Bab 3 Analisis Data
Penulis telah menyebarkan angket yang berisi 10 pertanyaan seputar aborsi kepada orang Jepang sebanyak 50 orang responden. Dari hasil angket tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut : 3.1 Analisis Prosentase Jawaban Responden Dari angket yang telah disebarkan kepada 50 responden , diperoleh hasil sebagai berikut : Dari soal no 1 : 1。妊娠中絶を知っていますか。 A。 はい、知っています。
B。 いいえ、知りません。
Terjemahan : 1. Apakah kamu tahu apa itu aborsi ? A. Tahu
B. Tidak tahu
Diperoleh hasil sebagai berikut : Grafik 3.1 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 1 dalam Angket
19
Dari grafik di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 100 % ( 50 orang ) menjawab A. はい、知っています( tahu ), dan untuk pilihan B. いいえ、知りません ( tidak tahu ), sebanyak 0 % ( tidak ada yang memilih ). Dari soal no. 2 : 2。あなたにとって、妊娠中絶とは何ですか。 A。わざと妊娠した子供をなくすこと。 B。わざとではなく、妊娠した子供をなくすこと。 Terjemahan : 2. Menurut kamu, apa itu aborsi? A. Penghentian kehamilan yang disengaja. B. Penghentian kehamilan yang tidak disengaja. Diperoleh hasil sebagai berikut :
20
Grafik 3.2 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 2 dalam Angket
Dari grafik di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 90% ( 45 orang ) menjawab A. わ ざ と 妊 娠 し た 子 供 を な く す こ と ( Penghentian kehamilan yang disengaja ), dan 10% ( 5 orang ) menjawab B. わざとではなく、妊娠した子供をなく すこと( Penghentian kehamilan yang disengaja ). Dari soal no. 3 : 3。望まずに妊娠したら、妊娠中絶は解決の方法の一つだと思いますか。 A。はい
: 1。恥ずかしい思いをしないように。 2。日本の法律で認められているから。
B。 いいえ
: 1。赤ちゃんに罪はないから。 2。日本の法律で認められていないから。
21
Terjemahan : 3. Aborsi merupakan salah satu jalan keluar jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. A. Setuju karena
: 1. Supaya tidak malu. 2. Sesuai dengan UU di Jepang.
B. Tidak setuju karena : 1. Bayi tersebut tidak bersalah. 2. Aborsi merupakan tindak kriminal. Diperoleh hasil sebagai berikut : Grafik 3.3 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 3 dalam Angket
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa 76 % menjawab A. はい ( setuju ) dan 24 % menjawab B. いいえ ( tidak setuju ). Dari jawaban tersebut, dibagi menjadi masing – masing 2 pilihan jawaban. Untuk jawaban A. はい ( setuju ), dibagi menjadi 恥ずかし い思いをしないように ( supaya tidak malu ), dan 日本の法律で認められているか ら( sesuai dengan UU di Jepang ). Untuk jawaban B. いいえ ( tidak setuju ), dibagi
22
menjadi 赤ちゃんに罪はないから( bayi tersebut tidak bersalah ), dan 日本の法律で 認められていないから ( aborsi merupakan tindak kriminal ). Diperoleh data sebagai berikut : Tabel 3.1 Tabel Rincian Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 3 dalam Angket
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 60% ( 30 orang ) menjawab A.1. はい, 恥ずかしい思いをしないように ( setuju, supaya tidak malu ), 16% ( 8 orang ) menjawab A.2. はい, 日本の法律で認められているから( setuju, sesuai dengan UU di Jepang, 24% ( 12 orang ) menjawab B.1. いいえ, 赤ちゃんに 罪 はないから( tidak setuju, bayi tersebut tidak bersalah ), dan untuk pilihan B.2. いいえ, 日本の法律で認められていないから( tidak setuju, aborsi merupakan tindak kriminal, sebanyak 0% ( tidak ada yang memilih ) maka tidak muncul di dalam grafik. Dari soal no. 4 : 4。あなたは、妊娠中絶と日本の現代化は関連があると思いますか。 A。はい
: 1。現代化にとって妊娠中絶するための技術も進歩したから 2。現代化にともなって、妊娠中絶が安全になったから。
B。いいえ
: 1。妊娠中絶と現代化は関係がない。
23
2。妊娠中絶は個人的な問題である。 Terjemahan : 4. Menurut kamu, apakah aborsi berkaitan dengan modernisasi di Jepang? A. Berkaitan karena
: 1. Semakin modern, maka alat-alat untuk menunjang aborsi semakin canggih. 2. Dengan adanya modernisasi, maka aborsi menjadi lebih aman.
B. Tidak berkaitan karena : 1. Tidak ada hubungannya antara aborsi dengan modernisasi. 2. Aborsi berkaitan dengan individu yang melakukannya, bukan dengan modenisasi.
Diperoleh hasil sebagai berikut : Grafik 3.4 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 4 dalam Angket
24
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa 20 % menjawab A. はい ( berkaitan ) dan 80 % menjawab B. いいえ ( tidak berkaitan ). Dari jawaban tersebut, dibagi menjadi masing – masing 2 pilihan jawaban. Untuk jawaban A. はい ( berkaitan ), dibagi menjadi 現 代 化 に と っ て 妊 娠 中 絶 す る た め の 技 術 も 進 歩 し た か ら ( semakin modern, maka alat-alat untuk menunjang aborsi semakin canggih ), dan 現代化にとも なって、妊娠中絶が安全になったから( dengan adanya modernisasi, maka aborsi menjadi lebih aman ). Untuk jawaban B. いいえ ( tidak berkaitan ), dibagi menjadi 妊娠 中 絶 と 現 代 化 は 関 係 が な い ( tidak ada hubungannya antara aborsi dengan modernisasi ), dan 妊娠中絶は個人的な問題である( aborsi berkaitan dengan individu yang melakukannya, bukan dengan modenisasi ). Diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 3.2 Tabel Rincian Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 4 dalam Angket
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 20% ( 10 orang ) menjawab A.1. はい, 現代化にとって妊娠中絶するための技術も進歩したから ( berkaitan, semakin modern, maka alat – alat untuk menunjang aborsi semakin
25
canggih ). Untuk pilihan A.2. はい, 現代化にともなって、妊娠中絶が安全になった か ら ( berkaitan, dengan adanya modernisasi, maka aborsi menjadi lebih aman ), sebanyak 0% ( tidak ada yang memilih ) maka tidak muncul di dalam grafik. 56% ( 28 orang ) menjawab B.1. いいえ, 妊娠中絶と現代化は関係がない( tidak berkaitan, tidak ada hubungannya antara aborsi dengan modernisasi ). 24% ( 12 orang ) menjawab B.2. いいえ, 妊娠中絶は個人的な問題である( tidak berkaitan, aborsi berkaitan dengan individu yang melakukannya, bukan dengan modernisasi ). Dari soal no. 5 : 5。あなたは妊娠中絶をするにはどんなものがあると思いますか。 A。恥ずかしい思いをしないように。 B。親と恋人に言われたから。 C。健康のため。 Terjemahan : 5. Menurut kamu, apa penyebab utama seseorang melakukan aborsi ? A. Karena malu B. Desakan orang lain ( keluarga / pacar ) C. Alasan medis Diperoleh hasil sebagai berikut :
26
Grafik 3.5 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 5 dalam Angket
Dari grafik di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 46 % ( 23 orang ) menjawab A. 恥ずかしい思いをしないように( karena malu ). 16 % ( 8 orang ) menjawab B. 親と恋人に言われたから( desakan orang lain ), dan 38 % ( 19 orang ) menjawab C. 健康のため( alasan medis ). Dari soal no. 6 : 6。妊娠中絶は若者にとって安全な方法である。 A。はい
: 1。道具は近代的だから、安全である。 2。妊娠中絶の専門の医者がたくさんいるから。
B。いいえ
: 1。妊娠中絶は危ないし、死んでしまう可能性もあるから。 2。若者は妊娠中絶のできる体になっていないから。
Terjemahan : 6. Aborsi tidak berbahaya walaupun dilakukan oleh para remaja. A. Setuju, karena
: 1. Alat-alat sudah canggih, jadi tidak berbahaya.
27
2. Banyak dokter ahli yang bisa melakukan aborsi. B. Tidak setuju, karena : 1. Aborsi berbahaya, dapat mengakibatkan kematian. 2. Remaja sangat rentan terhadap aborsi. Diperoleh hasil sebagai berikut : Grafik 3.6 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 6 dalam Angket
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa 20 % menjawab A. はい ( setuju ) dan 80 % menjawab B. いいえ ( tidak setuju ). Dari jawaban tersebut, dibagi menjadi masing – masing 2 pilihan jawaban. Untuk jawaban A. はい ( setuju ), dibagi menjadi 道具は近 代的だから、安全である( alat-alat sudah canggih, jadi tidak berbahaya ), dan 妊娠中 絶の専門の医者がたくさんいるから( banyak dokter ahli yang bisa melakukan aborsi . Untuk jawaban B. いいえ ( tidak setuju ), dibagi menjadi 妊娠中絶は危ないし、 死んでしまう可能性もあるから( aborsi berbahaya, dapat mengakibatkan kematian ), dan 若者は妊娠中絶のできる体になっていないから( remaja sangat rentan terhadap aborsi ). Diperoleh data sebagai berikut :
28
Tabel 3.3 Tabel Rincian Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 6 dalam Angket
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 16 % ( 8 orang ) menjawab A.1. はい, 道具は近代的だから、安全である( setuju, alat – alat sudah canggih, jadi tidak berbahaya ). 10 % ( 5 orang ) nenjawab A.2. はい, 妊娠中絶の専門 の医者がたくさんいるから( setuju, banyak dokter ahli yang bisa melakukan aborsi ). 24 % ( 12 orang ) menjawab B.1. いいえ, 妊娠中絶は危ないし、死んでしまう可能 性もあるから( tidak setuju, aborsi berbahaya, dapat mengakibatkan kematian ), dan 50 % ( 25 orang ) menjawab B.2. いいえ, 若者は妊娠中絶のできる体になっていな いから( tidak setuju, remaja sangat rentan terhadap aborsi ). Dari soal no 7 : 7。若者の非行は妊娠中絶の原因の一つであると思う。 A。はい。
B。いいえ。
Terjemahan : 7. Kenakalan remaja merupakan salah satu penyebab aborsi. A. Setuju
B. Tidak setuju
29
Diperoleh hasil sebagai berikut : Grafik 3.7 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 7 dalam Angket
Dari grafik di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 84 % ( 42 orang ) menjawab A. はい( setuju ), dan 16 % ( 8 orang ) menjawab B. いいえ( tidak setuju ). Dari soal no. 8 : 8。あなたは妊娠中絶が合法化されたことに賛成ですか。 A。賛成
: 1。出生率を減らすことができるから。 2。妊娠中絶は犯罪じゃないから。
B。反対
: 1。合法化したら、妊娠中絶をする人が多くなるから。 2。子供の数が少なくなるから。
Terjemahan : 8. Kamu setuju / tidak jika aborsi dilegalkan ? A. Setuju, karena
: 1. Dapat menekan angka kelahiran. 2. Aborsi bukan tindak kriminal.
B. Tidak setuju, karena : 1. Jika dilegalkan, akan semakin banyak kasus aborsi.
30
2. Jumlah anak-anak akan semakin sedikit. Diperoleh hasil sebagai berikut: Grafik 3.8 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 8 dalam Angket
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa 20 % menjawab A. はい ( setuju ) dan 80 % menjawab B. いいえ ( tidak setuju ). Dari jawaban tersebut, dibagi menjadi masing – masing 2 pilihan jawaban. Untuk jawaban A. はい ( setuju ), dibagi menjadi 出生率を 減らすことができるから( dapat menekan angka kelahiran ), dan 妊娠中絶は犯罪じ ゃないから( aborsi bukan tindak kriminal ). Untuk jawaban B. いいえ ( tidak setuju ), dibagi menjadi 合法化したら、妊娠中絶をする人が多くなるから( jika dilegalkan, akan semakin banyak kasus aborsi ), dan 子供の数が少なくなるから( jumlah anakanak akan semakin sedikit ).
31
Diperoleh hasil sebagai berikut : Grafik 3.4 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 8 dalam Angket
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 6 % ( 3 orang ) menjawab A.1. はい出生率を減らすことができるから( setuju, dapat menekan angka kelahiran ). 14 % ( 7 orang ) menjawab A.2. はい, 妊娠中絶は犯罪じゃないから ( setuju, aborsi bukan tindak kriminal ). 80 % ( 40 orang ) menjawab B.1. いいえ, 合法 化したら、妊娠中絶をする人が多くなるから( tidak setuju, jika dilegalkan, akan semakin banyak kasus aborsi ), dan untuk pilihan B.2. いいえ, 子供の数が少なくなる から( tidak setuju, jumlah anak – anak akan semakin sedikit ), sebanyak 0 % ( tidak ada yang memilih ) maka tidak muncul di dalam grafik. Dari soal no. 9 : 9。あなたは、どうして日本政府は妊娠中絶を合法化したと思いますか。 A。出生率を減らすため。 B。多くの人が望んだから。 C。結婚前の妊娠をふせぐため。 D。赤ちゃんのいのちを守るため。 32
Terjemahan : 9. Menurut kamu, apa alasan pemerintah Jepang melegalkan aborsi ? A. untuk menekan angka kelahiran. B. Banyak yang meminta agar aborsi dilegalkan. C. Mencegah kehamilan di luar nikah. D. Untuk menyelamatkan sang ibu jika kehamilannya berbahaya. Diperoleh hasil sebagai berikut : Grafik 3.9 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 9 dalam Angket
Dari grafik di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 80 % ( 40 orang ) menjawab A. 出生率を減らすため( untuk menekan angka kelahiran ). 16 % ( 8 orang ) menjawab B. 多くの人が望んだから( banyak yang meminta agar aborsi dilegalkan ). Untuk pilihan C. 結婚前の妊娠をふせぐため( mencegah kehamilan di luar nikah ), sebanyak 0 % ( tidak ada yang memilih ) maka tidak muncul di dalam grafik, dan untuk
33
pilihan jawaban D. 赤ちゃんのいのちを守るため( untuk menyelamatkan sang ibu jika kehamilannya berbahaya ) sebanyak 4 % ( 2 orang ). Dari soal no. 10 : 10。あなたは、妊娠中絶をよくする女性はいくつぐらいだと思いますか。 A。20 歳以下。
D。30 – 34 歳。
B。20 – 24 歳。
E。35 – 39 歳。
C。25 – 29 歳。
F。40 歳以上。
Terjemahan : 10. Menurut kamu, jumlah aborsi yang paling besar dilakukan oleh wanita pada usia : A. Dibawah 20 tahun.
D. 30 – 34 tahun.
B. 20 – 24 tahun.
E. 35 – 39 tahun.
C. 25 – 29 tahun.
F. Diatas 40 tahun
Diperoleh hasil sebagai berikut :
34
Grafik 3.10 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 10 dalam Angket
Dari grafik di atas dapat kita ketahui bahwa dari 50 responden, 40 % ( 20 orang ) menjawab A. 20 歳以下( dibawah 20 tahun ). 50 % ( 25 orang ) menjawab B. 20 – 24 歳 ( 20-24 tahun ). 4 % ( 2 orang ) menjawab C. 25 – 29 歳( 25-29 tahun ). 4 % ( 2 orang ) menjawab D. 30 – 34 歳( 30-34 tahun ). Untuk pilihan jawaban E. 35 – 39 歳( 35-39 tahun ) sebanyak 0 % ( tidak ada yang memilih ) maka tidak muncul di dalam grafik, dan untuk pilihan jawaban F. 40 歳以上( diatas 40 tahun ) sebanyak 2 % ( 1 orang ).
3.2 Analisis Jawaban Responden Terhadap Angket Mengenai Aborsi Pada bagian ini berisikan analisis jawaban responden terhadap angket yang telah disebarkan kepada 50 responden orang Jepang. Angket berisi 10 pertanyaan seputar aborsi di Jepang. Berikut hasil analisis dari kesepuluh pertanyaan di dalam angket :
35
3.2.1 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 1 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 1 yang berisi pertanyaan “ Apakah kamu tahu apa itu aborsi ? “ 100 % ( 50 orang ) menjawab A. Tahu. Hal ini sudah dapat dipastikan karena berdasarkan bukti - bukti yang ada, pada masa sebelum Perang Dunia II, pemerintah Jepang mengeluarkan aturan yang melarang aborsi dan memaksa kaum wanita untuk melahirkan banyak anak di bawah semboyan うめよ ふや せよ ( lahirkan anak-anak, besarkan populasi ). Dukungan positif dari para wanita saat itu mungkin berhubungan dengan rasa patriotisme sebagai bentuk pengabdian terhadap negara. Bahkan sebelumnya yakni pada era Tokugawa ( 1600 – 1867 ), para wanita Jepang sudah mengenal aborsi. Pada masa itu, wanita Jepang menjadi simpanan para tentara Jepang, salah satu tugas mereka adalah melayani para tentara tersebut.. Jika terjadi kehamilan, mereka melakukan aborsi, untuk mengugurkan kandungannya agar tetap bisa menjadi idola dikalangan para tentara tersebut ( LaFleur, 1992 : 69 – 71 ). Pada masa Meiji ( dimulainya restorasi Meiji 1868 ), untuk memenuhi tenaga kerja, pemerintah mengeluarkan undang-undang anti aborsi dan menyatakan praktek aborsi sebagai tindak pidana terkecuali jika sang ibu memang diharuskan untuk melakukan aborsi. Jika mempunyai alasan yang kuat, aborsi merupakan hak individu yang akan melakukan aborsi itu sendiri ( Muramatsu, 1996 : 30 ). Sejak dulu kala, masyarakat Jepang sudah mengenal aborsi ditambah dengan diberlakukannya peraturan dari pemerintah Jepang pada masa itu untuk melarang masyarakat Jepang melakukan aborsi karena pada masa itu dibutuhkan tenaga kerja yang banyak sehingga pemerintah mengeluarkan undang – undang anti aborsi dan
36
menganggap aborsi sebagai tindak kriminal. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aborsi dikenal sebagai alat untuk mengontrol populasi. Seperti yang dikatakan Muramatsu ( 1996 : 30 ), bahwa berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada, pemerintah mempunyai kecenderungan untuk menerapkan aturan penggunaan alat kontrasepsi ( pencegah kehamilan ) dan aborsi sebagai alat pengontrol populasi. Kebijakan untuk mengendalikan tingkat kelahiran yang dijalankan seringkali mengabaikan hak wanita dan hanya disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Dengan diterapkannya aturan yang memaksa kaum wanita untuk melahirkan banyak anak di bawah semboyan うめよ ふやせよ( lahirkan anak-anak, besarkan populasi ), angka kelahiran di Jepang melonjak tajam. Populasi menjadi tidak terkontrol, dan atas alasan itulah maka pemerintah mempunyai kecenderungan untuk menerapkan aturan penggunaan alat kontrasepsi ( pencegah kehamilan ) dan aborsi sebagai alat pengontrol populasi. Akan tetapi pada tahun 1948, pemerintah mengeluarkan Undang – Undang Perlindungan Eugenika, di mana dalam undang – undang ini pemerintah melegalkan aborsi yang sebelumnya dianggap ilegal ( merupakan tindakan kriminal pada masa itu ). Jadi dapat disimpulkan, aborsi bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat Jepang pada masa sekarang karena mereka sudah mengenal istilah aborsi sejak era Tokugawa ( 1600 – 1867 ) ( LaFleur, 1992 : 69 – 71 ), sehingga dari 50 responden yang menjawab angket ini, 100 % ( 50 orang ) menjawab tahu tentang aborsi.
3.2.2 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 2 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 2 yang berisi pertanyaan “ Menurut kamu, apa itu aborsi ? “, 90 % ( 45 orang ) menjawab A. Penghentian
37
kehamilan yang disengaja. Sesuai dengan yang dikatakan oleh dr. Agus Abadi dari UPF, Lab Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Dr. Soetomo, FK Unair ( 2005 :32 ) “ Abortus ( definisi yang lama ) - adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan pada usia kehamilan sebelum 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.” WHO memperbaharui definisi Aborsi yakni Aborsi adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan di bawah 28 minggu atau berat janin kurang dari 1000 gram. Aborsi juga diartikan mengeluarkaan atau membuang baik embrio atau fetus secara prematur ( sebelum waktunya ). Istilah Aborsi disebut juga Abortus Provokatus ( inilah yang belakangan menjadi ramai dibicarakan ). Abortus yang dilakukan secara sengaja. 45 orang dari 50 responden yang menjawab pertanyaan no. 2 menjawab dengan benar bahwa aborsi adalah penghentian kehamilan yang disengaja. Janin digugurkan secara sengaja oleh sang ibu yang bersangkutan. Janin tersebut dikeluarkan dengan sengaja atas permintaan dari pelaku aborsi tersebut. Akan tetapi, ada 5 orang responden menjawab B. Penghentian kehamilan yang tidak disengaja. Menurut Prof. dr. H. Dadang Hawari, Psi ( 2006 : 62 ), mengatakan bahwa Aborsi ( pengguguran ) berbeda dengan keguguran. Aborsi atau pengguguran kandungan adalah terminasi ( penghentian ) kehamilan yang disengaja ( abortus provocatus ). Yakni kehamilan yang diprovokasi dengan berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah kehamilan yang berhenti karena faktor-faktor alamiah ( abortus spontaneous ). Dengan kata lain, penghentian kehamilan yang tidak disengaja adalah pengertian dari keguguran, bukan aborsi. aborsi merupakan penghentian kehamilan yang disengaja oleh sang ibu yang bersangkutan ( sesuai dengan keinginan atau permintaan sang ibu ), sedangkan keguguran merupakan penghentian kehamilan yang sama sekali tidak disengaja ( terjadi karena faktor alamiah, bukan karena 38
permintaan sang ibu untuk mengeluarkan janin yang sedang dikandungnya ). Pada dasarnya masyarakat Jepang mengetahui apa itu aborsi yang dalam bahasa Jepangnya adalah 妊娠中絶 ( ninshinchuuzetsu ) karena aborsi sudah ada di Jepang sejak era Tokugawa ( 1600 – 1867 ) sehingga kata aborsi tidak asing lagi bagi masyarakat Jepang (LaFleur, 1992 : 69 ). Akan tetapi berdasarkan jawaban yang diberikan oleh 50 responden ( orang Jepang ), terdapat 5 orang yang menjawab bahwa aborsi adalah penghentian kehamilan yang tidak disengaja. Pengertian aborsi dan keguguran seringkali kurang dimengerti oleh masyarakat, karena pada dasarnya keduanya sama – sama menghentikan kehamilan, yang membedakan hanya penghentian kehamilan tersebut disengaja atau tidak. Jadi sesuai dengan perkataan para ahli, dapat disimpulkan bahwa aborsi adalah penghentian kehamilan yang disengaja ( jawaban A ), sedangkan untuk jawaban B ( penghentian kehamilan yang tidak disengaja ) merupakan pengertian dari keguguran.
3.2.3 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 3 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 3 yang berisi pertanyaan ( berupa pernyataan, yang jawabannya setuju atau tidak ) “ Aborsi merupakan salah satu jalan keluar jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan “, dapat dilihat dari grafik berikut :
39
Grafik 3.11 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 3 dalam Angket
60% 50%
60%
40% 30% 20%
24%
10%
16% 0%
0% A.1
A.2
B.1
B.2
Keterangan : A.1 : Setuju
→ supaya tidak malu
A.2 : Setuju
→ sesuai dengan UU di Jepang
B.1 : Tidak Setuju
→ bayi tersebut tidak bersalah
B.2 : Tidak Setuju
→ aborsi merupakan tindak kriminal
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa dari 50 responden, 60 % ( 30 orang ) menjawab A.1 Setuju, supaya tidak malu. Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang hidup dalam kelompok, terutama para remajanya. Para remaja Jepang sebagian besar hidup di dalam kelompok yang mereka anggap memiliki satu paham dengan mereka. Di luar lingkungan keluarga, mereka menjalankan kehidupan mereka bersama kelompok mereka masing – masing. Hal ini tercermin dari besarnya waktu yang mereka habiskan di dalam kelompok. Akan tetapi, mereka jarang memberi tahukan hal yang cukup pribadi kepada kelompok mereka karena takut dianggap memalukan, mempunyai aib, dan predikat buruk lainnya. Kelompok ini pun banyak memberikan pengaruh bagi pribadi masing – masing remaja yang terlibat di dalamnya, baik pengaruh
40
baik maupun buruk. Jarang dari mereka yang mampu menolak jika diajak untuk melakukan tindakan – tindakan menyimpang seperti mencuri, berbuat onar, termasuk seks bebas yang berujung pada kehamilan di luar nikah. Mereka takut dianggap tidak solid terhadap kelompok. Akan tetapi, bila terjadi kehamilan di luar nikah, mereka lebih memilih untuk diam daripada harus memberitahukannya kepada anggota kelompok yang lain dan memilih aborsi sebagai jalan keluar bagi kehamilan yang tidak diinginkan. Alasan mereka untuk tidak memberitahukan hal itu adalah karena mereka malu dan takut dikucilkan oleh kelompoknya ( Halimatuzzahra, 2008 : 13 – 20 ). Hal menarik yang menyangkut masalah aborsi dalam kehidupan nyata masyarakat di Jepang adalah besarnya angka aborsi yang dilakukan oleh wanita usia produktif ( 15 - 49 tahun ) ( Sumiko, 1996 : 20 ). Dalam batasan tersebut, tercakup di dalamnya para remaja putri, karena batasan usia remaja menurut WHO ( World Health Organization ) dibagi menjadi dua yaitu remaja awal ( 10 - 14 tahun ) dan remaja akhir ( 15 – 24 tahun ) ( Kumpulan Artikel Psikologi, 2006 ). Setelah diberlakukannya Undang – Undang Perlindungan Eugenika ( undang – undang di Jepang yang mengatur tentang aborsi, melegalkan aborsi sejak undang – undang ini dikeluarkan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1948 ), kasus aborsi di Jepang meningkat pesat. Diketahui bahwa sekitar 1 dari 3 remaja putri Jepang telah melakukan aborsi lebih dari 1 kali ( Sawanobori, 1989 : 244 ). Akibat diberlakukannya Undang – Undang Perlindungan Eugenika yang membawa kemudahan untuk aborsi ini, angka kehamilan di kalangan remaja yang meningkat,. Cukup banyak remaja yang ingin melakukan aborsi saat kehamilan menginjak usia 4 – 6 bulan. Hal ini disebabkan karena malu, ragu – ragu, takut, atau karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai masalah seksual ( Gelb & Palley, 1994 : 76 ). Seperti yang dikatakan Mulyono ( 1995 : 10 ), masa remaja merupakan masa krisis identitas 41
karena terkadang seorang remaja melakukan perbuatan yang terkadang dianggap di luar batas kewajaran karena pada dasarnya perbuatan anak ( remaja ) di satu pihak berada dalam masa mencari identitas diri, sedang mengalami perkembangan atau pertumbuhan fisik dan mental yang belum stabil atau matang. Pada usia remaja ini banyak terjadi perubahan seperti pada fisik, psikis, maupun sosial. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan bersifat kepribadian yang kurang baik akan memicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku karena lingkungan keluarga, pendidikan, serta lingkungan masyarakat merupakan keterkaitan dalam pembentukan diri seorang remaja. Pada saat inilah diperlukannya peranan orang tua dan guru untuk membimbing anak yang sedang memasuki masa remaja di mana mereka masih berada dalam tahap pencarian identitas diri atau jati diri mereka yang sebenarnya ( Sarwono, 2003 : 47 ). Pendidikan seksual juga perlu diberikan sejak dini, baik dari pihak keluarga maupun dari pihak sekolah. Pendidikan seksual yang diberikan sejak seorang anak memasuki masa produktif dipercaya dapat mencegah terjadinya hubungan seksual sebelum waktunya. Akan tetapi pada kenyataannya, kurikulum pendidikan seks ( sex education ) yang diberikan di sekolah maupun di kampus ternyata tidak berhasil merubah sikap mental dan perilaku seksual mereka. Dilihat dari laporan Centers for Diseases Control ( CDC, 1988 ), mengemukakan bahwa setelah dilakukan survey, ternyata hasil yang diperoleh ternyata mengecewakan karena meskipun mereka sudah memperoleh pendidikan seks dan tahu cara pencegahan kehamilan, namun kasus-kasus hamil di luar nikah yang diikuti dengan aborsi di kalangan remaja tidak menjadi turun karenanya. 42
Dapat disimpulkan bahwa populasi remaja merupakan populasi resiko tinggi untuk kasus kehamilan di luar nikah dan aborsi ( Hawari, 2006 : 49 – 50 ). Oleh karena itu, 60 % ( 30 orang ) dari 50 responden menyatakan mereka setuju terhadap pernyataan aborsi merupakan salah satu jalan keluar jika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Di samping itu, aborsi sesuai dengan Undang – Undang Perlindungan Eugenika ( Eugenic Protection Law ) yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang. Dengan diberlakukannya undang – undang ini, aborsi di Jepang menjadi legal sejak tahun 1948. Sebelumnya pemerintah membuat peraturan yang menyatakan bahwa aborsi merupakan tindak kriminal karena pada masa itu ( masa ketika dimulainya restorasi Meiji 1868 ), pemerintah membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga pemerintah mengeluarkan larangan melakukan aborsi. Oleh karena itu 16 % ( 8 orang ) menjawab A.2 ( setuju karena sesuai dengan UU di Jepang ) karena memang di Jepang memiliki undang – undang yang memperbolehkan wanita untuk melakukan aborsi. sedangkan untuk jawaban B.2 ( tidak setuju karena aborsi merupakan tindak kriminal ) tidak ada yang menjawab ( 0 % ), karena pada kenyataannya, aborsi di Jepang bukan merupakan tindak kriminal. Aborsi di Jepang legal sejak tahun 1948. Untuk jawaban B.1 ( tidak setuju karena bayi tersebut tidak bersalah ), 24 % ( 12 orang ) memilih jawaban ini. pendapat ini sesuai dengan pendapat Made Heny Urmila Dewi. Urmila Dewi ( 1997 : 14 ), terdapat dua pendekatan dalam memandang praktik aborsi, salah satunya adalah pendekatan kehidupan ( living approach ). Pendekatan ini mengarah kepada keyakinan bahwa memberi kesempatan hidup dan menikmati kehidupan pada manusia itu jauh lebiih penting dan lebih bernilai daripada mengembangkan kebebasan individu. Kebebasan boleh saja dikembangkan, tetapi janganlah ditempuh dengan mengorbankan orang lain yang dalam hal ini adalah calon 43
bayi. Oleh karenanya pendekatan ini cenderung menolak praktik aborsi pada wanita dan kaum ibu.
3.2.4 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 4 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 4 yang berisi pertanyaan “ Menurut kamu, apakah aborsi berkaitan dengan modernisasi di Jepang ? “,dapat dilihat dari grafik berikut : Grafik 3.12 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 4 dalam Angket
60% 50%
56%
40% 30% 20% 10%
24%
20% 0%
0% A.1
A.2
B.1
B.2
Keterangan : A.1 : Berkaitan
→ semakin modern, maka alat – alat untuk menunjang aborsi semakin canggih.
A.2 : Berkaitan
→ dengan adanya modernisasi, aborsi menjadi lebih aman.
B.1 : Tidak Berkaitan → tidak ada hubungannya antara aborsi dengan modernisasi. B.2 : Tidak Berkaitan → aborsi berkaitan dengan individu yang melakukannya, bukan dengan modernisasi Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa dari 50 responden, pilihan jawaban tertinggi adalah B.1 ( tidak berkaitan, tidak ada hubungannya antara aborsi dengan
44
modernisasi ). Sebanyak 56 % ( 28 orang ) memilih jawaban B.1 ( tidak berkaitan, tidak ada hubungannya antara aborsi dengan modernisasi ). Modernisasi di Jepang terjadi sejak mulainya restorasi Meiji ( 1868 ). Semenjak mulainya restorasi Meiji, dimulailah perdagangan bebas di Jepang, dan kehidupan yang lebih modern pun mulai bermunculan sehingga budaya Jepang menjadi lebih berkembang dan semakin unik. Budaya barat lambat laun mulai memasuki budaya Jepang dan hal ini mungkin saja dikarenakan rasa ingin tahu dan ketertarikan orang barat yang sangat tinggi terhadap budaya Jepang ( Matsumoto, 2002 : 3 ). Sementara itu, masyarakat Jepang sudah mengenal istilah にんしんちゅうぜつ
aborsi atau
;妊娠中絶 sejak era Tokugawa ( 1600 – 1867 ). Pada era
Tokugawa ( 1600 – 1867 ), para wanita Jepang sudah mengenal aborsi. Pada masa itu, wanita Jepang menjadi simpanan para tentara Jepang, salah satu tugas mereka adalah melayani para tentara tersebut.. Jika terjadi kehamilan, mereka melakukan aborsi agar tetap bisa menjadi idola dikalangan para tentara tersebut ( LaFleur, 1992 : 69 – 71 ). Ditinjau dari tahunnya, aborsi sudah ada sebelum adanya modernisasi di Jepang ( aborsi dikenal sejak tahun 1600 – 1867, dan modernisasi terjadi sejak awal tahun 1868). Akan tetapi belum ada ahli yang mengatakan apakah pada masa itu ( era Tokugawa ) aborsi dilegalkan atau tidak. Berdasarkan data yang ada, pada masa dimulainya restorasi Meiji 1868, pemerintah mengeluarkan larangan bagi para wanita Jepang melakukan aborsi terkecuali jika sang ibu memang diharuskan untuk melakukan aborsi. Jika mempunyai alasan yang kuat, aborsi merupakan hak individu yang akan melakukan aborsi itu sendiri ( Muramatsu, 1996 : 30 ). Sesuai dengan yang dikatakan oleh Urmila Dewi ( 1997 : 14 ), bahwa terdapat dua pendekatan dalam memandang aborsi, salah satunya adalah pendekatan kebebasan
45
( freedom approach ), dimana pada pendekatan ini mempunyai keyakinan bahwa setiap orang, termasuk wanita dan kaum ibu memiliki kebebasan untuk menentukan nasib hidup dan nasib tubuhnya. Pendekatan ini menganggap bahwa masalah kelahiran merupakan masalah manusia seratus persen, dalam arti yang bersangkutan mempunyai hak penuh untuk melanjutkan kehamilannya atau tidak. Setiap ibu berhak menentukan apakah ia ingin melanjutkan kehamilannya ( melahirkan anak yang dikandungnya ) atau tidak. Hal ini merupakan hak individu setiap wanita. Sesuai dengan pendapat para ahli yang telah diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa aborsi tidak ada kaitannya dengan modernisasi yang ada di Jepang karena masyarakat Jepang sendiri telah mengenal aborsi sejak era Tokugawa ( 1600 – 1867 ), sedangkan modernisasi di Jepang dimulai pada awal tahun 1868 ( awal restorasi Meiji ). Aborsi berkaitan dengan individu yang melakukannya. Hal ini tercermin dari pendapat Muramatsu yang menyatakan bahwa jika mempunyai alasan yang kuat, aborsi merupakan hak individu yang melakukannya. Sebelum dimulainya modernisasi di Jepang, wanita Jepang sudah melakukan aborsi karena mereka mempunyai hak penuh terhadap tubuhnya termasuk kehamilannya ( Muramatsu, 1996 : 30 ). Sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dari 56 % ( 28 orang ) dari 50 responden berpendapat bahwa aborsi tidak ada hubungannya dengan modernisasi, melainkan berkaitan dengan individu yang melakukannya, bukan dengan modernisasi di Jepang dan pendapat mereka ditunjang dengan adanya bukti – bukti yang telah dijabarkan sebelumnya. Untuk pilihan jawaban A.1 ( berkaitan, semakin modern, maka alat – alat untuk menunjang aborsi semakin canggih ) sebanyak 20 % ( 10 orang ) memilih jawaban ini. berdasarkan data yang ada, pada tanggal 18 Desember 1989, pertemuan Dewan Kelompok Kerja Kesehatan Masyarakat bidang Perlindungan Eugenika yang 46
diinstruksikan oleh Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan memutuskan untuk mengurangi usia kehamilan dimana sebuah tindak aborsi dianggap legal jika usia kehamilan 21 minggu + 6 hari. Dan ketentuan ini mulai dilaksanakan tahun 1991. Dasar pengajuan ketetapan ini mempunyai dua alasan, yaitu : 1. Dengan perkembangan teknologi kedokteran yang telah ada sekarang, memungkinkan penyelamatan janin dengan usia kurang dari 24 minggu. 2. Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO / World Health Organization ) menetapkan kembali periode perinatal atau masa setelah kelahiran diperpanjang dari usia kehamilan 22 minggu hingga 6 hari pertama ( Muramatsu, 1996 : 37 ). Perkembangan
teknologi
kedokteran
mengalami
kemajuan
seiring
dengan
modernisasi yang terjadi di Jepang. Sehingga alat – alat yang digunakan untuk menunjang praktek aborsi di Jepang semakin canggih. Menurut Dadang Hawari ( 2006 : 60 – 61 ) mengemukakan beberapa kategori dimana aborsi dinyatakan aman, antara lain : 1. Dilakukan oleh dokter ahli kandungan atau dokter umum yang ditunjuk dan terlatih ( bersertifikat ). 2. Dilakukan di rumah sakit atau klinik yang ditunjuk. 3. Fasilitas kesehatan yang tidak ditunjuk pemerintah dilarang melakukan pelayanan aborsi. 4. Rumah sakit dan klinik yang ditunjuk hanya diizinkan memberikan pelayanan aborsi pada perempuan dengan usia kehamilan tidak lebih dari usia kehamilan yang ditentukan. 5. Disetujui oleh sekurang kurangnya seorang konselor dan seorang dokter yang ditunjuk, atau oleh seorang dokter bila dalam keadaan darurat ( emergency ). 47
Aborsi yang aman tidak ditentukan oleh modernisasi, akan tetapi bergantung pada dokter yang melakukan aborsi tersebut dan kesehatan individu yang akan melakukan aborsi. Tidak dapat dipungkiri, dengan adanya kemajuan ( modernisasi ) dalam teknologi kedokteran membuat alat – alat kedokteran menjadi lebih canggih, termasuk alat – alat untuk menunjang aborsi itu sendiri. Akan tetapi, dokter yang melaksanakan aborsi tersebut dan kesehatan sang ibu yang akan melakukan aborsi merupakan penentu apakah aborsi tersebut aman dilakukan atau tidak. Walaupun alat sudah modern / canggih, apabila dokter yang bersangkutan tidak memiliki keahlian ( dalam hal ini mengenai kandungan ), aborsi berbahaya untuk dilakukan. Begitu pula kesehatan sang ibu yang akan melaksanakan aborsi merupakan hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan aborsi, jika kesehatannya kurang memungkinkan untuk melakukan aborsi, secanggih apapun alat yang tersedia dan sehebat apapun dokter yang melakukannya, aborsi tetap berbahaya. Pendapat yang diberikan oleh 20 % ( 10 orang ) dari 50 responden yang memilih pilihan jawaban A.1 ( berkaitan, semakin modern, maka alat – alat untuk menunjang aborsi semakin canggih ) dan 0 % ( tidak ada yang memilih ) untuk pilihan jawaban A.2 ( berkaitan, dengan adanya modernisasi, aborsi menjadi lebih aman ), ditunjang oleh adanya perkataan para ahli yang telah dijelaskan di atas. Dengan adanya modernisasi, alat – alat yang digunakan memang menjadi semakin canggih, akan tetapi tidak terbukti bahwa dengan adanya modernisasi, tindak aborsi menjadi lebih aman, karena aman atau tidak sebuah aborsi tidak dilihat dari adanya modernisasi atau tidak.
48
3.2.5 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 5 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 5 yang berisi pertanyaan “ Menurut kamu, apa penyebab utama seseorang melakukan aborsi ? “, dapat dilihat dari grafik berikut : Grafik 3.5 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 5 dalam Angket
Keterangan : A : Karena malu B : Desakan orang lain ( keluarga / pacar ) C : Alasan medis Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa dari 50 responden, pilihan jawaban tertinggi adalah A ( karena malu ) sebanyak 46 % ( 23 orang ). Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang hidup dalam kelompok, terutama para remajanya. Para remaja Jepang sebagian besar hidup di dalam kelompok yang mereka anggap memiliki satu paham dengan mereka. Di luar lingkungan keluarga, mereka menjalankan kehidupan mereka bersama kelompok mereka masing – masing. Hal ini tercermin dari besarnya waktu yang mereka habiskan di dalam kelompok. Akan tetapi, mereka jarang
49
memberi tahukan hal yang cukup pribadi kepada kelompok mereka karena takut dianggap memalukan, mempunyai aib, dan predikat buruk lainnya. Kelompok ini pun banyak memberikan pengaruh bagi pribadi masing – masing remaja yang terlibat di dalamnya, baik pengaruh baik maupun buruk. Jarang dari mereka yang mampu menolak jika diajak untuk melakukan tindakan – tindakan menyimpang seperti mencuri, berbuat onar, termasuk seks bebas yang berujung pada kehamilan di luar nikah. Mereka takut dianggap tidak solid terhadap kelompok. Akan tetapi, bila terjadi kehamilan di luar nikah, mereka lebih memilih untuk diam daripada harus memberitahukannya kepada anggota kelompok yang lain dan memilih aborsi sebagai jalan keluar bagi kehamilan yang tidak diinginkan. Alasan mereka untuk tidak memberitahukan hal itu adalah karena mereka malu dan takut dikucilkan oleh kelompoknya ( Halimatuzzahra, 2008 : 13 – 20 ). Selain hidup dalam kelompok, tak dapat dipungkiri bahwa setiap orang hidup di dalam lingkungan keluarga, dimana keluarga merupakan satuan terkecil di dalam masyarakat. Keluarga merupakan tempat awal dimana seseorang mempelajari sesuatu sebelum mendapatkan pendidikan secara resmi di sekolah. Keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar di dalam perkembangan pribadi seseorang. Keluarga selalu menginginkan yang terbaik untuk anggota keluarga lainnya. Meskipun kehamilan di luar nikah bukan merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Jepang, akan tetapi jka jika seseorang mengalami hal tersebut, jalan keluar yang akan ditempuh adalah aborsi. dengan melakukan aborsi. Terkadang, seseorang melakukan aborsi bukan merupakan keinginan individu yang bersangkutan, melainkan desakan dari orang lain, salah satunya keluarga atau pacar ( LaFleur, 1992 : 150 ). Adapun alasan lain yang mendorong seseorang melakukan aborsi adalah dengan adanya alasan medis yang mengharuskan orang tersebut melakukan aborsi. Dalam 50
ゆうせいほごほう
Undang – Undang aborsi ini ( Eugenic Protection Law atau
;優性保護法 ),
terdapat 5 syarat utama untuk aborsi menurut persetujuan dokter – dokter di Jepang, yaitu : 1. Mempunyai penyakit – penyakit kejiwaan ( sakit jiwa turunan, stress, penyakit epilepsy ). 2. Mempunyai jiwa yang lemah. 3. Menderita jiwa yang kritis ( berbakat untuk mendapat sakit jjiwa yang parah, kecenderungan untuk berbuat kriminal ). 4. Kondisi keuangan keluarga tidak memungkinkan. 5. Kehamilan hasil perkosaan. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1989, pertemuan Dewan Kelompok Kerja Kesehatan Masyarakat bidang Perlindungan Eugenika yang diinstruksikan oleh Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan memutuskan mengurangi kehamilan yang untuk melakukan aborsi secara legal menjadi 21 minggu + 6 hari. Dan ketentuan ini mulai dilaksanakan tahun 1991 ( Muramatsu, 1996 : 37 ). Dengan adanya peraturan – peraturan tersebut, 19 orang dari 50 responden memilih pilihan jawaban C ( karena alasan medis ).
3.2.6 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 6 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 6 yang berisi pernyataan “ aborsi tidak berbahaya walaupun dilakukan oleh para remaja “, dapat dilihat dari grafik berikut :
51
Grafik 3.13 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan N. 6 dalam Angket
50% 50%
40% 30% 20% 10%
24% 16% 10%
0% A.1
A.2
B.1
B.2
s
Keterangan : A.1 : Setuju
→ alat – alat sudah canggih, jadi tidak berbahaya
A.2 : Setuju
→ banyak dokter ahli yang bisa melakukan aborsi
B.1 : Tidak Setuju
→ aborsi berbahaya, dapat mengakibatkan kematian
B.2 : Tidak Setuju
→ remaja sangat rentan terhadap aborsi
Dari grafik di atas, sangat jelas terlihat bahwa pilihan jawaban tertinggi yang dipilih oleh 50 responden adalah pilihan jawaban B.2 (Tidak Setuju, remaja sangat rentan terhadap aborsi ). Menurut Luella Cole dalam Mulyono ( 1995 : 15 ) menyebutkan masa remaja dan membagi menjadi tiga tingkatan, yaitu : “ early adolescence 13 to 15 years, middle adolescence 16 to 18 years, late adolescence 19 to 21 years “ yang artinya : “ masa awal remaja 13 sampai 15 tahun, masa pertengahan remaja 16 sampai 18 tahun, masa akhir remaja 19 sampai 21 tahun. “.Setelah diberlakukannya Undang – Undang Perlindungan Eugenika ( undang – undang di Jepang yang mengatur tentang aborsi, melegalkan aborsi sejak undang – undang ini dikeluarkan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1948 ), kasus aborsi di Jepang meningkat pesat. Diketahui bahwa sekitar 1 dari 3
52
remaja putri Jepang telah melakukan aborsi lebih dari 1 kali ( Sawanobori, 1989 : 244 ). Akibat diberlakukannya Undang – Undang Perlindungan Eugenika yang membawa kemudahan untuk aborsi ini, angka kehamilan di kalangan remaja yang meningkat,. Cukup banyak remaja yang ingin melakukan aborsi saat kehamilan menginjak usia 4 – 6 bulan. Hal ini disebabkan karena malu, ragu – ragu, takut, atau karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai masalah seksual. Selama tahun 1987, tercatat satu dari lima remaja yang mengandung melakukan aborsi pada usia pertengahan kendungan. Tindakan itu sangat berbahaya bagi kondisi fisik dan mental nereka daripada melakukan aborsi pada usia kehamilan dini ( 1 – 3 bulan ) ( Gelb & Palley, 1994 : 76 ). Meningkatnya jumlah kehamilan di luar nikah akibat perubahan cara pergaulan di kalangan remaja dan orang muda yang dipengaruhi oleh media, terutama film serta video. Dengan bertambah bebasnya pergaulan di kalangan remaja, kehamilan tidak diinginkan akan lebih banyak. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kehalmilan tak diinginkan lebih banyak disebabkan kurangnya pengetahuan dan ketidaksiapan menghadapi kebebasan dalam pergaulan antar jenis kelamin. Kebanyakan dari mereka tidak memahami perubahan – perubahan yang terjadi di dalam tubuh atau tidak memahami bagaimana kehamilan bisa terjadi ( Dewi, 1997 : 17 ). pada tanggal 18 Desember 1989, pertemuan Dewan Kelompok Kerja Kesehatan Masyarakat bidang Perlindungan Eugenika yang diinstruksikan oleh Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan memutuskan mengurangi kehamilan yang untuk melakukan aborsi secara legal menjadi 21 minggu + 6 hari. Dan ketentuan ini mulai dilaksanakan tahun 1991. Dasar pengajuan ketetapan ini mempunyai dua alasan : 1.
Dengan berkembangnya teknologi kedokteran yang telah ada sekarang, memungkinkan penyelamatan janin dengan usia kurang dari 24 minggu. 53
2.
WHO ( World Health Organization ) menetapkan kembali periode perinetal / masa setelah kelahiran diperpanjang dari usia kehamilan 22 minggu hingga 6 hari pertama ( Muramatsu, 1996 : 37 ).
Alat – alat yang digunakan untuk menunjang aborsi memang mengalami kemajuan dengan adanya modernisasi. Akan tetapi, apabila aborsi tersebut dilakukan oleh remaja, cukup berbahaya karena remaja sangat rentan terhadap aborsi. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Dadang Hawari ( 2006 : 54 - 60 ). Dalam, bukunya, Prof. Dadang Hawari menjelaskan bahwa walaupun seorang remaja bisa hamil, akan tetapi kondisi rahimnya belum cukup kuat untuk memelihara kehamilannya apalagi melakukan aborsi untuk menyiasati kehamilannya. Meskipun ada beberapa remaja yang kondisi rahimnya kuat untuk memelihara kehamilannya ataupun aborsi, tetapi sebagian besar rahim remaja memang masih sangat rentan dengan kehamilan dan aborsi. Selain kondisi rahim yang belum cukup kuat, kondisi mental remaja tersebut harus diperhatikan karena ia mengalami sesuatu hal yang seharusnya belum ia alami, dalam ini kehamilan dan tentunya aborsi jika ia tidak menginginkan kehamilannya berlanjut. Dapat disimpulkan bahwa walaupun alat – alat untuk menunjang aborsi sudah mengalami kemajuan, dan banyak dokter ahli yang bisa melakukan aborsi, akan tetapi jika pelaku aborsi tersebut adalah remaja, aborsi tetap berbahaya. Hal ini dikarenakan remaja masih sangat rentan terhadap aborsi, baik secara fisik maupun mental dari remaja itu sendiri.
3.2.7 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 7 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 7 yang berisi pertanyaan “ Kenakalan remaja merupakan salah satu penyebab aborsi “, 84 % ( 42 orang ) 54
menjawab A. Setuju dan 16 % ( 8 orang ) menjawab B. Tidak setuju. Yang dapat dikategorikan sebagai remaja adalah manusia pada umur 13 tahun – 21 tahun. Masa remaja merupakan masa peralihan. Masa peralihan yang dimaksudkan di sini adalah peralihan dari masa anak - anak menuju ke masa dewasa atau merupakan perpanjangan dari masa kanak - kanak sebelum mencapai masa dewasa. Jadi anak - anak pada umur ini tidak dapat dikatakan anak - anak lagi, tetapi belum dapat dikatakan golongan dewasa. Karenanya dalam masa ini seakan - akan remaja berpijak diantara dua kutub, yaitu kutub yang lama ( masa anak -anak ) yang akan ditinggalkan , dan kutub yang baru, yaitu masa dewasa yang masih akan dimasuki ( Mulyono, 1995 : 16 ). Pada masa – masa inilah remaja seringkali melakukan kesalahan bahkan sampai melakukan pelanggaran hukum. Hal itu dikarenakan mereka memang sedang dalam tahap pencarian jati diri mereka yang sesungguhnya. Menurut Herie ( 1996 : 10 ), istilah kenakalan remaja dalam bahasa Inggrisnya adalah Juvenile Delinquency yaitu suatu tingkah laku, perbuatan, atau tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma - norma sosial, agama atau hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Pada kategori ini remaja dapat melakukan hal – hal yang tidak diinginkan, di luar kendali sehingga menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar remaja tersebut. Seiring dengan perkembangan jaman, pergaulan di kalangan remaja pun semakin bebas. Banyak para remaja yang melakukan tindak kriminal, termasuk free sex, sehingga mengakibatkan aborsi. Fenomena ini juga terjadi di kalangan remaja Jepang. Kaum remaja Jepang masa kini cenderung kurang memperhatikan tata karma dan norma moral di kalangan masyarakat. Hal tersebut terjadi seiiring dengan semakin berkembangnya gaya hidup yang sarat akan kebebasan dalam bertingkah laku sehingga membuat kaum remaja Jepang seringkali lupa akan posisi 55
mereka sebagai orang yang belum dewasa dan harus menyadari bahwa di atas mereka ada lapisan masyarakat yang lebih senior dan harus dihormati dan disegani ( Matsumoto, 2002 : 110 ). Mereka lebih cenderung untuk mengikuti apa yang mereka inginkan tanpa memperhatikan masyarakat di sekitar mereka, apakah tindakan yang mereka lakukan itu mengganggu dan meresahkan masyarakat atau tidak. Hal ini pun tercermin dalam Tamotsu ( 1996 : 13 – 14 ) : 文化変動の歴史は、多くの場合、若者の反抗から生まれている。若者が大 人達と違った文化を持って、常に新しい社会をきずり上げていく。こうし て、大人文化に対する若者文化、青春文化、下位文化と呼ばれるものが、 何時の時代、どこの社会にも存在した。その中でも特に社会の変化を生み 出す文化は、 counter culture ( 反抗文化 ) であろう。かつての大学紛争は、 その典型的な一つで、大人文化が持っていた多くのよたてや問題がはやし く摘発され、そこから新しい文化が築かれていく。体制側と真正面から戦 いを挑む反抗ではなくとも、ネクタイや髪型といったソフトな風俗の移ろ いも、また、例外なしに若者の中から生まれてきた。 Terjemahan : Perubahan budaya yang lahir dari perlawanan para remaja. Para remaja memiliki kebudayaan yang berbeda dengan orang dewasa. Hal ini membuat lahirnya masyarakat baru. Budaya remaja yang sangat bertolak belakang dengan budaya orang dewasa ini disebut sebagai budaya masa muda atau kebudayaan golongan bawah. Budaya ini selalu ada dalam setiap jaman dan masyarakat. Diantaranya yang paling membawa perubahan dalam masyarakat disebut dengan counter culture ( 反抗文化 ). Perselisihan yang terjadi selama ini merupakan bagian dari counter culture. Budaya baru lahir dari terbukanya banyak masalah dari budaya orang dewasa. Perlawanan anak muda merupakan keberanian untuk berhadapan langsung dengan sistem yang sudah ada. Dari budaya anak muda itulah lahir pergerakan adat istiadat yang lembut ( soft ), seperti model rambut atau bentuk dasi. Pada tahun 1995, berdasarkan Catatan Kepolisian Jepang menyatakan bahwa sebanyak 5.481 remaja putri berusia 14 - 19 tahun ditangkap karena kasus pelacuran, kasus ini meningkat 16% dari tahun 1994. ( The Japan Times, 1997 : 41 ). Pelacuran termasuk ke dalam kenakalan remaja karena di samping para pelakunya sebagian besar adalah para remaja, pelacuran disebabkan oleh kebebasan bergaul yang dimiliki oleh
56
para remaja Jepang. Hal ini termasuk dalam pengertian dari kenakalan remaja itu sendiri. Menurut Prof. Sumiko Iwao, dengan menghimpun data dari 1.500 responden wanita berusia 12 – 24 tahun diketahui bahwa 49,6 % dari seluruh responden tersebut telah melakukan minimal 1 kali aborsi. Presentase yang lebih besar berhasil dihimpun oleh survey yang dilakukan oleh Kyodo News Service ( Layanan Berita Kyodo ) tahun 1982, bahwa 58,2 % hingga 64,1 % responden mengaku telah melakukan tindakan aborsi ( Gelb dan Palley, 1994 : 78 ). Aborsi sendiri memiliki pengertian Secara umum dikatakan bahwa pengguguran kandungan ( abortus ) adalah pengakhiran kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya ( Dewi, 1997 : 11 ). Dengan adanya hukum yang mengizinkan wanita Jepang melakukan aborsi, kasus yang dilaporkan meningkat pesat setelah tahun 1949, bahkan mencapai puncaknya pada tahun 1955 hingga 1.170.143 kasus. Diketahui pula bahwa sekitar 1 dari 3 remaja putri Jepang telah melakukan aborsi lebih dari 1 kali ( Sawanobori, 1989 : 244 ). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja merupakan salah satu penyebab dari aborsi di Jepang.
3.2.8 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 8 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 8 yang berisi pertanyaan “ Kamu setuju / tidak jika aborsi dilegalkan ?”, dapat dapat dilihat dari grafik berikut :
57
Grafik 3.14 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 8 dalam Angket
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
80%
6% A.1
14% A.2
0% B.1
B.2
Keterangan : A.1 : Setuju
→ dapat menekan angka kelahiran
A.2 : Setuju
→ aborsi bukan tindak kriminal
B.1 : Tidak Setuju
→ jika dilegalkan, semakin banyak kasus aborsi
B.2 : Tidak Setuju
→ jumlah anak – anak semakin sedikit
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa dari 50 responden, pilihan jawaban tertinggi berada pada pilihan jawaban B.1 (jika dilegalkan, semakin banyak kasus aborsi ). Di bawah Undang – Undang Perlindungan Eugenika ( Eugenic Protection Law ) tahun 1948, praktek aborsi dan pembunuhan bayi kian marak ( Wagatsuma, 1989 : 246 ). Dengan adanya hukum yang mengizinkan wanita Jepang melakukan aborsi, kasus yang dilaporkan meningkat pesat setelah tahun 1949, bahkan mencapai puncaknya pada tahun 1955 hingga 1.170.143 kasus. Setelah tahun 1955, angka aborsi berangsur – angsur turun hingga mencapai 700.000 kasus. Walaupun demikian jumlah aborsi yang sebenarnya terjadi mencapai 2 kali lipat dari angka tersebut ( Wagatsuma, 1989 : 246 ).
58
Di samping karena adanya Undang – Undang Perlindungan Eugenika ( Eugenic Protection Law ), meningkatnya aborsi dinyatakan pula dengan dua alasan lainnya, yaitu : Alasan pertama, berkembangnya anggapan bahwa pelaksanaan aborsi bukanlah suatu tindak kriminal mendorong banyk pihak menerima praktek aborsi sebagai hal yang biasa dan para wanita dapat dengan mudah melakukannya. Rasa bersalah yang ditimbulkan oleh aborsi dapat dihilangkan dengan mengikuti ucapara pemujaan kepada Dewa Budha, Dewa Jizo ( dewa yang dipercaya sebagai penjaga anak – anak ), dalam upacara pemujaan Mizuko Jizo ( upacara ritual untuk mendoakan arwah janin kepada pelindung anak – anak ). Para pelaku aborsi dapat melakukan aturan – aturan pemujaan Mizuko Jizo tanpa sembunyi – sembunyi. Alasan kedua, adanya upacara mizuko kuyo ( upacara ritual untuk mendoakan janin – janin yang digugurkan ). Selain adanya upacara mizuko jizo, upacara mizuko kuyo ini merupakan bentuk dukungan agama Budha di Jepang terhadap pelaku aborsi dengan menyediakan pelayanan upacara pemakaman untuk arwah janin – janin yang digugurkan. Dewasa ini, upacara mizuko kuyo dapat dilaksanakan dengam berbagai cara dan menonjolkan formalitas, baik dari segi ukuran, jenis, maupun biaya yang dikeluarkan. Istilah mizuko kuyo telah dikenal luas oleh mereka yang melakukan pengguguran janin dan dilakukan dengan cara yang eksklusif dan terbuka ( LaFleur, 1992 : 136 – 138 ). Adanya Undang – Undang Perlindungan Eugenika ( Eugenic Protection Law ) membuat angka aborsi di Jepang melonjak tajam, ditambah lagi dengan adanya upacara mizuko jizo dan mizuko kuyo. Pendapat 80 % ( 40 orang ) dari 50 responden yang menjawab angket ini, tidak setuju dengan dilegalkannya aborsi di Jepang, karena sesuai dengan data yang diperoleh, memang angka aborsi di Jepang melonjak tajam setelah 59
diberlakukannya undang – undang ini. untuk pilihan jawaban menekan angka kelahiran, pemerintah memang menggunakan aborsi sebagai salah satu cara untuk mengontrol populasi selain dengan mensosialisasikan alat – alat kontrasepsi kepada kalangan masyarakat Jepang ( LaFleur, 1992 : 135 – 137 ). Di Jepang, aborsi bukan merupakan suatu tindak kriminal karena dengan adanya Undang – Undang Perlindungan Eugenika yang memperbolehkan wanita – wanita Jepang untuk melakukan aborsi, aborsi menjadi legal di Jepang ( Muramatsu, 1996 : 35 ). Atas dasar inilah, 14 % ( 7 orang ) dari 50 responden memilih jawaban A.2 ( setuju, aborsi bukan tindak kriminal ), karena pada kenyataannya, aborsi memang diperbolehkan dan hal ini diatur dalam Undang – Undang Perlindungan Eugenika yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1948 dan mengalami penambahan pada tahun 1949. Seperti yang kita ketahui, angka kelahiran di Jepang sangat sedikit. Hal dikarenakan semakin sedikitnya jumlah angka pernikahan, banyak wanita yang memilih untuk tidak menikah, menunda kehamilannya, termasuk melakukan pengguguran kandungan ( aborsi ). Jumlah anak – anak di Jepang sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah orang dewasa. Hal ini terlihat jelas dari piramida berikut ini :
60
Gambar 3.1 Piramida Penduduk Jepang Tahun 1990 - 2005
Sumber : www.nationmaster.com/country/ja/Age_distribution ( 2006 ) Dapat dilihat sesuai dengan gambar piramida penduduk Jepang di atas, jumlah anak – anak memang paling sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tua. Akan tetapi, dari 50 responden, tidak ada yang memilih pilihan jawaban B.2 ( tidak setuju, jumlah anak – anak akan semakin sedikit ). Dengan adanya aborsi yang kian marak, secara otomatis, jumlah anak – anak di Jepang menjadi semakin sedikit.
61
3.2.9 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 9 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 9 yang berisi pertanyaan “ Menurut kamu, apa alasan pemerintah Jepang melegalkan aborsi ?”, 80 % ( 40 orang ) menjawab A. untuk menekan angka kelahiran, 16 % ( 8 orang ) menjawab B. Banyak yang meminta agar aborsi dilegalkan, dan 4 % ( 2 orang ) menjawab D. untuk menyelamatkan sang ibu jika kehamilannya berbahaya. Pilihan tertinggi ada pada pilihan jawaban A. untuk menekan angka kelahiran. LaFleur ( 1992 : 195 ) mengatakan bahwa dalam masyarakat Jepang modern, aborsi adalah suatu rasa sakit dan penderitaan, yang melibatkan janin dan ibu yang mengandungnya. Sedangkan dari segi medis, aborsi mempunyai pengertian terminasi ( penghentian ) kehamilan yang disengaja ( abortus provocatus ). Yakni kehamilan yang di provokasi dengan berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran ( Hawari, 2006 : 62 ). Pada bulan Juli 1948, berdasarkan rapat dewan kelompok kerja kesehatan masyarakat yang diadakan oleh Kementrian kesehatan dan Kesejahteraan Jepang dan didukung oleh lima partai politik terbesar di Jepang, pemerintah mengeluarkan Undang - Undang ゆうせいほごほう
Perlindungan Eugenika ( Eugenic Protection Law ) atau
;優性保護法
( LaFleur, 1992 : 134-138 ; Sawanobori, 1989 : 244 ). UU tersebut dibuat sebagai pengganti UU Eugenika Nasional tahun 1940, yang dibuat untuk mencegah penularan penyakit yang disebabkan oleh garis keturunan seseorang secara alami. UU 1948 ini mengatur pemberian kebebasan bagi anggota masyarakat Jepang untuk melakukan tindakan aborsi dalam kondisi tertentu ( Gelb & Palley, 1994 : 72 ). Di bawah Undang – Undang Perlindungan Eugenika ( Eugenic Protection Law ) tahun 1948, praktek aborsi dan pembunuhan bayi kian marak ( Wagatsuma, 1989 : 246 ).
62
Dengan adanya hukum yang mengizinkan wanita Jepang melakukan aborsi, kasus yang dilaporkan meningkat pesat setelah tahun 1949, bahkan mencapai puncaknya pada tahun 1955 hingga 1.170.143 kasus. Setelah tahun 1955, angka aborsi berangsur – angsur turun hingga mencapai 700.000 kasus. Walaupun demikian jumlah aborsi yang sebenarnya terjadi mencapai 2 kali lipat dari angka tersebut. Diketahui pula bahwa sekitar 1 dari 3 remaja putri Jepang melakukan aborsi lebih dari 1 kali ( Sawanobori, 1989 : 244 ). Praktek aborsi dan pembunuhan bayi kian marak di bawah Undang – ゆうせいほごほう
Undang perlindungan Eugenica ( Eugenic Protection Law ) atau
;優性保護法
tahun 1948, terbukti menjaga kestabilan angka pertumbuhan penduduk Jepang sejak saat itu ( Wagatsuma, 1989 : 246 ). Dengan adanya UU ini, pertumbuhan populasi di Jepang menjadi
lebih
terkontrol.
Walaupun
pemerintah
memperbolehkan
masyarakat
melakukan aborsi, ada beberapa aturan tambahan agar aborsi tidak semakin meningkat dan untuk menjaga agar populasi masyarakat jepang di bawah UU ini tetap terkendali. Untuk itu muncul suatu amandemen tambahan yang mengatur bahwa keputusan aborsi harus disahkan atas dasar keputusan psikiater untuk diserahkan pada kewenangan pemerintah. Surat penyelidikan dan pemeriksaan itu dikeluarkan oleh Dewan Perlindungan Eugenika ( Eugenic Protection Council ) dan Dewan Perlindungan Eugenika Pusat ( Central Eugenic Protection Council ) pemerintahan prefektur atau daerah ( LaFleur, 1992 : 135 ). Perlu diketahui, revisi Undang – Undang Perlindungan Eugenika ( Eugenic Protection Law ) pada tahun 1949 memasukkan pertimbangan ekonomi keluarga menjadi alasan diperbolehkannya tindakan aborsi ( Muramatsu, 1996 : 33 ).
63
Aturan tambahan Perundangan Aborsi di Jepang tersebut adalah : Aborsi diizinkan sebelum usia kehamilan mencapai 23 minggu + 6 hari usia kehamilan. Alasan biasa untuk aborsi adalah ketidakmampuan untuk memelihara bayi secara ekonomi, atau proses kelahiran yang dapat membahayakan kesehatan ibu yang mengandung. ゆうせいほごほう
Dalam undang – undang aborsi ini (
;優性保護法 atau Eugenic Protection
Law ), amandemen yang mengatur tentang penyelidikan komite setempat untuk mendapatkan izin aborsi, tahun 1952 dihapuskan. Syarat utama untuk aborsi adalah izin dari dokter dengan persetujuan ibu yang mengandung ( Muramatsu, 1996 : 33 ). Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah aborsi yang dilaporkan terus mengalami penurunan secara stabil hingga tahun 1990 – an ( Muramatsu, 1996 : 74 ). Tabel 3.5 Jumlah Aborsi Tahun 1992 – 1995 Tahun 1992 Jumlah Aborsi 413.032 yg Dilaporkan Sumber : Muramatsu ( 1996 : 75 )
1993 386.807
1994 364.350
1995 343.024
Dari tabel 3.3 di atas dapat dilihat bahwa angka aborsi yang terjadi dari tahun 1992 hingga tahun 1995, mengalami penurunan yang stabil. Dalam prakteknya, pelaksanaan aborsi baru dapat dilakukan jika wanita yang mengandung, pasangannya atau saudaranya, diketahui membawa bakal penyakit menular turunan, pengidap kusta, atau kehamilan tersebut membahayakan ibu yang mengandung, kehamilan karena perkosaan, atau janin diperkirakan cacat ketika lahir ( LaFleur, 1992 : 135 ). Hal ini pun sama dengan pendapat Prof. Dadang Hawari ( 2006 : 61 ) bahwa aborsi baru diperbolehkan apabila kondisi sang ibu termasuk dalam salah satu syarat berikut :
64
1. Usia kandungan tidak lebih dari 12 minggu dan hasil diagnosis menunjukkan munculnya resiko lebih besar pada pasien ( perempuan ) bila kehamilan dilanjutkan, seperti gangguan mental, fisik, dan psikososial. 2. Ancaman gangguan / cacat mental permanent pada pasien ( perempuan ). 3. Membahayakan jiwa pasien ( perempuan ) jika kehamilan dilanjutkan. 4. Resiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat fisik / mental yang serius. Dari data – data yang telah dijabarkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, memang pemerintah melegalkan aborsi untuk mengendalikan populasi ( menekan angka kelahiran ). Di samping itu, aborsi di Jepang juga diperbolehkan apabila memang pada kenyataannya, kehamilan tersebut membahayakan keselamatan sang ibu.
3.2.10 Analisis Pendapat Responden Terhadap Pertanyaan No. 1 dalam Angket Jawaban yang diberikan oleh 50 responden atas soal no. 10 yang berisi pertanyaan “ Menurut kamu, jumlah aborsi yang paling besar dilakukan oleh wanita pada usia ?”, dapat dilihat dari grafik berikut :
65
Grafik 3.10 Grafik Jawaban Responden Terhadap Pertanyaan No. 10 dalam Angket
Keterangan : A. Di bawah 20 tahun
D. 30 – 34 tahun
B. 20 – 24 tahun
E. 35 – 39 tahun
C. 25 – 29 tahun
F. Di atas 40 tahun
Dari grafik di atas terlihat bahwa menurut 50 responden orang Jepang yang diberikan pertanyaan mengenai wanita usia berapa yang paling banyak melakukan aborsi, 50 % menjawab B ( 20 – 24 tahun ). Usia 20 – 24 tahun masih tergolong remaja. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Jiwaningrat ( 2008 : 15 ). Jiwaningrat mengelompokkan masa remaja menjadi 3 tahapan, yaitu : 1. Masa persiapan fisik ( umur 11 – 15 tahun ) : yang mencolok adalah perubahan dari segi fisik 2. Masa persiapan diri ( 15 – 18 tahun ) : persiapan fisik sudah selesai dijalani, kedewasaan tumbuh dan kematangan sosial sudah tercapai, akan tetapi kedewasaan dan rasa tanggung jawab belum sepenuhnya diperoleh. 66
3. Masa persiapan dewasa ( 18 – 21 tahun ) : pada masa ini kebanyakan kaum muda masih belum dapat kepastian tentang masa depannya. Diharapkan sudah tercapai status kedewasaan dalam lingkungan keluarga. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Prof. Sumiko ( Gelb & Palley, 1994 : 78 ), menyatakan bahwa besarnya angka aborsi paling tinggi dilakukan oleh para remaja. Menurut data statistik yang dihimpun, di Jepang telah terjadi 1,2 juta kasus aborsi di Jepang atau 50,2 kasus / 1000 wanita dalam usia produktif ( 15 – 49 tahun ) pada tahun 1995. Jumlah aborsi di Jepang meningkat semenjak diberlakukannya Undang – Undang Perlindungan Eugenika yang memperbolehkan masyarakat Jepang melakukan aborsi. bahkan dengan adanya undang – undang yang melegalkan aborsi menimbulkan pernyataan bahwa Jepang merupakan surga untuk aborsi ( abortion’s heaven ) dan berpengalaman sebagai penyebab terjadinya ledakan pengguguran kandungan ( mizuko boom ) (Sawanobori,1989 : 244 ).
67
Tabel 3.6 Jumlah Aborsi yang Dilaporkan dan Tingkat Aborsi di Jepang Tingkat rata – rata per 1000 wanita berdasarkan kelompok usia Aborsi yang Dilaporkan
Total
1955
1.170.143
1960
Tahun
2024
2529
3034
3539
40-44
45-49
50.2
Di bawah 20 th 3.4
95.1
80.8
43.1
80.5
41.8
5.8
1.063.256
42.0
3.2
74.0
73.9
40.2
62.7
29.4
3.8
1965
843.248
30.2
2.5
56.0
56.0
31.1
38.0
21.2
2.5
1970
732.033
24.8
3.2
44.7
42.2
26.4
32.9
14.7
2.1
1975
671.579
22.1
3.1
38.4
34.4
24.7
29.2
13.8
1.5
1980
598.084
19.5
4.7
33.2
29.3
23.3
26.8
12.0
1.3
1985
550.127
17.8
6.4
31.5
24.6
22.0
26.2
11.2
1.1
1990
456.797
14.5
6.6
25.4
19.7
19.8
22.7
10.3
0.8
1991
436.299
13.9
6.9
23.7
19.1
19.1
21.7
9.3
0.8
Sumber : Kosei-sho, Yusei hogotokei hokoku ( 1992 : 42-43 ) Gelb & Palley ( 1994 : 73 ) Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa memang angka aborsi tertinggi dari tahun 1955 hingga 1991 dilakukan oleh wanita Jepang usia 20 – 24 tahun. Walaupun angka tersebut sangat tinggi, tiap 5 tahunnya mengalami penurunan secara stabil hingga tahun 1990 ( Gelb & Palley, 1994 : 74 ). Meskipun dari tabel di atas angka aborsi yang dilakukan oleh remaja Jepang terlihat cukup tinggi, akan tetapi bila dibandingkan dengan negara – negara lain, angka aborsi remaja Jepang termasuk rendah. Hal ini tergambar dari sedikitnya tingkat kehamilan remaja Jepang jika dibandingkan dengan negara – negara lain yang dapat dilihat dalam tabel berikut :
68
Tabel 3.7 Perbandingan Tingat Kehamilan Usia Remaja ( 1990 ) Negara Denmark
Jumlah wanita usia 15-19 tahun 190.000
Tingkat kehamilan per 1000 kasus 22.0
Perancis
2.070.000
23.9
Jerman Barat
620.000
20.8
Jerman Timur
2.430.000
73.0
Italia
2.250.000
34.3
Swedia
290.000
22.9
Inggris
2.270.000
32.0
Canada
990.000
34.1
Amerika Serikat
8.780.000
63.0
India
41.360.000
40.8
Korea Selatan
2.070.000
29.3
Jepang
4.400.000
3.3
Sumber : Ishihama, Judai no ninshinchuuzetsu ( 1992 : 78 – 80 ) ( Gelb & Palley, 1994 : 75 ) Akibat diberlakukannya Undang – Undang Perlindungan Eugenika yang membawa kemudahan untuk aborsi ini, angka kehamilan di kalangan remaja yang meningkat sejak pertengahan tahun 1970-an dapat diatasi. Meskipun angka kehamilan remaja di Jepang masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara – negara lain ( tabel 3.2 ), cukup banyak remaja yang ingin melakukan aborsi saat kehamilan menginjak usia 4 – 6 bulan. Hal ini desebabkan karena malu, ragu – ragu, takut atau karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai masalah seksual ( Gelb & Palley, 1994 : 76 ).
69