BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam arsitektur, sebuah bangunan didesain untuk memenuhi fungsi sesuai dengan konteks waktu dan masyarakat pada masa tertentu. Seiring berjalannya waktu terdapat banyak bangunan yang pada akhirnya mengalami degradasi nilai fungsi dan perubahan kecenderungan masyarakat yang akhirnya membuat bangunan tersebut tidak digunakan kembali. (Evan Rotenberger, 2013). Dunia pembangunan yang terus berkembang secara dinamis, membuat beberapa bangunan yang tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan pola lingkungan dan masyarakat pada masa sekarang perlahan akan ditinggalkan dan dilupakan. Dalam konteks bangunan bersejarah, menurut United Nation Habitat Agenda mengenai pembangunan berkelanjutan dalam poin konservasi dan rehabilitasi warisan sejarah dan kebudayaan, Bangunan bersejarah merupakan representasi dari masyarakat yang memiliki identitas kebudayaan dan stabilitas sosial. Konservasi bangunan peninggalan bersejarah perlu dilakukan untuk melestarikan nilai-nilai tersebut sekaligus bentuk tindakan mewujudkan fungsi keberlanjutan sumber daya alam dan sumber daya buatan manusia (un-document). Konservasi dan pelestarian dilakukan agar bangunan lama bersejarah dapat tetap eksis dalam masyarakat masa kini, memberi dampak positif bagi lingkungan dan menjaga keberlanjutannya di masa depan.
PAST
PRESENT
FUTURE
Gambar 1. Hubungan Keberlanjutan Masa
Adaptive Reuse merupakan strategi konservasi yang tengah berkembang pesat dalam dunia arsitektural masa kini. Di negara- negara Eropa dan Amerika telah banyak diterapkan konsep ini untuk mengkonversi bangunan lama bersejarah menjadi bangunan dengan fungsi yang baru. Pemanfaatan bangunan
1
2 untuk memenuhi fungsi baru yang dibutuhkan masyarakat ini juga unggul dalam aspek mengurangi limbah material dan sisa konstruksi, mengurangi polusi yang terjadi di lingkungan, dan meminimalisasi penggunaan material baru yang artinya mendukung siklus pembangunan berkelanjutan. Beberapa contoh Adaptive Reuse dalam bangunan bersejarah misalnya, pemanfaatan kembali bangunan industrial bersejarah di Eropa. Bangunan industrial ini dinilai bersejarah karena merupakan saksi perkembangan peradaban dan teknologi masyarakat dari waktu ke waktu. Misalnya pabrik batu bara Zollverein di Essen, Eropa yang di bangun dan digunakan kembali menjadi Hall Eksibisi Seni Industrial oleh Norman Foster Architects. Selain itu di Bern, ibukota Switzerland terdapat pabrik cokelat Tobler yang direkonstruksi dan digunakan kembali menjadi perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan akan ekstensi kampus baru bagi Universitas Bern, yang terletak tepat disamping pabrik tersebut.
Gambar 2. Industrial Art Exhibition Hall, Zollverein. Sumber: Higher Education Press and Springer-Verlag 2007
Gambar 3. Rekonstruksi Pabrik Tobler menjadi Perpustakaan Sumber: Higher Education Press and Springer-Verlag 2007
Kedua contoh Adaptive Reuse diatas adalah pemanfaatan kembali bangunan untuk memenuhi fungsi baru yang dibutuhkan tanpa melakukan banyak perubahan struktur dan eksterior bangunan. Pendekatan perubahan program ruang dan interior dilakukan dengan tetap mempertahankan nilai otentik dari bentuk bangunan bersejarah tersebut. Mengecilkan ruang lingkup ke Indonesia, terutama di Jakarta.terdapat banyak bangunan peninggalan bersejarah yang menjadi bagian dari perencanaan konservasi
3 pemerintah Indonesia. Terdapat total 136 bangunan cagar budaya menurut SK Gubernur DKI No.475 tahun 1993 yang terdapat di Jakarta.Daftar ini juga pastinya telah mengalami peningkatan jumlah seiring dengan berjalannya waktu. Gedung Pola adalah gedung yang berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat yang merupakan salah satu area konservasi menurut perencanaan pemerintah daerah DKI Jakarta. Gedung Pola adalah gedung rancangan arsitek Friedrich Silaban berdasarkan gagasan pembangunan Presiden Pertama RI, Soekarno.
Gambar 4. Foto Gedung Pola
Gedung yang dibangun di atas lahan historis tempat dimana kemerdekaan Indonesia diproklamasikan ini memiliki fungsi awal sebagai gedung pameran pola pembangunan nasional semesta yang merupakan tanda dimulainya Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama (Abidin Kusno, 2013).
Gambar 5. Foto Potongan Artikel Pembangunan Gedung Pola, 1961
4
Ahistoris Ahistoris memiliki arti segala sesuatu yang berlawanan dengan sejarah: Sikap memahami kultur lama tanpa memedulikan aspirasi sejarah yg melahirkannya (KBBI) Sejarah adalah sesuatu yang memiliki lebih dari satu mata pisau, sebuah kisah dapat keluar kedalam beberapa macam versi, dimana masing- masing versinya terkadang tidak didukung dengan bukti yang autentik. Begitu pula dengan sejarah dan peristiwa dibalik sebuah pembangunan dan pemanfaatan gedung. Dalam kasus ini adalah Gedung Pola. Terdapat sebuah tindakan ahistoris terhadap Gedung Pola yaitu: •
Penamaan ‘Gedung Perintis Kemerdekaan’
•
Peletakkan monumen proklamasi
Mengganti nama Gedung Pola menjadi Gedung Perintis Kemerdekaan tentu adalah bentuk tindakan ahistoris, dimana akan terdapat jungkir balik makna karena dua termin ini sangat berbeda jauh. Gedung perintis kemerdekaan yang tepat seharusnya adalah museum perumusan naskah teks proklamasi, (dulu rumah Laksamana Tadashi Maeda) di Jl. Imam Bonjol, tempat dimana naskah proklamasi pertama kali di rumuskan oleh Soekarno dan kawan- kawan. (Bambang Eryudhawan, 2015) Pada titik dimana rumah Bung Karno dulu berdiri dan titik pembacaan proklamasi dibangun sebuah tugu penanda yakni Tugu Petir dengan plakat yang menyataka bahwa dititik itulah pembacaan proklamasi dilakukan. Namun sekitar 100 m di belakang Tugu Petir terdapat monumen proklamasi yang dibangun pada masa orde baru, dimana terdapat patung Soekarno-Hatta berdiri. Hal ini tentunya adalah kekeliruan. (Rutney Sigit, Yayasan Bung Karno, 2015)
Gambar 6. Monumen Proklamasi dan Tugu Petir
5 Kondisi Gedung Pola Sekarang Gedung ini dibangun di atas tanah tempat lahirnya kedaulatan bangsa Indonesia, walaupun begitu tidak seluruhnya, bahkan tidak banyak bangsa Indonesia yang mengetahui tentang hal tersebut. Bahkan warga Jakarta dan sekitarnya pun hanya sebagian kecil atau kalangan tertentu saja. Fungsi yang berjalan sekarang adalah kantor. Namun hanya sebagian kecil saja lembaga yang resmi menduduki kantor tersebut, seperti Yayasan Bung Karno, LPSK, PKP3KI dan Yapeta. Sebagian yang lain adalah kantor-kantor illegal yang membayar ke oknum (pada lantai 5 dan 6) Pada bagian luar belakang gedung juga kerap kali digunakan untuk pengemis dan gelandangan tidur. Keadaan yang lebih miris adalah terdapat oknum yang menjadikan ruang-ruang kosong sebagai ‘tempat menginap’ illegal bersama perempuan. Gedung ini sudah seperti sarang penyamun (Rauzi Thater,Sekretaris Jenderal Persatuan Keluarga Putra Putri Perintis Kemerdekaan Indonesia (PKP3KI), 2015) Kepemilikan gedung saat ini dipegang oleh Sekertariat Negara, namun tidak ada rencana ataupun perhatian khusus terhadap pemeliharaannya, dan sudah terdapat wacana pengambil alihan pengelolaan oleh Pemerintan Provinsi DKI Jakarta (Rini Haryani, Kepala unit pengelola Tugu Monas dan Tugu Proklamasi) Peruntukan gedung saat ini menjadi tidak jelas dan tidak lagi ada hubungannya dengan Pembangunan Nasional Semesta yang dicanangakan pada tahun 1961- 1969 oleh Presiden Soekarano (Rutney Sigit, Ketua Divisi Program Yayasan Bung Karno, 2015) Melihat kondisi yang cukup miris bagi gedung yang memiliki nilai sejarah nasional Indonesia yang tidak lagi dapat mencerminkan nafas angan-angan Sukarno bagi kepribadian bangsa Indonesia, Penting untuk melakukan Adaptive Reuse bagi Gedung Pola.
Gambar 7. Keadaan Bangunan Sekarang
6 Selain Kantor, pada lantai 3 terdapat ruang pameran foto- foto Presiden Soekarno beserta aktifitasnya pada masa masa revolusi di Indonesia, Juga terdapat sebuah toko souvenir dan perpustakaan kecil yang dinamai perpustakaan Bung Karno. Berdasarkan kriteria bangunan konservasi (UU No.11 Tahun 2010), Gedung Pola memenuhi beberapa kriteria yaitu : a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan; dan d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Adaptive Reuse yang dilakukan terhadap Gedung Pola berangkat dari perencanaan untuk mendefinisikan ulang keberadaan gedung ini di tengah lingkungan dan lapisan masyarakat masa kini yang terus berkembang. Fungsi baru yang dibutuhkan tidak hanya sekedar memenuhi aspek ekonomi seperti fungsi komersil dan residensial yang banyak menjadi proposal desain Adaptive Reuse. Fungsi baru ini haruslah memperhatikan aspek pelestarian sejarah kebangsaan yaitu proklamasi kemerdekaan. Menurut Peraturan Pemerintah RDTR DKI Jakarta Tahun 2004, Gedung Pola berada dalam sub zona prasarana sosial dan budaya (S4). Sejarah kebangsaan menuju pembangunan, sejarah proklamasi dan proklamator juga aspek arsitektur modernis dapat menjadi nafas dari perwujudan fungsi baru yang memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang progresif serta menciptakan tipologi baru bagi aktifitas sosial dan budaya sehingga Gedung Pola dapat menjadi landmark bagi tanah tempat proklamasi dibacakan. Fungsi baru ini akan berkaitan dengan penyediaan prasarana sosial dan budaya, keinginan pengelola terhadap gedung, kontekstual terhadap nilai sejarah, juga sesuai dengan kondisi eksisting Gedung Pola sekarang. 1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diangkat adalah: • Bagaimana memanfaatkan Gedung Pola dengan fungsi yang baru? • Bagaimana penerapan konsep interior pada fungsi baru Gedung Pola?
7 1.3 Tujuan Penelitian • Mengetahui bagaimana cara memanfaatkan Gedung Pola setelah beralih fungsi • Mengetahui bagaimana menerapkan konsep interior pada fungsi baru Gedung Pola 1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang Lingkup Wilayah Materi Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka ruang lingkup yang akan diteliti mencakup beberapa hal yaitu: • Konsep Adaptive Reuse pada Gedung Pola • Program ruang dan interior fungsi baru. Ruang Lingkup Wilayah Studi • Tapak berlokasi di Jl. Proklamasi 56, Menteng, Jakarta Pusat. • Banguan memiliki luas lantai 2.100 m², terdiri dari 6 lantai. Total luas bangunan 9.432 m².
Gambar 8. Peta Satelit Gedung Pola Sumber: Google Earth diakses11 Oktober 2015
1.5
State of The Art Dalam jurnal karya Yildirim, M. (2012). Yang berjudul Assessment of the
decision-making process for re-use of ahistorical asset: The example of Diyarbakir Hasan Pasha Khan, Turkey. Journal of Cultural Heritage 13, 379-388.Yildrim merumuskan metode mengenai adaptive reuse yang tepat pada sebuahbangunan bersejarah. Adaptive reuse dapat dikatakan berhasil jika proses konservasiyang dilakukan menjaga bangunan dan lingkungan tetap berkelanjutan. Metode yang digunakan adalah menurut (Worthing & Bond, 2007), yaitu 6 langkah yang mengevaluasi: kondisi pola historis; kondisi lingkungan; integritas tempat; alternatif penggunaan ulang beserta kelebihan dan kekurangannya; kebutuhan pemilik dan
8 pengguna; analisa terhadap struktur bangunan. Alternatif adaptive reuse di kawasan Hasan Pasha Khan adalah hotel, restoran, museum, dan retail. Permasalahan yang dihadapi dalam adaptive reuse dalam kawasan bersejarah adalah sirkulasi kendaraan dan juga kepadatan pengunjung. Dalam jurnal berjudul Architectural Heritage as a Socioeconomic Opportunity for Revitalization of Historic Urban Centres: A Global Perspective, Indrė Gražulevičiūtėmenyatakan bahwa analisis literatur yang dilakukan dalam penelitian pelestarian warisan arsitektural bersejarah dapat mendemonstrasikan fungsi yang rasional, penggunaan yang sesuai, adaptive reuse, restorasi, renovasi dan perawaran bagi warisan arsitektural dapat menjadi katalis sosiokultural dan sosioekonomi. Hal ini menciptakan asumsi baru mengenai latar belakang dilakukannya pelestarian yang bukan hanya karena beban atau gangguan finansial namun bagaimana warisan arsitektural dapat berkontribusi untuk terhadap aspek sosioekonomi suatu kawasan perkotaan. Bangunan bersejarah ataupun reruntuhan yang telah menjadi identitas bagi lingkungannya seringkali semakin tidak bernilai dan tidak dihargai karena tidak menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh zaman yang berbeda-beda. Namun identitas dan pencitraan akan selalu menjadi sesuatu yang sangat diperlukan untuk memberikan penegasan akan fungsi bangunan ataupun lingkungan yang mengalami penurunan nilai tersebut. Paragraf di atas adalah bagian dari abstrak Jurnal karya Muhammad Fajri Romdhoni dengan judul Penggunaan Metoda Juxtaposisi untuk Bangunan Pasar Bersejarah 16 ilir Palembang Dalam jurnal yang berjudul Adaptive Re-use and urban Regeneration in dhaka - A theoretical exploration, Quazi M. Mahtab-uz-Zaman menyatakan bahwa Adaptive reusedapat mengubah properti yang tidak produktif menjadi sumber komunitas yang berguna dan bernilai. Secara subtannsial mengurangi akuisisi lahan dan biaya konstruksi. Lebih jauh dikatakan bahwa adaptif reuse adalah metode untuk mencapai pembangunan berkelanjutan Lebih jauh mengenai kajian adaptive reuse dipaparkan oleh Handri Saputra dan Ari Widyati Purwantiasning dalam jurnal yang berjudul Kajian Konsep Adaptive Reuse Sebagai Alternatif Aplikasi Konsep Konservasi sebagai berikut: langkah Adaptive Reuse dijelaskan sebagai segala sesuatu yang sudah tidak terpakai baik itu sebuah tempat, kawasan atau pun bangunan yang sudah berumur tua dan kondisinya rusak serta tidak terawat akan menimbulkan sebuah pemandangan yang menggagngu
9 pada siapa saja yang melihat. Kondisi ini bisa terjadi karena tempat atau bangunan tersebut sudah tidak memiliki fungsi dan manfaat. Ketidakpedulian dan sikap acuh biasanya menjadi faktor besar yang membuat sebuah tempat ataupun bangunan terbengkalai. Sebenarnya jika setiap orang dapat lebih pandai dan cermat lagi dalam melihat kondisi tersebut, banyak sekali potensi yang terdapat pada sebuah tempat atau bangunan tua yang terbengkalai dan tidak terawat itu. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah seperti memfungsikan kembali tempat ataupun bangunan yang sudah tidak dipergunakan lagi menjadi sebuah tempat, bangunan ataupun sesuatu dengan fungsi baru yang dapat mendatangkan banyak manfaat, dan keuntungan baik dari sudut ekonomi, budaya dan sosial. Kesimpulan State of The Art Beberapa poin evaluasi Adaptive Reuse dalam jurnal Yildrim dapat menjadi landasan teori peneliti dalam menentukan fungsi baru. Aspek- aspek tersebut memiliki kecocokan dengan aspek yang di harus dipehatikan dalam Adaptive Reuse gedung pola, seperti kondisi lingkungan dan historis. Dalam ketiga jurnal berikutnya, disimpulkan Adaptive Reuse berkaitan erat dengan bagaimana bangunan tidak lagi memiliki fungsi yang rasional dan tidak lagi produktif. Mengalami penurunan nilai fungsi terhadap kawasan, serta tidak lagi menjadi identitas bagi komunitasnya. Peneliti juga dapat menarik benang merah dari pernyataan bahwa ketidakperdulian dan sikap acuh biasanya menjadi faktor besar yang membuat sebuah tempat ataupun bangunan terbengkalai. Hal ini pula yang terjadi dalam ruang lingkup kajian peneliti.Juga pertimbangan bahwa fungsi yang baru harus dapat mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan baik dari sudut ekonomi, budaya dan sosial. Beberapa faktor diatas dapat menjadi tolak ukur peneliti menemukan fungsi baru dan aspek- aspek yang harus diuraikan lebih lanjut. Lebih jauh terdapat perbedaan yakni kajian sejarah kebangsaan pada bangunan objek peneliti yang menjadi keunikan tersendiri sehingga fungsi baru yang direncanakan dapat menjadi tipologi baru aktifitas masyarakat Indonesia dan Jakarta pada khususnya.
10