BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Perilaku Perilaku terbentuk didalam diri seseorang dari dua faktor utama yakni: stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut (faktor eksternal), dan respons merupakan faktor dari dalam
diri seseorang yang bersangkutan (faktor
internal). Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, polotik, dan sebagainya. Dari penelitian-penelitian yang ada faktor eksternal paling besar perannya dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor sosial dan budaya, dimana seseorang tersebut berada. Sedangkan faktor internal yang menentukan seseorang itu merespons stimulus dari luar adalah perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005). Menurut Green (1968) dalam Notoatmodjo (2005), membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut yakni behavioral factor (faktor perilaku), dan non behavioral factors (faktor non perilaku). Selanjutnya Green menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu: 1. Faktor-faktor predisposisi (disposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya. Seorang ibu mau membawa anaknya ke Posyandu, karena tahu
Universitas Sumatera Utara
bahwa di Posyandu akan dilakukan penimbangan anak untuk mengetahui pertumbuhannya. Anaknya akan memperoleh imunisasi untuk pencegahan penyakit, dan sebagainya. Tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan ini, ibu tersebut mungkin tidak akan membawa anaknya ke Posyandu. 2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan, yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, rumah sakit, tempat olah raga, makanan bergizi, uang dan sebagainya. Sebuah keluarga yang sudah tahu masalah kesehatan, mengupayakan keluarganya untuk menggunakan air bersih, buang air besar di WC, makan makanan yang bergizi, dan sebagainya, tetapi apabila keluarga tersebut tidak mampu untuk mengadakan fasilitas itu semua, maka dengan terpaksa buang air besar di kali/ kebun, menggunakan air kali untuk keperluan sehari-hari, makan seadanya, dan sebagainya. 3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berprilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Seorang ibu hamil tahu manfaat periksa hamil, karena ibu lurah dan ibu-ibu tokoh lain tidak pernah periksa hamil, namun anaknya tetap sehat. Hal ini berarti, bahwa untuk berperilaku sehat memerlukan contoh dari para tokoh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Snehandu B. Kar (1983) menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku merupakan fungsi dari: a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention) b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitar (social support) c. Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessibility of information) d. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomi) e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation). Anderson dalam Notoatmodjo (2005; ) menggambarkan model kesehatan (health system model) yang berupa model kepercayaan kesehatan. Didalam model Anderson ini terdapat 3 kategori utama dalam pelayanan kesehatan yaitu : 1. Karakteristik Predisposisi (predisposing characteristics) Karaktiristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang berbedabeda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu, yang digolongkan ke dalam 3 kelompok. a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur b. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ruas dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
c. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit. Selanjutnya Anderson percaya bahwa: 1) Setiap individu atau orang mempunyai perbedaan-perbedaan karakteristik, mempunyai perbedaan tipe dan frekuensi penyakit, dan mempunyai perbedaan pola penggunaan pelayanan kesehatan. 2) Setiap individu mempunyai perbedaan struktur sosial, mempunyai perbedaan gaya hidup dan akhirnya mempunyai perbedaan pola penggunaan pelayanan kesehatan. 3) Individu percaya adanya kemanjuran dalam penggunaan pelayanan kesehatan. 2. Karakteristik Pendukung (enabling characteristics) Karakteristik ini mencerminkan bahwa meskipun mempunyai prediposisi untuk
menggunakan
pelayanan
kesehatan,
ia
tak
akan
bertindak
untuk
menggunakannya, kecuali bila ia mampu menggunakannya. Penggunaan pelayanan kesehatan yang ada tergantung kepada kemampuan konsumen untuk membayar. 3. Karakteristik Kebutuhan (need characteristics) Faktor predisposisi dan faktor yang memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan. Dengan kata lain kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat predisposisi dan enabling
Universitas Sumatera Utara
itu ada. Kebutuhan (need) disini dibagi menjadi 2 kategori, dirasa atau preceived (subject assesment) dan evaluated (clinical diagnosis).
2.2. Sampah Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah adalah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Notoatmodjo, 2003). Menurut kamus istilah lingkungan hidup, sampah mempunyai definisi sebagai bahan yang tidak mempunyai nilai, bahan yang tidak berharga untuk maksud biasa, pemakaian bahan rusak, barang yang cacat dalam pembikinan manufaktur, materi berkelebihan, atau bahan yang ditolak. Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan didefinisikan oleh manusia menurut derajat keterpakaiannya, dalam proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam tersebut berlangsung. Akan tetapi karena dalam kehidupan manusia didefinisikan konsep lingkungan maka sampah dapat dibagi menurut jenis-jenisnya. Sampah dapat membawa dampak yang buruk pada kondisi kesehatan manusia. Bila sampah dibuang secara sembarangan atau ditumpuk tanpa ada
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan yang baik, maka akan menimbulkan berbagai dampak kesehatan yang serius. Tumpukan sampah rumah tangga yang dibiarkan begitu saja akan mendatangkan tikus got dan serangga (lalat, kecoa, lipas, kutu, dan lain-lain) yang membawa kuman penyakit. Sampah yang dibuang di jalan dapat menghambat saluran air yang akhirnya membuat air terkurung dan tidak bergerak, menjadi tempat berkubang bagi nyamuk penyebab malaria. Sampah yang menyumbat saluran air atau got dapat menyebabkan banjir. Ketika banjir, air dalam got yang tadinya dibuang keluar oleh setiap rumah akan kembali masuk ke dalam rumah sehingga semua kuman, kotoran dan bibit penyakit masuk lagi ke dalam rumah.
2.3. Jenis-jenis Sampah Menurut Notoatmodjo (2003; 187) sampah meliputi tiga jenis yaitu: 2.3.1. Sampah Padat Sampah padat adalah segala bahan buangan selain kotoran manusia, urine dan sampah cair. Dapat berupa sampah rumah tangga: sampah dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas dan lain-lain. Menurut bahannya sampah ini dikelompokkan menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik merupakan sampah yang berasal dari barang yang mengandung bahan-bahan organik, seperti sisa-sisa sayuran, hewan, kertas, potongan-potongan kayu dari peralatan rumah tangga, potongan-potongan ranting, rumput pada waktu pembersihan kebun dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kemampuan diurai oleh alam (biodegradability), maka dapat dibagi lagi menjadi: 1. Biodegradable yaitu sampah yang dapat diuraikan secara sempurna oleh proses biologi baik aerob atau anaerob, seperti: sampah dapur, sisa-sisa hewan, sampah pertanian dan perkebunan. 2. Non-biodegradable yaitu sampah yang tidak bisa diuraikan oleh proses biologi. Dapat dibagi lagi menjadi: a. Recyclable: sampah yang dapat diolah dan digunakan kembali karena memiliki nilai secara ekonomi seperti plastik, kertas, pakaian dan lainlain. b. Non-recyclable: sampah yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak dapat diolah atau diubah kembali seperti tetra packs, carbon paper, thermo coal dan lain-lain 2.3.2. Sampah Cair Sampah cair adalah bahan cairan yang telah digunakan dan tidak diperlukan kembali dan dibuang ke tempat pembuangan sampah. a. Limbah hitam: sampah cair yang dihasilkan dari toilet. Sampah ini mengandung patogen yang berbahaya. b. Limbah rumah tangga: sampah cair yang dihasilkan dari dapur, kamar mandi dan tempat cucian. Sampah ini mungkin mengandung patogen.
Universitas Sumatera Utara
Sampah dapat berada pada setiap fase materi: padat, cair, atau gas. Ketika dilepaskan dalam dua fase yang disebutkan terakhir, terutama gas, sampah dapat dikatakan sebagai emisi. Emisi biasa dikaitkan dengan polusi. Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas industri (dikenal juga dengan sebutan limbah), misalnya pertambangan, manufaktur, dan konsumsi. Hampir semua produk industri akan menjadi sampah pada suatu waktu, dengan jumlah sampah yang kira-kira mirip dengan jumlah konsumsi.untuk mencegah sampah cair adalah pabrik pabrik tidak membuang limbah sembarangan misalnya membuang ke selokan. Sampah jika ditinjau dari segi jenisnya diantaranya yaitu: 1. Sampah yang dapat membusuk atau sampah basah (garbage). Garbage adalah sampah yang mudah membusuk karena aktifitas mikroorganisme pembusuk. 2. Sampah yang tidak membusuk atau sampah kering (refuse). Sampah jenis ini tidak dapat didegradasikan oleh mikroorganisme, dan penanganannya membutuhkan teknik yang khusus. Contoh sampah jenis ini adalah ketas, plastik, dan kaca. 3. Sampah yang berupa debu atau abu. Sampah jenis ini biasanya hasil dari proses pembakaran. Ukuran sampah ini relatif kecil yaitu kurang dari 10 mikron dan dapat memasuki saluran pernafasan. 4. Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan Sampah jenis ini sering disebut sampah B3, dikatakan berbahaya karena berdasarkan jumlahnya atau konsentrasinya atau karena sifat kimiawi atau fisika atau mikrobanya dapat:
Universitas Sumatera Utara
a. Meningkatkan
mortalitas
dan
mobilitas
secara
bermakna
atau
menyebabkan penyakit yang tidak reversibel ataupun sakit berat tidak dapat pulih ataupun reversibel atau yang dapat pulih. b. Berpotensi menimbulkan bahaya pada saat ini maupun dimasa yang akan datang terhadap kesehatan atau lingkungan apabila tidak diolah, ditransport, disimpan dan dibuang dengan baik. Sampah yang masuk dalam tipe ini tergolong sampah yang beresiko menimbulkan keracunan baik manusia maupun fauna dan flora di lingkungan tersebut, Slamet (1994; 154). Sedangkan Hadiwiyono, (1983) mengelompokkan sampah berdasarkan dua karakteristik, yaitu: 1) Kimia 1. Organik, yaitu sampah yang mengandung senyawa organik atau sampah yang tersusun dari umsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan pospor. 2. Anorganik, yaitu sampah yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme, jika bisapun membutuhkan waktu yang sangat lama. 2) Fisika 1. Sampah basah (garbage), yaitu garbage tersusun dari sisa-sisa bahan-bahan organik yang mudah lapuk dan membusuk. 2. Sampah kering (rubbish), yaitu sampah kering dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu jenis logam seperti besi, seng,aluminium dan jenis non logam seperti kertas dan kayu.
Universitas Sumatera Utara
3. Sampah lembut, yaitu sampah lembut memiliki ciri khusus yaitu berupa partikel-partikel kecil yang ringan dan mudah terbawa oleh angin. 4. Sampah besar (bulkywaste), yaitu sampah jenis ini memiliki ukuran yang relatif lebih besar, contohnya sampah bekas mesin kendaraan. 5. Sampah berbahaya (hazardous waste), yaitu Sampah jenis ini terdiri dari : a. Sampah patogen (biasanya sampah jenis ini berasal dari kegiatan medis) b. Sampah beracun (contoh sampah sisa pestisida, isektisida, obat-obatan, sterofom) c. Sampah ledakan, misiu, sisa bom dan lain-lain d. Sampah radioaktif dan bahan-bahan nuklir.
2.4. Pengelolaan Sampah Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaur-ulangan, atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat. Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara berkembang, berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan, berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yang
Universitas Sumatera Utara
tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah. Menurut Notoatmodjo (2003; 188) cara-cara pengelolaan sampah antara lain sebagai berikut : 1. Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah Pengumpulan sampah adalah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga atau institusi yang mengahassilkan sampah. Oleh sebab itu, harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah. Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA). Mekanisme, sistem, atau cara pengangkutannya untuk di daerah perkotaan adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat, yang didukung oleh partisipasi masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan. Sedangkan untuk daerah pedesaan pada umumnya sampah dapat dikelola oleh masing-masing keluarga, tanpa memerlukan TPS, maupun TPA. Sampah rumah tangga daerah pedesaan umumnya didaur ulang menjadi pupuk. 2. Pemusnahan dan Pengolahan Sampah Pemusnahan atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Ditanam (lanfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah. b. Dibakat (incenaration), yaitu memusnakan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran (incenarator) c. Dijadikan pupuk (composting) Yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk. Di daerah pedesaan hal ini sudah biasa, sedangkan di daerah perkotaan hal ini perlu dibudayakan. Apabila setiap anggota rumah tangga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dan an-organik, kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman dapat dijual atau dipakai sendiri. Sedangkan sampah an-organik dibuang, dan akan segera dipungut oleh para pemulung. Dengan demikian maka masalah sampah akan berkurang.
2.5. Sumber Sampah Berdasarkan sumbernya, Wibowo. Arianto dan Djajawinata. T. Darwin, (2007) membagi sampah menjadi dua kelompok yaitu: 1. Sampah domestik adalah sampah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia secara langsung, contohnya sampah rumah tangga, pasar, sekolah dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
2. Sampah non domestik adalah sampah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia secara tidak langsung, contohnya sampah pabrik, industri dan pertanian.
2.6. Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). Berdasarkan pengertian dari definisi tersebut maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah. Sekalipun definisi atau pengertian DAS sama pada beberapa Peraturan Perundangan yang berbeda (Kehutanan dan Sumberdaya Air), namun implementasi dan pengejawantahannya dalam Pengelolaan DAS belum sama; sekaligus ini menjadi masalah pertama yang harus dituntaskan agar platform dan mainframe setiap kementerian, instansi, dan lembaga lainnya menjadi sama. Menurut Suardji (2007), DAS adalah komponen pada permukaan bumi ysng dibatasi oleh punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. DAS oleh karenanya merupakan satu kesatuan sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk mendapatkan manfaatan darinya. Agar manfaat DAS
Universitas Sumatera Utara
dapat diperoleh secara optimal dan berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. DAS ialah istilah geografi mengenai sebatang sungai, anak sungai dan area tanah yang dipengaruhinya, batas wilayah DAS diukur dengan cara menghubungkan titik-titik tertinggi diantara wilayah aliran sungai yang satu dengan yang lainnya (Slamet, 2009; 108). Batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit) dan curah hujan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi lindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit (Slamet, 2009; 108). Menurut Slamet (2009; 109) masalah-masalah DAS di Indonesia yaitu: 1. Banjir 2. Produktivitas tanah menurun 3. Pengendapan lumpur pada waduk 4. Saluran irigasi 5. Proyek tenaga air 6. Penggunaan tanah tidak tepat (perladangan berpindah, pertanian lahan kering dan konservasi yang tidak tepat).
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor yang memengaruhi DAS di Indonesia: 1. Iklim 2. Jenis batuan yang dilalui DAS 3. Banyak sedikitnya air hujan yang jatuh ke alur DAS 4. Lereng DAS 5. Bentukan alam (mender, dataran dan delta)
2.7.Bencana Banjir Menurut Setyawan (2008) banjir adalah salah satu proses alam, banjir terjadi karena debit air sungai yang sangat tinggi hingga melampaui daya tampung saluran sungai lalu meluap ke daerah sekitarnya. Debit air sungai yang tinggi terjadi kerana curah hujan yang tinggi, sementara itu, banjir juga dapat terjadi karena kesalahan manusia. Sebagai proses alam, banjir adalah hal yang biasa terjadi dan merupakan bagian dari siklus hidrologi. Banjir tidak dapat dihindari dan pasti terjadi. Hal ini dapat kita lihat dari adanya dataran banjir pada sistem aliran sungai. saat banjit terjadi transportasi muatan sedimen dari daerah hulu sungai ke hilir dalam jumlah yang besar, muatan sedimen itu bersal dari erosi yang terjadi di derah pegunungan atau perbukitan. Banjir akibat kesalahan manusia setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu pengelolaan daerah hulu sungai yang buruk, dan pengolahan drainase yang buruk. Dalam siklus hidrologi, daerah hulu sebenarnya adalah daerah resapan air.
Universitas Sumatera Utara
Pengolahan daerah hulu yang buruk menyebabkan air banyak mengalir sebagai air permukaan yang dapat menyebabkan banjir (Setyawan, 2008).
2.8.Sikap Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu, bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Sikap manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli (Azwar, 2007; 87). Thurstone dalam Azwar (2007) mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis. Sikap atau Attitude senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. Tidak ada sikap tanpa adanya objek (Gerungan, 2004). LaPierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo secara lengkap mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu (dalam Azwar, 2007; 89).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku
seseorang
dalam
hubungannya
dengan
stimulus
manusia
atau
kejadiankejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003). Azwar (2007; 89), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Kedua, kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
Universitas Sumatera Utara
Jadi berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif. Azwar (2007; 47) menyatakan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu: a. Komponen kognitif Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. b. Komponen afektif Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. c. Komponen perilaku Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
2.8.1. Perwujudan sikap dalam perilaku Werner dan Defleur (Azwar, 2007; 46) mengemukakan 3 postulat guna mengidentifikasikan tiga pandangan mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu postulat of consistency, postulat of independent variation, dan postulate of contigent consistency. Berikut ini penjelasan tentang ketiga postulat tersebut:
Universitas Sumatera Utara
a. Postulat Konsistensi Postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal memberi petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang bila dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi postulat ini mengasumikan adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku. b. Postulat Variasi Independen Postulat ini mengatakan bahwa mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku karena sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda. c. Postulat Konsistensi Kontigensi Postulat konsistensi kontigensi menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Normanorma, peranan, keanggotaan kelompok
dan lain sebagainya,
merupakan kondisi
ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. Oleh karena itu, sejauh mana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi lainnya. Postulat yang terakhir ini lebih masuk akal dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilaku. Apabila individu berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang ditampakkannya merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya. Artinya, potensi reaksi sikap yang sudah terbentuk dalam diri individu itu akan muncul berupa perilaku aktual sebagai cerminan sikap yang
Universitas Sumatera Utara
sesungguhnya terhadap sesuatu. Sebaliknya jika individu mengalami atau merasakan hambatan yang dapat mengganggu kebebasannya dalam mengatakan sikap yang sesungguhnya atau bila individu merasakan ancaman fisik maupun ancaman mental yang dapat terjadi pada dirinya sebagai akibat pernyataan sikap yang hendak dikemukakan maka apa yang diekspresikan oleh individu sebagai perilaku lisan atau perbuatan itu sangat mungkin tidak sejalan dengan sikap hati nuraninya, bahkan dapat sangat bertentangan dengan apa yang dipegangnya sebagai suatu keyakinan. Semakin kompleks situasinya dan semakin banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam bertindak maka semakin sulitlah mempediksikan perilaku dan semakin sulit pula menafsirkannya sebagai indikator (Azwar, 2007; 47).
2.9.Pengertian Kebijakan Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang organisasi, atau pemerintah), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen/administrasi dalam usaha mencapai sasaran tertentu (Pustaka, 1991). Kebijakan Publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan rakyat (Euleu dan Prewit, 1973). Dunn (2003; 20) menyebutkan bahwa kebijakan publik adalah kebijakankebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu. Proses analisis kebijakan yaitu antara lain:
2.9.1. Penyusunan Agenda Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut, isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas
Universitas Sumatera Utara
suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, dll, 1974), yaitu: 1. Telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius 2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis 3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa 4. Menjangkau dampak yang amat luas 5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat 6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya) Karakteristik para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama. Ilustrasi legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undangundang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih. Penyusunan agenda kebijakan sebaiknya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
Universitas Sumatera Utara
2.9.2. Formulasi Kebijakan Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. 2.9.3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. 2.9.4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi
atau
penilaian
kebijakan
yang
mencakup
substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, programprogram yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Dunn (2003; 1) analisis kebijakan menerangkan karakteristik dan peranan kebijakan dalam memecahkan masalah dan mengurangi elemen-elemen analisis kebijakan sebagai proses pengkajian.
2.10. Jenis Kebijakan dan Kegiatan Jenis dan tingkat partisipasi masyarakat akan berbeda, tergantung pada jenis kebijakan atau kegiatan. Untuk memudahkan identifikasi jenis dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan atau kegiatan, Bank Dunia memperkenalkan social assessment yang umumnya mengelompokkan empat jenis kebijakan atau kegiatan berdasarkan karakteristik hasil dan dampak sosialnya, yaitu: (1) indirect social benefits and direct socialcosts; (2) significant uncertainty or risks; (3) large number of beneficiaries and few socialcost; dan (4) targeted assistance. Indirect benefits, direct social cost, kebijakan atau kegiatan yang memberi manfaat tidak langsung kepada masyarakat, tetapi menimbulkan biaya sosial. Contohnya, antara lain pembangunan insfrastruktur, keanekaragaman hayati, structural adjustment, dan privatisasi. Significant uncertainty or risk, kebijakan untuk menyelesaikan masalah yang bentuk penyelesaiannya belum jelas dan tidak cukup tersedia informasi serta komitmen dari kelompok sasaran. Contohnya, antara lain intervensi/ pembangunan wilayah pasca konflik. Large number of beneficiaries and few social cost, kebijakan atau kegiatan yang jumlah penerima manfaat atau dampaknya sangat besar, tetapi hanya sedikit
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan kesehatan, pendidikan, penyuluhan pertanian, dan desentralisasi. Targeted assistance, kebijakan atau kegiatan yang kelompok dan jumlah penerima manfaat atau dampaknya telah terdefinisikan secara jelas. Contoh kegiatan ini antara lain penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah, penanganan pengungsi, reformasi kelembagaan (institutional reform), dan korban bencana alam (Direktorat Pengairan dan Irigasi, 2007).
2.11. Implementasi Kebijakan ( Edward III ) Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang memepengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III mulai dengan mengajukan dua pertanyaan, yakni: 1. What is the precondition for successful policy implementation? 2. What are the primary obstacles to successful policy implementation? George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya, komunikasi, disposisi.
2.11.1. Struktur Birokrasi Birokrasi merupakan salah satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi
Universitas Sumatera Utara
pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin dalam Nugroho (2008; 447) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu: 1. Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik (public affair). 2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya. 3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. 4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas. 5. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati. 6. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar. Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalannya pelaksanaan kebijakan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka memahami struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam Nugroho (2008; 447) terdapat dua karakteristik utama
Universitas Sumatera Utara
dari birokrasi yakni Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. (Nugroho, 2008). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan. Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Nugroho (2008;447) menjelaskan bahwa SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi. Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi. Edward III dalam Nugroho (2008; 447) menjelaskan bahwa fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan dengan implementasi kebijakan publik (Nugroho, 2008; 448): Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu, masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang menumpuk”. Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemumgkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.
2.11.2. Sumber Daya Edwards III (1980:11) mengkategorikan sumber daya organisasi terdiri dari Staff, information, authority, facilities; building, equipment, land and supplies. Edward III (1980) mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut dapat diukur dari aspek kecukupan yang didalamnya tersirat kesesuaian dan kejelasan Insufficient resources will mean that laws will not be enforced, services will not be provided and reasonable regulation will not be developed. Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output. Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi”. (Tachjan, 2006)
2.11.3. Disposisi Menurut
Edward
III
dalam
Nugroho
(2008;
447)
mengemukakan
kecenderungan-kecenderungan atau disposisi merupakan salah-satu faktor yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi kebijakan karena konflik kepentingan maka implementasi kebijakan akan menghadapi kendala yang serius. Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan Edward III tentang ”zona ketidakacuhan” dimana para pelaksana kebijakan melalui keleluasaanya (diskresi) dengan cara yang halus menghambat implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda dan tindakan penghambatan lainnya. Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustinus (2006) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
1. Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat. 2. Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
2.11.4. Komunikasi Menurut Agustino (2006) komunikasi merupakan salah-satu variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Infromasi yang diketahui para pengambil keputusan
Universitas Sumatera Utara
hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan variabel komunikasi. Edward III dalam Agustino (2006) mengemukakan tiga variabel tersebut yaitu: 1. Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdirtorsi di tengah jalan. 2. Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-levelbureaucrats)
harus
jelas
dan
tidak
membingungkan
atau
tidak
ambigu/mendua. 3. Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian Edward III yang dirangkum dalam Nugroho (2008:127) Terdapat beberapa hambatan umum yang biasa terjadi dalam transmisi komunikasi yaitu Pertama, terdapat pertentangan antara pelaksana kebijakan dengan perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung dalam komunikasi kebijakan. Kedua, informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi karena panjangnya rantai informasi yang dapat
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan bias informasi. Ketiga, masalah penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi dan ketidakmampuan para pelaksana dalam memahami persyaratan-persyaratan suatu kebijakan. Menurut Nugroho (2008; 448) Faktor-faktor yang mendorong ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan publik biasanya karena kompleksitas kebijakan, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan publik, adanya masalah-masalah dalam memulai kebijakan yang baru serta adanya kecenderungan menghindari pertanggungjawaban kebijakan. Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun dan dikembangkan saluran-saluran komunikasi yang efektif. Semakin baik pengembangan saluransaluran komunikasi yang dibangun, maka semakin tinggi probabilitas perintahperintah tersebut diteruskan secara benar. Dalam
kejelasan
informasi
biasanya
terdapat
kecenderungan
untuk
mengaburkan tujuan-tujuan informasi oleh pelaku kebijakan atas dasar kepentingan sendiri dengan cara mengintrepetasikan informasi berdasarkan pemahaman sendirisendiri. Cara untuk mengantisipasi tindakan tersebut adalah dengan membuat prosedur melalui pernyataan yang jelas mengenai persyaratan, tujuan, menghilangkan pilihan dari multi intrepetasi, melaksanakan prosedur dengan hati-hati dan mekanisme pelaporan secara terinci. Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran, sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi dalam mencapai efektivitas implementasi kebijakan publik. Dengan demikian, penyebaran
Universitas Sumatera Utara
isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan. Dalam hal ini, media komunikasi yang digunakan untuk menyebarluaskan isi kebijakan kepada kelompok sasaran akan sangat berperan.
2.12. Kebijakan Pemerintah tentang Pengrusakan Lingkungan Sumber Air 2.12.1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara. Air sebagai komponen lingkungan hidup akan memengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan memengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion). Air sebagai komponen sumber daya alam yang sangat panting maka harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini berarti bahwa penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola agar tersedia dalam jumlah yang aman, baik kuantitas
Universitas Sumatera Utara
maupun kualitasnya, dan bermanfaat bagi kehidupan dan perikehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Di satu pihak, usaha dan atau kegiatan manusia memerlukan air yang berdaya guna, tetapi di lain pihak berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung, dan produktivitasnya. Agar air dapat bermanfaat secara lestari dan pembangunan dapat berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dampak negatif pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomik, di samping nilai ekologik, dan sosial budaya. Upaya pemulihan kondisi air yang cemar, bagaimanapun akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari kegiatan yang menyebabkan pencemarannya. Demikian pula bila kondisi air yang cemar dibiarkan (tanpa upaya pemulihan) juga mengandung ongkos, mengingat air yang cemar akan menimbulkan biaya untuk menanggulangi akibat dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang cemar. Keterpaduaan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ini dilakukan melalui upaya koordinasi antar pemerintah daerah yang berada dalam satu kesatuan ekosistem air dan atau satu kesatuan pengelolaan sumber daya air antara lain daerah aliran sungai (DAS). Kerja sama antar daerah dilakukan melalui badan kerja sama antar daerah dalam koordinasi dan kerja sama tersebut termasuk dengan instansi
Universitas Sumatera Utara
terkait, baik menyangkut rencana pemanfaatan air, pemantauan kualitas air, penetapan baku mutu air, penetapan daya tampung, penetapan mekanisme perizinan pembuangan air limbah, pembinaan dan pengawasan penataan. Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan sarana pengelolaan air limbah yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota dikenakan retribusi, retribusi ditetapkan dengan Peraturan daerah kabupaten/kota.
2.12.2. Peraturan Pemerintah (PP) Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai darimata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi serbaguna bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan. Perlindungan sungai adalah upaya pengamanan sungai terhadap kerusakankerusakan yang disebabkan oleh tindakan manusia dan alam. Pengembangan sungai adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemanfaatan fungsi sungai sebesar-besarnya tanpa merusak keseimbangan sungai dan lingkungannya. Penggunaan sungai adalah upaya memanfaatkan sungai. Pengendalian sungai adalah upaya untuk lebih memantapkan aliran sungai sepanjang tahun, guna
Universitas Sumatera Utara
memperoleh kemanfaatan sungai sebesar-besarnya, dan mengurangi/meniadakan daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya. Pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan sungai meliputi kegiatan-kegiatan: 1. Eksploitasi bangunan sungai termasuk semua instrumen yang merupakan bagian dari sistem pengendalian banjir. 2. Pemeliharaan fisik sungai dan bangunan sungai. 3. Pemeliharaan peralatan gawat banjir. 4. Pemeliharaan kendaraan dan peralatan operasionil. 5. Pemeliharaan bangunan kantor dan fasilitas kerja yang bersangkutan dengan pelaksanaan kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan sungai. 6. Pemeliharaan alat-alat pemantau sungai dan keamanan bangunan sungai. 7. Pemasangan tanda batas garis sempadan sungai. Pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum dalam rangka pembinaan sungai yang dilakukan oleh pemerintah atau badan usaha milik Negara. Dalam rangka penanggulangan bahaya banjir Pemerintah menetapkan : a. Tata cara penanggulangan bahaya banjir b. Pengelolaan dataran banjir termasuk penetapan daerah retensi; c. Pedoman tentang langkah-langkah penanggulangan bahaya banjir baik sebelum, selama maupun sesudah banjir Dalam keadaan yang membahayakan, Gubernur Kepala Daerah berwenang mengambil tindakan darurat guna keperluan pengamanan bahaya banjir. Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
wajib ikut serta menjaga kelestarian rambu-rambu dan tanda-tanda pekerjaan dalam rangka pembinaan sungai. Dilarang mengubah aliran sungai kecuali dengan ijin Pejabat yang berwenang, mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungaihanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin dari Pejabat yang berwenang, dilarang membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air, sehingga membahayakan dan/atau merugikan penggunaan air yang lain dan lingkungan, mengambil dan menggunakan air sungai selain untuk keperluan pokok sehari-hari hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin teriebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Warga akan dikenakan sanksi pidana apabila: a. Barangsiapa untuk keperluan usahanya hanya melakukan pembangunan bangunan sungai tanpa ijin. b. Barangsiapa melakukan pengusahaan sungai dan bangunan sungai tanpa ijin. c. Barangsiapa
mengubah
aliran
sungai,
mendirikan,
mengubah
atau
membongkar bangunan bangunan di dalam atau melintas sungai, mengambil dan menggunakan air sungai untuk keperluan usahanya yang bersifat komersil tanpa ijin. d. Barangsiapa membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai.
Universitas Sumatera Utara
2.12.3. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 8 Tahun 2001 tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan Sampah adalah sisa-sisa dari suatu benda berupa benda padat, benda cair yang tidak berfungsi lagi, baik yang berasal dari rumah tangga, bangunan termasuk yang ada di jalan umum. Pelayanan sampah adalah proses pelayanan yang meliputi kegiatan pewadahan, pengumpulan, pemusnahan dan pemungutan retribusi sampah ; -
Pewadahan ; Penyediaan sarana tempat pengumpulan sampah di lokasi wajib retribusi sampah.
-
Pengumpulan ; kegiatan pengumpulan sampah dari lokasi wajib Retribusi sampah ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS)
-
Penangkutan ; kegiatan pengangkutan sampah dari lokasi wajib retribusi sampah dan atau dari TPS ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
-
Pemusnahan ; kegiatan pemusnahan sampah yang berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
-
Pemungutan Retribasi; Kegiatan pemungutan retribusi sampah dan tiaptiap wajib retribusi sampah yang dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk.
Setiap orang pribadi atau badan yang berada di daerah wajib : a. Menjaga dan memelihara kebersihan lingkungan masing-masing dan saluran air disekelilingnya. b. Memelihara dan merawat pagar mati dan pagar hidup.
Universitas Sumatera Utara
c. Mengumpul dan memasukkan sampah pada wadah yang disediakan sendiri dan diletakkan pada lokasi yang mudah dijangkau oleh petugas kebersihan. d. Bagi warga yang tinggal di gang-gang yang tidak dapat dilalui oleh armada pengangkutan sampah langsung menempatkan sampahnya yang sudah dikemas ke tempat penampungan sampah sementara yang telah ditentukan. e. Setiap pedagang harian tidak menetap dan pedagang keliling diwajibkan untuk mengumpulkan sampah yang dihasilkan dalam satu wadah tertentu dan menempatkannya ke tempat pembuangan sementara yang telah disediakan oleh pemerintah daerah. f. Setiap penguasaha kendaraan angkutan umum harus menyediakan tempat sampah di dalam kendaraan dan kemudian membuang sampahnya di tempat penampungan sementara yang telah disediakan di terminal-terminal atau yang disediakan oleh Instansi Pengelola Persampahan di tempat-tempat tertentu. g. Setiap orang pribadi atau badan yang sedang melakukan kegaitan pembuangan harus memelihara kebersihan dan tidak menempatkan bahan material bangunan pada badan jalan atau trotoar. h. Setiap orang pribadi atau badan yang bertanggungjawab, memiliki dan atau menghuni bangunan di Kota Medan wajib membayar retribusi sampah sesuai dengan besarnya tarif yang telah ditentukan. i. Memberikan informasi kepada Pemerintah tentang pelanggaran-pelanggaran yang mencemarkan kebersihan lingkungan. j. Bagi pemilik tanah kosong wajib membersihkan dan merawat lahannya
Universitas Sumatera Utara
Setiap orang pribadi atau badan dilarang untuk : a. Membuang sampah di saluran air. b. Membuang sampah di jalan-jalan, sungai dan di Daerah Aliran Sungai (DAS) c. Membuang sampah atau menumpukkan sampah yang permanen di atas paret atau jalan. d. Membakar sampah sembarangan yang dapat mengganggu lingkungan. Pada perda ini sudah diatur semua sanksi, seperti sanksi denda 5 Juta rupiah dan ada juga sangksi kurungan selama 6 bulan bagi warga yang melanggarnya.
2.13. Definisi Konsep 2.13.1. Pengertian Perilaku Perilaku adalah merupakan perbuatan/tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang lain yang melakukannya (Miltenberger, 2001).
2.13.2. Pengertian Sikap Cocopio (1986) dalam Azwar (2000; 87) sikap adalah evaluasi umum yang dibuat oleh manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau issue yang ada.
2.13.3. Pengertian Kebijakan Menurut Hoogerwerf dalam Supriyadi (2007) pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk
Universitas Sumatera Utara
memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu yaitu dengan tindakan terarah.
2.13.4. Pengertian Implementasi Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Usman, 2002). Pengertian Implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa Implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya.
2.14. Landasan Teori Perilaku masyarakat daerah aliran sungai dalam membuang sampah sehingga berpotensi menyebabkan banjir, tidak terlepas dari sikap masyarakat dan kebijakan pemerintah daerah setempat. Dimana kedua faktor tersebut sikap masyarakat dan kebijakan pemerintah daerah memengaruhi perilaku masyarakat dalam membuang sampah di daerah aliran sungai. Menurut Green (1968) dalam Notoadmodjo (2005; 164), faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor: (1) faktor predisposisi (predisposing factor) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsurunsur lain yang terdapat dalam diri individu; (2) faktor pendukung (enabling factor)
Universitas Sumatera Utara
yaitu tersedianya sumber daya, sarana/prasarana kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya; (3) faktor pendorong (reinforcing factor) berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan seseorang termasuk keluarga, teman. Guru, pengambil kebijakan dan petugas/aparat. Terkait dengan perilaku ibu daerah aliran sungai dalam membuang sampah sehingga berpotensi banjir, maka faktor yang memengaruhi perilaku masyarakat yang utama adalah faktor predisposisi (sikap) dan faktor penguat (kebijakan pemerintah daerah). Adapun skema teori Green adalah sebagai berikut: Predisposing Factors Knowledge Beliefs Values Attitude Confidence Capacity Enabling factors Availability of health resources Accesibility of health resources Community/ government laws priority Commitment to health Health related skills Reinforcing factors Family Peers Teacher Employers Health provider Decision making
Genetics
Specific behavior by individuals or by organizations
Health
Environment
Gambar 2.1. Teori Green (1968) Universitas Sumatera Utara
Menurut Green (1991), menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku, yaitu; (1) faktor predisposisi yaitu pengetahuan, sikap, keyakinan,
nilai
dan
persepsi;
(2)
faktor
pendukung
yaitu
ketersediaan/
keterjangkauan sumber daya atau fasilitas, sarana dan prasarana serta peraturanperaturan; (3) faktor pendorong yaitu dukungan dari rekan sejawat, pimpinan, keluarga dan petugas kesehatan.
2.15. Kerangka Konsep Berdasarkan masalah, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut: Faktor Predisposisi Sikap
Perilaku Membuang Sampah
Faktor Pendukung (Enabling Factors) Implementasi Kebijakan Pemerintah daerah
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara