11-12 Desember 2003 di Tokyo serta rencana aksesi oleh Rusia pada pertemuan tingkat Menlu di Jakarta bulan Juni akan datang menunjukkan suatu wujud keberhasilan diplomasi ASEAN dalam upaya meningkatkan perdamaian dan keamanan di Asia Tenggara. Oleh karena itu, Indonesia melalui ASEAN akan terus mengajak negara-negara mitra ASEAN untuk mengaksesi TAC. KTT ke-9 ASEAN sebelumnya didahului oelh KTT BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines-East ASEAN Growth Area) dan KTT Bisnis dan Investasi ASEAN (ASEAN Business and Investment Summit/ABIS). Peningkatan kerjasama BIMP-EAGA dilakukan guna menyeimbangkan proses Bridging Development Gap di antara pendiri ASEAN dengan negara anggota baru ( Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam/CLMV) dalam kerangka Initiative for ASEAN Integration. Sementara itu, ABIS merupakan dialog anatara pemimpin
104
ASEAN dengan para pengusaha ASEAN yang merupakan mandate KTT ke-7 kepada ASEAN Business Advisory Council (ABAC). Penyelenggaraan ABIS bertujuan untuk meningkatkan peran kalangan bisnis dalam menunjang berbagai kerangka kerjasama mewujudkan itegrasi ekonomi ASEAN. 2. Keamanan ASEAN Dalam Konteks ARF Pasca perang dingin. Dari situasi perimbangan kekuatan Bipolar yang comfortable, yang berlangsung selama 40 tahun dan yang memungkinkan ASEAN mengembangkan diri dengan pesat, Asia Tenggara memasuki suatu masa dengan ketidakpastian strategis yang tinggi. Kekuasaan Uni Soviet telah pupus dan dengan kehilangan itu pupuslah suatu kekuatan mengimbangi Amerika Serikat dan terutama RRC di laut Cina Selatan. Ketidakpastian ini diperbesar oelh penarikan kekuatan perang Amerika Serikat dari Philipina. Dalam konteks Asia Pasifik, Perang Dingin terutama melibatkan kekuatan lautdan Armada VII Amerika Serikat memainkan peran kunci dalam strategi militer AS di kawasan ini. Runtuhnya kekuasaan Uni Soviet menjurus kea rah penciptaan situasi yang kurang comfortable itu dan pengunduran kekuatan laut AS yang diperkirakan akan membuka peluang bagi kekuatan regional, seperti Jepang dan RCC di satu pihak, dan India di pihak lain, untuk mencoba lebih menegaskan diri di wilayah ini.9
9
C.P.F Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru, Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 1997, hal 393.
105
Berakhirnya Perang Dingin hanya menghilangkan satu dimensi masalah keamanan di kawasan Asia Pasisfik. Hal ini tidak berarti bahwa perdamaiandan stabilitas akan menggantikannya. Kawasan Asia Pasifik ini mengandung berbagai benih konflik potensial, baik domestik, maupun antarnegara dan regional. Persaingan Timur-Barat seringt memperparah situasi konflik ini karena dukungan yang mereka berikan bagi protagonis mereka masing-masing dalam suatu konflik bersenjata yang dilakukan untuk kepetingan mereka. Berkahirnya Perang Dingin telah menciptakan ketidakpastian yang besar di kawasan ini, yang sangat berkaiatan dengan pola hubungan antarnegara besar, serta peranan peranan dan nilai mereka di masa depan. Dalam ketidakpastian strategis ini ASEAN, dan negara-negara dikawasan Asia Pasifik amat sadar bahwa mereka memerlukan suatu “pemikiran baru” untuk menghadapi masa depan, bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab atas perdamaian, keamanan dan stabilitas dari wilayah dan kawasan mereka. Pemikiran baru itu perlu dimunculkan untuk melanggengkan stabilitas dan perdamaian di wilayah ini yang bertumpu pada dinamika dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang belum pernah dialami wilayah Asia Tenggara dan Asia Pasifik secara keseluruhan, bagi pembangunan lanjut saling kepercayaan (confidence building) menuju suatu “masyarakat dengan kepentingan keamanan bersama” di Asia Tenggara dan Asia Pasifik dan bagi pembangunan suatu lingkungan strategis yang dapat diandalkan. Instrument untuk membangun suatu masyarakat keamanan bersama sudah dimiliki ASEAN dalam bentuk Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN), Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), dan Treaty
106
on Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) yang dimaksud kan untuk menghindari terjadinya konflik bersenjata di wilayah ini.10 Pembentukan Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum/ARF) merupakan usaha ASEAN yang pertama untuk, memultilateralisasi keamanan di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Multilateralisasi ini diharapkan dapat menjamin intensitas yang lebih besar dalam hubungan dan kerjasama antar negara dalam bidang kepentingan dan masalah bersama, dengan demikian landasan yang sama untuk mengembangkan hubungan dan kerjasama yang baik. ARF merupakan suatu mekanisme untuk membangun lanjut kepercayaan di antara negara-negara ASEAN sendiri dan untuk memperluas sikap saling percaya dengan negara-negara di luar ASEAN, dengan negara-negara Indocina dan Myanmar dan dengan para mitardialog dan negara-negara Asia Pasifik yang potensial mempunyai ambisi hegemonial. Pembentukan ARF itu dilakukan pada pertemuan pertama di Bangkok (25 Juli 1994) sesuai dengan pesan para Kepala Negara dan Pemerintah dalam deklarasi KTT IV ASEAN di Singapura (1992) yang menyatakan bahwa mereka bermaksud meningkatkan dialog eksternal ASEAN di bidang politik dan keamanan sebagai suatu cara untuk membangun hubungan kerjasama yang baik dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Pernyataan ini dibuat karena mereka sadar bahwa perkembangan disuatu bagian dari kawasan ini berdampak terhadap keamanan kawasan Asia Pasifik secra keseluruhan. Mereka mengharapkan pula bahwa sebagai suatu forum konsulatif tentang masalah politik dan keamanan bersama. Denagan 10
Ibid, C.P.F. Luhulima, hal 394.
107
demikian, mereka mengharapkan pula bahwa ARF dapat membuat sumbangan yang sangat berarti bagi pembangunan kepercayaan dan diplomasi preventif di kawasan Asia Pasifik. Sejarah telah membuktikan peran politik RRC di Asia, termasuk dalam konflik Kamboja. Namun, berkahirnya konflik Kamboja telah mempersulit kehadiran RRC dalam penataan keamanan regional, mengingat konflik Kamboja merupakan pintu gerbang RRC untuk masuk Asia Tenggara. Sepeninggal Amerika Serikat dan Uni Soviet, seperti dikemukakan di atas, banyak prediksi yang meyakini bahwa RRC akan berperan lebih luas dalam perimbangan kekausaan pada tingkat regional. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Kekhawatiran ini sangat beralasan mengingat RRC dewasa ini sangat giat memperkuat diri. Kemampuan militer yang semakin modern, kenajuan ekonomi yang pesat, serta rangkaian aktifitas militernya ke selat Taiwan dan Laut Cina Selatan merupakan alsan utama keresahan negara tetangganya. Negara-negara di kawasan Asia sendiri tempak telah mempersiapkan suatu tatanan keamanan regional. Setidaknya, insiatif ini diambil oleh ASEAN yang membentuk ASEAN Regional Forum (ARF) pada tahun 1993. ARF berupaya untuk menciptakan perdamaian dengan cara-cara mereka sendiri yang disebut dengan ASEAN way11. ARF mempunyai cara tersendiri untuk meyelesaikan perselisihan dan persengketaan yang berbeda dengan gaya Eropa yang mengandalkan pada struktur 11
Davi Capie and Paul Evans, The Asia Pacific Security Lexicon (Singapore: ISEAS, 2002),p. 14
108
organisasi yang rigid seperti CSCE. ASEAN beranggapan bahwa perspektif keamanan Asia lebih kompleks dari pada Eropa. Pemahaman mengenai keamanan di Asia tidak sekedar keamanan dalam perspektif militer belaka, tetapi keamanan komperhensif meliputi berbagai bidang. Oelh karennya perlu jalan lain pula, meskipun lebih panjang. Sidang
ARF 1 menyetujui bahwa pertemuan tingkat tinggi untuk
membicarakan masalah politik dan keamanan bersama beranjak dari Traktat persahabatan dan kerjasama di Asia Tenggara (TAC) sebagai suatu code of conduct untuk menata hubungan antarnegara di kawasan Asia Pasifik dan sebagai suatu instrument diplomatik yang unggul bagi pembangunan kepercayaan, diplomasi preventif dan kerjasama politik dan keamanan. Penataan hubungan ini tidak hanya terbatas kepada tiga bidang kerjasama itu saja, tetapi ia mencakup pula nonpoliferasi senjata nuklir, kerjasama pemeliharaan perdamaian regional, pertukaran informasi militer yang non-classified, dan masalah keamanan di laut. Tantanagan utama ARF ialah melanggengkan dan meningkatkan masa damai dan sejahtera yang kini meliputi kawasan Asia Pasifik.12 ARF 1 juga setuju untuk melembagakan Forum Regional ini dan mengadakan sidangnya setiap tahun; mengabsahkan tujuan dan prinsip Traktat persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (ASEAN Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) sebagai code of conduct bagi pengembangan hubungan antaranggota ARF dan sebagai instrument diplomatic bagi pembangunan kepercayaan dan keamanan 12
Op Cit C.P.F. Luhulima, hal 395.
109
regional, diplomasi preventif dan kerjasama di bidang politik dan keamanan, nonproliferasi senjata nuklir, kerjasama di bidang pemeliharaan perdamaiaan, termasuk pembangunan pusat pemeliharaan regional, pertukaran informasi militer yang non-classified, dan masalah keamanan laut, semuanya demi perdamaian dan stanilitas serta kesejahteraan yang langgeng bagi kawasan ini dan penduduknya. ARF di minta pula untuk mempelajari konsep komperhensif keamanan bagi kawasan Asia Pasifik secara keseluruhan dan mendorong semua negara anggoata ARF untuk ikut serta dalam UN Conventional Arms Register.13 Siadng ARF II yang diadakan di Brunai Darussalam memustkan perhatian pada pengembangan tiga sasaran yang jelas dan perlu dicapai secara bertahap: (1) pembangunan kepercayaan regional; (2) diplomasi preverntif; dan (3) penjabaran berbagai pendekatan terhadap konflik. Bahwa sasaran terakhir tidak dirumuskan sebagai pengembangan cara-cara penyelesaian konflik merupakan suatu kompromis terhadap sikap RRC yang tidak menghendaki istilah pengembangan itu pada sasaran ketiga. Siding sepakat bahwa ASEAN harus tetap merupakan penggerak utama ARF dan pengembangan lanjutnya harus dilakukan sesuai keinginan semua anggotanya. Hal ini berarti bahwa ARF harus memperhatikan baik pandangan semua anggota, maupun kebutuhan dan kepentingan khusus negara-negara ASEAN (ASEAN Concept paper) yang dilampirkan pada pernyataan ketua pada tanggal 1 Agusrus 1995. Setiap
13
Ibid.
110
keputusan diambil berdasrkan consensus, yaitu sesudah konsultasi dengan para anggota.14 Tujuan dan harapan yang diletakan ke dalam ARF mulai jelas dalam ARF II. ARF diharapkan dapat menjamin lingkungan yang damai, kesejahteraan dan stabilitas yang sudah berkembang di kawasan Asia Pasifik. ARF ia harus tetap merupakan forum bagi dialog dan konsultasi tentang masalah-masalah politik dan keamanan regional yang terbuka, di mana para anggota dapat membahas dan merekonsiliasi berbagai pandangan yang berbeda anatara mereka untuk mengurangi resiko bagi keamanan. Semua negara anggota sudah dapat menerima konsekkuensi keamanan ASEAN yang komperhensif, yang tidak saja meliputi aspek militer, melainkan juga aspek politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain.15 ARF mengadakan pertemuaan setiap tahunnya, sehari setelah pertemuan rutin para menteri luar negri negara-negara ASEAN atau Post Ministerial Meeting. Ada tig tahap penanganan masalah keamanan. Pertama, ARF menghadirkan pembangunan rasa saling percaya; kedua, mengupayakan diplomasi preventif; dan ketiga, kolaborasi penyelesaian konflik. Selain itu, ARF juag menempuh cara yang lebih lunak yakin melalui jalur kedua, second Track. Second Track ini adalah jalur akademis yang mempertemukakan lembaga-lembaga kajian strategis milik negara-negara peserta ARF seperti Center For Strategic And International Studies Indonesia, Institute For
14 15
Ibid. Ibid.
111
Strategic And International Studies Malaysia, Singapore’s Institute of Thailand dan Institue for Strategic and Development Studies Philipina. Pada tanggal 23 Juli 2010, ASEAN Regional Forum (ARF) diadakan di Ha Noi, Viet Nam. Pertemuan ini dipimpin oleh Deputi Perdana Menteri dan Menteri Luar Negri Republik Sosialis Viet Nam, Pham Gia Khiem, dan dihadiri oleh Menteri Luar Negri dan Perwakilan dari seluruh peserta ARF serta Sekertaris –Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan. Dalam kesempatan tersebut para Menteri ARF menegaskan kembali bahwa ARF tetap merupakan forum utama untuk mendiskusikan isu-isu politik dan Keamanan di kawasan dengan dukungan peranan ASEAN sebagai penggerak ARF. Para menteri menggarisbawahi pentingnya ARF sebagai pilar utama dalam arsitektur keamanan regional yang berkembang saat ini. Untuk tujuan ini, para menteri menekankan perlunya ARF mempertahankan Relevansinya dan menjadikan dirinya menjadi lebih berorientasi kepada bentuk aksi dalam mengatasi tantangan-tantangan multi-dimensi, termasuk ancaman keamanan non-tradisional yang memiliki dampak langsung terhadap perdamaian dan keamanan di kawasan. Untuk itu para Menteri mempertimbangkan penerapan rencana Aksi Ha Noi guna mengimplementasikan Visi ARF, yang antara lain berisi panduan kebijakan bagi ARF untuk mengembangkan dan melaksanakan tindakan-tindakan konkrit dan prkatis menuju tahun 2020. Para Menteri ARF mencatat hasil KTT ASEAN ke-16 yang dilaksanakan di Ha Noi dan menegaskan dukungan terhadap upaya ASEAN
112
dalam membangun komunitas, pelaksanaan piagam ASEAN, serta memperluas dan meperdalam hubungan ASEAN dengan negara-negara mitra dialog. Dalam hal ini, para Menteri ARF juga mencatat bahwa keberhasilan pelaksanaan blueprint komunitas politik dan keamanan ASEAN akan menjadi kontribusi yang besar bagi perdamaian dan keamanan regional. Melalui komunitas keamanan ini diharapkan ASEAN dapat mengambil suatu langkah baru dalam mengubah bentuk kerjasama keamanan melalui ARF atau membangun institusi baru yang efektif bagi kawasan Asia Tenggara. Secara umum dapat dikatakan bahwa ARF terlalu berambisi karena mencakup wilayah geografis yang luas. Kritik terhadap ARF adalah tidak adanya persepsi ancaman bersama di negara-negara tersebut. Selain itu kawasan Asia Pasifik juga memiliki kawasan konflik yang cukup banyak, sehingga, sangat sulit untuk menjamin lembaga ini untuk bias menjalankan fungsi resolusi konflik. Dalam hal ini ARF masih menjadi forum utama untuk dialog keamanan regional dengan ASEAN sebagai kekuatan pendorong utama. Perdamaian dan keamanan internasional lainnya. Selain itu, High Council dari TAC juga akan menjadi istrumen penting dari ASC, mengingat High Council mencerminkan komitmen ASEAN untuk meyelesaikan semua perbedaan, persengketaan, dan konflik secara damai.
113
3
. Pembentukan ASC (ASEAN Security community) 3.1 Latar Belakang Terbentuknya ASEAN Security Community ASEAN sebagai suatu organisasi internasional di kawasan Asia Tenggara
dituntut harus mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di kawasannya, selain itu ASEAN juga perlu memberikan tanggapan yang tepat dalam menghadapi tantangan dari luar seperti isu-isu keamanan non tradisional, termasuk Human Trafficking, people smuggling, arms smuggling, drugs trafficking, terorisme, money laundry, cyber crime, illegal logging, illegal fhisiing
dan perubahan global.
Sehubungan dengan hal itu diharapkan ASEAN mampu memberikan suatu tanggapan yang memadai dalam menghadapi tantangan-tantangan internal maupun eksternal sebagai salah satu kondisi terciptanya perdamaian dan kemakmuraan (Peace and Properity) di kawasan Asia Tenggara. Penciptaan kesejahteraan akan sangat tergantung pada penciptaan perdamaian melalui kerjasama politik dan keamanan kawasan. Kedua proses tersebut diharapkan akan saling memperkuat satu sama lain guna mewujudkan ASEAN yang damai, stabil dan sejahtera. Oleh karena itu timbul kesadaraan bahwa untuk menyeimbangkan kerjasama ekonomi yang selama ini ada, ASEAN perlu memperkuat kerjasama politik dan keamanan atau “security road towards peace, stability and prosperity”. 16 Sehubungan dengan itu ASEAN dituntut untuk memberdayakan dan memperkuat mekanisme kerjasama politik dan keamanan yang ada. ASEAN sebagai organisasi regional harus memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sendiri masalah-masalah regional yang timbul. Para pemimpin di kawasan menilai bahwa 16
Marty Natalegawa, “Strategi Indonesia dalam Mewujudkan ASEAN Security Community”, Makalah disajikan dalam kunjungan universitas “Veteran”, Jakarta 1 September 2004
114
ASEAN telah mencapai derajat kedewasaan (degree of maturity) dimana sudah saatnya bagi ASEAN tidak lagi meyembunyikan masalah yang terjadi di kawasan, tetapi mencari penyelesaianya secara terbuka melalui mekanisme yang dimiliki ASEAN. Berkaitan dengan hal itu, KTT ASEAN ke-9 di Bali pada tanggal 7-8 Oktober 2003 telah disepakati mengenai komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang disebut Bali Concord II yang di dalamnya bertumpu pada tiga pilar utama yaitu pilar ekonomi atau ASEAN Economic Community (AEC), pilar keamanan atau ASEAN Security Community (ASC) dan pilar sosial atau ASEAN Sosio-Cultural Community (ASCC).17 Konsep komunitas keamanan yang dating dari Indonesia diperkenalkan pada pertemuaan tingkat tinggi menteri Luar Negri di Pnon Penh, Kamboja idenya berupa komperhensif untuk kerjasama politik dan keamanan, termasuk mekanisme untuk mengatasi konflik antar negara maupun keamanan negara, tapi keamanan manusia (human security) menjadi hal yang sangat penting.18 Dalam beberapa perkembangan selanjutnya timbul kesadaraan bahwa keamanan negara dan terpeliharanya perdamaian dan keamanan kawasan sangat ditentukan oleh terwujudnya suatu masyarakat kawasan yang sejahtera dan terlindungi, sehingga perwujudan keamanan manusia diperlukan untuk melengkapi pendekatan konvensional keamanan yang dianut ini sehingga lebih kompehensif.19
17 18 19
Ibid. Ratna Shofi Inayati dan Awani Irewati, “Menuju Komunitas ASEAN”, Koran Tempo, 7 Oktober 2003 Zatni Arbi (Ed), Menuju Keamanan Komprehensif di ASEAN (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2003), hlm.29.
115
Namun demikian dalam kenyataannya di lingkungan ASEAN terdapat perbedaan mendasar diantara masing-masing negara cara pandang dan perlakuan negara terhadap keamanan manusia. Seperti halnya Myanmar mempunyai cara pandang tersendiri tentang keamanan manusia warganya yang berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya. Terdapat beberapa alasan yang mendasari terbentuknya komunitas keamanan di ASEAN, yaitu : 1) Seiring dengan perkembangan domestic dan dinamika regional serta internasional yang terjadi sejak berkahirnya perang dingin, telah bergeser pula makna dan konsep keamanan. Diskursus keamanan tak lagi semata-mata dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan langsung dan hanya dengan masalah pertahanan dan ancaman militer. Tetapi, secara lebih luas keamanan menyangkut juga persoalan non-militer (sosio-ekonomi) yang juga ikut mengancam kemaslahatan manusia secara lebih luas. Seperti masalah kesenjangan ekonomi, perdagangan manusia, peredaraan narkoba, korupsi, kejahatan criminal yang teroganisir secara internasional, telah membawa gangguan keamanan di beberapa negara. Proses globalisasi, yang diakibatkan kemajuan pesat teknologi transportasi dan komunikasi rupanya memberi kontribusi besar terhadap meluasnya efek yang diakibatkan hal-hal yang terebut diatas. Dampaknya, gangguan keamanan menjadi musuh bersama yang sekaligus menjadi persoalan yang membutuhkan langkah antisipasi dan pencegahan bersama. Inilah salah satu
116
realitas yang telah terus dihadapi ASEAN ke depan sehingga ASEAN membutuhkan semacam langkah intropeksi untuk mengatisipasinya. 2) Sejak Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967, ASEAN telah memutuskan untuk mencapai perdamaian melalui mekanisme kerjasama ekonomi. Situasi politik internasional dan regional saat itu mengkondisikan para pendiri ASEAN percaya bahwa perdamaian antar anggota ASEAN hanya dimungkinkan melalui jalan kerjasama ekonomi (achieving peace through economic road). Sisa-sisa konflik bakal calon anggota ASEAN saat itu menhindari para pendirinya melihat kerjasama politik dan keamanan sebagai salah satu jalan menuju perdamaian. Namun, perkembangan internasional dan regional yang dihadapi ASEAN saat ini jelas berbeda dengan 36 tahun lalu. Selain keragaman persoalan domestik yang dihadapi masing-masing anggota ASEAN, meluasnya gangguan keamanan yang muncul akibat isu-isu non-militer jelas ikut menjadi
problem
yang
membutuhkan
perhatian
bersama
ASEAN.
Mekanisme kerjasama ekonomi tidak lagi cukup menghadapi perubahan yang terjadi karena itu ASEAN memutuskan bahwa kedepan perdamaian dapat dicapai melalui kerjasama keamanan. 3) Pembentukan ASC tentu saja tidak mengurangi arti penting dari kerjasama di ekonomi. Sebliknya, kerjasama keamanan yang meliputi berbagai bidang ini justru menjadi pijakan yang saling memperkuat. Sebagai suatau organisasi internasional yang mempunyai sejarah panjang, ASEAN berkesempatan
117
melakukan suatu langkah revitalisasi. Dengan demikian dilihat dari berbagai segi, ASEAN tetap memiliki relevansi yang penting. 4) Bagi Indonesia sebagai penggagas, pembentukan ASC dapat menjadi momentum untuk tidak saja menunjukan kembali peran penting Jakarta dalam ASEAN, tetapi juga awalan untuk menunjukan bahwa bagaimanapun ASEAN selalu menjadi prioritas pertama politik luar negri Indonesia. Keberhasilan menmpatkan kembali posisi instrumental Jakarta dalam ASEAN tentu menjadi modal tambahan negara di kawasan lain di luar ASEAN.
3.2 Tujuan Pembentukan ASEAN Security Community (ASC) Dengan terciptanya ASEAN Security Community (ASC) diharapkan akan tercipta suatu mekanisme penyelesaian konflik maupun sengketa dalam ASEAN demi terjaganya keamanan manusia. ASC memiliki cakupan yang luas, meliputi kerjasama militer dan kerjasama untuk menciptkan aturanaturan untuk berinteraksi dan menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa antar negara anggota ASEAN. ASC lebih menetapkan prinsip keamanan yang komprehensif dari pada sebuah pakta pertahanan, aliasi militer atau kebijakan bersama di bidang politik luar negri. Dalam hubungan
eksternal ASC akan turun mengumandangkan
perdamaian dan keamanan di daerah Asia Pasifik, memperkuat peranan ASEAN sebagai motor penggerak ASEAN Regional Forum (ARF) dan terus
118
meningkatkan hubungan ASEAN dengan Dialogue Partner’s dan rekanrekannya. Melalui ASC, ASEAN akan merumuskan dengan konkrit kondisi ASEAN, bagaimana yang ingin dicapai dan kerjasamanya di bidang politik dan keamanan serta menyepakati langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk mencapai tujuan tersebut sebelum atau pada tahun 2020 baik modalitas maupun program kerjanya. Dengan ASC, ASEAN akan membawa kerjasama politik dan keamanannya ketingkat yang lebih tinggi dan meningkatkan ASEAN dari sebuah diplomacy security menjadi security community. ASC diharapkan bisa membawa kerjasama keamanan secara komprehensif yang meliputi perdamaian, lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis. ASC pun bertujuan untuk memperkuat kapasitas nasional dan regional dalam memberantas dan mencegah human trafficking dan kejahatan tarnsnasional. Memberikan jaminan agar kawasan Asia Tenggara tetap bebas dari senjata pemusnah massal. Pendirian ASC memastikan bahwa negara-negara di regional ini akan hidup secara damai satu sama lain dan juga secara internasional dalam lingkungan demokrasi yang harmonis ASC akan didasarkan pada normanorma dan peraturan-peraturan yang disepakati bersama mengenai tata cara dalam hubungan antar negara, pencegahan konflik yang efektif, mekanisme resolusi konflik, serta pembangunan damai pasca konflik.
119
C.
Persepsi Ancaman Global Yang Dihadapi Negara-negara ASEAN ASEAN sebagai organisasi internasional tidak lepas dari interaksi dengan negara-negara lain. Dari interaksi tersebut dapat menimbulkan suatu kerjasama yang baik maupun persaingan (Competition). Ancaman-ancaman global yang mungkin terjadi akibat dari persaingan tersebut akan menciptakan suatu persepsi ancaman bagi kawasan Asia Tenggara dan kawasan yang lainnya.
1.
Definisi, Sumber dan Karakteristik Ancaman
1.1 Definisi Ancaman Ancaman dalam konteks bahasa ataupun pada konteks ancaman dalam skala nasional, merupakan segala bentuk gangguan langsung atau tidak langsung, terlihat atau tidak terlihat terhadap kedaulatan, basis-basis vital nasional (ekonomi, militer dan informasi), penduduk, territorial ( national territory), ataupun segala bentuk serangan secara konvensional maupun asimetrik suatu bangsa dalam skala nasional (national threat to the nation). 1.2 Sumber Ancaman Sumber-sumber ancaman antara lain dapat berupa: a. Senjata pemusnah massal (bentuk lain- Nubika) seperti senjata kimia, racun, dsb. b. Rudal Balistik, peluru kendali, roket jarak jauh c. Senjata Nuklir
120
d. Peredaran senjata e. Space War f. Peredaraan Narkoba g. Pembajakan h. Kejahatan trans-nasional (transnational crime)
Kejahatn transnasional sebagai kedok dari war threat angagement dengan hubungan terosisme an ancaman bersenjata (pendanaan teroris, separatis dan tindak pembajakan serta penyelundupan bersenjata.
Kejahatan transnasional murni
Gabungan keduanya
i. Mafia j. Peperangan Cyber k. Terorisme l. Kerusuhan m. Pemberontakan dometik /separatis (internationally connected) n. Perdagangan manusia dan penyelundupan manusia o. Perebutan sumber daya, energy dan bahan baku.20
20
Wibawanto N widodo, “Future defense System”, dalam http:// www.mabesad.mil.id/artikelfuture defence 1. htm, diakses 10 Agustus 2010
121
1.3 Karakteristik Ancaman Seiring dengan adanya globalisasi yang telah berimplikasi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap dimensi ideology, ekonomi, teknologi dan informasi dan multiplikasi dengan struktur politik pada umumnya, karakteristik dari hakekat ancaman telah mengalami transformasi. Sebagai konsekuensinya, ancaman yang sebelumnya dapat dikategorikan sebagai ancaman luar (external threats). Oleh karenanya sudah sepatutnya, seperti yang diterapkan di dalam cara berpikir bangsa-bangsa lain di dunia ini dalam melihat hakekat ancaman, maka ini harus dilihat dari konteks yang objektif, update dan sebenarnya, dimana mereka melihat ancman internal sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari hakekat ancaman eksternal ( sebab dari kondisi / keadaan dunia yang berubah seperti antara lain globalisasi). Ini semua tentu akan berdampak kepada terciptanya kenyataan bahwa kekuatan lawan dapat masuk ke wilayah suatu negara tanpa harus / hanya dengan wujud militer tertentu tetapi memiliki kekuatan dan dampak militer yang signifikan serta mempunyai kontribusi besar di dalam konteks mengancam kedaulatan negara tersebut (not necessarily nation). Jadi, jika merujuk kepada sumber-sumber ancaman di atas, maka akan banyak di temukan jenis-jenis ancaman dengan dimensi yang bermultiplikasi menjadi bentuk-bentuk yang memiliki dimensi perang maupun kriminal pada saat bersamaan dengan kategorisasi yang bersifat internal-eksternal (internal sebagai akibat keadaan eksternal)
122
Jika kita menopong kepada ancaman itu sendiri dengan kata lain secara sistematis dapat meliputi peperangan informasi, ekonomi, intelijen, politik dan juga psikologis. Sedang dari kemajuan teknologi warfare itu sendiri, ancaman sudah bisa dikategorikan ke dalam peperangan modern yang mencakup dominasi informasi, persenjataan presisi tajam, transformasi C2 (kodal) menjadi C41SR (Command, Control, Communications, Computer System Inteligen, Survelling & Recon-naissance), konsep few war casualities dan civilization of war.21 2.
Transnational
Organized
Crime
(TOC)
Di
Asia
Tenggara Pada dasarnya tidak ada negara yang aman dari ancaman yang ditimbulkan TOC. Walaupun demikian, tidak lah terlalu sulit untuk meyimpulkan bahwa TOC akan menemukan tempat terbaiknya untuk beroprasi di negara-negara dimana state authority berada dalam keadaan lemah. Sebab, didalam negara semacam itulah, TOC menikmati lingkungan dengan penegakan hukum yang rendah, korupsi dan juga memungkinkan cara-cara kekerasan. Akan tetapi dinegara yang kuatpun TOC bisa menemukan tempat terbaiknya untuk beroprasi, apabila di negara tersebut tidak terdapat mekanisme check and balances yang baik dengan sendirinya mengurangi tingkat transparansi publik.22
21 22
Ibid, difance 2. htm
Roy Godson and Willams Phill, “Strenghthening Cooperation Againts Transnational Crime”, Survival, Vol 40/3, Autumns, 1998, hal. 67.
123
Antusiasme tampaknya meneggelamkan sebuah sisi lain dari fenomena globalisasi. Umumnya diskusi-diskusi mengenai globalisasi, baik dalam mengevaluasi manfaat atau dampak buruknya, didominasi oleh masalah ekonomi. Padahal, sebuah fenomena lain mengiringi dan membonceng globalisasi. Fenomena tersebut adalah semakin merebaknya apa yang disebut dengan Transnational Organized Crime (TOC). TOC, yang bias meliputi kejahatan lintas batas geografis seperti human trafficking, people smuggling, money laundering, arms smuggling, drugs trafficking, terrorism, illegal logging, illegal fishing, cyber crime, dan lain-lain, semakin hari tidak hanya dilihat sebagai persoalan penegakan hukum semata tapi juga telah dianggap sebagai ancaman keamanan serius terhadap suatu negara. TOC semakin mengembangkan bentuk-bentuk operasinya dengan memanfaatkan kian canggihnya teknologi komunikasi, mudah dan murahnya perjalanan lewat udara dan berbagai kemudahan lain yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi dan semakin terbukanya batas geografis antar negara. Walapun bentuk-bentuk kejahatan transnasional telah ada sejak lama, TOC saat ini dinilai sebagai ancaman keamanan (security theart) baru. Runtuhnya perang dingin merupakan salah satu sebab mengemukanya fenomena TOC ini. Bila selama perang dingin ancaman keamanan oleh setiap negara dirumuskan hanya sebagai ancaman militer atau perluasan ideologi dari dua superpower yang bersaing, maka berakhirnya perang dingin ancaman
124
keamanan dianggap akan datang juga dari apa yang diistilahkan sebagai grey phenomenon. Jhon MacFarlane dalam sebuah tulisannya berjudul Transnational Crime as a Security Issues mengkolaborasi bahwa kejahatan transnasional telah mengancam kelima dimensi keamanan tersebut. Dalam dimensi militer (military security), misalnya, TOC dapat menguasai dan memperngaruhi negara sehingga ia bisa menggunakan perangkat militer negara tersebut untuk tujuan-tujuan kelompoknya. Selain itu, TOC yang berkembang dan bisa juga memiliki sendiri sayap militernya tentu saja akan mengancam keamanan sebuah negara dari dalam. TOC juga dapat mengancam stbilitas politik (political security) sebuah negara. TOC menjadi sebuah ancaman serius terhadap kesejahteraan warga. TOC menggunakan berbagai cara untuk menjalankan bisnisnya mulai dari suap, pemerasaan, hingga pembunuhan. Umumnya negara-negara yang sedang menjalani transisi politik dan krisis ekonomi merupakan faktor-faktor penumbuh subur TOC. TOC yang selalu bermotif power dan uang dengan mudah merekrut para professional seperti akuntan, pengacara, penasihat keuangan, bankir, politisi korup, pebisnis bahkan polisi atau tentara untuk memperhalus dan melindungi operasinya. Dalam konteks negara dalam transisi politik, sangat rawan terjadi pertemuan kepentingan antara TOC dan berbagai pihak tersebut. Kemampuan TOC dalam melakukan kejahatannya yang canggih dan lintas batas akan sulit sekali dihadapi oleh sebuah negara yang sedang “lemah”
125
dan diwarnai intrik politik, krisis ekonomi
misalnya tengah sangat
membutuhkan investasi dari luar negri sebagai bagian dari penyelamatan ekonomi. Bukan tidak mungkin kebutuhan investasi tersebut dan lemahnya regulasi membuat Indonesia menjadi tempat tujuan dari TOC untuk melakukan human trafficking dan money laundering Karena itu, Indonesia juga harus memusatkan perhatian pada upayaupaya menghadapi TOC. Lembaga seperti DPR juga memainkan peranan penting dalam menghasilkan legislasi seperti perundangan anti money laundering, perundangan anti korupsi dan suap, perundangan anti human trafficking, anti terorisme dan lain-lain. Koordinasi antara berbagai elemen menjadi persyaratan mutlak dalam menghadapi TOC, yang meliputi kerjasama intelijen, kepolisian, sipil dan juga militer, satu hal yang juga penting mengingat bahwa TOC sejatinya merupakan kejahatan lintas batas, upaya menghadapinya juga harus dilakukan bersamasama dengan banyak negara. Oleh karena itu harus terlibat dan terus mendorong secara aktif kerjasama antar negara.23 Terakhir situasi saling ketergantungan ekonomi dunia yang semakin meningkat juga menguntungkan kelompok-kelompok TOC. Data stastistik menunjukan bahwa kejahatan di perairan Asia Tenggara terus menerus meningkat. Pada tahun 1986 tercatat tiga serangan terhadap kapal-kapal, dan jumlah ini menjadi 60 pada tahun 1990 dan kemudian menjadi 102 pada tahun 23
Philips Jusario Vermonte, “Kejahatan Transnasional : Sisi Gelap Globalisasi”, Majalah Tempo Desember 2001.
126
1991. Selanjutnya, dalam kurun waktu 1992-1997, tercatat terjadi 551 serangan atau rata-rata 85 serangan pertahun. Salah satu faktor utama dari peningkatan kejahatan ini adalah pada sisi supply, dimana perairan Asia Tenggara menjadi semakin penting bagi jalur perdagangan internasional sehingga meningkatnya jumlah pelayaran komersial yang melintasi perairan Asia Tenggara menyebabkan
para pelakau pembajakan memperoleh banyak sasaran
potensial.24 Bisa disimpulkan bahwa berkembangnya TOC merupkan proxy dari laju globalisasi. Bahkan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, TOC sangat mengambil manfaat dari perkembangan melalui modus-modus yang dikelola menyerupai cara-cara pengelolaan kelompok-kelompok bisnis besar yang legal dan besar. Bahkan nilai “bisnis” TOC diperkirakan bernilai lebih dari US$1 trilyun pertahunnya. Sementara itu, salah satu bentuk kejahatan transnasional, yakni perdagangan ilegal obat bius, diperkirakan bernilai lebih dari US$400 milyar pertahunnya. Modus yang digunakan TOC pun semakin canggih dan beragam. Sebagaimana halnya perusahaan-perusahaan besar, kelompok-kelompok TOC juga melakukan aliansi-aliansi strategis. Hal ini dilakukan karena pada dasarnya kelompok TOC merupakan kelompok yang berorientasi pada perolehan laba dan berusaha memperkecil resiko dari tindakan-tindakan pelanggarannya terhadap penegakan hukum dan aturan-aturan nasional. 24
Peter Chalk, “Cross-Border Crime and Grey Area Phenomena in South East Asia”, Boundary and Security Bulletin, Vol 6/3, Autumn, 1998. hal. 67-68.
127
Resiko-resiko yang dihindari adalah: penyitaan barang yang diperjual belikan, penangkapan anggota kelompok, kekhawatiran atas adanya penyusupan dan kekhawatiran bahwa keuntungan yang telah diperoleh akan hilang. Kelompok TOC juaga semakin terkait dengan kelompok-kelompok teroris. Hal ini bisa dilihat dari ditemukannya interaksi antara kelompok gerilyawan teroris Peru bersama Shining Path, dan sindikat kejahatan transnasional. Interaksi yang terjadi berwujud pada jaminan keamanan yang diberikan oleh Shining Path bagi perdagangan kelompok-kelompok pembuat dan pengedar obat bius di wilayah Amerika Selatan. Bagi kelompok-kelompok teroris, kerjasama dengan kelompok-kelompok TOC merupakan alternatif pendanaan yang cukup prospektif. Metode-metode lama pendanaan bagi para kelompok teroris seperti penculikan dan perampokan bank misalnya, saat ini mulai digantikan dengan metode-metode baru seperti diuraikan diatas. 3. Human Trafficking Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia Fenomena Perdagangan Manusia khususnya anak dan perempuan atau dikenal dengan istilah Trafficking bukanlah nerupakan hal yang asing lagi di era globalisasi ini. Traffic dalam dalam edisi kedelapan Black’s Law Dictionary adalah To trade or deal in goods, illcit drugs or other contraband.25Human Trafficking ini diartikan sebagai suatu fenomena
25
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition in Chief 2004, hal. 1534
128
perpindahan orang atau sekelompok orang dari satu tempat ketempat lain, yang kemudian dibebani utang untuk biaya proses migrasi.26 Menurut kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 297 menyebutkan, “perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur dipidana selama-lamanya enam tahun”. Pasal ini tidak menyebutkan dengan jelas pengertian dari trafficking itu sendiri. Pasal tersebut tersebut juga tidak melarang perdagangan perempuan muda, anak perempuan dan anak laki-laki dewasa. Karena itu tidak ada penjelasan oleh negara mengenai pengertian dari “perdagangan” dalam pasal 297 KUHP tersebut maka Indonesia tidak memiliki definisi resmi mengenai apa yang dimaksud dengan human trafficking.27 Dalam Pasal 10 laporan HAM yang dilaporkan oleh Pelapor Khusus Kekerasan Terhadap Perempuan dikemukakan sebagai berikut, “saat ini tidak ada definisi perdagangan yang secara internasional disetujui. Terminologi trafficking dipakai oleh berbagai aktor untuk menggambarkan berbagai aktivitas yang berkisar mulai dari sukarela, migrasi yang difasilitaskan hingga ke ekspolitasi pelacuran, ke perpindahan manusia oleh ancaman, paksaan, kekerasaan dan sebagainyayang tujuan sifatnya eksploitatif.28 Mengingat masalah trafficking sebagai masalah yang serius, maka pada tahun 1994 Sidang Umum PBB menyetujui Resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak, yaitu:
26
Ruben Achmad, “Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Perdagangan Manusia”, Makalah, Disampaikan pada seminar BKS-PTN Bidang Ilmu Hukum di Pontianak, 5 oktober, 2004, hal 1 27 Ibid. 28 Kutipan dari laporan Pelapor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan di sesi ke-56 Komisi HAM, http://www.kompascetak/0209/16dikbud/perd36,htm.
129
Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melawan hukum, terutama dari negara berkembang dan dari negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan ekspolitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindak illegal lainnya, yang berhubungan dengan perdagangan perempuan seperti pekerja paksa domestic, kawin palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrut, pedagang, dan sindikat kejahatan. (Rachmad Syafaat, 2002:12) Pengertian perdagangan perempuan yang paling sering digunakan adalah pengertian yang diberikan oleh Protokol Perdagangan Manusia. Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang, dengan menggunakan cara-cara ancaman atau penggunaan kekerasaan atau berbagai bentuk paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan bayaraan atau keuntungan lain guna mendapatpersetujuan dari seseorang yang mempunyai kendali terhadap orang lain, untuk kepentingan ekspolitasi. Ekspolitasi mencakup sedikitnya ekspolitasi prostitusi atau bentuk-bentuk ekspolitasi seksual lainnya, kerja paksa,
perbudakan
atau
praktik-praktik
sejenisnya
perhambaan
atau
pengambilan organ-organ tubuh29 Pada Sidang Umum 1995, Sekretaris Jendral PBB dalam laporannya menfokuskan pengertian perdagangan perempuan pada kegiatan untuk tujuan 29
Komnas Prempuan, Edisi: 9/IX/Jan/2003
130
prostitusi dengan memasukan aspek lainnya yaitu kerja paksa dan penipuan. Bentuk perdagangan perempuan dan anak tidak hanya terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk ekspolitasi, kerja paksa dan praktek seperti perbudakan di beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan. Berbagai bentuk kekerasanpun dialami oleh para korban, seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami baik sejak saat perekrutan maupun pemilik tempat kerja. Ekspolitasi dapat meliputi, paling tidak adalah: 1. Ekspolitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari ekspolitasi seksual; 2. Kerja atau pelayan paksa; 3. Perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan; 4. Penghambaan; 5. Pengambilan organ-organ tubuh.30 Lebih lanjut dalam pasal 3 sub-paragraf (a) Lampiran II-Protokol Perdagangan Manusia Palermo (The Palermo Trafficking Protocol) (2000), mengurai definisi dari perdagangan manusia secara lebih rinci, yakni: (a) Perdagangan Manusia “ adalah perekrutan, pengangkutan, trnspor, penyembunyian,
dan
penerimaan
orang
dengan
ancaman,
atau
menggunakan kekerasaan atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, 30
Ann Jorda, The Annotated Guide to the Complete UN Trafficking Protocol, International Human Right law Group, Washington D,C, May, 2002, http://www.hrlawgroup.prg/resources/content/Traff AnnpProtocol.pdf., diakses pada 16 agustus 2010
131
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau penyalgunaan posisi rentan atau memberikan atau menerima pembayaran, atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan ekspolitasi. Pada sub paragraph (c) dijelaskan, “ Perekrutan, transportasi, transfer, penyembunyian, dan penerimaan seorang anak untuk maksud ekspolitasi harus dianggap memperdagangkan manusia bahkan bila hal ini tidak melibatkan semua cara yang disebutkan dalam sub paragraph (a) Pasal ini”. Protocol
tersebut
komprehensif, yaitu sebagai
memuat
definisi
trafficking
yang
cukup
“ perekrutan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk
pemaksaan
lain,
penculikan,
penipuaan,
kecurangan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau member atau menerima bayaran atau menfaat untuk memperoleh izin dari orang yang punya wewenang atas orang lain untuk tujuan ekspolitasi”. Menurut Rheny Wahyuni Pulungan, ekspolitasi yang menjadi tujuan dari segala bentuk human trafficking setidaktidaknya akan meliputi ekspolitasi dalam bentuk pemelacuran orang lain atau dalam bentuk-bentuk ekspolitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai perbudakan, perhambaan
132
atau pengambilan organ tubuh.31 Menurutnya unsur-unsur perdagangan anak meliputi: 1. Adanya proses rekruitmen dan pemindahan manusia; 2. Berlakunya cara-cara pemaksaan; 3. Termasuk ancaman akan terjadinya pemaksaan dan kekerasan, penipu atau; 4. Penyalahgunaan kekuasaan 5. Adanya tujuan akhir yang bersifat eksploitatif. Adapun tujuan akhir bersifat eksploitatif itu dapat berupa: 1. Prostitusi atau tujuan seksual; 2. Pekerja Rumah Tangga (PRT) 3. Prostitusi dan pornografi 4. Pekerja jermal (pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan) 5. Pengemis 6. Adopsi di daerah-daerah konflik 7. Perkawinan 8. Perdagangan obat/ drug 9. Buruh perkebunan 10. Ekspolitasi seksual oleh fedopil.32 UNICEF
mendefinisikan
perdagangan
anak
adalah
tindakan
perekrutan, transportasi, transfer, myembunyikan atau menemui seorang anak 31
Rheny Wahyuni Pulungan, “Penanggulangan Kejahatan Perdagangan Perempuan dan Anak”, Makalah, Disampaikan dalm Semiloka Strategi Penanggulangan Kejahatan Lintas Batas, Fakultas Hukum Tanjung Pura, Pontianak, tanggal 5-6 Oktober 2004 hal. 5 32 Ibid.
133
dengan tujuan untuk ekspolitasi baik di dalam maupun diluar suatu negara.33 Pada pasal 3 huruf (a) Konvensi ILO no. 182 menyebutkan bahwa bentuk terburuk pekerjaan untuk anak didefinisikan sebagai segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, sperti penjualan
dan
perdagangan anak, kerja ijin dan perhambaan, wajib kerja atau kerja paksa, termasuk pengerahan anak secara wajib atau paksa untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata. Selanjutnya Konvensi ILO no 182 melarang adanya perbudakan, penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja paksa dan kerja ijin (termasuk pengerahan anak-anak dalam konflik bersenjata), serta penyediaan, atau pemanfaatan anak-anak untuk pelacuran, pornografi, obta-obatan terlarang, dan pekerjaan, yang karena hakekatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilaksanakan, mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.34 Pasal 2 Optional Protocol to the CRC on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (2000) atau Protokol Opsional terhadap Konvensi Hak Anak mengenai penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak (2000), selanjutnya disebut Protokol Opsional KHA Tahun 2000, mengartikan penjualan anakadalah segala tindakan atau transaksi di mana seorang anak ditransfer oleh segala orang atau kelompok orang ke orang lain untuk mendapatkan imbalan atau pertimbangan lainnya. Dalam hubungannya dengan pasal 3 Protokol Palermo, dan Konvensi ILO no. 182, hal ini berarti 33 34
UNICEF, Pedoman Untuk Perlindungan Hak-Hak Anak Korban Perdagangan Manusia, UNICEF, 2003, hal. 1. Ibid.
134
bahwa perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau menerima seorang anak di bawah usia 18 tahun untuk tujuan pelacuran dan pornografi harus dianggap sebagai human trafficking. Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM berat terhadap perempuan, karena di dalamnya ada unsur ancaman, penyiksaan, penyekapan, kekerasan seksual, sebagai komoditi yang dapat diperjual belikan, yang semuanya merupakan pelanggaran terhadap HAM. Dalam situasi perempuan dan anak yang diperdagangkan, hak-hak mereka terus dilanggar, karena mereka kemudian ditawan, dilecehkan dan dipaksa untuk bekerja di luar keinginan mereka. Mereka ditempatkan dalam kondisi seperti perbudakan, tidak lagi memiliki hak untuk menemukan nasib sendiri, hidup dalam situasi ketakutan dengan rasa tidak aman. Bahkan kadang diperburuk oleh keadaan ketika dia tidak memiliki identitas yang jelas, sehingga mereka tkut meminta bantuan kepada pihak yang berwenang karena takut diusut dan dideportasi. Juga status sosial mereka menyebabkan mereka dilecehkan oleh majikan. Ekspolitasi perempuan dan anak-anak oleh industri seks lokal maupun global adalah petanggaran hak asasi manusia karena jelas telah mereduksi tubuh mereka menjadi komoditi. Sementara itu, perdagangan perempuan dan anak-anak telah dianggap sebagai “kenikmatan” bagi para pengguna jasa seks sebagai sumber penghasilan bagi mereka yang bergerak di dalam industri seks,
prostitusi,
perdagangan
perempuan
dan
praktek-praktek
yang
135
berhubungan dengan bisnis. Pada dasarnya, perdagangan perempuan dan anak-anak ini merupakan bentuk kekerasan seksual dan menempatkan perempuan dan anak-anak dalam suatu kondisi fisik dan mental yang sangat merusak dan tergradasi. Dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia 1948 ditegaskan, bahwa “ setipa orang dilahirkan mempunyai hak akan kebebasan dan bermartabat yang setara.” Penegasan ini merupakan simbol suatu kehidupan bermasyarakat dengan suatu visi tentang perlunya menghormati kemanusiaan setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa dan jenis kelamin. Dengan demikian perempuan dan anak berhak memperoleh perlindungan hak asasi manusia. 1. Hak atas kehidupan 2. Hak atas persamaan 3. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi 4. Hak atas perlindungan yang sama di muka umum 5. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya 6. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik 7. Hak untuk pendidikan lanjut 8. Hak untuk tidak mengalami penganniayaan atau bentuk kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi yang sewenangwenang.
136
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM tersebut dapat terjadi pada saat proses prekrutan, transpotasi saat samapi di negara tujuan, dan saat proses trafficking. Pelanggaran yang terjadi berupa: penipuan, penyekapan, ancaman
dan
penggunaan
kekerasan,
penyalahgunaan
kekuasaan
pemutusan akses dengan keluarga dan/atau bantuan jenis apapun, hak atas informasi, penyiksaan, kondisi hidup yang buruk, perempuan dipaksa melacur, pelanggaran terhadap aspek budaya/agama, penolakan akses kebangsaan, pendidikan, perempuan dipaksa menikah dengan orang yang tidak mereka inginkan, diskriminasi, kehilangan kontrol terhadap hidup, penyangkalan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Penahanan dan dipenjara/penahanan illegal dengan tuduhan palsu, penganiayaan dan perkosaan dalam penahanan, pelanggaran dalam aspek hukum, pemaksaan pemeriksaan dan perawatan kesehatan.35 Bentuk human trafficking tidak hanya terbatas pada prostitusi paksaan atau
perdagangan
seks,
melainkan
juga
meliputi
bentuk-bentuk
ekspolitasi, kerja paksa dan praktek seperti perbudakan di beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan. Berbagai bentuk kekerasanpun dialami oleh para korban, seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami baik sejak saat perekrutan maupun pemilik tempat kerja. Human Trafficking terjadi di dalam atau di luar negara, tidak selalu melibatkan penyebrangan perbatasan negara. Sangat penting untuk 35
HAM Dalam Praktek Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, 2000 hal. 33-35
137
disadari, bahwa perempuan dan anak yang diperdagangkan adalah korban yang sudah dipindahkan ke lingkungan asing, dipisahkan dari lingkungan keluarga, masyarakat dan teman, dan dipisahkan dari jaringan pendukung fisik, emosional atau dengan bahasa atau budaya yang dikenalnya. Menurut GAATW (Global Aliance Against Traffic in Women) trafficking adalah. “ semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk penggunaan untuk ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar ataupun tidak, untuk kerja yang tidak dinginkannya (domestik, seksual atau reproduktif), dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan untuk lilitan hutang pertama kali.36 Rhut Rosenberg mengusulkan definisi women trafficking adalah seluruh tindakan yang dilakukan dalam rangka perekrutan dan atau pengiriman orang perempuan di dalam dan keluar negri untuk pekerjaan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dominant, penjeratan utang, penipuan, atau bentukbentuk pemaksaan lain.” 36
Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, 2003, hal 13
138
Pengertian perdagangan perempuan
tersebut mengandung arti
penting, karena yang disoroti tidak hanya proses perekrutan dan pengiriman yang menentukan bagi trafficking, tetapi juga kondisi ekspolitatif terkait ke mana orang diperdagangkan, Menurut Global Survival Network dalm laporan PBB tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak ada empat jenis situasi yang mengakibatkan
perempuan
dan
anakperempuan
terlibat
dalam
perdagangan seks, yang juga dapat diterapkan pada bentuk-bentuk kerja yang
lain
yang
menyababkan
perempuan
berimigrasi
atau
diperdagangkan: 1. Mencakup perempuan yang ditipu mentah-mentah dan dipaksa dengan kekerasan. Mereka tidak mengetahui sama sekali kemana mereka akan pergi atau dipekerjakan apa yang akan mereka lakukan. 2. Perempuan yang diberitahu separoh kebenaran oleh orang yang merekrut mereka mengenai pekerjaan yang akan dilakukan dan kemudian; dipaksa bekerja untu apa yang sebelumnya tidak mereka setujui dan mereka hanya mempunyai sedikit atau tidak ada sama sekali pilihan lainnya. 3. Perempuan yang mendapat informasi mengenai jenis pekerjaan yang akan mereka lakukan. Walaupun mereka tidak mau mengerjakan pekerjaan semacam itu, mereka tidak melihat adanya pilihan ekonomi lain yang bisa mereka kerjakan.
139
4. Perempuan yang mendapatkan informasi sepenuhnya mengenai pekerjaan yang akan mereka lakukan tidak keberatan untuk mengerjakannya. Pada kelompok yang ke empat ini tidak ada kondisi mengenai pekerjaan yang tidak diketahui sehingga tidak termasuk dalam perdagangan perempuan37
37
Laporan Pelapor Khusus PBB “ tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, perdagangan Perempuan, Migrasi, Perempuan dan Kekerasan terhadap Perempuan” Penyebab dan Akibatnya, 29 Febuari2000, hal. 25