BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Salah satu kepribadian bangsa Jepang yang mengungguli bangsa lain adalah ketekunan bekerja dan rasa kesetiaan yang luar biasa pada perusahaan atau tempatnya bekerja. Walaupun segi lahiriah dan material tidak diabaikan, tetapi yang dianggap menentukan dalam mencapai hasil adalah aspek mental. Bekerja lembur tanpa dibayar merupakan salah satu bentuk komitmen pada perusahaan. Kesungguhan dan sikap kerja keras pekerja Jepang tidak dapat ditandingi oleh bangsa-bangsa lain sehingga mereka sanggup mengorbankan kepentingan pribadi dan juga waktu bersama keluarga. Selain shudan shugi, terdapat konsep onjoo shugi yang turut mempengaruhi budaya kerja orang Jepang. Shudan shugi menurut Kawamoto dalam Atikah (2008:18): Kerangka berpikir orang Jepang terhadap kerja kelompok yang didasari kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok dalam suatu kehidupan sosial masyarakat yang diikat oleh kehidupan bekerja sama di dalam satu kesatuan kehidupan kelompok atau masyarakat.
Onjoo shugi terlihat dalam cara orang Jepang menjalin dan mempererat hubungan di antara pekerja juga dilakukan di dalam kantor, contohnya di dalam hal penempatan ruangan kerja, meja pegawai dan atasan diletakkan dalam suatu ruang terbuka tanpa pemisah. Tidak ada dinding pemisah seperti kebanyakan ruang kantor di Indonesia, tidak ada ruangan khusus untuk golongan pengelola. Tempat duduk dan meja disusun dan diletakkan berdekatan dengan pengelola bagiannya agar
memudahkan bawahannya menghubungi mereka. Dengan demikian, mereka dapat berinteraksi, berkomunikasi, dan bertukar pendapat kapan saja, baik kepada rekan kerja maupun atasan kepada bawahan dan bawahan kepada atasan. Hal ini juga bertujuan agar semua pekerja mempunyai tugas dan tanggung jawab penting, sehingga mereka tidak merasa asing. Selain itu, antar sesama mereka memiliki ikatan emosi yang kuat sebagai kelompok dalam bekerja. Begitu juga dengan rasa sentimen dan keterikatan mendalam terhadap perusahaan, pabrik, dan tempat kerja mereka. Para pekerja dituntut untuk bekerja keras agar mendapatkan penilaian prestasi kerja termasuk dengan bekerja di luar jam kantor. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapatkan upah lembur. Jam kerja yang berlebihan mengakibatkan peningkatan stress yang akan berdampak pada penurunan daya tahan tubuh. Sehingga pekerja yang memiliki tingkat kesehatan yang lebih rendah yang dapat mengganggu kinerjanya. Walaupun beberapa peneliti mengatakan bahwa tingginya jumlah jam kerja di Jepang salah satunya dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi Jepang pada saat itu, namun jam kerja Jepang dalam kondisi kapan pun cukup tinggi bahkan paling tinggi bila dibandingkan dengan Negara-negara maju lainnya di dunia. Hal ini dapat dilihat dalam gambar 3.4 (lihat halaman 41). Menurut ILO (1993:65-67) jam kerja yang panjang pasti membawa korban. Seorang psikiater pada tahun 1992 melaporkan, bahwa jumlah pasien yang konsultasi kepadanya untuk masalah stres sudah empat kali lipat lebih dari sepuluh tahun sebelumnya. Menurut Uehata (2001:20) (yang menciptakan istilah karoushi), masalah karoushi pertama muncul pada akhir tahun 1970-an ketika perusahaanperusahaan Jepang memotong gaji mereka dalam menanggapi oil crisis (krisis minyak) dan terjadi peningkatan beban kepada kayawan.
Karoushi adalah kematian seseorang yang disebabkan oleh penyakit fisik maupun mental yang dipicu oleh kerja berlebihan yang ditandai dengan frekuensi jam kerja yang terlalu tinggi. Dari pengertian di atas, muculnya permasalahan karoushi disebabkan oleh frekuensi jam kerja yang tinggi. Seperti dikatakan oleh Murphy, (2001:37), “Kematian yang dikategorikan ke dalam karoushi selalu berhubungan dengan frekuensi jam kerja yang tinggi, shift kerja, dan jadwal yang tidak teratur”. Fenomena Karoushi di Jepang bukan sesuatu yang baru. Perdebatan mengenai kematian akibat kerja berlebihan sudah mencuat di Jepang sejak tahun 1970-an. Kasus resmi pertama Karoushi dilaporkan tahun 1969, berupa kematian seorang pekerja laki-laki-laki berumur 29 tahun. Saat itu, kematian pekerja akibat kelebihan kerja, menjadi materi penelitian ilmiah yang menarik. Penelitian selama tiga dekade menunjukkan, kematian pekerja akibat kelebihan kerja, terutama disebabkan oleh serangan
jantung
atau
stroke.
Pemicunya,
stress
karena
kerja
yang
berlebihan. Pada tahun 2001, komisi ISTC (Industrial Safety Training Council) menemukan bukti yang kuat bahwa aspek psikososial dalam bekerja seperti lamanya waktu kerja, beban
kerja
yang
berat,
ketidakmampuan
dalam
penyelesaian
tugas,
ketidakmampuan dalam hubungan sosial, kurangnya kesempatan dalam peningkatan karir berpengaruh terhadap kesehatan mental dan fisik pekerja. Stress menyebabkan gangguan pada sistem otot dan sirkulasi, serta meningkatkan resiko penyumbatan darah pada jantung. Hal tersebut berpengaruh besar terhadap suplai darah ke otak. Stress yang timbul dari akibat bekerja secar berlebihan atau melampaui jam kerja yang seharusnya selain dapat menurunkan daya tahan tubuh pekerja dan produktivitas kerjanya, mengakibatkan kerugian di pihak perusahaan, karena ada
biaya yang harus perusahaan bayar sebagai akibat dari penurunan produktivitas kinerja pekerjanya. Orang Jepang menghabiskan waktu sekitar 2.152 jam dalam setahun untuk bekerja. Angka itu lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata jam kerja dari orang Amerika yang mencapai 1.898 jam setahun namun di atas dari jumlah rata-rata jam kerja orang Jerman 1.613. Tapi angka statistik tersebut bisa salah terutama belum melibatkan jam lembur yang tidak dibayar, yang banyak dilakukan oleh oleh pekerja Jepang. Diperkirakan, satu dari tiga pekerja laki-laki yang berusia 30-40 tahun telah menghabiskan waktu hingga 60 jam dalam seminggu. Separuh dari jumlah pekerja itu, tidak mendapatkan uang lembur alias tidak dibayar. Nasib pekerja pabrik lebih parah. Mereka datang ke tempat kerja lebih awal dan pulang paling akhir. Juga tanpa upah tambahan atau ganti rugi, termasuk ketika mereka harus mengikuti pelatihan pada akhir pekan. Banyak perusahaan di Jepang selama dua puluh tahun terakhir telah menerapkan sebuah sistem kerja baru dengan menempatkan pekerja paruh waktu untuk menggantikan pekerja tetap. Para staf regular itu tetap dipertahankan dengan kewajiban bekerja lembur dan secara perlahan posisi mereka dibuat tidak tetap. Faktor budaya turut menguatkan kecenderungan ini. Kerja keras merupakan perilaku yang terhormat di Jepang dan pengorbanan untuk orang banyak dianggap lebih berharga daripada pengorbanan untuk pribadi Jepang (Mathari, 2007) Ternyata, kasus Karoushi sendiri bukan hanya menimpa orang Jepang saja tetapi juga kepada para pekerja asing yang bekerja di Jepang. Menurut Departemen Tenaga Kerja (2001), mulai tahun 1992 – 2008, sebanyak 213 orang pekerja asing yang
bekerja di Jepang meninggal dan 67 orang di antaranya meninggal karena serangan jantung dan masalah pada otak yang merupakan salah satu penyebab dari karoushi. Setiap tahun, 1.000 orang yang merasa anggota keluarganya menjadi korban karoushi mengajukan permohonan ganti rugi, hanya 5% sampai 10% yang berhasil mendapatkannya. Tahun 1988, dokter dan pengacara yang terlibat dengan kasus karoushi membuat saluran online khusus untuk kasus karoushi. Hingga saat ini sudah menerima 2.500 kasus, yang diajukan oleh para janda korban karoushi. Diperkirakan sekitar 10.000 orang menjadi korban setiap tahunnya. Hingga sekarang kasus bekerja melebihi standar jumlah jam kerja sudah menjadi hal biasa di Jepang. Pegawai Fuji Bank Tokyo (bank terbesar di Jepang), melaporkan bahwa pekerja pria bekerja 3.000 jam/ tahun (8,1 jam setiap hari selama setahun), dengan 700 jam kerja tanpa dibayar. Sifat rajin dan suka bekerja keras yang ada pada bangsa Jepang seakan sudah mendarah daging sejak dulu. Para pekerja Jepang mampu bekerja dalam waktu yang panjang tanpa mengenal lelah, bosan, dan putus asa. Mereka bukan hanya mampu bekerja dalam jangka waktu yang lama, melainkan juga mampu mencurahkan perhatian, jiwa, dan komitmen pada pekerjaan yang dilakukannya. Karakter dan budaya kerja keras merupakan faktor penting keberhasilan bangsa Jepang dalam bidang ekonomi, industri, dan perdagangan. Pekerja Jepang tidak menganggap tempat kerja hanya sekadar tempat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menganggapnya sebagai bagian dari keluarga dan kehidupannya. Kesetiaan mereka pada perusahaan melebihi kesetiaannya pada keluarga sendiri. Mereka selalu berusaha memberikan kinerja terbaik pada perusahaan, pabrik, atau tempat mereka bekerja. Budaya kerja seperti itu tidak lahir dan terwujud dengan begitu saja. Budaya itu dipupuk dan dilatih
selama berabad-abad, sehingga akhirnya mengakar dalam pemikiran dan jiwa mereka. Dalam masyarakat Jepang terdapat konsep yang dikenal dengan konsep shuudan shugi dan onjoo shugi. Shuudan shugi dan onjoshugi inilah yang turut mempengaruhi budaya kerja orang Jepang. Shuudan shugi terlihat pada cara kerja orang Jepang berikut ini. Setiap pekerja mengetahui tugas dan perannya masing-masing di tempat kerja. Mereka tidak bekerja sebagai individu, tetapi bekerja dalam satu kelompok, sehingga tidak ada jurang yang tercipta di antara mereka. Mereka tidak bersaing, tetapi bekerja sama untuk menyelesaikan suatu tugas, dan tidak memandang pangkat dan berada pada kedudukan yang sama atau tidak.
1.2 Rumusan Permasalahan Penulis akan menganalisis fenomena karoushi pada pekerja di Jepang melalui konsep masyarakat Jepang.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Penulis akan menganalisis shuudan shugi dan onjooshugi sebagai faktor yang melatarbelakangi budaya kerja orang Jepang yang menyebabkan tingginya jam kerja di Jepang sehingga menimbulkan karoushi.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisis shuudan shugi dan onjooshugi sebagai faktor yang melatarbelakangi budaya kerja orang Jepang yang menyebabkan tingginya jam kerja di Jepang sehingga menimbulkan karoushi. Manfaat penelitian ini adalah untuk memahami lebih dalam mengenai hubungan konsep shuudan shugi dan onjoo shugi dengan budaya kerja orang Jepang yang menyebabkan tingginya jam kerja di Jepang sehingga menimbulkan karoushi.
1.4 Metode Penelitian Metode yang akan digunakan oleh penulis adalah metode kajian kepustakaan dan deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis adalah metode dengan penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejernih mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat suatu keadaan atau gejala atau topik tertentu antara suatu gejala dengan gejala lainnya. Koentjaranigrat(1991:29). Penulis juga akan menggunakan metode kajian kepustakaan melalui metode kepustakaan penulis dapat memeperoleh kejelasan dan informasi yang dibutuhkan melalui buku, artikel, berita, maupun internet.
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yakni sebagai berikut: Bab 1, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, dan
metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti, serta sistematika penulisan skripsi. Bab 2, berisi tentang landasan teori yakni teori-teori yang akan digunakan untuk menganalisis data yang ada. Bab 3, berisi tentang analisis data. Dalam bab ini penulis akan menganalisis datadata statistik yang ada dengan konsep shuudan shugi dan onjoo shugi yang mempengaruhi budaya kerja orang Jepang yang menyebabkan tingginya jam kerja di Jepang sehingga menimbulkan karoushi. Bab 4, berisi tentang simpulan akhir yang diperoleh sebagai jawaban dari rumusan permasalahan. Bab 5, merupakan ringkasan dari keseluruhan isi skripsi secara singkat yang terdiri dari latar belakang, pendahuluan, landasan teori, analisis data dan simpulan serta saran.