ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI SUMATERA SELATAN
INDRAYANSYAH NUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRACT
INDRAYANSYAH NUR. Analysis of Economic Structure and Factors that Influence Economic Growth in West Sumatera. Under the supervision of SRI MULATSIH and ALLA ASMARA This study aims at analyzing the structure of the economic growth in the province of South Sumatera and the factors that influence the economic growth in the region. The method to analyze the economic structure is a regional economy approach using Location Quetiont (LQ) method and Shift Share (SS) Analysis. The National Share (NS) component indicates that the higher values are the sectors on mining and minerals, agriculture and manufacturing industry. Thus, those three sectors are strongly influenced by the change in national policy. The Industry Mix (IM) component indicates that the higher values are on the sectors on transportation and communication, construction and trade, and hotel and restaurant. That indicates that those three sectors have higher growth than other sectors. The Regional Share (RS) component indicates that agriculture is the dominant sector and therefore the most competitive sector compared to industries in the national level. It is also revealed that the progressive sectors during 20012005 are trading, hotel, restaurant, and construction and during 2005-2010 are service firms, finance, rental, trading, hotel, and restaurant. Using LQ analysis, the base sectors in South Sumatera during 2001-2010 are mining and minerals, agriculture, and construction. On the whole, the variables of PMA, PMDN, goverment expenditure and labor force simultaneously influence the PDRB as high as 85%. In partial view, PMDN, goverment expenditure and labor force have significant and positive influence toward PDRB, as indicated by a small probability value. Meanwhile, PMA has insignificant and negative influence toward PDRB. Keywords: shift-share, location quotient, labor force, government expenditure
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN
INDRAYANSYAH NUR. Analisis Struktur Perekonomian dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh: SRI MULATSIH and ALLA ASMARA Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan selama lima tahun terakhir berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Namun demikian Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Sumatera Selatan relatif rendah bila dibandingkan dengan provinsi lain di Sumatera. Sepanjang tahun 2006 – 2010 rata-rata PDRB per kapita Sumatera Selatan sebesar 3,28 persen, lebih rendah dibandingkan dengan Jambi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,14 persen, Sumatera Utara sebesar 5,08 persen atau Lampung dengan rata-rata pertumbuhan 4.2 persen. Dengan demikian perlu kiranya bagi Provinsi Sumatera Selatan untuk berupaya meningkatkan terus laju pertumbuhan PDRB. Dalam menganalisis pembangunan di daerah ada satu hal yang menarik yaitu mengapa terdapat perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan adanya perbedaan dalam karakteristik antar daerah. Karakteristik daerah itu sendiri sebetulnya dapat dilihat dari kontribusi tiap-tiap sektor perekonomiaan terhadap pembentukan PDRB. Kontribusi tiap-tiap sektor pada suatu daerah dapat pula dibandingkan dengan daerah lain yang lebih tinggi, untuk menentukan apakah suatu sektor merupakan sektor yang mengekspor atau bukan. Pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan kenaikan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai dengan membuat kebijakan skala prioritas dalam pembangunan daerah. Oleh sebab itu penting kiranya upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih optimal, dengan mengkaji faktor dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan. Salah satunya adalah dengan melakukan pengkajian terhadap pengaruh investasi asing (PMA), investasi dalam negeri (PMDN), dan angkatan kerja serta pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder time series dalam kurun waktu 1993 – 2010 dan diolah dengan menggunakan program eviews. Selanjutnya model yang sudah dibuat diestimasi untuk melihat seberapa besar variabel eksogen mempengaruhi variabel endogen. Data yang gunakan antara lain: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Sumatera Selatan; data penanaman modal, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA); data realisasi belanja pembangunan, belanja modal dan pemeliharaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi Sumatera Selatan dan data kependudukan Propinsi Sumatera Selatan. Adapun sumber data diperoleh dari berbagai instansi meliputi: BKPM Pusat; Bappeda Propinsi Sumatera Selatan; Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Selatan; dan Badan Pusat Statistik Pusat. Dalam rangka menganalisis struktur perekonomian daerah, peneliti menggunakan analisis Shift Share (SS) dan Analisis Location Quotient (LQ). Adapun tahun pengamatan untuk analisis Shift Share (SS) adalah 2001 – 2005 dan 2005 – 2010 dan Analisis Location Quotient (LQ), adalah 2001 – 2010.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2001 – 2005 dan 2005 – 2010 tidak mengalami perubahan dalam sumbangan komponen terhadap nilai Shift Share (SS): komponen National Share (NS) nilai terbesar adalah pada sektor pertambangan dan galian diikuti sektor pertanian dan industri pengolahan. Dengan demikian ketiga sektor tadi sangat dipengaruhi oleh perubahan kebijakan nasional. Pada komponen Industry Mix (IM), nilai terbesar adalah pada sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bangunan dan perdagangan, hotel dan restoran. Dengan demikian sektor-sektor tersebut merupakan sektor dengan pertumbuhan cepat dibanding sektor lain. Pada komponen Regional Share (RS), pertanian merupakan sektor dominan. Sektor pertanian merupakan sektor yang Pada tahun 2001 – 2005 sektor yang progresif adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor bangunan, sedangkan untuk tahun 2005 – 2010 sektor jasa-jasa, sektor keuangan, persewaan dan jasa-jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dengan demikian terjadi pergeseran sektor progresif dari sektor pertanian menuju sektor jasa-jasa. Sektor basis di Sumatera Selatan dengan menggunakan analisis LQ untuk pengamatan 2001 – 2010 adalah sektor pertambangan dan galian, sektor pertanian dan sektor bangunan. Walaupun sektor basis adalah sektor pertanian serta tambang dan galian, namun sektor lain tidak dilupakan mengingat sektor pertanian termasuk sektor yang sangat dipengaruhi iklim dan cuaca yang merupakan faktor yang sulit dikontrol. Sedangkan sektor pertambangan dan galian termasuk sumber daya alam yang dapat habis dan tidak dapat diperbaharui. Secara keseluruhan variabel PMA, PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh terhadap PDRB sebesar 85 persen. Sedangkan secara parsial, bahwa PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh signifikan dan positif terhadap PDRB. Hal ini terlihat dari nilai probabiliti yang kecil. Sedangkan variabel PMA berpengaruh tidak signifikan dengan pengaruh negatif terhadap PDRB. Berdasarkan uraian tersebut maka disarankan: (1) Walaupun terjadi pergeseran sektor yang progresif dari sektor pertanian menjadi sektor jasa-jasa, namun tetap tidak meninggalkan sektor pertanian. Sebab walau bagaimanapun sektor pertanian serta sektor pertambangan dan galian tetap berkontribusi tinggi terhadap PDRB Sumatera Selatan. (2) Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan hendaknya lebih meningkatkan faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan PDRB dengan prioritas kebijakan yang mendukung produktivitas angkatan kerja, disusul dengan menambah masuknya investasi dalam bentuk PMDN dan selanjutnya memperbesar pengeluaran pemerintah pada sektor-sektor progresif yaitu sektor jasa-jasa, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Halaman ini sengaja dikosongkan
ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI SUMATERA SELATAN
INDRAYANSYAH NUR
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc
Judul Tesis Nama NRP
: Analisis Struktur Perekonomian dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan : Indrayansyah Nur : H151080191
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr Ketua
Dr. Alla Asmara, S.Pt. M.Si Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
Tgl Ujian : 25 Juli 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tgl Pengesahan :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Struktur Perekonomian dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Sri Mulatsih. M.Sc. Agr. selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Dr. Alla Asmara, S.Pt., M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini; 2. Dr Ir. Nunung Nuryartono M.Si selaku ketua program studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana IPB atas bimbingan dan pengarahan selama menempuh kuliah; 3. Para dosen di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala didikan dan pengajarannya; 4. Para staf di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala bantuannya; 5. Semua rekan di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana IPB untuk semangat dan kebersamaannya selama menjalani kuliah; Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan.
Bogor,
Juli 2012
Indrayansyah Nur
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Maret 1971 dari ayah Mochammad Noer Saleh dan Ibu Siti Maryam. Penulis merupakan anak ke delapan dari delapan bersaudara. Saat ini penulis sudah berkeluarga dan dikaruniai tiga orang putra. Pendidikan formal penulis dimulai sejak tahun 1978 hingga 1984 di SD Negeri Pondok Bambu 08, kemudian tahun 1984 hingga 1987 di SMP Negeri 14 Jatinegara, dilanjutkan pada tahun 1987 hingga 1990 di SMA Negeri 59 Klender, Jakarta. Pada tahun 1991 hingga 1996 penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Sriwijaya Palembang, dan pada tahun 2008 melanjutkan pendidikan pada Mayor Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan di Universitas Sriwijaya, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan membidangi Unit kegiatan Mahasiswa bidang olahraga Catur. Pada tahun 1994 Penulis mengikuti Pekan Olahraga Mahasiswa Tingkat Nasional di Medan dan juga mengikuti berbagai kejuaraan catur tingkat Kotamadya Palembang. Tahun 1997 penulis bekerja pada Badan Diklat Keuangan, Kementrian Keuangan di Pusdiklat Keuangan Umum sampai tahun 2004 sebagai pelaksana. Selanjutnya bertugas di Balai Diklat Balikpapan tahun 2004 hingga 2006 sebagai Koordinator Pelaksana Bidang Keuangan. Selanjutnya kembali ke Jakarta dan bekerja di Badan Diklat Keuangan Jakarta dan ditempatkan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara sejak tahun 2006 sampai sekarang dengan jabatan Widyaiswara Muda. Penulis juga aktif dalam penerbitan Majalah Infoartha dan Media STAN, majalah ilmiah yang diterbitkan oleh STAN Press. Selain aktif menulis di majalah Infoartha dan Media STAN, karya ilmiah lainnya juga sudah ditebitkan pada majalah Gagas Pajak Pusdiklat Perpajakan dan Forum Keuangan Pusdiklat Keuangan Umum, Kementrian Keuangan Republik Indonesia.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... xvii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xix DAFTAR GAMBAR............................................................................................. xx 1. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6 1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 9 2.1. Konsep Ekonomi Basis .............................................................................. 9 2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi ..................................................................... 10 2.3. Model Pertumbuhan Solow........................................................................ 13 2.4. Teori Investasi ............................................................................................ 18 2.5. Teori Pengeluaran Pemerintah ................................................................... 19 2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Angkatan Kerja ............................................ 20 2.7. Metode Location Quetient (LQ) ................................................................ 22 2.8. Analisis Shift Share.................................................................................... 23 2.9. Tinjauan Penelitian Terdahulu ................................................................... 25 2.10. Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................... 28 2.11. Hipotesis................................................................................................... 30 III. METODE PENELITIAN ................................................................................ 31 3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................................... 31 3.2. Metode Analisis ......................................................................................... 31 3.2.1. Analisis Shift Share ......................................................................... 31 3.2.2. Analisis Location Quetient (LQ) ..................................................... 32 3.2.3. Model dan Analisis Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi .......................................................................................... 33 3.2.4. Uji Asumsi Klasik ........................................................................... 33 3.2.5. Uji Statistik………………………………………………................34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 37 4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ................................................................. 37 4.2. Analisis Shift Share ............................................................................................. 40 4.2.1. Sektor Pertanian ........................................................................................ 44 4.2.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian ....................................................... 47 4.2.3. Sektor Industri Pengolahan ....................................................................... 49 4.2.4. Sektor Listrik, Gas dan Air bersih ........................................................... 52 4.2.5. Sektor Bangunan ....................................................................................... 54 4.2.6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran .................................................. 55 4.2.7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi ..................................................... 59 4.2.8. Sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan ........................................... 59 4.2.9. Sektor Jasa-Jasa......................................................................................... 61 4.3. Pergeseran Bersih ..................................................................................... …….. 63 4.3.1. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan 2001-2005 ........................................................................ ……..63 4.3.2. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan 2005-2010 ........................................................................ …….. 65 4.4. Analisis Location Quetient (LQ) .............................................................. …….. 67 4.5. Analisis Faktor yang Memengaruhi PDRB Sumatera Selatan ................. …….. 69 4.5.1. Uji Asumsi Klasik .......................................................................... …….. 69 4.5.1.1. Uji Normalitas .......................................................... ……..69 4.5.1.2. Uji Multikolinieritas................................................. ……. 69 4.5.1.3. Uji Autokorelasi ....................................................... ……. .70 4.5.1.4. Uji Heteroskedastisitas............................................. …….. 70 4.5.2. Hasil Dugaan Model ....................................................................... …….. 70 V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... …….. 75 5.1. Kesimpulan ................................................................................................ …….. 75 5.2. Saran .......................................................................................................... …….. 75 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. …….. 77 LAMPIRAN ........................................................................................................... …….. 79
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Kontribusi Sektor Ekonomi Terhadap PDRB Sumatera Selatan ................
3
2.
Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita atas Dasar Harga Konstan di Provinsi Sumatera Selatan disbanding Provinsi lainnya di Sumatera Selatan 2006 - 2010 .....................................................................................
4
3. Peranan Masing-Masing Sektor dalam Pembentukan PDRB Tahun 2008-2010 di Sumatera Selatan .................................................................. 38 4. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010 (dalam persen) ..................................................... 39 5. Perubahan PDRB Sumatera Selatan dan PDB Nasional tahun 2001-2005 dan 2005-2010 ...................................................................... 42 6. Hasil Perhitungan Shift Share (SS) Struktur Perekonomian Sumatera Selatan Tahun 2001-2005 dan 2005-2010 dalam rupiah ............. 43 7. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Pertanian Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) .............................................................. 47 8. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Pertambangan Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) ...................................... 49 9. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Industri Pengolahan Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) .......................................... 52 10. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) ..................................... 54 11. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) .......................................................................................................... 57 12. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Angkutan dan Komunikasi Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) .................................. 58
13. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) .......................................................................................................... 60 14. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Jasa-Jasa Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) .............................................................. 62 15. Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian atas dasar PDRB Sumatera Selatan tahun 2001-2005 .............................................................. 64 16. Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian atas dasar PDRB Sumatera Selatan tahun 2005-2010 .............................................................. 66 17. Hasil Perhitungan Location Quetient (LQ) Struktur Perekonomian Sumatera Selatan 2001-2010 ......................................................................... 68 18. Uji Multikolinier ........................................................................................... 69 19. Uji Autokorelasi ........................................................................................... 70 20. Uji Heteroskedastisitas ................................................................................. 70 21. Koefisien Variabel Penduga PDRB Sumatera Selatan ................................. 71 22. Perkembangan Persetujuan Investasi di Sumatera Selatan ........................... 73
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Nilai Tambah Provinsi Sumatera Selatan 2007-2010 ..............................
3
2.
Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan 2006-2010 ..............................
4
3.
Output dan Depresiasi Pada Kondisi Mapan ............................................. 15
4.
Kemajuan Teknologi dan Model Pertumbuhan Solow.............................. 18
5.
Pengaruh Kenaikan Belanja Pemerintah ................................................... 20
6.
Kurva Kemungkinan Produksi .................................................................. 21
7.
Model Analisis Shift Share ........................................................................ 25
8.
Kerangka Pemikiran Teoritis ..................................................................... 28
9.
Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian atas dasar PDRB Sumatera Selatan Tahun 2001-2005 .......................................................... 64
10. Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian atas dasar PDRB Sumatera Selatan Tahun 2005-2010 .......................................................... 66 11. Uji Normalitas ........................................................................................... 69
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi PDRB Sumatera Selatan…
81
2. Koefisien Variabel Penduga PDRB Sumatera Selatan .......................
82
3. Perhitungan Shift Share Tahun 2001-2005 dan 2005-2010 ................
85
Halaman ini sengaja dikosongkan
1
I . PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pemikiran mengenai pertumbuhan ekonomi diawali sekitar tahun 1950-an
dan 1960-an yang dikenal dengan model pertumbuhan bertahap linier (linierstages of growth models) yang dipelopori oleh Rostow dan Harrod-Domar. Adapun model pertumbuhan bertahap linier ini ditopang dengan memobilisasi dana untuk memacu investasi dalam jumlah yang memadai. Menurut Rostow, salah satu dari sekian banyak strategi pokok pembangunan untuk tinggal landas adalah pengerahan atau mobilisasi dana tabungan, baik dalam mata uang domestik maupun valuta asing guna menciptakan bekal investasi yang memadai untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (Todaro 2000). Model
pertumbuhan
Harod-Domar,
memberikan
penekanan
akan
pentingnya dana tabungan yang digunakan untuk mengganti atau menambah barang-barang modal, yang selanjutnya dikatakan sebagai investasi. Investasi modal baru diperlukan untuk memacu terjadinya pertumbuhan ekonomi. Dalam perkembangan ekonomi bangsa-bangsa pada pertengahan abad ke 20, ternyata tidak ada lagi sistem-sistem ekstrim yang murni. Negara-negara yang semula menganut sistem kapitalis murni mulai memandang perlunya peranan pemerintah dalam perekonomian, sedangkan negara-negara yang semula menganut sistem sosialis murni mulai memandang dan menghargai kepentingankepentingan dan inisiatif individu (Suparmoko 2003). Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat (Mankiw 2002).
2
Keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat sebetulnya merupakan hasil dari keberhasilan pembangunan di daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka pemerintah daerah mendapat peran yang sangat besar dalam melakukan pembangunan. Oleh sebab itu pemerintah daerah harus mampu mendorong dunia usaha untuk melakukan aktivitas investasi yang nantinya akan mendorong perekonomian daerah itu sendiri. Agar pembangunan di daerah menjadi berhasil maka diperlukan strategi yang tepat dan berkelanjutan. Dirasakan perlunya penerapan ilmu ekonomi regional dalam menentukan daerah unggulan maupun sektor unggulan yang menjadi pedoman prioritas dalam pembangunan daerah. Prioritas menjadi penting sebagai arah kebijakan agar pemerintah daerah menjadi fokus dalam melakukan pembangunan. Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia sangat berkepentingan dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan semangat desentralisasi. Secara administratif Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 10 (sepuluh) Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota, beserta perangkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah Kabupaten dan Kota membawahi Pemerintah Kecamatan dan Desa/Kelurahan. Struktur ekonomi menggambarkan kontribusi atau peranan masing-masing sektor dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dalam konteks lebih jauh akan memperlihatkan bagaimana suatu perekonomian mengalokasikan sumber-sumber ekonomi di berbagai sektor. Hal tersebut juga dapat menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap
kemampuan
produksi dari masing-masing sektor perekonomian (PDRB Provinsi Sumatera Selatan 2009). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator utama untuk mengukur pertumbuhan perekonomian di suatu wilayah. Selama empat tahun terakhir, PDRB Sumatera Selatan dengan migas atas dasar harga berlaku mengalami peningkatan (Gambar 1). Pada tahun 2007 nilai tambah yang terbentuk sebesar 109,9 trilyun rupiah. Pada tahun 2008, angka ini sebesar 133,66 trilyun rupiah dan tahun 2009 sebesar 137,33 trilyun rupiah. Pada tahun 2010 nilainya menjadi sebesar 157,77 trilyun rupiah. Berdasarkan pendekatan produksi,
3
seluruh sektor lapangan usaha yang ada di suatu wilayah biasanya dikelompokkan dalam 9 sektor. Kesembilan sektor tersebut dapat diklasifikasikan kembali dalam tiga sektor utama, yaitu sektor Primer, Sekunder dan Tersier. (PDRB Provinsi Sumatera Selatan, 2009). Pada periode 2006 – 2010 sektor utama penyumbang terbesar terhadap PDRB adalah sektor Primer disusul sektor Sekunder dan sektor Tersier.
Sumber: BPS Sumatera Selatan
Gambar 1 Nilai Tambah Provinsi Sumatera Selatan 2007 – 2010 Ada empat sektor dominan sebagai penyumbang terbesar terhadap PDRB Sumatera Selatan pada tahun 2010 (Tabel 1). Keempat sektor tersebut yaitu sektor industri pengolahan, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Masing-masing menyumbang secara berurutan sebesar 23,67 persen, 21,62 persen, 16,85 persen dan 12,70 persen. Tabel 1. Kontribusi Sektor Ekonomi Terhadap PDRB Sumatera Selatan PDRB 1. Pertanian 2. Pertambangan & penggalian Sektor Primer 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas & Air Bersih 5. Bangunan Sektor Sekunder 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Pers 9. Jasa-Jasa Sektor Tersier Total
2007 18,27 29,94 43,21 23,03 0,54 6,13 29,70 11,16 4,15 3,41 7,77 27,09 100,00
Sumber: PDRB Sumatera Selatan Menurut Lapangan Usaha
Kontribusi (%) 2008 2009 17,18 17,35 25,44 21,04 42,62 38,39 23,26 23,64 0,48 0,51 6,01 6,52 29,75 30,67 11,92 12,78 4,11 4,50 3,36 3,64 8.23 10,03 27,62 30,95 100,00
100,00
2010 16,85 21,62 38,47 23,67 0,49 6,49 30,65 12,70 4,45 3,52 10,20 30,87 100,00
4
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) Sumatera Selatan, pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, berfluktuasi tetapi cenderung meningkat (Gambar 2). Pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan sebesar 7,31 persen pada tahun 2006, meningkat menjadi 8,04 persen tahun 2007. Selanjutnya turun ke 6,31 persen tahun 2008 dan turun kembali tahun 2009 ke 5,06 persen. Kemudian meningkat kembali menjadi 6,94 persen pada tahun 2010.
Sumber: BPS Sumatera Selatan
Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan 2006 - 2010 Demikian juga laju pertumbuhan PDRB per kapita Sumatera Selatan berfluktuasi sepanjang 5 tahun terakhir. Laju pertumbuhan PDRB perkapita Sumatera Selatan selama kurun waktu 2006 – 2010 adalah masing-masing 3,31 persen, 3,94 persen kemudian turun dalam dua tahun terakhir menjadi 3,20 dan 2,27 persen, untuk kemudian meningkat kembali menjadi 3,72 persen. Laju pertumbuhan PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 Sumatera Selatan dan dua kota besar lainnya di Sumatera disajikan dalam tabel 2. Tabel 2. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Sumatera Selatan Tahun 2006 – 2010 (persen) P r o v i n s i
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
Sumatera Selatan Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi Bengkulu Lampung
3,31 5,06 4,76 3,27 4,23 3,71
3,94 5,77 4,97 4,19 4,74 4,67
3,20 5,27 5,51 4,53 4,08 4,09
2,27 3,97 2,95 3,78 4,73 3,92
3,72 5,34 4,70 4,91 3,61 4,61
3,28 5,08 4,58 4,14 4,28 4,2
Sumber: PDRB Provinsi-Provinsi di Indonesia 2006-2010
5
Berdasarkan pendahuluan di atas maka dianggap perlu untuk menganalisis mengenai struktur pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan tentang potensi sektor unggulan, yang nantinya menjadi prioritas dalam pembangunan di Sumatera Selatan. Selain itu sangat diperlukan juga peranan investasi baik investasi domestik maupun investasi asing dan juga pertumbuhan tenaga kerja serta pengeluaran pemerintah dalam rangka memajukan pembangunan ekonomi yang dalam hal ini dilihat dari pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan. 1.2.
Rumusan Masalah Provinsi Sumatera Selatan termasuk provinsi di wilayah Sumatera dengan
pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Namun demikian bila dibandingkan dengan provinsi lain di Sumatera terlihat pertumbuhan ekonomi
dengan indikator pendapatan domestik regional bruto
perkapita relatif rendah. Sepanjang tahun 2006 – 2010 rata-rata PDRB per kapita Sumatera Selatan sebesar 3,28 persen, lebih rendah dibandingkan dengan Jambi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,14 persen, Sumatera Utara sebesar 5,08 persen atau Lampung dengan rata-rata pertumbuhan 4.2 persen. Dengan demikian perlu kiranya bagi Provinsi Sumatera Selatan untuk berupaya meningkatkan terus laju pertumbuhan PDRB. Pembangunan hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan. Pendapatan masyarakat yang meningkat pada akhirnya akan meningkatkan produksi barang dan jasa. Meningkatnya pendapatan masyarakat berarti meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah memiliki saling ketergantungan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah lainnya. Begitu pula dengan Perekonomian Sumatera Selatan yang juga dipengaruhi oleh perekonomian nasional. Bentuk pengaruh
perekonomian
nasional
ini
berupa
kebijakan
nasional
yang
mempengaruhi pada sektor-sektor perekonomian Sumatera Selatan. Tentu saja ada pengaruh lain yang berasal dari kemampuan potensial sektor-sektor perekonomian Sumatera Selatan itu sendiri. Faktor pertumbuhan sektor yang cepat dan faktor daya saing yang tinggi juga menjadikan suatu sektor perekonomian menjadi andalan dalam perekonomian Sumatera Selatan.
6
Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah akan berbeda dengan daerah lain, hal tersebut diakibatkan oleh perbedaan
karakteristik antar daerah. Karakteristik
daerah sebetulnya dapat dilihat dari kontribusi tiap-tiap sektor perekonomiaan terhadap pembentukan PDRB. Kontribusi tiap-tiap sektor pada suatu daerah dapat pula dibandingkan dengan daerah lain yang lebih tinggi, untuk menentukan apakah suatu sektor merupakan sektor yang mengekspor atau bukan. Pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan kenaikan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai dengan membuat kebijakan skala prioritas dalam pembangunan daerah. Oleh sebab itu penting kiranya upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih optimal, dengan mengkaji faktor dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan. Salah satunya adalah dengan melakukan pengkajian terhadap pengaruh investasi asing (PMA), investasi dalam negeri (PMDN), dan angkatan kerja serta pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dianalisis adalah: 1.
Berapakah perubahan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di Sumatera Selatan berdasarkan National Share (pertumbuhan nasional), Industry Mix (bauran industri) dan Regional Shift (keunggulan kompetitif) yang dimiliki menurut sektor-sektor ekonomi?
2.
Sektor apakah yang menjadi sektor unggulan Provinsi Sumatera Selatan?
3.
Bagaimana pengaruh PMA, PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja terhadap PDRB Sumatera Selatan?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis besarnya perubahan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di Sumatera Selatan berdasarkan National Share (pertumbuhan nasional), Industry Mix (bauran industri) dan Regional Shift (keunggulan kompetitif) yang dimiliki menurut sektor-sektor ekonomi.
2.
Menentukan sektor unggulan Provinsi Sumatera Selatan.
3.
Menganalisis besarnya pengaruh PMA, PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja terhadap PDRB Sumatera Selatan.
7
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1.
Secara akademik hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai referensi dan bahan kajian terhadap perekonomian Provinsi Sumatera Selatan.
2.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah provinsi Sumatera Selatan dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi dua aspek penting. Pertama, menganalisis struktur
perekonomian Provinsi Sumatera Selatan dan kedua, menganalisis faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan. Dalam menganalisis struktur perekonomian, digunakan pendekatan ekonomi regional yaitu Metode Location Quetiont (LQ) dan Analisis Shift Share. Dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan, digunakan pendekatan model pertumbuhan neo klasik, dimana perbedaan dalam tingkat pertumbuhan hanya dijelaskan dengan penekanan pada fungsi produksi agregat dengan faktor dasar modal dan tenaga kerja. Dalam teori pertumbuhan ekonomi neo klasik, yang dikembangkan oleh Solow, faktor input tenaga kerja dan modal adalah determinan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Jamal 2006).
8
Halaman ini sengaja dikosongkan
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Konsep Ekonomi Basis Dalam teori ekonomi basis, perekonomian di suatu daerah dibagi menjadi 2
sektor utama, yaitu sektor basis dan sektor non basis. Sektor basis adalah sektor yang mengekspor barang dan jasa ataupun tenaga kerja di luar batas perekonomian daerah yang bersangkutan (Priyarsono et al 2007). Adapun sektor non basis adalah sektor yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dalam batas-batas daerah itu sendiri. Sektor ini tidak mengekspor barang, jasa maupun tenaga kerja sehingga luas lingkup produksi dan daerah pasar sektor non basis hanya bersifat lokal (Glasson, dalam Priyarsono et al 2007). Sektor-sektor ekonomi dikelompokkan ke dalam sembilan sektor yang didasarkan kepada besarnya pendapatan dan jumlah tenaga kerja yang diserap. Sektor-sektor tersebut adalah: 1.
Pertanian
2.
Pertambangan dan Penggalian
3.
Industri Pengolahan
4.
Listrik, Gas dan Air bersih
5.
Bangunan dan Konstruksi
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
7.
Angkutan dan Komunikasi
8.
Keuangan dan Jasa Persewaan
9.
Jasa-jasa lainnya
Dari 9 sektor ekonomi kemudian dikelompokan kembali menjadi 3, yaitu: 1.
Sektor Primer meliputi pertanian; dan pertambangan, dan galian
2.
Sektor Sekunder meliputi industri pengolahan; listrik, gas, dan air minum; dan bangunan
3.
Sektor Tersier meliputi perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan, dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. Terjadinya pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari peranan sektor-sektor
yang ada dalam suatu perekonomian. Masli (2006) menulis bahwa untuk melihat
10
sektor-sektor yang memberikan peran utama bagi perkembangan ekonomi daerah, menurut Richardson (2001) dan Glasson (1997) salah satu cara atau pendekatan model ekonomi regional adalah analisis basis ekonomi (economic base), model ini dapat menjelaskan struktur ekonomi daerah, atas dua sektor, yaitu sektor basis dan non basis. Model economic basis menekankan pada ekspansi ekspor sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi daerah. Selanjutnya mendapat perhatian pula mengenai perubahan struktur ekonomi dimana terdapat perbedaan penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor yang dikelompokkan sebagai sektor primer, sekunder dan tertier. Pendapat ini dibuktikan oleh Clark yang telah mengumpulkan data statistik mengenai persentasi tenaga kerja yang berada di sektor primer, sekunder dan tertier di berbagai negara (Sukirno 1985). 2.2.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan
dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah (Sukirno 2004). Selanjutnya permasalahan penting yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi tersebut terus berlangsung dalam jangka panjang. Hal ini dapat terjadi apabila ada penambahan faktor-faktor produksi. Dengan demikian investasi diartikan sebagai penambahan barang-barang modal. Kuznet dalam Todaro (2000), menulis bahwa pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Mankiw (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output. Proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki masyarakat. Teori pertumbuhan neo klasik mencoba menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Adapun model ini mengasumsikan tanpa
11
adanya peranan teknologi. Dengan demikian model dasar pertumbuhan neo klasik adalah: Y = F(K,N) ............................................................................................(2.1) Dimana Y adalah pendapatan, K adalah jumlah stok modal, dan N angkatan kerja. Dengan membagi kedua sisi dengan N diperoleh: y = f(k) ...................................................................................................(2.2) dimana: y merupakan pendapatan perkapita dan k adalah modal perkapita. Hal ini berarti bahwa
model tersebut menggambarkan pentingnya tambahan modal dan
populasi. Jumlah penduduk juga akan memengaruhi jumlah pekerja. Hal ini berarti terjadi penambahan faktor produksi yang nantinya akan menambah output. Produktivitas pekerja juga berpengaruh pada jumlah barang dan jasa yang dihasilkan. Dengan demikian perlu adanya pengalaman kerja dan pendidikan. Todaro (2000) menulis bahwa ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa. Ketiganya adalah: 1.
Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia
2.
Pertumbuhan
penduduk,
yang
beberapa
tahun
selanjutnya
akan
memperbanyak jumlah angkatan kerja 3.
Kemajuan teknologi Todaro (2000) melihat pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan dalam
produksi barang dan jasa, yang diikuti dengan perubahan struktural. Dimana perubahan tersebut diawali dari terciptanya tahapan-tahapan pertumbuhan, yaitu transformasi dari sistem pertanian subsisten yang miskin menjadi negara industri yang modern. Mankiw (2002) menulis, pertumbuhan sebagai peningkatan standar hidup yang diakibatkan bertambahnya pendapatan yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi barang dan jasa. Menurut Kuznets, dalam Todaro (2000), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Selanjutnya
12
Kuznets, dalam Todaro (2000) mengemukakan enam karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang bisa ditemui di hampir semua negara yang sekarang maju sebagai berikut: 1.
Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang tinggi.
2.
Tingkat kenaikan total produktivitas faktor yang tinggi.
3.
Tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi.
4.
Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi.
5.
Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yang sudah maju perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru.
6.
Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sekitar sepertiga bagian penduduk dunia. Model yang dikembangkan oleh Rostow (stages-of growth model of
development), pada tahun 1950-an meliputi tahapan masyarakat tradisional, tahapan penyusunan kerangka dasar tinggal landas, tahapan pertumbuhan berkesinambungan, tahapan tinggal landas,
tahapan menuju kematangan dan
tahapan konsumsi yang tinggi. Model Harrod-Domar menekankan perlunya syarat dalam rangka ”steady growth” dimana model ini memerlukan asumsi. Salah satunya adalah perekonomian yang dianalisis adalah model tertutup. Namun demikian model ini menganalisis perekonomian dalam jangka panjang. Hal ini terlihat pada pandangan Harrod-Domar yang menyatakan perlunya penambahan pengeluaran agregat jangka panjang dalam rangka menaikkan pertumbuhan ekonomi. Baro (1990) dalam Sodik (2007) menguji model pertumbuhan endogen mengenai hubungan antara bagian pengeluaran pemerintah di dalam GDP. Keistimewaan model Barro ini adalah adanya constan return to capital secara luas termasuk private capital dan public services di dalam produksi, tepatnya hubungan yang timbul antara ukuran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Sodik (2007) menulis bahwa : mengikuti model dari Barro (1990) tentang model pertumbuhan, Hsieh dan Lai (1994) memberikan model teori dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan. Hsieh dan Lai melihat kenaikan
13
pengeluaran pemerintah akan menurunkan pertumbuhan melalui crowding out privat investment. 2.3.
Model Pertumbuhan Solow Model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana
pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007). Pengembangan model ini dibuat bertahap, pada tahap awal mempelajari bagaimana penawaran dan permintaan terhadap barang menentukan akumulasi modal. Dengan demikian model awal ini mengasumsikan input angkatan kerja dan teknologi tetap. Selanjutnya dilakukan perubahan model dimana teknologi mengalami perubahan. Pada model awal dibicarakan tentang penawaran barang, dengan fungsi produksi yang lazim dikenal, dimana output dipengaruhi oleh modal dan tenaga kerja (Mankiw, 2007): Y = F(K,L) .............................................................................................(2.3) Selanjutnya model Solow mengasumsikan fungsi produksi dengan skala pengembalian konstan (constant return to scale). Asumsi ini dibuat untuk memudahkan analisis, dengan demikian fungsi berubah menjadi: zY = F(zK, zL) .....................................................................................(2.4) dengan menggunakan z = 1/L maka pada persamaan (4) akan menjadi: Y/L = F(K/L, 1) ...................................................................................(2.5) Persamaan (2.5) dapat diartikan bahwa jumlah output per pekerja sama dengan fungsi dari jumlah modal per pekerja. Asumsi constant return to scale menunjukkan bahwa besarnya perekonomian tidak mempengaruhi hubungan antara output per pekerja dengan modal per pekerja. Apabila dalam persamaan (2.5) kita sederhanakan y = Y/L dan k = K/L maka fungsi produksi dapat kita tulis: Y = f(k) ................................................................................................(2.6) Model Solow dapat pula dilihat dari sisi permintaan terhadap barang. Permintaan terhadap barang dipengaruhi oleh konsumsi dan investasi. Artinya
14
output per pekeja (k) merupakan konsumsi per pekerja (c) dan investasi per pekerja (i). y = c + i ................................................................................................(2.7) dalam model ini diasumsikan bahwa setiap orang menabung (s) sebagian dari pendapatannya dan sebagian lagi untuk konsumsi (1-s). Dengan demikian kita dapat membentuk fungsi konsumsi: c = (1-s)y ..............................................................................................(2.8) apabila kita substitusikan persamaan (2.8) ke persamaan (2.7), maka besarnya investasi per pekerja sebagai fungsi dari persediaan modal per pekerja, dapat kita tulis: i = sf(k) ................................................................................................(2.9) dengan demikian ada kaitan antara persediaan modal yang sudah ada (k) dengan tambahan modal baru (i).
Untuk keperluan analisis dibutuhkan depresiasi
persediaan modal ( ɗ ), dengan demikian terlihat dampak dari adanya investasi baru dan depresiasi persediaan modal yang sudah ada sebelumnya dimana perubahan persediaan modal adalah investasi dikurangi depresiasi modal seperti persamaan (2.10). ∆k = i - ɗ k ..........................................................................................(2.10) Apabila jumlah investasi sama dengan depresiasi, maka persediaan modal tidak akan berubah. Kondisi dimana persediaan modal tidak bertambah dan berkurang kita katakan sebagai kondisi mapan (steady-state level of capital). Kondisi tersebut menunjukkan ekuilibrium perekonomian jangka panjang. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, tingkat tabungan perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal dan tingkat produksinya (Mankiw, 2007). Dengan demikian semakin tinggi tabungan, maka akan semakin tinggi persediaan modal dan tingkat output. Dalam analisis selanjutnya diasumsikan bahwa pembuat kebijakan dapat menentukan tingkat tabungan di suatu negara. Penetapan tabungan ini berarti menentukan kondisi mapan perekonomian. Pertanyaannya adalah seberapa besar penetapan tabungan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Persoalannya adalah masyarakat tidak tertarik untuk mengetahui tingkat output yang dihasilkan tetapi lebih tertarik kepada seberapa besar barang dan jasa yang
15
dapat mereka konsumsi. Dengan demikian pembuat kebijakan akan memilih kondisi mapan dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Nilai kondisi mapan k yang memaksimalkan konsumsi disebut tingkat modal kaidah emas (golden Rule level of capital) dan dinyatakan dengan k* emas (Mankiw, 2007). Untuk menentukan kondisi mapan yang memaksimalkan konsumsi, dimulai dengan identitas pendapatan nasional (Mankiw, 2007): y = c + i ................................................................................................(2.11) dan mengubahnya menjadi: c = y – i ................................................................................................(2.12) konsumsi merupakan pendapatan dikurangi investasi. Dalam kondisi mapan, kita perlu mengganti output dan investasi menjadi output kondisi mapan dan investasi kondisi mapan, yaitu masing-masing adalah f(k*) sebagai output per pekerja pada kondisi mapan dan k* adalah persediaan modal per pekerja pada kondisi mapan. Karena persediaan modal tidak berubah dalam kondisi mapan, maka investasi sama dengan penyusutan ɗ k*. Substitusikan ke dalam persamaan (12), maka tingkat konsumsi per pekerja pada kondisi mapan adalah: c* = f(k*) - ɗ k*....................................................................................(2.13) selanjutnya Mankiw (2007), menjelaskan bahwa output pada kondisi mapan dan depresiasi pada kondisi mapan sebagai fungsi dari persediaan modal kondisi mapan. Konsumsi kondisi mapan adalah perbedaan antara output dan depresiasi. Gambar 3 menjelaskan bahwa ada satu tingkat persediaan modal tingkat Kaidah Emas k* emas yang memaksimalkan konsumsi. Depresiasi (dan Investasi) kondisi mapan, ɗ k* Investasi, investasi pulang pokok C* emas
k * emas
Output kondisi mapan, f(k*)
Modal per pekerja kondisi mapan k*
Sumber. Mankiw, (2007)
Gambar 3. Output dan Depresiasi Pada Kondisi Mapan
16
Mankiw (2007), menjelaskan bahwa Pada tingkat modal kaidah emas, fungsi produksi dan garis ɗ k* memiliki kemiringan yang sama, dan konsumsi berada pada tingkat terbesarnya. Kemiringan garis ɗ k* adalah ɗ , karena kemiringannya sama pada tingkat k*emas, maka Kaidah Emas dijelaskan dengan persamaan: MPK = ɗ ..............................................................................................(2.14) Selanjutnya kita memasukkan teknologi sebagai variabel eksogen dan menganalisis bagaimana variabel tersebut berinteraksi dengan variabel lain pada proses pertumbuhan ekonomi. Solow menganggap tumbuhnya perekonomian berawal dari pertambahan faktor-faktor produksi. Selanjutnya menurut Solow, yang lebih memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi adalah kemajuan teknologi dan penambahan keahlian para pekerja itu sendiri atau efisiensi tenaga kerja. Mankiw (2007) selanjutnya menyatakan bahwa untuk memasukkan kemajuan teknologi, kita harus kembali ke fungsi produksi yang mengaitkan modal total K dan tenaga kerja total L dengan output total Y. Jadi, fungsi produksi itu adalah: Y = F(K,L) .............................................................................................(2.15) Model pertumbuhan ini selanjutnya dituliskan dalam persamaan: Y = F (K, L x E) ....................................................................................(2.16) Dimana : Y = pertumbuhan ekonomi K = pertumbuhan modal L = pertumbuhan penduduk E = efisiensi tenaga kerja Efisiensi tenaga kerja mengindikasikan pengetahuan pekerja tentang teknologi produksi yang pada akhirnya akan meningkatkan output. Sebagai contoh, efisiensi tenaga kerja meningkat ketika produksi lini-perakitan mentransformasi sistem manufaktur pada awal abad kedua puluh, dan meningkat lagi ketika komputerisasi diperkenalkan di akhir abad kedua puluh (Mankiw, 2007). Jumlah para pekerja efektif adalah L x E. Perkalian ini menghitung jumlah pekerja L dan efisiensi masing-masing tenaga kerja. Fungsi produksi seperti
17
persamaan (16) menunjukkan bahwa total output dipengaruhi oleh unit modal K dan jumlah pekerja efektif, L x E. Dengan demikian efisiensi pekerja E akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan angkatan kerja L. Asumsi tentang kemajuan teknologi, bahwa kemajuan teknologi menyebabkan efisiensi tenaga kerja E tumbuh pada tingkat konstan g, demikian juga dengan tenaga kerja yang semakin bertambah pada tingkat n, maka jumlah pekerja efektif L x E tumbuh pada tingkat n + g. Adanya teknologi akan menambah efisiensi tenaga kerja, artinya teknologi berpengaruh terhadap populasi. Dalam arti bahwa jumlah pekerja efektif akan meningkat ketika teknologi digunakan dalam proses produksi. Dengan menggunakan alur pikir seperti model sebelumnya, maka kita akan menganalisis kondisi dimana modal per pekerja efektif yakni ketika teknologi digunakan dalam proses produksi. Kita dapatkan persamaan: k = K/(L x E) ........................................................................................(2.17) dan juga kita rumuskan output per pekerja efektif ketika teknologi digunakan dalam proses produksi seperti persamaan berikut: y = Y/(L x E) ........................................................................................(2.18) dengan demikian kita dapat tuliskan persamaan dalam bentuk: ∆k = sf(k) – (ɗ + n +g)k ......................................................................(2.19) Persamaan ini sebetulnya serupa dengan model awal, yaitu perubahan persediaan modal ∆k sama dengan investasi sf(k) dikurangi investasi pulang pokok (ɗ + n +g)k. Ada satu tingkat k yang disimbolkan dengan k*. Mankiw (2007), menjelaskan bahwa tingkat k* menunjukkan konstannya modal perpekerja efektif dan output per pekerja efektif. Kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g mempengaruhi model pertumbuhan Solow dalam cara yang sama dengan pertumbuhan populasi pada tingkat n. Sekarang k didefinisikan sebagai jumlah modal per pekerja efektif, yang meningkatkan jumlah pekerja efektif karena kemajuan teknologi cenderung mengurangi k. Dalam kondisi mapan, investasi sf(k) secara tepat mengimbangi penurunan k yang terkait dengan depresiasi, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi. Pengaruh kemajuan teknologi dalam model pertumbuhan Solow dapat dilihat pada Gambar 4.
18
Investasi pulang pokok, (ɗ +n+g)k
Investasi, investasi pulang pokok
Investasi sf(k)
kondisi mapan
k*
Modal per pekerja efektif k
Sumber. Mankiw, (2007)
Gambar 4. Kemajuan Teknologi dan Model Pertumbuhan Solow 2.4.
Teori investasi Sukirno
(2007),
mendefinisikan
investasi
sebagai
pengeluaran-
pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa datang. Hal ini berarti berkaitan dengan kemampuan perusahaan dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi. Keinginan memproduksi lebih banyak terkait pula dengan estimasi keuntungan di masa datang. Harrod-Domar menekankan pentingnya investasi dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kedua ahli ekonomi tersebut, menyebut dua hal akibat adanya penambahan investasi. Pertama investasi menciptakan pendapatan, hal ini disebut dampak permintaan. Kedua, investasi menambah kapasitas produksi dengan adanya tambahan stok modal. Hal ini lazim disebut dampak penawaran. Terdapat hubungan antara investasi dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun sebesarnya tidak dapat dipastikan variabel mana yang mempengaruhi. Tetapi para ahli ekonomi sepakat bahwa tingkat investasi cenderung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Donrbush (2008), mendefinisikan investasi adalah arus pengeluaran yang menambah stok modal fisik. Dengan demikian teori investasi dapat dikatakan juga sebagai teori permintaan modal. Adapun dalam teori investasi dikenal istilah stok
19
(stock) dan arus (flows). Secara sederhana diilustrasikan seperti bak madi, dimana banyaknya air sebagai stok modal dan arus kran sebagai arus investasi yang meningkatkan stok modal itu sendiri. Karena itulah untuk menambah sedikit stok modal maka keran investasi harus dibuka lebar dan sebaliknya untuk menambah sedikit saja stok modal, maka keran investasi harus ditutup rapat.
2.5. Teori Pengeluaran Pemerintah Permintaan agregat (aggregat demand) ialah jumlah total barang yang diminta dalam perekonomian (Dornbush, 2008). Total barang yang diminta meliputi: konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan eksport netto (NX). Dengan demikian permintaan agregat dirumuskan sebagai: AD = C + I + G + NX ..........................................................................(2.20) Keseimbangan perekonomian tercapai apabila output yang dihasilkan sama dengan output yang butuhkan. Sehingga keseimbangan perekonomian tercapai apabila: Y = AD = C + I + G + NX ...................................................................(2.21) Ketika terjadi krisis dalam perekonomian, pemerintah dapat melakukan tindakan dengan tujuan untuk tetap menjaga daya beli masyarakat yaitu dengan menjaga pendapatan agar tidak turun. Tindakan pemerintah dilakukan dalam rangka menyeimbangkan pendapatan melalui komponen belanja pemerintah yang merupakan komponen dari permintaan agregat. Kenaikan belanja pemerintah merupakan perubahan dalam pengeluaran otonom (autonomous spending) oleh karenanya, kenaikan tersebut menggeser kurva permintaan agregat ke atas sebesar kenaikan belanja pemerintah (Dornbush, 2008). Pengaruh meningkatnya belanja pemerintah atau pengeluaran pemerintah dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 menjelaskan bagaimana pengeluaran pemerintah mempengaruhi output.
Adanya peningkatan dalam pengeluaran
pemerintah maka akan meningkatkan output, dari Yo ke Y’.
20
AD = Y
AD E’
AD’ = A’ + c(1-t)Y AD = A’ + c(1-t)Y
A’
∆G E
A Yo
Y’
Y
Sumber. Dornbush, (2008)
Gambar 5. Pengaruh Kenaikan Belanja Pemerintah 2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Angkatan kerja Terdapat perdebatan tentang peranan pertumbuhan penduduk terhadap kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi kenaikan populasi meningkatkan jumlah tenaga kerja, tetapi di sisi yang lain juga menambah besarnya konsumsi. Malthus adalah ahli ekonomi yang memandang pesimis terhadap pertumbuhan populasi. Malthus berpendapat bahwa populasi yang terus meningkat akan terus menerus menyulitkan kemampuan masyarakat itu sendiri dalam memenuhi kebutuhannya (Mankiw 2006). Pertumbuhan penduduk diyakini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah melalui penambahan angkatan kerja. Adapun pertumbuhan penduduk akan berpenagaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain pengaruh positif maupun negatif pertambahan penduduk tergantung pada tingkat penyerapan tenaga kerja dalam sistem perekonomian tersebut (Todaro 2000). Masalah penduduk ini menjadi menarik, sebab bukan saja dilihat dari jumlahnya tetapi juga dari komposisi penduduk tua-muda, laki-laki atau perempuan. Disamping itu kualitas penduduk juga sangat mempengaruhi produktivitas penduduk itu sendiri. Selanjutnya muncul persoalan mengenai mobilitas tenaga kerja. Baik aliran masuk maupun keluar. Umumnya pada negara negara tertinggal akan banyak aliran masuk tenaga kerja dengan produktivitas
21
tinggi, sebaliknya tenaga kerja yang ke luar adalah tenaga kerja dengan produktivitas rendah. Berikutnya adalah terjadi perubahan dengan semakin banyaknya tenaga terlatih dan terdidik. Akibatnya aliran barang dan jasa ke luar akan semakin banyak diiringi berkurangnya aliran keluar tenaga kerja dengan produktivitas rendah. Demikian pula terjadi penambahan partisipasi tenaga kerja perempuan yang terdidik yang biasanya diiringi dengan menurunnya partisipasi tenaga kerja laki-laki. Naiknya partisipasi tenaga kerja perempuan berarti mengurangi angka kelahiran dan menurunkan angka kematian ibu dan anak. Menurut Todaro (2000), pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Disamping itu tentu saja sangat penting peranan faktor modal dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pentingnya akumulasi modal dan angkatan kerja dapat di tunjukkan melalui kurva kemungkinan produksi. Kurva ini menunjukkan jumlah PDRB (output) maksimal yang berupa kombinasi dari dua komoditi, seandainya seluruh sumber daya digunakan secara penuh. Dari gambar 6 terlihat bahwa peningkatan kuantitas sumber daya (angkatan kerja) akan menggeser kurva keluar menjauhi titik origin secara sejajar. Mula-mula dengan menggunakan semua sumber daya, maka kurva kemungkinan produksi adalah PP yang menunjukkan kombinasi produksi barang X dan barang Y. Selanjutnya peningkatan dalam kuantitas angkatan kerja akan mendorong kurva tersebut menjadi kurva P’ P’. Dengan demikian maka kemampuan memproduksi sejumlah barang X dan Y akan bertambah banyak seiring dengan meningkatnya kuantitas angkatan kerja. Barang X P’
P
Sumber. Todaro, (2000)
O
P P
P’
Barang Y
Gambar 6. Kurva kemungkinan Produksi
22
2.7.
Metode Location Quetiont (LQ) Menurut Priyarsono, et al (2007), untuk mengetahui sektor basis atau non-
basis dapat digunakan metode pengukuran langsung atau metode pengukuran tidak langsung. Pada metode pengukuran langsung, penentuan sektor basis dan non-basis dilakukan melalui survei langsung di daerah yang bersangkutan. Sebaliknya, pada metode pengukuran tidak langsung penentuan sektor basis dan non-basis dilakukan dengan menggunakan data sekunder beberapa indikator ekonomi di suatu daerah, terutama data PDB/PDRB dan tenaga kerja per sektor. Selanjutnya Priyarsono, et al (2007) menyatakan, pada metode Location Quetient (LQ), penentuan sektor basis dan non-basis dilakukan dengan cara menghitung perbandingan antara pendapatan di sektor i pada daerah level bawah terhadap pendapatan total semua sektor di daerah level bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah level atas terhadap pendapatan semua sektor di daerah level atasnya. Daerah bawah dan daerah atas dalam pengertian ini merupakan daerah administratif. Misalnya, analisis sektor basis dan non-basis dilakukan di level kecamatan maka daerah bawahnya adalah kecamatan, sedangkan daerah atasnya adalah kabupaten/kota dimana kecamatan tersebut berada. Jika hasil perhitungan menghasilkan nilai LQ>1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor basis. Nilai LQ yang lebih dari satu tersebut menunjukan bahwa pangsa pendapatan pada sektor i di daerah bawah lebih besar dibanding daerah atasnya dan output pada sektor i lebih berorientasi ekspor. Sebaliknya, apabila nilai LQ<1 maka sektor i diklasifikasikan sebagai sektor non-basis. Keunggulan LQ yaitu selama data pendapatan di suatu daerah tersedia secara lengkap dan akurat merode ini cukup akurat untuk diterapkan. Selain itu, perhitungan yang digunakan juga relatif sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama dalam mengklasifikasikan sektor basis dan non-basis di suatu daerah.
2.8.
Analisis Shift Share Analisis ini pertama kali diperkenalkan oleh Perloff (1960). Analisis ini
digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun tenaga kerja di suatu wilayah tertentu (Priyarsono et al 2007).
23
Adapun metode penghitungannya melalui tahap-tahap berikut : (Priyarsono et al 2007). 1.
Menentukan indikator kegiatan ekonomi yang akan digunakan dalam analisis Shift Share
2.
Menentukan tahun dasar maupun tahun akhir analisis
3.
Menghitung perubahan beserta persentase indikator kegiatan ekonomi tersebut dari sektor i pada wilayah j
4.
Menghitung rasio indikator kegiatan ekonomi tersebut
5.
Menghitung
komponen
Pertumbuhan
Nasional
(national
growth
component) untuk masing-masing sektor ekonomi 6.
Menghitung Komponen Pertumbuhan Proporsional (proportional mix growth component) berdasarkan nilai tersebut, sebutkan sektor-sektor yang memiliki pertumbuhan yang cepat/lambat
7.
Menghitung komponen petumbuhan pangsa wilayah (regional share growth component)
berdasarkan nilai tersebut, sebutkan sektor-sektor ekonomi
yang mempunyai daya saing baik/tidak baik terhadap sektor ekonomi lainnya 8.
Kelompokkan 9 sektor ekonomi tersebut, apakah dalam kelompok maju atau lamban. Analisis Shift Share mempunyai banyak kegunaan, diantaranya adalah untuk
melihat hal-hal berikut : (Priyarsono et al 2007). 1.
Perkembangan
sektor
perekonomian
di
suatu
wilayah
terhadap
perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas 2.
Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya
3.
Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah
4.
Perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional dan sektor-sektornya Secara umum, terdapat 3 (tiga) komponen utama dalam analisis Shift Share (Budiharsono 2001) yakni:
24
1.
Komponen pertumbuhan nasional (national growth component) Komponen
pertumbuhan
nasional
(PN)
adalah
perubahan
produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi/kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Beberapa contoh diantaranya adalah kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan. 2.
Komponen pertumbuhan proporsional (proportional mix growth component) Komponen pertumbuhan proporsional (PP) timbul karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.
3.
Komponen
pertumbuhan
pangsa
wilayah
(regional
share
growth
component) Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. Priyarsono et al (2007), mengemukakan bahwa hubungan antara ketiga komponen tersebut selengkapnya disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP+PPW ≥ 0 maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, PP+PPW < 0 menunjukan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhannya lambat. Suatu sektor disebut maju jika perkembangan sektor tersebut pada periode berikutnya dinilai relatif lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya, dan sebaliknya yang dimaksud dengan sektor yang lambat
25
adalah perkembangan sektor tersebut pada periode selanjutnya dinilai lebih buruk dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya.
Komponen Pertumbuhan Nasional Wilayah ke-j Sektor ke-i
Wilayah ke-j Sektor ke-i
Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP)
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)
Maju PP+PPW ≥ 0
Lambat PP+PPW < 0
Sumber : Budiharsono, (2001)
Gambar 7. Model Analisis Shift Share
2.9.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Investasi berperan dalam meningkatkan perumbuhan ekonomi melalui
pembentukan modal. Tentu saja melalui tahapan agar tercipta efisiensi dalam investasi sehingga rasio investasi terhadap pertumbuhan output menjadi semakin besar. Pertumbuhan output akan tercipta akibat penambahan faktor produksi sebagai input. Adapun besarnya pertambahan output tentunya tergantung pada produktivitas para pekerja yang besarnya berbeda-beda antara pekerja satu dengan yang lain. Penelitian para ahli tentang peranan faktor input berbeda dalam fokus penekannnya. Abramovits dan Solow menunjukkan pertumbuhan ekonomi amerika serikat terutama disebabkan oleh perkembangan teknologi. Diantaranya 80 hingga 90 persen dari pertumbuhan ekonomi yang berlaku di Amerika Serikat diantara pertengahan abad 19 dan 20 disebabkan oleh perkembangan teknologi (Sukirno 2004). Salah satu studi terkenal adalah dilakukan oleh Denison yang menganalisis faktor yang mengakibatkan perkembangan di negara maju diantara tahun 1950 – 1962. Kesimpulan kajian tersebut adalah pertambahan barang-barang modal hanya mewujudkan 25 persen dari pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat, 18 persen dari pertumbuhan ekonomi di Eropa Barat dan 21 persen dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Inggris (Sukirno 2004). Penelitian Priyanto (2009) menunjukkan bahwa belanja modal, angkatan kerja berpengaruh nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil estimasi
26
dari variabel-variabel bebas, angkatan kerja mempunyai nilai elastisitas yang terbesar yaitu sebesar 0,73 dan belanja modal pemerintah sebesar 0,11. Makmun dan Yasin (2003) menunjukkan bahwa investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan PDB dalam periode 1980-2002, namun apabila dilihat lebih jauh ternyata pengaruh investasi yang bersumber dari PMA tidak signifikan. Raharjo (2006) meneliti tentang pengaruh pengeluaran pemerintah, investasi swasta dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 1982 -2003 studi kasus Kota Semarang. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel pengeluaran pemerintah dan investasi swasta berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepercayaan 90 %. Rustiono (2009) meneliti tentang pengaruh investasi, tenaga kerja dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angkatan kerja, investasi swasta (PMA dan PMDN) dan belanja pemerintah daerah memberi dampak positif terhadap perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah. Krisis ekonomi menyebabkan perbedaan yang nyata kondisi antara sebelum dan sesudah krisis dan memberi arah yang negatif. Sodik (2007) meneliti tentang pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi regional. Penelitian dengan menggunakan model sebagai berikut: Ln y = ln a + ln Ip + ln Ig + ln Cg + ln (X-M) + ln Lf dimana: Ln y = pertumbuhan PDRB Ln Ip = private investment Ln Ig = investasi pemerintah Ln Cg = konsumsi pemerintah Ln (X – M) = tingkat keterbukaan ekonomi Ln Lf = labour force Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi swasta tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Investasi pemerintah berpengaruh, angkatan kerja berpengaruh dengan angka negatif. Ekspor netto signifikan dan ditunjukkan dengan angka negatif. Pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
27
Susanto (2008) meneliti tentang Sektor Potensial dan pengembangan Wilayah di Kabupaten Rembang, dengan menggunakan analisis Shift Share dan Location Quetient (LQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Rembang memiliki sektor basis yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa. Ropingi (2002) melakukan penelitian tentang Aplikasi Analisis Shift Share Esteban-Marquillas pada Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai keunggulan kompetetif dan terspesialisasi. Adapun sub sektor yang mendukung adalah sub sektor kehutanan dan perikanan serta peternakan. Purwanti (2009) meneliti tentang Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Kabupaten Bangli dipengaruhi oleh pertumbuhan kesempatan kerja provinsi Bali dan keunggulan kompetetif. Komponen bauran industri mempengaruhi kesempatan kerja secara negatif. Sektor basis pada tahun awal penelitian adalah sektor pertanian dan industry pengolahan. Selanjutnya selama sepuluh tahun sektor basis bertambah menjadi tiga sektor dengan masuknya sektor pertambangan dan galian. 2.10.
Kerangka Pemikiran Teoritis Analisis ini menggunakan estimasi model ekonomi tentang variabel yang
mempengaruhi PDRB Sumatera Selatan dan selanjutnya variabel
akan diuji
dengan pendekatan ekonometrika. Penelitian ini akan menjawab dugaan pengaruh investasi asing dan dalam negeri, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan. Sedangkan dalam melihat lebih detil tentang perekonomian Sumatera Selatan dengan menggunakan pendekatan ilmu ekonomi regional. Dalam hal ini digunakan analisis struktur perekonomian untuk melihat perekonomian Provinsi Sumatera Selatan tiap-tiap sektor. Adapun analisis tentang struktur perekonomian ini menggunakan analisis Shift Share dan Location Quetient. Analisis multiple regression dalam hal ini akan menjawab faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan. Sedangkan analisis Shift Share dan Location Quetient digunakan dalam rangka mengetahui sektor basis dan sektor-sektor progresif di Provinsi Sumatera Selatan.
28
Pada akhirnya nanti penelitian ini diharapkan menghasilkan langkah-langkah strategis yang dapat diambil pengambil kebijakan dalam rangka mensejahterakan masyarakat di Sumatera Selatan. Adapun kerangka pemikiran adalah sebagai berikut :
Pertumbuhan Ekonomi
Investasi
PMA
Angkatan Kerja
Pengeluaran Pemerintah PMDN
Multiple Regression
Analisis Struktur Perekonomian
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan PDRB Perekonomian
Shift Share (SS)
Location Quotient (LQ)
Prioritas Pembangunan Daerah Dalam Rangka Mensejahterakan Masyarakat
Gambar 8. Kerangka Pemikiran Teoritis Investasi asing (PMA) dan investasi dalam negeri (PMDN) mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya juga dapat diterapkan pada perekonomian daerah. Walaupun demikian investasi swasta juga sangat
29
dipengaruhi oleh iklim usaha yang sehat dan ini merupakan kewenangan dari pemerintah untuk membuat regulasi yang nantinya diharapkan dapat mendorong iklim usaha. Bertambah banyaknya investasi swasta diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.11.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan adalah :
1.
Penanaman Modal Asing (PMA) berpengaruh positif terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan;
2.
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berpengaruh positif terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan;
3.
Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan;
4.
Angkatan kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan.
30
Halaman ini sengaja dikosongkan
31
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang dipakai adalah data sekunder time series dalam kurun waktu 1993
– 2010 dan diolah dengan menggunakan program eviews. Selanjutnya model yang sudah dibuat diestimasi untuk melihat seberapa besar variabel eksogen mempengaruhi variabel endogen. Data yang diperlukan antara lain: 1.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Sumatera Selatan;
2.
Data penanaman modal, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA);
3.
Data realisasi belanja pembangunan, belanja modal dan pemeliharaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi Sumatera Selatan;
4.
Data kependudukan Propinsi Sumatera Selatan; Adapun sumber data diperoleh dari berbagai instansi meliputi :
1.
BKPM Pusat;
2.
Bappeda Propinsi Sumatera Selatan;
3.
Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Selatan;
4.
Badan Pusat Statistik Pusat;
5.
Instansi-instansi terkait lainnya.
3.2 Metode Analisis 3.2.1. Analisis Shift Share (SS) Secara matematis rumus analisis Shift Share adalah: yit yio y dimana komponen: y io Yt Yo
1
yio Yt Yo
1
yio Yit Yio
Yt Yo
yio yit yio
= unsur National Share
= [NS]
y io Yit Yio
Yt Yo
= unsur Industry Mix
= [IM]
yio yit yio
Yit Yio
= unsur Regional Shift
= [RS]
Yit Yio
Dalam analisis Shift Share, komponen pertama [NS] disebut komponen “Share”, sedangkan komponen kedua [IM] dan ketiga [RS] disebut komponen “Shift”. Perhitungan analisis Shift Share diperoleh dengan menjumlahkan ketiga
32
komponen diatas dan hasilnya harus sama dengan total perubahan dari data industri/sektor yang ada di daerah (ΔY) (Bendavid 1991). keterangan: y
= Pertumbuhan total pendapatan daerah penelitian periode t (rupiah)
y io
= Jumlah pendapatan sektor i daerah penelitian di tahun awal (rupiah)
y it
= Jumlah pendapatan sektor i daerah penelitian di tahun akhir (rupiah)
Yio
= Jumlah pendapatan sektor i nasional di tahun awal (rupiah)
Yit
= Jumlah pendapatan sektor i nasional di tahun akhir (rupiah)
Yo
= Jumlah total pendapatan nasional di tahun awal (rupiah)
Yt
= Jumlah total pendapatan nasional nasional di tahun akhir (rupiah) Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah dapat ditentukan dan
diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila Industry Mix + Regional Shift ≥ 0 maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, Industry Mix + Regional Shift < 0 menunjukan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhannya lambat. Suatu sektor disebut maju jika perkembangan sektor tersebut pada periode berikutnya dinilai relatif lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya, dan sebaliknya yang dimaksud dengan sektor yang lambat adalah perkembangan sektor tersebut pada periode selanjutnya dinilai lebih buruk dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya. 3.2.2. Analisis Location Quetion (LQ) Metode LQ menganalisis sektor basis dan non basis dengan cara membandingkan pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua sektor di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas terhadap pendapatan total semua sektor di daerah atas. Secara matematis dapat ditulis:
33
Sib / Sb LQ = ------------Sia / Sa dimana : Sib = pendapatan sektor i pada daerah bawah (rupiah) Sb = pendapatan total semua sektor daerah bawah (rupiah) Sia = pendapatan sektori pada daerah atas (rupiah) Sa = pendapatan total semua sektor pada daerah atas (rupiah) Jika LQ > 1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor basis. Jika LQ < 1 maka sektor i sebagai sektor non basis
3.2.3. Model dan Analisis Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Data mengenai besaran variabel bebas dan terikat dianalisis dengan metode regresi linier berganda untuk mengetahui besaran pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen. Adapun model yang digunakan sesuai dengan kerangka pemikiran adalah: PDRB = β0 + β1PMA + β2 PMDN + β3 GE + β4 LF + dimana: PDRB
: Pertumbuhan Ekonomi yang di ukur dengan PDRB Riil (rupiah)
PMA
: Penanaman Modal Asing (rupiah)
PMDN
: Penanaman Modal Dalam Negeri (rupiah)
GE
: Pengeluaran Pemerintah Daerah (rupiah)
LF
: Angkatan Kerja daerah (orang)
β0
: Konstanta
β 1,2,3
: Koefisien Regresi (parameter yang diestimasi) : Error term (variabel pengganggu)
3.2.4. Uji Asumsi Klasik Dalam penentuan konstanta dan koefisien regresi perlu memenuhi syarat asumsi klasik. Dimana persyaratan tersebut meliputi: uji multikolinier, heteroskedastisitas dan autokorelasi.
34
1.
Uji multikolinearitas Dalam prakteknya, kita jarang bertemu dengan multikolinier sempurna,
melainkan dengan kasus multikolinearitas dekat atau sangat tinggi dimana variabel-variabel penjelas yang diperkirakan berhubungan secara linier sering muncul dalam banyak penerapan (Gujarati 2002). Biasanya dilakukan uji deteksi masalah multikolinier yaitu dengan korelasi antara variabel. Bila pengaruh variabel bebas sangat tinggi tetapi tidak signifikan atau nilai uji t statistik sangat rendah, maka terdapat multikolinier. Pengujian yang lain, yang dapat digunakan untuk melihat multikolinier antar variabel adalah dengan menggunakan uji parsial (Wahyu 2007). 2.
Uji heteroskedastisitas Agar model tetap memiliki penduga yang baik, maka varians dari faktor
pengganggu
harus
sama
untuk
semua
observasi.
Ini
disebut
dengan
homoskedastisitas (Wahyu 2007). Model harus diuji terlebih dahulu, dengan Uji White atau Uji Park. Kedua Uji heteroskedastisitas ini ada dalam program Eviews. 3.
Uji autokorelasi Model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa faktor pengganggu yang
berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh faktor pengganggu pada pengamatan lainnya (Wahyu 2007). Apabila ada gangguan akan terjadi autokorelasi. Pendeteksian dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW). 3.2.5. Uji Statistik Untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan uji secara statistik. Uji ini meliputi Uji F, Uji t dan koefisien determinannya (R2). a.
Uji statistik F (signifikansi simultan) Hal ini untuk melihat pengaruh variabel eksogen secara bersama-sama
mempengaruhi variabel endogen. Adapun tahapannya adalah: 1.
membuat hipotesa (Ho dan Ha)
2.
menentukan level of significance (α) tertentu
3.
menentukan kriteria pengujian dengan membandingkan F-tabel dan Fhitung
4.
menarik kesimpulan.
35
Apabila F-hit lebih besar daripada F-tabel maka Ho ditolak, artinya variabel eksogen secara bersama-sama mempengaruhi variabel endogen. Nilai F-hit dicari dengan cara sebagai berikut: F-hit = R2 / (k-1) (1- R2) (n-k) dimana: R2 = koefisien determinasi k = jumlah variabel bebas n = jumlah observasi b.
Uji statistik t (signifikansi parameter individual) Uji statistik t ini untuk mengetahui pengaruh variabel eksogen mempegaruhi
variabel endogen secara individual. Tahapannya adalah: 1.
membuat hipotesa (Ho dan Ha)
2.
menentukan level of significance (α) tertentu
3.
membandingkan antara nilai t-tabel dan t-hitung
4.
menarik kesimpulan. Apabila t-hit lebih besar daripada t-tabel maka Ho ditolak, artinya variabel
eksogen secara bersama-sama mempengaruhi variabel endogen. c.
Koefisien determinasi ((R2) nilai koefisien ini antara 0 dan 1. Semakin mendekati 1 berarti variabel
bebas angat besar pengaruhnya terhadap variabel terikat. Adapun nilai koefisien determinasi didapat dengan formula: R2 = 1 - Σ u2 Σ(Yi- Y)2
36
Halaman ini sengaja dikosongkan
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan tahun 2007 sebesar 5,84 persen dan
terjadi perlambatan bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2008 sebesar 5,07 persen. Perlambatan disebabkan oleh krisis global sejak tahun 2008. Pada periode 2008-2009 pun demikian, pada tahun 2008 pertumbuhan sebesar 5,07 persen menjadi 4,11 persen pada tahun 2009. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi mulai membaik sebesar 5,43 persen berarti ada peningkatan dibanding tahun 2009 sebesar 1,32 persen. Adapun sektor yang menyumbang pertumbuhan adalah sektor angkutan dan telekomunikasi, sektor bangunan dan sektor sewa dan jasa. Struktur perekonomian Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan memasukkan migas atau tanpa migas. Bila PDRB dengan migas pada tahun 2010, maka sektor primer merupakan sektor yang menyumbang terbesar, selanjutnya sektor tersier dan terakhir sektor sekunder. Tetapi bila melihat PDRB Provinsi Sumatera Selatan tanpa migas, pada tahun 2010, maka sektor penyumbang terbesar adalah sektor tersier, sekunder dan primer (Tabel 3). Adapun PDRB dengan migas, sektor primer yang menyumbang terbesar adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian. Walaupun untuk tahun 2009 dan 2010 peranan sektor primer tidak mendominasi bila dibanding sektor sekunder dan tersier. Pada tahun 2009 PDRB Sumatera Selatan disumbang oleh sektor primer sebesar 38,39 persen, sektor tersier sebesar 30,94 persen dan sektor sekunder sebesar 30,67 persen. Pada tahun 2010 sumbangan ketiga sektor tersebut tidak jauh berbeda masing-masing sebesar 38,47 persen, 30,88 persen dan 30,65 persen. Hal ini jauh berbeda bila dibandingkan sepanjang tahun 2006 hingga 2008. Dimana pada saat itu sektor primer sangat mendominasi dibanding sektor sekunder dan tersier. Sektor primer menyumbang lebih dari 40 persen terhadap PDRB Sumatera Selatan.
38
Tabel 3. Peranan Masing-masing Sektor dalam Pembentukan PDRB Tahun 2008 – 2010 di Sumatera Selatan Dengan Migas (persen)
Tanpa Migas (persen)
Tahun
Primer
Sekunder
Tersier
Primer
Sekunder
Tersier
2008
42,62
29,75
27,63
31,00
27,56
41,44
2009
38,39
30,67
30,94
29,59
27,44
42,97
2010
38,47
30,65
30,65
29,10
27,58
43,32
Sumber: BPS Sumatera Selatan
Adapun sektor tersier bergerak ke arah sebaliknya. Pada tahun 2010 sektor tersier cenderung meningkat. Pada tahun 2009 dan 2010, sektor ini menduduki peringkat dua dalam sumbangannya terhadap PDRB Sumatera Selatan. Penyebabnya adalah meningkatnya kontribusi sektor jasa, terutama sektor jasa pemerintahan. Pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan menurut lapangan usaha, dihitung berdasarkan kontribusi tiap-tiap sektor. Dimana kontribusi tiap sektor cenderung mengalami peningkatan pertumbuhan kecuali sektor tambang dan galian, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa (Tabel 4). Menurut laporan BPS Sumsel (2010) bahwa: sektor pertanian pada tahun 2010 tumbuh 4,42 persen lebih tinggi dibanding tahun 2009 yang tumbuh 3,11 persen. Peningkatan pertumbuhan ini terjadi di sub perkebunan, sub sektor peternakan dan sub sektor perikanan. Sektor industri pengolahan tumbuh 5,76 persen, meningkat dari tahun sebelumnya yang tumbuh 2,14 persen. Adapun peningkatan terjadi pada sub sektor pengolahan non migas. Sektor listrik, gas dan air bersih pada tahun 2010 tumbuh sebesar 6,31 persen, meningkat dibanding tahun 2009 yang tumbuh 5,09 persen. Sektor bangunan meningkat pertumbuhannya tahun 2010 sebesar 8,75 persen dibanding tahun 2009 yang sebesar 7,34 persen. Peningkatan sektor ini akibat adanya penyelenggaraan Sea Games. Sektor hotel dan restoran tumbuh 6,91 persen lebih tinggi dibanding tahun 2009 yang sebesar 3,13 persen. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan mengalami peningkatan pertumbuhan tahun 2010 sebesar 7,39 persen dibanding tahun 2009 tumbuh sebesar 6,85 persen. Sedangkan sektor pertambangan dan galian melambat dari 1,62 persen tahun 2009 menjadi 1,21 persen tahun 2010. Begitu juga dengan sektor pengangkutan dan komunikasi pada tahun 2010 juga melambat, dari 13,76 persen
39
tahun 2009 menjadi 12,68 persen tahun 2010. Perlambatan terjadi pada sub sektor komunikasi. Sektor jasa-jasa juga melambat, dari 11,35 persen tahun 2009 menjadi 9,36 persen tahun 2010. Tabel 4. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008 – 2010 Provinsi Sumatera Selatan (%) Sektor
2008
2009
2010
1. Pertanian
4,09
3,11
4,42
2. Pertambangan dan Penggalian
1,53
1,62
1,21
3. Industri pengolahan
3,42
2,14
5,76
4. Listrik, Gas dan Air Bersih
5,24
5,09
6,31
5. Bangunan
6,14
7,34
8,75
6. Perdag, Hotel dan Restoran
6,87
3,13
6,91
7. Pengangkutan dan Komunikasi
13,92
13,76
12,68
8. Keu. Persewaan dan Jasa Perusahaan
8,63
6,85
7,39
9. Jasa-Jasa
11,35
9,36
7,38
Sumber: BPS Sumatera Selatan
Sumbangan konsumsi pemerintah terhadap PDRB selalu meningkat sejak tahun 2006. Besarnya sumbangan tersebut berturut-turut sebesar 6,7 persen pada tahun 2006, kemudian sebesar 6,89 persen pada tahun 2007, dan tahun 2008 sebesar 7,5 persen. Selanjutnya sebesar 9.92 persen pada tahun 2009 dan pada tahun 2010 sebesar 10,04 persen. Untuk jumlah penduduk, sepanjang tiga dekade terakhir bertambah sebanyak 4 juta jiwa. Dimana pada tahun 1980 berjumlah 3,98 juta menjadi 7,45 juta jiwa pada tahun 2010. Kepadatan penduduk per 2010 sebesar 86 jiwa per satu kilometer. Kota terpadat yaitu Palembang, Musi Banyu Asin (Muba), Ogan Komering Ilir (OKI) dan Muara Enim yang meliputi hampir setengah jumlah penduduk Sumatera Selatan. Menurut jenis kelamin, penduduk laki-laki masih lebih banyak dibanding perempuan. Namun perbandingannya tidak terlalu jauh. Pada tahun 2010 jumlah penduduk laki-laki sebanyak 3,79 juta sedangkan penduduk perempuan sebanyak 3,66 juta jiwa. Atau dengan rasio jenis kelamin 103,69 artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat 103 sampai 104 penduduk laki-laki.
40
Dari sisi ketenagakerjaan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi kenaikan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dari 69,79 persen pada tahun 2008 menjadi 70,23 persen pada tahun 2010. Adapun sektor pertanian masih dominan dipilih dengan persentase sebesar 58,87 persen diikuti sektor manufaktur dan sektor jasa masing-masing sebesar 8,88 persen dan 31,25 persen. Namun demikian dalam tiga tahun terakhir pekerja sektor pertanian cenderung turun sebaliknya terjadi peningkatan di sektor manufaktur dan jasa. Secara administratif Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 10 (sepuluh) Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota, beserta perangkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah Kabupaten dan Kota membawahi Pemerintah Kecamatan dan Desa / Kelurahan. Pemerintahan Kabupaten / Kota tersebut sebagai berikut : 1. Kabupaten Ogan Komering Ulu Ibukota Baturaja 2. Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Ibukota Martapura 3. Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Ibukota Muara Dua 4. Kabupaten Ogan Komering Ilir Ibukota Kayu Agung 5. Kabupaten Empat Lawang Ibukota Tebing Tinggi 6. Kabupaten Muara Enim Ibukota Muara Enim 7. Kabupaten Lahat Ibukota Lahat 8. Kabupaten Musi Rawas Ibukota Lubuk Linggau 9. Kabupaten Musi Banyuasin Ibukota Sekayu 10. Kabupaten Banyuasin Ibukota Pangkalan Balai 11. Kota Ogan Ilir Ibukota Indralaya 12. Kota Palembang Ibukota Palembang 13. Kota Pagar Alam Ibukota Pagar Alam 14. Kota Lubuk Linggau Ibukota Lubuk Linggau 15. Kota Prabumulih Ibukota Prabumulih
4.2.
Analisis Shift Share (SS) PDRB di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 2001-2005 seperti
terlihat pada Tabel 5, menunjukkan peningkatan sebesar 18 persen di bawah pertumbuhan PDB nasional sebesar 21 persen. Seluruh sektor perekonomian di
41
Sumatera Selatan mengalami perubahan positif. Dimana perubahan terbesar adalah pada sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 45 persen. Diikuti sektor bangunan; perdagangan, hotel dan restoran dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Tidak demikian dengan perubahan sektor di tingkat nasional, dimana pada sektor pertambangan dan galian mengalami penurunan sebesar 2 persen. Pada perekonomian nasional sektor yang mengalami perubahan terbesar adalah sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 55 persen. Diikuti oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor bangunan, yang masing-masing mengalami perubahan sebesar 31 persen, 29 persen dan 28 persen. Secara umum perkembangan PDRB Sumatera Selatan dan PDB nasional searah, kecuali sektor pertambangan dan galian. Pada periode 2001-2005, kontribusi tiap-tiap sektor
terhadap PDRB
Sumatera Selatan cenderung meningkat, kecuali sektor pertambangan dan galian (Tabel 5). Dimana kontribusi sektor tersebut, sebesar 30,83 persen tahun 2001 selanjutnya turun menjadi 26,86 persen pada tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2005 – 2010 terdapat tiga sektor yang kontribusinya menurun terhadap PDRB Sumatera Selatan. Adapun sektor yang turun kontribusinya yaitu sektor pertambangan dan galian (seperti periode 2001-2005), sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Walaupun terjadi penurunan kontribusi pada ketiga sector di atas, namun sumbangan ketiga sector tadi tetap terbesar dibanding sector lain. Dengan demikian tidak terjadi perubahan struktur perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan pada perekonomian nasional, kontribusi tiap-tiap sektor pada 2001 – 2005 terdapat tiga sektor yang turun kontribusinya terhadap PDB yaitu sektor pertanian; pertambangan dan penggalian; perdagangan, hotel dan restoran dan jasa-jasa. Pada tahun 2005 – 2010 sektor yang turun kontribusinya terhadap PDB adalah sektor pertanian; pertambangan dan galian (seperti periode 2001 – 2005), dan sector industri pengolahan. Demikian pula pada perekonomian nasional, walaupun terjadi penurunan kontribusi pada ketiga sector tadi, tetapi sumbangan ketiga sector tersebut tetap lebih besar dibanding sector lainnya. Bila melihat pengamatan tadi, maka pada perekonomian nasionalpun tidak terjadi perubahan struktur perekonomian.
42
Tabel 5. Perubahan PDRB Sumatera Selatan dan PDB Nasional tahun 2001-2005 dan 2005 – 2010 Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
Sumatera Selatan 2001 (juta) 2005 (juta) PDRB PDRB awal akhir 7,950,978 9,806,000 (18,91 %) (19,76 %) 12,962,160 13,330,000 (30,83 %) (26,86 %) 7,334,190 8,807,000 (17,44 %) (17,74 %) 189,393 231,000 (0,45 %) (0,47 %) 2,718,842 3,586,000 (6,47 %) (7,22 %)
Perubahan 2001 (juta) absolut (juta)
persen
1,855,022
23
367,840
3
1,472,810
20
41,607
22
867,158
Nasional 2005 (juta)
32
PDB awal 225,685,700 (15,64 %) 168,244,300 (11,66 %) 398,323,900 (27,60 %) 9,058,300 (0,63 %) 80,080,400 (5,55 %)
PDB akhir 253,881,700 (14,50 %) 165,222,600 (9,44 %) 491,561,400 (28,08 %) 11,584,100 (0,66 %) 103,598,400 (5,92 %)
Perubahan
absolut (juta)
Persen
28,196,000
12
-3,021,700
-2
93,237,500
23
2,525,800
28
23,518,000
29
5,053,572 (12,02 %)
6,430,000 (12,95 %)
1,376,428
27
234,273,000 (16,24 %)
293,654,000 (16,77 %)
59,381,000
25
1,385,284 (3,29 %)
2,005,000 (4,04 %)
619,716
45
70,276,100 (4,87 %)
109,261,500 (6,24 %)
38,985,400
55
1,860,000 (3,75 %) 3,579,000 (7,21 %) 49,634,000
383,968
26
38,166,700
31
Jasa-jasa Total
1,476,032 (3,51 %) 2,978,164 (7,08 %) 42,048,614
600,836 7,585,386
20 18
26,841,900 307,830,600
20 21
Lapangan Usaha
Sumatera Selatan 2005 (juta) 2010 (juta)
Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih
PDRB awal 9,806,000 (19,76 %) 13,330,000 (26,86 %) 8,807,000 (17,74 %) 231,000 (0,47 %) 3,586,000 (7,22 %)
PDRB akhir 12,455,000 (19,54 %) 14,004,000 (21,97 %) 10,949,000 (17,18 %) 314,000 (0,49 %) 5,151,000 (8,08 %)
6,430,000 (12,95 %)
Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
123,085,500 (8,53 %) 133,957,400 (9,28 %) 1,442,984,600
Perubahan 2005 (juta) absolut (juta)
persen
2,649,000
27
674,000
5
2,142,000
24
83,000
36
1,565,000
8,916,000 (13,99 %)
2,005,000 (4,04 %)
3,701,000 (5,81 %)
1,860,000 (3,75 %) 3,579,000 (7,21 %) 49,634,000
2,739,000 (4,30 %) 5,507,000 (8,64 %) 63,736,000
161,252,200 (9,21 %) 160,799,300 (9,18 %) 1,750,815,200
Nasional 2010 (juta)
44
PDB awal 253,881,700 (14,50 %) 165,222,600 (9,44 %) 491,561,400 (28,08 %) 11,584,100 (0,66 %) 103,598,400 (5,92 %)
PDB akhir 304,400,000 (13,17 %) 186,400,000 (8,07 %) 595,300,000 (25,76 %) 18,100,000 (0,78 %) 150,100,000 (6,50 %)
2,486,000
39
293,654,000 (16,77 %)
1,696,000
85
109,261,500 (6,24 %)
879,000
47
1,928,000 14,102,000
54 28
161,252,200 (9,21 %) 160,799,300 (9,18 %) 1,750,815,200
Perubahan
absolut (juta)
Persen
50,518,300
20
21,177,400
13
103,738,600
21
6,515,900
56
46,501,600
45
400,600,000 (17,34 %)
106,946,000
36
217,400,000 (9,41 %)
108,138,500
99
59,347,800
37
57,000,700 559,884,800
35 32
220,600,000 (9,55 %) 217,800,000 (9,43 %) 2,310,700,000
Sumber: BPS Sumsel, data diolah
Analisis Shift Share pada Tabel 6, menjelaskan tentang bagaimana PDRB Sumatera Selatan dapat dilihat berdasarkan komponen National Share (NS), Industri Mix (IM) dan Regional Shift (RS). Laju pertumbuhan PDB nasional sebesar 21 persen telah menambah PDRB Sumatera Selatan total sebesar 7,5 trilyun lebih. Adapun PDRB total tadi merupakan penjumlahan unsur National hare (NS), Industri Mix (IM) dan Regional Shift (RS). Pada unsur National Share, sektor yang paling besar menambah PDRB adalah sektor pertambangan dan
43
galian, pertanian, industri pengolahan dan perdagangan hotel dan restoran. Analisis Shift Share ini ditujukan untuk menganalisis sumber pertumbuhan dengan menggunakan dua tahun pengamatan yaitu tahun 2001-2005 dan 20052010. Analisis ini ditujukan untuk melihat perkembangan pertumbuhan tiap-tiap sektor di wilayah Sumatera Selatan bila dibandingkan dengan wilayah lain. Hasil Shift Share Sumatera Selatan tahun 2001- 2005 seperti dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Perhitungan Shift-Share (SS) Struktur Perekonomian Sumatera Selatan Tahun 2001-2005 dan 2005-2010 dalam rupiah Lapangan Usaha
NS
Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
1,696,174,947,624
-702,821,023,613
861,668,075,990
1,855,022,000,000
2,765,205,872,673 1,564,596,121,271
-2,998,008,760,331 152,151,330,049
600,642,887,658 -243,937,451,320
367,840,000,000 1,472,810,000,000
40,403,037,445 580,008,105,537
12,406,964,366 218,461,009,952
-11,203,001,810 68,688,884,511
41,607,000,000 867,158,000,000
1,078,073,945,421
202,851,124,613
95,502,929,966
1,376,428,000,000
295,521,285,042
472,959,506,013
-148,764,331,056
619,716,460,000
314,880,507,962 635,329,033,323 8,970,192,856,298
142,811,576,681 -38,575,287,195 -2,537,763,559,465
-73,723,784,644 4,082,253,872 1,152,956,463,167
383,968,300,000 600,836,000,000 7,585,385,760,000
Lapangan Usaha
NS
IM
RS
SS
Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
3,135,813,733,397
-1,184,580,344,775
697,766,611,378
2,649,000,000,000
4,262,736,800,549 2,816,348,312,260
-2,554,164,595,536 -957,728,310,364
-1,034,572,205,013 283,379,998,104
674,000,000,000 2,142,000,000,000
73,870,382,665 1,146,749,749,945
56,064,001,534 462,876,823,438
-46,934,384,199 -44,626,573,383
83,000,000,000 1,565,000,000,000
2,056,218,876,784
285,526,102,001
144,255,021,215
2,486,000,000,000
641,169,338,717
1,343,223,082,218
-288,392,420,935
1,696,000,000,000
194,439,367,649 659,303,523,709 564,618,938,526
879,000,000,000 1,928,000,000,000 14,102,000,000,000
594,800,483,797 1,144,511,253,501 15,872,218,931,615
IM
RS
89,760,148,554 124,185,222,790 -2,334,837,870,141
SS
Dimana Komponen : NS = National Share (unsur pertumbuhan nasional) IM = Industri Mix (unsur bauran industri) RS = Regional Shift (unsur keunggulan kompetitif) SS = Shift Share (pertumbuhan total pendapatan) PDRB di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 2005-2010 seperti terlihat pada Tabel 5, menunjukkan peningkatan sebesar 28 persen di bawah
44
pertumbuhan PDB nasional sebesar 32 persen. Dimana di Sumatera Selatan seluruh sektor mengalami perubahan positif. Demikian juga dengan perubahan PDB nasional, dimana seluruh sektor mengalami perubahan positif. Laju pertumbuhan PDB nasional sebesar 32 persen telah menambah PDRB Sumatera Selatan sebesar 14,1 trilyun. Dimana angka tersebut merupakan penambahan unsur National Share (NS), Industri Mix (IM) dan Regional Shift (RS). Adapun sektor yang paling besar menambah PDRB pada unsur National Share (NS) adalah sektor pertambangan dan galian, pertanian, industri pengolahan dan perdagangan hotel dan restoran. Struktur PDRB dari sisi sektoral sejak tahun 2007 sampai tahun 2010 masih didominasi oleh sektor primer, kemudian diikuti sektor tersier, dan sektor sekunder. Adapun kontribusi sektor primer sebesar 38,47 persen kemudian sektor tersier 30,87 persen dan 30,65 persen untuk sektor sekunder pada tahun 2010. Dapat dikatakan bahwa dalam kontribusi sektoral tidak terdapat sektor yang sangat dominan dibanding sektor lain. Untuk melihat perkembangan tiap-tiap sektor sekaligus daya saing dengan daerah lain maka diperlukan analisis Shift Share dengan melihat tiga komponen yaitu komponen National Share (NS), Komponen Industri Mix (IM) dan Komponen Regional Shift (RS) pada masing-masing sektor ekonomi. 4.2.1. Sektor Pertanian Melalui komponen National Share (NS) sektor pertanian pada tahun 20012005 memiliki kontribusi sebesar 1,6 trilyun terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan. Dengan demikian kebijakan nasional bidang pertanian mempengaruhi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan. Untuk komponen Industri Mix (IM), menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar negatif 702,8 milyar. Serta komponen Regional Shift (RS), sebesar 861,6 milyar. Sektor pertanian mempuyai kontribusi positif secara keseluruhan (SS), sebesar 1,85 trilyun. Sektor pertanian merupakan suatu usaha yang didapat dari alam dan merupakan barang biologis dengan tujuan dikonsumsi sendiri atau untuk di perjual belikan kepada pihak lain. Umumnya yang termasuk sektor pertanian adalah: bercocok tanam, peternakan, penangkapan ikan, penebangan kayu dan
45
pengambilan hasil hutan serta perburuan di hutan. Sektor pertanian memiliki lima sub sektor yakni: sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan dan perikanan. Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam perekonomian Sumatera Selatan, mengingat sumbangannya terhadap devisa ekspor luar negeri hasil olahan produk pertanian yang terbesar sekitar 70 persen dari total ekspor luar negeri Sumatera Selatan. Sedangkan share pertanian terhadap PDRB Sumatera Selatan cenderung menurun dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2007 share pertanian terhadap PDRB Sumatera Selatan sebesar 18,27 persen selanjutnya turun pada tahun 2008 sebesar 17,18 persen. Pada tahun 2009 ada kenaikan sedikit menjadi sebesar 17,35 persen dan tahun 2010 turun kembali menjadi 16,85 persen. Sedangkan untuk analisis shift share 2005 – 2010, pada komponen National Share sebesar 3,1 trilyun. Untuk komponen Industri Mix (IM), menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar negatif 1,1 trilyun, dan komponen Regional Shift (RS), sebesar 697,7 milyar. Sektor pertanian mempunyai kontribusi positif secara keseluruhan (SS), sebesar nilai shift-share sekitar 2,6 trilyun. Angka 2,6 trilyun ini cukup tinggi dan merupakan satu dari tiga penyumbang terbesar selain sektor perdagangan, hotel dan restoran, industri pengolahan dan sektor jasa-jasa. Hal ini dapat dipahami sebab Sumatera Selatan termasuk sentra penghasil padi. Selain padi terdapat juga komoditas pangan lain seperti: jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar. Dimana pada prioden 2009 –2010, terjadi penurunan produksi tanaman kedelai, kacang tang dan ubi kayu, sedangkan produksi padi, jagung dan ubi jalar meningkat. Nilai tambah bruto sektor pertanian tahun 2010 atas dasar harga konstan mengalami peningkatan dibanding tahun 2009. Begitu pula dengan pertumbuhan sektor pertanian, tahun 2010 terjadi kenaikan pertumbuhan dari 3,11 persen menjadi 4,42 persen. Percepatan ini terjadi pada hampir seluruh sub sektor pertanian selain sub sektor tanaman bahan makanan. Sub sektor perkebunan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 2,78 persen tahun 2009 menjadi 5,22 persen tahun 2010. Dimana sumbangan terbesar berasal dari Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Musi Rawas yang
46
merupakan penghasil utama sub sektor perkebunan. Kontribusi dan pertumbuhan sub sektor dalam sektor pertanian tahun 2008 – 2010 dapat dilihat pada Tabel 7. Sub sektor perkebunan merupakan sub sektor penyumbang terbesar kepada sektor pertanian. Pada tahun 2010 sub sektor perkebunan menyumbang sebesar 40,27 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2009 yang sebesar 38,61 persen. Adapun penyebab naiknya kontribusi sub sektor perkebunan lebih disebabkan oleh faktor naiknya harga komoditi perkebunan. Selanjutnya sub sektor tanaman bahan makanan dengan kontribusi tahun 2010 sebesar 26,26 persen lebih rendah dibanding kontribusi tahun sebelumnya yang sebesar 26,52 persen. Dimana penyumbang terbesar adalah padi. Dalam dua tahun terakhir terjadi peningkatan produksi padi sebanyak 147,3 ton dan penambahan luas panen 23 hektar. Produktivitas pun meningkat sebesar 1,58 persen. Luas panen dan produktivitas merupakan penyebab utama dari peningkatan produksi padi. Hal ini disebabkan oleh pemilihan benih padi hibrida yang relatif lebih banyak digunakan dibanding jenis lain yang produktivitasnya di bawah benih hibrida walaupun penggunaannya masih sangat sedikit. Tahun 2009 dari sekitar 483 ribu rumah tangga usaha tani baru sekitar 2,6 persen yang menggunakan benih hibrida. Dengan demikian produktivitas padi dapat lebih ditingkatkan apabila terjadi pertambahan petani yang menggunakan benih hibrida. Salah satu kendala adalah harga yang relatif mahal dibanding benih lain. Sub sektor peternakan dan kehutanan berkontribusi masing-masing sebesar 8,33 persen dan 10,90 persen. Sub sektor peternakan tumbuh 6,08 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2009 yang sebesar 5,63 persen. Sebaliknya sub sektor kehutanan terkontraksi 1,22 persen pada tahun 2010. Pada tahun 2010 kontribusi sub sektor perikanan sebesar 14,24 persen, angka ini lebih rendah bila dibanding kontribusi tahun 2009 sebesar 14,89 persen. Sedangkan dilihat dari pertumbuhan, sub sektor perikanan mengalami percepatan pertumbuhan dari sebesar 3,95 persen tahun 2009, menjadi 5,69 persen tahun 2010. Dimana hasil produksi perikanan Sumatera Selatan mencapai 306,21 ribu ton. Dari produksi tersebut sekitar 70 persen merupakan perikanan budi daya, selebihnya berasal dari perikanan laut dan perairan umum. Daerah penghasil
47
utama sub sektor perikanan berasal dari Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin. Tabel 7. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Pertanian Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) Uraian
2008
2009
2010
1. Kontribusi 1.1. Tanaman Bahan Makanan 1.2. Tanaman Perkebunan 1.3. Peternakan 1.4. Kuhutanan 1.5. Perikanan 2. Pertumbuhan 2.1. Tanaman Bahan Makanan 2.2. Tanaman Perkebunan 2.3. Peternakan 2.4. Kehutanan 2.5. Perikanan
17,18 25,16 41,63 8,40 9,83 14,98
17,35 26,52 38,61 8,47 11,50 14,89
16,85 26,26 40,27 8,33 10,90 14,24
5,24 4,62 5,16 -1,36 3,04
4,47 2,78 5,63 2,90 3,95
3,39 5,22 6,08 -1,22 5,69
Sumber: BPS Sumatera Selatan
4.2.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian Pada analisis shift share untuk tahun 2001-2005 didapatkan bahwa untuk sektor pertambangan dan galian nilai komponen National Share (NS), sebesar 2,7 trilyun. Artinya bahwa kebijakan nasional berpengaruh positif dengan angka lebih besar dibanding sektor pertanian. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar negatif 2,9 trilyun dan pengaruh komponen keunggulan kompetitif (RS) sebesar 600,6 milyar. Artinya sektor ini merupakan sektor yang pertumbuhannya lambat namun tinggi daya saingnya dibandingkan dengan wilayah lainnya. Untuk nilai keseluruhan sebesar 367,8 milyar. Sedangkan untuk analisis periode 2005-2010 sektor tambang dan galian nilai komponen National Share (NS), sebesar 4,2 trilyun. Artinya bahwa kebijakan nasional berpengaruh positif terhadap sektor ini dengan angka lebih besar dibanding periode sebelumnya. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar negatif 2,5 trilyun dan pengaruh komponen keunggulan kompetitif (RS) sebesar negatif 1,03 trilyun. Artinya sektor ini merupakan sektor yang pertumbuhannya lambat dan lemah daya saingnya dibandingkan dengan wilayah lainnya. Untuk nilai keseluruhan sebesar 674 milyar. Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian cenderung turun selama empat tahun terakhir. Dimana pada tahun 2010 sebesar 21.62 persen lebih besar dibanding tahun 2009 yang sebesar 21,04
48
persen. Dengan demikian sektor tambang dan galian sangat tergantung kepada kebijakan nasional. Sektor tambang dan galian adalah kegiatan yang mencakup penggalian, pengeboran, penyaringan, pencucian, pemilihan dan penggalian segala macam barang tambang, mineral dan barang galian yang tersedia di alam, baik berupa benda padat, benda cair maupun gas (BPS Sumsel, 2010). Pekerjaan penambangan dan penggalian meliputi kegiatan di bawah tanah maupun di atas permukaan bumi. Dimana tujuannya adalah untuk menciptakan nilai guna dari barang yang ditambang atau digali sehingga bermanfaat, dijual atau diproses lebih lanjut. Sektor tambang dan galian meliputi pertambangan migas, pertambangan non migas dan penggalian. Sektor tambang dan galian merupakan sektor penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sumatera Selatan. Komoditi olahan hasil tambang berupa minyak mentah dan batubara diekspor ke luar negeri. Pada tahun 2010 hasil ekspor tambang migas menyumbang sebesar 14 persen dari total devisa luar negeri Sumatera Selatan. Sedangkan batubara hanya sekitar 2 persen. Sumbangan sektor tambang dan galian terhadap PDRB Sumatera Selatan tahun 2009 sebesar 21,04 persen, lebih rendah dibanding sumbangan tahun 2010 sebesar
21,62 persen. Dimana pangsa terbesar dalam menyumbang PDRB
Sumatera Selatan dalam sektor pertambangan dan galian adalah pertambangan migas yang pada tahun 2010 menyumbang 80 persen sedang sisanya disumbang pertambangan non migas dan penggalian. Nilai tambah bruto sektor tambang dan galian atas dasar harga konstan mengalami perlambatan pertumbuhan dari sebesar 1,62 persen tahun 2009 menjadi 1,21 persen tahun 2010. Perlambatan pertumbuhan terjadi pada sub sektor pertambangan migas, sedangkan sub sektor pertambangan non migas dan penggalian mengalami percepatan dibanding tahun sebelumnya. Adapun wilayah penyumbang sub sektor pertambangan minyak dan gas bumi yaitu Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Lahat, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi Banyuasin, Kota Prabumulih dan Kabupaten
Banyuasin.
Dimana
kabupaten
penyumbang terbesar
adalah
49
Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Muara Enim yakni sekitar 80 persen dari total produksi minyak dan gas bumi Provinsi Sumatera Selatan. Kontribusi sub sektor pertambangan migas mencapai 82 persen pada tahun 2010, lebih tinggi dibanding tahun 2009 yang sebesar 81,16 persen. Kenaikan ini lebih diakibatkan adanya pengaruh kenaikan harga minyak mentah yang cukup signifikan sebesar 28,94 persen. Dilihat dari sisi pertumbuhan, maka sub sektor pertambangan dan migas mengalami perlambatan dari 0,91 persen tahun 2009 menjadi 0,22 persen tahun 2010. Hal ini diakibatkan melemahnya tambang migas terutama minyak mentah. Sub sektor pertambangan non migas memberikan kontribusi sebesar 11,62 persen terhadap PDRB Sumatera Selatan tahun 2009, kemudian menurun menjadi sebesar 11,14 persen tahun 2010. Seperti dapat dilhat pada Tabel 8. Bila dilihat dari pertumbuhan, maka sub sektor pertambangan non migas mengalami peningkatan dari 5,35 persen tahun 2009 menjadi 6,06 persen tahun 2010. Peningkatan ini diakibatkan baru dimulainya eksploitasi tambang batubara di Banyuaasin dan Musi Rawas. Kontribusi sub sektor penggalian mengalami penurunan dari sebesar 7,22 persen tahun 2009 menjadi 6,86 persen tahun 2010. Tetapi bila dilihat dari sisi pertumbuhan, sub sektor penggalian mengalami percepatan dari sebesar 3,89 persen tahun 2009 menjadi 4,53 persen tahun 2010. Tabel 8. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Pertambangan dan Penggalian Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) Uraian 1. Kontribusi 1.1. Pertambangan Migas 1.2. Pertambangan Non Migas 1.3. Penggalian 2. Pertumbuhan 2.1. Pertambangan Migas 2.2. Pertambangan Non Migas 2.3. Penggalian
2008
2009
2010
86,31 8,55 5,14
81,16 11,62 7,22
82,00 11,14 6,86
1,08 3,01 4,93
0,91 5,35 3,89
0,22 6,06 4,53
Sumber: BPS Sumatera Selatan
4.2.3. Sektor Industri Pengolahan Pada analisis shift share untuk tahun 2001-2005 nilai komponen National Share (NS), sebesar 1,5 trilyun terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya bahwa
50
kebijakan nasional berpengaruh positif dengan angka lebih kecil dibanding sektor pertanian. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar 152,1 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift negatif 243,9 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat namun lemah daya saingnya dibanding wilayah lain. Nilai Shift Share secara keseluruhan sebesar 1,4 trilyun dimana kontribusi terbesar adalah pengaruh dari komponen National Share. Sedangkan untuk analisis periode 2005-2010 sektor industri pengolahan nilai komponen National Share (NS), sebesar 2,8 trilyun. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar negatif 957,7 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift 283,3 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan lambat namun memiliki daya saing yang cukup baik dibanding sektor wilayah lain. Kegiatan industri adalah kegiatan untuk mengubah bentuk baik secara mekanis maupun kimiawi dari bahan organic atau anorganik menjadi produk baru yang lebih tinggi mutunya (BPS, Sumsel 2010). Adapun proses tersebut bisa dilakukan dengan
bantuan mesin atau tangan, dibuat di suatu pabrik atau
rumahtangga. Termasuk industri perakitan barang-barang industri seperti misalnya mobil dan alat elektronik. Sektor industri pengolahan ini dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sektor industri pengolahan migas dan sektor industri pengolahan non migas. Kontribusi industri pengolahan terhadap total PDRB Sumatera Selatan tahun 2010 sebesar 37.34 trilyun lebih atau memberikan kontribusi sebesar 23,67 persen terhadap total PDRB Sumatera Selatan. Angka ini lebih tinggi dibanding kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB tahun 2009 yang sebesar 32,45 trilyun atau menyumbang sebesar 23,64 persen terhadap total PDRB Sumatera Selatan. Dimana peningkatan terjadi pada sub sektor industri migas sedangkan industri non migas turun kontribusinya dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2010 kontribusi industri migas sebesar 46,46 persen terhadap nilai tambah bruto sektor industri pengolahan. Nilai ini lebih tinggi dibanding tahun 2009 yang sebesar 46,12 persen. Pengaruh naiknya harga minyak menjadi sebab naiknya nilai tambah bruto sektor industri migas. Hal tersebut ditunjukkan juga
51
dengan dari nilai ekspor hasil pengolahan minyak mentah Provinsi Sumatera Selatan yang naik sebesar 25 persen. Walaupun bila dibandingkan tahun 2009, sumbangan ekspor hasil pengolahan minyak mentah Provinsi Sumatera Selatan tahun 2010 mengalami kontraksi dari sebesar 19,61 persen menjadi 14,22 persen. Kontribusi dan Pertumbuhan sub sektor dalam sektor industri pengolahan tahun 2008 – 2010 dapat dilihat pada Gambar 9. Kontribusi industri non migas terhadap industri pengolahan total Sumatera Selatan tahun 2010 sebesar 53,54 persen. Angka ini lebih rendah dibanding tahun 2009 yang sebesar 53,88 persen. Terjadi penurunan dihampir semua sub sektor industri pengolahan non migas kecuali sub sektor industri kimia. Pada sub sektor pengilangan minyak terjadi kontraksi negatif 0,35 persen tahun 2010. Sedangkan untuk sub sektor non migas terjadi peningkatan dari 2,46 persen tahun 2009 menjadi 7,34 persen tahun 2010. Dimana dua sub sektor menyumbang terbesar pada sektor industri non migas yakni, sub sektor kimia dan sub sektor industri makanan yang masing-masing tumbuh sebesar 11,45 persen dan 6,67 persen pada tahun 2010. Sedangkan untuk sub sektor industri kayu masih mengalami kontraksi sebesar negatif 2,93 persen pada tahun 2010. Sub sektor industri lain tumbuh sebesar 6,11 persen naik dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,24 persen. Sektor industri pengolahan ini merupakan sektor yang sumbangannya besar terhadap PDRB regional. Pada tahun 2009 sumbangan sektor ini terhadap PDRB sebanyak 23,64 persen. Sedangkan pada tahun 2010 sektor ini menyumbang sebesar 23,67 persen.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya
perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan. Tercatat hampir sepertiga dari seluruh perusahaan bergerak di bidang industri pengolahan makanan dan minuman dan sebanyak 20 persen bergerak di industri pengolahan kayu dan barang anyaman. Industri mikro dan kecil memberikan sumbangan cukup besar dalam penciptaan pemerataan pendapatan baik skala nasional maupun Sumatera Selatan. Jumlah industri mikro dan kecil di Sumatera Selatan sebanyak 51.531 dimana sekitar 61,07 persen dengan jumlah pekerja 2 sampai 4 orang.
52
Secara keseluruhan nilai Shift Share (SS) memberikan kontribusi sebesar 2,1 trilyun. Artinya bahwa pengaruh industri pengolahan nasional mempengaruhi pertumbuhan industri pengolahan Sumatera Selatan. Tabel 9. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Industri Pengolahan Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) Uraian Kontribusi 1.1. Pertambangan Migas 1.2. Pertambangan Non Migas - Industri Makanan - Industri Kayu - Industri Kimia - Industri Lain-Lain 2. Pertumbuhan 2.1. Pertambangan Migas 2.2. Pertambangan Non Migas - Industri Makanan - Industri Kayu - Industri Kimia - Industri Lain-Lain
2008
2009
2010
48,93 51,07 24,11 4,57 19,92 2,47
46,12 53,88 26,35 5,20 19,63 2,70
46,46 53,54 28,35 4,70 20,37 2,62
1,27 4,00 5,17 -1,32 3,75 4,98
0,92 2,46 5,40 -0,61 -1,20 4,24
-0,35 7,34 6,67 -2,93 11,45 6,11
1.
Sumber: BPS Sumatera Selatan
4.2.4. Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih Pada analisis shift share untuk tahun 2001-2005 nilai komponen National Share (NS), sebesar 40,4 milyar terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya bahwa kebijakan nasional berpengaruh positif dengan angka lebih kecil dibanding sektor industri pengolahan. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar 12,4 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift (RS) negatif 11,2 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat namun lemah daya saingnya dibanding wilayah lain. Walau begitu selisih antara IM dan RS adalah positif, artinya sektor ini relatif lebih baik dibanding sektor indistri pengolahan. Sedangkan untuk analisis periode 2005-2010 sektor listrik, gas dan air bersih nilai komponen National Share (NS), sebesar 73,8 milyar. Nilai ini juga melebihi nilai sektor yang sama pada analisis periode sebelumnya. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar 56 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift negatif 46,9 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat namun memiliki daya saing yang rendah dibanding sektor wilayah lain. Dimana selisih antara komponen IM dan RS positif.
53
Sektor listrik, gas dan air bersih terdiri atas tiga sub sektor yaitu sub sektor listrik, sub sektor gas kota dan sub sektor air bersih. Dimana sub sektor listrik adalah kegiatan pembangkitan dan penyaluran tenaga listrik, baik oleh Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN) maupun non PLN seperti perusahaan listrik daerah maupun swasta. Sub sektor gas kota meliputi penyediaan gas kepada konsumen yang disalurkan melalui pipa melalui pembakaran batu bara, gas minyak, ter dan minyak ter. Termasuk kegiatan penyaluran LPG yang tekanannya sudah dinaikkan. Sub sektor air bersih meliputi proses pembersihan dan pemurnian air dan proses kimia lain untuk digunakan sebagai air minum termasuk pendistribusiaannya ke rumahtangga, instansi pemerintah dan swasta, baik dilakukan oleh PAM maupun bukan PAM, termasuk kegiatan penggalian sumur artesis komersial. Peranan sektor listrik, gas dan air bersih terhadap PDRB Sumatera Selatan masih sangat kecil, di bawah satu persen. Pada tahun 2010, sumbangan sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 0,49 persen lebih rendah dibanding tahun 2009 yang sebesar 0,51 persen. Dimana sebagian besar disumbang oleh sub sektor listrik sekitar 80,69 persen tahun 2010. Sedangkan sisanya disumbang sub sektor air bersih dan gas kota sebesar 19,31 persen. Walaupun peranan sektor listrik, gas dan air bersih sangat kecil namun sektor ini termasuk sektor yang cepat pertumbuhannya. Hal ini terindikasi dari posisi Sumatera Selatan sebagai tambang migas dan mendapat predikat lumbung energi. Dua produk penting yaitu minyak bumi dan gas memang menjadi komoditi andalan dan mengingat posisi strategis yang relatif lebih dekat ke Malaysia dan Singapura. Adapun secara komposisi ada kecenderungan bahwa pemakaian listrik untuk rumah tangga sebanyak 53,8 persen kemudian sektor bisnis hanya 18,86 persen dan sisanya untuk golongan sosial dan lainnya. Pertumbuhan sub sektor listrik sebesar 4,38 persen tahun 2009, kemudian meningkat menjadi 6,46 persen tahun 2010. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pelanggan PLN dalam lima tahun terakhir. Tahun 2006 pelanggan PLN tercatat sebesar 763.787 dan tahun 2010 sebanyak 906.203 atau naik rata-rata 4,16 persen. Sub sektor gas tumbuh sebesar 9,89 persen tahun 2008, selanjutnya kontraksi masing-masing 6,63 persen tahun 2009 kemudian sebesar 3,61 persen tahun 2010.
54
Sedangkan sub sektor air bersih tumbuh 8,11 persen tahun 2009, dan mengalami kontraksi pada tahun 2010 sebesar 6,16 persen. Kontribusi sub sektor dalam listrik, gas dan air bersih dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) Uraian 1. Kontribusi 1.1. Listrik 1.2. Gas 1.3. Air Bersih 2. Pertumbuhan 2.1. Listrik 2.2. Gas 2.3. Air Bersih
2008
2009
2010
82,15 4,57 13,28
81,00 5,07 13,93
80,69 5,06 14,25
4,18 9,89 9,52
4,38 6,63 8,11
6,46 3,61 6,16
Sumber: BPS Sumatera Selatan
Nilai Shift-Share secara keseluruhan (SS), sektor listrik, gas, dan air bersih memberikan kontribusi positif sebesar 83 milyar, dimana sebesar 73 milyar lebih disumbang dari komponen National Share (NS). Artinya bahwa pertumbuhan sektor listrik gas dan air bersih nasional mempengaruhi percepatan sektor ini di Sumatera Selatan. 4.2.5. Sektor Bangunan Pada analisis shift share untuk tahun 2001-2005 komponen National Share (NS), dan komponen Industri Mix (IM), maupun sektor keunggulan kompetitip (RS), bernilai positif. Masing-masing bernilai 580 milyar, 218,4 milyar dan 68,6 milyar. Artinya bahwa kebijakan nasional di sektor ini memberikan efek positif pada sektor bangunan. Sektor ini termasuk sektor yang cepat pertumbuhannya dan baik daya saingnya. Walaupun secara dominan besarnya PDRB pada sektor ini masih akibat dari komponen National Share. Sedangkan untuk analisis periode 2005-2010 sektor bangunan nilai komponen National Share (NS), sebesar 1,1 trilyun. Nilai ini juga melebihi nilai sektor yang sama pada analisis periode sebelumnya. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar 462,8 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift negatif 44,6 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang cepat
55
pertumbuhannya namun lemah daya saingnya dibanding sektor wilayah lain, dan pertumbuhan sektor ini lebih diakibatkan dari kebijakan nasional. Sektor bangunan meliputi pembuatan, pembangunan, pemasangan dan perbaikan (berat maupun ringan) semua jenis konstruksi seperti bangunan tempat tinggal, bangunan bukan tempat tinggal, jalan, jembatan, pelabuhan (laut, udara), terminal, monumen, dam, instalasi jaringan listrik, gas dan air dan jaringan komunikasi serta bangunan lainnya. (BPS Sumsel, 2010). Sepanjang tahun 2006 – 2010 kontribusi sektor ini terhadap PDRB Sumatera Selatan cenderung turun.Peranan sektor bangunan terhadap PDRB Sumatera Selatan sebesar 6,49 persen pada tahun 2010, lebih rendah dibanding tahun 2009 yang sebesar 6,52 persen. Dimana pada tahun 2009 pendapatan usaha bangunan mencapai 2,7 trilyun dan menyerap 20.854 tenaga kerja. Nilai tambah bruto sektor bangunan mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 7,34 persen tahun 2009 dan tumbuh 8,75 persen pada tahun 2010. Peningkatan ini disebabkan peningkatan permintaan akibat turunnya tingkat suku bunga. Disamping itu pula pengaruh dipilihnya Provinsi Sumatera Selatan sebagai tuan rumah penyelenggaraan Sea Games tahun 2011. Adapun nilai Shift- Share secara keseluruhan (SS), menyumbang positif 1,56 trilyun, dengan komponen National Share sebagai kontribusi terbanyak yaitu sebesar 1,1 trilyun lebih . Dapat diartikan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional mempercepat pertumbuhan sektor bangunan di Sumatera Selatan. 4.2.6. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pada analisis shift share untuk tahun 2001-2005 nilai komponen National Share (NS), sebesar 1,07 trilyun terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya bahwa kebijakan nasional berpengaruh positif dengan angka lebih besar
dibanding
sektor bangunan. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar negatif 202,8 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift 95,5 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat dan baik daya saingnya dibanding wilayah lain. Sedangkan untuk analisis periode 2005-2010 untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran nilai komponen National Share (NS), sebesar 2,05 trilyun. Nilai ini juga melebihi nilai sektor yang sama pada analisis periode sebelumnya.
56
Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar 285,5 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift 144,2 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat dan baik daya saing dibanding sektor wilayah lain. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki terdiri atas tiga sub sektor yaitu sub sektor perdagangan, sub sektor hotel dan sub sektor restoran. Cakupannya meliputi kegiatan berdagang, penyediaan akomodasi, penjualan bahan makanan dan minuman seperti restoran, warung, kedai dan pedagang keliling. Sektor ini termasuk sektor penyumbang terbesar dalam pembentukan PDRB Sumatera Selatan dengan urutan nomor empat setelah sektor pertanian. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk Sumatera Selatan yang cukup besar yang menjadi pangsa untuk berkembangnya usaha perdagangan, restoran dan hotel. Dimana pusat-pusat kegiatan bisnis hampir ada hampir di setiap kabupaten/kota, baik dalam skala kecil, menengah maupun besar. Namun demikian peranan sektor perdagangan, hotel dan restoran sedikit mengalami penurunan pada tahun 2010. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun 2009 adalah sebesar 12,78 persen dan menurun menjadi 12,71 persen tahun 2010. Kontribusi terbesar dalam sektor ini adalah sub sektor perdagangan, yang pada tahun 2010 berkontribusi sebesar 91,11 persen, kontribusi ini sama dengan tahun sebelumnya. Selebihnya merupakan kontribusi sub sektor restoran dan hotel, yang masingmasing sebesar 8,13 persen dan 0,76 persen, kontribusi ini sama dengan kontribusi tahun sebelumnya. Selain itu bila dilihat dari pertumbuhan, semua sub sektor mengalami pertumbuhan pada tahun 2010. Walaupun pada tahun 2009 sub sektor perdagangan besar dan eceran sempat kontraksi sebesar 2,90 persen, dibanding tahun 2008 yang tumbuh sebesar 6,26 persen. Kontraksi ini diakibatkan adanya krisis global di akhir tahun 2008 berlanjut sampai semester II tahun 2009. Dimana menurunnya kontribusi sektor pertanian dan industri pengolahan sebagai pemasok utama sektor perdagangan besar dan eceran. Selanjutnya sub sektor hotel dan restoran pada tahun 2010 tumbuh masing-masing sebesar 6,79 persen dan 8,01 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,28 persen dan 5,42 persen. Peranan masing-masing sub sektor perdagangan, hotel dan restoran disajikan dalam Tabel 11.
57
Tabel 11. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 2008 – 2010 (dalam persen) Uraian 1. Kontribusi 1.1. Perdagangan 1.2. Hotel 1.3. Restoran 2. Pertumbuhan 2.1. Perdagangan 2.2. Hotel 2.3. Restoran
2008
2009
2010
91,47 0,73 7,80
91,11 0,76 8,13
91,11 0,76 8,13
6,26 14,66 13,32
2,90 6,28 5,42
6,81 6,79 8,01
Sumber: BPS Sumatera Selatan
Disamping itu pula, cepat tumbuhnya sektor ini dibanding sektor lain tidak terlepas dari iklim perdagangan karet yang kondusif, dengan tujuan ekspor antara lain Singapura, Cina, Jepang, Brasil, Jerman dan Perancis. Dimana sumbangan karet terhadap ekspor non migas sangat besar yaitu sekitar 80 persen. Adapun secara keseluruhan nilai Shift Share (SS) sektor ini memberikan kontribusi positif sebesar 2,4 trilyun, dengan dominan disumbang komponen National Share sebesar 2,0 trilyun lebih. Hal ini berarti bahwa perdagangan, hotel dan restoran disamping merupakan sektor yang pertumbuhannya cepat
yang
disebabkan oleh baik daya saingnya dibanding industri nasional juga dipengaruhi oleh kebijakan nasional. 4.2.7. Sektor Pengangkutan, dan Komunikasi Pada analisis shift share untuk tahun 2001-2005 nilai komponen National Share (NS), sebesar 295,5 milyar terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya bahwa kebijakan nasional berpengaruh positif dengan angka lebih kecil dibanding sektor perdagangan hotel dan restoran. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar 472,9 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift negatif 148 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat namun lemah daya saingnya dibanding wilayah lain. Bahkan nilai komponen Regional Shift ini paling kecil setelah sektor industri pengolahan. Namun demikian selisih antara IM dan RS adalah positif. Artinya sektor ini lebih baik dibanding sektor pengolahan yang selisih IM dan RS nya negatif.
58
Sedangkan untuk analisis periode 2005-2010 untuk sektor pengangkutan dan komunikasi nilai komponen National Share (NS), sebesar 641,1 milyar. Nilai ini juga melebihi nilai sektor yang sama pada analisis periode sebelumnya. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar 1,3 trilyun dan pengaruh komponen Regional Shift negatif 288,3 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat
namun memiliki daya saing yang rendah
dibanding sektor wilayah lain. Sektor ini termasuk sektor potensial bagi Provinsi Sumatera Selatan, dimana ketergantungan dengan kebijakan nasional relatif kecil. Peranan sektor pengangkutan dan komunikasi terhadap PDRB Sumatera Selatan relatif kecil, hanya sebesar 4 persen. Pada tahun 2010, kontribusi sektor ini sebesar 4,45 persen. Sub sektor yang dominan berpengaruh terhadap sektor ini adalah sub sektor angkutan, yang pada tahun 2010 sebesar 65,19 persen sedangkan sisanya disumbang sub sektor komunikasi. Dalam tiga tahun terakhir, sumbangan sub sektor angkutan cenderung turun, pada tahun 2008 sebesar 69,91 persen dan tahun 2009 sebesar 67,10 persen dan tahun 2010 sebesar 65,19 persen. Penurunan ini diakibatkan dari turunnya kontribusi pada angkutan jalan raya. Sebaliknya untuk sub sektor komunikasi dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 30,39 persen tahun 2008, menjadi 32,90 persen dan 34,81 persen pada tahun 2009 dan 2010. Peningkatan terutama pada meningkatnya kegiatan pos dan telekomunikasi. Kontribusi dan pertumbuhan sub sektor angkutan dan komunikasi disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Angkutan dan Komunikasi Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) Uraian 1. Kontribusi 1.1. Angkutan 1.2. Komunikasi 2. Pertumbuhan 2.1. Angkutan 2.2. Komunikasi
2008
2009
2010
69,91 30,09
67,10 32,90
65,19 34,81
6,70 26,22
7,57 22,67
7,96 18,64
Sumber: BPS Sumatera Selatan
Pertumbuhan yang cukup tinggi pada sub sektor telekomunikasi diakibatkan semakin pesatnya teknologi telekomunikasi dan tersebarnya jaringan komunikasi terutama pemakaian telepon seluler dan internet. Disamping itu pertumbuhan yang cepat dalam sektor ini dipengaruhi juga oleh makin banyaknya produk-
59
produk telekomunikasi dan semakin pentingnya komunikasi bagi masyarakat. Di Sumatera Selatan sektor ini mampu berkembang lebih dari 10 persen selama empat tahun terakhir. Disamping itu pula peran strategis sektor ini dalam rangka mendorong stabilitas nasional dan mendukung gerak pembangunan sekaligus mengurangi ketimpangan antar wilayah. Perkembangan pesat sektor ini dimaksudkan agar hasil-hasil pembangunan dirasakan oleh seluruh masyarakat sampai ke pelosok nusantara. Sedangkan untuk komponen Regional Shift (RS), bernilai negatif sebesar 288,3 milyar. Artinya daya saing sektor ini relatif lemah dibandingkan dengan perkembangan secara nasional. Memang terdapat ketidakseimbangan antara jumlah kendaraan dengan pertambahan jalan, perkembangan jalan selalu tertinggal dibanding produksi kendaraan. Akibatnya timbul kemacetan di kota Palembang pada jam-jam sibuk baik pagi maupun sore. Adapun nilai Shift-Share secara keseluruhan (SS), sektor pengangkutan, dan komunikasi memberikan kontribusi positif dengan bertambahnya PDRB sebesar 1,69 trilyun. Dengan memperhatikan komposisi dominan besaran komponen Industri Mix maka perkembangan sektor ini lebih banyak disebabkan oleh kinerja sektor di daerah yang baik. 4.2.8. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pada analisis shift share untuk tahun 2001-2005 nilai komponen National Share (NS), sebesar 314,8 milyar terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya bahwa kebijakan nasional berpengaruh positif dengan angka lebih besar
dibanding
sektor pengangkutan dan komunikasi. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar 142,8 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift negatif 73,7 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan relatif cepat dan namun rendah daya saingnya dibanding wilayah lain. Sedangkan untuk analisis periode 2005-2010 untuk sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan nilai komponen National Share (NS), sebesar 594,8 milyar. Nilai ini lebih kecil dibanding nilai sektor yang sama pada analisis periode sebelumnya. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar 89,7 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift sebesar 194,4 milyar. Dengan demikian sektor
60
ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat dan memiliki daya saing relatif baik dibanding sektor lain. Sektor keuangan, persewaan bangunan dan jasa-jasa perusahaan memiliki sub sektor antara lain: sub sektor bank, sub sektor lembaga keuangan, sub sektor lembaga keuangan bukan bank dan jasa penunjang keuangan, sub sektor sewa bangunan dan jasa perusahaan. Dimana sub sektor lembaga keuangan bukan bank meliputi kegiatan asuransi, dana pensiun, koperasi simpan pinjam dan lembaga pembiayaan (sewa guna usaha, modal ventura, anjak piutang, pembiayaan konsumen dan kartu kredit). Sektor ini merupakan sektor modern berciri kota, dimana sumbangan sektor ini tahun 2010 masih relatif kecil sebesar 3,52 persen terhadap total PDRB Sumatera Selatan. Kontribusi terbesar terhadap sektor ini adalah sub sektor persewaan bangunan dengan sumbangan 85,50 persen diikuti sub sektor jasa perusahaan 8,27 persen dan sub sektor lembaga keuangan sebesar 6,23 persen. Bila dilihat dari sisi pertumbuhan, terjadi fluktuasi dalam tiga tahun terakhir. Sub sektor bank tumbuh sebesar 5,19 persen dan meningkat tahun 2010 sebesar 6,20 persen. Kontribusi dan pertumbuhan sub sektor dalam sektor keuangan, persewaan bangunan dan jasa perusahaan disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Keuangan, Persewaan Bangunan dan Jasa Perusahaan Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) Uraian 1. Kontribusi 1.1. Bank 1.2. Lembaga Keuangan Bukan Bank 1.3. Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan 2. Pertumbuhan 2.1. Bank 2.2. Lembaga Keuangan Bukan Bank 2.3. Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan
2008
2010
6,63 86,01 7,36
6,23 85,50 8,27
5,19 9,08 7,96
6,20 7,47 7,65
Sumber: BPS Sumatera Selatan
Adapun nilai secara keseluruhan (SS) bernilai 879 milyar. Terlihat sumbangan National Share begitu dominan, yang berarti pertumbuhan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan secara nasional mempercepat pertumbuhan regional sektor ini. Hal ini juga dipercepat dengan kondisi semakin
61
meningkatnya kebutuhan sub sektor bank, lembaga keuangan non bank dan sewa bangunan. 4.2.9. Sektor Jasa-jasa Pada analisis shift share untuk tahun 2001-2005 nilai komponen National Share (NS), sebesar 635,3 milyar terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya bahwa kebijakan nasional berpengaruh positif dengan angka lebih besar
dibanding
sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar negatif 38,5 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift sebesar 4,08 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan lambat namun cukup baik daya saingnya. Dimana selisih komponen IM dan RS adalah negatif, artinya sektor ini kurang dapat diandalkan. Dan ketergantungan sektor ini pada kebijakan nasional cukup besar. Sedangkan untuk analisis periode 2005-2010 untuk sektor jasa-jasa nilai komponen National Share (NS), sebesar 1,1 trilyun. Nilai ini jauh lebih besar dibanding nilai sektor yang sama pada analisis periode sebelumnya. Pengaruh komponen Industri Mix (IM), sebesar negatif 124,1 milyar dan pengaruh komponen Regional Shift sebesar 659,3 milyar. Dengan demikian sektor ini merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat dan memiliki daya saing relatif baik dibanding sektor lain. Secara keseluruhan (SS), sektor ini berkontribusi 1,92 trilyun. Dengan melihat dominannya nilai National Share, berarti sektor jasa-jasa sangat dipengaruhi oleh kebijakan nasional. Sektor jasa terdiri dari dua sub sektor yaitu sub sektor pemerintahan umum dan pertahanan dan sub sektor swasta. Adapun sub sektor swasta meliputi tiga jenis kegiatan yaitu jasa sosial dan kemasyarakatan, jasa hiburan dan rekreasi, serta jasa perorangan dan rumah tangga. Terjadi peningkatan sumbangan sektor jasa-jasa terhadap PDRB Sumsel dalam dua tahun terakhir dari 10,03 persen tahun 2009 menjadi 10,20 persen pada tahun 2010. Namun dari sisi pertumbuhan tahun 2010 sektor jasa tumbuh sebesar 7,38 persen, lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh 9,36 persen. Perlambatan ini terjadi di kedua sub sektor jasa-jasa. Sub sektor pemerintahan umum tumbuh 7,01 persen tahun 2010 lebih rendah dibanding tahun 2009 yang tumbuh 7,86 persen. Sedangkan sub sektor swasta tumbuh sebesar 7,90 persen tahun 2010 lebih rendah dari tahun 2009 yang
62
tumbuh 11,51 persen. Kontribusi sub sektor jasa-jasa dan pertumbuhannya disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Jasa-Jasa Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) Uraian 1. Kontribusi 1.1. Pemerintahan Umum 1.2. Swasta 2. Pertumbuhan 2.1. Pemerintahan Umum 2.2. Swasta
2008
2009
2010
74,46 25,54
75,26 24,74
75,41 24,59
10,89 11,99
7,86 11,51
7,01 7,90
Sumber: BPS Sumatera Selatan
Pada analisis shift share periode 2001-2005, pada komponen National Share nilai terbesar adalah pada sektor pertambangan dan galian diikuti sektor pertanian dan industri pengolahan. Dimana nilainya adalah masing-masing 2,7 trilyun, kemudian 1,6 trilyun dan 1,5 trilyun. Dengan demikian ketiga sektor tadi sangat dipengaruhi oleh perubahan kebijakan nasional, artinya perubahan kebijakan nasional berpengaruh besar terhadap perubahan ketiga sektor ini dan juga sub sektor masing-masing. Pada analisis shift share periode 2005-2010, sektor pertambangan dan galian diikuti sektor pertanian dan industri pengolahan merupakan sektor dengan sumbangan terbesar pada komponen National Share. Dimana nilainya adalah masing-masing 4,2 trilyun, kemudian 3,1 trilyun dan 2,8 trilyun. Dapat dikatakan bahwa kebijakan nasional berpengaruh besar terhadap perubahan ketiga sektor ini dan juga sub sektor masing-masing. Pada analisis shift share periode 2001-2005, Pada komponen Industri Mix nilai terbesar adalah pada sektor pengangkutan dan komunikasi, bangunan dan perdagangan, hotel dan restoran. Dimana nilainya adalah masing-masing 472,9 milyar, kemudian 218,4 milyar dan 202,8 milyar. Dengan demikian ketiga sektor tadi merupakan sektor yang secara hirarki memiliki pertumbuhan yang relatif cepat. Pada analisis shift share periode 2005-2010, komponen Industri Mix nilai terbesar adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bangunan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Masing-masing dengan nilai 1,3 trilyun, kemudian 462,8 milyar dan 285,5 milyar. Dengan demikian sektor-sektor tersebut merupakan
sektor
yang
pertumbuhannya
cepat.
Sejalan
dengan
trend
63
pembangunan ke depan yang lebih condong meninggalkan sektor pertanian menuju sektor industri dan jasa. Pada analisis shift share periode 2001-2005, untuk komponen Regional Shift nilai terbesar adalah pada sektor pertanian, sektor pertambangan dan galian serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dimana nilainya adalah masing-masing 861,6 milyar, kemudian 600,6 milyar dan 95,5 milyar. Dengan demikian ketiga sektor tadi merupakan sektor yang secara hirarki memiliki daya saing yang tinggi. Namun demikian khusus untuk sektor pertambangan dan galian, walaupun sumbangannya besar pada PDRB, relatif menjadi kurang potensial akibat dari nilai Industri Mix nya yang negatif sangat besar. Akibatnya selisih antara nilai Industri Mix dan Regional Shift adalah negatif yang mengindikasikan bahwa ketergantungan sektor tambang dan galian terhadap kebijakan nasional sangat besar. Pada analisis shift share periode 2005-2010, Pada komponen Regional Shift nilai terbesar adalah pada sektor pertanian, sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan. Dimana nilainya adalah masing-masing 697,7
milyar, kemudian
659,3 milyar dan 283,3 milyar. Dengan demikian ketiga sektor tadi merupakan sektor yang secara hirarki memiliki daya saing yang tinggi. Namun demikian khusus untuk sektor pertanian dan sektor industri pengolahan, walaupun sumbangannya besar pada PDRB, relatif menjadi kurang potensial akibat dari nilai Industri Mix nya yang negatif sangat besar. Akibatnya selisih antara nilai Industri Mix dan Regional Shift adalah negatif yang mengindikasikan bahwa ketergantungan sektor pertanian dan industri pengolahan terhadap kebijakan nasional sangat besar.
4.3.
Pergeseran Bersih
4.3.1.
Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan PDRB Sumatera SelatanTahun 2001-2005
Pergeseran bersih adalah jumlah komponen Industri Mix (IM) dan keunggulan kompetitip (RS) atau persentasinya nilai (IM) dan nilai (RS). Pergeseran bersih bisa bernilai positif atau negatif. Nilai positif pergeseran bersih artinya pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan tergolong kelompok progresif atau
64
maju. Sedangkan nilai negatif berarti pertumbuhan PDRB termasuk kelompok lambat. Berdasarkan pergeseran
bersih, terlihat sektor yang maju adalah sektor
perdagangan, hotel dan restoran, dikuti sektor bangunan, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor pertanian. Sedangkan sektor yang tergolong lamban adalah sektor pertambangan dan galian, sektor industri pengolahan dan sektor jasa-jasa. Tabel 15. Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian Atas Dasar PDRB Sumatera Selatan Tahun 2001-2005 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
IM
RS
-702,821,023,613
861,668,075,990
-2,998,008,760,331
Gambar 9.
PB
%IM
%RS
158,847,052,376
-8.84
10.84
600,642,887,658
-2,397,365,872,673
-23.13
4.63
152,151,330,049
-243,937,451,320
-91,786,121,271
2.07
-3.33
12,406,964,366 218,461,009,952
-11,203,001,810 68,688,884,511
1,203,962,555 287,149,894,463
6.55 8.04
-5.92 2.53
202,851,124,613
95,502,929,966
298,354,054,579
4.01
1.89
472,959,506,013
-148,764,331,056
324,195,174,958
34.14
-10.74
142,811,576,681 -38,575,287,195
-73,723,784,644 4,082,253,872
69,087,792,038 -34,493,033,323
9.68 -1.30
-4.99 0.14
Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Atas Dasar PDRB Sumatera Selatan Tahun 2001-2005
65
Profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian berdasarkan PDRB dibagi dalam empat kuadran. Kuadran I menggambarkan sektor tersebut memiliki pertumbuhan cepat dengan keunggulan kempetetif yang baik. Kuadran II menggambarkan pertumbuhan cepat tetapi lemah dalam keunggulan kompetitip. Adapun sektor III menggambarkan sektor yang pertumbuhannya lambat dan lemah dalam keunggulan kompetitip. Sedangkan kuadran IV menggambarkan pertumbuhan cepat dan lemah dalam keunggulan kompetitip. Gambar 9 menunjukkan posisi setiap sektor dilihat dari kecepatan pertumbuhan dan kekuatan persaingan kompetitip. Bila dilihat dari Gambar 9 sektor bangunan dan perdagangan, hotel dan Restoran berada pada kuadran I. dengan demikian kedua sektor tersebut merupakan sektor yang pertumbuhannya cepat dan sektor yang unggul secara kompetitip. Sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, sewa dan jasa keuangan berada pada kuadran II yang berarti keempat sektor tersebut termasuk sektor yang pertumbuhannya cepat namun kurang mempunyai keunggulan kompetitip. Sedangkan sektor jasa-jasa, pertanian dan sektor pertambangan dan galian berada pada kuadran IV, artinya ketiga sektor tersebut merupakan sektor yang pertumbuhannya cepat tetapi kurang mempunyai daya saing kompetitip. Bila dilihat dengan pergeseran bersih, maka yang termasuk sektor yang maju adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, bangunan, listrik, gas dan air bersih, pengangkutan dan komunikasi, dan sektor pertanian. Sedangkan sektor jasa-jasa, industri pengolahan dan sektor tambang dan galian termasuk sektor lambat, sebab posisi ketiga sektor tersebut berada di sebelah kiri garis yang memisahkan dan memotong dengan sudut 45 derajat dapat dilihat pada Gambar 9. 4.3.2.
Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan Tahun 2005-2010 Sejalan dengan periode sebelumnya, maka perlu dikelompokkan sektor-
sektor apa saja yang termasuk kelompok sektor yang maju, bila dilihat dari pergeseran bersih pada periode 2005-2010. Maka terlihat bahwa yang termasuk sektor yang maju adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, keuangan, sewa
66
dan jasa perusahaan, jasa-jasa, bangunan, pengangkutan dan komunikasi dan sektor listrik gas dan air bersih. Tabel 16. Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian atas Dasar PDRB Sumatera Selatan Tahun 2005-2010
-486,813,733,397
Persen IM -12.08
Persen RS 7.12
-1,034,572,205,013
-3,588,736,800,549
-19.16
-7.76
-957,728,310,364
283,379,998,104
-674,348,312,260
-10.87
3.22
56,064,001,534 462,876,823,438
-46,934,384,199 -44,626,573,383
9,129,617,335 418,250,250,055
24.27 12.91
-20.32 -1.24
285,526,102,001
144,255,021,215
429,781,123,216
4.44
2.24
1,343,223,082,218
-288,392,420,935
1,054,830,661,283
66.99
-14.38
89,760,148,554 124,185,222,790
194,439,367,649 659,303,523,709
284,199,516,203 783,488,746,499
4.83 3.47
10.45 18.42
Lapangan Usaha
IM
RS
PB
Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
-1,184,580,344,775
697,766,611,378
-2,554,164,595,536
Gambar 10. Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian atas Dasar PDRB Sumatera Selatan Tahun 2005-2010
67
Apabila dibandingkan antara periode 2001-2005 dengan periode 20052010, maka terdapat perbedaan pada sektor pertanian yang pada periode 20012005 merupakan sektor yang cepat menjadi sektor lambat pada periode 20052010. Sektor jasa yang pada periode 2001-2005 merupakan sektor yang lambat menjadi sektor cepat pada periode 2005-2010. Sedangkan sektor lainnya relatif tidak berubah. Dengan demikian terjadi perubahan sektor progresif di Provinsi Sumatera Selatan dari sektor pertanian menjadi sektor jasa. 4.4.
Analisis Location Quotient (LQ) Metode LQ merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui sektor
andalan di suatu daerah dengan menggunakan data pendapatan. Dalam penelitian ini digunakan data pendapatan yaitu PDRB Sumatera Selatan sebagai daerah bawah dan PDB Nasional sebagai daerah atas. Dengan melihat rasio antara daerah bawah dan atas akan ditentukan sektor mana yang menjadi sektor andalan atau sektor basis. Informasi ini akan berguna dalam prioritas kebijakan per sektor guna memaksimalkan hasil yang didapat tiap-tiap sektor. Dari analisis LQ selama 10 tahun didapatkan hasil bahwa sektor yang menjadi andalan Sumatera Selatan adalah sektor pertambangan dan galian, pertanian, sektor bangunan. Diharapkan dengan memprioritaskan ketiga sektor ini nantinya akan mendorong sumbangan sektor lain terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan. Adapun perhitungan dari analisis LQ dapat dilihat pada Tabel 17. Pada analisis LQ seperti yang telah dibahas tadi, yang menjadi sektor basis adalah sektor pertambangan dan galian; sektor pertanian dan sektor bangunan. Sedangkan dalam analisis shift share, ditunjukkan bahwa terjadi pergeseran sektor progresif dari sektor pertanian menuju sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan bahwa sektor basis di Provinsi Sumatera Selatan merupakan sektor yang sudah jenuh dan sulit untuk ditingkatkan lagi kontribusinya. Sehingga penting bagi pengambil kebijakan untuk juga mulai memperhatikan sektor-sektor lain yang termasuk sektor yang progresif. Menurut Priyarsono, et al (2007) bahwa secara teoretis, sektor mana saja yang merupakan sektor basis dan non basis di suatu daerah tidaklah bersifat statis melainkan dinamis. Artinya, pada tahun tertentu mungkin saja sektor tersebut merupakan sektor basis, namun pada tahun
68
berikutnya belum tentu sektor tersebut secara otomatis menjadi sektor basis. Sektor basis atau non basis bisa mengalami kemajuan ataupun kemunduran sehingga definisi dari sektor basis dan non basis dapat
saja bergeser setiap
tahunnya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan bahwa sektor pertanian termasuk sektor yang sangat dipengaruhi oleh variabel iklim dan cuaca yang merupakan variabel yang tidak dapat dikontrol oleh pengambil kebijakan. Selain itu pula sektor pertambangan dan galian termasuk sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga pemerintah provinsi Sumatera Selatan perlu juga memperhatikan sektor-sektor yang progresif seperti yang ditunjukkan dalam analisis shift share. Glasson (1977) dalam Priyarsono et all (2007) menulis bahwa semakin banyak sektor basis dalam suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke daerah tersebut, menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume sektor non basis. Dengan demikian sektor basis menjadi penggerak utama dalam perekonomian daerah, dengan harapan arus pendapatan juga akan bertambah pada sektor non basis. Pada akhirnya akan berdampak positif pada perekonomian daerah secara keseluruhan. Adapun sektor yang progresif di Sumatera Selatan diantaranya adalah sektor jasa-jasa; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, perdagangan, hotel dan restoran, listrik, gas dan air bersih; dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Tabel 17. Hasil Perhitungan Location Quotient (LQ) Struktur Perekonomian Sumatera Selatan Tahun 2001 – 2010 Lapangan Usaha
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih
1.21
1.23
1.24
1.26
1.36
1.41
1.45
1.46
1.45
1.48
2.64
2.68
2.81
2.99
2.85
2.82
2.78
2.83
2.77
2.72
0.63
0.62
0.62
0.63
0.63
0.64
0.65
0.65
0.65
0.67
0.72
0.69
0.68
0.69
0.70
0.72
0.70
0.67
0.62
0.63
Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
1.17
1.18
1.18
1.18
1.22
1.21
1.21
1.21
1.22
1.24
0.74
0.76
0.76
0.77
0.77
0.79
0.79
0.80
0.82
0.81
0.68
0.67
0.64
0.63
0.65
0.63
0.63
0.62
0.62
0.62
0.41
0.41
0.40
0.40
0.41
0.42
0.42
0.43
0.44
0.45
Jasa-jasa
0.76
0.77
0.78
0.77
0.79
0.80
0.82
0.87
0.90
0.92
Sumber: BPS Sumatera Selatan
69
4.5.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB Sumatera Selatan Untuk mengetahui pengaruh PMA, PMDN, pengeluaran pemerintah dan
angkatan kerja di Sumatera Selatan digunakan analisis regresi linear berganda. Hasil uji asumsi klasik pada regresi faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Sumatera Selatan disajikan berikut ini: 4.5.1.
Uji Asumsi Klasik
4.5.1.1.
Uji Normalitas
Salah satu asumsi dalam metode regresi nilai rata-rata dari faktor pengganggu adalah nol. Alat uji yang dipakai adalah uji normalitas dengan menggunakan J-B test. Uji ini dimaksudkan agar penaksir memiliki sifat BLUE. Berdasarkan analisis nilai probabiliti sebesar > 0,61. Nilai probability di atas 0,05 maka data terdistribusi normal. Hasil J-B Test dapat dilihat dari Gambar 11. 6 Series: Residuals Sample 1994 2010 Observations 17
5 4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3 2 1 0 -0.10
-8.39e-16 -0.003129 0.082623 -0.098496 0.056080 0.192661 1.896541
Jarque-Bera Probability -0.05
-0.00
0.05
0.967651 0.616421
0.10
Gambar 11.Uji normalitas 4.5.1.2.
Uji Multikolinearitas Tabel 18. Uji Multikolinearitas
LGE LLF LPMA LPMDN
LLF 0.66 -
LPMA 0.51 0.23 -
LPMDN 0.08 -0.13 0.09 -
Dari uji multikolinier, angka yang tinggi adalah 0,66 yaitu hubungan antara pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja. Namun demikian hasil regresi masih memenuhi syarat penaksir yang baik (BLUE). Kemudian apabila dibandingkan dengan nilai R-squared model yang dipakai, maka nilai R-squared model masih lebih tinggi dari nilai R-squared antara pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja. Dengan demikian dalam model tidak terjadi multikolinier.
70
4.5.1.3.
Uji Autokorelasi
Salah satu asumsi model linier adalah faktor pengganggu tidak dipengaruh oleh faktor pengganggu pada pengamatan lain. Biasanya muncul pada data yang disusun cecara series. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 19, dari Breusch-Godfrey Serial Correlation Lagrange Multiplier (LM) Test diperoleh nilai Probability Obs*R-squared sebesar 0,65 yang berarti nilai Probability Obs*R-squared > 0,05 sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar anggota serangkaian data observasi yang diteliti tidak terjadi autokorelasi. Tabel 19. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistik 0.26 Probability Obs*R-squared 0.85 Probability
4.5.1.4.
0.77 0.65
Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi klasik yang harus dipenuhi dalam estimasi adalah varians dari faktor pengganggu adalah sama untuk semua observasi. Jika tidak dipenuhi maka disebut heteroskedastisitas. Konsekwensinya model tidak lagi memenuhi unsur sebagai penaksir yang baik (BLUE). Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 10, dari White Heteroskedasticity Test diperoleh nilai Probability Obs*R-squared sebesar 0,74 yang berarti nilai Probability Obs*R-squared > 0,05 sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa varians dari residual yang diteliti tidak terjadi heteroskedastisitas. Tabel 20. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistik 0.29 Probability Obs*R-squared 9.43 Probability
4.5.2. Hasil Dugaan Model Dari perhitungan data selama kurun waktu 1993-2010 diperoleh: PDRB = 13,77 – 0,007*PMA + 0,04*PMDN + 0,09*GE + 0,97*LF
0.95 0.74
71
Tabel 21. Koefisien Variabel Penduga PDRB Sumatera Selatan Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LPMA LPMDN LGE LLF
13.76667 -0.007178 0.037778 0.088441 0.969794
5.916738 0.013646 0.011715 0.025202 0.412630
2.326732 -0.526029 3.224823 3.509246 2.350273
0.0383 0.6085 0.0073 0.0043 0.0367
0.856881
F-statistic Prob(F-statistic)
R-squared
17.96152 0.000053
Model regresi yang dihasilkan mempunyai arti sebagai berikut : a.
Nilai intersep sebesar 13,7 dan nilai koefisien variabel PMDN sebesar 0,04. Artinya
apabila
PMDN bertambah 1 Milyar, maka PDRB bertambah
sebanyak 0,04 Milyar. Dengan asumsi variabel lain dianggap tetap. b.
Nilai koefisien variabel pengeluaran pemerintah (Gov Expend) sebesar 0,09 artinya adalah apabila pengeluaran pemerintah bertambah sebesar 1 milyar, maka PDRB bertambah sebesar 0,09 milyar. Dengan asumsi variabel lain diangggap tetap.
c.
Nilai koefisien variabel angkatan kerja (Labour Force) sebesar 0,97 artinya adalah apabila angkatan kerja bertambah 1 persen maka PDRB bertambah sebanyak 97 persen. Dengan asumsi variabel lain diangggap tetap. Berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa, secara simultan PMA, PMDN,
pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh signifikan terhadap PDRB. Koefisien determinasi merupakan alat untuk mengukur ketepatan dari persamaam regresi yang menjelaskan seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai R-squared sebesar 0,86 artinya PDRB Sumatera Selatan dipengaruhi oleh variabel PMA, PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja sebesar 86 persen sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Adapun variabel yang paling berpengaruh adalah dengan melihat koefisien beta atau nilai slope untuk masing-masing variabel yang berpengaruh signifikan. Pada variabel bebas yang signifikan adalah variabel PMDN dengan koefisien beta sebesar 0,03 dan variabel pengeluaran pemerintah dengan koefisien beta sebesar
72
0,09 serta variabel angkatan kerja dengan koefisien beta sebesar 0,96. Dimana variabel bebas yang nilai slopenya besar merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap variabel tidak bebas. Sehingga disimpulkan bahwa variabel angkatan kerja merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap PDRB Sumatera Selatan. Dapat pula dengan melihat nilai elastisitas dari masing-masing variabel bebas. Dimana elastisitas PMDN sebesar 0,001 sedangkan elastisitas pengeluaran pemerintah sebesar 0,002 dan elastisitas angkatan kerja sebesar 0,007. Artinya bahwa PDRB lebih responsif dipengaruhi oleh variabel angkatan kerja. Perubahan 1 persen angkatan kerja akan berpengaruh terhadap PDRB sebesar 0,7 persen. Selanjutnya perubahan 1 persen variabel pengeluaran pemerintah akan mempengaruhi PDRB sebesar 0,2 persen. Sedangkan perubahan 1 persen variabel PMDN akan mempengaruhi PDRB sebesar 0,1 persen. Namun demikian bila dilihat secara parsial, maka PMA tidak signifikan pengaruhnya terhadap PDRB. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh
(Prasmuko at al 2000) menyebutkan bahwa,
kendala investasi adalah cost of capital tinggi dan aksesibilitas yang rendah. Kemudian
lemahnya
permintaan
eksternal
dan
kondisi
ketidakpastian
memperparah investasi. Menurut peneliti, bahwa daerah yang terkena dampak buruk pada investasi di daerah Sumatera dan Jabalnustra penyebabnya adalah rendahnya daya serap eksternal dan ketidakpastian global dan tingginya risiko yang dihadapi investor. Sejalan pula dengan penelitian Sritua Arif dan Adi Sasono (1987) dalam Sitanggang (2007), bahwa arus bersih modal masuk ke Indonesia baik aliran modal maupun hutang menunjukkan nilai negatif, bahkan modal asing mendesak keluar (crowding out) terhadap tingkat tabungan. (Purwanto at al 2011) menulis bahwa dari penelitian Weiscoft, Chenery dan Strout, Mudrajat Kuncoro dan Bambang Kustianto arus modal asing juga dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, walau secara statistik tidak signifikan. Adapun masih menurut Peneliti bahwa, faktor yang mempengaruhi investor dalam menanam modal: (1.) sumber daya alam, (2.) sumber daya manusia, (3.) stabilitas politik, (4.) stabilitas perekonomian. Dan (5.) kemudahan
73
perijinan. Selanjutnya menururt peneliti bahwa faktor yang menjadi pendukung masuknya investasi ke suatu negara, seperti jaminan keamanan, stabilitas politik dan kepastian hukum tampaknya masih menjadi pemasalahan sendiri di Indonesia. Masalah yang sering dikeluhkan investor asing : perijinan dan birokrasi yang masih dianggap bertele-tele dan ekonomi biaya tinggi. Sedangkan PMDN secara signifikan berpengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Selatan. Penelitian (Makmun at al 2003) menyebutkan bahwa pengaruh PMDN signifikan, sedangkan pengaruh PMA tidak signifikan terhadap PDB sektor pertanian. Disebutkan bahwa nilai investasi yang disetujui menunjukkan penurunan akibat dari krisis ekonomi global. Penelitian Sodik (2007) menunjukkan bahwa investasi swasta tidak signifikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Faktor penyebabnya adalah masih banyak peraturan yang tumpang tindih baik tingkat vertikal maupun horizontal, dan buruknya prosedur dan tidak kondusifnya iklim bisnis di daerah. Berikut ini adalah Tabel PMA dan PMDN di Sumatera Selatan. Tabel: 22. Perkembangan Persetujuan Investasi di Sumatera Selatan (rupiah) Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
PMA 0 401,236,000,000,000 10,484,866,411,200,000 7,338,569,794,700,000 1,582,767,000,000,000 8,327,000,812,500,000 2,001,277,000,000,000 19,839,797,387,500,000 5,819,008,000,000,000 57,896,655,840,000,000 11,407,671,020,000,000 2,364,732,340,000,000 53,638,702,390,000,000 31,429,522,520,000,000 82,915,432,510,600,000 10,716,599,473,200,000 6,025,912,000,000,000 14,823,220,320,000,000
Sumber : BPS, data diolah.
PMDN 854,000,000,000 360,500,000,000 3,628,200,000,000 5,024,100,000,000 5,391,400,000,000 882,700,000,000 149,300,000,000 57,700,000,000 625,600,000,000 70,300,000,000 886,900,000,000 358,200,000,000 1,370,900,000,000 2,983,200,000,000 4,857,100,000,000 378,500,000,000 580,300,000,000 1,738,400,000,000
74
Untuk variabel pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja secara signifikan berpengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Selatan. Secara teori meningkatnya pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan agregat, yang pada akhirnya nanti akan meningkatkan pendapatan atau output. Hal ini sesuai dengan penelitian Raharjo (2006) yang meneliti tentang pengaruh pengeluaran pemerintah, investasi dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Semarang. Selanjutnya penelitian Rustiono (2009) menunjukkan bahwa investasi, tenaga kerja dan belanja pemerintah daerah memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah.
75
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Dengan menggunakan analisis Shift-Share periode 2001-2005, maka sektor yang progresif/maju di Sumatera Selatan adalah hampir seluruh sektor kecuali sektor pertambangan dan galian, sektor industri pengolahan dan sektor jasa-jasa.
2.
Dengan menggunakan analisis Shift-Share periode 2005-2010, maka sektor yang progresif/maju di Sumatera Selatan juga hampir semua sektor kecuali sektor pertambangan dan galian, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian. Dengan demikian terjadi perubahan sektor progresif dari sektor pertanian menuju sektor jasa-jasa di Sumatera Selatan.
3.
Dengan menggunakan analisis LQ maka sektor basis adalah sektor pertambangan dan penggalian; sektor pertanian dan sektor bangunan.
4.
Secara empiris, variabel PMA, PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja secara simultan mempunyai pengaruh terhadap variabel PDRB Sumsel selama kurun waktu 1993-2010. Adapun secara parsial, variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap PDRB Sumsel selama 1993-2010 adalah variabel PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja. Dimana PMDN, pengeluaran pemerintah
dan angkatan
kerja berpengaruh positif terhadap PDRB. Sedangkan variabel PMA berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap PDRB Sumsel dalam tahun penelitian 1993-2010. Dengan demikian variabel PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja merupakan variabel yang dapat diandalkan dalam rangka meningkatkan PDRB Sumsel. Sedangkan variabel PMA tidak sepenuhnya dapat diandalkan untuk meningkatkan PDRB Sumsel. 5.2.
Saran Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
ada beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai berikut:
76
1.
Walaupun terjadi pergeseran sektor yang progresif dari sektor pertanian menjadi sektor jasa-jasa, namun tetap tidak meninggalkan sektor pertanian. Sebab walau bagaimanapun sektor pertanian serta sektor pertambangan dan galian tetap berkontribusi tinggi terhadap PDRB Sumatera Selatan.
2.
Walaupun
sektor
basis
Provinsi
Sumatera
Selatan
adalah
sektor
pertambangan dan penggalian; sektor pertanian dan sektor bangunan, namun dalam proses pembangunan Pemerintah daerah Provinsi tetap harus memberi perhatian lebih terhadap sektor progresif/maju, mengingat sektor basis sudah jenuh terlihat dari kontribusinya yang semakin menurun. 3.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan hendaknya lebih meningkatkan faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan PDRB dengan prioritas kebijakan yang mendukung produktivitas angkatan kerja, disusul dengan menambah masuknya investasi dalam bentuk PMDN dan selanjutnya memperbesar pengeluaran pemerintah pada sektor-sektor progresif yaitu sektor jasa-jasa, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.
77
DAFTAR PUSTAKA
Bendavid, Avrom-Lal. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practioners, 4 th Ed. New York: Praeger. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan lautan, Jakarta: Pradnya Paramita. BPS Pusat. 2009. Sumatera Selatan Dalam Angka. Jakarta. BPS Sumsel. 2010. PDRB Sumatera Selatan Menurut Lapangan Usaha. Dornbursch, Rudiger. 2008. Makroekonomi, Edisi Sepuluh, Jakarta: Media Global Edukasi Gujarati, Damodar N. 2002. Ekonometrika Dasar. Edisi Terjemahan. Jakarta: Erlangga. Jamal, A. 2006. Strategi Pembangunan Daerah, Aceh. Universitas Syiah Kuala. Makmun dan Yasin. 2003. Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja terhadap PDB Sektor Pertanian. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 7, No.3. September 2003. Masli, Lili. 2006. Analisis yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional. Yogyakarta. Tesis. Universitas Gajah Mada. Mankiw, Gregory N. 2002. Teori Makroekonomi Jilid Keempat, Jakarta: Erlangga ----------------, 2006. Principle of Economics, edisi tiga. Jakarta: Salemba Empat. ----------------, 2007. Makroekonomi, edisi keenam. Jakarta: Erlangga. Priyarsono, DS., Sahara, dan Firdaus. 2007. Ekonomi Regional, Jakarta: Universitas Terbuka. Priyanto. 2009. Analisis Ketimpangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten. Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Purwanti, Putu Ayu. 2009. Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di kabupaten Bangli dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor. Piramida Vol. V no.1. 1 Juli 2009 Raharjo. 2006. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Investasi Swasta dan Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1982 – 2003. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Undip. Semarang.
78
Radianto E. 2003. Evaluasi Pembangunan Regional Pasca Kerusuhan Maluku, Ekonomi dan Keuangan Indonesia (EKI), Vol 51 (4). Juli 2003. Ropingi. 2005. Aplikasi Analisis Shift Share Esteban-Marquillas pada Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali, Karya Ilmiah. Universitas sebelas Maret Surakarta. Rustiono. 2009. Pengaruh Investasi, Tenaga Kerja dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Semarang. Universitas Diponegoro. Sodik. 2007. Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 12, No.1. April 2007. Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. ------------------, 2004.Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: Rajagrafindo Persada, ------------------, 2007. Makroekonomi Modern. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Suparmoko. 2003. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE. Susanto, Arif. 2008. Analisis Sektor Potensial dan Pengembangan Wilayah guna Mendorong Pembangunan di Kabupaten Rembang. Media Ekonomi dan Manajemen, Vol.18 No.2 Tahun 2008. Todaro, P. 2000. Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Wahyu. 2007. Pedoman Praktis Penggunaan Eviews dalam Ekonometrika. Medan: Usu Press.
79
LAMPIRAN
80
Halaman ini sengaja dikosongkan
81
Lampiran 1. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi PDRB Sumatera Selatan Tahun 1993 1994 1995 1996 1997
PDRB 35,228,562,119,936 37,785,107,095,750 43,370,641,501,787 46,962,757,421,578 48,892,579,780,848
1998
PMA 0 401,236,000,000,000 10,484,866,411,200,000 7,338,569,794,700,000 1,582,767,000,000,000
PMDN 854,000,000,000 360,500,000,000 3,628,200,000,000 5,024,100,000,000 5,391,400,000,000
GE 164,534,600,000 167,339,600,000 193,700,000,000 235,410,500,000 236,675,700,000
LF 3,024,429 3,046,466 3,129,541 3,029,281 3,146,233
42,842,824,337,475
8,327,000,812,500,000
882,700,000,000
294,059,000,000
3,322,723
1999
44,296,542,481,705
2,001,277,000,000,000
149,300,000,000
337,914,000,000
3,422,960
2000
41,317,799,000,000
19,839,797,387,500,000
57,700,000,000
281,703,000,000
3,410,682
2001
40,167,825,780,000
5,819,008,000,000,000
625,600,000,000
569,898,900,000
3,103,027
2002
43,592,159,000,000
57,896,655,840,000,000
70,300,000,000
692,159,800,000
3,077,244
2003
45,585,327,000,000
11,407,671,020,000,000
886,900,000,000
852,351,000,000
3,146,512
2004
47,564,181,000,000
2,364,732,340,000,000
358,200,000,000
1,141,094,674,650
3,373,995
2005
49,634,000,000,000
53,638,702,390,000,000
1,370,900,000,000
1,125,772,511,390
3,318,868
2006
52,215,000,000,000
31,429,522,520,000,000
2,983,200,000,000
1,741,587,200,000
3,322,789
2007
55,262,000,000,000
82,915,432,510,600,000
4,857,100,000,000
2,328,231,670,000
3,372,332
2008 2009 2010
58,065,000,000,000 60,447,000,000,000 63,736,000,000,000
10,716,599,473,200,000 6,025,912,000,000,000 14,823,220,320,000,000
378,500,000,000 580,300,000,000 1,738,400,000,000
2,386,788,511,610 2,341,327,091,455 3,107,701,106,210
3,472,012 3,460,365 3,665,044
Keterangan: Keterangan: PDRB::Produk ProdukDomestik DomestikRegional RegionalBruto Bruto PDRB PMA::Penanaman PenanamanModal ModalAsing Asing PMA PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri LF : Labour Force
81
GE : Government Expenditure
82
Lampiran 2. Koefisien Variabel Penduga PDRB Sumatera Selatan Dependent Variable: LPDRB Method: Least Squares Date: 07/03/12 Time: 10:41 Sample (adjusted): 1994 2010 Included observations: 17 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LPMA LPMDN LGE LLF
13.76667 -0.007178 0.037778 0.088441 0.969794
5.916738 0.013646 0.011715 0.025202 0.412630
2.326732 -0.526029 3.224823 3.509246 2.350273
0.0383 0.6085 0.0073 0.0043 0.0367
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.856881 0.809174 0.064756 0.050320 25.36985 1.828095
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
31.49868 0.148239 -2.396452 -2.151390 17.96152 0.000053
Hasil Dugaan Model Estimation Command: ===================== LS LPDRB C LPMA LPMDN LGE LLF Estimation Equation: ===================== LPDRB = C(1) + C(2)*LPMA + C(3)*LPMDN + C(4)*LGE + C(5)*LLF Substituted Coefficients: ===================== LPDRB = 13.76666739 - 0.007178345099*LPMA + 0.03777818843*LPMDN + 0.08844106547*LGE + 0.9697939445*LLF
Normality Test Koefisien Variabel Penduga PDRB Sumatera Selatan 6 Series: Residuals Sample 1994 2010 Observations 17
5 4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3 2 1 0 -0.10
Jarque-Bera Probability -0.05
-0.00
0.05
0.10
-8.39e-16 -0.003129 0.082623 -0.098496 0.056080 0.192661 1.896541 0.967651 0.616421
83
Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.287182 9.425782
Probability Probability
0.952697 0.740080
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/24/12 Time: 06:21 Sample: 1994 2010 Included observations: 17 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LPMA LPMA^2 LPMA*LPMDN LPMA*LGE LPMA*LLF LPMDN LPMDN^2 LPMDN*LGE LPMDN*LLF LGE LGE^2 LGE*LLF LLF^2
5.031125 -0.193494 -0.000784 0.000139 5.17E-05 0.016303 -0.200974 0.000744 -0.000806 0.011792 0.113251 -0.001081 -0.002093 -0.030046
25.65078 0.991950 0.001973 0.002104 0.003075 0.069130 0.933522 0.002231 0.004245 0.056863 0.860442 0.005706 0.063352 0.132119
0.196139 -0.195064 -0.397437 0.066223 0.016802 0.235832 -0.215286 0.333571 -0.189850 0.207375 0.131620 -0.189506 -0.033037 -0.227419
0.8570 0.8578 0.7176 0.9514 0.9876 0.8287 0.8433 0.7607 0.8615 0.8490 0.9036 0.8618 0.9757 0.8347
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.554458 -1.376225 0.004453 5.95E-05 82.66188 2.217284
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.002960 0.002889 -8.077868 -7.391693 0.287182 0.952697
84
Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
0.264054 0.852750
Probability Probability
0.773122 0.652871
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 08/24/12 Time: 06:25 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LPMA LPMDN LGE LLF RESID(-1) RESID(-2)
-1.779147 -0.002055 -0.000522 -0.005916 0.135211 0.047424 -0.277727
7.431922 0.016908 0.014063 0.028667 0.527204 0.388754 0.415836
-0.239393 -0.121558 -0.037097 -0.206384 0.256469 0.121989 -0.667876
0.8156 0.9057 0.9711 0.8406 0.8028 0.9053 0.5193
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.050162 -0.519741 0.069135 0.047796 25.80729 1.890591
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-8.39E-16 0.056080 -2.212622 -1.869534 0.088018 0.996208
Uji Multikolinearitas Correlation Matrix LGE LGE
1
LPMA
0.6649386722 81538 0.8338758952 87918 0.5070708852 16365
LPMDN
0.0799840998 85278
LLF LPDRB
LLF LPDRB LPMA LPMDN 0.6649386722 0.8338758952 0.5070708852 0.0799840998 81538 87918 16365 85278 0.6944087700 0.2255514216 0.1340095134 1 29923 63899 0352 0.6944087700 0.3532477270 0.3582801861 29923 1 96936 10773 0.2255514216 0.3532477270 0.0977041738 63899 96936 1 415594 0.1340095134 0.3582801861 0.0977041738 0352 10773 415594 1
85
86
Halaman ini sengaja dikosongkan
Lampiran 3. Perhitungan Shift-Share Tahun 2001-2005 dan 2005-2010 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah
2001 7,950,978,000,000 12,962,160,000,000 7,334,190,000,000 189,393,000,000 2,718,842,000,000 5,053,572,000,000 1,385,283,540,000 1,476,031,700,000 2,978,164,000,000
42,048,614,240,000 2001 225,685,700,000,000 168,244,300,000,000 398,323,900,000,000 9,058,300,000,000 80,080,400,000,000 234,273,000,000,000 70,276,100,000,000 123,085,500,000,000 133,957,400,000,000
1,442,984,600,000,000
Perhitungan Shift-Share Tahun 2005-2010 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan, dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan, dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah
2005 9,806,000,000,000 13,330,000,000,000 8,807,000,000,000 231,000,000,000 3,586,000,000,000 6,430,000,000,000 2,005,000,000,000 1,860,000,000,000 3,579,000,000,000 49,634,000,000,000
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Jumlah
2005 253,881,700,000,000 165,222,600,000,000 491,561,400,000,000 11,584,100,000,000 103,598,400,000,000 293,654,000,000,000 109,261,500,000,000 161,252,200,000,000 160,799,300,000,000 1,750,815,200,000,000
2005 9,806,000,000,000 13,330,000,000,000 8,807,000,000,000 231,000,000,000 3,586,000,000,000 6,430,000,000,000 2,005,000,000,000 1,860,000,000,000 3,579,000,000,000 49,634,000,000,000 2005 253,881,700,000,000 165,222,600,000,000 491,561,400,000,000 11,584,100,000,000 103,598,400,000,000 293,654,000,000,000 109,261,500,000,000 161,252,200,000,000 160,799,300,000,000 1,750,815,200,000,000
2010 12,455,000,000,000 14,004,000,000,000 10,949,000,000,000 314,000,000,000 5,151,000,000,000 8,916,000,000,000 3,701,000,000,000 2,739,000,000,000 5,507,000,000,000
Yt/Yo 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21
M+S 158,847,052,376 -2,397,365,872,673 -91,786,121,271 1,203,962,555 287,149,894,463 298,354,054,579 324,195,174,958 69,087,792,038 -34,493,033,323
Yit/Yio 1.12 0.98 1.23 1.28 1.29 1.25 1.55 1.31 1.20
%M -8.84 -23.13 2.07 6.55 8.04 4.01 34.14 9.68 -1.30
yit/yio 1.23 1.03 1.20 1.22 1.32 1.27 1.45 1.26 1.20
%S 10.84 4.63 -3.33 -5.92 2.53 1.89 -10.74 -4.99 0.14
Yt/Yo 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32
Yit/Yio 1.20 1.13 1.21 1.56 1.45 1.36 1.99 1.37 1.35
yit/yio 1.27 1.05 1.24 1.36 1.44 1.39 1.85 1.47 1.54
M+S -486,813,733,397 -3,588,736,800,549 -674,348,312,260 9,129,617,335 418,250,250,055 429,781,123,216 1,054,830,661,283 284,199,516,203 783,488,746,499
%M -12.08 -19.16 -10.87 24.27 12.91 4.44 66.99 4.83 3.47
%S 7.12 -7.76 3.22 -20.32 -1.24 2.24 -14.38 10.45 18.42
63,736,000,000,000 2010 304,400,000,000,000 186,400,000,000,000 595,300,000,000,000 18,100,000,000,000 150,100,000,000,000 400,600,000,000,000 217,400,000,000,000 220,600,000,000,000 217,800,000,000,000
2,310,700,000,000,000
G M 1,696,174,947,624 -702,821,023,613 2,765,205,872,673 -2,998,008,760,331 1,564,596,121,271 152,151,330,049 40,403,037,445 12,406,964,366 580,008,105,537 218,461,009,952 1,078,073,945,421 202,851,124,613 295,521,285,042 472,959,506,013 314,880,507,962 142,811,576,681 635,329,033,323 -38,575,287,195 8,970,192,856,298 -2,537,763,559,465
S 861,668,075,990 600,642,887,658 -243,937,451,320 -11,203,001,810 68,688,884,511 95,502,929,966 -148,764,331,056 -73,723,784,644 4,082,253,872 1,152,956,463,167
Y 1,855,022,000,000 367,840,000,000 1,472,810,000,000 41,607,000,000 867,158,000,000 1,376,428,000,000 619,716,460,000 383,968,300,000 600,836,000,000 7,585,385,760,000
G M S 3,135,813,733,397 -1,184,580,344,775 697,766,611,378 4,262,736,800,549 -2,554,164,595,536 -1,034,572,205,013 2,816,348,312,260 -957,728,310,364 283,379,998,104 73,870,382,665 56,064,001,534 -46,934,384,199 1,146,749,749,945 462,876,823,438 -44,626,573,383 2,056,218,876,784 285,526,102,001 144,255,021,215 641,169,338,717 1,343,223,082,218 -288,392,420,935 594,800,483,797 89,760,148,554 194,439,367,649 1,144,511,253,501 124,185,222,790 659,303,523,709 15,872,218,931,615 -2,334,837,870,141 564,618,938,526
Y 2,649,000,000,000 674,000,000,000 2,142,000,000,000 83,000,000,000 1,565,000,000,000 2,486,000,000,000 1,696,000,000,000 879,000,000,000 1,928,000,000,000 14,102,000,000,000
%(M+S) 2.00 -18.50 -1.25 0.64 10.56 5.90 23.40 4.68 -1.16
%(M+S) -4.96 -26.92 -7.66 3.95 11.66 6.68 52.61 15.28 21.89