BAB IV KESIMPULAN World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negaranegara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar Negara anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Dalam WTO terdapat aturan dan prosedur tentang penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Prosedur penyelesaian sengketa dagang dalam WTO diatur dalam artikel XXII dan XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). (Artikel XXII dan XXIII GATT 1994 dan Artikel 4 DSU). Terdapat dua cara penyelesaian sengketa di WTO, yaitu: (1) para pihak mencapai solusi melalui kesepakatan, khususnya selama tahap konsultasi bilateral, dan (2) melalui proses peradilan, termasuk pelaksanaan panel dan laporan Appellate Body (AB) secara berurutan, yang berlaku mengikat bagi para pihak setelah disahkan oleh DSB. Dalam hal tersebut, terdapat tiga tahapan utama dalam penyelesaian sengketa di WTO, yaitu: (1) konsultasi antara para pihak, (2) peradilan oleh Panel atau AB, dan (3) penerapan putusan, termasuk kemungkinan tindakan balasan atau counter measures apabila pihak yang kalah gagal melaksanakan hasil putusan. Tujuan dari sistem penyelesaian sengketa WTO adalah agar semua anggota WTO mematuhi komitmen yang telah ditandatangani dan diratifikasinya. Dalam DSU WTO diatur bahwa apabila rekomendasi dan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (legally binding) tidak dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan maka negara tergugat (negara yang
71
kalah) akan diminta untuk memberikan kompensasi (ganti rugi) atau dikenai “retaliasi”. Biasanya kompensasi atau retaliasi diterapkan dalam bentuk konsesi atau akses pasar. Walaupun suatu kasus sudah diputuskan, masih banyak hal yang harus dilakukan sebelum sanksi perdagangan diterapkan. Dalam tahap ini yang penting adalah tergugat harus menyelaraskan kebijakannya dengan rekomendasi atau keputusan DSB. Segera setelah DSB mensahkan laporan panel atau banding, negara yang kalah harus membuat laporan tentang pelaksanaan keputusan DSB tersebut dan bila diperlukan dengan bantuan juri (arbitrator) sebagai pengawas. Retaliasi atau tindakan pembalasan di bidang perdagangan antar Negara dalam kerangka WTO dilakukan oleh suatu Negara sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu kesepakatan dalam proses penyelesaian sengketa. Pengertian yang terdapat dalam ketentuan WTO92, retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan.93 Dalam praktek di WTO, instrumen retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya retaliasi di antara anggota WTO. implementasi retaliasi yang amat jarang dilakukan oleh Negara berkembang disebabkan oleh prosedur pelaksanaannya yang rumit serta memerlukan biaya yang tak sedikit ditambah lagi kentalnya nuansa politis di dalamnya. Apabila Complainant Party telah mengajukan permohonan otorisasi untuk melaksanakan retaliasi, maka dalam jangka waktu 20 (tiga puluh) hari setelah habisnya jangka waktu yang wajar untuk penerapan putusan atau rekomendasi DSB dan tidak adanya kesepakatan mengenai kompensasi, DSB harus memberikan otorisasi pelaksanaan retaliasi apabila retaliasi dilaksanakan masih 92
Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tarrifs on trade restricting measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting party (CP) to impose limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after consultations with countries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by such retaliatory measures should approximate the value of trade affected by the precipitating chage in import protection. 93
Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.
72
dalam lingkup Covered Agreements dan tidak ada penolakan secara konsensus. Dalam pelaksanaan retaliasi, tidak jarang timbul sengketa mengenai seberapa jauh retaliasi boleh dilaksanakan (level of suspension), prinsip, serta prosedur retaliasi. Dalam hal terjadinya sengketa, maka dapat diselesaikan melakui arbitrase.94 Keputusan hasil arbitrase ini bersifat final dan oleh karena itu, keputusan tersebut harus segera diberitahukan kepada DSB untuk diadopsi.95 Setelah keputusan tersebut diadopsi dan tidak ada konsensus yang menolak pemberian otorisasi tersebut, DSB harus memberikan otorisasi kepada Complainant Party untuk melaksanakan retaliasi sesuai dengan keputusan arbitarse. Mengingat tindakan retaliasi adalah tindak yang bersifat sementara (temporarily action) serta digunakan dalam hal terjadi ketidakpatuhan terhadap putusan atau rekomendasi DSB, maka retaliasi dapat dihentikan dalam keadaan tertentu. Keadaan yang paling memungkinkan untuk menghentikan retaliasi adalah saat adanya kepatuhan dari Defendant Party sesuai dengan fungsi DSB, dalam hal sudah terjadi kepatuhan oleh pihak yang kalah, maka DSB tetap harus melakukan pengawasan terhadap penerapan dari putusan atau rekomendasi DSB tersebut. Belum lagi biaya selama proses sengketa dilakukan. Misalnya suatu Negara yang bersengketa harus mengeluarkan biaya untuk membayar seorang expert untuk melakukan kajian dan meminta pertimbangan kalkulasi ekonomi dan politis dari keuntungan atau kerugian jika melakukan retaliasi. Di tambah lagi tekanantekanan oleh para pihak ketiga jika sengketa ini masih berlarut-larut. Oleh sebab itu, banyak Negara yang bersengketa termasuk Negara berkembang memilih untuk menutup kasus ini dengan menandatangi nota kesepakatan (MoU) dari pada memilih untuk melakukan retaliasi. Misalnya dilihat dari contoh, kasus rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat (DS406) dimana Indonesia memilih untuk menutup kasus ini dengan Amerika Serikat dari pada meneruskan dan melakukan retaliasi atas itu. Indonesia berpikir bahwa Indonesia akan mendapatkan keuntungan jauh lebih besar dari pada melakukan retaliasi kepada
94
DSU, Pasal 22 ayat (6).
95
DSU, Pasal 22 ayat (7).
73
Amerika Serikat karena akan berdampak pada hubungan dagang antara kedua Negara ke depannya. Hal yang sama yang dirasakan oleh Indonesia terkait prosedur atau tahapan
retaliasi
yang
nyatanya
menyulitkan
Negara
anggota
untuk
melakukannya. Negara yang ingin melakukan retaliasi nyatanya harus melalui beberapa tahapan prosedur sebelum retaliasi bisa dilakukan. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara tersebut. Dalam kasus Indonesia-Amerika Serikat, Indonesia mengeluarkan biaya sekitar hampir 10 milyar untuk membayar pengacara (expert) dalam memberikan perhitungan kalkulasi ekonomi serta pertimbangan sektor-sektor yang dapat diretaliasi. Indonesia membayangkan jika proses ini diteruskan, berapa banyak biaya lagi yang harus dikeluarkan Indonesia. Setelah Amerika Serikat menawarkan untuk melakukan negosiasi bilateral, Indonesia pun menyutujuinya dan dari hasil pertemuan bilateral tersebut, Indonesia-Amerika Serikat menghasilkan satu MoU yang di dalamnya berisikan beberapa poin penting yang dirasakan akan menguntungkan Indonesia. Beberapa poin penting tersebut antara lain: Amerika Serikat menawarkan memberikan Generalized System of Preferences (GSP) bagi Indonesia pada produk kabel busi, Amerika Serikat memperbolehkan produk cigarillos untuk bisa beredar di negaranya serta Amerika berjanji akan membantu Indonesia untuk mengurangi tindak pelanggaran hak cipta. Beberapa hal yang ditawarkan Indonesia tersebut sudah cukup memberikan keuntungan bagi Indonesia dari pada melakukan retaliasi. Berdasarkan hasil di atas dimana retaliasi amat jarang dilakukan terlebih bagi Negara berkembang, adapun beberapa yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh WTO terkait dalam aturan perdagangannya sehingga peraturan tersebut tidak menyulitkan Negara anggota untuk bisa mengimplementasikannya. Pertama, telah terdapat ketentuan khusus yang berlaku mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh Dispute Settlement Body yang merupakan satu paket ketentuan yang wajib ditaati dan diikuti serta dilaksanakan oleh para anggota WTO sebagai sarana penyelesaian sengketa dagang internasional khususnya bagi para anggota WTO dan setiap keputusannya wajib diikuti tanpa terkecuali.
74
Adapun ketentuan-ketentuan khusus tersebut bagi anggota yang tergolong sebagai negara berkembang terdapat dalam proses forum konsultasi maupun panel. Ketentuan-ketentuan khusus bagi Negara-negara berkembang dalam kaitannya dengan proses konsultasi dan panel dapat ditemukan pada pasal 3 ayat 12, pasal 4 ayat 10, pasal 8 ayat 10, pasal 12 ayat 10 dan pasal 12 ayat 11 DSU. Pasal 24 DSU memberikan ketentuan khusus lainnya bagi anggota yang tergolong negara terbelakang. Ketentuan khusus bagi negara berkembang juga terdapat dalam proses banding, walaupun tidak ada pengaturan khusus yang terdapat dalam DSU. Meskipun begitu, bagi negara berkembang yang berperkara dalam proses banding ini dapat menggunakan Rule 16 (1) dari Working Procedures. Ketentuan khusus lainnya juga terdapat dalam pasal 4 GATS Agreement. Selain itu, pasal 21 ayat 2 DSU juga memberikan ketentuan khusus bagi negara berkembang dalam pelaksanaan putusan-putusan DSB terdapat beberapa keadaankeadaan khusus yang harus dapat dipertimbangkan berkaitan dengan kondisi dalam negeri. Kedua, Berdasarkan pengalaman berperkara Indonesia dalam forum penyelesaian sengketa, diharapkan adanya penyempurnaan pengaturan dalam DSU yang seharusnya dimiliki yang sesuai dan bermanfaat demi kepentingan nasional Indonesia antara lain waktu yang lebih singkat dalam tiap tahapan dalam sistem penyelesaian sengketa WTO, pengaturan pelaksanaan putusan DSB agar lebih efektif, perlunya pengaturan khusus mengenai mekanisme retaliasi dalam DSU, perlunya pengaturan khusus dalam rangka meningkatkan peran sekretariat WTO dalam membantu menyelesaian sengketa yang menghadapkan antara negara maju dan negara berkembang dan perlunya pengaturan khusus dalam meningkatkan fungsi dan peranan DSB pada setiap tahapan proses penyelesaian sengketa (terutama dalam pelaksanaan rekomendasi DSB yang diberikan). Ketiga, hendaknya perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap waktu yang dialokasikan dalam tiap proses penyelesaian sengketa WTO. Hal ini mengingat bahwa waktu yang harus ditempuh oleh para pihak saat ini sejak awal proses sampai dengan proses banding dan adopsi memakan waktu sampai dengan 1,5 tahun lamanya. Peninjauan waktu ini dalam rangka menciptakan sistem yang semakin efektif dalam penyelesaian sengketa dagang internasional. Keempat,
75
hendaknya dilakukan upaya-upaya terpadu yang dilakukan oleh sekretariat WTO dalam rangka meningkatkan keahlian pejabat-pejabat, masyarakat bisnis, sektor swasta, akademisi dan para ahli hukum yang dengan pengetahuan yang cukup dan keahlian dalam berperkara di forum DSB. Sehingga dengan demikian, negara berkembang dapat semakin bersaing dengan negara-negara maju lainnya sebagai pihak yang sejajar dan berdaulat dalam forum WTO dalam rangka menerapkan ketentuan yang ada dan membela kepentingan perdagangan nasional. Setelah penjelasan dari beberapa bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kajian ini merupakan kajian yang cukup penting mengingat keberadaan rezim internasional seperti rezim perdagangan internasional menjadi tonggak bagi Negara-negara yang tergabung di dalamnya. Rezim internasional seperti WTO juga menjadi sangat penting karena menjadi organisasi yang membantu Negaranegara anggota menyelesaikan masalah perdagangan serta hambatan-hambatan perdagangan yang ada. Kemudian, penelitian ini menjadi penting juga karena pada akhirnya kerangka penyelesaian sengketa di WTO dapat menimbulkan masalah baru bagi Negara anggotanya terlebih saat prosedurnya ternyata menyulitkan Negara anggotanya sehingga diperlukan kajian berikutnya agar memberikan gambaran bagi Negara anggota apalagi Negara berkembang untuk melaksanakan tahapan prosedur penyelesaian sengketa termasuk retaliasi. Penelitian ini juga berkontribusi bagi studi Ilmu Hubungan internasional yaitu bagi para pembaca serta bagi institusi-institusi perdagangan serta lainnya agar dapat mempertimbangkan mekanisme atau prosedur dalam membuat suatu kebijakan atau aturan sehingga tidak menimbulkan masalah baru bagi yang menjalankan serta berkontribusi bagi kajian tentang dispute settlement mechanism (DSM) WTO khususnya tentang kajian retaliasi.
76