ARAH KIBLAT MASJID KOTA SALATIGA
SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh DEWI SULISTYANINGRUM 211 05 002
JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2009
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion. 03 Salatiga (0298) 323706, 323444 Kode Pos 50712 Website: www. Stainsalatiga.ac.id E-mail:
[email protected]
Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA NOTA PEMBIMBING Lamp : 3 eksemplar Hal : Naskah Skripsi Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga diTempat Assalamu’alaikaum Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara: NAMA
: Dewi Sulistyaningrum
NIM
: 211 05 002
Jurusan / Progdi : Syari’ah / Al-Ahwalul Al-Syakhshiyyah Judul
: Arah Kiblat Masjid Kota Salatiga
Dengan ini kami mohon agar naskah skripsi tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Demikian harap menjadi perhatian. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, September 2009 Pembimbing
Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA NIP. 19530326 197803 1 001
ii
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion. 03 Salatiga (0298) 323706, 323444 Kode Pos 50712 Website: www. Stainsalatiga.ac.id E-mail:
[email protected]
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi Saudara : DEWI SULISTYANINGRUM dengan Nomor Induk Mahasiswa : 211 05 002 yang Berjudul : “ARAH KIBLAT MASJID KOTA SALATIGA”. Telah dimunaqosahkan dalam sidang panitia ujian Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga, pada hari Sabtu, 12 Maret 2009
yang
bertepatan
dengan
tanggal
22
Ramadhan
1430
H
dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam.
12 Maret 2009 M Salatiga, 22 Ramadhan 1430 H Panitia Ujian Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1 002
Dr. H. Muh. Saerozi, M.Ag NIP. 19660215 199103 1 001
Penguji I
Penguji II
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag NIP. 19670115 199803 2 002
Dr. Adang Kuswaya, M.Ag NIP. 19720531 199803 1 002 Pembimbing
Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA NIP. 19530326 197803 1 001
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion. 03 Salatiga (0298) 323706, 323444 Kode Pos 50712 Website: www. Stainsalatiga.ac.id E-mail:
[email protected]
DEKLARASI Bismillahirrahmanirrahim Dengan penuh kejujuran da tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran orang lain di luar referensi yang peneliti cantumkan, maka penulis sanggup mempertanggung jawabkan kembali keaslian skripsi ini dihadapan sidang munaqosyah skripsi. Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, September 2009 Penulis
Dewi Sulistyaningrum NIM : 211 005 002
iv
MOTTO
Baitullah (Ka’bah) adalah kiblat bagi orang-orang yang dalam masjid (Masjidil Haram), dan masjid (Masjidil Haram) adalah kiblat bagi orang-orang yang tinggal di Tanah Haram (Makkah),dan Tanah Haram (Makkah) adalah kiblat bagi seluruh penduduk bumi, timur dan baratnya bagi umatku. Hadis driwayatkan oleh Al- Baihaqi
v
PERSEMBAHAN ¾ Buat kedua orang tuaku yang selalu memberikan kasih sayang dan kucuran keringat yang kadang disertai derai air mata serta selalu
mendo’akanku
baik
siang
maupun
malam
tanpa
mengenal lelah. ¾ Buat kedua kakakku, terima kasih telah memberikan spirit untuk menjadi manusia yang lebih berpotensi. ¾ Buat Agus Suwandi yang selalu memberikan semangat dan cintanya yang tulus kepadaku, terima kasih ya pa....atas motivasi dan dukungannya. ¾ Buat temen-temen kos Bu Rohani (Fitri, Lelak, Nani, Wiwin, Siska, Erna, dan Mbak Yanti) canda tawa kalian telah mengukirkan arti sebuah persahabatan dan kekeluargaan. ¾ Buat sahabat-sahabatku: Olip, Tatik, Munir, Rifa’ah, Zuhri Mas Ali dan temen-temen satu KKN di Jati semuanya, yang telah memberikan arti teman sejati. ¾ Buat sahabat-sahabatku syari’ah angkatan 2005, semoga tetap semangat dan kompak selalu.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan pertolongan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang pangeran dari zaman jahiliyah menuju zaman ke-islaman. Tanpa bantuan dari berbagai pihak tentunya skripsi ini tidak akan bisa selesai, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga beserta jajaran birokrasi yang telah mengayomi kampus STAIN tercinta ini. 2. Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA selaku pembimbing penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini berjalan lancar dan bisa diselesaikan dengan cepat. 3. Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syari’ah beserta jajarannya, yang telah mempermudah dan memperlancar studi penulis sehingga terselesainya skripsi ini. 4. Moh. Khusen, M.Ag.,MA selaku Ketua Program Studi Al-ahwal AlSyakhsiyyah (AS) beserta dosen-dosen program (AS) yang telah mencurahkan segenap pengetahuan yang dimilikinya kepada penulis. 5. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Pembimbing Akademik (PA), yang telah memberikan perhatian yang lebih dalam perkembangan studi selama penulis di STAIN ini. 6. Kedua orang tuaku, Mijo dan Mukini yang selalu perhatian dan kasih sayang serta mendo’akan baik siang dan malam tanpa mengenal lelah. 7. Papaku, Agus Suwandi yang selalu memberikan motivasi dan kedamaian dalam hatiku serta sabar menghadapiku.
vii
Penulis menyadari, skripsi ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan ilmiyah dimasa yang akan datang. Kepada Allah SWT, penulis menyerahkan segala urusan, hanya kepada-Nya semua manusia di dunia ini akan kembali.
Salatiga, September 2009 Penulis,
Dewi Sulistyaningrum
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................
i
NOTA PEMBIMBING...............................................................................
ii
PENGESAHAN.......................................................................................... iii DEKLARASI.............................................................................................. iv MOTTO..................................................................................................... .
v
PERSEMBAHAN...................................................................................... . vi KATA PENGANTAR................................................................................ vii DAFTAR ISI............................................................................................... ix
BAB I :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1 B. Penegasan Istilah.................................................................
4
C. Rumusan Masalah Penelitian..............................................
4
D. Tujuan Penelitian................................................................
5
E. Manfaat Penelitian............................................................... 6 F. Telaah Pustaka....................................................................
6
G. Kerangka Teoritis................................................................
9
H. Metodologi Penelitian......................................................... 10 I. Sistematika Penulisan......................................................... 11
ix
BAB II : KAJIAN TEORI A. Definisi dan Asal Usul Arah Kiblat.................................... 13 B. Dasar Hukum Tentang Arah Kiblat.................................... 17 C. Dasar Perhitungan Arah Kiblat........................................... 28 D. Tokoh-tokoh Ilmu Falak di Indonesia.................................. 30
BAB III : KAJIAN LAPANGAN SEPUTAR ARAH KIBLAT A. Kenapa Masyarakat tidak Tahu atau Mengerti tentang Arah Kiblat dan Metode yang Digunakan.................................................................. 49 B. Langkah-langkah Perhitungan dan Pengukuran Arah Kiblat Masjid Kota Salatiga........................................ 51 C. Berapa Derajat Penyimpangan Arah Kiblat Masjid Kota Salatiga........................................................... 60 D. Langkah-langkah Takmir atau Pengurus Masjid Kota Salatiga setelah Dilakukan Perhitungan dan Pengukuran.................................................................. 62
BAB IV : ANALISIS A. Analisis dari Pendapat Ulama Ahli Ilmu Falak Salatiga dan Sekitarnya tentang ArahKiblat.............................................................. 69 B. Problematik Penentuan Arah Kiblat
x
di Masyarakat Kota Salatiga............................................... 70 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan......................................................................... 72 B. Saran-saran......................................................................... 73
Daftar Pustaka Lampiran
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Realitas kekinian di masyarakat seakan menomor duakan masalah arah kiblat. Terlihat banyaknya arah kiblat masjid-masjid tidak ketinggalan juga musolla kurang tepat dan benar arah kiblatnya. Termasuk masjid-masjid dan musolla yang ada di Salatiga. Sebagai contoh arah kiblat Masjid Al-Atiiq Kauman Salatiga tingkat kemiringan menurut Depag Salatiga kurang tepat. Sebagai masjid tertua setelah masjid Damarjati, yang terletak di Krajan. Masjid Al-Atiiq merupakan masjid yang terletak di pinggir jalan lintas Solo-Semarang, sehingga masjid tersebut sering digunakan umat Islam untuk sholat berjama’ah ataupun sholat musafir yang sedang dalam perjalanan. Apa jadinya jika arah kiblat masjid tersebut tidak tepat, sedangkan umat Islam melakukan shalat di masjid ini. Inilah salah satu problematik yang harus dicarikan solusi agar kesalahan dalam menetapkan arah kiblat masjid tersebut dapat segera diselesaikan. Al-Qur’an surat Al-Baqaraah ayat 149-150 serta beberapa hadis,1 kesemuanya itu menjelaskan tentang anjuran untuk menghadap ke arah kiblat ketika sedang ibadah shalat. Bahkan para ulama juga berpendapat bahwa kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. 1
Bukhari Shakih Al-Bukhari, terj. Muhammad Ali Subaih, tanpa tempat terbit, Kairo: 1955, hlm. 383.
1
2
Mengingat hal tersebut penting untuk diketahui bahwa shalat haruslah menghadap kiblat. Arah kiblat ini dapat ditentukan dari setiap titik ataupun tempat di permukaan bumi dengan melakukan perhitungan dan pengukuran. Perhitungan arah kiblat pada dasarnya adalah perhitungan untuk mengetahui guna menetapkan ke arah mana Ka’bah di Makah itu dilihat dari suatu tempat di permukaan bumi ini, sehingga semua gerakan orang yang melaksanakan shalat, baik ketika berdiri, ruku’, maupun sujud selalu berimpitan dengan arah yang menuju Ka’bah.2 Maka dari itu, untuk mencari tingkat kemiringan arah kiblat yang benar dan tepat yang dimaksud di atas dalam penelitian ini menggunakan rumus Aplikasi Trigonometri. Sebab diasumsikan dapat mengetahui jarak antara satu titik dengan titik yang lain dan arah yang tepat antara satu titik ke titik yang lain. Jika diibaratkan suatu bidang yang dicari adalah permukaan bumi, maka letak jarak dan arah suatu titik di permukaan bumi (suatu daerah) bisa ditentukan, dicari dan dihitung. Namun dalam hal ini tentunya tidak berupa bidang datar yang berbentuk lempengan karena bumi bentuknya bulat seperti bola dan dapat digambarkan dengan ruang tiga dimensi dengan titik pusat bola pada pusat bumi. Sehingga bidang yang dicari adalah permukaan bumi yang melengkung dengan kelengkungan tertentu, yang berupa segitiga lengkung dan dapat diistilahkan dengan segitiga bola (Spherical Trigonometri) yaitu bidang segitiga yang berada di permukaan bangun ruang bola. 2
Khazin Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta: 2004, hlm. 49.
3
Dalam hal ini bisa diterapkan untuk mencari arah kiblat (arah Kota Makah) dari suatu daerah atau kota tertentu di permukaan bumi, khususnya dalam pembahasan ini yaitu Kota Salatiga. Dalam observasi awal yang dilakukan di Masjid Al-Atiiq Kauman Salatiga terlihat: Pertama, seluruh sejadah tidak lurus dengan arah bangunan masjid. Kedua, di mading masjid terdapat pengumuman tentang himbauan untuk mengikuti arah kiblat yang telah ditetapkan oleh pengurus masjid (takmir). Ketiga, petilasan yang ada di serambi masjid Al-Atiiq Kauman Salatiga bertanda Kanwil Jateng tentang arah kiblat yang benar dan tetap sesuai dengan shof shalat sebagai acuan dalam melaksanakan shalat di masjid tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak menuntut kemungkinan bahwa masjid-masjid yang lain di kota Salatiga masih ada arah kiblatnya yang kurang tepat dan benar, bahkan salah. Dengan demikian, pentingnya penelitian ini untuk dilakukan agar dapat memberikan solusi arah kiblat masjid yang benar dan tepat di kota Salatiga. Berangkat dari itu, maka Aplikasi Trigonometri dalam kaitannya dengan bentuk bumi memberikan peranan dalam pengujian ataupun kota tertentu (kota Salatiga) yang menuju ke Ka’bah yaitu Kota Makah. Para ahli ilmu falak menyebutkan dengan istilah ‘Ilmu Ukur Segitiga Bola (Spherical Trigonometri)’.3 Aplikasi rumus Trigonometri dalam pengujian tingkat kemiringan arah kiblat masjid-masjid yang ada di kota Salatiga.
3
Khazin Muhyiddin, Op. Cit, hlm. 54.
4
Dari paparan di atas, menunjukkan pentingnya dilakukan penelitian ini. Maka, dalam skripsi ini akan diajukan judul penelitian, “ARAH KIBLAT MASJID KOTA SALATIGA.”
B.
Penegasan Istilah Agar dapat kejelasan mengenai judul, maka perlu dijelaskan istilahistilah yang termuat dalam judul di atas. Istilah yang dimaksud sebagai berikut: 1.
Arah Arah, yaitu jurusan mata angin.4 Titik suatu tempat dimana tempat tersebut dikehendaki untuk ditunjuk.
2.
Kiblat Kiblat yaitu arah yang menunjukkan ke suatu tempat yang bernama Ka’bah (di Makkah).5 Jadi arah kiblat adalah arah atau jarak terdekat sepanjang lingkaran yang melewati Kota Makkah (Ka’bah) dengan tempat kota yang bersangkutan.6
C.
Rumusan Masalah Penelitian Beranjak dari gambaran umum dan pengertian istilah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang muncul berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan tersebut adalah: 4
Tim Penyusun, Ibid , hlm. 566. Tim Penyusun, Ibid , hlm. 566. 6 Khazin, Muhyiddin, Op.Cit., hlm. 50. 5
5
1. Kenapa masyarakat Kota Salatiga tidak tahu atau mengerti tentang arah kiblat? 2. Menggunakan metode apa dalam perhitungan dan pengukuran arah kiblat masjid di Kota Salatiga? 3. Berapa derajat penyimpangan arah kiblat masjid-masjid di kota Salatiga? 4. Bagaimana langkah takmir atau pengurus masjid dan pendapat para ahli ilmu falak terhadap penyimpangan arah kiblat masjid di kota Salatiga setelah dilakukan perhitungan dan pengukuran arah kiblat?
D.
Tujuan Penelitian Agar tidak terjadi penyimpangan atau keluar jalur dalam pembahasan penelitian yang dilakukan, maka perlu adanya tujuan yang jelas dari masalah-masalah yang telah diutarakan di atas yaitu: 1. Agar masyarakat Kota Salatiga tahu dan mengerti tentang arah kiblat. 2. Untuk mengetahui Menggunakan metode dalam pengukuran arah kiblat masjid di Kota Salatiga. 3. Untuk mengetahui berapa derajat penyimpangan arah kiblat masjidmasjid Kota Salatiga. 4. Untuk mengetahui langkah takmir atau pengurus masjid dan pendapat para ahli ilmu falak terhadap penyimpangan arah kiblat masjid di Kota Salatiga setelah dilakukan perhitungan dan pengukuran arah kiblat.
6
E.
Manfaat Penelitian Agar tidak terjadi simpang siur dalam judul penelitian yang akan dibahas, maka akan menyimpulkan hal-hal yang harapkan dari penelitian ini dapat bermanfaat dalam hal sebagai berikut: 1. Untuk membantu dalam memahami mata kuliah yang bersangkutan dengan tema yang diangkat. 2. Untuk membantu dalam penentuan arah kiblat dengan memahami cara dan rumus yang digunakan. 3. Bermanfaat untuk masyarakat muslim khususnya di kota Salatiga dalam masalah arah kiblat, agar menjadi acuan dalam menentukan arah kiblat, khususnya ketika shalat.
F.
Telaah Pustaka Untuk menghindari dari plagiat dan pengulangan dalam suatu penelitian, maka dalam proposal ini perlu dilakukan telaah pustaka awal. Dengan demikian perlunya menelaah bahan-bahan literatur pustaka dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan langsung tentang penetapan arah kiblat. Berikut ini buku-buku atau bahan pustaka yang telah dilakukan telaah, namun tetap sesuai dengan kompetensi yang peneliti miliki. Bukunya Khazin Muhyiddin, “Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik”, isinya: Masalah yang menjadi pembahasan; (1) Bagaimana Arah kiblat dan bayangan matahari? (2) Kapan waktu-waktu shalat. (3) Awal bulan ditentukan? (4) Bagaimana terjadinya dan lamanya gerhana bulan dan
7
matahari? Metodologi yang dipakai buku tersebut adalah, observasi, normatif, dokumentasi, hisab dan rukyat. Kesimpulan hasil pembahasan buku tersebut adalah dapat memadukan dimensi teoritik dan praktis secara bersamaan, sehingga ilmu Falak yang terkesan di awang-awang menjadi kongkrit membumi. Bukunya Tim Depag RI, “Pedoman Penentuan Arah Kiblat”, isinnya: masalahnya;
(1)
Adanya
kecenderungan
dari
masyarakat
untuk
menyerahkan tentang arah kiblat sepenuhnya kepada tokoh-tokoh agama? (2) Adanya kompas kiblat yang dimiliki masyarakat kurang tepat? (3) Belum adanya perundangan yang mengatur tentang siapa yang menentukan arah kiblat? (4) Depag sendiri belum memiliki kemampuan teknis dalam mengukur arah kiblat? Metodologi pembahasannya adalah dokumentasi, normatif, komparasi. Kesimpulan buku tersebut menyatakan dalam menentukan arah kiblat tidak menghilangkan satuan menit busur, baik pada lintang atau pada bujur karena akibatnya sangat patal. Alat-alat yang dibutuhkan dalam menentukan arah kiblat; Pertama, tongkat istiwa (sundilan) yang ditanam pada permukaan horizon. Kedua, harus menyatakan harga lintang dan busur geografis yang melalui tempat pengukuran. Ketiga, apabila letak geografis kota Mekkah telah diketahui tinggal mempersiapkan alat penghitung berdasarkan rumus segitiga bola, dapat dihitung dengan Daftar Logaritma, namun lebih cepat dengan kalkulator elektronik. Bukunya Tim Depag, “Almanak Hisab Rukyat”, isinya: Masalah yang dibahas, (1) Bagaimana Hisab dan rukyah menurut syariat Islam? (2)
8
Bagaimana sejarah hisab dan rukyah di Indonesia? (3) Berapa aliran hisab di Indonesia? Metodologi pembahasan bukunya menggunakan obeservasi, dokumentasi,
analisis
rumus-rumus
ilmu
hisab.
Kesimpulan
dari
pembahasannya adalah pentingnya ilmu hisab dalam menentukan waktu shalat, arah kiblat dan gerhana bulan. Sejarahnya ilmu hisab dimulai sejak 2 Januari 1946 dengan upaya mempertemukan ahli ilmu hisab dan rukyah. Pada hakikatnya penting buku tersebut menempatkan ilmu hisab sebagai alat untuk penentuan pelaksanaan ibadah umat Islam. Bukunya Tim dari Badan Peradilan Agama dan Makamah Agung (MA), “Almanak Hisab Rukyat “, isinya; masalah yang menjadi pembahasan adalah; (1) Bagaimana sejarah rukyah dan hisab di Indonesia? (2) Apa yang menjadi alat-alat hisab di Indonesia? (3) Bagaimana suplementasi dalam penentuan waktu (jam)? (4) Bagaimana penerapan ilmu ukur segitiga bola dalam menghitung posisi benda langit dan arah kiblat? Metodologi yang digunakan dalam pembahasan buku adalah observasi (pengamatan), dokumentasi, normatif, hisab, dan rukyah. Kesimpulan dari pembahasannya adalah melalui S.K. Menteri Agama No. 76 tahun 1972 tentang pembentukan badan hisab di
Indonesia. Yang disimpulkan adalah dari
P.Bal-Irsyad, P.B.P.S.I.I, P.B.N.U, P.P. Muhamadiyah, Dewan Dakwah, P.T.D.I, P.B. Attihadiyah, dan Lembaga Ilmu Falak Dan Hisab H.M.I. Dari kajian pustaka yang ada menunjukkan bahwa belum adanya penelitian yang membahas tentang judul penelitian yang peneliti ajukan, khususnya dalam civitas akademika STAIN Salatiga. Dengan demikian
9
pentingnya dilakukan penelitian ini untuk menambah khazanah keilmu tentang ilmu falak di civitas akademika STAIN Salatiga.
G.
Kerangka Teoritis Untuk menentukan arah kiblat yang benar dan tepat, setidak harus mengatahui 4 elemen penting yaitu; lintang tempat, bujur tempat, azimuth kiblat, dan rasdhul kiblat. 1. Lintang Tempat Lintang tempat adalah garis yang yang sejajar dengan “ekuator”7. 2. Bujur Tempat Bujur Tempat adalah untuk menetapkan ketepatan waktu dalam menyesuaikan jam yang berlaku dalam wilayah tertentu.8 3. Azimuth Kiblat adalah harga suatu sudut untuk tempat atau benda langit yang dihitung sepanjang horizon dari titik utara ke Timur searah jarum jam sampai titik perpotongan antara lingkaran vertical yang melewati tempat atau benda langit sampai dengan lingkaran horizon.9 4. Rasdhul Kiblat adalah banyangan matahari pada waktu, bulan, tahun, dan tempat tertentu.
7
Garis yang membagi bumi menjadi dua sama besar, sebagian bumi disebelah Utaranya dan sebelah lagi disebagian Selatan disebut garis Khatulistiwa atau garis ekuator. 8 Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA, Penentuan Awal Waktu Shalat, Materi Kuliah AH Semester 5, STAIN Salatiga: 2007, hlm 3. 9 Abdul Basit, Pengaruh Arah Kiblat Bagi Keabsahan Shalat, PKM II Lantai II STAIN Salatiga: tgl 20-21 Agustus 2008, hlm. 1.
10
H.
Metodologi Penelitian Untuk memperoleh data yang lebih akurat dan jelas, maka akan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal berikut ini: 1. Jenis dan Sumber Data Ditinjau dari jenis penelitian termasuk dalam kategori penelitian File Resert. Sumber datanya adalah didapatkan lapangan yang menjadi objek penelitian yaitu masjid-masjid di kota Salatiga. Dengan demikian dapat juga disebut penelitian lapangan, karena data dalam menjawab masalah-masalah yang diajukan didapatkan langsung dari informasi lapangan tersebut. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik dalam pengumpulan data penulitian ini dibagi bebarapa tahapan di antaranya adalah; a.
Teknik observasi digunakan pada saat untuk mengetahui objek penelitian (lapangan penelitian), tidak adanya singkronisasi antara arah bangunan masjid dengan sejadah yang terdapat di dalam masjid.
b.
Teknik Interview digunakan untuk mengetahui tentang siapa saja yang pernah melakukan penelitian di Kota Salatiga, khususnya yang berkaitan dengan arah kiblat, pendiri masjid.
c.
Teknik dokumentasi digunakan untuk mengetahui sejarah masjid, anggota takmir masjid, arah kiblat yang telah ditetapkan Kanwil
11
Jateng yang terdapat pada petih lasan, data pengukuran kemiringan arah kiblat. d.
Teknik normatif digunakan untuk mengetahui adanya dalil-dalil yang berkaitan tentang arah kiblat yang benar dan tepat.
3. Metode Analisis Data a.
Data yang telah didapatkan, maka diterapkan dengan rumus trigonometri atau ilmu ukur segitiga bola untuk mendapatkan hasil kemiringan arah kiblat masjid yang di ukur di kota Salatiga.
b.
Metode analisis komparatif digunakan untuk memadukan data lapangan yang telah dianalisis melalui rumus trigonometri atau ilmu ukur segitiga bola dengan hasil perhitungan dan pengukuran oleh lembaga-lembaga yang telah melakukan pengukuran arah masjid-masjid di kota Salatiga serta temuan dalil-dalil Al-Quran dan Hadis sahih.
I.
Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang isi yang akan dibahas dalam penelitian, maka akan dirumuskan secara sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, dalam bab ini akan dibahasa tentang: Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Rumusan Masalah Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritis, Metodologi Penelitian.
12
Bab II Kajian Teori, pada bab ini akan dibahas tentang: Definisi dan Asal Usul Arah Kiblat, Dasar Hukum Tentang Arah Kiblat, Dasar Perhitungan Arah Kiblat. Tokoh-tokoh Ilmu Falak di Indonesia. Bab III Kajian Lapangan Seputar Arah Kiblat, pada bab ini akan dibahas tentang: Kenapa Masyarakat tidak Tahu atau Mengerti tentang Arah Kiblat dan Metode yang digunakan, Langkah-langkah Perhitungan dan Pengukuran
Arah
Kiblat
Masjid
Kota
Salatiga,
Berapa
derajat
penyimpangan arah kiblat masjid kota Salatiga. Langkah-langkah Takmir atau Pengurus Masjid Kota Salatiga setelah Dilakukan Perhitungan dan Pengukuran, Pendapat Para Ahli Ilmu Falak (Ulama) di Kota Salatiga tentang Arah Kiblat Bab IV Analisis, pada bab ini akan dibahas: Analisis dari Pendapat Ulama Ahli Ilmu Falak Salatiga dan Sekitarnya tentang Arah Kiblat, Problematik Penentuan Arah Kiblat di Masyarakat Kota Salatiga. Bab V Penutup, pada bab ini terdiri dari Kesimpulan, Saran, dan Lampiran, serta Daftar Pustaka.
13
BAB II KAJIAN TEORI
A. Definisi dan Asal Usul Arah Kiblat Untuk memahami suatu persoalan, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah memperjelas pengertian suatu kajian tersebut baik dari sisi kebahasaan (etimologi) maupun istilah (terminologi). Termasuk di dalam tulisan ini mengenai arah kiblat. Dengan demikian, perlunya mempertegas pengertian arah kiblat agar pembahasan ini menjadi fokus dan mudah dipahami oleh pembaca. Arah dalam bahasa Arab disebut “Jihah” atau “Syatrah” dan kadangkadang disebut “Kiblat”. Dalam bahasa Latin disebut dengan “Azimuth”.10 Arah dalam “Kamus Inggris Indonesia”, diartikan jurusan mata angin.11 Titik suatu tempat di mana tempat tersebut dikehendaki untuk ditunjuk. Kiblat dalam “Kamus Ilmiah Populer”, diartikan arah hadap atau arah Ka`bah.12 Kiblat adalah arah bagi setiap umat Muslim dalam melakukan ibadah shalat. Kiblat umat Islam adalah Ka`bah yang terletak di kota suci Mekah.13
10 Tim Badan Peradilan Agama Islam, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta: 1985, hlm. 9. 11 John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, 1995: Jakarta, hlm. 566. 12 Ahmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer, Absolut, Yogyakarta: 2004, hlm. 221. 13 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, jilid 3, PT. Ichtiar van Hoeve, Jakarta: 1994, hlm. 66.
14
Ditinjau dari sisi historis pada mulanya kiblat umat Islam adalah Baitul Makdis di “Yerusalem”14, Palestina. Hal ini dilakukan berhubungan kedudukan Baitul Makdis saat itu masih dianggap yang paling istimewa, pada saat yang sama Baitullah masih dikotori oleh beratus-ratus berhala di sekelilingnya. Meskipun demikian, menurut sebuah riwayat, sekalipun Rasulullah selalu menghadap ke Baitul Makdis, jika berada di Makkah beliau juga pada saat yang sama selalu menghadap ke Baitullah. Hal ini, juga berlaku sampai beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap menjadikan Baitul Makdis sebagai kiblat. Pada tahun ke dua Hijriah, sekitar 16 bulan umat Islam berkiblat ke Baitul Makdis, datang perintah Allah agar kiblat tersebut dipindahkan ke Ka`bah (Baitullah) di Mekah. Hal ini berdasarkan konteks surat al-Baqaraah: 144.
ô‰s% 3“ttΡ |==s)s? y7Îγô_uρ ’Îû Ï™!$yϑ¡¡9$# ( y7¨ΨuŠÏj9uθãΨn=sù \'s#ö7Ï% $yγ9|Êös? 4 ÉeΑuθsù y7yγô_uρ tôÜx© ωÉfó¡yϑø9$# ÏΘ#tysø9$# 4 ß]øŠymuρ $tΒ óΟçFΖä. (#θ—9uθsù öΝä3yδθã_ãρ …çνtôÜx© 3 ¨βÎ)uρ t⎦⎪Ï%©!$# (#θè?ρé& |=≈tGÅ3ø9$# tβθßϑn=÷èu‹s9 çμ¯Ρr& ‘,ysø9$# ⎯ÏΒ öΝÎγÎn/§‘ 3 $tΒuρ ª!$# @≅Ï≈tóÎ/ $£ϑtã tβθè=yϑ÷ètƒ ∩⊇⊆⊆∪ Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit15, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan Sesungguhnya orang14 Sejarah Yerusalem sebagai kota suci tiga agama, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, sudah diukir 5.000 tahun yang lalu. Sejarah ini telah menjadikan Yerusalem sebagai kota yang sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Abdurahman Wahid, dalam Kementar dan Apresiasi bukunya Trias Kuncahyono, Jerusalem Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, PT. Media Nusantara, Jakarta: 2008, hlm. xi. 15 Maksudnya ialah nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu Turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
15
orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqaraah: 144). Perpindahan arah kiblat dari Baitul Makdis ke Baitul Haram (Ka`bah) mengakibatkan keributan dan menimbulkan berbagai gejolak, baik di sisi internal umat Islam yang masih lemah imannya (muallaf qulubuhum) maupun dari kalangan eksternal (di luar umat Islam-kaum kafir). Mereka menyatakan bahwa nabi Muhammad berfikir dan berbuat tidak istikomah sebentar menghadap ke sana sebentar menghadap ke mari. Ada pula yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad kembali ke ajaran nenek moyang sebab di sekitar Baitullah pada waktu itu masih banyak terdapat berhala, sehingga ada muallaf yang menjadi kafir. Dengan adanya perpindahan arah kiblat tersebut orang-orang Yahudi dan munafik sangat tidak senang, sebab menurut mereka Baitul Makdis yang didirikan oleh Nabi Sulaiman adalah tempat suci sumber agama yang dibawa oleh Nabi keturunan Israil. Maka, dengan kiblatnya Nabi Muhammad ke Baitul Makdis berarti hanyalah jiblakan dari ajaran mereka (Nabi terdahulu). Sekarang Nabi Muhammad berpindah ke Baitullah, sehingga mereka sangat kecewa.16 Nilai filosofis kiblat adalah tidak hanya sekedar arah untuk menyatukan segenap umat Islam dalam melaksanakan shalat, tetapi yang harus dipahami bahwa titik arah itu sendiri bukanlah objek yang disembah oleh orang Muslim 16
H. Ahmad Izzuddi, Saat Praktis Menggecek Kiblat Masjid, Artikel di Wawasan, 16 Juli 2009, hlm. 3.
16
dalam melaksanakan shalat. Yang menjadi objek yang dituju oleh orang Muslim dalam shalat hanyalah adalah Allah. Dengan demikian, umat Islam bukan menyembah Ka`bah, tetapi menyembah Allah. Ka`bah hanya menjadi titik kesatuan arah dalam shalat.17 Hal ini penting dipahami agar tidak terjadi bias pemahaman tentang esensi kiblat yang dinisbahkan pada Ka`bah. Dari paparan di atas dapat diambil konklusi, bahwa kiblat (Ka`bah) bukan menjadi objek penyembahan bagi umat Islam, namun hanya menjadi titik kesatuan arah dalam menghadap pada saat melakukan shalat. Dalam kajian fiqih (menurut kalangan fuqaha) arah kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Dengan demikian, harus diperhatikan dan sekaligus harus menjadi perhatian yang serius bagi pengngelola atau takmir Masjid, Musolla, dan Depertemen Agama Islam kalau di Indonesia serta semua kalangan yang memiliki kredibilitas dalam masalah ini. Oleh karena itu, pengukuran kembali arah kiblat di tempat-tempat ibadah merupakan kebajikan yang sangat mulia dan harus disambut dengan penuh antusias. Sehingga ditemukan arah kiblat yang relatif valid di tempat-tempat ibadah yang dimaksud. Khususnya dalam tulisan ini, maka pengukuran arah kiblat di masjid-masjid di kota Salatiga dengan menggunakan rumus segitiga bola (spherical trigonometry) pada hakikatnya untuk menemukan arah kiblat yang tepat dan benar di masjid tersebut.
17
Dewan Redaksi, Ibid, hlm. 66.
17
B. Dasar Hukum Tentang Arah Kiblat Menurut bukunya N.A. Baiquni &kk, “Indeks Al-Quran”, beliau menyebutkan setidaknya ada lima ayat yang menjelaskan tentang arah sekaligus arah kiblat kesemuanya terdapat dalam surat al-Baqaraah. Ayat 114, 149, 150 terkait tentang perintah untuk menghadap kiblat pada saat shalat. Ayat 148 berkaitan tentang tiap-tiap umat mempunyai kiblat sendiri-sendiri. Selanjutnya ayat 144 berkaitan tentang perubahan arah kiblat yang dulunya ke arah Baitul Makdis sekarang diubah ke Baitullah atau Baitul Haram (Ka`bah). Untuk lebih jelasnya dapat dipahami dari konteks ayat-ayat di atas yang akan disebutkan berikut ini; 1. Dasar Hukum yang Berdasarkan Normatif Al-Quran;
ô⎯tΒuρ ãΝn=øßr& ⎯£ϑÏΒ yìoΨ¨Β y‰Éf≈|¡tΒ «!$# βr& tx.õ‹ãƒ $pκÏù …çμßϑó™$# 4©tëy™uρ ’Îû !$yγÎ/#tyz 4 šÍׯ≈s9'ρé& $tΒ tβ%x. öΝßγs9 βr& !$yδθè=äzô‰tƒ ωÎ) š⎥⎫ÏÍ←!%s{ 4 öΝßγs9 ’Îû $uŠ÷Ρ‘$!$# Ó“÷“Åz óΟßγs9uρ ’Îû ÍοtÅzFψ$# ë>#x‹tã ×Λ⎧Ïàtã ∩⊇⊇⊆∪ Artinya: “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjidNya, dan berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (Al-Baqaraah: 114).
18
ô⎯ÏΒuρ ß]ø‹ym |Mô_tyz ÉeΑuθsù y7yγô_uρ tôÜx© ωÉfó¡yϑø9$# ÏΘ#tysø9$# ( …çμ¯ΡÎ)uρ ‘,ysù=s9 ⎯ÏΒ y7Îi/¢‘ 3 $tΒuρ ª!$# @≅Ï≈tóÎ/ $£ϑtã tβθè=yϑ÷ès? ∩⊇⊆®∪ Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekalikali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqaraah: 149).
ô⎯ÏΒuρ ß]ø‹ym |Mô_tyz ÉeΑuθsù y7yγô_uρ tôÜx© ωÉfó¡yϑø9$# ÏΘ#tysø9$# 4 ß]øŠymuρ $tΒ óΟçFΖä. (#θ—9uθsù öΝà6yδθã_ãρ …çνtôÜx© ξy∞Ï9 tβθä3tƒ Ĩ$¨Ψ=Ï9 öΝä3ø‹n=tæ îπ¤fãm ωÎ) š⎥⎪Ï%©!$# (#θßϑn=sß öΝåκ÷]ÏΒ Ÿξsù öΝèδöθt±øƒrB ’ÎΤöθt±÷z$#uρ §ΝÏ?T{uρ ©ÉLyϑ÷èÏΡ ö/ä3ø‹n=tæ öΝä3¯=yès9uρ tβρ߉tGöηs? ∩⊇∈⊃∪ Artinya: “Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.” (Al-Baqaraah: 150).
9e≅ä3Ï9uρ îπyγô_Íρ uθèδ $pκÏj9uθãΒ ( (#θà)Î7tFó™$$sù ÏN≡uöy‚ø9$# 4 t⎦ø⎪r& $tΒ (#θçΡθä3s? ÏNù'tƒ ãΝä3Î/ ª!$# $·èŠÏϑy_ 4 ¨βÎ) ©!$# 4’n?tã Èe≅ä. &™ó©x« փωs% ∩⊇⊆∇∪ Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan
19
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqaraah: 148).
ô‰s% 3“ttΡ |==s)s? y7Îγô_uρ ’Îû Ï™!$yϑ¡¡9$# ( y7¨ΨuŠÏj9uθãΨn=sù \'s#ö7Ï% $yγ9|Êös? 4 ÉeΑuθsù y7yγô_uρ tôÜx© ωÉfó¡yϑø9$# ÏΘ#tysø9$# 4 ß]øŠymuρ $tΒ óΟçFΖä. (#θ—9uθsù öΝä3yδθã_ãρ …çνtôÜx© 3 ¨βÎ)uρ t⎦⎪Ï%©!$# (#θè?ρé& |=≈tGÅ3ø9$# tβθßϑn=÷èu‹s9 çμ¯Ρr& ‘,ysø9$# ⎯ÏΒ öΝÎγÎn/§‘ 3 $tΒuρ ª!$# @≅Ï≈tóÎ/ $£ϑtã tβθè=yϑ÷ètƒ ∩⊇⊆⊆∪ Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit18, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqaraah: 144). 2. Dasar Hukum yang Berdasarkan Normatif Hadits Rasululah; Dalam program “CD-ROM Hadits Al-Bayan”, setidaknya ada 14 Hadits
Rasulullah
yang
menjelaskan
masalah
keutamaan
dan
kedudukkan arah kiblat. Hadits tersebut dapat dipahami berikut ini;19 “Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Ansari r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Apabila kamu ingin membuang air besar, kamu janganlah menghadap kiblat. Begitu juga janganlah kamu membelakanginya sewaktu kencing atau membuang air besar. Sebaliknya menghadaplah ke Timur atau ke Barat.” (Hadits No 146). 18 19
Maksudnya dapat dibaca pada footnote no 15 dalam tulisan ini. Program CD-ROM Hadis Al-Bayan.
20
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a katanya: Seseorang berkata: Apabila kamu duduk untuk membuang air besar, pastikan kamu tidak menghadap ke arah kiblat dan tidak menghadap ke arah Baitul Makdis. Abdullah berkata: Aku pernah naik ke atas bumbung rumah dan terlihat Rasulullah s.a.w duduk di atas dua biji batu dengan menghadap ke Baitul Makdis untuk membuang air besar.” (Hadits No 147). “Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa' r.a katanya: Beliau memilih tempat untuk meletak mashaf yaitu al-Quran, lalu sembahyang di situ. Beliau menyebutkan bahawa Rasulullah s.a.w juga memilih tempat tersebut. Manakala jarak antara mimbar dan kiblat hanyalah cukup untuk laluan seekor kambing sahaja.” (Hadits No 277). “Diriwayatkan dari Saidatina Aisyah r.a katanya: Nabi s.a.w pernah mengerjakan sembahyang pada suatu malam manakala aku pula pada ketika itu melintang di antara baginda dan kiblat seperti melintangnya jenazah.” (Hadits No 278). “Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a katanya: Ketika Rasulullah s.a.w datang ke Madinah, baginda singgah di kawasan yang agak tinggi di Kota Madinah yaitu sebuah tempat yang bernama Bani Amru bin Auf. Baginda tinggal bersama mereka selama empat belas malam. Kemudian baginda menyuruh supaya memanggil pemimpin Bani Najjar. Lalu mereka pun datang membawa pedang masing-masing. Beliau berkata lagi: Aku seolah-olah melihat Rasulullah s.a.w di atas untanya, manakala Abu Bakar berada di belakang baginda, sementara
21
pemimpin Bani Najjar mengelilingi baginda. Baginda membiarkan saja unta baginda itu membawanya hinggalah baginda tiba di halaman rumah milik Abu Ayyub. Beliau berkata lagi: Rasulullah s.a.w sembahyang walau di mana saja bila tiba waktu sembahyang, baginda sembahyang di dalam
kawasan
pemeliharaan
kambing.
Kemudian
baginda
memerintahkan supaya didirikan sebuah masjid. Beliau berkata lagi: Lalu baginda menyuruh memanggil pemimpin Bani Najjar itu, mereka pun datang. Lalu baginda bersabda: Wahai Bani Najjar! Nyatakan harga kebunmu ini kepadaku. Lalu mereka menjawab: Tidak! Demi Allah, kami tidak mahukan harganya kecuali kepada Allah. Lalu Anas berkata: Mengikut pengetahuanku, dalam kebun itu terdapat pokok kurma, kubur orang-orang Musyrikin dan runtuhan bangunan. Lantas Rasulullah s.a.w memerintahkan supaya memotong pokok kurma, membongkar kubur orang-orang Musyrikin dan meratakan runtuhan bangunan. Beliau berkata lagi: Lalu mereka menjadikan pohon kurma tersebut sebagai arah kiblat dan sebuah batu besar sebagai bahu pintu gerbang. Beliau berkata lagi: Mereka melakukan pekerjaan berat itu sambil mengalunkan syair dan Rasulullah s.a.w ada bersama mereka. Mereka bersyair: Bermaksud: Ya Allah! Sesungguhnya tiada kebaikan yang terlebih baik melainkan kebaikan akhirat. Bantulah orang-orang Ansar dan orangorang Muhajirin.” (Hadits No 287). “Diriwayatkan daripada Abdullah bin Umar r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w melihat air liur di dinding yang
22
menghadap ke arah kiblat lalu baginda menyapunya. Kemudian baginda berpaling kepada para Sahabat dan bersabda: Semasa kamu sembahyang, kamu janganlah meludah ke depan kerana sesungguhnya Allah sedang menghadap ke arah kamu semasa kamu sembahyang.” (Hadits No 304). “Diriwayatkan daripada Abu Said al-Khudri r.a katanya: Sesungguhnya Nabi s.a.w melihat hingus di arah kiblat masjid, lalu baginda menyapunya dengan batu kecil. Kemudian baginda melarang seseorang dari meludah ke kanan atau ke depan, tetapi bolehlah meludah ke kiri atau ke bawah telapak kaki kirinya.” (Hadits No 305) “Diriwayatkan daripada Aisyah r.a katanya: Sesungguhnya Nabi s.a.w melihat air liur, hingus atau kahak di dinding kiblat lalu baginda menyapunya.” (Hadits No 36). Diriwayatkan daripada Abdullah bin Mas'ud r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w sedang sembahyang dan menurut kata Ibrahim: Baginda menambah atau mengurang rakaat sembahyangnya, maka setelah selesai memberi salam, baginda ditanya: Wahai Rasulullah! Apakah ada sesuatu yang telah terjadi pada sembahyang tadi? Rasulullah s.a.w bertanya kembali: Perkara apakah itu? Lalu dijawab: Sesungguhnya kamu telah mengerjakan sembahyang begini dan begini. Beliau berkata: Seketika itu juga Rasulullah s.a.w melipatkan kedua kakinya dan mengadap kiblat, lalu baginda sujud sebanyak dua kali, lantas baginda memberi salam. Kemudian beliau berpaling ke arah kami seraya bersabda: Seandainya terjadi sesuatu semasa dalam
23
sembahyang, maka aku ingin menerangkannya kepada kamu. Tetapi aku juga manusia biasa yang boleh jadi terlupa sama seperti kamu. Apabila aku terlupa, peringatkanlah kepadaku. Apabila kamu merasa ragu-ragu ketika sembahyang, hendaklah kamu berusaha mencari yang sepatutnya dan menyempurnakannya jika kurang, selepas itu hendaklah kamu melakukan sujud sahwi sebanyak dua kali.” (Hadits No 318). “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah sembahyang bersama kami di suatu petang, samada sembahyang Asar atau sembahyang Zuhur. Pada rakaat yang kedua baginda memberi salam. Kemudian baginda bersandar dibatang tamar yang berada pada arah Kiblat. Di antara Sahabat yang menjadi makmum termasuklah Abu Bakar dan Umar, namun keduanya tidak berani berkata-kata. Sementara sahabat-sahabat lain terpegun kerana sembahyang dilakukan terlalu singkat. Lalu seorang Sahabat bernama Zul Yadain berdiri seraya berkata: Wahai Rasulullah! Adakah sembahyang disingkatkan iaitu diqasar atau anda terlupa? Rasulullah s.a.w memandang ke kanan dan kiri lalu baginda bertanya: Adakah benar apa yang diucapkan oleh Zul Yadain
tadi?
Sahabat-sahabat
menjawab:
Benar!
Anda
hanya
sembahyang dua rakaat sahaja. Seketika itu juga Rasulullah s.a.w menyambung sembahyang dua rakaat lagi dan baginda memberi salam. Setelah itu baginda bertakbir kemudian sujud, kemudian bertakbir lalu bangkit dari sujud, kemudian baginda bertakbir lagi lalu sujud buat kali kedua, kemudian bertakbir dan bangkit dari sujud.” (Hadits No 319).
24
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a: dari Anas bin Sirin r.a katanya: Aku bertemu dengan Anas bin Malik ketika beliau pulang dari Syam. Aku bertemu dengannya di Ain At-Tamr dan aku melihat beliau sembahyang di atas kaldai sedangkan mukanya menghadap ke arah ini, iaitu sebelah kiri kiblat. Aku berkata kepadanya: Aku melihat kamu sembahyang dengan tidak menghadap ke arah kiblat? Dia menjawab: Seandainya aku tidak pernah melihat Rasulullah s.a.w melakukan perkara ini, pasti akupun tidak akan melakukannya.” (Hadits No 390). “Diriwayatkan daripada Jabir bin Abdullah r.a katanya: Aku pernah bersama Rasulullah s.a.w turut melakukan sembahyang Khauf. Kami membentuk dua shaf. Satu shaf berada di belakang Rasulullah s.a.w manakala pihak musuh berada di antara kami dan kiblat. Ketika Nabi s.a.w mengangkat takbir kami semua ikut mengangkat takbir. Kemudian baginda rukuk dan kami semua pun ikut rukuk. Kemudian baginda mengangkat kepala dari rukuk kami pun turut melakukan hal yang sama. Kemudian baginda turun untuk sujud bersama shaf pertama. Sementara itu saf yang di belakang tetap berdiri berhadapan dengan musuh. Ketika Nabi s.a.w selesai sujud bersama shaf pertama. Shaf yang di belakang pula turun untuk melakukan sujud dan kemudian berdiri. Kemudian shaf yang belakang itu maju ke hadapan dan saf pertama bergerak ke belakang. Kemudian Nabi s.a.w rukuk dan kami semua ikut serta rukuk bersama baginda. Kemudian Nabi berdiri tegak dan kami pun mengikuti baginda. Sementara barisan yang tadi berada di belakang
25
ikut sujud bersama baginda, manakala barisan yang satu lagi tetap berdiri menghadapi musuh. Apabila Nabi s.a.w selesai sujud bersama shaf yang berada di belakang baginda, maka barisan yang di belakang pula turun sujud. Setelah mereka selesai sujud, Nabi s.a.w memberi salam dan kami semua ikut serta memberi salam. Kata Jabir: Seperti yang biasa dilakukan oleh pasukan pengawal terhadap pemimpin mereka.” (Hadits No 464). “Diriwayatkan daripada Abdullah bin Zaid al-Mazini r.a katanya Rasulullah s.a.w telah keluar menuju ke tempat sembahyang untuk mengerjakan sembahyang Istisqa' (sembahyang minta hujan) dan baginda memakai selendang secara terbalik ketika menghadap kiblat.” (Hadits No 494). “Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a: dari Ibnu Juraij katanya: Aku pernah bertanya kepada Ata': Adakah kamu pernah mendengar Ibnu Abbas r.a berkata: Kamu hanya diperintahkan untuk melakukan Tawaf, bukan diperintah untuk memasuki ke dalamnya. Ata' berkata: Beliau tidak melarang dari memasukinya. Tapi aku mendengar beliau berkata: Usamah bin Zaid r.a pernah menceritakan padaku: Nabi s.a.w ketika masuk Baitullah baginda berdoa di setiap sudutnya dan baginda tidak melakukan sembahyang sehinggalah keluar. Setelah keluar, baginda sembahyang dua rakaat di hadapan Baitullah. Baginda bersabda: Ini adalah kiblat. Kemudian aku bertanya kepada Usamah:
26
Pada setiap penjuru atau pada satu sudut sahaja? Beliau menjawab: Pada setiap sudut Baitullah adalah kiblat.” (Hadits No 764). 3. Pandangan Para Ulama (Fuqaha) berkaitan tentang Arah Kiblat Hal penting dan utama untuk diketahui, kenapa arah kiblat harus jelas, benar dan tepat? Telah disebutkan sebelumnya sebagai syarat sahnya shalat dalam Islam. Pada hal shalat dalam teologi-Islam merupakan tiang agama, hingga kedudukannya dalam ritual peribadatan yang utama sebagai implementasi terhadap penyembahan kepada Allah yang telah menciptakan dirinya (manusia). Kewajiban ini di pahami dari firman Allah surat al-Baqaraah: 149 di atas. Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa Ka`bah sebagai kiblat bagi orang yang dekat dan dapat melihatnya. Artinya jika seseorang itu memungkinkan (dekat) menatap Ka`bah, maka orang itu diharuskan menghadap kebangunan Ka`bah.20 Tetapi mereka berbeda pendapat tentang kiblat bagi orang yang jauh dan tidak dapat melihatnya.21 Dengan demikian, dapat diambil dua masalah penting yang berkaitan dengan kiblat; Pertama, masalah kewajiban menghadap ke bangunan Ka`bah atau hanya cukup arahnya. Kedua, kewajiban itu persis mengarah ke kiblat atau mengarah semaksimal mungkin ke kiblat atau bangunan Ka`bah. Menurut Imam Hanafi, Hambali, Maliki, sebagian kelompok Imamiyah kiblat orang jauh adalah arah di mana letaknya Ka`bah 20
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, diterj. Drs. Imam Ghazali Said, MA., dan Ahmad Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta: 2002, hlm. 242. 21 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta: 2004, hlm. 77.
27
berada, bukan Ka`bah itu sendiri. Syafi`i dan sebagian kelompok Imamiyah berpendapat wajib menghadap Ka`bah itu sendiri, baik bagi orang yang dekat maupun orang yang jauh. Jika dapat mengetahui arah Ka`bah itu sendiri secara pasti (tepat), maka ia harus menghadap ke arah tersebut. Tetapi jika tidak cukup dengan perkiraan saja. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bagi orang yang jauh dari Ka`bah tidak mungkin dapat membuktikan kebenarannya secara tepat, maka kiblat bagi mereka menghadap ke arahnya, bukan kepada Ka`bah.22 Kaitannya dengan pembahasan ini adalah rasanya mustahil umat Islam Salatiga yang notabene jauh dan tidak dapat melihat Ka`bah untuk dapat membuktikan secara pasti dan tepat letak bangunan Ka`bah, namun yang dicapai hanya perkiraan arah kemiringan yang dituju Ka`bah. Akan tetapi, tetap berusaha semasimal mungkin untuk menyakini bahwa kemiringan itu identik dengan kiblat atau Ka`bah yang tingkat kebenaran dan ketepatannya telatif-valid. Berdasarkan teori perhitungan dan pengukuran rumus segitiga bola yang telah menjadi instrument untuk mengetahui arah kemiringan arah kiblat yang telah teruji dan dipakai dibelahan dunia oleh praktisi keilmuan keislaman (ilmu falak). Namun tetap mempertimbangkan dan menggunakan hasil temuan dan penelitian dari alat-alat teknologi canggih semisal; GPS (Global Position Sistem), kompas yang benar, dan thedolite. Bahkan, bayangan matahari pada waktu tertentu (rasdhul
22
Muhammad Jawad Mughniyah, Ibid, hlm. 77
28
kiblat) setelah mengetahui data lintang dan bujur serta lintang dan bujur Ka`bah tetap digunakan.
C. Dasar Perhitungan Arah Kiblat Intrument yang digunakan dalam menghitung arah kemiringan kiblat dalam tulisan ini adalah rumus segitiga bola (spherical trigonometry). Untuk mempermudah pemahaman, maka akan dipaparkan pengertian yang dimaksud rumus segitiga bola (spherical trigonometry). Pada “Kamus Bahasa Inggris”, Trigonometri diartikan sebagai ilmu ukur segitiga.23 Sedangkan dalam, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” diartikan sebagai ilmu ukur mengenai sudut dan sempadan (batas) segitiga.24 Untuk mengetahui jarak yang jauh dan atau dekat dari suatu letak tempat atau sesuatu benda yang ada di bumi dan di langit, maka perlunya pengukuran agar menemukan kepastian tingkat kejauhan dan kedekatan dalam asumsi yang dibangun setiap individu. Upaya yang harus dilakukan adalah tidak mengabaikan jaraknya masing-masing berkaitan dengan hal yang telah dinyatakan dalam suatu sistem acuan atau sistem koordinat bola.25 Untuk perhitungan arah kiblat, ada 3 buah titik yang diperlukan, yaitu:26 1.
Titik A, terletak di Ka`bah (Baitullah-Mekah), yaitu titik yang tidak pernah berubah.
23
John M, Echol, Op. Cit, hlm. 603. Tim Penyusun, Op. Cit, hlm. 1211. 25 Badan Hisab dan Rukyah, Almanak Hisab Rukyah, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta: 1981, hlm. 151. 26 Mulyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik Perhitungan Arah Kiblat, Waktu Shalat, dan Gerhana, Buana Pustaka, Yogyakarta: 2004, hlm. 54. 24
29
2.
Titik B, terletak di lokasi yang akan dihitung arah kiblatnya. Dalam tulisan ini adalah masjid di Kota Salatiga. Dengan demikian, titik ini selalu berubah sesuai atau tergantung tempat dan lokasi mana yang akan dihitung arah kiblatnya.
3.
Titik C, terletak di kutub Utara. Titik ini tidak pernah berubah sebab letaknya tepat di kutub Utara. Dengan demikian, yang dimaksud perhitungan arah kiblat adalah upaya
untuk mengetahui berapa besar nilai titit sudut B, yakni sudut yang diapit oleh sisi a dan sisi b dalam lengkungan segitiga bola. Untuk perhitungan arah kiblat, hanya diperlukan dua data tempat, yaitu data lintang dan data bujur Ka`bah serta data lintang dan bujur tempat lokasi atau kota yang dihitung arah kiblatnya, khusus dalam tulisan ini data lintang dan bujur masjid-masjid di kota Salatiga yang menjadi lokasi pengukuran. Data lintang dan bujur tempat untuk lokasi atau kota yang dihitung arah kiblatnya dapat diambil dari daftar yang telah ada, atau dicari dengan GPS (global position system) atau dihitung tersendiri.27 Untuk menghitung kemiringan arah kiblat masjid-masjid di kota Salatiga yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini menggunakan rumus segitiga bola (spherical trigonometry). Rumus yang dimaksud adalah: contan B = sin a cotan b : sin C – cos a cotan C
27
Mulyiddin Khazin, Ibid, hlm. 55.
30
Dengan rumus di atas, maka diperlukan 3 unsur, yaitu:28 1.
Jarak antara kutub utara sampai garis lintang yang melewati tempat kota yang dihitung arah kiblatnya, dalam konteks ini kota Salatiga.
2.
Jarak antara titik kutub utara sampai garis lintang yang melewati Ka`bah.
3. Jarak bujur atau Fadhlut Thulain, yakni jarak antara bujur tempat yang dihitung arah kiblatnya kota Salatiga dengan bujur Ka`bah (Baitullah).
D. Tokoh-tokoh Ilmu Falak di Indonesia 1. Kyai Zubaer Kyai Zubaer demikian panggilan seorang ulama yang juga seorang akademisi yang terkenal sebagai pakar falak dengan karya monumentalnya kitab “Al-Khulashah al-Wafiyah” yang membahas tentang beberapa metode yang dipergunakan dalam hisab dan rukyah. Beliau lahir di Padangan Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur pada tanggal 16 September 1908. Dunia pendidikan yang beliau tempuh hampir seluruhnya dalam dunia pendidikan tradisional yakni madrasah dan pondok pesantren termasuk mukim li-thalab al-ilmi di Makkah al-Mukaramah pada waktu menjalankan ibadah haji. Sebagaimana kondisi sosial realistis di abad tersebut bahwa pesantren masih merupakan satu-satunya lembaga pendidikan untuk tingkat lanjut yang tersedia bagi penduduk pribumi di
28
Mulyiddin Khazin, Ibid, hlm. 55-56.
31
pedesaan, sehingga dapat diasumsikan sangat berperan dalam mendidik para elite pada masanya. Jenjang pendidikannya dimulai di madrasah Ulum tahun 1916 – 1921, pondok pesantren Termas Pacitan 1921 – 1925, pondok pesantren Simbang Kulon Pekalongan, 1925-1926, pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, 1926-1929. Kemudian tahun 1930 – 1935, beliau menjalankan ibadah haji yang dilanjutkan dengan thalab al-ilmi di Makkah selama lima tahun. Merujuk pendapat Snouck Hurgronje, perjalanan haji kyai Zubaer tersebut termasuk tipe haji santri. Perilaku ini dikukuhkan dengan penelitian Martin Van Bruinessen bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak orang Indonesia yang bermukim di Makkah, bahkan disinyalir bangsa Asia Tenggara (masyarakat Jawa) merupakan salah satu kelompok terbesar. Dengan asumsi Makkah sebagai pusat dunia dan sumber ngelmu, sehingga banyak orang Indonesia yang mukim di sana, bahkan gerakan agama Islam terilhami dari sana, sebut saja ulama seperti Nawawi Banten, Mahfud Termas dan Ahmad Khatib Minangkabau yang mengajar di Makkah dan banyak mendidik ulama Indonesia yang kemudian banyak berperan penting di Indonesia. Dalam rihlah ilmiah, Zubaer Umar al-Jaelany tidak hanya menuntut ilmu (ifadah) tapi juga mengajarkan ilmunya (istifadah). Sebagaimana ketika di pondok pesantren KH Hasyim Asy’ari, beliau mengabdikan diri dengan menjadi guru madrasah Salafiyah Tebuireng
32
Jombang. Bahkan beliau pernah menjabat Rektor IAIN Walisongo Semarang dengan “Surat Keputusan” tanggal 5 Mei 1971. Di samping itu, beliau juga pernah memimpin Pondok Pesantren al-Ma’had al-Diniy Reksosari Suruh Salatiga (1935-1945), mendirikan Pondok Pesantren Luhur yang merupakan cikal bakal IKIP NU yang akhirnya menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo yang sekarang menjadi STAIN Salatiga. Dan juga mendirikan Pondok Pesantren Joko Tingkir (1977) yang sekarang tinggal petilasannya yang dikenal dengan kampung Tingkir. Murid-muridnya di antaranya Kyai Musaffa (Salatiga), Kyai Subkhi (Jawa Timur), KH Zainuddin (Suruh Salatiga), Hamid Nawawi (Bulumanis Pati), Drs KH Slamet Hambali (Dosen Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang) dan Drs H. Habib Thoha MA (Kakanwil Depag Jawa Tengah). Drs KH Slamet Hambali salah satu di antara murid beliau yang meneruskan kepakarannya dalam ilmu falak. Beliau wafat di Salatiga pada tanggal 10 Desember 1990 / 24 Jumadil Awal 1411 H. 2. KH. Nur Ahmad KH. Nur Ahmad meski hampir setiap menjelang pelaksanaan puasa Ramadlan, Idul Fitri, dan Idul Adha umat Islam ribut dalam menentukan tanggalnya namun, rupanya tidaklah banyak ulama yang berkhidmah terhadap ilmu falak, ilmu tentang ilmu penanggalan. Di antara ulama khos yang mengkonsentrasikan ilmunya kepada ilmu falak adalah KH Nur Ahmad dari Jepara. Pada era KH Abdurrahman Wahid memimpin
33
Nahdlatul Ulama, KH Nur Ahmad adalah perwakilan dari propinsi Jawa Tengah untuk Lajnah Falakiyah PBNU. Terlahir di Robayan, Jepara pada tahun 1930 Nur Ahmad memulai pendidikannya di kampung halamannya sendiri, sebelum ia kemudian bersekolah ke Madrasah Taswiquth Thullab (TBS) Kudus. Selama belajar di TBS memang belum nampak keahliannya sebagai santri yang hebat. Namun selama belajar di TBS inilah Nur Ahmad mulai berkenalan dengan pelajaran falak dan berguru secara pribadi (sorogan) kepada KH Turaichan Kudus dengan memakai rubu’ (alat ukur berbentuk seperempat lingkaran) dan metode logaritma. Nur Ahmad belajar privat (sorogan) falak karena ia menyukai matematika. Menurut penuturannya, Nur Ahmad menekuni pelajaran falak ketika duduk di bangku tsanawiyah TBS (SMP). Tingkatan tertinggi, karena waktu itu belum ada tingkat Aliyah (SMU). Waktu itu di Jepara, madrasah setingkat SMP pun belum ada. Di rumah, Nur Ahmad belajar mencocokkan arloji, karena terlalu sering diubah-ubah, maka arlojinya pun sering rusak. Selama di Madrasah TBS Kudus, Nur Ahmad belajar ilmu falak menggunakan kitab falak karangan Kiai Mawardi Solo. Nur Ahmad menyalinnya dengan memakai tinta tutul. Yakni berupa alat tulis yang terdiri dari batang lidi aren lancip dengan tinta cair dalam botol. Demikianlah alat tulis para santri pada zaman itu, alat ini memiliki keistimewaan awet, tahan lama dan tidak pudar. Sehingga, meskipun
34
sekarang telah ada bolpoint yang praktis, namun banyak santri masih menggunakannya sebagai alat tulis sampai saat ini. Disebabkan ketertarikannya pada pelajaran falak, Nur Ahmad tidak puas hanya belajar kepada satu guru saja, melainkan ia juga belajar falak secara sorogan (privat) kepada beberapa ulama di Kudus seperti kepada Kiai Rif’an Kudus. Keistimewaan cara belajar Nur Ahmad kepada Kiai Turaichan adalah, ia belajar langsung tanpa memakai kitab panduan. Tanpa kitab, sekali belajar harus langsung bisa. Nur Ahmad memiliki jadwal rutin dengan Kiai Turaichan. Pernah, pada suatu ketika tidak dapat memenuhi jadwal hingga molor sampai kira-kira sebulan. Maka Nur Ahmad tidak berani kembali hingga ia bisa menguasai pelajaran selanjutnya. Dan ketika tiba ia kembali mengaji kepada Kiai Turaichan, maka dia ditanya, “Bagaimana kamu Nur?” Dan Nur Ahmad hanya menjawab, “Sudah bisa Kiai”. Dan Kiai Turaichan pun melanjutkan pelajarannya. Setelah menamatkan pendidikannya di Kudus, Nur Ahmad remaja kemudian berkelana ke pesantren-pesantren lain di Jawa. Di antaranya adalah ke Tebuireng, Jombang, ke Salatiga, ke Rembang, ke Lasem, dan ke Langitan, serta Tuban. Perjalanannya
menuntut
ilmu falak
ini
dilakukan
setelah
mendapatkan restu dari gurunya, KH Turaichan. Yakni setelah Nur Ahmad dianggap telah cukup menguasai dasar-dasar falakiyah dan membutuhkan bersilaturrahim (mengaji) kepada guru-guru lain. Dari sinilah Nur Ahmad menguasai banyak metode falakiyah dan mempelajari
35
banyak kitab-kitab falak seperti “Hikmatul Wasaid” dan “Kurotul wafiyah”. Selama di Salatiga, Nur Ahmad belajar kepada Kiai Zubair, pengarang (Khulasotul Wafiyah). Di pesantren Widang Langitan, Nur Ahmad mengaji kepada Kiai Abdul Hadi dan akrab dengan Kiai Faqih Langitan yang merupakan teman satu angkatannya. Namun selama mengembara ke beberapa Kiai ini, Nur Ahmad selalu menyempatkan diri untuk mengaji kepada guru pertamanya, KH Turaichan di Kudus. Sehingga Nur Ahmad merupakan salah satu santri kesayangan sang maestro falak ini. Selain belajar secara jasmaniah/teknis, Nur Ahmad juga diperintahkan oleh gurunya, KH Turaichan untuk berguru secara ruhaniah. Cara berguru yang kedua ini berupa perjalanan ziarah kepada para ulama ahli falak yang telah wafat. Nur Ahmad sering mendapat perintah, untuk berziarah ke makam-makam ulama falak. Seperti ke pesarean (makam) Raden Dahlan, Semarang, seorang ulama ahli falak pada zamannya, Kiai Maksum Seblak, Jombang dan Asy’ari Bawean. ”Jika kamu ingin menguasai falak, berziarahlah kepada Kiai Ma’sum Jombang. Berhadharah (mengirim doa) kepada banyak Kiai, agar barokah,” kata Kiai Turaichan kepada muridnya ini. Setelah sekian lama belajar kepada Kia Turaichan, Nur Ahmad pun kemudian muncul sebagai salah satu ulama ahli falak di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Awalnya, sang guru, Kiai Turaichan Adjhuri es-Syarofi Kudus, sebagai ketua Markas penanggalan Jawa Tengah,
36
diminta sebagai anggota Lajnah Falakiyah di PBNU dari perwakilan Jawa Tengah, tetapi tidak berkenan. Lalu Kiai Turaichan diminta untuk menunjuk perwakilannya. Maka sang guru ini pun menunjuk Kiai Nur Ahmad Jepara yang merupakan muridnya, sebagai wakilnya di Lajnah Falakiyah PBNU. Peristiwa ini ini terjadi pada tahun 1969. Maka jadilah KH Nur Ahmad sebagai salah satu pengurus Lajnah Falakiyah PBNU. Mengubah Haji Akbar salah satu alasan, mengapa Nur Ahmad di antara para ulama ahli falak yang diperhitungkan prestasinya ketika keputusan pemerintah Saudi Arabia dalam menentukan waktu wukuf pada tahun 1988. Waktu itu, pemerintah Saudi Arabia berkeras ingin menentukan hari waktu wukuf haji menurut kehendaknya sendiri. Ia menjalankan hari Jumuah (Jum’at) sebagai waktu wukuf, agar dapat menjadi momentum Haji Akbar. Pemerintah Saudai Arabiyah berusaha merekayasa agar wukuf pada musim haji kali ini dapat dilaksanakan pada hari Jumuah, sehingga dapat dianggap menjadi Haji Akbar. Melihat gelagat ini, PBNU yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid pun secara resmi mengutus KH Nur Ahmad untuk meluruskan kesalahan pemerintah Saudi Arabia. Maka Nur Ahmad pun berada dalam rombongan haji para pengurus PBNU. Di Makkah, KH Nur Ahmad kemudian membuat penuturan tertulis dalam bahasa Arab bahwa klaim Saudi Arabiya adalah salah. KH Nur Ahmad menyertakan berbagai pandangan hingga setebal delapan belas lembar. Penuturan KH Nur Ahmad ini kemudian dikirim ke beberapa pihak, termasuk pemerintah
37
kerajaan Saudi Arabia dan Kedutaan Indonesia di sana. Dalam penuturan tertulisnya ini, Nur Ahmad mendasarkan hitungannya pada perbedaan awal Dzulqo’dah. Yakni dengan menggenapkan bulan Syawal menjadi tiga puluh hari, karena bulan Ramadhan sebelumnya, hanya berjumlah dua puluh sembilan hari. Karena tidaklah mungkin terdapat penanggalan hijriyah dengan 29 hari dalam tiga bulan berturut-turut. Selain itu, sebagai utusan PBNU, KH Nur Ahmad mengumpulkan orang-orang Indonesia yang bermukim di Makkah, untuk move/pressure politik. Kepada mereka KH Nur Ahmad berpesan, jika benar Kerajaan Saudi Arabia tetap memutuskan dan mengumumkan bahwa wukuf jatuh pada hari Jumuah, maka mereka harus tetap melaksanakan wukuf pada hari Sabtu. ”Tolong pinjami saya mobil dan sopirnya, nanti kalian ikut di dalamnya. Kita tetap akan wukuf pada hari sabtu,” kata Nur Ahmad kepada para mukimin tersebut, yang sebenarnya adalah para tetangganya dari Demak, Lasem dan sekitarnya. Akhirnya, pemerintah Saudi Arabia bersedia merubahnya pendiriannya dan jadilah akhirnya wukuf bersama-sama pada hari Sabtu. Untuk memastikan perubahan sikap pemerintah Saudi Arabia ini, Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid pun menyusul ke Saudi Arabia. ”Dianggapnya pada waktu itu ahli falak di NU hanya Nur Ahmad Jepara saja. Padahal Nur Ahmad hanyalah Murid Kiai Turaichan Kudus saja.” katanya KH Nur Ahmad merendah. Syamsul Hilal berpendapat bahwa, KH Nur Ahmad ini pulalah yang merupakan ”saksi ahli” dalam kejadian penolakan melihat gerhana
38
matahari secara langsung dengan mata telanjang, yang tetapkan oleh pemerintah. KH Nur Ahmad tentu tidak kaget ketika perintah keluar masjid dan melihat gerhana secara langsung dikeluarkan oleh gurunya dari atas mimbar khutbah gerhana. Bagaimana pun juga Nur Ahmad telah mengetahui sebelumnya, karenya dirinya merupakan orang yang sangat intens diajak berdiskusi oleh gurunya untuk urusan falakiyah. Untuk mengukur sejauh mana kualitas keilmuan Nur Ahmad, dapatlah diukur dari kedekatannya dengan gurunya. Karena kepercayaan Kiai Turaichan kepada Nur Ahmad, maka ia sering diajak langsung untuk menemui tamutamu penting membicarakan urusan falakiyah, atau keterlibatannya sebagai wakil Kiai Turaichan untuk urusan-urusan falakiyah. Salah satu yang cukup membuatnya terkesan adalah ketika gurunya, KH Turaichan didatangi oleh seorang tamu bernama Sa’duddin Jambek dari Sumatera Barat. Tamu ini datang ke Kudus, tampaknya ingin mencoba menjajaki, sejauh mana ketinggian ilmu gurunya. Di sini Nur Ahmad adalah murid yang dilibatkan secara langsung untuk menemui sang tamu. Tamu ini menanyakan, kitab apa yang digunakan untuk menghitung tinggi hilal (bulan sabit penanda awal tanggal baru) dari kaki langit (ufuk) terendah. Mengerti maksud kedatangan tamunya, Kiai Turaichan mulai menjawab dengan menunjukkan kitab falak yang dianggap paling dasar oleh kalangan santri, yakni Sullamun Nayiroin. Ketika sang tamu mengerti, maka Turaichan terus menunjukkan pada tingkat di atasnya. Demikian seterusnya, hingga ketika menunjukkan kitab Syamsul Hilal, sang tamu
39
belum mengenalinya. Maka rupanya sedemikianlah kemampuan sang tamu. Padahal masih banyak kitab-kitab lain yang dianggap lebih tinggi daripada Syamsul Hilal. Belajar kepada Syeikh Yasin Padang salah satu yang membuat KH Nur Ahmad merasa berkesan adalah ketika berguru kepada Syeikh Yasin Padang. KH Nur Ahmad berguru kepada Syeikh Yasin Padang di Makkah ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jika pada umumnya, seseorang membutuhkan waktu lama untuk mempelajari sebuah kitab, dengan Syeikh Yasin Padang, KH Nur Ahmad hanya membutuhkan 3 hari untuk menghatamkan satu kitab. KH Nur Ahmad pun memiliki banyak pengetahuan baru bersama Syeikh Yasin Padang. Dengan cara belajar sepanjang masa inilah, KH Nur Ahmad menjalani kehidupannya yang sederhana dan bermanfaat. Meski telah memiliki banyak santri di rumahnya, namun KH Nur Ahmad masih tetap belajar kepada banyak guru dan menimba ilmu kepada para ulama lainnya. KH Nur Ahmad mengabdikan
sepanjang
hidupnya
untuk
perjuangan
ilmu
Islam
Ahlussunnah Waljamaah. Mengabdi untuk pada para santrinya, organisasi NU di Lajnah Falakiyah dan kepada masyarakat sekitarnya. Meski hampir setiap menjelang pelaksanaan puasa Ramadlan, Idul Fitri, dan Idul Adha umat Islam ribut dalam menentukan tanggalnya, namun rupanya tidaklah banyak ulama yang berkhidmah terhadap ilmu falak, ilmu tentang ilmu penanggalan. Dan di antara ulama khos yang sedikit ini adalah KH Nur Ahmad dari Jepara. Pada era KH Abdurrahman
40
Wahid memimpin Nahdlatul Ulama, KH Nur Ahmad adalah perwakilan dari propinsi Jawa Tengah untuk Lajnah Falakiyah PBNU. 3. KH. Ahmad Dahlan K.H Ahmad Dahlan nama kecilnya Muhammad Darwis (ada literatur yang menulis Darwisy), dilahirkan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 Masehi bertepatan dengan tahun 1285 Hijriyah dan meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923 M/ 7 Rajab 1342 H, jenazahnya dimakamkan di Karangkajen Yogyakarta. Dalam bidang ilmu Falak ia merupakan salah satu pembaharu, yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315 H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke Barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat yang 24 derajat arah Barat Laut. Sebagai ulama yang menimba ilmu bertahun-tahun di Mekah, Dahlan mengemban amanat membenarkan setiap kekeliruan, mencerdaskan setiap kebodohan. Dengan berbekal pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari melalui K.H. Dahlan (Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh Darat (Semarang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Dahlan menghitung kepersisan arah kiblat pada setiap masjid yang melenceng. Setelah "tragedi kiblat" di Masjid Agung, ia pun mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal kiprahnya, ia kerap mendapat
41
rintangan, bahkan dicap hendak mendirikan agama baru. Namun keteguhan sikapnya menyebabkan ia dicatat sebagai pelopor pembetulan arah kiblat dari semua surau dan masjid di Indonesia. Tak cuma itu reputasi yang ditorehkannya, berdasarkan pengetahuan ilmu Falak dan Hisab yang dimilikinya, Dahlan melalui Muhammadiyah, mendasarkan awal puasa dan Syawal dengan Hisab (perhitungan). 4. K.H Ahmad Badawi K.H Ahmad Badawi Ahli Falak yang menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965 M/1382-1385 H dan 1965-1968 M/1385-1388 H. Ia lahir pada tanggal 5 Februari 1902 M/ 1320 H di Kampung Kauman Yogyakarta dan meninggal dunia pada hari Jum'at 25 April 1969 M/8 Safar 1389 H pukul 09.25 WIB di PKU Yogyakarta, putra K.H. Ahmad Faqih dan Hj. Habibah (adik K.H. Ahmad Dahlan). Semasa kecil, ia pertama-tama belajar di Madrasah Ibtidaiyah Diniyyah Islamiyyah yang didirikan dan diasuh langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan. Setelah itu ia melanjutkan belajar di berbagai pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena ketekunan dan rajin belajar, K.H. Ahmad Badawi terkenal sebagai ahli fikih, ahli hadis, dan ahli falak. Semua karyanya ditulis dengan tangan dalam huruf Arab maupun Latin dengan rapi. Karyanya yang berkaitan dengan ilmu falak adalah Djadwal Waktu Sholat se-lama2nja, Tjara Menghitoeng Hisab Haqiqi Tahoen 1361 H, Hisab Haqiqi, dan Gerhana Bulan. Negara Islam yang pernah
42
dikunjungi di antaranya: Pakistan, Irak, Kuwait, Teheran, Saudi Arabia, Beirut, dan Jordan. 5. Saadoe'ddin Djambe Saadoe'ddin Djambek (Bukittinggi, 24 Maret 1911 M/ 1330 HJakarta, 22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H). Seorang guru serta ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-1367 H) dari Minangkabau. Ia memperoleh pendidikan formal pertama di HIS (Hollands Inlandsche School) hingga tamat pada tahun 1924 M/1343 H. Kemudian ia melanjutkan studinya ke sekolah pendidikan guru, HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool). Setelah tamat dari HIK pada tahun 1927 M/1346 H, ia meneruskannya lagi ke Hogere Kweekschool (HKS), sekolah pendidikan guru atas, di Bandung, Jawa barat, dan memperoleh ijazah pada tahun 1930 M/1349 H. Selama empat tahun (1930-1934 M/1349-1353 H) ia mengabdikan diri sebagai guru Gouvernements Schakelschool di Perbaungan, Palembang. Setelah menjalani tugasnya sebagai guru di Palembang, ia berusaha melanjutkan
pendidikannya,
ia
mengajukan
permohonan
untuk
dipindahtugaskan ke Jakarta agar dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Di Jakarta ia bekerja sebagai guru Gouvernement HIS nomor 1 selama setahun. Pada tahun 1935 M/1354 H ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Indische Hoofdakte (program diploma pendidikan) di Bandung sampai memperoleh ijazah pada tahun 1937
43
M/1356 H. Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh ijazah bahasa Jerman dan bahasa Perancis. Setelah mengikuti pendidikan di Bandung, ia kembali menjalankan tugas sebagai guru Gouvernement HIS di Simpang Tiga (Sumatera Timur). Sebagai seorang guru, ia tidak pernah berhenti mengembangkan karier di bidang pendidikan. Kariernya terus meningkat, dari guru sekolah dasar sampai menjadi dosen di Perguruan Tinggi dan terakhir menjadi pegawai tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin, yang mengajar di AlJami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan Syekh Taher Jalaluddin membekas dalam dirinya dan menjadi awal pembentukan keahliannya di bidang hitung-menghitung penanggalan. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/13601361 H serta mengikuti kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H. Keahliannya di bidang ilmu pasti dan ilmu falak dikembangkannya melalui tugas yang dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga
44
Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli ilmu falak, ia banyak menulis tentang ilmu hisab. Di antara karyanya adalah : (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/1373 H), (3) Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H), (5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976 M/1397 H). Karya yang terakhir ini merupakan pergumulan pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab awal bulan qamariyah. 6. Wardan Diponingrat, K.R.T Wardan Diponingrat, K.R.T Ahli falak, nama kecilnya adalah Muhammad Wardan, dilahirkan pada tanggal 19 Mei 1911 M bertepatan dengan tanggal 20 Jumadal Ula 1329 H di Kauman, Yogyakarta dan meninggal dunia pada tanggal 3 Februari 1991 M/ 19 Rajab 1411 H. Ayahnya, yaitu kyai Muhammad Sangidu seorang penghulu keraton Yogyakarta
dengan
gelar
Kanjeng
Penghulu
Kyai
Muhammad
Kamaludiningrat sejak 1913 M/1332 H sampai 1940 M/1359 H. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Keputran (sekolah khusus untuk
45
para keluarga keraton) dan Standard Schoel Moehammadijah di Suronatan (lulus tahun 1924 M/1343 H). Kemudian melanjutkan ke Madrasah Muallimin sampai lulus pada tahun 1930 M/1349 H. Satu tahun sesudah itu Muhammad Wardan sebenarnya berkeinginan belajar ke tanah Arab, tapi karena kendala biaya tidak dapat memenuhi cita-citanya tersebut, akhirnya ia melanjutkan ke Pondok Jamsaren Solo. Selain nyantri ia juga mengikuti kursus Bahasa Belanda di Sekolah Nederland Verbond dan les privat bahasa Inggris. Setelah mendapatkan berbagai ilmu, Muhammad Wardan berusaha mengamalkan dan mengajarkannya. Pada tahun 1934 M/1353 H sampai 1936 M/1355 H, dia menjadi guru Madrasah Al-Falah Yogyakarta, kemudian pada tahun 1936-1945 M/1355-1365 H menjadi guru di Sekolah Muballighin Muhammadiyah Yogyakarta. Memasuki masa perjuangan fisik, aktivitas Muhammad Wardan di bidang pendidikan terhenti dan ia melibatkan diri di dalam Angkatan Perang Sabil (APS) dan ia dipercaya sebagai anggota bidang markas ulama. Setelah perjuangan fisik mereda dan Indonesia dapat mencapai kemerdekaan secara penuh, pada tahun 1948-1962 M/1368-1381 H ia mengabdikan diri sebagai guru di Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta dan pada tahun 1951-1952 M/1371-1372 H juga mengajar di Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1954-1956 M/1374-1376 H ia ditugaskan oleh Departemen Agama RI untuk menjadi guru di Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Yogyakarta dan guru di Sekolah Persiapan
46
PTAIN Yogyakarta. Sejak 1973 M/1393 H sampai wafatnya ia diangkat sebagai anggota dewan kurator IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karena kepiawaiannya di bidang ilmu Falak, sejak tahun 1973 hingga wafatnya dipercaya sebagai anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI. Muhammad Wardan merupakan salah seorang tokoh penggagas teori wujudul hilal yang hingga kini masih digunakan oleh persyarikatan Muhammadiyah. Adapun karya-karyanya di bidang ilmu falak, yaitu Umdatul Hasib, Persoalan Hisab dan Ru'jat Dalam Menentukan Permulaan Bulan, Hisab dan Falak, dan Hisab Urfi dan Hakiki. 7. H.M Bidran Hadie Bidran Hadie, H.M Ahli falak, dilahirkan di Kauman Yogyakarta pada tahun 1925 M/1344 H, meninggal dunia pada tanggal 28 Nopember 1994 M/ 25 Jumadal Akhir 1415 H, dan dimakamkan satu komplek dengan K.H. Ahmad Dahlan di Pemakaman Karang Kajen Yogyakarta. Pendidikannya dimulai di SR, kemudian melanjutkan ke Madrasah Mu'allimin Yogyakarta. Setelah itu ia melanjutkan kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) namun tidak sampai tamat. Ia termasuk tokoh yang membidani lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan menurut data sejarah ia termasuk pendiri Lembaga Astronomi Himpunan Mahasiswa Islam (LAHMI). Bidran Hadie merupakan ahli falak yang berpenampilan sederhana namun keilmuannya dalam bidang falak tidak diragukan. Berkat keilmuannya dalam bidang falak ia diberi amanat menjadi anggota bagian
47
Hisab Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan anggota Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI mewakili Muhammadiyah. 8. H. Abdul Rachmim H. Abdur Rachim, Ahli falak, dilahirkan di Panarukan pada tanggal 3 Februari 1935 M/ 1354 H. Tamat Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada bulan April 1969 M/ Safar 1389 H, sebagai sarjana teladan dan mendapatkan lencana "Widya Wisuda", dan pada tahun 1982 M/1403 H, mengikuti Studi Purna Sarjana (SPS) dapat menyelesaikannya sebagai peserta teladan. karirnya sebagai pendidik dimulai sejak sebagai mahasiswa tingkat doktoral, dipercaya sebagai asisten H. Saadoe'ddin Djambek dalam mata kuliyah ilmu falak mulai tahun 1965 M/1385 H, pada tahun 1972 M/1392 H diangkat sebagai dosen tetap dalam mata kuliah tafsir, sesuai dengan jurusannya. Pada tahun yang sama diangkat sebagai ketua Lembaga Hisab dan Ru'yah, dan pada tahun itu juga diangkat sebagai Ketua Jurusan Tafsir Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tahun 1976 M/1396 H diangkat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademis Fakultas Syari'ah IAIN, dan tahun 1981 M/1402 H diserahi tugas sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta. Disamping itu beliau juga sebagai dosen, yang ikut membina mahasiswa di Fakultas UII, dalam mata kuliah Ilmu Falak dan Ahkamul Qadla. Tugas ini dilakukan sejak tahun 1972 M/1392 H, dan sejak tahun 1974 M/1394 H dipercaya sebagai anggota penyusun Al-Qur'an dan
48
Tafsir. Karirnya memperdalam Ilmu Falak menjadikan beliau diserahi tugas untuk melanjutkan tugas gurunya H. Saadoe'ddin Djambek (setelah meninggal) sebagai Wakil Ketua Badan Hisab Ru'yah Departemen Agama Pusat tahun 1978 M/1399 H, pada tahun itu juga mewakili Pemerintah Indonesia menghadiri Konferensi Islam di Istambul. Selanjutnya pada tahun 1981 M/1402 H sebagai delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Islam di Tunis. Kemudian atas kepercayaan Menteri Agama, beliau diutus lagi menghadiri Konferensi Islam Internasional di Aljazair pada tahun 1982 M/1403 H. Guru-guru beliau yang memberi warna bagi kariernya ialah : Prof. Dr.T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. Dr. H. Muhtar Yahya, H. Saadoe'ddin Djambek, Sa'di Thalib dan Saleh Haedarah. Sedangkan karya-karya ilmiahnya yang berkaitan dengan ilmu Falak yang telah diterbitkan, antara lain: “Mengapa Bilangan Ramadlan 1389 H ditetapkan 30 Hari (1969 M/1389 H)”, “Menghitung Permulaan Tahun Hidjrah (1970 M/1390 H)”, “Ufuq Mar'i sebagai Lingkaran Pemisah antara Terbit dan Terbenamnya Benda-benda Langit (1970 M/1390
H)”,
Internasional”.
“Ilmu
Falak
(1983
M/1404
H),
dan
Kalender
49
BAB III KAJIAN LAPANGAN SEPUTAR ARAH KIBLAT MASJID KOTA SALATIGA
A.
Kenapa Masyarakat tidak Tahu atau Mengerti tentang Arah Kiblat dan Metode yang digunakan Realitas yang terjadi di masyarakat sekarang ini seakan menomor duakan masalah arah kiblat. Hal ini salah satu sebab masyarakat tidak tahu tentang arah kiblat yang sesuai dan tepat serta bagaimana perhitungan dan pengukurannya. Dan lembaga mana yang resmi melakukan perhitungan dan pengukuran arah kiblat di kota Salatiga yaitu, Depag Salatiga. Dengan melakukan kerjasama dengan Depag propinsi Jawa Tengah dan takmir serta masyarakat yang menjadi jama`ah masjid yang ingin diukur dan dihitung arah kiblat masjidnya. Kurangnya tenaga ahli ilmu falak di Depag Salatiga menimbulkan kurangnya sosialisasi di masyarakat tentang arah kiblat khususnya. Sehingga masyarakat kurang paham dan mengerti ke arah mana yang tepat menuju Ka’bah serta bagaimana menentukannya. Bukan itu saja, masyarakat juga khawatir setelah terjadi perhitungan dan pengukuran masjid di lingkungan mereka arah kiblatnya berubah. Sehingga akan terjadi perbedaan pendapat tentang shalatnya yang dulu sebelum terjadi perhitungan dan pengukuran, shalatnya sah atau tidak. Menurut para ilmu
50
falak hal itu sah-sah saja dan tak perlu menganti shalat yang dulu, sebelum terjadi perhitungan dan pengukuran. Dari sisi peralatan Depag Salatiga tidak memiliki alat-alat bantu teknologi untuk mendapatkan data kemiringan arah kiblat tersebut, alat ini dimiliki oleh Depag propinsi Jawa Tengah. Kerjasama dengan takmir dan masyarakat untuk mendapatkan izin sebelum pengukuran dan perhitungan berlangsung atau dilakukan. Dari sisi proses pengukuran dan perhitungan, walaupun lembaga Depag yang mempunyai legalitas berkaitan dengan pengukuran dan perhitungan arah kiblat di setiap masjid dan musolla yang ada di Indonesia, khusus kota Salatiga tetap menunggu permintaan dari takmir atau masyarakat setempat dalam mengadakan pengukuran dan perhitungan tingkat kemiringan arah kiblat masjid tersebut. Sebab, terkadang ada dari masyarakat (jama`ah) masjid tersebut tidak boleh diukur arah kiblatnya. Dengan alasan, takut nanti setelah diadakan pengukuran dan perhitungan akan merubah arah kiblat masjid dan berimplikasi pada shalat yang telah dilakukan selama ini di masjid tersebut akan diulang. Apalagi masjid tersebut hasil buatan bersama masyarakat (jama`ah) di suatu kampung atau dusun, sehingga Depag tidak dapat memaksakan diri untuk mengukur dan menghitung tingkat kemiringan arah kiblat masjid tersebut. Ada beberapa metode yang digunakan secara umum dalam menentukan arah kiblat di antaranya adalah rasdhul kiblat, kompas, thedolite, dan GPS (global position system).
51
1. Rasdhul kiblat adalah menghitung dengan bayangan matahari, dengan demikian membutuhkan sinar matahari. 2. Kompas dulu banyak menggunakan kompas, namun perlunya koreksi sebab kompas terpergaruh oleh magnet. Baik itu besi, baja atau barangbarang semacamnya. Selain itu utaranya kompas bukan utara sejati, tetapi hanya utara magnet. 3. Thedolite sebenarnya untuk mengukur tanah oleh BTPN, namun sering juga digunakan untuk mengukur arah kiblat. 4. GPS (global position system), namun alat ini sangat tergantung pada cuaca dan sinyal satelit. Untuk penelitian ini alat yang
gunakan adalah hanya GPS (global
position system) dan rashdul kiblat. Dengan alat ini mendapatkan data lintang tempat dan bujur tempat masjid tersebut (lokasi pengukuran), maka selanjutnya
dihitung
tingkat
kemiringan
arah
kiblatnya
dengan
menggunakan rumus segitiga bola (spherical trigonometri).
B. Langkah-langkah Perhitungan dan Pengukuran Arah Kiblat Masjid Kota Salatiga Hasil perhitungan Depag Perhitungan Arah Kiblat Kota Salatiga: Data: 1. Lintang tempat (P/Q) : -7o 201 (LS) 2. Bujur tempat (λ)
: 110o 291 (BT)
3. Lintang Ka’bah (P/Q) : 21o 251 (LU) 4. Bujur Ka’bah (λ)
: 39o 501 (BT)
52
Rumus : Cotan Q =
Co tan b x sin a - cos a x cotan c sin c
Keterangan: a
: Jarak antara titik kutub utara sampai dengan garis lintang tempat / kota yang dihitung arah kiblatnya.
b
: Jarak antara titik kutub utara sampai dengan lintang Ka’bah
c
: Jarak bujur, yaitu jarak antara bujur tempat / kota yang dihitung arah kiblatnya dengan Ka’bah.
a
: 90o – (70)o 201
= 97o 201
b
: 90o – 21o – 251
= 68o 351
c
:110o 291 – 39o 501 = 70o 391
Co tan b x sin a - cos a x cotan c sin c
Cotan Q
= Cotan Q =
Cotan Q
=
Co tan 68 o 351 x Sin 97 o 201 - Cos 97o 201 x Cotan 70o 391 Sin 70 o 391
Cotan Q
=
0,392231316 x 0,991820351 - (-0,127641647) x 0,351175004 0,943512164
Cotan Q
= 0,41231371 + 0,044824555
Cotan Q
= 0,457138265 (2ndf x2)
Cotan Q
= 65,43304631 (2ndf deg)
Cotan Q
= 65,255896
Cotan Q
= 65o 251 58” 96
Jadi arah kiblat Kota Salatiga adalah 65o 251 58” 96 (1m : 2.188m) dari titik utara ke barat atau 24o 351 1.03” (0,457m : 1m ) dari titik barat ke utara.
53
Arah kiblat dengan bayangan matahari (Rashul Qiblat), 16 Juli 2009 Kota Salatiga: Data: 1. Lintang tempat / Salatiga (P/Q)
: -7o 201 (LS)
2. Bujur tempat / Salatiga (λ)
: 110o 291 (BT)
3. Azimut / Arah kiblat kota Salatiga
: 24o 341 1.03” (B-U)
4. Deklinasi matahari (δo)
: 22o 331 02”
5. Equation of Time (e)
: -04m 55d
Unsur: Az = 90 – arah kiblat
= 90 – 24o 341 1.03” = 65o 251 58.97”
a
= 90 – δo
= 90 – 22o 331 02”
= 67o 261 58”
b
= 90 – P/Q
= 90 – (-7o) 201
= 97o 201
= 12 – (-04)m 55d
= 12j 04m 55d
MP = 12 – e Perhitungan : Cotan P = Cos b tan Az
= Cos 97o 201 x tan 65o 251 58.97”
=
-0,127641647 x 2,187522066
=
-0,279218919
P=
-74,235733
P=
-74o 231 57.33”
Cos (C – P) = Cotan a tan b cos p Cos (C – P) = Cotan 67o 261 58” tan 97o 201 cos -74o 231 57.33” Cos (C – P) = 0,41524769 x (-7,70350573) x 0,268932288 Cos (C – P) = -0,867748333 (2ndf cos 2ndf DEG) Cos (C – P) = 150,115040 Cos (C – P) = 150o 111 5”
54
C
= (C – P) + P = 150o 111 50.5” + (-74o 231 57.33”) = 75o 471 53.2”
Bayangan = C : 15 + MP = 75o 471 53.2” : 15 + 12j 84m 55d = 17j 08m 6.55d Bayangan = 17j 08m 6.55d = 0j 21m 56d
Interpolasi
-
16j 46m 10.55d WIB Jadi pada tanggal 16 Juli 2009 jam 16:46:10.55 (WIB) semua banyangan benda yang berdiri tegak menunjukkan arah kiblat Kota Salatiga. Contoh hasil perhitungan dan pengukuran arah kiblat masjid dan musolah: 1. Masjid Al-Atiiq Kauman Salatiga Masjid Al-Atiiq merupakan masjid tertua setelah Masjid Damarjati, yang dibangun pada massa penjajahan belanda. Metode yang digunakan dalam menentukan arah kiblat pada waktu itu yaitu, Rasdhul Kiblat atau bayangan matahari, dengan meletakkan atau menancapkan benda yang berdiri tegak lurus di Permukaan Bumi. Riwayat ini tertulis dalam mihrab pada tahun 1827 M.29 Data
:
a. Lintang Tempat / masjid Al-Atiiq (P/Q) : -7o 191 10.1” (LS) b. Bujur Tempat / masjid Al-Atiiq (λ)
29
: 110o 291 50.1” (BT)
Hasil wawancara dengan takmir Masjid Al-Atiiq (Drs. H. Sjatibi)
55
c. Lintang Ka’bah (P/Q)
: 21o 251 (LU)
d. Bujur Ka’bah (λ)
: 39o 501 (BT)
e. Deklinasi Matahari (δo)
: 22o 341 39”
f. Equation of Time (e)
: -10m 31d
Perhitungan : a = 90o – (-7)o 191 10.1”
= 97o 191 10.1”
b = 90o – 21o 251
= 68o 351
c = 110o 291 50.1” – 39o 501 = 70o 391 50.1” Co tan b x sin a - cos a x cotan c sin c
Cotan Q
=
Cotan Q
cot an 68 o 351 x sin 97 o 191 10.1" = - cos 97o 191 10.1” x o 1 " sin 70 39 50.1
cotan 70o 391 50.1” Cotan Q
=
0,392231316 x 0,991851201 0,943592615
(-0,1274017)
x
0,350902181 Cotan Q
= 0,41229138 + 0,04475534
Cotan Q
= 0,456996914 (2ndf x2, 2ndf tan, 2ndf DEG)
Q
= 65,262308
Q
= 65o 261 23,08”
Jadi arah kiblat masjid Al-Atiiq adalah 65o 261 23,08” dari titik utara ke barat atau 24o 331 42,85” dari titik barat ke utara. Sehingga Azimuth kiblat masjid Al-Atiiq yaitu 24o 331 42,85”. Unsur: Az = 90 – arah kiblat masjid Al-Atiiq
56
= 90 – 24o 331 42,85” = 65o 261 17,15”. a = 90 – δo = 90 – 22o 33,011 = 67o 261 58”. b = 90 – P / Q masjid Al-Atiiq = 90 – (-7)o 191 10.1” = 97o 191 10,1”. MP= 12 – e = 12 – (-04)m 55d = 12j 04m 55d Perhitungan : Cotan P = cos b tan Az Cotan P = cos 97o 191 10.1” tan 65o 261 17.15” Cotan P = 0,1274017 x 2,188032072 Cotan P = -0,2787590075 P = -120,7901705 P
= -120o 791 01,705”
Cos (C – P) = Cotan a tan b cos P Cos (C – P) = Cotan 67o 261 58” tan 97o 191 10.1” cos -120o 791 01705” Cos (C – P) = 0,41524769 x (-7,785227313) x -0519774703 Cos (C – P) = 1,680326447 (2ndf cos 2 ndf DEG) (C – P) = 168o 031 26.442” C = (C – P) + P = 168,8652741 + (-120o 791 01,71”) = 48,07510325 Bayangan
= 9j 41m 16.76d
57
Interpolasi = 0j 21m 56d
-
09j 19m 13.24d WIB Jadi pada tanggal 16 Juli 2009 jam 09j 19m 13.24d (WIB) semua bayangan yang berdiri tegak menunjukkan arah kiblat Kota Salatiga.
2. Masjid Sabilul Falah Asabri Masjid Sabilul Falah Asabri dibangun pada tahun 2008. Alat yang digunakan untuk
menentukan arah kiblat, yaitu GPS dan dengan
menggunakan metode perhitungan ilmu ukur segitiga bola.30 Data : a. Lintang tempat / masjid Sabilul Falah Asabri (P / Q) = -7o 211 11.9” (LS) b. Bujur tempat / masjid Sabilul Falah Asabri (λ) = 110o 301 09.8” (BT) c. Lintang Ka’bah (P / Q)
= 21o 251 (LU)
d. Bujur Ka’bah (λ)
= 39o 501 (BT)
e. Deklinasi Matahari (δo)
= 22o 341 39”
f. Equation of Time (e)
= -01m 31d
Perhitungan : a =
90o – (-7)o 211 11.9”
= 97o 211 11.9”
b = 97o 21o 251
= 68o 351
c = 110o 301 09.8”
= 39o 501 = 70” 401 09.8”
Cotan Q 30
=
Co tan b x sin a - cos a x cotan c sin c
Hasil wawancara dengan takmir Masjid Sabilul Falah Asabri (Bapak Ihwanudin)
58
Cotan Q
=
Co tan 68 o 351 x Sin 97 o 211 11.9 " - cos 97o 211 11.9” x sin 70 o 401 09.8"
cotan 70o 401 09.8” Cotan Q
=
0,372231316 x 0,991775797 0,943624234
(-0,127987369)
x
0,350794916 Cotan Q
= 0,412246333 + 0,044897318
Cotan Q
= 0,45714354 (2ndf x2, 2ndf tan, 2ndf DEG)
Q
= 65,255806
Q
= 65o 251 58.06”
Jadi arah kiblat masjid Sabilul Falah Asabri adalah 65o 251 58.06” dan titik utara ke barat atau 24o 341 1.54” dan titik barat ke utara sehingga Azimut / arah kiblat masjid Sabilul Falah Asabri yaitu 24o 341 1.54”. Unsur: Az
= 90 – arah kiblat masjid Sabilul Falah Asabri = 90 – 24o
341 1.54” = 65o 251 58”. a
= 90 – δo
MP
= 12 – e
Perhitungan : Cotan P
= cos b tan Az
Cotan P
= cos 97o 211 11.9” tan 65o 251 58,46”
Cotan P
= 0,12798769 x 2,187507762
P
= -74,213300
P
= -74o 211 33”
Cos (C – P) = Cotan a tan b cos P
59
Cos (C – P) = Cotan 67o 261 58” tan 97o 211 11.9” cos -74o 211 33” Cos (C – P) = -0,86752792 (2ndf cos 2 ndf DEG) (C – P) = 150,102144 (C – P) = 150o 101 21.44” C = (C – P) + P = 150o 101 21.44” : 15 + 12j 04m 55d = 75o 481 48,44” Bayangan = C : 15 + MP = 150o 101 21.44” : 15 + 12j 04m 55d = 18j 1m 11.36d Interpolasi = 0j 21m 56d
-
15j 40m 15.36d WIB Jadi pada tanggal 16 Juli 2009 jam 16j 401 15.36d (WIB) Semua bayangan yang berdiri tegak menunjukkan arah kiblat kota Salatiga. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa walaupun masjidmasjid tersebut terletak di sekitar kota Salatiga semua, namun tingkat kemiringannya berbeda. Ini menunjukkan bahwa letak tempat (masjidmasjid tersebut sebagai penentu arah kiblat yang sebenarnya). Untuk itu perlunya pemahaman dan ketelitian dalam menentukan arah kiblat suatu masjid di manapun itu berada. Sebab setiap titik pengukuran pasti berbeda tingkat kemiringan arah kiblatnya. Hal ini dapat dicermati dari data perhitungan dan pengukuran di atas.
60
C.
Berapa Derajat Penyimpangan Arah Kiblat Masjid Kota Salatiga Hasil Pengukuran Arah Kiblat Masjid-Masjid Se-Kota Salatiga Oleh Tim Sertifikasi Arah Kiblat Kota Salatiga tahun 2008.31
Tingkat Kemeiringan Arah Kiblat (dari arah kiblat semula) 4º 51’ 30.66” / 8,5 Cm Ke Selatan
No
Nama Masjid
Alamat
1
Masjid Jami`
Taman Wini
Benoyo
Benoyo
2
Al-Huda
Bugel
2º 34’ 35.66” / 4,5 ke Selatan
3
Sabilul Falah
Perum Asabri
(Akan dibangun)
4
Ma`wal
Wiroyudan Rt 01/
3º 8’ 53” / 5,5 cm ke Selatan
Warisin
VI Tingkir Tengah
Darussalam
Randu acir
5
23º1’31.77”/ 42.5 cm ke Utara
Argomulyo 6
Al Mutaqin
Kalibening Rt 01/III
tepat
Tingkir 7
Al Barokah
Pamot Rt 01/I
3º 29’26.58” / 6.1 cm ke Utara
Noborejo 8
An Nida
Ledok Argomulyo
11º 18’ 35.76” / 20 ke Utara
9
At Thohiriyah
Domas No. 4
3º 43’08.37 / 6.5 cm ke Selatan
Salatiga 10
Baitun Nasir
Tegarejo
16º 10’ 19.77”/ 29 cm ke Utara
11
Babusalam
Ngablak Pulutan
1º 43’6.09”/ 3 ke Utara
31
Surahman S.Ag, M.PdI, Dokumen Kasi Urusan Agama Islam, Depag Salatiga: 28 Agustus 2008.
61
No
Nama Masjid
Alamat
12
Bismillah Abu
Perengrejo
Bakar Ash
Gendongan Timur
Tingkat Kemeiringan Arah Kiblat (dari arah kiblat semula) 1º 8’44.75” / 2 cm ke Utara
Shiddiq 13
Al-Ihksan
Perum Tegalrejo
21º 48’5.07” / 40 cm ke Utara
Permai Rt 04/1x 14
Istikomah
Tetep Wates
1º 36’13.91” / 2,8 cm ke Selatan
Kumpulrejo 15
Nurul Iman
Blotongan
5º 25’36.52” / 9,5 cm ke Utara
16
Nurul Iman
Magunsari Tegalrejo
19º 17’24.17” / 35 cm ke Utara
17
Asy Syukur
Krajan dukuh
2º 51’44.66” / 5 cm ke Utara
Sidomukti 18
Al-Ihklas
Kemuning No. 11 A
1º 19’3,25” / 2,3 cm ke Selatan
salatiga 19
Al Muflihun
Osamaliki Salatiga
7º 41’18.41” / 13,5 cm ke Utara
20
Baitul Rahman
Kauman kidul
2º 31’9.8” / 4.4 cm ke Utara
21
Asy Syukur
Cabean Mangunsari
Kosong
22
Roudotul
Klumpit Sidorejo
2º 17’26.2” / 4 cm ke Utara
Muttaqin
Kidul
Ash Shodiqin
Sidorejo Rt 01/IV
23
18º 46’40.92” / 34 cm ke Utara
Cebongan 24
Al Firdaus
Jl. Dipenogoro No. 136 Salatiga
2º 17’26.2” / 4 cm ke Selatan
62
No
Nama Masjid
Alamat
25
Al Hidayah
Perum Tingkir
Tingkat Kemeiringan Arah Kiblat (dari arah kiblat semula) 0º 41’15.06” / 1,2 cm ke (tidak
Indah
jelas ke Utara atau Selatan
26
Al-Atiiq
Kauman Salatiga
6º 16’30” / 10,99 cm ke Utara
27
Damarjati
Krajan Salatiga
5º 32’25.29” / 9,7 cm ke Selatan
28
Shuffi
Tegalrejo
21º 48’5.07” / 40 cm ke Utara
29
Hasan Ma`arif
Kecanderan
1º 43’6.09” / cm ke Selatan
Sidomukti 30
Al Muttaqin
Komplek Pasar
5º 59’38.73” / 10,5 cm ke Utara
Raya I Salatiga
D.
Langkah-langkah Takmir atau Pengurus Masjid Kota Salatiga setelah Dilakukan Perhitungan dan Pengukuran Langkah yang dilakukan takmir masjid setelah dilakukan perhitungan dan pengukuran arah kiblat dimasjidnya adalah dengan menggeser sajada (shof) sebab tidak memungkinkan untuk mengeser masjid, hal ini mudah untuk dilakukan dan dengan cepat bisa diterapkan. Mengeser shof sajada yang dimaksud adalah memindahkan arah shof sajada semula (sebelum diketahui ada kesalahan tingkat kemiringannya) ke arah kiblat yang ditetapkan Depag setelah dilakukan pengukuran dan perhitungan, melalui alat-alat teknologi sebagai standar acuan yang telah disepakati pemerintah Indonesia dalam hal ini kementerian Agama Islam.
63
Contohnya dari bapak Drs. H. Sjatibi, sebagai ketua takmir masjid masjid Al-Atiiq Kauman Salatiga.32 Pernyataan ini sejalan dengan pendapat bapak Ihwaludin takmir masjid Pandawa kota Salatiga, tetap mengeser shof sajada dalam shalat, sebab dalam ajaran Islam pentingnya menghadap kiblat pada waktu shalat. Pendapat ini diperkuat oleh bapak Drs. Abdul Basith, M.A., sebagai ahli ilmu falak di Kota Salatiga dan wilayah Propinsi Jawa Tengah, dan menurut Drs. H. Imron juga menyebutkan demikian menggeser sajada.33 Dengan demikian, dapat diambil konklusi bahwa langkah yang lakukan oleh para takmir masjid yang ada di kota Salatiga setelah dilakukan pengukuran dan perhitungan dengan mengeser shof sajada dalam shalat, sebab hal ini dengan mudah dan cepat untuk diterapkan. Di samping itu tidak membutuhkan biaya, namun hanya membutuhkan tenaga dan waktu yang relatif-sebentar.
E.
Pendapat Para Ahli Ilmu Falak (Ulama) di Kota Salatiga tentang Arah Kiblat Cara umum menghadap kiblat ketika melihat Ka’bah secara langsung para ulama di Kota Salatiga sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat Ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap ke arah lain. Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dalam kitab “Al Mughni” mengatakan juga, “Ketika seseorang 32
Salatiga.
33
Hasil wawancara dengan penngurus masjid atau ketua takmir masjid Al-Atiiq Kauman Hasil wawancara dengan ahli ilmu falak di Kota Salatiga
64
langsung melihat Ka’bah, wajib baginya menghadap langsung ke Ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan, ‘Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah’.” Drs. H. Abdul Basith seorang tokoh ilmu Falak, lahir di Demak 1 November 1963. Pendidikannnya dimulai di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Gajian, kemudian melanjutkan di MTs 1 Futukhiyah Mranggen, yang berlanjut di MA-nya juga di Mranggen. Setelah lulus dari Mranggen, ia melanjutkan ke Institut Wali Sembilan Semarang. Menurut penuturannya, keahliannya dalam bidang ilmu Falak diperoleh ketika sekolah di Mranggen dan berlanjut di Institut Wali Sembilan di Semarang. Menurutnya arah kiblat masjid Kota Salatiga dapat dihitung secara pasti, karena bersifat relative valit dalam menentukan arah kiblat yang sesuai dan tepat menghadap kiblat.34 Arah kiblat dapat ditentukan disetiap titik tempat tertentu. Dan untuk menambah wawasannya dalam bidang falak, beliau sering diundang menjadi pemateri dalam suatu lokakarya Imsyakhiyah khususnya Kota Salatiga. Kepedulian beliau khususnya arah kiblat sangat terlihat dan ia tunjukkan dalam membantu Depag dalam pengukuran dan perhitungan masjid di Kota Salatiga, karena di Depag sendiri kurang menguasai dalam pengukuran dan perhitungan arah kiblat. Serta menurut beliau arah kiblat penting bagi umat muslim yang ingin menunaikan ibadah shalat.
34
Hasil wawancara dengan ahli ilmu falak Kota Salatiga (Drs. H. Abdul Basith)
65
Menurut Dimyanti Haromen yang lahir di Semarang tanggal 10 Agustus 1944 sejalan dengan Abdul Basith yang umurnya lebih muda dari beliau, mengemukakan bahwa pentingnya mempelajari ilmu falak khususnya arah kiblat. Hal ini sangat dirasakan kurangnya kesadaran di dalam masyarakat mengenai arah kiblat yang sesuai dengan syari’at Islam dan tepat menghadap ke Ka’bah dan tidak boleh melenceng.35 Dimyanti Haromen termasuk ahli falak yang produktif dalam menuangkan gagasan-gagasannya tentang hisab-rukyat melalui bukunya Risalah Hisab Arah Kiblat dan beliau juga aktif mengisi majlis-majlis ta’lim di Kota Salatiga dan sekitarnya. Drs. H. Imron yang lahir di Ambarawa 2 Mei 1938 dan sekarang tinggal di Jl. Purbaya II No. 11 Salatiga. Pendidikannya di mulai dari Sekolah Rakyat (SR) 5 Ambarawa, kemudian di PGAN Salatiga dan PHIN Yogyakarta dan terakhir belajar di UNISULA Semarang Fakultas Syari’ah. Beliau belajar hisab arah kiblat dari buku karangan KH. R. Muhammad Wardan dan K. Zubeir. Beliau juga ahli ilmu falak dan telah melalang buwana kemana-mana yang dimulai menjadi Pegawai Pengadilan Agama Salatiga, Pegawai INSPIRA, Ketua PA Salatiga, Ketua PA Semarang, Hakim Tinggi PTA Semarang hingga menjadi Wakil Ketua PTA di Surabaya. Sehingga dari hal ini ia pernah menjadi Ketua Badan Hisab Rukyat (BHR) Pengadilan Tinggi
35
Hasil wawancara dengan ahli ilmmu falak Kota Salatiga (Dimyanti Haromen)
66
Agama Jawa Tengah (Semarang) dan Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur (Surabaya). Drs. H. Imron mengemukakan bahwa perlunya pengukuran dan perhitungan agar tidak terjadi kekhawatiran di dalam masyarakat tentang arah kiblat dan setiap tempat arah kiblatnya berbeda-beda, karena struktur tanah atau lempengan bumi berubah-ubah.36 Hal ini terjadi adanya gempa, misalnya gempa di Jogjakarta yang mengakibatkan bergesernya struktur tanah sehingga berimbas pada arah kiblat masjid. Meskipun menurut beliau gempa yang ada di Jogjakarta tidak berdampak di Salatiga akan tetapi tidak menutup kemungkinan sedikit berpengaruh dalam menentukan arah kiblat di Kota Salatiga yang sebenarnya. Sehingga diperlukan pengukuran dan perhitungan arah kiblat masjid-masjid di Kota Salatiga. Dari kesemuanya itu (ahli ilmu falak) di Kota Salatiga, sama-sama mengemukakan bahwa pentingnya dan sahnya menghadap kiblat atau arah kiblat ketika sedang salat. Sehingga perlunya perhatian dari masyarakat untuk meminta pengukuran dan perhitungan arah kiblat ke Depag Salatiga, karena yang berhak melakukannya, yaitu Depag Salatiga dan setelah dilakukan pengukuran dan perhitungan maka dari pihak Depag Salatiga akan mengeluarkan sertipikat arah kiblat masjid tersebut. Lalu bagaimanakah jika kita tidak melihat Ka’bah secara langsung? Jika melihat Ka’bah secara langsung, para ulama khususnya salatiga dan sekitarnya sepakat untuk menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh melenceng. Dan 36
Imron)
Hasil wawancara dengan seorang tokoh ahli ilmu falak di Kota Salatiga (Drs. H.
67
hal itu juga telah diterangkan di atas. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak melihat Ka’bah seperti kaum muslimin yang berada di India, Malaysia, Indonesia dan lain-lainnya? Dalam “Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah”, dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat Ka’bah secara langsung karena tempat yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat Ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke Ka’bah ataukah menghadap ke arahnya. Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari “Al Muzanniy”), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah Ka’bah (tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis). Jika seseorang berada di Masjidil Haram dan menyaksikan (melihat langsung) Ka’bah, maka dia wajib menghadap langsung ke Ka’bah. Jika seseorang berada jauh dari Masjidil Haram dan berarti tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung walaupun dia masih berada di Makkah, maka wajib bagi dia menghadap ke arah Ka’bah saja tanpa harus mencari-cari ke manakah arah kiblat yang persis. Alasannya, karena Nabi Muhammad berkata kepada penduduk Madinah bahwa di antara dua arah yaitu Barat dan Timur adalah kiblat. Bagi orang Indonesia berarti kiblatnya berada di antara Utara dan Selatan yaitu arah
68
Barat. Setiap arah sebelah kiri antara Utara dan Selatan, maka itulah kiblat orang Indonesia dan lebih khususnnya di sini Kota Salatiga. Perbuatan semacam ini akan lebih memudahkan seseorang dan tidak mempersulit karena agama ini selalu memberikan kemudahan bagi umatnya. Pendapat inilah yang didukung dengan dalil yang kuat.
69
BAB IV ANALISIS
B. Analisis dari Pendapat Ulama Ahli Ilmu Falak Salatiga dan Sekitarnya tentang Arah Kiblat Jika mengacu kepada hasil kesimpulan dari pengukuran dan perhitungan yang dilakukan Depag Salatiga dan pihak terkait serta peneliti sendiri di lapangan menunjukkan hampir 99,9% masjid yang ada di kota Salatiga arah kiblatnya belum benar dan tepat. Hanya masjid Al Mutaqin Kalibening Rt 01/III Tingkir dalam persi pengukuran dan perhitungan Depag Salatiga yang benar-benar tepat. Tidak menutup kemungkinan kekeliruan ini disebabkan oleh bencana alam, yaitu gempa. Sehingga merubah atau menggeser lempengan bumi khususnya yang ada di Kota Salatiga. Selain itu kurangnya kepedulian masyarakat dalam menguasai perhitungan dan pengukuran arah kiblat. Hal ini menunjukkan bahwa rasa perhatian tentang arah kiblat masjid di masyarakat kota Salatiga (khususnya umat Islam) pada tingkat yang sangat rendah. Bahkan penyimpangan arah kiblat terparah yakni masjid Darussalam Randu Acir Argomulyo sampai 23º1’31.77”/ 42.5 cm ke Utara. Sedangkan yang terendah terjadi penyimpangan adalah masjid Al Hidayah yang berlokasi di Perum Tingkir Indah 0º 41’15.06” / 1,2 cm.37
37
Surahman S.Ag, M.PdI, Op. Cit
70
Pada hal menurut Abdul Basith sebagai tokoh ilmu falak yang ada di kota Salatiga 1% penyimpangan itu telah mengeser arah ke Ka`bah mencapai 100-110 meter. Selanjutnya fakta yang ada di masjid Darussalam penyimpangan mencapai 23% koma sekian berarti pasti masjid tersebut tidak mengarah ke Ka`bah. Sebab, jika dihitung, 100X23%= 2300 meter lebih, berarti arah kiblat majid Darussalam yang ada di Kecamatan Argomulyo tersebut dapat dipastikan tidak menghadap ke Ka`bah. Lalu menghadap ke mana “wallah`alam”, tapi itulah fakta di lapangan arah masjid yang ada di sekitar Salatiga.
Inilah yang mengkwatirkan kita, untuk itu perlunya
kesadaran lahir dan batin semua pihak untuk memperhatikan dan memahami pentingnya arah kiblat yang benar dan tepat.
C. Problematik Penentuan Arah Kiblat di Masyarakat Kota Salatiga Mulai dari awal perpindahan arah kiblat dari Baitul Makdis ke Masjidil Haram (Ka`bah) masalah-masalah dalam internal umat Islam mulai mencuak. Apalagi di kota Salatiga yang notabene kota kecil yang ada di Jawa Tengah (Indonesia). Problem-ploblem yang dimaksud baik sisi keilmuan maupun material (pembiayaan) dalam pelaksanaan pengukuran Arah kiblat tersebut adalah: 1. Dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), namun alokasi dari negara Indonesia tidak ada.38
38
Hasil wawancara dari Kasi Departemen Agama Islam Kota Salatiga (bapak Surahman S.Ag, M.PdI)
71
2. Kurangnya kemampuan masyarakat dalam menggunakan alat teknologi canggih untuk membantu pengukuran dan perhitungan dalam menentukan arah kiblat. 3. Belum banyak masyarakat yang menguasai dan paham tentang ilmu falak, khususnya perhitungan dan pengukuran arah kiblat.39 4. Kurangnya kesadaran masyarakat pentingnya menghadap kiblat, yang terpenting menghadap ke Barat.40 Problem-problem ini perlunya dicermati oleh seluruh umat Islam yang berada di kota Salatiga agar ditemukan arternatif jalan keluarnya, sehingga arah kiblat masjid kota Salatiga relatif benar dan tepat menghadap ke Ka`bah. Sebab, hakikat arah kiblat bukan hanya syarat sahnya ibadah shalat, namun menjadi media pemersatu umat Islam dalam beribadah kepada Allah.
39
Hasil wawancara tokoh ilmu falak dari Kota Salatiga bapak Drs. H. Imron Hasil wawancara dari tokoh ilmu falak yang ada di desa Pulutan (kota Salatiga) bapak Drs. H. Abdul Basith, M. PdI. 40
72
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan 1. Arah kiblat adalah arah atau jarak terdekat sepanjang lingkaran yang melewati Kota Makkah (Ka’bah) dengan tempat kota yang bersangkutan (dalam hal ini arah kiblat masjid-masjid yang di wilayah kota Salatiga). 2.
Dari penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini, yang berkaitan tentang arah kiblat di masjid-masjid sekitar kota Salatiga dapat diambil konklusi bahwa 99,9% arah kiblat masjidnya tidak menghadap ke Ka`bah. Dalam arti tingkat kemiringan arah kiblat masjid tidak persis menghadap ke Baitulallah (Ka`bah). Hal ini dikarenakan adanya bencana alam, yaitu gempa yang menyebabkan pergeseran lempengan bumi. Di lain pihak dari pihak masyarakat sendiri kurang peduli tentang arah kiblat dan kurang mengerti perhitungan dan pengukuran arah kiblat.
3. Lembaga yang melakukan pengukuran dan perhitungan arah kiblat yang ada di kota Salatiga adalah Depag Salatiga yang berkerjasama dengan Depag propinsi Jawa Tengah. Metode yang digunakan dalam mengukur arah kiblat adalah Rasdhul kiblat, sedangkan alat yang digunakan dalam mengukur arah kiblat adalah kompas, Thedolite, dan GPS (global position system). Namun, peneliti hanya menggunakan metode Rasdhul kiblat dan GPS (global position system) dalam membantu untuk mengukur arah kiblat.
73
4. Langkah-langkah takmir masjid setelah dilakukan pengukuran dan perhitungan adalah mengeser shof sajada ke arah kiblat yang telah dihitung dan diukur
oleh pihak yang dapat dipertanggungjawabkan
(Depag Salatiga). Mengeser shof sajada yang dimaksud adalah memindahkan arah shof sajada semula (sebelum diketahui ada kesalahan tingkat kemiringannya) ke arah kiblat yang ditetapkan Depag setelah dilakukan pengukuran dan perhitungan, melalui alat-alat teknologi sebagai standar acuan yang telah disepakati pemerintah Indonesia, dalam hal ini kementerian Agama Islam.
B. Saran-saran 1. Depag Salatiga mengalokasikan dana secara maksimal untuk membiayai pengukuran dan perhitungan serta pemantauan secara intensif dan berkelanjutan. 2. Untuk lembaga STAIN dan civitas akademiknya supaya lebih peka terhadap lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan arah kiblat masjid dengan melakukan sosialiasi ilmiah (seminar, pelatihan, atau lain sebagainya) agar umat Islam Salatiga menyadari pentingnya arah kiblat yang benar-dan tepat. 3. Untuk takmir masjid yang telah dilakukan pengukuran dan perhitungan arah kiblatnya hendaknya secepat mungkin untuk merubah arah kiblat yang telah ditetapkan pihak yang telah melakukan pengukuran.
74
4. Untuk masyarakat Islam kota Salatiga hendaknya membuka diri secara lahir dan batin jika ada pihak yang ingin melakukan pengukuran dan perhitungan arah kiblat masjid di sekitar tempat tinggalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI., Almanak Hisab Rukyah; Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta: 1981. Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik; Penghitungan Arah Kiblat, Waktu Shalat, Awal Bulan dan Gerhan, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004. Bukhari, Shakih Al-Bukhari, terj. Muhammad Ali Subaih, Kairo: 1955. Echol John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1995. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, , Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Basit Abdul, Pengaruh Arah Kiblat Bagi Keabsahan Shalat, Workshof PKM II Lantai II STAIN Salatiga: tgl 20-21 Agustus 2008. Zuhri, Muh., Penentuan Awal Waktu Shalat, Materi Kuliah AH Semester 5, STAIN Salatiga: 2007. Tim Badan Peradilan Agama Islam, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta: 1985. Maulana, Ahmad, Kamus Ilmiah Populer, , Yogyakarta: Absolut, 2004. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, jilid 3, Jakarta: PT. Ichtiar van Hoeve, 1994. Kuncahyono, Trias, Jerusalem Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta: PT. Media Nusantara, 2008.
Izzuddi, Ahmad, Saat Praktis Menggecek Kiblat Masjid, Artikel di Wawasan, 16 Juli 2009. Program Software CD-ROM Hadis Al-Bayan. Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, diterj. Drs. Imam Ghazali Said, MA., dan Ahmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Jawad Mughniyah, Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2004. Badan Hisab dan Rukyah, Almanak Hisab Rukyah, ,Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981.
Lampiran 2 Tokoh Ilmu Falak Diantaranya Yaitu : 1. Nur Ahmad
2. Drs. Abdul Basith, MA
3. Drs. H. Imron
Lampiran 3 Gambar GPS dan Petilasan
Gambar GPS
Gambar Petilasan
DAFTAR NILAI SKK
Nama : Dewi Sulistyaningrum
Jurusan
: Syari’ah
NIM
Progdi
: AS
NO 1
2
: 211 05 002 Jenis Kegiatan Ospek
Pelaksanaan 24-27 Agst 2005
Jabatan Nilai Peserta 2
Pendidikan Dasar (PEDAS) Musik
15-18 Sept 2005
Peserta
2
20 Sept 2005
Peserta
2
29-30 Sept 2005
Peserta
SMC VI 3
Diskusi dan Pemutaran Film (BEM)
4
Bedah Buku, Bedah Film dan Launching Jurnal Mahasiswa
2
Dinamika 5
Pendidikan Dasar ITTAQO
1 Okt 2005
Peserta
6
Diskusi Ramadhan HMI
12 Okt 2005
Peserta
2
2 7
Sarasehan dan Buka Bersama
18 Okt 2005
Peserta
8
Diskusi Ramadhan CEC
25 Okt 2005
Peserta
9
Latihan Kader
29-2 Okt 2005
Peserta
10
Pengurus HMI
2005-2006
Dep.KK
11
Wisuda ke-17 STAIN Salatiga
25 Maret 2006
Petugas Koor
2
2
2
4
4
12
Diskusi Gender dan Bedah Film 20 April 2006
Peserta
(BEM 13
Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa
17-20 sept 2006
2
Peserta
STAIN Salatiga
2
14
Diskusi Ramadhan HMI
6 Okt 2006
Panitia
15
Pelatihan Advokasi Mahasiswa
20-21 Des 2006
Peserta
3
2 16
Pengurus KOPMA
2006-2007
PSDA
17
Diskusi Ramadhan HMI
21 Sept 2007
Panitia
18
Seminar Nasional (BEM)
23 April 2008
Panitia
19
Panitia Seminar dan Silaturrohim
15-17 Des 2008
Peserta
Nasional Forum Mahasiswa
5
3
4
2
Syari’ah Se- Indonesia 20
Pelatihan Manajemen TPQ (PMT)
30 Mei 2009
Panitia
4
Jumlah
53
Salatiga, Agustus 2009 Mengetahui Puket III
Drs. Miftahuddin, M.Ag NIP197009221994031002
BIOGRAFI PENULIS
Nama
: Dewi Sulistyaningrum
Tempat, tanggal lahir : Boyolali, 6 Oktober 1986 Alamat
: Bongkol RT 03 RW 01 Pengkol, Karanggede, Boyolali
Riwayat Pendidikan : TK Pertiwi Pengkol Karanggede 1991-1993 SD N I Pengkol Karanggede 1993-1999 SLTP N I Karanggede 1999-2002 Surya Jaya Computer 2000 SLTA N I Klego 2002-2005 STEKOM Salatiga 2009 Organisasi
: Pengurus Karangtaruna Tunas Harapan 2002-2005 Pengurus HMI 2005-2007 Pengurus Kopma 2006-2007 Anggota HMJ 2005-2009