Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Film ”?”1 karya Hanung Bramantyo yang dirilis pada 7 April 2011 telah dicekal dan dilarang peredarannya di Indonesia. Film yang masuk dalam kategori film religi ini, menjadi film kontroversi, menuai pro kontra, bahkan mendapat reaksi keras dari beberapa lembaga kontrol moral seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Front Pembela Islam (FPI). Salah satu penolakan paling keras dilakukan oleh FPI dengan melakukan aksi unjuk rasa pada 14 April 2011 di depan Kantor Republika (http://celebrity.okezone.com/ read/2011/04/15/206/446471/gara-gara-film-fpi-demo-kantor-republika, Gara-Gara Film '?', FPI Demo Kantor Republika, diakses pada 10 Januari 2015). Menurut pandangan FPI, film tersebut memberikan dukungan terhadap perilaku murtad dan pengenalan nilai pluralisme sesat kepada masyarakat Indonesia. Aksi unjuk rasa tersebut merupakan fenomena menarik karena Republika
merupakan
media
yang
dahulu
dilahirkan
oleh
Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai corong dakwah intelektual. Namun berkat keberpihakan Mahaka Grup terhadap produksi film ”?”, Republika menjadi sasaran aksi unjuk rasa Front Pembela Islam (FPI). Di sisi lain, fenomena tersebut memperlihatkan posisi yang berbeda di antara umat 1
Selanjutnya dalam tulisan ini dibaca Tanda Tanya
1
Islam dalam melihat film Hanung Bramantyo tersebut. Pendapat itu menyederhanakan masalah karena melihat Republika dan Mahaka Grup sebagai representasi kecil umat Islam dalam melihat film ”?”. Alur cerita dan juga adegan di dalam film ini memprovokasi batasanbatasan normal di dalam relasi masyarakat beragam. Salah satu adegan ekstrim adalah menyandingkan antara yang halal dan yang haram dalam satu wadah yang bersamaan. Adegan di restoran Canton Chinese Food misalnya. Tan Kat Sun, sang pemilik restoran menyajikan masakan halal dan haram di restorannya. Penyajiannya pun juga dilakukan dalam wadah terpisah. Tak hanya menyajikan makanan berbeda, namun dia pun memiliki seorang pekerja muslim, bernama Menuk. Ia adalah seorang wanita muslim yang berjilbab. Tak tanggung-tanggung, Pak Tan juga memberikan kesempatan kepada Menuk untuk tetap menjalankan ibadahnya. Di lorong jalan di depan restorannya, terdapat juga mimbar persembahan. Tempat itu menjadi tempat Menuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim dengan sholat lima waktu. Alur ekstrim lainnya ditawarkan oleh Rika, seorang pemilik toko buku. Tokoh perempuan ini baru saja bercerai dari suaminya. Kemudian dia berpindah agama dari Islam menjadi Kristen (Katolik). Namun, anaknya Abi tetap menjadi seorang muslim. Alur lainnya yang juga ditawarkan di dalam film ini adalah kemunculan tokoh Surya yang seorang muslim dan menjadi sahabat dekat Rika. Tokoh Surya sendiri juga tak kalah melahirkan kontroversi. Aktor figuran yang seorang muslim itu mengambil peran 2
menjadi tokoh Yesus dalam Tablo yang dilaksanakan di salah satu Gereja Katolik. Surya memilih pilihan tersebut karena alasan ekonomi semata. Surya tidak pernah mendapatkan peran tokoh utama, dan untuk memerankan Yesus, Surya juga mendapatkan sejumlah uang. Perbedaan bukanlah sumber ancaman, semuanya sangat tergantung pada bagaimana pengelolaan yang dilakukan oleh individu agar keberagaman dapat hidup bersama. Tema sentral inilah yang sepertinya ingin diungkapkan oleh Hanung Bramantyo melalui film ”?”. Hanung meletakkan teks aturanaturan sesuai dengan fungsinya kemudian mengkontraskannya di titik yang paling ekstrim. Aturan mengenai haram dan halal misalnya. Aturan penyajian makanan yang halal ditaati dan diletakkan sedemikian rupa dalam bentuk paling ekstrim, bersandingan dengan yang haram. Contoh di restoran Canton agaknya bisa menjadi cerminan sebagian nilai yang ingin ditawarkan oleh film ini. Sekilas ide dasar tentang pluralisme ala liberal dengan citarasa sekuler terasa di dalam film ini. Permasalahan agama diletakkan sedemikian rupa di dalam ruang privat. Sedangkan relasi antar individu menggunakan normanorma universalitas yang tetap menghargai nilai-nilai kultural masing-masing agama. For secularization theorists, the differentiation thesis typically focuses on the institutional separation of political and religious structures of authority (Leich, 2010:352) Bagi para teoritisi sekular, perbedaan pendapat berfokus pada pemisahan antara politik dan struktur kekuasaan agama.
3
Pendapat Leich tersebut merumuskan pada para teoritisi sekuler melakukan diferensiasi atau pemisahan antara institusi agama dan negara. Di sisi lain, hal tersebut merujuk pada upaya untuk meletakkan agama di ruang privat, sedangkan urusan di dalam ranah publik menggunakan norma keadaban publik. Ide inilah yang kemudian ditolak oleh berbagai organisasi Islam fundamentalis, salah satunya FPI. Argumen utama mereka adalah film ini mengajarkan pendekatan keberagaman yang salah. Terutama ide pluralisme yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama dan menuju pada tujuan serupa. Dalam film ”?” ada cerita tentang Rika yang semula muslim, kemudian murtad masuk Nasrani, karena kecewa suaminya berpoligami. Rika pun berdalih, bahwa dengan kemurtadannya, bukan berarti ia membenci ataupun mengkhianati Tuhan. Sepanjang cerita, Rika ditampilkan sebagai sosok yang ideal, toleran, arif dan bijak. Ibu dan anak Rika yang semula menentang kemurtadan Rika, akhirnya bisa menerima. Dalam cerita ini ada narasi: ”…semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.” Kesan untuk masyarakat awam adalah syariat poligami itu buruk, karena merusak rumah tangga dan menyebabkan orang murtad. Kesan awam lainnya adalah murtad itu bukan mengkhianati Tuhan, sehingga tidak menjadi masalah jika seseorang menjadi murtad. Rika yang murtad itu bisa dikesankan ideal dan toleran, sehingga orang murtad pantas diterima secara 4
baik. Pesan dalam film ini adalah mengarah pemahaman semua agama benar dan
sama
menuju
Tuhan
yang
satu.
(http://www.voa-
islam.com/read/silaturahim/2013/12/27/28372/film-hanung-bramantyomerusak-sejarah-lakukan-penistaan-islam/#sthash.hDo0UUBz.dpbs,
Film
Hanung Bramantyo Merusak Sejarah & Lakukan Penistaan Islam, diakses 15 Januari 2015). Merujuk pada berita yang muncul dalam situs Voice of Al Islam, keberatan utama muncul karena ide yang ditawarkan oleh film ”?” tidak sejalan dengan ajaran agama. Tentunya ajaran agama Islam dan tafsir yang diyakini oleh sebagian kelompok dan bukan tafsir yang diyakini oleh semua orang. Perlawanan terhadap film yang dibuat oleh Hanung Bramantyo adalah perlawanan terhadap ide pluralisme sekaligus sekularisme. Perjuangan tersebut dicitrakan sebagai perjuangan terhadap sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Kampanye ini sangat marak bahkan jauh hari sebelum dan setelah film ”?” muncul di ranah publik. Konsepsi tersebut dimunculkan oleh gerakan organisasi Islam fundamental terhadap gerakan Islam liberal ataupun gerakan senada lainnya. Film tersebut menjadi relevan karena permasalahan sosio-politik Indonesia dalam konteks masyarakat beragam masih diwarnai berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran hak kebebasan beragama. Setara Institute dalam laporan mengenai kebebasan beragama di Indonesia mencatat sejumlah 222 peristiwa pelanggaran agama terjadi sepanjang tahun 2013. Jumlah tersebut paling besar terjadi di Propinsi Jawa Barat sebanyak 80 pelanggaran, 5
kemudian diikuti oleh Jawa Timur (29 peristiwa), Jakarta (20 peristiwa), dan Jawa Tengah (19 peristiwa). Berbagai peristiwa pelanggaran tersebut mulai dari pelarangan beribadah, perusakan tempat ibadah, pemaksaan untuk berpindah agama (kembali ke keyakinan awal), penyerangan tempat ibadah, penyegelan, dan banyak kasus intoleransi. Konteks permasalahan tersebut menunjukkan bahwa permasalahan intoleransi yang berujung pada kekerasan dalam relasi masyarakat beragam masih terjadi. Munculnya film ”?” merupakan antitesa terhadap realitas intoleransi dan berbagai kekerasan serta pelanggaran kebebasan memeluk keyakinan tersebut. Ide-de yang ditawarkan oleh film tersebut mencoba meletakkan berbagai perdebatan mengenai kecurigaan terhadap kelompok agama lainnya dalam konteks yang lebih sederhana dalam kehidupan sehari-hari dan praksis. Penelitian ini dilakukan berpijak dari realitas terhadap permasalahan intoleransi dan upaya untuk menemukan konsepsi mengenai masyarakat beragam. Berbekal membaca teks dalam wacana film ”?” diharapkan dapat menemukan antitesa terhadap realitas konflik dalam masyarakat beragam.
1.1.1 Toleransi di dalam Media Baru Perbedaan dan hidup bersama merupakan permasalahan perenial yang terjadi di bangsa Indonesia sejak berdirinya. Perbedaan setidaknya dalam bentuk agama terjadi sejak awal didirikan. Perdebatan tersebut bisa menggunakan Piagam Jakarta maupun Pancasila seperti yang sekarang digunakan di Indonesia. Perdebatan pada masa awal kemerdekaan tersebut 6
menunjukkan bahwa isu keberagaman merupakan permasalahan yang terus ada selama bangsa Indonesia berdiri. Namun, perbedaan di awal tersebut berhasil di rekonsiliasi dengan bertemunya kedua belah pihak antara pihak agamis yang dimotori KHA Dahlan dengan pihak nasionalis yang dimotori Soekarno untuk kemudian saling bertoleransi demi membentuk sebuah dasar negara yang kuat. Toleransi tersebut merupakan sebuah pijakan awal yang menentukan arah bangsa Indonesia. Secara implisit menunjukkan bahwa toleransi merupakan fondasi utama untuk membangun Indonesia yang beragam. Perbedaan menjadi isu yang terus menerus digeluti di Indonesia di setiap masanya. Pengelolaan pemerintah terhadap keberagaman juga memberikan dampak terhadap potensi konflik dan juga sikap toleran yang terbangun. Semasa orde baru misalnya, rakyat Indonesia dipaksa belajar toleransi dengan menghilangkan dan menjauhnya pembicaraan permasalahan perbedaan suku, agama, ras antar golongan (SARA) di ruang publik. Perdebatan dan pembicaraan menyangkut perbedaan SARA ditabukan untuk dibicarakan dan didiskursuskan. Alhasil, entitas yang berbeda terkotakkotakkan ke dalam ruang identitas masing-masing. Setiap identitas di dalam perbedaan tidak diajarkan untuk berjumpa, berdiskursus, serta berdialog mengenai bagaimana toleransi dan perbedaan harus disikapi. Negara yang represif memberikan kemungkinan bagi pembicaraan mengenai perbedaan tidak dapat terjadi di ruang publik.
7
Namun, kebijakan tersebut malahan tidak membuat masyarakat Indonesia menjadi toleran. Tetapi menjadi individu-individu yang canggung dalam menyikapi perbedaan. Bukan karena mereka tidak bisa toleran tetapi tidak pernah diajarkan untuk menjadi toleran. Berbagai konflik sosial yang muncul pasca runtuhnya Orde Baru merupakan titik kulminasi dari berbagai permasalahan sebelumnya. Terlepas dari ada atau tidaknya infiltrasi dari pihak ketiga yang turut membakar konflik tersebut, ketiadaan proses untuk belajar keberagaman menjadi salah satu faktor lainnya. Selepas konflik berdarah di beberapa daerah di Indonesia, toleransi dan keberagaman memiliki tantangan untuk hidup di dalam kehidupan seharihari. Perjumpaan dengan yang berbeda menjadi permasalahan panjang. Kekerasan dan pembunuhan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, penutupan tempat ibadah, pembongkaran paksa patung oleh sekelompok masyarakat sipil merupakan salah satu dari banyak contoh lainnya kasus keberagaman. Kesemuanya menunjukkan bahwa hidup bersama dengan didasari toleransi dan penghargaan masih merupakan pertanyaan mendasar dalam keberagaman di Indonesia. Meskipun semuanya berpijak kepada isu toleransi, tetapi bentuk dan model tantangan membangun toleransi selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hingga masa sekarang permasalahan toleransi dihadapkan tidak hanya kepada pertemuan antar dua identitas tetapi juga berbicara mengenai peran negara serta komponen masyarakat sipil. Permasalahan perbedaan seringkali tidak hanya dilihat berkaitan dengan hak dan kewajiban 8
sebagai warga negara tetapi seringkali dianggap sebagai hal yang mengganggu keamanan dan
mendorong keresahan publik. Kehadiran
individu ataupun kelompok yang berbeda seringkali dimaknai sebagai bentuk keresahan. Resah ketika melihat tetangga ataupun pihak lain yang berbeda. Apalagi ketika meski memiliki identitas yang sama tetapi memiliki perbedaan dalam cara pandang, bersikap, dan juga ajaran. Maka identitas yang berbeda tersebut bisa jadi dikatakan sesat karena jumlahnya sedikit. Permasalahan toleransi di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan pemetaan sebagai berikut : Jumlah kasus intoleransi 300 268
267
250 200
184 160
150 100
121
50 0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
Pemetaan kasus intoleransi tersebut diolah dengan menggunakan hasil laporan dari lembaga-lembaga seperti CRCS UGM, Wahid Institute, dan Setara Institute. Pembelajaran terhadap keberagaman dan toleransi berubah seiring dengan konteks dan waktu. Salah satu medium lainnya yang juga pantas
9
untuk melihat bagaimana pembelajaran mengenai toleransi adalah film ”?”. Film ini memberikan sebuah perspektif alternatif dalam melihat dan menyikapi keberagaman. Salah satu pesan yang jelas disampaikan bagaimana toleransi tersebut dibangun dalam masyarakat beragam. Sebelumnya masyarakat Indonesia belajar toleransi melalui sebuah kondisi riil di masyarakat, dan juga melalui bahasa lisan namun kini melalui film ”?” masyarakat bisa melakukan pembelajaran tentang toleransi.
1.2 Rumusan Masalah Berpijak pada latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka peneliti memilih rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konseptualisasi toleransi tercermin di dalam film ”?” ? 2. Bagaimanakah upaya mengelola keberagaman supaya tercipta kondisi yang kondusif untuk menumbuhkan toleransi yang terefleksi di dalam film ”?”?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk : 1. Memahami dan mengkritisi ide toleransi yang ditawarkan oleh Hanung Bramantyo di dalam film ”?”. 2. Memahami bagaimana mengelola masyarakat beragam yang ditawarkan oleh film ”?”. Selain tujuan di atas, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritik maupun praktis dalam konteks masyarakat 10
Indonesia yang beragam. Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, penelitian ini semakin melengkapi kajian mengenai studi wacana kritis dengan obyek kajian film. Selain itu juga dapat dijadikan pijakan bagi penelitian lainnya mengenai film. 2. Secara praksis, kajian mengenai konsepsi pluralisme terhadap film ini bisa menjadi
rujukan
dalam
mengembangkan
model-model
pengelolaan
masyarakat Indonesia yang beragam. Ide-ide yang ditawarkan dapat diulas dan digulirkan lebih lanjut agar dapat menjadi diskursus di masyarakat dan juga dalam pengambilan kebijakan.
1.4 Kerangka Teori Penelitian ini menggunakan dua teori utama untuk menganalisa teks film ”?”. Teori yang pertama adalah teori liberalisme. Melalui pandangan liberalisme peneliti ingin melihat kerangka toleransi dengan menelusuri teori mengenai toleransi. Ide tentang toleransi beranjak dari pandangan Locke mengenai kebebasan individu dalam memeluk suatu keyakinan. Dan kemudian bahasan berlanjut bagaimana manajemen terhadap keberagaman. Teori tentang toleransi didasarkan pada konsepsi toleransi dan kepercayaan dari Dees. Toleransi lahir dalam konteks memberikan kepercayaan kepada pihak yang diberikan toleransi bahwa mereka tidak akan menyerang si pemberi toleransi. Lebih lanjut konsepsi lainnya mengenai
11
toleransi adalah penghargaan dengan memberikan ruang penghargaan kepada identitas yang berbeda. Toleransi juga merujuk kepada memberikan penghargaan kepada perbedaan dengan tidak membandingkan dan tidak mengukur mana yang lebih baik. Ide tersebut didasarkan bahwa perbedaan merupakan sebuah identitas yang seperti apa adanya. Konsepsi tersebut merujuk kepada pendapat Herder dan Parekh. Teori yang kedua dikaji dalam penelitian ini adalah teori struktur Berger. Teori ini membahas mengenai bagaimana konstruksi sosial terbangun dan bagaimana legitimasi dilahirkan dalam membentuk pengetahuan terhadap realitas sosial.
1.5 Metode Penelitian Peneliti memilih menggunakan Critical Discourse Analysis (CDA) model Norman Fairclough. Dengan menggunakan metode tersebut, peneliti mampu memaknai teks dengan memahami proses produksi film serta meletakkannya dalam konteks sosialnya. Metodologi ini memungkinkan analisa berlangsung dalam tiga lapisan. Analisa mikro dilakukan terhadap teks film dengan memahami alur serta pesan yang ingin dimunculkan oleh film. Sedangkan analisa meso dilakukan untuk memahami konstruksi yang ingin dibangun oleh pembuat naskah di dalam film tersebut. Dan terakhir analisa konteks untuk meletakkan konstruksi ide yang dilakukan oleh film dalam konteks realitas sosialnya. Di samping itu terdapat beberapa fungsi 12
bahasa dalam CDA model Fairclough. Fungsi bahasa tidak hanya terletak pada persoalan jenis wacana saja namun tergantung juga pada orang yang menganalisa, orang yang membaca dan dalam konteks apa. Bahasa juga berfungsi untuk membentuk wacana, memeriksa bahasa dalam beragam variasinya. Bahasa juga berfungsi untuk membentuk cerita atau laporan berbeda
sesuai
dengan
fungsi,
tujuan,
dan
perasaan
orang
yang
mendeskripsikan, bahasa juga berfungsi untuk membentuk konstruksi sosial.
13