ASPEK SEMANTIK DAN KEPRODUKTIFAN VERBA KELAS II DALAM BAHASA INDONESIA Chattri Sigit Widyastuti
Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Artikel ini bergayutan dengan verba kelas II, yang termasuk ke dalam kajian bidang morfologi. Yang dimaksud golongan verba kelas II adalah terdapatnya kategori: (a) me(N)-D yang tak berpasangan dengan di-D, dan (b) D tak berpasangan dengan me(N)-D/di-D. Jika ditinjau melalui perilaku semantisnya, maka verba dapat bermakna inheren perbuatan, proses, dan keadaan. Makna pada V kelas II yang ditemukan dalam tulisan ini berkecenderungan memiliki ciri makna ’lokatif’,’kausatif’, reseptif, dan frekuentatif. Kata kunci: aspek semantik, keproduktifan, verba kelas II
1. Pendahuluan Morfologi termasuk salah satu studi kebahasaan (linguistik) yang mengkaji kata atau leksikon suatu bahasa. Matthews menyatakan “morphology is the study of forms of words” (1974: 21). Adapun batasan morfologi yang lebih rinci diungkapkan oleh Nida (1949: 1), yang mengungkapkan bahwa: “Morphology is the study of morphemes and their arrangements informing words. Morphemes are the minimal meaningful units which may constitute word or parts of words, e.g. re-, de-, un-, ish, -ly, -ceive, -tie, boy, and like in the combination receive, demand untie, boyish, likely. The morpheme arrangements which are treated under the morphology of language include all combinations that form words or parts of words”. (Morfologi adalah studi tentang morfem dan susunan-susunannya untuk membentuk sebuah kata. Morfem adalah unit makna yang terkecil yang dapat membentuk kata atau bagian-bagian kata, seperti re-, de-, un-, -ish, -ly, -ceive, -tie, boy, dan like di dalam kombinasi receive, demand, untie, boyish, likely. Susunan morfem yang diatur di dalam morfologi
suatu bahasa meliputi semua kombinasi yang membentuk kata atau bagian-bagian kata) Adapun kata merupakan satuan terbesar dalam analisis morfologi, namun sebaliknya menjadi bagian terkecil dalam sintaksis. Bloomfield menjelaskannya dengan “A word, then, is a free form which does not consist entirely of (two or more) lesser free forms; in brief, a word is a minimum free form” (Kata adalah “a minimum free form” (sebuah bentuk bebas yang terkecil), bentuk yang dapat diucapkan tersendiri dan tidak dapat dibagi lagi tanpa mengubah maknanya) (1964: 178). Dalam hal ini, Lyons menyebutnya sebagai “minimal free form” (1968: 201). Dari pendapat di atas, secara singkat, dapat diambil suatu pemahaman bahwa kata adalah satuan lingual terkecil yang bebas dan berdaulat, baik dalam bentuk maupun artinya. 2. Kelas Kata Hockett memberikan rumusannya tentang kelas kata, yaitu usaha untuk mengkelaskelaskan kata berdasarkan persamaan perilaku, baik secara morfologis, sintaksis, atau secara morfologis, dan sintaksis. Adapun Alwi, dkk.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
1
(2003: 87 - 304) membagi kelas kata menjadi verba, adjektiva, adverbia, nomina, pronomina, numeralia, kata tugas, interjeksi, dan artikula. 3. Verba Bahasa Indonesia mengenal dua macam bentuk verba, yakni verba asal (verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaktis) dan verba turunan (verba yang harus atau dapat memakai afiks, bergantung pada tingkat keformalan bahasa dan/atau pada posisi sintaktisnya). Pengertian verba seperti yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 1118) adalah kata kerja; kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan. Alwi, dkk. (2003: 87) menyatakan bahwa ciri‑ciri verba dapat diketahui dengan mengamati perilaku semantis, perilaku sintaktis, dan bentuk morfologisnya. Namun secara umum, verba dapat diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain, terutama dari adjektiva. Adapun ciri‑ciri verba antara lain sebagai berikut. Pertama, verba berfungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat, dapat juga mempunyai fungsi lain. Kedua, verba mengandung makna dasar perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas. Ketiga, verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti ‘paling’. Keempat, pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan. Tidak terdapat bentuk seperti *agak belajar, *sangat pergi. Menurut Chafe (1970: 98 ‑ 99), berdasarkan struktur semantisnya, verba dibedakan menjadi empat tipe. Pertama, verba yang menyatakan keadaan, sifat, atau kausalitas. Kedua, verba yang menyatakan 2
proses, yaitu proses perubahan situasi atau kondisi yang dialami sesuatu. Ketiga, verba yang menyatakan perbuatan, yaitu bila subjek (S) termasuk benda bernyawa dan berperan sebagai pelaku atau agen (Ag.). Keempat, verba yang sekaligus menyatakan perbuatan dan proses, yaitu bila subjek (S) berperan sebagai agen dan objek (O) berperan sebagai Pasien atau penderita (Ps.). 3.1. Verba Ditinjau dari Segi Perilaku Semantis Setiap verba mempunyai makna inheren yang terkandung di dalamnya. Berbagai makna yang dikandung oleh verba dapat dibagi sebagai berikut. a. Makna inheren perbuatan, Contoh: lari dan belajar Verba lari dan belajar pada umumnya dapat dipakai sebagai jawaban untuk pertanyaan Apa yang dilakukan oleh subjek? b. Makna inheren proses Verba yang mengandung makna proses biasanya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan Apa yang terjadi pada subjek? Misalnya verba meledak, dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan Apa yang terjadi dengan ’bom itu’? Di samping itu, verba proses juga menyatakan adanya perubahan dari suatu keadaan ke keadaan lainnya, misalnya membesar. c. Makna inheren keadaan Verba yang mengandung makna keadaan umumnya tidak dapat menjawab pertanyaan sebagaimana halnya pada V perbuatan dan V proses, dan juga tidak dapat dipakai untuk membentuk kalimat perintah. Verba keadaan menyatakan bahwa acuan verba berada dalam situasi tertentu, misalnya verba suka.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
Makna inheren suatu verba tidak terikat dengan wujud verba tersebut. Maksudnya, apakah suatu verba berwujud kata dasar, kata yang tanpa afiks, ataupun dengan afiks, tidak mempengaruhi makna inheren yang terkandung di dalamnya. Misalnya, verba beli dan pergi menyatakan perbuatan. Namun verba berafiks, seperti menghitam, memerah, menyatakan suatu proses perubahan dari suatu keadaan ke keadaan lainnya. Makna inheren juga tidak selalu bergayutan dengan status ketransitifan suatu verba. Suatu verba taktransitif dapat mempunyai makna inheren perbuatan (mis. pergi) atau proses (mis. menguning). Sementara itu verba transitif pada umumnya mengandung makna inheren perbuatan, meskipun tidak seluruhnya demikian. Contohnya, verba transitif mendengar atau melihat, tidak menyatakan perbuatan. Di samping makna inheren verba sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat verba pengalaman. Contohnya adalah verba mendengar dan melihat, yang ternyata berbeda maknanya dengan verba mendengarkan dan memperlihatkan. Mendengar dan melihat mengacu pada peristiwa yang terjadi begitu saja pada seseorang tanpa kesengajaan dan kehendaknya. Sementara itu, dalam mendengarkan, terkandung pengertian kesengajaan. Contoh lain verba pengalaman adalah tahu, lupa, ingat, merasa. Makna yang terkandung dalam verba juga bisa timbul sebagai akibat adanya afiksasi. Jika pada suatu verba ditambahkan afiks tertentu, maka akan muncul makna tambahan. Misalnya verba membeli adalah verba perbuatan. Bila ditambahkan sufiks –kan (menjadi membelikan) maka akan muncul makna tambahan, yakni ’perbuatan itu dilakukan untuk orang lain’.
Contoh lainnya, apabila pada verba memukul ditambahkan sufiks –i (menjadi memukuli), maka akan timbul makna tambahan, yakni ’perbuatan itu dilakukan lebih dari satu kali’. Demikian pula halnya jika pada verba bawa ditambahkan prefiks ter- (menjadi terbawa), maka akan memberikan makna tambahan ’tidak sengaja’. 3.2. Perbedaan Verba Kelas I dan Verba Kelas II Uhlenbeck (1982: 128) mengungkapkan bahwa verba dalam bahasa Jawa dipisahkan atas dua kelas, dan masing‑masing ditandai oleh seperangkat kontras kategorial tertentu, yaitu verba kelas I dan kelas II. Sehubungan dengan hal tersebut, Subroto (1985: 5) menyatakan bahwa terdapat dua perbedaan yang mendasar di antara kedua verba yang dimaksud. Pertama, verba kelas I ditandai dengan terdapatnya kategori me(N)-D yang berpasangan dengan di-D. Verba yang berpasangan antara me(N)-D dengan di-D akan mengacu pada tindakan aktif dan pasif. Pembahasan mengenai bentuk verba aktif dan verba pasif sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai ketransitifan serta konstruksi kalimat aktif dan kalimat pasif. Kedua, verba kelas II ditandai dengan terdapatnya kategori: (a) me(N)-D yang tak berpasangan dengan di-D dan (b) D tak berpasangan dengan me(N)-D/di-D. Verba Kelas II Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa verba kelas II memiliki ciri sebagai berikut. Pertama, verba bentuk meng-D pada golongan verba kelas II tidak berpasangan dengan di-D. Pada umumnya verba kelas II adalah termasuk verba yang intransitif (taktransitif). Di samping itu, verba tak transitif ini berwujud verba yang hanya mengandung salah satu komponen (perbuatan
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
3
atau proses). Kedua, pada verba kelas II, D tak berpasangan dengan meng-D/di-D. Pada verba kelas II bagian yang pertama, yakni verba bentuk meng-D yang tidak berpasangan dengan di-D, dapat dibagi menjadi dua, yaitu a) verba yang dapat berakhiran –i, dan b) verba yang dapat berakhiran –kan. Beberapa contoh data yang memperlihatkan verba yang dapat berakhiran –i atau verba yang dapat berakhiran –kan akan dipaparkan di bawah ini. (1) Jiwa seni dalam tubuh Arini mengalir dari ayahnya, seorang penabuh gamelan. *dialir (Kompas, 13 Maret 2015) (2) Pak tani mengaliri sawahnya dengan air. (3) Dion bekerja keras mengalirkan air selokan yang mampet. Verba pada data (1) merupakan tipe verba kelas II bagian yang pertama, yaitu verba bentuk meng-D yang tidak berpasangan dengan di-D. Data (1) berasal dari dasar alir, yang dapat menjadi verba mengalir dengan status taktransitif. Verba meng-D pada mengalir tidak dapat berpasangan dengan verba bentuk di-D *dialir, akan tetapi dapat dilekati sufiks –i sehingga menjadi mengaliri. Dengan tambahan sufiks –i, mengaliri (2), status ketransitifannya berubah dari taktransitif menjadi transitif. Di samping itu, juga dapat dilekati sufiks –kan sehingga menjadi mengalirkan (3) dengan status transitif. Selanjutnya terdapat verba meng-D yang tidak berpasangan dengan verba di-D yang memiliki ciri makna ’kausatif’, tetapi hanya dapat berakhiran –kan, seperti terlihat pada data berikut ini. (4) Gula itu mulai melarut dalam air panas. dilarut larut
4
Verba meng-D pada kata melarut (4) ini dapat dilekati dengan sufiks –kan menjadi melarutkan, tetapi tidak dapat dilekati dengan sufiks –i. Hal ini dapat dilihat pada uraian di bawah ini yang mempergunakan teknik parafrasis. (5) Ibu melarutkan gula itu dalam air panas. *melaruti Verba meng-D yang tak berpasangan dengan di-D yang dapat dilekati sufiks –kan dan –i serta memiliki ciri makna ’kausatif’ pada verba kelas II termasuk produktif dalam bahasa Indonesia. Beberapa contoh lainnya yang menunjukkan hal tersebut dapat dijabarkan pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Verba meng-D yang Tak Berpasangan dengan di-D yang Dapat Dilekati Sufiks –i dan -kan Verba Verba Verba No. meng-D meng-D-i meng-D-kan 1. menurun *diturun menuruni menurunkan 2. mendatang *didatang mendatangi mendatangkan 4. menaik menaiki menaikkan *dinaik 5. mengalir mengaliri mengalirkn *dialir Pada verba kelas II bagian yang kedua adalah verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/di-D. Maksudnya, dari verba dasarnya langsung dibentuk menjadi mengD-i, tanpa melalui meng-D terlebih dahulu. Beberapa contoh akan dipaparkan di bawah ini. a. Pada contoh data (6) di bawah ini, verba mengawasi, berasal dari D (awas) yang tidak berpasangan dengan meng-D/di-D (mengawas/diawas), tetapi langsung dibentuk menjadi meng-D-i mengawasi, dan verba mengawas ini tidak dapat
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
berpasangan dengan meng-D-kan mengawaskan. (6) Pak Maman mengawasi *mengawas *diawas *mengawaskan proses pembuatan jalan layang itu Verba meng-D-i pada kata mengawasi pada data (6) tersebut berciri makna kontinyuatif, artinya dilakukan secara terusmenerus atau bersifat frekuentatif. Untuk membuktikan bahwa V meng-D-i mengawasi mengandung makna ’frekuentatif’, di bawah ini akan dipakai teknik perluasan dengan menambahkan konstituen ’terus-menerus’ sehingga kalimat (6) akan menjadi (6a) berikut ini. (6a) Pak Maman mengawasi terus-menerus proses pembuatan jalan layang itu. b.
Selanjutnya, beberapa contoh verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/di-D yang dapat dilekati sufiks –i dan bermakna ’hal’ atau ’perihal’ adalah sebagai berikut. (7) Penerbit Mizan telah mengawali *mengawalkan *mengawal *diawal memasuki peluang ini pada awal-awal milenium 2000. (Kompas, 11 Februari 2015) (8) Pembaca awam tentu tidak memahami *memahamkan *memaham *dipaham duduk persoalannya sepenuhnya, melainkan hanya menangkap inti pernyataan. (Kompas, 20 Maret 2015)
(9) Akbar menambahkan, dari substansi jawaban pemerintah, selanjutnya perlu didalami dan dikaji apa sudah memenuhi *memenuhkan *memenuh *dipenuh harapan anggota DPR atau belum. (Kompas, 13 Februari 2015) (10) Para obligor yang telah melunasi, *melunaskan *melunas *dilunas sesuai dengan aturan hukum yang ada, tetap harus dihargai. (Kompas, 13 Februari 2015) (11) Modusnya, ia memfasilitasi listrik *memfasilitaskan *memfasilitas *difasilitas warga memasang listrik dengan biaya Rp 1,7 juta per orang. (Kompas, 13 Februari 2015) (12) Bila ditelusuri lebih jauh, hal ini juga menandai semangat untuk mau mensyukuri *mensyukurkan *mensyukur *disyukur karunia Tuhan. (Kompas, 13 Februari 2015) c. Verba kelas II yang termasuk golongan kedua, yakni verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/di-D dan tidak dapat dilekati sufiks –kan serta hanya dapat dilekati dengan sufiks –i adalah sebagai berikut. (13) Akibatnya, mereka lebih menyukai gandum atau beras. (Majalah Bobo, 31 Januari 2015, hal. 14)
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
5
(13a) *Akibatnya, mereka lebih menyukakan gandum atau beras. (13b) *Akibatnya, mereka lebih menyuka gandum atau beras. (13c) *Akibatnya, mereka lebih disuka gandum atau beras. (14) Jawaban pemerintah dalam sidang interpelasi DPR, Selasa lalu, dinilai melukai rasa keadilan masyarakat. (Kompas, 14 Februari 2015) (14a) *Jawaban pemerintah dalam sidang interpelasi DPR, Selasa lalu, dinilai melukakan rasa keadilan masyarakat. (14b) *Jawaban pemerintah dalam sidang interpelasi DPR, Selasa lalu, dinilai meluka rasa keadilan masyarakat. (14c) *Jawaban pemerintah dalam sidang interpelasi DPR, Selasa lalu, dinilai diluka rasa keadilan masyarakat. Verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/di-D pada verba kelas II sebagaimana contoh data (13) dan (14) hanya dapat berdampingan dengan sufiks –i, dan memiliki ciri makna ’kausatif’, yakni ’menjadikan/menyebabkan (objek)
’, sehingga makna yang terkandung pada kedua data tersebut adalah sebagai berikut. - menyukai (data 13) à ’menjadikan/ menyebabkan masyarakat suka ’ - melukai (data 14) à ’menyebabkan rasa keadilan masyarakat luka’ d. Selain bermakna ’kausatif’ seperti pada contoh (13) dan (14), verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/ di-D pada verba kelas II bersufiks –i juga ada yang berciri makna ’lokatif’, yakni ’melakukan (dasar) di/ke’ sebagaimana dapat dilihat pada contoh berikut ini. (15) Karena sangat kecil, kuda laut gampang kelelahan saat mengarungi lautan. (Bobo, 26 Februari 2015 hal 19)
6
(16) Menariknya, Princess Cruises memiliki akses memasuki kawasan situs warisan dunia yang dilindungi oleh UNESCO dalam perjalanan Voyage of the Glaciers dan Inside Passage. (Kompas, 23 Maret 2015) (17) Mengenai proses pergantian kepemimpinan di BI, Burhanuddin menyatakan dengan tegas, ”Setelah masa jabatan saya berakhir, saya tidak berniat menduduki jabatan ini kembali.” (Kompas, 13 Februari 2015) (18) Bahkan, seandainya Anda ingin menyusuri beberapa tempat sekaligus, biro perjalanan wisata juga dapat menyusun rute yang paling menarik yang dapat ditempuh. (Kompas, 20 Maret 2015) (19) Mulai dari melihat proses pengolahan anggur sampai ke hasil akhir mengunjungi kafe dan restoran-restoran yang menyajikan makanan terbaik. (Kompas, 22 Maret 2015) Oleh karena lokasi pada dasarnya menyatakan tempat, verba sufiks –i dengan makna ini sering mempunyai kemiripan makna dengan verba dasar dengan preposisi tertentu, sebagaimana yang terdapat verba transitif memasuki dan menduduki (data 16 dan 17) , yang boleh dikatakan bermakna sama dengan duduk di, masuk ke. e. Verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/di-D pada verba kelas II bersufiks –i juga ada yang berciri makna ’reseptif’, sebagaimana dapat dilihat pada contoh berikut ini. (20) Tidak semua klub mau mendampingi mereka hingga pulih. (Kompas, 17 Maret 2015) f. Verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/di-D, yakni dari VD yang langsung dibentuk menjadi meng-D-kan
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
tanpa melalui meng-D terlebih dahulu dapat dilihat pada beberapa contoh berikut ini. (21) Untuk produk hukum yang berpotensi menimbulkan pergunjingan luas, langkah pembahasan di internal pemerintah mesti dilakukan mendalam dan memperhitungkan semua kemungkinan risiko yang akan terjadi. (Kompas, 8 April 2015) (22) Princess Cruises menyediakan rute cruise yang berbeda, yaitu Northbound/ Southbound – Seven Days Voyage of the Glaciers dan Seven Days Inside Passage (keberangktan dari Seattle, Vancouver, atau San Francisco). (Kompas, 23 Maret 2015) (23) Nety Siregar (7) dan tujuh kawannya menyandang ulos, menari sambil melantunkan pantun mengikuti rampak gondang batak yang diputar agak sember lewat pengeras suara. (Kompas, 13 Maret 2015) (24) Tidak jauh dari mereka, sejumlah orang tua memainkan gondang atau alat musik tradisional Batak yang didominasi kecapi dan seruling. (Kompas, 13 Maret 2015) Beberapa data di atas adalah verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/diD, yang langsung dibentuk menjadi meng-Dkan dan memiliki ciri makna ‘reseptif’ (mau/ dapat menerima). Verba ini (data 19 – 22) tidak dapat diubah menjadi verba yang bersufiks –i (*menimbuli, *menyediai, *melantuni, *memaini) karena tidak berterima. g. Di samping bermakna ’reseptif’, verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/di-D, yang langsung dibentuk menjadi meng-D-kan ada yang bermakna
’lokatif’, sebagaimana dapat dijabarkan berikut ini. (25) Berwisata pun tak lengkap rasanya jika belum memasukkan agenda jelajah kuliner. (Kompas, 22 Maret 2015) (26) Meskipun demikian, sebagi sebuah produk hukum yang berada dalam kuasa Presiden, sangat tak tepat menyandarkan alasan utama penerbitan Perpres No. 39/2015 hanya pada permintaan DPR. (Kompas, 8 April 2015) h. Di samping bermakna ’lokatif’, verba meng-D-kan juga ada yang memiliki ciri makna ’hal’, ’perihal’. (27) Begini, kalau buaya lain bisa menyembunyikan diri *menyembunyi * menyembunyi *disembunyi dari sasaran pemburunya, buaya albino ini tidak bisa. (Majalah Bobo, 3 Januari 2015, hal. 16) (28) Surat kabar itu memberitakan *memberitai *memberita *diberita Dulmatin lari dari Filipina ketika operasi militer yang didukung para penasihat Pasukan Khusus AS dimulai di Basilan dan Sulu digelar dua bulan lalu. (Solopos, 8 Januari 2015) i. Verba bentuk D yang tidak berpasangan dengan meng-D/di-D, yakni dari VD yang langsung dibentuk menjadi meng-D-kan tanpa melalui meng-D yang memiliki ciri makna ’kausatif’ dapat dicontohkan sebagai berikut. (29) Inilah serangan paling berdarah sekaligus sangat mematikan sejak serangan bom ke Kedubes AS di Nairobi pada tahun 2008
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
7
menewaskan *menewasi *menewas *ditewas lebih dari 200 orang. (Kompas, 8 April 2015) (30) Lebah madu menggerakkan *menggeraki *menggerak *digerak sayapnya 180 – 225 kali per detik. (Majalah Bobo, 6 Januari 2015, hal. 30) yang
(31) Kekerasan akan melahirkan *melahiri *melahir *dilahir kekerasan. (Kompas, 8 April 2015) (32) Isi permintaan maaf antara lain, ”Kami meminta maaf atas peraturan, hukum, serta kebijakan yang menyebabkan *menyebabi *menyebab *disebab kesedihan mendalam, penderitaan, dan kehilangan atas sesama rekan Australia.” (Kompas, 14 Februari 2015) j. Selain data-data yang telah diuraikan tersebut, terdapat D yang tak berpasangan dengan meng-D/di-D, tetapi juga tidak dapat berdampingan dengan meng-D-i ataupun meng-D-kan, contohnya dapat dipaparkan di bawah ini. (33) Anak itu pergi merantau *memergi ke seberang *dipergi pulau. *memergikan *memergii k. Dari verba kelas II yakni D takberpasangan dengan meng-D/di-D, yakni dari verba 8
dasar (VD) langsung dibentuk menjadi meng-D-i dan meng-D-kan tanpa melalui meng-D terlebih dahulu dapat ditunjukkan melalui contoh berikut ini. (34) Adik sedang tidur. (34a) Anak itu meniduri lengan ibunya. (34b) Ia biasa menidurkan anaknya dengan bersenandung. Verba tidur pada data (32) termasuk ke dalam verba intransitif. Agar dapat dibentuk menjadi V transitif maka verba tidur harus diikuti dengan sufiks –i atau –kan, sehingga menjadi V meng-D-i meniduri dan V meng-Dkan menidurkan, karena sufiks –i dan –kan ini bersifat mentransitifkan. V bentuk meng-D-i pada meniduri menyatakan adanya Ag yang melakukan perbuatan DV (tidur) di- atau pada O (Anak itu meniduri lengan ibunya). Verba tersebut (meniduri) termasuk verba transitif dan sekaligus mengandung komponen makna ’perbuatan, proses, serta lokatif’. Adapun pada verba menidurkan, pada kalimat (32b) Ia biasa menidurkan anaknya dengan bersenandung , verba bentuk mengD-kan langsung dibentuk dari D tidur, tidak melalui V bentuk meng-D, sehingga tidur + meng-D-kan à menidurkan. Dengan demikian tidak terdapat proporsionalitas yang kontinyu antara V bentuk meng-D dengan V bentuk meng-D-kan. Hal ini menandakan bahwa prosede meng-D-kan tersebut termasuk konfiks. Prosede semacam ini termasuk produktif, karena hampir semua D dari verba intransitif (taktransitif) dapat dibentuk menjadi meng-D-kan dengan prosede tersebut. Verba menidurkan ini (32b) termasuk transitif serta mengandung komponen makna ’perbuatan, proses, dan kausatif’. Apabila V tidur dioposisikan dengan V meniduri, maka akan diketahui nilai kategorial ’adanya Ag yang berbuat D terhadap/pada
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
O’, yang dinyatakan dengan meng-D-i. Berdasarkan atas oposisi ini, maka V tidur termasuk ke dalam kategori yang ’tak bertanda’ (unmarked) , sementara itu V meniduri termasuk kategori yang ’bertanda’ (marked). Begitu pula halnya jika V tidur dioposisikan dengan V menidurkan maka akan dapat diketahui bahwa terdapat nilai kategorial ’adanya Ag yang menjadi O (melakukan) D’ pada menidurkan, yang dinyatakan dengan meng-D-kan. Dengan demikian V tidur termasuk ke dalam kategori yang ’tak bertanda’ (unmarked), sedangkan V menidurkan termasuk kategori yang ’bertanda’ (marked). Berdasarkan oposisi yang terjadi pada kedua bentuk verba tersebut, V mengD-i pada meniduri dan V meng-D-kan pada menidurkan, dapat diketahui perbedaan yang terdapat di dalamnya, yakni antara V bentuk meng-D-i dan V bentuk meng-D-kan yang berasal dari unsur DV yang taktransitif (tidur). Perbedaan itu adalah jika V bentuk meng-D-i mengandung komponen yang berciri makna ’lokatif’, sedangkan V bentuk meng-D-kan mengandung komponen yang berciri makna ’kausatif’. Di samping itu O yang terdapat pada V bentuk meng-D-i dalam keadaan diam, sementara O dari V bentuk meng-D-kan dalam keadaan bergerak. Contoh lain mengenai kontras antara V meng-D-i yang berciri makna ’lokatif’ dan V meng-D-kan yang berciri makna ’kausatif’ adalah sebagai berikut. (33) Promotor musik Adri Subono mendatangi penyanyi Westlife. (34) Promotor musik Adri Subono mendatangkan penyanyi Westlife. Pada verba dasar yang sama (datang) sebagaimana contoh di atas, mendatangi – mendatangkan, makna lokatif dari sufiks –i menimbulkan kontras makna dengan sufiks
–kan. Perbedaannya adalah bahwa dengan sufiks –i, perbuatan yang dinyatakan oleh kata dasar dilakukan oleh pelaku, sementara dengan sufiks –kan pelaku melakukan sesuatu yang mengakibatkan sasaran melakukan perbuatan yang dinyatakan oleh kata dasar. Dengan demikian, pada kalimat (33) pelaku Adri Subono-lah yang datang kepada (kelompok) penyanyi Westlife tersebut, sedangkan pada (34) (kelompok) penyanyi Westlife-lah yang datang, atas undangan yang dilakukan Adri Subono. Dari verba kelas II, D tak berpasangan dengan meng-D/di-D, yakni dari verba dasar (VD) langsung dibentuk menjadi mengD-i dan meng-D-kan tanpa melalui meng-D terlebih dahulu juga dapat ditunjukkan pada data berikut. (35) Bila Hackett memenangi nomor itu di Beijing, ini adalah gelar juara ketiga bagi perenang Australia itu di tiga Olimpiade berbeda. (Kompas, 13 Februari 2015) (36) Malisse, yang menembus babak perempat final di Chennai bulan lalu, dua kali memenangkan turnamen Delray Beach dan lima kali tampil di final sejak tahun 1999 (Kompas, 13 Februari 2015). Terdapat hal yang unik pada bentuk V menang. Verba kelas II ini, yakni D tak berpasangan dengan meng-D/di-D (menang tidak dapat berpasangan dengan memenang dan dimenang), akan tetapi VD menang langsung dibentuk menjadi meng-D-i memenangi dan meng-D-kan memenangkan. Kedua bentuk ini, memenangi dan memenangkan dewasa ini ternyata digunakan secara bersama-sama oleh para pemakai bahasa dengan kandungan makna yang sama. Dengan demikian, kedua bentuk kata ini dapat dikatakan sebagai bentuk bersaing.
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015
9
4. Penutup Artikel ini menunjukkan bahwa pembagian verba kelas I Dan kelas II oleh Uhlenbeck tidak dapat meng-cover secara tuntas verba bahasa Indonesia. Ada saja jenis verba yang tidak mengikuti keteraturan
tersebut. Telah ditunjukkan bahwa verba kelas II pada kata memenangi dan memenangkan tidak mengikuti verba kelas II. Perlu penelitian lebih dalam tentang perilaku verba yang menyimpang dari klasifikasi verba kelas I dan kelas II tersebut.
Daftar Pustaka Alwi, Hasan, dkk.. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Bloomfield, Leonard. 1964. Language. New York: Holt Renehart and Winston. Chafe, Wallace L.. 1970. A Learning and the Structure of Language. Chicago: The University of Chicago Press. Lyons, John. 1968. An Introduction in Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Matthews, P. H.. 1974. Morphology: An Introduction to the Theory of World-Structure. Cambridge: Cambridge University Press. Nida, E. A.. 1949. Morphology the Descriptive Analysis of Words. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Subroto, D. Edi. 1985. “Transposisi dari Adjektiva menjadi Verba dan Sebaliknya dalam Bahasa Jawa”. Disertasi, Universitas Indonesia (tidak diterbitkan). Tim Penyusun. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Tanpa kota: tanpa penerbit Uhlenbeck, E. M.. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa.. Jakarta: Djambatan.
10
Nuansa Indonesia Volume XVII, Nomor 1 Februari 2015