PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS ( STUDI KASUS SIYONO )
JURNAL SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Disusun Oleh : VIDYA AFRIAN ERNANTO NIM : 13100121
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2016
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS ( STUDI KASUS SIYONO )
Oleh : Vidya Afrian Ernanto NIM : 13100121
[email protected]
ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Korban salah Tangkap Menurut Hukum di Indonesia, dan Bagaimana Prosedur Penangkapan Terhadap Terduga Teroris oleh Densus 88. Beberapa kejadian membuktikan bahwasanya Indonesia adalah salah satu negara yang sering mendapatkan ancaman terorisme. Jika melihat maraknya aksi teror yang dilacarkan para teroris, maka kita sepakat bahwa sebagai warga negara yang baik tidak mendukung aksiaksi tersebut, demi terwujudnya keamanan negara Indonesia. Namun disisi lain, dalam penanganan aksi-aksi terorisme ini sering terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penegak hukum dalam menjalankan regulasi terkait terorisme tersebut terutama terkait hak asasi yang melekat pada diri seorang tersangka atau yang masih diduga sebagai teroris. Penulis dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologi atau penelitian hukum dengan cara mengumpulkan data menggunakan bahan pustaka serta wawancara lapangan secara langsung terhadap objek kehidupan masyarakat, kemudian diolah dan disusun secara sistematis sehingga memperoleh kesimpulan dalam penelitian. Hasil penelitian ini adalah perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap menurut hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang termaktub dalam Pasal 1 butir 10. Tetapi dalam pelaksanaannya belum dapat diterapkan. Hal tersebut terbukti dengan adanya kasus Siyono yang sampai sekarang belum ada kejelasan perlindungan hukum. Serta penangkapan terhadap terduga teroris oleh Densus 88 dalam penerapannya tidak menerapkan asas praduga tidak bersalah dalam kasus pengungkapan terduga teroris Siyono. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya prosedur yang dilanggar seperti proses penangkapan, penyitaan dan penggeledahan yang tidak memberitahukan surat perintah seperti termaktub pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana penggeledahan harus ada surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Aparat negara penegak hukum yang bertujuan melindungi Hak Asasi Manusia sekaligus sebagai penegakan Hak Asasi Manusia itu sendiri pada kondisi tertentu atau darurat seringkali dinilai melanggar Hak Asasi Manusia, oleh karena itu harus ada code of conduct kepolisian yang mengatur tentang batasan-batasan dalam bertindak yang tetap mengutamakan hukum dan Hak Asasi Manusia.
A. Latar Belakang Aksi-aksi teror yang marak akhir-akhir ini membuat keprihatinan banyak pihak, baik masyarakat nasional dan internasional. Aksi-aksi teror menyebabkan hilangnya rasa aman di tengah-tengah masyarakat, selain juga menurunkan wibawa pemerintah -sebagai badan yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman- di tengah-tengah masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara yang dianggap memiliki ancaman besar, terutama dengan maraknya aksi teror bom di sejumlah tempat.1 Mengingat akan luasnya ruang lingkup dari permasalahan dalam bahasan diatas, maka penulis akan membatasi masalah yang merupakan obyek dari permasalahan dengan maksud agar penelitian ini tidak melebar dan masih dalam fokusan yang sama serta tidak jauh menyimpang dari pokok permasalahan, sehingga hasil penelitian ini sesuai yang diharapkan oleh pembaca. Adapun permasalahan penelitian ini dibatasi pada: Perlindungan Hukum Dalam Penangkapan Terduga Teroris (Studi Kasus Siyono).
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian diatas mengenai latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka dapatlah disusun perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Korban salah Tangkap Menurut Hukum di Indonesia ? 2. Bagaimana Prosedur Penangkapan Terhadap Terduga Teroris oleh Densus 88?
1
Sukawarsini Djelantik. Terorisme Tinjauan Psiko-Politisi, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional (Jakarta : YOI ( Yayasan Pustaka Obar Indonesia ), 2010), hlm. 1.
B. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode yang digunakan adalah yuridis sosiologis, artinya penelitian ini penulis memfokuskan pada penelitian hukum yang mengidentifikasi perilaku yang mempola dalam (analisis penggungkapan dan penggeledahan terduga teroris (Studi Kasus Siyono). 2. Metode Analisis Metode analisis dilakukan dari data yang ada baik berupa data primer maupun data sekunder. Kemudian dianalisis dengan bentuk analisis kualitatif kemudian disajikan dengan deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan mengambarkan sesuai dengan permasalahan terkait penelitian yang dilakukan. C. Hasil Penelitian dan Analisis Penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang dan mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik. Penegakan keadilan perlu di integrasikan dengan adanya perlindungan hukum yang baik yang mencerminkan kewajiban dan tanggungjawab yang diberikan dan dijamin oleh negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia, karena hak asasi manusia merupakan perlindungan terhadap nilai martabat manusia. Oleh sebab itu harus dijunjung tinggi oleh bangsa dan negara Republik Indonesia yang termaktub dalam Pancasila. A. Perlindungan Hukum Terhadap Korban salah Tangkap Menurut Hukum di Indonesia Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Menurut Hukum di Indonesia. Rumusan tentang perlindungan terhadap korban salah tangkap tertera didalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang termaktub dalam Pasal 1 butir 10 berbunyi : Peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang : a. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Dalam Bab X bagian kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 berbunyi : Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang : Pasal 77 a. Sah atau tidaknya penangkapan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penghentian penuntutan; Pasal 78 (1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan. (2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Pasal 79 Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya. Pasal 80 Permintaan untuk memeriksa tentang sah atau tidaknya suatu penghentian atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Pasal 81 Permintaan ganti kerugian dana atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Pasal 82 (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditemukan sebagai berikut : a. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang; b. Dalam hal memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penyidikan atau penuntutan yang ada pada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim
mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun pejabat yang berwenang; c. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah menjatuhkan putusannya; d. Dalam hal suatu perkara sudah perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka pemeriksaan tersebut gugur; e. Putusan pengadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru. (2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya. (3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal-hal sebagai berikut : a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka; b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian penyidik atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan; c. Dalam dal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan
atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya; d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. (4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95. Pasal 83 (1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding. (2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Rumusan yang memuat perlindungan terhadap korban salah tangkap dalam KUHAP termuat dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 100 yang menyebutkan sebagai berikut : Pasal 95 (1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. (2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan sebagamana dimaksud dalam Pasal 77. (3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. (4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. (5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut dalam ayat (4) mengikuti acara, praperadilannya. Pasal 96 (1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut. Pasal 97 (1) Seseorang berhak memperoleh rehabilitasi oleh pengadilan diputuskan bebas atau diputus lepas segala tuntutan hukum yang putusannya telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. (2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan menganai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim prapengadilan yang dimaksud Pasal 77.2 Dari Pasal-Pasal diatas secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang mengatur hak yang dimiliki oleh seseorang dalam proses penyidikan dan pengadilan, disamping memiliki hak-haknya sebagai tersangka maka ketika seorang tersebut mendapatkan putusan pengadilan bahwa dia menjadi korban dalam proses penyidikan maka sesorang tersebut berhak memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi atas apa yang dialaminya. Hasil penelitian yang dilakukan melalui wawancara, Suratmi mengatakan bahwa status suaminya Siyono sampai sekarang belum ada keterangan secara jelas atas penangkapannya. Atas kejadian yang menjerat suaminya timbul efek yang berkepanjangan dan membentuk stigma negatif terhadap keluarga korban.3 Imbas dari kejadian tersebut terutama bagi istri korban yaitu Suratmi yang sampai saat ini masih dikucilkan dari sebagian masyarakat yang menganggap bahwa keluarganya adalah keluarga teroris. Efek lain atas penangkapan ini menyebabkan anak-anak Siyono mengalami trauma yang berkepanjangan yang di akui oleh Suratmi. Rasa trauma yang dialami anak-anaknya ini terjadi saat Densus 88 melakukan penggeledahan dirumah Siyono dengan menggunakan rompi anti peluru dan bersenjata lengkap. Keluarga korban tidak mengetahui sama sekali akan adanya penggeledahan dirumahnya, dan tidak ada surat pemberitahuan penggeledahan sebelumnya yang secara resmi diberikan kepada pihak keluarga. Ditemukan bahwasanya hasil autopsi yang dilakukan oleh tim forensik yang terdiri dari 9 Dokter Ahli Forensik Muhammadiyah yang sudah diusulkan kepada Komisi Nasional Hak
2
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP edisi revisi , Penerbit: Rineka Cipta, Jakarta Oktober 2011, hal 239 Suratmi. Istri Almarhum Terduga Teroris Siyono.Klaten. Wawancara pribadi 06 November 2016, Jam 11.00 WIB. 3
Asasi Manusia dan ditambah 1 Dokter Forensik yang didatangkan dari Polri menemukan hasil sebagai berikut : Pertama, autopsi yang dilakukan Tim Dokter Forensik yang diminta oleh PP Muhammadiyah adalah autopsi yang pertama dan belum pernah diadakan autopsi. Kedua, pendarahan hebat dengan dibuktikan bagian otak tidak berwarna merah tetapi putih tidak ditemukan, menandakan bahwa pendarahan hebat tidak terjadi dibagian otak meskipun ada luka dibagian otak, namun Tim Forensik menyatakan bahwa bukan itu penyebab kematian. Ketiga, kesimpulan yang diambil Dokter Tim Forensik adalah penyebab kematian adalah patah tulang diberbagai bagian tubuh terutama bagian dada yaitu dibagian tulang rusuk nomor 8 yang patah kemudian manusuk ke jantung yang mengakibatkan pendarahan hebat dijantung. Keempat, tidak ditemukan luka atau memar di tangan atau di bagian tertentu yang menunjukan ada perlawanan dari Siyono. B. Prosedur Penangkapan Terhadap Terduga Teroris oleh Densus 88 dalam Praktek Pelaksanaan Tersangka menurut bunyi Pasal 1 butir 14 adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tiada seorang juga pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang. Pasal 1 butir 20 KUHAP menyatakan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana khusus. Indonesia telah memiliki perangkat UU No. 15 Tahun 2003, Isu Ham merupakan isu yang tidak boleh dilepaskan
dalam pemberantasan terorisme. Asas yang berlaku terhadap undang-undang terorisme ialah asas leg specialist derogate lege generale.4 Dengan demikian kewenangan yang dimiliki penyidik berbeda dengan kewenangan penyidik dalam kasus kejahatan biasa. Mengingat terorisme termasuk katagori tindak pidana khusus, maka proses pemeriksaannya diatur secara khusus. Pada esensinya diatur dalam UU No. 15 Tahun 2003 Pasal 25 Ayat (1) bahwa: Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasakan hukum acara berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan, untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. Penjelasan Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat 1 diatas bahwa yang dimaksud dengan laporan intelijen adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Proses dan Prosedur ini berhubungan dengan asas praduga tidak bersalah. Ketika asas praduga tidak bersalah lebih menitik beratkan pada apa yang dinamakan sebagai proses maka akan menghasilkan Crime Control Model, dimana yang lebih diutamakan yaitu bagaimana penegak hukum menjalankan proses bukan mementingkan hak tersangka atau prosedur dari proses tersebut . Tapi jika sebaliknya, ketika lebih menitik beratkan pada sebuah prosedur, maka yang akan dihasilkan adalah Due Prosess Model, artinya lebih menitik beratkan pada hak tersangka atau terdakwa. Saat penggeledahan dilakukan Densus 88 yang ditemani aparat Kepolisian Resor Klaten yang menggunakan rompi anti peluru dan dipersenjatai laras panjang lengkap datang ketika sedang proses belajar mengajar berlangsung yang kebetulan kegiatan belajar mengajar 4
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). 2002, Penerbit Toko Gunung Agung: Jakarta.
TK pada saat itu dialihkan sementara waktu di rumah Siyono setelah gedung yang lama dijual pemiliknya. Jika melihat kembali standar prosedur dalam penggeledahan itu harus ada surat pemberitahuan penggeledahan yang dibuat pengadilan negeri setempat sebelum dilakukannya penggeledahan yang diberikan kepada pihak keluarga, tapi kenyataannya tidak ada pemberitahuan5. Seharusnya jika akan melakukan penggeledahan ditempat kejadian perkara harus disertai surat penggeledahan terlebih dahulu dan bisa dengan menggunakan inisiatif lain seperti meminta mengkonsidisikan area terlebih dahulu yang disitu banyak anak-anak TK sedang belajar mengajar. Akibat dari adanya penggeledahan yang dilakukan Densus 88 ini anak-anak trauma dan ketakutan. D. Kesimpulan 1. Perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap menurut hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang termaktub dalam Pasal 1 butir 10. Tetapi dalam pelaksanaannya belum dapat diterapkan. Hal tersebut terbukti dengan adanya kasus Siyono yang sampai sekarang belum ada kejelasan perlindungan hukum dan permintaan keadilan yang diajukan kurang mendapatkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum sendiri secara menyeluruh terhadap keluarga korban. 2. Penangkapan terhadap terduga teroris oleh Densus 88 dalam penerapannya tidak menerapkan asas praduga tidak bersalah dalam kasus penangkapan terduga teroris Siyono. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya prosedur yang dilanggar seperti proses penangkapan, penyitaan dan penggeledahan yang tidak memberitahukan surat perintah seperti termaktub pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana penggeledahan harus ada surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam kasus ini tidak 5
Dr Trisno Raharjo, S.H,.M.Hum. Ketua Tim Pembela Kemanusiaan Yogyakarta. Wawancara pribadi 20 Oktober 2016, Jam 10.00 WIB.
memperlihatkan surat izin penangkapan dan penggeledahan kepada tersangka atau terdakwa atau keluarga. Serta penegak hukum dalam kasus pengungkapan terduga teroris Siyono ini tidak sesuai Standar Oprasional Prosedur. Hal ini dilihat dari penangkapan yang menggunakan cara represif (kekerasan) atau brutal yang mengakibatkan terduga teroris Siyono meninggal dunia saat pemeriksaan. Aparat negara penegak hukum yang bertujuan melindungi Hak Asasi Manusia sekaligus sebagai penegakan Hak Asasi Manusia itu sendiri pada kondisi tertentu atau darurat seringkali dinilai melanggar Hak Asasi Manusia, oleh karena itu harus ada code of conduct kepolisian yang mengatur tentang batasan-batasan dalam bertindak yang tetap mengutamakan hukum dan Hak Asasi Manusia itu sendiri. Adanya code of conduct kepolisian yang dipahami dan diimplementasikan dengan benar diharapkan akan terwujud pemberantasan terorisme yang berorientasi Hak Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku : Andi Hamzah, 2011, KUHP dan KUHAP edisi revisi, Jakarta: Rineka Cipta. Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis)., Penerbit Toko Gunung Agung: Jakarta. Sukawarsini Djelantik, 2010, Terorisme Tinjauan Psiko-Politisi, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, Jakarta: YOI Yayasan Pustaka Obar Indonesia. Wawancara : Wawancara dengan Suratmi. Istri Almarhum Terduga Teroris Siyono.Klaten. 06 November 2016, Jam 11.00 WIB. Wawancara dengan Dr Trisno Raharjo, S.H,.M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dan Ketua Tim Pembela Kemanusiaan Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2016, Jam 10.00 WIB.