BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan mengenai daya saing ekspor komoditas kopi di Indonesia dan faktor-faktor pendorong dan penghambatnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu 1. Berdasarkan
:
hasil perhitungan nilai
Revealed Comparative Advantage
(RCA), nilai RCA komoditas kopi Indonesia memiliki nilai lebih dari satu dengan HS Code 090111, yaitu kopi yang tidak dipanggang dan tidak dihilangkan kafeinnya. Sedangkan nilai RCA komoditas kopi pada HS code 090121, yaitu kopi yang dipanggang dan tidak dihilangkan kafeinnya, nilainya tidak lebih dari satu. Nilai RCA yang lebih dari satu menandakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas kopi dan mempunyai daya saing yang kuat. Apabila nilai RCA kurang dari satu maka artinya Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif atau komoditas kopi tersebut daya saingnya lemah. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan komoditas kopi yang tidak dipanggang dan tidak dihilangkan kafeinnya, yaitu kopi dengan HS Code 090111. Sedangkan Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif pada komoditas kopi yang dipanggang dan tidak dihilangkan kafeinnya (HS Code 090121). Meskipun demikian, nilai RCA Indonesia masih berada satu tingkat dibawah Vietnam. Indonesia menempati urutan RCA terbesar setelah Vietnam, kemudian Thailand pada urutan ketiga, dan Philipina berada di urutan terakhir. 2.
Faktor-faktor pendorong daya saing komoditas kopi Indonesia antara lain, yang pertama faktor sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya. Kopi yang dihasilkan oleh Indonesia memiliki cita rasa yang khas dan berbedabeda di tiap daerah sehingga Indonesia disebut sebagai negara penghasil kopi spesialti terbanyak di dunia (AEKI,2014). Faktor yang kedua adalah faktor permintaan dimana jumlah konsumsi kopi dunia sangat besar yaitu mencapai 8.989.380 ton pada tahun 2014 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per
75
76
tahun sebesar 2,4%. Ketiga, faktor peluang pasar. Ada peluang yang cukup besar dari pasar negara-negara berkembang dimana pasar negara-negara berkembang tersebut
mengalami pertumbuhan yang cukup besar dalam
konsumsi kopi dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 4,7%. Faktor yang keempat yaitu mutu komoditas kopi Indonesia yang dinilai sangat baik dan sangat diminati oleh banyak konsumen di luar negeri. Yang kelima, faktor promosi dimana intensitas promosi yang dilakukan oleh pemerintah mempengaruhi jumlah permintaan ekspor kopi. Promosi melalui pameran
perdagangan
dianggap
sebagai
sarana
efektif
untuk
memperkenalkan kopi Indonesia ke konsumen luar negeri karena baik penjual dan pembeli dapat langsung berinteraksi dan konsumen bisa mencoba kopi secara langsung. Faktor pendorong yang terakhir adalah faktor life style dimana perubahan pola konsumsi kopi yang semula adalah kebutuhan dan untuk kalangan tertentu saja, kini menjadi life style bagi banyak orang.. Faktor industri pendukung, faktor strategi, struktur, dan persaingan, faktor biaya produksi dan penentuan harga jual, faktor ketepatan waktu penyerahan, faktor penentuan saluran pemasaran, faktor penentuan saluran pemasaran, layanan setelah pemasaran, merupakan faktor-faktor yang juga mendorong daya saing ekspor komoditas kopi Indonesia, namun tidak tidak dominan atau pengaruhnya tidak terlalu besar. Selain itu, berdasarkan Porter’s Five Forces Model , Indonesia memiliki keunggulan dalam daya tawar-menawar penjual yang tinggi, hambatan masuknya pesaing baru yang cukup sulit, dan tingkat kekuatan produk substitusi kopi yang rendah. 3. Faktor-faktor penghambat daya saing kopi indonesia antara lain: yang pertama, faktor sumber daya manusia dalam hal ini petani kopi Indonesia yang masih kurang kompetitif bila dibandingkan dengan petani kopi di Vietnam. Hal ini disebabkan karena pengetahuan petani dalam mengelola perkebunan dan mengolah kopi yang masih terbatas. Yang kedua, adalah total produktivitas komoditas Indonesia yang masih rendah dan
tidak
seimbang dengan luas lahan perkebunan yang dimiliki Indonesia. Yang ketiga, lahan perkebunan Indonesia, yang walaupun luas, namun kepemilikan lahan perkebunan per kepala keluarga tidak lebih dari dua hektar membuat perkebunan kopi Indonesia menjadi tidak efisien bagi bisnis. Faktor
77
yang keempat adalah sarana infrastruktur yang dinilai kurang memadai. Faktor kelima yaitu keterbatasan IPTEK yang ada, dimana teknologi yang dipakai masih merupakan teknologi sederhana. Yang keenam adalah besarnya modal yang diperlukan untuk bisnis kopi serta keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani kopi dalam mengelola dan mengolah kopinya juga alokasi dana dari pemerintah yang dirasa masih kurang. Yang ketujuh, yaitu faktor birokrasi. Dimana kemudahan birokrasi untuk melakukan ekspor belum merata dirasakan oleh semua eksportir. Masih ada eksportir yang merasa birokrasi yang ada berbelit-belit dan mahal. Faktor penghambat kedelapan adalah faktor sosial beberapa petani kopi di beberapa daerah yang masih sangat tradisional dan fokus pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek. Faktor yang kesembilan adalah faktor usaha tani dimana perlunya perawatan dan peremajaan terhadap tanaman kopi demi
meningkatkan
produktivitas kopi. Dan faktor yang terakhir adalah faktor biaya produksi yang tinggi serta penentuan harga kopi yang berfluktuatif.
1.2 Saran Berdasarkan penelitian dan kesimpulan tersebut, maka peneliti mencoba memberikan saran : 1. Perlu adanya peningkatan kualitas dan produktivitas kopi Indonesia. Para petani diharapkan untuk melakukan pengelolaan dan pengolahan kopi yang lebih baik agar kualitas kopi dapat ditingkatkan dan dapat lebih bersaing di pasar luar negeri. Para petani juga diharapkan dapat melakukan peremajaan terhadap tanaman kopi yang sudah tua agar dapat meningkatkan
produktivitas
kopi.
Jika
dapat
memaksimalkan
produktivitas, maka diperkirakan Indonesia bisa menggeser posisi Vietnam, bahkan Brazil. Hal ini hampir sama dengan saran yang dikemukakan oleh Meidiana Purnamasari, dkk (2014) bahwa Indonesia hendaknya dapat meningkatkan kualitas dan produktifitas kopi yang ada karena sebenarnya Indonesia memiliki lahan yang cukup namun tingkat produksinya masih rendah. Selain itu, sebaiknya ekspor kopi Indonesia tidak hanya dominan pada biji kopi saja namun juga harus memperbanyak
78 ekspor kopi olahan agar dapat memiliki nilai tambah. Pemerintah perlu membuat Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk ekspor komoditas kopi Indonesia yang sesuai dengan standar internasional. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ariel Hidayat dan Soetriono (2010), dimana dengan standarisasi yang berlaku secara internasional dapat meningkatkan harga jual kopi Indonesia. 2. Pemerintah juga perlu memberikan pengetahuan dan pelatihan kepada petani kopi agar mampu mengelola dan mengolah kopi menjadi lebih baik. Pemerintah dapat melakukan kerjasama yang lebih intens dengan lembaga-lembaga pendukung komoditas kopi, misalnya dengan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia, Pusat Pelatihan Kopi dan Kakao Indonesia, seperti saran yang dikemukakan oleh Ariel Hidayat dan Soetriono (2010). Selain itu perlu juga menyediakan teknologi yang dapat mendukung budidaya kopi serta pemberian fasilitas infrastruktur yang lebih memadai, khususnya perbaikan jalan akses masuk perkebunan kopi arabika. 3. Melihat bahwa intensitas promosi dapat mendukung ekspor
kopi
Indonesia, maka sebaiknya Ditjen PEN semakin meningkatkan intensitas promosinya,
terutama
dengan
mengadakan
pameran-pameran
perdagangan, baik di Indonesia maupun mengikuti pameran perdagangan di luar negeri, terutama di negara-negara emerging market. Pengadaan pameran ini dapat bekerjasama dengan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI). 4. Pemerintah juga perlu memperhatikan birokrasi dalam mengurus dokumentasi dan izin ekspor dan berupaya untuk mengurangi biaya dokumentasi ekspor agar kiranya kemudahan melakukan ekspor dapat dirasakan oleh semua eksportir maupun calon eksportir. 5. Sebaiknya para eksportir langsung membeli kopi dari petani sehingga dapat membantu meningkatkan ekonomi para petani kopi Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah perlu memudahkan akses untuk mempertemukan petani kopi dengan para eksportir. Misalnya pemerintah daerah setempat mendata profil petani kopi serta tanaman kopinya, lalu data tersebut dimasukkan dalam majalah khusus kopi dan website
79 pemerintah, misalnya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian dimana majalah khusus kopi dan info tentang petani kopi serta tanaman kopinya dapat memudahkan para eksportir dalam memilih produsen kopinya serta berhubungan dengan mereka. Dalam hal ini pemerintah bisa bekerja sama dengan AEKI. 6. Melihat adanya peluang ekspor kopi dalam pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN dimana tidak ada lagi hambatan perdagangan tariff maupun non tarif, maka para eksportir kopi Indonesia bisa membidik negara-negara importir kopi potensial di ASEAN, yaitu Singapore, Malaysia, Philipina, Thailand untuk menjual produk kopinya. Selain itu, peluang untuk membuka bisnis café untuk minum kopi juga bisa dipertimbangkan apalagi dengan melihat life style yang ada. 7. Melihat bahwa sebagian besar lahan perkebunan kopi adalah milik rakyat, dan peran kontrol pemerintah tidak terlalu besar dalam perkebunan kopi rakyat, maka sebaiknya pemerintah serta lembaga-lembaga pendukung industri kopi lebih melakukan pendekatan kepada para petani kopi agar pelatihan serta saran-saran yang diberikan terkait budidaya tanaman kopi agar lebih berkualitas dapat benar-benar dijalankan dengan baik oleh petani kopi.
80