ANALISIS PERAN KETENG-KETENG DALAM ENSAMBEL GENDANG TELU SENDALANEN SEBAGAI MEDIA DALAM KONTEKS UPACARA ERPANGIR KU LAU DI DESA KUTA MBELIN KECAMATAN LAU BALENG KABUPATEN KARO
TESIS
Oleh
JAMAL KARO-KARO NIM 107037001
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebudayaan atau budaya merupakan keseluruhan hasil budi dan daya manusia, yang mencakup ragam ilmu pengetahuan, kepercayaan atau sistem religi, kesenian, organisasi sosial (yang mencakup sistem kekerabatan atau adat-istiadat), teknologi, mata pencaharian hidup atau ekonomi,
dan bahasa--yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Lazimnya, kebudayaan diwujudkan mulai dari tahap gagasan atau ide, kemudian dilanjutkan dalam bentuk kehidupan yang mencerminkan nila-nilai yang dikandungnya, dan juga dalam bentuk artefak atau benda-benda budaya. Pada dasarnya tata kehidupan dalam masyarakat tersebut tertentu merupakan pencerminan yang konkrit dari nilai budaya yang bersifat abstrak.1
Demikian juga yang terjadi pada kebudayaan masyarakat Karo di
Sumatera Utara. Keseluruhan fase dari tumbuh dan berkembangnya kebudayaan tersebut, sangat erat hubungannya dengan pendidikan. Semua materi yang terkandung dalam 1
Koentjaraningrat (1980) membagi kebudayaan dalam dua dimensi yaitu isi dan wujud. Dimensi isi disebutnya juga dengan tujuh unsur kebudayaan universal. Yang terdiri dari: sistem religi, bahasa, organisasi sosial, teknologi, pendidikan, ekonomi, dan kesenian. Sementera di sisi lain, dimensi wujud budaya ada tiga, yaitu wujud: (a) ide atau gagasan, (b) aktivitas atau kegiatan, dan (c) artefak atau benda-benda. Kedua dimensi ini saling berhubungan. Misalnya dalam konteks Sumatera Utara, ulos adalah artefak pakaian dalam kebudayaan Batak Toba dan Mandailing, yang di dalamnya terdapat gagasan tentang alam dan kosmologi. Di dalamnya juga terkandung bagaimana teknologi tradisional Batak Toba dan Mandailing membuat kain ini. Di dalam ulos ini juga tercermin status sosial seseorang, dan berbagai ekspresi kebudayaan lainnya.
1
suatu kebudayaan pada dasarnya diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar yang relatif panjang. Melalui kegiatan inilah kebudayaan diteruskan dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya secara berkesinambungan. Dengan demikian, kebudayaan manusia diteruskan dari waktu ke waktu sepanjang masa. Kebudayaan yang telah lalu akan bereksistensi pada masa kini dan kebudayaan masa kini akan disampaikan ke masa yang akan datang (Suriasumantri, 1982:27). Dinamika kebudayaan selalu beorientasi kepada kemajuan sebuah zaman sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak. Biasanya setiap suku bangsa (etnik) yang ada di dunia ini,
memiliki kecenderungan menyisihkan waktunya untuk
memenuhi kepuasan akan rasa keindahan (estetika) yang merupakan sebuah kebutuhan dasarnya. Betapa pun sulitnya kehidupan suatu suku bangsa, mereka tidak akan serta merta menghabiskan seluruh waktunya itu hanya untuk mencari makan, dan melakukan perlindungan semata-mata dari ancaman bahaya. Sebaliknya, bagi masyarakat yang hidup di lingkungan yang lebih menguntungkan secara material dan sosial budaya, dengan segala kemudahannya akan lebih banyak menyisihkan waktunya terhadap karya-karya yang mengungkapkan rasa keindahan. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kesenian sebagai ungkapan rasa keindahan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang bersifat universal. Hal itu dapat terlihat pada bagunan tradisional seperti pada rumah adat dengan segala ornamen pada bagian tertentu dari bangunan, serta benda-benda tradisional yang dihias sedemikian rupa sebagai perwujudan rasa keindahan tersebut. Seluruh aspek kesenian, termasuk kelompok seni pertunjukan yang hidup dan berkembang pada etnik tertentu dapat disikapi dalam dua aspek yaitu, aspek
2
estetika
dan aspek fungsional. Aspek estetika mengkaji berbagai hal tentang
keindahan dari sebuah karya yang mencakup bentuk (proporsi), kehalusan, warna, harmonisasi, dan sebagainya yang berkaitan dengan konsep estetika. Di sisi lain, aspek fungsi kesenian berkaitan dengan sejauh apa kesenian itu dapat melayani kehidupan masyarakat. Kesenian ini juga berperan sebagai media dalam pelaksanaan berbagai ragam ritual, yang biasanya selaras dengan sistem religi yang diyakini atau sistem adat istiadat yang yang berlaku. Pada etnik Karo, terdapat ragam kesenian sebagai bagian dari hasil budaya masyarakatnya. Kesenian ini mencakup seni: musik, rupa, tari, sastra, teater, dan lain-lainnya. Masing-masing jenis kesenian tersebut memiliki peranan dalam berbagai siklus kehidupan dan struktur masyarakatnya. Di sisi lain, kendati etnik Karo telah membaur dengan berbagai etnik di daerah perantauan di luar daerah asal mereka, etnik ini
selalu menjalankan tradisi yang berlaku di daerah asalnya. 2
Kebiasaan tersebut mencakup sistem religi, adat istiadat, maupun hiburan. Mereka berupaya menjaga kelestarian konsepsi budaya tersebut dan selalu mengembangkan
2
Etnik Karo secara wilayah budaya dibagi menjadi dua bahagian yaitu Karo Gugung (Karo Pegunungan) dan Karo Jahe (Karo Pesisir). Masyarakat Karo Gugung menentap di wilayah Bukit Barisan dan sekitarnya yang kini berada di daerah Kabupaten Karo, sementara Karo Jahe sebahagian besar berada di Kabupaten Langkat, di kawasan pesisir Timur Sumatera Utara. Etnik Karo Gugung dianggap tidak banyak mengalami akulturasi dengan budaya luar, dibanding dengan Karo Jahe yang lebih banyak melakukan adaptasi dan akulturasi dengan budaya Melayu Sumatera Timur, di Langkat sebahagian di antara mereka disebut Mekarlang (Melayu Karo Langkat). Pada masa sekarang ini, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) etnik Karo banyak merantau ke berbagai wilayah di Nusantara, seperti di Kota Medan, Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, dan lainnya. Yang menyatukan orang-orang Karo ini adalah faktor budaya dan juga agama. Di antara pejabat-pejabat Indonesia yang merupakan etnik Karo yang cukup terkenal adalah Tihfatul Sembiring, M.S. Kaban, dan lain-lain.
3
keberadaan kesenian tradisionalnya agar tidak lekang oleh gelombang arus perkembangan zaman. Selain itu, etnik Karo memiliki sistem religi yang khas, yakni percaya akan adanya pencipta dan penguasa alam semesta yang memiliki kekuasaan yang tidak terhingga. Dewa pencipta dan penguasa itu disebut dengan Dibata Kaci-Kaci. Pada etnik
Karo
secara
tradisional
terdapat
religi
yang
memadukan
sistem
kepercayaannya ke “serba roh” dengan sistem kedewataan secara serasi, dan saling melengkapi. Dalam konsep dinamisme dan animisme, etnik Karo berpikir secara mistis, hidupnya dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis, menggunakan mitos untuk memahami hidup dan lingkungannya. Agama suku ini disebut dengan, agama Pemena yang disebut juga dengan agama Perbegu. Dalam kaitannya dengan keyakinan masyarakat dalam konsep “serba roh,” maka dengan sendirinya aktivitas masyarakat diwarnai oleh ragam ritual dalam rangka menyembah roh-roh yang dianggap sebagai penguasa alam semesta agar kehidupan mereka terhindar dari marabahaya
yang
mengancam
kehidupannya,
serta
untuk
mendatangkan
keberuntungan, dan berbagai hal yang menyangkut kehidupan manusia. Pada tingkat yang lebih tinggi, muncul konsep guru sibaso3 yang menjadi perantara orang hidup dengan yang telah mati. Guru sibaso diyakini dapat melihat hal-hal gaib dan dapat mengetahui dunia makhluk halus (seer) atau dunia roh 3
Dalam beberapa tradisi religi Nusantara, terdapat persamaan, bahwa untuk berhubungan dengan alam dewa atau makhluk gaib, mereka membutuhkan dukun sebagai media berbentuk manusia. Di dalam kebudayaan Karo disebut guru sibaso, dalam masyarakat Batak Toba disebut datu, dalam masyarakat Mandailing disebut sibaso, dalam kebudayaan Melayu disebut bomoh, dalam budaya Jawa dan Sunda disebut dukun atau mbah dukun, dan masih banyak suku-suku lain di Nusantara menyebut medium ini.
4
(Ginting, 1999:1). Hal ini menunjukkan bahwa dalam dinamika kehidupan pada etnik Karo secara tradisional selalu berkaiatan dengan hal-hal gaib, dan oleh karena itu, aktivitas seperti pelaksanaan upacara ritual pada hal tertentu seperti meminta rezeki, menjauhkan penyakit, dan berbagai hal lainnya selalu dilaksanakan. Dengan demikian ritual merupakan merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan bebrapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti suatu pengalaman yang suci. Pengalaman tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan dewa tertinggi pencipta dan penguasa alam semesta. Hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi merupakan sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka muncullah beberapa bentuk ritual agama. Dalam ritual agama dipandang dari bentuknya secara lahiriah merupakan suatu hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah “pengungkapan iman” (Jacobs dalam Hadi, 2006:31). Oleh karena itu, upacara atau ritual agama diselenggarakan pada beberapa tempat dan waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa, yang dilengkapi dengan berbagai peralatan ritus lain yang bersifat sakral. Dalam sistem kekerabatan, etnik Karo memiliki kelompok merga yang terdiri dari lima merga induk yaitu, (1) Karo-karo, (2) Ginting, (3) Tarigan, (4) Sembiring, dan (5) Perangin-angin. Kelima merga induk ini disebut dengan merga silima dimana setiap merga terdiri dari cabang-cabang merga. Istilah merga
5
merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk perempuan. Hubungan yang lebih luas dari perwujudan merga-merga pada masyarakat Karo adalah sistem kekerabatan yang disebut dengan, rakut sitelu (ikat yang tiga). Rakut sitelu ini mirip dengan pengertian dalihan natolu pada masyarakat Batak Toba dan Mandailing.4 Rakut sitelu pada masyarakat Karo merupakan suatu istilah dalam sistem kekerabatan yang saling mengikat antara sesama anggota masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui kelahiran dan perkawinan. Rakut sitelu dapat dipandang sebagai pembagian kelompok berdasarkan adat istiadat Karo yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pelaksanaan upacara adat seperti, upacara perkawinan, kematian, dan berbagai upacara ritual lainnya. Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah, (a) Senina, (b) Anak beru, dan (c) Kalimbubu. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa orang Karo selalu sadar dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan atau adat-istiadat yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maupun pada pelaksanaan upacara adat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut
4
sitelu. Sehingga
Dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, konsep dalihan na tolu (DNT) berdasarkan kepada hubungan darah secara patrilineal dan hubungan perkawinan. DNT dapat diartikan secara harfiah adalah tungku yang tiga, yang pada sejarah awal masyarakat Batak Toba selalu menank nasi dengan tiga tumpuan ini. DNT tersebut terdiri dari unsur: (a) dongan sabutuha yaitu teman satu marga yang ditarik dari garis keturunan ayah; (b) hula-hula adalah pihak pemberi isteri; dan (c) anak boru, yaitu piohak keluarga yang menerima isteri. Labih jauh lagi filsafat yang terkandung dalam DNT adalah manat mardongan tubu (kasihilah teman semarga), somba marhula-hula (sembahlah hula-hula), dan elek marboru (sayangilah pihak boru). Dalam kebudayaan Mandailing dan Angkola ketiga unsur dalian na tolu itu adalah: (a) kahanggi yaitu teman satu marga, (b) mora, yaitu pihak pemberi isteri, dan (c) anak boru, yaitu pihak penerima isteri. Selain itu, dalam masyarakat Mandailing dan Angkola ini ketiga unsur DNT ini diperluas lagi menjadi lima yaitu ditambah dengan boru ni boru dan mora ni mora. Konsep yang mirip dengan rakut sitelu ini adalah mencakup juga daliken sitelu pada etnik Pakpak-Dairi di Sumatera Utara.
6
dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing individu atau keluarga telah mengetahui posisinya. Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing individu terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo, didapat dari para orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem kekerabatan tersebut kepada generasi yang lebih muda dalam berbagai kesempatan, misalnya ketika berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di celah pembicaraan lainnya. Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya khawatir dan malu jika anaknya atau generasi yang lebih muda tidak memahami sistem kekerabatan. Oleh karena itu, selalu disarankan agar para remaja yang menjelang dewasa supaya rajin mendengar cerita-cerita orang tua yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan yang tercakup dalam rakut sitelu. Orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami sistem kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal ini tidak diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus pada masa yang akan datang tidak memahami dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu yang penerapannya sangat jelas terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap keluarga harus memahami posisinya apakah ia berada pada kelompok senina, anak beru, atau kalimbubu. Berkaitan dengan pelaksanaan ragam ritual, musik tradisional berperan sebagai media yang memiliki peran dan fungsi pada etnik Karo. Pada masyarakat Karo terdapat musik tradisional yang terdiri dari musik vokal dan instrumental, dimana penggunaannya berkaitan dengan upacara ritual baik yang bersifat religi,
7
adat-istiadat, maupun sebagai hiburan. Penggunaan musik tradisional tersebut disesuaikan dengan situasi-situasi tertentu, yang menempatkan musik sebagai bagian dan berperan sebagai media dari situasi-situasi tersebut dengan fungsi yang tertentu pula. Pelaksanaan aktivitas musik dalam kebudayaan Karo dikenal dengan dua istilah yaitu, ergendang, dan rende. Ergendang terdiri dari dua kata (er yang artinya melakukan sesuatu) dan (gendang yang secara sederhana dapat diartikan sebagai musik). Jadi ergendang dapat diartikan, bermain musik. Sedangkan kata gendang pada etnik Karo memiliki beberapa pengertian yang menyatakan jenis ensambel musik tradisional, nama komposisi, dan beberapa istilah lainnya, dan rende diartikan sebagai bernyanyi. Penggunaan musik tradisional pada masyarakat Karo di di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, sebagaimana dikemukakan di atas, digunakan sebagai media atau dalam pelaksanaan berbagai upacara seperti: erpangir ku lau, kerja nereh empo (pesta perkawinan), mengket rumah embaru (memasuki rumah baru), nurun-nurun (upacara penguburan jenazah), cewir metua (upacara kematian) dan beberapa upacara adat Karo lainnya. Dalam pelaksanaan ragam upacara tersebut, biasanya menggunakan ensambel gendang lima sendalanen atau gendang telu sendalanen sebagai media atau bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upacara tersebut. Media musik adalah bahagian dari kesenian. Di lain sisi, kesenian adalah sebagai salah satu unsur kebudayaan. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup, belajar, berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang sesuai menurut
8
budayanya. Budaya yang dilakukan oleh seseorang, secara pasti mempengaruhinya sejak dalam masa alam kandungan hingga mati. Bahkan tata cara dalam kematian pun, dilakukan menurut norma dan nilai yang sesuai dengan budaya dan agamanya. Budaya sebagai pedoman dan komunikasi sebagai alat interaksi sosial masyarakat. Budaya dan komunikasi tidak bisa dipisahkan. Budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menafsirkan pesan, tetapi juga kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan makna yang terkandung dalam pesan. Ini bermakna seluruh perbendaharaan prilaku manusia sangat tergantung pada budaya tempat dia dibesarkan. Setiap bentuk budaya mempunyai maksud, nilai serta gagasan-gagasan penciptanya. Selaras dengan pendapat Walter Lipmann, musik merupakan cerminan dari kenyataan. Selanjutnya, sebagaiamana dijelaskan oleh A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn (1960) bahwa musik dapat dikategorikan sebagai bentuk atau pola-pola prilaku yang nyata dari individu dan kelompok manusia. Kemudian dipindahkan dalam bentuk simbol-simbol, yang dibangun dan dipilih oleh para penciptanya berdasarkan referensi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman hidupnya. Tampilan lisan dan bukan lisan dalam media musik (termasuk musik etnik Karo) adalah simbol. Istilah simbol yang berakar dari bahasa Yunani symbolos, berarti tanda atau yang mencirikan tentang sesuatu hal, dengan berbagai tujuan tertentu. Simbol lebih merupakan keadaan yang berada pada objek, berupa sesuatu yang nyata (benda), kejadian atau tindakan sebagai media untuk memahami subjek. Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dimengerti bahwa perwujudan lisan dan bukan lisan dalam musik Karo adalah tanda-tanda yang dibuat oleh manusia Karo.
9
Perwujudan ini menunjuk kepada sesuatu yang bersifat arbitrer (bebas nilai) meskipun makna tersebut dibatasi oleh konsep yang melekat pada objek. Dalam konteks penelitian ini peneliti akan menguraikan peran alat musik keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen yang memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama. Adapun alat-alat musik yang tergabung dalam ensambel gendang telu sendalanen pada dasarnya terdiri dari beberapa jenis—seperti: (a) 2 keteng-keteng dan 1 alat musik balobat. (b) Ada juga yang terdiri dari keteng-keteng, kulcapi, dan belobat, (c) ada yang terdiri dari keteng-keteng, kulcapi, dan mangkok. Selanjutnya penulis juga akan mengkaji peranan ensambel gendang telu sendalanen dalam upacara erpangir ku lau.5 Sebagai seorang ilmuwan musik Karo, penulis sangat tertarik terhadap keberadaan alat musik keteng-keteng dalam kebudayaan Karo, terutama dalam konteks ensambel gendang telu sendalanen, sebagai media dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Ketertarikan itu adalah sebagai berikut: (a) alat musik keteng-keteng secara etnomusikologis selalu diklasifikasikan sebagai alat musik idiokord, artinya masuk ke dalam idiofon dan kordofon sekali gus. Keteng-keteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Bunyi keteng-keteng bersumber dari 2 senar yang dibuat dari kulit bambu itu sendiri. Pada 5
Keteng-keteng adalah alat musik tradisional Karo yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok alat musik idikord yang terbuat dari bambu. Secara musikal alat musik ini berfungsi membawa ritme variatif dan konstan. Selanjutnya balobat adalah alat musik tradisional Karo yang termasuk ke dalam klasifikasi alat musik whistle aerofon atau recorder. Fungsi musikal alat muaik balobat adalah membawakan melodi. Kemudian kulcapi adalah alat musik lute petik berleher pendek dengan dua senanr berbentuk boat, termasuk ke dalam klasifikasi alat musik kordofon, yaitu penggetar utamanya senar. Alat musik mangkok atau lebih rinci mangkok michiho adalah berbentuk cawan yang diisi ioleh air kemudian dipukul dengan pemukul, termasuk alat musik perkusi dan fungsi musikalnya membawa ketukan dasar.
10
ruas bambu tersebut di buat satu lobang resonator dan tepat di atasnya diletakkan sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar keteng-keteng. Bilahan bambu itu disebut dengan gung, karena peran musikal dan bunyinya menyerupai gung dalam ensambel gendang lima sendalanen. Bunyi yang dihasilkan keteng-keteng merupakan penggabungan dari alat-alat musik pengiring pada gendang lima sendalanen karena pola permainan keteng-keteng menghasilkan pola ritem gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung yang dimainkan oleh seorang pemain keteng-keteng (Tarigan, 2004:61-62). Belobat merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bambu (block flute). Alat musik ini mirip dengan alat musik rekorder pada alat musik Barat. Balobat memiliki 6 buah lobang nada, berperan sebagai pembawa melodi untuk setiap repertoar dalam ensambel gendang telu sendalanen. Di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, dalam berbagai kegiatan yang mencakup upacara dalam aspek religi, adat atau hiburan, selalu menggunakan ensambel musik tradisional sebagai media. Jenis ensambel musik tradisional pada etnik ini yang terdiri dari ensambel gendang lima sendalanen, dan ensambel gendang telu sendalanen. Dalam kaitan ini penulis ingin melakukan penelitian yaitu analisis terhadap peranan keteng-keteng sebagai salah satu alat musik dalam ensambel telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo. Kerja erpangir ku lau merupakan satu ritual pembersihan diri yang di dalam ritualnya terdapat aktivitas berkeramas atau mandi bunga ke sungai (epangir
11
ku lau). Ritual erpangir ku lau sampai saat ini masih sering dilakukan terutama oleh kelompok guru sibaso pada waktu-waktu tertentu. Setiap guru sibaso akan melaksanakan erpangir ku lau secara rutin, dalam sebulan sekali atau setahun sekali sebagai penghormatan kepada jinujung (kekualan supernatural yang menyertainya dalam melakukan kegiatan sebagai guru sibaso). Sebagian musisi tradisional yang mempercayai silengguri (kekuatan supernatural yang menyertainya dalam profesi sebagai seniman tradisional Karo juga akan melakukan erpangir ku lau pada waktu tertentu). Selain diiringi dengan gendang lima sedalanen, erpangir ku lau juga dapat menggunakan gendang telu sedalanen. Beberapa motif dilaksanakannya upacara ritual erpangir ku lau misalnya, agar jumpa rejeki (keberuntungan), karena baru terlepas dari bahaya misalnya ada yang baru sembuh dari penyakit, mengukuhkan prestise, mengakui kedudukan seseorang di tengah-tengah keluarga (sangkep geluh), agar orang lain melihat keluarganya banyak jumlah dan kekuatan sosialnya (show force). Kenyataan sosiobudaya tentang keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen pada upacara erpangir ku lau tersebut sangatlah menarik untuk dikaji dengan menggunakan disiplin etnomusikologi. Menurut I Made Bandem (2001:1-2), etnomusikologi merupakan sebuah bidang keilmuan yang topiknya menantang dan menyenangkan untuk diwacanakan. Sebagai disiplin ilmu musik yang unik, etnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandang sosial dan budaya. Sebagai disiplin yang sangat populer saat ini (baik di tingkat internasional atau Indonesia), etnomusikologi merupakan ilmu pengetahuan yang relatif muda umurnya. Walaupun umurnya baru sekitar satu abad, namun uraian-uraian tentang musik
12
eksotik (yang merupakan dasar-dasar munculnya etnomusikologi) sudah dijumpai jauh sebelumnya. Uraian-raian tersebut ditulis oleh para penjelajah dunia, utusanutusan agama, orang-orang yang suka berziarah dan para ahli filologi. Pengenalan musik Asia di Dunia Barat, pada awal-awalnya dilakukan oleh
Marco Polo,
pengenalan musik China oleh Jean-Babtise Halde tahun 1735, dan Josep Amiot tahun 1779. Kemudian musik Arab oleh Guillaume-Andre Villoeau hun 1809. Periode ini dipandang sebagai awal perkembangan etnomusikologi. Masa ini pula diterbitkan Ensiklopedi Musik oleh Jean-Jaques Rousseau, tepatnya tahun 1768, yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi.
Penelitian tentang musik
rakyat dari berbagai bangsa di Eropa dilakukan oleh Grin dan Herder dan kawankawannya, yang akhirnya menjadi tumbuhnya benih kesadaran akan perbedaan budaya dalam persamaan universal makhluk manusia. Sebagai sebuah disiplin ilmu, etnomusikologi dengan terang-terangan dinobatkan sebagai dua kelompok disiplin, yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial sekali gus. Selain itu pula, sangat dirasakan perlunya memanfaatkan ilmu eksakta di bidang disiplin ini, terutama yang berkaitan dengan organologi, akustik, dan artefak. Etnomusikologi, pada waktu ini, memberikan kontribusi keunikannya dalam hubungannya bersama aspek-aspek ilmu pengetahuan sosial dan aspek-aspek ilmu humaniora, dalam caranya untuk melengkapi satu dengan lainnya, mengisi penuh kedua pengetahuan itu.
Keduanya akan dianggap sebagai hasil akhir darinya
sendiri; keduanya dipertemukan menjadi pengetahuan yang lebih luas (Merriam, 1964).
13
Etnomusikologi biasanya secara tentatif paling tidak menjangkau lapanganlapangan studi lain sebagai suatu sumber stimulasi baik terhadap etnomusikologi itu sendiri maupun disiplin saudaranya, dan ada beberapa cara yang dapat dijadikan nilai pemecahan terhadap masalah-masalah ini. Studi teknis dapat memberitahukan kita banyak tentang sejarah kebudayaan. Fungsi dan penggunaan musik adalah sebagai suatu yang penting dari berbagai aspek lainnya pada kebudayaan, untuk mengetahui kerja suatu masyarakat. Musik mempunyai interelasi dengan berbagai tumpuan budaya; ia dapat membentuk, menguatkan, saluran sosial, politik, ekonomi, linguistik, religi, dan beberapa jenis tata tingkah laku lainnya.
Teks nyanyian
melahirkan beberapa pemikiran tentang suatu masyarakat, dan musik secara luas dipergunakan sebagaimana analisis makna terhadap prinsip struktur sosial. Etnomusikolog seharusnya tidak dapat menghindarkan diri terhadap dirinya sendiri dengan masalah-masalah simbolisme di dalam musik, pertanyaan tentang hubungan antara berbagai seni, dan semua kesulitan pengetahuan apa itu estetika dan bagaimana strukturnya. Ringkasnya, masalah-masalah etnomusikologi bukan hanya terbatas kepada teknik semata--tetapi juga tentang tata tingkah laku manusia. Etnomusikologi juga tidak sebagai sebuah disiplin yang terisolasi, yang memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah esoterisnya saja, yang tidak dapat diketahui oleh orang selain yang melakukan studi etnomusikologi itu sendiri. Tentu saja, etnomusikologi berusaha mengkombinasikan dua jenis studi, untuk mendukung hasil penelitian, untuk memecahkan masalah-masalah spektrum yang lebih luas, yang mencakup baik ilmu humaniora ataupun sosial.
14
Ilmu pengetahuan humaniora lebih memfokuskan perhatian kepada nilainilai kemanusiaan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan sosial, dan lebih menaruh perhatian kepada nilai kebebasan dalam mendeskripsikan perilaku manusia. Pernyataan ini, secara umum memang benar, yang kembali mendiskusikan dan menanyakan metode-metode dari menanyakan muatan lapangan studinya. Begitu juga, penting untuk menyatakan bahwa ilmu pengetahuan humaniora sangat melibatkan nilai-nilai, dan ini menjadi titik kuncinya. Dengan demikian, fokus ilmu-ilmu humaniora dibangun di atas kritik pengujian dan evaluasi dari produk manusia di dalam urusan kebudayaan (seni, musik, sastra, filsafat, dan religi), sedangkan fokus ilmu pengetahuan sosial adalah cara manusia hidup bersama, termasuk aktivitas-aktivitas kreatif mereka. Dalam sejarah perkembangan etnomusikologi, terjadi gabungan dua disiplin yaitu muskologi dan etnologi. Musikologi selalu digunakan dalam mendeskripsikan struktur musik
yang
mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri--
sedangkan etnologi memandang musik sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other
15
scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4). Dari kutipan di atas,
menurut Merriam,
para pakar etnomusikologi
membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena itu, selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan, yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya. Seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini.
Pada saat
yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung
untuk mengandaikan
kembali
suatu aura reaksi
terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai
16
dengan
melakukan studi musik
penekanan etnologi yang komponen suara
dalam
konteks etnologisnya.
Di sini,
dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur
musik sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Demikian juga dalam konteks studi peran keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen pada upacara erpangir ku lau di Tanah Karo, penulis merujuk kepada pendekatan struktural dan fungsional. Studi struktural akan melibatkan bagaimana bentuk atau gaya musik yang dihasilkan, struktur organologi dan akustik ketengketeng, dan hal-hal sejenis. Sedangkan pendekatan fungsional akan menitikberatkan pada kajian bagaimana peran musikal dan kegunaan serta fungsi alat musik ini dan musik yang dihasilkan dalam konteks upacara erpangir ku lau. Kedua hal ini amat menarik untuk dikaji secara bersama-sama. Ketertarikan penulis untuk mengkaji keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen yang difungsikan untuk upacara erpangir ku lau didasari oleh dasar-dasar pemikiran saintifik dan realitas sosiobudaya. Di antaranya adalah: (a) bahwa ketengketeng itu sendiri secara etnomusikologis sangat unik yaitu diklasifikasikan kepada alat musik idiokord artinya alat musik ini masuk ke dalam golongan idiofon dan kordofon sekali gus, (b) bahwa keteng-keteng memiliki peran musikal yang penting dalam gendang telu sendalanen yaitu membawakan ritem ostinato baik itu membawakan ritem dasar dan ritem peningkah. Selain itu keteng-keteng juga memiliki suara gung yang menggantikan fungsi gung dan penganak yang terdapat dalam gendang lima sendalanen. (c) Alat musik keteng-keteng juga berfungsi
17
sosiomusikal yaitu untuk hiburan, untuk kontinuitas dan stabilitas budaya Karo, komunikasi, integrasi masyarakat, ketahanan budaya, perlambangan atau simbolik, dan lainnya. (d) Alat musik keteng-keteng juga digunakan sebagai media antara alam nyata dengan alam supernatural, alat musik ini dipandang memiliki kekuatan supernatural penghubung atau komunikasi antara alam nyata dan alam gaib yang merupakan
salah
satu
kepercayaan
tradisional
Karo,
sebagai
ekspresi
kosmologinya. Selain guru sibaso atau pemain musik tradisional Karo (erjabaten), anggota masyarakat sebagai individu, juga dapat melakukan kerja erpangir ku lau dengan alasan tertentu sebagaimana dikemukakan di atas. Fenomena ini merupakan sesuatu yang sangat menarik bagi penulis untuk dijadikan sebagai fokus penelitian.
1.2 Pokok Permasalahan Pokok permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: (a) bagaimana peran alat musik keteng-keteng dalam konteks ensambel gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam upacara erpangir ku lau. Peranan yang dimasudkan dalam tulisan ini adalah peranan musikal dan lebih jauh peranan sosiomusikalnya. Selanjutnya pokok permasalahan utama ini akan dibantu oleh beberapa pokok permasalahan lainnya untuk memperkuat analisis secara etnomusikologis, sesuai dengan judul yang telah penulis tentukan. Adapun pokokpokok masalah lainnya untuk mendukung pokok permasalahan di atas
adalah
mencakup: (a.1) bagaimana eksistensi pelaksanaan upacara erpangir ku lau pada etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. (a.2)
18
Bagaimana peranan ensambel gendang telu sendalanen dalam siklus adat-istiadat etnik Karo. (a.3) Bagaimana struktur organologis dan teknik bermain keteng-keteng sebagai salah satu alat musik dalam ensambel gendang telu sendalanen.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah seperti yang diuraikan berikut ini. 1. Untuk mendeskripsikan eksistensi pelaksanaan upacara erpangir ku lau pada etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. 2. Untuk mendeskripsikan
peranan ensambel gendang telu sendalanen dalam
siklus adat-istiadat etnik Karo. 3. Untuk menganalisis peran alat musik keteng-keteng dalam konteks ensambel gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam upacara erpangir ku lau. 4. Untuk mendeskripsikan struktur organologi dan teknik bermain keteng-keteng sebagai salah satu alat musik dalam ensambel gendang telu sendalanen.
1.4 Tinjauan Pustaka Untuk menghindari pengulangan kajian yang sama, perlu dilakukan serangkaian studi terdahulu yang berada dalam lingkup yang sama tapi pada fokus yang berbeda yakni mengkaji berbagai literatur yang membahas tentang alat musik keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen serta aktivitas adat etnik Karo terutama yang menyangkut kegiatan kerja erpangir ku lau. Tulisan-tulisan
19
tentang topik ini, sebahagian besar adalah berupa skripsi di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra (kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam bentuk skripsi sarjana etnomusikologi antara lain adalah sebagai berikut. (1) Kumalo Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1985) mengkaji tentang gendang telu sedalanen dalam konteks kebudayaan Karo. Dalam skripsi ini Kumalo Tarigan mengkaji ensambel gendang telu sendalanen Karo secara etnomusikologis dengan pendekatan fungsional dan struktural. (2) Perikuten Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1986) mengkaji tentang gendang lima sedalanen sebagai musik Tradisi Karo. Agak berbeda dengan Kumalo Tarigan, penulis skripsi ini memfokuskan perhatian pada ensambel gendang lima sendalanen yang jumlah alat musiknya lebih besar, namun dengan akar sejarah yang sama. Kedua ensambel tersebut memiliki hubungan fungsional dan struktural. Perikuten melihat ensambel gendang lima sendalanen juga melalui pendekatan fungsional dan struktural. (3) Rini Rumiyanti (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1988) mengkaji tentang studi deskripsi pemakaian alat musik surdam bagi guru dalam pengobatan tradisional Karo. Skripsi ini selain melakukan pendekatan struktural juga mengkaji sistem kosmologi alam di dalam kebudayaan masyarakat Karo. (4) Jamal Karo-Karo (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1991) mengkaji tentang studi deskriptif keteng-keteng sebagai instrumen tradisional Karo. Penulis skripsi ini melakukan deskripsi organologis dan akustik terhadap alat musik ketengketeng Karo dengan pendekatan etnomusikologis, yaitu menggunakan teori
20
klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel. Pendekatan organologis yang digunakan adalah struktural dan fungsional alat-alat musik. (5) Fariana (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1992) melakukan penelitian berupa deskripsi peranan gendang kulcapi dalam upacara erpangir ku lau di Berastagi. Dalam skripsi ini, Fariana mendeskripsikan upacara erpangir ku lau yang terjadi di Berastagi pada tahun 1991. Selanjutnya ia mentranskripsi beberapa lagu dalam gendang kulcapi yang digunakan dalam upacara tersebut. Sama dengan para seniornya, Fariana melakukan pendekatan fungsionalisme dan struktural. (6) Sinar (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1992) mengkaji tentang studi deskriptif musik vokal Gendang Keramat dalam upacara erpangir ku lau. Sinar melakukan pendekatan deskriptif terhadap upacara erpangir ku lau, dan menganalisis salah satu musik vokal yang disajikan oleh dukun di Tanah Karo yang disebut dengan Gendang Keramat. (7) Julianus Limbeng (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1994) mengkaji tentang analisis tekstual dan musikal erpola pada masyarakat Karo. Dalam skripsi ini Julianus Limbeng mengkaji makna syair yang dinyanyikan oleh penyadap enau untuk diambil niranya dalam kegiatan erpola di Karo. Teksnya penuh dengan makna-makna simbolis. Selain itu juga Julianus Limbeng mentranskripsi nyanyian erpola dan menganalisisnya dengan teori bobot tangga nada (weighted scale). (8) Ivy Irawaty Daulay (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1995) mengkaji tentang studi organologis surdam rumaris pada masyarakat Karo di Berastagi.
Dalam skripsi ini Ivy Irawaty Daulay banyak melakukan deskripsi
organologi dan akustik terhadap salah satu alat musik tradisional Karo yang disebut
21
dengan surdam rumaris. Bagaimana pun skripsi ini menjadi bahan rujukan bagi penulis untuk melakukan kajian organologis terhadap musik keteng-keteng Karo. (9) Perdata Peranginangin (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1999) melakukan
kajian organologis terhadap alat musik
gung dan penganak pada
masyarakat Karo, dengan studi kasus teknik pembuatan gung dan penganak oleh Lebut Sembiring.
Skripsi ini amatlah menarik, karena biasanya mahasiswa
etnomuskologi USU lebih senang mengkaji aspek musikal dan organologis alat-alat musik pembawa melodis dan ritmis. Sedangkan dalam skripsi ini, penulisnya melakukan kajian organologis terhadap alat musik yang membawa fungtuasi ritmik. Dari skripsi ini diketahui pula bahwa orang Karo masih memiliki pandai besi pembuat gung dan penganak yaitu Bapak Lebut Sembiring. (10) Popo Marince (Etnomusikologi Fak. Sastra USU,1999) tentang studi deskripsi dan musikologis upacara ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup pada masyarakat Karo di Desa Kutambelin Kecamatan Simpang Empat Karo. Skripsi ini sebagai mana yang termaktub pada judulnya menitikberatkan kepada kajian ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup dengan pendekatan teori upacara dan fungsional. (11) Bahtiar Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1999) tentang kajian tekstual dan musikal mangmang dalam upacara perumah begu di Desa Tanah Lapang, Kecamatan Bandar, Kabupaten Langkat. Skripsi ini juga memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana salah satu upacara tradisi Karo yang disebut perumah begu (yaitu berkaitan dengan alam gaib). (12) Roy Jimny N. Sebayang (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,2004) tentang kendang keyboard terhadap perilaku sosial masyarakat Karo dalam upacara
22
adat perk (erdemu bayu) di Medan. Skripsi ini berisikan data etnografis tentang bagaimana perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Karo dari alam pedesaan ke alam perkotaan, dengan memfokuskan perhatian pada gendang keyboard Karo dalam salah satu upacara adatnya yaitu erdemu bayu. (13) Roberta Sinurat (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2004) tentang studi deskriptif adu perkolong-kolong pada upacara gendang guro-guro aron di Jambur Namaken and Son Medan. Skripsi ini berbentuk deskripsi perlombaan antara penyanyi tradisi Karo yang disebut perkolong-kolong dan upacara gendang guroguro aron. Deskripsinya detil dan menarik untuk dibaca dan menambah wawasan pembaca. (14) Saidul Irfan Hutabarat (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010) tentang
peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo.
Skripsi ini memfokuskan perhatian pada biografi musikal salah seorang pemusik kenamaan Tanah Karo yaitu Jasa Tarigan. Yang paling menonjol adalah peranan Jasa Tarigan sebagai tokoh perubahan musik Karo dari masa tradisi ke masa transisi. Jasa Tarigan jugalah yang awal membawa alat musik keyboard ke dalam kehidupan musik Karo. (15) Tri Syahputra Sitepu (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010) melakukan penelitian tentang studi deskriptif penggabungan alat musik kibod dengan gendang lima sedalanen pada upacara perayaan hari ulang tahun Karo Mergana Ras Anak Beruna di Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Dalam skripsi ini Tri Syahputra Sitepu mendeskripsikan bagaimana proses penggabungan atau akulturasi antara alat musik kibod yang merupakan ikon musik
23
modern dunia dengan ensambel tradisional Karo yaitu gendang lima sedalanen. Menurutnya terjadi adaptasi yang saling melengkapi dalam proses akulturasu tersebut. Di sisi lain, masuknya kibod adalah sebagai rangka “pemodernan” musik Karo yang tidak anti kepada perubahan zaman. (16) Agus Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2011) melakukan penelitian yang ditulis ke dalam bentuk skripsi yaitu tentang penggunaan dan fungsi gendang keyboard dalam gendang guro-guro aron di Desa Suka Dame. Skripsi ini menurut penulis lebih menekankan kepada pendekatan fungsionalisme. Agus Tarigan menguraikan sejauh apa guna dan fungsi gendang keyboard dalam kebudayaan masyarakat Karo khususnya di Desa Suka Dame. (17) Perikuten Tarigan (Tesis Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, 2004) membahas tentang perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo. Tesis ini berisi kajian terhadap peubahan dan kontinuitas alat musik tradisional Karo dari masa ke masa. Perikuten Tarigan melihat perubahan ini dari sisi dalam dan luar budaya Karo yang mempengaruhinya. Selain itu, Perikuten Tarigan juga melihat perubahan musik yang terjadi juga selaras dengan perubahan konsep-konsep budaya dalam masyarakat Karo. Dari beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan kajian
musik
tradisional Karo sebagaimana dikemukakan di atas, selanjutnya akan penulis gunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini dalam upaya untuk lebih memperkuat landasan teoretis dan berbagi pengalaman dengan para penulis dan peneliti lain. Kendati memiliki keterkaitan, namun fokus kajian dalam penelitian ini jelas berbeda
24
dengan kajian yang terdapat pada sejumlah hasil penelitian yang dijadikan sebagai bahan literatur. Adapun fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah analisis peran (musikal dan sosiomusikal) keteng-keteng dalam konteks gendang telu sendalanen sebagai media dalam upacara erpangir ku lau pada etnik Karo di desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Untuk mendukung penelitian ini, selain menggunakan tulisan-tulisan terdahulu seperti terurai di atas, penulis juga menggunakan bahan-bahan literatur lainnya seperti buku, surat kabar, artikel tentang kebudayaan, situs web, blog, dan lain-lainnya seperti yang dapat dilihat pada bibliografi tesis ini. Tujuannya adalah untuk memberikan wawasan yang luas dan mendalam sesuai dengan standar tesis magister penciptaan dan pengkajian seni di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
1.5
Konsep dan Teori yang Digunakan Untuk memperjerlas makna-makna terminologi yang digunakan dan
berhubungan dengan topik tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsep-konsep dan teori. Untuk itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep dan teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pendistorsian makna. Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588). Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177).
25
Dari dua pengertian di atas, maka ada perbedaan mendasar antara konsep dan teori. Konsep baru sampai ke tahap pengertian yang diabstrakan peristiwa sesungguhnya. Kalau penulis boleh memberi contoh, dalam kebudayaan Karo terdapat konsep tentang pembagian wilayah budaya yaitu Karo Gugung dan Karo Jahe. Masyarakat Karo, berdasarkan etnosains mereka, membagi wilayah budayanya ke dalam dua kategori: (a) Karo Gugung atau orang-orang Karo yang berada di wilayah pegunungan, terutama di kawasan Kabupaten Karo, Langkat, dan Deliserdang; (b) Karo Jahe, yaitu mereka yang berada di kawasan pesisir terutama di wilayah Kabupaten Deliserdang, Serdang Bedagai, dan Langkat. Masyarakat Karo Gugung dianggap lebih murni menerapkan kebudayaan Karo, sedangkan Karo Jahe lebih banyak mengalami akulturasi dengan kebudayaan sekitarnya terutama dengan etnik Melayu. Misalnya Guru Patimpus yang mendirikan Medan. Sementara di sisi lain, teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Jadi teori sifatnya lebih ke arah telah terbukti secara saintifik dan pendapat keilmuan itu digunakan untuk memecahkan permasalah atau fenomena alam maupun sosiobudaya. Contoh teori dalam ilmu pengetahuan adalah teori difusi, akulturasi, evolusi, gravitasi, relativisme, bobot tangga nada (weighted scale), kantometrik, dan lain-lain. Kedua hal tersebut (konsep dan teori) akan diaplikasikan dalam penelitian dalam bentuk analisis peran keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam konteks upcara erpangir ku lau di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Beleng, Kabupaten Karo.
26
1.5.1 Konsep Adapun konsep yang perlu diuraikan dalam tesis ini adalah: (a) analisis, (b) peran, (c) keteng-keteng, (d) ensambel gendang telu sendalanen, (e) media, dan (f) upacara erpangir ku lau. (a) Konsep tentang analisis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah: (1) penyelidikan terhadap suatu peristiwa karangan, perbuatan dan lain sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan lain sebagainya), (2) penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, (3) penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat-zat bagiannya dan sebagainya, (4) penjabaran sesuadah dikaji sebaik-baiknya, (5) proses pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya, (6) penguaraian karya sastra atas unsurunsurnya untuk memahami pertalian antara unsur-unsur tersebut, (7) proses akal yang memecahkan masalah ke dalam bagian-bagiannya menurut metode yang konsisten
untuk
mencapai
pengertian
tentang
prinsip-prinsip
dasarnya
(Poerwadarminta, 1990:32). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan analisis adalah uraian terhadap suatu objek, karangan atau karya cipta (seperti karya musik, sastra, dan sebagainya) atas beberapa bagian, dan penelaahan setiap bagian untuk mencari hubungan di antara bagian-bagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang tepat dalam memahami arti dari keseluruhannya. Dalam kaitan ini, dalam
27
dimensi dunia musik, konsep tentang analisis itu menurut Siegmeister (1985:368) adalah sebagai berikut. Together with perceptive listening, musical analysis provides insight intro the structure of music. By focusing on subtleties of construction, on the fine details of composer’s craftsmanship, and above all on interrelationships of the constituent elements, analysis reveals aspects of a composition not apparent to the casual listener. Distinguishing the individual roles of melody, harmony, and rhythm, it reveals their organic interplay in the creation of musical structure. Analysis of short pieces can proceed in four stages : (1) an over-all view of the form, (2) a study of melodic and rhythmic patterns, (3) a study of harmonic structures, and (4) a synthesis of all elements forming the whole.
Menurut Seigmeister seperti dikutip di atas, cara yang mudah untuk difahami dalam analisis musik adalah menyediakan wawasan mengenai struktur musik dengan berfokus pada konstruksi yang paling kecil, pada penyelesaian yang dikuasai oleh seorang komponis. Juga di atas hubungan timbal balik pada elemenelemennya, menganalisis aspek seni yang terdapat pada komposisi yang tidak kelihatan bagi pendengar awam, yang menitikberatkan pada peranan melodi, harmoni,dan ritem adalah hal yang saling mempengaruhi dalam sebuah struktur musik. Analisis dalam bagian kecil dapat memproses 4 bagian yang mencakup: (1) garis besar bentuk lagu, (2) pelajaran pada pola melodi dan ritem, (3) pelajaran tentang struktur harmoni, dan (4) perpaduan dari bentuk keseluruhan elemen. Konsep ini memberi petunjuk bahwa dalam menganalisis sebuah komposisi musik dibutuhkan wawasan yang mendalam tentang struktur musik hingga pada bagian-bagian terkecil dari sebuah komposisi dan mampu mengungkapkan berbagai hal tentang efek tertentu dari perpaduan antara melodi, harmoni, dan ritem secara menyeluruh, setelah menganalisis bagian demi bagian dari sebuah komposisi musik. 28
Dalam kaitannya dengan pendapat ini, Alan P Meriam dalam Siagian (1998:45) mengatakan sebagai berikut. Salah satu sumber yang paling jelas untuk tata tingkah laku manusia dalam satu kebudayaan yang berkaitan dengan musik ialah melalui teks nyanyian. Teknis penggunaan bahasa dalam teks nyanyian adalah melalui pendekatan dengan teknik eufonis, yaitu teknik yang bertujuan untuk mencapai efek musikal dan memberikan kesan menyenangkan melalui penambahan atau pengurangan sillabel pada sebuah kata.
Berdasarkan pendapat tersebut, dalam konteks analisis musik yang menggunakan teks atau syair lagu, selain menganalisis struktur sebuah komposisi musik hingga pada bagian-bagian terkecil, keberadaan teks atau sair lagu dapat dijadikan sebagai salah satu indikator dalam menganalisis komposisi musik. Dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini, maka kerja analisis akan difokuskan kepada dua hal. (a) Yang pertama adalah analisis terhadap peran musikal keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen. Pada proses ini, yang penulis analisis adalah bagaimana peran keteng-keteng dalam musik yang mencakup, perannya sebagai pembawa ritem konstan oleh keteng-keteng singindungi dan pembawa ritem variabel yang dibawa oleh keteng-keteng singanaki. Lebih jauh penulis akan melihat meter, birama, tanda birama, arsis, tesis, siklus, kecepatan (tempo), dan sejenisnya. Kemudian juga akan dilihat bagaimana peran musikal alat musik balobat yang membawakan melodi berjalan seiring dengan keteng-keteng. Ketiga alat musik ini membentuk jalinan ritem dan melodi yang harmoni. Untuk itu perlu juga dianalisis lagu yang dibawakan oleh belobat, yang kemudian dianalisis mencakup unsur-unsurnya seperti: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi
29
interval, formula melodi, kontur, dan sejenisnya dengan menggunakan teori weighted scale. Selanjutnya analisis yang (b) kedua mencakup peran sosiobudaya yang mencakup guna dan fungsi keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen dalam konteks upacara erpangir kulau dalam kebudayaan masyarakat Karo, khususnya di daerah penelitian. Dalam melakukan analisis yang kedua ini penulis menggunakan teori fungsionalisme. Analisis guna dan fungsi sosiobudaya ketengketeng ini melibatkan interpretasi sosial dan budaya terhadap fenomena yang terjadi di dalam penelitian. (b) Selanjutnya dijelaskan konsep peran. Pengertian antara fungsi dan peran dapat dibedakan. Fungsi menunjuk pada kegunaan, sedangkan peran menunjuk pada bagian yang dimainkan dalam sebuah sistem. Kendati memiliki perbedaan, namun antara fungsi dan peran merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri atau sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin,1989:439). Peran merupakan fungsi dari sebuah variabel dalam satu kesatuan sistem yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya dalam sebuah sistem. Misalnya, dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau, cewir metua, atau
30
upacara lainnya pada etnik Karo, ensambel musik lima sendalanen atau telu sendalanen sebagai perangkat alat musik tradisional, wajib disertakan sebagai salah satu media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam hal ini ensambel musik tradisional merupakan salah satu indikator yang memiliki peranan kepada indikator lainnya dalam pelaksanaan upacara religi atau upacara adat tersebut. Bunyi ragam instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang dimainkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi dan peran. Pengertian antara fungsi dan peran dapat dibedakan. Fungsi menunjuk pada kegunaan, sedangkan peran menunjuk pada bagian yang dimainkan dalam sebuah sistem.
Kendati memiliki perbedaan, namun antara fungsi dan peran
merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri atau sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin,1989:439). Peran merupakan fungsi dari sebuah variabel dalam satu kesatuan sistem yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya dalam sebuah sistem. Misalnya, dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau, cewir metua, atau upacara lainnya pada etnik Karo, ensambel musik lima sendalanen atau telu sendalanen sebagai perangkat alat musik tradisional, wajib disertakan sebagai salah satu media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam hal ini ensambel musik
31
tradisional merupakan salah satu indikator yang memiliki peranan kepada indikator lainnya dalam pelaksanaan upacara religi atau upacara adat tersebut. Bunyi ragam instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang dimainkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi dan peran. (c) Adapun yang dimaksud dengan keteng-keteng dalam tulisan ini adalah alat musik tradisional Karo yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok alat musik idikord yang terbuat dari bambu. Secara musikal alat musik ini berfungsi membawa ritem variatif dan konstan. Bunyi keteng-keteng dihasilkan dari dua buah “senar” yang diambil dari kulit bambu itu sendiri (bamboo idiochord). Pada ruas bambu tersebut dibuat satu lobang resonator dan tepat di atasnya ditempatkan sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar keteng-keteng. Secara taksonomis tradisional, bilahan bambu ini disebut gung, karena peran musikal dan warna bunyinya menyerupai gung dalam gendang lima sendalanen. Bunyi musik yang dihasilkan keteng-keteng merupakan gabungan dari alat-alat musik pengiring gendang lima sendalanen (kecuali sarune) karena pola permainan keteng-keteng menghasilkan bunyi pola ritem: gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung yang dimainkan oleh hanya seorang atau dua orang pemain keteng-keteng. (d) Selanjutnya dijelaskan mengenai konsep ensambel gendang telu sendalanen. Dalam kebudayaan etnik Karo, terdapat sebuah istilah yang lazim digunakan yaitu gendang Karo.
Istilah ini maknanya adalah merujuk kepada
perangkat ensambel musik yang dibutuhkan sebagai musik pengiring atau media dalam pelaksanaan berbagai aktivitas budaya Karo; Secara umum, etnik Karo selalu
32
menyebut hal yang terkait dengan musik dengan kata gendang. Dalam realitas sosial dan budaya pada masyarakat Karo, istilah gendang ini memiliki makna yang jamak, yaitu lebih dari satu, sesuai dengan konteks apa ia digunakan. Menurut pengematan penulis setidaknya ada lima pengertian gendang tersebut, yaitu: (1) gendang sebagai nama atau judul lagu, contohnya Gendang Simalungun Rayat, Gendang Persentabin, Gendang Mulih-mulih, dan lainnya: (2) gendang sebagai ensambel musik, yang biasanya disebut dengan gendang lima sendalanen, gendang telu sendalanen, dan gendang kulcapi, ; (3) gendang sebagai instrumen atau alat musik, yaitu gendang tradisional Karo yang berbentuk konis ganda, yang dipukul dengan dua stik oleh pemainnya, terdiri dari gendang singindungi dan singanaki, juga gendang binge di Karo Jahe; (4) gendang sebagai repertoar, dan (5) gendang sebagai nama upacara. Dalam konteks penelitian ini, gendang yang dimaksud dalam upacara erpangir ku lau adalah gendang sebagai ensambel musik, yang terdiri dari tiga alat music gabungan. Ensambel musik yang digunakan dalam erpangir ku lau adalah gendang telu sedalanen. yaitu sering juga disebut dengan gendang kulcapi. Ensambel musik ini dimainkan oleh tiga orang pemain yang diberi gelar si erjabaten. Ensambel ini terdiri dari tiga buah instrumen musik, yaitu (1) kulcapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi, yaitu alat musik lute petik tradisional Karo dengan senar dua buah yang dilaras dengan menggunakan interval kuin; (2) keteng-keteng (idiokordofon), yaitu alat musik bersenar yang dipukul. Alat musik ini terbuat dari satu ruas bambu betung, dan dari badan bambu itu sendiri dibuat senar dua buah sebagai pengganti suara penganak (small gong) dan gung (gong); (3)
33
mangkuk mbentar, yaitu mangkok putih yang dipukul sebagai pembawa tempo utama. (e) Selanjutnya dijelaskan tentang konsep media. Istilah ini lazim digunakan dalam ilmu komunikasi. Yang dimaksud dengan media menurut George N. Gordon dalam Encyclopaedia Britanica (2007), adalah sarana transmisi komunikasi antara manusia dengan manusia, dengan makhluk, dengan alam, atau dengan Tuhan. Komunikasi adalah the exchange of meanings between individuals through a common system of symbols, artinya adalah pertukaran makna-makna antara individu melalui sebuah sistem umum yang berbentuk simbol-simbol. Dalam Wikipedia Indonesia (2007) pula dikonsepkan bahwa komunikasi ialah sejenis proses pemindahan informasi melalui sistem simbol yang sama. Komunikasi juga salah satu disiplin akademik. Definisi komunikasi ialah satu proses perpindahan informasi, perasaan, ide, dan fikiran seseorang kepada individu atau sekumpulan individu yang lain. Pada umumnnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan media kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada media bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, maka komunikasi masih bisa dilakukan dengan menggunakan media gerak-gerik badan atau menunjukkan sikap tertentu. Misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, dan mengangkat bahu. Cara menggunakan media seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa bukan lisan atau bahasa isyarat. Manusia berkomunikasi untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman. Bentuk biasa media komunikasi manusia ialah percakapan, bahasa isyarat, penulisan, sikap, dan broadcasting (aktivitas dalam dunia radio). Komunikasi bisa
34
berbentuk interaktif, transaktif, disengaja, atau tidak disengaja. Ia juga boleh jadi lisan atau tanpa lisan. Melalui media komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut. Proses komunikasi dan penggunaan media secara ringkas adalah sebagai berikut. (a) Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. (b) Pesan yang disampaikan itu
boleh berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun melalui
simbol-simbol yang
boleh dimengerti kedua pihak. (c) Pesan (message) itu
disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalui telefon, surat, email,6 atau media lainnya.
(d) Komunikan (receiver) menerima pesan yang
disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti kedua belah pihak. (e) Komunikan memberikan umpan balik (feedback)
6
Setelah ditemukannya teknologi komputer dan internet, maka manusia di dunia sudah mulai mengirim surat sesama mereka melalui dunia maya ini. Pertama, seseorang membuka e-mail (electronic mail atau surat elektronik) dengan cara-cara tertentu, seperti mengetik nama dan kata kunci (password). Sesudah itu, ia dapat menulis surat elektronik dan mengirimkan kepada teman e-mailnya di seluruh dunia. Beberapa perusahaan internet dunia menyediakan ruang untuk pengguna e-mail, baik yang bebas biaya maupun yang meminta biaya. Di antara perusahaan itu adalah yahoo, msn, gmail, atau juga kini bermunculan berbagai instansi yang bisa membuat e-mail sendiri, misalnya Universitas Sumatera Utara yang memberikan ruang kepada segenap warganya untuk membuat e-mail, dengan kode ujung @usu.ac.id. Perkembangan di dunia maya ini, telah pula menyediakan perangkat-perangkat yang bisa membuat website atau blog web. Sehingga dengan mudah setiap pengguna internet bisa melihat situs-situs web di seluruh dunia, dengan menggunakan mesin pencari website seperti google, blink, dan lain-lain.
35
atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim. Dalam penelitian ini, yang dimaksud media adalah sarana untuk komunikasi antara manusia dengan alam supernatural, dalam bentuk alat musik yang tergabung ke dalam gendang telu sendalanen seperti sudah diuraikan di atas. Media ini menjadi pendukung penting berjalannya upacara erpangir ku lau. Tanpa adanya alat-alat musik ini biasanya tidak akan terjadi komunikasi antara pelaku upacara dengan dunia gaib, berdasar pada kebudayaan Karo. Selain alat musik, maka media yang menyertainya adalah suara-suara yang dihasilkan oleh alat-alat musik itu sendiri, baik dalam bentuk ritem maupun melodi. Keduanya adalah media pendukung komunikasi antara peserta upacara dengan dunia alam gaib. (f) Selanjutnya dijelaskan secara umum tentang konsep upacara erpangir ku lau. Erpangir ku lau merupakan salah satu bagian dari sistem religi, pada etnik Karo yaitu kegiatan erlangir atau keramas ke sungai. Pada zaman dahulu kala, orang Karo melakukan pesta erpangir ku lau (berpangir) untuk hajatan, antara lain: (1) Sukut yaitu berencana agar jumpa rejeki (keberuntungan), (2) karena baru terlepas dari mara bahaya, misalnya ada yang baru sembuh dari penyakit tertentu, (3) mengukuhkan prestise sosial, yaitu mengakui kedudukan seseorang di tengah-tengah keluarga (sangkep geluh), (4) agar orang lain melihat keluarganya banyak (Ginting, 1999:38). Untuk maksud dari tujuan-tujuan tersebut, kemudian ditanyalah guru Sibaso si meteh wari telu puluh (yaitu, guru yang tahu membaca hari baik dan buruk). Bila sudah didapat hari yang baik, semua keluarga diundang karena pesta erpangir ku lau adalah termasuk pesta besar di masyarakat masyarakat Karo. Jadi
36
erpangir kulau adalah suatu upacara religi berdasarkan kepercayaan tradisional yang masih dilakukan di Karo yaitu oleh penganut Pemena, dimana sesorang/keluarga tertentu melakukan upacara berlangir dengan atau tanpa bantuan dari guru, dengan maksud tertentu. (Selanjutnya lebih detil lihat pada deskripsi upacara erpangir ku lau di Bab III tesis ini)
1.5.2 Teori Landasan teori adalah suatu upaya yang dilakukan peneliti untuk menerangkan, menggambarkan, dan menganalisis suatu fenomena tertentu atau suatu pemikiran untuk menerangkan bagaimana suatu peristiwa terjadi. Teori merupakan seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang menerangkan fenomena tertentu (Lauer, 2001:35). Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini yaitu, analisis peran keteng-keteng dalam konteks ansambel gendang telu sendalanen sebagai media dalam upacara erpangir ku lau, dengan demikian untuk menguraikan topik ini dibutuhkan landasan teori yang tepat, sesuai dengan fenomena yang diamati. Beberapa teori yang digunakan dalam kerangka penelitian ini diuraikan sebagai berikut.
1.5.2.1 Teori Fungsionalisme Untuk menganalisis peran keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen dalam konteks upacara erpangir ku lau digunakan teori fungsionalisme. Teori ini akan mengurai peran musical, dan yang lebih jauh lagi guna dan fungsi sosiobudayanya dalam kebudayaan Karo.
37
Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat. Fungsionalisme struktural atau lebih populer dengan struktural fungsional merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau “analisis sistem” pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep. Namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur. Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif, fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu. Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain--termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai politik. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah kondisi sosial
38
tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan oleh partai politik. Fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang diinginkan (Michael J. Jucius dalam Soesanto, 1974:57). Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih lengkap, tidak hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga memperhatikan terhadap nilai (value) dan menghargai nilai serta memeliharanya dan meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud oleh Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan aktivitas dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam melaksanakan fungsinya tersebut. Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya manusia. Hal ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan usaha manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut S.P. Varma menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat
39
dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk ke dalam supra struktur politik. Dengan demikian pengertian antara fungsi dan peran dapat dibedakan. Fungsi menunjuk pada kegunaan, sedangkan peran menunjuk pada bagian yang dimainkan dalam sebuah sistem. Kendati memiliki perbedaan, namun antara fungsi dan peran merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri/sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin (1989:439). Peranan merupakan fungsi dari sebuah variabel dalam satu kesatuan sistem yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya dalam sebuah sistem. Misalnya, jika dalam pelaksanaan pelaksanaan upacara keagamaan, dalam hal ini pada upacara tertentu dalam etnik Karo misalnya pada upacara erpangir ku lau, maka gendang telu sendalanen atau gendang lima sendalanen
sebagai
perangkat alat musik tradisional etnik Karo wajib disertakan sebagai salah satu media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam hal ini ensambel gendang telu sendalanen atau gendang lima sendalanen merupakan salah satu indikator yang memiliki peranan kepada indikator lainnya dalam pelaksanaan upacara erpangir ku
40
lau,. Bunyi dari ragam instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang dimainkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi dan peran. Mengacu pada pendapat tersebut, secara rinci dalam sisi pandang musikoantropologis, bahwa fungsi musik dalam sebuah masyarakat berkenaan dengan berbagai kebutuhan. Di antaranya: (a) sebagai wahana ekspresi emosional, (b) sebagai kenikmatan estetik, (c) sebagai hiburan pada berbagai tingkat masyarakat (d) sebagai fungsi komunikasi, (e) sebagai referensi simbolis (f) sebagai alat respon fisikal, (g) sebagai penguat konformitas norma sosial, (h) sebagai kontribusi untuk kontinuitas dan stabilitas kultural, dan (i) sebagai penopang integrasi sosial. Keragaman fungsi di atas, selain akan berkaitan dengan problematika teknik artistik musik yang berupa elemen melodi, ritem, timber, harmoni, tekstur, juga akan dihadapkan lagi pada pluralitas etnik dari berbagai aspek budaya lainnya. Sudah tentu akan terimbas pada tekstual dan hal-hal linguistik. Sehingga dapat kita telusuri, betapa rumitnya kajian etnomusikologis dan interdisiplin musik yang keseluruhannya bermuara pada upaya melihat esensi fenomena musikal dan kaitannya dengan dinamika kehidupan manusia, baik secara personal maupun sebagai elemen komunal sebuah masyarakat (Merriam dalam Pasaribu 2004). Dalam konteks fungsi musik sebagai kenikmatan estetik adalah bagaimana etnik Karo menempatkan dirinya ketika berada dalam suatu suasana seremonial atau pada upacara adat yang menyertakan musik tradisional. Menari sebagai bagian dari ritual adat atau keagamaan tidak hanya dipandang sebagai suatu aturan atau kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun, namun dalam pelaksanaan aktivitas
41
menari harus menggambarkan nilai-nilai keindahan (estetika). Nilai-nilai estetika tersebut tidak hanya dapat dirasakan oleh kelompok yang sedang melaksanakan tarian, tetapi juga harus dapat dirasakan oleh partisipan lainnya yang pada saat itu tidak turut menari. Sikap serius dalam pelaksanaan tari sangat berhubungan dengan penghayatan estetis si penari terhadap ensambel musik tradisional yang mengiringi tarian tersebut. Hubungan komposisi musik yang dibawakan oleh ragam alat musik dalam mengiringi tarian dan gerakan-gerakan tari yang dilakukan akan menampilkan nilai-nilai estetik baik bagi penari, maupun bagi partisipan lainnya dalam pelaksanan ritual adat. Fungsi musik musik tradisional sebagai komunikasi dapat dilihat ketika ensambel musik tradisional mulai dimainkan dalam sebuah upacara baik yang bersifat religi, maupun pada upacata adat. Dalam hal ini seluruh partisipan (pendukung upacara) dapat mengetahui bahwa upacara adat telah dimulai. Dengan demikian fungsi musik tradisional sebagai alat komunikasi jelas dipahami oleh seluruh pendukung upacara. Fungsi musik tradisional sebagai pengintegrasian masyarakat adalah bahwa musik berperan sebagai wadah atau sarana untuk berkumpul bagi masyarakatnya. Dalam hal ini pihak sukut dengan seluruh unsur kekerabatannya untuk berkumpul, serta berinteraksi, dan semakin lama terjadi dalam upacara adat. Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga
42
bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160). Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944). Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu
43
kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metodemetode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu: 1.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
3.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
44
Contohnya unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan
sosial
yang
manjamin
kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, bahwa semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat. Seperti Malinowski, Arthur Reginald
Radcliffe-Brown (1881-1955),
seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tetapi berlainan dengan Malinowski, Radcliffe-Brown (Ihromi, 2006), mengatakan, bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada. Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya membuat deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail, dan agak banyak membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan mitologi. Dalam mendekripsi etnografi The Andaman Islander, itu merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional, di mana berbagai upacara agama dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, dan di mana pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu komunitas desa Andaman yang kecil, menjadi tampak jelas.
45
Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya, dan dapat dirumuskan mengenai upacara (Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut: 1.
Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berprilaku sosial dengan kebutuhan masyarakat;
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut; 3. Sentimen itu dalam pikiran individu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat; 4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu; 5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (1922:233-234). Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada soladaritas sosial dalam masyarakat itu, dan ia merumuskan bahwa: “… the social function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it constituted) depends for its existence.” Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowski yaitu teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsional struktural,
46
ia mengatakan, “… bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahakan struktur sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.” Jadi, menurut penulis, kedua teori fungsional ini memfokuskan fungsi-fungsi sosial budaya pada apa penyebabnya. Bagi Malinowski penyebab fungsi itu adalah pada kebutuhan dasar manusia sebagai individu-individu. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi itu muncul untuk memenuhi sistem sosial yang telah dibangun berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam konteks penelitian ini keteng-keteng dalam kebudayaan masyarakat Karo jika dianalisis dari teori fungsionalnya Malinowski bahwa setiap individu orang Karo perlu mengekspresikan perasaan keindahannya melalui seni gendang. Jadi faktor individulah yang paling dominan menurut teori fungsionalnya Malinowski ini. Kalau menurut teori fungsionalismenya Radcliffe-Brown maka semua aktivitas budaya yang melibatkan penggunaan keteng-keteng adalah karena memenuhi sistem-sistem sosial yang dikendalikan secara bersama oleh masyarakat Karo. Jadi menurut teori fungsionalisme Radcliffe-Brown, keteng-keteng timbul karena kebutuhan masyarakat secara bersama, bukan karena individu.
1.5.3 Teori Ritual Untuk mendeskripsikan jalannya upacara erpangir ku lau di tempat penelitian, penulis menggunkan teori ritual. Ritual merupakan salah satu ciri agama yang berpadu dengan
doa, nyanyian, tari-tarian, saji-sajian, dan kurban yang
47
diusahakan oleh manusia untuk memanipulasi mahluk dan dan kekuatan supernatural untuk kepentingan sendiri. Makhluk dan kekuatan supernatural tersebut dapat terdiri atas dewa-dewa dan dewi-dewi, arwah leluhur, dan roh-roh lain. Praktek ritual yang paling mempesona adalah penerapan kepercayaan bahwa kekuatan supernatural dapat dipaksa untuk aktif dengan cara tertentu, baik untuk tujuan yang baik maupun yang jahat, dengan menggunakan rumusan-rumusan tertentu Banyak masyarakat yang mengenal ritual magi untuk menjamin panen yang baik, untuk mendapatkan binatang buruan, kesuburan binatang piaraan, dan untuk menghindarkan atau menyembuhkan penyakit pada manusia (Haviland, 1985:210). Untuk memahami makna ritual dekurang-kurangnya memahami dua makna religi. Pertama, religi adalah agama yang berdasarkan wahyu Tuhan karena itu, religi tidak bisa dijangkau oleh daya pikir manusia. Religi dalam pengertian kedua tersebut telah menarik perhatian peneliti budaya, karena di dalamnya sering terdapat muatan budaya yang unik. Karena itu, peneliti dapat menerima pemahaman Ball (1988:35) tentang religi, ada dua paham: pertama religi sebagai bagian hidup kesusilaan manusia dan memiliki nilai susila yang tinggi. Gagasan termaksud telah diuraikan secara filosofi oleh Kant. Kedua, religi sebagai tergolong dalam alam hidup manusia. Religi kedua ini menghendaki tiga kebenaran utama, yaitu: percaya bahwa Tuhan ada, percaya kepada hukum kesusilaan alamiah, dan pada roh yang abadi. Dari dua konsep religi semacam ini, pada kenyataannya pengertian kedua yang menarik perhatian peneliti budaya. Apalagi, kalau religi kedua tersebut telah bercampuraduk (sinkretis) dengan kepercayaan, akan semakin menarik perhatian. Dalam pengertian religi demikian, terkait pula istilah mitos. Dalam kaitan ini, E.B.
48
Taylor dalam buku Primitive Culture telah memaparkan lebih jauh, terutama tentang kepercayaan masyarakat pada roh dan dewa. Kepercayaan tersebut dinamakan animisme atau spiritisme. Animisme percaya pada dua macam roh, yaitu roh manusia atau pun binatang dan roh bukan manusia dan binatang. Taylor juga mengetengahkan dua doktrin animisme, yaitu: “corcerning souls of individual creature, capable continued existence after the death or the destruction of the body; the second corcening other spirits upward to rank of powerful deities” (Ball, 1988:89). Dari dua dogma ini terlihat bahwa kepercayaan manusia terhadap soul dan spirit menjadi perhatian peneliti budaya. Keduanya memiliki pengaruh dan kekuatan tertentu bagi hidup manusia, terutama menguasai hidup manusia sesudah mati. Yang menarik dari penelitian budaya terhadap roh manusia, ternyata dapat merasuk kepada manusia lain. Roh tersebut ada yang mau membantu hidup manusia dan ada juga mengganggu hidup manusia. Roh yang menyusup ke manusia lain dapat menyebabkan manusia kesurupan. Bahkan, roh tersebut juga dapat merasuk ke dalam benda-benda tertentu. Roh yang masuk ke sebuah benda akan menyebabkan kesaktian atau kesakralan benda tersebut. Dengan demikian, animisme dapat diartikan sebagai kepercayaan manusia kepada roh leluhur. Kepercayaan itu, esensinya juga ke arah Tuhan. Bentuk kepercayaan tersebut, menurut Taylor dapat terejawantahkan ke dalam doa spiritual dan korban. Korban merupakan bagian penghormatan (hadiah) kepada roh agar mau membantu hidup manusia. Korban merupakan perantara keinginan manusia. Atas dasar itu, persoalan religi menjadi menarik perhatian beberapa ahli seperti Firth dan Evans-Pritchard. Titik fokus
49
perhatian ahli budaya religi juga berpusar pada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah pusat dari aktivitas ritual manusia. Manusia bersikap kreatif dalam “mencari” Tuhan, yang terpantul pada budaya asli, yaitu hasil kreativitas manusia karena sedikit ada kegoncangan batin. Batin manusia tergoda tentang persoalan alam semesta dan Tuhan. Religi asli (Evans-Pritchard, 1984) dinamakan juga agama primitif sesungguhnya akan menjadi obyek penelitian budaya yang menarik. Evans telah mencoba mengembangkan pandangan Taylor tentang studi religi melalui aspek sosial dan psikologis. Studi sosiologis dikembangkan dari pandangan Durkheim dan studi psikologis dari pandangan Levi-Bruhl. Kedua saling lengkap-melengkapi dalam meneliti budaya religi. Termasuk dalam kajian dia adalah masalah takhayul dan berbagai kekuatan supernatural dalam masyarakat tertentu. Orientasi penelitian religi dapat dipusatkan pada tigal hal, yaitu: (1) berhubungan dengan keyakinan religi atau emosi keagamaan, (2) berhubungan dengan sikap manusia terhadap alam gaib, (3) berhubungan dengan upacara religi (Kcentjaraningrat, 1990:58). Ketiga hal ini selalu terkait satu sama lain karena terpengaruh oleh kebudayaan yang bersangkutan. Kendati demikian, seorang peneliti dapat menitik beratkan pada salah satu orientasi untuk mempertajam kajiannya, dan pada suatu saat juga dapat mengaitkan ketiganya. Yang penting, peneliti mampu mengurai penelitiannya dengan mencocokkan pada teoriteori religi masa lalu. Kemungkinan besar, teori religi masa lalu telah atau kurang relevan dengan religi masa kini, jelas diperlukan penyesuaian.
50
Arah dari penelitian religi adalah pada sistem religi yang menjadi salah satu unsur kebudayaan. Sistem religi ini muncul dari sebuah emosi religi, yaitu getaran spiritual atau batin manusia. Emosi ini akan mendorong semua tindakan budaya spiritual yang kadangkadang bersifat sakral. Emosi ini akan terkait dengan sistem keyakinan, seperti kepercayaan pada roh halus, roh leluhur, dewan dan sebagainya. Di samping itu, emosi juga akan berhubungan dengan ritual religi yang menyangkut tempat, waktu, dan benda-benda tradisi. Unnsur-unsur ritual religi juga sangat banyak yang perlu mendapat perhatian, antara lain sesaji, doa-doa, mantra, nyanyian, laku, semadi, dan sebagainya. Beberapa peneliti religi yang mulai tertarik dengan aspek-aspek kultural, antara lain Geertz, Hefner, Stange, dan Beatty. Para peneliti yang berbasis antropologi ini, tertarik pada religi Jawa yang mereka sebut agama Jawa, yakni, suatu keyakinan yang telah timbun-menimbun dengan keyakinan lain, sehingga terjadi sinkretisme yang luar biasa. Akibat sinkretis inilah tampaknya yang membuat peneliti budaya religi semakin tertarik. Karena, dalam agama Jawa tersebut secara langsung maupun tidak, telah berbaur dengan aspek-aspek kultural. Bahkan, agama Jawa juga sering berbaur dengan hegemoni kekuasaan pada masanya. Paham sinkretis di atas, di Jawa telah larut halus ke dalam berbagai aliran kebatinan. Aliran-aliran ini biasanya memanfaatkan ajaran leluhur dan kekuatan superinderawi untuk berhubungan dengan Tuhan. Dari berbagai aliran seperti Sapta Darma, Sadu Budi, Darmagandhul, dan sebagainya telah melahirkan berbagai cara berhubungan dengan Tuhan.
51
Teori religi awal, perlu menjadi acuan peneliti budaya yaitu tentang keyakinan terhadap dewa tertinggi. Dalam temuan Andre Lang, dewa tersebut memiliki peranan dalam hidup manusia, yaitu sebagai penjaga ketertiban alam dan kesusilaan. Keyakinan semacam ini muncul, terutama pada masyarakat yang masih rendah tingkat budayanya. Keyakinan demikian dalam pandangan Tylor dan Fraser (Pals, 2001:40) sebagai “kepercayaan kepada makhluk spiritual”. Makhluk spiritual tersebut, menurut dia dapat berupa roh yang memiliki kekuatan. Hal ini pada gilirannya sering dinamakan animisme, yang berasal dari bahasa Latin anima artinya roh. Keyakinan kepada roh sebenarnya merupakan bentuk religi yang cukup tua. Keyakinan demikian tidak berarti menyembah kepada kekuatan bendawi, melainkan kepada anima. Anima, bagi orang primitif memiliki makna khusus. Selanjutnya, teori religi tentang dewa tersebut berkembang menjadi kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang disebut mana. Mana adalah pancaran roh dan dewa kepada manusia yang selalu berhasil dalam pekerjaannya. Konsep mana ini, kemungkinan selaras dengan konteks wahyu atau pulung dalam kebudayaan Jawa. Dalam pandangan Kruyt, mana tidak jauh beda dengan zielestof, yaitu zat halus yang memberi kekuatan hidup manusia dan alam semesta. Implikaksi dari zat ini dapat merasuk ke dalam diri manusia dan makhluk lain sehingga memiliki kekuatan tertentu. Di samping zielestof, di sekittar manusia juga dipercaya bahwa ada kekuatan makhluk halus yang disebut spirit. Makhluk ini akan menempati sekeliling manusia, menjadi penjaga bangunan, pohon, benda, dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan tempat-tempat tertentu menjadi keramat. Itulah sebabnya, manusia sering melakukan ritual religi atau tradisi untuk menegosiasi agar kekuatan
52
halus tadi tidak mengganggu hidupnya. Ritual termaksud yang dikenal dengan sebutan selamatan. Di Indonesia, penelitian religi telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan budaya. Fischer (1960) telah mencoba melihat beberapa kajian religi rakyat yang setaraf dengan mitos. Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Ambon, Bali, Lombok, Flores dan lain-lain religi rakyat masih dipercaya penuh. Karena itu, di lokasi tersebut masih berkembang keyakinan pada dukun dan pawang dalam segala aktivitas hidup. Bahkan, di tempat tersebut banyak berkembang ihwal religiomagis. Hal ini berkembang lagi menjadi sebuah kepercayaan animisme dan dinamisme yang semakin subur. Tradisi ritual tersebut kadang-kadang memang kurang masuk akal. Namun demikian, bagi pendukung budaya yang bersangkutan yang dipentingkan adalah sikap dasar spiritual yang berbau emosi religi, bukan logika. Karena itu, dalam tradisi ritual biasanya terdapat selamatan berupa sesaji sebagai bentuk persembahan atau pengorbanan kepada zat halus tadi yang kadang-kadang sulit diterima nalar. Hal ini semua sebagai perwujudan bakti makhluk kepada kekuatan supernatural. Pada saat manusia menghidangkan sesaji, menurut Robertson Smith (Koentjaraningrat, 1990:68) memiliki fungsi sebagai aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa. Dewa dianggap sebagai komunitas istimewa. Hal juga ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari religi dan kepercayaan adalah ritus atau upacara. Menurutnya, upacara religi akan bersifat kosong, tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk
53
berbakti kepada kekuatan tertinggi yang menurutnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan maut. Menurut Geertz (2001:395-410) bahwa kajian budaya, bukanlah “sebuah sains eksperimental yang mencari suatu kaidah, tetapi sebuah sains interpretatif yang mencari makna”. Makna harus dicari dalam fenomena budaya. Keyakinan terhadap makna ini, didasarkan pada kondisi hidup manusia, yang menurut Parsons dan Weber selalu berada pada tiga tingkatan: (1) kepribadian individual, yang dibentuk dan diatur oleh, (2) suatu sistem sosial, yang pada akhirnya dibentuk dan dikontrol oleh, (3) suatu “sistem budaya” yang terpisah. Tingkatan (3) ini yang merupakan jaringan kompleks dari simbol, nilai, dan kepercayaan, berinteraksi dengan individu dan masyarakat. Menurut Stewart (Beatty, 1999:4) dalam membahas religi, perlu membicarakan keterkaitan antara keberagaman tradisi, kemajemukan, dan perbedaan budaya. Jika di dalamnya terdapat sinkretisme, maka yang terjadi adalah sebuah proses dinamik dan berulang, suatu faktor yang konstan dalam reproduksi kebudayaan, dan bukan hasil yang statis. Dengan demikian sinkretisme merupakan konsep yang mengarah pada “isu akomodasi, kontes, kelayakan, indigenisasi, dan wadah bagi proses antar budaya yang dinamik”. Dengan demikian dalam kajian budaya religi, peneliti akan memahami religi bukan semata-mata agama, melainkan sebagai fenomena kultural yang berkembang dalam masyarakat tertentu. Religi adalah wajah kultural suatu bangsa yang unik dan eksotik. Religi adalah dasar keyakinan, sehingga aspek kulturalnya sering mengapung di atasnya. Hal ini merepresentasikan bahwa religi adalah
54
fenomena budaya universal. Religi adalah bagian budaya yang bersifat khas. Budaya dan religi memang sering berbeda dalam praktek dan penerapan keyakinan. Namun demikian keduanya sering banyak titik temu yang menarik diperbincangkan. Dalam pandangan Geertz (2000:170) religi adalah sebuah pengalaman unik yang bermakna, memuat identitas diri, dan kekuatan tertentu. Sebagai sebuah pengalaman, tentu saja religi tak akan lebih dari subyektivitas pelakunya. Dengan kata lain, religi akan berhubungan dengan rasa, tindakan, dan pengalaman nyata yang berbedabeda satu dengan yang lain. Setiap orang memiliki perasaan dan pengalaman yang berbeda dalam menjalankan religi masing-masing. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya religi sering dipengaruhi oleh hal ihwal di luar dirinya. Aktivitas politik, modernisasi, gender, dan perubahan dunia amat berpengaruh terhadap fenomena religi. Itulah sebabnya, kajian religi boleh sangat luas dan melebar sesuai keperluan. Dari sekian banyak ritual yang melingkupi hidup manusia, tampaknya adat istiadat yang berhubungan dengan upacara daur hidup dan upacara kemasyarakatan yang paling banyak diungkap. Khusus ritual yang berhubungan daur hidup, biasanya hanya tradisi tertentu dan pada kalangan tertentu saja yang telah tersentuh. Begitu pula ritual kemasyarakatan, biasanya hanya dipilih tradisi yang telah “populer” di hati masyarakat. Padahal, sesungguhnya ada ritual-ritual kecil yang sering terlupakan dan di dalamnya memuat keunikankeunikan tersendiri. Penelitian ritual yang ada sekarang biasanya cenderung ke arah deskripsi tatacara ritual dengan sekedar penafsiran. Penelitian semacam ini lebih banyak mengidentifikasi ritual, dengan tujuan untuk pelestarian. Kiblat penelitian ritual, di
55
Indonesia atau khususnya di Jawa hampir tidak bisa lepas dengan kajian Geertz (1989) tentang ritual abangan, santri, dan priyayi. Varian struktur masyarakat demikian sedikit banyak telah mengilhami peneliti ritual pada umumnya. Hal semacam ini pun sebenarnya tidak keliru, karena memang penelitian ritual (di Jawa) yang benar-benar dilandasi kajian ilmiah jarang ditemukan. Memang jauh sebelum itu, telah ada buku ritual yang dihimpun dari pengalaman turun-temurun ke dalam Primbon. Buku ini merupakan “kitab” khusus mereka yang menyelenggarakan ritual. Di samping Primbon, juga telah muncul Serat Tatacara oleh Ki Padmasusastra, yang di dalamnya memuat ritual di Jawa. Selanjutnya buku tersebut sedikit dikembangkan lagi ke dalam Adat Istiadat Jawa oleh Marbangun Hardjowirogo. Buku tersebut lebih banyak sebagai petunjuk praktis ritual, yang tentu saja belum mampu mewadahi ritual yang telah berkembang sampai dewasa ini. Itulah sebabnya, memang menarik untuk meneliti ritual dari waktu ke waktu, sehingga ditemukan keistimewaan ritual bagi pendukungnya. Meneliti ritual memang memiliki keasyikan tersendiri. Apalagi, kalau si peneliti mampu masuk di dalamnya untuk berperan serta, tentu akan lebih nikmat. Jadi, di samping memenuhi standar ilmiah peneliti ritual juga memperoleh kepuasan batin yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Fokus terpenting dari penelitian ritual biasanya tidak akan lepas dari proses selamatan yang dilakukan oleh pendukungnya. Apalagi,pada masyarakat tradisional, selamatan menjadi fenomena yang istimewa sekaligus memuat makna dalam jika diteliti. Perkembangan selanjutnya, penelitian ritual telah ke arah interdisipliner. Yakni, penelitian ritual dalam kaitannya dengan aneka cabang budaya yang lain. Misalkan saja, penelitian
56
ritual dihubungkan dengan aspek wisata, sehingga menjadi sebuah aspek penelitian wisata ritual atau wisata budaya. Cabang penelitian ritual sangat banyak, sehingga membuka kesempatan peneliti masuk dalam wilayah tersebut. Misalkan saja, peneliti dapat memfokuskan pada ritual selamatan (kenduri) dalam suatu komunitas tertentu. Upacara tradisi yang berkaitan dengan selamatan dan atau kenduren dalam masyarakat Jawa pun bermacammacam. Misalkan saja berhubungan dengan: (1) selamatan dalam rangka daur, hidup, seperti kehamilan, kematian, kelahiran, (2) selamatan bertalian dengan bersih desa, (3) selamatan berhubungan dengan . hari-hari besar (4) selamatan pada saat-saat tertentu yang berhubungan dengan kejadian-kejadian seperti menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat), dan sebagainya. Dalam hal ini peneliti dapat memfokuskan diri pada ritual-ritual yang bersifat mistis. Dalam meneliti budaya seni pertunjukan ritual, perlu pula memperhatikan pertunjukan sebagai “proses” atau “bagaimana” pertunjukan mewujud dalam ruang, waktu, dan tempat, serta konteks sosial budaya pendukungnya. Di samping itu, peneliti juga dapat memanfaatkan buku berjudul Ritual, Performance, Media (1998) yang ditulis oleh beberapa ahli, antara lain di dalamnya terdapat petunjuk penelitian: (a) teater sebagai refleksi tindakan magis, (b) ritual dalam kaitannya dengan ziarah, (c) ritual yang berhubungan dengan pertunjukan, dan (d) dari ritual sakral ke ritual sebagai komoditas wisata, dan sebagainya. Ritual biasanya penuh dengan simbol-simbol. Kata simbol berasal dari kata Yunani yaitu symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan dengan simbol-simbol
57
yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia adalah animal symbolicum, artinya bahwa pemikiran dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. Manusia adalah makhluk budaya dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang. Teori yang cukup representatif untuk meneliti simbol ritual antara lain The Ritual Process: Structur and Anti-Structure (1966) dan The Forest of Symbol karya Victor Turner (1970). Buku yang sebagian besar memuat ritual komunitas. Ndembu ini merupakan salah satu gambaran bagaimana mengkaji ritual secara mendalam. Kedalaman kajian ritual tidak hanya terbatas pada aspek proses ritual saja, melainkan sampai pada makna simbolik ritual tersebut. Kedua buku tersebut telah memberikan arah bagaimana peneliti ritual melakukan pengkajian mendalam terhadap sebuah fenomena budaya. Turner (1982:19) menyatakan bahwa “The symbol is the smallest unit of ritual which still retains the specific properties of ritual behavior. It is the ultimate unit of specific structure in a ritual context”. Maksudnya, simbol adalah unit (bagian) terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam konteks ritual. Itulah sebabnya, pada bagian lain Turner (1981:2) juga menyatakan bahwa “the ritual is an agregation of symbols”. Senada dengan ini, Radcliffe-
58
Brown (1979:155-177) juga berpendapat jika tindakan ritual itu banyak mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual juga harus diarahkan pada simbolsimbol ritual tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian-bagian terkecil ritual pun perlu mendapat perhatian peneliti, seperti sesaji-sesaji, mantra, dan ubarampe lain. Oleh karena, menurut Spradley (1997:121) simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol adalah suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah mendapatkan persetujuan umum dalam tingkah laku ritual. Turner (Winangun, 1990:19) mengetengahkan ciri khas simbol, yaitu: (a) multivokal, artinya simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi, dan atau fenomena. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna simbol ritual, (b) polarisasi simbol, karena simbol memiliki banyak arti sering ada arti simbol yang bertentangan. (c) unifikasi, artinya memiliki arti terpisah. Turner (1967:9), juga mensugestikan bahwa melalui analisis simbol ritual akan membantu menJelaskan secara benar nilai yang ada dalam masyarakat dan akan menghilangkan keraguraguan tentang kebenaran sebuah penjelasan. Dalam menganalisis makna simbol dalam aktivitas ritual, digunakan teori penafsiran yang dikemukakan Turner (1967:50-51) sebagai berikut: 1. Exegetical meaning yaitu makna yang diperoleh dari informan warga setempat tentang perilaku ritual yang diamati. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara
59
informasi yang diberikan oleh informan awam dan pakar, antara interpretasi esoterik dan eksoterik. Seorang peneliti juga harus tahu pasti apakah penjelasan yang diberikan informan itu benar-benar representatif dan atau hanya penjelasan dari pandangan pribadi yang unik; 2. Operational meaning yaitu makna yang diperoleh tidak terbatas pada perkataan informan, melainkan dari tindakan yang dilakukan dalam ritual. Dalam hal ini perlu diarahkan pada informasi pada tingkat masalah dinamika sosial. Pengamat seharusnya tidak hanya mempertimbangkan simbol tetapi sampai pada interpretasi struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual. Apakah penampilan dan kualitas afektif informan seperti sikap agresif, sedih, menyesal, mengejek, gembira, dan sebagainya langsung merujuk pada simbol ritual. Bahkan peneliti juga harus sampai memperhatikan orang tertentu atau kelompok yang kadang-kadang hadir atau tidak hadir dalam ritual. Apa dan mengapa pula mereka itu mengabaikan kehadiran simbol. 3. Positional meaning yaitu makna yang diperoleh melalui interpretasi terhadap simbol dalam hubungannya dengan simbol lain secara totalitas. Tingkatan makna ini langsung dihubungkan pada pemilik simbol ritual. Dengan demikian, makna suatu simbol ritual harus ditafsirkan ke dalam konteks simbol yang lain dan pemiliknya. Dimensi penafsiran makna tersebut, sebenarnya saling lengkapmelengkapi dalam proses pemaknaan simbol ritual. Jika nomer (1) mendasarkan wawancara kepada informan setempat, nomor (2) lebih menekankan pada tindakan ritual dalam kaitannya dengan struktur dan dinamika sosial, dan nomor (3) mengarah pada hubungan konteks antar simbol dengan pemiliknya.
60
Ketiganya, tentu saja tepat digunakan bersama-sama untuk mengungkap makna dan fungsi mistik Kejawen yang banyak menggunakan simbol-simbol ritual. Untuk mengungkap makna dan fungsi ritual, peneliti dapat memanfaatkan teori fungsionalisme dan teori fungsionalisme-struktural. Dalam kaitannya dengan ritual daur hidup, menurut Turner (Winangun, 1990:21-23) ada dua klasifikasi ritual, yaitu: Pertama, ritual krisis hidup, artinya ritus yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika dia masuk masa peralihan. Pada masa ini, dia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup. Termasuk dalam lingkup ini antara lain kelahiran, pubertas, dan kematian. Ritual ini disebut inisiasi. Termasuk di dalamnya, dalam masyarakat Jawa ada mitoni, supitan, tetesan, dan sebagainya. Kedua, ritual gangguan. Yakni, ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tak mengganggu hidup manusia. Ritual semacam ini, dalam masyarakat Jawa sering diwujudkan pada tradisi selamatan atau kenduren. Misalkan saja, sadranan (ruwahan), memberi sesaji berupa klacen pada sebuah sumur ketika seseorang mempunyai hajat, menabur bunga pada makam leluhur dan sebagainya. Melalui ritual di sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata tradisi tersebut memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Di antara fungsi ritual yang patut dikemukakan yaitu: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu dan kelompok. Berarti ritual menjadi alat pemersatu atau integrasi; (2) ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan
61
emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif. (3) ritual akan mampu melepaskan tekanantekanan sosial. Aspek penting dalam kaitannya dengan fungsi ritual adalah liminalitas. Liminalitas adalah keadaan dimana seorang individu mengalami keadaan ambigu. Yakni, keadaan neither here nor there (tidak di sini dan juga tidak di sana). Berarti, individu sedang masuk ke tahap betwixt (di tengah-tengah) dan between (antara). Pengalaman liminal ini akan membuat seseorang sadar diri, sadar akan eksistensinya. Pada tahap liminal itu, seorang individu yang tengah menjalani ritual inisiasi misalnya, sedang melakukan refleksi diri. Mereka telah. atau sedang meninggalkan masa tertentu tetapi juga sedang masuk masa tertentu. Dalam pandangan Gennep (Winangun, 1990:33) ketika seseorang memasuki masa peralihan (rites of passage), akan mengalami tiga proses, yaitu: (1) ritus pemisahan, yaitu ketika seseorang meninggal dan dimakamkan. Orang tersebut akan pisah dengan sanak keluarga, dan memasuki cara hidup yang lain; (2) ritus peralihan, yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain, misalkan kehamilan, supitan, tetesan dan sebagainya; (3) ritus inkorporasi, yaitu ritus yang menyatukan, misalkan hubungan pernikahan. Pernikahan adalah menyatukan dua keluarga.
1.5.4 Teori Semiotika Untuk mengkaji makna simbol dan berbagai bentuk benda atau tatacara yang ada dalam pelaksanaan erpangir ku lau, penulis menggunakan teori semiotika. Menurut Encyclopedia Brittanica (2007), semiotika atau semiologi adalah kajian
62
terhadap tanda-tanda (sign)
serta tanda-tanda yang digunakan dalam prilaku
manusia. Sejalan dengan pemahaman ini, Ferdinan de Sausurre seorang pendiri teori semiotika dari Swiss mengatakan, bahwa semiotika merupakan kajian mengenai kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu. Gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi. Roland Barthes (1915-1980), mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dengan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkan pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dengan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323).
63
Bagan 1.1: Segitiga Makna Objek
Representamen
Interpretan
Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut.
64
Bagan 1.2: Pembagian Tanda
Ground/ representamen : tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.
Objek/ referent: yaitu apa yang diacu.
Interpretant: tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.
Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau.
Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta.
Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.
Sinsign/tokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas.
Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.
Dicent sign: tanda sebagai fakta/ pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.
Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran.
Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan / suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata.
Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.
Sumber: Erni Yunita (2011)
65
Bagan 1.3: Hubungan Tanda
Sumber: Erni Yunita (2011) Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen (R), Object (O), dan Interpretant (I). (R) adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi
66
secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara (R) dan (O). Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang”(O), selanjutnya ia menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang disitu” (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional. Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006). Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotika yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya
67
Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis dari yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. Teori semiotika ini penulis gunakan untuk menganalisis makna-makna yang terdapat di sebalik pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Seterusnya mencakup makna upacara itu sendiri, benda-benda upacara, alat-alat musik dalam gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media upacara, makna komunikasi verbal dan nonverbal, makna bunyi musik (yang mencakup ritem dan meelodi), gerak-gerik peserta upacara dan si erjabaten, dan lain-lainnya.
1.5.5 Teori Difusi Kebudayaan Untuk mengkaji keberadaan alat musik keteng-keteng dan alat-alat musik lainnya dalam upacara ini, dan juga upacara erpangir ku lau itu, maka penulis menggunakan teori difusi kebudayaan. Dari segi keberadaan upacara erpangir ini sendiri, maka dapat dikatakan memiliki hubungan dengan upacara sejenis seperti pangurason Batak Toba, mandi mangir Jawa, mandi kembang Jawa, mandi Syafar Melayu, dan lain-lainnya. Alat musik keteng-keteng dan sejenisnya juga ada di beberapa tempat seperti gondang buluh Mandailing-Angkola, bebelen di Gayo. Kemungkinan besar alat-alat ini memiliki hubungan persebaran kebudayaan. Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, dikemudian hari
68
akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi di bidang komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat multikultural. Dengan adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek historis budaya tersebut, melainkan pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini, dilontarkan pertama kali oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli antropologi asal Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan sejarah serta bendabenda arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan heliolithic theory. Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini, peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia, dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan “putra-putra Dewa Matahari” ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke
69
berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak, dan permata. Pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan manusia tersebut dapat menyebar dan dapat menyebabkan beragam perubahan akibat penyebaran tersebut. Akan tetapi, keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai penentangan terhadap teori evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan mencuat ke permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya. Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi terhadap teori evolusi. Franz yang dianggap pendekar ilmu antropologi Amerika ini banyak melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan mengumpulkan bahan-bahan etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya mengenai kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang mengemuka dalam komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara seksama dan seteliti mungkin. Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama “partikularisme historis” dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten atau lapisan kebudayaan. Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur
70
persamaan yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia. Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu muridnya yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler (1870-1947) yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan pembagian dari kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya. Hal ini dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam tempat-tempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut.
71
Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah A.L. Kroeber (1876-1960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi ini. Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan secara komprehensif yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya diharuskan mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat tempat mereka melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut gunakan dan mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan dengan masyarakat tersebut. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, hal ini tidak lain di akibatkan karena manusia diciptakan dengan keistimewaan akalnya. Akal (ratio) sangat berperan penting dalam segala sesuatu prilaku manusia yang memiliki daya cipta, karsa dan karyanya, rasio yang merupakan alat berfikir mendorong manusia untuk berfikir menjalin hubungan komunal antara satu dengan yang lainnya yang menjadi struktur-struktur dan menjadi sebuah kumpulan yang disebut dengan masyarakat lalu menciptakan tatanan-tatanan stagnan dalam implementasi kebiasaaan-kebiasaan dari sanalah istilah masyarakat budaya muncul dan berkembang dalam sebuah lingkungan yang saling mempengaruhi. Selain akal, manusia juga dianugrahi Tuhan consciense (perasaan/nurani), dengan nurani manusia berperasaan, mengetahui rasa indah dan mencipta hal-hal yang sifatnya mimesis dari Tuhannya. Sebuah perayaanperayaan ritual diciptakan untuk menimbulkan suasana khusyuk untuk bertemu
72
dengan sang pencipta alam semesta, menyatu dengan alam dan memaknai keindahan karya sang pencipta. Kesenian adalah salah satu produk dari kebudayaan yang memiliki arti ciptaan dari segala pikiran dan prilaku manusia baik itu kelompok maupun perorangan yang fungtsional, etis, dan indah sehingga dapat dinikmati oleh panca indra dan nantinya kan menjadi sebuah pengalaman kognitif yang tersimpan di alam bawah sadar manusia. Budaya dan seni seolah tak dapat dipisahkan satu sama lainnya, bersifat kesatuan komplek dan terstruktur dalam kehidupan sosial masyarakat. seiring dengan perkembangannya, budaya yang bersifat dinamis begiupun dengan kesenian itu pasti mengalami sifat beda dengan asal mula keberadaanya, bergerak aktif dengan perkembangan jaman menuju arah yang lebih kompleks serta menjadi sebuah kebudayaan yang multikultural atau lebih dikenal dengan budaya global, hal ini tidak terlepas dari adanya bentuk-bentuk saling mempengaruhi, baik itu yang datangnya dari luar maupun yang datangnya dari dalam (konteks budaya itu sendiri) yang sangat memungkinkan memiliki dampakdampak
seperti:
terjadinya
perubahan-perubahan
kebudayaan,
Pembauran
kebudayaan, modernisasi, keguncangan budaya, penetrasi budaya, memperkaya khazanah budaya, dan bahkan akan mengakibatkan hilangnya jati diri budaya bangsa.
Demikian sekilas deskripsi dan pemahaman tentang teori-teori yang
digunakan dalam penelitian ini.
73
1.6
Metode Penelitian Pada tahap awal dilakukan perumusan pokok permasalahan, untuk
menghasilkan beberapa data yang dipakai sebagai acuan dalam pelaksanaan langkah berikutnya. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan, informasi primer dan informasi sekunder. Informasi primer dilakukan dengan cara pengamatan langsung, pengamatan partisipatif (pengamatan langsung), serta pelaksanaan wawancara mendalam dari narasumber sebagai pelaksana aktivitas pelaksnaan upacara kerja erpangir ku lau di lokasi penelitian yang menggunakan ensambel gendang telu sendalanen, untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan sebanyak mungkin. Pada tahap observasi terfokus, peneliti telah dapat diterima untuk dapat masuk dalam kehidupan informan, dengan menggunakan metode pengamatan dan pengamatan terlibat. Untuk melengkapi data-data yang diperlukan,
dilakukan
serangkaian kegiatan wawancara bebas dan tidak berstruktur. Misalnya, ketika bertemu dengan seorang informan, jika kondisinya memungkinkan langsung berbicara dan menanyakan berbagai pendapat dan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik ini lebih tepat untuk mendapatkan data yang lebih natural tanpa menimbulkan nuansa memaksa. Penelitian ini berdasar pada fenomena sosial terhadap studi kasus, cenderung menggunakan paradigma terpadu antara fakta sosial dengan defenisi sosial (Rizer dalam Hadi, 2006:67), karena latar belakang masalah yang dilihat berada pada tingkat hubungan makro-subyektif dan mikro-subyektif. Pilihan
74
terhadap paradigma ini karena tergantung pada jenis permasalahan yang sedang dipertanyakan. Manusia sebagai individu, bertindak, berinteraksi dan menciptakan realitas sosial dalam waktu yang bersamaan dan sampai pada tingkat tertentu berpengaruh terhadap masyarakatnya. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa penelitian ini cenderung menggunakan metode kualitatif, yaitu peranan peneliti sebagai instrumen utama dalam proses penelitian. Peneliti berusaha mendeskripsikan dan memahami fenomena sosial atau masyarakat sebagaimana masyarakat itu mempersepsikan diri mereka. Oleh karena itu realitas sosial atau masyarakat yang menjadi asaran pengamatan akan lebih dipahami sebagai suatu proses, bukan kejadian semata-mata, yaitu subyek penelitian yang memiliki struktur, kelompok, perilaku, tindakan, kreativitas, dinamika, sikap dan cita-cita sesuai dengan diri mereka sendiri beserta lingkungannya. Dengan demikian penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi yaitu lebih menggambarkan cara hidup atau kegiatan masyarakat terutama dalam menginterpretasikan sistem religi mereka. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dalam rangka mencari ilmu pengetahuan tentang peran keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen yang difungsikan pada upacara erpangir ku lau. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian kualitatif sebagai berikut. Qualitative [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign
75
setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).
Lebih jauh
Nelson mentrakrifkan menegnai apa itu
penelitian
kualitatif itu
menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang dijabarkannya berikut ini. Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).
Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kelompok manusia. Biasanya manusia
di
luar kelompok peneliti.
Penelitian ini
melibatkan berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu kemanusiaan, sosial, ataupun ilmu alam. Para penelitinya percaya
kepada
perspektif
naturalistik,
serta
menginterpretasi untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etika posisi politik.
76
1.7
Teknik Pengumpulan Data Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif selain sebagai perencana
sekaligus juga sebagai pelaksanan pengumpul data atau sebagai instrumen (Moeloeng, 1998:121). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi, wawancara, dokumentasi yang dilandasi dengan studi kepustakaan terutama untuk menemukan teori yang relevan dengan topik penelitian. Pada tahap awal dilakukan perumusan pokok permasalahan, untuk menghasilkan beberapa data yang dipakai sebagai acuan dalam pelaksanaan langkah berikutnya. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa masalah yang akan dibahas dalam penelitian adalah analisis peranan keteng-keteng sebagai salah satu alat musik dalam ensambel telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo. Berdasarkan pokok permasalahan ini dapat dikatakan bahwa bentuk penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu bertujuan untuk mengamati segala hal yang berkaitan dengan aktivitas erpangir ku lau yang dilakukan oleh etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan, informasi primer dan informasi sekunder. Informasi
primer
dilakukan
dengan
cara
pengamatan
langsung,
pengamatan partisipatif (pengamatan langsung), serta pelaksanaan wawancara mendalam dari nara sumber sebagai pelaksanaan erpangir ku lau untuk
77
mengumpulkan data-data yang dibutuhkan sebanyak mungkin. Pengalaman pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara dengan imforman secara mendalam. Rangkaian pelaksanaan wawancara bertujuan untuk mendapatkan keterangan dan data dari individu tertentu untuk keperluan informasi.
1.7.1 Observasi Tujuan dari observasi adalah dengan mendeskrepsikan setting yang diamati, tempat kegiatan orang-orang yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut dan makna apa yang diamati menurut perspektif pengamat (Patton, 1990:202). Menurut Guba dan Lincoln (1981) ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian kualitatif, pengamatan dimanfaatkan secara optimal, karena: (a) teknik pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung, (b) teknik pengamatan sangat dimungkinkan pengamat melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian seperti keadaan yang sebenarnya, (c) pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan yang langsung diperoleh dari data lapangan, (d) pengamatan merupakan jalan terbaik untuk mengecek kepercayaan data, (e) teknik pengamatan memungkinkan peneliti memahami situasi-situasi yang rumit dan perilaku yang kompleks, (f) teknik pengamatan dapat dijadikan alat yang sangat bermanfaat ketika teknik komunikasi lain tidak dimungkinkan. Pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperan serta dan yang tidak berperan serta (Maeleong, 1998:126).
78
Tahap observasi umum dilakukan setelah menentukan tema, memastikan judul serta permasalahan penelitian dengan maksud untuk menemukan gambaran tentang keadaan lingkungan fisik, sosial,etnik yang diteliti sebagai studi kasus dalam antropologi. Dalam konteks ini mulai dilakukan pengumpulan data tertulis maupun lisan berkaitan dengan topik penelitian.
Informasi mengenai hal ini diperoleh
melalui pengamatan, wawancara dengan penduduk setempat, dan aparat pemerintah kepala desa). Pada tahap observasi terfokus, peneliti telah dapat diterima untuk dapat masuk dalam kehidupan informan, dengan menggunakan metode pengamatan dan pengamatan terlibat. Tahap ini dilakukan untuk mengamati aktivitas pelaksanaan upacara ritual erpangir ku lau dan prospeknya mulai dari motif pelaksanaan, maksud, dan tujuan serta penggunaan ensambel musik tradisional yang berperan sebagai media upacara desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo.
1.7.2 Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan antara peneliti yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 1998:135). Patton (1990, 135136) mengemukakan pilihan teknik wawancara, yaitu: a. Wawancara pembicara informal (the informal conversational interview). Pertanyaan yang diajukan sangat tergantung pada pewawancara itu sendiri dan
79
spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan. Wawancara dilakukan pada latar alamiah. b.
Menggunakan petunjuk umum wawancara (the general interview guide approach). Wawancara dilakukan berdasar pada kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dituangkan dalam pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden (informan) dalam konteks wawancara sebenarnya.
c. Wawancara baku terbuka (the standardized open-ended interview). Wawancara ini menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan terjadinya bias-bias atau “kemencengan.” Dalam penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah teknik pertama dan kedua. Untuk
melengkapi
data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,
dilakukan serangkaian kegiatan wawancara bebas dan tidak berstruktur. Misalnya, ketika bertemu dengan seorang informan, jika kondisinya memungkinkan langsung berbicara dan menanyakan berbagai pendapat dan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik ini lebih tepat untuk mendapatkan data yang lebih natural tanpa menimbulkan nuansa memaksa. Pelaksanaan teknik wawancara ini dapat mengetahui sikap individu terhadap topik penelitian. Informasi sekunder mencakup studi literatur yakni mengkaji ragam buku (media cetak) serta media elektronik yang membahas tentang kehidupan etnik Karo khususnya yang menyangkut kajian sistem religi, adat istiadat, karakteristik etnik, perlakuan terhadap musik etnik sebagai media pelaksanaan sebuah upacara, dan berbagai hal yang mendukung topik penelitian.
80
1.7.3 Dokumen Dokumen merupakan sekumpulan data berupa surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan atau barang cetakan atau naskah karangan yang tertulis atau rekaman suara, gambar, film, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti atau keterangan yang mendukung dalam upaya mendeskripsikan atau menganalisis pokok permasalahan dalam penelitian. Rekaman suara atau film yang mendokumentasikan pelaksanaan upacara ritual atau upacara adat pada masyarakat Karo yang menggunakan ensambel musik tradisional sebagai media, dapat dijadikan sebagai referensi dalam upaya pemahaman peran dan fungsi musik. Dalam kaitan ini,
peneliti akan menelusuri data skunder yang terkait
dengan pelaksanaan ritual erpangir ku lau, alasan pelaksanaan upacara, pengunaan musik tradisional seperti ensambel gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam pelaksanaan upacara ritual tersebut. Dari rekaman berupa gambar atau film, peneliti akan mengetahui ragam penggunaan alat musik tradisional Karo yang tergabung dalam ensambel gendang telu sendalanen. Data-data skunder juga ditelusuri melalui buku, jurnal, surat kabar, dan media elektronik seperti internet. Data-data kependudukan diperoleh dari sumber pemerintah dalam hal ini dari Badan Pusat Statistik Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. Selanjutnya datadata tentang sosial budaya masyarakat Karo dapat diperoleh melalui buku-buku, dokumentasi seminar, jurnal yang terbit dalam lingkup kebudayaan etnik Karo. Seluruh data tersebut merupakan data sekunder yang diperoleh sebelum dan selama pelaksanaan penelitian di lokasi penelitian.
81
1.8 Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan sejak berada di lapangan, yaitu dengan melakukan pengorganisasian data, dilanjutkan dengan menghubungkan data yang satu dengan yang lainnya berdasarkan persfektif teori, kemudian mengidentifikasi hakikat hubungan-hubungannya hingga memunculkan asumsi-asumsi baru yang perlu dibuktikan kebenarannya di lapangan. Hal ini dilakukan hingga akhir penelitian. Pada bagian ini dibahas beberapa metode untuk menarik dan memverifikasi suatu fenomena dalam konteks terbatas yang membentuk suatu kajian kasus dari sekelompok masyarakat atau komunitas tertentu yang dalam hal ini adalah etnik Karo yang berada di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Balang, Kabupaten Karo. Dalam penelitian kualitatif, data yang terkumpul dianalisis setiap waktu secara induktif selama penelitian berlangsung dengan mengolah bahan empirik agar dapat disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan. Analisis induktif dimulai dengan merumuskan terlebih dahulu sejumlah permasalahan ke dalam beberapa pertanyaaan atau isu spesifik yang dijadikan sebagai tujuan penelitian. Beberapa pertanyaaan yang menjadi permasalahan utama telah dikemukakan dalam perumusan masalah, tetapi pertanyaan-pertanyaaan yang menyangkut isu spesifik dapat digali melalui wawancara bebas, atau observasi partisipatis di lokasi penelitian, sehingga dapat mengumpulkan makna kognitif, emosional atau intuisi dari para pelaku budaya sesuai dengan fokus penelitian.
82
Bagi peneliti kualitatif, model penyajian yang khas adalah dalam bentuk teks naratif. Teks ini muncul dalam bentuk catatan lapangan tertulis, yang disaring dengan mengutip penggalan-penggalan berkode dan menarik kesimpulan. Kemudian si penganalisis biasanya terus menangani teks naratif kemudian membuat suatu laporan kajian kasus (Miles, 2005:137). Setelah keseluruhan data selesai dikumpulkan dari lokasi penelitian, maka tahap akhir dari penelitian ini adalah mendeskripsikan
dan menganalisis data-data untuk menemukan beberapa
kesimpulan tentang peranan dan fungsi keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen sebagai media dalam pelaksanaan upacara kerja erpangir ku lau pada etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif yang terkumpul melalui studi pustaka,
survei,
observasi,
angket,
dan wawancara,
yang
dideskripsikan secara bertahap dalam bentuk tulisan, kemudian diklasifikasikan secara tabulatif sesuai isi atau materi data tersebut. Analisis data ditujukan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah diinterpretasikan. Proses analisis data telah dilakukan sejak pengumpulan data hingga tahap pengolahan dan analisis data. Analisis data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Datadata yang terkumpul terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, dokumen berupa laporan, biografi, dan sebagainya. Pekerjaan analisis data dalam hal ini adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode, dan mengkategorikannya (Maleong, 2000:103). Berkaitan dengan tahapan analisis data tersebut akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasi data secara spesifik dalam rangka menjawab
83
keseluruhan pertanyaan penelitian. Di sisi lain langkah ini dapat menjadi koreksi atau alat kontrol terhadap berbagai kekurangan data yang terkumpul
yang
selanjutnya dapat dilengkapi. Penelitian kualitatif menekankan pada analisis secara induktif, sehingga data yang dikumpulkan bukan untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan sebelum penelitian dilakukan, tetapi data dikumpulkan dan dikelompokkan dalam pola, tema atau kategori untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan sementara dengan cermat dan hati-hati. Selanjutnya kesimpulan sementara dirumuskan secepat mungkin menjadi kesimpulan yang kokoh, kuat dan mengandung makna sebelum data tersebut terkumpul. Data-data tersebut berusaha dirangkaum secara deskriptif untuk membantu menemukan konsep-konsep keaslian yang dikemukakan oleh subyek penelitian sendiri sesuai dengan realitasnya. Dengan cara ini tetap akan dapat menyajikan realitas senyatanya (emics) sebagaimana yang diharapkan dalam penelitian kualitatif. Kesimpulan tersebut bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian serta dapat dijadikan sebagai temuan-temuan penelitian yang bermanfaat. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara terus menerus selama pengumpulan data berlangsung sampai pada akhir penelitian atau penarikan kesimpulan. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui empat kegiatan utama, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
84
Untuk dapat menganalisis dengan penuh kritik situasi yang tengah dikaji, untuk kemudian melakukan berbagai abstraksi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan, maka diperlukan pegangan teori. Oleh sebab itu beberapa konsep teori yang telah dikemukakan seperti teori fungsional, teori ritual, teori semiotika, dan teori difusi kebudayaan, semata-mata tidak untuk diuji, tetapi dimaksugkan untuk memaknakan realitas dan data yang ada yang dalam penelitian ini telah berusaha membangun atau memodifikasi teori dan konsep baru.
1.9 Lokasi, Jadwal, dan Pengalaman Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Sedang rentang waktu yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini berkisar 6 bulan yang terbagi atas perumusan masalah 1 bulan, tahap pengkajian literatur untuk memperoleh pengetahuan teoretis tentang aspek yang akan diteliti dalam pengumpulan data di lapangan 2 bulan, sedangkan tahap analisis data dan deskripsi hasil penelitian 3 bulan. Dalam melakukan perumusan masalah, penulis langsung memikirkan bagaimana keberadaan keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen yang digunakan dalam upacara erpangir ku lau sebagai media. Ini amat menarik untuk dikaji secara etnomusikologis. Setelah berdiskusi dengan kawan-kawan mahasiswa magister penciptaan dan pengkajian seni FIB USU dan para dosennya, maka penulis menetapkan judul dan tema seperti ini. Selanjutnya penulis melakukan studi pustaka dengan konsentrasi pada skripsi sarjana seni di Departemen Etnomusikologi.
85
Hasilnya adalah seperti yang diuraikan di dalam kajian pustaka dan digunakan teoriteori structural dan fungsional. Seterusnya penulis melakukan penelitian lapangan, dengan cara mengamati dan terlibat langsung dalam kegiatan erpangir ku lau. Untuk menyelesaikan tesis yang berbasis dari penelitian ini, penulis menuliskannya dalam masa yang agak panjang, karena bertujuan untuk memenuhi standar kualitas magister pencipataan dan pengkajian seni FIB USU. Penelitian ini penulis alami selama masa studi di Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni di bulan Juni 2011 sampai Januari 2012. Pengalaman yang penulis alami adalah penulis menjadi pengamat terlibat (partisipant observer). Penulis ikut dalam upacar erpangir ku lau, walau tetap menjaga jarak sebagai peneliti. Penulis juga merasakan apa yang dirasakan oleh para informan pelaku upcara ini. Penulis juga sedikit banyaknya turut belajar memainkan alat-alat musik dalam ensambel gendang telu sendalanen dan juga khususnya alat musik keteng-keteng. Ini bertujuan agar penulis dapat memahami secara emik apa yang terjadi di dalam masyarakat dengan tetap memperhatikan diri sebagai peneliti.
86
BAB II KEBERADAAN ETNIK KARO DAN KEBUDAYAANNYA
Keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam upacara erpangir ku lau dalam kebudayaan masyarakat Karo, menurut penulis adalah mencerminkan kebudayaan Karo secara umum. Baik dalam bentuk instrumen, bunyi musik, ensambel, dan upacara erpangir ku lau itu sendiri syarat dengan makna-makna budaya Karo. Untuk dapat melihat keteng-keteng dalam pandangan yang luas dan holistik, maka bagaimanapun lebih baik melihatnya melalui studi etnografi7 etnik Karo. Studi ini akan mendudukkan bagaimana posisi keteng-keteng dalam konteks kebudayaan Karo.
7
Terminologi etnografi berasal dari kata ethnic yang arti harfiahnya adalah suku bangsa; dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting, yang mengandung bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, yaitu eksistensinya hanya beberapa ratus ribu warga, misalnya etnik Lubu dan Siladang di Sumatera Utara, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlah relatif besar, berjuta-juta jiwa, seperti misalnya suku Sunda di Jawa Barat dan sekitarnya, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Melayu Desa Batang Kuis, atau lebih besar sedikit masyarakat Melayu Kabupaten Serdang Bedagai, atau masyarakat Melayu Labuhan Batu, dan seterusnya. Masyarakat Karo sendiri pun, walau induknya adalah kawasan yang berada di Kabupaten Karo sekarang ini, namun wilayah budayanya meliputi kawasan-kawasan seperti Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Kota Medan. Mereka membagi kawasan budayanya yaitu Karo 87
2.1 Identifikasi Penduduk Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten dari sejumlah 33 kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah geografis, Kabupaten Karo berada pada posisi 2’50-3’19’ Lintang Utara, dan 97’35’-98’38’ bujur timur. Memiliki luas 2.127,25 km2 atau sekitar 2, 97% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Keseluruhan daerah Kabupaten Karo beriklim sejuk, berada di kisaran 14-26 derajat Celsius. Penggunaan lahan di Kabupaten Karo di dominasi oleh penggunaan lahan kering berupa perladangan dan perkebunan seluas 96.045 ha atau 41% dari luas wilayah. Selanjutnya diikuti oleh kawasan hutan seluas 77.142 Ha. Tanah yang subur, udara yang sejuk, panorama yang indah, serta hutan lindung yang luas, sangat sesuai dengan usaha dibidang sektor pertanian. Pada sektor pertanian masyarakat Karo mengolah tanaman pangan, hortikultura (buah-buahan, sayur mayur, bunga-bungaan, dan biji-bijian). Sektor pariwisata mencakup : jalan hutan, gunung berapi, air panas, pemandangan yang indah, danau, air terjun, rumah tradisional, kebudayaan dan sebagainya. Sektor industri diharapkan mampu mendukung sektor pertanian, industri yang mengolah
Gugung dan Karo Jahe. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda dengan etnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia.
88
hasil pertanian dan industri yang mendukung sektor pariwisata seperti : cendera mata. Kabupaten Karo terdiri dari 17 kecamatan dan berpenduduk 350.960 jiwa. Rincian luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk per kecamatan dapat dilihat pada rincian yang terdapat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Kecamatan
(1)
Luas
Penduduk
Kepadatan
Wilayah
Penduduk
(Km2)
Tiap Km2
(2)
(3)
(4)
01 Mardingding
267,11
17 062
63,88
02 Laubaleng
252,60
17 713
70,12
03 Tigabinanga
160,38
19 900
124,08
04 Juhar
218,56
13 244
60,60
05 Munte
125,64
19 686
156,69
06 Kutabuluh
195,70
10 586
54,09
07 Payung
47,24
10 837
229,40
08 Tiganderket
86,76
13 178
151,89
09 Simpang Empat
93,48
19 015
203,41
10 Naman Teran
87,82
12 796
145,71
11 Merdeka
44,17
13 310
301,34
12 Kabanjahe
44,65
63 326
1418,28
13 Berastagi
30,50
42 541
1394,79
14 Tigapanah
186,84
29 319
156,92
15 Dolat Rayat
32,25
8 296
257,24
89
16 Merek
125,51
18 054
143,85
17 Barusjahe
128,04
22 097
172,58
2 127,25
350 960
165,98
Jumlah/Total 2010
Tabel 2.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan Kabupaten Karo (Sumber : BPS Kabupaten Karo 2012).
Gambar 2.1 Peta Pemerintah Derah Kabupaten Karo (Sumber: BPS Kabupaten Karo 2012).
90
Kabupaten Karo yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara memiliki batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun, dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) Kendati secara administratif etnik Karo bermukim di wilayah Kabupaten Karo, akan tetapi sejak lama (sebelum tahun 1900) telah menempati beberapa wilayah kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Utara, terutama di kabupaten yang berbatasan langsung dengan kabupaten Karo seperti: Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kota Madya Medan dan ke sebelah barat Kabupatan Karo yaitu Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Berdasarkan perbedaan wilayah domisili, pada akhirnya memunculkan sebutan atau julukan bagi masyarakat Karo karena telah membaur dengan kebudayaan etnik lain di kawasan pemukimannya. Kemudian etnik Karo dikenal dengan berbagai julukan seperti, Karo Kenjulu, Karo Singalor Lau, Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur, dan Karo Dusun. Selain wilayah pemukiman etnik Karo di luar Kabupaten Karo tersebut, masih terdapat wilayah yang dianggap penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo yaitu wilayah Kota Medan.
91
Biasanya orang-orang karo yang tinggal di Medan tidak memiliki sebutan tertentu sebagaimana dikemukakan di atas. Di sepanjang jalan dari Kabanjahe, Kabupaten Karo menuju kota Medan terdapat beberapa desa dan semi kota (sub-urban) seperti Kota Berastagi, Desa Bandar Baru, Desa Sibolangit, Desa Sembahe, dan Pancur Batu (kecuali Berastagi, semua desa tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang). Memasuki wilayah Kota Medan, terdapat lagi beberapa wilayah desa, seperti: Desa Lau Cih, Kelurahan Simpang Selayang, Kelurahan Simpang Kuala, Kelurahan Padang Bulan yang sebagian besar penduduknya adalah orang Karo. Penduduk di setiap wilayah tersebut, walau pun telah lama tinggal secara menetap namun secara kekerabatan masih mempunyai hubungan dengan masyarakat Karo yang tinggal di wilayah Kabupaten Karo. Hal ini sangat lazim, mengingat hampir seluruh daerah tersebut merupakan daerah lintasan transfortasi darat antara Medan dengan Kabupaten Karo pada umumnya. Domisili masyarakat Karo di daerah Padang Bulan, Simpang Kuala, Simpang Selayang sudah berlangsung dalam beberapa generasi. Hal ini ditandai dengan telah bedirinya sejumlah jambur adat Karo di wilayah tersebut. Jambur adalah suatu bangunan persegi empat yang mempunyai atap, tetapi tidak mempunyai dinding. Luas bangunan jambur pada masa awal berkisar 6 x 6 meter. Dalam kehidupan sehari-hari di seluruh kawasan kabupaten Karo, jambur dipergunakan sebagai tempat peristirahatan atau tempat berkumpul khususnya para laki-laki pada siang atau sore hari setelah selesai bekerja di sawah atau ladang. Jambur menjadi sangat strategis sebagai tempat erbual-bual (tempat bercakap-cakap atau bercerita)
92
dengan sesama warga desa tentang berbagai hal yang dianggap penting baik yang menyangkut pertanian, maupun berbagai isu aktual. Pada waktu tertentu, jambur digunakan sebagai tempat
runggu
(musyawarah) dengan jumlah terbatas, membicarakan berbagai hal yang terjadi di desa. Jika ada upacara adat yang menyertakan musik tradisional, jambur digunakan sebagai tempat para musisi untuk bermain musik. Seluruh partisipan upacara adat biasanya berada pada halaman luas di sekeliling jambur. Pada upacara tertentu di sekitar jambur didirikan lape-lape yaitu bangunan sementara dengan menggunakan tiang bambu atau kayu. Pada bagian atas dari bangunan sementara tersebut, diletakkan dahan atau daun pohon aren agar peserta atau partisipan terhindar dari panas matahari atau tempat bernaung dari panas matahari (lape-lape las wari). Sejalan dengan pertambahan penduduk di suatu desa, dengan sendirinya berdampak pada kian banyaknya jumlah partisipan atau pendukung upacara adapt. Selain itu upacara adatpun semakin sering dlakukan. Agar terhindar dari panas matahari dan hujan, maka didirikanlah jambur dengan bangunan yang lebih luas dengan maksud seluruh peserta adat dapat tertampung seluruhnya dalam satu ruangan. Bentuk bagunan yang lebih luas tersebut dirancang sesuai dengan bentuk jambur. Setiap desa di Kabupaten Karo, minimal memiliki satu jambur
yang
merupakan milik warga desa. Luas bangunan jambur biasanya disesuaikan dengan jumlah penduduk sebuah desa. Pada umumnya luar bangunan sebuah jambur berkisar pada ukuran 20 x 20 meter. Demikian halnya dengan masyarakat Karo yang tinggal di perantauan selalu menjunjung tinggi tradisi atau adat istiadat di daerah asal termasuk tradisi
93
penggunaan jambur dalam konteks adat istiadat. Di Medan terdapat sejumlah jambur yang semuanya merupakan milik perorangan. Berbeda dengan jambur di kawasan Tanah Karo, jambur
maerupakan milik bersama warga desa. Dari
sejumlah jambur yang ada di Medan berada di kawasan Padang Bulan Medan antara lain : (1) Jambur Pemere terletak di jalan Jamin Ginting, Simpang Kuala, Medan. (2) Jambur Namaken & Son terletak di jalan Jamin Ginting Pasar VII, Padang Bulan, Medan. (3) Jambur Tenaga terletak di jalan Karya Wisata, Medan. (4) Jambur Sibayak terletak di jalan Jamin Ginting, Simpang Kuala, Medan. (5) Jambur Ernala terletak di jalan Jamin Ginting, Simpang Simalingkar, Medan. (6) Jambur Halilintar terletak di jalan Jamin Ginting, di kawasan Simpang Kuala, Medan. (7) Jambur Bukit Permai terletak di Jalan Tanjung Sari, Medan. Dari data-data seperti terurai di atas, bahwa orang Karo di Kabupaten Karo jumlahnya hamper mencapai 400 ribu dalam tahun 2010. Namun demikian, banyak pula suku Karo yang tinggal wilayah seperti Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Serdang Bedagai. Kemudian ada pula wilayahwilayah perantauan orang Karo, seperti Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, dan lainnya. Dalam konteks penelitian ini yaitu dengan fokus guna dan fungsi gendang telu sendalanen dalam upacara erpangir ku lau, maka orang-orang Karo memandang bahwa institusi budaya ini memanglah dapat memperkuat identitas kebudayaan Karo. Mereka juga merasa sebagai satu kesatuan etnik, yang perlu terus mempertahankan kebudayaannya. Orang-orang Karo di mana [un berada tetap
94
berusaha mempertahankan kebudayaannya yang juga sambil beradaptasi dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada di sekitarnya.
2.2 Sistem Kekerabatan Menurut Pritchard (1986:154) tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sederhana sekali, akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan politik, status sosial, ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lainlain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan pengerahuan mengenai alam semesta, teknik dan tradisi. Demikian halnya dengan masyarakat Karo memiliki memiliki sistem kekerabatan yang diwariskan secara turun-temurun yang mencakup bentuk ikatan kekeluargaan, sistem sosial dan politik, penyelesaian konflik, dan berbagai hal yang terkait dengan sistem kekerabatan. Setiap individu pada masyarakat Karo baik yang bermukim di kawasan kabupaten Karo maupun di luar kabupaten Karo kendati telah membaur dengan etnik lain di sekitarnya, pada umumnya mengetahui sistem kekerabatan yang berlaku yang menjadi pedoman dari sistem kekerabatan. Paling tidak setiap individu mengetahui posisi dirinya sebagai salah satu dari kelompok merga (istilah kelompok klen bagi masyarakat Karo). Kelompok merga tersebut terdiri dari lima merga induk yaitu, (1) Karokaro. (2) Ginting, (3) Tarigan, (4) Sembiring, dan (5) Perangin-angin,. Kelima merga induk ini disebut, merga silima. Setiap merga terdiri dari cabang-cabang merga. Istilah merga merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk perempuan.
95
Hubungan yang lebih luas dari perwujudan merga-merga pada masyarakat Karo adalah rakut sitelu (ikat yang tiga). Rakut sitelu ini mirip dengan pengertian dalihan natolu pada masyarakat Batak Toba dan Mandailing. Rakut sitelu pada masyarakat Karo merupakan suatu istilah untuk menyatakan sistem kekerabatan yang saling mengikat antara sesama anggota masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui kelahiran dan perkawinan. Rakut sitelu dapat dipandang sebagai pembagian kelompok berdasarkan adat istiadat Karo. Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah (a) Senina, (b) Anak beru, dan (c) Kalimbubu. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat Karo masing-masing sadar dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan dalam adat-istiadat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut sitelu. Sehingga dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing individu (keluarga) telah mengetahui posisinya sebagai bagian dari upacara tersebut. Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing individu terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo, didapat dari para orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem kekerabatan tersebut kepada generasi yang lebih muda pada berbagai kesempatan, misalnya ketika berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di celah pembicaraan lainnya. Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya khawatir dan malu jika anaknya atau generasi yang lebih muda tidak memahami sistem kekerabatan. Oleh karena itu selalu disarankan agar para remaja yang menjelang dewasa supaya rajin mendengar cerita-cerita orang tua yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan.
96
Bahwa orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami sistem kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal ini tidak diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus tidak memahami dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu yang penerapannya sangat jelas terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap keluarga harus memahami posisinya apakah ia berada pada kelompok Senina, Anak beru, atau Kalimbubu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya merasa khawatir jika anak-anak mereka sebagai generasi penerus, tidak tahu atau tidak memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo sebagai sebuah identitas yaitu, mengetahui posisi klennya dalam konteks merga silima, dan posisinya saat pelaksanaan sebuah ritual adat dalam pemahaman rakut sitelu. Selain merga dan beru, setiap individu dalam etnik Karo juga sekaligus mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut dengan bere-bere atau bebere. Dengan demikian sistem kekerabatan pada etnik Karo mengikuti garis garis keturunan merga ayah dan beru ibu sekaligus. Dengan demikian etnik Karo tidak murni menganut sistem patrineal (garis keturunan ayah) melainkan parental (bilatreral) yang merupakan percampuran dari sistem patrineal dan matrilineal yaitu menarik garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu sekaligus (Bangun, 1989). Jika merga dan beru disandingkan atau dicantumkan sekaligus di belakang nama bere-bere tidak pernah dicantumkan. Kendati demikian bere-bere
juga
berperan penting dalam sistem kekerabatan pada etnik Karo. Setiap perkenalan
97
(ertutur) antara sesame etnik Karo senantiasa menanyakan dan menyebut merga/beru dan bere-bere. Rakut si telu dalam ego adalah senina (saudara kandung atau saudara semerga), kalimbubu (saudara laki-laki dari ibu), anak beru (saudara perempuan dari ayah). Dengan demikian, setiap ego orang Karo akan mempunyai senina, kalimbubu, dan anak beru. Selanjutnya, dalam suatu kegiatan adat atau upacara adat ketiga unsur rakut si telu tersebut mengacu kepada orang yang melaksanakan kegiatan adat yang dikenal dengan istilah sukut. Sukut juga dapat disebut sebagai ego, namun dalam satu kegiatan adat, sukut tidak hanya satu orang atau satu ego merupakan keluarga, dan sukut juga terdiri dari dua kelompok. Sebagai contoh dalam adat perkawinan, yang menjadi sukut adalah ayah ibu dan saudara kandung ayah kedua penganten (laki-laki dan wanita), dan dalam upacara tersebut terdapat dua sukut yakni sukut sinereh (kelomppok pengantin wanita) dan sukut si empo (kelompok pengantin laki-laki). Jadi, rakut si telu dalam upacara adat mengacu pada kedua hal tersebut di atas. Jadi ketiga unsur dalam rakut si telu bermuara pada dua hal yakni pada diri atau ego dan kelompok dalam satu upacara adat yang disebut sukut. Berdasarkan uraian singkat diatas dapat dikatakan bahwa, setiap orang dalam masyarakat Karo memiliki kerabat sebagai senina, kalimbubu, dan anak beru secara permanen dalam keluarga karena peran tersebut lahir dari hubungan darah. Selanjutnya, setiap orang Karo juga secara otomatis mempunyai peran sebagai senina, kalimbubu, dan anak beru dari orang kerabatnya. Jadi rakut si telu dalam masyarakat karo berfungsi sebagai melingkar (sirkular). Sistem kekerabatan yang 98
tercakup dalam rakut si telu tersebut selanjutnya berkembang menjadi delapan sub kekerabatan yang di sebut dengan tutur si waluh (kedudukan yang delapan) yaitu: (1) puang kalimbubu, (2) kalimbubu, (3) senina, (4) senina siparibanen, (5) senina sipemeren, (6) senina sipengalon sedalanen, (7) anak beru, dan (8) anak beru menteri.
Bagan 2.1: Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima, dan Tutur Siwaluh dalam Kebudayaan Karo
99
Dalam kehidupan masyarakat Karo ada beberapa prinsip atau dasar yang merupakan landasan kehidupan adat yang disebut dengan, palas kegeluhen ibas adat. Landasan ini menggambarkan karakteristik kehidupan masayarakat Karo yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup aspek-aspek berikut ini.
(1) Hukum Bapa Pada masyarakat Karo seorang ayah (dalam konteks hukum bapa) menjalankan wewenangnya sebagai bapak disertai tanggung jawab yang besar untuk menghidupi atau mencari nafkah untuk kehidupan keluarga (jabu) secara mandiri dan layak.
(2) Nini-Kempu Gelar tutur yang paling tinggi pada etnik karo adalah nini dan paling rendah adalah kempu. Nini untuk laki-laki disebut nini bulang atau nini bayak. Sedangkan untuk wanita disebut nini tudung atau sesuai dengan berukai ia seperti nini karo, nini iting, nini tigan, nini ribu, nini baying, dan nini biring.Panggilan ini tidak bertentangan dengan adat Karo.
(3) Dilaki-Diberu Adat etnik Karo membedakan antara laki-laki (dilaki) dengan perempuan (diberu). Perbedaan ini terlihat pada status, hak, maupun fungsi. Hal ini akan menjadi jelas karena dilaki akan menjadi bapa, sedangkan diberu akan menjadi nande di dalam sebuah rumah tangga (jabu).
100
(4) Kaka-Agi Dalam adat Karo dikenal istilah kaka-agi. Kaka lebih dahulu lahir dari agi. Dalam adat Karo dikatakan kaka kalau idapeti, sedangkan agi ndapeti. Oleh karena itu agi harus menghormati kaka. Oleh karena itu etnik Karo kalau seseorang pindah ke suatu daerah tidak akan mengalami kecanggungan karena dia ndapeti dan otomatis hormat kepada penduduk setempat.
(5) Kekelengen Adat Sebagai etnik Karo, harus menerima dan menjalankan adat (kekelengan adat) dalam kehidupannya. Kekelengan adat
berintikan, “memberi terlebih
dahulu, baru menerima.” Artinya setiap ada pelaksanaan adat dalam lingkup keluarga atau kawan sekampung harus selalu dihadiri atau turut berpartisipasi pada upacara tersebut. Kekelengan adat ini sering diucapkan dalam rangkaian kalimat sebagai berikut: mangkuk lawes, mangkuk reh sumpit lawes, sumpit reh
(6) Karina Tengah Dalam adat Karo tidak membedakan manusia, atau tidak mengenal kasta. Dalam adat Karo tidak akan terjadi seseorang tetap menjadi sukut, senina, sembayak, kalimbubu atau anak beru. Tegun adat bagi seseorang sangat
101
dipengaruhi marga atau beru, Singalo Ulu Emas, Singalo Bere-bere, maupun sukut yang melaksanakan kerja adat.
(7) Runggu Runggu berarti bermusyawarah atau bermufakat untuk mengambil keputusan dalam konteks adat. Runggun adat dapat merupakan runggun nereh empo, runggun mengket rumah, runggun merekan ciken, dan sebagainya. Agar sebuah runggun adat dapat menghasilkan keputusan adat, maka runggun adat harus representatif artinya dalam runggun adat tersebut harus dilengkapi dengan unsur adat yang disebut dengan sangkep nggeluh.
(8) Kesirangen Sirang berarti putus hubungan. Oleh karena itu kesirangen jelas bukan sesuatu yang menyenangkan. Namun demikian kesirangen tidak dapat dihindarkan. Pada masyarakat Karo kesirangen terdiri dari : kesirangen jabu (perceraian), dan kesirangen mate (kematian).
(9) Pupur Sage Pupur sage atau nunghahi lau meciho cara yang ditempuh untuk saling memaafkan dalam kehidupan masyarakat Karo.
102
(10) Nabei Nabei menggambarkan sanksi adat karena tegun adat tidak melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya. Dalam adat nggeluh adat Karo, nabei biasanya dilakukan oleh anak beru kepada kalimbubu-nya. Karena anak beru tidak melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya (kurang nehken kehamaten man kalimbubu.
(11) Sumbang Sumbang mempunyai makna perbuatan yang tidak sesuai dengan adat nggeluh. Sumbang berkaitan dengan perbuatan yang bertentangan dengan adat nggeluh. Misalnya, sunbang pengerana/perende dan sunbang perlandek.
(12) Nengget Nengget pada dasarnya merupakan bagian dari kepercayaan. Nengget dilakukan oleh anak beruke pihak kalimbubu atau sebaliknya dari kalimbubu ke anak beru.
(13) Ndilo Wari Udan Ndilo Wari Udan dilaksanakan oleh masyarakat Karo apabila di kampung mereka sudah lama tidak turun hujan. Jika hujan sudah lama tidak turun, pasti akan berdampak pada kesulitan untuk hidup. Karena masyarakat Karo kebanyakan hidup dari sector pertanian.
103
(14) Erpangir Ku lau Erpangir ku lau merupakan satu ritual pembersihan diri yang di dalam ritualnya terdapat aktivitas berkeramas atau mandi bunga ke sungai Pelaksanaan erpangir ku lau didasari keinginan agar jumpa rejeki (keberuntungan), baru terlepas dari bahaya, baru sembuh dari penyakit, dan sebagainya.
(15) Njujungi Beras Piher Njujungi Beras Piher adalah upacara adat yang disampaikan kepada seseorang untuk menyampaikan terimakasih dan syukur kepada yang Maha Kuasa karena terlepas atau bebas dari mala petaka, sembuh dari penyakit, atau pengokohan jabatan.
(16) Ngaleng Tendi Ngaleng Tendi adalah upacara adat yang hamper sama dengan Njujungi Beras Piher yang dilakukan berdasarkan sistem kepercayaan pemena atau sindekah yang dilakukan kepada seseorang yang rohnya atau tendi-nya meninggalkan raganya walaupun seseorang tersebut masih hidup. Hal ini mungkin terjadi karena terkejut oleh suatu kejadian yang dialami seseorang. Untuk memanggil roh (tendi) tersebut maka diadakan kerja adat agar roh (tendi) tersebut kembali ke badan yang bersangkutan, dalam
104
hal inisierjabaten atau guru mengundang roh (tendi) melalui senandung atau nyanyian.
(17) Rebu Rebu adalah istilah untuk menggambarkan pembatasan dalam hal komunikasi atau ngerana, perkundul, perdalan, peridi, dan sebagainya. Tujuan dari pelaksanaan rebu bertujuan untuk menjalankan kehormatan dan kesopanan. Rebu dapat terjadi antara: (1) menantu (kela) dengan mertuanya baik mertua laki-laki maupun mertua perempuan. (2) menantu (kela) dengan silih dan istrinya. (3) menantu (kela) dengan puang kalimbubu baik singalo bere-bere dan singaloperkempun. (5) Ayah menantu (kela) dengan suami istri atau perbulangen dan kemberahen, kalimbubu, puang kalimbubu, maupun puang nupuang kalimbubu. Beberapa prinsip atau dasar yang merupakan landasan kehidupan adat yang disebut dengan, palas kegeluhen ibas adat tersebut jelas menunjukkan karakteristik kehidupan masayarakat Karo yang selalu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem kekerabatan etnik Karo dan sistem interaksi sosial yang dibangun berdasarkan filsafat yang dianut suku Karo seperti diuraikan di atas, juga diterapkan nilai-nilainya di dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Upacara ini tetap berlandas pada system kekerabatan. Mereka juga berbahasa Karo dan menerapkan tutur siwaluh bagi sesama pengikut upacara dan pemusik. Dengan demikian, 105
upacara ini berdasar pada sistem kekerabatan etnik Karo, yang terus mereka pertahankan sampai saat ini.
2.3 Sistem Mata Pencaharian Keseluruhan daerah Kabupaten Karo yang beriklim sejuk sebagaimana dikemukakan di atas, berada di kisaran 14-26 derajat Celsius, berada pada dataran tinggi dan pegunungan. Sesuai dengan iklim tersebut, maka sistem mata pencaharian yang dilakukan masyarakat Karo adalah bertani/pertanian. Masyarakat Karo telah lama meninggalkan sistem pertanian yang berpindah-pindah dan telah berubah menjadi sistem pertanian secara menetap. Hal ini ditandai dengan telah adanya kepemilikan perseorangan setiap lahan yang ada, kecuali wilayah hutan dan pegunungan yang belum di olah menjadi lahan produktif, masih merupakan milik bersama masyarakat sekitarnya. Secara tradisional, tanaman yang paling banyak dijadikan sebagai tanaman pokok pada masyarakat karo adalah page (padi), baik yang ditanam di sabah (lahan basah) maupun di juma (lahan kering). Sempa Sitepu (1996:148) mengatakan bahwa: “sejak dahulu masyarakat karo menilai padi ialah suatu tanaman paling berharga karena manfaatnya sangat besar. Padi yang diolah menjadi beras menjadi makanan pokok atau makanan utama dan tolak ukur keberadaan seseorang. Oleh sebab itu setiap keluarga berupaya membuat cadangan bahan makanan berupa padi paling tidak selama 1 (satu) tahun yang disimpan di lumbung padi.” Namun di beberapa wilayah kecamatan, seperti: Berastagi, Simpang Empat, Tiga Panah, Merek, Kabanjahe banyak di antara masyarakatnya yang
106
menanam sayur-sayuran dan buah-buahan serta bunga. Artinya, masyarakat di Kecamatan tersebut lebih menggantungkan mata pencahariannya pada jenis tanaman di luar page (padi). Hal ini cukup beralasan mengingat wilayah-wilayah tersebut merupakan dataran tinggi yang kurang memiliki sumber air (sungai) sehingga irigasi sebagai bagian penting dan lahan untuk sabah (sawah) tidak mencukupi. Selain sebagai daerah penghasil sayur-mayur, bunga dan buah-buahan, Kota Berastagi juga merupakan suatu daerah tujuan wisata yang cukup dikenal di wilayah sumatera utara. Seiring dengan perkembangan jaman, jenis mata pencaharian secara umum masyarakat Karo juga dalam satu dasawarsa terakhir ini mengalami perubahan yang cukup signifikan. Lahan-lahan pertanian kering (tuhur) pada saat sekarang ini telah banyak yang berganti tanaman dari padi (page) menjadi jeruk (rimo). Tidak jarang pula, sabah (lahan basah) sengaja dikeringkan agar dapat ditanami dengan tanaman jeruk tersebut. Daerah kabupaten Karo dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi suatu daerah penghasil buah jeruk yang cukup dikenal di Sumatera Utara, bahkan sampai ke pulau Jawa. Menurut data dari Dinas Pertanian Kabupaten Karo, produksi buah jeruk diwilayah kabupaten Karo pada trahun panen 2002 menghasilkan sebanyak 372.695.8 ton jeruk. Buah jeruk dari Kabupaten Karo secara berkelanjutan dijual kewilayah luar kabupaten Karo, bahkan sampai ke wilayah pulau Jawa. Di kabupaten ini terdapat padang rumput yang luas yang disebut dengan Nodi. Nodi adalah lembah luas milik pemerintah yang terdiri dari padang rumput luas
tanpa pohon diatasnya yang luasnya 2000 ha. Masyarakat setempat
107
menggembalakan sapi-sapi pada pada padang tersebut. Angin yang berhembus dan lahan yang terbuka membuat atmosfir yang berbeda dengan tempat-tempat lain di Sumatera Utara. Jalan yang mudah ditempuh untuk mengunjungi Nodi melalui melalui persimpangan di Desa Perbulan. Di Kabupaten Karo terdapat dua buah pasar hewan yaitu di Suka (1 km dari Tiga Panah) dan desa Sukarame. Kegiatan di pasar hewan berlangsung setiap hari selasa dan dimulai pada pukul 09.00 WIB, tetapi meskipun para pemilik hewan sudah ada di ditempat, transaksi dilakukan jam 13.00 WIB. Inilah waktu yang terbaik untuk mengunjungi pasar ini. Sekitar 600-700 hewan, kebanyakan lembu dan kerbau dibawa untuk dijual. Hampir setengah dari hewan tersebut akan terjual. Kerbau dan lembu masih dipergunakan sebagai alat trasportasi di beberapa daerah di Kabupaten Karo. Seekor lembu lebih cepat dan lebih sesuai untuk permukaan jalan yang berat. Seekor kerbau disebut pedati. Perjalan petani dari Tiga Panah ke Kabanjahe mabutuhkan waktu 1,5 jam. Untuk menuju Tiga Panah menggunakan bus dari terminal Kabanjahe. Dalam konteks penelitian ini, mayoritas etnik Karo adalah masyarakat yang menghasilkan kebudayaan yang bersifat pedesaan dan pertanian. Dalam hal ini, mereka selalu berorientasi kepada alam dan sistem religi. Mereka selalu mengadakan uoacara-upacara yang berkaitan dengan budaya agraris. Mereka selalu berkomunikasi dengan Tuhan Yang maha Kuasa, baik di era animism, Kristen, maupun Islam. Upacara erpangir ku lau yang menggunakan ensambel gendang telu sendalanen yang di dalamnya juga melibatkan alat musik keteng-keteng adalah 108
ekspresi dari masyarakat agraris yang bersandar kepada kekuatan supernatural dan Tuhan. Budaya agraris ini menjadi faktor penting bagi tumbuh dab berkembangnya institusi adat-istiadat erpangir ku lau.
Gambar 2.2. Salah Satu Pasar Hewan di Kabupaten Karo (Sumber: BPS Kabupaten Karo 2012).
109
2.4 Agama dan Sistem Religi 2.4.1 Agama Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya. Untuk mengatasi keterbatasan itu orang berpaling kepada manipulasi makhluk dan kekuatan supernatural (Haviland, 1985:193). Dalam mengidentifkasi agama dapat diketahui melalui beberapa ciri seperti adanya berbagai jenis ritual, doa, nyanyian, tari-tarian, sajian-sajian dan kurban, yang diusahakan oleh manusia untuk memanipulasikan mahluk dan kekuatan supernatural untuk kepentingan sendiri. Makluk dan kekuatan super natural tersebut dapat terdiri atas dewa-dewa dan dewi-dewi, arwah leluhur, dan roh-roh lain yang keseluruhannya dipercaya memiliki kekuatan supernatural (Haviland, 1985:193). Kepercayaan-kepercayaan religius tersebut tidak hanya melukiskan dan menjelaskan mahluk-mahluk sakral seperti Tuhan, dewa atau malaikat-malaikat, dan alam gaib seperti surga dan neraka, tetapi lebih penting dari semua itu adalah hubungan mahluk dan alam gaib itu dengan dunia kehidupan manusia secara nyata. Oleh karena itu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari kelompok masyarakat pendukung atau penghayat akan lebih banyak dilihat dari implikasi dalam praktik kehidupan budaya spritual (Notingham dalam Pelly, 2010). Kepercayaan religius yang tumbuh dan berkembang di berbagai etnik, kemudian berkembang menjadi agama kesukuan.
110
Dalam konteks pendekatan antropologis, agama merupakan seperangkat yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada manusia atau alam. Pemahaman ini mengandung suatu pengakuan bahwa, kalau tidak dapat mengatasi masalah serius yang menimbulkan kegelisahan, manusia berusaha mengatasinya dengan memanipulasikan makhluk dan kekuatan supernatural. Maka untuk itu digunakan atau dilakukanlah upacara keagamaan yang dipandang sebagai gejala agama yang utama atau “agama sebagai perbuatan (religion in action)”. Fungsinya yang utama adalah untuk mengurangi kegelisahan dan untuk memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri (Anthony FC Walace dalam Haviland, 1985:195-196). Dengan demikian dalam pendekatan antropologis, agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang oleh manusia digunakan untuk mengendalikan aspek alam semesta yang tidak dapat dikendalikannya. Karena dalam semua kebudayaan yang dikenal, tidak ada sesuatu yang sungguh-sungguh dengan pasti dapat mengendalikan alam semesta, maka agama merupakan bagian dari semua kebudayaan. Salah satu ciri agama adalah kepercayaan kepada mahluk dan kekuatan supernatural. Manusia berupaya untuk mengendalikan dengan menggunakan sarana agama yang tidak dapat dikendalikan dengan cara-cara lain, manusia berpaling kepada doa, kurban, dan kegiatan upacara pada umumnya. Di belakangnya ada anggapan tentang adanya alam makhluk-makhluk supernatural, yang menaruh perhatian kepada urusan manusia, dan kepada siapa permohonan pertolongan dapat
111
ditujukan. Untuk mudahnya makhluk-makhluk tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu : dewa-dewa besar (dewa dan dewi), arwah leluhur, dan roh-roh, yang diakui oleh berbagai kebudayaan dari berbagai bangsa di dunia. Dewa dan dewi adalah mahluk-makhluk penting yang relatif jauh dari manusia, biasanya dewa-dewi ini dianggap mengendalikan alam semesta, masingmasing nerkuasa atas bagian-bagian tertentu dari alam semesta. Dalam mitologi Yunani, Zeus adalah dewa langit, Poseidon berkuasa atas lautan, dan Hades adalah pemegang kekuasaan di dunia bawah (neraka) dan memerintah para orang yang sudah meninggal. Di samping tiga bersaudara itu ada banyak dewa lain, yang masing-masing juga seperti itu berhubungan khusus dengan aspek-aspek tertentu dari kehidupan dan alam semesta. Panteon, atau koleksi dewa-dewa dan dewi-dewi seperti kepunyaan orang Yunani, biasa terdapat pada Negara-negara non-Barat. Karena negara itu sering tumbuh akibat perbuatan daerah, panteon mereka pun sering tumbuh, karena dewa-dewa lokal bangsa-bangsa yang ditaklukan sering dipersatukan ke dalam panteon nasional. Biasanya di dalamnya termasuk mereka yang membentuk dunia kita sekarang ini, meskipun tidak demikian halnya dengan orang-orang Yunani. Cirri yang sering terdapat, meskipun tidak selalu demikian, adalah adanya dewa tertinggi, yang mungkin hampir sama sekali diabaikan oleh manusia. Misalnya, orang-orang Aztec di Meksiko mengakui adanya pasangan dewa-dewi yang tertinggi, tetapi mereka tidak menaruh perhatian kepadanya. Alasannya adalah karena mereka itu begitu jauh, perhatian mereka dipusatkan kepada dewa-dewi, yang secara lebih langsung terlibat dalam permasalahan dunia.
112
Kepercayaan kepada arwah leluhur sejalan dengan pengertian yang tesebar luas bahwa makhluk manusia terdiri atas dua bagian, tubuh dan suatu jenis roh penghidupan. Misalnya, orang Indian Penobscot, yang percaya bahwa setiap orang mempunyai roh vital, yang dapat mengadakan perjalanan di luar tubuh, sedang tubuhnya tetap tidak bergerak. Mengingat adanya beberapa konsep seperti itu, gagasan tentang roh yang pada waktu orang meninggal, dibebaskan dari tubuh dan tetap terus hidup, adalah cukup logis. Di mana ada kepercayaan tentang arwah leluhur, maka makhluk-makhluk tersebut sering dianggap masih tetap secara aktif menaruh perhatian kepada masyarakat dan bahkan menjadi anggotanya. Seperti orang-orang yang masih hidup, arwah leluhur itu dapat bersikap baik atau bermusuhan terhadap kita, tetapi orang tidak pernah sungguh-sungguh pasti tentang apa yang akan diperbuat oleh mereka. Rasa ketidakpastian yang sama bagaimana reaksi mereka terhadap apa yang telah dilakukan dapat timbul terhadap arwah leluhur, seperti yang cenderung timbul terhadap orang-orang dari generasi yang lebih tua yang berkuasa atas orang lain. Di luar itu, arwah leluhur sangat mirip dengan orang yang masih hidup dalam hal selera, perasaan, emosi, dan perilaku. Kepercayaan kepada arwah leluhur dalam suatu bentuk terdapat di berbagai tempat di dunia. Akan tetapi, khususnya dalam beberapa masyarakat di Afrika, konsep tersebut berkembang sekali. Di sini orang sering menemukan arwah leluhur yang perilakunya persis seperti manusia. Mereka dapat merasa panas, dingin, dan sakit, dan mungkin dapat mati untuk kedua kalinya karena tenggelam atau terbakar. Mereka bahkan dapat menghadiri pertemuan-pertemuan keluarga dan
113
lineage, dan untuk mereka akan disediakan tempat duduk, meskipun mereka tidak kelihatan. Akhirnya, mereka dapat lahir kembali sebagai anggota baru lineagenya, dan dalam masyarakat yang memegang teguh kepercayaan seperti itu, ada perlunya untuk mengamati bayi dengan baik, untuk menentukan siapakah tepatnya yang dilahirkan kembali itu. Kepercayaan yang mendalam tentang arwah leluhur seperti itu khususnya cocok dengan masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok kekerabatan yang mempunyai orientasi kepada leluhur. Akan tetapi, lebih dari itu, kepercayaan seperti itu member rasa kesinambungan yang kuat, di mana masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang semuanya saling berkaitan. Sebagaimana halnya dengan sistem religi yang tumbuh ditengah masyarakat tradisional, dalam masayarakat Karo sampai sekarang masih terdapat agama suku, yang disebut dengan, Pemena. Agama ini disebut juga dengan agama perbegu. Menurut Ginting (1999:7-8) orang karo yang hidup dalam agama pemena (pagan, heiden, kafir, perbegu) merasakan dan mengalami bahwa semua aspek kehidupannya diresapi oleh konsep keberagamannya. Tidak ada aspek kehidupan berada di luar pengaruh agama atau konsep adikodrati.
Setiap suku bangsa,
termasuk suku bangsa Karo berusaha menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dengan penyesuaian tersebut maka setiap keluarga mendapatkan keperluan hidupnya seperti makanan,minuman dan perlindungan.dalam penyusaian diri tersebut muncul pelbagai tanggapan manusia dan membentuk kebiasaankebiasaan manusia sesuai dengan lingkungannya
114
Dengan penyesuaian diri terhadap alam sekitar, manusia merasakan bahwa ia berhadapan dengan kuasa-kuasa yang mengatur dalam perubahan-perubahan alam. Manusia merasakan bahwa ada yang mengatur musim-musim, keberhasilan panen, peredaran angin dan awan, hewan, dan lain-lain. Semuannya ini di luar kemampuan manusia dan meresakan kemampuan manusia terbatas. Manusia berkumpul dalam kelompok-kelompok atau suku-suku bangsa mempersatukan kekuatannya untuk menghadapi kuat kuasa yang tidak nampak oleh mata mereka. Manusia memanggil atau berseru kepada kuasa-kuasa atau kekuatankekuatan atau roh-roh. Melalui pengalamannya berhubungan dengan kuasa-kuasa yang ada, suku-suku bangsa merasakan bahwa kuasa-kuasa tertsebut mau hadir dengan cara tertentu, tempat dan waktu tertentu. Akhirnya kuat kuasa magis-mitisanimistis tersebut dibesarkan dan disembah serta membuat nama-namanya. Kuasa satu dewa misalnya bergantung kepada apa yang diperbuatnya. Dalam agama Pemena yang masih diyakini oleh sebagian masyarakat Karo, terdapat percampuran konsep keagamaan terhadap DibataKaci-kaci dengan penyembahan yang bersifat animistis yakni penyembahan atau pemujaan terhadap roh-roh orang mati dan juga paham dinamisme yang masih hidup. Percampuran inilah yang serng nampak di dalam banyak tatacara , bicara, kiniteken, dan adat istiadat Karo. Seiring dengan pertumbuhan penduduk maka keberagaman agama di Tanah Karo meningkat cukup pesat. Namun demikian penganut kepercayaan Pemena (agama kesukuan) masih banyak ditemukan di desa-desa. Meskipun pada prinsipnya mereka telah menganut agama Kristen atau Islam, namun kepercayaan-
115
kepercayaan lama, yang disebut sebagai Pemena masih dijalankan oleh penganutnya. Dan hal ini difahami sebagai adat. Hal ini menunjukkan bahwa etnik Karo sangat memegang teguh adat istiadatnya kendati masih, banyak ajaran-ajaran kepercayaan pemena yang bertentangan dengan ajaran agama yang telah dianut. Oleh sebab itu ada semacam situasi yang ambigu dalam masyarakat antara memeluk agama dan mempertahankan adat (kebudayaan). Sejak masuknya agama Kristen ke Tanah Karo, yang dimulai pada 18 April 1890 oleh Misionaris NZG dari Belanda, yaitu Pdt. H. C. Kruyth dan pembantunya Nicolas Pontoh dari Tomohon, Sulawesi, maka lambat-laun orang Karo banyak yang memeluk agama Kristen. Upacara-upacara ritual dalam konteks agama kesuakuan (Pemena) sebagaimana dikemukakan di atas lambat laun dilarang oleh pihak gereja, karena hal tersebut tidak sesuai dengan dogma atau ajaran Kristen. Meskipun demikian, upacara tersebut masih dapat terus bertahan hingga saat ini meskipun yang melaksanakan relatif kecil.
2.4.2 Sistem Religi Sejak zaman prahistoris etnik Karo percaya adanya pencipta dan penguasa alam semesta yang disebut dengan Dibata Kaci-Kaci. Pada etnik ini secara tradisional terdapat religi yang memadukan ke ‘serba roh’ dengan sistem kedewataan secara serasi, dan saling melengkapi. Dalam konsep dinamisme dan animisme, etnik Karo berfikir secara mistis, hidupnya dikelilingi oleh kekuatankekuatan kosmis, menggunakan mitos untuk memahami hidup dan lingkungannya. Pada tingkat yang lebih tinggi, muncul konsep guru sibaso yang menjadi perantara
116
orang hidup dengan yang telah mati, dapat melihat hal-hal gaib dan dunia makhluk halus (seer) atau dunia roh (Ginting, 1999:1). Sistem kepercayaan animis tersebut berasal dari zaman Pra-Hindu yakni sejak Proto Melayu yang menjadi nenek moyang orang Karo. Kemudian masuk pengaruh Hindu yang membawa kepercayaan kepada dewata. Menurut H. Parkin dalam bukunya Batak Frult of Hindu Thought, bahwa orang India (Tamil) sebagai pedagang, masuk dari pantai Barat, Barus dan seterusnya ke Dairi kemudian ke daerah Karo. Maka terjadilah pertemuan kepercayaan yang serba roh (animisme) dan kepercayaan kepada dewata (dibata). Kemudian terjadi perkawinan darah dan kepercayaan antara etnik Karo Proto Melayu dan Deutro Melayu dengan orang India (Tamil) secara serasi (Ginting, 1999:2). Dari rekonstruksi atau penggambaran ini nampak bahwa etnik Karo mempunyai beberapa lapisan asal-usul, ada lapisan asli Proto Melayu, Deuto Melayu (kebudayaan Dongson) yang disusul oleh pengaruh Hindu. Dari pembauran ini terjadi percampuran darah dan budaya sehingga pada etnik Karo terus berlangsung ritus-ritus kepada roh-roh yang lebih tinggi dari roh biasa. Ada ritus kepada roh pelindung desa yang disebut dengan,
buah huta-huta, nini pagar,
pengulu baling, dan ada pula ritus kepada roh pelindung keluarga yang disebut dengan, begu jabu. Kepercayaan kepada dewata yang disebut dengan Dibata Kaci-Kaci bersifat transenden dan imanen menjadi lebih nyata menerobos semua kosmologi Di setiap wilayah kekuasaannya yang terdiri dari dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Di setiap wilayah kekuasaan Dibata Kaci-Kaci diperintah oleh Dibata
117
sebagai wakil dari Dibata Kaci-Kaci dan ketiga Dibata tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut dengan, Dibata Sitelu. Dibata Sitelu adalah nama lain yang disesuaikan dengan tugas dan kedudukan Dibata Kaci-Kaci di setiap wilayah kosmologi etnik Karo yaitu, Guru Butara, Tuhan Padukah ni Aji, dan Tuhan Banua Koling. Kemahakuasaan dari Dibata Kaci-Kaci
menjadi lebih nyata menerobos
semua bagian kosmologi sehingga dapat dirasakan dan bermakna bagi semua pengada dunia dan alam jagat raya. Demikian juga transendensi tersebut mengandung fenomena iman dalam struktur kehidupan manusia. Sangkep Ngeluh yaitu, Sangkep sitelu (kalimbubu, senina, anak beru) adalah trinitas kehidupan yang merupakan archetype Tuhan. Unsur kalimbubu disebut dibata ni idah (Allah yang nampak) yang menjadi simbol kehadiran Allah sebagai sumber kehidupan yang nampak (Ginting, 1999:4). Sistem religi dalam konteks Pemena (agama kesukuan) yang masih terdapat di tengah kehidupan masyarakat Karo dipadu dengan adaya kecenderungan masyarakat mengkombinasikan antara ajaran agama yang telah dianut dengan paham Pemena, membuat warna budaya tradisional Karo terkesan eksotik dan sangat menonjol yang merupakan salah satu karakteristik dari etnik ini. Upacara erpangir ku lau yang dalam pelaksanaannya melibatkan gendang telu sendalanen dan alat musik keteng-keteng, sebenarnya syarat muatan nilai sistem religi orang Karo, khususnya mereka yang beragama Pemena. Namun bagi pemeluk agama lainnya, sedikit banyaknya berbagai sistem religi lama ini masih diteruskan dan disesuaikan dengan agama yang mereka anut. Bahwa upacara erpangir ku lau
118
sebenarnya adalah pengejewantahan terhadap keyakinan mereka khususnya hubungan antara manusia dengan alam gaib dalam konteks kosmologi.
2.5 Ragam Tradisi dalam Dinamika Kehidupan Etnik Karo Sebagaimana etnik lainnya, etnik Karo memiliki kebiasaan-kebiasaan yang disepakati dan dilakukan secara berkala. Secara tradisional pada etnik ini dikenal aktivitas kerja tahun yang diadakan satu kali dalam setiap tahun (biasanya dilakukan setelah panen) yang merupakan suatu ritual tradisional yang berhubungan dengan sistem penanaman padi di kabupaten Karo. Upacara ritual atau seremonial terebut merupakan ucapan rasa syukur akan hasil panen yang sudah didapat. Secara umum pelaksanaan kerja tahun dilakukan secara bersamaan dalam lingkup satu kecamatan. Namun demikian ada pula sebagian desa yang melalukan ritual kerja tahun secara sendiri. Ritual kerja tahun memiliki beberapa tahapan tertentu seperti, kikurung yaitu, mencari jangkrik untuk dijadikan makanan, ndurung (mencari ikan untuk dijadikan lauk pauk), motong (memotong lembu, kerbau, babi untuk dijadikan makanan), matana (hari pelaksanaan kerja tahun yaitu makan bersama). Nimpa yaitu, membuat kue tradisional, rebu (pantang pergi ke sawah atau ke lading). Masing-masing tahapan tersebut, berlangsung dalam satu hari, namun pada masa sekarang, tidak seluruhnya tahapan tersebut dilaksanakan. Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan, dalam pelaksanaan kerja tahun yang masih tetap dilakukan adalah ritual motong dan matana, khususnya di kawasan kabupaten Karo. Setiap keluarga mengundang kerabat terdekat (anak
119
kandung, saudara, cucu beserta keluarga) yang berada di daerah lain, baik yang berada di daerah wilayah Karo, maupun daerah terdekat di luar kabupaten Karo. Seluruh keluarga berkumpul pada saat pelaksanaan kerja tahun untuk makan bersama dengan lauk pauk daging serta beberapa jenis makanan tradisional Karo seperti, cimpa (terbuat dari tepung beras, gula dan kelapa yang diolah dengan cara mengkukus), rires (lemang). Biasanya setiap keluarga menyiapkan makanan dalam jumlah yang relatif banyak, karena masing-masing keluarga akan mengundang dan mengunjungi kerabat terdekatnya seperti kalimbubu, anak beru, senina untuk makan bersama di rumah yang dikunjungi. Pada hari motong dan matana dalam kerja tahun yang dilakukan oleh beberapa desa atau satu kecamatan, biasanya diadakan seni pertunjukan tradisional gendang guro-guro aron. Tradisi lainnya yang merupakan bagian dari siklus kehidupan masyarakat Karo adalah kebiasaan minum kede kopi (warung kopi). Pengunjung kede kopi biasanya adalah laki-laki dan waktu yang paling ramai adalah pada sore hingga malam hari. Di kede kopi selain bercengkrama, mereka juga mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan pertanian, religi, dan adat istiadat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan kede kopi pada masyarakat Karo tidak sekadar warung kopi biasa, melainkan merupakan sarana penting, selain sekadar tempat pertemuan, bisa menjadi sarana komunikasi sesama dalam membahas berbagai hal penting yang menyangkut berbagai permasalahan yang dihadapi seperti didkusi mengenai penanggulangan hama tanaman, sistem religi adapt-istiadat dan berbagai hal lainnya.
120
Dalam kehidupan etnik Karo hidup dan berkembang seni sastra yang disebut dengan, Cakap Lumat yaitu dialog yang diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun, dan gurindam yang digunakan untuk sepasang kekasih untuk saling menggoda. Misalnya dahulu seorang pemuda menjalin percintaan dengan seorang gadis di ture (teras rumah adat) maka untuk menarik perhatian gadis tersebut dia menggunakan cakap lumat. Seni sastra Karo dapat digolongkan beberapa jenis yaitu : pantun, gurindam, anding-andingen (sindiran), kuan-kuanen (perumpamaan), bintang-bintang (mirip pantun), bilang-bilang (cetusan rasa sedih), cerita mitos, legenda dan cerita rakyat. Bahkan bilang-bilang juga ditulis dengan menggunakan aksara Karo di sepotong bambu. Isinya adalah jeritan hati sipenulisnya. Bilang-bilang tersebut terfokus pada suasana kepedihan. Oleh karena itu ada juga yang mengatakan bilang-bilang sebagai dengang duka. Sebagaimana halnya dengan etnik lainnya etnik Karo juga mempunyai legenda dan cerita rakyat seperti cerita Pawang Ternalem, Putri Hijau, Sibayak Barus Jahe, Guru Pertawar Reme, Si Beru Rengga Kuning, Beru Karo Basukum, Dunda Katekuten, Beru Ginting Pase, Baru Tarigan Tambak Bawang, Kak tengkok bungana, Siberu Tandang Kemerlang, Tera Jile-jile, Kerbo Sinanggalatu, Perpola, Singelanja Sira, Gosing Si Ajibonar dan lain sebagainya. Aksara Karo merupakan salah satu bentuk kekayaan sastra Karo. Menurut sejarahnya aksara Karo bersumber dari aksara Sumatera Kuno yaitu campuran aksara Rejang, Lebong, Komering, dan Pasaman. Kemungkinan aksara ini dibawa dari India Selatan, Myanmar/Siam dan akhirnya sampai ke Tanah Karo. Aksara ini
121
hampir mirip dengan Simalungun dan Pakpak Dairi. Aksara Karo dulu ditulis di kulit kayu, tulang dan bambu. Dalam kehidupan etnik Karo tradisi tarian yang disebut dengan landek Menurut masyarakat ini, masing-masing gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu. Masing-masing perlambangan tersebut selalu menggambarkan sifat manusia maupun hubungan seseorang dengan orang lain di dalam kehidupan sosialnya. Menurut Bujur Sitepu secara garis besar tari Karo dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : (1) tari religius, (2) Tari adat, dan (3) tari muda-mudi. Di antara tari religius adalah: tari guru, mulih-mulih, tari tungkat, tari peselukken, dan tari tembut-tembut. Tari-tarian tersebut biasanya dibawakan oleh golongan dukun atau guru. Tarian adat biasanya dilakukan pada upacara adat, dimana pihak-pihak yang menari adalah golongan keluarga dekat, antara lain anak beru, kalimbubu, dan sanina. Jadi tujuan tari ini adalah sebagai suatu adat dengan penuh penghormatan. Pada tarian muda-mudi norma ritual dan religi tidak begitu mengikat. hanya usaha untuk menunjukkan kelincahan dan keindahan menari. Tari ini lebih menekankan fungsi hiburannya, oleh karena itu sering dilakukan bersama-sama dengan perkolong-kolong dengan membentuk pasangan menari. Dalam setiap aktivitas tari di Karo, baik tari religius, adat, maupun mudamudi, terdapat tiga aspek pokok berkaitan dengan gerak tari. Ketiga aspek ini dapat dikategorikan sebagai unsur pembentuk tari Karo, yaitu gerak: endek (turun dan naik), jole (yaitu goyang badan), dan lampir tan (yaitu lentik jari). Sedangkan geseran kaki, gerak pinggang, dan main mata biasanya tidak banyak dieksplorasi
122
dan diperkenankan menurut norma adat istiadat Karo, karena dipandang tidak sopan. Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lainlain. Dengan demikian terjadi juga perubahan-perubahan norma dalam budaya Karo dalam konteks global. Di antara makna-makna perlambangan dalam tari Karo adalah sebagai berikut. (1) Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum terbuat, (2) Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu. (3) Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pe la banci ndeher adi lenga sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, ataupun tak kenal maka tak sayang, (4) Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat. (5) gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tidak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan. (6) Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna,
123
(7) Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan. (8) Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab. (9) Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati. Dalam konteks tari muda-mudi pada etnik Karo, dikenal
tari lima
serangke, tari terang bulan, tari roti manis, tari piso surit, tari telu serangke, dan tari ate jadi. Menurut Limbeng (2011), tari lima serangke terdiri dua versi, masingmasing versi Mbaga Ginting dan Seter Ginting. Kedua versi Sierjabaten Karo tersebut adalah tidak jauh berbeda, namun yang paling sering dipilih adalah versi Mbaga Ginting. Tari lima serangke merupakan satu bentuk tari yang dibangun dari lima buah style atau gaya yang terdapat pada musik Karo yang biasa disebut dengan cakcak yang sekaligus juga mewakili lima lagu atau biasa juga disebut dengan gendang (nama lagu). Gendang dalam masyarakat Karo harus difahami dari imbuhan kata setelahnya. Karena pengertian gendang sendiri pada masyarakat Karo mempunyai makna jamak. Gendang dapat sebagai seperangkat instrumen (ensambel), nama lagu, repertoar (kumpulan dari beberapa lagu), sebagai instrumen musik, dan nama upacara. Demikian dalam lima serangke tersebut dipadukan lima genre sekaligus
124
gendang (lagu), yaitu: (1) gendang morah-morah; (2) gendang perakut; (3) gendang cimpa jok; (4) gendang kabang kiung; dan (5) gendang patam-patam sering. Dari ke lima gendang yang dimainkan sebagai musik pengiring tari lima serangke tersebut, dari sisi tempo dapat kita lihat bagaimana alur tari tradisional Karo, yang dimulai dari tempo lambat (morah-morah) hingga tempo cepat (patampatam) sering sebagai klimaks dari pertunjukan atau tari tersebut. Melihat keragaman tempo tersebut, musik tari ini dapat dianggap sebagai dasar yang baik untuk mempelajari dan mempraktikkan tari tradisional Karo. Bagaimanapun, gerakgerak dalam tari Karo ini mengekspresikan nilai-nilai filsafat, yang dipercayai, dihayati, dan diaplikasikan nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat Karo. Etnik Karo juga sadar akan terjadi perubahan dan kontinuitas kebudayaan, termasuk bagaimana mendudukkan posisi erpangir ku lau dan ensambel musik gendang telu sendalanen dalam kehidupannya. Dari uraian-uraian etnografis di atas, tergambar dengan jelas bahwa etnik Karo memiliki kebudayaan yang khas, yang membedakannya dengan kebudayaankebudayaan etnik lain yang ada di Sumatera Utara khususnya dan Indonesia umumnya. Etnik Karo memiliki bahasa Karo, system kekerabatan, sistem religi sendiri, berbagai upacara tradisional (termasuk erpangir ku lau), kesenian, dan juga music tradisionalnya, termasuk ensambel gendang telu sendalanen, dan berbagai institusi budaya lainnya. Dengan gambaran etnografi tersebut di tas, dengan jelas akan dapat menggambarkan identitas orang Karo dan kebudayaannya. termasuk dalam tesis ini akan membahas upacara erpangir ku lau yang menggunakan ensambel gendang telu sendalanen dan keteng-keteng sebagai salah satu
125
instruimennya. Tujuannya adalah untuk mengetahui dengan jelas identitas kebudayaan Karo.
126
BAB III GAMBARAN UMUM KESENIAN TRADISIONAL ETNIK KARO
3.1
Kesenian Tradisional Etnik Karo Sebagaimana dikemukakan pada latar belakang masalah, bahwa betapa pun
sulitnya kehidupan suatu suku bangsa, mereka tidak akan serta merta menghabiskan seluruh waktunya itu hanya untuk mencari makan dan melakukan perlindungan semata-mata dari ancaman bahaya. Mereka juga akan menyisihkan sebagian dari waktunya terhadap karya-karya yang mengungkapkan rasa keindahan yang menunjukkan bahwa sesungguhnya kesenian sebagai ungkapan rasa keindahan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang bersifat universal. Demikian halnya dengan etnik Karo tidak terlepas dari aktivitas berkesenian sesuai dengan ragan kesenian tradisional yang ada. Kesatuan alam, budaya, dan seni,
merupakan perwujudan yang
menyeluruh dari sebuah etnik. Etnik Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang ada di wilayah Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan Kesenian Karo inilah yang menjadi kebanggaan dan salah satu karakteristik suku Karo yang selalu digunakan sebagai salah satu media dalam menjalankan adat istiadat yang merupakan bagian dari budayanya. Akan tetapi potensi dan pengembangan kesenian Karo tidak bisa terlepas dari bagaimana masyarakat Karo dalam mengapresiasikan kesenian Karo itu sendiri. 127
Dari aspek sastra, bahasa Karo adalah bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Karo. Ruang lingkup penggunaan bahasa itu sendiri tidak mengenal ruang dan waktu. Dimanapun dan pada saat kapanpun jika ada sesama Karo bertemu ataupun bukan orang Karo tapi mengerti bahasa Karo berhak untuk berdialog dengan bahasa Karo. Bahasa Karo tingkat tinggi disebut dengan cakap lumat. Cakap lumat adalah dialog diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam yang digunakan untuk sepasang kekasih untuk saling menggoda. Seni sastra Karo dapat digolongkan beberapa jenis yaitu: pantun, gurindam, anding-andingen (sindiran), kuan-kuanen (perumpamaan), bintang-bintang (mirip pantun), bilangbilang (cetusan rasa sedih), cerita mitos, legenda dan cerita rakyat. Bilang-bilang ditulis dengan aksara Karo di sepotong bambu. Isinya adalah jeritan hati sipenulisnya. Bilang-bilang tersebut terfokus pada suasana kepedihan. Oleh karena itu, ada juga yang mengatakan bilang-bilang sebagai dengang duka. Etnik Karo juga mempunyai legenda dan cerita rakyat. Misalnya cerita Pawang Ternalem, Putri Hijau, Sibayak Barus Jahe, Guru Pertawar Reme, Si Beru Rengga Kuning, Beru Karo Basukum, Dunda Katekuten, Beru Ginting Pase, Baru Tarigan Tambak Bawang, Kak tengkok bungana, Siberu Tandang Kemerlang, Tera Jile-jile, Kerbo Sinanggalatu, Perpola, Singelanja Sira, Gosing Si Ajibonar dan lain sebagainya. Aksara Karo merupakan salah satu bentuk kekayaan sastra Karo. Alat musik tradisional suku Karo adalah Gendang Karo. Biasanya disebut Gendang Lima Sendalinen yang artinya seperangkat gendang tari yang terdiri dari lima unsur. Unsur di sini bisa kita lihat dari beberapa alat musik tradisional Karo
128
seperti kulcapi, balobat, Surdam, keteng-keteng, murhab, serune, gendang si ngindungi, Gendang si nganaki, penganak, dan gung. Alat musik tradisional ini sering digunakan untuk menari, menyanyi dan berbagai ritus tradisi. Dalam kehidupan etnik Karo juga mengenal seni tari yang disebut dengan landek. Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehinggga tarian tersebut menarik dan indah. Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian berkaitan dengan ritus dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). Misalnya tari mulih-mulih, tari tungkat, erpangir ku lau, Tari Baka, Tari Begu Deleng, Tari Muncang, dan lain-lain. Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. Misalnya Tari Gundala-gundala, Tari Ndikkar dan lain-lain. Sejak tahun 1960 tari Karo bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai yang dipadu dari lima jenis tari yaitu Tari Morah-morah, Tari Perakut, Tari Cipa Jok, Tari Patam-patam Lance dan Tari Kabang Kiung. Setelah itu muncul pula tari Piso Surit, tari Terang Bulan, tari Roti Manis dan tari Tanam Padi. Keragaman seni pahat dan ukir suku Karo terlihat dari corak ragam bangunannya. Dulu orang yang ahli membuat bangunan Karo disebut Pande Tukang. Hal ini terlihat dari jenis-jenis arsitektur tradisional dari bangunan Karo seperti Rumah Siwaluh Jabu, Geriten, Jambur, Batang, Lige-lige, Kalimbaban, Sapo Gunung, dan Lipo. Seni ukir yang menjadi kekayaan kesenian Karo terlihat pada setiap ukiran bangunannya seperti Ukir Cekili Kambing, Ukir Ipen-Ipen, Ukir
129
Embun Sikawiten, Ukir Lipan Nangkih Tongkeh, Ukir Tandak Kerbo Payung, Ukir Pengeretret, dan Ciken. Seni drama pada etnik Karo tergolong langka. Kalaupun ada biasanya berhubungan dengan tarian seperti Tari Mondong-Ondong yang berhubungan dengan drama Perlanja Sira (Pemikul Garam), Tari Tungkat, dan Tari Guru.
3.2
Musik Tradisional Etnik Karo Masyarakat Karo, seperti halnya etnik lain di Indonesia memiliki
kebudayaan musikal yang dimainkan dalam berbagai konteks upacara adat, ritual, dan hiburan. Alat-alat musik yang digunakan untuk kegiatan upacara bersifat adat, ritual dan hiburan tidak selalu sama, namun disesuaikan dengan kebutuhan upacara tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa peranan alat musik atau jenis ensambel musik tradisional sangat penting di dalam mendukung eksistensi pemakaian musik pada masyarakat Karo dalam berbagai pelaksanaan upacara yang merupakan bagian dari pelaksanaan adat. Dari sekian banyak alat musik yang terdapat dalam ensambel musik tradisional Karo yang digunakan dalam berbagai kegiatan adat seperti untuk mengiringi keluarga yang sedang menarikan tarian adat (landek), sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan alam gaib dan roh-roh halus (jinujung) dan sebagai media untuk mengungkapkan perasaan hati seseorang, baik perasaan sedih maupun perasaan gembira. Hampir semua upacara adat masyarakat Karo dapat disertai dengan penggunaan gendang bingei. Sebagai salah satu medium dalam pelaksanaan ritual
130
adat seperti, kerja nereh-empo (pesta perkawinan adat karo), mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), nurun-nurun (upacara penguburuan jenazah), dan beberapa upacara adat Karo lainnya. Pada upacara adat perkawinan yang menyertakan gendang bingei, disebutkan kerja adat erkata gendang (upacara adat disertai dengan ensambel gendang bingei). Dengan demikian penggunaan musik tradisional dalam pelaksanaan aktivitas adat merupakan sebuah tradisi yang telah dilaksanakan sejak masyarakat Karo. Musik tradisional Karo adalah musik yang penggunaannya berkaitan dengan siklus kehidupan etnik Karo baik dari aspek religi, adat istiadat, maupun hiburan yang diwariskan secara turun-temurun. Pemahaman tentang fungsi musik dalam masyarakat tertentu dapat memberi pemahaman tentang keragaman aktivitas musik pada banyak kelompok suku bangsa di dunia khususnya di Indonesia, yang pada umumnya musik dianggap merupakan bagian dari pelaksanaan upacara baik yang bersifat keagamaan (agama kesukuan), adat-istiadat, maupun sebagai hiburan. Gendang Karo yang dimaksud disini adalah perangkat ensambel musik yang dibutuhkan sebagai musik pengiring atau media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Etnik Karo selalu menyebut hal yang terkait dengan musik dengan kata gendang. Oleh sebab itu pada masyarakat Karo kata gendang tersebut merupakan sebuah istilah mempunyai makna jamak. Setidaknya ada lima pengertian gendang tersebut sesuai dengan konteksnya, yaitu: (1) gendang sebagai nama lagu: (2) gendang sebagai ensambel musik; (3) gendang sebagai instrument musik; (4) gendang sebagai repertoar; dan (5) gendang sebagai nama upacara.
131
Gendang yang dimaksud dalam upacara erpangir ku lau dalam konteks penelitian ini adalah gendang sebagai ensambel musik. Ensambel musik yang digunakan dalam erpangir ku lau adalah gendang telu sedalanen, yaitu sering juga disebut dengan gendang kulcapi. Ensambel musik ini dimainkan oleh tiga orang pemain yang diberi gelar si erjabaten. Ensambel ini terdiri dari tiga buah instrument musik, yaitu (1) kulcapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi, yaitu gitar tradisional Karo dengan senar dua buah dengan interval kwint; (2) keteng-keteng (idiokordofon), yaitu alat musik bersenar yang dipukul. Alat musik ini terbuat dari satu ruas bambu betung, dan dari badan bambu itu sendiri dibuat senar dua buah sebagai pengganti suara penganak (small gong) dan gung (gong); (3) mangkuk mbentar, yaitu mangkok putih yang dipukul sebagai pembawa tempo utama. Dengan demikian dapat dipahami bahwa musik tradisional tidak sekadar bagian dari upacara ritual semata, melainkan secara akademis dapat menjadi sebuah bahan penelitian untuk memahami struktur masyarakat tertentu sebagai pemilik musik tradisi tersebut, serta berbagai fenomena lain yang mencakup ragam pengetahuan yang sangat bermanfaat. Berkaitan dengan pengertian fungsi dan makna musik tradisional Alan P. Merriam dalam Pasaribu (2004) mengatakan, secara rinci dalam sisi pandang musiko-antropologis, bahwa fungsi musik dalam sebuah masyarakat berkenaan dengan berbagai kebutuhan. Diantaranya: (a) sebagai wahana ekspresi emosional, (b) sebagai kenikmatan estetik, (c) sebagai hiburan pada berbagai tingkat sosietas (d) sebagai fungsi komunikasi, (e) sebagai refrensi simbolis (f) sebagai alat respon fisikal, (g) sebagai penguat konformitas norma sosial, (h) sebagai kontribusi untuk kontinuitas dan stabilitas kultural, dan (i) sebagai penopang
132
integrasi sosial. Keragaman fungsi di atas, selain akan berkaitan dengan problematika teknik artistik musik yang berupa elemen melodi, ritem, timbre, harmoni, tekstur, juga akan dihadapkan lagi pada pluralitas etnik dari berbagai aspek budaya lainnya. Sudah tentu akan terimbas pada tekstual dan hal-hal linguistik. Sehingga dapat kita susuri, betapa rumitnya kajian etnomusikologis dan interdisiplin musik yang keseluruhannya bermuara pada upaya melihat esensi fenomena musikal dan kaitannya dengan dinamika kehidupan manusia, baik secara personal maupun sebagai elemen komunal sebuah masyarakat. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa keberadaan musik tradisional dalam konteks pelaksanaan upacara ritual erpangir ku lau merupakan sebuah sarana atau media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Pemahaman fungsi dan makna penmggunaan musik tradisional memiliki kajian yang relatif luas, mencakup keseluruhan tata kehidupan sebuah kelompok masyarakat (etnik), mulai dari sistem religi, adat-istiadat, maupun sebagai hiburan dalam lingkup etnik tertentu.
3.3
Ensambel Gendang Lima Sendalanen Mengamati peran masing-masing alat musik yang tergabung dalam
gendang lima sendalanen, alat musik sarune berperan sebagai pembawa melodi utama, gendang singanaki berperan sebagai pengiring, yaitu menghasilkan ritem atau pola ritem tertentu yang dimainkan secara berulang-ulang dalam satu atau beberapa komposisi. Gendang singindungi pada setiap awal komposisi berperan membawakan pola ritem yang variabel, berbeda dengan pola ritem yang dibawakan
133
gendang singanaki, namun selanjutnya akan mengikuti pola ritem gendang singanaki secara berulang-ulang, sehingga terkesan monoritmik. Penganak dan gung dalam peranannya sebagai pengiring, yaitu menghasilkan pola pukulan yang berulang-ulang, sekaligus juga berperan sebagai pengatur kecepatan/tempo setiap komposisi agar tetap stabil atau konstan. Selain dimainkan secara instrumental, gendang lima sendalanen dalam aktivitas pelaksanaan adat pada masyarakat Karo yang berada di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan lau Baleng, Kabupaten Karo,
juga berfungsi sebagai iringan vokal
(lagu-lagu tradisional) yang disebut dengan ende-enden. Rende diartikan secara umum sebagai bernyanyi. Etnis Karo yang pintar bernyanyi disebut perende-ende. Perende-ende biasa dipanggil untuk bernyanyi sekaligus menari dalam sebuah upacara adat atau hiburan disebut, perkolong-kolong. Dalam pelaksanaan adat perkawinan, gendang lima sendalanen digunakan sebagai salah satu media untuk mengiringi pengantin. Gendang singanaki dan gendang singindungi (double sided conical drums) merupakan dua alat musik pukul yang terbuat dari kayu pohon nangka (Artocarpus integra Sp.). Pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis tersebut, terdapat membrane yang terbuat dari kulit binatang. Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Kedua alat musik ini memiliki ukuran yang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, dengan diameter babah gendangnya sekitar 5 cm, sedangkan diameter pantil gendang sekitar 4 cm.
134
Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya. Perbedaannya hanya pada gendang mini yang disebut gerantung (panjang 11,5 cm) yang diikatkan di sisi badan gendang singanaki, sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat menghasikan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan gendang singanaki tidak memiliki tehnik tersebut sehingga bunyi yang dihasilkannya tidak bisa naik turun. Masing-masing gendang memiliki dua palupalu gendang atau alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm.
Gambar 3.1 Gendang Singanaki.
135
Gambar 3.2. Gendang Singindungi Penganak dan gung tergolong dalam jenis suspended idiophone, gong berpencu yang memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik Nusantara. Perbedaan keduanya (Penganak dan gung) adalah dari segi ukuran atau lebar diameternya. Gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm), dan penganak memiliki ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan Penganak ini terbuat dari kuningan, sedangkan palu-palu (pemukulnya) terbuat dari kayu dengan benda lunak yang
136
sengaja dibuat di ujungnya untuk menghasilkan suara gung yang lebih enak didengar (palu-palu gung).
Gambar 3.3. Alat Musik Penganak dan Palu-Palu
137
Gambar 3.4 Alat Musik Gung dan Palu-Palu.
138
3.4
Alat Musik Non Ensambel Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah
diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara individual (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain (non-ensembel). Alat musik solo (individual) tersebut adalah kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murbab, genggong, dan tambur.
(1) Kulcapi Alat musik kulcapi yang dimaksud dalam alat musik solo ini sama dengan kulcapi yang telah diuraikan dalam kejua jenis ensambel musik tradisional di atas, namun perannya dalam kebudayaan musik Karo lebih dari satu yakni dapat dimainkan dalam ensambel, dan dapat juga dimainkan secara solo (tunggal). Perbedaannya adalah konteks penyajian. Kulcapi sebagai alat musik solo biasa digunakan sebagai hiburan pribadi, maupun dihadapan sekelompok kecil pendengar yang tidak memiliki konteks tertentu.
139
Gambar 3.5. Kulcapi Sebagai Alat Musik Solo (Individual).
Sebagai alat musik pribadi, kulcapi memiliki komposisi-komposisi tersendiri yang berisi tentang ceritera-cerita rakyat, seperti cerita penganjak kuda sitajur, cerita perkatimbung beru tarigan, tangis-tangis seberaya, tangis-tangis guru, dan beberapa cerita lainnya. Masing-masing ceritera tersebut dimainkan melalui melodi Kulcapi. Jika didengarkan oleh sekelompok orang sebagai hiburan, kadangkadang timbul pertanyaan dari pendengar tentang arti melodi yang sedang dibawakan oleh perkulcapi karena mereka tidak mengerti. Perkulcapi biasanya akan menjelaskan cerita dari melodi yang sedang ia mainkan sambil mengulangi melodi tersebut, sehingga pendengar akan semakin mengerti dengan melodi-melodi yang dimainkan perkulcapi.
140
(2) Belobat Belobat (block flute) sebagai instrumen solo juga merupakan alat musik yang sama dengan belobat yang terdapat dalam gendang belobat. Perbedaannya adalah konteks penyajian. Balobat sebagai instrumen solo digunakan sebagai hiburan pribadi ketika sedang mengembalakan ternak di padang rumput, ketika sedang menjaga padi di sawah atau di ladang.
Gambar 3.6 Balobat Sebagai Alat Musik Solo (Individual)
(3) Surdam Surdam alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Alat musik surdam ditiup dari belakang dengan ruas bambu yang terbuka (endblown flute). Secara konstruksi dan tehnik memainkan, surdam memiliki kemiripan dengan saluang pada musik tradisional Minangkabau atau shakuhachi pada musik tradisional Jepang. Dalam memainkan surdam memiliki teknik khusus untuk meniupnya agar dapat Alat musik surdam biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi. 141
(4) Embal-embal dan Empi-empi Kedua alat musik ini sebenarnya merupakan alat musik yang hanya biasa ditemukan di sawah atau ladang ketika padi sedang menguning. Keduanya dimainkan atau digunakan sebagai alat musik hiburan pribadi di sawah atau di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung. Embal-embal (aerophone, single reed) terbuat dari satu ruas bambu yang dibuat lobang-lobang penghasil nada. Sebagai alat musik tiup, lidah (reed) embal-embal dibuat dari badan alat musik alat musik itu sendiri. Empi-empi (aerophone, multiple reeds) terbuat dari batang padi yang telah mulai menguning. Lidah (reed) dari empi-empi dibuat dari batang padi itu sendiri, dengan cara memecahkan sebagian kecil dari salah satu ujung batang padi yang memiliki ruas. Akibat terpecahnya ruas batang padi menjadi beberapa bagian (tidak terpisah) maka ketika ditiup bagian yang terpecah tersebut akan menimbulkan bunyi. Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lobang-lobang untuk menghasilkan nada yang berbeda. Biasanya empi-empi mempunyai empat buah lobang nada. Untuk saat sekarang, embal-embal dan empi-empi sudah semakin jarang ditemukan/dimainkan oleh masyarakat Karo, khususnya orang Karo yang berada di daerah pedesaan.
(5)
Murbab, dan Genggong Alat musik murbab atau murdab merupakan alat musik gesek menyerupai
rebab pada alat musik tradisional Jawa atau biola pada musik klasik Barat. Murbab
142
terdiri dari dua senar, sedangakan resonatornya terbuat dari tempurung kelapa. Alat musik murbab dahulu dipergunakan sebagai alat musik solo dan dimainkan dihadapan beberapa orang sebagai hiburan. Alat musik ini kemungkinan besar telah hilang dari kebudayaan musik Karo. Genggong adalah alat musik yang terbuat dari besi, dan dibunyikan dengan menggunakan mulut sebagai resonator. Selain sebagai resonator, mulut juga berfungsi untuk mengubah tinggi rendahnya nada yang diinginkan. Pada waktu dulu, genggong
dipergunakan oleh
anak perana (perjaka) untuk memanggil
singudanguda (gadis) pujaan hatinya pada malam hari agar keluar dari rumah, sehingga mereka bisa memadu kasih asmara. Biasanya, seorang anak perana memainkan genggong dengan lagu tertentu yang telah dimengerti oleh kekasihnya, sehingga dia akan keluar dari rumah.
3.5
Musik Vokal Selain berbagai jenis alat musik yang telah dikemukakan di atas, pada
masyarakat Karo juga terdapat berbagai jenis nyanyian atau musik vokal. Endenenden atau nyayian pada tradisi musik Karo terdiri dari beberapa jenis, seperti, katoneng-katoneng, tangis-tangis, io-io,dan didong-doah. 1. Katoneng-katoneng: merupakan musik vokal yang diiringi dengan gendang lima sendalanen. Katoneng-katoneng disebut juga dengan pemasu-masun (nasehatnasehat). Karena isi atau tema dari lagu itu biasanya berisi nasehat, penghormatan, pujian doa atau harapan dan lain sebagainya. Kadang-kadang lirik dari katoneng-katoneng juga menceritakan tentang perjuangan atau kisah
143
hidup seseorang. Komposisi ini biasanya dinyanyikan perkolong-kolong. Nyayian ini bersifat narative song (nyayian bercerita). 2. Tangis-tangis yaitu nyanyian yang berikisah tentang kesedihan atau penderitaan seseorang. 3. Io-io yaitu nyayian yang berkisah tentang rasa rindu. 4. Didong-doah yaitu nyanyian seorang ibu ketika menidurkan anaknya. Tetapi aktifitas nyanyian didong-doah juga ditemukan didalam upacara perkawianan adat Karo, dimana seorang ibu mengungkapkan perasaan serta nasihatnya kepada keluarga pengantin. 5. Mang-Mang yaitu nyayian yang dinyayikan oleh seorang guru (dukun) untuk memohon sesuatu atau memberikan penghormatan kepada sesuatu yang di hormatinya. 6. Tabas yaitu nyanyian yang dinyayikan oleh seorang guru untuk mendapatkan berkat (mukjizat) Selain nyayian tersebut di atas masyarakat Karo juga mengenal nyayian yang dapat di ketegorikan sebagai nyayian rakyat yang penyajiannya di iringi oleh instrumen. Di antaranya : (1) Nuri-nuri yaitu nyayian yang berisi tentang suatu kisah atau cerita, (2) Pemasu-masun yaitu nyayian yang bertujuan memohon berkat kepada yang Maha Kuasa melalui seorang penyanyi. Kemudian di sampaikan kepada yang melaksanakan upacara. Semua jenis nyanyian di atas dapat disebut musik vokal yang bersifat individu. Maksudnya nyayian tersebut dinyanyikan secara pribadi sesuai dengan
144
keinginan dan kebutuhan seseorang. Dalam menggarap melodinya maupun tekstualnya tergantung kepada yang menyanyikannya. Komposisi musik tradisional Karo sebagian besar dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu melodi, ritmis variasi dan ritmis konstan. Melodi biasanya terdiri dari hanya satu buah melodi yang dihasilkan instrumen maupun bersama vokal. Sedangkan dalam ritem variasi biasanya dimainkan oleh dua buah gendang yaitu gendang singanaki dan gendang singindungi. Dalam hal ini ritem varisi juga dapat dibagi menjadi ritmis bebas artinya dapat bervarisi terus menerus, sedangkan ada ritmis variasi berpola untuk mengikuti tempo yaitu gendang anak atau singanaki yang biasanya digunakan untuk mempertahankan beat. Sedangkan ritmis konstan gung penganak pola ritmisnya. Bila diperhatikan dalam komposisi musik
Karo, terdapat harmonsisai
dalam komposisi musik tradisional tersebut. Dalam hal ini pengrtian harmonisasi tidak sama dengan pengertian harmonisasi pada barat. Dalam musik Barat, harmonisasi berhubungan dengan interval dari nada-nada stau melodi ke melodi lain. Ataupun hubungan melodi ke progresi akord. Sedangkan harmosisasi dalam musik Karo adalah hubungan yang selaras antara unsur-unsur musik Karo sehingga menyatu yang menghasilkan sebuah komposisi musik. Harmonisasi musik Karo pada dasarnya adalah gabungan dari melodi dan ritmis yang menyatu dengan seimbang. Gabungan yang seimbang antara melodi dengan ritmis disebut ranggut. Pengertian ranggut disini sesuai dengan buku gendang atau lebih dikenal dengan ketok. Oleh karena itu keseimbangan atau harmonisasi muncul pada musik tradisional Karo bukan hanya hubungan satu
145
melodi ke melodi yang lain dalam koor atau hubungan melodi dengan akord, tetapi hubungan yang ritmis variasi yang konstan. Demikian juga alat-alat musik etnik Karo biasanya tidak banyak yang menghasilkan nada, sebab itu dalam garapan melodi terbatas pada nada-nada yang dapat diproduksi dari alat musik itu sendiri. Dalam komposisi musik tradisi Karo hanya menggunakan melodi dan pola ritem yang berulang-ulang. Dan pada bagian tertentu ada beberapa pola ritem yang divariasikan.
3.6
Seniman Tradisional Karo Pada etnik Karo tidak terdapat satu kosa kata atau istilah untuk menyatakan
pemain musik tradisional Karo. Seseorang yang memiliki keahlian dan berprofesi sebagai seniman tradisional memiliki sebutan atau julukan berdasarkan bidang keahliannya. Secara umum pemusik tradisional Karo disebut dengan sierjabaten. Sebutan atau julukan tersebut berlaku sepanjang mereka masi menekuni pekerjaan tersebut, atau dengan kata lain, mereka siap dipanggil untuk bermain jika ada yang membutuhkan berdasarkan keahlian mereka. Ketika mereka melakukan aktivitas bermusik dalam upacara atau seremonial adat, panggilan atau sebutan kepada mereka menjadi satu (secara grup atau kumpulan) yang oleh etnik Karo disebut, sierjabaten. Berasal dari si yang berarti ‘orang yang …’ (kata ganti orang), dan erjabatan berarti ‘mempunyai jabatan’ atau ‘ mempunyai kedudukan. Jabatan atau kedudukan dalam hal ini adalah sebagai pendukung upacara dalam hal memainkan musik tradisional. Hal ini terkait dengan peranan dari setiap orang yang dating ke
146
dalam upacara tradisional Karo telah memi8liki kedudukan secara adat seperti anak beru, kalimbubu, sukut, teman meriah, dan pemain musik disebut dengan, sierjabaten. Sebutan untuk seniman tradisional Karo sesuai dengan keahliannya memainkan alat musik tradisional dapat dilihat pada tabel berikut:
No
Nama Alat Musik
Sebutan Pada Seniman Musik
1
Sarune
Penarune/panarune
2
Gendang Singanaki
Penggual/Singanaki
3
Gendang Singindungi
Penggual/ Singindungi
4
Penganak
Simalu Penganak
5
Gung
Simalu Gung
6
Kulcapi
Perkulcapi
7
Keteng-keteng
Simalu Keteng-keteng
8
Balobat
Perbelobat
9
Surdam
Penurdam
10
Rende/Perende-ende
Perkolong-kolong
11
Kibot (keyboard)
Perkibot
Tabel 3.1 Sebutan Untuk Pemain Alat Musik Tradisional Karo
147
Kata sierjabaten diartikan sebagai orangyang mempunyai jabatan atau orang yang mempunyai kedudukan dalam suatu upacara adat Karo tergambar dari perlakuan pelaksana upacara adat tersebut yang biasanya diwakili oleh anak beru. Anak beru akan memperlakukan sierjabaten sebagai salah satu bagian penting, mempersiapkan posisi tempat duduk (ingan kundul sierjabaten), menyiapkan rokok (isap sierjabaten), dan makanan sierjabaten (nakan sierjabaten). Hal ini dianggap sebagai perlakuan khusus karena sierjabaten yang mendukung upacara adat tersebut akan
mendapat
upah
berdasarkan
kesepakatan
yang
dilakukan
sebelum
berlangsungnya upacara. Secara umum musik tradisional Karo sebagai bagian dari kebudayaan tradisional pada setiap masyarakat berhubungan erat dengan aktivitas sosial masyarakatnya. M. Dove (1985:xv) mengatakan, bahwa kebudayaan tradisional terkait erat dengan, dan secara langsung menunjang, proses sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat secara mendasar. Dengan demikian merupakan suatu yang lumrah bahwa musik tradisional cenderung digunakan dalam berbagai aktivitas suatu masyarakat. Musik tradisional hadir dalam upacara adat, seremonial liburan maupun upacara religi. Demikian pula halnya dengan musik tradisional Karo, dalam kasus ini adalah salah satu ensambel gendang lima sedalanen atau gendang telu sendalanen yang memiliki keterkaitan atau hubungan yang penting dengan aktivitas masyarakat pendukungnya. Hubungan ensambel gendang lima sendalanen atau gendang telu sendalanen dengan aktivitas masyarakatnya pendukungnya disebut penting karena hampir semua kegiatan gendang lima sendalanen sangat berhubungan dengan
148
upacara adat pada masyarakat pendukungnya, demikian pula sebaliknya, berbagai aktivitas masyarakat Karo biasanya melibatkan gendang lima sendalanen atau gendang telu sendalanen dalam pelaksanaan upacaraya yang berperan sebagai media. Namun, setiap upacara atau seremonial pada masyarakat Karo wajib menyertakan musik tradisional, karena kehadiran gendang lima sedalanen atau gendang telu sendalanen dalam beberapa upacara tradisional memiliki keterkaitan dengan tingkat dan bentuk suatu upacara yang mengharuskan kehadiran gendang lima sedalanen atau gendang telu sendalanen. Upacara adat dalam tingkat yang sederhana biasanya tidak menyertakan musik tradisional, sebaliknya upacara yang besar dan melibatkan banyak peserta biasanya mengharuskan kehadiran gendang lima sedalanen atau gendang telu sendalanen sebagai salah satu bagian atau media dalam pelaksanaan ritual yang berkaitan dengan sistem religi atau adat istiadat. Selain itu, ada satu upacara atau seremonial tradisional Karo yang dalam pelaksanaannya musik tradisional sebagai bagian utama dari upacara tersebut, yakni gendang guro-guro aron. Sampai saat ini gendang guro-guro aron merupakan suatu kesenian tradisional yang digemari oleh segala lapisan masyarakat Karo. Disamping itu, secara tradisional masih terdapat beberapa-beberapa upacara yang tidak terpisahkan dari kehadiran musik tradisional, seperti muncang, perumah begu, namun, ritual tersebut jarang dilaksanakan berhubungan erat dengan kepercayaan lama tradisional masyarakat Karo. Dari deskripsi tentang budaya musik dalam kebudayaan Karo di atas, tergambarlah dengan jelas bahwa keteng-keteng adalah salah satu saja dari sekian alat musik tradisional Karo. Lebih jauh, keteng-keteng ini lazim digunakan dalam
149
ensambel gendang telu sendalanen. Selanjutnya dalam kebudayaan Karo terdapat ensambel lainnya di samping ensambel gendang telu sendalanen, yaitu gendang lima sendalanen. Kemudian terdapat pula alat-alat musik non ensambel. Di sisi lain terdapat pula berbagai ragam nyanyian tradisional Karo. Demikian posisi ketengketeng dalam konteks musik tradisional Karo.
150
BAB IV UPACARA ERPANGIR KU LAU DAN MAKNA-MAKNA SEMIOTIKANYA
4.1
Erpangir Ku Lau dalam Budaya Karo dan Dimensi Difusinya Erpangir ku lau merupakan salah satu bagian dari aktivitas sistem religi
pada etnik Karo yaitu, erpangir atau keramas ke sungai. Pada zaman dahulu, orang Karo melakukan pesta erpangir ku lau untuk hajatan, antara lain: (1) Sukut yaitu berencana agar jumpa rejeki (keberuntungan), (2) karena baru terlepas dari bahaya misalnya ada yang baru sembuh dari penyakit, (3) mengukuhkan prestise, mengakui kedudukan seseorang di tengah-tengah keluarga (sangkep geluh), (4) agar orang lain melihat keluarganya banyak (show force) (Ginting, 1999:38). Untuk maksud dari tujuan-tujuan tersebut, kemudian ditanya guru Sibaso si meteh wari telu puluh (yaitu, guru yang tahu membaca hari baik dan buruk). Bila sudah didapat hari yang baik, semua keluarga diundang karena pesta erpangir ku lau adalah termasuk pesta besar di masyarakat masyarakat Karo. Erpangir berasal dari kata pangir, yang berarti langir. Dengan demikian
erpangir, artinya berlangir
(berpangir). Selain erpangir masih terdapat beberapa upacara religi yang dilakukan dalam kehidupan seseorang (keluarga) berdasarkan kepercayaan tradisional Karo. Misalnya: mukul pensakralan perkawinan ), mbaba anak ku lau (membawa anak turun mandi), juma tiga (upacara memperkenalkan anak kepada dasar pekerjaan tradisional Karo, yakni bertani), mengemabahken nakan (mengantar nasi untuk 151
orang tua), dan beberapa upacara religi alainnya. Penganut kepercayaan tradisional suku Karo tidak mengenal kewajiban demikian. Mereka hanya mengadakan upacara religi ini apabila diperlukan saja. Misalnya pada waktu mendapat nasib baik, kelahiran, perkawinan, dan lain-lain. Jadi erpangir ku lau adalah suatu upacara religi berdasarkan kepercayaan tradisional yang masih dilakukan Karo (Pemena), dimana sesorang atau keluarga tertentu melakukan upacara berlangir dengan atau tanpa bantuan dari guru, dengan maksud tertentu. Secara difusi, ritual mandi dengan menggunakan berbagai benda upacara yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan merupakan fenomena yang umum kebudayaan masyarakat di Nusantara ini, termasuk di Tanah Karo. Di dalam kebudayaan Melayuada ritual mandi ke suangi untuk membesihkan diri yang dilakukan pada bulan Syafar, pada kalender Hijrah. Ritual ini disebut dengan mandi Syafar. Tujuan utamanya adalah membersihkan jasmani dan rohani dari kekotoran-kekotoran yang selama ini menempel dalam tubuh seseorang. Selain itu, dalam kebudayaan Melayu juga dikenal dengan istilah tepung tawar (atau tampung tawar), yang tujuannya juga memberikan semangat atau mengembalikan semangat melalui ramuan-ramuan tumbuhan. Menurut Lah Husni telah menjadi adat kebiasaan pula, bahwa suku Melayu memakai tepung tawar pada beberapa upacara dan kejadian-kejadian penting, seperti perkawinan, pertunangan, sunatan, seseorang yang kembali dengan selamat dari suatu perjalanan, atau terlepas dari marabahaya, atau mendapat rahmat dari Tuhan di luar dugaannya. Menurut Husni istilah tepung tawar ini berasal dari kata tampung tawar yang maknanya tangan menampung penawar atau obat. Susunan tepung tawar yang biasa digunakan
152
masyarakat Melayu Sumatera Utara *yang biasa berinteraksi dengan masyarakat Karo Jahe) secara umum terdiri dari tiga bahagian pokok: (1) ramuan penabur yang terdiri daripada: a. beras putih yang melambangkan kesuburan, b. beras kuning yang melambangkan kemuliaan dan kesungguhan, c. bertih yang melambangkan perkembangan, d. bunga rampai yang melambangakan keharuman nama, e. tepung beras yang melambangkan kebersihan hati; (2) ramuan rinjisan yang terdiri dari daun kalinjuhang (silinjuhang); tangkai dan daun pohon pepulut (sipulut); daun gandarusa atau daun sitawar; daun jejerun (jerun-jerun), daun sepenuh, daun sedingin serta pohon dan akar sembau; (3) perdupaan yang terdiri dari kemenyan atau setanggi yang dibakar—yang dapat diertikan doa kepada Yang Maha Kuasa (Husni, 1977:74-79). Masyarakat karo pun menggunakan ritual tepung tawar seperti ini terutama di kawasan Karo Jahe. Selanjutnya pada kebudayaan Batak Toba terdapat sebuah ritual yang diekspresikan dalam menari (tortor) dengan menggunakan properti cawan, yang lazim disebut dengan tortor saoan. Pada awalnya aktivitas tortor ini adalah bahagian dari ritual penyembuhan penyakit, baik itu fisik atau psikis, atau gangguan makhlukmakhluk halus kepada seseorang yang menderita sakit. Untuk mengobatinya datu atau dukun menggunakan air di dalam cawan dan memercik-mercikkannya dengan menggunakan daun ke tubuh orang yang sakit, dengan harapan semoga Tuhan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh yang sakit tersebut. Pada masa sekarang ini ritual penyembuhan penyakit melalui tortor saoan ini berkembang menjadi ritual pertunjukan budaya untuk kepentingan hiburan kepada penonton yang menekankan kepada unsur estetis, yang lazim dikenali sebagai judul tari dan gondang yang
153
disebut Tortor Saoan. Di dalam kebudayaan Jawa, baik di Tanah Jawa atau masyarakat Jawa Deli (Pujakesuma)
terdapat
aktivitas
membersihkan
diri
dengan
cara
mandi
menggunakan air yang dicampur daun pandan yang telah direbus, yang disebut mangiran. Aktivitas ini bertujuan untuk membersihkan diri dari segala macam penyakit dan kotoran yang diidap oleh seseorang itu. Bahkan setiap akan menyambut bulan puasa Ramadhan, orang Jawa yang beragama Islam umumnya melakukan ritual mangiran ini. Dengan melihat contoh-contoh tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa upacara membersihkan diri dengan cara mandi dengan air yang dicampur unsur-unsur tumbuhan, untuk menolak penyakit dan kesialan, adalah umum dijumpai di Nusantara ini. Upacara ini biasanya berhubungan dengan sistem kosmologi dan kosmogoni yang dianut mereka. Ritual ini berkait erat dengan alam gaib dan dunia supernatural. Namun setelah agama-agama besar masuk biasanya ritus tersebut disesuaikan dengan ajaran agama yang dikembangkan. Atau ada juga yang mengharamkan. Tergantung dengan cara pandangan dan landasan keagamaan yang dianut oleh para penganut agama yang bersangkutan. Jadi jelas bahwa erpangir ku lau dan sejenisnya memang mengalami difusi di Alam Nusantara ini. Hanya terjadi pembumian budaya setempat, yang membedakannya dis etiap kawasan budaya di Nusantara ini. Selanjutnya, ada beberapa alasan mengapa seseorang/keluarga tertentu mengadakan upacara erpangir ku lau yaitu seperti uraian berikut ini.
154
(1)
Untuk mengucapkan terimakasih kepada Dibata dalam hal ini erpangit ku lau dilakukan sebagai ucapan terima kasih dan syukur kepada Dibata (Tuhan), yang
telah
memberikan
rahmat
tertentu.
Misalnya,
memperoleh
keberuntungan, terhindar dari kecelakaan, memperoleh hasil panen yang berlimpah, sembuh dari penyakit, dan lain sebagainya. (2)
Menghidarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi. Dalam hal ini orang Karo melakukan upacara erpangit ku lau sebagai upaya untuk menghindakan suatu malapetaka yang akan terjadi, itu biasanya sudah terlebih dahulu diterka melalui firasat suatu mimpi yang buruk, atau berdasarkan keterangan dan saran dari guru.
(3)
Menyembuhkan suatu penyakit. Erpangit ku lau diadakan sebagai upaya untuk mengobati suatu jenis penyakit tertentu. Misalnya untuk mengobati orang gila, atau yang diserang oleh begu, sedang bela, atau jenis hantu lainnya.
(4)
Mencapai maksud tertentu. Adakalanya erpangit ku lau ini dikakukan sebagai upaya untuk memohon sesuatu kepada Dibata (Tuhan). Misalnya agar cepat dapat jodoh, mendapat panenan atau keberuntungan, memperoleh kedudukan yang baik, dan sebagainya. Pada perencanaan tersebut telah ditentukan siapa nanti menjadi guru
(medium) yang akan membuat "bulung pengarkari" (penangkal kemalangan) atau dikatakan pangir (erpangir). Semua sangkep nggeluh sukut diundang untuk erpangsr ku lau (berlangir ke sungai) atau ada pula yang melakukannya di lau sirang atau sungai yang bercabang, dan lain-lain. Dalam rangka erpangir ku lau, tidak hanya berarti berpangir untuk membersihkan tubuh tapi sifat magis, mitis,
155
animistis senantiasa terkait secara intens, merupakan unsur kepercayaan lama kepada begu begu melalui medium yang melakukan ritus-ritus tertentu. Tidak hanya sebagai aspek sosial tapi juga religius. Dengan demikian erpangir ku lau merupakan sebuah ucapan syukur kepada keramat yang dianggap di dalamnya bisa membantu baik dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, rejeki, penyakit dan jabatan sebagaimana dikemukakan di atas.
4.2 Jenis-jenis Erpangir Ku Lau Kerja erpangir ku lau menurut bobotnya dapat dikelompokkan atas tiga jenis yaitu seperti uraian berikut ini. (1) Pangir selamsam adalah suatu pangir yang lebih kecil bobotnya. Di mana peralatannya hanya terdiri dari: sebuah rimo mukur (jeruk purut), baja (getah kayu besi), minyak kelapa, dan sebuah mankuk putih untuk tempat pangir. Pertama-tama mangkuk diisi dengan air putih, kemudian buah jeruk purut dan diperas kemangkuk, lalu taruh baja dan minyak, maka pangir sudah jadi. Pangir selamsam ini biasanya di adakan karena mendapat mimpi buruk, akan kadar keburukannya masih diragukan. Oleh karena itu untuk menghindari dari akibat buruknya, diadakan pangir selamsam. Setelah selesai pangir itu dibuat, maka orang yang mendapat mimpi buruk itu lalu ersudip (berdoa) kepada Dibata (Tuhan), agar ia dan keluarganya dihindari dari akibat buruk yang mungkin terjadi seperti yang telah tersirat dalam mimpinya. Sesudah itu ia dan keluarganya erpangir (mengusapkan) itu ke kepalanya masing-masing.
156
(2) Pangir sitengah bahan-bahannya terdiri dari penguras, yakni ramuan dari air (air kelapa muda), jeruk purut, baja, minyak kelapa, dan jera; empat jenis jeruk, tetapi jeruk purut (rimo mukur) harus ada; kudin taneh (kuali dari tanah), sebagai tempat penguras (pangir); Dilakukan di lau sirang (ditempat air mengalir terbelah menjadi dua aliran); Memakai pertolongan medium upacara yaitu guru. (3) Pangir sintua (agung) memerlukan peralatan sebagai berikut: penguras, tujuh jenis jeruk, jeruk purut harus ada; Wajan (belanga), sebagai tempat penguras (pangir); dilakukan di lau sirang. Diletakkan atas sagak (corong bambu) dan di pinggirnya di beri berjanur (lambé); Pada zaman dahulu pangir jenis ini diikuti dengan bunyi senapan; Erkata gendang (memakai peralatan alat musik tradisional Karo). Pada umumnya setiap pelaksanaan erpangir mantra (tabas) selalu dimantrai (itabasi), atau disebut imangmangi. Tabas (mantra) ini biasanya diucapkan oleh guru sibaso
dengan menembangkannya. Tabas ini dipercayai
mempunyai kekuatan magis untuk mempengaruhi atau menyembuhkan penyakit tertentu.
4.3 Tabas (Mantra) pada Upacara Erpangir Ku Lau Tabas (mantra) dalam bahasa Karo, di mulai dengan berbagai jenis kata pembukaan seperti : (1) ada yang dimulai dengan : O….Misalnya: O….ndilat la erdilah nipak la ernahé, nganggeh la rigung, engkarat la ripen, …dan seterusnya; (2) ada yang dimulai dengan “E”, seperti : E… adi enggo kin …dan seterusnya. (3)
157
ada yang dimulai dengan “berkat”, misalnya; berkat kita kakangku, agingku, saudara
sir ras tubuh nduké, dan seterusnya. (4) ada yang dimulai dengan
“Sabutara”… (5) ada yang dimulai dengan “Hong” (6) ada yang dimulai dengan “Toron…kasih-kasih…Penghulu Balang…”, dan seterusnya: Bahasa-bahasa di dalam dengan mantra (tabas) ini umumnya dibuat bersajak, dan mempunyai nilai sastra yang tinggi. Akan tetapi bahasanya banyak yang bercampur-baur, yang terdiri dari berbagai bahasa.
4.4 Contoh Upacara Erpangir Ku Lau untuk Mengobati Orang Gila Untuk lebih jelasnya tentang proses cara erpangir ini, di bawah ini penulis menerangkan: suatu cara erpangir untuk mengobati orang gila (mehado); yang dahulu sering dilakukan oleh: Penghulu Limang. Ramuan pangir untuk mengobati orang gila adalah : (1) Lumut pitu silam (lumut-lumut dari tujuh tempat keramat), (2) Kelulu nipé (kulit ular yang baru ganti kulit), (3) Besi-besi sangka sempilet, (4) Sebalik sumpah (daun sebalik sumpah), (5) Bulung sebalik angin (daun sebalik angin/daun siputar balik), (6) Bulung sarang (daun sarang), (7) Bulung peldang (daun peldang), (8) Bulung peldang raja (daun peldang raja), (8) Bulung abangabang (daun abang-abang), (9) Bulung lulang menjera (daun jarak), (10).Padang lalis (padang). Kalau pangir ini adalah pangir besar (agung), maka turut disertakan tujuh jenis bukubuku (ruas-ruas), masing-masing tujuh buah, dan jeruk purut (rimo mukur) empat buah. Kalau pengobatan dengan cara ini belum berhasil, maka pangirnya di tingkatkan dengan empat macam jeruk, masing-masing empat buah setiap jenisnya.
158
Jeruk jenis apapun boleh, tetapi jeruk purut (rimo mukur) harus ada. Kalau ini belum berhasil, maka di tingkatkan lagi menjadi tujuh jenis jeruk, masing-masing tujuh buah setiap jenisnya, akan tetapi jeruk purut tetap harus ada. Untuk pangir yang menggunakan empat buah jeruk purut saja, maka wadah pangir (penguras) di pakai mangkuk atau baskom ditanah. Atau boleh juga 2/3 bagian diletakkan di mangkuk atau baskom, sedangkan 1/3 nya ditempatkan di periuk tanah (kudin taneh). Untuk yang memakai tujuh jenis jeruk, harus memakai sagak (cucuk bambu), berjanur (erlambé), dan wajan besar sebagai wadahnya. Untuk meramu penguras (pangir) dapat dilakukan oleh semua yang hadir. Kemudian ambil ruku-ruku (kemangi), kemenyan, dan taruh didalam kulit tanah yang diberi bara api. Kemudian ambil ayam merah dan cuci kakinya, diolesi getah pohon baja (ibajai), diminyaki cotoknya, kemudian diberi makan beras, lalu dimantrai (imangmangi), sebagai berikut: Tabas mangmang manuk ndai (mantra ayam) Turun me kam Dibata diatas (turunlah hai Tuhan yang diatas) Nangkih Dibata ni teruh (naik Tuhan yang dibawah) Kundul Dibata di tengah (duduk Tuhan yang di tengah) Tongah turun pengulu balangku (tengah turun pengulu balangku) Pengulu balang di gurungku (pengulu balang guruku) Pengulu balang di gerek-gerekken (pengulu balang di perasaan) Manik merah manok pincala gunong (ayam merah, ayam muarai gunung) Simanjadiken manok Megara (yang menjadikan ayam merah) Gundari kum asap, (sekarang kami ku asap),
159
Kepada hupa (kepada hupa) Ku pul-pul, lah banci ku minaki (kuasap, agar boleh kuminyaki) Ku amburi beras page serongsong (kutaburi beras padi serongsong) Nangtangken bangsa kekesa (membuang kesialan) Sedang sisinku si… (anu) enda Pasienku si… (anu) ini Anak beru, senina, marpuang, markalimbubu (beranak beru, bersenina, berkalimbubu) Marsingerpak, mar singari-ngari (bertenaga, berpenghibur) Ku amburi kam beras meciho (kutaburi kamu denga beras putih) Perban perulihen siding sisin (karena kebruntungan pasien) Penanggerenku enda (yang kumasuki ini guru) Kam maok pincala gunong (kamu ayam murai gunung) Simanjadiken manok Megara (yang menjadikan ayam merah) Man pengogen (untuk bacaan) Kusuroh kam ndahi Dibata (kusuruh kamu menemui Tuhan) Terpahe, tertuhu katandu (terpakai dan benar-benar katamu) Pindo simehuli mejuah-juah (mintalah yang baik dan bahagia) Sanggap ertuah (berhasil dan bertuah) Penaggaren siding sisinku (diri dari pasienku) aku Guru (kau guru) ... dan seterusnya. Kemudian guru menghentakkan kakinya kuat-kuat, lalu duduk, lalu guru diberi sirih (ikapuri belo). Kemudian guru bermantra lagi di tempat ayam, bermohon kepada Dibata Kaci-kaci melalui mantra agar diberi kekuatan. Kemudian ayam di
160
potong, darah yang pertama keluar ditaruh di pangir (penguras),selebihnya di masukkan ke dalam tempurung kelapa. Kemudian ayam yang baru disembelih itu dilepaskan dan diperhatikan posisi matinya. Dimana letak posisi mati ayam mengandung makna sebagai berikut: (1) kaki yang sebelah atas ke belakang, dan kedua sayapnya terlipat ganda, mengikuti cocornya, serta sayap kiri di sebelah atas. Kematian ini yang terbaik. (2) Menindih sayap yang sebelah kanan, kepalanya tertunduk mematuk kandungan nasinya (beruru) dan kaki yang di nawah ke belakang (madit). Kematian dengan bentuk demikian tidak baik. Kemudian mantra (tabas) pangir di atas anjab (corong bambu). Sebelum di mantrai apabila pangir itu pangir mbelin (besar) maka terlebih dahuli dibuat persentabin (kata maaf), akan tetapi apabila hanya pangir kecil, maka langsung dimantrai tanpa persentabin. Alat-alat persentabin itu antara lain: 1. Satu lembar kain putih (dagangen) 2. Belo baja (sirih dan minyak kayu besi) 3. Belo minak (sirih dan minyak makan) 4. Belo cawir (sirih tanpa cacat) 5. Serpi sada (alus) Pertama-tama guru mencuci kaki, tangan, dan mukannya dengan air, kemudian mencuci muka (erduhap) dengan penguras. Air penguras di tempatkan di atas kain tebal (hitam), di bawah kain tema tikar putih si sopé keliamen (belum tercemar) guru kemudian menghadap ke timur (ku matawari) sambil berdiri Kemudian berkata melalui mantra: “Asa sentabi aku, nembah man kam beras pati taneh. Kamonjaken-kamundulan jelma manusia enda nembah pitu persentabinku ...
161
dan seterusnya.” Kemudian guru memanggil guru yang pernah mengajarinya dahulu melalui mantra. Lalu guru duduk, diberi sirih (ikapuri belo)/ belo yang diberikan kepadanya adalah: belo cawir (tanpa cacat) berisi kapur, tembakau, dan pinag. Diberikan kepadanya dengan ujung menghadap si pemberi. Kemudian guru bermantra (ertabas). Selanjutnya guru memakai tudung kain putih (dagangen) yang diletakkan diatas kepala. Belo baja minak dan belo cawir ada di tanganya, lalu ia mengarahkan tangkai sirih itu ke sagak (ke timur).guru kemudian bermantra lagi yang isinya membuang penyakit dari badan si sakit. Hal ini dilakukan sebanyak 5 tahapan. Kemudian guru bermantra pada empat tempat di sekitar sagak tempat pangir. Pada masing-masing tempat itu, dibacakannya mantra pertama ditambah persentabian. Kemudian guru empat kali duduk, dan setiap ia duduk dikapuri belo (diberi sirih). Guru kemudian memberi belo penurungi (ramuan sirih, kapur, gamber) sebanyak empat buah. Kemudian menyelempangkan dagangen (kain putih) di atas kepalanya dan bukan lagi dibungkukkan (diletakkan saja) di atas kepala. Selanjutnya guru memasukkan serpi (uang) kedalam belanga (wajan). Guru bermantra pada setiap tempat menyemburkan air sirih (penurungi) ke belanga. Jadi ada empat kali proses dilakukan. Kemudian dimantrai kembali, tetapi pada mantra ini persentabin dan pendilon tidak dipakai. Mulai dari tempat pertama. Setelah ini selesai sudah dapat erpangir (berlangir). Orang yang erpangir semua menghadap kearah aliran air (kenjahe), kemudian dipangiri berturut-turut. Pengaturannya dapat dilakukan berbaris atau berlapis-lapis, tergantung jumlah peserta. Urutan erpangir di mulai dari seseorang yang mempunyai
162
nama yang bermakna baik (boleh siapa saja), guru kemudian menepiskan dagangen (bulang-nya), yang tepinya telah dicelupkan ke pangir (lau penguras). Setelah selesai erpangir semua, maka sisa pangir harus dibuang. Untuk itu guru mengucapkan mantra yang berisi tentang pembuangan pangir: Tabas si dingin Nampakken Sunu butara de sunu pemarpar Parparken, pipirken ngalah Ngalahna antu, embuna (danak-danak) Bangsana-kelesana Sesudah tiga kali, semua berlangir (erpangir) putar pandangan kearah timur (nengkeng), kemudian ipangiri satu kali lagi, jadi jumlah erpangir adalah sebanyak empat kali. Kemudian masing-masing dapat mandi di pancuran atau di sungai. Guru kemudian membunag sanga-sanga (sisa pangir) ke batu, sebelum membuangnya di ucapkan kata-kata: Aloken min begu simalangsai (terimalah o hantu simalangsai) Ras nini raja kolopung (bersama nenek raja kolopung) Ras suruh-suruhenndu (bersama pelayan-pelayanmu) Si maba, si Ari, si Tonu, si Dara Aloken panger persilihi (terimalah panger pengganti) Sidang sisindu si … (anu) enda (yang sakit ini) Akuken si la mehuli man si … (hapuskanlah yang tidak baik) (anu) enda nini
dari si …(anu) ini nenek
Bandu deraham Patamas (untukmu deraham Patamas)
163
Dagangen mbentar, manok Megara kain putih, ayam merah Nakan pelen-pelen cina (nasi semua cabai) Datang-datangen (kurang ajar) Upahndu megegeh ngakuken cilaka (upahmu menghindarkan celaka jahat) Man si (anu) enda, ras anak beru Dari si …(anu) ini, beserta anak beru Senina ras puang kalimbubu
senina dan puang kalimbubu
Sumpak singari-ngari (berikut orang yang menghibur) Kemudian guru membuang saga-saga itu. Lalu menafsirkan makna dari pangir itu. Yang terbaik maknanya apabila semua telungkup, atau sebagian besar telungkup. Biarpun terbuka, asal di sbelah kiri telungkup (langkem) sudah baik (salan sai). Akan tetapi makna ayam waktu dipotong dan juga sanga-sanga tidak baik, harus ditunggu selama empat hari/malam, untuk mengetahui bagaimana mimpi. Kalau tidak bermimpi ini pertanda sudah baik. Tetapi apabila ada mimpi buruk selang waktu empat hari, maka harus dibuat persilihi (korban sebagai pengganti manusia). Kalau makna mimpi itu baik, itu sudah bagus. Seandainya makna ayam sudah baik, tetapi sanga-sanga tidak, maka harus ditunggu selama tujuh hari. Perhatikan makna mimpi dalam jangka waktu tersebut. Kalau makna ayam tidak baik, sebaliknya makna sanga-sanga baik maka sanga harus ditunggu selama tujuh hari untuk menentukan tindak lanjut berikutnya. Dalam selang waktu tersebut semua persoalan-persoalan keluarga (jabu) sudah terselesaikan. Dahulu upah bagi guru yang memimpin upacara erpangir ini diberikan dalam bentuk barang, yaitu ayam kampung dan garam. Namun sekarang terjadi perubahan pengupahan dalam arti penghargaan yang diberikan kepada guru sebagai
164
pemimpin, mediator, dalam pelaksanaan upacara tersebut. Pengupahan yang diberikan saat ini mengalami perubahan yaitu dalam bentuk uang.
4.5
Sebab Dilakukan Upacara Erpangir Ku lau Masyarakat Karo yang berada di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau
Baleng, Kabupaten Karo pada umumnya hidup dalam suasana kehidupan tradisional. Mereka masih percaya kepada adanya kekuatan supernatural. Sehingga religi mereka pada prinsipnya memadukan ke “serba roh.”
Dalam konsep
dinamisme dan animisme, etnik ini berpikir secara mistis. Hidupnya dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis. Mereka
menggunakan mitos untuk memahami
hidup dan lingkungannya. Oleh karena itu, pelaksanaan ritus dalam berbagai aktivitas selalu dilakukan. Masyarakat Karo masih cenderung mencampurkan konsep keagamaan terhadap Dibata Kaci-kaci dengan penyembahan yang bersifat animistis yakni penyembahan atau pemujaan terhadap roh-roh orang mati, dan juga paham dinamisme yang masih hidup. Percampuran inilah yang serng nampak di dalam banyak tata cara, bicara, kiniteken, dan adat istiadat Karo. Pelaksanaan ritual erpangir ku lau pada etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, sampai saat ini cenderung dilakukan. Hal itu sesai dengan kondisi masyarakat yang masih percaya terhadap kekatan-kekuatan supernatural, manusia berada dalam kekuasaan roh-roh sesuai dengan konsep yang ada pada agama Pemena yang masih diyakini oleh sebagian masyarakat Karo, terdapat percampuran konsep keagamaan terhadap Dibata Kaci-kaci dengan penyembahan yang bersifat animistis yakni penyembahan atau pemujaan terhadap
165
roh-roh orang mati dan juga paham dinamisme yang masih hidup. Percampuran inilah yang serng nampak di dalam banyak tatacara, bicara, kiniteken, dan adat istiadat Karo.
Oleh karena itu, pelaksanaan upacara ritual untuk kepentingan
tertentu, sering dilakukan, yang dalam penelitian ini difokuskan pada ritual erpangir ku lau. Dalam penelitian ini, penulis akan mendeskripsikan pelaksanaan kerja erpangir ku lau yang dilaksanakan oleh keluarga Sembiring Kembaren-Beru Ginting. Adapaun yang menjadi alasan dari pelaksanaan kerja erpangir ku lau tersebut adalah sebagai berikut. (1) Upacara terima kasih kepada Dibata, dalam hal ini erpangir dilakukan sebagai ucapan terima kasih dan syukur kepada Dibata (Tuhan), yang telah memberikan rahmat tertentu. Misalnya: memperoleh keberuntungan, terhindar dari kecelakaan, memperoleh hasil panen yang berlimpah, sembuh dari penyakit, dan lain sebagainya. (2) Menghidarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi. Dalam hal ini orang Karo melakukan upacara erpangir sebagai upaya untuk menghindakan suatu malapetaka yang akan terjadi, itu biasanya sudh terlebih dahuluditerka melalui firasat suatu mimpi yang buruk, atau berdasarkan keterangan dan saran dari guru.
166
4.6 Deskripsi Jalannya Upacara 4.6.1 Persiapan Upacara Pelaksanaan kerja erpangir ku lau dilaksanakan pada tanggal 19 Januari 2011 di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng. Sekitar 2 minggu sebelum hari pelaksanaan, keluarga Sembiring Kembaren/Beru Ginting sebagai si man pangiren Si man pangiren adalah orang yang hendak dikeramasi. Orang yang hendak dikeramasi ini adalah individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat yang ingin melakukan upcara ritual karena berbagai latar belakang. Namun tujuannya adalah pembersihan dari hal-hal yang kotor atau yang tidak diinginkan, supaya mendapat kemalemen ate. Dalam hal ini keluarga Sembiring Kembaren/Beru Ginting telah melakukan persiapan mengenai segala sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara sesuai dengan tatat cara pelaksanaan sesuai dengan adat-istiadat Karo yang tercakup ke dalam rakut si telu. Dalam tahap perencanaan, ditentukan siapa yang menjadi guru sibaso (medium) yang akan membuat bulung pengarkari (daun penangkal) atau pangir (erpangir). Semua sangkep nggeluh sukut diundang untuk mengikuti upacara erpangsr ku lau yakni di satu tempat air mengalir (pancur) yang tidak jauh dari rumah keluarga ‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’. Dalam hal ini pihak sukut telah mempersiapkan segala sesuatunya seperti mengundang guru sibaso, erjabaten (pemain musik), menata pancuran dalam pelaksanaan erpangir, serta ragam konsumsi yang dibutuhkan untuk menjamu tamu yang berpartisipasi dalam upacara
167
tersebut. Pada hari Sabtu pagi, tanggal 19 Januari 2011, pihak beru telah mempersiapkan bahan untuk pelaksanaan erpangir ku lau. Mengingat erpangir ini tergolong pada pangir sintua, maka bahan-bahan yang dipergunakan terdiri dari: (1) Penguras (2) Tujuh jenis jeruk, jeruk purut harus ada (3) Wajan (belanga), sebagai tempat penguras (pangir) (4) Lokasi dilakukuan di sekitar rumah keluarga ‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’ sebagai si man pangiren. (5) Diletakkan atas sagak (corong bambu) dan di pinggirnya di beri berjanur (lambé) (6) Erkata gendang (memakai peralatan alat music tradisional Karo yaitu gendang telu sendalanen). (7) Guru (pembimbing atau pemimpin ritual) Dalam upacara ritual erpangir dalam ketegori jenis upacara yang besar sampai kecil (kerja sintua, kerja sintengah dan kerja singuda) peran guru sangat penting hadir dalam upacara tersebut sebagai mediator sekaligus pembimbing jalannya upacara erpangir tersebut. Guru atau kadang juga disebut orang sebagai dukun atau tabib adalah orang yang mempunyai keahlian khusus untuk melakukan berbagai macam upacara ritual. Guru inilah yang kemudian berperan sebagai juru pangir atau yang memandikan atau mengkeramasi individu-individu yang terlibat dalam upacara tersebut. Guru diyakini dapat mengobati, menghilangkan hal-hal yang tidak berkenan (kotor), penyakit yang ada pada manusia, atau juga menabalkan seseorang menjadi guru juga.
168
Gambar 4.1a dan 4.1 b Pihak Beru Mempersiapkan Bahan Untuk Pelaksanaan Erpangir
169
Gambar 4.2 Bahan Untuk Pelaksanaan Erpangir
170
Kerja (pesta) sintua merupakan pesta yang paling besar yang ada pada masyarakat Karo. Pada pesta ini harus melibatkan seluruh sangkep nggeluh, yaitu orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang empunya hajatan serta seluruh anak kampung dimana pesta tersebut dilaksanakan. Pada upacara ini biasanya hewan yang disembelih adalah sapi (lembu). Dalam kerja sintua ini seluruh kerabat yang dikenal dengan sangkep nggeluh, yang terdiri dari tiga unsur yaitu kalimbubu (pihak pemberi wanita), senina (saudara-saudara yang melakukan hajatan), dan anak beru (pihak penerima wanita). Masing-masing pihak dalam tiga status sosial tersebut mempunyai peranan masingmasing serta bagaimana mereka berlaku dalam upacara tersebut. Dalam hal ini anak beru biasanya mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara seperti, memasak makanan untuk seluruh peserta upacara, melengkapi persiapan erpangir, dan mengatur segala sesuatunya untuk keberhasilan upacara pihak kalimbubunya. Demikian juga dengan pihak senina dan kalimbubu mempunyai fungsi dan peranan masing-masing. Dalam kegiatan ini pihak si man pangiren menggunakan alat musik gendang telu sedalanen serta landek (menari) sesuai dengan peranannya masing-masing dalam upacara tersebut. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara berbagai persiapan telah dilakukan seperti pemberitahuan dengan mengundang famili yang berkaitan dengan sistem kekerabatan dalam rakut si telu untuk membicarakan pelaksanaan upacara
171
agar berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan. Demikian halnya dengan pancuran yang berada tidak jauh dari rumah keluarga Sembiring Kembaren/Beru Ginting. Telah dibenahi dengan menambah aliran pancuran dengan menggunakan bambu agar beberapa orang sekaligus dapat melaksanakan erpangir (berpangir), termasuk membenahi jalan menuju pancuran agar peserta upacara lebih leluasa berjalan ke arah pancuran sebagi lokasi pelaksanaan erpangir. Demikian halnya lokasi sekitar pancuran turut dibenahi agar pelaksanaan erpangir dapat berjalan dengan baik.
Gambar 4.3 Pancuran Lokasi Erpangir yang Telah Dibenahi
172
4.6.2 Pelaksanaan Upacara Pelaksanaan upacara erpangir ku lau yang dilaksanakan oleh keluarga ‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’ sebagai si man pangiren. Setelah seluruh partisipan upacara (undangan) hadir, dan persiapan (bahan-bahan) dilengkapi, upacarapun dimulai. Guru memulai dengan ucapan permohon kepada dibata kaci-kaci melalui mantra (tabas) agar diberi kekuatan. Kemudian mantra (tabas) pangir di atas anjab (corong bambu). Kemudian mengucapkan persentabin (kata maaf) dengan menggunakan satu lembar kain putih (dagangen), belo baja (sirih dan minyak kayu besi), belo minak (sirih dan minyak makan), belo cawir (sirih tanpa cacat), dan serpi sada (alus). Guru mencuci kaki, tangan, dan mukannya dengan air, kemudian mencuci muka (erduhap) dengan penguras. Air penguras di tempatkan di atas kain tebal (hitam), di bawah kain tema tikar putih si sopé keliamen (belum tercemar), guru kemudian menghadap ke timur (ku matawari) sambil berdiri, kemudian berkata melalui mantra , “Asa sentabi aku, nembah man kam beras pati taneh. Kamonjakenkamundulan jelma manusia enda nembah pitu persentabinku ... dan seterusnya.” Selanjutnya guru memanggil guru yang pernah mengajarinya melalui mantra. Lalu guru duduk, diberi sirih (ikapuri belo)/ belo yang diberikan kepadanya adalah: belo cawir (tanpa cacat) berisi kapur, tembakau, dan pinang. Kemudian guru bermantra (ertabas). Lalu guru memakai tudung kain putih (dagangen) yang diletakkan di atas kepala. Belo baja minak dan belo cawir ada di tanganya, lalu ia mengarahkan tangkai sirih itu ke sagak (ke timur).guru kemudian bermantra lagi
173
yang isinya membuang sial-sial dari badan si man pangiren. Hal ini dilakukan sebanyak lima tahapan. Kemudian guru bermantra pada empat tempat di sekitar sagak tempat pangir. Pada masing-masing tempat itu, dibacakannya mantra pertama ditambah persentabian. Kemudian guru empat kali duduk, dan setiap ia duduk dikapuri belo (diberi sirih). Guru kemudian memberi belo penurungi (ramuan sirih, kapur, gamber) sebanyak empat buah. Kemudian menyelempangkan dagangen (kain putih) di atas kepalanya dan bukan lagi dibungkukkan (diletakkan saja) di atas kepala.
174
Gambar 4.4. Penempatan Bahan Persentabian di Sekitar Sagak Tempat Pangir
175
Selanjutnya guru memasukkan serpi (uang) kedalam belanga (wajan). Guru bermantra pada setiap tempat menyemburkan air sirih (penurungi) ke belanga. Jadi ada empat kali proses dilakukan. Kemudian dimantrai kembali, tetapi pada mantra ini persentabin dan pendilon tidak dipakai. Mulai dari tempat pertama. Setelah ini selesai sudah dapat melakukan erpangir (berlangir). Orang yang erpangir semua menghadap ke arah aliran air (kenjahe), kemudian dipangiri berturut-turut. Pengaturannya dapat dilakukan berbaris atau berlapis-lapis.
Gambar 4.5 Guru Melakukan Persentabian di Sekitar Sagak Tempat Pangir.
176
Setelah tahapan persentabian dilakukan, selanjutnya dilakukan upacara erpangir. Urutan erpangir di mulai dari seseorang yang mempunyai nama yang bermakna baik (boleh siapa saja), guru kemudian menepiskan dagangen (bulangnya), yang tepinya telah dicelupkan ke pangir (lau penguras).
Gambar 4.6 Suasana Pelaksanaan Erpangir Ku lau
177
Setelah selesai erpangir semua, maka sisa pangir harus dibuang. Untuk itu guru mengucapkan mantra yang berisi tentang pembuangan pangir.
Tabas si dingin Nampakken Sunu butara de sunu pemarpar Parparken, pipirken ngalah Ngalahna antu, embuna (danak-danak) Bangsana-kelesana
Sesudah tiga kali, semua berlangir (erpangir) putar pandangan kearah timur (nengkeng), kemudian ipangiri satu kali lagi, jadi jumlah erpangir adalah sebanyak empat kali. Kemudian masing-masing dapat mandi di pancuran atau di sungai. Guru kemudian membunag sanga-sanga (sisa pangir) ke batu, sebelum membuangnya di ucapkan kata-kata:
Aloken min begu simalangsai (terimalah o hantu simalangsai) Ras nini raja kolopung (bersama nenek raja kolopung) Ras suruh-suruhenndu (bersama pelayan-pelayanmu) Si maba, si Ari, si Tonu, si Dara (Si maba, si Ari, si Tonu, si Dara) Aloken panger persilihi (terimalah panger pengganti) Sidang sisindu si … (anu) enda (yang sakit ini) Akuken si la mehuli man si … (hapuskanlah yang tidak baik) 178
(anu) enda nini dari si … (anu) ini nenek Bandu deraham Patamas (untukmu deraham Patamas) Dagangen mbentar, manok Megara (kain putih, ayam merah) Nakan pelen-pelen cina (nasi semua cabai) Datang-datangen (kurang ajar) Upahndu megegeh ngakuken cilaka (upahmu menghindarkan celaka jahat) Man si (anu) enda, ras anak beru Dari si …(anu) ini, beserta anak beru Senina ras puang kalimbubu (senina dan puang kalimbubu) Sumpak singari-ngari (berikut orang yang menghibur)
Kemudian guru membuang saga-saga itu. Lalu menafsirkan makna dari pangir itu. Yang terbaik maknanya apabila semua telungkup, atau sebagian besar telungkup. Biarpun terbuka, asal di sbelah kiri telungkup (langkem) sudah baik (salan sai). Akan tetapi makna ayam waktu dipotong dan juga sanga-sanga tidak baik, harus ditunggu selama empat hari dan empat malam, untuk mengetahui bagaimana mimpi. Kalau tidak bermimpi ini pertanda sudah baik. Namun demikian, apabila ada mimpi buruk selang waktu empat hari, maka harus dibuat persilihi (korban sebagai pengganti manusia). Kalau makna mimpi itu baik, itu sudah bagus. Seandainya makna ayam sudah baik, tetapi sanga-sanga tidak, maka harus ditunggu selama tujuh hari. Perhatikan makna mimpi dalam jangka waktu tersebut. Kalau makna ayam tidak baik, sebaliknya makna sanga-sanga baik maka sanga harus ditunggu selama tujuh hari untuk menentukan tindak lanjut berikutnya. Dalam
179
selang
waktu tersebut
semua
persoalan-persoalan
keluarga
(jabu)
terselesaikan.
Gambar 4.7 Suasana di Lokasi Pancuran Pelaksanaan Erpangir Ku lau
180
sudah
Dalam masyarakat Karo kerja erpangir ku lau, tidak sekadar pelaksanaan seremoni berpangir untuk membersihkan tubuh, tetapi lebih bersifat magis, mitis, animistis senantiasa terkait secara intensif dari zaman ke zaman . Hal ini merupakan bahagian dari unsur kepercayaan lama, dimana partisipan atau peserta upacara dapat berkomunikasi kepada begu-begu melalui guru
yang dilakukan melalui mantra
(tabas). Dengan demikian, upacara erpangir ku lau dalam kebudayaan masyarakat Karo mengekspresikan sistem kosmologi, yang terdiri dari alam dunia nyata ini dan adanya alam gaib yang perlu dijaga hubungannya, agar terjadi keseimbangan kosmologis, di bawah bimbingan Yang Maha Kuasa yaitu Dibata Kaci-Kaci. Setelah datangnya agama Kristen (Protestan dan Katolik) serta Islam, maka upacara ritual ini mengalami perubahan-perubahan bagi pengikut agama tersebut dengan berbagai polarisasi. Ada yang melarangnya dan menjauhi ritual ini. Ada pula yang mencoba menyelelaraskannya dengan ajaran-ajaran agama yang dianut. Dalam ilmu agama, proses ini biasa disebut dengan pembumian agama. Dalam ilmu antropologi disebut dengan akulturasi. Dengan demikian upacara erpangir ku lau ini masih mengalami proses perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia akan terus dilaksanakan oleh para pendukungnya yang mempercayai institusi budaya ini untuk memenuhi keinginan akan kesehatan jasmani dan rohani, untuk memperoleh keturunan, untuk memperoleh jodoh, dan berbagai keperluan budaya dan sosial lainnya.
181
4.7 Analisis Semiotika 4.7.1 Analisis Benda-benda dan Peralatan Upacara Dalam melakukan aktivitas upacara erpangir ku lau, hal yang penting adalah penggunaan benda-benda dan peralatan upacara, untuk mendukung komunikasi kepada alam supernatural. Selain itu, benda-benda dan peralatan upacara, termasuk keteng-keteng dan alat musik lainnya (seperti belobat dan kulcapi), adalah sebagai media komunikasi antara tiga alam dalam system kosmologi tradisional Karo. Seperti sudah dideskripsikan di atas, maka benda-benda dan peralatan upacara ini dapat dibedakan berdasarkan besar kecilnya upacara erpangir yang akan dilaksanakan, yaitu terdiri dari yang kecil ke yang besar adalah pangir selamsam, pangir sitengah, dan pangir sintua. Adapun benda-benda dan peralatan yang digunakan dan maknanya secara semiosis adalah sebagai berikut. (a) Pangir selamsam peralatannya hanya terdiri dari: sebuah rimo mukur (jeruk purut), baja (getah kayu besi), minyak kelapa, dan sebuah mangkuk putih untuk tempat pangir. (b) Pangir sitengah bahan-bahannya terdiri dari penguras, yakni ramuan dari air (air kelapa muda), jeruk purut, baja, minyak kelapa, dan jera; empat jenis jeruk, tetapi jeruk purut (rimo mukur) harus ada; kudin taneh (kuali dari tanah), sebagai tempat penguras (pangir). Dilakukan di lau sirang (ditempat air mengalir terbelah menjadi dua aliran). (c) Pangir sintua (agung) memerlukan peralatan sebagai berikut: penguras, tujuh jenis jeruk, jeruk purut harus ada; wajan (belanga) sebagai tempat penguras (pangir); dilakukan di lau sirang. Diletakkan atas sagak (corong bambu) dan di pinggirnya di beri berjanur (lambé).
182
Adapun makna benda-benda atau peralatan upacara seperti disebut di atas, sesuai dengan penjelasan para informan kunci penulis, dengan dimensi etnometodologinya atau etnobotaninya adalah sebagai berikut. (1)
Jeruk purut adalah simbol dari bumi atau dunia yang kita tempati ini.
Bumi ini adalah bulat seperti jeruk purut. Bumi dalam kepercayaan tradisional Karo terdiri dari dunia yang kita tempati, kemudian ada pula dunia yang di atas, dan ada pula dunia bawah. Ketiga unsur alam ini haruslah dijaga keseimbangannya, jangan sampai setiap penghuni dunia tadi saling menyakiti yang akan memberikan dampak kepada yang terkena sakit akibat gangguan masing-masing makhluk. Dengan menggunakan jeruk purut selain dapat membersihkan diri, jeruk itu juga akan meberikan aroma yang wangi, dan memebri terapi untuk menjadi sehat. (2)
Getah kayu besi atau dalam bahasa Karo disebut dengan baja, adalah
getah yang dihasilkan oleh kayu besi yang relatif keras seratnya. Getah ini dipercaya dapat melancarkan peredaran darah orang yang menggunakannya, dengan cara mandi atau erpangir. Getah kayu besi ini juga menjadi penyeimbang unsur air dan tanah, yang digunakan dalam ritual erpangir ku lau. (3)
Minyak kelapa (Cocos nucifera) adalah bahan yang memiliki
berbagai fungsi fisiologis. Minyak kelapa selalu digunakan untuk melancarkan organisme, misalnya ibu hamil yang hendak melahirkan, apabila ia minum minyak kelapa dipercayai akan mudah melahirkan anaknya ke dunia ini. Minyak kelapa juga banyak digunakan untuk mengurut urat-urat yang telah letih untuk menjadi baik kembali. Dalam rangka erpangir ku lau minyak kelapa berfungsi untuk memberikan
183
stimulus kepada kulit orang yang menggunakannya agar berminyak dan mengembalikan jaringan kulit untuk tetap awet. (3)
Air kelapa muda adalah air yang mengandung hidrogen yang baik
bagi kesehatan orang yang meminumnya atau mandi dengannya. Air kelapa muda juga dapat digunakan untuk mengganti cairan tubuh yang telah hilang seiring dengan beraktivitas dan berkeringat. Air kelapa muda juga mengandung ion-ion yang dapat menggantikan ion yang telah hilang di dalam tubuh yang meminumnya. Pada aktivitas erpangir ku lau, air kelapa adalah dicampur dengan ramuan lainnya dan kemudian dicampur air lau sirang, yang memberikan dampak membersihkan tubuh yang menggunakannya. (4)
Kudin taneh (kuali tanah) adalah tempat untuk mencampur ramuan-
ramuan untuk aktivitas ini, di samping ia sendiri pun memiliki fungsi simbolik dan fisik. Alat ini adalah penyeimbang dari unsur tumbuhan, minyak, dan air. Bahkan dalam kehidupan orang Karo sendiri tanah adalah unsur manusia yang paling dominan di samping air. Manusia berasal dari tanah dan kembali ke tanah juga. Jadi kudin taneh ini diperlukan dalam rangka menjaga keseimbangan zat yang digunakan, dan memiliki fungsi simbolik juga. (5) Air dari lau sirang adalah air mengalir yang kemudian bercabang menjadi dua aliran. Air ini dipercaya memiliki tingkat kebersihan yang baik, apalagi berada di pegunungan. Air ini menjadi bahan utama dalam ritual erpangir ku lau yang bertujuan membersihkan diri dari segala kekotoran atau unsur negatif yang menimpa seseorang. Air adalah sebagai zat pembersih badan, air juga dapat menyegarkan seseiorang yang mansi dengannya. Bahkan agama-agama besar pun
184
selalu menggunakan air dalam rangka menyucikan diri, terutama ketika hendak berkomunikasi atau ibadah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian air dari lau sirang ini dipandang bersih dan membersihkan. Demikian analisis semiotika terhadap benda-benda yang digunakan dalam upacara erpangir ku lau ini.
4.7.2 Analisis Teks Mantra Guru Sibaso (a) Mantra untuk persembahan ayam yang disebut juga dengan tabas mangmang manuk dibacakan sebagai berikut ini. Tabas Mangmang Manuk Ndai (mantra ayam) (1) Turun me kam Dibata Diatas (turunlah hai Tuhan yang diatas) (2) Nangkih Dibata ni teruh (naik Tuhan yang dibawah) (3) Kundul Dibata di tengah (duduk Tuhan yang di tengah) (4) Tongah turun pengulu balangku (tengah turun pengulu balangku) (5) Pengulu balang di gurungku (pengulu balang guruku) (6) Pengulu balang di gerek-gerekken (pengulu balang di perasaan) (7) Manik merah manok pincala gunong
(ayam merah, ayam muarai
gunung) (8) Simanjadiken manok megara (yang menjadikan ayam merah) (9) Gundari kum asap, (sekarang kami ku asap), (10) Kepada hupa (kepada hupa) (11) Ku pul-pul, lah banci ku minaki (kuasap, agar boleh kuminyaki) (12) Ku amburi beras page serongsong (kutaburi beras padi serongsong) (13) Nangtangken bangsa kekesa (membuang kesialan)
185
(14) Sedang sisinku si… (anu) enda Pasienku si… (anu) ini (15) Anak beru, senina, marpuang, markalimbubu (beranak beru, bersenina, berkalimbubu) (16) Marsingerpak, mar singari-ngari (bertenaga, berpenghibur) (17) Ku amburi kam beras meciho (kutaburi kamu denga beras putih) (18) Perban perulihen siding sisin (karena keberuntungan pasien) (19) Penanggerenku enda (yang kumasuki ini guru) (20) Kam maok pincala gunong (kamu ayam murai gunung) (21) Simanjadiken manok megara (yang menjadikan ayam merah) (22) Man pengogen (untuk bacaan) (23) Kusuroh kam ndahi Dibata (kusuruh kamu menemui Tuhan) (24) Terpahe, tertuhu katandu (terpakai dan benar-benar katamu) (25) Pindo simehuli mejuah-juah (mintalah yang baik dan bahagia) (26) Sanggap ertuah (berhasil dan bertuah) (27) Penaggaren siding sisinku (diri dari pasienku) (28) aku Guru (kau guru) ... dan seterusnya. Mantra di atas dengan jelas menggambarkan sistem kosmologi orangorang Karo yang membagi dunia ini kepada tiga lapisan yaitu benua atas, benua tengah, dan benua bawah. Setiap alam ini ada penguasanya. Mantra ini juga meneyebut tentang makhluk-makhluk gaib seperti dewa dan penghulu balang, yang tujuannya adalah untuk menjadi penolong mengobati penyakit yang diderita oleh si pasien yang melakukan erpangir ku lau tersebut. Selain itu mantra ini mengedepankan hewan kurban ayam (manuk),
186
yang
memiliki
nilai-nilai
supernatural sebagai sarana dan media antara dunia nyata dengan dunia gaib. Harapan si pasien melalui guru sibaso adalah tercermin dalam diksi kata-kata sebagai berikut: pindo simehuli mejuah-juah (mintalah yang baik dan bahagia), dan sanggap ertuah (berhasil dan bertuah). Dengan demikian secara semiotik, mantra ini mengandung lambang berupa ayam sebagai hewan yang memiliki nilai ritual dan menjadi hewan kurban untuk tujuan kesuksesan. Dalam mantra ini tergambar sistem kosmologi dan gambaran alam gaib dalam kebudayaan Karo. (b) Dalam proses upacara erpangir ku lau, setelah selesainya semua kegiatan, maka yang terakhir adalah membuang sisa-sisa kegiatan ke dalam air. Ini biasa dilakukan dalm tradisi upacara di Nusantara. Biasanya disebut juga dengan buang obat, atau mematikan obat. Adapun dalam upcara erpangir ku lau ini, mantra pembuangan sisa-sisa pangir adalah sebagai berikut. (1) Aloken min begu simalangsai (terimalah o hantu simalangsai) (2) Ras Nini Raja Kolopung
(bersama nenek raja kolopung)
(3) Ras suruh-suruhenndu (bersama pelayan-pelayanmu) (4) Si Maba, Si Ari, Si Tonu, Si Dara (Si Maba, Si Ari, Si Tonu, Si Dara) (5) Aloken panger persilihi (terimalah panger pengganti) (6) Sidang sisindu si … (anu) enda (yang sakit ini) (7) Akuken si la mehuli man si … (hapuskanlah yang tidak baik) (8) (anu) enda nini dari si … (anu) ini nenek (9) Bandu deraham Patamas (untukmu deraham Patamas) (10) Dagangen mbentar, manok megara (kain putih, ayam merah) (11) Nakan pelen-pelen cina (nasi semua cabai) 187
(12) Datang-datangen (kurang ajar) (13) Upahndu megegeh ngakuken cilaka (upahmu menghindarkan celaka jahat) (14) Man si (anu) enda, ras anak beru Dari si …(anu) ini, beserta anak beru (15) Senina ras puang kalimbubu (senina dan puang kalimbubu) (16) Sumpak singari-ngari (berikut orang yang menghibur) Mantra tersebut di atas, menggambarkan juga sistem kosmologi Karo yang menyebut tentang makhluk gaib seperti Begu Simalangsai (Hantu Simalangsai), Nini Raja Kolopung, dan para pelayan keduanya yaitu Si Maba, Si Ari, Si Tonu, Si Dara. Kepada makhluk gaib inilah para peserta upacara memohon untuk keselamatan, atau untuk mengobati penyakit dalam pengertian seluas-luasnya. Mereka juga mengharap dan memohon untuk membuang semua yang tidak baik, artinya mereka mengharap yang baik-baik. Hindarkanlah celaka jahat yang akan mendatangi mereka, maka datangkanlah hal yang baik-baik saja. Di dalam mantra ini juga tercermin ikatan rakut sitelu yaitu senina, kalimbubu, dan anak beru dalam kebudayaan Karo. Artinya mereka yang datang ini adalah satu kesatuan yang saling bersaudara dalam ikatan kekerabatan. Inti dari teks mantra ini adalah pengharapan agar dibuanglah semua hal yang jahat, datangkanlah semua yang baik dalam kehidupan peserta upacara. Ini juga berarti sebagai terima kasih atas komunikasi dan perkenan dari dewa dan makhluk gaib tersebut.
188
BAB V PERAN MUSIKAL DAN SOSIOBUDAYA KETENG-KETENG DALAM GENDANG TELU SENDALANEN PADA PELAKSANAAN UPACARA ERPANGIR KU LAU
5.1
Ensambel Gendang Telu Sendalanen Secara harfiah gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat
musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian gendang lima sendalanen). Ketiga alat musik yang tergabung dalam ensambel gendang telu sendalanen biasanya terdiri dari beberapa jenis format instrumen musik antara lain: (1) Kulcapi, dan 2 alat musik ketengketeng, (2) Belobat, keteng-keteng, dan kulcapi, dan (3) Belobat dan 2 alat musik keteng-keteng. Dari keseluruhan alat musik yang tergabung dalam ensambel gendang telu sendalanen tersebut, ada dua istrumen musik yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu kulcapi dan
belobat.
Sedangkan
keteng-keteng dan
mangkok
merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan, repetitif, atau ritem variatif. Pada formasi (1) kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, sedangkan keteng-keteng dan mangkok sebagai pengiring melodi dengan pola ritem tertentu.
189
Pada formasi (2) belobat berperan sebagai pembawa melodi, sedangkan ketengketeng, dan mangkok berperan sebagai pengiring melodi dengan pola ritem tertentu. Pada formasi (3) ) belobat berperan sebagai pembawa melodi, sedangkan 2 ketengketeng, berperan sebagai pengiring melodi dengan pola ritem tertentu. Untuk keseluruhan formasi alat musik dalam ensambel gendang telu sendalanen, masingmasing alat musik dimainkan oleh seorang pemain. Kulcapi adalah alat musik petik berbentuk lute yang terdiri dari dua buah senar (two-strenged fretted-necked lute). Secara tradisional senar kulcapi terbuat dari akar pohon aren (enau) namun sekarang telah diganti senar metal. Langkup kulcapi (bagian depan resonator kulcapi) tidak terdapat lobang resonator, justru lobang resonator (disebut babah) terdapat pada bagian belakang kulcapi. Dalam memainkan kulcapi, lobang resonator (babah) tersebut juga berfungsi untuk mengubah warna bunyi (efek bunyi) dengan cara tonggum, yakni suatu teknik permainan kulcapi dengan cara mendekapkan seluruh/sebagian babah kulcapi ke badan pemain kulcapi secara berulang dalam waktu tertentu. Efek bunyi kulcapi yang dihasilkan melalui teknik tonggum ini hampir menyerupai efek bunyi echo pada alat musik elektronik pada umumnya.
190
Gambar 5.1 Kulcapi (Alat Musik Lute PetikTradisional Karo).
191
Belobat merupakan alat musik tiup yang tebuat dari bambu (block flute). Instrumen ini mirip dengan alat musik recorder pada alat musik Barat. Belobat memiliki enam buah lobang nada. Dilihat dari perannya dalam gendang telu sedalanen, belobat memiliki peran yang sedikit atau kurang berperan penting, karena pada sebagian besar penampilan gendang telu sendalanen biasanya menggunakan alat musik kulcapi pembawa melodi. Keteng-keteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Bunyi keteng-keteng dihasilkan dari dua buah “senar” yang diambil dari kulit bambu itu sendiri (bamboo idiochord). Pada ruas bambu tersebut dibuat satu lobang resonator dan tepat di atasnya ditempatkan sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar keteng-keteng. Bilahan bambu itu disebut gung, karena peran musikal dan warna bunyinya menyerupai gung dalam gendang lima sendalanen. Bunyi musik yang dihasilkan keteng-keteng merupakan gabungan dari alat-alat musik pengiring gendang lima sendalanen (kecuali sarune) karena pola permainan keteng-keteng menghasilkan bunyi pola ritem: gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung yang dimainkan oleh hanya seorang pemain keteng-keteng.
192
Gambar 5.2.1 dan 5.2.2 Keteng-keteng (Alat Musik Tradisional Karo)
Menurut Sempa Sitepu (wawancara penulis dengan beliau 13 Agustus 2011), seorang pemusik tradisional Karo, bahwa terciptanya alat musik ini (ketengketeng) ialah untuk menanggulangi kesulitan memanggil ensambel gendang lima sendalanen dan untuk acara yang tidak begitu besar seperti ndilo tendi (memanggil roh) atau erpangir ku lau, alat tersebut dapat menggantikannya. Balobat digunakan sebagai pembawa melodi menggantikan sarune dalam ensambel gendang lima sendalanen.
193
Mangkok yang dimaksud dalam hal ini adalah semacam cawan (chinese glass-bowl) yang pada dasarnya bukan merupakan alat musik. Namun dalam gendang telu sedalanen, mangkok tersebut digunakan sebagai instrumen pembawa ritmis. Selain sebagai alat musik, mangkok juga merupakan perlengkapan penting dari guru sibaso (dukun) dalam sistem kepercayaan tradisional Karo. Mangkok tersebut digunakan sebagai tempat air suci atau air bunga atau juga beras dalam ritual tertentu. Ketika mangkok digunakan atau dipakai sebagai alat musik dalam Gendang telu sendalanen biasanya diisi air putih biasa, tujuannya agar bunyi yang dihasilkan mangkok tersebut menjadi lebih nyaring.
Gambar 5.3 Mangkok (Alat Musik Tradisional Karo)
194
5.2 Peran Musikal Masing-masing Instrumen Gendang Telu Sedalanen Secara struktur musikal, gendang telu sendalanen mengacu kepada struktur musikal Gendang Lima Sendalanen, dimana peran musikalnya dibagi dalam dua bagian penting, yakni satu alat musik sebagai pembawa melodi, yang lainnya sebagai istrumen musik pengiring. Dalam ensambel
gendang telu sendalanen,
kulcapi (dalam ensambel gendang lima sendalanen yang menggunakan kulcapi) atau balobat (dalam gendang belobat) berperan sebagai alat musik pembawa melodi. Keteng-keteng dan mangkok memiliki peranan sebagai musik pengiring. Namun keteng-keteng sebagai alat musik pengiring memiliki peran yang unik, yakni menghasilkan bunyi imitasi (tiruan) dari bunyi empat alat musik pengiring yang terdapat pada ensambel gendang lima sendalanen. Dalam pola permainan alat musik keteng-keteng terdapat sora (bunyi) penganak, gung, cak-cak (pola ritem) singanaki dan singindungi. Pola pukulan mangkok merupakan pukulan konstan berulang-ulang mengikuti pola permainan penganak atau gung dalam ensambel gendang lima sendalanen. Susunan alat musik tradisional yang tergabung dalam ensambel gendang telu sendalanen. Selain ragam alat musik tersebut di atas, ada juga yang menggunakan 2 alat musik keteng-keteng dan 1 alat musik belobat.
Menurut
Hendrik Perangin-angin (salah seorang pemain musik tradisional Karo, tiggal di Medan) mengatakan bahwa di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, ensambel
telu sendalanen yang menggunakan 2 alat musik
195
keteng-keteng dan 1 alat musik belobat sering digunakan dalam berbagai upacara ritual tertentu seperti kerja erpangir ku lau yang sering dilakukan oleh masyarakat Karo di desa Kuta Mbelin tersebut.
5.3 Posisi Pemain Gendang Telu Sendalanen Para pemain ensambel gendang telu sendalanen bermain musik dalam posisi duduk. Alat musik kulcapi dimainkan dengan posisi tangan kanan memangku ujung alat musik sekaligus jari tangan kanan memegang kuis-kuis, yaitu alat petik yang terbuat dari kayu atau kadang-kadang dari tanduk binatang. Sementara tangan kiri memegang kerahong (neck) kulcapi sekaligus jari-jari tangan kiri berperan menekan senar kulcapi dalam memainkan melodi. Keteng-keteng dimainkan dengan meletakkan alat musik tersebut di lantai di depan pemain, mangkok juga ditempatkan dalam posisi serupa.
5.4 Peranan Masing-masing Alat Musik Dalam Ensambel
Gendang Telu
Sendalanen Secara struktur musikal, ensambel gendang telu sendalanen mengacu kepada struktur musikal gendang lima sendalanen, dimana peran musikalnya dibagi dalam dua bagian penting, yakni satu alat musik sebagai pembawa melodi, yang lainnya sebagai istrumen musik pengiring. Dalam gendang telu sendalanen, kulcapi (dalam gendang lima sendalanen plus kulcapi) atau balobat (dalam gendang balobat) berperan sebagai alat musik pembawa melodi. Keteng-keteng dan mangkok memiliki peranan sebagai musik pengiring. Namun keteng-keteng sebagai alat
196
musik pengiring memiliki peran yang unik, yakni menghasilkan bunyi imitasi (tiruan) dari bunyi empat alat musik pengiring yang terdapat pada gendang lima sendalanen. Dalam pola permainan alat musik keteng-keteng terdapat sora (bunyi) penganak, gung, cak-cak (pola ritem) singanaki dan singindungi. Pola pukulan mangkok merupakan pukulan konstan berulang-ulang mengikuti pola permainan penganak atau gung dalam gendang lima sendalanen. Dengan demikian melalui alat musik keteng-keteng, peranan musikal (bunyi) dari beberapa alat musik seperti, penganak, gung, cak-cak dapat digantikan oleh alat musik ini. Para pemain gendang telu sendalanen bermain musik dalam posisi duduk. Alat musik kulcapi dimainkan dengan posisi tangan kanan memangku ujung alat musik sekaligus jari tangan kanan memegang kuis-kuis, yaitu alat petik yang terbuat dari kayu atau kadang-kadang dari tanduk binatang. Sementara tangan kiri memegang kerahong (neck) kulcapi sekaligus jari-jari tangan kiri berperan menekan senar
kulcapi dalam memainkan melodi.
Keteng-keteng dimainkan dengan
meletakkan alat musik tersebut di lantai di depan pemain, mangkok juga ditempatkan dalam posisi serupa.
5.5
Peranan Ensambel Gendang Telu Sendalanen Dalam Pelaksanaan Erpangir ku lau Pelaksanaan ritual erpangir ku lau yang dilaksanakan oleh keluarga
‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’ sebagai si man pangiren di desa Kuta Mbelin,
197
Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, dilaksanakan dengan menggunakan ensambel gendang telu sendalanen sebagai media pelaksanaan upacara. Dimana pada ensambel telu sendalanen ini menggunakan 2 (dua) alat musik keteng-keteng, dan balobat. Repertoar atau kumpulan komposisi musik tradisional yang digunakan dalam upacara tersebut adalah; gendang perang belin, gendang jumpa malem, katoneng-katoneng, gendang kelayaren, dan gendang peselukken. Susunan-susunan lagu yang digunakan dalam erpangir ku lau antara lain: (1) Perang Belin, (2) Marimari, (3) Odak-odak, (4) Kelayaren, (5) Gendang Pesaluken. Susunan acara dalam ritual kerja erpangir ku lau yang dilaksanakan olaeh keluarga ‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’ sebagai si man pangiren antara lain : 1. Menyambut rombongan-rombongan dari lokasi pelaksanaan erpangir ku lau beserta keluarganya 2. Menyambut orang kampung untuk memberi, menghormati keramat bere buah kuta-kuta (memberi hasil tanamannya). 3. Makan bersama. 4. Pelaksanaan ergendang.
198
Gambar 5.4 Penyambutan Tamu (Partisipan) Dalam Pelaksanaan Erpangir ku lau Oleh Keluarga Sembiring Kembaren/Beru Ginting
199
Penyambutan tamu (partisipan) dilakukan sebaik mungkin oleh pihak beru dengan mengarahkan para tamu pada posisi tertentu sesuai dengan aturan yang tercakup dalam rakut sitelu. Suasana penyambutan tamu diiringi dengan bunyi ensambel gendang telu sendalanen. Dalam penyambutan tamu, pihak beru akan mempersilahkan tamu untuk duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah para tamu duduk di posisi yang telah ditentukan, maka acara dilanjutkan dengan makan bersama. Pada saat acara makan bersama, kelompok pihak beru dalam konteks rakut sitelu akan melakukan penjamuan atau pelayanan yang sebaik mungkin, terutama dalam pembagian makanan agar seluruh undangan (partisipan) dapat menikmati makanan dengan baik. Setelah acara makan bersama selesai dilakukan, maka bagian berikutnya adalah upacara ergendang dengan menggunakan ensambel telu sendalanen. Susunan-susunan lagu yang digunakan dalam upacara ini antara lain: (1) Perang Belin, (2) Mari-mari, (3) Odak-odak, (4) Kelayaren, (5) Gendang pesaluken.
200
Gambar 5.5a dan 5.5b Makan Besama
201
Musik itu diawali dengan tempo lambat. memainkan lagu mari-mari, yang artinya kemari. Lagu ini biasa dimainkan untuk memanggl roh-roh yang ada di sekitar tempat tersebut. Lagu ini juga dimainkan untuk memanggil roh moyang mereka agar hadir berbicara melalui medium guru yang akan kesurupan (intrance). Semakin lama semakin cepat. Yaitu lagu odak-odak beralih ke patam-patam dan selanjutnya musik dengan tempo yang sangat cepat sekali, yaitu gendang guru atau disebut juga dengan silengguri.
Gambar 5.6 Partisipan Menari dengan Iringan Ensambel Gendang Telu Sendalanen.
202
Balobat
Keteng-keteng 1
Keteng-keteng 2
Notasi 5.1 Cuplikan Permainan Awal Belobat dan Keteng-keteng dalam Upacara Erpangir Ku lau
Permainan belobat semakin lama semakin cepat dan diperjelas oleh ritem kedua alat musik keteng-keteng, sehingga melodi yang dimainkan cenderung monoton, namun temponya semakin cepat. Guru yang berperan sebagai mediator antara manusia dengan begu, yaitu roh. Peserta yang hadir dalam upacara tersebut juga memahami kapan waktunya ketika roh yang diundang masuk ke dalam tubuh sang guru. 203
Gambar 5.7 Guru Menggunakan Properti Kain Putih
204
Balobat
Keteng-keteng 1
Keteng-keteng 2
Notasi 5.2 Cuplikan Permainan Musik Belobat dan Keteng-keteng dalam Upacara Erpangir Ku lau Saat Guru Mulai Seluk
205
Ketika sang guru berjingkrak-jingkrak dengan semangat, gerakan-gerakan tarinya pun berubah yang menggambarkan roh yang masuk ke dalam tubuhnya, maka oleh peserta upacara dipahami bahwa sang guru sudah seluk (kesurupan). Jika yang masuk ke dalam tubuhnya harimau, maka sang guru akan berlaku seperti harimau. Jika roh yang masuk ular, maka sang guru akan melata. Demikian juga biasanya jika yang masuk ke dalam tubuhnya keramat dari Gunung Sibayak, yang biasa disebut dengan Beru Kertah Ernala, (yang artinya kira-kira perempuan dari belerang yang menyala-nyala) maka sang guru pun akan berlaku seperti keramat yang sangat disegani tersebut. Kemudian melalui guru tersebutlah peserta upacara dapat berkomunikasi dengan keramat-keramat tersebut dengan memohon, meminta kesembuhan, pembersihan diri dengan melakukan keramas dengan air yang ditaruh dalam mangkuk putih. Maka sang guru akan membasuh rambut peserta yang mau ipangiri (berkeramas). Pada bagian gendang peselukken, guru sibaso mulai kesurupan {trance). Komposisi gendang peselukken dapat berlangsung sekitar sepuluh menit atau lebih, tergantung kapan guru sibaso berada dalam keadaan seluk (dalam keadaan kesurupan). Jika guru sibaso belum dalam kesurupan, gendang peselukken dapat berlangsung sekitar setengah jam. Jika guru sibaso telah kesurupan, gendang telu sendalanen akan mengakhiri gendang peselukken. Dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau yang dilakukan oleh keluarga ‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’ sebagai si man pangiren di desa Kuta Mbelin, guru baru mengalami seluk (kesurupan) setelah gendang peselukken dimainkan
206
selama sekitar 25 menit melalui media gendang telu sendalanen. Pada saat guru mengalami
seluk pihak keluaraga ‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’ mulai
berkomunikasi dengan roh-roh melalui tubuh guru. Mereka mengucap syukur atas kesembuhan dari penyakit dan menanyakan berbagai hal mengenai langkah-langkah atau rencana yang akan dilakukan pada masa-masa yang akan datang.
207
Gambar 5.8.a, 5.8.b, 5.8.c Guru Mulai Seluk (Kesurupan) Seiring Dengan Bunyi Gendang Telu Sendalanen Dimainkan Dengan Cepat.
208
Pelaksanaan ergendang merupakan salah satu bagian penting dalam seluruh rangkaian pelaksanaan kerja erpangir ku lau. Dalam hal ini sierjabaten (pemain gendang telu sendalanen) akan mengiringi guru sibaso menari melalui beberapa repertoar hingga si guru mengalami seluk (kesurupan) karena roh leluhur yang dipanggil telah dating dan masuk ke diri (jiwa) guru sibaso. Berikut ini adalah analisis berupa tahapan penggunaan ansambel gendang telu sendalanen sebagai media dalam pelaksanaan erpangir ku lau dan secara khusus dalam pelaksanaan ergendang yang dilaksanakan oleh keluarga Sembiring Kembaren/ Br. Ginting di desa Kuta Mbelin, Kabupaten Lau Baleng dapat dilihat pada analisis berikut ini.
5.6 Deskripsi Alat dan Teknik Bermain Keteng-Keteng Sebagai Salah Satu Alat Musik Dalam Ensambel Gendang Telu Sendalann Alat musik keteng-keteng dapat dikelompokkan dalam klasifikasi idiofon dan juga kordofon. Oleh sebab itu lebih khusus tentang instrumen ini dapat dikatakan ke dalam kelompok idiokordofon, yaitu alat musik idiofon yang mempunyai senar, dan senarnya itu sendiri terbuat dari badannya sendiri. Keteng-keteng terbuat dari satu ruas buluh belin (bambu betung) dengan panjang lebih kurang 35 – 50 cm, tergantung panjang ruas bambunya. Pada bagian badan (ruas) bambu tersebut dicungkil untuk membuat senarnya, yang terdiri dari dua senar. Cungkilan tersebut di kencangkan dengan mengganjal dengan kayu. Kekencangan ukuran antara senar yang satu dengan senar yang lain adalah disetem berdasrkan kayu pengganjal tersebut. 209
Gambar 5.9 Alat Musik Tradisional Karo Keteng-keteng.
Meskipun instrumen ini mempunyai nada, tetapi dalam permainannya instrumen ini lebih bersipat perkusif. Oleh sebab itu kekencangan talinya diukur untuk mewakili bunyi instrumen Karo yang lain, suara senar satu dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu untuk mewakili bunyi gendang anak (membranophone :conical-drum) dan bunyi penganak (small gong). Sedangkan senar yang kedua adalah untuk mewakili bunyi gung (gong). Oleh sebab itu satu instrumen musik ini sebenarnya mewakili tiga bunyi instrumen musik Karo, yaitu gendang penganak, dan gung (gong). Di depan senar kedua di badan bambu biasanya dibuat lubang resonator, dan di senar dua itu sendiri dilengketkan bambu persis di atas lobang resonator itu
210
sendiri untuk menghasilkan suara gung yang erbolo-bolo sebagaimana terlihat pada gambar berikut.
Rongga resonan
Senar 1
senar 2
stick (pemukul)
Gambar 5.10 Konstruksi Alat Musik Keteng-keteng
Alat musik keteng-keteng dimainkan dengan cara memukul kedua senar dengan menggunakan 2 alat pemukul (stick) yang terbuat dari kayu. Pemain ketengketeng akan memukul kedua senar tersebut dengan pola ritem yang lebih banyak
211
memainkan ritem konstan, tetapi pada bagian tertentu juga memainkan ritem variabel seperti pada gambar berikut.
Gambar 5.11 Teknik Bermain Alat Musik Keteng-keteng dan Notasi Pola Ritem dasar yang Dihasilkan
212
Pembelajaran alat musik tradisional keteng-keteng sebagaimana dengan pembelajaran alat musik tradisional lainnya, dilakukan secara lisan oleh orang yang telah terampil memainkan salah satu alat musik ke generasi berikutnya yang berkeinginan. Demikian halnya dengan alat musik keteng-keteng dilakukan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut pengamatan yang penulis lakukan, pembelajaran alat musik keteng-keteng dilakukan dengan memberi contoh (dalam bentuk permainan berupa pola irama) tertentu, biasanya dalam bentuk ritem yang sederhana kemudian diikuti oleh orang yang sedang mempelajari teknik bermain alat musik keteng-keteng. De4mikian seterusnya dilakukan secara berulang-ukang. Setelah pola sederhana dapat dimainkan dengan baik, kemudian mempelajari berbagai pola ritem yang lebih rumit dan seterusnya. Setelah seseorang yang sedang belajar sudah mampu memainkan ragam pola ritem, serta secara variatif dapat memainkan kedua senar dengan baik, barulah seseorang dapat bermain dalam bentuk ensambel. Sistem pembelajaran keteng-keteng ini adalah secara tradisional. Selain belajar langsung dengan guru, sebagian masyarakat Karo juga ada yang mempelajari alat musik tradisional keteng-keteng secara mandiri (otodidak) dengan cara mendengar rekaman, kemudian memainkannya. Ini adalah bahagian dari sistem pembelajaran tradisi lisan, yaitu tradisi yang diwariskan dan diajarkan dengan caracara melalui kelisanan, tidak melalui tulisan. Walaupun masyarakat Karo sebenarnya mengenal juga sistem tulisan, namun inti transmisi budaya adalah melalui lisan.
213
5.7 Analisis Peran Musikal Alat Musik Keteng-Keteng dalam Gendang Telu Sendalanen Dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau yang dulaksanakan oleh keluaraga Sembiring Kembaren/Beru Ginting di desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, menggunakan ensambel gendang telu sendalanen sebagai salah satu media komunikasi antara manusia dengan dunia supernatural. Dalam konteks ini ensambel gendang telu sendalanen terdiri dari 2 alat musik ketengketeng dan 1 belobat dimana setiap alat musik dimainkan oleh satu orang pemain musik (si erjabaten). Peran musikal yang paling menonjol dari keteng-keteng adalah sebagai pembawa dimensi waktu. Dimensi ini diperankan oleh dua buah keteng-keteng. Peran utama masing-masing keteng-keteng ini adalah satu membawakan pola ritem konstan ostinato (diulang-ulang), yang diperankan oleh keteng-keteng induk. Di sisi lain, keteng-keteng anak memainkan ritem-ritem ostinato juga tetapi dengan variasivariasi sejalan dengan ritem dasar. Ritem variasi ini diaminkan di sepanjang komposisi musik yang dilakukan bersama-sama dengan melodi belobat. Jalinan antara dua keteng-keteng yang dipercaya membawakan ritem dengan belobat yang membawa melodi, kemudian diikuti oleh gerak landek para peserta upacara, menghasilkan sebuah musik yang didasari konsep budaya masyarakatnya. Bagi masyarakat Karo, kegiatan upacara dengan iringan musik dan juga bahasa verbal dipandang sebagai sebuah perjalanan (sendalanen). Ini bermakna bahwa dalam melakukan pertunjukan budaya musik, tari, dan upacara, masyarakat Karo seperti melalui sebuah perjalanan yang menyenangkan, dengan menyertakan
214
unsur bunyi, gerak dalam dimensi ruang dan waktu. Inilah inti konsep budaya gendang telu sendalanen tersebut. Pada notasi berikut secara musikal dan visual dapat terlihat proporsi masing-masing alat musik (balobat, keteng-keteng 1, dan keteng-keteng 2). Instrumen musik balobat berperan sebagai pembawa melodi, sementara instrumen musik keteng-keteng 1 dan 2 berperan sebagai pembawa ritem yang member tempo pada balobat atau kepada seluaruh alat musik yang tergabung dalam ensambel gendang telu sendalanen.
Balobat
Keteng-keteng 1
Keteng-keteng 2
Notasi 5.3 Cuplikan Belobat sebagai Pembawa Melodi dan Keteng-Keteng Satu dan Dua sebagai Pembawa Ritem
Seperti terrlihat dalam notasi di atas, birama yang digunakan oleh dua alat musik keteng-keteng dan belobat adalah birama empat per empat (4/4). Pada dua birama pertama kedua keteng-keteng mengisi satu ketukan dasar dengan satu 215
pukulan (beat). Pada birama ketiga, keteng-keteng induk memainkan dua not pertama pada jenis kumpulan not kuadrupel. Sepanjang empat ketukannya. Ini mempertegas ketukan-ketukan dasar dalam perjalanan musiknya. Ketegasan ketukan dasar ini ditingkahi oleh ritem keteng-keteng anak (keteng-keteng 2) yang mengisi ritem pada ketukan pertama, kedua, dan keempat dengan satu dan tiga pada kelompok kuadrupelnya. Sedangkan pada ketukan kedua, diisi ritem pada not satu, tiga, dan empat pada kelompok kuadrupelnya. Ini memberikan dampak “mengiringi” ritem keteng-keteng induk (keteng-keteng 1). Dalam keseluruhan komposisi musik pengiring upacara ini, birama yang digunakan adalah empat ketukan dasar dalam satu birama. Namun demikian biramabirama yang terus sama ini dipercepat atau diperlambat sesuai dengan kebutuhan upacaranya. Umumnya pada saat awal masuk dengan tempo yang lambat, kemudian berangsur-angsur sedang, baru kemudian setelah guru sibaso seluk (trance), maka tempo dipercepat. Terjadinya percepatan tempo ini dipimpin oleh ritem yang dibawakan oleh keteng-keteng 1. Ini penting
untuk menimbulkan suasana
komunikatif antara guru sibaso, peserta upacara, tentunya dengan alam supernatural yang mereka tuju. Kedua keteng-keteng membentuk jalinan ritem hemiola, yaitu ritem yang saling mengisi yang menghasilkan ritem paduan yang khas memiliki identitas atau ciri-ciri musik Karo. Paduan antara kedua keteng-keteng ini, sebenarnya hampir sama dengan ritem paduan yang dihasilkan pada gendang lima sendalanen, yang dibawa oleh gung, penganak, gendang singindungi, dan gendang singanaki.
216
Hasilnya juga adalah ritem yang berbentuk hemiola, yaitu ritem jalinan antara dua alat musik pembawa ritem dan disertai dengan melodi sarune dalam mengiringi berbagai pertunjukan-pertunjukan budaya Karo. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan instrumen musik keteng-keteng merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi keseluruhan instrumen musik
dalam ensambel gendang telu sendalanen. Pada bagian
selanjutnya, peranan keteng-keteng tersebut akan lebih dominan pada saat memainkan Gendang Perseluken, peranan irama yang kian cepat akan berpengaruh dalam proses terjadinya seluk pada guru yang merupakan pemimpin dalam pelaksanaan upacara tersebut. Secara musikal proses ini dipimpin langsung oleh keteng-keteng induk, untuk membawa perubahan suasana dari keadaan para peserta upacara sadar (conscious) menjadi keadaan tidak sadar atau trance. Peran keteng-keteng di dalam bahagian ini sangatlah menonjol dan menjadi panduan perubahan suasana komunikasinya.
217
Balobat
Keteng-keteng 1
Keteng-keteng 2
Notasi 5.4 Gaya Keteng-keteng yang Dominan untuk Mengiringi Peseluken Guru
218
Seperti dapat dilihat dalam notasi di atas yang berupa visual, maka kedua keteng-keteng dalam rangka mempercepat tempo dan masuk dalam suasana seluk, maka menghasilkan ritem-ritem yang lebih rapat densitasnya. Keteng-keteng pertama menghasilkan empat pembagian dalam masing-masing ketukan dasarnya: (a) yang pertama adalah satu ketukan dasar satu not yang berada pada posisi down beat, (b) yang kedua adalah ritem dupel, yaitu dalam satu ketukan dasar dibagi dua not yang sama dalam hal ini dua not seperdelapan, (c) yang ketiga adalah ketukan dasar yang diisi not satu, tiga, dan empat dalam rangkaian satu kuadrupel, (d) yang keempat adalah ketukan dasar yang diisi not satu dan dua dalam rangkaian kuadrupel, yang memberikan efek musikal memperkuat ketukan dasarnya. Ketengketeng kedua juga sama dengan keteng-keteng pertama, namun ada satu tambahan ritem yang dihasilkan yaitu pada ritem dupel diberikan aksentuasinya pada not kedua. Pada bagian ini instrumen musik keteng-keteng dimainkan dengan tempo yang cepat secara berulang-ulang hingga guru mengalami seluk (kesurupan). Durasi permainan ini terkadang hingga menjacapai 30 menit atau lebih. Dengan demikian peranan keteng-keteng sebagai sebuah variabel dalam ensambel gendang telu sendalanen merupakan satu kesatuan sistem yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya. Secara lebih luas dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau yang bersifat sintua, ensambel gendang telu sendalanen sebagai perangkat alat musik tradisional wajib disertakan sebagai salah satu media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam hal ini ensambel musik tradisional merupakan salah satu indikator yang
219
memiliki peranan kepada indikator lainnya dalam pelaksanaan upacara religi atau upacara adat tersebut. Bunyi dari ragam instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang dimainkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi dan peran untuk memanggil roh-roh dalam kaitannya dengan pelaksanaan religi erpangir ku lau. Di sisi lain, kalau dimensi waktu diisi dan diperankan oleh keteng-keteng, maka untuk dimensi ruang peran ini diambil oleh alat musik belobat, yang membawakan melodi. Belobat ini umumnya mengisi komposisi musik secara terusmenerus. Fungsi musikal belobat juga adalah memberikan perubahan lagu-lagu. Perubahan lagu ditentukan oleh perubahan melodi belobat. Dalam rangka mengiringi upacara erpangir ku lau ini, belobat biasanya menggunakan nada-nada yang frekuensinya relatif tinggi, dengan menggunakan tangga nada utama pentatonik Karo, yang disertai dengan gaya rengget. Dalam musik tradisional Karo, rengget ini memberikan identitas utama musik Karo, yang memiliki nilai-nilai estetikanya secara sendiri. Rengget adalah menjadi jiwa alat-alat musik dan nyanyian vokal musik Karo secara menyeluruh. Di dalam konsepnya rengget adalah suatu gaya individu yang muncul dari inovasi dan kreativitas para pemusik dan penyanyi Karo. Rengget ini muncul dalam semua jenis musik vokal dan instrumental yang melibatkan melodi yang dibawakan oleh alat-alat musiknya. Konsep estetis ini terus kontinu hingga masa sekarang ini. Diteruskan ke dalam genre tradisional maupun populer tradisional dalam musik Karo. Hubungan peran musikal yang dibawakan oleh keteng-keteng satu, keteng-keteng dua, belobat sebagai satu kesatuan dalam ensambel gendang telu sendalanen, yang digunakan
220
dalam konteks upacara erpangir ku lau yang didasari oleh kosmologi tradisional Karo, dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.
Bagan 5.1: Hubungan antara Peran Musikal Keteng-keteng, Belobat, dengan Upacara Erpangir Ku Lau dalam Sistem Kosmologi Karo
221
5.8 Peran Sosial Budaya Keteng-keteng pada Gendang Telu Sendalanen dalam Kebudayaan Karo Selain peran musikal terjadi pula peran sosial dan budaya keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen dalam kebudayaan Karo. Peran sosial adalah mendukung interaksi yang timbul dalam masyarakat Karo. Peran budaya adalah memenuhi berbagai kepentingan budaya yang dapat dikaji dalam pikiran dan kepercayaan orang-orang Karo yang melakukannya. Peran sosial dan budaya tersebut, dalam tesis ini penulis sebutkan sebagai guna dan fungsi musik dalam masyarakat. Istilah ini penulis gunakan merujuk kepada istilah dan pengertian guna dan fungsi musik yang ditawarkan oleh Alan P. Merriam (1964). Sebelum menganalisis peran sosial dan budaya atau guna dan fungsi keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen dalam upacara erpangir ku lau, terlebih dahulu dijelaskan penegrtian guna dan fungsi dalam disiplin etnomusikologi yang seperti yang dikemukakan oleh Merriam sebagai berikut.
5.8.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan
222
nalurinya terhadap keindahan. naluri manusia untuk tahu.
Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan
Makanan muncul untuk memenuhi rasa lapar dan
pertumbuhan tubuh. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan fahaman ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.8 Selaras dengan pendapat Malinowski, alat musik keteng-keteng timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo pada umumnya. Alat musik ini dan musik yang dihasilkannya di dalam gendang telu sendalanen
timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin
memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya dan lainnya. A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada
8
Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).
223
keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, alat musik dan musik ketengketeng Karo boleh dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Karo. Seni pertunjukan gendang telu sendalanen Karo adalah salah satu bahagian aktivitas yang boleh menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya, yaitu masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Karo, misalnya lingkungan yang heterogen di Sumatera Utara, jati diri dan kumpulan etnik Karo, dan masalah-masalah lainnya. Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan (3) sebagai penyajian estetik (1995). Selaras dengan
224
pendapat Soedarsono alat musik dan musik keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen mempunyai fungsi sosial, ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan penyajian estetika. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada keebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri mahupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).
225
Dari kutipan di atas terlihat denghanj jelas bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sesebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagiannya. Penggunaan boleh atau tidak boleh menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin, dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan
ritual
dan
kegiatan-kegiatan
upacara.
“Penggunaan”
menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya.
5.8.2 Guna Alat Musik Keteng-keteng dalam Upacara Erpangir Ku lau Guna keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen adalah untuk mengiringi upacara erpangir ku lau. Dalam upacara ini alat musik keteng-keteng
226
membawakan peranannya sebagai pengiring ritmis. Pengiring ini dilakukan oleh keteng-keteng singindungi yang membawa ritem konstan dan ostinato, dan ritem variabel atau peningkah yang dibawa oleh keteng-keteng singanaki. Keduanya membentuk jalinan musikal yang padu yang berjalan secara seiring dan sejalan. Sesuai dengan istilah ensambel ini seperjalanan (sendalanen). Kemudian bersama dengan belobat yang membawa melodi, ensambel ini digunakan untuk mengiringi upacara erpangir ku lau. Tampak bahwa dalam mengiringi upacara ini peranan ritmis dan melodis saling bahu-membahu menciptakan suasana pertunjukan. Selain itu musik ini secara langsung menjadi media bunyi penghubung antara dunia nyata dengan dunia supernatural, yaitu alam gaib menurut sistem kosmologi dalam kebudayaan Karo. Dalam upcara erpangir ku lau ini, keberadaan musik gendang telu sendalanen menjadi penting dan keharusan untuk kemunculannya. Dengan demikian, maka musik ini memberikan kontribusi yang besar terhadap jalannya dan berhasilnya upacara erpangir ku lau seperti yang diharapkan bersama.
5.8.3 Fungsi Integrasi Sosial budaya Fungsi keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen salah satunya adalah untuk integrasi masyarakat Karo atau yang lebih luas masyarakat Sumatera Utara yang majmuk dan Indonesia yang beraneka ragam. Berkenaan dengan fungsi seni sebagai sumbangan untuk integrasi masyarakat, Merriam menjelaskannya seperti yang diperturunkan berikut ini.
227
Music, then, provides a rallying point around which the members of society gather to engage in activities which require the cooperation and coordination of the group. Not all music is thus performed, of course, but every society has occasions signalled by music which draw its members together and reminds them of their unity (Merriam, 1964:227).
Menurut Merriam, salah satu fungsi musik adalah sebagai wahana untuk berkumpul para anggota masyarakatnya. Musik seperti ini biasanya mengajak para warga masyarakatnya untuk turut serta beraktivitas. Dalam konteks itu, mereka saling memerlukan kerjasama dan koordinasi kelompok. Walaupun demikian, Merriam juga tidak menyatakan bahwa semua musik berfungsi sebagai kontribusi untuk integrasi, tetapi setiap kumpulan masyarakat mempunyai musik seperti yang digambarkannya itu. Melalui musik ini para anggota masyarakatnya diajak untuk beraktivitas bersama, dan mengingatkan akan pentingnya mereka sebagai satu kesatuan kelompok. Konsep
yang dikemukakan Merriam tersebut
menggambarkan salah satu fungsi
sangat
tepat
dalam
yang terjadi dalam ensambel gendang telu
sendalanen Karo. Dari serangkaian fungsi musik Karo yang di dalamnya terdapat keteng-keteng dan ensambel gendang telu sendalanen , menurut penulis, fungsinya yang utama adalah memberi sumbangan kepada integrasi masyarakat. Masyarakat di Sumatera Utara, terdiri dari berbagai kelompok etnik, agama, ras dan golongan sosial. Mereka berkelompok-kelompok berdasarkan persamaan-persamaan tersebut. Akibatnya antara kelompok selalu terjadi konflik sosial, yang terbawa dalam berbagai aktivitas, termasuk kesenian. Namun di sisi lain, mereka juga menyedari akan bahaya yang diakibatkan apabila konflik-konflik sosial tersebut tidak 228
diselesaikan hingga pada tahapan harmoni sosial. Oleh karena itu, mereka perlu berintegrasi, yang dilandasi oleh semangat sosial, berbeda-beda dalam satu kesatuan. Perlunya integrasi itu didukung pula dengan kondisi mereka yang berada dalam satu negara bangsa, provinsi, yang menginginkan kerjasama sosial dalam berbagai kegiatan, termasuk kesenian Karo. Musik keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen ternyata mampu memberikan sumbangan bagi terciptanya integrasi masyarakat Sumatera Utara yang heterogen. Selain itu juga didukung oleh faktor keadaan Sumatera Utara yang tidak memiliki budaya dominan.9
5.8.4 Kelestarian Budaya Berkenaan dengan fungsi sumbangan musik untuk kelestarian dan stabilitas kebudayaan, Merriam menjelaskan bahwa tidak semua unsur kebudayaan 9
Contoh lain fungsi seni yang memberikan sumbangan untuk integrasi masyarakat adalah tarian yang terdapat pada masyarakat Andaman, yang dideskripsikan RadcliffeBrown seperti berikut: The Andamanese dance (with its accompanying song) may therefore be described as an activity in which, by virtue of the effect of rhythm and melody, all the members of a community are able harmoniously to cooperate and act in unity ... The pleasure that the dancer feel irradiates itself over everything arouns him and he is filled with geniality and good-will towards his companions. The sharing with others of an intense pleasure, or rather the sharing in a collective expression of pleasure, must ever incline us to such expansive feelings. ... In this way the dance produces a condition in which the unity, harmony and concord of the community are at a maximum, and in which they are intensely felt by every member. It is also produce this condition. I would maintain, that is the primary social function of the dance. The well-being, or indeed the existence, of the society depends on the unity and harmony that obtain in it, and the dance, by making that unity intensely felt, is a menas of maintaning it. For the dance affords an opportunity for the direct action of the community upon the individual, and we have seen that it exercises in the individual those sentiments by which the social harmony is maintained (Radcliffe-Brown, 1948:249-252). 229
memberikan tempat untuk mengekspresikan emosi, hiburan, komunikasi dan seterusnya. Musik adalah perwujudan kegiatan untuk mengejewantahkan nilai-nilai. Dengan demikian fungsi musik ini menjadi bahagian dari berbagai ragam pengetahuan manusia lainnya, seperti sejarah, mitos,
dan legenda.
Berfungsi
menyumbang kesinambungan kebudayaan, yang diperoleh melalui pendidikan, pengawasan terhadap perilaku yang salah, menekankan kepada kebenaran, dan akhirnya menyumbangkan stabilitas kebudayaan (Merriam, 1964:225). Musik keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen berfungsi pula memberikan sumbangan untuk kelestarian dan stabilitas kebudayaan Karo di Sumatera Utara. Di dalam musik ini terkandung unsur-unsur sejarah, mitos, dan legenda, yang pada saatnya mampu memberikan sumbangan untuk kelestarian kebudayaan. Melalui ensambel gendang telu sendalanen bisa dipelajari perilakuperilaku yang dipandang benar dan salah oleh masyarakat pendukungnya. Di dalam musik dan ensambel ini terkandung nilai-nilai moral. Usaha untuk mewujudkan kelestarian dan stabilitas kebudayaan Karo dapat dilihat dari niat untuk melestarikan kebudayaan Karo pada umumnya dan khususnya ensambel ini.
5.8.5 Hiburan Berkaitan dengan fungsi seni untuk hiburan, Merriam membicangkannya seperti yang diperturunkan berikut ini. Music provides an entertainment function in all societies. It needs only to be pointed out that a distinction must be probably be drawn between “pure” entertainment, which seems to be a particular feature of music in Western society, and entertainment combined with other functions. The latter may well be a more prevalent feature of nonliterate societies (Merriam, 1964:223). 230
Musik keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen, salah satu fungsinya adalah untuk hiburan. Di dalam kebudayaan Karo musik dan ensambel ini tetap hidup karena salah satunya adalah berfungsi untuk hiburan. Kelompokkelompok pertunjukan biasanya melakukan kegiatannya di rumah pesta penduduk atau di pentas-pentas pertunjukan. Fungsi utamanya dalam konteks ini adalah menghibur pengunjung. Bentuk hiburan ini di antaranya adalah pengunjung menanyi atau menari secara berpasangan dengan iringan ensambel gendang lima sendalanen, telu sendalanen atau gendang kibod.
5.8.6 Fungsi Komunikasi Musik keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen berfungsi untuk komunikasi. Komunikasi yang paling utama adalah antara dunia nyata ini yaitu alam yang dihuni oleh manusia dengan dunia supernatural. Terutama yang terjadi dalam upacara erpangir ku lau. Manusia pelaku upacara dan pemusik pengiring dalam upcara ini sadar untuk meminta keselamatan kepada dunia gaib terutama di alam dewa khususnya kepada Dibata Kaci-Kaci. Komunikasi secara non verbal dan verbal dilakukan dalam upacara ini untuk media atau medium perantara di antara dua dunia yang berbeda. Sebelum masuknya agama-agama samawiyah, masyarakat Karo mempunyai sistem religinya sendiri, yang disebut Perbegu.
Mereka percaya bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat adalah diciptakan oleh Dibata, yang disebut Dibata Kaci-kaci, berjenis kelamin 231
wanita. Dibata Kaci-kaci ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu: dunia atas, tengah, dan bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan yang disebut Sitelu. Berdasarkan tempatnya memerintah, orang Karo percaya kepada Dibata Datas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh. Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa). Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling.
Dibata inilah yang
memerintah di bumi bagian bawah (Tarigan 1990:83-84). Religi Perbegu mempercayai bahwa setiap orang mempunyai tendi (roh). Apabila seseorang meninggal dunia, maka tendi tersebut berubah menjadi begu. Agama perbegu di daerah Karo pada tahun 1946 diganti namanya menjadi pemena oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin. Perubahan nama ini disebabkan karena banyak mendapat tekanan-tekanan pahit dari pemerintah Belanda bersama penyiar-penyiar agama yang dibawa bangsa Eropa yang menyebut perbegu sebagai agama penyembah setan-setan (Putro 1979:32). Jadi fungsi utama keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen adalah untuk komunikasi antara dunia manusia ini dengan dunia gaib seperti terurai di atas. Tujuannya adalah untuk meminta sesuatu ke dunia gaib tersebut, agar manusia sejahtera di dunia ini. Dalam komunitas upacara dan pemain musik sendiri pun terjadi juga proses komunikasi. Dalam hal ini komunikasi yang terjadi adalah komunikasi berbagai
232
arah. Komunikasi antar pemusik ensambel gendang telu sendalenen, yaitu antara pemain belobat, keteng-keteng pembawa ritem dasar dan keteng-keteng peningkah. Selain itu terjadi pula komunikasi pemusik dengan guru, komunikasi pemusik, guru, dan peserta atau partisipan. Lebih lanjut lagi adalah komunikasi para peserta dengan makhluk dunia supernatural yang dipandu oleh guru. Dampak dari komunikasi ini adalah terjadinya seluk atau trance para peserta, yang ditandai dengan ketidaksadaran terhadap diri dan masuknya unsur alam gaib ke dalam tubuh peserta. Dengan demikian ensambel gendang telu sendalanen yang di dalamnya terdapat alat musik keteng-keteng mampu memberikan kontribusi terhadap terjadinya komunikasi multi arah ini.
233
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, dapat ditarik beberapa kesim[ulan sebagai berikut. (1) Kendati etnik Karo telah memeluk agama Kristen atau Islam, namun pelaksanaan upacara religi yang merupakan bagian dari kepercayaan Pemena (agama kesuakuan), masih tetap dilaksanakan.
Sierjabaten, yaitu pemusik
tradisional dimana kehadirannya sangat dibutuhkan dalam upacara-upacara adat yang dilakiukan oleh masyarakat. Guru sibaso
yaitu tabib adalah orang yang
mempunyai keahlian di bidang pengobatan. Guru sibaso ini juga mempunyai spesialisasi dengan bidang-bidang keahliannya. Guru pada masyarakat Karo umumnya dianggap sebagai tabib ataupun sering juga diartikan sebagai dukun. Guru ini berperan besar dalam upacara-upacara ritual dan upacara-upacara tradisional yang diadakan oleh masyarakat. Tidak hanya dalam upacara, tetapi juga menentukan hari baik dan hari buruk. (2)
Instrumen musik
keteng-keteng
merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari fungsi keseluruhan instrumen musik dalam ensambel gendang telu
234
sendalanen. Pada bagian selanjutnya, perenan keteng-keteng tersebut akan lebih dominan pada saat memainkan Gendang Peseluken, peranan irama yang kian cepat akan berpengaruh dalam proses terjadinya seluk pada guru yang merupakan pemimpin dalam pelaksanaan upacara tersebut. (3)
Pelaksanaan kerja erpangir ku lau yang dilaksanakan oleh keluarga
‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’. Dilakukan dengan alasan (niat) untuk terimakasih kepada dibata, menghidarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi. Selanjutnya upacara erpangir yang dilakukan berada dalam klasifikasi erpangir sintua yang dalam hal ini menggunakan musik tradisional ensambel gendang telu sendalanen. (4)
Kerja (pesta) sintua merupakan pesta yang paling besar yang ada
pada masyarakat Karo. Pada pesta ini harus melibatkan seluruh sangkep nggeluh, yaitu orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang empunya hajatan serta seluruh anak kampung dimana pesta tersebut dilaksanakan. (5)
Pada saat pelaksanaan erpangir, guru memulai dengan ucapan
permohon kepada Dibata Kaci-kaci melalui mantra (tabas) agar diberi kekuatan. Kemudian mantra (tabas) pangir di atas anjab (corong bambu). Kemudian mengucapkan persentabin (kata maaf) dengan menggunakan satu lembar kain putih (dagangen), belo baja (sirih dan minyak kayu besi), belo minak (sirih dan minyak makan), belo cawir (sirih tanpa cacat), dan serpi sada (alus). Guru mencuci kaki, tangan, dan mukannya dengan air, kemudian mencuci muka (erduhap) dengan penguras. Air penguras di tempatkan di atas kain tebal (hitam), di bawah kain tema
235
tikar putih si sopé keliamen (belum tercemar), guru kemudian menghadap ke timur (ku matawari) sambil berdiri, kemudian berkata melalui mantra , “Asa sentabi aku, nembah man kam beras pati taneh. (6)
Dalam pelaksanaan ergendang, musik diawali dengan tempo lambat.
memainkan lagu Mari-mari, yang artinya kemari. Lagu ini biasa dimainkan untuk memanggl roh-roh yang ada di sekitar tempat tersebut. Kemudian pada saat memainkan lagu Pesuluken, sekitar 25 menit, kemudian guru mengalami kesurupan (in trance), kemudian pihak sukut berkomunikasi dengan roh-roh melalui tubuh guru. Mereka mengucap syukur atas kesembuhan dari penyakit dan menanyakan berbagai hal mengenai langkah-langkah atau rencana yang akan dilakukan pada masa-masa yang akan datang. (7)
Peranan instrumen musik keteng-keteng merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari fungsi keseluruhan instrumen musik
dalam ensambel
gendang telu sendalanen. Pada bagian selanjutnya, perenan keteng-keteng tersebut akan lebih dominan pada saat memainkan gendang perseluken, peranan irama yang kian cepat akan berpengaruh dalam proses terjadinya seluk pada guru yang merupakan pemimpin dalam pelaksanaan upacara tersebut. (8)
Pembelajaran alat musik tradisional
keteng-keteng
sebagaimana
dengan pembelajaran alat musik tradisional lainnya, dilakukan secara lisan oleh orang yang telah terampil memainkan salah satu alat musik ke generasi berikutnya yang berkeinginan. Demikian halnya dengan alat musik keteng-keteng dilakukan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain belajar langsung
236
dengan guru, sebagian masyarakat Karo juga ada yang mempelajari alat musik tradisional keteng-keteng secara mandiri (otodidak) dalam tradisi lisan, dengan cara mendengar rekaman, kemudian memainkannya. (9)
Adanya keterkaitan erat antara keteng-keteng sebagai pembawa ritem
ostinato dasar dan variasi dengan belobat yang membawakan melodi dan menjadi ciri utama lagu yang digunakan, dengan keadaan upacara erpangir kulau dari kondisi sadar sampai kondisi seluk. Fungsi utama media musik ini adalah untuk berkomunikasi dengan alam gaib dalam sistem kosmologi masyarakat Karo. Dengan demikian peristiwa musik, upacara, dan sistem kepercayaan dan alam (dalam hal ini alam nyata dan alam supernatural) menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari semua rangkaian kegiatan ini. Bagaimana pun etnik Karo memiliki identitas khas kesukuannya yang salah satu di antaranya diekspresikan di dalam kegiatan musik dan erpangir ku lau. Kegiatan sosiobudaya ini menjadi sebuah institusi yang diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kini masyarakat Karo pun sudah berubah naum ada hal-hal yang perlu diteruskan. Termasuk aktivitas musikal dan supernaturalnya.
6.2
Saran Bedasarkan berbagai uraian di atas
serta beberapa kesimpulan seperti
sudah diurai di atas, maka berikut ini akan disajikan beberapa saran berkaitan dengan pelaksanaan kerja erpangir ku lau yang melibatkan penggunaan ketengketeng dalam ensambel gendang telu sendalanen di dalam kebudayaan Karo, yaitu sebagai berikut.
237
Mengingat bahwa etnik Karo telah memeluk agama Kristen atau Islam, namun pada praktik pelaksanaannya upacara religi yang merupakan bagian dari kepercayaan Pemena (agama kesuakuan), masih tetap dilaksanakan. Pada hal sebahagian dari materi pelaksanaan erpangir ku lau jelan betentangan dengan ajaran Agama, maka untuk itu pihak Departemen Agama melalui pengurus gereja agar lebih
intens
untuk
memberi
informasi
kepada
masyarakat
agar
tidak
melaksanakannya. Kendati upacara tersebut harus dilaksanakan, hendaknya meninjau atau merubah konsepsinya sesuai dengan ajaran agama.
238
DAFTAR PUSTAKA Baal, J.Van. 1987. Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Bangun, Payung. 1985. Kebudayaan Batak Dalam Manusia dan kebudayaan Indonesia. Jakarta: Jambatan. Bangun, Roberto. 1989. Mengenal Orang Karo. Jakarta : Yayasan Merga Silima. Bangun, Tridah, 1992, Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Indramayu. Bangun, Tridah, 1990, Penelitian dan Pencatatan Adat-istiadat Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima. Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik Dan Batasannya. Jakarta : UI Press. Benedict, Ruth. 1962. Pola-pola Kebudayaan. Alih Bahasa Sumantri Mertodipuro. Jakarta: Pustaka Rakyat. Blom, Jan – Petter. 1998. Diferensiasi Etnik dan Budaya. Jakarta: UI Press. Budhisantoso, S.1992). Kesenian dan Nilai-Nilai Budaya. Dalam Majalah Analisis Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dzuhayatin, S.R.1997. Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi perempuan dalam Islam; dalam Abdullah, I (ed); Sangkan Paran Gende. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ember, R,Carol. Ember,Melvin. 1980. Teori dan Metoda Antropolagi Budaya. Dalam Ihromi (ed.) Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Onong U. Effendy, 1988. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Remadja Rosdakarya, Bandung. Gintings, EP. 1999. Religi Karo (Membaca Religi Karo Dengan mata Yang Baru). Kabanjahe: Abdi Karya. Geertz, Clifford. 1982.Hakekat Pemahaman Antropologi : Dengan Ilustrasi dari Indonesia dan Marokko. Dalam Koentjaraningrat (Ed.) Aspek manusia Dalam Panalitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Hadi, Y Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku Pustaka. Haviland, William A. 1985. Antropologi Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga. 239
Ihromi, T.O 1987. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia. Koentjaraningrat, 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1986. Pengetahuan Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat,1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press. Koentjaraningrat,1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Dian Rakyat. Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Mahasatya.
Jakarta:
Asdi
Mahasin, Aswab. Natsir, Ismet. 1985. Perjalanan Anak Bangsa. Jakarta: LP3S. Maleong, J Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosdakarya.
Bandung: Remaja
Manalu, Dimpos. (editor). 2008. Membangun Prakarsa Gerakan Rakyat. Jakarta: KSPPM. Maryaeni. 2005. Metode penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Miles, B. Matthew dan Huberman., A.Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-PRESS. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara. Pasaribu, Ben M. 2004. “Musikalitas + Etnisitas = Pluralitas”. Dalam Pluralitas MusikEtnik, Medan: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen. Usman
Pelly, 1985. ""Menciptakan Pra Kondisi Keserasian Hidup dalam Masyarakat Majemuk: Kasus Kotamadya Medan,"" Medan: Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan."
Usman Pelly, 1986. Lokasi Lembaga Pendidikan, Sosial, dan Agama dalam Tata Ruang Permukiman Masyarakat Majemuk yang Menopang Integrasi Sosial: Kasus Kotamadya Medan. Tokyo: The Toyota Foundation. Usman Pelly, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
240
Peirce, Charles S., 1982. Writings of Charles Peirce: A Chronological Edition. M.H. Fisch, E.C. More, C.J.W. Kloesel (eds.). Bloomington: Indiana University Press. Peirce, Charles S.,1956. The Collected Papers, 8 vols., Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur W. Burks (eds.). Cambridge: Harvard University Press. Poerwadarminta, W.J.S. (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Putro, Brahma, 1999, Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber. Pritchard, E. E. Evans, 1984. Teori-teori tentang agama primitif. Jakarta: PLP2M press. Pusat Pembinaan Bahasa (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Purba, Parentahen. 2007. Melestarikan Adat Ngeluh Kalak Karo. Medan: Pinem Medan. Purba, Setia Dermawan, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan Nyanyian Rakyat Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Tesis S-2. Jakarta: Universitas Indonesia. Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Ritzer, George dan Goodman J.Douglas 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sachs, Curt dan Eric M. Von Hornbostel, 1914. “Systematik der Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin: Jahr. Juga terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von Hornbostel, 1992. “Classification of Musical Instruments.” Terjemahan Anthony Baines dan Klaus P. Wachsmann. Ethnomusicology: An Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press. Schechner, Richard. 1980. The End of Humanism: Writing on Performance. New York: PAJ Publication. Sitepu, Anton, 1992, “Deskriptif Musik Vokal Katoneng-katoneng dalam Konteks Kerja Mengket Rumah pada Masyarakat Karo. “ Medan: Skripsi Sarjana Enomusikologi FS USU.
241
Sitepu, Bujur , 1992, Adat-Istiadat Karo. Jakata: Balai Pustaka. Soekanto, Soerjono. 1984. Teori Sosiologi Tentang Pribadi Dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soedarsono, 1986. “Notasi Laban: Suatu Kemungkinan Sistem Notasi Tari bagi Indonesia.” Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. F.X. Sutopo Cokrohamijoyo (ed.). Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Spradley, James P, 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Surakhmad, Winarno. 1992 . Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Suriasumantri, Yuyun S., 1984. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas LIPI. Taylor, Shelley E., Peplau, Letitia Anne, dan Sears, David,O. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Tarigan, Perikuten. Perubahan Alat Musik Dalam Kesenian Tradisional Karo Sumatera Utara. Denpasar: Tesis Program Magister, Universitas Udayana. Tarigan, Henry Guntur, 1990, Percikan Budaya Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima. Tarigan, Kumalo, 1992, Aspek Metafora dan Onomatopea dalam Tradisi Budaya Musik Karo. Medan: Fakultas Sastra USU. Usman, Husaini, dan Akbar, Purnomo Setiadi. 2008. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Akasara. Vergouwen, J.C., 1964. The Social Organization and Customary Law of the Toba Batak. The Hague: Martinus Nijhoff. Wahono, S. Wismoady. 1982. Perkembangan dan Pembangunan di Bidang Agama dan Budaya Suatu Usaha Mawas Diri. Jakarta: Depdikbud. Yunita, Erni, 2011. Analisis Semiotik Mantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Tesis S-2 Linguistik Sekolah Pascasarjana USU Medan. 242
Internet: http://joeybangun.wordpress.com/2008/03/07/kedudukan-kebudayaan-karo-ditinjaudari-aspek-keseniannya/ http://karosiadi.blogspot.com/2011/11/kesniankaro.html http://xeanexiero.blogspot.com/2009/06/lima-serangke-dan-pembelajaran-tari.html http://achsanie212.blogspot.com/2010/12/teori-difusi-kebudayaan.html
243
Lampiran Repertoar Gendang Telu Sendalanen Pada Upacara Erpangir Ku lau Di Desa Kuta Mbelin Kec. Lau Baleng Kab. Karo
Balobat
Keteng-keteng 1
Keteng-keteng 2
244
245
246
247
248
249
250
251
252
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: Rajin Peranginangin
Umur
: 75 tahun
Pekerjaan
: Petani, Pemain musik tradisional Karo
Alamat
2. Nama
: Kuta Mbelin, Kec. Lau Baleng, Kab. Karo
: S. Sembiring
Umur
: 33 tahun
Pekerjaan
: Kepala Desa Kuta Mbelin, Pemain musik tradisional Karo
Alamat
3. Nama
: Kuta Mbelin, Kec. Lau Baleng, Kab. Karo
: Edisa Peranginangin
Umur
: 40 tahun
Pekerjaan
: Sekretaris Desa Kuta Mbelin, Pemain musik tradisional Karo
Alamat
: Kuta Mbelin, Kec. Lau Baleng, Kab. Karo
253
4. Nama
: Bapa Reni Karo-Karo
Umur
: 57 tahun
Pekerjaan
: Petani, Pemain musik tradisional Karo
Alamat
: Kuta Mbelin, Kec. Lau Baleng, Kab. Karo
5. Nama
: Nande Deleng Beru Ginting
Umur
: 65 tahun
Pekerjaan
: Petani, Sibaso
Alamat
: Kuta Mbelin, Kec. Lau Baleng, Kab. Karo
6. Nama
: Hendrik Peranginangin
Umur
: 39 tahun
Pekerjaan
: Pegawai Fungsional di TBSU Pemain Musik Tradisional Karo
Alamat
: Medan.
254
Lampiran Pelaksanaan erpangir ku lau Oleh Keluarga Sembiring Kembaren /Beru Ginting di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo
255
256
257
258
259
260
261
262