Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Bangsa
Jepang memiliki berbagai keunikan dalam kehidupan mereka,
khususnya dalam kebudayaan. Festival, makanan, tarian, drama dan upacara adatnya memiliki makna dan didasari oleh suatu kepercayaaan terhadap sesuatu. Sebagai contoh upacara minum teh atau chanoyu, yang diperkenalkan oleh pendeta Zen . Teh pertama kali diperkenalkan di Jepang melalui ajaran Buddha yang berasal dari Cina pada abad ke-6, namun sebelum tahun 1191
teh belum benar-benar memiliki arti bagi masyarakat
Jepang, hingga akhirnya Eisai(1141-1215), pendeta Zen kembali dari Cina. Eisai seorang pendiri Zen aliran Rinzai di Jepang, memperkenalkan bubuk dan bibit teh yang dia bawa dari Cina. Bibit teh tersebut diberikan kepada temannya sesama pendeta yang bernama Myoe (1173-1232), untuk ditanam di Kuil Kozan-ji, Kyoto. Kemudian mereka berdua mengusahakan teh sebagai salah satu alat penyebaran aliran Zen di Jepang. Kuil-kuil di Jepang, minum teh dibudidayakan sebagai suatu cara agar para pendeta dapat lebih berkonsentrasi pada saat melakukan meditasi. Para pendeta berkumpul di depan gambar dari pendiri Zen yang pertama yaitu Boddhidharma dan mereka secara 1
bergantian meminum teh dari mangkuk yang sama. Eisai dan Myoe percaya bahwa teh mamiliki khasiat yang bagus untuk tubuh. Myoe sependapat dengan Eisai, dalam buku Kissa Yoojoo Ki yaitu data mengenai khasiat teh yang ditulis oleh Eisai : in the degenerate age, tea is the most wonderful medicine for nourishing one’s health and prolonging life…When heaven created all things, it gave the most care to creating man. For man, there for, it is wisest to live a healthy life and to care for the life which has been bestowed upon him by heaven. To live a healthy life, one must take care of the courses of life. Di zaman kemerosotan ahlak ini, teh adalah obat yang manjur untuk memelihara kesehatan dan untuk memeperpanjang umur…Pada waktu Yang Kuasa menciptakan segalanya, Ia memeberikan perhatian khusus kepada penciptaan manusia. Oleh sebab itu, manusia patut untuk hidup bijak dan sehat, serta menjaga kehidupan yang telah dianugerahkan kepadanya. Agar memperoleh hidup yang sehat, manusia patut untuk menjaga sumber kehidupan itu sendiri.
Menurut Kuck (1984 : 188), diadakannya acara minum teh di salah satu ruangan kecil, yang juga disebut shoin, di kediaman Yoshimasa, Kuil Ginkaku-ji, menjadi penanda awalnya konsep ritual upacara minum teh. Berbeda dengan tata cara pendeta Zen pada umumnya, yakni hanya dengan diawali para pendeta berkumpul di depan gambar Boddhidharma, kemudian secara bergantian meminum teh dari mangkuk yang sama, Murata Shuko (1423-1502) menyajikan teh dengan cara yang lebih berdasarkan pada nilai kesederhanaan dan penuh dengan nilai estetika. Selain Murata Shuko ada juga
2
ahli teh lainnya, yaitu Sen no Rikyu (1522-1591) yang kemudian menyempurnakan tehnik penyajian teh. Rikyu mempertunjukkan hal yang berbeda, yakni dengan menunjukkan urutan ketika tamu atau peserta minum teh tiba di tempat penyelenggaraan, hingga tata cara membuat teh beserta aturan-aturannya. Tata cara inilah yang kemudian menjadi simbol terbentuknya ritual chanoyu , tata cara tersebut masih berlaku hingga saat ini, oleh karena itu Rikyu dikenal sebagai The Master of Tea. Menurut Historical Chanoyu (1986 : 96), Sen no Rikyu lahir di Sakai pada tahun 1522. Pada usia 17 tahun, Rikyu berguru pada Takeno Joo dan mulai belajar seni upacara minum teh berdasarkan pada
estetika wabi, yang mengutamakan
kesederhanaan dan kerohanian dalam semangat Budha Zen. Tetapi Rikyu tidak hanya sekedar mengandalkan ilmu yang diperoleh dari gurunya, ia juga berusaha mempelajari Zen sendiri untuk menyempurnakan upacara tehnya, karena baginya, teh merupakan cara sederhana untuk mempraktekkan Zen. Pengaruh Sen no Rikyu mendominasi pada zaman Azuchi Momoyama (1568-1600) dengan menyempurnakan cara minum teh dari ahli teh generasi sebelumnya dia. Kehidupannya mulai berubah ketika dia diperkenalkan kepada Nobunaga. Saat itu Nobunaga membutuhkan seseorang yang ahli dalam alat-alat atau perlengkapan minum teh. Setelah pertemuan dengan Rikyu, kemudian Nobunaga melantik Rikyu sebagai guru tehnya. Salah satu hasil karya Sen no Rikyu adalah 3
Mushakouji Senke di Kanyu-an, Kyoto. Menurut New World Encyclopedia Preview (2006), saat ini ada empat sekolah yang didedikasikan untuk Sen no Rikyu, yaitu Omotesenke, Urasenke, Mushanokojisenke (hasil karya dari Sen no Rikyu sendiri), dan Sakaisenke. Pada skripsi ini penulis akan meneliti tentang roji (taman teh) yang terdapat di Mushanokojisenke, yang merupakan hasil karya dari Sen no Rikyu. Chanoyu dapat dikatakan sebagai salah satu upacara keagamaan karena komponen didalamnya memenuhi syarat yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan. Koentjaraningrat (1977 : 241) menjelaskan komponen yang ada dalam upacara agama sebagai berikut: Upacara keagamaan dapat terbagi ke dalam empat komponen, yaitu tempat upacara, waktu diadakannya upacara, benda atau alat yang digunakan dalam upacara, dan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.
Chanoyu adalah ungkapan perasaan yang dilandasi oleh pemikiran agama Budha Zen yang berusaha untuk mengukuhkan unsur dan jalinan pranata sosial berupa aturan-aturan, nilai dan norma yang terkandung dalam upacara minum teh tersebut. Chanoyu dilihat dari huruf kanjinya cha [茶] berarti teh, no [の] partikel penghubung, dan yu [湯] berarti air panas. Sehingga secara harafiah berarti air panas atau mendidih untuk
teh.
Dalam
pelaksanaanya
chanoyu
menjadi
ritual
yang
memiliki
4
bermacam-macam hubungan, diantaranya hubungan agama, kesusastraan dan filosofi dari seni dan keahlian. Chanoyu juga dikenal dengan konsep chadou yaitu cara atau filosofi dari ritual minum teh. Upacara minum teh ini mengandung simbol yang berhubungan dengan jiwa-spiritual, dalam hal ini, Rikyu menitikberatkan pada empat prinsip, yaitu : wa (keserasian), kei (kepatuhan), sei (kemurnian), dan jaku (ketenangan). Penerapannya diwujudkan dalam bentuk seni dan didukung oleh beberapa faktor untuk terciptanya empat prinsip tersebut, seperti dari segi arsitektur dan dekorasi rumah teh (sukiya), ruang teh (chashitsu), kaligrafi, keramik, rangkaian bunga (chabana), perlengkapan, serta arsitektur taman (roji). Chashitsu yang berarti ruang teh jika dilihat dari huruf kanjinya, yakni cha [茶] berarti teh, dan shitsu [室] berarti ruang atau kamar. Jadi secara harafiah chashitsu berarti ruang untuk minum teh. Menurut Tanaka (1998 : 35) salah satu perancang ruang teh kecil terbaik adalah pendeta Zen yang bernama Murata Shukõ (1422-1502). Bangsa Jepang adalah masyarakat yang sangat menghormati alam, alam memberikan kesejahteraan dan kehidupan dan dari alam manusia memperoleh hasil bumi, oleh karena itu alam benar-benar dimanfaatkan sebaik mungkin. Alam dimanfaatkan untuk berbagai hal yang menjadi bagian dari kehidupan mereka, seperti untuk rumah dan taman. Tidak hanya sebatas itu, dalam berkarya seni pun mereka menggunakan media 5
yang bahan dasarnya berasal dari alam, seperti kayu, batu, bambu, air dan bunga. Bahan dasar tersebut mereka olah, rangkai dan ditata agar terlihat unsur keindahannya. Oleh karena itu chasitsu adalah salah satu hasil karya seni yang memanfaatkan alam. Ada dua tipe dari chashitsu yaitu chashitsu yang memiliki beberapa ruangan lain (di Inggris dikenal dengan istilah tea houses atau rumah teh) dan tipe kedua adalah bangunan yang terletak di dekat bangunan tempat tinggal dan menjadi ruangan khusus untuk upacara minum teh (di Inggris diketahui dengan istilah tea rooms atau ruang teh). Perbedaannya adalah rumah teh biasanya bangunan sederhana yang berbahan kayu dan berukuran kecil. Biasanya rumah teh terletak di daerah terpencil, area yang tenang, tetapi saat ini sudah sering ditemukan di dalam taman atau lahan yang luas atau taman umum atau taman pribadi. Sedangkan untuk ruang teh , biasanya berupa ruangan kecil yang terdapat di dalam rumah teh, kuil, sekolah dan institusi lainnya. Di Jepang, rumah-rumah yang memiliki ruangan yang ber-tatami biasanya digunakan untuk ruang teh, ruangan yang serupa biasanya juga digunakan untuk tujuan yang lain. Rumah teh yang kecil memiliki dua ruangan yaitu ruang teh dan mizuya, tempat dimana tuan rumah menyiapkan makanan kecil atau pemanis dan peralatan atau perlengkapan chanoyu, dan keseluruhan ruangan terdiri dari hanya dua atau tiga alas. Rancangan atau model dari rumah teh dipengaruhi oleh unsur filosofi Zen. Rumah teh 6
pertama kali diperkenalkan pada periode Sengoku. Menurut artikel Chashitsu, Wikipedia, The Free Encyclopedia, Maret 2007, rumah teh biasanya didirikan oleh para pendeta Zen atau daimyo, samurai dan pedagang yang berlatih chanoyu. Mereka berpikir tentang kesederhanaan dan ketenangan, yang berhubungan dengan filosofi Zen, samurai menggunakannya untuk perlindungan dan filosofi dalam takdir mereka. Pintu masuk dan keluar rumah teh adalah pintu persegi, berukuran kecil yang menjadi simbol pemisah antara kecil, sederhana dan ketenangan dalam batin dengan kesibukan dunia dan kekacauan. Secara filosofi untuk menyatukan batin antara tuan rumah dan tamu diharuskan berlutut ketika memasuki ruangan.
Pada umumnya rumah
teh dikelilingi oleh taman yang kecil. Taman teh ini dikenal dengan istilah roji [路地] atau “jalan embun”, yang arah jalurnya menuju ke arah rumah teh. Suasana tenang dari taman dapat membuat peserta atau tamu chanoyu merasa lebih santai dan nyaman sebelum mengikuti chanoyu. Lukisan, kaligrafi dan chabana dalam chanoyu dapat dinikmati sambil duduk saat minum teh, namun taman dapat dirasakan keindahannya dengan berjalan-jalan di dalamnya. Oleh karena itu, taman tidak hanya berperan sebagai penghias atau pelengkap, tetapi ada makna yang terkandung di dalamnya, sehingga menciptakan nuansa tersendiri dalam chanoyu. Suasana tenang atau nyaman dapat menciptakan aura tersendiri yang dapat mempengaruhi jiwa atau emosional seseorang. 7
Hal ini seperti yang disebutkan oleh Tanaka Sen’õ dan Tanaka Sendõ (1998 : 108) : a quiet place in the garden away from the main house was felt to be most suitable for drinking tea, and the participants felt more relaxed after going into the garden for a walk. tempat yang tenang di dalam taman, yang jauh dari rumah utama, dianggap tempat yang paling cocok untuk minum teh, dan para peserta merasa lebih nyaman setelah berjalan-jalan di taman.
Anderson (1991), menyebutkan : the tea garden as the intermediary between the everyday world and the ritualistic world of chanoyu. taman teh sebagai perantara antara dunia aktifitas keseharian dan dunia ritual dari chanoyu.
Taman teh, chaniwa, yang disebut juga dengan istilah roji, biasanya jika terletak di lahan yang sangat luas seperti di Kuil Rokuonji, memiliki dua bagian taman yaitu taman bagian luar dan taman bagian dalam. Namun, jika terletak di lahan yang terbatas hanya terdiri dari satu bagian saja. Menurut Tanaka (1998 : 110), elemen yang selalu ada dalam tiap taman teh adalah : mizuya (ruang persiapan untuk tuan rumah), chũmon (gerbang kecil), ishi-doro (lentera), tobi-ishi (batu setapak), tsukubai (susunan batu penampung air). Beberapa elemennya memiliki hubungan dengan konsep filisofi dalam Zen yang berhubungan dengan alam, yakni air, batu dan lentera.
8
1.2 Rumusan Permasalahan Berhubungan dengan pentingnya roji dalam chanoyu, penulis akan menganalisis konsep Zen yang ada di dalam roji.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti adalah konsep Zen yang mempengaruhi arsitektur roji di Kankyu-an karya Sen no Rikyu.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai adalah agar penulis dan pembaca mengetahui adanya makna Zen di dalam arsitektur taman teh. Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah dapat menambah wawasan budaya bagi penulis dan pembaca mengenai arsitektur taman teh.
1.5 Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode kepustakaan, melalui buku dan data yang diperoleh dari perpustakaan Japan Foundation, Kedutaan Besar Jepang, Universitas Bina Nusantara, dan beberapa toko buku, serta 9
beberapa data dari internet dan jurnal. Pengolahan data penulis lakukan dengan menggunakan metode deskriptif - analitis, data akan dianalisis sesuai dengan informasi yang diperoleh.
1.6 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab. Dengan susunan: Bab 1 pendahuluan, bab 2 adalah landasan teori, bab 3 adalah analisis data, bab 4 adalah simpulan dan saran, dan bab 5 adalah ringkasan skripsi. Bab 1 Pendahuluan, bab ini merupakan penjelasan tentang latar belakang, rumusan dan ruang lingkup permasalahan, tujun dan manfaat penelitian, metodologi serta sistematika penulisan skripsi ini. Bab 2 Landasan Teori, dalam bab ini akan ditulis teori-teori yang digunakan untuk menganalisis topik skripsi yang terdapat pada bab tiga. Yaitu :1. Konsep Zen dalam taman, 2. Konsep Taman Jepang, 3. Konsep Taman Teh atau Roji. Bab 3 Analisis Data, pada bab ini, penulis akan menguraikan analisis data dengan menggunakan teori yang terdapat dalam bab dua. Sub-sub babnya adalah: 3.1 analisis konsep Zen pada machiai (ruang tunggu),
3.2 analisis konsep Zen pada
chũmon (gerbang kecil), 3.3 analisis konsep Zen pada tobi-ishi (batu pijakan), garanseki 10
(batu yang berukuran besar) dan sekimori-ishi (batu penanda), 3.4 analisis konsep Zen pada nobedan (jalan setapak), 3.5 analisis
konsep Zen pada chozubachi (wadah
penampung air) dan ishi-dõrõ (lentera), 3.6 analisis konsep Zen pada tsukubai (batu penampung air). Bab 4 Simpulan dan saran, bab ini berisikan simpulan dari hasil analisis yang berdasarkan dari teori yang digunakan dan juga saran. Bab 5 Ringkasan, bab ini adalah rumusan dari seluruh permasalahan serta jawaban yang dituliskan kembali secara singkat, dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang.
11