Bab 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BPR Bank Surya Yudha merupakan perusahaan keluarga yang bergerak dalam sektor perbankan. Perusahaan keluarga dikenal memiliki budaya organisasi yang kuat dibanding perusahaan pada umumnya. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya perusahaan keluarga adalah organisasi bisnis yang didirikan, dimiliki, dan dikelola oleh sebuah keluarga. Budaya organisasi di BPR Bank Surya Yudha tercermin dalam etos kerja yang ulet, disiplin, semangat yang tinggi, jujur, loyal, dan pantang menyerah (www.suryayudha.co.id diakses pada 14 November 2014). Budaya organisasi tersebut turun dari nilai-nilai yang dianut dan diyakini oleh pendiri Bank Surya Yudha, Satriyo Yudiarto. Nilai-nilai yang dimaksud adalah Asmaul Husna. Satriyo Yudiarto melandaskan kegiatan bisnisnya dengan nilai-nilai spiritual, yang kemudian diringkas menjadi 7 prinsip kerja, yaitu jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli. Tujuh prinsip inilah yang menjadi pedoman atau arahan bagi para karyawan mengenai bagaimana harus bekerja dan berinteraksi dengan stakeholder dan karyawan lain. Pemilihan Asmaul Husna sebagai nilai perusahaan ini menarik, sebab pada umumnya perusahaan bisnis hanya berorientasi pada profit semata. Menurut Prof. Dr. Faisal Afiff, SE.Spec.Lic dari Universitas Padjadjaran, nilai spiritual relatif baru diterapkan di ranah bisnis. Aspek spiritual sendiri mengandung makna keikhlasan dalam melakukan sesuatu hal semata-mata karena kewajibannya sebagai manusia yang dapat bermanfaat bagi orang lain.
1
Nilai spiritual ini ditunjukkan melalui kutipan wawancara yang dilakukan oleh Tribunnews.com edisi 24 Februari 2015 pada pemilik BPR Bank Surya Yudha, Satriyo Yudiarto, “Saya bukan pada posisi memikirkan diri sendiri tapi bagaimana menyejahterakan seribu orang karyawan saya beserta keluarganya. Kalau mereka berhasil, saya puas” (Marantina, 2015). Ke depan, Satriyo juga akan membuka beberapa cabang lagi dengan tujuan untuk membantu semakin banyak karyawan dan keluarganya (Marantina, 2015). Satriyo menggabungkan dua aspek yang diyakini mampu menciptakan kekuatan yang dahsyat ketika bersinergi, yaitu aspek bisnis dan spiritual. Aspek spiritual dianggap penting untuk menciptakan hubungan kemanusiaan (humanity), baik antara perusahaan dengan customer maupun antarkaryawan dalam perusahaan. Kualitas hubungan kemanusiaan yang baik secara tidak langsung akan mendukung pertumbuhan bisnis. Nilai spiritual yang menjadi pedoman di BPR Bank Surya Yudha tercermin dalam 7 Prinsip Kerja yang merupakan core values Asmaul Husna. Implementasi 7 prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kantor BPR Bank Surya Yudha terlihat dari pra observasi yang dilakukan secara tidak terstruktur pada bulan November 2014 hingga Maret 2015. Budaya akrab antarkaryawan tanpa melihat tinggi atau rendahnya jabatan terlihat dari pemilik perusahaan yang tak segan bercengkerama dengan karyawan yang sedang bermain bola voli di Surya Yudha Sports Center, pemilik perusahaan juga sering menyapa anak-anak kecil yang sedang bermain futsal. Dalam kehidupan sehari-hari di dalam organisasi, pemilik perusahaan menunjukkan sikap rendah hati, agar dapat diterima oleh orang lain. Kemudian, sikap peduli ditunjukkan oleh owner dengan visi awal pendirian BSY yaitu membuka lapangan kerja bagi masyarakat Banjarnegara pada umumnya dan masyarakat Desa Rejasa pada khususnya. Perlu diketahui, pemilik BPR Bank Surya Yudha adalah penduduk asli Desa Rejasa, dan BPR Bank Surya Yudha juga didirikan di daerah tersebut. Sebagai bentuk 2
kontribusinya untuk meningkatkan taraf kesejahteraan warga sekitar, Satriyo Yudiarto memprioritaskan warga sekitar untuk diberdayakan. Kepedulian pada sesama sebagai perwujudan nilai spiritual juga ditegaskan oleh Hary Tanoesudibjo yang menyatakan bahwa membuka lapangan pekerjaan adalah salah satu bentuk ibadah (economy.okezone.com, 2013). Selain berorientasi pada kualitas hubungan internal perusahaan, BPR Bank Surya Yudha juga fokus pada pelayanan terhadap customer. Hal ini ditunjukkan dengan totalitasnya terhadap pengembangan fasilitas website dan mesin transaksi ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Pemanfaatan ATM hingga saat ini masih jarang digunakan oleh sektor finansial kecil seperti BPR (publiknasional.com, 2012). Selain itu, budaya organisasi juga terlihat dari bangunan fisik kantor BPR Bank Surya Yudha Pusat, seluruh cabang, bahkan kantor kas yang unik. Hal ini jarang dijumpai di BPR manapun, sekaligus menjadi identitas bagi BPR Bank Surya Yudha. Tema interior dan eksterior BPR Bank Surya Yudha menggunakan konsep atau gaya Eropa modern yang tentu memiliki filosofi tersendiri. Berdasar wawancara pra-penelitian yang dilakukan dengan Komisaris BPR Bank Surya Yudha, filosofi bangunan fisik BPR Bank Surya Yudha adalah untuk menampilkan kesan mewah dan kokoh sehingga diharapkan dapat mendorong rasa percaya masyarakat untuk menggunakan produk layanan BPR Bank Surya Yudha. Bangunan fisik tersebut sekaligus mendukung good performance yang merupakan salah satu aspek dalam prinsip visioner.
3
Gambar 1.1. BPR Bank Surya Yudha Kantor Pusat (kiri) dan BPR Bank Surya Yudha Cabang Dieng (kanan)
Sumber: http://www.banksuryayudha.com/kantor-bsy-banjarnegara diakses pada 14 November 2014
Meski berdiri di kabupaten kecil yang masih berada di urutan teratas untuk kategori kabupaten termiskin di Jawa Tengah, BPR Bank Surya Yudha telah mampu menjadi sebuah kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Banjarnegara melalui kemajuan bisnisnya dengan membentuk group yang memiliki hotel, sports center, waterboom, arung jeram, dan beberapa sektor wisata lainnya, selain BPR itu sendiri. Hal ini menjadikan BPR Bank Surya Yudha sebagai tujuan utama bagi wisatawan dari Banjarnegara dan sekitarnya. Perusahaan keluarga selalu menarik untuk dibahas. Dari sekitar 160 ribu perusahaan yang ada di Indonesia, 90 persen di antaranya adalah perusahaan keluarga (Ester, 2013 dalam Handoko, 2014). Dengan jumlahnya yang dominan, tentu berpengaruh pada roda perekonomian negara, baik untuk sektor devisa maupun penyediaan lapangan kerja. Meski demikian, banyak perusahaan keluarga yang gagal bertahan. Faktor penyebab terbesar kegagalan perusahaan keluarga adalah suksesi, yaitu pewarisan perusahaan ke generasi selanjutnya. Tingkat keberhasilan dari generasi pertama ke generasi kedua dalam perusahaan keluarga hanya 30%, artinya sebanyak 70% usaha keluarga gagal melakukan transisi ke generasi penerus. Lebih parah, keberhasilan dari generasi kedua ke generasi ketiga merosot tajam hingga 7% (Mangalandum, 4
2013). Penelitian tentang suksesi dalam perusahaan keluarga telah banyak dilakukan, sehingga peneliti akan menggali penyebab lain dari kegagalan perusahaan keluarga. Faktor lain penyebab kegagalan perusahaan keluarga, menurut Achmad Sobirin (2007) dan Cameron & Quinn (2006), adalah diabaikannya budaya organisasi (organizational culture) atau budaya perusahaan (corporate culture). Karenanya, budaya organisasi menjadi sesuatu yang penting bagi sebuah perusahaan, terutama perusahaan keluarga. Hal ini diakui juga oleh Bakrie & Brothers, salah satu perusahaan keluarga raksasa di Indonesia, bahwa budaya organisasilah yang ‘menuntun’ Bakrie & Brothers hingga tumbuh menjadi kerajaan bisnis yang kokoh (Pohan dkk, 2011). Di balik eksistensinya yang kuat, ada sebuah persoalan terkait penyelarasan budaya organisasi di sebuah perusahaan keluarga. Sebab seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa perusahaan keluarga didirikan dan dikelola oleh sebuah keluarga sehingga budaya organisasi yang ada berasal dari nilai-nilai keluarga tersebut. Di sisi lain, tidak semua perusahaan keluarga hanya
mempekerjakan
anggota
keluarganya
saja,
melainkan
juga
mempekerjakan karyawan yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan, atau karyawan non-family. Demikian halnya dengan BPR Bank Surya Yudha. BPR Bank Surya Yudha pada awal berdirinya tahun 1992 hanya mempekerjakan 13 orang. Seiring berjalannya waktu, BPR Bank Surya Yudha terus bertumbuh sehingga dirasa perlu untuk mempekerjakan karyawan nonfamily. Karyawan non-family di BPR Bank Surya Yudha saat ini berjumlah 790 orang (Data Personalia hingga Mei 2015) untuk mengisi posisi dengan kompetensi yang dibutuhkan seperti IT, kepatuhan internal, marketing, dan sebagainya yang tidak mungkin bisa di-handle seluruhnya oleh anggota keluarga.
5
Kehadiran karyawan non-family menjadi tantangan tersendiri bagi BPR Bank Surya Yudha sebagai perusahaan keluarga. Sebab seperti diungkapkan oleh Klein dan Bell (2007), non-family member punya pandangan dan asumsi yang mungkin berbeda dengan owner. Beberapa contoh pejabat eksekutif dalam perusahaan keluarga yang berasal dari luar keluarga (outsider) akhirnya mengundurkan diri karena tidak adanya kesesuaian dengan budaya organisasi yang ada, antara lain John Walter yang keluar dari AT&T President and COO hanya setelah 9 bulan bekerja, Michael Ovitz agen Hollywood yang mengakhiri masa kerjanya yang penuh gejolak setelah dua tahun sebagai President of Disney, dan Gil Amelio yang mengakhiri masa kerjanya setelah 16 bulan sebagai CEO of Apple Computer (Arthur, 2001:184-185). Selain itu, perusahaan keluarga berdasar penelitian yang pernah ada dipercaya menjadi sebuah lingkungan yang berpotensi menghadirkan stres (Stewart dan Danes, 2001). Isu-isu potensial tersebut antara lain pandangan tentang gender, perbedaan budaya komunitas, dan perubahan iklim dan ekonomi (Sihombing, 2011). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa perbedaan budaya komunitas antara karyawan family dan non-family menjadi salah satu isu penting yang memicu permasalahan dalam perusahaan keluarga. Hal ini dinyatakan pula oleh Susanto, yang menyebut perbedaan nilai sebagai potential conflict (2005), dimana potential conflict menempati urutan pertama versi SWA Megazine 2011 sebagai kelemahan utama dalam perusahaan keluarga (Singapurwoko, 2013). Demikian
pula
menurut
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Pricewaterhouse Cooper (PwC) dari Amerika Serikat yang melibatkan 2.378 responden yang merupakan pelaku bisnis perusahaan keluarga dari 40 negara, dimana 30 responden di antaranya berasal dari Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa 47% dari 30 responden Indonesia menilai tantangan internal yang utama dalam 12 bulan ke depan adalah masalah perekrutan 6
tenaga profesional dari luar keluarga (Setiaji, 2014; PwC, 2014). Hal inilah yang menjadi dasar penelitian ini penting dilakukan. Kecenderungan karyawan non-family yang memiliki perbedaan asumsi tidak terjadi di BPR Bank Surya Yudha. Karyawan non-family mampu melebur dengan budaya organisasi yang ada di BPR Bank Surya Yudha dan menunjukkan kekompakan antarkaryawan. Pimpinan BPR Bank Surya Yudha berhasil menularkan budaya akrab dengan karyawan lain tanpa melihat tinggirendahnya jabatan. Hal ini terlihat dari hasil pra observasi, peneliti melihat karyawan tak segan bergurau dengan cleaning service dan saling merangkul sebagai bentuk kedekatan. Kemampuan karyawan non-family melebur dalam budaya organisasi juga terlihat dari perhatian dan kepedulian yang ditunjukkan antar sesama karyawan mulai dari hal kecil. Seperti penuturan salah seorang pegawai keamanan yang mengaku sering diberi snack oleh pimpinan atau karyawan yang lain saat bertugas jaga malam. Hal ini menunjukkan sikap kemanusiaan, terutama untuk saling berbagi. Kebiasaan saling berbagi juga tercermin ketika staf marketing mendapat tip dari nasabah, misalnya berupa makanan atau uang. Tip tersebut tidak dinikmati sendiri, melainkan dibagi dengan karyawan lain di kantor. Kekompakan antarkaryawan sebagai bentuk kemampuannya melebur dengan budaya organisasi di BPR Bank Surya Yudha juga tercermin dari peningkatan kinerja dan efektivitas perusahaan yang diraih hingga saat ini. BPR Bank Surya Yudha yang kini memiliki aset lebih dari satu triliyun rupiah ini, selain telah berkembang menjadi sebuah group juga telah memiliki cabang di kabupaten lain, seperti Purwokerto, Wonosobo, Purbalingga, Cilacap, Pekalongan, dan Temanggung. Selain itu, BPR Bank Surya Yudha juga mulai mengembangkan fasilitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan memanfaatkan kecanggihan IT untuk mendukung kualitas pelayanan pada konsumen. Atas prestasinya tersebut, saat ini BPR Bank Surya Yudha menduduki peringkat I untuk kategori BPR se-Jawa Tengah dan DIY, 7
peringkat II se-Jawa dan Bali, serta peringkat III se-Indonesia. Penghargaan atas kinerja perusahaan juga banyak diterima BPR Bank Surya Yudha. Untuk mendapatkan karyawan non-family yang mampu melebur dengan budaya organisasi yang ada, BPR Bank Surya Yudha menerapkan sistem perekrutan berdasar person-organization fit, guna menghindari mempekerjakan karyawan yang hanya bekerja semata-mata untuk mendapat gaji. Hal unik dalam sistem rekrutmen yang dilakukan di BPR Bank Surya Yudha adalah dengan metode Penelitian Khusus. Metode ini pada dasarnya adalah kegiatan mengamati kehidupan sehari-hari dan latar belakang keluarga calon karyawan secara lebih mendalam melalui agen-agen yang kompeten dan terpercaya. Metode ini diyakini mampu memberikan hasil investigasi yang lebih akurat untuk menilai asumsi, pandangan, dan nilai-nilai yang ada pada diri calon karyawan. Kesuksesan BPR Bank Surya Yudha dalam menyelaraskan budaya organisasi dengan karyawan non-family juga ditegaskan oleh pernyataan staf Personalia. “Sangat jarang terjadi kasus karyawan yang resign dengan alasan kurang cocok dengan budaya organisasi di BSY, meskipun ada yang mengundurkan diri itu karena alasan lain, seperti ingin membuka usaha sendiri. Kasus mengenai ketidakcocokan calon karyawan dengan budaya organisasi BSY pernah terjadi, namun saat itu statusnya belum menjadi karyawan tetap BSY, sebab masih on the job training, yang memang tujuannya kan untuk melihat apakah calon karyawan tersebut dapat menyesuaikan diri atau tidak.” Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa karyawan non-family di BPR Bank Surya Yudha mampu melebur dengan budaya organisasi yang ada. Untuk menyelaraskan budaya organisasi karyawan non-family tentu perlu dilakukan upaya pewarisan nilai-nilai yang dilakukan sejak karyawan tersebut pertama kali bergabung dengan perusahaan, karenanya penelitian ini fokus pada karyawan baru non-family.
8
Setelah melihat bagaimana kesuksesan BPR Bank Surya Yudha dalam menumbuhkan kekompakan kerja bagi seluruh karyawannya hingga mampu menorehkan prestasi yang membanggakan, maka hal yang menarik untuk diteliti adalah menganalisis upaya pewarisan nilai-nilai budaya organisasi kepada karyawan non-family di BPR Bank Surya Yudha Banjarnegara. Penelitian terkait pewarisan nilai atau pengetahuan (knowledge sharing) di perusahaan keluarga dilakukan oleh Gabriella Hanny Kusuma (2014). Penelitian tersebut mengkaji pewarisan nilai antar generasi pada 14 perusahaan keluarga sebagai bagian dari proses suksesi. Merujuk pada urgensi penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penelitian ini akan mengkaji pewarisan nilai kepada karyawan baru non-family. Hal ini sekaligus menjadi pembeda dengan penelitian lainnya terkait perusahaan keluarga.
B. Rumusan Masalah Secara mendalam, fokus penelitian ini memberikan gambaran bahwa permasalahan pokok yang perlu diteliti adalah: Bagaimanakah Upaya Pewarisan Nilai-nilai Budaya Organisasi pada Karyawan Baru Nonfamily di Perusahaan Keluarga Bank Perkreditan Rakyat Surya Yudha Pusat Banjarnegara Periode Agustus 2014 – Agustus 2015?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis upaya pewarisan nilai-nilai budaya organisasi pada karyawan baru non-family di perusahaan keluarga BPR Surya Yudha Pusat Banjarnegara periode Agustus 2014 - Agustus 2015.
9
D. Manfaat Penelitian Dalam setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan dari penelitian tersebut. Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1.
Manfaat Akademis Secara akademik, penelitian ini akan memberikan wawasan mengenai pewarisan nilai-nilai budaya organisasi pada karyawan baru non-family di perusahaan keluarga. Kemudian penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya terkait budaya organisasi di perusahaan keluarga.
2.
Manfaat Praktis a. Memberikan pemahaman bagi para pelaku bisnis keluarga bahwa karyawan non-keluarga juga dapat menyesuaikan dengan budaya organisasi yang berasal dari nilai-nilai keluarga. b. Sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola perusahaan keluarga supaya tetap eksis dan terus bertumbuh.
E. Kerangka Pemikiran 1.
Karyawan Non-family di Perusahaan Keluarga Perusahaan keluarga secara umum adalah sebuah perusahaan bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh orang-orang yang masih memiliki hubungan kekeluargaan. Wawan Dhewanto et al (2012:7) menyatakan bahwa perusahaan keluarga merupakan bisnis yang dijalankan oleh dua orang atau lebih anggota dari sebuah keluarga dimana mereka memegang peran penting dalam kepemilikan, mengatur, membuat kebijakan, serta memiliki kecenderungan untuk memberikan kontrol dari bisnis tersebut ke generasi selanjutnya dalam keluarga tersebut. Pada awal pembentukannya, perusahaan keluarga didirikan oleh beberapa orang yang masih memiliki hubungan kekeluargaan. Namun,
10
seiring dengan terus bertumbuhnya perusahaan tersebut, maka kebutuhan untuk mempekerjakan orang di luar keluarga tersebut menjadi tak terelakkan. Perusahaan keluarga membutuhkan tenaga terampil dan ahli untuk meng-handle posisi tertentu yang tidak tertutup oleh sumber daya manusia dari keluarga pemilik perusahaan. Sehingga perusahaan keluarga memutuskan untuk mengangkat karyawan non-family. Sebab seperti pernyataan Tunkhari-Eskelinen (2005) dan V. Molly (2009), salah satu karakteristik bisnis atau perusahaan keluarga adalah dapat beranggotakan pekerja yang bukan keluarga atau tidak terikat secara perkawinan dan darah (dalam Dhewanto dkk, 2012:8). Sebagian besar perusahaan keluarga mempekerjakan karyawan yang berasal dari luar keluarganya (non-family member). Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan keluarga, sebab karyawan non-family mungkin memiliki pemikiran yang berbeda. Salah satu perbedaan pemikiran antara karyawan family dan non-family adalah jika anggota keluarga bekerja salah satunya didasari oleh adanya motivasi untuk mengangkat atau mempertahankan nama baik dan kesejahteraan keluarga, berbeda dengan karyawan non-family yang bekerja hanya atas dasar kepentingan ekonomi. Perbedaan lain juga dapat dilihat dari cara berpikir dan memutuskan masalah dalam kehidupan berorganisasi. Perbedaan pemikiran tersebut karena karyawan non-family memiliki asumsi, kebiasaan, filosofi, dan nilai-nilai lainnya karena mereka hidup di latar belakang budaya yang berbeda (Hofstede dan Hofstede, 2005). Menurut Koentjoroningrat (2009), faktor-faktor yang dapat menciptakan perbedaan latar belakang budaya antara lain pendidikan, mata pencaharian, agama, suku, dan sebagainya. Pola berpikir seseorang yang berpendidikan tinggi tentu berbeda dengan mereka yang berpendidikan rendah, begitu juga dengan perbedaan pekerjaan, suku, dan agama. Selain itu, mengenai perbedaan nilai juga dibahas oleh Scott 11
dkk (2010:26), bahwa nilai kita yang paling awal berasal dari nilai keluarga dan orang-orang yang mengasuh kita. Ketika orang-orang tumbuh, mereka mengembangkan nilai lain. Hal ini berubah seiring dengan hal-hal yang kita pelajari di komunitas yang lebih besar dan sekolah. Karyawan non-family tumbuh dari berbagai keluarga dengan latar belakangnya masing-masing, sehingga dapat berbeda dengan nilai yang ada di keluarga pemilik organisasi. Nilai yang diterima adalah nilai yang tidak berseberangan dengan keluarga pemilik organisasi.
2.
Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan karakteristik organisasi, bukan individu anggotanya. Hal ini dianalogikan oleh Wirawan (2007:10), bahwa jika organisasi disamakan dengan manusia, maka budaya organisasi merupakan personalitas atau kepribadian organisasi. Sehingga hal tersebut menjadi pembeda antara organisasi satu dengan organisasi lain. Dengan kata lain, budaya organisasi dapat juga berfungsi sebagai identitas suatu organisasi. Budaya organisasi menurut Wirawan adalah norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat, kebiasaan organisasi, dan sebagainya yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin, dan anggota organisasi yang disosialisasikan dan diajarkan kepada anggota baru serta diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani konsumen, dan mencapai tujuan organisasi (2007:10). Dari
pengertian
tersebut,
Moh.
Pabundu
Tika
(2006:5)
memaparkan adanya unsur-unsur dalam budaya organisasi, yaitu asumsi dasar sebagai pedoman perilaku bagi anggota organisasi; keyakinan yang dianut seperti slogan, visi dan misi perusahaan; pemimpin sebagai pihak
12
yang menciptakan dan mengembangkan budaya organisasi; pedoman dalam mengatasi masalah; aktivitas berbagi nilai (shared values); pewarisan budaya organisasi yang di dalamnya terdapat proses belajar, kepada anggota baru sebagai pedoman bertindak dan berinteraksi dalam organisasi; serta penyesuaian yang dilakukan oleh anggota baru dalam mempelajari dan mengikuti budaya organisasi yang diterapkan, dan penyesuaian yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi dalam menghadapi perubahan lingkungan. Menurut Robbins (2002:283), fungsi budaya organisasi adalah menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain, menyampaikan
rasa
identitas
kepada
anggota-anggota
organisasi,
mempermudah penerusan komitmen individu, mendorong stabilitas sistem sosial, dan bertugas sebagai pembentuk rasa dan mekanisme pengendalian yang memberikan panduan dan bentuk perilaku serta sikap karyawan. Dengan komitmen yang tercipta melalui budaya organisasi, maka akan meningkatkan konsistensi sikap karyawan. Hal ini jelas menguntungkan sebuah organisasi. Dari sudut pandang karyawan, budaya menjadi bermanfaat karena budaya tersebut mengurangi keambiguan. Budaya menyampaikan kepada karyawan bagaimana pekerjaan dilakukan dan apa saja yang bernilai penting (Robbins, 2002:284). Fungsi budaya organisasi dalam kaitannya dengan kinerja organisasi digambarkan oleh The 7S of McKenzie, yang meliputi strategi, struktur, sistem, styles, staf, shared values, dan skill. Ketika sebuah perusahaan hanya menerapkan 3S pertama, yang disebut dengan konsep scientific management, maka hal tersebut tidak akan efektif. Menurut McKenzie, perusahaan yang berhasil adalah perusahaan yang bisa memanfaatkan ketujuh S tersebut sebagai sarananya, dimana 4S terakhir (styles, staf, shared values, dan skill) merefleksikan budaya organisasi
13
(Sobirin, 2007:245). Dengan kata lain, budaya organisasi juga mengambil peranan penting dalam kesuksesan sebuah perusahaan. Budaya organisasi tidak serta-merta muncul, melainkan terbentuk melalui serangkaian proses yang dimulai dari tahap pembentukan ide dan diikuti oleh lahirnya sebuah organisasi. Berdasar penjelasan Achmad Sobirin (2007:220-221) meski pada tahap pembentukan ide, organisasi belum menjadi realitas sosial dan belum berujud secara fisik, tahap ini merupakan titik awal (embrio) pembentukan budaya organisasi. Begitu para pendiri memiliki ide untuk mendirikan organisasi, saat itu pula embrio terbentuknya budaya organisasi tidak terelakkan. Bisa dikatakan bahwa begitu organisasi didirikan, pembentukan budaya pun dimulai. Edgar H. Schein (dalam Sobirin, 2007:220), mengatakan bahwa pembentukan budaya organisasi tidak bisa dipisahkan dari peran para pendiri organisasi. Hal ini ditegaskan pula oleh Stephen Robbins, bahwa sumber utama budaya organisasi adalah pendirinya (2002:284). Proses pembentukan budaya organisasi menempatkan pendiri organisasi pada posisi kunci. Sebab, seperti dikutip dari Sobirin (2007:220), para pendiri dan pemimpin lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai, perspektif, artefak ke dalam organisasi dan menanamkannya kepada para karyawan. Sebagai orang pertama yang menjadi cikal-bakal terbentuknya organisasi, tentu gambaran organisasi tersebut berdasarkan harapan dan cita-cita awal para pendiri. Kemudian, untuk menciptakan organisasi seperti yang diharapkannya, maka yang digunakan adalah rancangannya dengan menggunakan nilai, asumsi, dan prinsip pribadi pendiri tersebut. Nilai, asumsi, dan prinsip ialah sesuatu yang dianggap benar sebagai dasar untuk bertindak, seperti membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Kemudian budaya muncul ketika para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan masalah-masalah pokok organisasi, yakni masalah integrasi internal yang 14
meliputi iklim dalam setiap aktivitas dan pengambilan kebijakan organisasi, serta adaptasi eksternal yang meliputi cara organisasi menjalin hubungan dengan pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau stakeholder. Ketika mendirikan organisasi, para pendiri juga meletakkan landasan filosofi yang diistilahkan oleh Wirawan sebagai filsafat organisasi, yaitu pendapat organisasi mengenai hakikat atau esensi tentang sesuatu (2007:56). Setiap perusahaan mempunyai pendapat yang berbeda mengenai esensi sumber daya manusia, keuntungan, lingkungan, pelanggan, dan sebagainya. Landasan filosofi tersebut digunakan sebagai pedoman moral dan pedoman bertindak dalam menjalankan semua aktivitas dalam rangka meraih cita-cita. Pedoman inilah yang disebut dengan nilai. Nilai yang dibentuk oleh pendiri organisasi ini tidak dibatasi oleh ideologi-ideologi sebelumnya, karena pendiri organisasi merupakan pembentuk budaya awal sehingga nilai-nilai yang tercipta berasal dari pengalaman pendiri itu sendiri. Tahap pembentukan budaya organisasi selanjutnya adalah tahap penyampaian nilai pada karyawan. Nilai-nilai organisasi disampaikan oleh pendiri pada anggotanya, baik secara langsung maupun tidak, sebagai dasar untuk bertindak, mengemukakan pendapat, dan untuk berinteraksi dengan orang lain. Upaya penyampaian nilai organisasi pada karyawan secara langsung dilakukan dengan lisan atau verbal saat rapat, pengambilan keputusan pada masa krisis, atau dalam komunikasi seharihari. Sedangkan penyampaian nilai secara tidak langsung dapat melalui simbol dalam logo, slogan, atau papan yang menginformasikan nilai-nilai perusahaan. Setelah nilai-nilai tersebut terkristalisasi dan terinternalisasi ke dalam diri masing-masing anggota organisasi, maka terbentuklah budaya organisasi. Nilai disebut telah terkristalisasi dan terinternalisasi ketika
masing-masing
anggota
telah
memahami,
menjiwai,
dan 15
mempraktekkan nilai-nilai tersebut secara bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari di organisasi. Pendapat lain mengenai proses terbentuknya budaya organisasi juga dikemukakan oleh Kotter dan Hesket (1998), yang digambarkan melalui tahapan berikut: Manajemen Puncak
Perilaku Organisasi
Hasil/ Implementasi Manajemen
Budaya Organisasi
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa budaya organisasi berawal dari nilai yang dibentuk oleh pendiri organisasi yang bertindak sebagai manajemen puncak. Kemudian nilai-nilai tersebut diterapkan pada kehidupan di dalam organisasi, disesuaikan dengan tujuan dan cita-cita yang ingin diraih. Jika nilai-nilai tersebut sesuai dengan tujuan organisasi, maka nilai tersebut terus diimplementasikan dalam organisasi. Terakhir, ketika nilai telah disepakati bersama sebagai sebuah keyakinan yang benar bagi kesuksesan organisasi dan dijadikan landasan utama dalam pengambilan keputusan, maka nilai tersebut dikatakan sebagai budaya organisasi.
3.
Nilai sebagai Inti Budaya Organisasi Karena perusahaan keluarga didirikan dan dipimpin oleh orangorang yang masih terhubung dalam suatu ikatan keluarga, maka secara umum nilai-nilai yang digunakan berasal dari keluarga tersebut. Hal ini
16
ditegaskan pula oleh Dhewanto dkk, bahwa kesuksesan suatu perusahaan keluarga didukung oleh nilai-nilai keluarga yang dianut dalam bisnis tersebut, sekaligus berperan sebagai alat pemersatu keluarga (2012:11) yang dapat menciptakan kesolidan. Nilai-nilai inilah yang kemudian membentuk suatu budaya organisasi (organizational culture) atau budaya perusahaan (corporate culture), sebab seperti pendapat Terrence E. Deal dan Allan A. Kennedy (1982) bahwa nilai adalah inti budaya. Sehingga budaya merefleksikan nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki oleh anggota organisasi. Nilai-nilai ini cenderung berlangsung dalam waktu yang lama dan lebih tahan terhadap perubahan (Kreitner dan Kinicki, 2003:80; Scott dkk, 2010:19). Artinya, perusahaan berkembang seturut dengan kemajuan jaman dan teknologi, namun perkembangan yang terjadi tidak bertentangan dengan nilai-nilai organisasi yang telah ditetapkan, melainkan tetap berlandaskan nilai-nilai tersebut. Definisi nilai menurut kamus Webster adalah standar atau sifat utama yang sudah mendarah daging dan dianggap penting atau diinginkan. Nilai (value) berasal dari kata valor, yang berarti kekuatan. Sehingga nilai adalah kekuatan, karena mereka memberi orang-orang kekuatan untuk bertindak (Scott dkk, 2010:19). Lebih lanjut, Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1991) serta Heinz Weihrrich dan Harold Koonts (1993) berpendapat bahwa nilai adalah suatu kepercayaan permanen mengenai apa yang tepat dan tidak tepat yang mengarahkan tindakan dan perilaku karyawan dalam mencapai tujuan organisasi (dalam Wirawan, 2007:45). Dari pernyataan tersebut, diketahui bahwa nilai organisasi erat kaitannya dengan kepercayaan. Kepercayaan yaitu apa yang menurut organisasi dianggap benar dan tidak benar. Keduanya, nilai dan kepercayaan dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuskan langkah organisasi selanjutnya atau kebijakan strategis organisasi (Wirawan, 2007:53).
17
Dengan demikian, nilai dan kepercayaan adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya demi kelangsungan organisasi. Kreitner dan Kinicki (2003:80) menegaskan bahwa nilai-nilai organisasi merupakan dasar budaya organisasi, sebab hal tersebut mempengaruhi etika berperilaku. Pendapat serupa juga datang dari Cynthia D. Scott, Dennis T. Jaffe, dan Glenn R. Tobe, yang menyatakan bahwa nilai adalah fondasi budaya perusahaan dan memberi karyawan arah dan panduan untuk perilaku sehari-hari (2010:19). Robert Haas, Pimpinan dan CEO Levi Strauss mengatakan bahwa nilai perusahaan, yaitu apa yang dibela oleh perusahaan dan apa yang dipercayai orangorang di dalam perusahaan, penting untuk kesuksesan kompetitif sebuah perusahaan. Menurutnya, sesungguhnya nilai mengendalikan bisnis (dalam Scott dkk, 2010:19). Dengan demikian, jelas bahwa nilai merupakan inti dari terbentuknya budaya organisasi.
4.
Pewarisan Budaya Organisasi Dengan mempertimbangkan pengertian budaya organisasi yang dikemukakan oleh Stephen Robbins (2002:281) yaitu merujuk pada suatu sistem pengertian bersama, maka diharapkan masing-masing individu dengan latar belakang yang berbeda di dalam organisasi akan mendeskripsikan budaya organisasi tersebut dengan cara yang sama. Sebab, masih menurut Robbins, keseragaman atau kesamaan dalam memandang budaya organisasi merupakan aspek pemahaman bersama terhadap budaya, dan menjadikannya sebagai sarana potensial untuk memandu dan membentuk perilaku. Budaya organisasi sebagai suatu sistem pengertian bersama sepaham dengan Teori Budaya Organisasi, yang berasumsi bahwa anggota-anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan
18
yang dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi (West dan Turner, 2008:319). Maksud dari asumsi ini adalah individu saling berbagi dalam menciptakan dan mempertahankan realitas atau nilai yang dimiliki oleh organisasi. Dengan kata lain, Teori Budaya Organisasi mensyaratkan adanya kesamaan makna (shared meaning) atau kesamaan nilai (shared values), dalam hal ini kesamaan budaya organisasi antara karyawan family dan non-family. Karenanya, untuk mendukung kesamaan nilai antara karyawan family dan karyawan non-family, maka penting untuk dilakukan upaya penyelarasan nilai antara keduanya, yaitu melalui pewarisan budaya organisasi. Istilah pewarisan budaya organisasi diambil dari buku Moh. Pabundu Tika (2006), namun dapat berbeda di beberapa referensi lain. Schein menyebutnya dengan istilah transmit, sedangkan Kreitner dan Kinicki memberi istilah sosialisasi. Namun seluruh istilah yang digunakan tersebut merujuk pada satu pengertian yang sama, yaitu upaya untuk melestarikan atau mempertahankan budaya organisasi yang ada dalam suatu organisasi dengan cara menyalurkan nilai-nilai organisasi. Pada dasarnya pewarisan budaya organisasi adalah kegiatan penyampaian (transfer) pesan, yaitu nilai dan budaya organisasi itu sendiri. Kegiatan penyampaian pesan (message) inilah yang menegaskan kegiatan pewarisan budaya organisasi berada dalam ranah ilmu komunikasi. Berkaitan dengan ruang lingkupnya, dimana kegiatan komunikasi ini berlangsung di dalam kehidupan perusahaan, maka pewarisan budaya organisasi termasuk dalam kajian komunikasi organisasi. Lebih lanjut, pewarisan atau sosialisasi diartikan sebagai proses pembelajaran untuk melestarikan budaya organisasi dari pimpinan atau pendiri organisasi dan/ atau anggota kelompok kepada anggota-anggota 19
baru dengan maksud agar budaya organisasi dapat dipakai sebagai pedoman berperilaku oleh seluruh anggota kelompok dalam organisasi (Tika, 2006:54). Sedangkan pendapat Kreitner dan Kinicki (2003:96) mengatakan bahwa di dalam upaya pewarisan budaya organisasi ini terdapat proses seseorang mempelajari nilai, norma, dan perilaku yang dituntut, yang memungkinkan ia untuk berpartisipasi sebagai anggota organisasi. Selanjutnya, masih menurut Kreitner dan Kinicki, sebagai mekanisme kunci dalam menanamkan budaya organisasi, pewarisan ini bertujuan untuk mengubah orang baru menjadi orang yang berfungsi penuh dalam mendukung nilai dan keyakinan dasar organisasi. Pewarisan atau sosialisasi organisasi juga sering diasumsikan sebagai proses utama dimana orang-orang beradaptasi dengan pekerjaan baru dan aturan organisasi (Chao et al, 1994). Upaya pewarisan budaya organisasi pada karyawan non-family dinilai penting. Sebab membiarkan karyawan dengan nilai yang tidak sesuai dengan budaya organisasi organisasi hanya akan menjadi ancaman bagi budaya organisasi itu sendiri. Padahal budaya organisasi yang ada pada sebuah organisasi adalah nilai-nilai yang telah diyakini sebagai faktor kunci keberhasilan organisasi tersebut. Selain itu, tanpa upaya pewarisan
budaya
juga
akan
berpengaruh
pada
kekompakan
antarkaryawan, sebab tidak adanya kesamaan makna dan nilai, yang kemudian
tentu
berpengaruh
pada
efektivitas
organisasi
secara
keseluruhan. Kegagalan proses sosialisasi (pewarisan) menjadi alasan utama newcomer keluar dari organisasi atau mogok kerja (Fisher, 1986), yang mana dapat mengganggu pekerjaan, kehilangan produktivitas (Shaw, Gupta, & Delery, 2005) dan organisasi merugi karena menanggung biaya rekrutmen, seleksi, dan pelatihan yang sia-sia (Kammeyer-Muller & Wanberg, 2003 dalam Fang, Duffy, & Shaw, 2011).
20
Informasi
penting
yang
diperlukan
oleh
karyawan
baru
(newcomer) selain deskripsi kerja adalah budaya organisasi. Pewarisan atau sosialisasi budaya organisasi dilakukan dengan semangat Teori Asimilasi Budaya, yang berasumsi bahwa semua karyawan yang berbeda akan belajar untuk menyesuaikan atau menjadi seperti kelompok yang dominan untuk menciptakan homogenitas di antara karyawan (Kreitner dan Kinicki, 2003:63). Sedangkan menurut Martin dan Nakayama (2007), asimilasi berarti seseorang tidak ingin mempertahankan budayanya, namun lebih ingin mempertahankan hubungannya dengan orang lain yang berbeda budaya. Asimilasi Budaya memaksa orang baru untuk mengikuti budaya dominan dan konsekuensinya akan kehilangan beberapa aspek budaya yang dibawanya. Asimilasi organisasi diartikan sebagai “the process by which an individual becomes integrated into the culture of an organization” (Jablin, 2001). Proses asimilasi melihat seberapa baik anggota baru beradaptasi pada norma perilaku dan mengadopsi nilai baru dari organisasi. Ada dua proses asimilasi yang saling berkaitan secara dinamis (Merrill, 2006), yaitu: 1.
Upaya yang direncanakan dan sengaja diprogramkan oleh organisasi untuk mensosialisasikan karyawan (sosialisasi).
2.
Upaya anggota organisasi untuk ‘individual’ atau mengubah peran dan lingkungan kerjanya untuk memuaskan nilai, sikap, dan kebutuhan mereka (individualisasi). Sosialisasi organisasi merujuk pada upaya organisasi dalam proses
asimilasi, yang diharapkan dapat menciptakan loyalitas, yaitu kewajiban moral pada organisasi, dan juga dapat menciptakan kongruensi yaitu kesamaan core value antara individu dan organisasi. Proses asimilasi karyawan terjadi sejak karyawan tersebut pertama kali bergabung dengan
21
organisasi. Ada tiga tahap dalam proses asimilasi terhadap karyawan baru, yaitu: 1.
Anticipatory socialization, merupakan bentuk ekspektasi newcomer tentang organisasi dan menjadi anggota organisasi tersebut.
2.
Organizational encounter (entry phase), newcomer dihadapkan pada kenyataan dalam organisasi. Pada tahap ini, newcomer belum berstatus
sebagai
‘insider’,
melainkan
masih
mengalami
ketidakpastian dan melakukan pencarian informasi. 3.
Metamorphosis,
merupakan
saat
dimana
newcomer
mulai
mengubah beberapa perilaku dan ekspektasi untuk bertemu dengan standar pada lingkungan baru, dan menciptakan identitas individu. Dalam proses penyampaian pesan, ada dua elemen yang diterima yaitu konten dan konteks. Konten merujuk pada isi pesan yang dapat berwujud kata atau simbol, sedangkan konteks merujuk pada cara pesan tersebut disampaikan. Dalam hal sosialisasi budaya organisasi, konten digunakan untuk mengukur sejauh mana karyawan baru telah menyesuaikan diri dengan budaya organisasi. Sedangkan konteks merupakan cara yang digunakan organisasi untuk membantu newcomer dalam mempelajari budaya organisasi. Penelitian ini akan menganalisis mengenai cara atau konteks penyampaian budaya organisasi kepada karyawan baru. Menurut Robbins (2002:285-291), upaya pewarisan budaya organisasi dilakukan dengan tiga cara, yaitu proses seleksi karyawan, sosialisasi, dan tindakan manajemen puncak. Seleksi bertujuan untuk mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang memiliki wawasan, keterampilan, dan kemampuan dalam melakukan pekerjaan untuk keberhasilan perusahaan. Menurut Tika (2006:56), proses seleksi merupakan tindakan awal untuk memperkenalkan budaya organisasi
22
kepada pelamar atau calon anggota baru, sehingga mereka dapat memilih untuk melanjutkan atau mundur setelah mengetahui standar atau kriteria yang ditetapkan organisasi atau perusahaan. Usaha untuk memastikan kesesuaian menghasilkan pengangkatan karyawan baru yang memiliki nilai-nilai bersama, yaitu orang yang konsisten dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi. Proses seleksi ini juga memberi informasi kepada calon pekerja tentang organisasi itu sendiri. Calon pekerja yang memiliki konflik antara nilai-nilai yang mereka miliki dengan nilai-nilai yang ada di dalam organisasi dapat memilih untuk keluar dari proses pelamaran pekerjaan. Menurut Sobirin (2007:228), rekrutmen bukan sekadar memasukkan orang baru ke dalam perusahaan, melainkan juga mengawinkan latar belakang nilai-nilai individual dan kepribadian orang tersebut dengan nilai-nilai dan budaya sebuah organisasi (person-culture fit). Karenanya, tujuan dari proses seleksi ini juga untuk menjaga suatu budaya organisasi dengan cara membuang
individu-individu
yang
mungkin
menyerang
atau
menyepelekan budaya organisasi tersebut. Sosialisasi. Karyawan baru memiliki kecenderungan untuk mengganggu kepercayaan dan kebiasaan yang sudah berlaku. Dengan demikian, organisasi perlu membantu karyawan baru tersebut dalam beradaptasi dengan budaya mereka. Proses ini disebut dengan sosialisasi. Sosialisasi merupakan saat dimana organisasi berusaha untuk membentuk karakter orang luar yang baru masuk menjadi karyawan organisasi tersebut dengan cara ’penempatan diri yang baik’. Menurut Sobirin (2007:231), sosialisasi dimaksudkan agar karyawan baru dapat memahami tata aturan dan budaya yang berkembang di perusahaan tersebut (learn the ropes), seperti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tindakan manajemen puncak. Manajemen puncak membentuk budaya organisasi melalui apa yang mereka lakukan. Ketika pimpinan 23
berusaha membangun hubungan yang dekat demi terciptanya kekompakan dengan karyawannya, hal tersebut akan berlaku sebaliknya. Demikian juga ketika pimpinan bekerja keras untuk meningkatkan produktivitas perusahaan, maka karyawan juga akan terpacu semangatnya. Perilaku pimpinan puncak dapat ditiru sebagai suri teladan oleh anggotaanggotanya, demikian pula perintah dan larangan yang dibuat oleh pimpinan puncak dapat dijadikan pedoman berperilaku bagi karyawannya (Tika, 2006:56). Untuk mendukung upaya pewarisan budaya organisasi pada karyawan baru, ada beberapa media yang dapat digunakan, antara lain melalui cerita, ritual, simbol material, dan bahasa (Tika, 2006:61-62; Robbins, 2002:291-294). Cerita merupakan suatu narasi peristiwa yang berkaitan dengan pendiri atau pimpinan organisasi, keputusan-keputusan penting yang memberi dampak terhadap jalannya organisasi, keberhasilan yang dimulai dari bawah, pelanggaran peraturan, dan sebagainya. Cerita semacam ini mengaitkan keadaan sekarang dengan kejadian di masa lalu dan
memberi
keabsahan
bagi
tindakan-tindakan
yang
sekarang
dilaksanakan. Ritual merupakan kegiatan periodik yang dilakukan untuk mengekspresikan dan memantapkan nilai-nilai utama organisasi. Aktivitas yang
dimaksud
misalnya
seremonial
pengakuan
dan
pemberian
penghargaan, pesta kecil di hari tertentu, dan rekreasi tahunan. Simbol material mengungkapkan kepada para karyawan siapa orang penting dalam perusahaan, sehingga diharapkan orang tersebut mendapat perlakuan khusus seperti area parkir dan mobil dinas khusus. Simbol lain yang dapat merefleksikan budaya organisasi adalah ukuran kantor, kualitas perabot kantor, kebiasaan para eksekutif, cara berpakaian, dan sebagainya.
24
Bahasa digunakan untuk mengidentifikasi anggota suatu budaya dalam organisasi. Istilah dalam organisasi terus berkembang untuk mendeskripsikan peralatan, perkantoran, pejabat penting, pelanggan, atau produk yang berhubungan dengan usaha mereka. Karyawan baru akan dibanjiri dengan akronim atau jargon yang setelah enam bulan bekerja menjadi bagian dari bahasa mereka. Setelah berasimilasi, istilah-istilah tersebut menjadi denominator umum yang menggabungkan para anggota dari sebuah budaya tertentu.
5.
Kerangka Proses Pewarisan Budaya Organisasi Sebuah konsep pewarisan budaya organisasi yang telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian multidisiplin adalah organizational socialization tactics yang dirumuskan pertama kali oleh Van Maanen & Schein (1979). Konsep ini terdiri dari enam dimensi yaitu collective vs individual tactics, formal vs informal tactics, sequential vs random tactics, fixed vs variable tactics, serial vs disjunctive tactics, dan investiture vs divestiture tactics. Enam dimensi ini berbicara mengenai cara perusahaan dalam memberikan pengalaman belajar melalui programprogram atau kebijakan sosialisasi, serta penerimaan identitas atau nilai diri karyawan baru. Berangkat dari fakta bahwa enam dimensi tersebut belum pernah direvisi sejak pertama kali dirumuskan, maka Emilie Bargues (2012) mencoba
mengembangkannya
dengan
menggunakan
konsep
organizational socialization practices (Louis et al, 1983) yang terinspirasi dari pemikiran Jones (1986). Konsep taktik dan praktek memiliki keterkaitan yang erat, namun Jones meyakini ada perbedaan yang tersirat. Dalam penelitiannya, Bargues menggunakan istilah sosialisasi organisasi untuk menggambarkan proses penyampaian budaya
25
organisasi kepada newcomer sebagai upaya melestarikan nilai-nilai organisasi. Dasar pemilihan konsep taktik dan praktek dalam penelitian Bargues karena taktik merujuk pada upaya atau cara, sedangkan konsep praktek dipilih untuk mengetahui pelaksanaan taktik di dalam organisasi secara
‘real’.
serangkaian
Organizational
pengalaman
socialization
yang dimobilisasi
practices oleh
merupakan
organisasi
dan
anggotanya, dan pengaruh sosialisasi terhadap karyawan baru sebuah perusahaan. Konsep praktek sosialisasi dianggap penting, sebab berfungsi untuk membantu manajer mengidentifikasi dengan lebih baik proses sosialisasi sesuai kebutuhan organisasinya dan membuat persiapan menjadi lebih baik dalam memberi kendali atas proses sosialisasi. Manajer (organisasi) dapat mengetahui apakah praktek sosialisasi dapat membawa timnya sesuai dengan taktik yang diharapkan untuk ditanamkan, dan menjadi petunjuk perlunya dilakukan orientasi ulang. Hal ini ditegaskan pula oleh Perrot dan Roussel (2009) bahwa taktik sosialisasi merupakan pedoman dari praktek sosialisasi. Praktek sosialisasi meliputi dimensi-dimensi yang mencerminkan pengaruh pelaksanaan taktik sosialisasi secara detail. Dari penelitian tersebut, Bargues (2012) berkontribusi terhadap pengembangan dimensi taktik sosialisasi Van Maanen & Schein (1979) melalui empat dimensi tambahan, yaitu sociability vs unsociability tactics, tactic of structuring the information content vs tactic of non-structuring the information content, innovative vs conservative tactics, pro-information-seeking vs anti-information-seeking tactics. Dimensi ini berbicara mengenai taktik perusahaan untuk mensosialisasikan budaya organisasi melalui kebijakan terhadap kesempatan karyawan berinteraksi dengan insider, kebijakan atas akses informasi, serta penerimaan ide inovatif karyawan baru. Taktik
26
sosialisasi (organizational socialization tactics) inilah yang digunakan sebagai salah satu konsep dalam penelitian ini. Pada dasarnya, penelitian yang bertujuan untuk menganalisis cara organisasi
melakukan
sosialisasi
terhadap
karyawan
baru
ini
menggunakan dua konsep yang telah digunakan oleh Gruman, Saks, & Zweig (2006), yaitu organizational socialization tactics dan newcomer’s pro-active. Perbedaannya, Gruman, Saks, & Zweig menggunakan konsep taktik yang belum direvisi sejak 1979, sedangkan penelitian ini menggunakan konsep taktik sosialisasi yang telah dikembangkan oleh Emilie Bargues (2012). Pemilihan dua konsep ini untuk memenuhi teori yang menjadi ‘payung’ dalam penelitian ini. Teori Budaya Organisasi yang digunakan dalam penelitian ini mengandung esensi bahwa untuk mempertahankan nilai organisasi yang sudah diyakini kebenarannya bagi produktivitas perusahaan, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu kesamaan makna dan nilai yang melibatkan kegiatan
berbagi
nilai
(shared
value).
Konsep
organizational
socialization tactics dinilai sesuai untuk memenuhi esensi teori ini, sebab taktik merujuk pada cara atau upaya, dalam hal ini cara untuk mencapai kesamaan nilai antara organisasi dan karyawan baru. Kemudian, Teori Asimilasi Budaya yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada upaya karyawan yang berbeda untuk belajar menyesuaikan atau menjadi seperti kelompok yang dominan untuk menciptakan homogenitas karyawan (Kreitner dan Kinicki, 2003:63). Dari pengertian tersebut, hal yang perlu ditekankan adalah adanya keaktifan atau dorongan dari dalam diri karyawan baru untuk menjadi homogen dengan kelompok dominan. Keaktifan dari pihak yang disosialisasi (karyawan baru) ini sangat berpengaruh pada keberhasilan pewarisan budaya organisasi. Karenanya, penelitian ini menggunakan konsep newcomers pro-active.
27
Gambar 1.2. Kerangka Konsep Organizational Socialization Tactics
NILAI DAN BUDAYA ORGANISASI
Newcomer’s Pro-active
Sumber: Diolah oleh Peneliti
Konsep yang pertama, organizational socialization tactics merujuk pada cara dimana pengalaman individu ditransfer dari satu peran ke peran lainnya dalam organisasi, dan juga merujuk pada cara menyusun pengalaman belajar karyawan baru untuk peran tertentu. Dimensi dalam taktik sosialisasi terdiri dari institutionalized tactics dan individualized tactics. Melalui dua dimensi ini, konsep taktik sosialisasi mampu membantu peneliti memetakan apakah organisasi menggunakan cara institusional atau individual dalam mewariskan budaya organisasi pada karyawan baru. Institualized tactics menunjukkan bahwa organisasi berperan lebih aktif dalam upaya sosialisasi melalui berbagai program yang terstruktur. Sedangkan individualized tactics adalah suatu model sosialisasi dimana karyawan baru dibiarkan mempelajari budaya organisasi secara mandiri. Taktik
sosialisasi
dikatakan
efektif
apabila
organisasi
menggunakan taktik collective, fixed, dan investiture yang merujuk pada dimensi institualized tactics (Lockwood, 2006). Penerapan taktik tersebut terbukti berhubungan positif dengan tertanamnya pekerjaan (on the job embeddedness) dan berhubungan negatif dengan turnover (Lockwood, 28
2006). Sedangkan organisasi yang menerapkan individualized tactics menghasilkan ambiguitas dan pengalaman sosialisasi yang tidak terstruktur yang berakibat pada ketidak-jelasan ekspektasi dan peran karyawan baru dalam organisasi (Gruman, Saks, & Zweig, 2006:93). Individualized tactics cenderung membiarkan karyawan baru mencari tahu tentang organisasi secara mandiri, hal ini akan berakibat pada meningkatnya ambiguitas dan ketidakpastian yang dirasakan karyawan baru. Konsep kedua adalah newcomer’s pro-active, yang mengacu pada peran keaktifan karyawan baru dalam proses sosialisasinya. Keaktifan tersebut meliputi membangun hubungan dengan sumber informasi (Ostroff & Kozlowski, 1992), strategi mencari informasi, dan upaya memotivasi diri (Manz & Snyder, 1983; Saks & Ashforth, 1996). Proses penyelarasan budaya organisasi berjalan dari individual menuju organisasional. Keaktifan karyawan baru dilihat dari bagaimana individu yang cenderung memiliki nilai-nilai yang belum sepenuhnya sama dengan organisasi akan bergerak mencari cara untuk sampai atau menjadi sama dengan nilai-nilai organisasi (Lalonde, 2010). Dengan demikian, untuk mendukung keberhasilan sosialisasi organisasi, ada dua komponen yang harus ada, berdampingan, dan saling melengkapi. Komponen tersebut ialah organizational socialization tactics (upaya yang datang dari perusahaan) dan newcomer’s pro-active (upaya yang datang dari karyawan yang disosialisasi). Mignerey, Rubin, & Gorden (1995) menemukan bahwa institutionalized socialization tactics lebih berpengaruh positif terhadap perilaku mencari informasi. Pun sama dengan Gruman, Saks, & Zweig yang menyatakan bahwa karena institutionalized socialization tactics menyediakan setting formal dan terstruktur yang memungkinkan karyawan baru berkomunikasi dan berinteraksi dengan karyawan senior dan menerima dukungan sosial yang 29
positif, maka hal tersebut memudahkan karyawan baru untuk terikat pada perilaku pro-aktif, seperti mencari informasi, mencari tanggapan (feedback), membangun hubungan sebagai jaringan, dan sebagainya (2006: 93). Meski
banyak
bukti
ditemukan
bahwa
institutionalized
socialization tactics memiliki keterkaitan positif dengan newcomer’s proactive sehingga mendukung keberhasilan sosialisasi, bukan berarti organisasi yang menerapkan individualized socialization tactics akan selalu gagal melaksanakan sosialisasi. Sebab faktor keaktifan karyawan baru
(newcomer’s
pro-active)
memiliki
peran
penting
dalam
mempengaruhi keberhasilan sosialisasi. Hal ini ditegaskan oleh Gruman, Saks, & Zweig (2006:93) yang menyatakan bahwa karena taktik individual menghasilkan pengalaman sosialisasi yang ambigu dan tidak terstruktur sehingga terjadi ketidak-jelasan ekspektasi dan peran karyawan baru dalam organisasi, maka karyawan baru perlu menjadi lebih aktif untuk mengurangi ambiguitas dan ketidak-pastian tersebut. Dengan kata lain, individualized socialization tactics mengharuskan karyawan baru bekerja lebih keras untuk aktif mencari informasi yang diperlukan untuk menurunkan tingkat ketidakpastian dan memungkinkan mereka merasa diterima oleh karyawan lain. Sehingga taktik newcomer’s pro-active lebih diperlukan dalam lingkungan atau organisasi yang menggunakan individual socialization tactics (Griffin et al, 2000).
F. Konsep Penelitian Berdasarkan
kerangka
pemikiran
yang
telah
diuraikan
sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa pewarisan (sosialisasi) budaya organisasi adalah upaya menyampaikan nilai-nilai organisasi kepada karyawan baru guna melestarikan nilai-nilai yang sudah dianggap benar
30
untuk efektivitas dan produktivitas organisasi. Konteks sosialisasi budaya organisasi yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pelaksanaan segala aktivitas sosialisasi budaya BPR Bank Surya Yudha terhadap karyawan
baru
untuk
mempertahankan
nilai-nilai
organisasi,
meningkatkan produktivitas, dan mengurangi ketidakpastian dan turnover. BPR Bank Surya Yudha merupakan perusahaan keluarga yang bergerak di bidang perbankan. Kepemimpinan BPR Bank Surya Yudha dikuasai oleh sebuah keluarga, sehingga dapat berpengaruh pada nilai dan budaya organisasi yang berlaku di BPR Bank Surya Yudha. Nilai organisasi berasal dari pendiri BPR Bank Surya Yudha, padahal BPR ini juga mempekerjakan karyawan non-family yang cenderung memiliki nilai diri yang terbentuk dari lingkungan sebelum bergabung dengan BPR Bank Surya Yudha. Karyawan non-family dalam penelitian ini adalah karyawan baru yang melalui proses rekrutmen pada Agustus 2014, sehingga dinilai telah melalui proses sosialisasi untuk mendapat pengetahuan mengenai BPR Bank Surya Yudha dan budaya organisasinya. Penelitian ini menggunakan konsep taktik sosialisasi dan keaktifan karyawan baru dalam menganalisis cara BPR Bank Surya Yudha mewariskan atau menyampaikan nilai dan budaya organisasinya kepada karyawan baru non-family. Taktik sosialisasi terdiri dari dua dimensi. Dimensi pertama, institutionalized tactics, merujuk pada upaya BPR Bank Surya Yudha yang secara aktif mengadakan program-program tertentu sebagai media pembelajaran pada karyawan baru. BPR Bank Surya Yudha dinyatakan menggunakan taktik institusional apabila BPR Bank Surya Yudha berupaya mengumpulkan karyawan baru untuk diberi pengalaman belajar mengenai perusahaan dan budaya organisasi secara bersama-sama dengan karyawan baru lainnya. Selain itu, jika kegiatan sosialisasi budaya organisasi terprogram dengan baik, mulai dari prosedur, waktu pelaksanaan, dan materi sosialisasi, serta adanya dukungan dari pimpinan 31
sebagai role model, maka BPR Bank Surya Yudha dikatakan menggunakan taktik institusional. Taktik institusional menerima identitas seperti nilai diri, kepribadian, dan ide-ide inovatif yang dibawa oleh karyawan baru. Nilai diri dan kepribadian karyawan baru telah melalui proses seleksi pada tahap rekrutmen, sehingga karyawan baru yang lolos dianggap memiliki nilai diri yang tidak berseberangan atau mengancam nilai organisasi yang berlaku. Ciri lain dari diterapkannya taktik ini adalah kesempatan yang diberikan perusahaan untuk berinteraksi dengan rekan kerja, serta terbukanya akses informasi yang diperlukan bagi karyawan baru. Dimensi kedua yaitu individualized tactics, merujuk pada upaya BPR Bank Surya Yudha untuk membiarkan karyawan baru membentuk pengalaman belajarnya atas perusahaan dan budaya organisasinya sendiri tanpa ada campur tangan dari BPR Bank Surya Yudha. BPR Bank Surya Yudha dikatakan menerapkan individualized tactics jika karyawan baru diberi kebebasan untuk mempelajari BPR Bank Surya Yudha dan budaya organisasinya secara mandiri, tanpa ada program-program resmi dari BPR Bank Surya Yudha. Proses belajar secara mandiri ini meliputi kebebasan untuk mempelajari apa saja dan kapan saja, serta tidak ada pimpinan atau insider yang dijadikan contoh (role model). Namun untuk mempelajari perusahaan secara mandiri ini, BPR Bank Surya Yudha tidak menyediakan media informasi khusus, seperti buku panduan dan dokumen resmi lainnya. Sehingga akses informasi bagi karyawan baru sangat terbatas pada media-media umum seperti website yang memang dibuka untuk publik, dan observasi lingkungan yang tentu dapat menghasilkan berbagai persepsi dan spekulasi. Setelah dinyatakan lolos rekrutmen, karyawan baru langsung menghadapi pekerjaan dan tugas tanpa ada proses orientasi terlebih dahulu. Taktik individual ini juga tidak menerima nilai, kepribadian, dan 32
ide-ide inovatif karyawan baru, sehingga ada upaya memaksa karyawan baru untuk mengubah nilai dirinya agar sesuai dengan nilai di BPR Bank Surya Yudha. Ciri lain dari diterapkannya taktik ini adalah adanya upaya perusahaan membatasi interaksi karyawan baru dengan rekan kerja, serta adanya upaya perusahaan membatasi akses informasi bagi karyawan baru. Sosialisasi
budaya
organisasi
cenderung
berhasil
apabila
perusahaan menggunakan taktik institusional, dibanding taktik individu. Taktik sosialisasi semakin terjamin keberhasilannya jika ada keaktifan dari karyawan baru (newcomer’s pro-active). Keaktifan karyawan baru, yang menjadi konsep kedua dalam penelitian ini, merujuk pada insiatif yang datang atas kesadaran dari dalam diri karyawan baru. Inisatif tersebut meliputi kesadaran akan pentingnya membangun kualitas hubungan dengan pimpinan dan antarkaryawan, dorongan untuk mencari sumber informasi mengenai Bank Surya Yudha, dan kesadaran akan pentingnya upaya memotivasi diri sendiri untuk mampu menyesuaikan dengan lingkungan kerja di BPR Bank Surya Yudha. Indikator-indikator pada setiap komponen cara atau upaya dianggap representatif untuk menganalisis proses sosialisasi budaya organisasi di BPR Bank Surya Yudha terhadap karyawan baru. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan dalam Tabel 1.1.
33
Tabel 1.1. Operasionalisasi Konsep Penelitian Upaya Pewarisan Nilai Organisasi Konsep Organizational Socialization Tactics
Makna Cara organisasi menyusun pengalaman belajar karyawan baru untuk peran tertentu
Indikator - Program sosialisasi. - Penyampaian nilai secara nonverbal. - Penerapan nilai. - Dukungan pimpinan sebagai role model. - Keterbukaan informasi. - Penerimaan nilai bawaan. - Komunikasi dalam organisasi. - Pemberian kesempatan berinteraksi.
Newcomers secara - Inisiatif membangun aktif bekerja hubungan. mengurangi - Inisiatif mencari ketidakpastian dalam informasi. lingkungan kerja - Inisiatif memotivasi diri. mereka melalui inisiatif mereka sendiri. Source: Diolah oleh Peneliti (Van Maanan & Schein, 1979; Louis et al, 1983; Jones, 1986; Comer,1991, Feij, Whitely, Peir & Taris, 1995, Miller & Jablin, 1991, Morrison, 1993a dalam Saks & Ashforth, 1997; Gruman, Saks, & Zweig, 2006; Bargues, 2012; Sandstrom, 2014) Newcomer’s Pro-active
G. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme, karena peneliti memiliki keyakinan dasar (basic believes) untuk memahami atau melakukan rekonstruksi, terutama merekonstruksi pemikiran individual yang menyatu dengan lingkungan sosial (Denzin dan Lincoln, 1994:112). Rekonstruksi dalam penelitian ini berkaitan dengan upaya mencari relevansi
34
antara pengalaman individu dengan penyampaian nilai organisasi sebagai pesan. Tipe penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang berfokus pada kedalaman informasi, sehingga tidak membutuhkan terlalu banyak informan. Penelitian kualitatif sendiri bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi, atau fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat dan berupaya menarik realitas sosial tersebut ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, maupun fenomena tertentu (Bungin, 2007:68). Penelitian kualitatif ini dikategorikan ke dalam pendekatan interpretive, sebab menurut Taylor (dalam Saifuddin, 1997:287-288), pendekatan interpretif menempatkan fokus kajian pada interpretasi dari tindakan manusia yang memiliki makna. Kaitannya dengan penelitian ini adalah bahwa tindakan yang dialami oleh karyawan non-family di BPR Bank Surya Yudha sebagai sebuah pengalaman memiliki makna, yakni mewariskan nilai organisasi BPR tersebut. Metode dalam penelitian ini menggunakan studi kasus, sebab metode ini lebih cocok untuk menjawab pertanyaan penelitian “bagaimana” atau “mengapa” atas peristiwa kontemporer, dimana penelitinya hanya memiliki peluang yang sangat kecil sekali atau bahkan tidak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut (Yin, 2006:13). Dalam penelitian ini, yang akan dikaji adalah mengenai kegiatan berbagi nilai organisasi, yaitu dari pimpinan BPR Bank Surya Yudha kepada karyawan baru yang bukan berasal dari keluarganya (non-family member). 1.
Objek dan Subyek Penelitian Penelitian ini menggunakan BPR Bank Surya Yudha Pusat Banjarnegara sebagai objek penelitian. Sedangkan subyek penelitiannya adalah:
35
a.
Satriyo Yudiarto selaku Pemegang Saham Utama, adalah orang ‘nomor satu’ di BPR ini, pendiri sekaligus pemilik BPR Bank Surya Yudha.
b.
Tenny Yanutriana, selaku Pemegang Saham dan Komisaris, untuk menggali beberapa informasi pendukung.
c.
Susi Faiqoh selaku Kepala Bagian Personalia, untuk menggali informasi lebih dalam mengenai proses perekrutan karyawan baru.
d.
Eni Mulyati selaku Kepala Bagian Pendidikan, untuk mengetahui proses pendidikan (training) sebagai upaya mensosialisasikan nilai organisasi yang berlaku di BPR Bank Surya Yudha kepada calon dan/ atau karyawan baru.
e.
Wahyu dan Widiyanto, selaku staf di Bagian Personalia, untuk mendapatkan data-data kepegawaian dan menggali informasi yang berkaitan dengan penelitian.
f.
Pinkan dan Gilang Martha adalah karyawan baru non-family yang lolos seleksi bulan Agustus-September 2014. Perlu diketahui, dalam penulisan laporan penelitian ini seluruh
informan bersedia dicantumkan identitas yang sebenarnya. 2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan di Kantor Pusat BPR Bank Surya Yudha yang beralamat di Jalan Raya Rejasa, Banjarnegara, nomor telepon (0286) 591662, fax (0286) 591808. Penelitian akan dilakukan pada tanggal 29 Juli 2015 dan 22 Agustus 2015.
3.
Teknik Pengumpulan Data Adalah cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan informasi atau data secara lengkap, yang meliputi wawancara sebagai sumber data utama, serta observasi, artikel atau berita terkait BPR Bank Surya Yudha, data statistik, dan laporan tahunan sebagai sumber data pendukung. 36
4.
Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data pada penelitian kualitatif menggunakan model induktif analitis yang menggunakan data sebagai pijakan awal melakukan penelitian (Bungin, 2007:27), yang dimulai dari proses pengumpulan data primer yang diambil dari wawancara. Setelah informasi dari wawancara terkumpul, peneliti mulai melakukan pengklasifikasian berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang ingin diketahui, sehingga dapat dilihat informasi apa saja yang kurang lengkap. Begitu juga dengan hasil wawancara yang tidak berkaitan akan direduksi atau dibuang. Demikian seterusnya, penambahan dan pengurangan informasi dilakukan secara terus-menerus hingga informasi yang didapat bersifat jenuh, artinya informasi yang dibutuhkan sudah cukup. Setelah itu dilakukan tahap analisis data.
5.
Teknik Analisis Data Untuk memastikan hasil penelitian yang teliti, hati-hati, dan ketat maka perlu ada suatu cara untuk mempertanggungjawabkan kevalidan informasi, sehingga dilakukan upaya cross check atau Uji Triangulasi yang disebut Moleong (2011) sebagai kegiatan pengecekan terhadap suatu data yang didapat. Uji Triangulasi juga disebut oleh Gary Thomas (2011:68) sebagai “… is almost an essential prerequisite for using a case study approach”. Begitu juga Robert K. Yin (2012:13) menyebutkan bahwa “You should constantly check and recheck the consistency of the findings from different as well as the same sources. In so doing, you will be triangulating which will make your findings as robust as possible”. Uji Trianggulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan jawaban tiga informan yang digali informasinya mengenai upaya perusahaan mewariskan nilai organisasi pada karyawan baru non keluarga dengan dua informan yang merupakan karyawan baru non-family
37
(intersubjectivity analysis) mengenai pengalamannya dalam rangka pewarisan nilai organisasi yang berlaku di BPR Bank Surya Yudha pada saat awal bergabung dengan perusahaan ini. Hasil cross check pada Uji Triangulasi diharapkan dapat memotivasi peneliti untuk menggali alasan jika terjadi perbedaan informasi antarinforman. Selain mencocokkan informasi antarsubjek penelitian, uji triangulasi juga mencocokkan kesesuaian informasi yang didapat dari wawancara dengan para subjek tersebut dengan data empiris yang ada seperti laporan tahunan, artikel berita, serta mencocokkannya dengan observasi yang telah dilakukan. H. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah adanya kendala waktu, sehingga penelitian yang dilakukan tidak menggunakan observasi partisipatoris. Subjek penelitian untuk karyawan baru non-family ditentukan oleh pihak BPR Bank Surya Yudha melalui Wahyu, staf Personalia. Hal ini merupakan kelemahan yang umum terjadi dalam penelitian yang menggunakan organisasi atau perusahaan sebagai objek. Kelemahan selanjutnya berkaitan dengan periode waktu yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu Agustus 2014 – Agustus 2015. Pemilihan periode waktu dalam penelitian ini berakibat pada tidak adanya gambaran atas upaya pewarisan nilai budaya organisasi pada periode sebelum dan sesudahnya. I. Sistematika Penulisan Peneliti memaparkan keseluruhan hasil penelitian ini dalam empat bab. Pada Bab I peneliti menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, konsep penelitian, dan metode penelitian. Pada Bab II, peneliti menjelaskan
konteks
penelitian
yang
mencakup
sejarah
dan
perkembangan BPR Bank Surya Yudha, Visi dan Misi, logo, slogan, dan
38
filosofi bangunan kantor BPR Bank Surya Yudha, lokasi BPR Bank Surya Yudha, nilai-nilai organisasi, pola rekrutmen dan pelatihan (training) karyawan baru, pola komunikasi, pola interaksi, Corporate Social Responsibility (CSR), dan Bagian Personalia sebagai divisi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan sosialisasi. Pada Bab III, peneliti menganalisis cara sosialisasi nilai-nilai budaya organisasi yang dilakukan BPR Bank Surya Yudha terhadap karyawan baru berdasarkan konsep organizational socialization tactics dan newcomer’s pro-active. Melalui dua konsep tersebut diharapkan dapat berkontribusi pada temuan cara perusahaan mewariskan nilai-nilai budaya organisasi pada karyawan baru non-family dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pewarisan (sosialisasi) nilai-nilai budaya organisasi. Pada Bab IV, peneliti membuat kesimpulan akhir dari penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
39