BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu masa transisi yang diawali dengan perubahan biologis dan ditutup dengan aspek kultural. Transisi dari masa kanak-kanak ke remaja ditandai dengan fungsi biologis seperti kematangan pubertal sedangkan transisi menuju masa dewasa ditentukan melalui standar dan pengalaman budayanya. Pada masa ini banyak individu berkuliah untuk mengeksplorasi jalur karir (Santrock, 2007). Hal ini dikarenakan salah satu tugas perkembangan remaja menurut Duvall adalah memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan serta ketidak bergantungan ekonomi (Setiono, 2011). Kuliah, adalah salah satu langkah yang ditempuh untuk mempersiapkan lapangan pekerjaan, selain itu, kuliah juga mempengaruhi penalaran moral dan pembentukan karakter seseorang sehingga sangat berpengaruh sebagai transisi menuju masa dewasa (Berk, 2010). Salah satu indikator yang dapat menjadi acuan apakah seseorang telah menjalani setiap perkuliahan dengan baik adalah melalui prestasi belajar dari mahasiswa yang bersangkutan. Nilai akhir atau Indeks Prestasi (IP) mahasiswa sangat diperhatikan jika ingin melamar kerja di perusahaan papan atas, terutama bagi mahasiswa lulusan sarjana dalam dunia kerja. Seperti yang disebutkan dalam sebuah artikel di Nusantaranews tanggal 17 Maret 2009 bahwa “Sempitnya lapangan pekerjaan dan luasnya job seeker membuat perusahaan-perusahaan semakin selektif dalam menyaring calon karyawannya. Hampir semua lowongan kerja saat ini mensyaratkan pelamar kerja harus memiliki IPK minimal 2,75 atau 3,00.”
1
2
Motivasi belajar adalah salah satu faktor penting yang menentukan performansi akademik seseorang (Vanthournout, 2012). Motivasi dalam arti luas adalah sebuah pemberi energi perilaku. Motivasi adalah suatu daya penggerak atau energi yang membuat seseorang tetap melakukan suatu kegiatan, atau menentukan kemana seseorang tersebut akan pergi. Setiap orang mempunyai motivasi, yang membedakannya adalah bentuk dan tujuan dari motivasi tersebut (Reber, 2010). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa seseorang pada masa remaja akhir seharusnya sudah mempunyai tanggung jawab untuk menentukan performansi akademiknya, karena prestasi akademik ini dapat memberikan pengaruh untuk masa depannya. Motivasi belajar tentu mempunyai andil yang besar dalam menentukan performansi akademik tersebut. Berdasarkan wawancara pada tanggal 2 Mei 2014 dengan 10 orang mahasiswa angkatan 2013 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 7 dari 10 orang menyatakan bahwa mereka merasa setelah menjalani perkuliahan selama ±1 tahun, mereka merasa kurang bersemangat. Mereka merasa sudah puas dengan hasil belajarnya saat ini sehingga meskipun sering kali melupakan materi yang baru saja didapat di kelas, mereka tidak melihat belajar sebagai suatu keharusan. Mereka juga lebih sering menunda belajar atau mengerjakan tugasnya untuk melakukan kegiatan lainnya. Berdasarkan wawancara tersebut, ditemukan bahwa motivasi belajar pada remaja masih agak rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi belajar seseorang adalah pengaruh orang tua karena pendidikan pertama yang didapat oleh seseorang adalah melalui orang tua, dan hal ini tidak bisa lepas dari pola asuh orang tuanya. Sifat-sifat orang tua dan pola asuh yang diberikan kepada anak dapat memberi dampak baik atau buruk terhadap motivasi belajar yang ada dalam diri seseorang (Syah, 2013). Menurut Kilgore, Snyder dan Lentz (dalam Bjorklund, 2008) terdapat dua dimensi pada perilaku pola asuh. Pertama adalah kehangatan dan apakah orang tua cukup responsif
3
terhadap perilaku anak. Pada dimensi ini dapat dilihat bahwa ada orang tua yang secara terbuka hangat dan menunjukkan kasih sayang kepada anaknya. Mereka merespon segala kebutuhan anak dan menyediakan waktu untuk dihabiskan bersama anaknya. Sebaliknya ada orang tua yang banyak tidak terlibat dengan kehidupan anak bahkan kadang beperilaku kasar kepada anak. Mereka akan terlihat lebih sering fokus terhadap kebutuhan dan apa yg diminatinya daripada memperhatikan anaknya. Dimensi yang kedua adalah kontrol orang tua terhadap anak. Beberapa orang tua akan terlihat diktator, mengontrol dan mengatur setiap aspek kehidupan yang dilalui oleh anaknya. Tetapi ada juga orang tua yang hanya memberikan sedikit atau tidak sama sekali kontrol terhadap dirinya. Anak melakukan apapun yang mereka lakukan tanpa meminta izin dari orang tua sebelumnya. Menurut Baumrind (Baumrind, 1991) terdapat tiga tipe pola asuh, ketiga tipe pola asuh tersebut adalah : a. Authoritarian, adalah tipe pola asuh yang mengkombinasikan kontrol tinggi dan kehangatan yang rendah. Orang tua dalam tipe pengasuhan ini membuat peraturanperaturan yang harus dipatuhi oleh anak. Sangat sedikit interaksi give-and-take yang terjadi karena orang tua tidak begitu memperhatikan keinginan dan kebutuhan anak. b. Authoritative, adalah tipe pola asuh yang mengkombinasikan kontrol yang tinggi dan kehangatan yang tinggi. Orang tua dalam tipe pengasuhan ini membuat peraturan dan juga mendukung adanya diskusi dengan anak. c. Permissive, adalah tipe pola asuh yang mengkombinasikan kehangatan yang tinggi dan kontrol yang rendah. Orang tua dalam tipe pengasuhan ini menerima perilaku anak dan sangat jarang untuk memberikan hukuman pada anak. Orang tua akan cenderung memberikan apapun yang diinginkan anak.
4
Orang tua belum tentu menggunakan satu jenis pola asuh saja, ada kemungkinan akan menggunakan satu pola asuh sebagai pola asuh utama dan juga menggunakan pola asuh lainnya dibeberapa kesempatan lain (Kastutik, 2014). Secara tata bahasa, kecenderungan mempunyai arti yaitu kecondongan. Hubungan orang tua dengan remaja akan menjadi semakin dipenuhi oleh konflik pada masa remaja akhir (Santrock, 2013). Orang tua harus berhati-hati saat mengahadapi remaja pada masa ini. Orang tua beradaptasi bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan dengan keadaan remaja. Suatu pola asuh akan tetap muncul sebagai pola asuh utama, ditambah dengan beberapa pola asuh lainnya sesuai kondisi yang ada. Sebagai contoh, orang tua yang dominan menerapkan pola asuh authoritative, meskipun juga menerapkan pola asuh authoritarian dan permissive dalam beberapa situasi, maka akan lebih terlihat kecenderungan pola asuh authoritative yang ada dibandingkan dengan kedua pola asuh lainnya. Kecenderungan pola asuh authoritative memperbolehkan mengontrol perilaku anak tetapi juga responsif dengan mendengarkan kebutuhan dan keinginan anak. Kecenderungan pola asuh authoritative menerapkan suatu keseimbangan antara ketatnya peraturan dengan kebebasan, sehingga anak mendapatkan kesempatan untuk membangun kepercayaan dirinya (Steinberg, 2011). Seperti dalam penelitian yang dikemukakan oleh Marini dan Andriani (2005) bahwa pola asuh orang tua authoritative adalah lebih efektif dari ketiga pola asuh lainnya karena anak akan menunjukkan perilaku yang lebih asertif serta perkembangan emosional, sosial dan kognitif yang lebih kearah positif. Perilaku yang ditunjukkan oleh remaja sangat dipengaruhi oleh bagaimana pengasuhan dari orang tuanya saat ia masih kecil. Pola asuh authoritative memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya dan memuaskan keingin tahuan yang dimiliki oleh anak. Pola asuh orang tua yang secara dominan akan tetap muncul dalam keseluruhan interaksi yang dilakukan, dan perilaku yang diperlihatkan bahkan setelah dewasa
5
(Hetherling & Whiting dalam Gibson, 1978). Sedangkan, motivasi adalah dorongan yang dimiliki seorang individu untuk melakukan suatu kegiatan dan motivasi belajar adalah dorongan yang dimiliki seorang individu untuk melakukan kegiatan belajar. Dapat dikatakan bahwa motivasi belajar yang terbentuk dalam diri seseorang, dipengaruhi oleh kebiasaan dan perilaku individu tersebut yang sudah dibentuk oleh pola asuh dari orang tuanya. Apakah kecenderungan pola asuh authoritative yang didapat dari orang tua mempunyai hubungan dengan motivasi belajar pada remaja akhir?
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh authoritative dengan tingkat motivasi belajar yang ada pada remaja akhir.
C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini mencakup dua hal : 1. Manfaat Teoritis: agar masyarakat terutama masyarakat di bidang ilmu psikologi dapat lebih mengetahui bahwa bagaimana pola asuh seseorang sejak kecil apakah mempunyai pengaruh terhadap motivasi orang tersebut hingga ia beranjak remaja. 2. Manfaat Praktis: agar masyarakat bisa lebih mengetahui bagaimana salah satu alternatif untuk meningkatkan motivasi belajar bagi anak.