Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah komunitas yang sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran dan perasaan serta memiliki sistem yang sama. Dengan kesamaankesamaan yang ada manusia berinteraksi dengan sesama mereka dan pada akhirnya membentuk sebuah masyarakat. Dalam sebuah masyarakat dapat terjadi berbagai macam kejadian yang dapat memicu perkembangan pola kehidupan sebuah masyarakat, salah satunya adalah budaya yang lahir di dalam sebuah masyarakat tersebut. Budaya sendiri adalah sebuah cara hidup yang berkembang dan muncul dari sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Faktor yang membentuk atau melahirkan sebuah budaya itu sangatlah rumit, mulai dari faktor politik, sistem agama, adat istiadat, bahasa, bangunan, dan karya seni. Budaya memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat, hal ini disebabkan oleh segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri, sehingga berbagai macam budaya akan terlahir dalam sebuah masyarakat. Di Jepang lahirlah sebuah budaya akibat dari faktor bahasa dan karya seni dari sebuah masyarakat. Menurut Azuma (2001:8) Otaku ( お た く / オ タ ク ) adalah istilah umum yang mengarah kepada mereka yang terlibat dalam suatu sub-kultur yang memiliki hubungan kuat dengan anime, game, komputer, fiksi ilmiah, film dengan efek spesial, figurin anime, dan sebagainya. Budaya tersebut dinyatakan sebagai budaya Otaku. Budaya Otaku seperti yang dicontohkan melalui komik dan anime masih mempertahankan citranya sebagai budaya anak muda tetapi untuk generasi yang lahir pada akhir 1950 dan awal 1960 bukanlah budaya bagi anak muda yang menikmati masa kebebasan pra-kuliah dan pada akhirnya mengambil tanggung jawab sebagai anggota masyarakat. Melalui ini 1
2
budaya Otaku sudah menjadi sebuah hal yang mengakar di dalam masyarakat Jepang Sejak tahun 1990-an. Istilah Otaku
mulai dikenal di luar Jepang untuk menyebut
penggemar berat subkultur asal Jepang seperti anime dan Manga, bahkan ada orang yang menyebut atau mengaku dirinya sebagai Otaku. Fenomena Otaku yang muncul di Jepang ini mendapati banyak sekali permasalahan yang terus muncul, contohnya terdapat Otaku yang tidak dapat membedakan antara dunia fiksi dengan dunia nyata sehingga membuat dirinya dianggap aneh oleh masyarakat sekitarnya. Pada era 1970-an di Jepang terdapat juga generasi Otaku yang cukup membuat masyarakat resah. Hal ini disebabkan munculnya praduga terhadap Otaku
bahwa seorang Otaku
bernama Tsutomu Miyazaki melakukan kasus
pembunuhan heboh, dan di kalangan anak sebayanya Otaku
mulai menerima
diskriminasi. Sedangkan menurut seorang ahli antropologi Jepang bernama Toshio Okada menyatakan hal yang berbeda mengenai Otaku, terdapat berbagai macam ciri-ciri dan penggunaan dari sebuah kata yang berhubungan dengan kata Otaku. Menurut Okada, Otaku adalah sebuah kata yang lahir dari Nakamori Akio dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada tahun 1983 berjudul "Otaku" no Kenkyū (おたくの研究) atau diartikan sebagai penelitian Otaku. Penelitian tersebut memiliki kaitan dengan para penggemar berat dari sub-kultur Jepang seperti anime, Manga, ataupun game. Dikatakan juga pada awal abad ke 20 istilah atau kata Otaku digunakan kepada mereka yang menggemari anime, Manga, game, maupun idol group di Jepang. Akan tetapi sebelum kata Otaku digunakan untuk menyatakan sebagai penggemar berat dari sub-kultur Jepang, kata Otaku digunakan untuk menyebut mereka yang menghabiskan sebagian besar waktu maupun penghasilan hidupnya untuk bidang yang mereka minati atau hobi mereka. Bidang hobi yang diminati pun lebih spesifik dan banyak, tidak hanya untuk anime, Manga, game saja. Bahkan seseorang yang benarbenar menekuni hobi mereka dan fokus dengan hal yang mereka minati sehingga mengetahui, menguasai, dan memiliki kemampuan lebih dalam bidang tertentu dapat juga di sebut sebagai seorang Otaku.
3
Kemudian kata Otaku kembali muncul dalam hal yang lebih detail atau penyempitan kategori yaitu dinyatakan kepada mereka yang menggemari sebuah komik lolicon. Serta penggunaannya untuk mengekspresikan kalimat yang mengarah kepada sebuah gender yang pada umumnya adalah kaum laki-laki pecinta anime ataupun maniak anime. Otaku figure adalah kelompok Otaku yang merupakan kolektor dari figur-figur karakter yang muncul dalam serial anime tertentu, salah satunya adalah figure gundam. Kemudian kata Otaku juga digunakan untuk menyebut mereka yang sama sekali tidak memiliki minat terhadap perkembangan fashion, mengurung diri sendiri di kamarnya dan sama sekali tidak keluar kamar, yang cenderung disebut sebagai Hikikomori Otaku. Kelompok Otaku dapat dibedakan menurut generasi atau tahun kelahirannya, terdapat 3 jenis generasi dari kelompok Otaku di Jepang, yaitu generasi pertama pada tahun 1960, generasi kedua pada tahun 1970, dan generasi ketiga pada tahun 1980. Pada Otaku generasi pertama kelahiran tahun 1960 dibesarkan sebagai seorang Otaku yang menggemari film-film bertipe fiksi sains atau film dengan efek-efek spesial. pada saat itu masyarakat umum masih menganggap anime sebagai konsumsi anak-anak. Pada saat itu Gekiga atau disebut juga sebagai buku komik atau novel grafik yang dimaksudkan kepada orang-orang dewasa dan kemudian dikenal secara luas. Sehingga Otaku generasi pertama juga ikut membaca Gekiga. Di Jepang sendiri generasi Otaku kelahiran 1960 ini pada masa kecilnya takjub dengan film-film yang memiliki unsur monster-monster raksasa maupun monster yang dapat berubah bentuk. Mereka sangat menyenangi film Tokusatsu yaitu sebuah film dengan jagoan-jagoan atau pahlawan pembela kebenaran yang melindungi bumi dari ancaman. Generasi 1960an ini disebut juga sebagai Shinjinrui (新人類) yang berarti manusia baru atau kata-kata yang digunakan kepada generasi muda yang memiliki pandangan dan keinginan yang berbeda dari biasanya. Kemudian Otaku pada generasi kedua yang lahir pada tahun 1970-an, di masa kecilnya mulai tertarik dengan anime seperti Space Battleship Yamato dan Mobile Suit Gundam. Dua buah judul anime tersebut merupakan hal yang sangat penting sebagai bekal untuk menjadi seorang Otaku atau meneruskan generasi Otaku. Selain masyarakat Jepang mulai dapat menerima kehadiran Otaku sebagai generasi baru, terdapat kendala yang mengatakan bahwa Otaku generasi 1970-an ini memiliki kesulitan
4
untuk membedakan antara dunia fiksi dengan dunia nyata, sehingga banyak dari mereka yang sulit untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas karena mereka menganggap bahwa mereka hidup di dunia fiksi. Permainan video games juga mulai menjadi kegemaran Otaku pada generasi kedua ini. Apabila pada awalnya masyarakat mulai menerima kehadiran Otaku generasi 1970-an ini, hal tersebut berubah menjadi sebaliknya semenjak terjadi sebuah kasus pembunuhan yang telah penulis paparkan di atas yaitu oleh Tsutomu Miyazaki yang diduga sebagai seorang Otaku. Mulai dari saat itu Otaku mulai mendapati diskriminasi dari orang-orang di sekitarnya maupun teman sebayanya. Hal yang berbeda terdapat pada Otaku generasi ketiga, yaitu kelahiran tahun 1980-an ini pada masa kecilnya mulai meminati anime legendaris berjudul Neon Genesis Evangelion. Otaku generasi ketiga ini mulai diterima kembali sebagai masyarakat dan menganggap Otaku hanya satu dari sekian banyak hobi. Anak-anak dari Otaku generasi pertama mulai masuk ke dunia Otaku generasi ketiga. Hal ini meredakan keresahan masyarakat yang muncul pada saat masa Otaku generasi kedua. Citra negatif yang muncul pada kalangan Otaku juga semakin berkurang. Kemudian
istilah-istilah
baru
mulai
muncul
melalui
Otaku
generasi
ketiga
kencederungan Moe, yaitu sebutan untuk karakter dalam sebuah anime yang pada dasarnya memiliki tubuh mungil, mata yang besar, dan wajah yang imut menjadi sebuah kecenderungan baru yang muncul pada Otaku generasi ketiga ini. Menjadi sebuah istilah yang disepakati bersama dan sekaligus menjadi sebuah prinsip dan tujuan. Otaku generasi ketiga ini semakin banyak yang tenggelam dan masuk ke dalam dunia yang digambarkan oleh anime, manga, ataupun game membuat mereka menyenangi berbagai macam hal yang ada didalamnya. Pada perkembangan selanjutnya, sebutan Otaku digunakan untuk pria lajang yang mempunyai hobi seperti anime, Manga, game. Tanpa mengenal batasan umur kata-kata Otaku dipakai juga kepada wanita lajang atau wanita yang sudah menikah yang membentuk kelompok sendiri yang bersifat khusus. Berdasarkan pengamatan dari kesamaan hobi kalangan yang berusia lima puluh tahun ke atas dan terus mengejar prestasi di bidang akademik dan karir yang juga merupakan penggemar berat dari anime, Manga, dan game jarang sekali disebut sebagai seorang Otaku.
5
Istilah Otaku dalam arti lain juga dapat digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang memiliki hobi sejenis dan membentuk kalangan terbatas seperti penerbitan Doujinshi yaitu sebuah karya yang bersifat bebas dan dikarang oleh para penggemar dari sebuah anime tertentu. Penggunaan kata Otaku tergantung pada situasinya, dalam arti luas memiliki arti yang negatif ataupun positif dan juga bergantung kepada orang yang menggunakan kata-kata tersebut. Istilah Otaku dinyatakan secara negatif apabila menjelaskan masyarakat yang merupakan penggemar fanatik suatu sub-kultur yang letak sisi positifnya yang tidak dimengerti oleh masyarakat umum. Secara positif kata-kata Otaku digunakan untuk menjelaskan orang yang mendalami suatu bidang hingga detil, disertai dengan tingkat pengetahuan yang tinggi dalam bidang itu dan dapat disebut juga sebagai pakar dalam bidang tersebut. Sebelum istilah Otaku menyebar luas di Jepang, sudah ada orang-orang yang disebut sebagai mania atau maniak karena hanya menekuni bidang tertentu, dan tidak tertarik pada kehidupan sehari-hari yang ada di luar yang biasa dilakukan oleh orang lain. Di Jepang sendiri, istilah Otaku lahir untuk menggantikan istilah mania atau maniak, sehingga muncul berbagai jenis Otaku seperti Gundam-Otaku, Pasokon-Otaku (Otaku komputer), Densha Otaku (Otaku yang menggemari kereta), Morning-Musume Otaku (kelompok Otaku yang menggemari idol group morning musume), dan berbagai macam jenis Otaku lainnya. Dalam kasus lainnya istilah Otaku juga digunakan untuk menyatakan laki-laki dengan kebiasaan aneh dan tidak dimengerti oleh masyarakat umum. Tanpa memandangi orang tersebut menekuni hobi atau tidak, anak-anak perempuan di Jepang sering menggunakan istilah Otaku untuk memberikan kesan negatif atau sindiran maupun diskriminasi kepada anak laki-laki yang tidak populer dikalangan anak perempuan. Hal yang menarik adalah istilah ini tidak pernah digunakan untuk kaum perempuan, karena berhubungan dengan konteks Otaku yang digunakan untuk menyinggung perasaan, atau digunakan untuk mengkritik sebagai perlakuan diskriminasi terhadap seseorang.
6
Setelah itu, pada tahun 2005 perubahan besar mulai banyak terjadi pada dunia Otaku. Mulai dari bahasa-bahasa atau istilah baru yang muncul dan hanya dimengerti oleh para Otaku. Industri dan perusahaaan-perusahaan skala kecil dan menengah mulai mengalihkan pandangan mereka terhadap Otaku yang setiap tahunnya terus berkembang dan memanfaatkan kesempatan ini untuk ikut serta ke dalam dunia Otaku yang terlibat dalam dunia anime, Manga, maupun game. Dalam hal ini banyak sekali yang tercipta dan muncul dalam industri anime di Jepang dimulai dari industri pembuatan anime yang inovatif dan menarik perhatian para Otaku untuk menggeluti hasil karya mereka hingga pengarang komik/manga yang terus meluncurkan serial-serial manga terbaru mereka agar menjadi sorotan utama di kalangan para Otaku. Apabila dilihat dari sudut pandang lain jauh dari citra negatif yang sempat muncul di kalangan masyarakat terhadap Otaku sekarang ini, Otaku bukanlah suatu hal yang kecil lagi di Jepang sana. Tokyo, Akihabara, yang sering disingkat dengan istilah Akiba, merupakan sebuah daerah di Jepang yang merupakan sumber dari pusat perbelajaan elektronik. Selain elektronik Akihabara memiliki istilah lain yaitu surga bagi para Otaku, karena di Akihabara ini merupakan pusat perbelanjaan untuk Anime, Manga dan Doujinshi terbesar di Jepang serta maid café yang menjamur di daerah ini. Hal ini cenderung membuat para Otaku mengeluarkan uang mereka untuk memenuhi keinginan mereka dalam mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan hobi mereka dan hal ini memancing sikap konsumerisme yang ada pada diri para Otaku tersebut. Didalam buku Peter N. Stearns (2006:7) menyatakan bahwa kita hidup di dalam dunia yang diserap oleh konsumerisme, tetapi kita jarang untuk mengambil langkah mundur untuk memeriksa apa maksud dari semua ini. Definisi terbaik untuk konsumerisme dapat dilihat dari bagaimana itu muncul, Maka konsumerisme mendeskripsikan sebuah masyarakat yang kebanyakan orang memformulasikan sebagian dari tujuan dalam hidupnya untuk memperoleh barang yang tampak dengan jelas tidak dibutuhkan untuk penghidupan. Mereka terjerat didalam proses pendapatan sebuah barang melalui belanja. Mengambil identitas diri melalui perolehan barang yang mereka beli dan dipamerkan.
7
Sikap konsumerisme yang dimiliki para Otaku ini bukanlah hal yang aneh, demi hobi mereka rela mengeluarkan sejumlah uang agar keinginannya terpenuhi. Bagi para Otaku, mengumpulkan atau mengkoleksi sejumlah barang-barang yang berhubungan dengan anime adalah sebuah kesenangan tersendiri. Dimulai dari CD/VCD/DVD anime, figur skala dari karakter-karakter anime yang mereka sukai, poster atau majalah-majalah anime, dan juga Manga ataupun doujinshi untuk melengkapi koleksi mereka. Tetapi dalam hal ini perilaku konsumerisme cenderung memancing sisi negatif, terutama bagi mereka, para Otaku. yang terlalu dalam memasuki dunia mereka. Konsumerisme adalah sikap menggunakan uang untuk memenuhi kebutuhan kita sebagai seorang manusia, tetapi sikap konsumerisme cenderung mengarah ke arah negatif karena ini adalah suatu pola pikir serta tindakan seseorang melakukan tindakan membeli barang bukan karena dia membutuhkan barang tersebut, tetapi karena tindakan membeli itu sendiri memberikan kepuasan terhadap diri mereka. Dengan kata lain perilaku konsumtif atau konsumerisme itu dapat dikatakan sebagai pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya dan secara sadar dilakukan berkelanjutan. Hal ini cenderung membuat manusia menjadi pencadu sebuah produk sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat dihilangkan, sehingga sifat konsumtif ini menjadi sebuah penyakit jiwa yang menjangkiti manusia didalam kehidupannya. Apabila dihubungkan dengan perilaku konsumtif yang dilakukan Otaku, maka definisi konsumerisme diatas dapat dikatakan mendekati. Dalam artikel oleh Setiadi(2014), (Kalian Otaku? Hitung pengeluaran bulanan hobi kalian dengan rumus ini!). Didalamnya terdapat rumus dari perencana keuangan Shunsuke Yamasaki yang mengaku dirinya adalah seorang Otaku Manga, mengembangkan tes matematika mudah untuk menentukan apakah hobi Otaku yang dimiliki oleh seseorang mengalami efek buruk terhadap kondisi ekonomi orang tersebut atau tidak. Adapun sebuah rumus yang dipaparkan oleh Shunsuke Yamasaki seorang perencana keuangan pada salah satu perusahaan di Jepang adalah : Koefisien Otaku = (pengeluaran bulanan Otaku hobi ÷ (pendapatan sebelum pajak bulanan) x 100
8
Dalam hal ini Yamasaki menjelaskan apabila koefisien yang seimbang adalah sama dengan atau kurang dari 10, apabila di atas itu atau mencapai angka 20 maka bergerak ke zona yang dapat di kategorikan sebagai zona bahaya. Dan itu dialami oleh teman sekelas Yamasaki yang demi memenuhi hobinya dia rela untuk menyisihkan uang untuk makan siangnya. Dalam hal ini terlihat bahwa seseorang demi hobi yang sudah diminatinya rela melakukan hal apapun agar keinginannya dapat tercapai. Dari mulai menyisihkan uang saku dan rela untuk tidak makan agar uang yang disisihkan lebih dapat digunakan untuk keperluan hobi. Masalah mengenai perilaku konsumerisme para Otaku
ini perlu mendapatkan
perhatian, karena apabila hal ini berlanjut, perilaku konsumerisme akan menjadi budaya dan menghasilkan orang-orang dengan pribadi yang mementingkan apa yang mereka senangi saja dan dapat berdampak buruk kepada pribadi seseorang ketika terlibat dalam faktor-faktor lainnya seperti pekerjaan, pola pikir, dan pada akhirnya terdapat kemungkinan dapat mempengaruhi pola pergaulan Otaku tersebut. Pada dasarnya seorang Otaku rela mengeluarkan uang sebesar apapun demi memenuhi keinginan mereka, tetapi apa akibatnya kalau ternyata Otaku tersebut masih belum dapat menghasilkan penghasilan sendiri dan masih bergantung dengan orang tua mereka, sementara sifat konsumerisme sudah menjadi bagian terdalam dari diri pribadi tersebut. Perilaku konsumtif merupakan akibat dari ekspansi pasar yang berkembang pesat dalam suatu perusahaan atau industri. Perilaku konsumerisme yang dilakukan oleh para Otaku disebabkan oleh perusahaan atau industri yang memacu perilaku tersebut. Dalam industri anime berbeda dengan hukum permintaan biasa, yaitu apabila ada permintaan maka di sana akan ada suplai, nilai guna bukan merupakan faktor utama yang penting bahkan perannya kecil untuk mendorong pembelian. Hal ini disebabkan karena di dalam industri anime berbeda dengan Barat dimana film atau seri yang laku biasanya hanya disebabkan oleh kualitas dari karya tersebut dan cenderung mereka hanya menjual CD atau DVD dari film tersebut dan pernik yang terbatas sesuai dengan rating atau popularitas Sebagai contoh hanya seri dengan level kepopuleran tertentu, seperti karakter figur super hero yang di produksi merchandise. Di
9
dalam industri anime bahkan sesuatu yang tidak terlalu terkenal ataupun baru dapat ditemukan sarung bantal dengan gambar karakter dari suatu visual novel tertentu dan ditawarkan ke pasaran dan ada peminatnya. Dan ini merupakan hal yang berbeda dengan industri hobi di Barat. Sehingga pengaruh dari Otaku dengan konsumerisme ini bukan hanya dari Otaku itu sendiri. Tanpa ada permintaan, industri-industri tersebut menyediakan seluruhnya kepada para Otaku dan secara langsung perilaku konsumerisme seseorang akan muncul. Tidak hanya di Jepang, bahkan di Indonesia perilaku konsumtif Otaku Indonesia sudah sering terlihat, Para Otaku yang ada di Indonesia sering sekali melakukan perilaku konsumtif, Mereka membeli apapun hanya untuk memenuhi kesenangan pribadi mereka. Pada akhirnya penyebab perilaku konsumerisme tidak hanya disebabkan oleh industri anime itu sendiri, para Otaku yang telah banyak bermunculan, rela menghabiskan uang mereka tanpa memikirkan bahwa uang itu dapat disimpan ataupun ditabung untuk kebutuhan yang lebih berguna. Salah satu figure yang dikoleksi oleh Otaku Indonesia adalah figure gundam.Salah satu tempat yang biasa dikunjungi Otaku untuk berkumpul adalah Lullaby Winds Café Pantai Indah Kapuk, Lullaby Winds Café adalah sebuah café bertemakan anime yang berlokasi di Centro Metro Broadway Pantai Indah Kapuk, Jalan Pantai Indah Utara 2 Blok A Nomor: 31-32. Di buka pada tanggal 18 januari 2014 hari sabtu. Café yang sudah berjalan hampir setengah tahun ini menyediakan hal yang berbeda dengan café-café lainnya. Wallpaper anime terpampang di dinding dan figur-figur anime menghias sudut-sudut ruangan. Menu makanan yang disediakan merupakan inspirasi dari makanan-makanan Jepang yang khas dan sering muncul dalam anime atau dorama Jepang. Pada lantai 2 café ini menjual berbagai macam figur mulai dari figma hingga nendoroid ataupun model-kit gundam. Selain itu di lantai 2 juga memberikan fasilitas PO (Purchase Order) untuk barang-barang dari Jepang yang sulit didapatkan di Indonesia. Dengan cukup memperlihatkan gambar barang yang kita inginkan maka akan diberitahukan harga dan biaya bea cukai yang harus dibayar. Maka Lullaby Winds Café merupakan tempat yang sangat cocok bagi para penggemar anime Jepang untuk bersantai dan berkumpul
10
Gambar 1.1 Lullaby Winds Anime Cafe
Sumber : JurnalOtaku.com, Japanesestation.com
1.2 Masalah/Isu Pokok Berdasarkan latar belakang masalah yang terdapat di atas maka fokus masalah/isu pokok yang terdapat dalam penelitian ini adalah pola perilaku konsumerisme yang dilakukan oleh para kelompok Otaku. 1.3 Formulasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang terdapat di atas maka formulasi masalah di dalam penelitian ini pola perilaku konsumerisme yang dilakukan oleh para kelompok Otaku; sisi positif yang timbul dari sifat konsumerisme seorang Otaku dan faktor pendorong seorang Otaku sehingga terjebak ke dalam konsumerisme figur. 1.4 Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, adalah peneliti hanya akan membahas perilaku konsumerisme dan sifat positif yang timbul dari prilaku konsumerisme pengoleksi figur anime, yaitu figure Gundam. Data diperoleh dari para responden yang merupakan orang Indonesia yaitu pengoleksi figur Gundam yang merupakan konsumen anime di Restoran Lullaby Winds Pantai Indah Kapuk.
11
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas tujuan dari penelitian ini adalah memahami lebih dalam perilaku konsumerisme dan sifat positif yang timbul dari perilaku konsumerisme pengoleksi figure anime Gundam di Restoran Lullaby Winds Pantai Indah Kapuk. 1.6 Tinjauan Pustaka Peneliti melakukan tinjauan pustaka melalui jurnal online. Beberapa artikel di antaranya adalah Meretas Kebahagiaan Utama Di Tengah Pusaran Budaya Konsumerisme Global oleh M. Nur Prabowo S. yang menyatakan bahwa konsumerisme telah menjadi indentitas masyarakat modern. Konsumerisme ditunjukkan melalui perilaku konsumsi masyarakat yang berlebihan, boros, dan rakus. Perilaku seperti ini cenderung mengarah kepada perilaku sosial seperti narsis, hedonistis, materialisits, dan individualis. Selera atau kebahagiaan bagi masyarakat konsumeris dicapai melalui pemenuhan “kepuasan duniawi” yang semata-mata hanya mengacu kepada nafsu secara berlebihan terhadap sebuah material. Prabowo S. juga menyatakan bahwa perilaku konsumerisme atau pola hidup ekonomi yang tidak dapat disesuaikan dapat berakibat pada perilaku kejahatan seperti, misalnya, korupsi atau hal lainnya. Menurut Han-Jen Niu dan Yung-Sung Chiang (2012:714) dalam jurnal online berjudul An Explorary Study of the Otaku Adolescent Consumer, Otaku adalah sebuah grup unik yang muncul akibat dari perkembangan teknologi dan media modern, dan memiliki ketertarikan atau sebuah obsesi terhadap komik, animasi, dan permainan yang dikembangkan dalam era visualisasi. Karena itu terdapat dua poin utama dalam studi ini. Pertama, dari sifat pribadi seorang Otaku dalam komunikasi, medium komunikasi bagi kelompok ini adalah ketertarikan umum antar sesama seperti animasi , permainan , dan komik. Kedua, metode komunikasi bagi grup ini bergantung kepada subyek animasi dan permainan yang merupakan perkembangan sebuah cara menyampaikan pesan antar Otaku. Oleh karena itu, gambar merupakan landasan untuk komunikasi. Bagi generasi ini karakteristik pembelian harus menyatu dengan teknologi dan trendi, Sehingga karakteristik pembelian berdampingan dengan sifat saling membandingkan dan pamer. Menurut peneliti kebudayaan Jepang, Okada (1996) dalam Han-Jen Niu & Yung-Sung
12
Chiang (2012:713) memformulasikan teori Otaku , yang dideskripsikan sebagai tipe baru dari sebuah bentuk kehidupan. Okada juga menyatakan Otaku bukan hanya mewakili sebuah kecerdasan media yang baru, tetapi Otaku juga pewaris asli dari kebudayaan tradisional Jepang. Di dalam jurnal berjudul An Explorary Study of the Otaku Adolescent Consumer dinyatakan bahwa hal paling jelas dari karakteristik seorang remaja yang dikategorikan sebagai “Otaku” adalah obsesinya dalam mengumpulkan sesuatu yang baru. Fitur yang membedakan adalah kebiasaan mereka dalam hal membeli adalah sifat murah hati dalam mengeluarkan uang, tanpa memikirkan harganya. Menurut Nomura Research Institute (2005), Otaku di Jepang pada tahun 2004 mengeluarkan uang sebesar 411 miliar yen untuk hal khusus seperti anime, manga, DVD, anime figure, dan barang terkait yang lainnya. Statistik ini berdasarkan rangkuman dari 10.000 wawancara, laporan industri terkait, dan informasi terkait melalui internet.