STUDI ST TATUS FUNGI MIIKORIZA A ARBUSK KULA DI AREAL RE EHABILIT TASI PASCA PENA AMBANG GAN NIKE EL (STUDI KASUS K PT INCO Tbk k. SOROWA AKO, SULA AWESI SEL LATAN)
ARIF SETIA AWAN
D DEPARTE EMEN SIL LVIKULT TUR FAKUL LTAS KEH HUTANA AN IN NSTITUT T PERTAN NIAN BOG GOR 2011
STUDI ST TATUS FUNGI MIIKORIZA A ARBUSK KULA DI AREAL RE EHABILIT TASI PASCA PENA AMBANG GAN NIKE EL (STUDI KASUS K PT INCO Tbk k. SOROWA AKO, SULA AWESI SEL LATAN)
ARIF SETIA AWAN
Skripsi Sebaggai salah satu u syarat untuuk mempero oleh gelar Saarjana Kehuttanan pada Fakuultas Kehutannan Institut Pertanian P Boogor
D DEPARTE EMEN SIL LVIKULT TUR FAKUL LTAS KEH HUTANA AN IN NSTITUT T PERTAN NIAN BOG GOR 2011
ABSTRAK ARIF SETIAWAN. E44062636. Studi Status Fungi Mikoriza Arbuskula di Areal Rehabilitasi Pasca Penambangan Nikel (Studi Kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan). Dibimbing oleh Dr.Ir. Yadi Setiadi, M. Sc. PT INCO Tbk. adalah salah satu perusahaan tambang nikel terbesar di AsiaPasifik dan telah beroperasi secara komersial di Indonesia sejak tahun 1978. Lokasi konsesi PT INCO Tbk. salah satunya berada di daerah Sorowako Sulawesi Selatan dengan luas areal pada saat ini sebesar 218.000 ha. Proses operasi penambangan yang dilakukan adalah proses penambangan terbuka. Proses penambangan ini berdampak hilangnya vegetasi, hal ini akan meningkatkan erosi, hilangnya keanekaragaman hayati, merusak habitat satwa liar dan degradasi areal penyimpan air, untuk itu perlu dilakukan kegiatan revegetasi (Setiadi 1995). Revegetasi yang telah dilakukan terkendala dengan kondisi lahan yang marginal dimana struktur tanah rusak dan tanah bersifat laterik. Tanah akan menjerap unsur Phospat (P) yang sangat penting bagi kehidupan tanaman, sehingga tanah akan miskin akan P-tersedia yang dapat diserap oleh tanaman. Oleh sebab itu perlu dilakukan input teknologi yang efektif dan ramah lingkungan, salah satunya dengan bio-teknologi pupuk hayati Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). FMA memiliki berbagai fungsi, salah satunya adalah peningkatan penyerapan hara terutama P. Untuk itu, penelitian tentang status keberadaan mikoriza perlu dilakukan sebagai pendahuluan untuk penelitian dan aplikasi mikoriza di areal rehabilitasi pasca penambangan nikel. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa FMA berasosiasi dengan seluruh tanaman yang diamati. Beberapa jenis tanaman yang potensial dikembangkan adalah Sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), Sengon albizia (Paraserianthes falcataria), Dengen (Dillenia cerrata), Jati (Tectona grandis), Johar (Senna siamea), Kayu angin (Casuarina equisetifolia), Kayu tanduk (Alstonia spectabilis), dan Ekaliptus (Eucalytus urograndis). Beberapa genus yang yang ditemukan adalah Glomus sp; Acaulospora sp; dan Gigaspora sp. Kata kunci : Rehabilitasi, Tambang, Status, Mikoriza
ABSTRACT ARIF SETIAWAN. E44062636. Study of Arbuscular Mycorrhizal Fungi status at Rehabilitation Post-Nickel Mining Area (Case study at PT INCO Tbk. Sorowako, South Sulawesi). Guided by Dr.Ir. Yadi Setiadi, M. Sc. PT INCO Tbk. is one of the biggest nickel mining company in the AsiaPasific region and has been operated commercially in Indonesia since 1978. It is located at Sorowako, South Sulawesi Indonesia with the area up to 218.000 hectares. The mining operation process is surface mining. It eliminated the existing vegetation, and it will lead to soil erosion, loss of biodiversity, damage of wildlife habitats and degradation of watershed area, considering with these negative impacts a revegetation programme is fully needed (Setiadi 1995). Revegetation that has been done obstacled by the marginal land conditions where soil structure has been damaged and it has became a lateritic soil. It absorbs elements of phosphate (P), which is essential for plant life. It will be poor of Pavailable that can be absorbed by plants. Therefore input for more effective technology and environmentally friendly is needed, among others by applying a bio-technology Arbuscular Mycorrhizal Fungi biofertilizer (AMF). It has some functions, one of them is increasing nutrients absorption, especially P. Therefore, research on the existence of mycorrhizal status needs to be done as an introduction for research and application of mycorrhizal in the rehabilitation field of post- nickel mining. The result of this research is FMA has been associated with all of observed plants. Some potentially plants to be developed are Sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), Sengon albizia (Paraserianthes falcataria), Dengen (Dillenia cerrata), Teak (Tectona grandis), Johar (Senna siamea), Kayu angin (Casuarina equisetifolia), Kayu tanduk (Alstonia spectabilis), and Eucalyptus (Eucalytus Urograndis). Several genera that were found are Glomus sp; Acaulospora sp; and Gigaspora sp. Key word : Rehabilitation, Mining, Status, Mycorrhizal
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Studi Status Fungi Mikoriza Arbuskula di Areal Rehabilitasi Pasca Penambangan Nikel (Studi Kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2010
Arif Setiawan NRP. E44062636
Judul Skripsi
: Studi Status Fungi Mikoriza Arbuskula Di Areal Rehabilitasi Pasca Penambangan Nikel (Studi Kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan).
Nama Mahasiswa
: Arif Setiawan
NRP
: E44062636
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Yadi Setiadi, M. Sc NIP 19551205 198003 1 004
Mengetahui : Ketua Departemen Silvikultur
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr NIP 19641110 199002 1 001
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur tercurah bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat, Hidayah dan RidhoNya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis membahas tentang status fungi mikoriza arbuskula di areal rehabilitasi pasca penambangan nikel (studi kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan). Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluarga, Ayah, Ibu, dan adik-adik tercinta yang selalu mendo’akan, memberi dukungan dan semangat yang tiada henti. 2. Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc selaku dosen pembimbing telah memberikan bimbingan, arahan dan ilmu kepada penulis 3. Hafizah Tarigan yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis. 4. Seluruh staff di bagian Mine Rehabilitation PT INCO Tbk. yang telah banyak membantu dan memfasilitasi dalam pengambilan bahan penelitian. 5. Staff dan pegawai laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, PPSHB IPB atas fasilitas, bantuan dan arahan hingga terselesaikannya penelitan ini. 6. Teman-teman seperjuangan PKP, teman-teman mahasiswa Silvikultur 43 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam proses penelitian. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, November 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Demak, Jawa Tengah pada tanggal 24 Mei 1988, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Sahri Charir dan Suwarni. Penulis memulai pendidikan dasar di SD Negeri 10 Bintoro Demak tamat pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 2 Demak dan tamat pada tahun 2003, selanjutnya meneruskan pendidikan di SMA Negeri 1 Demak dan berhasil tamat pada tahun 2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Pada tahun 2007, penulis masuk di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB. Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu Himpunan profesi Tree Grower Comunity (TGC) sebagai wakil ketua (20072008) dan sebagai ketua divisi Informasi dan Komunikasi (2008-2009). Semasa perkuliahan penulis juga dipercaya untuk menjadi asistem praktikum ekologi hutan semester genap tahun ajaran 2009-2010. Kegiatan praktek yang telah dilakukan oleh penulis dibidang kehutanan yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Baturaden dan Cilacap pada tahun 2008, kemudian Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) pada tahun 2009 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi; KPH Tanggeung, Cianjur; dan Taman Nasional Gunung Gede Pangarango (TNGGP). Pada tahun 2010, penulis melakukan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di PT. INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Studi Status Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula di Areal Rehabilitasi Pasca Penambangan Nikel (Studi Kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan) dibawah bimbingan Dr. Ir. Yadi Setiadi, M. Sc.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR............................................................................
i
DAFTAR TABEL......................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
iv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.......................................................................................
1
1.2 Tujuan....................................................................................................
2
1.3 Manfaat..................................................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Mikoriza...............................................................................
3
2.2 Karakteristik dan Struktur FMA...........................................................
3
2.3 Taksonomi FMA....................................................................................
4
2.4 Penyebaran FMA...................................................................................
5
2.5 Fungsi FMA...........................................................................................
6
2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Infeksi FMA...............................
7
2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kkolonisasi dan Sporulasi FMA
8
2.8 Kondisi Tanah Pasca Penambangan Nikel...........................................
9
2.9 Peran FMA dalam Proses Rehabilitasi Hutan.....................................
9
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat.................................................................................
11
3.2 Bahan dan Alat.......................................................................................
11
3.3 Prosedur Penelitian................................................................................
11
3.3.1 Persiapan Bahan dan Alat..................................................................
11
3.3.2 Pengambilan Contoh Tanah dan Akar..............................................
12
3.3.3 Pengamatan Infeksi Akar...................................................................
12
3.3.4 Perhitungan Infeksi Akar...................................................................
13
3.3.5 Ekstraksi dan Identifikasi Spora........................................................
13
3.3.6 Penangkaran (Trapping) Spora FMA................................................
14
3.3.7 Perhitungan Spora..............................................................................
15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil.......................................................................................................
16
4.2 Pembahasan...........................................................................................
18
4.2.1. Infeksi FMA....................................................................................
18
4.2.2. Genus Spora yang Ditemukan.....................................................
23
4.2.3. Perkembangan FMA pada Areal Rehabilitasi.............................
27
4.2.4. Potensi FMA dalam Revegetasi Lahan Pasca Penambangan Nikel................................................................................................
30
4.2.5. Evaluasi Status FMA...................................................................
31
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan............................................................................................
32
5.2 Saran.......................................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
33
LAMPIRAN...............................................................................................
35
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Taksonomi FMA berdasarkan sekuen rDNA...............................
4
Tabel 2
Status infeksi, miselia dan spora FMA.........................................
16
Tabel 3
Rata-rata kepadatan dan genus spora tiap blok.............................
17
Tabel 4
Analisis tanah................................................................................
17
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Klasifikasi FMA................................................................................
5
Gambar 2.
Hifa (a), Vesikula (b), Arbuskula (c) ..........................................
18
Gambar 3.
Persentase infeksi di blok Petea...............................................
19
Gambar 4.
Persentase infeksi di blok Fiona...............................................
19
Gambar 5.
Persentase infeksi di blok Konde.............................................
20
Gambar 6.
Persentase infeksi di blok Manggali........................................
20
Gambar 7.
Persentase infeksi di blok Debbie............................................
21
Gambar 8.
Persentase infeksi di Nursery...................................................
21
Gambar 9.
Rata-rata persentase infeksi seluruh tanaman.........................
22
Gambar 10.
Glomus sp.1.....................................................................................
25
Gambar 11.
Glomus sp.2.....................................................................................
25
Gambar 12.
Glomus sp.3.....................................................................................
25
Gambar 13.
Glomus sp.4.....................................................................................
25
Gambar 14.
Glomus sp. pada larutan melzer’s reagent..................................
25
Gambar 15.
Acaulospora sp. .............................................................................
26
Gambar 16.
Sporiferous Saccule pada Acaulospora sp. ................................
26
Gambar 17
Acaulospora sp. pada larutan melzer’s reagent.........................
26
Gambar 18
Gigaspora sp. .................................................................................
26
Gambar 19
Bulbous Suspensor pada Gigaspora sp. .....................................
26
Gambar 20
Gigaspora sp. pada larutan melzer’s reagent ............................
27
Gambar 21
Diagram rata-rata kepadatan spora tiap blok..............................
28
Gambar 22
Diagram kepadatan spora pada tiap jenis tanaman....................
29
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Data pohon yang diamati..................................................
36
Lampiran 2.
Tabel kriteria penilaian sifat kimia tanah........................
37
Lampiran 3.
Rekapitulasi data hasil pengamatan..................................
38
Lampiran 4.
Denah lokasi blok pengambilan contoh tanah dan akar...
40
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang PT INCO Tbk. adalah salah satu perusahaan tambang nikel terbesar di AsiaPasifik dan telah beroperasi secara komersial di Indonesia sejak tahun 1978. Lokasi konsesi PT INCO Tbk. salah satunya berada di daerah Sorowako Sulawesi Selatan dengan luas areal pada saat ini sebesar 218.000 ha. Proses operasi penambangan yang dilakukan adalah proses penambangan terbuka, dimana dalam proses ini, mineral tambang diambil dengan membuka lapisan tanah yang ada di atasnya. Proses tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan, seperti rusaknya vegetasi, hewan, tanah dan juga menghilangkan ekosistem yang ada. Dampak negatif dari hilangnya vegetasi antara lain yaitu meningkatnya erosi, hilangnya keanekaragaman hayati, merusak habitat satwa liar, degradasi areal penyimpanan air (Setiadi, 1995), untuk mengurangi dampak negatif yang terjadi maka perlu dilakukan revegetasi. Di lapangan, proses revegetasi ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Area yang akan direvegetasi kondisi tanahnya (fisik, kimia dan biologi) telah rusak (marginal) dan tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik. Bibit pohon yang ditanam banyak yang mati, dan untuk pohon yang bertahan hidup pertumbuhannya tidak maksimal (Setiadi, 1995). Hal tersebut disebabkan karena tanah yang masam, defisiensi P, keracunan logam Al, Fe, maupun Mn, rendahnya aktivitas mikroba dan juga mengalami stress air. Dengan demikian perlu dilakukan usaha-usaha dengan menggunakan input teknologi agar dapat menunjang proses revegetasi tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengaplikasikan peran fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai inokulum. FMA merupakan komponen esensial yang dibutuhkan untuk membantu meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan tanaman, khususnya pada lokasi pasca tambang (Kiernan et al. 1983; Garedner & Malajczuk, 1988; Jasper et al. 1988 dalam Setiadi, 1995) Fungi ini dapat membantu proses revegetasi dengan meningkatkan daya larut mineral, meningkatkan pengambilan nutrisi, mengikat partikel tanah menjadi
2
agregat yang stabil dan meningkatkan toleransi terhadap kekeringan dan keracunan logam (Linderman & Pfleger, 1994; Jasper 1994 dalam Setiadi 1995). Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini dilakukan sebagai studi awal untuk mempelajari status dan potensi mikoriza di areal tambang.
1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai penelitian pendahuluan untuk mengetahui keberadaan fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada berbagai jenis tanaman yang tumbuh di areal rehabilitasi pasca penambangan nikel PT INCO Tbk; serta prospek penggunaannya.
1.3. Manfaat Manfaat dari hasil penelitian ini adalah bertambahnya pengetahuan mengenai genus-genus spora indigenous yang dapat dikembangkan sebagai sumber inokulum untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi hutan pasca penambangan, secara khusus pada penambangan nikel.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian mikoriza Mikoriza adalah suatu struktur akar yang terbentuk sebagai hasil hubungan simbiosis mutualistik antara akar tumbuhan tingkat tinggi dengan jamur. Mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu mykes (cendawan) dan rhiza (akar) Sieverding (1991). Fungi ini pada umunya terdiri dari benang-benang mikroskopik yang disebut hifa dan secara kolektif membentuk miselium. Hifa tersebut bisa bercabang ke segala arah dengan tebal antara 0,5-100 mikron dan panjangnya bisa mencapai beberapa meter.
2.2. Karakteristik dan struktur FMA Berdasarkan bentuk dan cara infeksi jamur terhadap pohon inang mikoriza dapat dikelompokan kedalam dua tipe yaitu endomikoriza dan ektomikoriza. Menurut Setiadi (1989), karakteristik yang membedakan antara endomikoriza dengan ektomikoriza adalah endomikoriza mempunyai ; i) perakaran yang terinfeksi tidak membesar; ii) jamur tidak membentuk selubung hifa pada permukaan akar; iii) hifa menginvasi jaringan korteks secara intra dan inter seluler dan iv) terbentuk struktur khusus sistem percabangan hifa yang disebut arbuskula serta pada sub-ordo tertentu juga terbentuk struktur oval yang disebut vesikula. Ditambahkan oleh Brundett et al. (1996) tipe asosiasi mikoriza yaitu endomikoriza, ektomikoriza, ektendomikoriza, orchid mycorrhizas dan ericoid mycorrhizas. Struktur umum yang dimiliki oleh FMA dapat berupa hifa, arbuskula, vesikula dan spora. Spora disebut juga chlamydospora atau azygospora, dimana spora terbentuk dari membesarnya satu atau lebih subtending-hyfa yang terdapat di dalam tanah atau akar tanaman. Spora FMA mengandung nukleid, lipid dan karbohidrat sehingga dapat menyesuaikan diri (Smith and Reed, 1997 dalam Tuheteru, 2003).
4
Spora adalah struktur FMA yang biasa digunakan untuk bahan identifikasi. Spora yang dihasilkan dari lapangan biasanya jumlahnya relatif sedikit dan sering terserang nematoda. Penangkaran merupakan suatu teknik yang umum digunakan untuk mendapatkan spora FMA yang utuh dan dengan memanipulasi kondisi lingkungan, produksi spora dapat ditingkatkan.
2.3. Taksonomi FMA Taksonomi FMA terus berkembang, hingga saat ini, keanekaragaman FMA dapat dilihat hingga tingkat DNA sebagai dasar informasi genetik tiap jenis makhluk hidup. Dengan demikian tiap jenis dari FMA dapat diketahui dengan lebih akurat. Taksonomi FMA berdasarkan sekuen rDNA (penanda DNA ribosom) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel1. Taksonomi FMA berdasarkan sekuen rDNA Phylum Class Ordo (4) Glomeromycota Glomeromycetes Glomerales Diversisporales
Paraglomerales Archaeosporales
Famili (10) Glomeraceae Gigasporaceae
Genus (14) Glomus Gigaspora Scutellospora Racocetra Acaulosporaceae Acaulospora Entrophosporaceae Entrophospora Pacisporaceae Pacispora Diversisporaceae Diversispora Otospora Paraglomeraceae Paraglomus Geosiphonaceae Geosiphon Ambisporaceae Ambispora Archaeosporaceae Archaeospora Intraspora
Sumber : http://www.lrz.de/~schuessler/amphylo/ [19 Oktober 2010]
INVAM
(2010),
berdasarkan
morfologi
dari
spora,
endomikoriza
dikelompokkan kedalam dua sub-ordo, yaitu Glominae dan Gigasporinae. Pada sub-ordo Glominae, terdapat empat family dan lima genus, antara lain: 1. Family Glomeraceae, terdapat genus Glomus; 2. Family Acaulosporaceae terdapat dua genus yaitu Acaulospora dan Entrophospora; 3. Family Archaeosporaceaee, terdapat genus Archaeospora; 4. Family Paraglomaceae, terdapat genus
5
Paraglomus. Sedangkan sub-ordo Gigasporinae hanya memiliki satu family dan dua genus, yaitu Gigasporaceae dengan genus Gigaspora dan Scutellospora. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Klasifikasi FMA. Sumber : http://INVAM.caf.wvu.edu/fungi/taxonomy/classification.htm [9 september 2010].
2.4. Penyebaran FMA FMA terdapat pada berbagai ekosistem. Penyebaran FMA ini sangat luas di seluruh dunia, mulai dari artik sampai daerah tropis, dan tidak hanya pada habitat darat tetapi
juga pada habitat air. Laporan pertama tentang Fungi MA di
Indonesia (juga yang pertama di daerah tropis), berdasarkan hasil penelitiannya pada sejumlah tanaman di Kebun Raya Cibodas, terdapat kolonisasi mikoriza pada 69 spesies dari 75 yang diperiksanya. Spesies ini termasuk pada 56 famili dari Bryophyta, Pteridophyta, Gymnosperma, dan Angiosperma. (Gerdemann, 1968; Sondergaard and Laegaard, 1977; Janse 1896 dalam Simanungkalit, 1999) Sieverding (1991) mengkompilasi data dari Brazil, Kolombia, dan Zaire tentang keanekaragaman FMA (jumlah spesies FMA) dan mendapatkan pada ekosistem alami 16-21 spesies, ekosistem pertanian dengan masukan rendah 1015 spesies, dan ekosisem pertanian intensif dengan masukan tinggi 6-9 spesies. Data ini memberikan indikasi bahwa keanekaragaman spesies FMA menurun dari ekosistem alami ke ekosistem pertanian. Di Indonesia (Jambi dan Lampung) pada ekosistem hutan didapatkan 7-10 spesies, ekosistem pertanian 8-11 spesies dan
6
pada padang alang-alang 10-11 spesies (Simanungkalit et al. 1999). Menurut Nusantara (2004), sekalipun asosiasinya tidak bersifat spesifik untuk satu jenis atau beberapa jenis tanaman inang namun menariknya FMA ditemui hampir pada semua ekosistem daratan mulai dari dataran semi gurun, lahan terlantar, gumuk pasir (sand dune), padang rumput, semak-semak, hutan, dan lahan pertanian. Namun demikian FMA jarang ditemui pada hutan yang dikuasai oleh pohon berdaun jarum (conifer).
2.5. Fungsi FMA Mikoriza mempunyai beberapa fungsi antara lain (Setiadi, 1989): i) penyerapan unsur hara bagi tanaman terutama unsur P dan unsur hara mikro serta berperan dalam siklus hara; ii) peningkatan pertumbuhan tanaman di bawah kondisi tanah yang tidak cocok, tertekan oleh iklim seperti suhu yang tinggi dan kekeringan; iii) pemeliharaan interaksi antara berbagai jenis mikroorganisme tanah dan dapat mengendalikan mikroorganisme tanah yang bersifat patogenik; iv) perbaikan agregasi tanah serta v) pengatur hormon dan zat pengatur tumbuh tanaman. Selain yang tersebut di atas, Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) juga memiliki potensi yang lain, berikut adalah beberapa potensi biologis dari FMA (Setiadi, 2001) : a. Perbaikan nutrisi tanaman Fungi ini mampu berasosiasi dengan hampir 90 % jenis tanaman. FMA menginfeksi sistem perakaran tanaman inang dan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman inang yang bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Hifa eksternal dari FMA bisa mengirimkan hingga 80% P, 25% N, 10% K, 25% Zn, dan 60 % Cu dari tanaman (Marschner dan Dell, 1994 dalam Setiadi, 1995). b. Sebagai pelindung hayati (bio-protection) FMA telah banyak dilaporkan mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan pathogen tular tanah (pathogen akar) dan dapat membantu pertumbuhan tanaman pada lahan yang sudah tercemar logam berat termasuk areal pasca tambang. Ditambahkan oleh Nusantara (2004) Akar tanaman yang
7
bermikoriza akan terlindung dari serangan patogen akar karena secara fisik dilindungi oleh hifa dan secara kimiawi akar tanaman yang bermikoriza menghasilkan senyawa yang bersifat anti patogen dan dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh bagi tanaman. c. Meningkatkan resistensi terhadap kekeringan Fungi ini mampu meningkatkan resistensi terhadap kekeringan dengan adanya struktur yang dibentuk berupa hifa didalam tanah yang dapat tumbuh panjang sehingga luas bidang penyerapan air juga meningkat. Oleh karena itu penggunaannya sangat efisien untuk membantu pertumbuhan tanaman reboisasi pada areal-areal yang kurang hujan. d. Siklus biogeokimia FMA mempercepat terjadinya suksesi pada habitat-habitat yang mendapat gangguan secara ekstrim. Keberadaannya sangat diperlukan karena berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara sehingga merupakan alat yang sangat efektif untuk memperbaiki stabilitas ekosistem hutan yang terganggu. e. Sinergis dengan mikroorganisme lain Bagi tanaman legum, FMA sangat diperlukan karena diawal pembentukan bintil akar dan aktivitas penambatan N oleh bakteri rhizobium yang terdapat didalamnya
membutuhkan
unsur
Phospat
yang
tinggi.
Berdasarkan
kemampuannya tersebut maka FMA dapat berfungsi meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman. Selain fungsi di atas FMA juga memiliki fungsi untuk mengefisiensikan penggunaan pupuk. Menurut Santoso et al. (2006) Cikal bakal kegiatan RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan) terletak pada kegiatan produksi bibit tanaman hutan di persemaian.
2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi FMA Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi infeksi FMA yaitu kepekaan inang terhadap infeksi, faktor-faktor iklim dan faktor-faktor tanah. Tanaman yang ketergantungannya tinggi terhadap phospat akan cenderung untuk berasosiasi dengan mikoriza (Setiadi, 1990 dalam Tuheteru, 2003)
8
Menurut Fakuara (1988) dalam Tuheteru (2003), intensitas infeksi FMA dipengaruhi oleh berbagai macam faktor meliputi pemupukan, nutrisi tanaman, pestisida, intensitas cahaya, musim, kelembaban tanah, pH, kepadatan inokulum dan tingkat kerentanan tanaman.
2.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi kolonisasi dan sporulasi FMA Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan hifa diantaranya adalah sebagai berikut : 1. pH Setiadi (1992) mengatakan bahwa perkembangan spora FMA sangat dipengaruhi oleh pH tanah, sebagai contoh proses infeksi dan proses pertumbuhan hifa terjadi pada tanaman Caprosoma robusta yang diinfeksi dengan Glomus mossea pada pH 5,6-7,0. Sedangkan pH optimum untuk Glomus sp. antara 5,5-9,5 dan Gigaspora sp. berkisar antara 4-6 (Gunawan, 1993 dalam Tuheteru, 2003). Kemampuan kolonisasi Acaulospora leavis pada kondisi alkalin dan netral akan menurun (Mosse, 1981 dalam Tuheteru, 2003). 2. Kandungan hara tanah Menurut Hepper (1983) dalam Tuheteru (2003) Glomus mossea dan Glomus caledum terhambat perkecambahannya pada konsentrasi P yang tinggi, walupun berkecambah namun mengalami kerusakan dan pertumbuhan saluran kecambah terhambat. 3. Cahaya Besarnya
intensitas
cahaya
berimplikasi
pada
banyak
sedikitnya
pembentukkan FMA. Hal ini disebabkan karena cahaya matahari berperan dalam pembentukkan karbohidrat melalui asimilasi karbon yang selanjutnya FMA akan menggunakan karbon tersebut sebagai sumber energi bagi pertumbuhannya (Fakuara, 1988 dalam Tuheteru, 2003) 4. Suhu Suhu tanah yang tinggi umumnya dapat meningkatkan kolonisasi dan sporulasi. Kolonisasi miselium pada permukaan akar paling baik pada suhu antara 28-34 oC. Perkecambahan spora Gigaspora sp. Berkembang baik pada temperatur
9
34 oC, sedangkan Glomus sp. Pada suhu 20 oC (Gunawan, 1993; Setiadi, 1990 dalam Tuheteru, 2003) 5. Oksigen Menurut Setiadi (1992) bahwa penurunan konsentrasi O2 dapat menghambat perkecambahan spora FMA dan kolonisasi akar.
2.8. Kondisi tanah pasca penambangan nikel Tanah pada lahan bekas penambangan akan mengalami kerusakan (fisik, kimia, biologi) dan lahan menjadi marginal sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Tanah ini juga bersifat lateritik, dimana tanah akan mengikat unsur Phospat (P). Unsur P hanya dapat diserap oleh tanaman dalam bentuk ion H2PO4- atau HPO42-, namun untuk tanah yang mengalami keracunan logam berat (Al3+, Fe2+, Mn2+, Ca2+, ataupun Mg2+) unsur P akan terikat pada logam berat tersebut, sehingga tanah mengalami jenuh P, akibatnya tanah menjadi miskin akan P-tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Menurut Ernita (2004), Unsur P merupakan unsur hara makro bagi tumbuhan. Dimana P berperan dalam proses fotosintesis, metabolisme karbohidrat, dan transfer energi dalam tubuh tanaman. Namun masalah unsur P adalah ketersediaannya yang rendah pada pH rendah (masam) karena terjerap oleh unsur Al3+, Mn2+ maupun Fe2+. Penambahan P dengan pemupukkan kimia akan mengakibatkan tanah jenuh P dan akan mencemari lingkungan dan menjadi tindakan pemborosan.
2.9. Peran FMA dalam proses rehabilitasi hutan Salah satu peran FMA adalah dapat meningkatkan P-tersedia dan unsur hara mikro lain dalam tanah (Setiadi, 1989), hal ini karena FMA mampu mengkhelat/ memecah P yang terikat oleh unsur Al3+, Mn2+ maupun Fe2+ dengan mengeluarkan asam-asam organik (Ernita, 2004). FMA juga dapat memacu perkembangan bakteri pelarut phospat, Azotobacter dan mikroorganisme lain yang dapat meningkatkan kesuburan tanah serta mempercepat perbaikan siklus nutrisi dan terbentuknya kembali ekosistem yang telah rusak. Selain itu, dengan adanya asosiasi FMA dalam tanah, akan
10
mampu memperbaiki fisik tanah dimana FMA meningkatkan kestabilan agregat tanah (Setiadi, 1995) sehingga memiliki daya dukung pertumbuhan tanaman. Sehubungan dengan fungsi di atas, maka penelitian tentang studi status FMA di wilayah tambang perlu dievaluasi, untuk melihat potensi pengembangan FMA sebagai pupuk hayati untuk rehabilitasi lahan pasca tambang.
11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan dari bulan Mei sampai Oktober 2010. Pengambilan contoh tanah dan akar tanaman dilakukan di persemaian dan areal rehabilitasi pasca tambang PT INCO Tbk, sedangkan analisis contoh tanah dan akar tanaman dilakukan di laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, dan rumah kaca laboratorium Ekologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB.
3.2. Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar tanaman dari areal rehabilitasi dan persemaian PT INCO, benih Pueraria javanica, pupuk Hyponex-red, zeolit, Sunclin™, larutan glukosa 60%, KOH 10%, HCL 2%, larutan Trypan Blue 0,05%, melzer’s reagent dan Aquades. Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan contoh tanah dan akar tanaman adalah sekop, kantong plastik, spidol dan kertas label. Sedangkan untuk pengamatan di laboratorium adalah saringan spora (saringan bertingkat dua dengan ukuran 715 µm, dan 45 µm), sentrifuse, pipet plastik, pinset spora, mikroskop, kaca preparat, cover glass, petridish, pipet, timbangan analitik, gunting akar, sprayer dan pot plastik ukuran 200 cc.
3.3. Prosedur kerja 3.3.1. Persiapan bahan dan alat. Bahan dan alat yang perlu dipersiapkan adalah larutan Trypan Blue 0,05%, melzer’s reagent, larutan glukosa 60%, pupuk Hyponex-red (dosis 1 gram dilarutkan dalam 1 liter air), saringan spora dan mikroskop.
12
3.3.2. Pengambilan contoh tanah dan akar. Pengambilan contoh tanah dan akar serabut beberapa jenis tanaman (Lampiran 1) dilakukan di areal rehabilitasi pasca penambangan dan persemaian PT INCO Tbk. Pengambilan contoh dilakukan pada areal yang dapat mewakili keadaan areal tambang secara umum, pada penelitian ini contoh tanah dan akar diambil dari 5 blok yaitu di blok Manggali, Konde, Fiona, Debbie, dan Petea. Pengambilan contoh tanah dari lapangan dilakukan dengan cara mengambil tanah dengan sekop sebanyak ± 200 gram untuk setiap contoh. Contoh tanah yang diambil adalah tanah di sekitar akar atau daerah rhizosfer dengan kedalaman 1020 cm. Sedangkan untuk pengambilan contoh akar, diambil akar serabut dari masing-masing pohon. Kemudian setiap contoh tanah dan akar yang diambil di masukkan ke dalam plastik dan diberi label sesuai dengan jenis pohon dan lokasi pengambilan. Contoh diambil sebanyak dua ulangan tiap tanaman, hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam transportasi contoh tanah dan akar dari lokasi pengambilan hingga ke laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan. Untuk pengambilan contoh tanah dan akar dari persemaian, dilakukan dengan cara, memotong bibit pada leher akar setinggi ± 1 cm dari media, hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam pembungkusan contoh media dan akar. Kemudian media dan akar tanaman yang masih berada dalam polybag, dimasukkan ke dalam plastik dan diberi label. Contoh yang diambil sebanyak dua contoh tiap tanaman. 3.3.3. Pengamatan infeksi akar Untuk dapat melihat infeksi akar, perlu dilakukan pewarnaan akar. Pewarnaan akar dilakukan dengan metode Phillips dan Hyman (1970) yang dimodifikasi. Tahapan pewarnaan tersebut ialah : 1. Contoh akar di lapangan dipotong dan diambil akar serabut pada bagian samping kiri dan samping kanan, dari batang pokok. 2. Pada saat di laboratorium, akar yang akan diamati dicuci dengan air mengalir hingga kotoran dan tanah yang menempel hilang. 3. Akar direndam dalam larutan KOH 10%, sampai akar berwarna putih atau kuning bening, hal ini dilakukan agar proses pewarnaan dapat optimal (tidak gelap) dan akar bisa diamati di bawah mikroskop.
13
4. Akar dibilas dengan air bersih agar KOH-nya hilang. 5. Akar direndam dalam larutan HCl 2% selama ±24 jam. Hal ini dilakukan agar proses pewarnaan yang akan dilakukan dapat terjadi dengan sempurna (berwarna biru), dimana larutan pewarna (stainning) akan menempel dengan baik pada pH normal (akar akan berwarna kemerahan apabila pH terlalu tinggi). Setelah direndam dalam larutan KOH (basa), pH akar menjadi normal bila direndam dalam larutan HCl (asam). 6. Akar dibilas dengan air bersih agar HCl-nya hilang. 7. Akar direndam dengan larutan staining Trypan Blue 0,05% sampai akar berwarna biru Setelah pewarnaan selesai, maka contoh akar dapat diamati. Untuk pengamatan akar, dilakukan dengan memotong akar yang telah diwarnai sepanjang 1 cm, kemudian akar ditata di atas preparat dan ditutup dengan cover glass, jumlah akar tiap preparat sebanyak 10 potong. Setelah preparat siap, maka langsung diamati di bawah mikroskop. Infeksi akar dapat dilihat melalui adanya vesikula, arbuskula maupun hifa yang menginfeksi akar 3.3.4. Perhitungan infeksi akar Perhitungan infeksi akar digunakan rumus Giovannety dan Mosse (1980) sebagai berikut : Akar terinfeksi (%) =
∑contoh akar terinfeksi ∑contoh seluruh akar yang diamati
X 100%
3.3.5. Ekstraksi dan identifikasi spora. Ekstraksi spora dilakukan agar spora terpisah dari contoh tanah sehingga indentifikasi spora FMA dan jumlahnya dapat diketahui. Teknik tuang-saring dari Pacioni (1992) adalah teknik yang digunakan untuk mengekstraksi spora. Prosedur kerja teknik tuang-saring Pacioni, pertama, contoh tanah sebanyak 50 gram dicampurkan dengan 400-500 ml air dan diaduk sampai butiran-butiran tanahnya hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 710 µm dan 45 µm, secara berurutan dari atas ke bawah. Saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian
14
saringan paling atas dilepas, dan pada saringan kedua tersisa sejumlah tanah yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse. Setelah didapatkan hasil saringan tanah dalam tabung sentrifuse, langkah selanjutnya adalah tabung tersebut di sentrifuse dengan teknik sentrifugasi dari Brundet et al. (1996). Hasil saringan tanah dalam tabung sentrifuse ditambahkan glukosa 60%
sampai 2/3 isi tabung. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan di
sentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Selanjutnya cairan yang bening diambil dan dituangkan ke dalam saringan yang berukuran 45 µm, lalu dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan gulanya. Setelah dicuci, spora yang ada dipindahkan ke dalam cawan petri dan dihitung jumlahnya atau diidentifikasi. Identifikasi menggunakan metode Schenk dan Perez (1990), spora diidentifikasi dengan pengamatan morfologi spora dan preparat slide spora yang diwarnai dengan pewarnaan melzer’s reagent. Berdasarkan keberadaan struktur spora, FMA ditentukan genusnya. 3.3.6. Penangkaran (trapping) spora FMA Ada kemungkinan spora tidak teramati apabila pengamatan dilakukan dari contoh tanah secara langsung, hal ini karena mikoriza masih dalam bentuk miselia dan belum menghasilkan spora. Trapping atau penangkaran spora dilakukan untuk mengembangbiakan spora dari contoh tanah yang telah diambil, sehingga dapat diketahui keseluruhan jenis spora. Teknik trapping yang digunakan mengikuti metode Brundrett et al. (1996) dengan metode kultur pot terbuka yang dimodifikasi yaitu dengan menggunakan tanaman inang Pueraria javanica dan media yang digunakan untuk trapping adalah batuan zeolit. 1. Penyiapan media Menurut Setiadi dan Hariangbanga (2009) beberapa media yang telah diuji kelayakannya diantaranya adalah pasir kali, zeolit, dan batuan lunak. Media yang dipakai perlu dicuci bersih dan bebas dari partikel-partikel tanah. Pada penelitian ini digunakan media zeolit. Trapping dilakukan dengan cara pot ukuran 200 cc diisi dengan zeolit hingga setengah volume pot, kemudian disi dengan contoh tanah sebanyak 50 gram, dan terakhir ditutup kembali dengan zeolit, sehingga media akan tersusun atas zeolit - contoh tanah – zeolite (Delvian, 2006).
15
2. Pemilihan tanaman inang Tanaman inang yang dapat dipakai adalah tanaman yang terbukti cocok dengan jenis-jenis FMA dan media. Beberapa jenis yang dapat dipakai adalah sorgum, tegetes, ceplukan, pueraria, dan rumput sudan grass (Setiadi dan Hariangbanga, 2009). Tanaman inang yang digunakan untuk penelitian ini adalah Pueraria javanica. Sebelum benih disemai, terlebih dahulu disterilkan dengan direndam dalam larutan chlorox (SunclinTM) 5% selama 5-10 menit dengan tujuan sterilisasi permukaan, kemudian benih dibilas hingga baunya hilang. Setelah itu benih direndam dengan air hangat selama 24 jam untuk mematahkan dormansi benih. Kemudian benih disemai dalam bak kecambah sampai muncul dua helai daun, setelah itu semai ditanam pada media yang telah disiapkan (Delvian, 2006). 3. Pemeliharaan Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyiraman sebanyak 20 cc setiap dua kali sehari di pagi dan sore hari. Selain itu juga dilakukan pemupukkan setiap dua kali dalam seminggu menggunakan pupuk Hyponex-red (dosis 1 gram dilarutkan dalam 1 liter air) sebanyak 20 ml per pot (Delvian, 2006) . 4. Pengeringan dan Pemanenan Hasil Trapping. Menurut INVAM (2010), kultur paling tidak berumur empat bulan untuk dapat dipanen. Pada saat kultur berumur 3,5 bulan, penyiraman dan pemupukkan dihentikan dan tanaman dibiarkan mengering perlahan. Setelah kultur berumur 4 bulan dilakukan pemanenan dengan cara memotong batang tanaman inang. Hasil dari trapping berupa inokulum spora yang akan diproses lebih lanjut yaitu ekstraksi dan identifikasi spora. 5. Ekstraksi dan identifikasi spora dari hasil penangkaran (trapping). Ekstraksi dan identifikasi spora menggunakan teknik yang sama dengan ekstraksi dan identifikasi spora langsung dari contoh tanah, namun pada spora hasil trapping tidak perlu digunakan teknik sentrifugasi. 3.3.7. Perhitungan spora Perhitungan spora dilakukan untuk mengetahui kepadatan spora. Kepadatan spora tiap 50 gram tanah dihitung dengan rumus : Kepadatan spora = jumlah spora / 50 gram
16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Berdasarkan hasil identifikasi spora, miselia dan infeksi FMA, didapatkan hasil status FMA yang disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Status infeksi, miselia dan spora FMA No
Jenis tanaman
Nama latin
Infeksi Miselia Spora
Genus Spora
1
Belulang
Stemonurus celebicus
+++
++
+
G
2
Betao
Calophyllum spp.
++
+
+
G
3
Bitti
Vitex cofassus
++
++
+
G, A
4
Buri
Weinmannia blumei
++
+
+
G
5
Dengen
Dillenia cerrata
+++
+++
+
G, A
6
Ekaliptus
Eucalyptus urograndis
++
++
+
G, A, Gi
7
Ficus
Ficus spp.
+++
+
+
G, Gi
8
Jambu-jambu
Syzygium spp.
++
+
+
G
9
Jati
Tectona grandis
+++
+++
++
G
10
Johar
Senna siamea
++
++
++
G, A, Gi
11
Kayu angin
Casuarina equisetifolia
+++
++
++
G, A, Gi
12
Kayu tanduk
Alstonia spectabilis
+++
+++
++
G, Gi
13
Kolaka
Maranthes corymbosa
++
+
+
G
14
Krei payung
Filicium decipiens
+
+
+
G
15
Malotus
Malotus sp.
++
++
++
G, A
16
Nyatoh
Palaquium obovatum
+
+
+
G
17
Saga
Adenanthera pavonina
++
+
+++
G
18
Sengon albizia Paraserianthes falcataria
+++
++
++
G, A, Gi
19
Sengon buto
Enterolobium cyclocarpum
+++
+++
+++
G, A, Gi
20
Uru
Elmerillia tsiampacca
+
+
+
G, A
Keterangan: +++ = Banyak, ++ = Sedang, + = Sedikit Genus spora: G : Glomus sp. A : Acaulospora sp. Gi : Gigaspora sp.
% infeksi : ≥75% 51-74% ≤50%
: Banyak : Sedang : Sedikit
Jumlah spora : ≥ 200 101 – 199 ≤ 100
: Banyak : Sedang : Sedikit
17
Dari hasil rekapitulasi data hasil penelitian tiap blok, diketahui rata-rata kepadatan genus spora / 50 gram pada masing-masing blok. Hasil yang didapatkan disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Rata-rata kepadatan dan genus spora tiap blok Blok
Rata-rata kepadatan spora / 50 g
Genus spora
Fiona Petea Manggali Konde Debbie Nursery
253 234 209 122 55 46
Glomus sp; Acaulospora sp; Gigaspora sp. Glomus sp; Acaulospora sp. Glomus sp; Acaulospora sp Glomus sp; Acaulospora sp; Gigaspora sp. Glomus sp; Acaulospora sp; Gigaspora sp. Glomus sp; Acaulospora sp.
Dalam penelitian ini dilakukan pula analisis tanah. Analisis tanah dilakukan di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Analisis tanah TEKSTUR (%) Lokasi
pH
BO (%)
N (%)
P (ppm)
K (ppm)
Al
H
(me/100g)
(me/100g)
Liat
Debu
Pasir
Jenis
Debbie
6,5
1,75
0,18
4,3
70
Tr
0,08
17,36
55,29
27,35
lempung berdebu
Fiona
6,6
1,83
0,17
4,6
38,75
Tr
0,08
14,79
50,89
34,32
lempung berdebu
Konde
6,7
1,99
0,19
4,1
30
Tr
0,04
14,01
65,87
20,12
lempung berdebu
Manggali
6,5
2,15
0,2
3,9
52,5
Tr
0,08
15,58
56,17
28,25
lempung berdebu
Nursery
6,7
5,98
0,52
18,6
154,3
Tr
0,04
22,83
18,58
58,59
lempung berpasir
Petea
6,6
1,11
0,12
9,4
56,25
Tr
0,04
20,98
44,25
34,77
lempung berdebu
Keterangan : Tr = Tidak terukur Sumber : Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB
18
4.2. Pembahasan 4.2.1. Infeksi FMA Terjadinya asosiasi antara fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat diketahui dengan ada tidaknya infeksi yang yang terjadi. Infeksi FMA dapat diketahui dengan adanya struktur-struktur yang dihasilkan oleh FMA antara lain, yaitu : hifa, miselia, vesikula, arbuskula, maupun spora. Hifa adalah salah satu struktur dari FMA berbentuk seperti benang-benang halus yang berfungsi sebagai penyerap unsur hara dari luar. Miselia merupakan kumpulan dari hifa. Arbuskula adalah unit kolonisasi yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya dan menembus dinding sel serta membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang, struktur ini berperan sebagai tempat pertukaran unsur hara dan karbon. Vesikula adalah struktur menggelembung yang dibentuk pada hifa-hifa utama, berfungsi sebagai organ penyimpan. Struktur ini juga berfungsi sebagai spora istirahat (Gunawan, 1993; Hudson, 1989; dan Setiadi, 1989 dalam Tuheteru, 2003). Dengan adanya satu atau lebih struktur FMA tersebut, maka dapat dikatakan terjadi infeksi oleh FMA. Dari hasil pengamatan, beberapa struktur yang ditemukan dalam contoh akar antara lain, yaitu : hifa, miselia, vesikula dan arbuskula. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.
(a)
Arbuskula
Vesikula
Hifa
(b)
(c)
Gambar 2. Struktur FMA di dalam akar, (a) Hifa, (b) Vesikula, (c) Arbuskula. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa 100% tanaman atau seluruh tanaman telah terinfeksi oleh FMA. Hal ini menunjukkan bahwa asosiasi antara FMA dengan akar tanaman berkembang sangat baik. selain itu dapat dikatakan
19
b bahwa tanam man revegetasi areal bekas penam mbangan mem merlukan FMA untuk d dapat bertah han hidup, dan d dari haasil ini dapaat dilihat baahwa pemakkaian FMA s sebagai pupuuk hayati sanngat prospekktif. Namun n persentasee infeksi tiaap tanaman berbeda saatu dengan yang lain. U Untuk di blok b Petea ditemukan 6 jenis tan naman, maasing-masingg memiliki infeksi yang p persentaase g berbeda-beeda. Infeksi tanaman pada blok ini cukup c baik d dimana terdaapat 3 jenis dengan perssentase infekksi ≥75 %, 2 jenis tanam man dengan p persentase innfeksi 51-74 4%, dan hannya 1 tanam man yang terrinfeksi ≤50 0 %. Untuk l lebih jelasnyya dapat dilihhat pada gam mbar 3. 100%
100 0% 80%
80%
70%
7 75%
65% 50%
60% 40% 20% 0 0% Ekaliptus % Infeksi
Johar
Kayu angin
Saga
Malotus
Se engon b buto
Gamb bar 3. Persenntase infeksii di blok Petea Untuk k di blok Fiona F ditem mukan 7 jen nis tanamann dan masiing-masing m memiliki peersentaase in nfeksi yang berbeda-bed da. Infeksi ttanaman pad da blok ini c cukup baik dimana terddapat 4 jeniis dengan peersentase innfeksi ≥75 %, 2 jenis t tanaman den ngan persenttase infeksi 51-74%, dann hanya 1 taanaman yang g terinfeksi ≤ %. Untu ≤50 uk lebih jelasnya dapat dilihat d pada gambar g 4. 100% % 80%
85% 8
90%
100%
Sengon n albizia a
Sengon buto
80% % 60% 60% %
% 55%
50%
40% % 20% % 0% % Ekaliptus % Infeksi
Johar
Kayu angin
K Kayu tanduk
Gambaar 4. Persenttase infeksi ddi blok Fionna
Malo otus
20
t dann masing-m masing juga Di blook Konde juuga ditemukkan 7 jenis tanaman m memiliki peersentaase in nfeksi yang berbeda-bed da. Infeksi ttanaman pad da blok ini c cukup baik dimana terddapat 3 jeniis dengan peersentase innfeksi ≥75 %, 3 jenis t tanaman den ngan persenttase infeksi 51-74%, dann hanya 1 taanaman yang g terinfeksi ≤ %. Untu ≤50 uk lebih jelasnya dapat dilihat d pada gambar g 5. 100% %
95%
100%
80% %
0% 70
75% 65%
60% 60% %
50%
40% % 20% % 0% % Dengen Ekaliptus
JJohar
Ka ayu % Infek gin anksi
Malotu us
Sengon albizia
Sengon buto
Gambaar 5. Persenttase infeksi ddi blok Kondde Untuk k di blok Manggali M hannya ditemukkan 4 jenis tanaman daan masingm masing jugaa memiliki persentaase infeksi yan ng berbeda-bbeda. Infekssi tanaman p pada blok ini sangat baik dimanna terdapat semua jennis tanaman n memiliki p persentase innfeksi ≥75 %. % Untuk lebbih jelasnya dapat dilihaat pada gambbar 6.
100%
95%
85%
100%
75%
80% 60% 40% 20% 0% Ekaliptus
Kayu angin Malotus % Infeks si
o Sengon buto
G Gambar 6. Persentase P innfeksi di blokk Manggali Sedang gkan di blokk Debbie dittemukan 10 jenis tanam man dan masiing-masing j juga memiliiki persentaaase infeksi yang y berbedaa-beda. Infekksi tanaman n pada blok i cukup baaik dimana terdapat ini t 4 jeenis dengan persentase iinfeksi ≥75 %, 5 jenis
21
t tanaman den ngan persenttase infeksi 51-74%, dann hanya 1 taanaman yang g terinfeksi ≤ %. Untu ≤50 uk lebih jelasnya dapat dilihat d pada gambar g 7.
100% %
90%
90% % 80% %
75 5%
75%
70% %
80%
60%
65% %
60%
70%
65%
60% %
50%
50% % 40% % 30% % 20% % 10% % 0% %
% Infeksi
G Gambar 7. Persentase P innfeksi di blokk Debbie Terakhhir adalah dii Nursery diimana ditem mukan 9 jeniss tanaman daan masingm masing jugaa memiliki persentaase infeksi yan ng berbeda-bbeda. Infekssi tanaman p pada blok in ni sedang dim mana terdapaat hanya 2 jeenis dengan persentase p in nfeksi ≥75 % 4 jenis tanaman deengan perseentase infeksi 51-74%, dan 3 tanaaman yang %, t terinfeksi ≤550 %. Untukk lebih jelasnnya dapat dilihat pada gaambar 8.
10 00% 9 90% 8 80% 7 70% 6 60% 5 50% 4 40% 3 30% 2 20% 10% 0%
100%
95% 70% %
70%
65%
60%
50%
45% 35%
% Infeks si
G Gambar 8. Persentase P innfeksi di Nurrsery
22
Secaraa keseluruhaan, persentasse infeksi seeluruh tanam man yang adda memiliki r rata-rata perrsentase infekksi seperti pada gambar 9. 95% 95% 100% % 90% % 80% 78% 75% 75% 75% 7 73% 73% 80% % 75% 70% % 65 5% % 64% 70% % 60% 60% 58% 53% 60% % % 50% 5 50% 50% % 35% 40% % 30% % 20% % 10% % 0% %
Rata-rata a % infeksi
Gambaar 9. Rata-raata persentasse infeksi seeluruh tanam man Keteraangan % infeeksi : ≥75% : Banyak; 51-74% : Seddang; ≤50% : Sedikit t tanaaman memilliki persentaase infeksi yyang berbedaa-beda, hal Pada tiap-tiap i kemungkkinan disebaabkan oleh perbedaan beeberapa faktoor yang mem ini mpengaruhi i infeksi mikooriza terhadap tanaman, antara lain n yaitu : kebbergantungaan tanaman t terhadap miikoriza, efekktifitas isolaat, maupun kondisi nuttrisi terutam ma unsur P ( (Setiadi, 19995). Secaraa umum rataa-rata infekssi yang terjaadi cukup baaik, dimana terdapat 8 j jenis tanamaan yang teriinfeksi ≥75% %, 11 jenis tanaman denngan infeksii 51-74% , d hanya 3 tanaman yang dan y terinfekksi ≤50%. Jeenis-jenis tannaman dapaat dilihat di g gambar 9 diaatas. Dari diagram d diataas, rata-rata persentase infeksi tertinnggi terdapatt pada jenis S Sengon butoo (Enterolob bium cycloccarpum) dann juga Denggen (Dilleniia cerrata) d dengan perssentase infekksi mencapaii 95%. Senngon buto m merupakan jenis eksotik y yang digun nakan untukk revegetasi, jenis ini termasuk ppohon cepaat tumbuh. S Sedangkan Dengen meerupakan jennis lokal yang y digunakkan untuk revegetasi. K Kedua jenis ini sangat potensial untuuk dikemban ngkan dengaan mikoriza.
23
Berdasarkan persentase infeksi dan miselia, selain jenis Sengon buto dan Dengen, juga terdapat beberapa jenis lain yang potensial dikembangkan dengan mikoriza antara lain yaitu : Jati (Tectona grandis), Johar (Senna siamea), Kayu angin (Casuarina equisetifolia), Kayu tanduk (Alstonia spectabilis) dan juga Sengon albizia (Paraserianthes falcataria). Jati terbukti memiliki kompabilitas yang baik terhadap asosiasi FMA di KPH Cepu dan KPH Saradan, hal ini ditunjukkan dengan tingginya persen kolonisasi dan peningkatan pertumbuhan (Nurmalasari, 2009). Habte (2000) mengelompokkan Johar, Sengon buto dan Sengon albizia kedalam kelompok dengan tingkat kebergantungan yang tinggi (Highly dependent) terhadap mikoriza, hal ini menunjukkan bahwa tanaman tersebut memerlukan asosiasi dengan mikoriza untuk dapat tumbuh maksimal. Walaupun hasil dari pengamatan menunjukkan bahwa seluruh jenis tanaman terinfeksi mikoriza, akan tetapi tidak semua jenis tanaman selalu memberikan respon positif terhadap aplikasi FMA. Hal ini selain ditentukan oleh tingkat efektivitas isolat dan status nutrisi substrat yang dipakai, juga sangat ditentukan oleh ketergantungan tanaman tersebut terhadap mikoriza (Setiadi, 1995). 4.2.2. Genus spora yang ditemukan Dalam penelitian ini evaluasi status FMA hanya dibatasi hingga tingkat genus. Dari hasil pengamatan, diperoleh tiga genus dari tujuh genus FMA yang ada. Genus terbanyak yang ditemukan antara lain, yaitu: Glomus sp; Acaulospora sp; dan Gigaspora sp. Dari hasil beberapa penelitian ketiga genus tersebut telah teruji efektif dan mampu berkembang dengan baik pada areal revegetasi sehingga dapat dikembangkan sebagai inokulum yang efektif. Glomus sp. dan Acaulospora sp. ditemukan disemua blok, namun untuk Gigaspora sp. hanya ditemukan di tiga blok saja, yaitu Fiona, Konde dan Debbie. Hal ini kemungkinan disebabkan karena Gigaspora sp. berkembang baik pada pH tanah antara 4-6. Selain itu Gigaspora akan berkembang baik pada tanah dengan tekstur pasir tinggi, namun akan menurun perkembangannya pada tanah yang memiliki kandungan liat yang tinggi, pada tanah bekas penambangan nikel menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki kandungan liat yang tinggi (lempung berdebu). Pada penelitian yang dilakukan oleh Siradz SA dan Kabirun S (2003),
24
menunjukkan bahwa perkembangan Gigaspora sp. sangat baik di lahan pantai dengan tekstur pasir >80%. Dari hasil penelitian diketahui bahwa Glomus sp. berasosiasi dengan semua jenis tanaman yang diamati, sedangkan Acaulospora sp. berasosiasi dengan 9 jenis tanaman, dan Gigaspora sp. hanya berasosiasi dengan 7 jenis tanaman. Dengan demikian diketahui bahwa Gigaspora sp. memiliki kecenderungan lebih spesifik untuk berasosiasi dengan tanaman bila dibadingkan dengan Acaulospora sp. dan Glomus sp. Apabila dilihat dari genus spora yang berasosiasi, beberapa jenis tanaman yang potensial dikembangkan dengan FMA adalah Ekaliptus (Eucalyptus urograndis), Johar (Senna siamea), Kayu angin (Casuarina equisetifolia), Sengon albizia (Paraserianthes falcataria), dan juga sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), dimana jenis-jenis tersebut berasosiasi dengan ketiga genus spora yang ditemukan. Dengan kemampuan jenis-jenis tersebut berasosiasi dengan berbagai genus FMA (multispora), maka semakin besar peluang jenis tersebut berasosiasi dengan FMA. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk bertahan hidup dan tumbuh pada areal pasca penambagan. Glomus sp. adalah genus mikoriza dari family glomaceae. Genus ini memiliki keberagaman jenis tertinggi dari yang lain, beberapa ciri khas dari genus ini yaitu spora terbentuk secara tunggal ataupun berpasangan dua pada terminal hifa non-gametangium yang tidak berdiferensiasi dalam sporocarp, pada saat dewasa spora dipisahkan dari hifa pelekat oleh sebuah sekat, spora berbentuk globos sub-globos, ovoid ataupun obovoid dengan dinding spora terdiri dari lebih dari satu lapis, berwarna hyaline sampai kuning, merah kecoklatan, coklat, dan hitam, berukuran antara 20 – 400 µm (Sen dan Hepper, 1986; INVAM, 2010). Selain itu Glomus sp. tidak bereaksi dengan larutan melzer’s reagent (Schenk dan Perez, 1990) untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 14. Dalam satu genus mikoriza terdapat banyak jenis atau spesies. Dari pengamatan diperoleh beberapa jenis glomus dengan karakteristik yang berbeda (jenis/spesies yang berbeda). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1013.
25
Gambar 10. Glomus sp. 1
Gambar 12. Glomus sp. 3
Gambar 11. Glomus sp. 2
Gambar 13. Glomus sp. 4
Gambar 14. Glomus sp. pada larutan melzer’s reagent Acaulospora sp. adalah genus mikoriza yang termasuk dalam family Acaulosporaceae. Genus ini memiliki beberapa ciri khas antara lain yaitu memiliki 2-3 dinding spora, spora terbentuk di sisi samping leher Sporiferous Saccule (gambar 16), berbentuk globos hingga elips, berwarna hyaline, kuning, ataupun merah kekuningan, berukuran antara 100-400 µm (INVAM, 2010) (gambar 15). Selain itu ciri khas Acaulospora sp. adalah dinding spora bagian luar tidak bereaksi dengan larutan melzer’s reagent sedangkan bagian dalam bereaksi dengan larutan melzer’s reagent (Schenk dan Perez, 1990) untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 14, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 17.
26
Sporiferous Saccule
Gambar 15. Acaulospora sp.
Gambar 16. Sporiferous Saccule pada Acaulospora sp.
Gambar 17. Acaulospora sp. pada larutan melzer’s reagent Gigaspora sp. adalah genus mikoriza yang termasuk dalam family Gigasporaceae. Genus ini memiliki ciri khas, antara lain yaitu spora dihasilkan secara tunggal didalam tanah, tidak memiliki lapisan dinding spora dalam, terdapat Bulbous Suspensor (gambar 19), berbentuk globos atau sub-globos, berwarna krem hingga kuning, berukuran 125-600 µm (Wilson et al. 1983; INVAM, 2010) (gambar 18). Selain itu ciri khas Gigaspora sp. adalah bereaksi dengan larutan melzer’s reagent (Schenk dan Perez, 1990) untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 20.
Bulbous Suspensor
Gambar 18. Gigaspora sp.
Gambar 19. Bulbous Suspensor pada Gigaspora sp.
27
Gambar 20. Gigaspora sp. pada larutan melzer’s reagent
4.2.3. Perkembangan FMA pada areal rehabilitasi Dari beberapa penelitian diketahui bahwa simbiosis FMA dipengaruhi oleh level P, sumber P, pH, efektifitas isolat FMA dan kebergantungan tanaman inang terhadap mikoriza (Setiadi, 1995). Dari hasil analisis contoh tanah yang diambil dari tiap blok (tabel 4), diketahui bahwa kondisi lahan diseluruh areal rehabilitasi yang diamati memiliki pH berkisar antara 6,5-6,7 dan kandungan logam Al tidak terukur atau sangat kecil, dan kandungan P rendah hingga sedang, serta tekstur tanah berupa lempung berdebu. Sifat kimia tanah relatif normal, dimana tanah tersebut memiliki pH netral dan tidak mengalami keracunan logam Al (kandungan Al sangat kecil). Kondisi ini sangat berbeda dari kondisi lahan paska penambangan nikel, dimana lahan biasanya memiliki tanah yang masam (pH rendah), keracunan logam Al, Fe ataupun Mn, rendahnya aktivitas mikroba serta mengalami stress air sehingga lahan menjadi marginal (Setiadi, 1995). Hal ini kemungkinan dikarenakan pada areal rehabilitasi telah dilakukan penimbunan top soil pada saat proses penataan lahan. Sehingga kondisi lahan menjadi lebih mendukung untuk proses revegetasi. Namun demikian pada lahan rehabilitasi tersebut memiliki kandungan P yang sangat rendah, dimana P < 10 ppm (Hardjowigeno, 1995). Faktor pembatas dari areal ini adalah rendahnya unsur P yang penting bagi tanaman. Unsur P merupakan unsur hara makro bagi tumbuhan. Dimana P berperan dalam proses fotosintesis, metabolisme karbohidrat, dan transfer energi dalam tubuh tanaman (Ernita, 2004).
28
Beberaapa FMA dapat d berkem mbang baik pada lahann tersebut, dimana d pH o optimum unntuk perkemb bangan FMA A adalah berrkisar antaraa 5,6 - 7 untuuk Glomus s 4 - 6 untuk sp; u Gigasppora sp. dann 4 - 5 untuuk Acaulospoora sp. (Setiadi, 1992; G Gunawan, 1993; Hepperr, 1984 dalam m Tuheteru, 2003) 300 250 200 150 100 50 0
2 253 234
209 122 55 46
Ra ata-rata ke epadatan sp pora/50g
Gambaar 21. Diagrram rata-rataa kepadatan spora tiap blok Dari diagram d rata--rata kepadaatan spora tiap blok (gam mbar 21), daapat dilihat b bahwa perk kembangan spora cukupp baik, dZm mana dapatt dilihat darri rata-rata k kepadatan spora s / 50 g. Untuk areal a rehabiilitasi perkeembangan paling p baik t terdapat di Fiona, F kemuudian Petea, Manggali, Konde K dan tterakhir Debbbie. Untuk d dilapangan, diketahui bahwa b sporaa berkembanng baik, hal ini dikarennakan pada a areal tersebuut mengalam mi defisiensi P. Menuruut Hepper (1983) dalam m Tuheteru ( (2003) bahw wa perkecam mbahan Glom mus sp. Akann berkurang dengan menningkatnya k konsentrasi P, sehingga makin keciil konsentrassi P maka FMA akan beerkembang l lebih baik. b Debbiee memiliki kepadatan k sp pora yang llebih rendah h dari pada Pada blok b blok Kondee, Manggali, Petea mauupun Fiona. Hal ini kem mungkinan disebabkan d o kandunngan K yang relatif lebihh tinggi dari blok lainnyaa. Dengan tinngginya K, oleh m maka akan menurunkan m tingkat sporrulasi FMA. Untuk k di Nurserry, perkembbangan FM MA relatif llebih sedikiit, hal ini d dikarenakan n tanaman di Nursery meendapatkan hara h yang cuukup terutam ma P dan K y yang berasaal dari pemu upukkan sebaagai langkahh perawatann bibit. Denggan adanya p pemupukkan n kandungaan P dan K meningkaat, sehingga perkembanngan FMA
29
b berkurang, h ini sesu hal uai dengan D Delvian (20006) perkembbangan mikkoriza akan t terhambat deengan adanyya pemupukkkan P. Apabiila ditinjau dari d sifat fisiik tanahnya,, dari hasil aanalisis tanahh diketahui b bahwa tanahh tersebut beertekstur lem mpung (kanddungan liat tiinggi). Tanaah lempung m memiliki aerrasi yang bu uruk terutam ma saat terjaddi hujan, hal ini akan meenyebabkan t tanah kekurrangan oksigen. Selainn mengham mbat pertum mbuhan akarr tanaman k kondisi ini juga meng ghambat perrkembangan n FMA. Meenurut Setiaadi (1992) p penurunan k konsentrasi oksigen dappat mengham mbat perkeccambahan sppora FMA d kolonissasi akar. dan
Oleh karenna itu/s perk kembangan FMA akann menurun.
N Namun dem mikian FMA juga memilliki hifa ekstternal yang akan a membeentuk porip pori mikro, sehingga taanah akan m memiliki aerrasi yang baaik dan kaddar oksigen d dalam tanah dapat meninngkat. Dari beberapa b jeniis tanaman yyang diamatii, diketahui bbahwa kepad datan spora t jenis tannaman berbeeda-beda. Haasil pengamaatan dapat diilihat pada gambar tiap g 22. 600 477
500 400 300
23 32
200 100
154 151
188
156
13 32 135
4 87 84 45 45 5 38 21
35 23 3
26 27
33
39
0
ke epadatan sporra / 50g
G Gambar 22. Diagram keepadatan spora pada tiap jenis tanaman (/50 g tannah) K Keterangan: ≤ 100 : Seddikit; 101 – 199 1 : Sedangg; ≥ 200 : Baanyak datan spora tertinggi terdapat paada Sengonn buto (Enterolobium Kepad c cyclocarpum m) dengan kepadatan k meencapai 4777 spora/50 g tanah kemuudian Saga ( (Adenanther ra pavoninaa) dengan kepadatan spora sebbesar 232 spora/50g. K Kemudian diikuti d oleh Sengon Albbizia, Malotuus, Jati, Johaar, Kayu tannduk, Kayu
30
angin, Ekaliptus, Dengen, Belulang, Betao, Uru, Bitti, Ficus, Nyatoh, Krei payung, Kolaka, Jambu-jambu dan paling sedikit adalah Buri. Dari hasil penelitian ini, dapat dilihat bahwa persentase infeksi tidak berbanding lurus, dimana tingginya persentase infeksi tidak selalu memperbesar kepadatan spora. Menurut Tuheteru (2003) bahwa antara infeksi akar dan jumlah spora yang dihasilkan tidak memiliki korelasi yang erat, sehingga spora yang banyak belum tentu persentase infeksi akar akan tinggi pula. 4.2.4. Potensi FMA dalam revegetasi lahan pasca penambangan nikel Telah banyak penelitian mengenai potensi dari FMA baik dalam pertanian maupun kehutanan. Dimana kebanyakan hasil penelitian menunjukkan hasil yang membuktikan
bahwa
FMA
dapat
meningkatkan
pertumbuhan
tanaman,
meningkatakan penyerapan hara, pelindung hayati (Bio-protector), memperbaiki siklus biogeokimia, meningkatkan resistensi terhadap kekeringan dan keracunan logam berat, serta memperbaiki struktur tanah (Setiadi, 2001) Masalah yang terjadi dalam program revegetasi antara lain adalah tanaman yang ditanam banyak yang mengalami kematian, apabila tanaman tersebut mampu hidup, biasanya pertumbuhannya buruk (Setiadi, 1995). Untuk itu FMA sangat diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan program revegetasi. Secara ekologis, FMA adalah pupuk hayati yang ramah lingkungan dan tidak menyebabkan pencemaran lingkungan seperti pupuk kimia. Selain itu secara ekonomis, aplikasi FMA sangat efektif dan efisien, dimana FMA mampu mengefisiensikan penggunaan pupuk dengan hifa eksternalnya yang bisa mengirimkan hingga 80% P, 25% N, 10% K, 25% Zn, dan 60 % Cu (Marschner dan Dell 1994, dalam Setiadi, 1995) ditambahkan oleh Santoso et al. (2006) penggunaan mikoriza mengefisiensikan penggunaan pupuk kimia hingga lebih dari 50% di tingkat persemaian. Menurut Ambodo (2004) Aplikasi mikoriza pada penanaman di lapangan mampu menurunkan pemakaian pupuk hingga 40%, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman hingga 466% dibandingkan dengan pemakaian pupuk konvensional. Selain itu FMA merupakan pupuk yang hanya cukup sekali digunakan (once application), karena FMA merupakan makhluk hidup yang dapat terus tumbuh dan berkembang.
31
4.2.5. Evaluasi status FMA Dilaporkan oleh Setiadi (1995) bahwa tiga genus yang di uji coba memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan Acacia mangium, Paraserianthes falcataria, dan Trichospermum burretii di persemaian, dimana
genus yang
digunakan merupakan genus eksotik yaitu Glomus sp. (INVAM-FL216) dan Gigaspora sp. (INVAM-FL105), serta genus indigenous yaitu Acaulospora sp. (INCO-1 dan INCO-2). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa genus Glomus sp; Gigaspora sp; dan Acaulospora sp. dapat berkembang baik di persemaian dan di lapangan. Genus- genus indegenous mampu beradaptasi dan berkembang baik pada daerah asalnya, hal ini dibuktikan dengan genus Acaulospora sp. yang ditemukan disetiap blok. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa genus-genus eksotik mampu berkembang baik, bahkan lebih baik daripada genus-genus indigenous seperti Glomus sp. yang dapat berkembang sangat baik di semua areal rehabilitasi paska penambangan dan persemaian PT INCO Tbk. Implementasi FMA dalam rehabilitasi lahan pasca penambangan antara lain yaitu penggunaan isolat indigenous ataupun eksotik yang terbukti efektif untuk kegiatan produksi bibit, menurut Mosse et al. (1981) dalam Delvian (2004) bahwa fase bibit mungkin merupakan fase yang sangat tergantung pada mikoriza, baik untuk tumbuhan tahunan maupun tumbuhan semusim. Sehingga dengan adanya FMA bibit akan memiliki ketahanan terhadap kondisi lahan yang marginal. Selain itu dapat dilakukan kegiatan pembuatan inokulum dengan menggunakan sumber isolat dari areal rehabilitasi, sehingga pengembangan FMA dapat dilakukan secara mandiri dan menghasilkan genus yang telah beradaptasi dengan baik.
32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari hasil infeksi, semua tanaman telah bermikoriza sehingga mempunyai potensi untuk beradaptasi dengan tanah lateritik. Beberapa tanaman yang potensial dikembangkan dengan mikoriza antara lain Sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), Dengen (Dillenia cerrata), Sengon albizia (Paraserianthes falcataria), ,Jati (Tectona grandis), Johar (Senna siamea), Kayu angin (Casuarina equisetifolia), Kayu tanduk (Alstonia spectabilis), dan Ekaliptus (Eucalytus urograndis). Terdapat tiga genus FMA yang mendominasi pohon yang tumbuh di areal rehabilitasi pasca penambangan nikel di PT INCO Tbk, yaitu : Glomus sp; Acaulospora sp; dan Gigaspora sp. Genus-genus tersebut terbukti berkembang baik pada areal rehabilitasi dan sangat potensial dikembangkan sebagai inokulum untuk kegiatan rehabilitasi lahan pasca penambangan nikel. 5.2. Saran Adapun saran yang dapat dilakukan antara lain: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai status FMA hingga tingkat spesies. 2. Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas isolat dan ketergantungan mikoriza pada tanaman-tanaman lokal untuk revegetasi di areal pasca penambagan nikel. 3. Perlu dilakukan pengembangan dan produksi FMA secara intensif dan kontinyu di persemaian PT INCO Tbk. sebagai langkah awal peningkatan mutu bibit untuk menunjang keberhasilan program rehabilitasi. 4. Dapat dilakukan pembuatan inokulum dengan sumber isolat yang berasal dari areal rehabilitasi untuk menunjang kebutuhan inokulum FMA.
33
DAFTAR PUSTAKA Achmad, Wilarso S, Mansur I, dan Setiadi Y.1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Tanah Hutan. Bogor. Centre for International Forestry Research. Brundrett M, Neale B, Bernei D, Tim G dan Nick M. 1996. Working With Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Australian Centre for International Agriculture Research (ACIAR). Canbera: Australia. Delvian. 2004. Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Dalam Reklamasi Lahan Kritis Pasca Tambang. [terhubung berkala]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/879/3/hutan-delvian.pdf.txt Delvian. 2006. Koleksi Isolat Cendawan Mikoriza Arbuskula. [terhubung berkala]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1048/3/06005280.pdf.txt Ernita. 2004. Pemanfaatan Mikroba Pelarut Phospat dan Mikoriza sebagai Alternatif Pengganti Pupuk Phospat Pada Tanah Ultisol Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Bidang Pertanian Vol 2 No 3. Desember 2004: 45-55. UMN Al-Washllyah Medan. Giovannetti M dan Mosse B. 1980. An Evaluation of Techniques for Measuring Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal infection in roots. New Phytol. 84 : 489500. Gerdemann JW. 1968. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza and Plant Growth. Annu. Rev. Phytopath. 6: 397-418. Gunawan AW. 1993. Mikoriza Arbuskula. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. Bogor. Habte M. 2000. Mycorrhizal Fungi and Plant Nutrition. College of Tropical Agriculture and Human Resources, University of Hawaii. [terhubung berkala]. http://www.ctahr.hawaii.edu/oc/freepubs/pdf/pnm14.pdf Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Edisi revisi. Jakarta : Akademika pressindo. Hudson HJ. 1989. Fungal Biology. Departement of Botany University of Cambribge. INVAM. 2010. Classification of Glomeromycota [terhubung berkala]. http://invam.caf.wvu.edu/ [18 Oktober 2010]. Nurmalasari D. 2009. Efektivitas Mycofer® Terhadap Tanaman Kehutanan, Pertanian, Perkebunan, Bioremediasi, dan Pakan Hijau Ternak (Kajian Pustaka).[Skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Nusantara AD. 2004. Strategi produksi inokulum mikoriza arbuskula bebas patogen. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah pasca sarjana. IPB [terhubung berkala]. http://rudyct.com/PPS702ipb/08234/abimanyu_dn.htm. [13 November 2009]. Pacioni G. 1992. Wet Sieving and Decanting Techniques for the Extraction of Spores of VA Mycorrizhal Fungi. Di dalam: Methods in Microbiology. San Diego. Academic Press Inc. Phillips JM and Hyman DS.1970. Improved Procedures for Clearing Roots and Stainning Parasitic and Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi for Rapid Assesment of Infection. Trans. Brit. Mycol. Soc. 55: 158-161.
34
Santoso E, Turjaman M, dan Irianto R. 2006. Aplikasi Mikoriza Untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Areal Terdegradasi. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007. Padang. Schenk NC, Perez Y. 1990. Manual for Identification of VA Mycorrizhal Fungi. Florida. University of Florida. Setiadi Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme Dalam Kehutanan. PAU-IPB. Bogor. Setiadi Y. 1992. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas IPB. Bogor Setiadi Y. 1993. Mycorrhiza for reforestation. Makalah presentasi di BiodiversityBiotechnology Inovation Symposium. British Council. Jakarta, 3 Mei 1993. Setiadi Y. 1995. The Practical Application of Arbuscular Mycorrizhae Fungi for Reforestation in Indonesia [Thesis]. Kent: Research School of Biosciences, University of Kent. Setiadi Y. 2001. Peranan Mikoriza Arbuskula dalam Reboisasi Lahan Kritis di Indonesia. Makalah seminar penggunaan CMA dalam sistem pertanian organik dan rehabilitasi lahan. Bandung. 21-23 April 2001. Setiadi Y dan Hariangbanga G. 2009. Revegetation Techniques for Rehabilitating Degraded Land After Post Mining and Oil/Gas Operation. [tidak dipublikasikan] Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuscular Mychorrizhal Management in Tropical Agrosystems (GTZ). Federal Republic of Germany. Simanungkalit RDM, Iswandi A, Setiadi Y dan Noordwijk MV. 1999. Microbial Diversity as Affected by Different Land Use Systems in Lampung and Jambi. Di dalam seminar: The International Seminar on Toward Sustainable st Agriculture in Humid Tropical Soils Facing the 21 Century. Bandar Lampung (September 26-28, 1999). Siradz SA dan Kabirun S. 2003. Pengembangan Lahan Marginal Pantai Dengan Bioteknologi Masukan Rendah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sondergaard M, Laegaard S. 1977. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza in Some Aquatic Vascular Plants. Nature 268: 232-233. Tuheteru FD. 2003. Aplikasi Asam Humat Tergadap Sporulasi CMA Dari Bawah Tegakan Alami Sengon [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
35
LAMPIRAN
36
Lampiran 1. Data pohon yang diamati No
Jenis tanaman
Nama latin
Family
1
Belulang
Stemonurus celebicus
Icacinaceae
2
Betao
Calophyllum spp.
Clusiaceae
3
Bitti
Vitex cofassus
Verbenaceae
4
Buri
Weinmannia blumei
Cunoniaceae
5
Dengen
Dillenia cerrata
Dilleniaceae
6
Ekaliptus
Eucalyptus urograndis
Myrtaceae
7
Ficus
Ficus spp.
Moraceae
8
Jambu-jambu
Syzygium spp.
Myrtaceae
9
Jati
Tectona grandis
Verbenaceae
10
Johar
Senna siamea
Fabaceae
11
Kayu angin
Casuarina equisetifolia
Casuarinaceae
12
Kayu tanduk
Alstonia spectabilis
Apocynaceae
13
Kolaka
Maranthes corymbosa
Chrysobalanaceae
14
Krei payung
Filicium decipiens
Sapindaceae
15
Malotus
Malotus sp.
Euphorbiaceae
16
Nyatoh
Palaquium obovatum
Sapotaceae
17
Saga
Adenanthera pavonina
Fabaceae
18
Sengon albizia
Paraserianthes falcataria
Fabaceae
19
Sengon buto
Enterolobium cyclocarpum
Fabaceae
20
Uru
Elmerillia tsiampacca
Magnoliaceae
37
Lampiran 2. Tabel kriteria penilaian sifat kimia tanah Sangat Masam
Masam
< 4,5
4,5 - 5,5 5,6- 6,5
6,6-7,5 7,6-8,5
Sifat Tanah
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
C -Organik (%)
< 1,00
1,00 2,00
2,01 3,00
3,01 5,00
> 5,00
Nitrogen (%)
< 0,10
0,10 0,20
0,21 0,50
0,51 0,75
> 0,75
C/N
<5
5 - 10
11 - 15
16 - 25
> 25
P2O5 HCl (mg/100g)
< 10
10 - 20
21 - 40
41 - 60
> 60
P2O5 Bray-1 (ppm)
< 10
10 - 15
16 - 25
26 - 35
> 35
P2O5 Olsen (ppm)
< 10
10 - 25
26 - 45
46 - 60
> 60
K2O HCl 25% (mg/100g)
< 10
10 - 20
21 - 40
41 - 60
> 60
KTK (me/100g)
<5
5 - 16
17 - 24
25 - 40
> 40
K (me/100g)
< 0,1
0,1 - 0,2
0,3 - 0,5
0,6 - 1,0 >1,0
Na (me/100g)
< 0,1
0,1 - 0,3
0,4 - 0,7
0,8 - 1,0 >1,0
Mg (me/100g)
< 0,4
0,4 - 1,0
1,1 - 2,0
2,1 - 8,0 > 8,0
Ca (me/100g)
< 0,2
2-5
6 - 10
11 - 20
> 20
Kejenuhan Basa (%)
< 20
20 - 35
36 - 50
51 - 70
> 70
10 - 20
21 - 30
31 - 60
> 60
pH H2O
Agak Masam
Netral
Agak Alkalis
Alkalis > 8,5
Susunan Kation :
Aluminium (%) < 10 Sumber : Hardjowigeno (1995).
38
Lampiran 3. Rekapitulasi data status FMA hasil pengamatan No
Jenis tanaman
Blok
% infeksi
Rata-rata % infeksi
Kepadatan spora
Rata-rata kepadatan spora
1 2
Stemonurus celebicus Calophyllum spp.
Debbie Debbie
75% 60%
75% 60%
45 45
45 45
3
Vitex cofassus
Nursery
70%
70%
38
38
4
Weinmannia blumei
Nursery
60%
60%
21
21
Konde
95%
Nursery
95%
127
Fiona
50%
68
Konde
50%
5
6
8
Syzygium spp.
9
10
11
Tectona grandis
Senna siamea
Manggali
85%
Petea
70%
Debbie
75%
Debbie
60%
+
+
+
84
Glomus sp; Acaulospora sp.
+++
+++
+
87
Glomus sp; Acaulospora sp; Gigaspora sp.
++
++
+
35
Glomus sp; Gigaspora sp.
+++
+
+
23
Glomus sp.
++
+
++
154
Glomus sp.
+++
+++
++
151
Glomus sp; Acaulospora sp; Gigaspora sp.
++
++
++
132
Glomus sp; Acaulospora sp; Gigaspora sp.
+++
++
+
135
Glomus sp; Gigaspora sp.
+++
+++
+
26
26
Glomus sp.
++
+
+
27
27
Glomus sp.
+
+
+
156
Glomus sp; Acaulospora sp.
++
++
++
33
Glomus sp.
++
+
+
232
Glomus sp.
++
+
+++
188
Glomus sp; Acaulospora sp; Gigaspora sp.
+++
++
++
42
21 93 167 75%
35 21
Konde
60%
Petea
100%
68
Debbie
90%
71
Fiona
80%
318
Konde
70%
26 80%
154 285
73%
100
74 78%
75%
Nursery
70%
Petea
80%
Debbie
65%
163
156 34 75%
Fiona
85% 65%
65% 35%
Filicium decipiens
Nursery
35%
Fiona
55%
Konde
75%
18
++
++
60%
14
Malotus sp.
Paraserianthes falcataria
++
Fiona
Debbie
Adenanthera pavonina
+ +
80%
Maranthes corymbosa
17
++ +
Debbie
Alstonia spectabilis
Palaquium obovatum
+++ ++
45%
Casuarina equisetifolia
16
Glomus sp. Glomus sp. Glomus sp; Acaulospora sp. Glomus sp.
Nursery
13
15
Spora
53%
Manggali
12
Miselia
64%
Eucalyptus urograndis
Ficus spp.
Infeksi
95%
Dillenia cerrata
7
Genus Spora
236
191 62 73%
Manggali
95%
79
Petea
65%
290
Debbie
50%
50%
33
Nursery
65%
Petea
50%
400
65
Debbie
70%
88
Fiona
90%
Konde
65%
58%
75%
446 32
39
Lanjutan.. No
19
20
Jenis tanaman
Enterolobium cyclocarpum
Elmerillia tsiampacca
Blok
% infeksi
Rata-rata % infeksi
Kepadatan spora
Fiona
100%
226
Konde
100%
1618
Manggali
100%
Nursery
100%
65
Petea
75%
321
Nursery
50%
95%
50%
153
39
Rata-rata kepadatan spora
Genus Spora
Infeksi
Miselia
Spora
477
Glomus sp; Acaulospora sp; Gigaspora sp.
+++
+++
+++
39
Glomus sp; Acaulospora sp.
+
+
+
40
Lampiran 4. Denah lokasi blok pengambilan contoh tanah dan akar
Keterangan : : Nursery : Konde : Manggali : Debbie : Fiona : Petea