ANALISIS SEMIOTIK FILM 3 DOA 3 CINTA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh M. Fikri Ghazali NIM: 206051003915
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
ANALISIS SEMIOTIK FILM 3 DOA 3 CINTA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh : M. Fikri Ghazali NIM : 206051003915
Pembimbing
Drs. Suhaimi, M.Si NIP : 19670906 199403 1 002
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Analisis Semiotik Film 3 Doa 3 Cinta”.Telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidatullah Jakarta, pada tanggal 22 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S.1) Pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Jakarta 22 September 2010
Sidang Munaqosah
Ketua
Sekretaris
Drs. H. Mahmud Djalal, MA NIP. 19520422 198103 1 002
Dra. Hj. Musfirah Nurlaily , MA NIP.1971041222000032001
Penguji I
Penguji II
Drs. H. Mahmud Djalal, MA NIP. 19520422 198103 1 002
Dra. Hj. Asriati Jamil, M.Hum NIP. 19610422 199003 2 001
Pembimbing,
Drs. Suhaimi, M.Si NIP.19760906 199403 1 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (SI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, September 2010
M. Fikri Ghazali
ABSTRAK Nama NIM Jurusan Skripsi
: M. Fikri Ghazali. : 206051003915 : Komunikasi Penyiaran Islam : Analisis semiotik terhadap film 3 DOA 3 CINTA.
Film merupakan media komunikasi visual yang lahir dari sebuah proses panjang. Kehadiran film memberikan nuansa baru hiburan, seni dan kebudayaan. Film adalah media massa yang memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realisme, pengaruh, emosional, dan popularitas yang hebat. Namun, selain itu film juga memiliki kelemahan salah satunya adalah sifatnya yang sekilas, sehingga untuk menangkap pesannya secara utuh, orang tidak bisa mengalihkan perhatian untuk melakukan kegiatan lain. Studi ini merupakan sebuah upaya untuk menemukan makna semiotik di balik film 3 DOA 3 CINTA. Secara umum, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif untuk meneliti film ini. Metode kualitatif memungkinkan penulis mengkaji film secara lebih mendalam untuk menggali makna yang tersirat dalam berbagai simbol, kode, dan seluruh adegan yang hendak digunakan sebagai objek penelitian. Penulis akan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan semiotik yang dikembangkan oleh pemikir Perancis, Roland Barthes. Pendekatan semiotik ala Roland Barthes ini memberi titik tekan pada makna denotatif, konotatif, dan mitos. Makna denotatif adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan antara sign dengan objek dalam realitas. Makna konotatif adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau emosi pembaca/pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Sedangkan mitos dalam pengertian Roland Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebelumnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Beberapa pertanyaan yang selanjutnya mengarahkan penulis antara lain : apa makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terdapat dalam film 3 Doa 3 Cinta? Apa makna judul dari film ini? Dan pesan apa yang hendak disampaikan dalam film ini? Studi ini berangkat dari keyakinan penulis tentang kekayaan nilai-nilai moral ke-Islaman dalam film ini. Banyak adegan yang dengan jelas menunjukkan nilai moral Islami yang pada saat ini seakan hilang ditelan ideologi teror kelompok radikal Islam. Nilai-nilai inilah yang akan penulis gali lebih dalam dengan menggunakan pendekatan semiotik ala Roland Barthes.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi ini. Berkat pertolongan serta nikmat-Nya, penulis mampu melalui rintangan dan cobaan saat mengerjakan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada yang tersayang, penyeru kebenaran, pembawa keberkahan Rasulullah SAW, beserta keluarga, sahabatnya dan semoga kita istiqomah menjadi umatnya sampai hari kiamat. Amin. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, dorongan dan doa dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak DR. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. 2. Ibu Hj. Asriati Jamil, M.Hum. selaku Koordinator Teknis Program NonReguler Fakultas Dakwah dan Komunikasi. 3. Ibu Hj. Musfirrah Laily MA selaku Sekretaris Program Non-Reguler Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang banyak memberi masukan tentang masalah perkuliahan yang sangat berarti bagi penulis, serta memudahkan urusan administrasi bagi penulis.
ii
4. Bapak Drs. Suhaimi M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu bersedia memberikan masukan yang sangat bermanfaat dalam menyusun skripsi ini. 5. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan ilmu serta berbagai macam pengalaman selama menuntut ilmu. 6. Segenap staff perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan pelayanan kepada penulis selama menjalani studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Orang tua tercinta, Mudjahid dan Uminarsih yang dengan ketulusan hati memberikan dorongan moral maupun materil serta iringan doa kepada penulis untuk menuntut ilmu sampai saat ini, semoga Allah SWT merahmati dan Hanya Dialah yang mampu membalas segala jasa besarmu. 8. Adikku tercinta, Jihan Assyifa yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Kepada Mas Nurman Hakim selaku sutradara dan penulis skenario Film 3 DOA 3 CINTA, terima kasih atas waktu, pengarahan, petunjuk yang sangat berarti dalam penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 10. Kepada KMF KALACITRA yang banyak memberikan pelajaran dan pengalaman
tentang
kehidupan.
iii
Teman-teman
seperjuangan
di
KALACITRA “05” (M. Luthfi Rahman, M. Vicky Al Utsmany, Zakaria Ahmad, Aden Senja, Ikhwan Maulana, Regita Nadha Ayu, Emma, Nadya, Febby, Iqbal, Budi Astoni, Asri Rahmita, Kartini, Sifa, Ima, Vina, Ajeng, Ayu, Zulfahmi Yasir Yunan,dll), Ahmad Rifky, Ahmad Zaky, Agus Nugraha, Ridho, Hilma Imunk, Tedi K, Elisha, Kikim, Jose iqbal, Didik S. Teman-teman dari Unit Kegiatan Mahasiswa lainnya (RIAK, ARKADIA, FORSA, TEATER SYAHID, PSM, RANITA, dll), Teman-teman di Komunitas SANJO BOYS. Teman-teman KKS 61. 11. Rekan-rekan Mahasiswa Non-Reguler, Ade W, Husni M, Anna, Ahyar Z, Hidayat Riyadi, Bu Atty S, M. Siddiq, Hakim S, Johan AK, Adzfar, Zamal A N, Kusniti, Iin, dan semua teman kelasku. 12. Dan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik materi maupun imateri sehingga penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik. Hanya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya yang dapat penulis haturkan kepada semua pihak yang telah turut mendukung dan membantu dalam penulisan skripsi ini. Mudah-mudahan Allah SWT membalas segala budi baik dan bantuan semua pihak yang telah diberikan kepada penulis. Jakarta, September 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6 1. Tujuan Penelitian .......................................................................... 6 2. Manfaat Penelitian ........................................................................ 6 D. Metodologi Penelitian ........................................................................ 6 1. Jenis Data ...................................................................................... 7 2. Obyek Penelitian ........................................................................... 7 3. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 8 4. Teknik Analisis Data ..................................................................... 9 E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 10 F. Sistematika Penulisan......................................................................... 11
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Semiotika .............................................................. 12 1. Konsep Semiotika
........................................................... 12
2. Konsep Semiotika Roland Barthez ............................................. 15 B. Tinjauan Umum Tentang Film .......................................................... 20 1. Pengertian Film ........................................................................... 20 2. Sejarah Film................................................................................. 21 3. Perfilman Di Indonesia ................................................................ 22 4. Fungsi Film .................................................................................. 27 5. Karakteristik Film. ...................................................................... 28 6. Jenis-jenis Film............................................................................ 30
v
7. Unsur-unsur Pembentuk Film...................................................... 31 8. Sinematografi .............................................................................. 32 9. Struktur Film ............................................................................... 34 C. Pesan Moral ...................................................................................... 35
BAB III GAMBARAN UMUM FILM 3 DOA 3 CINTA A. Sekilas tentang Film 3 DOA 3 CINTA ............................................. 39 B. Sinopsis Film 3 DOA 3 CINTA ........................................................ 41 C. Para Pemain & Team Produksi Film 3 Doa 3 Cinta ......................... 42 D. Profile Nurman Hakim ...................................................................... 44
BAB
IV ANALISIS DATA A. Analisis Semiotika Film 3 DOA 3 CINTA ...................................... 45 1. Perang Melawan Terorisme ........................................................ 47 2. Prasangka Negatif ....................................................................... 50 3. Menolak Sains dan Teknologi ..................................................... 56 4. Mitos Santri Ideal ........................................................................ 60 B. Analisis Makna Judul Film 3 DOA 3 CINTA.................................. 66 C. Pesan Moral dalam Film 3 DOA 3 CINTA...................................... 68
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN ................................................................................ 70 B. SARAN ............................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73 LAMPIRAN
vi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Secara harfiah, apresiasi seni berarti penghargaan terhadap kehadiran sebuah karya seni. Karya seni mengalami perkembangan dari tahun ke tahun, hingga pada akhirnya tercipta sebuah perpaduan yang seimbang dan harmonis antara seni sastra, seni musik, dan seni peran, serta komedi yang dikemas dalam bentuk film. Film merupakan sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian tekhnis lainnya kepada masyarakat umum. Studi perfilman boleh dikatakan bidang studi yang relatif baru dan tidak sebanding dengan proses evolusi teknologinya. Eksplorasi studi perfilman yang pernah terjadi pada dekade 60-70 an di Eropa dan Amerika ternyata tidak banyak membawa perubahan yang berarti. Hasrat untuk menghasilkan suatu pendekatan yang holistik dan interdisipliner dalam studi perfilman nampaknya masih berupa angan-angan. Tak terkecuali bila studi perfilman dilihat dalam konteks ilmu komunikasi. Meski film merupakan bagian integral dalam bidang ilmu komunikasi, ternyata kesan “penganak-tirian” terhadap studi film memang harus diakui. Studi film masih kurang memperoleh perhatian yang memadai di kalangan para ilmuan komunikasi. Ini terbukti pada langkanya bahan-bahan acuan yang secara khusus
1
2
mengupas studi perfilman secara umum, apalagi yang berkaitan dengan konteks ilmu komunikasi. Film memiliki nilai seni tersendiri karena film tercipta sebagai sebuah karya dari tenaga-tenaga kreatif yang profesional di bidangnya. Film sebagai benda seni sebaiknya dinilai dengan secara artistik bukan rasional. Film dapat dikelompokan ke dalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan non cerita. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Film non cerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya. Jadi merekam kenyataan daripada fiksi tentang kenyataan.1 Film bukan hanya menyajikan pengalaman yang mengasyikan, melainkan juga pengalaman hidup sehari-hari yang dikemas secara menarik. Alasan-alasan khusus mengapa seseorang menyukai film, karena adanya unsur dalam usaha manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu, karena film tampak hidup dan memikat. Hal ini merupakan sasaran utama bagi pembuatan film untuk dapat menghasilkan produksi film yang dikemas dalam cerita-cerita yang menarik, dan memasukkan nilai-nilai yang dapat memperkaya batin untuk disuguhkan kepada masyarakat sebagai cerminan. Karena itu film dianggap sebagai suatu wadah pengekspresian dan gambaran tentang kehidupan sehari-hari. Dalam seni peran, unsur bahasa memang menjadi unsur utamanya. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai
1
Marseli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, Indonesia 1996) h. 10
3
media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Bahwa bahasa yang paling banyak digunakan dalam komunikasi karena hanyalah bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah itu yang berbentuk ide, informasi, atau opini, baik mengenai hal yang berbentuk konkret maupun abstrak.2 Dalam prakteknya komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dalam bentuk lambang bermakna sebagai panduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, himbauan, dan sebagainya yang dilakukan seseorang kepada orang lain, baik langsung atau secara tatap muka maupun tak langsung melalui media, dengan tujuan mengubah sikap, pandangan, atau perilaku. Lambang (simbol) bermakna dioperasikan dalam proses komonikasi antar partisipan. Jika antar partisipan terdapat kesesuaian pemahaman tentang simbol-simbol tersebut, tercapai suatu keadaan yang bersifat komunikatif. Dalam proses ini terdapat simbol-simbol verbal (bahasa, baik lisan maupun tulisan) dan simbol-simbol non verbal (gerak anggota tubuh, gambar, warna dan berbagai isyarat yang tidak termasuk kata-kata tau bahasa). Sebagai simbol non verbal, gambar dapat dipergunakan untuk menyatakan pikiran atau perasaan. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa ilmu yang mengulas tentang tanda-tanda adalah semiotik. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik
2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Indonesia 2003) h. 33
4
dalam mencapai efek yang diharapkan. Hal yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotik yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tandatanda yang menggambarkan sesuatu. Tanda-tanda ikonis yang digunakan dalam film mengisyaratkan pesan kepada penonton. Bicara tentang film, TriXimages dan Investasi Film Indonesia (IFI) sebagai wadah perfilman telah berhasil memadukan antara seni peran, seni sastra, dan seni musi. Film dengan judul “3 DOA 3 CINTA” ini telah berhasil menjadi film kolaborasi yang mampu memikat penontonnya dalam alur cerita. Film “3 DOA 3 CINTA” yang diproduksi TriXimages dan Investasi Film Indonesia (IFI) bercerita tentang persahabatan 3 remaja yang diperankan oleh Nicholas Saputra dan pendatang baru, Yoga Pratama dan Yoga Bagus. Film “3 DOA 3 CINTA” mengisahakan kehidupan 3 santri remaja di suatu pesantren di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Mereka bertiga punya rencana dan cita-cita sendiri sesudah lulus dari pesantren. Namun diawali dengan pertemuan Huda, yang diperankan oleh Nicholas Saputra dengan Dona Satelit, seorang penyanyi dangdut keliling, yang diperankan oleh Dian Sastro, peristiwa demi peristiwa terjadi dan mengubah jalan hidup mereka. Dalam film ini juga terdapat potret suka duka kehidupan di sebuah pesantren yang diwarnai dengan persahabatan, cinta, ibadah dan nilai kemanusiaan.
Film ini tergolong film yang cukup sukses dalam menggambarkan dunia Islam, terkhusus dunia pesantren. Dalam film ini memuat gambaran yang cukup
5
gamblang mengenai Islam dan dunia pesantren. Hal ini menjadi sangat penting mengingat beberapa peristiwa yang membuat citra Islam semakin terpuruk di mata dunia. Karena tentu saja kita berkepentingan membersihkan citra Islam di dalam pergaulan internasional. Dalam film ini banyak adegan yang melukiskan secara visual bagaimana Islam disimpangkan dari garisnya dan disalah pahami, serta dengan cerdik menyisipkan kritik dan kearifan nilai-nilai moral Islam. Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut diatas penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Analisis Semiotik Film 3 DOA 3 CINTA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Agar penelitian ini lebih fokus, maka penulis membatasi penelitian ini dengan hanya menganalisis nilai-nilai moral yang terkandung dalam film “3 DOA 3 CINTA” dengan menggunakan semiotik. Adapun penelitian ini menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes, karena menurut Barthes semua objek kultural dapat diolah secara tekstual. Dengan demikian, semiotik dapat meneliti bermacam-macam teks seperti berita, film, fashion, fiksi, dan drama. 3 Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana makna denotasi, konotasi, mitos dan dalam film “3 DOA 3 CINTA”? b. Bagaimana makna judul film 3 DOA 3 CINTA? c. Apa pesan moral yang ingin disampaikan dalam film “3 DOA 3 CINTA”?
3
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 123
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam film “3 DOA 3 CINTA”. b. Mengetahui makna judul film 3 DOA 3 CINTA. c. Mengetahui pesan moral yang ingin disampaikan dalam film “3 DOA 3 CINTA”. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis Penelitian ini merupakan suatu terapan teori semiotik dalam studi filmologi yang diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan studi Ilmu Komunikasi, khususnya studi tentang film. b. Manfaat Praktis Penulis mengharapkan penelitian ini akan dapat membuka cakrawala audiens untuk memaknai pesan dalam film, dapat menghargai sinema Indonesia dan lebih kritis dalam memilih film yang bermutu.
D. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam analisis semiotik adalah bersifat kualitatif. Jenis penelitian ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif. Maksudnya setiap orang memiliki pemaknaan terhadap film berbeda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotik. Analisis semiotik digunakan untuk dapat mengetahui makna yang terkandung dalam bentuk verbal dan non verbal. Semiotik diterapkan pada tanda-tanda
7
simbol, lambang, yang tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti dalam kaitannya dengan audience-nya. Audience itulah yang menghubungkan tanda (significant) dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau prediksi. Studi ini menelaah makna pesan moral dalam film “3 DOA 3 CINTA” yaitu menganalisis pesan moral dan kritik sosial dalam berbagai adegan yang ditampilkan. 1. Jenis Data Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan dengan beberapa teknik yang saling mendukung sattu sama lain, yang diperoleh dari: Data Primer: Yaitu data yang diperoleh dari hasil analisis semiotik tiap adegan yang mengandung makna pesan moral yang terdapat dalam film “3 DOA 3 CINTA”. Data Sekunder: Yaitu data bersumber pada berbagai referensi seperti buku, film, jurnal, dokumen, media internet, dan terbitan lain yang ada relevansinya dengan masalah penelitian. 2. Objek Penelitian Film yang dikaji dalam penelitian ini disebut sebagai film drama karena mengungkapkan suatu jalinan cerita, yang dimainkan oleh manusia dengan unsur drama dalam cerita tersebut. Di dalam cerita ini akan diteliti bagaimana pesan moral yang disiratkan melalui film. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan objek adalah setiap adegan yang mengandung pesan moral dalam film “3 DOA 3
8
CINTA” dengan menggunakan analisis semiotik. Simbol-simbol itu pada film dipresentasikan melalui penampilan (appearance) perilaku tokoh dalam film. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik yang saling mendukung satu sama lain, yang diperoleh dari: a. Dokumentasi Teknik ini merupakan pengumpulan data sekunder mengenai objek dan lahan penelitian yang didapatkan dari sumber tertulis, seperti arsip, dokumen resmi, tulisan-tulisan yang ada pada situs internet, dan sejenisnya yang dapat mendukung analisa penelitian tentang film 3 Doa 3 Cinta. b. Observasi Dalam penelitian ini peneliti menggunakan film sebagai alat utama untuk mengkaji objek penelitian. Penelitian dilakukan dengan mengamati dan menganalisis makna dan simbol-simbol yang terdapat pada film tersebut. Dari hasil pengamatan tersebut akan dilanjutkan dengan mempresentasikan adegan yang mengandung makna moralitas. c. Wawancara Wawancara adalah percakapan antara periset atau seorang yang berharap mendapatkan informasi yaitu orang yang diasumsikan mempunyai informasi penting tentang suatu obyek. Adapun narasumber yang diwawancarai adalah sutradara Film “3 DOA 3 CINTA” yaitu (Nurman Hakim). Wawancara dalam penelitian kualitatif yang disebut sebagai wawancara mendalam (depth interview) atau wawancara secara
9
intensif (intensive interview) dan kebanyakan tidak berstruktur. Tujuannya untuk mendapatkan data kualitatif yang mendalam.4 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan analisa secara kualitatif berdasarkan data yang diperoleh dari tiap adegan yang mengandung makna pesan moral yang terdapat dalam film “3 DOA 3 CINTA”. Dalam menganalisis data di sini penulis menggunakan sistem milik Roland Barthes yang memfokuskan tanda pada peran audience. Sistem yang dikembangkan oleh Barthes adalah sistem “konotasi dan denotasi”. Kata konotasi berasala dari bahasa latin ‘connotare’ menjadi ‘tanda’ dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah atau berbeda dengan kata (dan bentuk lain dari komunikasi). Konotasi melibatkan simbol-simbol historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional, sehingga walaupun konotasi merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Sistem konotasi merupakan sistem tingkat kedua, dimana penanda dan petanda pada denotasi menjadi penanda yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya. Sedangkan, denotasi menunjukan arti literatur atau yang eksplisit dari kata-kata dan fenomena yang lain, Denotasi dan konotasi menguraikan hubungan antara signifier dan referent nya. Denotasi menggunakan makna dari tanda sebagai definisi secara literal atau nyata. Konotasi mengarah pada kondisi sosial budaya dan assosiasi personal.5 4
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi. 2006, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 96. 5
www.Aber.Ac.Uk. Artikel diakses pada 17 maret 2010
10
Dalam penelitian ini, analisis akan dilakukan dalam dua tahap: Tahap pertama; adalah melakukan kajian dengan melibat tanda-tanda di dalam unsur film yang terdapat di dalamnya. Tahap kedua; menarik kesimpulan berdasarkan atas analisis semiotik yang dilakukan pada tahap pertama. E. Tinjauan Pustaka Dalam menyusun skripsi ini, telah dilakukan tinjauan pustaka oleh penulis dan ternyata belum ada mahasiswa/i yang meneliti tentang judul ini. Hanya ada beberapa mahasiswa/i yang menggunakan konsep penelitian analisis semiotik terhadap foto, poster, iklan, film antara lain: Analisis Semiotik Pada Poster HIV/AIDS di Yayaasan Pelita Ilmu, disususn oleh Nama: Ranita Erlianti Harahap NIM: 104 0510011920 Tahun: 2008. Dalam penelitian tersebut objek yang diteliti adalah poster dengan menggunakan metode Gillian Dyer, Torben Vestergard, dan Judith Williamson. Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotik Karya Zarqoni Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id) disusun Nama: Fatimah NIM: 104051101942 Tahun: 2008. Dalam penelitian tersebut objek yang diteliti adalah foto dengan menggunakan metode semiotik Roland Barthes. Analisis Semiotik Film Animasi UPIN dan IPIN, disusun oleh Nama: Akhmad Bayhaki NIM: 105051001885 Tahun: 2009. Dalam penelitian tersebut objek yang diteliti adalah film animasi dengan menggunakan metode semiotik Jhon Fiske. Dari beberapa skripsi tersebut di atas dan di Fakultas Dakwah belum ada mahasiswa/I yang meneliti tentang film “3 DOA 3 CINTA” dengan menggunakan semiotik Roland Barthes.
11
F. Sistemika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab. Di mana masing-masing bab dibagi ke dalam sub-sub dengan penulisan sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Yang memuat latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS Bab ini memuat pengertian Semiotik; konsep semiotik, konsep semiotik Roland Barthes, Pengertian Film; konsep film, sejarah film, perfilman di Indonesia, fungsi film, karakteristik film, jenisjenis film, unsur-unsur pembentuk film, sinematografi, struktur film, Pesan Moral
BAB III
PROFIL FILM 3 DOA 3 CINTA Bab ini menggambarkan secara umum Film 3 DOA 3 CINTA, Sinopsis Cerita serta para pemain dalam film 3 DOA 3 CINTA.
BAB IV
ANALISIS SEMIOTIK FILM 3 DOA 3 CINTA Bab ini memuat Hasil Analisis Semiotik yang terkandung dalam film 3 DOA 3 CINTA.
BAB V
PENUTUP DAN KESIMPULAN Berisi Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran. Kemudian bagian terakhir memuat Daftar Pustaka dan LampiranLampiran.
12
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum Semiotika 1.
Konsep Semiotika Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu
yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotika lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau „sign‟ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.1 Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika mempelajari
sistem-sistem,
aturan-aturan,
dan
konvensi-konsensi
yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut berarti.2 Dalam pengertian yang hampir sama semiotika
adalah
studi
tentang
bagaimana
bentuk-bentuk
simbolik
diinterprestasikan. Kajian ilmiah mengenai pembentukan makna.3 Secara substansial, semiotika adalah kajian yang concern dengan dunia simbol. Alasannya, seluruh isi media massa pada dasarnya adalah bahasa (verbal), sementara itu bahasa merupakan dunia simbolik.4
1
Heru Effendy, Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser, (Jakarta: Pustaka Konfiden, 2008), cet, ke-6, h. 149 2 www.wikipedia.com, arti diakses pada 22 Mei 2010 3 James Lull, Media Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Terj). A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), cet. Kel-1, h. 232 4 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet-ke-4, h. 140
12
13
Semiotika seperti yang kita kenal dapat dikatakan baru karena berkembang sejak awal abad ke-20. Memang pada abad ke-18 dan ke-19 banyak ahli teks (khususnya Jerman) berusaha mengurai pelbagai masalah yang berkaitan dengan tanda, namun mereka tidak menggunakan pengertian semiotis.5 Semiotika (semiotics) didefinisikan oleh Ferdiand de Saussure di dalam course in general linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.6 Sedangkan semiotika tidak hanya meneliti mengenai signifier dan signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka, tanda yang berhubungan secara keseluruhan.7 Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah lingustik sedangkan Peirce adalah filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).8 Ada dua gagasan besar tentang tanda yang umumnya dijadikan dasar bagi penelitian semiotika, yakni gagasan tentang tanda menurut Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce Filsuf sekaligus ahli logika. Beberapa konsep dasar dari pemikiran Saussure dan juga pengikutnya, termasuk Barthes, yaitu :
5
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 81 Yasraf Amir Piliang, Hipesemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 256 7 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, h. 123 8 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual: Metode Analisis Tanda dan Makna Pada karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta : Jalasutra, 2008), ke-2, h. 11 6
14
1)
A signifier (significant) forma atau citra tanda tersebut, misalnya: tulisan di kertas, atau suara di udara. Atau dengan kata lain, wujud fisik dari tanda.
2)
The signified (signifie) konsep yang direpresentasikan atau konsep mental.9 Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda
adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan bermakna.10 Sementara itu. Charles Sanders Peirce, manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.11 Peirce dikenal dengan teori segitiga makna-nya (triangle meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang terdiri dari: tanda (sign), acuan tanda objek, pengguna tanda (interpertant). Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dibenak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila elemen-elemen tersebut berinteraksi dalam bentuk seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.12
9
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), cet, ke-1, h. 45 10 Alex Sobur, Simiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. Ke-2, h. 46 11 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, h. 16 12 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Sesuatu Pengantar, h. 115
15
2. Konsep Semiotika Roland Barthes Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat panyai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. 13 Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah “order of signification”.14 Two orders of singnification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan pertandaan) Barthes terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, dan second orders of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi.15 Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antra tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung , dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang bersifat implisit dan tersembunyi.16
13
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 268 15 M. Atonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi, Teori dan Aplikasi, h. 56 16 Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 94. 14
16
Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes :
1. Signifier (Penanda)
2. Signified (Petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)
(PENANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika kita mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.17 Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi penyempurnaan semilogi Saussure, yang berhenti pada penandanaan dan tatanan denotatif. Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam isitlah tingkat representasi. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai berikut.18
17 18
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69 M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi, h. 57
17
a.
Denotasi adalah interaksi antara singnifier dan signified dalam sign, dan antara sign dengan referent (object) dalam realitas eksternal.
b.
Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.
Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut makna denotatif. Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna referensial, makna konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emosif, atau makna evaluatif.19 Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri. Sebuah tanda yang kita lihat pasti suatu denotasi.makna denotasi adalah apa yang kelihatan pada gambar, dengan kata lain gambar dengan sendirinya memunculka denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi ketika konotasi tersebut sudah umum digunakan dan dipahami bersama sebagai makna yang kaku.
19
AS Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, (Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006), cet, ke-1, h. 27-28
18
Gambar 1. The Orders of Signification20
Form Konotasi Signifier
Denotasi
Signified
Mitos
Content
Reality
First Order
Signs
Culture
Second Order
Dalam gambar tersebut, tanda panah dari signified mengarah pada mitos. Ini berarti mitos muncul pada tataran konsep mental suatu tanda. Mitos bisa dikatakan sebagai ideologi dominan pada waktu tertentu. Denotasi dan konotasi memiliki potensi untuk menjadi ideologi yang bisa dikategorikan sebagai third order of signification (istilah ini bukan dari Barthes), Barthes menyebut konsep ini sebagai myth (mitos).21 Mitos dalam pengalaman Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.22 Mitos adalah yang berhubungan dengan kepercayaan primitif tentang kehidupan alam gaib, yang timbul dari usaha manusia yang tidak ilmiah dan tidak
20
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi, h. 58 ibid, h. 58-60 22 Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 94 21
19
berdasarkan pada pengalaman yang nyata untuk menjelaskan dunia atau alam sekitarnya.23 Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas social yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, Mislanya, mengenai hidup dan mati, manusiaa dan dewa, dan sebagainya. Seedangkan mitos masa kini mislanya mengenai feminitas, maskulinitas ilmu pengetahuan, dan kekerasan.24 Menurut Urban, mitos adalah cara utama yang unik untuk memahami realitas. Atau seperti kata Midnowski, mitos adalah suatu pernyataan purba tentang realitas yang lebih relevan.25 Mitos dalam pandangan Lappe & Collins dimengerti sebagai sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya bertentang dengan fakta. Apa yang disebut Lappe & Collins sebagai mitos itu adalah jenis „mitos modern‟.26 Sedangkan menurut Barhers, mitos adalah sebuah kisah (a story) yan melaluinya sebuah budaya mejelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas. Mitos membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita dalam satu konteks budaya tertentu. Feranand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional dan mitos mdoern. Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenal mengenal gejela-gejala politik, olahraga, sinema, televisi dan pers. Mitos (mythes) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesutau yang hampir mirip dengan „re23
Pius A Partanto & M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arloka,
1994) 24
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128
25
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 222
26
Ibid, h. 224
20
presen-tasi koleksi di dalam sosiologi Durkheim. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka dari itu mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk.27 B. Tinjauan Umum Tentang Film 1.
Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian film secara fisik adalah selaput tipis yang teerbuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Sedangkan melalui kesepakatan sosial istilah film memperoleh arti seperti yang secara umum dipahami yaitu lakon (cerita) gambar hidup atau segala sesuatu yang berkaitan dengan gambar hidup. 28 Sedangkan Menurut UU Perfilman No 8 Tahun 1992, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunukasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sisten proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya. 29 Film adalah media massa yang memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realisme, pengaruh, emosional, dan popularitas yang hebat. Namun, selain itu film juga memiliki kelemahan salah satunya adalah sifatnya yang 27
28
Ibid, h. 224
Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997). 29 UU Republik Indonesia No 8 Tahun 1992 tentang perfilman. Bab 1, Pasal 1 Ayat 1. Departemen Penerangan RI.
21
sekilas, sehingga untuk menangkap pesannya secara utuh, orang tidak bisa mengalihkan perhatian untuk melakukan kegiatan lain. Secara mendasar pengertian film yang menyeluruh memang sangat sulit untuk dijelaskan. Namun baru dapat diartikan kalau dilihat dari konteksnya; misalnya dipakai untuk potret negatif atau plat cetak. Film mengandung pengertian suatu lembaran pita seluloid yang diproses secara kimia sebelum dapat dilihat hasilnya; atau yang berhubungan dengan cerita atau lakon, film mengandung pengertian sebagai gambar hidup atau rangkaian gambar-gambar yang bergerak menjadi suatu alur cerita yang ditonton orang, bentuk film yang mengandung unsur dasar cahaya, suara, dan waktu. 2. Sejarah Film Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsipprinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada publik Amerika Serikat adalah film The Life of an American Fireman dan film The Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun 1903. Tetapi film The Great Train Robbery yang masa putarnya hanya 11 menit dianggap sebagai film cerita yang pertama, karena telah menggambarkan situasi secara ekspresif, serta peletak dasar teknik editing yang baik. 30 Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film feature, lahir pula bintang film serta pusat perfilman yang kita kenal sebagai Hollywood. Periode ini juga disebut sebagai the age of Grifith karena David Wark Grifith-lah
30
Onong Uchjana Efendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) cet. Ke-3, h. 201.
22
yang telah membuat film sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film The Adventures of Dolly (1908) dan puncaknya film The Birth of Nation (1915) serta film Intolerence (1916).31 Grifith mempelopori gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi cerita yang makin baik, dan yang paling utama mengangkat film sebagai media yang memiliki karakteristik yang unik, dengan gerakangerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan gambar yang baik dan teknik editing yang baik. Pada periode ini pula perlu dicatat nama Mack Sennett dengan Keystone Company-nya yang telah membuat film komedi bisu dengan bintang legendaris Charlie Chaplin. Apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di Broadway, Amerika Serikat, muncul film bicara yang pertama meskipun belum sempurna. 3. Perfilman di Indonesia Dari sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang diputar berjudul Lady Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh David. Pada tahun 1927/1928 Krueger Coorporation memproduksi film Eulis Atjih, dan sampai tahun 1930, masyarakat disuguhi film Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh. Film-film tersebut merupakan film bisu dan diusahakan oleh orang-orang Belanda dan China. Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia, Saerun. Pada saat perang Asia Timur Raya di penghujung tahun 1941, perusahaan perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu berpindah tangan
31
Ibid, h. 202
23
kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Multi Film yang diubah namanya menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film untuk media informasi dan propaganda. Namun tatkala bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon Eiga Sha diserahakan secara resmi kepada pemerintah Republik Indonesia. Serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak pemerintah Militer Jepang kepada R.M. Soetarto yang mewakili pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia atau BFI bersamaan dengan pindahnya Pemerintah RI dari Yogyakarta, BFI pun pindah dan bergabung dengan Perusahaan Film Negara, yang pada akhirnya berganti nama menjadi Perusahaan Film Nasional. 32 Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan. Yang pertama, film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota. Yang kedua, film dicap „hiburan rendahan‟ orang kota, namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. Bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni. 33
32
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala Erdiyana, Komunikasi Massa, suatu pengantar, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005) cet. Ke-2 h. 135-136 33
www.geocities.com/paris/7229/film.html. Artikel diakses pada 27 Mei 2010
24
Dalam pertumbuhannya, baik film hiburan yang mengacu pada Hollywood ataupun film-film seni kadang tumbuh berdampingan, saling memberi namun juga bersitegang. Masing-masing memiliki karakter sasaran pasar, festival, dan pola pengembangannya sendiri. Sementara itu pada proses pertumbuhannya film Indonesia tidak mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah ke atas, juga intelektual dan budayawan. Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagi teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik berupa seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuhnya film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsurunsur seni dari film yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat dicangkokan dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknologi media dan seni lainnya. Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film. 34
34
Disarikan dari tulisan Garin Nugroho : "Krisis sebagai Momentum Kelahiran", Kompas, Agustus 1991
25
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1990 jumlah produksi film nasional mencatat angka 112, pada tahun 1991 turun menjadi 85 judul film, dan tahun 1992 mencapai angka di bawah 30, data-data dari Sinematek Indonesia, yang masih rajin mencatat produksi film indonesia, menunjukkan bahwa “keruntuhan” itu terjadi mulai tahun 1998. Tahun itu tercatat hanya empat produksi film, sementara tahun-tahun berikutnya: 1999 tiga judul, 2000 tiga judul, dan 2001 empat judul. Padahal, pada tahun 1997 masih tercatat 27 judul, 1996: 15 judul, dan 1995: 12 judul. Jumlah itu tentu sangat tidak berarti bila dibandingkan dengan produksi lebih dari 100 judul per tahun yang pernah dicapai pada tahun-tahun sebelumnya. 35 Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar beragam sekaligus saling berhubungan, namun masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop.
36
Faktor yang
mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya
35
J. B. Kristianto, Film Indonesia dan Akal Sehat,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001) Cet. 1 hal. 216 36 Nugroho, Garin, "Film Indonesia, Antara Pertumbuhan dan Kecemasan" Tempo, Mei 1993
26
kualitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang. Ada beberapa sebab mengapa film nasional kita terpuruk: Pertama, soal selera dan apresiasi masyarakat kita sudah berubah. Perfilman tahun 60-an dan 70-an masih begitu jaya. Kejayaan film-film pada era tahun ini cukup logis karena masyarakat kita masih sederhana dan terpaan media masih belum besar. Ketika dekade tahun 80-an, mulailah terpaan media begitu gencarnya. Setiap orang hampir setiap hari membaca berbagai media massa. Kemudian, dengan munculnya televisi swasta, sajian film-film layar lebar di televisi sudah demikian memukau masyarakat. Masyarakat yang tadinya hanya menikmati film-film nasional, seolah dikejutkan dengan budaya asing dengan film-film Hollywood-nya. Memang, sebelumnya kita sudah mengimpor film-film produksi India yang dikenal dengan Bollywood. Dalam film-film Bollywood, masih terasa tampilan budaya Asianya. Juga impor film-film kungfu Hongkong yang juga masih ada nilai proximity-nya karena semata-mata berbasis Asia. Namun, begitu film Hollywood mulai menggempur secara membabi buta, mau tidak mau film kita bertekuk lutut. Kedua, munculnya cineplek atau gedung bioskop kembar yang lebih banyak menayangkan film-film asing. Dengan semakin tingginya intensitas menayangkan film asing sesuai dengan kelonggaran pemerintah yang diberikan
27
kepada PT Subentra, maka film nasional pun semakin tersisih. 37 Akibatnya dapat kita tebak, film nasional jadi tidak laku. Ketiga, kurangnya SDM di bidang perfilman yang berkualitas.
38
SDM
perfilman yang seharusnya menerima estafet tongkat kepemimpinan dari para sineas senior kurang tampak. Akibatnya SDM di bidang film kita habis. Sementara, yang masih muda ada banyak hambatan baik yang besifat birokrasi maupun freme film yang umumnya film mayor. Terakhir adalah film yang hanya dipandang sebagai komoditas industri. Padahal sebagai satu bentuk seni, seharusnya film tidak melulu dikaitkan dengan bisnis. Di sini terlihat sekali, karena film dibebani tugas mencari keuntungan bagi produsernya maka beban yang berat ini justru mematikan film itu sendiri. Kemunculan film indie tidak lain merupakan reaksi atas kekuasaan kaum pengusaha terhadap para seniman film. di mana mereka merasa begitu beranggapan bahwa para sineas muda yang memang tidak punya modal untuk membuat film. Padahal, sebagai seni film bisa diekspresikan dengan berbagai cara dan bentuk yang berbeda pula. 4. Fungsi Film Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama adalah ingin mendapatkan hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain media hiburan, film 37
www.scribd.com/doc/18681861/Film-in-Die-Indonesia artikel diakses pada 15 juni
2010 38
Onong Uchjana Efendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) cet. Ke-3, h. 238.
28
nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building. 39 Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi filmfilm sejarah yang objektif, atau film dokumenter, dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang. 40 5. Karakteristik Film Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis. 41 a. Layar yang luas / lebar Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Meskipun saat ini ada layar televisi yang berukuran jumbo, itu digunakan pada saat-saat khusus dan biasanya di ruangan terbuka, seperti pada pertunjukkan musik dan sejenisnya. Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalan film. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolaholah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak. b. Pengambilan Gambar Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut
39
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) cet. Ke-3 h. 227 40 Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala Erdiyana, Komunikasi Massa, suatu pengantar, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005) cet. Ke-2 h. 136 41 Ibid, hal. 136-138.
29
dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik. Perasaan kita akan tergugah melihat seseorang (pemain film) sedang berjalan di gurun pasir pada tengah hari yang amat panas. Manusia yang berjalan tersebut terlihat bagai benda kecil yang bergerak di tengah luasnya padang pasir. Di samping itu, melalui panoramic Shot, kita sebagai penonton dapat memperoleh sedikit gambaran, bahkan mungkin gambaran yang cukup tentang daerah tertentu yang dijadikan lokasi film sekalipun kita belum pernah berkunjung ke tempat tersebut. Misalnya, kita dapat mengetahui suasana sekitar menara Eiffel di Paris, air terjun Niagara di Amerika Serikat dan lain-lain. Sebaliknya, pengambilan gambar pada televisi lebih sering jarak dari jarak dekat. c. Konsentrasi penuh Saat kita menonton film di bioskop, kita akan mengalami suasana yang berbeda dibandingkan dengan saat kita menonton televisi di rumah. Di dalam bioskop kita semua terbebas dari gangguan hiruk-pikuk suara diluar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita juga terbawa oleh suasana. d. Identifikasi Psikologis Penonton dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaannya larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan para penonton yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar mereka menyamakan (mengidentifikasikan) pribadinya dengan salah seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah dialah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis.42 42
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) Cet. Ke-3 hal. 207
30
6. Jenis-jenis Film Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun. a. Film Cerita Film cerita (story film) adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambar yang artistik. b. Film Berita Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan menarik. Yang terpenting dalam film berita adalah peristiwanya terekam secara utuh. c. Film Dokumenter Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”. Berbeda dengan film berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. d. Film Kartun Film Kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Tujuan utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya
31
adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun yang mengandung unsur-unsur pendidikan di dalamnya. 43 7. Unsur-Unsur Pembentuk Film Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, berhungan dengan aspek cerita atau tema film, terdiri dari unsur-unsur seperti: tokoh, masalah, konflik, lokasi, dan waktu. Sedangkan unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. Dalam film cerita unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik atau gaya sinematik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.44 Unsur sinematik terdiri dari empat elemen pokok, yakni: a. Mise-en-scene, yaitu segala hal yang berada di depan kamera. b. Sinematografi, yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan objek yang diambil. c. Editing, yakni transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya. d. Suara, yakni segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran. Film juga mengandung unsur-unsur dramatik. Unsur drramatik dalam istilah lain disebut dramaturgi, yakni unsur-unsur yang dibutuhkan untuk melahirkan gerak dramatik pada cerita atau pada pikiran penontonnya, antara lain: konflik, suspense, curiosity, dan surprise. Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi dalam sebuah film misalnya, pertentangan antar tokoh. Suspense adalah 43
Elvinaro Ardianto, lukiati Komala Erdinaya. Komunikasi Massa, suatu pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media) h. 138-140 44 Himawan Pratista, Memahami Film, h. 1-2
32
ketegangan yang dapat menggiring penonton ikut berdebar menantikan adegan selanjutnya. Curiosity adalah rasa ingin tahu atau penasaran penonton terhadap jalannya cerita sehingga penonton terus mengikuti alur film sampai selesai. Surprise adalah kejutan. Kejutan ini biasanya digunakan pada alur film yang sulit ditebak. Perasaan surprise pada penonton timbul karena jawaban yang mereka saksikan adalah di luar dugaan. Efek surprise ini bisa membuat penonton senang, bisa juga kecewa atau sedih. 45 8. Sinematografi Dalam sebuah produksi film ketika seluruh aspek mise-en-scene telah tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil gambarnya, pada tahap inilah unsur sinematografi mulai berperan. Sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan sebagainya. Framing adalah hubungan kamera dengan objek yang akan diambil, seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera dan seterusnya. Sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah objek diambil gambarnya oleh kamera. 46 Berikut ini adalah salah satu aspek framing yang terdapat dalam sinematografi, yakni jarak kamera terhadap obyek (type of shot), yaitu47 :
45
Elizabeth Lutters, Kunci Sukses Menulis Skenario, (Jakarta: Grasindo, 2004) cet. Ke-3, h. 100-103. 46 Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008) h. 89. 47 Ibid, h. 104-106
33
a. Extreme long shot Extreme long shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari obyeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umumnya untuk menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama yang luas. b. Long shot Pada long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Long shot sering digunakan sebagai estabilising shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat. c. Medium long shot Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas. Tubuh fisik manusia dan lingkungan sekitar relatif seimbang. d. Medium shot Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. Gestur serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam frame. e. Medium close-up Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan. Adegan percakapan normal biasanya menggunakan jarak medium close-up. f. Close-up Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, kaki, atau sebuah obyek kecil lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta
34
gestur yang mendetil. Close-up biasanya digunakan untuk adegan dialog yang lebih intim. Close-up juga memperlihatkan mendetil sebuah benda atau obyek g. Extreme close-up Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah obyek. 9.
Struktur Film
Seperti halnya sebuah karya literatur yang dapat dipecah menjadi bab (chapter), alinea, dan kalimat, film jenis apapuun, panjang atau pendek, juga dapat memiliki struktur fisik. Secara fisik sebuah film dapat dipecah menjadi unsurunsur sebagai berikut 48 : a. Shot merupakan unsur terkecil dari film, yakni proses perekaman gambar atau perekaman gambar (satu kali take) sejak kamera diaktifkan (on) hingga dimatikan (off). Dalam novel shot bisa diibaratkan satu kalimat. Sekumpulan shot biasanya dapat dikelompokkan menjadi sebuah adegan. Satu adegan bisa berjumlah belasan hingga puluhan shot. Satu shot dapat berdurasi kurang dari satu detik, beberapa menit, bahkan jam. b. Scene (Adegan) adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan. Biasanya film cerita terdiri dari 30-35 adegan.
48
Himawan Pratista, Memahami Film, h. 29-30
35
c. Sequence (Sekuen) adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Atau sequence adalah sebuah rangkaian adegan.49 Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diibaratkan bab atau sekeumpulan bab. Film cerita biasanya terdiri dari 8-15 sequence. C. Pesan Moral Istilah pesan dalam bahasa Inggris message berasal dari kata latin yaitu message yang bersumber dari kata yang berarti perintah, nasehat, permintaan, kata-kata, lambang, ide, amanat yang harus disampaikan atau dilakukan kepada orang lain. 50 Akan tetapi, pengertian pesan yang dipaparkan di atas bersifat mendasar, dalam arti kata bahwa pesan itu adalah suatu kata-kata itu menyediakan suatu alat pengantar yang dapat menyampaikan ide-ide dan informasi, tapi juga persuasif yaitu pesan-pesan berjalan dengan struktur yang melalui komunikator dan diterima oleh komunikan agar orang lain bersedia menerima suatu paham dan keyakinan melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain. 51 Dalam komunikasi, pesan menjadi salah satu unsur penentu efektifitas suatu tindakan komunikasi. Pesan menjadi unsur utama selain komunikator dan komunikan, terjadi komunikasi antar manusia. Tanpa adanya komunikasi pesan, maka tidak pernah terjadi komunikasi yang jelas antar manusia. 52 49
Heru Effendy, Mari Membuat Film; Panduan Menjadi Produser, (Jakarta: Pustaka Konfiden, 2008) cet. Ke-6, h. 149 50 Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), cet. Ke-9, h. 761 51 James G. Robinson, Komunikasi yang Efektis, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986), cet.ke-3 h. 35 52 M. Jamaluddin Piktoringa, Tipologi Pesan Persuasif, (PT. Indeks: Jakarta, 2005), cet.ke-1, h. 1
36
Menurut beberapa ahli, pesan mempunyai macam-macam arti. Pesan dapat diartikan sebagai lambang, ide, kata, atau isi pernyataan. Menurut Hoeta Soehoet, pesan adalah isi pernyataan yaitu hasil penggunaan akal budi yang disampaikan manusia kepada manusia lain. Artinya berfungsi untuk mewujudkan isi pernyataan dari bentuknya yang abstrak menjadi konkret. Dari berbagai definisi yang telah disebutkan, meskipun terdapat perbedaan dalam perumusan dapat disimpulkan bahwa pesan merupakan suatu isi pernyataan yang mendatangkan makna dan respon tertentu. Sebenarnya suatu pesan tidak hanya sebatas menstimulasi emosi khalayak. Pesan dapat pula dikatakan persuasif manakala menyentuh rasio khalayak. Bahkan pesan yang disampaikan tidak hanya menyentuh ratio khalayak tapi juga dapat mengajak khalayak untuk menjadi sesuatu yang lebih baik. Dengan demikian pesan akan dapat menghasilkan respon tertentu seandainya dirancang dengan baik. Untuk itu pesan hendaknya mengoptimalkan lambang komunikasi yang tersedia (verbal, non-verbal dan paralinguistik) yang disesuaikan dengan topik yang dikomunikasikan. Saluran komunikasi yang digunakan dan khalayak yang dituju. Selain itu, pesan yang dirancang biasanya merupakan refleksi dari prilaku khalayak yang dituju, sehingga diharapkan merupakan hasil pengkondisian dari sumber. 53 Dalam penelitian ini, pesan yang ingin disampaikan pada khalyak adalah pesan yang mengandung nilai-nilai moral. Pesan moral merupakan suatu materi atau gagasan mengenai ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan yang ingin disampaikan oleh pembuat film kepada penontonnya.
53
Ibid, h. 4
37
Sebagaimana tema, pesan moral hanya dapat ditangkap melalui penafsiran cerita. Hal ini sekaligus merupakan petunjuk praktis mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Sutradara atau pembuat film ini menyampaikan semua hal tersebut di atas melalui penampilan tokoh-tokoh cerita. Sebenarnya yang dimaksud dengan moral menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah penentuan baik-buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
54
Dan
menurut istilah moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk. 55 Moralitas akan muncul dengan sendirinya manakala seseorang mulai berpikir tentang apa yang harus dilakukan dan tidak harus tidak dilakukan. Seseorang akan bertindak dengan alasan-alasan tertentu dan tidak dikendalikan oleh sebab-sebab yang lain. Tindakan moral harus rasional, alasannya pun harus operatif. Jadi, tidak sekedar rasional semata. Pada intinya, setiap orang harus mampu bertindak sebagai makhluk yang bermoral. 56 Menurut pandangan Rest, moralitas mencakup makna yang begitu luas, antara lain: a. tingkah laku membantu orang lain; b. tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma sosial; c. timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya; d. penalaran tentang keadilan, dan e. memperhatikan kepentingan orang lain. 57 54
W.J, S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Rajawali Press, 1980), cet.II, h. 654. 55 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), cet.V, h. 93. 56 Cheppy Haricahyono, Dimensi Pendidikan Moral, (Semarang: IKIP Semarang Pres, 1995), h. 67. 57 Ibid, h. 210.
38
Moralitas sering diartikan juga sebagai norma dan perilaku dalam masyarakat yaitu anggapan mengenai perilaku yang baik dan buruk. Perilaku sosial yang baik (positif) disebut sebagai perilaku prososial. Sedangkan perilaku sosial yang buruk (negative) disebut perilaku antisosial. Uraian ini menjadi suatu acuan khusus dalam seluruh penelitian ini. Berbagai pesan moral tersirat dan tersurat dalam film “3 DOA 3 CINTA”. Dan penggalian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotik ala Roland Barthes.
39
BAB III GAMBARAN UMUM FILM 3 DOA 3 CINTA
A. Sekilas Tentang Film 3 DOA 3 CINTA Pada bulan September 2008 dunia perfilman nasional kembali diramaikan dengan kehadiran Film “3 DOA 3 CINTA”, yang kembali mempertemukan dua bintang muda berbakat Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo setelah debut awal mereka di AADC. Film “3 DOA 3 CINTA” berhasil lolos dalam official selection competition di Pusan International Film Festival di Korea. Artinya Film “3 DOA 3 CINTA” akan mendapat kehormatan untuk ditayangkan perdana atau world premier di Korea pada bulan Oktober 2008.1 Tentu saja ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri untuk film yang proses penggarapan skenarionya memakan waktu lebih dari 3 tahun. 2 Bahkan skenario film ini berhasil mendapatkan script development grant dari Global Film Initiative di San Francisco, Amerika Serikat, Goteborg International Film Festival Fund dari Swedia dan Fonds Sud Cinema dari Perancis. Pada bulan Mei 2008, “3 DOA 3 CINTA” diundang ke Cinema du Sud di Cannes Film Festival di Perancis dimana film ini diputar di depan para produser, sutradara dan distributor film internasional.3
1
http://www.bangadang.com/perspektif/resensi/95-3-doa-3-cinta-toleransi-dari-pesantren artikel diakses pada 25 februari 2010. 2
Hasil Wawancara dengan Nurman Hakim, Sutradara, Penulis Skenario, Produser Film 3 Doa 3Cinta, pada 20 Juni 2010. Pukul 19.00 WIB. 3
http://www.kapanlagi.com/showbiz/film/3-doa-3-cinta-tampilkan-sisi-humanismepesantren-z9otddx.html artikel diakses pada 25 februari 2010.
39
40
Film “3 DOA 3 CINTA”, yang merupakan film layar lebar karya dari sutradara muda, Nurman Hakim. Film ini juga didukung oleh Butet Kartaredjasa dan Jajang C. Noer. “3 DOA 3 CINTA” adalah potret suka duka kehidupan di sebuah pesantren yang diwarnai dengan persahabatan, cinta, ibadah dan nilai kemanusian. Di film ini kita bisa lihat bagaimana Nicholas Saputra begitu menjiwai perannya sebagai seorang santri yang jatuh hati dengan penyanyi dangdut keliling, yang diperankan dengan sangat apik oleh Dian Sastro. Film “3 DOA 3 CINTA” adalah film yang bercerita tentang proses pendewasaan atau ”coming of age” santri yang dididik secara Islam dalam memahami kehidupan di luar pesantren. Film “3 DOA 3 CINTA“ merupakan produksi TriXimages dan Investasi Film Indonesia (IFI). TriXimages telah memproduksi antara lain ”Bendera” dan terakhir ”The Photograph” di tahun 2007. IFI sendiri telah memproduksi Coklat Stroberi (2007), Radit dan Jani (2008) dan terakhir Coblos Cinta (2008). Setelah world premiere pada bulan Oktober lalu, di Pusan International Film Festival, Film “3 DOA 3 CINTA” berhasil lolos dalam official selection competition di Dubai International Fim Festival yang akan diselenggarkan pada tanggal 9-18 Desember 2008. Film “3 DOA 3 CINTA” terpilih dari sekitar 1800 film yang diterima oleh panitia festival.4 Hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri, karena sebelum film ini release di Indonesia sudah berhasil lolos dalam berbagai festival film di mancanegara.
4
http://www.ifi.co.id/id/news/49-film-3-doa-3-cinta-di-dubai-film-festival.html aritkel diakses pada 25 februari 2010.
41
B. Sinposis Film 3 DOA 3 CINTA Ini cerita tentang tiga sahabat, Huda, Rian dan Syahid, tiga remaja yang tinggal di pesantren di sebuah kota kecil yang terletak di daerah Jawa Tengah. Mereka punya rencana dalam hidup mereka masing-masing setelah lulus dari pesantren dan SMA sebulan lagi. Mereka memiliki sebuah lokasi rahasia, sebuah dinding tua di belakang pesantren, di mana mereka menulis harapan-harapan mereka di dinding. Hingga sebuah situasi merubah hidup mereka. Huda (Nicholas Saputra), ingin mencari ibunya yang kabarnya berada di suatu tempat di Jakarta. Huda bertemu dengan Dona Satelit (Dian Sastrowardoyo) seorang penyanyi dangdut pemula yang sangat seksi ketika di panggung dan terobsesi menjadi bintang terkenal di Jakarta. Diantara mereka tertanam benihbenih asmara. Rian (Yoga Pratama) santri dari suatu kota besar. Dia mendapatkan sebuah kado handycam dari ibunya pada saat ulang tahunnya. Rombongan pasar malam terutama layar tancap yang kebetulan sedang singgah di desa itu membuat Rian semakin obsesif terhadap kamera. Rian ingin melanjutkan usaha Ayahnya. Syahid (Yoga Bagus), berasal dari keluarga miskin. Ayahnya sakit keras. Syahid merencanakan sesuatu yang besar dalam hidupnya yang akan memberikan dampak bagi kedua temannya. Bagaimana kehidupan mereka bertiga dan terwujudkah segala impian dan harapan mereka yang pernah mereka tulis di tempat rahasia itu?
42
C. Para Pemain dan Team Produksi FILM 3 DOA 3 CINTA Director NURMAN HAKIM Producers NAN ACHNAS, NURMAN HAKIM, ADIYANTO SUMARJONO Executive Producers NAN ACHNAS, ADIYANTO SUMARJONO Co-Executive Producer CONNIE RAHAKUNDINI BAKRIE, MADIYAN SAHDIANTO, SENDI SUGIHARTO, TIARA DHARANI JOSODIRDJO Story and Screenplay NURMAN HAKIM
Cast Huda Dona Satelit Rian Syahid Kyai Wahab Farokah Fatimah Zamroni Zaki Wulan Toha Uztad Anas Munif Kyai Ridwan Uztad Garis Keras George Smith Santri Kecil Sumardi Ningsih (Ibu Rian) Penjaga Kubur Ibu Pemilik Warung Perempuan ABG Dokter Polisi 1 Instruktur Latihan Perang Santriwati Cantik Pacar Ibu Rian MC Dangdut Zainal
NICHOLAS SAPUTRA DIAN SASTROWARDOYO YOGA PRATAMA YOGA BAGUS SATATAGAMA BROHISMAN HESSA NURHAYATI DIAH ARUM DAVID ARI WIBOWO ANDREAS PRAMUDYA W JAJANG C.NOOR BUTET KARTAREDJASA JOHAN EKSPRESI ARFIAN PUNGKY WIBAWA YUSUF DOUBLEH ZULKARNAEN DUGEL BAGUS WIBOWO MEMED JANTAN AUGUST BETIDO MASROOMBARA NINA ARTHA ELY MARLIANA YUDI SANDIKA TUNJUNG SATRIYA DONI SUWUNG S.ANGREINI ALFRED BETIDO TONI ALKAUTSAR WAHYU GOGON
Extras Kuniarto Mayko Purnama, Rama, Husni ISI, Eko Nova, Dicky, Eko Yogya, Indra, Rocky, Krisna, Doni Suwung, Anouk Wilke,, Ruben Panging, Ulin Yahya, Aditya, Eka Pegrianto, Daniel Bramanto, Singgih Hermawan, Coki Bayu W, Dedy Kurniawan, Antoni, Eijda Setiaji, Aprian Syahputra. Nunit, Retno, Nur
43
Laifatul, Rizka M., Auliya, Nurul Hidayati, Windhar, Ayu S., Noviyana, Pijianti, Sri Maryati, Fatma, Hesti, Usna, Bunga, Novalin, Rizki A., Nugraheni, Anggi Lis Fitrianingsih, Sonya, Aulia Elhaq, Antok, Rohmat, Koko, Yuli, Hasan, Fajar, Wahyu, Nopan, Harwanto, Iis, Adi, Hadi, Agus, Bgle, Sugeng, Angki, Komar, Sumar, Surojo, Lilik, Kuni, Yudi, Rama, Nonot, Pipit, Nunu, Dwi.P., Eko, Kris, Nasli. Assistant Producer SULUNG LANDUNG Production Manager TRIYAS SANDIYATI GUNTUR Art Director TJ YOEWONO Director Of Photography AGNI ARIATAMA Editor SASTHA SUNU Unit Manager First Assistant Director WICAKSONO WISNU LEGOWO Second Assistant Director ULIN YAHYA Script Continuity & Digital Image Technician TIKA INDRAPUTRI Production Assistants AJENG NURUL AINI, NOVIAR EKA PUTRA General Helper RUDY WAHONO ABIYOSO Camera Assistant SUGIARTO PRASETYO Clapper GALIH FAJAR KUSUMA Gaffer YATSKI HIDAYAT A. Lightingmen HARIS RIESKY AFRIEZA Lightingmen Apprentice TAKDIR SYAHBANA GALANG GALIH Generator Set Operator RULLY Sound Recordist HADRIANUS EKO SUNU Boomer JANTRA SURYAMAN Boomer Apprentice HARVANDO DAFNE Assistant to Art Director YUDI MARYADI Prop Masters ANDRI V.W. Art Crew ARIS TETET, BAMBANG EMPRIT, MUL CACING, KRIS GAMPING, YOYO JENGGOT Art Crew Apprentices, RISKY J.P., EDI WIBOWO Make-up/Hair Stylist/Wardrobe, TANTY S. KARYAATMAJA Assistants to Make-up/Hair/Wardrobe, APRILIA TRI.W, AYOU CALEDA Location manager, ANDRI BUDYANTORO Talent Coordinator, ULIN YAHYA Legal Advisor THOMAS ADIYARSO Finance Director IKA GAYATRI Finance Staff ARIF BUDIARKO, BARBARA SARI Publicist, DAVID MANDANG LULU UTAMI NINGRUM Drivers, Abai, Anjar, Hadi Sugito, Tris, Zaini, Aris, Yono, Bagio, Rodj Assistant Sound Editor, HADRIANUS EKO SUNU All Music, Composed, Arranged and Performed by, DJADUK FERIANTO Studio Music, KUAETNIKA Sound Music Engineering, Gendel
44
D. Profile Nurman Hakim sebagai Sutradara Film “3 DOA 3 CINTA” Penulis dan Sutradara Film 3 DOA 3 CINTA adalah Nurman Hakim. Nurman Hakim memulai debutnya sebagai sutradara, produser dan penulis program televisi. Lahir di Demak, Jawa Tengah dan semasa sekolah ia juga pernah tinggal di pondok pesantren di daerah Semarang. Pria yang lulus dari Fakultas Film dan Televisi-Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ) ini juga telah banyak menyutradarai film pendek. Beberapa karyanya antara lain Sebelum Senja (2001), Topeng Bayangan (2005), Tembang Sunyi Seorang Lelaki ( 2002), dan pada tahun 2003 salah satu karyanya yang berjudul “Seribu Kali Dunia” juga berhasil memenangkan Festival Film Independent. Saat ini ia aktif sebagai pengajar di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta.
45
BAB IV ANALISIS DATA FILM 3 DOA 3 CINTA
A.
Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos Film 3 DOA 3 CINTA Film 3 DOA 3 CINTA adalah film dengan latar belakang sebuah pesantren
kecil yang terletak di Jawa Tengah, persisnya berlatar di Yogyakarta. Karenanya, banyak berbicara mengenai tradisi pesantren dan seluk-beluknya. Dari mulai perbincangan yang ringan mengenai hubungan pertemanan sesama santri hingga menyentuh isu terorisme yang belakangan dilekatkan kepada Islam, terkhusus pesantren. Entahlah, kita akan lihat, apakah sang sutradara memang berpretensi mengurai kehidupan pesantren dengan segala pernak perniknya, atau hanya bercerita tentang pesantren tetapi hendak menyampaikan sesuatu yang lain. Inilah pentingnya analisis semiotik. Pesantren, dalam sebuah analisis semiotik, kini adalah sebuah penanda (signifier). Pesantren adalah aspek materialnya, sedang apa yang ditunjuknya atau petandanya adalah apa yang diceritakan dalam film 3 DOA 3 CINTA ini. Penulis ingin memulainya dengan cara demikian, sedemikian rupa hingga mampu menguraikan apa yang tersirat dan apa yang tersurat dalam teks, atau film ini. Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang telah beruratakar dalam tradisi Islam Indonesia. Peran pesantren tidak diragukan lagi teramat besar di sepanjang sejarah Indonesia. Pesantren juga telah ikut membentuk struktur sosial-keagamaan yang sangat berpengaruh. Trikotomi santri-priyayi-
45
46
abangan yang dipopulerkan oleh C. Geertz1 sangat bermanfaat dalam berbagai bidang penelitian ilmiah. Kata “santri” juga bukan hanya berarti seseorang atau sekelompok orang yang sedang mempelajari ilmu agama, tapi telah menjadi idiom kultural yang berarti suatu kelompok sosial yang preferensi tindakannya bersifat relijius. Pengertian ini tentu saja bersifat longgar dan tidak seperti asumsi dalam penelitian sosial yang ilmiah, tapi sebagai penanda yang mengarah pada sebuah kelompok sosial tersendiri dengan tradisi dan budaya yang khas. Golongan santri adalah sekelompok orang yang dianggap mumpuni dalam membincang soal-soal keagamaan. Kelompok ini adalah kelompok sosial yang paling getol menjalankan perintah agama, dan sekaligus menyampaikan dakwah kepada masyarakat awam. Karenaya, kelompok ini juga menikmati prestise sosial karena kemampuannya di bidang agama. Tapi, analisis semiotik a la Roland Barthes tidak berhenti pada apa yang kasat mata. Kajian semiotika budaya yang dikembangkan pemikir Perancis ini adalah pisau bedah yang terus memeriksa ke dalam jantung kebudayaan, menelaah cara kerja sebuah tanda (sign), mempersoalkan makna yang terlanjur dianggap natural, menunjukkan terjadinya distorsi makna, dan menelanjangi motifnya yang terselubung. Kata-kata dan objek memiliki ketidakjujuran yang senantiasa tampak alami di mata para konsumernya, seakan-akan apa yang diujarkan itu abadi, benar, penting, ketimbang arbitrer, buatan dan bersifat relatif.
1
1976, h. 6.
Clifford Geertz, Religion of Java, Chicago and London: University of Chicago Press,
47
Di bawah ini merupakan upaya penulis untuk menguraikan tanda dan simbol yang termuat dalam film 3 DOA 3 CINTA. Film ini banyak menyisipkan nilai-nilai dakwah Islamiyah yang relevan dengan perkembangan zaman. Ini yang menyebabkan film ini penting untuk dikaji secara ilmiah. Untuk selanjutnya disarikan ke dalam sekumpulan pengertian moral Islami yang bermanfaat bagi umat Islam itu sendiri. 1. “Perang Melawan Terorisme” Di bagian awal film ini, tampak seorang Kiyai sedang menyampaikan tafsir sebuah ayat dalam Al-Qur’an. Kemudian diselingi dengan adegan aktifitas para santri pada umumnya. Adegan pertama menemukan anti-tesis di bagian selanjutnya; tampak seorang ustadz radikal sedang memberikan ceramah yang menggebu-gebu kepada para jamaahnya. Kontrasnya adalah perbedaan tafsir yang dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut. Sementara pak Kiyai mengajarkan sikap menghargai dan toleran terhadap perbedaan keyakinan, sang ustadz radikal menghalalkan darah mereka kaum Yahudi dan Nashrani.
Gambar
Denotasi
Konotasi
Mitos
Pluralitas tafsir
Pluralitas tafsir
Tampak jelas
terhadap Al-
adalah sebuah
ajakan untuk
Qur’an.
keniscayaan
melawan ideologi
Kemungkinan
terhadap teks
terorisme yang
tafsir terhadap
apapun, terlebih
mengatasnamakan
48
Al-Qur’an
Al-Qur’an yang
Islam sebagai
sangat banyak
sangat puitis.
basis
dan beragam,
Monopoli
ideologisnya. Hal
bergantung
terhadap
tersebut jelas
pada
kebenaran justru
mencemarkan
pendekatan
memasung
nama baik Islam
yang digunakan
kreatifitas
dalam pergaulan
oleh penafsir
manusia untuk
internasional dan
dan kadangkala
berkembang dan
merusak citra
unsur subjektif
beradaptasi
Islam sebagai
sang penafsir
dengan
agama pembawa
juga ikut
perkembangan
rahmat bagi
mewarnai corak
zaman.
seluruh alam
penafsiran.
Penghargaan
semesta.
terhadap perbedaan dan sikap demokratis merupakan cara yang sangat dianjurkan dalam Islam.
49
Sebagai sistem denotatif, adegan ini menunjuk pada pluralitas penafsiran terhadap Qur’an sebagai pedoman umat Islam. Ada satu lagi adegan yang menggunakan tehnik contrasting seperti ini. Tapi pengulangan ini mengarahkan kita pada kritik terhadap upaya radikalisasi Islam. Beberapa adegan menunjuk pada pengertian gugatan terhadap kelompok Islam radikal yang digambarkan secara diam-diam dan terselubung menyebarkan kebencian dan dendam ke dalam hati umat Islam. Seperti tindakan Syahid yang meninggalkan barisan shalat setelah shalat berjamaah. Ia justru mendatangi pengajian yang diadakan oleh ustadz radikal tersebut. Tempat pengajian tersebut juga secara blak-blakan digambarkan tersembunyi dan jauh dari kontrol sosial. Sementara Kiyai dan para santri sibuk berdzikir, tradisi khas kelompok Nahdathul Ulama. Penulis melihat motif ini semakin diperkuat dalam adegan lain yaitu ketika sang ustadz radikal tampak sedang memberikan ceramah yang provokatif. Keterlibatan Syahid dalam gerakan Islam radikal pun semakin intensif, terbukti ketika ia memutuskan untuk mengambil jalan jihad seperti yang dijelaskan ustadznya. Beberapa faktor ditunjukkan ikut mendorong Syahid mengambil keputusan tersebut. Tapi rupanya latar ini memberikan insight yang cukup mencerahkan bagi penulis. Untuk sementara, penulis hanya bisa mengatakan bahwa Syahid adalah anak muda yang termakan provokasi kelompok Islam radikal. Cuplikan-cuplikan berita televisi yang meliput aksi terorisme lokal dan internasional semakin mempertegas gugatan terhadap ideologi Islam radikal.
50
Sebagai sistem mitis, penulis melihat adanya himbauan “perang melawan terorisme”2. Gerakan Islam radikal yang mulai menyusup masuk ke Indonesia memang merepotkan, karena siapapun bisa menjadi korbannya, kapanpun dan di manapun kita selalu terancam. Sifatnya yang eksklusif menyulitkan identifikasi, militansinya menakutkan, aksinya yang tak berprikemanusiaan, dan seterusnya. Menurut penulis, visi etis ini sangat relevan bagi persoalan yang kini merundung bangsa ini. Dalam al-Qur’an begitu banyak anjuran untuk mengadakan perbaikan di antara Umat manusia, antara lain tersebut dalam Surat 4:114 sebagai berikut:
Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. ( QS. An-Nisa’ : 114)
2. Prasangka Negatif Prasangka adalah sebuah asumsi, persepsi dan atau pengertian yang kebenarannya belum teruji atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mungkin prasangka adalah sebuah pengetahuan yang berasal dari tradisi atau sejarah sebuah bangsa, golongan dan atau agama yang kebenarannya tidak dipertanyakan lagi.
2
Kata-kata ini pernah diucapkan oleh presiden Amerika Serikat George W. Bush sesaat setelah peristiwa 11 September 2001.
51
Dendam, kebencian, amarah dan sejenisnya secara sosiologis bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Di satu sisi, proses transmisi ini sangat berarti. Hal ini bisa mengeratkan hubungan generasi sekarang dengan masa lalu. Selain itu, berbagai pengertian dan pengetahuan yang didasarkan pada sejarah kelompok mampu menegaskan identitas kelompok, sehingga menciptakan integrasi sosial. Namun di sisi yang lain, transmisi kebencian, amarah dan dendam telah dan akan membentuk persepsi negatif terhadap suatu kelompok. Proses transmisi ini bisa terjadi dalam banyak proses sosialisasi yang dimapankan dalam berbagai institusi sosial, budaya, politik dan agama. Gambar
Denotasi
Konotasi
Mitos
Penilaian yang
Ayat tersebut di
Mitos yang
tak berdasar
atas adalah ayat
muncul dari
terhadap
yang sangat
beberapa scene
seseorang atau
sering digunakan
di atas adalah
suatu kelompok.
oleh kelompok
mitos mengenai
Prasangka inilah
Islam radikal
musuh abadi
yang
untuk
umat Islam.
menyebabkan
menumbuhkan
Alih-alih
kebencian,
rasa benci dan
membenahi diri
dendam dan
dendam kepada
dan memperkuat
menutup mata
umat Yahudi dan
iman, kita justru
kita untuk
Nashrani,
akan terperosok
52
melihat kebaikan sehingga tampak
ke dalam jurang
orang lain.
bahwa ayat ini
permusuhan
memiliki
yang tiada
konotasi
habisnya.
intoleran, dan menjadi katalis dalam proses radikalisasi umat Islam.
Contoh yang begitu jelas adalah kontrasnya penjelasan tentang sebuah ayat yang diberikan oleh Romo Kiyai dan ustadz radikal.
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS Al-Baqarah: 120) Dua model penjelasan yang diberikan oleh Romo Kiyai dan ustadz radikal memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Sikap toleran yang diajarkan oleh Romo Kiyai mendapat pembenarannya jika kita sandingkan dengan beberapa ayat lain yang mengajarkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamiin, atau dengan surah
53
Al-Kafiruun. Ini adalah satu kemungkinan tafsir yang bisa diberikan kepada ayat di atas. Sementara sang ustadz radikal, merujuk pada pengalaman historis umat Islam, justru menghalalkan darah kaum Yahudi dan Nashrani. Dalam penalaran umat Islam, kaum Yahudi dan Nashrani memang sering dicitrakan sebagai kelompok kafir yang telah menyimpangkan ajaran Tauhid dan keMaha-Kuasaan Allah. Padahal kalau ditilik ke belakang, Islam, Yahudi dan Nashrani berasal dari satu nenek moyang, yaitu Ibrahim. Seiring berjalannya waktu, banyak peristiwa terjadi dan meninggalkan bekas yang tak mudah dihapuskan dalam memori setiap kelompok. Banyak peristiwa besar terjadi, dan pengalaman-pengalaman ini terus diwacanakan dan direproduksi secara terus-menerus. Misalnya, pengalaman pahit bangsa muslim ketika berhadapan dengan umat Kristiani dalam Perang Salib. Kekalahan di Perang Salib terus diwacanakan dan direproduksi, bahkan ada sebagian umat Islam yang menganggap bahwa Perang Salib masih terjadi hingga saat ini. Dalam film 3 DOA 3 CINTA, Syahid dengan jelas menunjukkan ketertarikannya pada pengajian-pengajian yang diadakan oleh ustadz radikal tersebut. Dalam sebuah obrolan dengan dua orang kawannya yang lain, ia dengan bangga mengatakan ingin mati syahid. Bahkan, ia rela mengorbankan jiwanya di jalan Allah. Latar belakang Syahid mengambil keputusan itu bukan hanya karena keberhasilan provokasi sang ustadz radikal. Syahid memang sedang mengalami cobaan yang sangat berat; sang ayah sakit parah, gagal ginjal yang biayanya
54
sangat besar. Ayah Syahid harus cuci darah seminggu sekali secara rutin. Rutinitas ini tentu mengganggu stabilitas perekonomian keluarga Syahid yang notabene ayahnya hanya seorang petani. Solusi yang diberikan oleh dokter pun cukup memberatkan Syahid dan keluarganya. Operasi pencangkokan ginjal yang memakan biaya puluhan bahkan ratusan juta. Akhirnya, ayah Syahid dengan bijaksana memutuskan untuk menjual tanahnya kepada orang asing yang diperantarai oleh tetangganya sendiri yang culas. Syahid hanya menurut apa yang dikatakan ayahnya, menemui sang makelar tanah lalu menjual tanahnya kepada orang asing. “Sampaikan pada Yahudi Amerika kafir itu, jangan terus jadi penjajah! Suruh bikin pabrik di negaranya sendiri, jangan di sini!” begitu sengit Syahid ketika bertemu dengan orang asing yang ingin membeli tanah ayahnya. Setelah itu Syahid memutuskan untuk berjihad di jalan Allah. Menjadi lebih dramatis lagi ketika Syahid membuat rekaman video menggunakan handycame milik Rian. Celakanya, rekaman ini diambil oleh seorang ustadz dan dilaporkan kepada Romo Kiyai yang akhirnya menjadi barang bukti pihak kepolisian untuk memenjarakan Syahid. Tapi tanah sudah dijual, dan semuanya digunakan untuk biaya perawatan ayahnya dirumah sakit, itupun masih kurang. Dan datang pertolongan dari Allah yang ternyata diperantarai oleh orang asing yang dikira jahat oleh Syahid. Orang asing tersebut mau menanggung semua biaya perawatan rumah sakit ayah Syahid. Tapi Syahid masih belum mengetahui identitas si orang baik hati tersebut, karena orang asing tersebut mungkin memang tidak mau membeberkan identitasnya.
55
Sebagai sebuah sistem tanda tingkat pertama, cuplikan-cuplikan di atas merupakan gambaran proses radikalisasi yang dialami oleh Syahid. Yang perlu ditekankan, proses radikalisasi yang terjadi disini merupakan hasil perpaduan dari provokasi ustadz radikal yang mendasarkan diri pada teks-teks keagamaan dan pengalaman traumatik bangsa Muslim dan kesulitan ekonomi yang menerpa keluarganya. Sehingga keputusan Syahid menjadi bisa dipahami. Kebencian dan dendam, atau bisa kita katakan prasangka buruk, telah tertanam dalam benak Syahid. Tapi perasaan tersebut, yang didasarkan pada asumsi tentang watak jahat yang dilekatkan pada sebuah kaum, tentu tidak mendasar jika dilekatkan pada semua orang Yahudi dan Nashrani. Kemudian Syahid sadar dan mengurungkan niatnya untuk berjihad, mungkin karena tahu bahwa orang asing, “Yahudi Amerika”, yang dikiranya jahat dan suka menipu itu ternyata ada juga yang baik hati, atau mungkin teringat hikmah yang diberikan Romo Kiyai dalam suatu pengajian di surau. Mungkin apa yang dipikirkan Syahid adalah sebuah prasangka buruk yang selama ini tidak pernah kita pertanyakan lebih jauh kebenarannya. Pada pemaknaan level kedua, penulis melihat prasangka buruk menutup mata kita dari kebenaran. Telah terjadi distorsi dalam proses pemahaman, terutama seperti yang dialami oleh Syahid. Kesulitan-kesulitan ekonomi memang dapat mendorong proses radikalisasi, dan agama adalah salah satu alat efektif untuk membangun gerakan perlawanan. Pertemuan berbagai momen inilah yang memuluskan jalan radikalisasi Islam.
56
Mungkin tidak semua “Yahudi Amerika” itu jahat, mungkin hanya beberapa gelintir orang saja yang eksploitatif dan menindas yang mengakibatkan pencitraan yang begitu kuat terhadap suatu kelompok sosial. Dan memang banyak ayat yang memperingatkan umat Islam terhadap bahaya dan ancaman dari umat dan bangsa lain. Tapi pemahaman kita perlu terus diuji, karena ada banyak cara pandang lain yang memiliki kebenarannya sendiri.
Artinya: Katakanlah: "Hai orang-orang kafir (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah (3) Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah (5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (6)" ( QS. Al-Kaafiruun : 1-6)
3. Menolak Sains dan Teknologi (?) Gambar
Denotasi
Konotasi
Mitos
Cita-cita mulia
Kritik terhadap
Pesantren
Rian untuk
kurikulum dan
sebagai lembaga
membangkitkan
budaya
pendidikan
perekonomian
pesantren yang
tradisional
keluarga dengan
cenderung kaku
Islam. Dalam
perangkat
dan kurang
merespon arus
teknologi
mengikuti
deras
mutakhir yang
perkembangan
modernisasi,
terhambat aturan
sains dan
kalangan Islam
57
pesantren. Hal
teknologi. Hal
terpecah
ini tampak dari
ini jelas
menjadi
berbagai
menghambat
beberapa
penerapan aturan
beragam potensi
kelompok.
yang melarang
yang dimiliki
Secara
santri membawa
para santri di
sederhana bisa
alat-alat
bidang sains dan
dikatakan ada
elektronik ke
teknologi. Tapi,
kelompok yang
dalam pondok
menurut penulis,
menganjurkan
pesantren.
kecenderungan
pada pemurnian
seperti ini sudah
Islam. Artinya,
semakin
menolak Barat
berkurang. Pihak lengkap dengan pondok
produk-produk
pesantren
yang
semakin tahu
dihasilkannya.
dan banyak
Dan ada yang
belajar arti dan
menganjurkan
manfaat
untuk tetap
penggunaan
berpegang teguh
teknologi dalam
pada nilai-nilai
dunia
ke-Islaman
pendidikan.
sambil
Semoga akan
mengadopsi
58
terus seperti itu.
perkembangan yang telah berhasil diraih bangsa Barat.
Tokoh lainnya yang menjadi tokoh utama dalam film ini, Rian, memiliki cita-cita hendak meneruskan usaha peninggalan ayahnya yaitu usaha video shooting. Usaha ini dulu pernah jaya, sayang ayah Rian meninggal dunia dan tak ada yang meneruskan usahanya tersebut. Kehidupan ekonomi keluarga makin lama makin tak menentu. Rian menuliskan cita-cita mulia itu di dinding tempat persembunyiannya dengan dua orang sahabat lainnya. Di tempat yang sama, Rian sibuk membuka bingkisan yang diberikan ibunya dari Surabaya. Adegan ini secara denotatif memperlihatkan aturan pesantren yang kaku yang melarang para santrinya memiliki benda-benda teknologi. Tambah, adegan ketika Rian dan Syahid sedang mendengarkan radio, dan ternyata ada seorang ustadz yang sedang mengontrol kamar para santri. Sang ustadz langsung mendekati sumber suara radio tersebut, karena barang tersebut terlarang di pesantren, dan tidak berarti dilarang oleh agama. Buktinya, sang ustadz di scene lain mengambil handycame milik Rian setelah dipinjam secara diam-diam oleh Syahid, kemudian menyerahkannya pada Romo Kiyai. Melarang para santri untuk membawa barang elektronik ke dalam pondok adalah upaya dari pihak pondok pesantren untuk mengikis kesenjangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Ada lagi beberapa larangan seperti larangan
59
penggunaan celana jeans dan larangan membawa handphone. Mungkin upaya ini cukup berhasil untuk mencegah masuknya kesenjangan sosial ke dalam pondok pesantren, dan menciptakan rasa egaliter di antara sesama santri. Namun upaya ini sinonim dengan menghalangi tumbuh dan kembangnya potensi para santri di bidang IPTEK. Padahal Rian, yang mungkin merepresentasikan sekian banyak santri lainnya, sangat berbakat di bidang teknologi multimedia. Pertemuan Rian dengan pak Toha kemudian memberikan sedikit titik terang. Meskipun pondok pesantren tidak memberikan wawasan mengenai film dan video shooting, tapi Rian bisa mendapatkannya secara diam-diam dari pak Toha, seorang pengusaha film keliling atau layar tancep. Rian hanya bisa bertemu dan berdiskusi dengan pak Toha jika ia bisa keluar di malam hari dari pondok secara sembunyi-sembunyi. Dan, dalam suatu obrolan yang cukup intens, Rian memutuskan untuk ikut rombongan film kelilingnya pak Toha. Tapi sayang pada saat yang telah ditentukan itu, Rian, Romo Kiyai dan dua orang sahabatnya yang lain ditangkap oleh polisi dengan tuduhan terlibat dalam aktifitas teror kelompok Islam radikal. Rian tetap konsisten dengan cita-citanya itu. Ia ingin meneruskan usaha sepeninggalan ayahnya. Seiring waktu, bakat Rian semakin tereksplorasi dan terus belajar dari pengalaman, hingga akhirnya pada pernikahan Huda dengan putri Romo Kiyai, Rian sudah bisa menggunakan kamera dan memiliki beberapa karyawan. Artinya, ia sudah mulai melanjutkan usaha peninggalan almarhum ayahnya.
60
Penulis melihat sistem signifikasi yang berkembang dalam beberapa adegan yang tersebut di atas adalah kritik terhadap kurikulum pondok pesantren yang cenderung kaku dan kurang mengikuti perkembangan zaman. 3 Alternatifnya, mungkin perlu dilengkapi sarana dan prasarana yang mendukung para santri untuk lebih bisa mengembangkan bakatnya di berbagai bidang. Jadi, upaya pengikisan kesenjangan bisa dilakukan, dengan tidak mengorbankan beragam potensi yang dimiliki oleh para santri. Film ini tidak tampak sedang mengambil satu posisi tertentu. Tidak begitu gamblang gambaran di dalamnya. Tapi, “Dari dulu kok peraturannya engga berubah berubah. Radio aja engga boleh. Gimana mau maju?”. Kutipan ini adalah sindiran. Mungkin karena pencitraan yang sangat kuat mengenai pesantren sebagai lembaga pendidikan “murni” agama. Makanya, pihak pondok pesantren melarang para santrinya membawa alat-alat elektronik ke dalam pondok pesantren, yang kini semakin terasa manfaatnya bagi umat manusia. 4. Huda: Mitos Santri Ideal Nicholas Saputra, yang berperan sebagai Huda dalam film ini, adalah seorang santri yang paling disayang Romo Kiyai. Huda diproyeksikan sebagai pemimpin pondok pesantren oleh Romo Kiyai setelah bertahun-tahun berusaha mendapatkan anak laki-laki namun tidak berhasil. Untuk memastikan usahanya, Romo Kiyai menjodohkan Huda dengan putrinya, Farokah. Huda dititipkan kepada Romo Kiyai oleh ibunya untuk mendapatkan pelajaran agama yang intensif. Namun setelah sekian lama, ibunya tak pernah
3
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Integensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993) h. 196
61
datang lagi ke pondok pesantren sekedar untuk menjenguk Huda atau menanyakan kabarnya. Huda berkomunikasi hanya melalui surat, komunikasi lewat surat pun sudah terhenti selama kurang lebih satu tahun. Sejak itu Huda bertekad untuk mencari dan menemukan keberadaan ibunya yang katanya bekerja di Jakarta. Gambar
Denotasi
Konotasi
Mitos
Secara denotatif,
Berbagai kualitas
Kelompok santri dilukiskan
penanda-penada
moral dan
memiliki ciri-ciri sebagai
yang berceceran
keilmuan yang
berikut: sebagai pengemban
tersebut
melekat pada
tradisi, taat beribadah,
mengarahkan kita
Huda yang
shaleh, orang yang paham
pada konsep-
merepresentasikan hukum Islam dan
konsep tentang
kelompok santri
seterusnya. Melekatnya ciri
ketaatan pada
secara konotatif
tersebut pada diri seseorang
guru, keshalihan
berarti bahwa
bukan melalui proses
sosial dan relijius,
kelompok santri
formal, tetapi melalui
berbakti pada
dengan segala
pengakuan setelah proses
orang tua, birrul
kualitas yang
panjang dalam masyarakat
walidain,
melekat padanya
itu sendiri dimana unsur-
menjaga jarak
adalah pewaris
unsur berupa integritas,
pada yang bukan
paling layak dan
kualitas keilmuan dan
muhrim, dan
absah nilai-nilai
kredibilitas, kesalehan
lainnya.
luhur Islam.
moral dan tanggung jawab
62
Huda sebagai
sosialnya dibuktikan. Hal
santri yang rajin,
tersebut tidak akan
taat dan patuh
termanifestasi secara riil
kepada Kiyai,
jika tidak dibarengi dengan
mencintai orang
penampakan sifat-sifat
tua, taat beribadah
pribadi yang harus mereka
dan luwes serta
miliki.
mampu bergaul
Berbagai kualitas moral dan
dengan berbagai
keilmuan yang harus
golongan.
dimiliki oleh seseorang,
Singkatnya, Huda
sebelum benar-benar
adalah seseorang
mendapatkan pengakuan
yang sangat
dari masyarakat, merupakan
bermoral dalam
mitos tentang golongan
pengertian yang
“santri” dalam pengertian
Islami.
Barthesian. Pengertian ini secara alami dan tanpa dipersoalkan lagi dianggap benar, bahwa kualitaskualitas tersebut merupakan sebuah ukuran atau kategori moral dalam stratifikasi sosial. Dan secara ideologis pengertian ini
63
dipertahankan melalui berbagai institusi, pesantren salah satunya, untuk mempertahankan kekuatan dan pengaruh serta privilise sosial yang dimiliki golongan santri.
Huda di mata Romo Kiyai adalah seorang santri yang taat dan rajin. Mungkin itu alasan Romo menjadikannya sebagai calon pemimpin penerusnya nanti. Ketika mengaji Huda selalu berada di barisan depan, ketika shalat pun demikian. Ia selalu mematuhi apa yang dikatakan oleh Romo Kiyai, bahkan ketika Romo berencana menikahkan Huda dengan putrinya. Semua santri di pondok tahu bahwa Huda adalah santri kesayangan Romo Kiyai. Tapi Huda memang kelihatan sangat “nyantri” dalam film ini. Pakaiannya sangat sopan dalam pengertian baik sebagai seorang santri ataupun dalam pandangan orang awam. Dan begitu jelas dalam banyak adegan dengan Dona, sang penyanyi dangdut pasar malam. Huda sangat menjaga jarak ketika berbicara dengan Dona. Lalu, Huda juga enggan bersalaman dengan Dona ketika Dona mengajak berkenalan. Apalagi ketika Dona mencium bibir Huda di ruang rias artis, ia langsung berucap “astaghfirullah”. Dalam beberapa scene lainnya, Huda juga sangat menghargai profesi dan pekerjaan Dona sebagai penyanyi dangdut di pasar malam. Bahkan, Huda
64
membantu Dona membuat rekaman video untuk modal casting. Ketulusan Huda mengetuk pintu hati Dona yang sejak semula dimintai mencari tahu keberadaan orang tua Huda di Jakarta. Sedangkan Dona adalah seorang wanita pribumi yang sedari kecil sudah dibawa merantau ke Jakarta oleh ayahnya. Obsesinya menjadi seorang artis terkenal. Kepulangannya ke Jogja adalah untuk berziarah ke makam ibunya, dan mengumpulkan uang dengan menyanyi di pasar malam. Kemudian Dona juga sangat membantu Huda pencarian ibunya yang sudah lama meninggalkan Huda di pondok. Dona membantu Huda mencarikan alamat ibunya seperti tertera di surat terakhir yang diterima Huda di Jakarta. Mungkin pertemuan ini adalah sebuah kebetulan. Tapi pertemuan ini jadi sangat berarti bagi Huda sendiri. Dan akhirnya Dona, dengan bantuan kawannya di Jakarta, berhasil menemukan sebuah alamat di Jakarta yang akan mempertemukan Huda dengan ibunya. Huda pergi melenggang sendirian ke Jakarta, tanpa pamit kepada Romo Kiyai. Ia mencari alamat yang diberikan Dona. Alamat itu mengarahkannya pada sebuah diskotik dangdut bernama “Café Iguana”. Disitulah kemudian Huda bertemu dengan seorang kawan lama ibunya. Huda terkejut karena ternyata ibunya telah meninggal dunia setahun yang lalu. Huda pun pulang dengan membawa perasaan sedih dan puas. Sedih karena ternyata ibunya telah berpulang ke rahmatullah. Puas karena tahu dan menyadari betapa ibunya tak pernah punya niat buruk terhadapnya dan sangat mencintainya. Huda berusaha melupakan kepergian sang ibu, dan melanjutkan pendidikannya di
65
pondok pesantren. Hingga akhirnya Huda melanjutkan kepemimpinan Romo Kiyai di pondok pesantren. Kita dapat mengerti mengapa Huda sangat ingin menemui ibunya di Jakarta. Tentu saja, karena semua anak pasti ingin memiliki keluarga yang utuh. Mungkin Huda iri melihat kawan-kawannya selalu dijenguk dan diperhatikan oleh orang tuanya. Secara denotatif, penanda-penada yang berceceran tersebut mengarahkan kita pada konsep tentang berbakti pada orang tua, birrul walidain. Usaha gigih tanpa mengenal putus asa Huda sangat jelas mengarah pada konsep tersebut. Namun sebagai sebuah mitos, pengertian di atas sulit diterka. Penulis ingin mengatakan bahwa gambaran tentang Huda adalah sebuah idealisasi dari golongan santri. Dengan lain kata, Huda merupakan sosok ideal dari golongan santri yang taat dan patuh kepada Kiyai, yang bisa bergaul dengan berbagai golongan, bisa menghargai perbedaan, dan berbakti kepada orang tua. Meskipun ia juga sering keluar malam bersama dua orang sahabatnya untuk mencari hiburan dan kesenangan dan melenggang sendirian ke Jakarta tanpa pamit, itu semua bukanlah sebuah cacat moral yang harus dipersoalkan lebih jauh. Komunitas santri adalah komunitas yang independen, kecenderungan mereka untuk membentengi tradisi dan eksistensinya dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan bahasa agama, bahkan komunitas santri berusaha mempengaruhi komunitas lainnya, sedangkan komunitas lainnya dalam hal penyebaran nilai-nilai ke-Islaman merupakan kelompok dependen (terpengaruh). Demikian perpaduan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam pengertian yang
66
sama sekali tidak politis telah mengangkat derajat kaum santri ke strata sosial yang lebih tinggi, dan berhasil mendapat prestise sosial serta hak-hak istimewa. Melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren bukan hanya berarti mengajar ngaji para santri dan menjadi imam shalat jamaah, tapi juga mengemban sebuah misi keagamaan yang besar yaitu dakwah Islamiyah. Tidak hanya di lingkungan pondok pesantren tetapi juga di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang plural. Rasa enggan Huda untuk kembali lagi ke pengajian yang diadakan oleh ustadz radikal, tata krama dalam keseharian, gaya bertutur yang santun, menunjukkan bahwa Huda mampu menjaga dan meneruskan tradisi yang telah dibangun selama berabad-abad.
B. Analisis Makna Judul Film 3 DOA 3 CINTA Seperti kita ketahui, film yang sedang penulis analisis adalah berjudul 3 DOA 3 CINTA. Angka tiga (3) di sana mengarah pada tiga tokoh utama yang bermain dalam film ini. Ketiga tokoh ini memiliki kebiasaan menuliskan harapan dan cita-cita mereka di sebuah dinding ruangan tempat mereka berkumpul dan bersembunyi dari keramaian. Momen berkumpul di ruang tersebut adalah momen di mana mereka berdoa dan berharap akan sesuatu kepada Allah, dan bercerita satu sama lain. “Doa” merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Arab Ad-Du’a, yang secara etimologis berarti memanggil.4 Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kata doa memiliki muatan relijius yang kental. Doa merupakan sejenis komunikasi keagamaan yang dapat dilakukan secara formal atau dalam 4
Atabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003)
67
kehidupan sehari-hari, namun tak pernah kehilangan nuansa relijiusnya. Doa bisa berupa ungkapan keluh kesah, keinginan, harapan dan cita-cita yang secara relijius diarahkan kepada Allah SWT. Menurut Kahlil Gibran, cinta adalah satu-satunya bunga yang tumbuh dan mekar dalam setiap hati manusia tanpa adanya bantuan musim. Dan merupakan satu-satunya kebebasan di dunia, sebab cinta membangkitkan jiwa saat hukumhukum kemanusiaan dan fenomena alam tidak dapat lagi mengubah bagiannya.5 Sepertinya tidak ada yang sederhana dalam cinta, begitu rumit mendefinisikannya. Dalam film ini, cinta terlukis sebagai ketulusan dan kemurnian, sikap menerima tanpa prasyarat apapun. Makna denotatif dari judul film ini adalah harapan dan cinta ketiga tokoh utamanya kepada orang yang mereka cintai. Ketiga tokoh utama dalam film ini adalah yatim/piatu. Huda adalah seorang anak yatim sejak kecil, dan baru sadar bahwa ia juga piatu setelah menemui kawan lama ibunya di Jakarta. Rian juga seorang
yatim.
Sedangkan
Syahid
digambarkan
sedang
mati-matian
memperjuangkan nasib ayahnya yang menderita gagal ginjal (dan akhirnya meninggal dunia), dan tak pernah sedikit pun dikisahkan keberadaan ibunya. Film ini mempertontonkan tiga permasalahan, 3 harapan, dan 3 cara penyelesaian yang berbeda dan khas. Judulnya yang cukup sederhana menyiratkan keunikan setiap orang dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Tiga jalan yang ditempuh oleh ketiga tokoh utama dalam film ini merupakan sebuah proses pembelajaran yang menuntut resiko yang beragam pula. Sebagai sebuah sistem konotatif, judul film ini bisa berarti penghargaan terhadap perbedaan dan 5
Kahlil Gibran, Hikmah-hikmah Kehidupan (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1999) h. 20
68
keunikan setiap jalan hidup yang ditempuh seseorang. Perbedaan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya jelas mempengaruhi setiap keputusan yang diambil oleh seseorang. C. Pesan Moral yang disampaikan dalam Film 3 DOA 3 CINTA Setelah pemaparan yang cukup panjang, tentu kita semua dapat menangkap banyak pesan moral yang termuat dalam film ini. Tidak hanya itu, nada kritik pun dimunculkan dalam film ini. Di bawah ini adalah beberapa pesan moral dan visi etis yang dapat penulis sarikan dalam tulisan ini. Gerakan Islam radikal telah berkembang luas ke seluruh penjuru Indonesia dan dunia. Siapapun bisa menjadi korbannya, kapanpun dan di manapun kita selalu terancam. Mereka mengajarkan kebencian, dendam dan amarah ke dalam hati anak muda bangsa Indonesia. Sikap toleran dan demokratis mungkin bisa lebih membantu kita untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia. Setidaknya, kita mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam hidup, bukan teror. Pada gilirannya kita akan mampu menemukan solusi dari semua persoalan dengan pikiran yang jernih. Karena kita tidak mungkin bisa berpikiran jernih dalam kondisi teror di mana-mana. Menurut penulis, visi etis ini sangat relevan bagi persoalan yang kini merundung bangsa ini. Prasangka buruk adalah pengetahuan yang tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagai makhluk yang berakal, manusia akan dan harus mempertanggung-jawabkan semua tindakannya. Prasangka buruk juga ikut mengganggu dalam relasi sosial seseorang. Hal ini tampak jelas dalam kasus Syahid. Prasangka buruk justru akan memperkeruh persoalan, dan mengganggu
69
proses rekonsiliasi dengan pihak yang terkena stigma. Prasangka buruk hanya akan mendorong kita jatuh ke dalam jurang, dan menutup mata kita dari kebenaran. Dari sosok Huda, kita bisa belajar tentang bagaimana berbakti kepada kedua orang tua. Karena, seperti kata Huda, “surga ada di bawah telapak kaku ibu”, dan ridho orang tua adalah ridho Allah. Sikap taat dan patuh kepada orang yang lebih tua, guru, kiyai, juga mampu bergaul dengan berbagai golongan, tanpa membedakan suku, ras dan agama. Sikap menghargai terhadap perbedaan dan keunikan setiap jalan hidup yang ditempuh seseorang merupakan sikap yang menyiratkan kebesaran jiwa seseorang. Karena perbedaan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya jelas mempengaruhi setiap keputusan yang diambil oleh seseorang. Dan yang terakhir adalah sebuah kritik sekaligus saran mengenai upaya pengembangan kurikulum pondok pesantren yang cenderung kaku dan kurang mengikuti perkembangan zaman. Tentu penulis memahami bahwa Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menolak ilmu pengetahuan. Mungkin perlu dilengkapi sarana dan prasarana yang mendukung para santri untuk lebih bisa mengembangkan bakatnya di berbagai bidang lain selain agama. Sehingga upaya mengikis kesenjangan sosial bisa terus dilakukan, dengan tidak mengorbankan kepentingan para santri untuk mengembangkan potensi mereka.
70
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi yang telah dilakukan terhadap film 3 DOA 3 CINTA, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Film 3 DOA 3 CINTA merupakan sebuah gambaran mengenai kehidupan pesantren yang cukup rumit. Pandangan simplistis yang mengatakan pesantren basis terorisme terbantahkan jika kita tidak menutup mata tentang kompleksitas kehidupan pesantren. 2. Penafsiran tunggal terhadap kitab suci Qur’an justru seringkali menjerumuskan seseorang atau kelompok pada sikap yang arogan dan ingin menang sendiri. Prasangka buruk adalah pengetahuan yang tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan dapat berujung pada permusuhan. Sikap terbuka merupakan sikap yang paling bijaksana, bahkan memungkinkan kita melihat sesuatu secara lebih dewasa. 3. Perkembangan teknologi informasi yang kini terjadi tidak lagi dapat dibendung. Lagipula manfaat yang dirasakan masyarakat dengan kehadiran teknologi informasi sangat besar. Sudah saatnya pesantren, dan juga lembaga pendidikan lainnya, tidak melihatnya sebagai produk Barat atau pandangan sentimentil lainnya.
70
71
B.
Saran Pada bagian ini, penulis ingin menyampaikan bahwa semua kehidupan
anak-anak muslim muda ini ditampilkan oleh Nurman Hakim dalam penggambaran yang sederhana dan sama sekali tak berambisi. Penyutradaraannya demikian polos sehingga ia seakan lupa membangun tensi dramatik filmnya. Saran yang penulis ingin berikan adalah: 1. Sikap toleran dan demokratis bisa lebih membantu kita untuk membangun relasi sosial di dalam masyarakat yang plural. 2. Prasangka buruk adalah pengetahuan yang tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan dapat berujung pada permusuhan. Penghargaan terhadap perbedaan menjadi nilai yang sangat positif dalam membangun kehidupan masyarakat yang plural seperti Indonesia. 3. Berbakti kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu karena surga
berada di bawah telapak kaki ibu. Selain itu, bersikap taat dan patuh kepada orang yang lebih tua, guru, dan kiyai. 4. Saat menonton sebuah film, sebaiknya kita tidak bersikap pasif terhadap apa yang disuguhkan di dalam film tersebut. Tetapi bersikap kritis dan menilai pesan yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sutradaranya. Sehingga kita tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi oleh sebuah film. 5. Klimaks dalam film ini tidak terlalu tampak, sehingga dari awal hingga menjelang akhir film terasa datar-datar saja. 3 DOA 3 CINTA
72
merupakan sebuah karya yang lahir dari sebuah dunia yang intim dan diketahui dengan baik. Film ini telah berhasil mengantar sebuah dunia yang sangat khas, tapi pada saat yang sama juga akrab. Sang sutradara, Nurman, berhasil menghindar dari hanya asyik dengan dunianya sendiri, justru ketika ia dengan tulus dan rendah hati tampak ingin bercerita saja. Maka, alih-alih membawa sebuah subkultur yang asing dan abai terhadap penonton, pesantren sebagai latar belakang 3 DOA 3 CINTA berhasil membawa gambaran sebuah dunia Islam yang akrab dan universal milik Indonesia.
73
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Attabik. A. Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003)
Ardianto, Elvinaro. Lukiati Komala Erdiyana. Komunikasi Massa, suatu pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005. Barthes, Roland. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, Semiotika atau Sosiologi Tanda, dan Representasi. Jala Sutra. Yogyakarta dan Bandung. 2007. Birowo, M. Antonius. Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Gitanyali, 2004) Christomy, Tommy. Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004) Dawam Rahardjo, M., Intelektual Integensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993) Effendy, Heru. Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser, (Jakarta: Pustaka Konfiden, 2008) Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Indonesia 2003. Geertz, Clifford, Religion of Java, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1976) Gibran, Kahlil Hikmah-hikmah Kehidupan. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1999. Haricahyono, Cheppy. Dimensi Pendidikan Moral, (Semarang: IKIP Semarang Pres, 1995) Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Prenada Media Group. Jakarta. 2006. Kris Budiman, Semiotika Visual. Yogyakarta, Penerbit Buku Baik, 2004 ____________, Ikonisitas : Semiotika Sastra dan Seni Visual, Yogyakarta, Penerbit Buku Baik, 2005 Kurniawan, Semiologi Roland Indonesiatera, 2001
Barthes,
73
Yogyakarta,
Penerbit
Yayasan
74
Lechte, John. 50 Filusuf Kontemporer darii Strukturalisme Postmedernitas,Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2001
sampai
Lull, James. Media Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Terj). A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997) Lutters, Elizabeth. Kunci Sukses Menulis Skenario. Jakarta: Grasindo, 2004. Morrisan. Jurnalistik Televisi Mutakhir, Tangerang, Ramdina Prakarsa, 2005 Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003)
Piktoringa, M. Jamaluddin. Tipologi Pesan Persuasif, (PT. Indeks: Jakarta, 2005) Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta, Penerbit Jalasutra, 2003 Piktoringa, M. Jamaluddin. Tipologi Pesan Persuasif, (PT. Indeks: Jakarta, 2005) Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Peneltian Komunikasi. Remaja Rosda Karya. Bandung. 2004. Robinson, James G. Komunikasi yang Efektis, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986) Santana K, Septiawan. Jurnalisme Kontemporer, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2005 Sobur, Alex. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004 Sumandiria, AS Haris. Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, (Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006)
Sumandria, Aris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung, Penerbit Simbioas Rekatama Media, 2006 Sumarno, Marseli. Dasar-dasar Apersiasi Film. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, Indonesia 1996 Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
75
. Sunardi ST. Semiotika Negativa. Yogyakarta. Kanal 2002. Tinarbuko, Sumbo Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta, Penerbit Jalasutra, 2008 Zoest, Van, Aart. Fiksi dan Non Fiksi dalam Kajian Semiotik. Intermasa, Jakarta. 1991.
Sumber Lain http//www.wikipedia.org www. Aber. ac. uk. www. Geocities.com/paris/7229/film.html. www. Kompas.com
Hasil Wawancara Nama : Nurman Hakim Pekerjaan : Script writer /Director/Produser (Film 3DOA 3 CINTA) Tempat : Cilandak Town Square, Jak-Sel. Tanggal : 20-6-2010/Kamis Pukul : 19.00 wib. Keterangan : Wawancara untuk data penelitian Analisis Film 3 Doa 3 Cinta
1.
Interviewer : Apa Kabar Mas Nurman Hakim? Responden : Alhamdulillah, baik.
2.
Interviewer : Lagi sibuk apa? Ada Garapan atau Project apa? Responden : lagi persiapan untuk Film Layar Lebar selanjutnya setelah 3 Doa 3 Cinta. Bolak-balik keluar kota untuk survey tempat untuk syuting pengambilan gambar. Cari Sponsorship atau dana untuk produksi Film yang sedang dalam proses produksi.
3.
Interviewer : Apa Judul Film yang sedang dalam penggarapan? Responden : wah, belum bisa saya beri tahu, nanti kamu lihat aja kalau sudah mau direalease di pasaran yaa, nanti ga surprise lagi.
4.
Interviewer : Dari mana ide atau gagasan untuk membuat Film 3DOA 3CINTA? Responden : Saya menonton dengan perasaan yang galau berita tentang rencana pihak kepolisian untuk mengambil sidik jari semua santri yang tinggal di pesantren, sebagai usaha memberantas aksi-aksi terorisme di Indonesia. Walaupun rencana ini dibatalkan setelah berbagai protes dari lapisan masyarakat, saya menjadi resah dan timbul niat untuk membuat film yang meluruskan asumsi-asumsi buruk tentang kehidupan pesantren.
5.
Interviewer : Berapa biaya produksi untuk Film 3DOA 3CINTA? Responden : Biaya yang dikeluarkan untuk produksi film ini mencapai 3 miliar rupiah.
6.
Interviewer : Dari mana biayanya? Pribadi atau Sponsor? Responden : 50 % dari sponsor asing, Global Film Fund (Amerika Serikat), Goteborg Internasional Film Festival Fund (Swedia), Cinema Fonds Sud (France), 50 % dari dana Produser (Nurman Hakim).
7.
Interviewer : Bagaimana proses pemilihan para pemain dalam film 3DOA 3CINTA? Apakah melalui audisi? Responden : Untuk tokoh utama seperti Dian ataupun Nico, Jajang C. Noor, Butet Kertaradjasa, Yoga Bagus, Yoga Utama saya yang memilih langsung. Untuk para pemain lainnya, dipilih oleh asisten sutradara dengan sepengetahuan dan persetujuan saya.
8.
Interviewer : Bagaimana proses penggarapan skenario Film 3DOA 3CINTA? Apakah Mengalami Hambatan? Berapa lama proses penggarapannya? Responden : Proses Penggarapan skenario Film 3 Doa 3 Cinta sekitar awal tahun 2007. Saya juga mengalami berbagai hambatan. Syukur Alhamdulilah, saya bisa melewatinya. Proses penggarapan atau penulisan skenario ini lebih dari 3 tahun, untuk pastinya saya lupa. Bisa dibilang hampir 4 tahun.
9.
Interviewer : Apa Makna Judul Film 3 Doa 3 Cinta? Responden : 3 orang ( 3 tokoh utama: Huda, Rian, Syahid) dalam film ini yang berdoa untuk 3 orang yang mereka cintai. Siapa yang mereka cintai? Orang tua mereka masing-masing. Huda: untuk Ibundanya, Rian: untuk Ayah dan Ibundanya, Syahid: untuk Ayahnya.
10. Interviewer : Pesan apa yang ingin disampaikan dalam Film 3 Doa 3 Cinta? Responden : Islam di Indonesia yang penuh toleransi, walaupun ada juga segelintir atau sekelompok kecil Islam yang radikal. Islam di Indonesia yang Rahmatan Lil Alamin. Islam di Indonesia yang cinta damai. Islam di Indonesia yang ramah. 11. Interviewer : Ada adegan-adegan yang (??????) di film Anda, apa tidak ada masalah dengan adegan itu di Indonesia dan BSF /LSF? Responden : Semua scene yang tampil di Bioskop tidak ada masalah dengan BSF atau LSF. Saya juga tidak mendapat masalah atau teguran dari BSF/LSF tentang isi pada film 3 Doa 3 Cinta. Karena apa yang saya buat atau ceritakan dalam film ini adalah berangkat dari kenyataan yang ada atau sesungguhnya dalam realitas kehidupan. Bukan mengada-ada atau rekayasa cerita. 12. Interviewer : Dengan sukses di berbagai film festival, apakah sekarang Anda merasa ada dorongan membuat film sesuai yang diharapkan oleh sebuah festival? Responden : Ya, saya membuat film dengan berbagai tujuan, saya ingin membuat film yang bisa lolos seleksi pada festival-festival film internasional dan juga mendapat penghargaan pada ajang tersebut.
13. Interviewer : Berapa lama anda butuhkan waktu sampai menemukan cerita yang anda inginkan? Responden : Dari tahun 2002 – 2007. Saya membutuhkan waktu 4 tahun untuk mendapatkan cerita yang saya inginkan. 14. Interviewer : Di 3 DOA 3 CINTA, Anda bertindak sebagai multiple staff. Sebagai sutradara, penulis skenario, produser . Apa kendalanya? Responden : Tidak ada kendala atau kesulitan yang berarti kecuali masalah biaya atau dana. Dana atau biaya menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam produksi sebuah film. 15. Interviewer : Kenapa anda selalu mencari lokasi-lokasi yang bisa dibilang jauh dari peradaban, terpencil? Responden : Saya memilih lokasi atau tempat syuting pengambilan gambar sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan pada skenario. Untuk pengambilan gambar setting pesantren pada film 3 Doa 3 Cinta, saya memilih lokasi di Pabelan. Semata karena tuntutan dalam skenario. Dalam skenario, pesantren dengan setting latar belakang dan budaya Jawa. Bangunan-bangunan pada Pesantren Pabelan sesuai dengan kebutuhan artistik untuk pengambilan gambar. Syuting film ini dilakukan di daerah Magelang dan Yogyakarta pada April 2008 selama 16 hari. 16. Interviewer : Dalam pembuatan film ini format apa yang Anda gunakan? Kenapa? Responden : proses syuting menggunakan format digital. Lalu ditransfer ke format seluloid atau 35mm untuk pemutaran di Bioskop atau Cinema 21. Karena dengan begini dapat menghemat biaya atau cost produksi film ini. Jikalau semua proses syuting pengambilan gambar menggunakan format seluloid atau film 35mm akan menghabiskan biaya yang sangat banyak. 17. Interviewer : Film ini sangat “self-absorbed”, artinya, sangat asyik dengan dunianya sendiri, dengan masalah pribadi si pembuat filmnya sendiri.... Menurut Anda? Responden : Iya, enggak apa-apa, karena cerita dalam film ini akan menjadi lebih kuat. Karena berangkat dari hasil pengalaman pribadi bukan rekayasa. 18. Interviewer : Tapi kalau lantas dibilang, film ini “Anda banget”...lantas, kapan Anda bisa bicara tentang orang lain, tentang masalah lain? Apakah anda sudah melakukannya? Film apa? Responden : Dalam film ini saya tidak hanya bicara tentang dunia pesantren dan kehidupan di dalamnya. Saya bicara tentang Islam Indonesia yang Rahmatan Lil Alamin, ramah, penuh toleransi, dan cinta damai. Walaupun ada juga segelintir atau kelompok kecil Islam yang radikal. Gambaran dunia islam yang akrab dan universal milik Indonesia.
19. Interviewer : Soal Nyantri sepertinya itu pengalaman sendiri? Responden : Iya, pengalaman pribadi. Sewaktu SMA, saya di pesantren. Selama 3 tahun. Pesantren di daerah Demak. Saya besar di lingkungan pesantren. Keluarga saya, semuanya lulusan pesantren. Bisa dibilang, saya sangat akrab atau dekat dengan dunia pesantren. 20. Interviewer : Oh ya? Bagaimana reaksi mereka, khususnya para pimpinan pesantren dengan Film Anda ini? Responden : Alhamdulillah, sampai saat ini saya tidak mendapatkan reaksi atau respon yang negative dari mereka. Semua baik-baik saja. Karena saya bicara fakta, bukan rekayasa. 21. Interviewer : Bagaimana dengan skenario 3 DOA 3 CINTA? Responden : skenario film ini mencapai 10 halaman. Pengerjaan atau penulisannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena saya tidak ingin terburu-buru dalam membuatnya atau terkesan datar bahkan biasa saja. 22. Interviewer : Bagaimana dengan aspek estetika di film Anda. Responden : Menurut saya, Bagus. 23. Interviewer : Bagaimana dengan rencana film selanjutnya? Responden : Saya sedang dalam proses penggarapan sebuah film tentang feminisme dalam islam. Akan realese pada januari 2011. Diperankan oleh Ben Joshua dan Marsha Timoty. Untuk judulnya, saya tidak bisa memberitahukannya. 24. Interviewer : Apa dan bagaimana Islam di Indonesia ? Menurut Anda? Responden : Islam yang toleran, Rahmatan Lil Alamin, walaupun ada juga sebagian golongan yang radikal. 25. Interviewer : Kehidupan pesantren sepertinya tidak asing bagi Anda? bisa tolong jelaskan? Responden : Iya, sejak dari kecil saya hidup dengan lingkungan pesantren atau kultur pesantren. Di kalangan keluarga saya, semua memiliki background pendidikan di pesantren. Bisa dibilang kehidupan pesantren bukan hal yang asing bagi saya. 26. Interviewer : Dunia Pendidikan di pesantren seperti apa? Apa seperti yang anda gambarkan dalam scene-scene di film ini? Responden : Tidak semua pesantren menerapkan sistem pendidikan yang tradisonal. Ada juga yang modern. Dalam konteks scene atau adegan yang ada di film saya, bahwa memang betul ada pesantren yang melarang para santrinya untuk membawa alat-alat elektronik atau telephon seluler selama
berada di pesantren. Ada juga pesantren yang membatasi para santrinya untuk menonton televisi, kecuali hanya untuk menonton tayangan berita. 27. Interviewer : Orang Asing yang terdapat dalam film ini merujuk kepada siapa? Apakah orang Asing (Yahudi, Nasrani)? Atau siapa? Maksud adegan tersebut apa? Citra baik orang Non Muslim? Responden : Citra orang Asing yang baik hati. Citra Bangsa Barat yang penuh toleransi. Citra baik orang Non Muslim.
LAMPIRAN FOTO-FOTO WAWANCARA