ANALISIS WACANA KEMATIAN TERDUGA TERORIS SIYONO DI MEDIA INDONESIA DAN REPUBLIKA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Anisa Indriani NIM: 1112051100053
JURUSAN JURNALISTIK FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
ANALISIS WACANA KEMATIAN TERDUGA TERORIS SIYONO DI MEDIA INDONESIA DAN REPUBLIKA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Anisa Indriani NIM 1112051100053
Pembimbing
Bintan Humeira, M.Si NIP. 19771105 200112 2 002
JURUSAN JURNALISTIK FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang, 28 Januari 2017
Anisa Indriani
ii
iii
ABSTRAK Anisa Indriani Analisis Wacana Kematian Terduga Teroris Siyono di Media Indonesia dan Republika Pada pertengahan 2016 lalu muncul peristiwa kematian terduga teroris Siyono yang terjadi di Desa Pogung, Klaten. Kematian Siyono diduga karena ada kesalahan dalam penanganan yang dilakukan oleh Densus 88. Siyono meninggal pada saat dibawa ke tempat persembunyian senjata yang berlokasi di Prambanan. Hasil visum menyatakan bahwa terdapat tanda-tanda kekerasan yang dialami oleh Siyono sebelum meninggal dan hal tersebut menyeret anggota Densus 88 yang bertugas saat itu. Peristiwa kematian Siyono akhirnya diwacanakan secara berbeda di dua media nasional, dalam hal ini yaitu Media Indonesia dan Republika. Pandangan yang berseberangan antara kedua media menjadikan ranah publik sebagai arena pertarungan wacana. Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan penelitian mengenai bagaimana media mewacanakan kasus kematian terduga teroris Siyono. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan teori marjinalisasi dan analisis wacana kritis model Theo van Leeuwen. Terdapat empat macam strategi marjinalisasi, yaitu penghalusan makna, pengasaran bahasa, labelisasi dan stereotipe. Dalam wacana van Leeuwen, ia memusatkan perhatiannya pada bagaimana aktor dimarjinalkan posisinya melalui proses eksklusi dan inklusi. Beberapa teori pendukung seperti ideologi media juga peneliti gunakan untuk memberikan analisis yang lebih mendalam mengenai wacana di bidang media. Penelitian ini menggunakan metodologi paradigma kritis dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif yang dilakukan oleh peneliti adalah menganalisis data dengan mengumpulkan data yang berhubungan dan mengonfirmasi hasil temuan dengan wawancara dengan pihak-pihak terkait. Dalam pemberitaan tentang kematian terduga teroris Siyono, media indonesia mewacanakan kasus ini dengan memarjinalkan posisi Siyono dengan begitu maka Media Indonesia terlihat cenderung melindungi pihak kepolisian. Sedangkan Republika mewacanakan kasus ini dengan memposisikan Siyono sebagai korban pelanggaran HAM dan dibela oleh tim advokasi yang dibentuk oleh PP Muhammadiyah. Keberpihakan media sangat ditentukan oleh ideologi yang dianut oleh media. Jika dilihat dari struktur kekuasaan, Media Indonesia memiliki kecenderungan melindungi pemerintah karena pemilik medianya adalah seorang pemimpin partai politik yang berkoalisi dengan pemerintah yang berkuasa. Sedangkan Republika menyuarakan tim advokasi karena ada Muhammadiyah di dalamnya. Pada dasarnya setiap media melakukan upaya hegemoni tidak terkecuali Media Indonesia dan Republika. Penerimaan publik atas wacana yang dikembangkan oleh industri media adalah tujuan dari setiap media. Kata kunci: Wacana, Media Indonesia, Republika, Siyono, Muhammadiyah, Objektifitas. iv
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW berserta keluarga dan para sahabatnya. Setelah proses yang cukup panjang dan melelahkan akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Tidak hanya karena kerja keras dan doa. Namun, banyak pihak yang turut serta mendukung dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi pada waktu yang tepat. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, oleh karena itu ucapan terima kasih penulis haturkan kepada: 1.
Bapak Mujirun Budiharjo dan Ibu Siti Julaeha sebagai orang tua penulis yang tak hentinya memberikan dukungan baik moril dan materil. Memberikan kasih sayang dan doa yang tak pernah terputus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan mendapat gelar sarjana.
2.
Bapak Dr. Arief Subhan, M. A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Suparto, M. Ed, Ph. D., M. A, Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Dra. Hj. Roudhonah, M. Ag., serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Dr. Suhaimi, M. Si.
v
3.
Bapak Kholis Ridho selaku Ketua Jurusan Jurnalistik dan Ibu Laeli Musfirah selaku Sekretaris Jurusan yang telah memberi masukan dan membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan akademis dan administrasi.
4.
Ibu Bintan Humeira, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan pengarahan kepada penulis. Semoga selalu diberikan kesehatan dan kemudahan dalam segala urusan.
5.
Segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membantu penulis dalam memahami pelajaran di bangku kuliah sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah di waktu yang tepat. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada mereka.
6.
Bapak Usman Kansong selaku Pimpinan Redaksi Media Indonesia yang menjadi narasumber penulis serta sekretariat Media Indonesia yang membantu penulis mendapatkan data untuk penelitian.
7.
Bapak Fitriyan Zamzami selaku Redaktur Halaman 1 harian Republika yang bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber peneliti. Semoga bantuan yang mereka berikan dibalas dengan kemudahan dalam urusannya.
8.
Keluarga penulis, Indra Gunawan, Danang Wibisono, Diah Nawang Wulan dan Lintang Az Zahra, yang selalu mengingatkan penulis agar segera menyelesaikan kuliah.
9.
Kategori sahabat terbaik penulis, Ahmad Faathir dan Lukman Hakim yang senantiasa berbagi ceria dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi.
10. Teman-teman Grup Penuh Berkah, Rizky Ananda, Dwinda Nur Oceani, Annisa Rahmah dan Indah Permata Sari yang membantu menyemangati
vi
penulis dan memberikan lawakan-lawakan yang kadang tidak lucu tetapi menghibur. Semoga kita selalu diberikan keberkahan dan kebahagiaan di setiap langkah dan keputusan yang kita ambil. 11. Tim penyemangat skripsi, Dziah Adzkia, Rahma Sari, Lilik Nur Cholilah, Ka Edo, Ka Izul, Ai Munawaroh, Rebecca Safitri, Moudy Lilang Shelita, dan Ahmad Fauzi. Terima kasih atas waktu dan support-nya semoga kalian dipermudah segala urusan, studi dan rezekinya. 12. KKN Sigma dan keluarga Ibu Titin yang pernah mengisi hari-hari penulis selama satu bulan dan memberikan pelajaran hidup. 13. Teman-teman Jurnalistik kelas A dan B angkatan 2012. Penulis senantiasa berdoa semoga amal baik yang telah diberikan oleh orangorang terkasih baik yang tertera di atas atau pun tidak selalu mendapatkan ridha Allah dalam setiap kegiatan positifnya. Teriring salam dan doa, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Aamiin. Tangerang, 28 Januari 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................... ABSTRAK .................................................................................................... KATA PENGANTAR.................................................................................. DAFTAR ISI................................................................................................. DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR.................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
i ii iii iv v viii x xi xii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................ B. Rumusan Masalah ........................................................... C. Tujuan.............................................................................. D. Manfaat Penelitian........................................................... E. Tinjauan Pustaka ............................................................. F. Metodologi Penelitian ..................................................... G. Sistematika Penulisan......................................................
1 6 7 7 8 9 12
BAB II
KERANGKA TEORI A. Analisis Wacana .............................................................. B. Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen ................... 1. Eksklusi ..................................................................... 2. Inklusi ........................................................................ C. Marjinalisasi .................................................................... D. Konsep Berita .................................................................. E. Konsep Ideologi .............................................................. F. Konsep Terorisme ...........................................................
14 15 16 17 21 22 24 29
BAB III
GAMBARAN UMUM A. Sejarah Media Indonesia .................................................. 1. Manajemen Baru ........................................................ 2. Visi dan Misi Media Indonesia .................................. 3. Profil Pembaca ........................................................... B. Sejarah Harian Republika ................................................ 1. Perkembangan Harian Republika............................... 2. Visi dan Misi Harian Republika................................. 3. Profil Pembaca ...........................................................
36 39 41 42 43 45 47 50
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISA DATA A. Hasil Temuan Eksklusi dan Inklusi pada Media Indonesia dan Republika ............................................................ B. Interpretasi........................................................................
53 72
viii
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................... B. Saran ................................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
92 93
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13
Pasivasi Teks Media Indonesia dan Republika ...................... Nominalisasi Teks Media Indonesia dan Republika .............. Diferensiasi Teks Media Indonesia dan Republika ................ Indeterminasi Teks Media Indonesia dan Republika ............. Determinasi Teks Media Indonesia dan Republika................ Kategorisasi Teks Media Indonesia dan Republika ............... Asosiasi Teks Media Indonesia dan Republika...................... Identifikasi Teks Media Indonesia dan Republika ................. Asimilasi Teks Media Indonesia dan Republika .................... Abstraksi Teks Media Indonesia dan Republika .................... Individualisasi Teks Media Indonesia dan Republika............ Konstruksi Makna tentang Densus 88 Menurut Media Indonesia dan Republika................................................................ Konstruksi Makna tentang Siyono Menurut Media Indonesia dan Republika.........................................................................
x
54 55 56 58 60 61 63 64 67 68 69 74 74
DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6
Jenis Kelamin Profil Pembaca Media Indonesia .................... Profesi Profil Pembaca Media Indonesia ............................... Usia Profil Pembaca Media Indonesia ................................... Jenis Kelamin Profil Pembaca Republika .............................. Profesi Profil Pembaca Republika.......................................... Usia Profil Pembaca Republika..............................................
xi
42 43 43 50 50 51
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7
Surat Keterangan Penelitian Media Indonesia Surat Keterangan Penelitian Republika Teks Berita Media Indonesia Teks Berita Republika Open Coding Media Indonesia Open Coding Republika Axial Coding
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dewasa ini, masyarakat modern tidak bisa dipisahkan oleh informasi yang disebarkan oleh media massa. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat dan mempengaruhi kebiasaan hidup masyarakat perkotaan. Hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat selalu memiliki aktivitas yang berhubungan dengan komunikasi massa. Secara sederhana, masyarakat komunikasi massa adalah suatu masyarakat yang kehidupan atau kesehariannya tidak bisa dilepaskan dari adanya media massa itu sendiri. Dalam masyarakat ini, kegiatan seperti mencari informasi, mencari bahan pendidikan, mencari hiburan, membeli dan menjual barang, serta masih banyak lagi, semuanya dilakukan melalui media massa. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat kini sangat bergantung pada informasi yang disajikan oleh media massa, baik secara online maupun offline. Media massa yang diproduksi secara offline atau cetak masih memegang kendali atas isu yang akan disebarluaskan. Keakuratannya yang lebih baik dibandingkan media online sering menjadi alasan mengapa media cetak lebih layak untuk diteliti. Para jurnalis media cetak memiliki lebih banyak waktu untuk mendalami isu yang akan diangkat menjadi laporan utama dan memiliki proses redaksi yang cukup panjang sehingga tidak sembarang berita yang bisa naik cetak. Tidak seperti halnya jurnalis online yang lebih mengedepankan kecepatan dibandingkan keakuratan dari laporannya.
1
2
Dalam catatan akhir tahunnya, Aliansi Jurnalis Independen merujuk data Nielsen yang menyebutkan bahwa dari 117 surat kabar yang dilihat, 16 unit media telah gulung tikar pada 2015.1 Dalam banyak ulasan menyatakan bahwa media cetak tidak akan bertahan lama dan akan tergantikan dengan media baru (online). Namun, banyak pula media cetak yang tetap survive untuk mempertahankan eksistensinya. Diantaranya adalah Media Indonesia dan Republika. Kedua media besar tersebut hingga kini masih berjalan baik dengan pandangan yang berbeda. Bagaimana media merespon sebuah isu, tentu tidak hanya berdasarkan nilainilai berita, tetapi apa yang dianggap penting oleh media biasanya juga dipengaruhi oleh tujuan media itu sendiri. Secara eksplisit, tujuan media bisa dilihat dari visi misi media tersebut yang akhirnya tertuang di dalam code of conduct perusahaan. Apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, ditulis, diberitakan wartawan, hingga sudut pandang isi berita haruslah mencerminkan media yang menaunginya. Ketika kita berbicara mengenai isi dari sebuah media massa, sesungguhnya kita telah berbicara mengenai suatu “wacana”. Tanpa disadari, hampir setiap hari kita telah menelan begitu banyak wacana yang dibentuk oleh publik maupun media massa itu sendiri. Pada dasarnya media massa bukanlah sesuatu yang bebas dan independen. Media mewakili realitas sosial yang terkait dengan berbagai macam kepentingan. Keterkaitan media ini berhubungan dengan kepentingan yang berada di dalam maupun di luar media massa itu sendiri. Dalam memproduksi berita, media massa sering dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan faktor eksternal.2 Faktor internal antara lain berupa pengaruh individu pekerja media, kebijakan Sumber: http://www.remotivi.or.id/kabar/247/Media-Cetak-yang-Berhenti-TerbitTahun-2015-, diakses pada 4 Mei 2016 2 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Doscourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, (Jakarta: Granit, 2004), h. 2 1
3
redaksional tertentu mengenai isu-isu sensitif seperti terorisme, kepentingan para pengelola media, relasi media dengan sebuah nilai-nilai atau kepercayaan tertentu. Sementara faktor eksternal dapat berupa tekanan pasar pembaca, sistem pers yang berlaku, iklan dan kekuatan-kekuatan lainnya. Kepentingan-kepentingan eksternal dan internal inilah yang mengakibatkan media massa sulit menghindari bias dalam penyampaian beritanya. Awal tahun 2016 lalu, Indonesia dikejutkan dengan beberapa serangan teror salah satunya yang terjadi di Jakarta dan pada pertengahan Maret 2016, muncul berita tentang penangkapan terduga teroris Siyono yang dilakukan oleh satuan Densus 88. Siyono yang diduga kuat merupakan pimpinan wilayah Jamaah Islamiyah di Klaten ditangkap pada 9 Maret di desa Pogung, Klaten. Siyono meninggal saat dibawa Densus 88 menuju tempat penyimpanan senjata. Namun, saat diperjalanan terjadi perkelahian antara
Siyono dan Densus 88 yang
menyebabkan kematian Siyono. Jamaah Islamiyah (JI) adalah organisasi teroris Asia Tenggara yang berbasis di Indonesia. JI tetap aktif dalam aktivitasaktivitasnya meskipun pada Agustus 2003 terjadi penangkapan atas Hambali, alias Riduan Isamuddin, seorang operator kunci. JI memiliki lebih 200 anggota yang terkait atau diduga sebagai jaringan, yang saat ini tengah menjalani penahanan di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina.3 Pada pemberitaan kematian Siyono, media cetak seperti Kompas, Media Indonesia, Sindo, Tempo dan Jakarta Post tidak memasukkan isu ini sebagai headline. Republika yang memasukkan sebanyak empat kali berita Siyono dalam
Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko-politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 103 3
4
headline-nya tentu tidak terlepas dari nilai-nilai yang digunakan dan relasi kepentingan media itu sendiri. Media Indonesia, walaupun tidak memasukkan berita ini sebagai headline, tetapi sempat membahas berita ini lewat liputan khusus dan editorial. Berdasarkan teori agenda media, suatu isu dapat dianggap penting jika terdapat di bagian depan atau headline, jumlah luas kolom yang diberikan dan berada di halaman berapa isu tersebut ditempatkan. Jika pengamatan peneliti dikaitkan dengan teori agenda media yang dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kedua media memberikan perhatian lebih terhadap kasus kematian terduga teroris Siyono. Apa yang ingin disampaikan oleh media disebut juga sebagai wacana. Terkait dengan analisis wacana pada tataran kritis, teks yang diproduksi oleh media tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi menyangkut konteks, di mana dalam bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Wacana yang dibangun oleh media juga dapat menjadi representasi kekuasaan untuk mendefinisikan sesuatu atau suatu kelompok menjadi tidak benar atau buruk. Dalam pemberitaan kematian terduga teroris Siyono, sangat mungkin terjadi misrepresentasi dalam penafsirannya. Penghilangan dan pemunculan aktor sosial yang terjadi dalam artikel bisa jadi merupakan strategi yang sengaja dibangun oleh media untuk mengarahkan persepsi masyarakat agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh media. Berita yang diterbitkan oleh media biasanya diterima sebagai kebenaran atau realitas yang benar-benar terjadi. Kebenaran dalam media adalah bahwa tidak ada realitas atau kebenaran mutlak dalam media. Sebaliknya media adalah ruang dimana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan
5
kelompok lain yang tidak dominan dalam berita. Kelompok-kelompok yang lebih lemah dan lebih membangkang mendapatkan pers yang lebih buruk dan berpengaruh lebih sedikit. Paletz dan Entman memberikan contoh kelompokkelompok terpinggirkan yang memiliki akses positif kecil atau kontrol yang kecil terhadap peliputan media, misalnya pengunjuk rasa tidak resmi, pelaku kerusuhan urban, ibu-ibu makmur, para mahasiswa militan, kaum reaksioner radikal, dan miskin.4 Siyono termasuk dalam kelompok yang terpinggirkan karena dianggap radikal, bagian dari kelompok teroris dan diduga sebagai orang yang memiliki peran penting dalam memasok senjata kelompok Jamaah Islamiyah. Eksekusi Siyono yang dilakukan oleh Densus 88 tentu menyalahi aturan karena bagaimanapun seorang tersangka tidak boleh dihakimi sebelum proses pengadilan dilaksanakan. Maka dapat dikatakan sebelum ada proses peradilan status Siyono adalah warga negara biasa dan belum bisa dikatakan bersalah. Seperti yang kita ketahui bahwa Densus 88 berada dalam institusi kepolisian dan dilindungi oleh pemerintah, berita tentang terorisme juga sangat dijaga ketat oleh pihak kepolisian maka besar kemungkinan bahwa kebenaran atas kejadian tersebut terdistorsi oleh penyaringan berita yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Ketika berita disampaikan oleh kepolisian kepada media, maka terjadilah interaksi antara wacana dengan pengaruh-pengaruh internal dan eksternal media seperti yang sudah dipaparkan di paragraf sebelumnya. Sikap kehati-hatian media dan kepentingan di dalamnya saat memberitakan isu terorisme justru menciptakan
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail Edisi 6 Buku 2, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 21 4
6
posisi salah satu aktor menjadi terpinggirkan. Seperti dua media yang menjadi perhatian penulis, yaitu Media Indonesia dan Republika. Wacana yang disampaikan oleh kedua media tersebut terlihat berbeda walaupun pada peristiwa atau kejadian yang sama. Hal ini mengarahkan pada asumsi bahwa kasus ini adalah kasus yang merepresentasikan kepentingan antara pemerintah dan warga sipil dengan kata lain kasus ini dijadikan sebagai pertarungan wacana antar media. Berdasarkan asumsi di atas maka semakin menguatkan asumsi lain yang menyatakan bahwa tidak ada media yang melahirkan sebuah wacana tanpa adanya subjektivitas. Melihat dari adanya upaya pemarjinalan kelompok yang dilakukan oleh kedua media dalam mewacanakan kasus ini, bagaimana lingkaran kepentingan saling berinteraksi untuk membentuk wacana dan bagaimana ideologi media mempengaruhi berita maka peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan ini dengan judul “Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada Media Indonesia dan Republika”.
B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana Media Indonesia dan Republika mewacanakan kasus kematian terduga Teroris Siyono?
C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Media Indonesia dan Republika mewacanakan kasus kematian terduga teroris Siyono.
7
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Akademis Pada segi akademis, penelitian ini dilakukan untuk mengaplikasikan teori komunikasi terutama penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisis wacana pada tataran kritis. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan keilmuan mengenai wacana di media massa.
2.
Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini dapat memberi referensi bacaan untuk publik. Penulis juga berharap penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan data penunjang pengetahuan mengenai studi ilmu komunikasi.
E. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian mengenai analisis wacana isu terorisme khususnya kinerja Datasemen Khusus 88 pada kasus kematian terduga teroris Siyono, peneliti melakukan tinjauan pustaka kepada penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan dengan skripsi ini yaitu: 1.
Skripsi yang berjudul “Kepemilikan Media Dalam Mencitrakan Partai Politik (Analisis Wacana Kritis Berita Partai Politik Nasional Demokrat Dalam Kolom Indonesia Memilih Harian Umum Media Indonesia)” yang ditulis oleh Anggy Agustin, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam tahun 2014. Skripsi ini membahas tentang bagaimana media mencitrakan partai Nasional Demokrat menggunakan analisis wacana kritis model Teun A. van Dijk. Kesimpulan dari
8
skripsi ini adalah bahwa wacana yang dibentuk oleh Media Indonesia sengaja dibentuk lebih dominan diantara partai politik lainnya dan dicitrakan secara positif. 2.
Jurnal yang berjudul “Pemberitaan Gubernur Bali, Mangku Pastika, Dalam Surat Kabar Bali Post: Analisis Strategi Eksklusi-Inklusi Theo Van Leeuwen” yang ditulis oleh Titan Ratih Bestari, Gd. Artawan, dan I Nyoman Yasa, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja yang diterbitkan sebagai e-journal Universitas Pendidikan Ganesha JPBSI, Volume: Vol 2 No: 1 Tahun 2014. Jurnal ini mendeskripsikan strategi inklusi dan eksklusi yang dilakukan oleh Bali Post pada memberitakan Gubernur Bali, Mangku Pastika menggunakan model Theo van Leeuwen. Kesimpulannya menyatakan bahwa media bersikap tidak netral dengan cara memilih narasumber yang lebih dominan pada struktur kekuasaan. Dari skripsi dan jurnal yang peneliti temukan dan peneliti jadikan sebagai
acuan, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa belum ada mahasiswa Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang meneliti tentang kematian terduga teroris Siyono menggunakan model analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Theo van Leeuwen. Maka dari itu peneliti tertarik meneliti permasalahan tersebut dengan judul “Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada Media Indonesia dan Republika”
9
F. Metodologi Penelitian 1.
Paradigma Penelitian Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode untuk menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan dapat dipahami. Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J. Moleong mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.5 Penelitian ini menggunakan pendekatan bahasa kritis yang dikembangkan oleh Theo van Leeuwen. Pendekatan kualitatif ini memusatkan perhatian pada susunan gramatikal yang membentuk suatu pandangan bahwa tata bahasa dapat digunakan sebagai media penyampai ideologi yang dilakukan oleh kelompok dominan. Analisis wacana didefinisikan sebagai suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Metode analisis berbeda dengan analisis isi kualitatif yang lebih menekankan pada pertanyaan apa (who), analisis wacana lebih melihat kepada bagaimana (how) dari suatu pesan atau teks komunikasi. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan dengan melihat bagaimana struktur kebahasan tersebut.6
3
5
Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h.
6
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007). h, 23
10
2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah tim redaksi Media Indonesia dan Republika, sedangkan objek penelitian ini adalah berita mengenai kematian terduga teroris Siyono di Media Indonesia edisi 5 April dan Republika edisi 2 April 2016. 3. Metode Pengumpulan Data Adapun tahapan-tahapan dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan dua metode, yaitu: a.
Wawancara Peneliti melakukan wawancara (interview) dengan pihak-pihak terkait di kedua media, yaitu Usman Kansong selaku pimpinan redaksi Media Indonesia dan Fitriyan Zamzami selaku redaktur halaman satu harian Republika.
b.
Dokumentasi Dokumentasi adalah penelitian yang mengumpulkan, membaca, dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah, atau jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet, atau instansi lain yang dapat dijadikan referensi analisis dalam penelitian.
4. Teknik Analisis Teknik analisis data menggunakan analisis bahasa kritis model Theo van Leeuwen yang membagi perhatian analisisnya menjadi dua, yaitu proses pengeluaran (exclusion) dan pemasukan (inclusion). Tahap pertama, penetapan subjek dan objek penelitian. Dalam tahap ini peneliti berhadapan dengan isi media sebagai subjek penelitian yang menjadi tempat
penggalian
atau
pengungkapan
ideologi
dari
objek
yang
11
direpresentasikan. Tahap kedua, setelah peneliti menetapkan fokus teks yang akan diteliti berikutnya peneliti melakukan analisis dengan mengidentifikasi elemen wacana yang muncul tentang permasalahan ideologi yang telah dirumuskan, kemudian mengkategorikannya sesuai dengan landasan teori atau fenomena yang ditemukan. Tahap ketiga, merupakan tahap interpretasi terhadap temuan-temuan mengenai elemen wacana, atau frame, atau kodekode yang menunjukkan representasi ideologi, atau perjuangan ideologi atau dominasi ideologi.7 Tahap keempat, peneliti membandingkan hasil interpretasi dari kedua media. Berdasarkan data yang didapat dari tiga tahap tersebut kemudian dianalisis dengan melewati tiga tahapan analisis data dalam penelitian deskriptif kualitatif, yaitu (1) pereduksian data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan simpulan/pembuktian, (4) perbandingan. 5. Tempat Penelitian Penelitian ini bertempat di kantor Media Indonesia dan Republika. Kantor Media Indonesia terletak di Jalan Pilar Mas Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Komplek Delta Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta 11520 – Indonesia. Website: mediaindonesia.com, telp. +6221 581 2088, fax. +6221 581 2102 (redaksi) dan Kantor Republika terletak di Jalan Warung Buncit Raya No. 37 Jakarta Selatan 12510 – Indonesia. Email:
[email protected].
Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 115 7
12
G. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai skripsi ini maka penulis akan menguraikan dalam 5 bab. BAB I
PENDAHULUAN Berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Bab ini memberikan gambaran atau kerangka dari penelitian yang dilakukan.
BAB II
KAJIAN TEORI Pada bab ini peneliti menjelaskan landasan teori yang digunakan dalam memaparkan kasus yang diteliti. Bab ini meliputi konsep tentang media, berita, analisis wacana, dan kerangka analisis wacana.
BAB III
GAMBARAN UMUM MEDIA INDONESIA DAN HARIAN REPUBLIKA Penulis akan menggambarkan mengenai sejarah berdiri Media Indonesia dan Harian Republika, Visi dan Misi, dan struktur organisasi.
BAB IV
HASIL PENELITIAN Dalam bab ini menguraikan proses inklusi dan ekslusi yang dilakukan oleh Media Indonesia dan Harian Republika dan menjelaskan data hasil temuan strategi inklusi dan ekslusi yang digunakan masing-masing media pada pemberitaan mengenai kematian terduga teroris Siyono.
13
BAB V
PENUTUP Pada bab ini peneliti akan memberikan kesimpulan mulai dari tahap awal hingga akhir penelitian. Selain kesimpulan peneliti juga akan memasukkan saran yang bermanfaat bagi pihak yang terkait dalam penelitian ini.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Analisis Wacana Analisis wacana terdiri dari dua kata, yaitu analisis dan wacana. Analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa, penjelasan sesudah dikaji sebaik-baiknya, penguraian suatu pokok atas berbagai bagian, serta karya sastra atau unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antar unsur tersebut.1 Secara etimologi istilah wacana berasal dari bahasa Sanskerta wak/wak/uak yang memiliki arti ‘berkata’ atau ‘berucap’. Kemudian kata tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata ‘ana’ yang berada dibelakang adalah bentuk akhiran yang bermakna ‘membendakan’, dengan demikian, kata wacana dapat dilakukan sebagai perkataan atau tuturan.2 Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para ahli linguistik (ahli bahasa) di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa inggris ‘discourse’, kata ‘deiscourse’ sendiri berasal dari bahasa Latin, discursus (lari ke sana lari ke mari). Kata ini diturunkan dari kata ‘dis’ (dan/dalam arah yang berbeda-beda) dan kata ‘curere’ (lari).3 Dalam kamus bahasa indonesia kontemporer, terdapat tiga makna dari istilah wacana. Pertama, percakapan, ucapan, dan tutur. Kedua, keseluruhan tutur
Depdikbud, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, cet ke-1 1998), h. 32 Deddy Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip Analisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) h. 3 3 Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, ( Yogyakarta: Kanisius, 1993) h. 3 1 2
14
15
atau cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa terbesar, terlengkap yang realisasinya pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, artikel.4 Dalam buku Aris Badara, Stubs mengatakan, analisis wacana merupakan merupakan suatu kajian yang meneliti bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Secara ringkas, analisis wacana yang menggunakan paradigma kritis bertujuan untuk membongkar relasi kuasa yang bersembunyi di balik proses bahasa. Melalui pandangan tersebut, wacana selalu dikaitkan dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk posisi aktor sosial yang terlibat dan representasi peristiwa yang terjadi di masyarakat. 5 Wacana kritis melihat bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai. Bahasa dipandang memiliki kekuatan sebagai alat penyebar ideologi dominan. Penempatan suatu kelompok dalam teks apakah posisinya dimarjinalkan atau tidak merupakan salah satu indikator adanya kepentingan yang mempengaruhi suatu wacana. Dalam hal ini berarti wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol dan bukan sesuatu yang tidak disadari.
B. Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen Theo van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mengetahui bagaimana seseorang atau kelompok dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Dalam pandangan Theo, kelompok dominan lebih memegang kuasa
4 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, edisi ke -3 2002), h. 1709 5 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 18
16
dalam menafsirkan peristiwa yang terjadi dan berdampak pada pemaknaan secara buruk kepada kelompok yang tidak dominan. Analisis Theo van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihakpihak atau aktor ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua fokus dalam analisis Theo, pertama proses pengeluaran (exclusion), apakah dalam suatu teks berita, ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan bagaimana strategi wacana yang digunakan untuk itu. Kedua, proses pemasukan (inclusion). Jika exclusion berhubungan dengan pertanyaan bagaimana proses suatu kelompok dikeluarkan dari teks pemberitaan, maka inclusion berbicara sebaliknya, bagaimana masing-masing pihak ditampilkan lewat pemberitaan. 6 1.
Eksklusi Eksklusi adalah proses pengeluaran aktor dalam suatu berita. Proses ini secara disadari atau tidak dapat melegitimasi suatu pemahaman tertentu. Seperti tidak adanya pihak yang dilibatkan atau bisa juga berguna untuk melindungi suatu aktor atau kelompok tertentu. Strategi eksklusi dapat diuraikan menjadi tiga, yaitu: 1.1 Pasivasi Salah satu bagian dari dari eksklusi adalah dengan menggunakan kalimat pasif. Melalui kalimat pasif, aktor tidak dihadirkan dalam teks. Biasanya penggunaan kalimat pasif diawali dengan imbuhan di- pada awal kalimat.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009), h.171 6
17
1.2 Nominalisasi Salah satu bagian eksklusi yang merupakan strategi untuk menghilangkan kelompok aktor sosial tertentu bisa juga melalui nominalisasi. Strategi ini berkaitan dengan pengubahan kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina). Nominalisasi tidak membutuhkan subjek, karena nominalisasi pada dasarnya merupakan proses mengubah kata kerja yang bermakna tindakan atau kegiatan menjadi kata benda yang bermakna peristiwa.
Hubungannya
dengan
wacana
pada
media,
Eriyanto
berpendapat bahwa redaksi umumnya sering kali dan lebih senang memberitahukan suatu peristiwa dalam bentuk nominal dibandingkan dengan bentuk tindakan. Bentuk nominal umumnya lebih menyentuh emosi khalayak. Misalnya pada kata kerja dibunuh, jika diganti menjadi pembunuhan akan berbeda maknanya. Secara tidak sadar, biasanya pengubahan kata kerja menjadi kata benda ini akan menyembunyikan aktor atau pelaku dan membuat pembaca tidak kritis. 1.3 Penggantian Anak Kalimat Penggantian subjek juga dapat dilakukan dengan menggunakan anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor. Alih-alih menghemat kalimat dan menganggap bahwa semua asumsi pembaca akan sama, tapi justru akan menyembunyikan aktor. 2.
Inklusi Menurut van Leeuwen, strategi wacana yang digunakan untuk menampilkan sesuatu, seseorang atau kelompok (inklusi) di dalam teks. Menurut van Leeuwen, hadirnya peristiwa atau kelompok lain selain yang
18
diberitakan bisa menjadi penanda yang baik bagaimana suatu kelompok atau peristiwa direpresentasikan dalam teks. 2.1 Diferensiasi – Indeferensiasi Penggunaan strategi wacana ini dapat diidentifikasi melalui bagaimana suatu kelompok yang disudutkan dibandingkan dengan cara menghadirkan kelompok yang lebih dominan dengan wacana yang lebih baik. Sehingga kelompok yang tidak dominan akan terlihat buruk dan terpinggirkan. 2.2 Objektivasi – Abstraksi Menurut van Leeuwen, penyebutan dalam bentuk abstraksi seringkali berkaitan dengan pertanyaan apakah aktor sosial disebutkan dengan memberikan petunjuk yang jelas atau samar-samar. Misalnya ketika wartawan menyebutkan jumlah massa pada suatu peristiwa demonstrasi, pilihan kata ‘puluhan ribu demonstran’ dengan ‘sepuluh ribu demonstran’ tentu akan mempengaruhi persepsi khalayak tentang jumlah pendemo. Penyebutan dalam bentuk abstraksi biasanya tidak hanya disebabkan oleh ketidaktahuan wartawan mengenai informasi yang jelas tetapi hal tersebut merupakan strategi wartawan untuk menampilkan sesuatu. 2.3 Nominasi – Kategorisasi Strategi nominasi – kategorisasi berkaitan dengan bagaimana cara aktor digambarkan dalam sebuah wacana. Apakah ditampilkan apa adanya atau dikategorikan (agama, status, bentuk fisik, dsb). Menampilkan aktor dengan kategori tertentu dapat merepresentasikan bahwa peristiwa tertentu
19
identik dengan suatu kelompok tertentu. Namun, tidak semua penyebutan memberikan informasi tambahan mengenai aktor. Misalnya penyebutan ‘Habibie’ diubah menjadi ‘suami setia’, pemberian kategori bahwa Habibie adalah sorang suami yang setia sebenarnya tidak memberikan pengaruh informasi apa pun tentang peristiwa. Namun, penambahan kategori ‘suami setia’ akan menambahkan informasi mengenai siapa lakilaki tersebut. 2.4 Nominasi – Identifikasi Strategi nominasi – identifikasi hampir mirip dengan kategorisasi, yaitu berbicara mengenai bagaimana suatu kelompok, peristiwa atau tindakan didefinisikan. Perbedaannya terletak pada penambahan anak kalimat yang bertujuan memberikan penilaian ke arah mana peristiwa yang akan dijelaskan. Misalnya pada kalimat ‘soekarno yang dikenal sebagai presiden pertama indonesia, ternyata berasal dari keluarga yang kurang mampu’. Penambahan anak kalimat menentukan arah pembicaraan, biasanya penambahan anak kalimat diarahkan kepada wacana yang buruk sehingga akan mempengaruhi persepsi khalayak. 2.5 Determinasi – Indeterminasi Dalam pemberitaan sering kali aktor atau peristiwa disebutkan secara jelas, tetapi bisa juga disebutkan tidak jelas (anonim). Anonimitas dapat terjadi karena wartawan belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menuliskannya, sehingga lebih aman untuk menulis secara anonim. Misalnya, ‘Sandiaga Uno disebut-sebut merupakan calon gubernur terkaya dibanding saingannya’. Jika dibandingkan dengan kalimat ‘pemuda yang
20
baru terjun ke dunia politik ini disebut-sebut merupakan calon gubernur terkaya dibanding saingannya’. Pada kalimat kedua penyebutan ‘pemuda yang baru terjun ke dunia politik’ akan menghasilkan makna jamak. Sehingga ada dua orang yang dituju, antara Agus Yudhoyono dan Sandiaga Uno. 2.6 Asimilasi – Individualisasi Asimilasi – individualisasi adalah sebuah strategi wacana yang berkaitan dengan pertanyaan apakah aktor sosial yang diberitakan ditunjukkan dengan jelas kategorinya atau tidak. Ketika dalam pemberitaan yang disebutkan adalah komunitas atau kelompok sosial yang ditempatkan oleh aktor, itulah yang disebut asimilasi. Misalnya ketika artis ‘Rio Dewanto’ disebut sebagai ‘aktor muda indonesia’, maka persepsi khalayak akan menjadi bias karena aktor muda indonesia tidak hanya Rio Dewanto. 2.7 Asosiasi – Disosiasi Strategi ini berhubungan dengan pertanyaan apakah aktor atau suatu pihak ditampilkan sendiri ataukah dihubungkan dengan kelompok lain yang lebih besar. Strategi ini ingin melihat apakah suatu peristiwa atau aktor sosial dihubungkan dengan peristiwa lain atau kelompok lain yang lebih luas dan mendapatkan makna yang lebih luas.7
7
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 173
21
C. Marjinalisasi Marjinalisasi adalah upaya penggambaran secara buruk kepada pihak atau kelompok lain. Berbeda dengan eksklusi, jika pada eksklusi ada pembagian pihak kita dan pihak lain. Namun, di marjinalisasi penggambaran secara buruk tidak ada pemilahan pihak kita dan pihak mereka. Ada beberapa praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana marjinalisasi. 1. Penghalusan makna (eufimisme) Eufimisme banyak dipakai untuk menyebut tindakan kelompok dominan kepada masyarakat bawah sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama menipu masyarakat bawah. 2. Pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme) Umumnya digunakan untuk menyebut tindakan yang dilakukan masyarakat
bawah.
Pemakaian
kata
kasar
seperti
“pencaplokan”,
“penyerobotan” membuat realitas perilaku menjadi kasar. 3. Labelisasi Labeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh kelas dominan untuk menundukkan orang yang berada di kelas bawah. Sebutan “penggarap liar” misalnya, mengasosiasikan di benak khalayak bahwa para petani penggarap sawah adalah liar dan melanggar hukum. Pemakaian label ini tidak hanya membuat posisi kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tetapi juga memiliki kesempatan bagi mereka yang memproduksinya untuk melakukan tindakan tertentu.
22
4. Stereotipe Stereotipe adalah penyamaan kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif. Stereotipe adalah praktik representasi yang mengggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif dan bersifat subjektif. Misalnya wanita cantik harus berkulit putih. Stereotipe bahwa wanita cantik adalah yang berkulit putih, tentu akan meminggirkan wanita yang tidak berkulit putih menjadi tidak cantik.8
D. Konsep Berita 1. Pengertian Berita Haris Sumadira mengutip pendapat dari Paul De Manssener menyatakan bahwa news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian serta minat khalayak. Berdasarkan buku Teknik Menulis Berita dan Faeture yang ditulis oleh Haris Sumadira, Charnley dan James M. Neal berpendapat bahwa berita adalah laporan tentang suatu peristiwa atau opini, kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak.9 Menurut Eni Setiati, berita dapat didefinisikan sebagai peristiwa yang dilaporkan segera yang didapat di lapangan dan siap untuk dilaporkan. Wartawan yang menonton dan menyaksikan peristiwa, belum tentu telah menemukan peristiwa. Wartawan harus bisa menemukan peristiwa setelah memahami proses atau jalan cerita, yaitu harus tau apa (what) yang terjadi,
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 124 AS Haris Sumadira, Jurnalistik Indonesia: Tekhnik Menulis Berita dan Feature, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 64 8 9
23
siapa (who) yang terlibat, bagaimana kejadian itu terjadi (how), kapan (when) terjadi, dimana (where) peristiwa itu terjadi, dan mengapa (why) sampai terjadi. Keenam hal tersebut merupakan unsur berita.10 Setelah merujuk kepada beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi atau media online internet.11 2. Nilai-nilai Berita Nilai berita atau news values merupakan elemen-elemen dari berita yang digunakan sebagai patokan bagi wartawan untuk memutuskan berita mana yang pantas untuk diliput, dan mana yang tidak. Kriteria nilai umum berita, menurut Brian S. Brooks, George Kennedy, Darly M. Moen, dan Doen Ranly dalam buku “News Reporting and Editing” menunjuk kepada sembilan hal. Beberapa pakar lain menyebutkan, ketertarikan manusiawi (humanity) dan seks (sex) dalam segala dimensi, juga termasuk ke dalam kriteria umum nilai berita yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para reporter dan editor media massa. Sehingga terdapat 11 nilai berita, menurut AS Haris Sumadira dalam bukunya “Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature” yakni: a. Keluarbiasaan (unsualness) b. Kebaruan (newsness) c. Akibat (impact) d. Aktual (timelines)
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, (Yogyakarta: Andi Publisher, 2005), h. 18 11 AS Haris Sumadira, Jurnalistik Indonesia Tekhnik Menulis Berita dan Feature, h. 64 10
24
e. Kedekatan (proximity) f. Informasi (information) g. Konflik (conflict) h. Orang penting (prominence) i. Ketertarikan manusiawi (human interest) j. Kejutan (suprising) k. Seks (sex).12 Tingkat pentingnya suatu berita atau isu dapat ditunjukkan dengan melihat dari headline, halaman pertama, judul yang mencolok, frekuensi pemuatan, rubrik-rubrik utama atau penyajian yang memiliki nilai berita yang tinggi atau konflik.13
E. Konsep Ideologi Ideologi sering digunakan dalam praktik kehidupan. Dalam bernegara istilah ideologi menunjukkan landasan filosofis suatu negara, misalnya pancasila. Pada masa orde baru, pemerintah menetapkan ideologi yang boleh hidup hanya ideologi pancasila. Seluruh golongan dan perilaku kehidupan masyarakat harus berdasarkan ideologi tunggal, yaitu pancasila. Setelah masa reformasi, setiap lembaga, kelompok masyarakat bahkan individu diperbolehkan memiliki ideologinya masing-masing kecuali ideologi komunis yang dinyatakan terlarang. Partai politik memiliki ideologinya masingmasing yang seperti nilai kerakyatan. Dalam praktik ekonomi, ideologi digunakan sebagai landasan yang dianut dalam mengatur supply dan demand barang dan jasa. 12 13
AS Haris Sumadira, Jurnalistik Indonesia Tekhnik Menulis Berita dan Feature, h. 80 Hamidi, Metode Penelitian dan Teori Komunikasi, (Malang: UMM Press, 2007), h. 81
25
Kepemilikan ideologi selain ditujukan kepada negara, kelompok, organisasi atau perorangan, juga sebagai landasan dan orientasi nilai yang dianut dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ideologi bisa juga merupakan nilai yang ditetapkan dan dipaksakan oleh suatu kekuatan atau murni dari refleksi nilai-nilai yang dianut individu atau kelompok lain. Thompson dalam bukunya Udi Rusadi berpendapat bahwa konsep ideologi memiliki sejarah yang panjang dan telah digunakan dalam berbagai analisis pada kajian ekonomi, politik dan sosial. Konsep-konsep yang berkembang menunjukkan sesuatu yang ambigu. Pertama, ideologi memiliki pengertian yang netral, yaitu sebagai sistem pemikiran, sistem keyakinan atau sistem simbol yang berhubungan dengan tindakan sosial dan praktik politik. Pengertian ideologi dalam perspektif kritikal memandang ideologi yang secara mendasar merupakan proses pembenaran relasi kuasa yang tidak seimbang atau digunakan untuk melegitimasi praktik penguasaan atau dominasi. Konsepsi yang kedua ideologi merupakan sebuah proses kesadaran yang dipaksakan dari satu kelompok ke kelompok lain atau dari satu orang ke seorang atau sekelompok lain sehingga tercipta suatu dominasi. Dari banyak definisi yang berasal dari berbagai disiplin ilmu, Raymon William sebagaimana yang dikemukakan dalam bukunya John Fiske dan dikutip kembali ke dalam buku Udi Rusadi, mengemukakan ada tiga definisi utama yang biasa digunakan, yaitu ideologi sebagai sistem kepercayaan dari suatu kelompok atau kelas, ideologi sebagai ilusi atau kesadaran palsu dan ideologi sebagai proses produksi makna. a. Pengertian pertama berasal dari para pakar psikologi yang memandang ideologi sebagai pengorganisasian sikap sehingga menjadi suatu bentuk atau
26
pola yang koheren. Artinya, beberapa sikap mengenai suatu objek yang satu sama lain terkait dan menjadi suatu kepercayaan bersama, menjadi ideologi. Oleh karena itu, terbentuknya ideologi ditentukan oleh kelompok atau masyarakat dan bukan hal yang spesifik ditentukan individu tertentu. b. Ideologi dalam pengertian kedua yaitu sistem keyakinan yang hanya menjadi sebuah ilusi, atau kesadaran palsu. Dalam pengertian ini ideologi diciptakan oleh kelas yang berkuasa untuk melanggengkan dominasinya terhadap kelompok subordinat lainnya. Caranya dengan melakukan pengendalian berbagai alat utama bagi para pekerja yang tampak seperti alami dan seperti tampak suatu yang benar. Dalam konteks ini, pihak yang berkuasa melakukan propaganda dan memberikan “iming-iming” kepada kelompok subordinat bahwa mereka akan memperoleh keuntungan atau kebaikan. c. Ideologi pada konsep ketiga digunakan untuk menggambarkan proses produksi makna. Dalam konteks ini sebagaimana pemikiran Roland Barthes ideologi merupakan penanda yang memilki makna konotatif yang disebutnya retorika ideologi yang menjadi sumber pemaknaan tataran kedua. Tataran pertama (first order signification), ialah tahap pembentukan makna denotatif yang tahapannya melalui interaksi antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Tataran kedua (second order) merupakan tahapan pembentukan makna konotasi dan mitos. Oleh karena itu, niilai konotatif dan mitos merupakan ideologi yang kegunaannya bisa diwujudkan. Ketiga konsep ideologi tersebut menurut Fiske saling berkaitan. Konsep ideologi kedua merupakan implementasi dari konsep pertama. Kemudian konsep satu dan dua berada dalam konsep ideologi yang ketiga yaitu pada proses produksi
27
makna. Dalam konteks yang berkaitan ini, sistem kepercayaan yang terbentuk misalnya kapitalisme, diimplementasikan untuk pengembangan kesadaran palsu dalam rangka melakukan penguasaan atau praktik dominasi. Ideologi kapitalisme dan praktik dominasi direpresentasikan dalam berbagai tanda-tanda sehingga makna bisa kita baca. Tahapan tersebut merupakan proses peroduksi makna, dalam pengertian ideologi yang ketiga.14 1. Ideologi Media Ideologi media memiliki pengertian ideologi yang dimiliki oleh media sebagai sebuah institusi atau landasan hidup media. Konsep ideologi yang dapat ditarik dalam tiga kategori ideologi menurut pandangan para pemikir non-marxis, marxis, dan neo-marxis. Pandangan non-marxis meilhat ideologi merupakan sistem kepercayaan bagi setiap individu atau kelompok. Ideologi media dalam pandangan nonmarxis dapat dilihat dari teori normatif tentang media. Teori tersebut mengemukakan pola kekuasaan yang mengendalikan media, di mana kekuasaan media dihubungkan dengan struktur kekuasaan di negara di mana media hidup. Sebagaimana Siebert mengungkapkan bahwa sistem pers ATAU media di suatu negara akan menyesuaikan dengan sistem politik di mana media itu berada. Pandangan teori-teori marxis, yaitu ekonomi politik kritikal, yang mengkaji kaitan antara relasi sosial dengan permainan kekuasaan. Fokusnya untuk melihat bagaimana makna yang diungkapkan media dipengaruhi oleh
Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 51 14
28
struktur asimetris dari relasi sosial. Ideologi media dalam perspektif ini dibedakan menurut varian ekonomi kritikal yaitu instrumentalis dan strukturalisme. Dalam pandangan instrumentalis, kajian media memfokuskan pada cara-cara kapitalisme menggunakan kekuatan ekonomi untuk menjamin agar arus informasi sesuai dengan kepentingannya. Dalam hal ini media dimiliki secara pribadi sebagai instrumen kelas dominan sehingga ideologi yang menguasainya adalah kapitalisme. Sedangkan menurut ekonomi politik strukturalisme, media dikuasai dan dikendalikan oleh struktur yang berlaku yaitu struktur yang dominan. Dalam pandangan ini yang menguasai bukanlah individu, tetapi aturan-aturan atau sistem, yaitu sistem negara, sistem kelompok atau penelitian-penelitian yang dilakukan dengan menggunakan perspektif Marxis (klasik/fundamentalis) ini dilakukan dengan menunjukkan bukti-bukti dari proses produksi, distribusi dan konsumsi pada praktik industri media. Studi
tentang ideologi
media menurut
perspektif neo-marxis,
sebagaimana dikemukakan oleh Althusser, dilakukan dengan menunjukkan ideologi sebagai hasil dari proses pengalaman dan merupakan representasi imajiner dari realitas yang menunjukkan eksistensi suatu individu atau kelompok. Posisi ideologi tidak selalu ditentukan oleh penguasaan ekonomi, tetapi ideologi bisa tumbuh otonom dari proses pengalaman. Pemikir neomarxis menganut paham bahwa ideologi dalam posisi tidak ditentukan oleh faktor ekonomi sebagaimana juga para pemikir neo-marxis yang lain seperti Antonio Gramsci.15
15
Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, h. 82
29
F. Konsep Terorisme Teror mengandung arti penggunaan kekerasan, untuk menciptkan atau mengondisikan sebuah iklim ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang luas, dibandingkan hanya jatuhnya korban kekerasan. Dalam perkembangannya lalu muncul suatu konsep yang memberi pengertian bahwa terorisme adalah cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistematik, demi suatu kepentingan politik tertentu. Dalam buku Hendropriyono mengutip pendapat Whittaker tentang beberapa pengertian terorisme antara lain menurut Walter Reich yang menyatakan, bahwa terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di kalangan masyarakat umum. Terorisme adalah penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik. Beberapa pengertian lain yang dikutip dari FBI, terorisme adalah penggunaan kekuatan atau kekerasan secara di luar hukum terhadap manusia dan harta benda untuk menakut-nakuti suatu pemerintahan, penduduk sipil, atau bagian dari mereka dengan sasaran lebih lanjut adalah hal yang menyangkut politik atau sosial. Dari suatu forum diskusi antara para akademisi, profesional, pakar, pengamat politik, dan diplomat tertentu, yang diadakan di kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada tanggal 15 September 2001, menyimpulkan pengertian terorisme, sebagai berikut: “Terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstremis, suku
30
bangsa) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan, yang tidak dapat dicapai melalui saluran resmi atau jalur hukum.” Negara Barat bahkan menuliskan pengertian terorisme secara resmi melalui undang-undang negara, yang merupakan payung hukum untuk diterjemahkan kedalam berbagai strategi operasional masing-masing dalam kegiatan-kegiatan antiterorisme. Amerika Serikat telah mendefinisikan terorisme menurut Kode Kriminal Federal (Chapter 113B of Part I of Title 18 of the United States Code, tentang terorisme dan daftar tindakan kriminal yang berhubungan dengan terorisme). Pada Section 2331 of Chapter 113b, terorisme didefinisikan sebagai ‘kegiatan-kegiatan yang melibatkan kekerasan atau aksi-aksi yang mengancam kehidupan, yang merupakan pelanggaran terhadap undang-undang kriminal Amerika Serikat atau negara manapun dan yang terjadi karena keinginan untuk (i) menakut-nakuti atau memaksa penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan intimidasi atau paksaan, atau (iii) memberikan dampak terhadap langkah suatu pemerintah dengan cara perusakan massal, pembunuhan atau penculikan; dan terjadi pada mulanya di dalam jurisdiksi teritorial Amerika Serikat atau terjadi pada mulanya di luar jurisdiksi teritorial Amerika Serikat’. Inggris mendefinisikan terorisme dalam Terrorism Act 2000, sebagai penggunaan ancaman yang dirancang untuk memperngaruhi pemerintah atau menakut-nakuti masyarakat umum atau kelompok masyarakat dan penggunaan ancaman yang dilakukan untuk kepentingan pengembangan suatu kepentingan yang bersifat politik, agama atau ideologi yang melibatkan kekerasan secara nyata (serius) terhadap manusia, melibatkan perbuatan yang merusak harta benda, membahayakan kehidupan manusia selain dirinya sendiri dan menimbulkan suatu
31
akibat nyata terhadap kesehatan atau keamanan masyarakat umum atau kelompok masyarakat atau dicancang secara nyata (serius) untuk mengganggu. Pengertian tentang terorisme dapat dirangkum dari hasil kajian filsafat analitis bahasa. Sebagai suatu metode berpikir yang radikal (mendalam) dan bersifat netral, filsafat analitis bahasa tidak memberikan penafsiran tentang realitas dan tidak ikut campur dalam penggunaan bahasa. Penerapan verification principle untuk menguji apakah suatu pernyataan itu dapat dikatakan sebagai bermakna atau tidak, merupakan suatu cara yang bertentangan dengan prinsip metafisika. Hal tersebut berarti, bahwa analitika bahasa tidak akan meneliti terorisme dari sisi historis, ideologis ataupun penafsiran teologisnya. Analisis bahasa hanya melakukan verification (verifikasi) terhadap ungkapan-ungkapan dari pihak Osama bin Laden, yang mencerminkan pemikirannya tentang realitas dunia dan mengapa dia melakukan terorisme. Dari verifikasi tersebut ditemukan letak ketidakterakturan pemikiran Osama bin Laden. Tugas filsafat adalah melakukan kritik terhadap kekeliruan-kekeliruan yang terjadi, bukan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang terdapat pada ungkapan-ungkapan mereka yang selama ini tidak perlu lagi mendapatkan kritik. Jika konsep analitis diterapkan di sini, maka secara filosofis pengertian terorisme dapat ditemukan melalui dua pendekatan: 1. Dari segi keseluruhan yang lebih besar, yang di dalamnya terdapat bagian eksistensi terorisme. 2. Dari segi bagian-bagian yang menyusun suatu kesatuan yang lebih besar, yang merupakan eksistensi terorisme.
32
Secara sistematik kedua pendekatan tersebut digunakan sebagai kerangka penelitian filosofis agar dapat menjawab pertanyaan yang sederhana tentang esensi makna dari terorisme. Pendekatan pertama, terorisme merupakan suatu ide tentang tindak kekerasan atau ancaman kekerasan. Terorisme dalam konteks ini merupakan bagian dari suatu wacana besar tentang ilmu perang, seperti perang terbatas maupun perang total, perang terbuka maupun clandestine campaign (kampanye tertutup, klandestin, gerakan bawah tanah) serta filsafat perang. Pendekatan kedua, terorisme merupakan suatu konsep yang tersusun dari prinsip: 1. Ketidakteraturan pikiran dan masalah dalam kepribadian manusia. 2. Psikologi massa (public), baik publik yang ketakutan maupun publik yang menaruh simpati buta. Pelembagaan terhadap penghalalan segala cara dan penggalangan opini publik inilah yang merupakan eksistensi terorisme. Terorisme merupakan suatu realitas dan realitas di dunia tersebut diwujudkan dalam bahasa, yang merupakan ungkapan
pemikiran
dari
seseorang
yang
hidup
dalam
kemajemukan
lingkungannya. Bahasa dalam terorisme digunakan sebagai ungkapan pemikiran Osama bin Laden dan George Walker Bush di dalam refleksinya menghadapi realitas. Suatu konsep dinyatakan dalam bentuk ungkapan dan ungkapan pemikiran adalah suatu bahasa. Ekspresi dalam terorisme menggunakan bahasa yang menjadi masuk akal, karena digunakan manusia untuk menyampaikan pesan mereka kepada manusia lain. Pelaku terorisme bukan hanya perorangan atau jaringan seperti Al Qaeda, tetapi juga termasuk negara. Tindak kejahatan dengan kekerasan yang dilakukan mereka baik secara fisik ataupun psikologis, berlaku terhadap siapa saja tanpa
33
batasan atau tidak terkecuali, baik terkait ataupun tidak terkait dengan hal yang sedang dipermasalahkan. Keberhasilan atau kegagalan terorisme tergantung kepada opini publik yang terbentuk untuk mendukung eksistensinya. Kebutuhan dukungan publik yang dilontarkan oleh Osama bin Laden tampak dari tindakan bahasa yang bertujuan untuk mempengaruhi dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut “...the american people rose against their government’s war in Vietnam. They must do the same today. The american people should stop the massacre... by their government.” (Rakyat Amerika dulu bangkit menentang pemerintahannya dalam perang di Vietnam. Mereka harus melakukan hal yang sama sekarang ini. Rakyat Amerika harus menghentikan pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah mereka). Dari ungkapan Osama bin Laden tersebut terlihat bahwa ia menginginkan rakyat Amerika bergerak seperti yang terjadi di masa perang Vietnam dahulu, sehingga membuat Amerika Serikat menderita kekalahan. Bahasa yang digunakan Osama bin Laden merupakan bahasa orang yang mengharapkan sesuatu, dari kenyataan yang pernah berlaku di Vietnam. Kenyataan hidup manusia berada dalam satu keanekaragaman, sebagaimana dalam bahasa yang dijumpai sehari-hari. Keanekaragaman yang dimaksud oleh Wittgenstein bukanlah bermacam-macam bahasa seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Jepang, dan semacamnya, serta juga bukan bahasa kedokteran, bahasa sastra, bahasa filsafat, dan semacamnya, melainkan keanekaragaman bahasa yang kita jumpai dalam hidup sehari-hari. Menurut Wittgenstein bahwa permainan kata-kata itu meliputi bahasa perintah untuk dipatuhi, bahasa lelucon atau komedi, bahasa pertanyaan, bahasa
34
orang berterima kasih, bahasa berdoa, bahasa orang memaki, dan sejenisnya. Setiap ragam permainan bahasa itu mengandung aturan tertentu yang mencerminkan ciri khas dari corak permainan bahasa yang bersangkutan. Sebagaimana seperti biasanya dalam sebuah permainan, orang yang terlibat dalam permainan catur misalnya, mempunyai aturan sendiri yang tidak sama dengan permainan sepak bola, begitu pula halnya yang terjadi dalam tata permainan bahasa, masing-masing mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Tidak mungkin terhadapnya diberlakukan aturan yang berlaku secara umum. Sebagai suatu relaitas kehidupan, terorisme adalah ungkapan dari pemikiran atau perasaan para pelakunya sehingga merupakan suatu bahasa, yang mempunyai aturan sendiri. Tujuan para pelaku terorisme dan motivasinya di masa lalu beragam, yaitu demi keuntungan ekonomi (gold), memperoleh gengsi sosial (glory), memaksakan ideologi, penafsiran keyakinan atau eksploitasi agama, kebudayaan, hegemoni, kekuasaan, dominasi kultural, atau pemaksaan konsep filsafat. Terorisme tidak mempunyai nilai, karena nilai dalam aksiologi terdiri atas etika (baik atau buruk), norma moral (salah atau benar), dan nilai estetika (elok atau tidak elok). Bahasa dalam terorisme adalah bahasa universal, yang penilaian terhadapnya juga bersifat universal. Oleh karena itu, nilai dari terorisme ternegasikan secara penuh oleh jatuhnya korban manusia yang tidak bersalah. Terorisme menggunakan suatu bahasa dalam mengungkapkan pikiran atau keyakinan pihak pelaku yang menimbulkan panik dan ketakutan di kalangan masyarakat luas. Caranya adalah melalui kekerasan ataupun ancaman kekerasan, baik secara fisik ataupun psikis terhadap siapa saja tanpa terkecuali. Ketakutan yang meluas itu diharapkan dapat menjadi suatu dukungan publik, untuk menekan
35
sasarannya. Bagi terorisme yang penting adalah mencapai tujuan, walaupun dengan menghalalkan segala cara. Dari pembahasan di atas, dapat diperoleh bagian dari sebuah pengertian tentang terorisme, yaitu terorisme merupakan tindak kejahatan yang dilakukan oleh pihak yang nilai kebenarannya terletak di dalam dirinya sendiri. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran dari sumber pengetahuan para teroris, seperti halnya semua sumber pengetahuan juga bernilai pasti benar, jika saja alat-alat penerapan mereka bekerja secara normal.16
A. M. Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 25 16
BAB III GAMBARAN UMUM MEDIA INDONESIA DAN HARIAN REPUBLIKA
A. Sejarah Media Indonesia Harian umum Media Indonesia pertama kali diterbitkan pada tanggal 19 Januari 1970 dengan motto “Pembawa Suara Rakyat”, berdasarkan Surat Izin Terbit (SIT) No. 0856/SK/Dir-PK/SIT/1969 yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan pada tanggal 6 Desember 1969 dengan ketentuan sebagai berikut: Pemimpin umum/redaksi perusahaan : Teuku Yousli Syah Misi penerbitan
: Umum/independen
Periode terbit
: 7x seminggu
Oplah pertama
: 5.000 eksemplar
Jumlah halaman
: 4 halaman
Sistem cetak
: Letter press
Bahasa
: Indonesia Pada tahun-tahun pertama penerbitan, harian umum Media Indonesia
bukanlah suatu harian yang memuat berita politik atau bisnis, tetapi merupakan sebuah harian yang pemberitaannya lebih banyak ke bidang hiburan, seperti cerita artis dan lain sebagainya. Tak heran pada saat itu harian umum Media Indonesia dikatakan sebagai koran kuning yaitu koran yang penuh dengan cerita gossip. Dalam rangka memajukan penerbitan harian umum Media Indonesia, ketua badan yayasan penerbit telah melakukan konsolidasi dan usaha pembenahan di segala bidang untuk menigkatkan mutu penerbitan Harian Umum Media Indonesia
36
37
dengan meningkatkan jumlah halamannya dari empat halaman menjadi delapan halaman setiap harinya. Perjalanan hidup Harian Umum Media Indonesia seperti kehidupan pers nasional pada umumnya yaitu tidak lepas dari berbagai kendala dan kesulitan baik di bidang sumber daya manusia maupun keuangan. Untuk mempertahankan hidup dari berbagai kesulitan, Harian Umum Media Indonesia sempat pernah mengambil alternatif terbit secara tidak teratur. Selanjutnya karena jaman yang semakin kritis dan kehidupan semakin sulit, maka harian umum Media Indonesia terpaksa harus menghentikan penerbitannya setiap hari dan diganti dengan terbit satu kali seminggu sehingga nama yang digunakan tidak lagi surat kabar harian tetapi menjadi surat kabar mingguan. Sebagai konsekuensi terbit tidak teratur pada tahun 1981 Departemen Penerangan mengeluarkan sanksi dengan menerbitkan Surat Pembatalan Sementara terhadap Surat Izin Terbit (SIT) Harian Media Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 36/SK/Ditjen-PPG/1981, tanggal 1 Desember 1981. Berdasarkan keputusan sidang pleno XXXI Dewan Pers 1988 di pulau Batam, Riau, dalam membantu penerbit pers yang masih dalam keadaan lemah dengan memberikan kesempatan kepada penerbit pers nasional untuk melakukan kerjasama baik di bidang teknik, manajemen maupun permodalan dengan pihak lain. Pada akhirnya tahun 1988, Teuku Yously Syah selaku Ketua Yayasan penerbit “Yayasan Warta Indonesia” melakukan kerjasama dengan Surya Paloh mantan pemimpin umum harian “Prioritas” yang dibredel tahun 1986. Kerjasama tersebut berjalan dibidang permodalan dan manajemen baru Harian Umum Media Indonesia.
38
Tindak lanjut kerjasama manajemen baru Harian Umum Media Indonesia telah ditingkatkan status badan hukum penerbit dari “Yayasan Warta Indonesia” menjadi perseroan terbatas PT. Citra Media Nusa Purnama dengan susunan dewan direksi dan komisaris sebagai berikut: Komisaris utama
: Harry Kuntoro
Komisaris
: Teuku Yously Syah
Direktur Utama
: Surya Paloh
Direktur
: Lestari Luhur
Diikuti dengan perubahan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sebagai berikut: Pemimpin umum
: Teuku Yously Syah
Pimpinan redaksi
: Teuku Yously Syah
Pimpinan perusahaan : Lestary Luhur Periode terbit
:7 x seminggu
Halaman
: 16 – 20 halaman
Penerbitan
: Berwarna
Kerjasama
itu
tidak
hanya
memberikan
suntikan
modal
bagi
berlangsungnya penerbitan Harian Umum Media Indonesia akan tetapi juga memberikan dampak pada kualitas sumber daya manusia dengan merekrut tenagatenaga profesional muda. Isi penerbitan pun disesuaikan dengan motto ‘Pembawa Suara Rakyat’ dengan porsi berita sama besarnya antara berita politik dan ekonomi. Peningkatan kualitas produk berita dilakukan seiring dengan perubahan segmentasi sasaran pembaca yaitu dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas.
39
Kemudian pada tahun 1992, harian umum Media Indonesia melakukan inovasi baru yang belum pernah dilakukan oleh harian yang lain yaitu menerbitkan suplemen berita real estate yang terbit setiap hari jumat dan kemudian disusul dengan suplemen berita keuangan, otomotif, konsumen, wisata dan delik hukum. Ternyata inovasi tersebut membawa hasil dengan semakin diterimanya harian umum Media Indonesia oleh pembaca. Pada tahun 1995, harian umum Media Indonesia memindahkan tempat usahanya dari Jalan Gondangdia Lama, Menteng, Jakarta Pusat ke Jalan Pilar Mas Raya, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 1.
Manajemen Baru Sebagai surat kabar umum pada masa itu, Media Indonesia baru bisa terbit 4 halaman dengan tiras yang amat terbatas. Berkantor di Jl. MT. Haryono, Jakarta, disitulah sejarah panjang Media Indonesia berawal. Tahun 1976, surat kabar ini kemudian berkembang menjadi 8 halaman. Sementara itu terjadi perkembangan regulasi di bidang pers dan penerbitan. Salah satunya adalah perubahan SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Karena perubahan ini penerbitan dihadapkan pada realitas bahwa pers tidak semata menanggung beban idealnya tapi juga harus tumbuh sebagai badan usaha. Dengan kesadaran untuk terus maju, pada tahun 1988 Teuku Yously Syah selaku pendiri Media Indonesia bergandeng tangan dengan Surya Paloh, mantan pimpinan surat kabar Prioritas. Dengan kerjasama ini pada tahun yang sama lahirlah Media Indonesia dengan manajemen baru di bawah PT Citra Media Nusa Purnama.
40
Awalnya tahun 1955, bertepatan dengan usianya ke-25 Media Indonesia menempati kantor barunya di Komplek Delta Kedoya, Jl. Pilar Mas Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Di gedung ini, semua kegiatan di bawah satu atap, mulai dari redaksi, usaha, percetakan, pusat dokumentasi, perpustakaan, iklan, sirkulasi dan distribusi serta fasilitas penunjang karyawan. Sejarah panjang serta motto “Pembawa Suara Rakyat” yang dimiliki oleh Media Indonesia bukan menjadi motto kosong tanpa arti, tetapi menjadi sumber semangat dan pegangan sampai kapan pun. Sejak Media Indonesia ditangani oleh tim manajemen baru di bawah payung perusahaan PT Citra Media Nusa Purnama dan terjun pertama kali dalam industri pers tahun 1986 dengan menerbitkan harian Prioritas. Namun, Prioritas memang kurang bernasib baik karena belum lama menjadi koran alternatif bangsa, SIUPP-nya dibatalkan Departemen Penerangan. Antara prioritas dengan Media Indonesia memang ada “benang merah”, yaitu dalam karakter kebangsaannya. Surya Paloh sebagai penerbit harian umum Media Indonesia, tetap gigih berjuang mempertahankan kebebasan pers. Wujud kegigihan ini ditunjukkan dengan mengajukan kasus penutupan Harian Prioritas ke pangadilan, bahkan menuntut Menteri Penerangan untuk mencabut Peraturan Menteri No. 01/84 yang dirasakan membelenggu kebebasan pers di tanah air. Tahun 1997, Djafar H. Assegaff yang baru menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Besar di Vietnam dan sebagai wartawan yang pernah memimpin beberapa harian dan majalah, serta menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum LKBN Antara, dipercaya oleh Surya Paloh untuk memimpin Media Indonesia dengan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi. Saat ini Djafar H. Assegaf
41
dipercaya sebagai corporate advisor. Para pimpinan Media Indonesia saat ini adalah direktur utama yang dijabat oleh Rahni Lowhur Schad, direktur pemberitaan dijabat oleh Saur Hutabarat dan di bidang usaha dipimpin oleh Alexander Stefanus selaku Direktur pengembangan bisnis. 2.
Visi dan Misi Media Indonesia Visi: Menjadi surat kabar independen yang inovatif, lugas, terpercaya, dan paling berpengaruh. Uraian Visi: a. Independen, yaitu menjaga sikap non partisipan; di mana karyawan tidak menjadi pengurus partai politik, menolak segala bentuk pemberian yang dapat mempengaruhi objektivitas dan mempunyai keberanian bersikap beda. b. Inovatif, yaitu terus menerus menyempurnakan dan mengembangkan kemampuan teknologi dan sumber daya manusia, serta terus menerus mengembangkan rubrik, halaman dan penyempurnaan perwajahan. c. Lugas, yaitu menggunakan bahasa yang terang dan langsung. d. Terpercaya, yaitu selalu melakukan check dan recheck, meliputi berita dari dua pihak dan seimbang, serta selalu melakukan investigasi dan pendalaman. e. Paling Berpengaruh, yaitu dibaca oleh para pengambil keputusan, memiliki kualitas editorial yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, mampu membangun kemampuan antisipasif, mampu membangun network narasumber, dan memiliki pemasaran atau distribusi yang andal.
42
Misi: Misi Harian Media Indonesia adalah: a. Menyajikan informasi terpercaya secara nasional dan regional serta berpengaruh bagi pengambil keputusan. b. Mempertajam isi yang relevan untuk pengembangan pasar. c. Membangun sumber daya manusia dan manajemen yang profesional dan unggul, mampu mengembangkan perusahaan penerbitan yang sehat dan menguntungkan. 3.
Profil Pembaca 3.1 Jenis Kelamin Perempuan; 13%
Laki-laki; 87%
Gambar 3.1 Jenis Kelamin Profil Pembaca Media Indonesia Sumber: Litbang Media Indonesia
43
3.2 Profesi PNS; 13%
Lainnya ; 3%
Peg. Swasta; 52%
Peg. BUMN; 14%
Ekspatriat; 2% TNI-Polri; 1% Mahasiswa; 11%
Pengusaha; 4%
Gambar 3.2 Profesi Profil Pembaca Media Indonesia Sumber: Litbang Media Indonesia 3.3 Usia1
35-44; 29%
25-34; 45%
45-55; 12% >55; 2% 17-24; 12%
Gambar 3.3 Usia Profil Pembaca Media Indonesia Sumber: Litbang Media Indonesia
B. Sejarah Harian Republika Harian Umum Republika diterbitkan atas tujuan untuk mewujudkan media massa yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkualitas. Yakni
1
Data Internal Media Indonesia
44
bangsa yang mampu sederajat dengan bangsa maju lain di dunia, memegang nilainilai spiritualitas sebagai perwujudan pancasila sebagai filsafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti yang digariskan UUD 1945. Kehendak melahirkan masyarakat demikian searah dengan tujuan, cita-cita dan program Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dibentuk pada 5 Desember 1990. Salah satu dari program ICMI yang disebarkan ke seluruh Indonesia, antara lain, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program peningkatan 5 K, yaitu: kualitas iman, kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas karya, dan kualitas pikir.2 Untuk mewujudkan tujuan, cita-cita, dan program ICMI di atas, beberapa tokoh pemerintah dan masyarakat yang berdedikasi dan komitmen pada pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia yang beragama Islam akhirnya membentuk Yayasan Abdi Bangsa pada 17 Agustus 1992. Yayasan ini kemudian menyusun tiga program utamanya yaitu (1) pengembangan Islamic Center; (2) pengembangan CIDES (Center for Information and Development Studies); (3) penerbitan Harian Umum Republika. Pendirian Yayasan Abdi Bangsa awalnya beranggotakan 48 orang, terdiri dari beberapa menteri, pejabat tinggi negara, cendekiawan, tokoh masyarakat, serta pengusaha. Mereka antara lain, Ir. Drs. Ginanjar Kartasasmita, H. Harmoko, Ibnu Sutowo, Muhammad Hasan, Ibu Tien Soeharto, Probosutedjo, Ir. Aburizal Bakrie, dan lain-lain. Sedangkan H. Muhammad Soeharto, Presiden RI, berperan sebagai pelindung yayasan. Sementara Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, yang juga menjabat Ketua Umum ICMI yang juga dipercaya sebagai Ketua Badan Pembina Yayasan Abdi Bangsa.
2
Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 2016
45
Untuk mewujudkan programnya menerbitkan sebuah koran harian, pada 28 November 1992 Yayasan Abdi Bangsa mendirikian PT. Abdi Bangsa. Melalui proses kemudian yayasan memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dari Departemen Penerangan Republik Indonesia, sebagai modal awal penerbitan Harian
Umum
Republika.
SIUPP
ini
bernomor
283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992 tertanggal 19 Desember 1992.3 Nama Republika sendiri berasal dari ide Presiden Soeharto yang disampaikannya saat beberapa pengurus ICMI Pusat menghadap padanya untuk menyampaikan rencana peluncuran harian umum tersebut. Sebelumnya, koran ini akan diberi nama “Republik”. Republika terbit pada 4 Januari 1993, yang lahir dalam keadaan Indonesia yang terus berubah. Perubahan tersebut hampir melanda semua aspek kehidupan baik dibidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial serta budaya. Republika memilih untuk ikut mempersiapkan masyarakat Indonesia untuk memasuki pembangunan dinamis.4 1. Perkembangan Harian Republika Begitu Harian Umum Republika terbit pada 4 Januari 1993, penjualan oplahnya terus meningkat. Hanya dalam sepuluh hari sejak terbit, oplah koran Republika sudah mencapai 100.000 eksemplar. Hal tersebut berarti peningkatan 2,5 kali lipat dari rencana awal terbit dengan oplah rata-rata 40.000 eksemplar per hari pada semester pertama tahun 1993. Hingga akhir semester kedua, pada Desember 1993, oplah Republika sudah mencapai
3
Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 2016
46
130.000 eksemplar per hari. Harian Umum Republika tersebar di seluruh Indonesia. Namun, sebagian oplahnya beredar di Jakarta dan Jawa Barat dengan pembagian Jakarta 50.31%, Jawa Barat 17.30%, Jawa Tengah 6.90%, Jawa Timur 4.36%. sisanya tersebar di daerah-daerah lain.5 Selain itu, Penjualan saham Republika tergolong unik, yaitu 1 lembar saham dijual kepada satu keluarga sehingga penjualan saham ke publik ini merupakan sebuah terobosan baru dalam sejarah pers nasional. Dengan kata lain Republika akan dimiliki sekurang-kurangnya 2,9 juta muslim di Indonesia. Apabila melihat fenomena yang ada, biasanya kepemilikan saham hanya dimiliki oleh penanam modal dan karyawan pers saja. Strategi penjualan saham ke publik ini secara langsung maupun tidak langsung menciptakan citra bahwa masyarakat muslim akan merasa memiliki koran tersebut. Pada bulan Agustus 1993, penjualan Republika mencapai angka 125.000 eksemplar. Dengan pencapaian angka seperti itu, Parni Hadi selaku pemimpin Redaksi mengklaim bahwa sudah ada 1,3 juta lembar saham yang terjual. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Republika dapat dikelompokkan sebagai koran berkualitas, yang diproduksi secara profesional, berwawasan liberal dan diinformasikan dengan nilai-nilai islam progresif.6 Pada pertengahan Oktober 1993 Republika menjadi juara pertama dalam lomba perwajahan media cetak yang diselenggarakan oleh Serikat Grafika Pers. Pada tahun 1995, Republika membuka situs website di internet dan pada tahun 1997 Republika pertama kali mengoperasikan Sistem Cetak Jarak Jauh
Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 2016 Junarto Imam Prakoso, Sikap Netralitas Pers dalam Pemerintahan Habibie dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, hlm. 118 5 6
47
(SCJJ). Pendekatan juga dilakukan kepada komunitas pembaca dan menjadi salah satu koran pertama yang menerbitkan halaman khusus daerah. Hingga pada akhir tahun 2000 saham Republika dipegang oleh kelompok Mahaka Media, yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh keluarga Erick Tohir. PT. Abdi Bangsa selanjutnya menjadi perusahaan induk, dan Republika berada dibawah bendera PT. Republika Media Mandiri, salah satu anak perusahaan PT. Abdi Bangsa. Di bawah Mahaka Media , kelompok ini juga menerbitkan majalah Golf Digest Indonesia, Majalah Parent Indonesia, Radio Jak FM, Radio Gen FM, Radio Delta FM, Female Radio, Prambors, Jak TV, Alif TV. Meskipun berganti kepemilikan, Republika tak menaglami perubahan visi dan misi. Sentuhan bisnis dan independensi membuat Republika semakin kuat dalam menghidupkan kegiatan ekonominya. 2. Visi dan Misi Republika Republika adalah sebuah surat kabar yang lahir di tengah perubahan yang sangat cepat di Indonesia. Dalam perubahan yang melanda hampir semua aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, iptek, sosial, budaya, “keterbukaan” menjadi kata kunci. Republika memilih berposisi untuk turut mempersiapkan masyarakat Indonesia memasuki masa dinamis tanpa perlu kehilangan segenap kualitas yang telah dimilikinya. Motto Republika “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” menunjukkan semangat mempersiapkan masyarakat memasuki era baru. Meski demikian, mengupayakan perubahan (yang juga berarti pembaharuan) tidak mesti harus mengganggu stabilitas yang telah susah payah dibangun. Keberpihakan Republika terarah kepada seluruh penduduk negeri ini, yang mempersiapkan
48
diri bagi sebuah dunia yang lebih baik dan adil. Republika sebagai media massa, hanya jadi penopang agar langkah itu bermanfaat bagi kesejahteraan bersama.7 Visi 1. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar 2. Membela, melindungi, dan melayani kepentingan umat 3. Mengkritisi tanpa menyakiti 4. Mencerdaskan, emndidik, dan mencerahkan 5. Berwawasan kebangsaan Misi8 a. Politik Dalam bidang politik, Republika mengembangkan demokrasi, memaksimalkan peran lembaga-lembaga Negara, mendorong partisipasi politik semua lapisan masyarakat, mengutamakan kejujuran dan moralitas dalam politik, penghargaan terhadap hak-hak sipil, dan mendorong terbentuknya pemerintahan yang bersih. b. Ekonomi Mendukung keterbukaan dan demokrasi ekonomi menjadi kepedulian Republika, mempromosikan profesionalisme, berpihak pada kepentingan ekonomi domestik dari pengaruh globalisasi, pemerataan sumber daya ekonomi,
7 8
mempromosikan
etika
dan
moral
dalam
berbisnis,
Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 2016 Company Profile, Data Resmi Harian Umum Republika tanggal 21 November 2016
49
mengembangkan ekonomi syariah, dan berpihak pada usaha menengah, kecil, mikro, dan koperasi (UMKMK). c. Budaya Republika mendukung sikap kritis-apresiatif terhadap bentuk-bentuk ekspresi kreatif budaya yang berkembang di masyarakat, mengembangkan bentuk-bentuk
kesenian
dan
hiburan
yang
sehat,
mencerdaskan,
menghaluskan perasaan, dan mempertajam kepekaan nurani, menolak bentuk-bentuk kebudayaan atau kesenian yang merusak moral, akidah, dan mereduksi nilai-nilai kemanusiaan, dan menolak pornografi dan pornoaksi. d. Agama Dalam bidang ini Republika ingin mensyiarkan Islam, mempromosikan semangat toleransi, mewujudkan “Islam rahmatan lil alamin” dalam segala bidang kehidupan, dan membela, melindungi, dan melayani kepentingan umat. e. Hukum Dalam masyarakat
bidang hukum, Republika mendorong terwujudnya
sadar
hukum,
menjunjung
tinggi
supremasi
hukum,
mengembangkan mekanisme check and balances pemerintah-masyarakat, menjunjung tinggi HAM, dan mendorong pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotasi) secara tuntas.
50
3. Profil Pembaca 3.1 Jenis kelamin Perempuan ; 30%
Laki-laki; 70%
Gambar 3.4 Jenis Kelamin Profil Pembaca Republika Sumber: Mediakit Republika Koran 3.2 Profesi Pelajar/ Mahasiswa; 8%
Lainnya; 10%
Ibu Rumah Tangga; 9%
Wiraswasta; 14%
Peg. Swasta Profesional; 28%
PNS; 16% Dosen/Guru; 15%
Gambar 3.5 Profesi Profil Pembaca Republika Sumber: Mediakit Republika Koran
51
3.3 Usia >50; 20%
40-49; 21%
15-19; 6%
20-29; 26%
30-39; 26%
Gambar 3.6 Usia Profil Pembaca Republika Sumber: Mediakit Republika Koran
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA Pada pertengahan bulan Maret 2016 lalu, muncul sebuah kasus tentang kematian terduga teroris Siyono yang dilakukan oleh Densus 88 pada saat proses penangkapannya di Desa Pogung, Klaten. Dalam perkembangannya, kasus ini mendapat banyak perhatian baik dari organisasi masyarakat, lembaga HAM, hingga media-media nasional. Pengelompokan mana yang benar dan mana yang salah mulai ditunjukkan melalui penyajian fakta yang diberikan oleh media. Pembentukan tim advokasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah yang menunjukkan keyakinan bahwa Siyono tidak bersalah adalah bukti bahwa adanya perbedaan kebenaran yang diyakini antara pemerintah dan warga sipil. Pemarjinalisasian suatu kelompok pada akhirnya menjadi strategi media untuk menyampaikan pandangannya guna melegitimasi wacana yang dibuat atas dasar pertimbangan nilai-nilai yang dianut dalam institusi masing-masing media. Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti proses pemarjinalan seseorang atau kelompok dalam suatu wacana. Kenyataan bahwa suatu kelompok dominan memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain yang posisinya lebih rendah cenderung terus-menerus sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk. Pada konteks tersebut, ada hubungan antara wacana dan kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui jalur-jalur formal – hukum dan institusi negara – yang dengan kekuasaan melarang dan menghukum, tetapi juga beroperasi
52
53
melalui wacana untuk mendefinisikan sesuatu atau suatu kelompok sebagai tidak benar atau buruk.1 Berdasarkan deskripsi di atas maka ada keterkaitan antara isu yang akan diteliti dengan teori yang digunakan. Peneliti ingin melihat bagaimana aktor sosial yang terdapat dalam kasus ini diposisikan dalam artikel yang diterbitkan oleh Republika dan Media Indonesia. Sebagai dua media nasional yang memiliki pandangan berbeda atas kematian terduga teroris Siyono, maka hal ini menjadi menarik untuk diteliti. Di mana ada perbedaan wacana pada satu isu yang baik secara sadar atau tidak sadar dikonstruk oleh media untuk mempengaruhi persepsi pembaca dan mengarahkan bagaimana audiens menerima suatu realitas.
A. Hasil Temuan Eksklusi dan Inklusi pada Media Indonesia dan Republika Dalam pemberitaan yang diterbitkan oleh Media Indonesia, mereka menempatkan Siyono sebagai objek pemberitaannya. Di mana Siyono dianggap bersalah karena ia bagian dari kelompok separatis Jamaah Islamiyah dan memiliki peran penting di dalamnya. Berita yang berjudul “Siyono Berposisi Penting di Jaringan JI” terbit pada 5 April 2016 memuat berita tentang kematian terduga teroris Siyono yang ditangkap oleh Densus 88 dengan menyajikan empat narasumber, yaitu Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Kepala BNPT Tito Karnavian. Sedangkan Harian Republika dalam artikel “Densus 88 bisa Dipidana” yang terbit pada tanggal 2 April menggunakan beberapa narasumber, yaitu Wakil Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009), h.171 1
54
Ketua Komisi III DPR Benny K. Harman, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Dwi Prayitno, dan Peneliti Pusah Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Miko Ginting. 1.1 Eksklusi 1.1.1 Pasivasi Tabel 4.1 Pasivasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Pasivasi
Media Indonesia Jenazah Siyono, Minggu (3/4), diautopsi tim dokter forensik berjumlah 10 orang.
Republika Menurut dia, petugas polisi juga dapat melakukan tindakan seimbang jika ada perlawanan dari terduga teroris.
Berdasarkan tabel 4.1 di atas Media Indonesia menunjukkan adanya kalimat dengan strategi pasivasi, tim advokasi yang dibentuk untuk membela Siyono tidak dimasukkan ke dalam pemberitaan dan tidak disebutkan secara eksplisit oleh penulis. Penggunaan imbuhan di- pada kata kerja autopsi membuat bentuk kalimat tersebut menjadi pasif. Melalui penghilangan atau penyembunyian tim advokasi sebagai pembela Siyono, pembaca akan menerima fakta bahwa tim autopsi yang berjumlah 10 orang dibentuk oleh pihak kepolisian, bukan dari tim advokasi karena common sense masyarakat bahwa tim dokter forensik dibentuk oleh pihak kepolisian. Penghilangan tim advokasi dalam kalimat ini memicu penilaian bahwa tidak ada pihak yang membela secara penuh hak almarhum Siyono. Padahal pada kenyataanya, dokter forensik yang terdiri dari 10 orang berasal
55
dari pihak PP Muhammadiyah yang berjumlah 9 orang dan satu orang dari pihak Polda Jawa Tengah.2 Ditambah lagi dengan pengungkapan tentang pihak yang membela Siyono hanya terbatas pada satu paragraf. Berdasarkan tabel 4.1 di atas, Republika menyatakan bahwa siapa yang memberi pernyataan dihilangkan dengan kata ganti ‘dia’, sehingga aktor dalam paragraf tersebut yang seharusnya tertuju kepada Komjem Dwi Prayitno menghilang dan menjadi pendapat anonim. Penggunaan kata ‘dia’ yang dilakukan oleh wartawan Republika ditempatkan pada awal paragraf. Penggunaan kata ‘dia’ seharusnya tidak berada di awal paragraf, tetapi ditempatkan sebagai anak kalimat sehingga penggunaan kata ‘dia’ dapat merujuk kepada subjek yang disebutkan di awal kalimat. Upaya menyembunyikan aktor ini membuat pembaca menjadi tidak kritis dan hanya berfokus kepada pernyataan selanjutnya yang membicarakan bahwa tindakan petugas polisi diperbolehkan untuk mengimbangi perlawanan teroris dan hal tersebut memang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 1.1.2 Nominalisasi Tabel 4.2 Nominalisasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Nominalisasi
2
Media Indonesia
Republika Menurut Miko, kematian Siyono merupakaan penyiksaan yang berujung kematian
“Komnas HAM: Siyono tak Melawan”, Republika, 12 April 2016, h.1
56
Tabel 4.2 Nominalisasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Nominalisasi
Media Indonesia
Republika dan masuk sebagai tindak pidana
Berdasarkan hasil temuan pada tabel 4.2 di atas menyatakan bahwa ciri strategi nominalisasi adalah adanya pengubahan kata kerja menjadi kata benda yang bermakna peristiwa, biasanya berimbuhan pe-an. Pada potongan kalimat di atas yang terbit di halaman Republika terdapat kata ‘penyiksaan’ yang menyebabkan tidak eksplisitnya subjek yang melakukan predikat berupa tindakan menyiksa yang berujung pada kematian. Nominalisasi yang dilakukan oleh wartawan berefek pada hilangnya pelaku atau aktor, baik secara sengaja atau tidak dan pada akhirnya menyembunyikan aktor yang melakukan penyiksaan yaitu, Densus 88. 1.2 Inklusi 1.2.1 Diferensiasi Tabel 4.3 Diferensiasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Diferensiasi
Diferensiasi
Media Indonesia
Republika Siyono ditangkap petugas Densus 88 pada Selasa (8/3) lalu. Dua hari kemudian, keluarganya diberi tahu bahwa yang bersangkutan tewas setelah berusaha melawan petugas. Penjelasan kepolisian selama ini, menurut Benny, dinilai masih sepihak. Sebab, dari hasil
57
Tabel 4.3 Diferensiasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Diferensiasi
Diferensiasi
Media Indonesia
Republika investigasi Komnas HAM, ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan densus dalam penangkapan Siyono. Untuk itu, ia meminta kasus kematian Siyono dibawa ke jalur hukum. Dengan begitu bisa diperjelas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi serta ada hukuman bagi pelaku.
Berdasarkan tabel 4.3 di atas menyatakan bahwa strategi ini digunakan ketika ingin menyudutkan satu pihak dengan cara menghadirkan wacana lain yang bertentangan. Penghadiran wacana lain ini secara tidak langsung ingin menunjukkan bahwa kelompok tidak bagus dibandingkan dengan kelompok lain. Dengan kata lain, strategi ini memperlihatkan wujud kontras dari aktor-aktor yang berlawanan. Pada kalimat pertama artikel yang diterbitkan oleh Republika dikatakan bahwa Siyono ditangkap oleh Densus 88 pada hari Selasa. Kalimat kedua menjelaskan bahwa setelah dua hari ditangkap Siyono tewas setelah berusaha melawan petugas. Teks ini memarjinalkan Densus 88, dengan seakan Densus 88 menyiksa Siyono yang akhirnya menewaskan Siyono yang berusaha melawan. Penghalusan kata (eufimisme) ‘berusaha melawan’ yang merupakan
58
salah satu cara marjinalisasi ini digunakan oleh wartawan untuk melindungi Siyono dari prasangka khalayak bahwa Siyono adalah teroris yang berbahaya dan memutarbalikkan pandangan bahwa Densus 88 lah yang bersifat arogan. Penggunaan strategi ini terbukti cukup ampuh karena dapat menggiring interpretasi pembaca sesuai dengan tujuan yang disebutkan di paragraf sebelumnya, yakni membuat satu kelompok terlihat lebih baik dibandingkan kelompok lain. Dalam kasus kematian terduga teroris Siyono, strategi ini menunjukkan bahwa pihak kepolisian tidak menjalankan tugasnya dengan benar dan dikoreksi oleh tim advokasi dengan menunjukkan letak kesalahan yang dilakukan. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa representasi pihak kepolisian tidak lebih baik dibandingkan dengan pihak tim advokasi. 1.2.2 Indeterminasi Tabel 4.4 Indeterminasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Indeterminasi
Indeterminasi
Indeterminasi
Media Indonesia “... Kalau pelanggaran meninggal ditembak, itu pidana. Kita belum tahu hasilnya,” terang Badrodin. “... Mereka ada prosedur kerja yang tidak ingin mereka langgar,” terang Luhut... Terkait dengan upaya penangkapan kelompok teroris
Republika
59
Tabel 4.4 Indeterminasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi
Media Indonesia Santoso di Poso, Badrodin mengatakan para pengikut Santoso kini tinggal menyisakan 29 orang.
Republika
Berdasarkan tabel 4.4 Indeterminasi Teks pada kolom Media Indonesia di atas menyatakan bahwa wartawan memberikan informasi secara eksplisit siapa yang mendukungnya dalam menguatkan berita dan siapa saja yang melegitimasi laporan wartawan pada artikel tersebut. Semakin berpengaruh tokoh yang dimasukkan ke dalam laporannya maka akan semakin mudah pendapat tersebut mempengaruhi pembaca, apalagi jika narasumber yang digunakan memiliki background dari pihak berwenang seperti kepolisian dan pemerintah. Pemilihan narasumber yang terdiri dari Kapolri dan Menko Polhukam tentu bukan hal yang dilakukan secara tidak sengaja. Kapolri dan Menko Polhukam adalah sumber utama dalam kasus ini dari pihak pemerintah. Perlu diketahui Luhut Binsar adalah pernah berkarir di bidang militer dan sempat menjadi komandan pertama datasemen 81 atau yang disebut datasemen penanggulangan teror 81.3 Latar belakang jabatan yang dimilikinya secara otomatis akan 3 “Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, dari Militer, Pengusaha, hingga Menteri”, diakses pada 5 Januari 2017 dari http://nasional.kompas.com/read/2015/08/12/14284891/Menko.Polhukam.Luhut.Pandjaitan.dari.M iliter.Pengusaha.hingga.Menteri
60
mempengaruhi pendapatnya mengenai kasus kematian terduga teroris Siyono. Usaha melindungi kekuasaan yang dilakukan oleh kedua tokoh yang disebutkan di atas tentu bukanlah hal yang tidak disengaja mengingat asal institusi dan latar belakang mereka masing-masing. 1.2.3 Determinasi Tabel 4.5 Determinasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Determinasi
Determinasi
Determinasi
Media Indonesia Polri tetap melakukan penyelidikan internal oleh Div Propam Polri untuk menyelidiki kematian Siyono setelah ditangkap tim Densus 88 Antiteror.. Kepolisian Negara Republik Indonesia memastikan Siyono merupakan salah satu target operasi yang sudah lama diincar Datasemen Khusus 88 Antiteror. Kapolri meyakini dalam waktu dekat Santoso akan segera ditangkap.
Republika
Berdasarkan tabel 4.5 di atas tentang determinasi teks di Media Indonesia, peneliti menemukan adanya penyebutan aktor yang disebutkan berdasarkan komunitas di mana aktor itu berada. Determinasi adalah penyebutan aktor secara anonim atau tidak jelas.
61
Sering kali justru aktor sosial yang dimaksud disebutkan dengan menggunakan nama kelompoknya, misalnya penggunaan kata ‘Pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia’ adalah bentuk anonim yang mengeneralisasikan aktor sosial. Generalisasi seperti yang disebutkan di atas bisa menimbulkan pemahaman dan anggapan bahwa semua pihak yang berada dalam institusi kepolisian telah menyetujui bahwa Siyono terlibat langsung dalam kegiatan terorisme dan menyetujui apa yang dilakukan oleh kepolisian, padahal belum tentu semua anggota sepakat dan memiliki pendapat lain. Kejelasan siapa yang menyatakan pendapat tersebut juga tidak dituliskan sehingga peneliti bisa berasumsi bahwa adanya data yang tidak akurat terhadap laporan yang diberikan. Generalisasi yang diberikan oleh wartawan dapat berdampak pada pemahaman masyarakat bahwa apa yang dilakukan kepolisian adalah benar dan pendapatnya telah mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat. Kemungkinan penerimaan wacana juga akan lebih besar jika melibatkan efek generalisasi karena yang digunakan sebagai alat legitimasi bukan lagi perseorangan tetapi satu kelompok atau institusi. 1.2.4 Kategorisasi Tabel 4.6 Kategorisasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Kategorisasi
Media Indonesia Siyono merupakan anggota separatis Jamaah Islamiyah (JI) pimpinan Abu Bakar Baasyir.
Republika
62
Berdasarkan tabel 4.6 di atas tentang hasil temuan strategi kategorisasi pada teks Media Indonesia, peneliti mengelompokkan strategi tersebut sebagai upaya marjinalisasi yang dilakukan oleh media terhadap Siyono sebagai kelompok yang tidak dominan. Hal tersebut dapat dilihat dari pemberian kategori di belakang predikat yang merupakan informasi tambahan mengenai siapa aktor atau pelaku, dalam hal ini Siyono. Biasanya kategori ini bisa bermacammacam, yang menunjukkan ciri penting dari seseorang, bisa berupa agama, status, bentuk fisik, dan sebagainya. Pada kalimat tersebut, penggunaan kata ‘separatis’ adalah upaya labelisasi gerakan JI yang diberikan oleh wartawan Media Indonesia untuk merepresentasikan bahwa JI adalah gerakan pemberontakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, separatis adalah orang (golongan) yang menghendaki pemisahan diri dari satu persatuan; golongan (bangsa) untuk mendapatkan dukungan.4 Pemberian kategori dapat menunjukkan hendak dibawa kemana pemberitaan tersebut. Kategori apa yang ingin ditonjolkan dalam pemberitaan, menurut van Leeuwen, sering kali menjadi informasi yang berharga untuk mengetahui lebih dalam ideologi dari media yang bersangkutan. Labelisasi juga termasuk salah satu cara marjinalisasi. Penggunaan kata ‘separatis’ akan menimbulkan pengasosiasian makna di benak khalayak bahwa semua yang berada di bawah
4
Sumber: kbbi.web.id/separatis diakses pada 3 November 2016, pukul 14.50 WIB
63
jaringan JI, khususnya Siyono adalah orang yang seharusnya diperangi dan dibenci. 1.2.5 Asosiasi Tabel 4.7 Asosiasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Asosiasi
Media Indonesia
Republika Komnas HAM mencatat bahwa sejauh ini ada sebanyak 121 warga termasuk Siyono, yang ditewaskan Densus 88 dalam operasi pemberantasan terorisme.
Berdasarkan tabel 4.7 di atas menyatakan bahwa wartawan Republika menggabungkan Siyono ke 121 warga yang tewas akibat pemberantasan terorisme. Padahal pada upaya penangkapan Siyono sebagai terduga teroris hanya menewaskan Siyono. Tetapi jika dihubungkan dengan 120 warga lain yang tewas akibat pemberantasan terorisme, persepsi pembaca akan mengarah pada pelanggaran lain yang dilakukan oleh Densus 88 dan lolos tanpa proses peradilan. Ketika redaksi memberi asosiasi semacam ini, representasi Siyono menjadi berbeda karena disatukan dengan 120 warga lain yang tidak dijelaskan dalam artikel apakah mereka semua adalah orang tidak bersalah atau tersangka teroris. Strategi asosiasi dimanfaatkan oleh wartawan Republika untuk menciptakan makna yang lebih besar (glorifikasi) dengan
64
menghubungkan suatu peristiwa atau aktor lain ke konteks yang lebih luas. Dalam konteks ini berarti Republika ingin menekankan bahwa banyak kasus pemberantasan teroris yang sudah menyalahi hukum. Kasus ini akan menjadi kasus individu yang hanya menewaskan Siyono jika tidak dikaitkan dengan 120 korban yang lain. Namun, karena wartawan mengaitkan dengan sejarah penangkapan Densus 88 sebelumnya maka pembaca akan menerima pemahaman bahwa pihak kepolisian tidak tegas terhadap anggotanya yang menyalahi aturan dan telah bertindak semenamena dengan terduga teroris. Maka, dengan demikian pembaca diarahkan untuk mengesampingkan operasi Densus 88 yang berhasil dan hanya berfokus pada kesalahan yang dilakukan oleh Densus 88. 1.2.6 Identifikasi Tabel 4.8 Identifikasi Media Indonesia dan Republika Strategi Identifikasi
Media Indonesia Siyono yang tercatat sebagai warga asli Klaten, Jawa Tengah, memiliki peran sentral dalam struktur organisasi tersebut.
Identifikasi
Namun, Badrodin belum tahu jabatan apa yang diemban Siyono sejak bergabung dengan JI
Republika Anggota Datasemen Khusus (Densus) 88 yang terbukti melanggar hukum dapat diadili secara pidana. Pelanggaran yang dimaksud termasuk proses penahanan yang membuat seorang terduga teroris meninggal dunia. Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral melakukan advokasi demi
65
Tabel 4.8 Identifikasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi
Identifikasi
Media Indonesia pada 2001. “Kalau di struktur, berarti dia orang penting,” katanya.
Republika menegakkan keadilan atas nama kemanusiaan. Haedar menegaskan, negara wajib menjunjung nilainilai kemanusiaan dengan melindungi setiap warganya.
Berdasarkan tabel 4.8 yang menjelaskan hasil temuan strategi identifikasi pada teks Media Indonesia, dapat dilihat susunan kalimat terdiri dari beberapa anak kalimat. Proposisi kedua atau anak kalimat yang ditempatkan penulis berperan sebagai penjelas
atau
identifikasi
atas
kalimat
sebelumnya.
Pengidentifikasian seperti yang tertera di atas memberikan sugesti makna atau penilaian atas seseorang, dalam kasus ini Siyono bahwa ia berperan penting dalam jaringan Jamaah Islamiyah. Walaupun sebenarnya Badrodin sendiri masih belum mengetahui jabatan Siyono dalam jaringan tersebut. Penegasan atas posisi Siyono yang memiliki peran sentral disebutkan sebanyak dua kali di paragraf yang berbeda, hal tersebut berarti bahwa ada penekanan atas fakta bahwa Siyono teridentifikasi positif seorang anggota kelompok teroris. Penambahan anak kalimat yang menjelaskan bahwa Siyono memiliki peran penting merupakan definisi atas peran Siyono dalam
66
organisasi Jamaah Islamiyah. Penggunaan kata ‘peran penting atau peran sentral’ merupakan teknik penghalusan makna pada strategi marjinalisasi atau eufimisme. Jika seseorang dikaitkan dengan katakata memiliki ‘peran sentral’ maka makna yang akan timbul di benak khalayak adalah bahwa orang yang disebutkan merupakan orang penting dan memegang kendali. Hal tersebut akan berakibat pada posisi Siyono yang semakin terpojok dan secara tidak disadari khalayak akan melegitimasi pandangan Media Indonesia yang memandang bahwa apa dilakukan pihak kepolisian adalah tindakan yang benar. Berdasarkan pada tabel 4.8 di atas menunjukkan strategi identifikasi yang digunakan oleh Republika. Pada proposisi pertama memberikan keterangan bahwa Densus 88 dapat diadili dan disambung dengan kalimat pelanggaran terhadap kesalahan proses sehingga menyebabkan terduga teroris meninggal dunia. Penjelasan pada kalimat kedua berperan sebagai penegasan sekaligus pendefinisian atas pernyataan kalimat pertama. Hubungan sebabakibat yang ditegaskan pada kedua proposisi ini merupakan hal yang buruk dan bersifat melegitimasi pandangan bahwa Densus 88 melakukan kesalahan dan harus diproses secara hukum walaupun ada pernyataan bahwa sebenarnya apa yang dilakukan oleh Densus adalah bentuk pertahanan diri.
67
1.2.7 Asimilasi Tabel 4.9 Asimilasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Asimilasi
Media Indonesia
Asimilasi
Asimilasi
Republika Selain itu, Komisi III akan menjadikan kasus tersebut sebagai catatan ketika membahas revisi Undang-Undang Nomor 15 ... Pihak kepolisian selalu menggunakan alasan bahwa pihak-pihak yang diduga terlibat organisasi terorisme tersebut melakukan perlawanan. Namun, dia meminta pemerintah menjalankan seluruh prosesnya secara transparan.
Berdasarkan tabel 4.9 di atas menyatakan bahwa adanya penggunaan strategi bentuk asimilasi yang digunakan oleh Republika. Strategi ini biasanya digunakan untuk memberi pernyataan tidak jelas atau generalisasi dari identitas aktor sehingga yang ditulis oleh wartawan adalah komunitas atau kelompok sosial di mana seseorang tersebut berada. Misalnya pada kalimat di atas yang merujuk kepada himbauan ke pemerintah agar melakukan prosesnya secara transparan, penyebutan pemerintah adalah strategi asimilasi.
68
Ketidakjelasan siapa yang dimaksud akan mempengaruhi persepsi pembaca bahwa kasus ini menyangkut segala sisi pemerintahan, padahal tidak semua pemerintah membahas kasus ini. Selain itu, penyebutan kalimat dengan strategi asimilasi akhirnya akan menyinggung semua aspek pemerintahan, tidak hanya penegak hukum untuk melakukan semua prosesnya secara transparan. Asimilasi pada dasarnya adalah perangkat bahasa di mana seakan-akan terjadi efek generalisasi yang dalam penggunaannya dapat memancing emosi dan menipu khalayak. Padahal tidak semua anggota kelompok yang berada dalam kelompok tersebut menyetujui dan akan menjadikan kasus kematian terduga teroris ini sebagai prioritas. Penggunaan kata ‘pemerintah’ menunjukkan bahwa wartawan Republika menampilkan aktor secara nonmandiri, tetapi memilih komunitas atau kelompok tempat aktor itu berada sehingga makna yang diterima lebih luas yaitu merujuk pada segala bagian dari pemerintah. 1.2.8 Abstraksi Tabel 4.10 Abstraksi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Abstraksi
Media Indonesia
Republika Sejauh ini, advokasi tersebut juga didukung Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Komnas HAM, LSM Kontras, dan sejumlah lembaga lainnya.
69
Berdasarkan tabel 4.10 di atas menyatakan bahwa strategi ini berhubungan dengan informasi yang masih samar atau tidak jelas. Kata ‘sejumlah’ yang digunakan oleh wartawan menunjukkan ketidaktahuan wartawan tentang berapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mendukung Siyono atau bisa juga keinginan wartawan untuk menunjukkan bahwa banyaknya pendukung Siyono hingga tidak dapat disebutkan satu persatu. Efek yang diharapkan dari penggunaan strategi ini adalah banyaknya simpati yang didapatkan untuk mendukung tim advokasi Siyono. Selain itu, dengan menggunakan strategi abstraksi juga dapat meyakinkan pembaca bahwa apa yang dilakukan oleh tim advokasi adalah sesuatu yang benar dan memiliki banyak dukungan. Semakin banyak dukungan yang diberikan oleh LSM, organisasi, atau komunitas maka tingkat penerimaan wacana juga akan meningkat. Jika tingkat kepercayaan pembaca terhadap suatu isu yang dikeluarkan tinggi, maka proses hegemoni dapat berjalan dengan baik. 1.2.9 Individualisasi Tabel 4.11 Individualisasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Individualisasi
Media Indonesia Polri tetap melakukan penyelidikan internal oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Hasil penyelidikan tersebut nantinya
Republika “Sangat bisa diproses pidana, siapa pun bisa,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menegaskan kepada Republika, Jumat (1/4).
70
Tabel 4.11 Individualisasi Teks Media Indonesia dan Republika Strategi Individualisasi
Individualisasi
Individualisasi
Individualisasi
Media Indonesia akan disampaikan ke publik. “... pemeriksaan saksi-saksi yang sudah tersangka, dan dia (Siyono) termasuk jaringan JI,” kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di Kantor Kementerian ... Pelaksanaan autopsi dihadiri Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dan komisioner Komnas HAM Hafid Abbas. ...kita tidak tahu itu tersangka teroris,” ujar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta, kemarin.
Hal senada diungkapkan kepala BNPT Tito Karnavian. “Saya sudah berdiskusi dengan aparat TNI dan Polri di sana, para komandan. Saya kira (penangkapan Santoso) ini tinggal menunggu waktu saja.”
Republika Pihak keluarga, terutama istri Siyono, Suratmi (29), tak memercayai hal tersebut.
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan, pemberantasan terorisme ... Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Dwi Prayitno mengatakan, pada prinsipnya, pihaknya akan menindak .. peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Miko Ginting, meragukan pemeriksaan Divisi Profesi dan Pengamanan...
71
Berdasarkan tabel 4.11 hasil temuan pada strategi Individualisasi di atas, penyebutan aktor dengan menempelkannya pada jabatan yang dipegang akan memudahkan proses legitimasi pembaca atas wacana yang dikembangkan oleh media. Hal tersebut penting untuk mengetahui peran apa yang dilakukan oleh aktor tersebut. Pada Media Indonesia contoh penyebutan Din Syamsuddin sebagai mantan ketua PP Muhammadiyah penting disebutkan karena bisa saja tidak semua orang tahu siapa Din Syamsuddin. Terkait pemilihan narasumber Din Syamsuddin, peneliti melihat adanya kejanggalan mengapa yang dimasukkan adalah pendapatnya Din Syamsuddin bukan Haedar Nashir. Mengingat seharusnya yang menjadi narasumber adalah Haedar Nashir karena ia menjabat sebagai ketua PP Muhammadiyah saat ini. Peneliti berasumsi pemunculan Din Syamsuddin yang dilakukan oleh Media Indonesia bertujuan untuk mengeluarkan wacana tandingan kepada Republika bahwa ada tokoh Muhammadiyah yang memandang kasus ini secara netral tanpa ada kepentingan harus berpihak kepada tim advokasi. Berdasarkan tabel 4.11 kolom Republika di atas menyatakan bahwa keterangan Miko Ginting merupakan peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan adalah penting untuk diketahui pembaca. Untuk menyajikan berita yang terpercaya, maka media harus melakukan pemilihan narasumber yang memiliki kredibilitas. Kredibilitas yang di sini merupakan persepsi masyarakat tentang
72
seseorang yang diyakini memiliki kemampuan. Sehingga semakin dipercaya memiliki kemampuan, maka kepercayaan masyarakat terhadap berita yang diterbitkan juga akan tinggi. Strategi ini berhubungan dengan pertanyaan, apakah aktor sosial ditunjukkan dengan jelas kategorinya atau tidak. Dalam individualisasi kategori aktor sosial dituliskan secara jelas sehingga tidak menyebabkan misrepresentasi di kalangan pembaca. Siapa narasumber yang dimunculkan dan bagaimana latarbelakangnya menjadi penting disebutkan untuk menambah kepercayaan pembaca bahwa kutipan atau pendapat yang dikeluarkan berasal dari orang yang berpengaruh. Pemilihan narasumber menjadi sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan. Misalnya pemilihan Benny K. Harman, wakil ketua komisi III DPR sebagai salah satu narasumber. Perannya sebagai wakil ketua di komisi III DPR, latarbelakang karir serta pendidikannya yang mengambil studi hukum hingga tingkat doktoral, tentu mempengaruhi pendapatnya mengenai kasus kematian terduga teroris Siyono.
B. Interpretasi Dari hasil temuan yang dipaparkan di atas, terlihat perbedaan penekanan wacana yang dilakukan oleh Media Indonesia dan Republika. Secara umum dapat dilihat dari bagaimana kedua media memandang isu terorisme khususnya kematian terduga teroris Siyono. Jika Media Indonesia
73
lebih melihat titik berat masalah ini berada di pihak kepolisian dan pemerintah sedangkan Republika menekankan fokus beritanya kepada tim advokasi. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh-pengaruh yang menyeleksi harus seperti apa dan harus memenuhi kriteria apa saja ketika sebuah realita digambarkan. Praktik tersebut senada dengan pernyataan bahwa organisasi media cenderung mereproduksi secara selektif menurut kriteria yang sesuai dengan tujuan dan kepentingan mereka sendiri.5 Jika diperhatikan mulai dari penyusunan teks di media, maka terciptanya sebuah berita adalah proses dari pembentukan realitas yang diterjemahkan melalui kata dan terhubung menjadi kalimat dan paragraf. Analisis wacana dengan paradigma kritis melihat bahwa bahasa adalah seperangkat alat penyampai pesan yang tidak bebas nilai. Media dipandang sebagai ruang dimana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya. Teks yang terdapat pada media adalah praktik konstruksi realitas yang telah dipengaruhi oleh ideologi dan kepentingan-kepentingan kelompok dominan. Pemilihan kata, susunan kalimat merupakan hasil dari generalisasi dan kategorisasi fakta. Theo van Leeuwen menganalisis sebuah praktik wacana dengan mengelompokkan menjadi dua, yaitu inklusi dan eksklusi. Dari penjabaran temuan teks di kedua media, kita bisa melihat arah kecenderungan masing-masing media. Masing-masing media mencoba memberikan makna yang berbeda terhadap aktor sosialnya seperti contoh di bawah ini adalah makna yang dibentuk oleh Media Indonesia dan Republika,
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 65 5
74
Tabel 4.12 Konstruksi Makna tentang Densus 88 Menurut Media Indonesia dan Republika Media Indonesia Kepolisian berusaha melakukan penyelidikan internal Kepolisian berusaha bersikap adil Dibela oleh Luhut Upaya kepolisian untuk memberantas teroris tetap dilakukan Menghilangkan peran tim advokasi
Republika Densus 88 dapat dipidana Melakukan tindakan penyiksaan Dituntut untuk diproses secara hukum Melakukan pelanggaran HAM Lalai
Tabel 4.13 Konstruksi Makna tentang Siyono Menurut Media Indonesia dan Republika Media Indonesia Target Densus 88 Tersangka teroris Anggota jaringan teroris Memiliki peran penting di jaringan Jamaah Islamiyah Didukung moril oleh ketua umum PP Muhammadiyah
Republika Korban penyiksaan densus 88 Lemah dan tidak berdaya Korban pelanggaran HAM Statusnya masih dianggap sebagai warga biasa dan bukan tersangka Wajar untuk dibela
Masing-masing media memberikan makna yang berbeda tentang pihak kepolisian. Jika Media Indonesia mengajak pembaca untuk menempatkan dirinya dalam posisi pihak kepolisian sedangkan Republika sebaliknya, yaitu mengajak pembaca menempatkan dirinya di pihak Siyono. Pandangan mana yang akan diterima oleh masyarakat nantinya akan disesuaikan dengan ideologi mana yang dianut oleh pembaca. Jika ideologi yang diproduksi media memiliki kesamaan dengan ideologi pembaca, maka pembaca akan menerima realitas dengan apa adanya sesuai yang digambarkan dalam teks berita tanpa ada yang dipertanyakan. Bagaimana media memahami sebuah realitas hingga terbentuk ke dalam sebuah teks berita memerlukan proses yang panjang. Proses inilah yang
75
nantinya akan menyebabkan bias. Bias yang terjadi disebabkan adanya pengaruh dari faktor internal dan eksternal. Seperti yang dikemukakan oleh Shoemaker dan Reese bahwa dalam menentukan berita terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi isi media. Faktor internal dapat berupa pengaruh dari individu pekerja media, rutinitas media, pengaruh dari organisasi media, dan ideologi. Faktor eksternal misalnya pengaruh dari kontrol pemerintah, narasumber, pangsa pasar dan iklan.6 Perbedaan kebijakan redaksional yang termasuk ke dalam faktor pengaruh internal memiliki andil yang besar dalam mempengaruhi pengemasan berita. Ada dua cara yang digunakan oleh media untuk memaknai realitas. Pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini berdasarkan asumsi wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih disajikan kepada khalayak melalui kata, kalimat, proposisi, grafik dan sebagainya.7 Realitas yang ingin ditampilkan oleh Media Indonesia adalah bahwa upaya penangkapan Siyono merupakan salah satu cara dalam menuntaskan terorisme di Indonesia dan Densus 88 tidak bisa langsung disalahkan karena petugas juga dapat melakukan tindakan seimbang jika ada perlawanan dari terduga teroris. Sedangkan Republika menggambarkan realitas bahwa banyak lembaga yang menyayangkan kinerja Polri dalam hal ini Densus 88 dan Siyono adalah korban dari sifat arogan kepolisian. Dalam analisis wacana, media dilihat sebagai alat konstruksi realitas. Berdasarkan
6 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Doscourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, (Jakarta: Granit, 2004), h. 2 7 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009), h. 116
76
perbandingan di atas tentang apa yang ingin dikonstruksi oleh masing-masing media menunjukkan bahwa realitas yang disampaikan oleh media adalah realitas subjektif. Perbedaan
memaknai
realitas
berimplikasi
pada
pemilihan
narasumber. Misalnya Media Indonesia lebih banyak menggunakan pendapat pemerintah, sedangkan Republika lebih banyak menonjolkan pendapat dari tim advokasi. Pemilihan narasumber yang mayoritas dari pihak pemerintah bagi Media Indonesia adalah salah satu upaya melawan terorisme. Berikut kutipan hasil wawancara peneliti dengan Usman Kansong selaku pimpinan redaksi Media Indonesia, “Strategi melawan terorisme ini bermacam-macam, memang sumber utama adalah pemerintah, dalam konteks ini kan Polri yang melakukan pemberantasan terorisme secara langsung. Tapi di sisi lain kita juga kadang-kadang meminta pendapat para pakar terorisme, tokoh masyarakat begitu. Kebijakan kita ini memang jarang mewawancarai istrinya teroris dan itu tidak boleh. Kita tidak mau mewawancarai itu, kenapa? karena biasanya yang tampil itu adalah pembelaan-pembelaan.”8 Berdasarkan kutipan di atas, pihak Media Indonesia sengaja memasukkan kutipan-kutipan yang berasal dari pemerintah. Hal ini dikarenakan kebijakan media yang tidak mewawancarai korban atau keluarga teroris.
Kebijakan
tersebut
secara
tidak
langsung
berakibat
pada
pemarjinalisasian korban dan membuat berita tidak berimbang. Di sisi yang berbeda, pandangan Republika dalam meliput suatu kasus terorisme tidak bisa hanya berpegang pada satu sumber yaitu pemerintah saja, karena pada kenyataannya banyak peristiwa yang dihilangkan ketika berita terorisme turun
8
Wawancara Pribadi dengan Usman Kansong, Jakarta, 9 Agustus 2016
77
dari kepolisian ke pers. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan Fitriyan Zamzami selaku redaktur halaman utama Republika, “Memang keluarga kebanyakan akan membela, tapikan kita punya hak untuk menampilkan kedua suara. Kalau kasus terorisme ini banyak penindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalam kegelapan. Misalnya mereka tiba-tiba sudah mati baru diberitakan ke pers. Ini masalah di jurnalisme kita, di Indonesia bahwa penanganan tentang terorisme itu sangat sulit diberitakan secara objektif karena sejauh ini informasi masih dipegang erat oleh kepolisian, banyak stigma yang kita dapatkan ketika kita coba menggali hal-hal di luar versi resmi dari kepolisian.”9 Berdasarkan kutipan di atas, Republika memandang penulisan berita tentang teroris juga harus dilakukan secara sama seperti peliputan kasus lain yang mewawancarai kedua belah pihak yang terkait. Republika juga berpendapat bahwa informasi dari pihak kepolisian adalah informasi yang tidak orisinil dan banyak yang dihilangkan sehingga Republika merasa harus meninjau ulang informasi tersebut dengan melakukan konfirmasi terhadap korban-korban yang tidak dimunculkan oleh pihak kepolisian. Melalui kecenderungan pemilihan narasumber yang dilakukan oleh kedua media, sudah dapat terlihat wacana apa yang sebenarnya akan disampaikan oleh Media Indonesia dan Republika. Hal di atas senada dengan tulisan Fishman yang menyatakan kalau sebagian besar peneliti berasumsi bahwa berita dapat mencerminkan atau mendistorsi realitas, dan bahwa realitas terdiri atas fakta dan peristiwa di luar sana yang ada secara independen dari bagaimana pekerja media berpikir mengenainya dan memperlakukannya dalam proses produksi berita.10 Praktik mengesahkan peliputan berita oleh rujukan terhadap sumber yang terpercaya
9
Wawancara Pribadi dengan Fitriyan Zamzami, Jakarta, 29 Agustus 2016 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 46
10
78
secara umum akan menaikan tingkat kepercayaan masyarakat atas berita yang diproduksi. Hal ini merupakan bentuk yang paling sulit dihindari dari bias yang tidak disengaja dalam media berita sebagai arus utama, tetapi berujung kepada bias ideologis yang konsisten dan tersembunyi di balik topeng objektivitas.11 Pihak Siyono dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai kelompok minoritas yang lemah dan lebih sering mendapatkan perlakuan buruk karena dinilai memberikan pengaruh yang sedikit. Hal ini senada dengan contoh yang diberikan oleh Peletz dan Entman mengenai kelompok yang lemah dan lebih sering mendapatkan perilaku pers yang buruk. Peletz dan Entman memberikan contoh kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan memiliki akses kecil atau kontrol kecil terhadap peliputan media, misalnya pengunjuk rasa tidak resmi, pelaku kerusuhan urban, para mahasiswa militan, kaum reaksioner radikal, dan orang miskin.12 Maka dari itu posisi Siyono sangat mungkin menjadi korban atas praktik ideologis dari pemegang kekuasaan. Di era modern saat ini, meskipun objektivitas dipandang penting sebagai norma di tiap negara, tetapi maknanya sangat bervariasi. Umumnya, standar normal dari objektivitas atau keberimbangan membutuhkan keseimbangan dalam pilihan dan penggunaan sumber, sebagaimana juga mencerminkan sudut pandang yang berbeda dan juga penyajian dari dua (atau lebih) sisi di mana penilaian atau fakta diperbandingkan. 13 Namun, pada kenyataannya walaupun nilai berita sudah diterjemahkan untuk menentukan peristiwa apa yang paling utama dan lebih penting, kembali lagi kepada
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 58 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 21 13 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 97 11
12
79
pernyataan Shoemaker dan Reese bahwa sebuah peristiwa yang akan muncul ke dalam suatu pemberitaan tidak luput dari proses seleksi dan pengaruh dari ideologi media di mana berita tersebut diproduksi. Proses seleksi yang dilakukan oleh media secara tidak langsung akan mendistorsi realitas yang ada. Apa yang seharusnya diketahui oleh khalayak tentang kebenaran berubah menjadi apa yang seharusnya diketahui oleh khalayak menurut media, terlepas hal tersebut benar atau salah. Setiap institusi media memiliki urutan nilai berita tersendiri yang nantinya akan mempengaruhi penting atau tidaknya suatu peristiwa dan agenda media itu sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Republika, pada saat-saat tertentu ketika tidak ada isu nasional, mereka bebas memasukkan agenda medianya untuk ditampilkan ke dalam headline dan halaman depan. “Kita tidak punya kriteria baku karena tidak seperti media lain. Republika lebih suka menonjolkan isu dia sendiri. Katakanlah seperti kasus Siyono, itu kan kasusnya tiba-tiba, proximitasnya juga tidak jauh hanya di Klaten saja, beritanya juga tidak terlalu besar, tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Tapi kami terus maju saja dan walaupun media lain tidak mengikuti masa bodoh kita maju karena kita anggap ini penting. Republika jarang sekali buat headline berdasarkan selera pasar, kami usahakan seperti itu kecuali kasus atau peristiwa yang benar-benar nasional seperti reshuffle kabinet. Kalau kondisi sedang landai seperti ini kami lebih memperjuangkan agenda kami, jadi apa yang mau dimasukkan ya suka-suka kami saja, mau koran tidak ada yang memberitakan, TV tidak ada yang beritakan, mau orang-orang tidak baca, kami beritakan kasus itu sampai selesai.”14 Pernyataan di atas menunjukkan bahwa nilai berita tidak berlaku secara universal. Pengaruh internal media lebih memegang peran daripada definisi nilai berita itu sendiri. Akibatnya ketika berita turun ke publik, akan memunculkan bias. Tiap-tiap media memiliki pihak mana yang akan didukung 14
Wawancara Pribadi dengan Fitriyan Zamzami, Jakarta, 29 Agustus 2016
80
dan pihak mana yang akan dimarjinalkan posisinya. Maka dari itu sesuai dengan asumsi dasar analisis wacana yang melihat bahwa teks dalam media merupakan tempat perepsentasian aktor. Mengingat media memiliki peran yang strategis untuk membentuk persepsi masyarakat tentang apa yang sedang terjadi, siapa yang salah, dan siapa yang bertanggungjawab maka pemberitaan yang muncul harus jauh dari bias. `
Bias dalam konten berita dapat merujuk pada realitas yang terdistorsi, memberikan gambaran negatif terhadap kelompok-kelompok minoritas, mengabaikan atau salah menanggapi peranan wanita dalam masyarakat, atau secara berbeda-beda mendukung partai politik atau filsafat tertentu. Terdapat banyak jenis bias berita yang berupa kebohongan, propaganda atau ideologi.15 Beberapa poin yang sudah dijabarkan diatas tentang pemilihan narasumber, penentuan nilai berita dan objektivitas adalah bentuk-bentuk dari berjalannya sebuah sistem kepercayaan atau ideologi dari suatu media. Berdasarkan pemilihan narasumber yang tertera pada berita Media Indonesia dan Republika, peneliti berasumsi bahwa pemilihan narasumber yang dilakukan oleh kedua media berdasarkan relasi kekuasaan masing-masing media. Seperti apa yang dilakukan oleh Republika yang banyak menggunakan pendapat dari Muhammadiyah, hal tersebut dikarenakan adanya kedekatan antara Republika dan Muhammadiyah. Pernyataan yang dikeluarkan oleh Nasihin Masha selaku pimpinan redaksi Republika juga menguatkan asumsi bahwa terdapat relasi antara
15
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h. 99
81
Muhammadiyah dan Republika, berikut kutipan artikel yang dilansir dari website Muhammadiyah, “Nasihin Masha dalam pertemuan tersebut mengungkapkan bahwa, Republika adalah milik Muhammadiyah karena dalam perjalanan awalnya Republika tidak mungkin berdiri tanpa ada campur tangan tokoh - tokoh Muhammadiyah.”16 Kutipan berita di atas menguatkan asumsi bahwa pemilihan narasumber didominasi oleh relasi antara media dengan aktor tersebut. Tidak berbeda jauh dengan Republika, penggunaan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai salah satu narasumber di Media Indonesia juga bukan tidak disadari. Luhut memiliki relasi yang kuat pada pemerintahan saat ini, apalagi jika ditengok kebelakang bahwa ia pernah menjadi bagian dalam tim sukses pemenangan Jokowi-JK pada tahun 2014 dan melepas jabatannya sebagai Dewan Penasihat Golkar demi mendukung pasangan tersebut.17 Kesamaan latar belakang antara Luhut dan Surya Paloh menguatkan asumsi bahwa adanya relasi antara narasumber dengan media. Dalam analisis wacana kritis, pemaparan di atas merupakan bentuk kontrol kekuasaan atas konteks, siapa yang boleh atau harus berbicara sementara siapa yang hanya bisa mendengar. Sebuah organisasi tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cara organisasi tersebut memandang dunia dan yang menjadi landasan hidup organisasi tersebut. Bagi Althusser, seorang pemikir strukturalis, ideologi
Muhammadiyah, “Sosialisasi Muktamar, PP Muhammaditah Kunjungi Republika”, diakses pada tanggal 17 Desember 2016 dari http://www.Muhammadiyah.or.id/id/news-4545detail-sosialisasi-muktamar-pp-Muhammadiyah-kunjungi-republika.html 17 Icha Rastika, “Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, dari Militer, Pengusaha, hingga menteri”, diakses pada tanggal 10 Januari 2017 dari http://nasional.kompas.com/read/2015/08/12/14284891/Menko.Polhukam.Luhut.Pandjaitan.dari.M iliter.Pengusaha.hingga.Menteri 16
82
merupakan representasi dari proses pengalaman individu atau golongan, atau kelompok atau organisasi sampai eksis. Dengan konsep ini maka ideologi media merupakan nilai-nilai yang berkembang sejak media didirikan. Jadi, struktur yang terbangun oleh media merupakan ideologi media.18 Surat kabar nasional Republika misalnya akan merefleksikan visi misi serta berbagai aktivitasnya ketika surat kabar Republika dilahirkan. Demikian halnya dengan Media Indonesia, yang memiliki latar belakang yang berbeda saat dilahirkan. Seperti yang kita ketahui bahwa lahirnya Media Indonesia awalnya adalah karena Teuku Yously Syah selaku ketua yayasan penerbit Media Indonesia mengalami kesulitan dan akhirnya menjalin kerjasama dengan Surya Paloh, mantan pemimpin harian Prioritas yang dibredel pada tahun 1986. Lalu pada tahun 2011, Surya Paloh mendirikan partai politik Nasional Demokrat dan mengadopsi ideologi pancasilais dan memiliki tujuan menciptakan kehidupan seperti yang dicita-citakan oleh proklamasi 1945.19 Sedangkan Republika dilahirkan oleh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1991 untuk menciptakan sebuah media massa dengan nuansa keislaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan B.J. Habibie sebagai ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mengatakan bahwa “perang terhadap kebodohan dan kemiskinan adalah tugas cendekiawan muslim”. Seiring berjalannya waktu, Republika yang diambang kebangkrutan dibeli pada tahun 2001 oleh Erick Tohir selaku pemilik Mahaka Group.
18 Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 84 19 Somya Samita, “Profil Surya Paloh”, diakses pada 31 Agustus 2016 dari http://profil.merdeka.com/indonesia/s/surya-paloh/
83
Perbedaan latar belakang sejarah masing-masing media turut mempengaruhi ideologi yang diproduksi di masing-masing media. Hal tersebut tidak bisa terhindarkan oleh tiap-tiap media dalam merepresentasikan realitas. Seperti keterangan wawancara peneliti dengan Usman Kansong selaku pimpinan redaksi Media Indonesia berikut kutipannya, “Misalnya berita tentang Arcandra media akan berbeda-beda cara memberitakannya, Kompas akan berbeda dengan Media Indonesia, Republika dengan MI akan berbeda. Objeknya sama kan? Tapi bisa berbeda-beda itu menunjukkan subjektivitas. Ada momen yang sama, tapi kemudian begitu turun sebagai berita itu akan berbedabeda. Kalau beritanya objekif maka akan sama hasilnya ketika jadi berita. Pada dasarnya, tidak ada berita yang objektif karena dipengaruhi juga oleh ideologi. Tapi ada prinsip-prinsip keberimbangan, tapi soal porsinya kan urusan kita, tergantung kemana kita berpihak.”20 Berdasarkan kutipan di atas, Media Indonesia berpendapat bahwa setiap media tidak memproduksi setiap peristiwa dengan objektif. Subjektivitas selalu hadir di tengah-tengah hasil liputan wartawan. Hal itu disebabkan karena adanya nilai-nilai ideologis yang menjadi pegangan wartawan dalam melihat dan menilai suatu peristiwa. Hal senada juga diungkapkan oleh Republika ketika ditanya mengenai seberapa besar pengaruh ICMI dalam pemberitaan terkait kematian terduga teroris Siyono, berikut kutipannya, “Secara prinsipnya masih, tapi secara keorganisasian kan sejak 2001 kami sudah diambil alih oleh Mahaka Group. Jadi walaupun secara keorganisasian kami sudah tidak terikat lagi tapi secara visi dan misi masih ada. ICMI tidak bisa lepas dari Republika, Republika juga tidak bisa lepas dari ICMI karena mereka yang membidani kami jadi dalam satu dan lain hal pola pikir ICMI yang sering kami jawantahkan dalam pemberitaan soal islam yang harus bermandiri, soal umat islam yang harus berdaya, islam moderat yang lebih 20
Wawancara Pribadi dengan Usman Kansong, Jakarta, 9 Agustus 2016
84
santun, yang pro terhadap kemajuan, yang pro terhadap kebangsaan, hal tersebut yang masih terbawa sampai sekarang di Republika.”21 Kutipan di atas membuktikan adanya pengaruh besar dari siapa yang membangun media. Ideologi yang diproduksi dari sejarah bagaimana dan siapa yang membidani tiap-tiap institusi telah menjadi sebuah kesadaran kolektif yang pada akhirnya mempengaruhi bagaimana seharusnya berita diliput, ditulis, dimuat dan disebarluaskan. Representasi realitas yang disajikan oleh media adalah realitas yang sudah direproduksi, diseleksi dan disesuaikan dengan situasi institusi di mana konten tersebut diproduksi. Ideologi yang hidup di dalam institusi media memiliki pengaruh yang besar, walaupun ideologi tersebut tidak selalu berbentuk aturan-aturan. Artinya, para wartawan bagaimanapun tidak dapat bebas sesukanya menyuguhkan berita tanpa mengaitkan dengan masalah ‘ideologi’ media dan kepentingan industri media yang bersangkutan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Reese dan Shoemaker dalam penelitiannya tentang sosiologi media, di mana “faktor ideologi” merupakan salah satu yang mempengaruhi isi media.22 Menurut Michael O’Shaugnessy dan Jane Stadler, ideologi bisa ditemukan di tiga tempat. Pertama, ada dalam bahasa, teks dan representasi. Hal ini sering dilakukan dalam kajian media berkaitan dengan makna ideologis yang ada dalam isi media. Kedua, ada pada kelembagaan material dan dalam praktik-praktik yang berlangsung. Ketiga, ada di dalam kepala dan hati kita.23
Wawancara Pribadi dengan Fitriyan Zamzami, Jakarta, 29 Agustus 2016 Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2004), h. 60 23 Udi Rusadi, Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 105 21 22
85
Pada analisis hasil temuan teks, dapat disimpulkan bahwa Media Indonesia menunjukkan sikap melawan terorisme dengan cara menggunakan kata ‘separatis’ yang memojokkan jaringan Jamaah Islamiyah. Selain itu upaya menyembunyikan tim advokasi juga terjadi pada penggunaan strategi pasivasi di mana Theo mengelompokkan strategi tersebut ke dalam eksklusi atau pengeluaran aktor dari pembicaraan. Pada sisi kelembagaan, seperti yang kita tahu Surya Paloh memiliki latar belakang sebagai pemimpin ikatan putra-putri ABRI, pernah menjadi Dewan Penasihat Golkar dan pendiri partai politik bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X secara otomatis akan mempengaruhi bagaimana cara ia sebagai pemimpin memandang realitas. Cara mentransfer nilai-nilai kebangsaan yang dianutnya dapat dengan mudah mempengaruhi pemberitaan melalui aturan-aturan kode etik perusahaan dan berimplikasi pada pembentukan citra kepolisian selaku perwakilan dari institusi pemerintah sebagai aktor sosial yang dibela dalam wacananya. Berbeda dengan apa yang dilakukan Media Indonesia, Republika justru memberikan lebih banyak ruang kepada tim advokasi dibandingkan kepolisian, memperluas kasus dengan mengaitkan jumlah korban Densus 88 yang tidak diproses secara hukum dan membuat aktor sosial Siyono menjadi tampak tidak berdaya adalah cara untuk menunjukkan arah wacana yang disampaikan oleh Republika. Latar belakang bahwa Republika adalah media yang bernuansa islami yang didirikan oleh ICMI secara langsung mempengaruhi berita kematian Siyono. Mengingat Siyono bagian dari komunitas islam dan mengalami pelanggaran HAM dalam proses penyelidikannya, maka pembaca diarahkan untuk menerima realita bahwa
86
kasus ini adalah pelanggaran HAM, dan bukan upaya pemberantasan terorisme. Memasukkan pendapat dari Wakil Ketua Komisi III DPR juga menjadi salah satu strategi Republika untuk melegitimasi pandangan media yang berpendapat bahwa kasus kematian teroris Siyono adalah pelanggaran HAM. Hal yang direpresentasikan adalah pandangan-pandangan tertentu dari kelompok-kelompok sosial, pandangan inilah yang secara tidak sadar kita terima sebagai sesuatu yang normal dan mengesampingkan pandanganpandangan alternatif.24 Kesadaran kolektif pekerja media tentang bagaimana berita harus dibuat dan sudut pandang apa yang digunakan adalah bentuk bahwa ideologi yang diciptakan oleh media telah menjadi kesadaran palsu dan diikuti sebagai kebenaran. Pada teori level pengaruh, salah satu yang memengaruhi media adalah level organisasi. Level organisasi ini berkaitan dengan struktur manajemen organisasi pada sebuah media. Kebijakan sebuah media dan tujuan dari media itu sendiri. Jadi, pemberitaan media bukanlah hasil kerja yang bersifat perseorangan, melainkan kerja tim yang menunjukkan aspek kolektivitas. Tujuannya seperti memproduksi konten yang berkualitas, melayani publik, mendapatkan pengakuan profesional sengaja dibangun dengan tujuan utama sebenarnya yaitu mencari keuntungan untuk media. Analisis pada level organisasi media menunjukkan bagaimana sepertinya sulit membuat berita yang sesuai dengan ‘rata-rata’ realitas.
Graeme Burton, Yang Tersembunyi di Balik Media: Pengantar Kepada Kajian Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), h. 114 24
87
Kebutuhan akan sumber berita yang berkuasa dan persyaratan ‘nilai berita’ merupakan sumber dari distorsi realitas yang ada. 25 Media yang memfokuskan kepada nilai kebangsaan yang berdasarkan pancasila akan memproduksi konten berita yang lebih umum dan memandang isu dari sudut pandang kenegaraan juga memilih narasumber yang berasal dari kalangan pemerintah. Media yang memfokuskan nilai-nilai keislaman dan berusaha membela kepentingan umat islam akan berusaha memproduksi konten berita yang mayoritas berdasarkan ideologi keagamaan dan memiliki kesamaan latar belakang. Wacana kematian terduga teroris Siyono merupakan salah satu kasus pertarungan ideologi. Di mana satu realita diwacanakan secara berbeda karena dipengaruhi oleh ideologi media di mana berita tersebut diproduksi. Senada dengan yang diungkapkan oleh Antonio Gramsci yang melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.26 Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sangat sulit untuk meyakini bahwa media adalah saluran yang bebas
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa McQuail: Edisi 6 Buku 2, h, 101 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 30 25
1
26
88
nilai dan netral. Pada praktiknya, wacana yang disebarluaskan adalah hasil dari pemilihan fakta dan realita yang dilakukan oleh organisasi media. Proses seleksi yang dilakukan oleh media dipengaruhi oleh hirarki kekuasaan internal maupun eksternal. Pemarjinalisasian suatu kelompok dalam sebuah pemberitaan adalah salah satu implikasi dari pengaruh ideologi media dan menciptakan bias yang nyata. Ideologi-ideologi yang paling berkuasa mencerminkan nilai-nilai dari lembaga-lembaga dan orang-orang yang kuat secara politik dan ekonomi dalam suatu masyarakat.27 Tujuannya yaitu untuk memperoleh legitimasi dan kepercayaan masyarakat bahwa apa yang disampaikan oleh media adalah benar dan untuk kepentingan kebaikan mereka meskipun dalam praktek sebenarnya bisa jadi tidak. Jika pembaca telah menerima sebuah wacana dengan suatu proses yang damai dan menerima apa adanya tanpa ada hal yang dipertanyakan, maka hal tersebut dapat dijelaskan melalui konsep hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Hegemoni terlihat wajar, khalayak akan menerima sebagai kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemonik itu menyatu dan tersebar dalam praktik, kehidupan, persepsi dan pandangan dunia sebagai sesuatu yang dilakukan dan dihayati secara sukarela. 28 Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Di sini, secara tidak sengaja media
James Lull, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 12 28 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 104 27
89
menjadi alat bagaimana wacana yang dipandang dominan disebarkan dan menjadi konsensus bersama. Misalnya, pada pemberitaan mengenai kematian terduga teroris Siyono, wacana yang dikembangkan oleh Media Indonesia adalah bagaimana upaya pemerintah dalam memberantas terorisme di Indonesia. Kesalahan yang dilakukan oleh Densus 88 dilihat sebagai bentuk pertahanan diri. Dominasi seperti yang dijelaskan diatas menyebabkan citra Siyono dipandang tidak benar, ditambah lagi dengan penulisan fakta bahwa Siyono memiliki peran sentral di Jaringan Jamaah Islamiyah. Begitu pun sebaliknya juga dilakukan oleh Republika, di mana Siyono digambarkan sebagai pihak yang tidak berdaya dan kepolisian telah bertindak secara arogan dalam menyelesaikan kasus terorisme. Dalam produksi berita, proses hegemoni itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran. Teori hegemoni Gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik. Dalam studi kasus kematian terduga teroris Siyono di Media Indonesia dan Republika, keduanya melakukan hegemoni. Dalam teks yang diproduksi oleh Media Indonesia, terlihat adanya upaya hegemoni yang dilakukan. Mulai dari ideologi nasionalis yang dianut dalam institusi media dan akhirnya turun ke dalam pemberitaan yaitu pemberitaan
yang
menunjukkan
sikap
membela
pemerintah
dan
memarjinalisasikan terduga teroris Siyono. Agar diterima oleh masyarakat, Media Indonesia menggunakan penilaian nalar awam atau common sense masyarakat
tentang
bagaimana
seharusnya
teroris
ditindak.
Dalam
90
pengetahuan umum, teroris adalah pelaku tindak kejahatan luar biasa dan membahayakan masyarakat umum. Maka dimunculkanlah peran Siyono di dalam Jaringan Islamiyah, menyebut JI sebagai kelompok separatis, dan apa yang dilakukan oleh densus 88 adalah bentuk pertahanan diri. Pembaca tidak akan mempertanyakan apakah sebuah tindakan yang membuat tahanan kehilangan nyawa adalah termasuk pelanggaran hukum dan siapa yang memulai perkelahian terlebih dahulu antara Siyono dan pihak Densus 88. Ketika pandangan ini diterima oleh pembaca yang juga menekankan bahwa terorisme harus dituntaskan dan mempercayakan prosesnya kepada pemerintah maka hegemoni telah berjalan dengan baik. Selain itu, Media Indonesia juga memasukkan kutipan dari mantan ketua umum PP Muhammadiyah, mengingat Muhammadiyah adalah komunitas yang mengadvokasi pihak Siyono. Ketika media ingin mendapatkan penerimaan dari khalayak, maka media tersebut harus mendapatkan legitimasi dari pihak-pihak yang terkait dalam kasus tersebut. Dalam hal ini Media Indonesia memasukkan pendapat dari Kapolri, Menko Polhukam, kepala BNPT dan mantan ketua umum PP Muhammadiyah. Jika dilihat dari struktur kekuasaan, Media Indonesia adalah media yang dipimpin oleh seorang ketua umum partai politik, yaitu Surya Paloh. Pada pemilu 2014 lalu, partai politik yang dipimpin oleh Surya Paloh menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan yang berkuasa dan bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Hebat yang akhir tahun kemarin mengganti nama menjadi Partai-partai Pendukung Pemerintah. Melalui kaitan tersebut, maka secara otomatis Media Indonesia tidak mengkritik secara keras apa yang dilakukan
91
oleh pemerintah, bagaimana pun ketakutan struktural akan selalu ada jika Media Indonesia yang mendukung pemerintahan justru menerbitkan pandangan yang berlawanan. Sebisa mungkin media yang berpihak pada satu kekuasaan akan berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara melindungi dan tidak memberitakan hal-hal yang sensitif mengenai kekurangan-kekurangan pihak yang berkuasa. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Media Indonesia, Republika juga melakukan upaya hegemoni terhadap wacana kematian terduga teroris Siyono. Upaya tersebut dapat dilihat dari pemilihan narasumber yang tidak seimbang antara kepolisian, dan tim advokasi. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh pendapat redaktur halaman utama Republika yang menyatakan bahwa kasus ini bukan pertarungan ini bukan antara pemerintah dan Republika semata tetapi pemerintah dan Muhammadiyah karena Muhammadiyah-lah yang secara tidak sengaja dipilih oleh keluarga Siyono untuk mengusut kematian Siyono. Media Indonesia dan Republika adalah dua media yang mengupayakan wacana yang dikembangkannya mendapatkan penerimaan oleh khalayak tanpa adanya pertanyaan dan dianggap sebagai kebenaran. Penggunaan narasumber yang memiliki kesamaan latar belakang dimanfaatkan oleh kedua media untuk melegitimasi pandangan masing-masing media. Kasus kematian terduga teroris Siyono yang muncul ke publik menciptakan wacana yang berbeda-beda. Media Indonesia yang mewacanakan pembelaan pemerintah mendapatkan perlawanan dari Republika yang mewacanakan kasus ini adalah pelanggaran HAM. Pada tahap inilah dapat disimpulkan adanya
92
upaya penyebaran ideologi institusi media melalui wacana yang dikembangkan oleh masing-masing media. Apa yang dilakukan oleh kedua media merupakan indikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan. Media yang seharusnya memberitakan secara objektif berubah menjadi subjektif, disesuaikan dengan keinginan media dan definisi baik-buruk menurut media. Tetapi bagaimana pun, apa yang dilakukan oleh Media Indonesia dan Republika adalah upaya kontraterorisme yang diterjemahkan kembali oleh masing-masing media. Terlepas dari perbedaan upaya kontraterorisme yang dilakukan oleh kedua media, keragaman media dalam menyampaikan berita dan analisisnya tentang peristiwa justru dibutuhkan untuk menjaga demokrasi itu sendiri. Pada akhirnya, semua kembali lagi ke masyarakat. Mereka akan menilai dan memilih mana di antara pemberitaan itu yang layak dijadikan pegangan dan mana yang dijadikan sebagai second opinion. Mengingat peran media yang cukup besar dalam merepresentasikan sebuah peristiwa, maka penting untuk selalu mematuhi kode etik jurnalistik yang berlaku. Ketika media tidak mematuhi aturan kode etik, akhirnya media hanya akan mempengaruhi khalayak untuk bersimpati kepada kelompok yang dianggap benar oleh satu media dan berantipati kepada kelompok yang dimarjinalkan posisinya. Hal tersebut tidak dibenarkan dan telah menyalahi kode etik jurnalistik pasal 1 yang menyatakan bahwa wartawan indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.29 Selama wartawan memegang teguh kode etik jurnalistik dalam peliputan beritanya, maka subjektivitas dan bias dapat diminimalisir. Dewan Pers, “Kode Etik Jurnalistik”, diakses pada 26 November 2016 dari http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik 29
93
Wartawan yang selalu berimbang dalam pemberitaan, jauh dari intervensi pihak manapun, dan menginformasikan kebenaran dengan fakta adalah kriteria yang harus dimiliki setiap wartawan.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam pemberitaan kematian terduga teroris Siyono terdapat wacana yang berbeda antara Media Indonesia dan Republika. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana susunan kalimat, pemilihan narasumber yang terdapat pada artikel yang terbit di Media Indonesia dan Republika. Dari susunan kalimat, pemilihan narasumber dan bagaimana masing-masing media melihat isu ini berdampak pada pemarjinalisasian aktor sosial yang dilakukan. Jika Media Indonesia meminggirkan Siyono dalam pemberitaan, justru sebaliknya dilakukan oleh Republika. Republika memposisikan Siyono sebagai korban arogansi polisi dan mendesak pemerintah agar Densus 88 yang melakukan kesalahan dipidana. Berdasarkan hasil penelitan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan frame yang dibangun oleh kedua media untuk memaknai masing-masing kelompok yang terlibat. Perbedaan cara memandang suatu peristiwa dipengaruhi oleh ideologi yang menjadi panutan di masing-masing media. Media Indonesia memiliki ideologi nasionalis yang melatarbelakangi penciptaan artikel yang melindungi pemerintah sedangkan Republika memproduksi ideologi keislaman yang akhirnya mengeluarkan artikel yang mengkritik kinerja pemerintah melalui kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh Siyono. Siyono memiliki tim advokasi yang terdiri dari PP Muhammadiyah, Komnas HAM, Kontras dan Pusham UII tentu lebih
94
95
mendapatkan ruang di Republika karena memiliki kesamaan agenda, yaitu membela Siyono dan mengkritik pemerintah. Dampak dari bias ideologi ini akhirnya menciptakan berita yang tidak objektif. Perbedaan pandangan antara kedua media menjadikan ruang publik sebagai arena pertarungan wacana. Publik disajikan wacana yang berbeda atas peristiwa yang sama. Upaya penerimaan bias ideologi yang dilakukan oleh media salah satunya dengan cara sama-sama memasukkan narasumber terkait yang melegitimasi wacana mereka. Misalnya Media Indonesia dan Republika sama-sama memasukkan pendapat dari tokoh PP Muhammadiyah yang memberikan respon berbeda terhadap isu kematian terduga teroris Siyono. Media Indonesia mengutip pendapat dari mantan ketua PP Muhammadiyah yang menghimbau untuk netral dalam menyikapi masalah ini. Sedangkan Republika menggunakan pendapat dari ketua PP Muhammadiyah yang menyatakan dukungannya terhadap Siyono. Upaya memperebutkan penerimaan dari khalayak inilah yang disebut hegemoni oleh Antonio Gramsci. Hegemoni bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan dengan menyebarkan ideologi melalui wacana berita yang diterbitkan dan berharap bahwa wacana tersebut dapat diterima sebagai kebenaran oleh khalayak.
B. Saran 1. Mengingat peran media yang strategis dalam merepresentasikan peristiwa, seharusnya baik Media Indonesia dan Republika memegang prinsip keberimbangan dan kode etik jurnalistik sehingga bias dari pihak
96
internal maupun eksternal dapat dihindari. Media sebagai sarana pembentuk realitas seharusnya harus bebas dari intervensi berbagai pihak. 2. Dalam pemberitaan isu terorisme media juga harus berhati-hati dalam menyampaikannya. Jangan sampai justru malah ikut menyebarkan paham radikal yang memicu tumbuhnya teroris-teroris baru. 3. Masyarakat juga diharapkan dapat menjadi audiens yang cerdas dalam melihat suatu peristiwa. Tidak hanya dari satu sisi dan memiliki pemikiran terbuka karena apa yang disampaikan media tidak seluruhnya sesuai dengan peristiwa yang terjadi. 4. Kritis terhadap wacana yang dikembangkan oleh media adalah penting. Adanya kritik dan masukan dari khalayak diharapkan dapat membantu media menciptakan berita yang lebih berkualitas dan jauh dari bias.
DAFTAR PUSTAKA Buku Badara, Aris. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2007. Burton, Greame. Yang Tersembunyi di Balik Media: Pengantar Kepada Kajian Media. Yogyakarta: Jalasutra, 2006. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998. Djelantik, Sukawarsini. Terorisme: Tinjauan Psiko-politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010. Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009. Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit, 2004. Hamidi. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang: UMM Press, 2007. Hendropriyono, A.M. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009. Lull, James. Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997. McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa McQuail Edisi 6 Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika, 2011. Moeloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. Mulyana, Deddy. Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005. Oetomo, Dede. Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Rusadi, Udi. Kajian Media: Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers, 2015. Sadono, Bambang (ed). Profil Pers Indonesi: 50 Tahun PWI Mengabdi Negeri. 1996. Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press, 2002. Setiati, Eni. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan. Yogyakarta: Andi Publisher, 2005.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Sumadira, AS Haris. Jurnalistik Indonesia: Tekhnik Menulis Berita dan Feature. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005. Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2004. Internet Dewan Pers. “Kode Etik Jurnalistik”. diakses 26 November 2016 dari http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik http://www.kbbi.web.id/separatis diakses pada 3 November 2016 Muhammadiyah. “Sosialisasi Muktamar, PP Muhammaditah Kunjungi Republika.” diakses 17 Desember 2016 dari http://www.Muhammadiyah.or.id/id/news4545-detail-sosialisasi-muktamar-pp-Muhammadiyah-kunjungirepublika.html Rastika, Icha. “Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, dari Militer, Pengusaha, hingga Menteri.” diakses 10 Januari 2017 dari http://nasional.kompas.com/read/2015/08/12/14284891/Menko.Polhukam. Luhut.Pandjaitan.dari.Militer.Pengusaha.hingga.Menteri Samita, Somya. “Profil Surya Paloh.” diakses 31 Agustus 2016 dari http://profil.merdeka.com/indonesia/s/surya-paloh/ Utomo, Prasetya Wisnu. “Media Cetak yang Berhenti Terbit Tahun 2015.” diakses 4 Mei 2016 dari http://www.remotivi.or.id/kabar/247/Media-Cetak-yangBerhenti-Terbit-Tahun-2015-
Lain-lain “Komnas HAM: Siyono tak Melawan”, Republika, 12 April 2016. Company profile Media Indonesia Company Profile Harian Umum Republika Wawancara Pribadi dengan Usman Kansong. Jakarta, 9 Agustus 2016. Wawancara Pribadi dengan Fitriyan Zamzami. Jakarta, 29 Agustus 2016.
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5 OPEN CODING – TRANSKRIP WAWANCARA Narasumber 1 (Media Indonesia)
Topik riset
: Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada Media Indonesia Edisi 5 April dan Republika Edisi 2 April 2016
Wawancara dilakukan pada hari Selasa, 9 Agustus 2016 pukul 12.00 – 13.30 WIB Konsep No 1
: Kode Etik Jurnalistik, Nilai-Nilai Berita, Ideologi, Marjinalisasi, Kebijakan Media, Objektivitas Refleksi diri peneliti Perkembangan media indonesia
Isi transkrip P: pertama-tama saya mau nanya tentang perkembangan media indonesia. Oplah, prestasi dan sebagainya. NS: Kalau oplah 280.000-an, kemudian dua tahun terakhir ini kita sedang mengembangkan beberapa lini bisnis lagi, seperti penerbitan buku, kemudian media sosial, media online, kita juga membuat satu program namanya Kotak Musik, band-band indie kita panggil ke kantor terus mereka main kita nonton tidak dibayar kemudian kita masukkan ke aplikasi kita, kita sebarkan lewat youtube dan media online kita, ini kreasi teman-teman. Lalu kemudian kita juga baru membuat lembaga riset namanya Media Riset Center untuk quick count, riset-riset politik, riset melalui FGD. Kalau prestasi saya kira fotografer kita pernah memenangi penghargaan Adinegoro, kemarin juga
Keterangan Oplah media indonesia perhari sebesar 280.000 eksemplar. Media indonesia sedang mengembangkan beberapa lini bisnis seperti penerbitan buku, media online, media sosial dan lembaga riset. Media indonesia pernah menjuarai beberapa kategori lomba jurnalistik. Wartawan media indonesia ada yang melanjutkan
Kategori / konsep Ekonomi media
menang lomba foto yang diselenggarakan oleh Sampoerna atau Djarum saya lupa. Ada tiga wartawan kita yang sedang sekolah di luar, satu ngambil S3 di Australia, satu S2 di Russia dan satu belajar bahasa mandarin satu tahun di Taiwan. Mereka mencari baesiswa sendiri tapi kami rekomendasikan lah sampai nanti mereka selesai tetap menjadi karyawan kita, tp yang di Taiwan, pemerintah Taiwan meminta saya untuk mengirim, kemarin Korea juga tapi tidak sempat. Lalu prestasi kita, kemarin salah satu wartawan kita memenangi lomba untuk liputan pemanasan global atau global warming untuk yang kedua kalinya.
2
P: oh sudah sering ya? NS: . Kita termasuk media yang paling sering lah memenangi lomba dan temen-temen memang concern di bidang itu. Selain itu ada peningkatan iklan walaupun kondisi ekonomi sedang tidak bagus. Peningkatan dari tahun lalu ada peningkatan sekitar 8%. P: bagaimana alur redaksional di media indonesia? NS: Jadi, wartawan ya ke lapangan, tidak seperti jaman saya dulu, mereka tidak perlu lagi balik ke kantor, mereka tinggal kirimkan melalui online. Kita punya program namanya GPRS, yaitu sistem komputer di hp mereka semua, kecuali di HP saya, nanti mereka tinggal send aja kesitu, semuanya ada. Sama semua, metro tv juga punya sistem itu. jadi di Media Group sudah terintegrasi semua, jadi kita bisa melihat berita Metro, Media Indonesia. Mau ambil berita Metro untuk Media Indonesia
studi di luar negeri. Tahun 2015 lalu iklan di media indonesia naik hingga 8%
Media indonesia memiliki aplikasi yang bernama GPRS yang menghimpun berita dari seluruh wartawan Media Group. Kalau ada perubahan pada last minute, yang ikut mengambil keputusan biasanya di level asisten redaktur pelaksana ke atas.
Konvergensi media dan rutinitas media
boleh begitu juga sebaliknya. Karna kita sedang mengembangkan konvergensi media, sistem yang terintegrasi. Kalau sehari-harinya, malamnya teman-teman redaktur menugaskan reporter kalau ada penugasan tapi tidak setiap hari karna kalau ada peristiwa dadakan kan kita tidak tahu. Jam 10.30 WIB pagi kita ada rapat budget, jadi pimpinan menerima laporan rubrik megapolitan meliput apa, polhukam meliput apa, ekonomi meliput apa itu yang kita tulis di layar lebar. Setelah itu kita mulai mereka-reka apa kira-kira headline-nya. Jam 12.00 WIB kita rapat lagi ngecek hasil rapat yang barusan jam 10.00 WIB sudah seperti apa, apa yang perlu ditambahkan, ide apa yang masuk. Nah, di rapat yang jam 12.00 WIB itu kita juga mengevaluasi hasil koran berita yang terbit hari ini, kurangnya apa, kelemahannya apa. Kok koran lain bisa dapet berita ini kita engga, oh ada yang kurang harusnya judulnya tidak begini, ada bahasa indonesia yang salah. Evaluasi ini kita adakan untuk memperbaiki supaya kita tidak mengulangi kesalahan lagi besoknya. Nah 14.30 WIB kita baru rapat final, itu sudah ketahuan headlinenya apa, judulnya headlinenya juga sudah kita rumuskan apa, second headline apa, berita halaman keduanya apa itu sudah kita rumuskan sampai detail. P: Oh jadi headline untuk besok itu sudah tau dari sore ya? NS: Iya, semua laporan yang sudah dikumpulkan nanti terlihat di layar besar pada saat rapat, semua
Tiap redaktur sudah bisa melihat layout beritanya dan berapa karakter yang harus dipenuhi karena layout sudah diberikan pada sore hari oleh tim artistik. Nantinya semua wartawan media indonesia dan metro tv akan tergabung menjadi wartawan Media Group.
perkembangan kita tulis semua disitu. P: kalau tiba-tiba pada malam hari ada perubahan atau peristiwa yang lebih besar terjadi, bagaimana? NS: misalnya ada peristiwa atau kejadian jam 6 sore, nah biasanya kita rapat kecil saja, hanya beberapa orang, biasanya di level asisten redaktur pelaksana ke atas, kadang kalau saya tidak ikut rapat mereka laporan ke saya kalau ada perubahan. Kalau tidak saya yang mengecek, itu bisa last minute kok berubah. NS: ... Setelah itu masuk ke layout. Dari reporter masuk ke sistem GPRS, lalu redaktur mengambil, mengelola, memilih, digabungkan atau dipisahkan, kemudian mereka sudah tentukan judulnya, halamannya baru mereka masukkan ke dalam layout. Sebenarnya sudah ada layoutnya dan itu sudah dibagikan oleh tim artistik ke redaktur dalam bentuk softcopy. Jadi mereka bisa lihat saya besok layoutnya seperti apa, berapa karakter itu sudah ada, seperti template tp berubah-ubah setiap hari. Beritanya dimasukkan kedalam softcopy itu kemudian diperiksa oleh tim artistik setelah itu baru di print baru diperiksa secara manual. Redaktur ada yang bertugas setiap malam untuk mengecek ada yang salah atau tidak, hurufnya ada yang ketinggalan atau tidak. P: Jadi dicetak dummy-nya dulu ya baru di cetak? NS: Iya, karena kalau mengecek lewat komputer suka ada yang kelewat.
3
4
P: Jadi nanti wartawan metro tv tergabung menjadi wartawan media indonesia dan begitu sebaliknya? NS: Ya memang begitu, nanti jadi satu sebagai wartawan Media Group. Dan memang itu sedang dimatangkan. Nantinya Metro TV dan Media Indonesia akan jadi satu gedung dan itu sedang dipikirkan. Jadi wartawan harus bisa jadi jurnalis cetak, jurnalis online, jurnalis tv. Tinggal dirubah saja bahasanya, kan berita semuanya sudah masuk ke dalam satu sistem. P: Biasanya kriteria berita yang masuk headline versi media indonesia itu yang seperti apa? NS: Berdasarkan nilai berita aja, misalnya ini menyangkut keterkenalan karena presiden bicara, atau beritanya menyangkut tentang keluarbiasaan misalnya ada berita banjir besar, atau tsunami aceh itu kami tentukan sesuai dengan nilai berita. Selain itu juga apa yang sedang jadi pembicaraan publik dan nilai berita apa yang terdapat dalam peristiwa itu dan itu melalui perdebatan dan diskusi, bukan saya yang menentukan, saya kadang-kadang tidak ikut rapat. Semua orang boleh berpendapat, orang boleh membantah saya, itulah yang disebut demokrasi dalam rapat. Kita menentukan bersama apa yang menjadi headline. P: Nah, terkait isu terorisme sendiri. bagaimana pandangan media indonesia atas terorisme? NS: Nomor satu kita melawan terorisme, kita tidak setuju dengan terorisme dan kita mengkritik keras terorisme, kita juga berusaha mencegah supaya terorisme tidak terjadi. Katakanlah kebijakan kita
Kriteria yang akan masuk headline adalah berdasarkan nilai berita dan diskusi pada saat rapat.
Nilai-nilai berita
Secara umum media indonesia melawan dan memerangi tindakan terorisme dan mencegah agar terorisme tidak terjadi.
Ideologi media
5
berperang melawan terorisme. P: Bagaimana strategi media indonesia dalam memerangi terorisme? Apakah dengan memasukkan banyak kutipan dari pemerintah? NS: Ya macam-macam, memang terutama pemerintah, dalam konteks ini kan Polri yang melakukan pemberantasan terorisme secara langsung. Tapi di sisi lain kita juga kadang-kadang meminta pendapat para pakar terorisme, tokoh masyarakat begitu. Kebijakan kita ini memang jarang mewawancarai istrinya teroris dan itu tidak boleh. Kita tidak mau mewawancarai itu. kenapa? karena biasanya yang tampil itu adalah pembelaanpembelaan. Padahal kita sudah yakin betul bahwa apa yang mereka lakukan adalah pelanggaran, pelanggaran kemanusiaan, melanggar agama juga, mereka kan mengatasnamakan agama, mereka sebenarnya menunggangi nama agama. Jadi biasanya istri akan membela “Oh suami saya orang baik kok, saya tidak tahu...”. Pernah misalnya pada tahun 2008 waktu eksekusi Amrozi CS, kita memutuskan untuk tidak meliput pemakamannya itu, karna ada informasi bahwa rakyat disana menyambut seperti seorang pahlawan. Kita tidak meliput karna itu memang bukan ideologi kita, bukan kebijakan kita, karna ada glorifikasi, pengagung-agungan, seakan pahlawan masuk surga, disambut tujuh bidadari, tidak kita liput, eksekusi mati, selesai. P: Oh jadi itu tidak hanya berlaku kepada terororisme saja tetapi kepada seluruh kelompok
Memasukkan kutipan dari Kebijakan media pemerintah dan pakar terorisme termasuk strategi media indonesia dalam memberitakan isu terorisme. Media indonesia memiliki kebijakan untuk tidak mewawancarai keluarga teroris. Media indonesia tidak memberikan kesempatan kepada kelompok yang mereka anggap menyerukan kekerasan dan keributan.
yang sering ada ribut-ribut itu ya pak? N: Iya, Itu sikap kita. Sikap kita tegas, kita tidak mau memberikan panggung kepada mereka yang mengobarkan kekerasan, termasuk kelompokkelompok yang kalian sebut seperti FPI, mana pernah ada di Media Indonesia atau metro masuk kita wawancarai itu jarang, paling kalau ada hanya sekedar konfirmasi. Tapi kita tidak mau memberikan panggung kepada mereka, terlalu mahal, terlalu istimewa halaman koran kita untuk kelompok itu. karna kalau kita memberi panggung kepada mereka berarti kita ikut juga menyebarkan kekerasan. Secara umum, kita berperang melawan terorisme dalam pemberitaan kita. 6
P: Lebih khususnya lagi kita akan bahas tentang kematian terduga teroris Siyono ya pak. Bagaimana media indonesia memandang kematian terduga teroris Siyono? NS: Siyono ini agak spesifik, agak khusus, kita justru membela siyono. Kita bahkan dalam editorial pernah menuliskan kritik kepada Densus, polisi agar jangan gegabah, kita wawancarai Muhammadiyah, karna dia yang mengadvokasi, kita mewawancarai salah satu tim advokasi, keluarganya, kita meliput hasil visumnya. Lain kalau siyono ini, karna dia salah, polisi terlalu cepat memutuskan itu. P: Tapi pada kenyataannya kan media indonesia juga memasukkan keterangan kalau siyono adalah
Secara umum media indonesia mengkritik cara kerja densus 88 dan kepolisian dalam menangani teroris. Media Indonesia setuju kalau Siyono tersangka teroris. namun menyayangkan cara penangkapan yang dinilai gegabah.
7
tersangka teroris. NS: Iya itukan dari versi kepolisian, tapikan kemudian ada proses yang tidak benar. Nomor satu, menurut kita terlalu cepat polisi menyimpulkan. Nomor dua, dalam prosesnya ada kesalahan, ada kekerasan, kalau dia bersalah, ditangkap, ya sudah, kan dia tidak melakukan perlawanan tapi kalau ada kekerasan yang menyebabkan ia meninggal. Kemudian yang ketiga belakangnya polisi merasa bersalah kok, buktinya mereka ngasih uang ke keluarganya. Nah hal tersebut yang membuat kita memberikan perlakuan kita agak berbeda dalam konteks Siyono. Walaupun dia ada indikasi teroris. Tapi kalau sudah ditangkap, ya sudah tangkap, tapi jangan dibunuh dong, kira-kira begitu. Kalau dibunuh kalo dia benar melawan, tembak. Kan udah banyak juga polisi nembak orang yang ngelawan. Nah itu, beda konteksnya kalau dengan siyono itu. kita support polisi, kita support densus 88 kalau cuma sampe ditangkap, tapi sampai mati dia, ada kekerasan, kan tidak boleh orang dieksekusi sebelum diadili. Tapi karna konteks ini adalah teroris, maka kita kritik polisi, tidak boleh begitu dan tetap harus mengedepankan hak asasi manusia. Kita inikan mau mengubah UndangUndang Teroris dan kewenangan polisi diperluas bahkan baru indikasi saja bisa ditangkap, kita setuju dengan itu, karna teroris jangan sampai dia melakukan dulu baru kita tangkap. P: Dalam artikel tanggal 6 April, yang berjudul “Siyono Berposisi Penting di Jaringan JI”, Media
Media indonesia membenarkan kalau
Objektivitas
8
Indonesia banyak memasukkan pendapat dari pemerintah, apakah itu salah satu penerapan strategi dari melawan terorisme versi Media Indonesia? NS: Kan berita itu ada contunuity ada keberlanjutan nah mungkin dalam satu berita kalau kita analisis satu item itu, hasilnya seperti itu. Tapi mungkin kalau kita lihat secara keseluruhan akan berbeda. Inikan ada urut-urutan, ada perkembangan dalam pemberitaan kita. Mungkin pada saat itu, iya. Karna cukup sampai segitu, tapi coba lihat berita besoknya atau sebelumnya, saya kira secara keseluruhan akan menggambarkan sikap kita. Saya juga tidak begitu tahu detil seperti apa, tapi memang benar sebagian besar dari pemerintah, tapi lihatlah pertanyaan atau jawaban dari mereka, pasti pertanyaan kita mungkin kritis. Ketika polisi bilang Siyono teroris, kan kita tidak bisa menulis kalau Siyono bukan teroris. Dalam satu item memang benar pernyataan banyak dari pemerintah tapi kalau dilihat secara keseluruhan kelihatan kok sikap kita yang dalam tanda kutip membela Siyono. P: dalam kasus ini kan ada dua kubu antara Siyono dan Densus 88. Tapi yang saya lihat kenapa yang lebih banyak ditonjolkan adalah densus 88 nya ya pak dibandingkan Siyono? NS: Ya mungkin seperti itu ya, kalau hasil analisis kamu seperti itu saya tidak bisa membantah karna memang seperti itu. Sebetulnya, ada benarnya kita di sisi kepolisian tapi ada kritik disitu. Kita wawancara Busyro Muqoddas juga,
kutipan yang dimasukkan kebanyakan dari pemerintah.
Media indonesia mengkritik kepolisian untuk terlihat seolah-olah membela siyono. Media indonesia juga berhati-hati dalam memberitakan kasus ini karna bagaimanapun
Keberpihakan
9
Muhammadiyah juga, Din Syamsudin, kita wawancara mereka juga, mungkin porsinya yang tidak seimbang, karna kita mengkritik polisi jadi bahasanya kita tidak membela siyono tapi mengkritik polisi dalam konteks cara-cara mereka menangani teroris. Karna kita kritik polisi maka narasumber kebanyakan dari pemerintah dalam arti kita mempertanyakan secara kritis juga kepada polisi “kok begini sih?”. P: Karna teroris ini berita yang sensitif. Bagaimana media menjaga keobjektifan dalam sebuah pemberitaan? NS: Kan ideologi kita menolak terorisme, kita membela Siyono secara tidak langsung yang secara langsung itu kita mengkritik polisi. Jadi, bagaimana agar berita objektif maka bahasa yang paling tepat barangkali kita mengkritik polisi dengan demikian toh kita juga dalam tanda kutip kelihatan seolah-olah membela siyono secara tidak langsung karna dia ada indikasi kan, diawal-awal kita juga mengatakan itu. P: Jadi? Beritanya tetap menekankan hanya pada satu kelompok saja dong? NS: Jadi gitu, coba misalnya berita tentang Arcandra media akan berbeda-beda cara memberitakannya, Kompas akan berbeda dengan Media Indonesia, Republika dengan MI akan berbeda. Objeknya sama kan? Tapi bisa berbedabeda itu menunjukkan subjektivitas. Ada momen yang sama, tapi kemudian begitu turun sebagai berita itu akan berbeda-beda. Kalau beritanya
siyono memiliki indikasi sebagai teroris.
Media indonesia menyatakan bahwa berita itu bersifat subjektif dan tidak ada berita yang objektif karena dipengaruhi ideologi media itu sendiri.
Hierarki pengaruh, bahwa ideologi mempengaruhi pemberitaan.
10
11
12
Peneliti tidak menanyakan lebih lanjut apakah ada sanksi jika ada pelanggaran dalam penulisan berita tentang terorisme.
objekif maka akan sama hasilnya ketika jadi berita. Pada dasarnya, tidak ada berita yang objektif karena dipengaruhi juga oleh ideologi. Tapi ada prinsip-prinsip keberimbangan, tapi soal porsinya kan urusan kita, tergantung kemana kita berpihak. P: tapi dalam penulisan berita, ada peraturan yang diberikan oleh pemerintah atau tidak sih bagaimana cara menulisnya, sudut pandang mana yang harus dipakai? NS: Ada dari AJI itu ada buku pedoman untuk menulis berita tentang terorisme dan ada buku code of conduct itu juga bagus untuk menjadi pedoman P: menurut anda, bagaimana cara penulisan berita terorisme yang baik? Atau mendekati objektif lah. NS: Mengikuti buku pedoman yang diberikan oleh AJI, itu salah satu cara yang bagus, saya baca buku itu dan saya kutip juga isi buku itu. Nomor satu, saya kira semua media punya kebijakan dalam meliput terorisme tapi yang jelas adalah dua prinsip itu saya kira kita harus ada bersama-sama negara dalam memberantas terorisme. Kedua, kita tidak memberi ruang kepada mereka secara berlebihan, sebab jika kita memberi ruang kepada teroris, keluarga atau pendukungnya, itu kita ikut menyebarkan terorisme sebetulnya dan kita kan punya tanggung jawab sosial, saya kira cukup dua hal itu saja yang kita terapkan. P: dalam artikelnya, media indonesia menulis kelompok JI adalah kelompok separatis. Apakah itu merupakan salah satu strategi untuk memojokkan kelompok tersebut?
Media indonesia Kode etik jurnalistik menggunakan buku pedoman penulisan terorisme yang dikeluarkan oleh AJI dan buku etika perusahaan/code of conduct Agar berita tentang Kode etik jurnalistik terorisme bersifat objektif, media indonesia mengikuti pedoman dari AJI. Pertama, media harus bersama pemerintah memerangi terorisme dan tidak memberi ruang secara berlebihan kepada teroris.
Media indonesia mengkonfirmasi bahwa pemakaian kata separatis memang untuk
Marjinalisasi
13
NS: Iya, mengkritik mereka, menyerang mereka, melawan mereka, karna kan tadi ideologi kita kebangsaan. Kalau dia separatisme dalam artian ingin mendirikan negara islam itu harus kita tentang, bertentangan dengan ideologi yang kita anut. P: Tadi kan katanya, Media Indonesia sebenarnya membela siyono dan kasus ini unik. Bagaimana dengan kebijakan MI yang tidak mewawancarai keluarga teroris? apa keluarga siyono tetap tidak mendapatkan ruang? NS: Bisa, tapi tidak dalam konteks terlalu mendalam, terlalu luas, paling kita hanya mengkonfirmasi memenuhi asas keberimbangan tadi. Tapikan kita melihat perlu gak sih. Kalau diperlukan ya kita wawancara, tapi seperti apa pertanyaan-pertanyaan kita, karna kalau kita memberikan kesempatan mereka, mereka akan memanfaatkan kita sebagaimana mereka menunggangi demokrasi untuk merebut kekuasaan. P: Kenapa sangat jarang muncul pendapat dari tim advokasi? Apa mereka terlalu mendalam membahas kasus ini? NS: Saya kira persoalan ini adanya bukan di tim advokasi, tapi ada di pemerintah sehingga kita lebih banyak mempertanyakan kenapa sikap pemerintah malah menembak dan sebagainya. Dalam proses kasus Siyono ini saya kira Media Indonesia juga hati-hati karena dia ada indikasi dia itu teroris, jangan sampai ada kesan kita membela
memojokkan kelompok JI.
Media indonesia bisa saja memberikan ruang kepada keluarga siyono kalau itu benar-benar diperlukan. Jika ada, sifatnya hanya untuk konfirmasi. Media indonesia melihat bahwa titik berat kasus ini adalah kepolisian, bukan tim advokasi. Jadi pendapat tim advokasi sangat sedikit.
Prinsip keberimbangan berita,
14
15
terorisme tapi sebetulnya kita ingin mengkritik cara-cara polisi dalam menangani orang yang diduga teroris. P: Bagaimana cara Media Indonesia memastikan kalau Siyono memang teroris? Data yang diberikan oleh polisi dalam bentuk apa? Karna informasi seperti ini kan tidak diberitahukan secara terbuka. NS: Mereka ada konferensi pers, wawancara dan door stop juga ada. Siyono ada indikasi teroris karna sudah ada indikasi kuat, tapi tetap belum ada persidangan. Data yang diberikan polisi ke kita (pers) juga lumayan kuat indikasinya, mulai dari cara berpakaian dan memang ada indikasi yang kuat dan polisi saya kira tidak salah tangkap. Dia menangkap benar karna ada indikasi itu, tapi dia salah dalam prosesnya, mungkin dipaksa mengaku atau emosi kita tidak tahu. P: Jika ditinjau dari siapa pemilik Media Indonesia, yaitu Surya Paloh dan background beliau (pendiri Forum Komunikasi Putra-putri ABRI, pemilik Media Group yang di dalamnya ada Metro dan Media Indonesia, Koran Lampung dsb. Pendiri Partai Nasdem). Lalu saya menyimpulkan bahwa Media Indonesia sangat mungkin menjadi media untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan pemilik dalam hal ini sudut pandang dalam melihat kasus Siyono? Apa benar begitu? NS: Tidak, tidak ada campur tangan Surya Paloh sama sekali, karna beliau memang sudah tidak pernah ke kantor. Kalaupun pernah beliau hanya
Media indonesia mendapatkan informasi tentang siyono dari konferensi pers dan wawancara pihak kepolisian. Siyono memiliki indikasi yang kuat sebagai teroris jika dilihat dari laporan kepolisian.
Media indonesia menganut Ideologi media ideologi yang dimiliki oleh pemiliknya yaitu Surya Paloh, yaitu menghargai kebangsaan dan keberagaman. Ideologi tersebut yang mempengaruhi pemberitaan.
menyarankan dan selebihnya dikembalikan pada peserta rapat, siapa saja boleh berpendapat dan berdebat. Lagipula jadi ketua forum komunikasi ABRI itu kan sudah lama. Beliau membebaskan kepada kita asalkan ideologi dan pandangan kebangsaan, menghargai keberagaman, dan nilainilai atau pandangan beliau tetap digunakan sebagai acuan.
Lampiran 6 OPEN CODING – TRANSKRIP WAWANCARA Narasumber 2 (Republika)
Topik riset
: Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada Media Indonesia Edisi 5 April dan Republika Edisi 2 April 2016
Wawancara dilakukan pada hari Senin, 29 Agustus 2016 pukul 13.30 – 14.30 WIB Konsep No 1
: Fungsi Media, Objektivitas, Ideologi, Hierarki Pengaruh, Kode Etik Jurnalistik Refleksi diri peneliti
Isi transkrip
Perkenalan diri peneliti
P: pekenalkan pak, saya Anisa mahasiswa UIN Jakarta, jadi saya sedang mengerjakan skripsi yang membahas tentang analisis wacana kematian terduga teroris Siyono. Langsung saja ya pak. NS: Iya silakan. P: bagaimana alur pemberitaan dalam republika? NS: Biasanya kalau ada pemberitaan seperti itu, malam hari setelah selesai ngedit, selesai layout, selesai percetakan kami adakan rapat kecil untuk menentukan agenda besok berita apa yang akan naik. Kemudian kami kirimkan agenda tersebut ke newsroom. Newsroom itu disini badan yang mengatur lalu lintas reporter, lalu newsroom yang membagi-bagikan agenda ini kepada reporter untuk dicari beritanya. Nanti sekitar jam 12 siang kita rapat lagi untuk menanyakan bagaimana
Keterangan Alur berita di republika menggunakan sistem newsroom. Peserta rapat yang menentukan berita dari level redaktur hingga redpel lalu diberikan ke kepala newsroom untuk dibagikan ke reporter. Tugas pimred lebih ke hubungan media dengan pihak eksternal. Keputusan berita yang akan naik ada pada diskusi
Kategori / konsep Rutinitas media
perkembangan berita ini atau kami juga tanya ada dan pemegang keputusan berita yang lebih bagus atau tidak daripada agenda tertinggi rapat ada pada yang sudah kami tetapkan. Kalau tidak ada nanti waredpel. jam 14.00 WIB kita rapat lagi untuk menuntaskan agenda tersebut, misalnya kita menemukan perkembangan baru atau ada peristiwa baru itu nanti kami pastikan diganti atau tidak, seperti itu. Yang ikut rapat untuk menentukan agenda itu dari redaktur sampai redpel. Jadi pimred tugasnya lebih ke hubungan media dengan pihak eksternal walaupun tidak melepaskan kewenangan di internal. P: Biasanya dalam rapat, siapa pemegang keputusan tertinggi dalam rapat? Misalnya dalam menentukan headline dan berita yang akan masuk besok? NS: Tentu jika secara hierarkis dan struktural, secara de jure nya pimred, tapi secara de facto biasanya kami punya suara yang sama besar. Biasanya pimred hanya mengecek akhir-akhir saja, dia jarang ikut rapat. Kalau ada diskusi yang benar-benar besar kita akan kasih report dan itu pun jarang sekali. Lebih sering kita berdebat secara sehat siapa yang paling masuk akal dia yang menang. Yang menentukan biasanya waredpel. Perserta rapat biasanya ada rapat waredpel, asredpel, dan redaktur juga. Tapi tidak dalam setiap kesempatan pendapatnya redpel dipakai, kami masih bisa membantah dan mengganti pandangan. Siapa argumennya yang paling kuat dan yang paling masuk akal. Hanya beberapa kali
2
3
yang saya ingat pimred memberikan titah besok beritanya akan seperti apa. P: Biasanya berita yang masuk halaman depan atau jadi headline itu kriterianya apa saja sih? NS: Kita tidak punya kriteria baku karena tidak seperti media lain. Republika lebih suka menonjolkan isu dia sendiri. Katakanlah seperti kasus Siyono, itu kan kasusnya tiba-tiba, proximitasnya juga tidak jauh hanya di Klaten saja, beritanya juga tidak terlalu besar, tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Tapi kami terus maju saja dan walaupun media lain tidak mengikuti masa bodoh kita maju karena kita anggap ini penting. Republika jarang sekali buat headline berdasarkan selera pasar, kami usahakan seperti itu kecuali kasus atau peristiwa yang benarbenar nasional seperti reshuffle kabinet. Kalau kondisi sedang landai seperti ini kami lebih memperjuangkan agenda kami, jadi apa yang mau dimasukkan ya suka-suka kami saja, mau koran tidak ada yang memberitakan, TV tidak ada yang beritakan, mau orang-orang tidak baca, kami beritakan kasus itu sampai selesai. Republika lebih memilih isu kita sendiri daripada harus ikut-ikutan orang lain. Katakanlah Siyono salah satunya, dengan dorongan Republika jadi ada autopsi dan segala macam. Jadi, yang masuk di halaman depan adalah isu yang kami perjuangkan dan kami anggap penting. P: beberapa kali republika menjadikan kasus siyono ini sebagai headline, apa alasannya? NS: Sebenarnya soal konsistensi saja. Kalau
Republika tidak memiliki kriteria khusus untuk menentukan berita apa yang akan masuk headline dan memiliki agenda sendiri. Tapi hal tersebut tidak berlaku jika ada isu nasional yang sangat penting seperti reshuffle kabinet.
Nilai-nilai berita
Alasan republika memasukkan berita tentang Siyono ke dalam
Ideologi media terhadap terorisme
Republika kan bagaimanapun pandangan kami terhadap terorisme itu kriminal. Dari awal berita terorisme yang kita sepakati adalah terorisme harus dipandang sebagai kriminalitas luar biasa tapi kita tidak sepakat dengan cara-cara Amerika Serikat, Singapura, Malaysia dimana mereka menganggap ini sebagai kondisi kedaruratan bangsa dimana TNI bisa turun, penahanan tanpa batas bisa diberlakukan, tindakan-tindakan vonis hukum bisa dilakukan. Republika memandang hal tersebut bisa menambah simpatisan teroris. Jadi seperti itu, kami khawatir jika kasus-kasus seperti Siyono ini dibiarkan akan menjadi banyak orang yang melakukan simpati terhadap terorisme.
headline karena republika ingin mengkritik pihak pemerintah dan menunjukkan ketidaksepakatannya dengan aturan pemberantasan terorisme dengan cara-cara seperti Amerika.
Dalam pemberitannya Republika ingin memberitahukan bahwa densus 88 seringkali bertindak sewenangP: Kalau terorisme dilihat sebagai kriminalitas, wenang terhadap terduga lalu kenapa beritanya kebanyakan adalah Siyono? teroris dan banyak Bukannya Siyono adalah aktor yang disebut beritanya yang tidak teroris? diangkat ke publik padahal NS: Iya karena disini kita mendapatkan kasus yang hal tersebut adalah benar-benar ada saksi mata dan mengkonfirmasi pelanggaran HAM bahwa ia dibunuh tanpa proses hukum. Sebelumnya sudah banyak dan kami sering membuat rekapitulasi soal berapa banyak terduga teroris yang mati tanpa proses hukum, yang dihilangkan nyawanya dengan extrajudicial killing, diluar keadilan, diluar ada keputusan bahkan belum disangkakan. Masyarakat harus tahu bahwa di Indonesia tidak punya status terduga. Mengapa? Karena kita menganut asas praduga tak bersalah, yang ada hanya tersangka. Nah orangorang yang dibunuh kemudian adalah warga
negara biasa karna mereka secara hukum belum dapat status tersangka, sementara kita secara hukum tidak ada status terduga, walaupun mereka salah.
4
Siyono ini sebenarnya hanya puncak gunung es, kami sudah melihat kecenderungan ini sejak 2009 atau 2008, kita memang sudah cukup lama memperhatikan Densus 88 melakukan hal seperti ini. Kita sering mendapat cerita di Poso, Lombok, Makassar, di Tangerang dengan alasan bahwa para “terduga” memegang senjata kemudian dibunuh oleh polisi. P: Menurut informasi yang saya baca, siyono memiliki indikasi yang kuat sebagai teroris, ikut gerakan JI dan gerakan tersebut termasuk gerakan separatis, apakah hal tersebut tidak dilihat oleh republika? NS: Sekarang apakah indikasi polisi sudah menjadi produk hukum yang sah di Indonesia sebelum ada keputusan dari pengadilan. Polisi pun juga banyak melakukan SP3 misalnya memberhentikan kasus karena apa yang disebut polisi itu bukan menjadi hukum, tapi baru dugaan atau sangkaan mereka. Bagaimana cara membuktikan dugaan tersebut? Bawa ke pengadilan, itu yang kami sorot dari kasus Siyono. Kenapa kasus Siyono ini kemudian jadi demikian massive? Karena ada Muhammadiyah yang bergerak total bilang “cukup, kita tidak bisa seperti ini lagi” sebagai negara kita tidak bisa melakukan hal seperti ini karena secara kematian
Republika berpendapat bahwa indikasi polisi belum bisa dijadikan pijakan yang sah untuk mengambil keputusan eksekusi dan men-cap seorang bersalah. Karena indonesia adalah negara hukum, maka terduga teroris seperti Siyono juga patut mendapatkan perlindungan hukum dan proses pengadilan sebelum dieksekusi. Republika setuju untuk memberantas terorisme
Siyono benar-benar mencurigakan, ditangkap lalu ditemukan luka-luka setelah diautopsi ada tanda kekerasan dan hal seperti itu.
tapi dengan cara-cara yang dilakukan harus berada dalam koridor yang benar.
Sebenarnya dalam banyak hal, Republika tidak hanya berbicara tentang Siyono semata, kami berbicara soal mengembalikan tanggungjawab Densus 88 untuk melakukan penindakan secara prosedural dan proses hukum yang pantas. Kadang-kadang penindakan terorisme itu kan melekat dengan ketakutan masyarakat, saat masyarakat takut dengan terorisme, kerap kali aparat keamanan seperti memiliki justifikasi untuk melakukan hal-hal yang diluar hukum yang semestinya. Hal tersebut terjadi di Amerika, bagaimana mereka mengaku negara demokrasi tetapi menahan begitu banyak orang-orang yang tanpa disidang dimasukkan ke tahanan. Kemudian dengan Malaysia dia punya ISA (Internal Security Act), mereka bisa menahan orang-orang tanpa dakwaan dan sangkaan dalam waktu-waktu tertentu. Hal-hal seperti itu kami pikir katakanlah kita takut dan masyarakat takut akan terorisme, dan kemudian kita berhak memberikan cek kosong kepada aparat keamanan untuk melakukan tindakan-tindakan seperti itu, penindakan yang sangat potensial untuk mengganggu kebebasan kita secara hakiki, kita punya kebebasan hak asasi manusia, kebebasan kita sebagai warga negara, hal tersebut yang coba kami kawal.
Siyono tetap dinilai tidak bersalah karena dia dieksekusi sebelum ada persidangan. Walaupun Siyono memiliki indikasi yang kuat tapi tetap tidak terbukti secara hukum kalau dia teroris.
Oke kita sepakat untuk memberantas terorisme,
tapi kita juga sepakat bahwa pemberantasan tersebut harus berada dalam koridor yang benar. Melakukan hal baik dengan cara yang tidak baik kita tidak tahu dampaknya akan seperti apa. P: Jadi menurut republika siyono ini tidak bersalah? NS: Saya tidak bisa bilang tidak, tapi Siyono belum bersalah. Karena demikian kita punya prosedur hukum, kita tidak bisa bilang orang bersalah sebelum hakim mengatakan dia bersalah. P: Kalau ternyata siyono terbukti bersalah, bagaimana tanggapan anda? NS: Tidak masalah, kita tidak akan membela. Yang kita soroti bukan salah tidaknya Siyono, tapi kenyataan bahwa dia dibunuh sebelum ada ketentuan yang pasti bahwa dia salah atau tidak. Kalaupun Siyono salah, silahkan bawa ke pengadilan, hukum mati kalau perlu jika dia bersalah. Tapi dilakukan dengan cara-cara yang prosedural, yang kita tahu dan transparan sehingga masyarakat tidak bertanya-tanya lagi. P: Jadi secara umum pandangan republika melawan terorisme tapi dengan mengawasi bagaimana cara densus melakukannya? NS: Iya hal itu juga yang kami sarankan ke Mabes Polri, mereka kemudian membuat konferensi pers, dibilangnya orang yang membela Siyono membela teroris. Kami pikir cara-cara seperti itu mirip sekali dengan cara-cara orde baru, benar-benar
5
6
Amerika. You’re either against us or with us, kau melawan kami atau bersama kami. Padahal tidak seperti itu, kita negara hukum, kita punya daerah abu-abu disitu, kita tidak bisa berbuat apa-apa sebelum terbukti bersalah, itu yang mau kita tegakkan. P: Dengan memasukkan banyak pendapat dari LSM, tim advokasi Siyono, memangnya tidak takut dibilang pro terorisme karena kan basis Republika juga media islam dan Siyono orang islam? NS: Saya pikir kepolisian tahu dan paham rekam jejak Republika, kepolisian sangat concern tentang pemberitaan terorisme pasti mereka memantau pemberitaan Republika dari jaman dulu sampai sekarang. Saya pikir mereka juga tahu Republika bukan pro terorisme dan tahu bagaimana kami justru berada di garda paling depan dan bagaimana kami termasuk salah satu yang paling mendorong bagaimana radikalisme itu ditekankan dengan cara-cara yang soft power. Mereka pasti paham, jadi kami tidak takut dibilang koran yang pro terorisme karena kami percaya diri memiliki rekam jejak yang mapan soal perlawanan terhadap terorisme. Jadi sama sekali tidak ada ketakutan dan kami jelaskan disitu kita menggunakan narasumber memang bukan persoalan kita pro atau kontra terhadap terorisme. Kita pro sama hak asasi manusia. P: Republika menuntut revisi Undang-Undang Terorisme. Hal apa yang ingin Republika tuntut dari RUU Terorisme tersebut?
Republika tidak ada kekhawatiran akan di cap sebagai media yang pro dengan terorisme karena menurutnya republika sudah memiliki jejak yang mapan tentang perlawanannya terhadap terorisme. Republika lebih menyoroti bahwa ini kasus pelanggaran HAM.
Dalam wacana perubahan RUU terorisme republika memberikan
Kritik terhadap pemerintah – fungsi media
7
NS: Republika tidak mendorong revisi undangundang terorisme. Darimana saya bisa katakan ini, satu saat bom Thamrin meledak kita memberikan asumsi dasar kami tidak takut. Kenapa kami tidak takut? Agar ketakutan kami tidak dipakai pemerintah untuk merevisi dan mengeluarkan regulasi-regulasi yang berdasarkan ketakutan kita karena itu berbahaya. Saat kita takut lalu melakukan tindakan-tindakan tertentu saya kira banyak potensi bahwa kita melakukan hal itu dengan irasional dan saat kita mengeluarkan regulasi-regulasi didasari sifat-sifat seperti ketakutan, kebencian, kemarahan outcome-nya akan mengerikan. Kita abai tiba-tiba saat kita sadar, kita sudah tidak takut dan kita baru sadar kalau itu salah, itu yang kami katakan “kami tidak takut”. Jika anda lihat dua hari kemudian kami mengeluarkan headline soal revisi UU Terorisme, banyak kami buat batasan-batasan disitu, katakanlah kita susah menahan gelombang revisinya. Tapi kita perlu memberikan batasan juga mana yang harus direvisi dan mana yang tidak. Jangan membuat penanganan yang terlalu represif, hati-hati melibatkan TNI seperti itu yang kami sampaikan. P: Jadi bisa dikatakan kalau dalam kasus ini terbagi menjadi dua kubu ya antara Siyono dan pihak kepolisian? NS: Sebenarnya bukan dengan Siyono, tapi dengan Muhammadiyah karena pernah ada kabar dari polisi kalau keluarga sudah tidak mau diautopsi. Tapi kan aktivis HAM dari UI,
pandangannya bahwa penindakan terorisme harus diberikan batasanbatasan, dan hal tersebut yang ditegaskan oleh republika. Sehingga jangan sampai memberikan tindakan yang terlalu represif dan berhatihati dalam melibatkan TNI.
Menurut republika kasus ini melibatkan kubu muhammadiyah/ tim advokasi dan pemerintah. Republika mempertahankan berita ini
Muhammadiyah, dari Komnas HAM, Kontras mereka yang membuat koalisi dan kalau mau dilihat antagonis dan protagonis ini polisi mewakili pemerintah dan Muhammadiyah serta tim advokasi mewakili keluarga Siyono dan mereka sebenarnya bukan soal keluarga Siyono yang menuntut keadilan semata tapi lembagalembaga HAM ini yang mempertanyakan absah tidak sih cara penanganan seperti ini. Jadi bukan sekedar salah atau tidaknya Siyono. Jadi yang kelihatan mengkritik sebenarnya tim advokasi bukan keluarga Siyono.
8
Keluarga Siyono saya pikir seperti kebanyakan keluarga terduga teroris lainnya yang dibunuh yang mengikhlaskan anggota keluarganya meninggal. Jadi kenapa Republika bisa bertahan lama memberitakan ini karena pergerakan dari Muhammadiyah dan Tim Advokasi ini begitu gencar, mereka bisa membuat kontinuitas dari pemberitaan. Kalau hanya dari tim keluarga mungkin sudah selesai satu hari esok kita tidak tahu mau ngomong apa lagi. P: Apakah ada kaitan antara berita yang dikeluarkan oleh republika dengan visi misi republika yang “membela kepentingan umat islam”? NS: Jelas, saya tidak bisa menyembunyikan hal tersebut karena kan terus terang saja umat islam akan menjadi komunitas yang paling dirugikan jika perlawanan terorisme dilakukan secara serampangan. Bahkan BNPT dan Densus 88
karena adanya perjuangan yang dilakukan secara konsinsten oleh tim advokasi.
Republika mengkonfirmasi bahwa ada kaitan antara berita yang dikeluarkan dengan visi misi republika. BNPT dan densus 88 memiliki kategori soal terorisme yang
Ideologi
punya kategori soal terorisme yaitu terorisme adalah radikalisme yang didasari ideologi keagamaan, bukan kita yang menekankan itu, tapi BNPT dan Densus 88 sendiri yang melekatkan itu dengan islam. Mereka tidak bilang itu islam tapi kita tahu itu islam.
9
10
Bukan hanya orang islam sebenarnya tapi banyak komunitas yang akan disasar jika kita membiarkan aparat bersikap seperti itu. banyak orang-orang islam yang mungkin tidak bersalah bisa masuk penjara, saya pikir disitu kaitannya dengan kepentingan ummat. P: Kalau untuk menulis berita, adakah buku pedoman yang digunakan oleh republika untuk menulis isu terorisme? NS: Kalau saya dan beberapa teman saya yang lain sudah tergolong sering ikut seminar BNPT. Mereka biasanya mengadakan seminar setahun sekali tentang jurnalisme teroris, bagaimana menulis berita tentang terorisme. Sayangnya memang terkadang yang melanggar kriteria itu pemerintah sendiri. Katakanlah tidak boleh menyebut teroris dengan terduga teroris, tapi itu mereka lakukan. Harusnya langsung sebut nama. Kita tidak bisa bilang terduga dan kita tidak bisa berspekulasi tentang terorisme tapikan pihak keamanan sendiri yang membuat cap-cap seperti itu untuk melegitimasi tindakan mereka yang kadang diluar kewajaran. P: lalu kalau begitu, bagaimana cara menulis berita terorisme yang objektif?
memojokkan islam. Walaupun sebenarnya bukan hanya islam, tapi akan banyak komunitas yang disasar jika aparat dibiarkan bersikap seperti itu.
Republika sering mengikuti seminar tentang bagaimana memberitakan isu terorisme yang diadakan oleh BNPT.
Kode etik pemberitaan
Sangat disayangkan bahwa pihak pemerintah yang sering melanggar peraturan tersebut.
Sulit menulis berita terorisme yang objektif
Objektivitas
NS: Itu yang sukar, saya pikir pemberitaan tentang terorisme adalah berita yang paling tidak objektif di Indonesia karena hampir semua media hanya mendapatkan sumber hanya satu saja dari pemerintah. Saat kita mencoba mengambil sumber selain pemerintah, katakanlah Republika dalam kasus Siyono malah dicap sebagai pro terorisme. Itu yang mengkhawatirkan, kalau kita tidak ketergantungan terhadap polisi itu akan menjadi berita yang bagus sekali. Waktu itu kami pernah punya wartawan yang menulis berita tentang penangkapan teroris tanpa sekalipun mengutip pihak polisi dan hanya mengutip dari saksi mata dan keluarga, hasilnya sangat bagus dan anehnya 360 berbeda dengan versi kepolisian dan benarbenar cerita yang lain. P: Tapi bukankah hal yang wajar ya pak kalau keluarga memberikan keterangan yang cenderung membela? NS: Memang keluarga kebanyakan akan membela, tapikan kita punya hak untuk menampilkan kedua suara. kalau kasus terorisme ini banyak penindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalam kegelapan. Misalnya mereka tiba-tiba sudah mati baru diberitakan ke pers. Ini masalah di jurnalisme kita, di Indonesia bahwa penanganan tentang terorisme itu sangat sulit diberitakan secara objektif karena sejauh ini informasi masih dipegang erat oleh kepolisian, banyak stigma yang kita dapatkan ketika kita coba menggali hal-hal di luar versi resmi dari kepolisian. Beberapa
karena ketika pihak media mengambil keterangan dari pihak selain pemerintah akan di cap sebagai media yang pro terorisme. Republika berusaha melakukan investigasi sendiri terkait pelaku teroris dan sering menemukan fakta yang berlawanan dengan versi kepolisian. Menampilkan suara dari keluarga Siyono adalah upaya republika untuk menyuarakan opini pihak yang dipojokkan. Menurut investigasi yang dilakukan republika, latarbelakang para teroris bukan pada pemahaman agama yang radikal tetapi lebih kepada sisi perekonomian. Kebanyakan para pelaku teroris adalah orang cerdas dan berbakat tetapi tidak memiliki akses untuk
11
wartawan kami juga pernah dikuntit sama polisi karna mereka mencoba menanyai keluarga terduga. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengambil dari tepian kasus, dari kasus bom Thamrin kita belajar melakukan hal tersebut seperti misalnya kita pernah membuat tulisan panjang cerita tentang bom tersebut dengan menggali informasi dari keluarga-keluarga pelaku walaupun hasilnya tidak jauh berbeda dengan kepolisian tapi banyak hal yang kita dapat ketika melakukan investigasi sendiri, karena narasi kepolisian kebanyakan pelaku itu karena didorong oleh radikalisme agama, didorong oleh pemahaman yang salah tentang agama. Tapi setelah kita telusuri ke keluarga pelaku banyak dari mereka yang menganggap ini masalah perekonomian, keputusasaan bahwa mereka punya potensi tapi tidak bisa maju hidupnya. Jadi kita membuat narasi lain karna kita mendapatkan kenyataan dan latar yang mengejutkan seperti itu bahwa orang ini bukan hanya ekstremis agama tapi mereka orang yang berbakat yang dipangkas kesempatan untuk majunya. P: Jadi mewawancarai keluarga korban adalah hal yang dilakukan oleh republika untuk katakanlah membela ummat? NS: Membela ummat adalah kata-kata yang terlalu besar, tapi niatan kami seperti itu, membantu ummat yang posisinya terpojok. Kita mencoba memberitakan yang terbaik untuk ummat. P: Apakah pandangan untuk memberitakan ummat
menunjukkan bakat dan kemampuannya sehingga merasa stuck pada kehidupan yang itu-itu saja.
Dengan pemberitaan yang seperti ini, republika membantu kelompok yang posisinya terpojok. Pandangan tersebut dipengaruhi juga oleh ICMI sebagai salah satu pendiri republika.
Ideologi
yang terpojok ini dipengaruhi oleh pendiri Republika seperti ICMI atau visi misi Republika? NS: Sukar dikatakan karena evolusi kami ini kan sudah sedemikian panjang dari tahun 1991 sampai sekarang. Entah kenapa nilai-nilai seperti itu seperti sudah ada saja, jadi kalau anda lihat disini orang beragam tapi saat jatuh ke pemberitaan, tiba saatnya menulis berita hasilnya sama seperti yang kita sepakati sama-sama karena kita berbicara atas nama Republika terlepas dia berlainan pendapat dan berdebat saat rapat. Alhamdulillah berita yang keluar menghasilkan berita yang sesuai dengan visi misi atau prinsip.
12
Secara garis besar moderasi, islam kebangsaan adalah Republika kan, kita moderat kita islam moderat kita mengutamakan kebangsaan. Tapi, seperti hal yang tidak tertulis saja susah dijelaskan dan sudah menjadi kesadaran kolektif yang secara tidak sadar ada dalam diri kami sendiri. Jadi ketika ada wartawan ke lapangan melihat suatu peristiwa tidak melihat dari mata dia sendiri, tapi sudah melihat dari mata Republika. Manfaatnya memiliki institusi yang agak lama ya seperti itu. P: Apakah benar narasumber yang kebanyakan dari Tim Advokasi memang sengaja dibuat seperti itu untuk mendukung Siyono dan kalaupun ada dari pemerintah yaitu yang mendukung kalau Densus bisa dipidana? NS: Iya, itu pilihan yang sadar yang menurut kami memiliki etika jurnalistiknya, ada polisi dan tim advokasi soal porsinya itu urusan kami. Karena ini
Memiliki institusi yang cukup lama berpengaruh pada bagaimana wartawan melihat suatu berita. Jadi ketika ada sebuah peristiwa yang terjadi, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang republika.
Tim republika memang berniat mengangkat tim advokasi dalam pemberitaannya. Republika mengatakan bahwa tidak ada berita yang objektif. Yang
Objektivitas
kan bukan cuma soal keberpihakan, ini kan soal Siyono yang menggugat bukan soal polisi yang menggugat dan kita dalam hal ini memang saya tidak bisa bohong bahwa kami mencoba mengangkat tim advokasi, kita coba kasih suara demikian jadi pemilihan narasumbernya kami sesuaikan dengan agenda. Tentu kami juga mengikuti etika-etika jurnalistik.
13
P: Jadi kalau begitu menurut anda berita itu tidak ada yang objektif? NS: Tidak ada lah, yang objektif itu metodenya. Harus bisa dibedakan antara objektivitas tone pemberitaan dengan objektivitas metode. Kalau objektivitas dalam metode itu kami harus ikut dan kita tidak bisa mengabaikan hal tersebut. Intinya kami adalah entitas yang harus tunduk pada hal tersebut, objektivitas metode. Tapi tidak ada media yang punya objektivitas tone atau kecenderungan objektivitas agenda. Itu kami nilai sebagai privilage, katakanlah wartawan kami tahu lebih dulu daripada masyarakat. Jadi kadang sombongnya media seperti itu, mereka merasa memiliki hak untuk memberi porsi tertentu terhadap kecenderungan tertentu. P: bukannya seharusnya media ada bersama pemerintah untuk memberantas terorisme? NS: Oke kita sepakat dengan hal itu, tapi masalahnya ada perbedaan pandangan soal bagaimana cara yang paling efektif untuk memberantas terorisme. Apakah dengan cara pemerintah dengan bunuh-bunuhin orang atau
objektif adalah metodenya.
Republika memiliki cara sendiri untuk memberantas terorisme. Menurutnya dengan cara merangkul orang-orang dan mengajak kembali ke jalan yang lebih damai adalah cara
dengan cara Republika yang lebih damai, mencoba merangkul orang kemudian mengajak mereka kembali ke jalan yang lebih damai atau dengan penegakan hukum yang saklek yang tidak melanggar HAM, apakah mau melibatkan TNI? Kan ada banyak cara. Sekarang tujuannya samasama memberantas teroris tapikan upaya seperti itu dalam beberapa hal bisa memunculkan teroristeroris baru. P: Kalau Republika banyak memberitakan Siyono dengan mengatakan itu pelanggaran HAM, apakah tidak akan memunculkan teroris-teroris baru yang akan melindungi dirinya atas nama pelanggaran HAM? NS: Justru sebaliknya, saat kita membiarkan pemerintah berlaku seperti kepada Siyono, katakanlah jika mereka salah anak-anak Siyono, anak-anak TK yang melihat Densus mengobrakabrik rumahnya Siyono, anda pikir mereka tidak ada potensi menjadi teroris bila cara-cara ini dilakukan terus? Katakanlah umat islam yang di Poso yang islamnya moderat lalu tiap hari melihat tentara membunuh orang islam, apakah mereka jadi teroris? Kalau kita membiarkan pemerintah yang sewenang-wenang ini apakah kemudian teroris akan habis? Buktinya tidak kan. Kita sudah melakukan pemberantasan seperti ini sejak tahun 2010 dan hasilnya malah tambah banyak. Itu yang kami lihat bahwa penindakan yang total dengan kekerasan seperti itu berbahaya dan akan memunculkan teroris baru.
yang lebih baik. Menurutnya, pemberantasan terorisme dengan cara yang agresif dapat menumbuhkan teroris-teroris baru. Dengan memberikan ruang kepada perjuangan yang dilakukan oleh tim advokasi diharapkan dapat mengajak orang-orang yang putus asa terhadap hukum bisa percaya dan yakin bahwa kesewenangwenangan pemerintah bisa dilawan melalui cara yang legal.
Nah, saat kita menggunakan cara-cara hukum seperti yang dilakukan oleh Tim Advokasi Siyono dan keluarganya, sebagian orang yang putus asa dengan hukum mungkin berpikir bahwa mereka bisa menggunakan cara-cara yang legal untuk melawan kesewenang-wenangan seperti itu. kita tidak harus terjun dengan cara-cara yang brutal, dengan cara-cara yang kontraproduktif, dengan cara-cara yang malah melukai orang-orang yang tidak bersalah. Kami ingin menunjukkan ke orangorang bahwa ini negara hukum, kalian tidak perlu menjadi teroris untuk membela hak-hak, suara dan pendapat kalian. Ada cara-cara yang legal seperti yang dilakukan keluarga Siyono untuk memidanakan petugas polisi yang melakukan kesewenang-wenangan. Jadi jangan menyerah dengan lari ke hutan dan bikin kelompok bersenjata, ada cara-cara legal yang bisa kita tempuh untuk memperjuangkan suara kalian, apapun suara itu, kalian mau bikin syariat islam ya bikin parpol jangan ikut perang, itu yang ingin kami tunjukkan.
14
Memang debatable cara mana yang paling baik untuk memberantas terorisme. Tapi kami yakin kami juga sedang melakukan pemberantasan dengan cara kami sendiri. P: Waktu berdirinya Republika itu ada peran ICMI yang cukup besar di dalamnya apakah hal tersebut mempengaruhi pemberitan? NS: Secara prinsipnya masih, tapi secara
Refleksi pola pikir ICMI masih digunakan oleh republika dalam menulis beritanya.
Hierarki pengaruh
keorganisasian kan sejak 2001 kami sudah diambil alih oleh mahaka group. Jadi walaupun secara keorganisasian kami sudah tidak terikat lagi tapi secara visi dan misi masih ada. ICMI tidak bisa lepas dari Republika, Republika juga tidak bisa lepas dari ICMI karena mereka yang membidani kami jadi dalam satu dan lain hal pola pikir ICMI yang sering kami jawantahkan dalam pemberitaan soal islam yang harus bermandiri, soal umat islam yang harus berdaya, islam moderat yang lebih santun, yang pro terhadap kemajuan, yang pro terhadap kebangsaan, hal tersebut yang masih terbawa sampai sekarang di Republika. P: Apakah ada campur tangan atau intervensi dari Erick Thohir sebagai pemilik dari Mahaka Group? NS: Jarang sekali, apalagi untuk hal-hal yang teknis apalagi tentang pemberitaan di bidang polhukam dan ekonomi. Seringnya di olahraga, yang dia senang kalau kita mengangkat tentang prestasi bangsa. Tapi tidak jarang juga kami kritik di olahraga. Kalau tentang pemberitaan tidak sedemikian ketat. Kadang-kadang hal itu yang membuat kami bersyukur karena kami punya pemilik tidak ikut partai atau parpol, dia tidak punya perusahaan yang menggurita, jadi kami tidak punya kewajiban membela apa-apa. Kami tidak perlu takut untuk menaikkan berita tentang muhammadiyah. Paling waktu olimpiade, Erick itu kan ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOIL). Nah, waktu berita penyambutan nama dia gak ada sama sekali, disitu enaknya, kami tidak terikat
Tidak ada campur tangan pemilik (Erick Tohir) dalam menentukan angle berita kategori polhukam. Kalaupun ada, biasanya hanya pada kategori olahraga. Ketidakikutsertaan Erik Tohir dalam parpol dan ketiadaan perusahaan yang menggurita menjadi hal yang disyukuri oleh republika sehingga republika tidak ada tekanan beritanya harus berpihak kemana.
dengan hal-hal seperti itu. Jadi mau siapa pun presidennya baik itu SBY atau Jokowi sekarang kita melakukan kritis yang sama tajamnya karena tidak ada kedekatan. Kalau bisa dibilang Erick itu sangat dekat dengan Jokowi dan pemerintahan sekarang tapi dia tidak pernah menahan kami untuk melakukan kritik terhadap pemerintah. Selama saya tiga tahun memegang halaman satu, tidak habis dihitung sebelah jari dia mengarahkan untuk membuat berita ini dibuat lebih damai dong, yang ini dibikin lebih soft dong, jangan mengaduadu domba dong, paling hanya begitu-begitu saja komentar dia. Kalau di polhukam dia tidak pernah mengatur-atur pemberitaan.
Lampiran 7 AXIAL CODING “Analisis Wacana Kasus Kematian Terduga Teroris Siyono pada Media Indonesia Edisi 5 April dan Republika Edisi 2 April 2016” Dimensi: Rutinitas Media, Nilai Berita, Kebijakan Media, Ideologi, Objektifitas, Keberpihakan, Kode Etik Jurnalistik, Hierarki Pengaruh
No.
Kategori
1
Dimensi Latar Belakang
2
Rutinitas Media
Alur berita
3
Nilai Berita
Kriteria berita yang masuk headline
Media Indonesia (Narasumber 1)
Republika (Narasumber 2)
Nama: Usman Kansong Jabatan: Pimpinan Redaksi Media indonesia memiliki aplikasi yang bernama GPRS yang menghimpun berita dari seluruh wartawan Media Group. Kalau ada perubahan pada last minute, yang ikut mengambil keputusan biasanya di level asisten redaktur pelaksana ke atas. Tiap redaktur sudah bisa melihat layout beritanya dan berapa karakter yang harus dipenuhi karena layout sudah diberikan pada sore hari oleh tim artistik. Nantinya semua wartawan media indonesia dan metro tv akan tergabung menjadi wartawan Media Group. Kriteria yang akan masuk headline adalah berdasarkan nilai berita dan
Nama: Fitriyan Zamzami Jabatan: Redaktur halaman 1 Alur berita di republika menggunakan sistem newsroom. Peserta rapat yang menentukan berita dari level redaktur hingga redpel lalu diberikan ke kepala newsroom untuk dibagikan ke reporter. Tugas pimred lebih ke hubungan media dengan pihak eksternal. Keputusan berita yang akan naik ada pada diskusi dan pemegang keputusan tertinggi rapat ada pada waredpel.
Republika tidak memiliki kriteria khusus untuk menentukan berita apa yang akan
diskusi pada saat rapat.
4
Ideologi
Pandangan media terhadap isu terorisme
5
Kebijakan media
Strategi untuk melawan terorisme
6
Ideologi
Pandangan media terhadap berita kematian siyono
masuk headline dan memiliki agenda sendiri. Tapi hal tersebut tidak berlaku jika ada isu nasional yang sangat penting seperti reshuffle kabinet. Secara umum media indonesia melawan Republika setuju untuk memberantas dan memerangi tindakan terorisme dan terorisme tapi dengan cara-cara yang mencegah agar terorisme tidak terjadi. dilakukan harus berada dalam koridor yang benar. Memasukkan kutipan dari Republika memiliki cara sendiri untuk pemerintah dan pakar terorisme memberantas terorisme. Menurutnya termasuk strategi media indonesia dengan cara merangkul orang-orang dalam memberitakan isu terorisme. dan mengajak kembali ke jalan yang lebih damai adalah cara yang lebih Media indonesia memiliki kebijakan baik. untuk tidak mewawancarai keluarga teroris. Menurutnya, pemberantasan terorisme dengan cara yang agresif dapat Media indonesia tidak memberikan menumbuhkan teroris-teroris baru. kesempatan kepada kelompok yang mereka anggap menyerukan Dengan memberikan ruang kepada kekerasan dan keributan. perjuangan yang dilakukan oleh tim advokasi diharapkan dapat mengajak orang-orang yang putus asa terhadap hukum bisa percaya dan yakin bahwa kesewenang-wenangan pemerintah bisa dilawan melalui cara yang legal. Secara umum media indonesia Siyono tetap dinilai tidak bersalah mengkritik cara kerja densus 88 dan karena dia dieksekusi sebelum ada kepolisian dalam menangani teroris. persidangan. Walaupun Siyono memiliki indikasi yang kuat tapi tetap Media Indonesia setuju kalau Siyono tidak terbukti secara hukum kalau dia tersangka teroris. namun teroris. menyayangkan cara penangkapan yang dinilai gegabah. Karena indonesia adalah negara hukum, maka terduga teroris seperti
7
Objektivitas
8
Keberpihakan
9
Kode etik jurnalistik
10
Objektifitas
11
Hierarki pengaruh
Siyono juga patut mendapatkan perlindungan hukum dan proses pengadilan sebelum dieksekusi. Pemilihan narasumber Media indonesia membenarkan kalau Tim republika memang berniat kutipan yang dimasukkan kebanyakan mengangkat tim advokasi dalam dari pemerintah. pemberitaannya. Pembagian dua kubu Media indonesia mengkritik Menurut republika kasus ini yang menjadi aktor kepolisian untuk terlihat seolah-olah melibatkan kubu muhammadiyah/ tim dalam pemberitaan membela siyono. advokasi dan pemerintah. (Siyono/tim advokasi dan Media indonesia melihat bahwa titik Republika mempertahankan berita ini pemerintah/kepolisian) berat kasus ini adalah kepolisian, karena adanya perjuangan yang bukan tim advokasi. Jadi pendapat dilakukan secara konsinsten oleh tim tim advokasi sangat sedikit. advokasi. Pedoman penulisan Media indonesia menggunakan buku Republika sering mengikuti seminar berita terorisme pedoman penulisan terorisme yang tentang bagaimana memberitakan isu dikeluarkan oleh AJI dan buku etika terorisme yang diadakan oleh BNPT. perusahaan/code of conduct Sangat disayangkan bahwa pihak pemerintah yang sering melanggar peraturan tersebut. Menulis berita yang Agar berita tentang terorisme bersifat Sulit menulis berita terorisme yang objektif mengenai isu objektif, media indonesia mengikuti objektif karena ketika pihak media terorisme pedoman dari AJI. Pertama, media mengambil keterangan dari pihak harus bersama pemerintah memerangi selain pemerintah akan di cap sebagai terorisme dan tidak memberi ruang media yang pro terorisme. secara berlebihan kepada teroris. Republika berusaha melakukan investigasi sendiri terkait pelaku teroris dan sering menemukan fakta yang berlawanan dengan versi kepolisian. Pandangan media Media indonesia menyatakan bahwa Republika mengatakan bahwa tidak ada terhadap objektifitas berita itu bersifat subjektif dan tidak ada berita yang objektif. Yang objektif adalah berita yang objektif karena dipengaruhi metodenya.
12
Ideologi
Ideologi yang mempengaruhi pemberitaan media
ideologi media itu sendiri. Media indonesia menganut ideologi yang dimiliki oleh pemiliknya yaitu Surya Paloh, yaitu menhargai kebangsaan dan keberagaman. Ideologi tersebut yang mempengaruhi pemberitaan.
Refleksi pola pikir ICMI masih digunakan oleh republika dalam menulis beritanya. Tidak ada campur tangan pemilik (Erick Tohir) dalam menentukan angle berita kategori polhukam. Kalaupun ada, biasanya hanya pada kategori olahraga.