BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pasca kemerdekaan, Indonesia telah mengalami beberapa fase pergantian rezim. Motivasi pembaruan di segala sendi kehidupan merupakan faktor pemicu pergantian rezim tersebut. Dalam hal ini tentu saja pembaruan yang dimaksud adalah pembaruan yang menuju pada progresivitas positif. Namun pada kenyataannya, perubahan rezim tidak berbanding lurus dengan harapan
masyarakat. Harapan
masyarakat adalah menuju masyarakat yang sejahtera serta
tercapainya stabilitas Ekonomi. Ada beberapa faktor penghambat untuk mencapai harapan dan tujuan tersebut, salah satu faktor dominan adalah distorsi kepentingan elit politik. Permasalahannya adalah para elit politik di Indonesia tidak memiliki mental negarawan. Para elit politik cenderung untuk mengedepankan kepentingan pribadi diatas kepentingan Negara. Sikap dan mental mereka ini merupakan refleksi dari kegagalan Negara dalam mencetak seorang negarawan. Negarawan adalah seseorang yg bertindak atas asas yang berlaku serta berpikir secara visioner untuk kepentingan Negara. Ada banyak faktor yang mempengaruhi nihilnya pemimpin bangsa yang bermental negarawan. Salah satu faktor dominan adalah kegagalan partai politik (Parpol) dalam menunaikan fungsinya. Partai mempengaruhi individu di dalamnya. Partai pun mempengaruhi kehidupan sosial masayarakat yang lebih luas. Seorang kader dididik, dilatih, serta ditanamkan nasionalisme ketika berada didalam tubuh Parpol. Partai politik (parpol) diharapkan menjadi mesin yang berfungsi untuk mencetak negarawan yang berintegritas tinggi. Namun pada XVI
kenyataannya produk pemimpin yang dihasilkan oleh parpol masih jauh dari harapan. Kesalahan pola kaderisasi dan rekruitmen partai disinyalir menjadi penyebab dari kemandulan partai untuk melahirkan seorang negarawan. Pola rekruitmen dan kaderisasi partai selama ini cenderung mengutamakan budaya instan. Pemahaman ideologi tidak lagi menjadi syarat utama seorang kader diterima dalam Parpol. Ketenaran dan kekayaan justru menjadi instrumen penting agar seseorang dapat menjadi anggota Parpol. Akibatnya adalah proses kaderisasi menjadi premature. Proses kaderisasi yang ideal adalah bilamana pemuda diberikan wawasan politik, ditanamkan ideologi dan nasionalisme, dan dilatih untuk menyelesaikan masalah. Proses seperti ini tidak dapat dilakukan secara instan bila menginginkan hasil yang optimal. Fenomena rekrutmen selebriti merupakan produk budaya instan ini sebenarnya telah banyak dilakukan oleh beberapa parpol di Indonesia. Tokoh masyarakat/selebritis yang dianggap mempunyai daya tarik serta nilai jual, dicalonkan oleh parpol untuk bertarung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Terdapat tendensi bahwa parpol lebih memberikan prioritas pada aspek ketenaran dibandingkan kompetensi dan kapabilitas individu dalam bidang politik. Dari berbagai informasi yang didapat, diperoleh keterangan bahwa parpol mengutamakan aspek ketenaran karena individu tersebut diharapkan mampu menarik banyak suara dalam daerah pemilihan. Faktor pendidikan serta pengalaman di bidang politik merupakan prioritas selanjutnya. Parpol beranggapan bahwa pendidikan serta pengalaman politik dapat diberikan setelah tokoh masyarakat/selebritis tersebut mampu memenangi pemilu, baik tingkat eksekutif maupun legislatif. Parpol mempunyai kebijakan tersendiri yang berpihak pada tokoh masyarakat/artis yang mempunyai ketenaran. Kebijakan tersebut adalah tokoh masyarakat/Selebritis yang mempunyai ketenaran diberikan akses langsung agar dapat dicalonkan menjadi bakal calon dalam pemilu. Tokoh masyarakat tersebut tidak perlu melewati beberapa tahapan seperti XVII
layaknya kader lainnya. Tentu saja ketenaran bukanlah garansi individu tersebut mempunyai kapabilitas di bidang politik. Hal inilah yang menjadi indikasi kerusakan sistem kaderisasi beberapa parpol di Indonesia. Pada prinsipnya setiap warga negara berhak untuk mencalonkan dan atau dicalonkan untuk menjadi wakil rakyat. Selebritis/pesohor/tokoh
masyarakat adalah tergolong sebagai
warga negara. Alasan inilah yang menguatkan argumen bahwa sesungguhnya mencalonkan selebriti menjadi wakil partai dalam kancah pertarungan politik adalah suatu hal yang sah. Alasan ini pula yang memberikan dorongan bagi artis/pesohor/tokoh masyarakat untuk beralih profesi menjadi politikus. Peralihan profesi yang notabenenya berlangsung secara instan tersebutlah yang menjadi salah satu problematika politik kita. Dari fenomena tersebut pihak yang pantas dipersalahkan adalah Partai politik (Parpol). Dewasa ini parpol bertendensi mengalami stagnasi kaderisasi. Parpol dinilai lamban serta malas untuk melakukan proses kaderisasi berjenjang. Justifikasi ini tentu saja didasarkan pada fakta bahwa mesin Parpol seringkali tidak difungsikan saat periode pemilu masih lama. Padahal periode tersebut merupakan fase emas dalam menciptakan kader-kader berkualitas yang nantinya menjadi elit yang bersifat negarawan. Sementara
menjelang
selebriti/pesohor/tokoh
pemilu, masyarakat
Parpol untuk
justru
berlomba-lomba
meningkatkan
untuk
popularitas
mendapatkan sacara
instan.
selebriti/pesohor/tokoh masyarakat saat ini layaknya seorang pahlawan popularitas bagi sebagian Parpol. Salah satu parpol yang gemar menggunakan jasa pahlawan popularitas adalah Partai Amanat Nasional (PAN). Beberapa kader PAN merupakan selebritis yang memang namanya sudah terlanjur terkenal dalam masyarakat. Berdasar atas fakta tersebut masyarakat mengidentikkan PAN dengan sebutan Partai Artis Nasional. Nama-nama artis yang dikaitkan XVIII
dengan PAN adalah Desi Ratnasari, Hengky Kurniawan, Ikang Fauzi, Lucky Hamzah, Marissa Haque, Raffi Ahmad, Wanda Hamidah, Primus Yustisio, Eko Patrio, Derry Drajat, Adrian Maulana, H. Mandra Y. S, Tito Sumarsono, Henidar Amiru, Irene Librawati, Cahyono, Maylaffazza, Ita Mustofa, Mara Karma, Raslina Rasidin, Marini K.S, Poppy Maretha, Eka Sapta, Wulan Guritno.1 Dari sederet nama kader selebritis tersebut yang berhasil melenggang menjadi politisi senayan hanya Eko Patrio, Wanda hamidah, dan Primus Yustisio. Sementara Hengky Kurniawan, Ikang Fauzi, Marissa Haque, Dwiki, Delon mencoba peruntungannya dengan mendaftar sebagai caleg pada periode 2014 mendatang2. Sederet nama selebritis tersebut menjadi gambaran bagi dinamika Parpol saat ini yang cenderung menggunakan cara praktis. Kerusakan sistem dan mekanisme dalam tubuh PAN telah menjadikan PAN tidak dapat menghasilkan negarawan yang berintegritas tinggi. Presiden serta jajarannya diisi oleh produk hasil kerusakan system. Kompetensi, kualitas, serta kapabilitas produk hasil kerusakan system ini pun patut dipertanyakan. Kekayaan serta ketenaran menjadi katrol para elit politik untuk mendapatkan kekuasaan dan posisi strategis. Akibatnya adalah para elit politik ini memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Urgensi pelaksanaan restorasi sistem kaderisasi dalam sistem internal parpol dirasa perlu, hal ini disebabkan tendensi partai politik saat ini menerapkan budaya instan dalam kebijakan kaderisasi. Popularitas serta kekayaan menjadi faktor utama dalam proses pererkrutan seseorang untuk menjadi kader partai, atau dewasa ini seringkali disebut sebagai kader karbitan. Hanya bermodalkan popularitas tanpa menguasai pendidikan politik serta track record politik. Tentu saja kompetensi serta kapabilitas kader karbitan ini patut dipertanyakan. Lantas bagaimanakah
1 2
Diakses melalui http://yasiralkaf.wordpress.com/2009/05/17/komentar-atas-caleg-artis-dpr-ri-terpilih/). Diakses melalui www.kpu.go.id
XIX
pola kaderisasi ideal yang seharusnya dilaksanakan parpol untuk menghasilkan kader yang berkualitas jika melihat fenomena maraknya kaderisasi instan.
Perubahan
rezim
serta
penguasa tidak merubah Indonesia menjadi lebih baik apabila parpol belum bisa memperbaiki system internal partai. Urgensi restorasi sistem kaderisasi agaknya memang harus dilakukan. Solusi alternatif mutlak diperlukan demi mengembalikan iklim positif dalam dinamika politik Indonesia. Namun jika kondisi seperti ini tetap bertahan maka dikhawatirkan kehancuran Indonesia hanya menunggu waktu.
B.
RUMUSAN MASALAH : 1. Bagaimana proses mobilisasi selebriti dalam bursa pencalonan caleg yang menjadi indikasi stagnasi kaderisasi dalam tubuh PAN? 2. Bagaimana pola Habitus yang terbentuk dari sistem kaderisasi dalam tubuh PAN yang mempengaruhi pola rekruitmen serta kaderisasi partai? 3. Apa saja dampak mobilisasi politisi instan dalam sistem kaderisasi PAN?
C. TUJUAN PENELITIAN : 1. Mengetahui penyebab stagnasi pola kaderisasi dalam tubuh PAN. 2. Mengetahui pola rekutmen PAN dalam upaya menjaga eksistensi partai.
D. MANFAAT PENELITIAN : 1. Sebagai referensi bagi Parpol untuk mengetahui formulasi pola kaderisasi yang ideal dari pandangan kalangan akademisi.
XX
2. Sebagai salah satu bahan kajian bersama bagi pihak-pihak yang tertarik dengan dinamika Partai Politik.
E. KERANGKA KONSEPTUAL 1. Teori ( Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Konsep Habitus dari Pierre Bourdieu diidentikkan dengan mahzab strukturalisme. Hal ini merujuk pada pemikiran Bourdieu yang dianggap terlalu dipengaruhi oleh pemikiran Claude Levi-Strauss. Pemikiran Bourdieu yang dianggap terlalu strukturalis adalah ketika ia menganggap bahwa individu dipengaruhi oleh struktur/ sistem yang telah ada. Tetapi sebenarnya bourdieu pun terpengaruh oleh kalangan eksistensialisme dari Jean Paul Sarte. Keterpengaruhan tersebut dapat dilihat melalui pemikiran Bourdieu yang menyatakan bahwa individu pun dapat menciptakan suatu struktur. Ciri khas pemikiran Bourdieu sebagai tokoh postmodernisme adalah ketika bourdieu melihat kekurangan dari mahzab strukturalisme dan eksistensialisme yang kemudian ia menyempurnakan pemikiran tersebut. Bourdieu menganggap bahwa segala sesuatu tidaklah bersifat mutlak, di satu sisi memang habitus/ strukur mental dapat mempengaruhi individu ataupun realitas sosial namun disisi lain individulah yang menciptakan struktur mental tersebut. Bourdieu memposisikan individu sebagai mahkluk yang bebas nilai. Makhluk bebas nilai yang dimaksudkan adalah individu dapat memilih secara rasional ketika ia berada dalam habitus tertentu. Bourdieu mengkonsepsikan habitus sebagai struktur mental (kognitif) yang menjadi perantara antara individu dan realitas sosial. Struktur mental tersebut mempengaruhi individu dalam dunia sosial. Internalisasi struktur mental menggiring individu untuk melakukan persepsi, pemahaman, apresiasi, serta evaluasi terhadap dunia sosial. Skema tersebut membuat individu XXI
menghasilkan praktik mereka dalam kehidupan nyata. Habitus merupakan struktur subyektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam suatu jaringan struktur obyektif yang ada pada ruang sosial. Secara dialektis, habitus adalah produk dari internalisasi struktur dunia sosial ( Ritzer,2004:581) Habitus seringkali dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural. Ketidaksadaran-kultural yang dimaksud adalah pengaruh sejarah yang secara tidak sadar dianggap alamiah. . Habitus yang merupakan struktur mental diinternalisasikan oleh individu melalui proses sejarah dan kemudian individu tersebut secara tidak sadar mengeksternalisasi struktur mental tersebut kedalam suatu realitas sosial.
Skema seperti ini disebut oleh Bourdieu sebagai dialektika
internalisasi eksternalitas dan ekternalisasi internalitas. Skema ini menghasilkan praktik dalam realitas sosial. Melalui skema ini habitus menciptakan realitas sosial, namun di sisi lain habitus merupakan akibat dari praktik yang diciptakan oleh realitas sosial itu sendiri. Ranah atau Arena merupakan elemen penting dari Habitus. Ranah didefinisikan sebagai arena pertempuran yang dijadikan arena bagi para individu untuk melakukan hubungan yang bersifat relasional. Ranah selalu identik dengan relasi objektif kekuasaan yang terdapat diantara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi objektif yang terdapat diantara titiktitik simbolik. Oleh sebab itu, ranah merupakan arena kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga merupakan suatu ranah yang di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dipandang mentransformasikan atau mempertahankan ranah kekuatan. Posisi individu di ranah tersebut ditentukan oleh kualitas serta kuantitas modal yang mereka kuasai. Alur mekanisme perjuangan individu dalam ranah itu yang membuat Bourdieu seringkali menyebut ranah sebagai arena permainan.
XXII
Habitus dan ranah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh modal. Keterkaitan antara habitus , ranah, dan modal bersifat langsung. Mekanisme kerja habitus dan ranah digerakan oleh suatu kekuatan yang dikenal dengan istilah modal. Ranah dapat dipahami sebagai arena permainan habitus individu maupun kolektif dalam menentukan posisinya. Dalam menentukan posisi tersebut individu/kolektif memainkan logika modal untuk dapat bersaing dalam ranah. Jadi modal dapat dipahami sebagai logika yang mangatur perjuangan individu maupun kolektif. Menurut Bourdieu modal dibedakan menjadi empat kategorisasi. Keempat kategorisasi tersebut adalah modal sosial (popularitas, relasi) , modal Ekonomi (financial/material) , modal kultur (pendidikan,kebudayaa/kebiasaan), dan modal simbol (label). Nilai – nilai yang diberikan oleh berbagai modal tersebut dihubungkan dengan karakteristik sosial dan kultur habitus. Sementara ranah diisi oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material/ modal tersebut, modal pun dapat dipahami sebagai basis dominasi. Modal dapat dipahami sebagai basis dominasi karena modal dapat dipertukarkan. Beragam jenis modal dapat dipertukarkan dengan modal lainnya. Pertukaran modal ini bertujuan untuk mencapai tujuan individu/kolektif dalam ranah habitus. Individu maupun kolektif yang mempunyai modal kuat dipastikan menguasai dan atau memenangkan ranah habitus, sementara pihak yang tidak dapat bersaing dalam ranah habitus karena keterbatasan modal mengalami kekerasan simbolik. Hasil interaksi antara Habitus, modal, serta ranah menghasilkan praktik. Praktik dapat dikategorikan menjadi dua macam. Praktik dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Praktik yang bersifat positif tercipta atas hubungan linier antara nilai luhur yang ada dalam masyarakat dengan praktik tersebut, sementara praktik dikatakan negatif bilamana terdapat distorsi antara nilai luhur masyarakat dengan praktik tersebut. Praktik inilah yang dinilai, diapresiasi, serta dievaluasi oleh masyarakat. XXIII
Stagnasi kaderisasi dalam tubuh PAN Dewasa ini peran Partai Politik (Parpol) dalam mencetak negarawan semakin berkurang. Tendensi ini dipengaruhi oleh kebijakan parpol yang lebih menyukai jalan pintas untuk mendapatkan kader. Jalan pintas yang dimaksud adalah parpol menggunakan “jasa” para pesohor/artis/tokoh masyarakat yang mempunyai popularitas untuk dijadikan kader karbitan. Kader karbitan inilah yang nantinya justru didaulat oleh parpol untuk menjadi wakil parpol dalam pertarungan pemili legislatif. Fenomena artis atau tokoh masyarakat yang dipolitisasi oleh parpol merupakan refleksi stagnasi kaderisasi dalam tubuh Parpol. Permasalahan tidak terletak pada artis yang tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota dewan dan atau berbagai posisi strategis dalam panggung politik, Melainkan yang patut dipersalahkan adalah parpol yang menghilangkan proses kaderisasi. Imbasnya adalah individu yang dicalonkan oleh parpol saat ini seringkali merupakan individu yang kurang berkualitas. Kemudian kesejahteraan serta kemakmuran Negara yang dipertaruhkan. Masyarakat Indonesia sebenarnya telah mencapai titik klimaks dalam menanggapi fenomena ini, namun tetap saja Parpol masih malas untuk melaksanakan pola kaderisasi dan cenderung nyaman dengan kaderisasi berbasis instan. Gejala stagnasi kaderisasi dapat dilihat dari geliat Partai Amanat Nasional dalam mempersiapkan diri menjelang pemilu. Fenomena tersebut dapat dikaitkan dengan konsep Habitus dari Bourdieu. Menurut Bourdieu apabila Struktur mental yang menjadi perantara antara individu dengan realistas sosial telah dipengaruhi oleh modal maka menjadi suatu praktek berulang (hetero-doxa) dalam suatu ranah tertentu.
XXIV
Berikut merupakan skema pemikiran habitus Bourdieu bila dikaitkan dengan praktik stagnasi kaderisasi PAN : Bagan 1. Skema pemikiran Bourdieu dalam frame kasus rekrutmen selebriti PAN.
HABIT : Pola kebijakan Ketum PAN/ struktur mental yang terbangun dalam petinggi parpol
Orientasi PAN/tujuan S PAN
MODAL :
(x)
Selebriti :
Kader biasa:
1.modal sosial = +
1.modal sosial = -
2.modal Ekonomi = +
2.modal Ekonomi = -
3.modal budaya = -
3.modal budaya = +
4.modal simbol = +/-
4.modal simbol = +
PRAKTIK : Stagnasi Kaderisasi dalam tubuh PAN
Agensi habitus : Ketum PAN
Penelitian Skripsi
Pengurus DPP PAN selebriti/pesoho r/tokoh masyarakat kader PAN
XXV
(+)
RANAH : Partai Amanat Nasional (PAN)
Pertarungan modal antara selebriti vs kader pratama PAN
Dalam hal ini petinggi PAN telah mengalami disorientasi struktur mental karena perubahan budaya. Dahulu nilai luhur Parpol adalah menempatkan ideologi sebagai elemen penting bagi proses kaderisasi. Perwujudan dari nilai luhur ini adalah kaderisasi yang melalui proses yang panjang. Tiap kader secara massif diberikan penanaman, pelatihan, serta pengalaman berpolitik dengan berpatok pada nilai ideologis partai. Proses kaderisasi dengan melalui berbagai tahap disinyalir dapat menghasilkan individu yang berkompetensi serta berkualitas, namun proses panjang kaderisasi bergerak linier dengan biaya yang harus dikeluarkan Parpol. Fakta dilematis yang dihadapi PAN ini ternyata dibarengi dengan munculnya trend artis/pesohor/tokoh masyarakat yang menjelma menjadi kader karbitan. Berbagai manfaat tentu saja diperoleh oleh PAN dengan adanya kader karbitan. Dari gambaran fenomena diatas terlihat bahwa struktur mental yang mempengaruhi pimpinan PAN telah berubah. Struktur mental yang terkonstruksi dalam benak para pemimpin PAN saat ini adalah sesuatu yang instan dan menguntungkan Parpol. Struktur mental yang mempengaruhi kebijakan pimpinan PAN terkait dengan pola kaderisasi ini ditunjang pula oleh aspek modal. Terdapat empat kategorisasi modal menurut Pierre Bourdieu. Keempat modal tersebut adalah modal sosial, modal Ekonomi, modal kultur, serta modal simbol. Artis/pesohor/tokoh masyarakat didaulat menjadi kader karbitan serta dicalonkan menjadi anggota legislatif karena telah memenangkan pertarungan modal dengan kader biasa. Dalam diri seorang artis/pesohor/tokoh masyarakat setidaknya telah mengantongi modal sosial yaitu berupa popularitas mereka dalam masyarakat. Selain itu mereka pun lebih menguasai modal Ekonomi ketimbang kader biasa yang seringkali justru berasal dari masyarakat kalangan Ekonomi menengah. Peluang untuk bersaing dalam pertarungan modal bagi kader biasa adalah pada modal kultur serta simbol/labeling. Kader biasa mempenyai pendidikan serta XXVI
pengalaman politik yang lebih unggul dibandingkan dengan kader karbitan, namun ironisnya justru Parpol cenderung untuk lebih mengutamakan aspek modal sosial serta modal Ekonomi untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Ranah yang dijadikan sebagai arena pertempuran para kader adalah Partai Amanat Nasional yang dalam hal ini merupakan lembaga politik. Partai merupakan media bagi individu untuk menempati jabatan politis dalam struktur kenegaraan. Melalui Parpol inilah individu dapat dicalonkan menjadi calon anggota legislatif. Terdapat proses seleksi yang dilakukan Parpol untuk menentukan wakil Parpol tersebut. Proses seleksi dalam tubuh Parpol ini yang dianalogikan Bourdieu sebagai arena ajang pertarungan individu untuk mencapai tujuan. Praktik yang dihasilkan atas hubungan antara habitus (struktur mental) , modal, serta ranah tersebut adalah sosok Artis/pesohor/tokoh masyarakat yang seringkali dicalonkan menjadi Caleg. Fakta ini menegaskan kepada kita bahwa terdapat kerusakan pola kaderisasi dari PAN. PAN dinilai malas untuk melakukan semacam pola kaderisasi secara bertahap. Pola pikir instan dan menguntungkan namun menggugurkan nilai kualitas kader inilah yang justru menjadi trend habitus saat ini. Habitus inilah yang disinyalir menjadi penyebab stagnasi kaderisasi dalam tubuh PAN. Dibutuhkan semacam formulasi bagi PAN untuk merestorasi kembali Habitus yang telah ada saat ini.
XXVII
2. Teori rekrutmen politik. Rekrutmen politik merupakan bagian dari aktivitas politik yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan partai politik. Fungsi rekrutmen dalam partai politik terbilang sangat sakral, karena bisa dikatakan bahwa rekrutmen dijadikan sebagai pintu masuk untuk berkiprah dalam dunia politik melalui jalur parpol. Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa parpol berfungsi untuk mencari dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik3. Proses rekruitmen politik dapat dilakukan dengan 2 sistem ; sistem terbuka dan tertutup. Rekruitmen yang dilakukan secara terbuka dimana seluruh warga Negara tanpa kecuali mempunyai kesempatan yang sama untuk direkrut bila yang bersangkutan dianggap memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sebaliknya sistem rekruitmen yang bersifat tertutp merupakan proses rekruitmen yang berlaku untuk kalangan terbatas, hanya individu-individu tertentu saja yang dapat menempati sebuah jabatan pemerintahan. Dalam rekruitmen yang bersifat tertutup hanya individu-individu yang dekat dengan penguasa atau pimpinan politik saja yang mempunyai kesempatan untuk masuk dalam parpol atau menduduki jabatan politik. kedekatan itu bisa berdasarkan hubungan darah, persamaan daerah, golongan etnis, persahabatan, almamater. Menurut Rush dan Althoff, sistem rekruitmen politik berlangsung dalam beberapa metode. Pertama sistem rotasi. Metode ini digunakan untuk menghindari adanya dominasi kelompok dalam pengisian jabatan-jabatan publik. Kedua, perebutan kekuasaan dengan cara melakukan kekerasan. Terjadinya perubahan kekuasaan memberikan ruang bagi berlangsungnya proses rekruitmen politik untuk mengsisi atau menempati struktur kekuasaan politik yang baru. Ketiga, model patronase politik. proses rekruitmen seperti ini didasari adanya relasi patron-client antara elit yang memegang kekuasaan dengan struktur dibawahnya. Rekruitmen patronase ini dilakukan 3
.Miriam Budiarjo, dsar2 ilmu politik, Jakarta;gramedia,200, hal 164
XXVIII
untuk memperoleh dan mempertahankan pengawasan politik, serta menjamin kelangsungan kepentingan politik. Keempat adalah jalan koopsi (pemilihan anggota baru). Koopsi itu meliputi pemilihan seseorang ke dalam suatu badan oleh anggota-anggota yang ada baik untuk melakukan pergantian maupun untuk memperbesar kenggotaannya. Koopsi yang lebih luas berlangsung melalui mekanisme pemilihan yang melibatkan publik seperti halnya dalam pemilu. 4 Sementara menurut Duverger keanggotaan parpol dikategorikan menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Keanggotaan langsung diperoleh oleh seseorang dengan mendaftar diri secara langsung sebagai anggota partai tertentu, sedangkan keanggotaan tidak langsung diperoleh seseorang sebagai konsekuensi keanggotaannya di organisasi lain, seperti serikat buruh, organisasi perempuan, organisasi kepemudaan, dan lainnya yang menjadi organisasi sayap (underbouw) partai. Anggota berasal dari dua jenis keanggotaan berbeda ini tentu membutuhkan treatment kaderisasi yang berbeda.5 Teori rekruitmen politik Michael Rush dan Phillip Althoff digunakan untuk menjelaskan mengenai model rekruitmen politik yang dilakukan oleh PAN. Dalam hal ini proses yang dilakukan oleh PAN lebih tepat disebut sebagai kombinasi antara model rekrutmen terbuka serta proses rekrutmen yang bersifat tertutup. Meski PAN berusaha merekrut caleg dari kalangan selebriti namun tidak mengabaikan peluang para kadernya yang senior. Bila mengacu pada model keanggotaan sebagaimana yang disebut oleh Duverger maka keangotaan PAN bersifat langsung. Mereka yang disebut sebagai anggota partai adalah mereka
4
Rush, Michael & Phillip Althoff, “Pengantar Sosiologi Politik”, Jakarta:RajaGrafindo,2003, hal 185-189
5
Kenneth janda. “comparative political parties: research and theory” in A.W Finiter (ed.), political science: the sate of discipline II, Washington DC, America political sciences association, 1993, hal 172.
XXIX
yang secara langsung mendaftarkan diri dan memiliki kartu tanda anggota PAN, sedangkan mereka yang tidak tercatat disebut sebagai simpatisan. Berkaitan dengan metode yang digunakan, fenomena masuknya para artis sebagai calon anggota legislatif dalam pemilu 2009 menunjukan masih adanya unsur patronase dalam proses rekrutmen dalam tubuh PAN. Pola patron client tersebut ditandai dengan kuatnya peran elit terutama sang ketua umum dalam proses rekrutmen sehingga terkesan mengabaikan prosedur dan mekanisme yang ada yang berakibat menggusur peluang para kadernya. F. METODE PENELITIAN. 1. Jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode fenomenologis. Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lain. Penelitian kualitatif dapat mengungkapkan secara hidup kaitan antara berbagai gejala sosial (Singarimbun, Masri ; 1989), penelitian kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang hanya sedikit diketahui (Stauss, Anselm; 2003). Dalam metode fenomenologi, penelitian dilakukan dengan mencari fakta dari sudut pandang pelaku, karena fenomenologi mempunyai pandangan subyektif terhadap dunia sosial. Pendekatan dengan metode fenomenologi ini dirasa cocok dalam penelitian ini karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada tingkat mikrososiologik yaitu dalam hubungan interpersonal antar pelaku-pelakunya. Penelitian
kualitatif dengan metode
fenomenologi yang interpretatif ini menghasilkan penelitian yang menyeluruh dan lengkap serta konstektual dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi di lapangan sampai berakhirnya penelitian.
XXX
2. Teknik pengumpulan data. 1. Obeservasi. Observasi
merupakan
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
peneliti
dalam
rangka
memperhatikan setiap sisi dari objek penelitian. Dalam kegiatan tersebut peneliti dituntut untuk mempunyai sensitifitas dengan menggunakan segala kemampuan serta panca inderanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bungin yang menyatakan bahwa observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit (Bungin, 2007: 115). Metode pengumpulan data melalui observasi dimaknai sebagai teknik pengumpulan data dengan cara mencatat setiap informasi yang ada dalam lapangan. Proses pengamatan tersebut harus dilandasi dengan fakta yang terjadi dan harus ditulis secara objektif. Melalui observasi ini pun peneliti dapat belajar tentang perilaku serta makna perilaku. Hal ini diungkapkan oleh Marshall (Sugiyono 2011:310) “through observation, the researcher learn about behavior and the meaning attached to those behavior”.
Tahap observasi dalam penelitian ini merupakan tahap awal yang dilakukan oleh peneliti. Peneliti mengamati aktivitas politik dalam Parta Amanat Nasional (PAN). Pengamatan ini mencakup permasalahan rekrutmen politik PAN yang menggunakan kalangan populis guna memenangkan pemilu. Setelah memahami tentang permasalahan serta fakta yang ada dalam lapangan, selanjutnya peneliti mensinergikan serta mengaktualisasi permasalahan yang ada dalam lapangan dengan rumusan masalah dalam penelitian. Setelah mengetahui benang merah penelitian maka peneliti menentukan informan-informan yang dianggap sesuai dengan penelitian tersebut. Informan yang dipilih peneliti adalah: kader PAN yang telah lama menjadi anggota
XXXI
partai, caleg PAN dari kalangan selebriti, pengurus partai bidang kaderisasi, serta pengurus salah satu organisasi sayap PAN yang membidani bidang penjaringan pemuda dan selebriti. Penelitian dilakukan di dua kota, yaitu Yogyakarta dan Jakarta. Yogyakarta dipilih karena merupakan kota yang secara struktural dan kulutral sangat erat kaitannya dengan PAN. Beberapa pengurus PAN di Yogyakarta pun telah banyak mengetahui tentang dinamika internal partai. Lokasi penelitian di kota Yogyakarta lebih difokuskan melakukan indepth interview di kantor DPW PAN, hal ini memudahkan peneliti untuk lebih banyak mendapatkan informasi dari sekretarian PAN yang memang sehari-hari berada di kantor DPW. Sementara,Jakarta dipilih karena memang letak DPP PAN berlokasi di Jakarta, keberadaan orang-orang penting partai tentu saja berada di Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Di Jakarta peneliti bertemu dengan salah satu informan, yaitu Eko Patrio di gedung pertemuan studio 21 Jakarta, selain bertemu Eko peneliti memusatkan diri bertemu dengan informan di kantor DPP PAN serta sekretarian Garda Muda Nasional (GMN). Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu 3 bulan, yaitu dalam periode Mei, Juni, Juli sehingga data yang didapatkan merupakan data yang valid serta dapat dipertanggung jawabkan.
2.
Wawancara Tahapan wawancara dilakukan setelah peneliti melakukan observasi serta penentuan
informan-informan. Wawancara merupakan proses pengumpulan data informasi dengan cara menanyakan langsung kepada informan yang berkompeten. Teknik wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara tidak berstruktur. Wawancara tidak berstruktur adalah wawancara bebas yang tidak terikat pada pertanyaan-pertanyaan paten. Peneliti tidak menggunakan XXXII
pedoman wawancara yang berisi pertanyaan yang diajukan secara spesifik dan hanya memuat poin-poin penting terkait dengan masalah yang dikaji dari responden (Sugiyono,2011:320). Wawancara tidak berstruktur digunakan untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam dari informan. Objek yang diteliti dieksplorasi secara lebih lanjut dengan cara tatap muka dan memberikan pertanyaan-pertanyaan kunci kepada informan. Melalui teknik wawancara tidak berstruktur ini diharapkan peneliti mendapatkan informasi secara lebih mendalam. Hal ini disebabkan karena dalam wawancara tidak berstruktur, peneliti lebih banyak mendengarkan penjabaran jawaban dari informan. Sehingga dari penjabaran jawaban itulah peneliti dapat mengeksplorasi pertanyaan yang lebih mendalam. Peneliti melakukan observasi partisipatoris dengan menjadi anggota salah satu organisasi sayap PAN dalam upaya untuk mendapatkan informasi serta mempermudah wawancara. Wawancara dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan tatap muka langsung serta dengan bertukar informasi melalui media email. Media email digunakan karena untuk mensiasati kesibukan informan yang memang tidak memungkinkan untuk selalu bertemu langsung dengan peneliti. 3.
Lokasi penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Jakarta dan Yogyakarta, di Jakarta tepatnya adalah
di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan di sekretariat Garda Muda Nasional . Lokasi kota dipilih karena Jakarta dianggap sebagai daerah pusat pemerintahan dan merupakan salah satu daerah yang banyak mencalonkan artis/pesohor/tokoh masyarakat sebagai wakil Parpol. Sehingga persaingan kader parpol lebih terlihat bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang masih mengandalkan kader hasil kaderisasi. sedangkan, di Yogyakarta penelitian dilakukan di kantor Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) PAN Yogyakarta. XXXIII
Pemilihan Parpol yang diteliti oleh peneliti didasari oleh fakta bahwa PAN dianggap sebagai Partai yang rajin untuk menggunakan jasa artis/pesohor/tokoh masyarakat dalam dinamika politik. Hal ini dikuatkan dengan julukan (labeling) masyarakat terhadap kepanjangan dari “PAN” yang dipelesetkan menjadi Partai Artis Nasional. Peneliti mencoba menggali informasi serta berusaha memotret fenomena kaderisasi serta melengkapi dengan analisis komperhensif dalam tubuh Partai Amanat Nasional (PAN).
4. Informan Informan adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan. Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Pemilihan informan secara purposive adalah memilih informan dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Menurut Lincoln dan Guba (Sugiyono, 2011: 301) ciriciri khusus memilih informan secara purposif adalah menggelinding seperti bola salju, disesuaikan dengan kebutuhan, dan dipilih sampai jenuh. Dalam observasi/pengamatan, peneliti diharuskan memberikan kategorisasi bagi informan yang diwawancarai yang didasari oleh tujuan penelitian. Informan yang memenuhi syarat serta mengerti dan memahami garis besar penelitian dipilih oleh peneliti. Dalam penelitian ini pun peneliti menggunakan teknik snowball sampling untuk melengkapi teknik purposive sampling. Teknik snowball sampling adalah cara memilih informan melalui informasi yang diberikan oleh informan sebelumnya. Tentu saja pemilihan informan melalui referensi informan sebelumnya pun dipilih dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. XXXIV
Informan dalam penelitian ini adalah para aktor yang berada dalam ranah Partai Amanat Nasional (PAN). Informan yang dipilih dalam penelitian ini didasari oleh kriteria tertentu, antara lain : 1. Petinggi PAN yang memiliki jabatan strategis dalam Partai. Petinggi Parpol dinilai sebagai orang yang mempunyai pengetahuan tentang segala hal yang berkaitan dengan PAN. Jabatan strategis dalam hal ini adalah petinggi parpol yang menempati posisi sebagai ketua bidang kaderisasi. 2. Kader PAN. Kader PAN dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, adalah kader yang merupakan produk asli hasil binaan Partai. Kedua, adalah kader karbitan yang dalam hal ini adalah artis/pesohor/tokoh masyarakat. Pembedaan ini didasari oleh beberapa indikator yang telah dibuat oleh peneliti. Indikator tersebut adalah kader yang diwawancarai adalah harus merupakan kader uang telah lama berada di PAN sehingga informasi yang didapatkan dapat lebih presisi dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Uraian mengenai informan yang dipilih oleh peneliti selanjutnya akan dijelaskan dalam BAB II pada pembahasan selanjutnya.
5. Jenis dan sumber data. Data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Sumber data primer merupakan data yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan pleh peneliti dari sumber utama. Sumber data primer didapatkan melalui hasil observasi dan wawancara mendalam dengan informan yang dianggap memiliki wawasan tentang PAN. XXXV
Informan dalam penelitian ini terdiri dari kader PAN, Caleg PAN dari kalangan selebriti, tim sekretariat DPW PAN, dewan formatur salah satu ortom PAN, serta staff bidang kaderisasi DPP PAN. Sementara data sekunder adalah sumber data pelengkap yang berfungsi melengkapi data yang diperlukan oleh data primer. Sumber data sekunder didapatkan melalui literatur, dokumen, serta media massa baik cetak maupun elektronik yang dianggap relevan dengan penelitian.
XXXVI