BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis,
geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional (UU RI No 24 Tahun 2007). Indonesia termasuk daerah yang rawan bencana dan memiliki jumlah penduduk yang besar. Bencana yang datang dapat disebabkan oleh faktor alam maupun akibat dari ulah manusia. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah kejadian bencana setiap tahunnya. Bencana seperti tsunami, gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin topan, letusan gunungapi, kebakaran, kebakaran hutan dan lahan, kecelakaan transportasi, dan kecelakaan industri sering kali menjadi ancaman yang serius bagi peduduk Indonesia. Ancaman bencana dapat menyebabkan korban jiwa dan kerusakan harta benda (BNPB No 8 Tahun 2011). Indonesia terletak pada zona batas empat lempeng bumi yang sangat aktif sehingga memiliki aktivitas tektonik dan vulkanik yang sangat tinggi, oleh karena itu Indonesia mempunyai banyak zona-zona patahan aktif dan sebaran gunung api. Sebagian patahan dan gunung api berada di bawah laut sehingga kejadian gempa dan
Universitas Sumatera Utara
letusan gunung apinya berpotensi membangkitkan tsunami. Selain dua sumber utama tsunami ini, peristiwa longsoran bawah laut yang sering dipicu oleh kejadian gempa dan letusan gunung api juga dapat menimbulkan tsunami (Puspito, 2010). Menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR, 2009), suatu badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana. Berbagai bencana alam mulai gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia. Peringkat pertama pada dua bencana alam yakni tsunami dan tanah longsor, peringkat ketiga pada gempa bumi, dan peringkat keenam pada banjir. Hanya di dua bencana alam yakni kekeringan dan angin topan Indonesia absen. Bencana alam Tsunami adapun dari 265 negara Indonesia peringkat pertama dengan 5.402.239 orang terkena dampaknya mengalahkan Jepang 4.497.645 korban, Bangladesh 1.598.546 korban, dan India 1.114.388 korban (Anonim, Alamendah.org, 2013). Bencana yang paling mematikan pada awal abad XXI juga bermula dari Indonesia. Pada tanggal 26 Desember 2004 sebuah gempa bumi besar terjadi di dalam laut sebelah barat pulau Sumatra di dekat pulau Simeuleu berada di Aceh. Gempa bumi ini memicu tsunami yang menewaskan lebih dari 225.000 jiwa di sebelas negara dan menimbulkan kehancuran hebat di banyak kawasan pesisir di negaranegara yang terkena. Sepanjang abad XX hanya sedikit bencana yang menimbulkan korban jiwa. Di Indonesia sendiri gempa bumi dan tsunami mengakibatkan sekitar 165.708 korban jiwa dan nilai kerusakan yang ditimbulkannya mencapai lebih dari Rp 48 triliun
( Renas PB 2010 - 2014).
Universitas Sumatera Utara
Panjang pesisir pantai wilayah Provinsi Pemerintah Aceh sepanjang 1.660 km dengan luas perairan laut 295.370 km² terdiri atas luas wilayah perairan (teritorial dan kepulauan) seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 238.807 km². Dari 1.660 km panjang garis pantai, 800 km di antaranya rusak diterjang gelombang tsunami tahun 2004 (BKPM Provinsi Pemerintah Aceh, 2009). Kota Banda Aceh sebagai Ibukota dari Provinsi Pemerintah Aceh memiliki kondisi geografis, hidrologi dan domografis yang rawan terhadap bencana (Qanun No.3 Tahun 2011). Kota Banda Aceh terbagi dalam 3 wilayah yakni wilayah yang mengalami kerusakan terparah, wilayah dengan tingkat kerusakan sedang dan wilayah yang tidak terkena wilayah tsunami. Wilayah yang mengalami kerusakan terparah adalah yang berada di wilayah pesisir meliputi kecamatan Meuraxa, kecamatan Jaya Baru dan Kuta Raja. Untuk mengendalikan daerah rawan bencana pemerintah kota Banda Aceh membuat kebijakan yaitu dengan menurunkan tingkat pelayanan di wilayah tersebut hingga 3 km dari garis pantai. Sebelum tsunami kawasan ini merupakan sub pusat pelayanan pemerintahan kota Banda Aceh yang berpusat di daerah Ulee Lheue yang merupakan kawasan pelabuhan, wisata dan pemukiman, pasca tsunami kawasan ini diturunkan kawasan ini menjadi kawasan biasa tidak direkomendasikan lagi untuk kegiatan palayanan. Meskipun kawasan pusat barat yakni di Desa Ulee Lheue dan sekitarnya merupakan kawasan rawan bencana namun masyarakat disana masih tetap bermukim di daerah ini sehingga pemerintah menyediakan jalur – jalur evakuasi dan escape building sehingga diperlukan persiapan jika terjadi bencana tsunami.
Universitas Sumatera Utara
Kota Banda Aceh salah satu wilayah terparah akibat bencana gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang menelan korban lebih dari 75 % korban jiwa dan juga meratakan hampir seluruh bangunan yang ada di wilayah ini serta sangat berpengaruh juga terhadap kehidupan ekonomi dan sosil masyarakat kota Banda Aceh. Pasca bencana tsunami berbagai pihak baik itu lembaga – lembaga internasional, lokal, maupun pemerintah bersama sama berupaya membangun kembali daerah daerah yang terkena dampak termasuk kota Banda Aceh. Kecamatan Meuraxa adalah salah satu kecamatan di Kota Banda Aceh. wilayah kecamatan Meuraxa terletak pada 532’30” - 5o34’40 LU dan 95o16’15” - 95o18’20” BT memiliki luas 725,8 Ha, terbagi ke dalam 15 (lima belas) desa atau gampong dan 1 (satu) kelurahan, selain itu kecamatan Meuraxa memiliki 2 kemukiman, yaitu kemukiman Tgk. Chik Lamjabat dan kemukiman Meuraxa. Jumlah Penduduk Meuraxa, 11.232 Jiwa, diantaranya 6,168 laki-laki dan 5.064 perempuan
( BPS
Provinsi Pemerintah Aceh, 2013). Ulee Lheue atau sering juga di sebut ulee lhee adalah sebuah desa atau gampong di kecamatan Meuraxa yang berjarak sekitar 10 km dari pusat kota. Ulee Lheue, merupakan salah satu desa terparah terkena dampak tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember2004 dan juga pusat keramaian dan perhatian setiap orang yang berkunjung ke Banda Aceh. Di daerah ini juga terdapat sebuah pelabuhan yang dijadikan pusat transportasi laut menuju pulau weh dan pulo aceh. Setiap harinya kawasan ini begitu ramai dan padat dengan kunjugan masyarakat. Ada yang sekedar
Universitas Sumatera Utara
jalan-jalan sambil menikmati panorama pantai yang indah di sore hari dan juga karena ingin bepergian dengan angkutan laut, bahkan ada pula yang melepas lelah seharian bekerja dengan memancing. Berdasarkan letak geografis dan demografisnya paling ujung barat sumatera sangat berpotensi dan beresiko terjadinya bencana tsunami. Menurut wawancara dengan sekretaris desa Bakhtiar (45) sebelum terjadi tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang lalu jumlah penduduk desa ulee lheu lebih kurang 5000 jiwa tetapi setelah pasca tsunami jumlah penduduk berdasarkan data dari kantor kepala desa Ulee Lheue menjadi 756 jiwa atau 15,12 %. Hal ini dikarenakan masyarakat khususnya kepala keluarga belum mengetahui tentang pengetahuan, sikap dan pendidikan terkait kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana tsunami. Pakar penanggulangan bencana alam dari Jepang Dr Yozo Goto, Yamamoto Hiroyuki Phd serta Nishi Yoshimi PhD (2009),
guru besar Universitas Nagoya
Jepang yang melakukan penelitian bencana di Aceh menyimpulkan, bahwa Aceh termasuk daerah rawan bencana. Potensi bencana itu terlihat di sepanjang garis Bukit Barisan, namun demikian, masyarakat Aceh tidak perlu khawatir berlebihan terhadap potensi bencana tersebut. Hanya saja diharapkan warga Aceh dapat belajar dari setiap bencana alam yang sudah pernah terjadi, termasuk tsunami yang menghancurkan kawasan pesisir Aceh, tanggal 26 Desember 2004 lalu, yang paling penting kita harus selalu membangun kesadaran dan kesiapan bila sewaktu-waktu terjadi bencana. Menurut Carter (1991), adapun tanggung jawab masyarakat untuk melakukan kegiatan penanggulangan bencana dapat berbentuk kesiapsiagaan (preparedness),
Universitas Sumatera Utara
yaitu tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi, masyarakat, komunitas, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna Termasuk kedalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharan dan pelatihan personil. Ada beberapa interaksi faktor utama yang dapat menimbulkan bencanabencana tersebut menimbulkan banyak korban dan kerugian besar adalah (a) kurangnya pemahaman terhadap
k arakteristik bahaya (hazards), (b) sikap atau
perilaku
penurunan
yang
mengakibatkan
sumberdaya
alam (vulnerability),
(c) kurangnya informasi/ peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapan, dan (d) ketidakberdayaan/ ketidakmampuan
dalam menghadapi
ancaman bahaya (Bakornas PB, 2006). Menurut LIPI (2006) terdapat tujuh stakeholders yang dengan
berkaitan
erat
kesiapsiagaan masyarakat, yaitu: individu dan rumah tangga, instansi
pemerintah yang berkaitan dengan
pengelolaan bencana, komunitas
sekolah,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut, tiga stakeholders, yaitu: rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah, disepakati sebagai stakeholders utama, dan empat
stakeholders
lainnya sebagai stakeholders pendukung dalam
kesiapsiagaan bencana. Gempabumi Aceh yang terjadi tanggal 11 April 2012 menjadi pengingat akan gempabumi dan tsunami dahsyat yang terjadi tahun 2004. Dalam kejadian tersebut, di samping trauma yang masih membekas, masyarakat terlihat panik dalam melakukan
Universitas Sumatera Utara
evakuasi, karena tidak tersedia tempat evakuasi yang jelas sehingga pergerakan masyarakat menjadi tidak terkendali dan menimbulkan kemacetan parah. Sistem peringatan dini hanya berfungsi secara terbatas di lingkup pemerintahan. Peringatan dini belum sampai kepada masyarakat dengan cepat dan tepat, dan masyarakat juga tampak belum memiliki kapasitas untuk merespons dengan benar saat menerima perintah evakuasi. Tindakan masyarakat dalam melakukan
evakuasi, perilaku
masyarakat dalam melakukan evakuasi sangat dipengaruhi oleh
pengalaman,
pengetahuan, pendidikan dan pelatihan yang dimiliki. Kejadian gempabumi 11 April 2012 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang melakukan evakuasi, tindakannya lebih didasari pada apa yang pernah dialaminya, pengetahuan yang masih terbatas, dan pendidikan serta pelatihan yang juga terbatas. Belajar dari pengalaman 11 April 2012 tersebut, diperlukan sarana rasarana evakuasi yang memadai guna mengakomodir banyaknya masyarakat yang mencari tempat perlindungan baik berupa TES tsunami, jalur evakuasi, maupun rambu-rambu evakuasi, agar proses evakuasi masyarakat tersebut dapat berjalan dengan baik, masyarakat perlu mendapatkan informasi peringatan dini ecara cepat dan tepat. Untuk itu, diperlukan rantai peringatan dini tsunami yang handal dengan penerapan prinsip redundancy yang dapat menjangkau para pengambil keputusan dan seluruh masyarakat terancam (BNPB, 2012). Menurut pemberitaan harian serambi indonesia, miskinnya skenario akibat dari kesimpangsiuran masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mendalami dengan benar langkah apa yang harus dilakukan saat darurat peringatan dini tsunami,
Universitas Sumatera Utara
sehingga pada akhirnya malah menimbulkan kepanikan, kekacauan, dan kemacetan (Anonim, Tribunnews.Com, 2012). K esiapsiagaan yang perlu dilakukan oleh masyarakat dan di rumah tangga, adalah (a) Memahami bahaya yang timbul oleh bencana, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana perlu memahami bahaya yang mungkin dialami ketika bencana datang, kapan bencana tersebut datang di daerah tersebut, daerah mana saja yang aman untuk menghindari bencana. (b) Menyiapkan peta daerah rawan bencana; peta daerah rawan bencana didasarkan pada berbagai penyebab dan risiko bencana (geologis dan klimatologis) sebagai salah pertimbangan perencanaan pembangunan dan penanggulangan untuk pencegahan bencana, di dalam peta perlu dilampirkan keterangan seperti tingkat risiko, jumlah penduduk, jumlah lahan, ternak, dan sebagainya serta sangat penting mencantumkan tempat aman dan jalur aman yang dapat dilalui untuk evakuasi. Adapun kemampuan yang harus dimiliki kepala keluarga sebagai wujud dari kesiapsiagaan adalah mempunyai pengetahuan, sikap dan pendikan terhadap bencana seperti keterampilan pertolongan pertama, menggerakkan anggota keluarga untuk mengikuti latihan dan keterampilan evakuasi, menyiapkan kebutuhan makanan yang dapat disimpan dan tahan lama, menyiapkan kotak P3K dirumah (LIPI, 2006). Sehubungan dengan latar belakang diatas sehingga dipandang sangat penting dan penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Pendidikan Kepala Keluarga Terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam
Universitas Sumatera Utara
Menghadapi Resiko Bencana Tsunami Di Desa Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh Tahun 2013. 1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: bagaimanakah Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Pendidikan Kepala Keluarga Terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam Menghadapi Resiko Bencana Tsunami Di Desa Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh Tahun 2013. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Pendidikan Kepala Keluarga Terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam Menghadapi Resiko Bencana Tsunami Di Desa Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh Tahun 2013. 1.4. Hipotesis Ada Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Pendidikan Kepala Keluarga Terhadap Kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam Menghadapi Resiko Bencana Tsunami Di Desa Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh Tahun 2013. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Sebagai bahan masukan dan kajian bagi mahasiswa dan Program Studi Manajemen Kesehatan Bencana untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
1.5.2. Sebagai bahan masukan bagi kepala keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan pendidikan terkait kesiapsiagaan di rumah tangga dalam menghadapi resiko bencana tsunami untuk mengantisipasi apabila terjadi tsunami sehingga korban jiwa dan kerugian harta benda dapat diminimalkan. 1.5.3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi perpustakaan
hingga menjadi dasar pemikiran untuk penelitian- penelitian
selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara