ANALISIS RISIKO AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PATOGEN PADA TANAMAN Supriadi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111
ABSTRAK Penelitian tentang keefektifan agens hayati untuk mengendalikan patogen tanaman sudah banyak dilakukan dan dipublikasi, tetapi yang mempertimbangkan aspek keamanan (analisis risiko) terhadap lingkungan masih sangat terbatas, padahal untuk komersialisasi suatu agens hayati akan dituntut data tentang keamanan tersebut. Pengertian agens hayati secara luas mencakup organisme, baik yang digunakan untuk pengendalian organisme pengganggu tumbuhan maupun untuk proses produksi. Informasi tentang keamanan agens hayati masih terbatas. Di antara sekian banyak jenis agens hayati yang telah diuji keamanannya, tiga di antaranya yaitu Trichoderma spp., Pseudomonas fluorescens, dan Bacillus spp. paling lengkap data keamanannya. Agens hayati yang perlu mendapat perhatian ekstra adalah Burkholderia (Pseudomonas) cepacia karena mempunyai kekerabatan yang sangat erat dengan anggota Burkholderia cepacia kompleks yang bersifat patogen terhadap manusia. Tulisan ini membahas aspek keamanan yang perlu diperhitungkan sejak dini dalam pengembangan setiap agens hayati untuk keperluan pengendalian. Aspek-aspek yang perlu diketahui dalam pengujian keamanan agens hayati dapat merujuk kepada pedoman yang telah disusun oleh FAO tahun 1988 dan 1997. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ciri-ciri agens hayati, khususnya kelompok bakteri, perlu dicermati sejak awal sebelum agens hayati tersebut dikembangkan secara luas. Kata kunci: Agens hayati, analisis risiko, identifikasi
ABSTRACT Risk assessment of biological agents for controlling plant pathogens Researches on the efficacy of biological agents for controlling plant pathogens have been intensively studied and published. However, those concerned on biological safety (risk assessment) to environment is limited. This aspect is really required upon commercialization of any biological agents. Definition of biological control agents in broad sense includes any organisms used for controlling pests and pathogens, as well as those used in production processes. Information on the safety of biological control agents is lacking, however, three of them are available since they have been studied intensively, i.e. Trichoderma spp., Pseudomonas fluorescens, and Bacillus spp. Special care should be taken if there are intentions to use Burkholderia (Pseudomonas) cepacia for biological control agent because this species is closely related with so called Burkholderia cepacia complex which are pathogenic to human. This paper is aimed to highlight the importance of risk assessment study and should be bare in mind in early stage of development of any biological control agents. Aspects need to be included in the safety evaluation of any biological agents referred to the guidelines of FAO 1988 and 1997. Therefore, information on characteristic identification of any biological control agents should be understood properly. Keywords: Biological control agents, risk assessment, identification
P
emanfaatan agens hayati untuk mengendalikan patogen masih populer dan memberikan harapan, baik di dalam negeri maupun manca negara. Di antara kelompok agens hayati, Pseudomonas fluorescens dan Trichoderma spp. menempati urutan teratas; paling banyak digunakan atau diteliti. Dalam makalah yang dipresentasikan pada Seminar Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI) ke-17 di Universitas Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Padjadjaran, Bandung tahun 2003, tercatat dari 54 makalah tentang pengendalian patogen, 22 di antaranya mengenai penggunaan agens hayati, 10 makalah masing-masing tentang ketahanan tanaman dan kultur teknik, dan 12 makalah tentang penggunaan pestisida botani (Suhardi et al. 2003). Hal ini dapat menjadi gambaran umum bahwa pengendalian dengan agens hayati masih banyak diteliti. Namun, kegiatan penelitian agens
hayati masih menitikberatkan pada aspek kemanjuran (keefektifan), sedangkan aspek keamanan terhadap manusia, hewan, dan lingkungan belum banyak diperhatikan, padahal aspek keamanan merupakan informasi kunci bila agens hayati akan dibuat secara massal dan diperdagangkan secara komersial. Oleh karena itu, selayaknya setiap pengembangan agens hayati perlu memperhatikan segi keamanannya. 75
Salah satu acuan yang dapat digunakan untuk mengukur aspek keamanan (analisis risiko) agens hayati adalah seperti yang diuraikan oleh FAO (1988; 1997). Sebagai langkah awal yang erat kaitannya dengan aspek keamanan adalah pemilahan atau identifikasi calon agens hayati yang akan dikembangkan dalam program pengendalian. Tulisan ini menggarisbawahi pentingnya aspek keamanan dalam pengembangan agens hayati dan menguraikan tahapan-tahapan dalam seleksi potensi dan analisis risiko dari suatu agens hayati.
DEFINISI AGENS HAYATI Pengertian agens hayati menurut FAO (1988) adalah mikroorganisme, baik yang terjadi secara alami seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik (genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pengertian ini hanya mencakup mikroorganisme, padahal agens hayati tidak hanya meliputi mikroorganisme, tetapi juga organisme yang ukurannya lebih besar dan dapat dilihat secara kasat mata seperti predator atau parasitoid untuk membunuh serangga. Dengan demikian, pengertian agens hayati perlu dilengkapi dengan kriteria menurut FAO (1997), yaitu organisme yang dapat berkembang biak sendiri seperti parasitoid, predator, parasit, artropoda pemakan tumbuhan, dan patogen. Lebih jauh, jika diperhatikan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995 tentang pengertian agens hayati maka maknanya menjadi lebih sempurna lagi, yaitu setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya (Menteri Pertanian RI 1995). Definisi terakhir mempunyai pengertian bahwa agens hayati tidak hanya digunakan untuk mengendalikan OPT, tetapi juga mencakup pengertian penggunaannya untuk mengendalikan jasad pengganggu pada proses produksi dan pengolahan hasil pertanian. 76
TAHAPAN PENGEMBANGAN AGENS HAYATI Faktor awal yang sangat menentukan keberhasilan pengembangan agens hayati untuk pengendalian patogen tanaman adalah ketepatan dalam pemilihan jenis dan sumber agens hayati yang akan dikembangkan. Pada umumnya jenis agens hayati yang dikembangkan adalah mikroba alami, baik yang hidup sebagai saprofit di dalam tanah, air dan bahan organik, maupun yang hidup di dalam jaringan tanaman (endofit) yang bersifat menghambat pertumbuhan dan berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan patogen sasaran, atau bersifat menginduksi ketahanan tanaman. Tahap pertama dalam pengembangan agens hayati adalah seleksi agens hayati nonpatogen. Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agens hayati dari populasi alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen dari tanah atau bagian tanaman, atau mutan yang tidak patogen. Pada tahap seleksi awal ini, informasi tentang keefektifan dan identitas calon agens hayati perlu dikuasai dengan baik agar pengembangannya di masa akan datang tidak menjadi masalah. Untuk pengendalian penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, misalnya, jenis-jenis agens hayati dari kelompok bakteri yang pernah diteliti telah dirangkum oleh Sadler (2005), yang meliputi Bacillus spp., B. cereus, B. polymyxa, B. subtilis, Burkholderia glume, Corynebacterium sp., Escherichia sp., Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Streptomyces mutabilis, dan Actinomycetes. Di antara spesies bakteri tersebut, B. polymyxa dan Curtobacterium (Corynebacterium) flaccumfaciens pv. flaccumfaciens perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi patogen pada tanaman (Lelliott dan Stead 1987). Jenis bakteri lainnya adalah bakteri nonpatogenik dari spesies yang sama, seperti mutan alami yang tidak virulen (avirulen) dari R. solanacearum atau mutan R. solanacearum yang mengandung gen hrpO. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mutan yang mengandung penciri tahan terhadap antibiotik adalah sebaiknya tidak menggunakan antibiotik yang lazim digunakan untuk pengobatan pada manusia (The
National Forest and Nature Agency 2000). Hal ini karena karakter ketahanan terhadap suatu antibiotik dibawa dalam plasmid yang mudah berpindah dari satu bakteri ke bakteri lainnya dalam kondisi alami. Besar kemungkinan karakter ketahanan terhadap antibiotik yang dibawa oleh suatu mutan agens hayati bakteri akan terlepas dan berpindah ke bakteri patogen pada manusia atau hewan sehingga pengendalian menggunakan antibiotik tersebut tidak akan efektif. Dalam tahap awal ini juga perlu dihindari penggunaan agens hayati bakteri yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Satu di antaranya adalah Burkholderia (Pseudomonas) cepacia. B. cepacia dapat ditemukan secara alami di dalam tanah, air, dan rizosfer akar tanaman. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa B. cepacia terdiri atas sekelompok bakteri (Burkholderia kompleks) yang meliputi delapan genetik spesies (genomovar) yang sangat erat kekerabatannya satu sama lainnya (Parke dan Gurian-Sherman 2001). Di antara kelompok itu ada yang digunakan sebagai agens hayati, tetapi ada juga yang bersifat patogen pada tanaman dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang serius pada manusia. B. cepacia menyebabkan penyakit busuk lunak pada umbi bawang (Lelliott dan Stead 1987) dan hawar daun pada tanaman garut hias (Marantha arundinaceae) (Supriadi et al. 2000). Potensi B. cepacia dalam menyebabkan kerugian pada manusia telah dibahas oleh suatu Panel Ahli (Scientific Advisory Panel; SAP) pada tanggal 20−23 Juli 1999 di Arlington Virginia (USA) (SAP Report 1999). Secara ringkas, beberapa ahli kurang mendapatkan bukti yang cukup tentang kekhawatiran pelepasan strain B. cepacia yang dapat mempengaruhi strain B. cepacia lainnya sehingga dapat menimbulkan kerugian pada manusia. Namun, potensi bahaya B. cepacia terhadap manusia tidak dapat dihilangkan begitu saja. Gejala gangguan akibat B. cepacia yang dikenal dengan istilah Burkholderia Cepacia Syndrome (BCS) perlu diwaspadai (Anomimous http://www3.nbnet. nb.ca/normap/bcepacia.htm). BCS ditandai dengan gejala penurunan kesehatan secara drastis pada seseorang yang terinfeksi bakteri ini karena bakteri dapat masuk ke dalam sistem pembuluh darah. B. cepacia dapat bertahan pada kulit yang lembap selama 60 menit sampai 1 minggu, Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
sedangkan di dalam air, bakteri ini dapat bertahan hidup sampai 1 tahun, dan 82% dari strain B. cepacia kebal terhadap antibiotik. B. cepacia kompleks genomovar VI, yaitu B. dolosa diketahui dapat menyebabkan infeksi kronis dalam cystic fibrosis yang berasosiasi dengan kehilangan fungsi paru-paru dan ketahanan tubuh (Kalish et al. 2006). Menurut Blackburn et al. (2004), cepacia syndrome juga dapat disebabkan oleh B. multivorans (genomovar III), yang menunjukkan gejala cystic fibriosis pada 9 tahun setelah infeksi. Informasi tersebut menekankan perlunya kehati-hatian dalam pemilihan jenis agens hayati yang akan dikembangkan. Tahap berikutnya adalah menguji keefektifan agens hayati dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogen target. Bila suatu agens hayati menunjukkan potensi antagonisme atau penekanan terhadap patogen target, yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan maka dilakukan tahap pengujian secara terbatas dalam kondisi terkontrol misalnya di rumah kaca dengan menggunakan formula sederhana, seperti penambahan zat pembawa (karier). Apabila pada tahap ini kemampuan agens hayati masih konsisten dalam menekan perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang, kemungkinan agens hayati menimbulkan kerusakan pada tanaman perlu diperhatikan. Pada pengujian lapang, biasanya agens hayati harus diformulasikan secara lebih baik. Dalam proses pembuatan formula, semua bahan yang digunakan harus dipastikan tidak akan menimbulkan kerusakan pada tanaman target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini pun calon agens hayati masih menunjukkan potensi penekanan yang stabil maka pengujian dalam skala lebih luas dapat dilaksanakan. Tahap terakhir adalah komersialisasi agens hayati. Pada tahap ini diperlukan peran industri untuk memperbanyak agens hayati secara massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang lebih stabil dan terstandar. Pada tahap akhir inilah data tentang analisis risiko dari suatu agens hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya secara komersial dari institusi resmi. Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
ANALISIS RISIKO Beberapa agens hayati berpeluang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (manusia, hewan, atau tanaman) atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati. Dalam pedoman yang disusun oleh FAO (1988, 1997) tentang agens hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan informasi sebagai berikut: 1. Kejelasan identitas dari bahan aktif, yang mencakup: - Karakteristik agens hayati, meliputi informasi tentang a) sifat fisik dan kimia, b) nama umum, nama ilmiah (nama Latin) dan tipe strain dari bakteri, protozoa, jamur, dan sebagainya, c) habitat alami, d) proses produksi atau perbanyakan, e) caracara untuk mengidentifikasi, seperti sifat morfologi, biokimia, dan serologi, f) komposisi bahan pembawa dalam proses produksi agens hayati, dan g) metode analisis. - Kriteria produk (formula), terdiri atas a) sifat fisik dan kimia, b) jumlah atau populasi agens hayati dalam setiap unit tertentu, c) nama dan tipe formula seperti AT, EC, dan SC, d) bahan pembawa seperti pelarut, bahan pelindung terhadap sinar UV, bahan perata, dan sebagainya, e) stabilitas produk dalam kondisi penyimpanan tertentu (suhu dan kelembapan selama penyimpanan), dan f) metode analisis. 2. Karakteristik biologi, mencakup data tentang a) asal-usul dan metode penyebaran agens hayati pada kondisi cuaca berbeda, b) spesifisitas target sasaran OPT (spesifik atau luas), c) dosis efektif, transmissibility, dan mode of action, d) kekerabatan dengan OPT sasaran, e) jenis tanaman target, dan f) cara aplikasi. 3. Data toksisitas, baik terhadap manusia maupun mamalia lain, yaitu: a) toksisitas akut oral, b) toksisitas akut dermal, c) toksisitas akut pernafasan, d) iritasi pada mata, dan e) alergi. Data toksisitas akut dermal dan iritasinya pada mata dilakukan khusus terhadap
bahan pembawa atau bahan yang digunakan selama proses produksi. Kriteria tambahan yang diperlukan antara lain adalah toksisitas subkronis (persistensi), pengaruh terhadap reproduksi, penurunan kekebalan (untuk virus), dan infektivitas terhadap primata (untuk parasit intraseluler). 4. Data residu dan pengaruh terhadap lingkungan. Untuk agens hayati yang mekanisme kerja aktifnya dengan cara menghasilkan toksin, evaluasi terhadap residu toksin dalam bagian tanaman yang dimakan perlu dikemukakan. Potensi kerusakan terhadap lingkungan, seperti toksisitas terhadap ikan, organisme nontarget, tanaman nontarget, dan toksisitas terhadap burung, perlu dikemukakan secara jelas. Contoh analisis risiko dari T. harzianum Rifai strain T-39 dengan nama dagang Trichodex buatan Makhteshim, Amerika Utara (EPA 2000) dan B. subtilis (EPA 1997) disajikan pada Tabel 1. Tabel tersebut memberi gambaran yang cukup jelas tentang parameter apa saja yang perlu diketahui sebelum suatu agens hayati diajukan untuk diperdagangkan secara komersial.
KARAKTERISTIK DIAGNOSTIK BEBERAPA AGENS HAYATI BAKTERI Beberapa contoh karakteristik penting dari bakteri yang sering digunakan sebagai agens hayati, seperti P. fluorescens dan B. subtilis diuraikan berikut ini. P. fluorescens termasuk ke dalam bakteri yang dapat ditemukan di mana saja (ubiquitous); sering kali ditemukan pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar) dan sisa tanaman yang membusuk, tanah dan air (Bradbury 1986), sisa-sisa makanan yang membusuk, serta kotoran hewan. Ciri yang mencolok dan mudah dilihat dari P. fluorescens adalah kemampuannya menghasilkan pigmen pyoverdin dan atau fenazin pada medium King’B sehingga terlihat berpijar bila terkena sinar UV (Tabe1 2). P. fluorescens telah dimanfaatkan sebagai agens hayati untuk beberapa jamur dan bakteri patogen tanaman. Kemampuan P. fluorescens menekan populasi patogen diasosiasikan dengan kemampuan untuk melindungi akar dari infeksi patogen tanah dengan 77
Tabel 1. Analisis risiko agens hayati Trichoderma harzianum dan Bacillus subtilis. Jenis agens hayati Trichoderma harzianum Rifai strain T-39
Bacillus subtilis
Antijamur, fungisida
Umumnya digunakan dalam industri, yaitu pada proses fermentasi untuk memproduksi enzim (amilase, protease) dan senyawa kimia lainnya (inosin, ribosida, asam amino) pada industri tekstil dan kertas.
Cara penggunaan Tanaman target
Disemprotkan melalui tanah Komoditas pangan, kecuali apel, tebu, petsai, padi, jagung, tomat, jamur, jeruk, kiwi, kapas, tembakau, gandum, sorgum, oat, kedelai
Perlakuan benih ? Kentang, tomat
Mikroorganisme target
OPT Botrytis cinerea
−
Karakteristik agens hayati dan produk Penggunaan
Analisis risiko pada manusia Toksisitas akut (patogenisitas) Tidak toksik pada 1,40 x 10 8 cfu/hewan uji
Tidak patogen (virulensi rendah) pada manusia. Diasosiasikan dengan kasus keguguran pada bovine dan ovin, tetapi tidak pernah diisolasi dari penderita (Logan 1988 dalam EPA 1997). Pernah dikaitkan dengan kasus keracunan makanan (Gilbert et al. 1981 dalam EPA 1997)
Toksisitas akut (patogenisitas) dermal
Tidak toksik pada 1.150−1.530 mg/kg
Tidak ada laporan
Toksisitas akut pernafasan
Tidak toksik pada 1,40−2 x 108 cfu/hewan uji
Tidak ada laporan
Toksisitas intraperitoneal injection
Tidak toksik; LD50 644 mg/tikus jantan; 1.087 mg/kg tikus betina; 806 mg/kg kombinasi tikus jantan dan betina
Tidak ada laporan
Iritasi mata
Berpotensi iritasi pada 5 x 108 cfu
Tidak ada laporan
Iritasi kulit
Moderat
Ada laporan kasus alergi terhadap penggunaan detergen yang mengandung enzim yang diproduksi oleh B. subtilis (Norris et al. 1988 dalam EPA 1997).
Reaksi alergi
Alergi
Subtilisin dapat memicu alergi pada pemakaian jangka panjang (Edber 1991 dalam EPA 1997)
Toksisitas ekologi Toksisitas (patogenisitas) oral hewan
Tidak toksik pada 2.000 mg/kg itik Mallard dan Bobwhite Quail
Tidak ada laporan
Toksisitas (patogenisitas) pada ikan
LD50 85 mg/l
Tidak ada laporan
Toksisitas (patogenisitas) pada invertebrata air
Tidak toksik pada D. magna pada 1,20 x 10 3 cfu/ml
Tidak ada laporan
Toksisitas (patogenisitas) pada tanaman bukan inang
Tidak toksis
Diasosiasikan dengan penyakit busuk lunak pada tanaman (Lelliott dan Stead 1987). Kasus target B. subtilis yang menyebabkan penyakit busuk lunak pernah dilaporkan pada bawang (Kararah et al. 1985 dalam EPA 1997), mungkin karena bakteri uji menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi pektin dan olisakarida.
Toksisitas (patogenisitas) pada serangga bukan target
Larvisida pada kumbang Scolutus scolytus dan S. multistriatus
Larvisida pada nyamuk Anophelis culicifacies
Toksisitas (patogenisitas) pada lebah
Tidak berbahaya
Tidak ada laporan
Sumber: EPA (1997, 2000).
78
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Tabel 3. Karakteristik morfologi dan biokimia Bacillus subtilis.
Tabel 2. Karakteristik biokimia Pseudomonas fluoresens. Pengujian Pembentukan pigmen fluorescen pada medium Kings ’B Pembentukan Levan dari sukrosa Hidrolisis gelatin Hidup pada suhu 4oC Hidup pada suhu 41oC Denitrifikasi Pembentukan lesitinase Penggunaan sumber karbon: Adonitol D-alanin L-arabinosa Azalat Butilamin Butirat Etanol D-galaktosa Geraniol Hidroksimetil glutarat M-inositol Nikotinat Fenil asetat Propilen glikol Saccharate Sorbitol Sukrosa L(+) tartrat Testosteron Trehalosa Trigonelin Valerat
Pengujian
Biovar I
II
III
IV
V
+
+
+
+
+
+ + + − − +
+ + + − + +/−
− + + − + +
+ + + − + +
− + V − − V
+ + + − − − − + − V V − − − + + + − − + V V
− + + − − V + + − V + − − + + + + − − + V V
V + V V − V V V − − V − V V V V − − − V V V
− + + − − + − + − − + − − − + + + + − + − −
V − V − V V V V − V V V V V V V V − − V V V
+: reaksi positif, −: reaksi negatif, V: reaksi bervariasi. Sumber: Bradbury (1986); Hildebrand et al. (1988).
cara mengkolonisasi permukaan akar, menghasilkan senyawa kimia seperti antijamur dan antibiotik, serta kompetisi dalam penyerapan kation Fe. Di samping itu, P. fluorescens F113 juga digunakan untuk menghancurkan senyawa-senyawa beracun seperti polychlorinated biphenyls yang sangat beracun dan persisten (The National Forest and Nature Agency 2000). B. subtilis diketahui secara luas sebagai bakteri saprofit, tidak menyebabkan penyakit pada tanaman, dapat hidup dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen), bersifat Gram positif, dan membentuk spora (Bradbury 1986), serta menghasilkan beberapa jenis senyawa antimikroba seperti basitrasin, basilin, basilomisin B, difisidin, oksidifisidin, lesitinase, dan subtilisin (EPA 1997). Karakteristik morfologi dan biokimia B. subtilis Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
disajikan pada Tabel 3. Informasi penting tentang karakteristik morfologi dan biokimia B. cepacia ditemukan oleh Bradbury (1986) dan Hildebrand et al. (1988) (Tabel 4). B. cepacia juga memiliki kekerabatan secara serologi dengan R. solanacearum (Robinson et al. 1995; Supriadi et al. 2000).
KESIMPULAN Pegertian agens hayati secara luas mencakup organisme, baik yang digunakan untuk pengendalian OPT maupun untuk proses produksi. Informasi tentang keefektifan agens hayati sudah banyak diteliti dan dipublikasi, tetapi data tentang keamanan agens hayati masih terbatas. Data tentang keamanan agens hayati, seperti Trichoderma spp., P. fluorescens,
Sifat Gram Flagela Endospora (sentral) Pembengkakan sel berspora Tumbuh pada suhu 45oC Tumbuh pada pH 5,70 Tumbuh pada kandungan NaCl 1% Penggunaan sitrat Hidup dalam medium glukosa pada kondisi tanpa oksigen Produksi asam dari karbon: arabinosa, manitol dan xylosa VP test Hidrolisis pati
Reaksi + + + − + + + + − + + +
Sumber: Leary dan Chun (1988).
dan B. subtilis, cukup lengkap dan dapat disimpulkan bahwa agens hayati tersebut aman bagi manusia dan lingkungan. Agens hayati yang berisiko tinggi adalah Burkholderia (Pseudomonas) cepacia, karena mempunyai kekerabatan yang sangat erat dengan anggota dari kelompok B. cepacia kompleks yang menjadi patogen pada manusia. Aspek keamanan perlu dipertimbangkan sejak agens hayati akan dikembangkan. Aspek keamanan suatu agens hayati yang perlu diketahui dapat merujuk pada pedoman yang disusun oleh FAO tahun 1988 dan FAO 1997. Oleh karena itu, identitas setiap agens hayati yang akan dikembangkan perlu diketahui secara pasti.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. Burkholderia cepacia and other Burkholderia species. http://www3.nbnet.nb. ca/normap/bcepacia.htm[september 2006]. Blackburn, L.K. Brownlee, S. Conway, and M. Denton. 2004. Cepacia syndrome with Burkholderia multivorans, 9 years after initial colonization. J. Cystic Fibrosis 3 (Issue 2): 133−134. Bradbury, J.F. 1986. Guide to Plant Pathogenic Bacteria. CAB International Mycological Institute. Ferry Lane, Kew Surrey, England. 329 pp. EPA. 1997. Bacillus subtilis Final Risk Assessment. http://www.epa.gov/oppt/biotech/ pubs/fra/fra009.htm [September 2006]. EPA. 2000. Trichoderma harzianum Rifai Strain T-39 (119200) Technical Document. http:/ / w w w. e p a . g o v / p e s t i c i d e s / s e a r c h . h t m . [September 2006]
79
Tabel 4. Ciri morfologi dan biokimia Burkholderia cepacia. Ciri morfologi dan biokimia
Karakteristik
Sifat Gram Bentuk sel Warna koloni Suhu optimum untuk pertumbuhan
Negatif Batang pendek Kuning kehijauan 30−35oC, dapat tumbuh pada suhu 41oC. Bervariasi; pigmen berwarna kuning atau cokelat Positif Positif Positif, tetapi tidak menghasilkan gas Negatif Bervariasi Positif
Kemampuan menghasilkan pigmen fluoresens Mengakumulasi polibeta hidroksibutirat Menghasilkan enzim oksidase Mereduksi nitrat menjadi nitrit Menghidrolisis arginin dan pati Menghidrolisis gelatin Kemampuan mengoksidasi (memanfaatkan) sumber karbon: D-arabinosa, 2,3-butylene glikol, cellobiosa, citraconate, D-fucosa, glukosa, m-hydroxybenzoat, levulinat, manitol, mucate, DL ornithin, sacsharate, sebacate, sorbitol, sukrosa, L-threonine, dan typthamine. Kemampuan mengoksidasi sumber karbon: D-tartrat, L-rhamnosa, n-propanol, dan alanin Kemampuan mengoksidasi sumber karbon trehalosa dan benzoat Reaksi serologi terhadap polikonal antiserum terhadap R. solanacearum
Negatif Beragam Positif (cross reaction) (Robinson et al. 1995; Supriadi et al. 2000)
Sumber: Bradbury (1986); Hildebrand et al. (1988).
FAO. 1988. Guidelines for the Registration of Biological Pest Control Agents. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. 7 pp. FAO. 1997. Code of conduct for the import and release of exotic biological control agents. Biocontrol News and Information 18(4): 119N−124N. Hildebrand, D.C., M.N. Schroth, and D.C. Sands. 1988. Pseudomonas. p. 60−80. In N.W. Schaad (Ed.), Plant Pathogenic Bacteria (Second Edition). Laboratory Guide for identification of Plant Pathogenic Bacteria. APS Press, St. Paul Minnesota USA. Kalish, L.A., D.A. Waltz, M. Dovey, G. PotterBynoe, A.J. McAdam, J.J. LiPuma, C. Gerard,
80
and D. Goldmann. 2006. Impact of Burkholderia dolosa on lung function and survival in cystic fibrosis. Am. J. Respiratory and Critical Care Medicine 173: 421−425 (http:/ /ajrccm. atsjournals. org/cgi/content/ abstract/173/4/421)[agustus 2006]. Leary, J.V. and W.W.C. Chun. 1988. Bacillus. p. 120−127. In N.W. Schaad (Ed.), Plant Pathogenic Bacteria (Second Edition). Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. APS Press, St. Paul Minnesota USA. Lelliott, R.A. and D.E. Stead. 1987. Methods for the diagnosis of bacterial diseases of plants. In T.F. Preece (Ed.). Methods in Plant Pathology Vol 2. British Society for
Plant Pathology, Blackwell Scientific Publications, Oxford, London. 216 pp. Menteri Pertanian RI. 1995. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 41I/Kpts/TP.120/6/1995 tentang Pemasukan Agens Hayati ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. Parke, J.L. and D. Gurian-Sherman. 2001. Diversity of the Burkholderia cepacia complex and implication for risk assessment of biological control strains. Ann. Rev. Phytopathol. 39: 225−258. Robinson-Smith, A., P. Jones, J.G. Elphinstone, and S.M.D. Forde. 1995. Production of antibodies to Pseudomonas solanacearum, the causative agent of bacterial wilt. J. Food Agric. Immunol 7: 67−69. Sadler, G.S. 2005. Management of bacterial wilt disease. p. 121−132. In C. Allen, P. Prior, and A.C. Hayward. (Eds.). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum Spesies Complex. The American Phytopathological Society, St Paul Minnesota, USA. SAP Report. 1999. Session I-Burkholderia cepacia: Risk assessment of a biopesticide with affinities to a human opportunistic pathogen. FIFRA Scientific Advisoty Panel Meeting, 20−23 July 1999, Arlington, Virginia USA. SAP Report No. 99−04. 32 pp. Suhardi, T. Suganda, A. Duriat, Y. Sulyo, A. Muharam, dan D.J. Riati. 2003. Prosiding Kongres XVII dan Seminar Ilmiah Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, 6−8 Agustus 2003 di Universitas Padjadjaran, Bandung. 434 hlm. Supriadi, N. Ibrahim, and N. Karyani. 2000. Identification and pathogenicity of isolate of bacterium caused leaf blight disease on Marantha arundinacea. Indon. J. Agric. Sci. 1(1): 10−15. The National Forest and Nature Agency. 2000. Risk assessment of genetically modified derivatives of Pseudomonas fluorescens F 133 for use in bioremediation of PCB contaminated soil. Ministry of Environment and Energy, Denmark. http://www2.sns.dk/ natur/bioteknologi/Risk/index.htm[21 Agustus 2006].
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006