1
ANALISIS OPSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI
NOVIAN JAMIL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
2 ABSTRAK Novian Jamil, Analisis Opsi pola penggunaan lahan di wilayah pesisir kecamatan Muara Gembong kabupaten bekasi, dibawah bimbingan Dr.Ir. Akhmad Fauzi M.Sc Sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja dan Dr. Ir. Mennofatria Boer DEA sebagai anggota. Konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak di kawasan pesisir Kecamatan Muara Gembong dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, mencapai 1 582 ha. Tingginya konversi ini, dipicu oleh potensi hasil lahan tambak yang hanya dinilai secara ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai ekologi. Pada sisi lain konversi ini memicu peningkatan lahan pemukiman bagi petani tambak, di sepanjang kawasan sempadan sungai. Hal ini mengakibatkan rusaknya ekosistem wilayah pesisir, yang menimbulkan dampak ekonomi dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk :1) menentukan kesesuaian peruntukan lahan sehingga dapat diperhitungkan dalam penilaian manfaat ekonomi secara lebih komprehensif, 2) menilai manfaat ekonomi dari opsi perubahan penggunaan lahan, 3) menganalisis optimalisasi konversi penggunaan lahan wilayah pesisir kecamatan Muara Gembong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat konversi mangrove menjadi tambak, disebabkan oleh kesesuaian lahan mangrove untuk tambak, serta net revenue yang paling tinggi (Rp 56,4 juta/ ha) dibanding konversi ke penggunaan lainnya. Namun karena tidak memperhitungkan daya dukung lahan telah, mengakibatkan terjadinya penurunan produktifitas dari 1,9 ton/ha pada tahun 1994 menjadi 1,2 ton/hektar tahun 2000. Analisis kesesuaiaan lahan, menunjukkan bahwa kawasan hutan mangrove, sesuai untuk tambak, namun tingkat konversi yang berlebihan, telah menurunkan produktivitas tambak hingga 70 %. Hal ini disebabkan lebih dari 90 % lahan tambak yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong merupakan tambak konventional, sehingga konsumsi pakan ikan tergantung jasad renik yang terdapat pada ekosistem mangrove. Daya dukung lahan tambak yang dinilai dari produksi maksimal, telah melebihi daya dukungnya yang hanya 7 782 ha, Sementara luas lahan tambak mencapai 8 914 ha. Total Economic Value (TEV) manggrove yang terdiri dari manfaat langsung (menghasilkan kayu, arang dan perikanan laut), serta manfaat tidak langsung (sebagai penahan abrasi pantai serta sumber hara dan tempat pemijah ikan) mencapai Rp. 345, 57 juta, dengan option value yang terdiri nilai manfaat dari keanekaragaman hayati dengan nilai Rp 142,500 ha/tahun. Dengan demikian konversi mangrove akan mengakibatkan terjadinya Economic loss. TEV lahan tambak sebesar Rp 28 394 382,- serta memiliki manfaat langsung yaitu menghasilkan ikan bandeng dan udang. Net Present Value (NPV) tambak sebesar Rp 28,39 juta, pemukiman Rp -9,8 juta untuk kurun waktu 10 tahun. Lahan mangrove yang saat ini hanya mencapai 398 ha, harus ditingkatkan menjadi 1,490 ha, Penggunaan lahan pemukiman di pinggir sungai harus dihilangkan karena tidak memenuhi prasyarat pendirian pemukiman, serta menyalahi ketentuan tata ruang (sempadan sungai).
3
ABSTRACT Novian Jamil An analysis of land use pattern in coastal zone of Muara Gembong district, Bekasi Regency. Under supervision Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc , Prof. Dr. Daniel R Monintja, Dr. Ir. Mennofatria Boer DEA. The Conversion of mangrove forest for fish pond in muara gembong the accounted to 1 582 for the last decade, the conversion was mostly degraded by high value of fish pond without taking into account it’s ecological aspects . in addition land conversion has also the demand for housing settlement for fish farmers in the area. These forest all together in duct result degradation and ecological destructiveness in coastal area This research is aimed to (1) identify land suitability for coastal activities (2). Identify land value for option scenario land use of coastal area (3). to analyst optimal land conversion in muara gembong sub district . Result show that increased in mangrove conversion for fish for fish pond is duo to suitability of mangrove area for shrimp pond brackish water with total revenue of Rp 56.6 million /ha. Composed to other uses, however without taking into account it’s carrying capacity productivity had declined from 1.9 ton /ha in 1994 to 1.2 ton/ha in 2000. Land compatibly analysis shows that mangrove area are suitable for brackish water pond. However over conversion has reduced pond productivity almost 70 %. This due to the fact that 90 % at brackish water land in muara gembong in conventional brackish water pond which feed consumption depend on organic matter on mangrove is. Carrying capacity of shrimp pond is only 7782 ha while current area is around 8914 ha. Total Economic Value of mangrove; (1) direct value (wood, charcoal and fisheries), and (2) indirect value (beach abrasion control, nutrient and fish nursery ground) are Rp. 345, 57 million, and (3). Option value Rp 142.500 ha/year. Conversion of mangrove will cause economic loss. TEV of fish fond land is Rp 28 394 382,- and direct value are to produce mild fish and shrimp. NPV of fish fond are Rp 28,39 million, residential Rp – 9,8 million in time range 20 year. According to mangrove land optimizing analyst, current use for mangrove is only 398 ha, that could be increase to be 1,490 ha. Land use for residential in bank of river have been used up because is not suitable for housing criteria and regional planning.
4
ANALISIS OPSI POLA PENGGUNAAN LAHAN DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI
NOVIAN JAMIL
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Management Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
5
Judul Disertasi Nama NIM
: Analisis Opsi Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi : Novian Jamil : P31600005
Disetujui : Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Mennofatria Boer. DEA Anggota
Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja Anggota
Diketahui : Ketua Departemen Management Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.
Tanggal Ujian : 21 Desember 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Opsi Pola Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir. Bogor, Januari 2007
NRP P31600005
iii
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya
iv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi sebagai salah satu prasyarat memperoleh gelar doctor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dapat kami selesaikan. Disertasi ini merupakan hasil penelitian dengan tema yang dipilih adalah masalah pertanahan yang berkaitan dengan penggunaan dan penguasaan, sehingga menimbulkan hambatan terhadap pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, yang dengan tulus memberi bimbingan dan arahan agar penulis dapat berpikir logis dan memahami akar permasalahan sehingga dapat merampungkan penelitian ini.
Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja,
selaku anggota komisi pembimbing yang dengan sabar memberi arahan, motivasi serta semangat pada penulis agar penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sesegera mungkin.
Kepada Bapak
Dr. Ir. Mennofatria Boer. DEA, selaku
anggota komisi pembimbing yang selalu memberi dorongan agar penulis dapat secepatnya menyelesaikan penelitian, dan telah memberikan arahan penyajian dan pembahasan hasil penelitian serta koreksi penulisan. Kemudian yang terpenting, ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada keluarga penulis, Dr. Ir Reti Wafda .MTp, yang telah membantu dan mendampingi penulis untuk melewati masa studi yang panjang dan melelahkan. Anak-anak penulis Fahri Van Renov dan Reisa Renova yang dengan kepolosan dan kelucuannya, menjadi pendorong bagi penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini. Selanjutnya penghargaan dan terima kasih yang tulus diucapkan kepada Orang tua penulis, Prof. Drs. Djamil Bakar (almarhum), dan Dra. Nurmalia Djamil serta bapak mertua penulis Yoseph Enda Mangkuto dan ibu mertua penulis Dahniar (almarhum), serta kakak-adek penulis Syahrazad Jamil SH,MM, Machruzar Jamil SH, Dr. Ramona Sari Jamil, Ir. Erianton Ramdani Jamil dan Meiliza Jamil .SE. dan Keluarga yang tidak putus-putusnya memberikan bantuan moril dan meteril, serta doanya.
v Kakak dan adek istri penulis Yasmon, Dra Delfitris, Veltrinyon, Alex, Ir.faizil Fitris Mt, Drs Gesriyel, Rita Okraini, Taufikra dan Rahmatika beserta keluarganya yang tidak putus-putusnya memberikan bantuan moril dan meteril, serta doanya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Gubernur Sumatera Barat beserta staf, yang telah menugaskan dan memberikan bantuan pembiayaan kuliah bagi penulis pada program studi SPL Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri , M.Sc. selaku ketua program studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut, serta Bapak Prof. Dr. Ir Dietrich D Bengen, DEA yang pernah membimbing penulis dalam proses penulisan disertasi ini, juga kepada dosen-dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, yang telah membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat. Pada kesempatan yang baik ini, secara khusus penulis sampaikan terimakasih kepada
Bapak Prof. Dr. Ir. Fachri Akhmad M.Sc, Bapak Ir. H
Nurmawan, Bapak Dr. Ir. Sudaryono. M.Sc. Bapak Dr Ir. Leksono MT. Bapak Drs Irwan Jalil dan teman-teman dari SPL Akhir kata, meskipun jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait.
Bogor, Januari 2007
Novian Jamil NRP P31600005
i DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................ i DAFTAR TABEL ........................................................................................ v DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. viii I.
PENDAHULUAN ............................................................................... 1 I.1 Latar Belakang ....................................................................... 1 I.2 Perumusan Masalah ................................................................ 2 I.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 4 I.4 Manfaat Penelitian.................................................................... 5 I.5 Hipotesis Penelitian.................................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 6 II.1 Pengertian Wilayah Pesisir ..................................................... 6 II.2 Ekosistem di Wilayah Pesisir ................................................. 7 II.3 Fungsi Wilayah Pesisir............................................................ 9 II.3.1 Manfaat Ekologis ........................................................... 9 II.3.2 Manfaat Ekonomi........................................................... 10 II.4 Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir .................................... 10 II.4.1. Penggunaan Lahan ( Land Use) .................................... 11 II.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan ....................................... 12 II.4.3. Konsep Sewa Lahan ( Land Rent )................................. 14 II.4.4. Faktor – faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan
15
II.5 Kesesuaian Lahan .................................................................. 15 II.5.1 Kesesuaian Lahan Untuk Tambak.................................. 15 Aspek Ekologi ............................................................... 15 Aspek Tanah .................................................................. 16 Aspek Biologis .............................................................. 16 Aspek Sosial Ekonomi .................................................. 16 II.5.2 Kesesuaian Lahan Untuk Pemukiman............................ 17 II.5.3 Klasifikasi Kesesuaiaan Lahan Untuk Sawah Irigasi ..... 17
ii II.5.4 Analisis Kesesuaian Lahan Tegalan............................... 17 II.6 Data Envelopment Analysis Produktivitas Penggunaan Lahan
18
II.7 Konsep Valuasi Ekonomi........................................................ 21 II.8 Metode Valuasi Ekonomi........................................................ 22 II.8.1 Valuasi Ekonomi Berdasarkan Manfaat ......................... 23 II.8.2 Valuasi Ekonomi Berdasarkan Biaya.............................. 24 II.9 Analisa Degradasi Sumberdaya Lahan .................................... 26 II.9.1 Template dan Model Simulasi ....................................... 27 II.10 Pembangunan Berkelanjutan ................................................. 28 II.11 Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan........................... 29 II.11.1 Dimensi Ekologis ......................................................... 29 II.11.2 Dimensi Ekonomi......................................................... 31 II.11.3 Dimensi Sosial ............................................................. 36 III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 39 III.1 Kerangka Pemecahan Masalah............................................... 39 III.2 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................... 41 III. 3 Jenis dan Sumber Data ......................................................... 41 III.4 Pengolahan Data ................................................................... 43 III.5 Analisis Data ......................................................................... 43 III.5.1 Analisis Kesesuaian Lahan............................................ 44 III.5.2 Analisis Total Economic Value ..................................... 46 Use Value ....................................................................... 46 Future Value ................................................................... 47 Foregone Benefit............................................................. 48 III.5.3. Analisa Net Present Value............................................ 48 III.5.4 Analisis Simulasi Optimalisasi ..................................... 48 III.5.5 Data Envelope Analysis ............................................... 50 III.5.6 Analisis Degradasi Sumberdaya Lahan.......................... 51 III.5.7 Model Simulasi Degradasi ............................................ 52 IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ................................................. 54 IV.1 Deskripsi Umum ................................................................... 54 IV.2 Keadaan Alam....................................................................... 55 IV.3 Penggunaan Lahan................................................................. 56
iii IV.4 Kependudukan....................................................................... 57 IV.5 Mata Pencaharian .................................................................. 58 IV.6 Pendidikan............................................................................. 60 IV.7 Media Komunikasi dan Perhubungan..................................... 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 62 V.1 Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong......... 62 V.2 Produktivitas Maksimal ......................................................... 63 V.2.1 Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tambak ......... 63 V.2.2 Produktivitas Maksimal untuk Lahan Sawah .......... 67 V.2.3 Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tegalan ......... 69 V.3 Efisiensi Penggunaan lahan..................................................... 72 V.3.1 Efisiensi Penggunaan Lahan Sawah........................ 73 V.3.2 Efisiensi Penggunaan Lahan Tambak ..................... 74 V.3.3 Efisiensi Penggunaan Lahan Tegalan...................... 75 V.3.4 Efisiensi Penggunaan Lahan Pemukiman................ 77 V.3.5 Efisiensi Penggunaan Lahan Magrove .................... 78 V.4 Analisis Kesesuaian Lahan di Kecamatan Muara Gembong .. 79 V.4.1 Kesesuaian Lahan untuk Tambak ............................ 80 V.4.2 Kesesuaian Lahan untuk Mangrove ......................... 83 V.4.3 Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman....................... 88 V.4.4 Kesesuaian Lahan untuk Sawah............................... 94 V.4.5 Kesesuaian Lahan untuk Tegalan............................. 97 V.5 Analisis Total ekonomi Value (TEV) .................................... 99 V.5.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove .................. 99 V.5.2 Analisis Financial Penggunaan Lahan Tambak ....... 103 V.5.3 Analisis Financial Penggunaan Lahan Tegalan ....... 104 V.5.4 Analisis Financial Penggunaan Lahan Sawah ........ 105 V.5.5 Analisis Financial Penggunaan Lahan Pemukiman
105
V.6 Analisis Optimalisasi Penggunaan Lahan ............................ 106 V.7 Hasil Analisis Optimalisasi Penggunaan Lahan .................. 107 V.8 Analisis Degredasi Sumberdaya Lahan .............................. 108 V.9 Konsep pengembangan Wilayah Pesisir ............................. 114 V.10 Rencana Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Bekasi .......... 114
iv V.11 Implikasi Kebijakan ........................................................ 118 VI.KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 123 VI.1 Kesimpulan ...................................................................... 123 VI.2 Saran-saran....................................................................... 125 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 126 LAMPIRAN ................................................................................................. 131
v DAFTAR TABEL Halaman 1.
Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong.............................. 3
2.
Luas Wilayah Kecamatan Muara Gembong berdasarkan Penggunaan Lahan pada Tahun 2000.................................................................................. 56
3.
Jumlah Penduduk Kecamatan Muara Gembong Per Desa Pada Tahun 2000.................................................................................. 57
4
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Muara Gembong ............................................................................................. 59
5
Harga Rata-Rata Budidaya Tambak di Kecamatan Muara Gembong .... 59
6
Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Muara Gembong .................. 60
7
Produktivitas Lahan Tambak Udang Kecamatan Muara Gembong ...... 64
8
Produktivitas Lahan Tambak Bandeng ................................................. 66
9
Produktivitas Lahan Sawah .................................................................. 68
10
Produktivitas Tanaman Jagung............................................................. 70
11
Produktivitas Ubikayu ......................................................................... 71
12
Kesesuaian Lahan untuk Tambak ......................................................... 81
13
Kesesuaian Lahan untuk Mangrove ...................................................... 84
14
Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman ................................................... 89
15
Kesesuaian Lahan untuk Sawah............................................................ 95
16
Kesesuaian Lahan untuk Tegalan ......................................................... 97
17
Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di Kecamatan Muara Gembong ... 103
18
Economic Loss Perubahan Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong ............................................................................................. 107
19
Optimal Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong ................ 108
vi DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Grafik Effisiensi Frontier ....................................................................
20
2.
Metode Valuasi Ekonomi ....................................................................
23
3.
Kerangka Pemecahan Masalah ............................................................
42
4.
Kerangka Analisis Total Economic Valuation .....................................
46
5.
Peta Administrasi Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi......
54
6.
Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tambak Udang..........................
65
7.
Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tambak Bandeng ......................
67
8.
Produktivitas Maksimal untuk Lahan Sawah .......................................
69
9.
Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tegalan Tanaman Jagung..........
70
10.
Produktivitas Maksimal untuk Lahan Tegalan Tanaman Ubikayu........
72
11.
Efisiensi Frontier Penggunaan Lahan Sawah 1990 - 2000....................
73
12.
Efisiensi Frontier Penggunaan Lahan Tambak Udang..........................
74
13.
Efisiensi Lahan Tambak Bandeng .......................................................
75
14.
Efisiensi Penggunaan Lahan Tegalan Tanaman Jagung .......................
76
15.
Analisis Efisiensi Lahan Tegalan Tanaman Ubikayu ...........................
77
16.
Efisiensi Penggunaan Lahan Untuk Pemukiman..................................
78
17.
Efisiensi Pengelolaan Lahan Mangrove ...............................................
79
18.
Peta Kesesuaian Lahan untuk Tambak.................................................
82
19.
Peta Kesesuaian Lahan untuk Mangrove .............................................
85
20.
Peta Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman...........................................
91
21.
Peta Kesesuaian Lahan untuk Sawah...................................................
96
22.
Peta Kesesuaian Lahan untuk Tegalan....................................................
98
23.
Simulasi Degradasi Lahan di Kecamatan Muara Gembong.................. 110
24.
Simulasi Pemanfaatan Lahan Pemukiman ........................................... 111
25.
Simulasi Potensi Lahan Ekonomi ........................................................ 112
26.
Analisis Simulasi Kebutuhan Lahan .................................................... 113
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Kesesuaian Lahan untuk Tambak Bandeng Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996................................................. 131
2
Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996................................................................. 132
3
Kesesuaian Lahan untuk Tegalan Jagung Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996 . .............................................. 133
4
Kesesuaian Lahan untuk Mangrove Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996................................................................. 134
5
Kesesuaian Lahan untuk Sawah Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996................................................................. 135
6
Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Tambak ................... 136
7
Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Sawah ..................... 138
8
Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Tegalan ................... 140
9
Net Present Value (NPV) pada penggunaan lahan Pemukiman.............. 142
10
Model Optimalisasi Penggunaan Lahan di kecamatan Muara gembong ...................................................................................... 144
11
Model Data Envelope Analisis untuk Efisiensi Lahan Tambak............. 147
1 I. I.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis
pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Hampir semua propinsi di Indonesia memiliki kawasaan pesisir yang berfungsi sebagai penghubung antar pulau dan antar wilayah. Pada wilayah pesisir, banyak tersedia sumberdaya alam dengan nilai ekonomi yang tinggi. Ini disebabkan karena daerah pesisir memiliki interaksi antara kehidupan di wilayah darat dan laut, sehingga tercipta suatu sistem ekologis yang unik. Pada dasarnya, wilayah pesisir memiliki beberapa sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya alam. Ekosistem wilayah pesisir dapat bersifat alami maupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, agroindustri dan kawasan pemukiman. Adapun sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan tidak dapat pulih. Keterkaitan antara ekosistem dan ketersediaan sumberdaya sangat dipengaruhi oleh aktifitas dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Contoh kegiatan di wilayah pesisir yang memanfaatkan pengaruh kelautan sebagai dasar kegiatan adalah hutan mangrove, kawasan pariwisata, kawasan pemukiman, tambak, sawah pasang surut, dan industri. Berdasarkan dimensi ekologis, wilayah pesisir memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai jasa pendukung kehidupan, jasa kenyamanan, penyedia sumberdaya alam dan penerima limbah (Ortolano 1984). Apabila salah satu ekosistem terganggu oleh aktivitas yang ada diatasnya maka dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya. Oleh karena itu, diperlukan penanganan khusus agar tidak terjadi kerusakan akibat ekploitasi berlebihan pada sumberdaya alam di wilayah pesisir. Penggunaan lahan di wilayah pesisir merupakan gambaran aktifitas yang terdapat di wilayah pesisir. Sifat ekosistem wilayah pesisir yang sangat rentan
2 terhadap perubahan, sementara penggunaan lahan wilayah pesisir yang bersifat dinamis dan cenderung untuk berubah-ubah, menyebabkan proses perubahan bentuk penggunaan lahan di wilayah pesisir berjalan terus seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan penduduknya.
Namun dalam
pemanfaatannya, apabila terjadi gangguan dan kerusakan di wilayah pesisir, maka dapat mengganggu aktivitas pembangunan dan lingkungan sekitarnya (Dahuri et al 1996). Sebagai contoh, apabila penanganan limbah kawasan industri tidak dikendalikan, maka dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran yang berdampak kepada berkurangnya ketersediaan sumberdaya ikan di laut. Hampir setiap sektor pembangunan menaruh kepentingan yang kuat terhadap wilayah pesisir beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini dikarenakan lahan-lahan di wilayah pesisir beserta sumber daya yang dimilikinya memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Akan tetapi, sampai saat ini manfaat ekonomi dari lahan tersebut biasanya hanya dihitung berdasarkan nilai ekonomi dari produk yang dihasilkan oleh lahan tersebut (disebut juga dengan penilaian ekonomi secara langsung), tanpa memperhitungkan dengan hasil lahan yang tidak digunakan (non use benefit). Padahal dalam ekonomi sumberdaya dan lingkungan, semua pemanfaatan sumberdaya baik aktual dan potensial, harus diperhitungkan termasuk biaya untuk mengekstraksinya. Pengeluaran biaya mewakili berbagai nilai yaitu nilai langsung maupun nilai tidak langsung, nilai manfaat dan non manfaat, serta nilai pilihan yang hilang. Semua nilai tersebut dapat dihitung menggunakan pendekatan Total Economic Valuation (TEV). I.2.
Perumusan Masalah Ekosistem wilayah pesisir merupakan daerah yang sensitif terhadap
perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan akan memberikan tekanan pada lahan dan menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan. Oleh sebab itu, maka penanganannya perlu dilakukan secara komprehensif. Permasalahan yang sering muncul di wilayah pesisir adalah masalah ekploitasi sumberdaya pesisir yang berlebihan, padahal dampak yang ditimbulkan akan berakibat panjang terhadap lingkungan. Kebanyakan investor mengekploitasi sumberdaya pesisir hanya melihat profit semata. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat pula menyebabkan adanya eksploitasi yang berlebihan
3 ini. Perubahan ini banyak dipengaruhi oleh kebutuhan akan lahan produktif oleh penduduk yang semakin meningkat. Tabel 1 berikut ini memberikan gambaran pola penggunaan lahan pesisir di wilayah Muara Gembong dari tahun 1943, 1990 dan tahun 2000. Tabel 1 Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong (ha) Penggunaan Lahan 1943 1990 Hutan Mangrove 10082 2411 Permukiman 91 262 Sawah Irigasi 0 0 Tambak/empang 1051 5631 Tegalan 0 529 Lain-lain 2898 4423 Total 14122 13257 Sumber : Evaluasi Tata Ruang Kabupaten Bekasi (2000)
2000 398 399 2090 8914 405 1103 13311
Banyak kasus yang dapat dilihat pada beberapa wilayah sepanjang pesisir pantai utara pulau Jawa khususnya di wilayah pantai Utara Bekasi , dimana ekploitasi sumberdaya yang berlebihan menurunkan
kualitas lingkungan dan
bahkan menurunnya hasil produksi lahan yang mereka manfaatkan sebagai komoditas budidaya. Dengan terjadinya degradasi lingkungan, akan berdampak terhadap segala aspek kehidupan. Salah satu faktor yang menyebabkan degradasi ini adalah pengelolaan yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Untuk
mengantisipasi
dampak
negatif
degradasi
lahan
tersebut,
pemerintah daerah kabupaten Bekasi pada tahun 1992 telah mengeluarkan kebijakan RT/RW. Tetapi perencanaan tata ruang yang ditetapkan dalam RT/RW tersebut lebih banyak didasarkan atas penggunaan lahan dalam bentuk fisik. Sementara evaluasi penilaian ekonomi yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan belum pernah dilakukan menyebabkan banyak penggunaan lahan yang terjadi tidak memperhatikan pengaruh faktor ekologis disamping faktor ekonomi. Padahal pengaruh aspek ekonomi dan ekologis sangat mempengaruhi dalam peningkatan potensi ekonomi lahan di kecamatan Muara Gembong. Perencanaan dalam skala kecil seperti tingkat desa juga kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akibatnya timbul peruntukan lahan yang tidak
4 mengacu terhadap kesesuaian lahan dan melampaui daya dukung lahan tersebut. Dalam prinsip pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sesuai dengan pembangunan wilayah yang berkelanjutan, maka perubahan penggunaan lahan harus didasarkan daya dukung lingkungan. Permasalahan mendasar dalam pembangunan
wilayah
pesisir
yang
berkelanjutan
adalah
bagaimana
mengalokasikan berbagai macam kegiatan pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara optimal berdasarkan perhitungan-perhitungan efisiensi dan optimalisasi. Penelitian menyangkut analisis ekonomi lahan wilayah pesisir pernah dilakukan di Filipina oleh Trinidad et al (1996). Namun dalam kajiannya, mereka tidak melihat keterkaitan lingkungan dalam penggunaan lahan (sistem ekologis) dan daya dukung lahan (carrying capacity) untuk kasus Indonesia khususnya wilayah pantura penelitian serupa belum banyak di lakukan. Melihat beberapa pemikiran diatas, maka perlu kiranya dilakukan kajian penggunaan lahan pesisir yang tidak saja melihat nilai ekonomi dari lahan berdasarkan opsi penggunaan, tetapi juga menilai keterkaitan dari fungsi ekologi dan daya dukung lahan di wilayah pesisir. Dengan demikian, permasalahan pokok yang perlu menjadi perhatian dan penanganan adalah : 1. Adanya perubahan penggunaan lahan (dalam kasus ini adalah lahan tambak dan lahan sawah) yang besar, sehingga kelestarian lingkungan menjadi tidak terjaga. 2. Tidak adanya penilaian terhadap kesesuaian dan daya dukung dari perubahan
penggunaan
lahan
tersebut
yang
dapat
mendukung
keberlanjutan aktivitas perekonomian masyarakat. 3. Tidak adanya penilaian perubahan penggunaan lahan tersebut yang melihat manfaat ekonomi lahan secara menyeluruh (total). 4. Tidak adanya perkiraan perubahan penggunaan akibat adanya degradasi lahan, yang dapat menjadi masukan bagi kebijakan pengelolaan pembangunan dan wilayah. I.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut:
5 1. Mengidentifikasi perubahan pola penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. 2. Menentukan
kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan di Kecamatan
Muara Gembong sehingga dapat diperhitungkan dalam penilaian manfaat ekonomi secara lebih komprehensif. 3. Menilai manfaat ekonomi dari opsi perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. 4. Menganalisis optimisasi konversi penggunaan lahan wilayah pesisir di Kecamatan Muara Gembong. I.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak terkait,
antara lain: 1. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang berwenang dan berkepentingan dalam penentuan kebijakan penggunaan lahan wilayah pesisir di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat dengan mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan dan optimal. 2. Sebagai bahan informasi (studi pustaka atau literatur) bagi pihak yang berkepentingan. I.5.
Hipotesis Penelitian Terdapat beberapa hipotesis yang disusun untuk mendukung penelitian ini,
yaitu: 1. Pola perubahan penggunaan lahan yang berlangsung di Kecamatan Muara Gembong, tidak sesuai dengan kesesuaian dan daya dukung lahan. 2. Nilai ekonomi lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan terhadap opsi (alternatif) penggunaannya. 3. Efisiensi dan efektivitas konversi lahan di wilayah pesisir dipengaruhi oleh nilai ekonomi lahannya.
6 II. II.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan darat, apabila
dilihat dari garis pantai, wilayah pesisir memiliki dua batasan, yang terdiri dari garis pantai yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan garis pantai yang tegak lurus dengan garis pantai. Tetapi untuk batasan garis pantai yang sejajar dengan garis pantai menurut Bengen (2001) lebih mudah dalam hal pengelolaannya. Menurut Soegiarto (1976) di Indonesia batasan wilayah pesisir. diklasifikasikan berdasarkan potensi sumberdaya di wilayah tersebut serta karakteristik wilayah tersebut. Sedangkan defenisi wilayah pesisir berdasarkan Rapat kerja National Proyek MREP tahun 1994 dalam Dahuri et al. (1996) menetapkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan lautan, yang berarti membagi dua bagian wilayah antara darat dan laut, untuk wilayah darat pada wilayah pesisir, daratan yang dimaksud adalah daratan yang masih dipengaruhi oleh keadaan air laut, sedangkan untuk laut adalah kawasan laut yang dipengaruhi oleh wilayah darat. Menurut Dahuri et al. (1996) dalam perencanaan wilayah pesisir perlu melihat batasan melalui dua sisi, sisi pertama lebih mengarah kepada pendekatan adaminstrasi sedangkan sisi kedua lebih mengarah kepada pendekatan ekobiogeografis. Dalam pendekatan administrasi, daratan sebagai batasan wilayah pesisir, desa dan kecamatan karena dalam hal pengelolaan batasan ini sangat mempengaruhi didalam mengambil kebijakan. Sedangkan untuk batas kearah laut, batasan telah tertuang didalam kebijakan pemerintah pada UU No 33/2004, tentang wilayah laut untuk propinsi sejauh 12 mil dari garis pantai, sedangkan untuk wilayah administrasi Kabupaten 1/3 dari wilayah yang telah ditetapkan untuk propinsi. Wilayah ini dapat dijadikan sebagai satu kawasan pada satu batas administrasi pemerintahan, maupun wilayah lintas batas administrasi sesuai dengan kepentingan pengelolahan wilayah pesisir. Pendekatan eko-biogeografis meliputi kondisi ekologi, biologi serta ekosistem wilayah (darat dan laut) dan semua jenis biota yang hidup didalamnya, serta kondisi geografis wilayah yang menentukan faktor alam yang membentuk
7 dan mempengaruhi evolusi dan perubahan wilayah tersebut. Wilayah ini dapat didasarkan atas karakteristik eko-biogeografis yang sama dan relatif homogen dalam satu kawasan tertentu, tapi dapat juga didasarkan atas metode sedimen sel yaitu karena pengaruh dinamika alam seperti angin, sedimentasi, arus pasang surut dan arus pantai terhadap pola perubahan garis pantai. Wilayah ini sangat tergantung dari penelitian awal untuk menentukan batas wilayah. II.2.
Ekosistem Di Wilayah Pesisir Ekologi adalah ilmu yang mempelajari rumah tangga mahluk hidup serta
kajian hubungan timbal balik dengan sesamanya dan dengan benda-benda mati sekitarnya. Ekologi mempunyai satuan pokok yang disebut ekosistem. Ekosistem adalah satuan kehidupan dari satu komunitas berbagai jenis makluk hidup dan benda mati yang saling berinteraksi dalam membentuk suatu sistem. Ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi yang didalamnya terdapat berbagai fenomena kehidupan menurut prinsip tatanan dan hukum alam atau ekologi, seperti keseimbangan, kompetisi dan evolusi (Odum 1976) Wilayah ekosistem pesisir ada yang secara terus menerus tergenangi air dan ada pula yang hanya sesaat. Di wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumber daya pesisir. Berdasarkan sifatnya, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, industri dan pemukiman. Di dalam wilayah pesisir, ekosistem-ekosistem tersebut saling berinteraksi. Sistem ini dapat terjaga dengan baik apabila pemanfaatannya sesuai dengan daya dukung dari sistem tersebut (Dahuri et al 1996) . Kondisi ekosistem harus dipertahankan, walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik karena setiap biota yang ada dan hidup di dalamnya menjadi tua dan mati lalu untuk selanjutnya digantikan oleh biota lainnya. Namun bila ada gangguan yang melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses
8 pemulihannya akan memakan waktu yang sangat panjang (dapat sampai berpuluh bahkan beribu tahun). Lama waktu pemulihan ekosistem ini akan tergantung pada: 1. Kondisi atau tingkat kerapuhan ekosistem. 2. Lamanya terjadi gangguan. 3. Frekuensi terjadinya gangguan ini (misalnya terjadi secara berulang-ulang). Tingkat kerapuhan suatu ekosistem sangat tergantung pada kondisi parameter pendukungnya seperti keadaan vegetasi dan satwa, kondisi topografi, tanah, iklim dan keterlibatan manusia di dalamnya. Pendekatan ekologis terhadap ekosistem, dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran maupun untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia terutama pada tingkat jumlah pemakaian yang berlebihan (eksploitatif). Salah satu jenis ekosistem di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas di pesisir atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini merupakan salah satu unsur yang dominan dalam ekosistem di wilayah pesisir. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Selain itu, hutan mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang berfungsi sebagai pelindung dari gempuran ombak (Bengen 2001). Beberapa penelitian menyatakan bahwa kedangkalan pantai sangat dipengaruhi oleh penyebaran dan luas hutan mangrove. Makin dangkal dan landai suatu pantai, penyebaran hutan mangrove akan semakin luas dan semakin baik pula. Daya adaptasi mangrove yang khas adalah kemampuannya untuk dapat terus hidup di perairan yang dangkal (Witjaksono 2002). Dilihat dari aspek biologis, hutan mangrove sangat penting dalam memelihara kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati di wilayah pesisir. Secara bioekologis dalam ekosistem hutan mangrove banyak terdapat hewan muda yang sedang tumbuh dan berkembang, karena selain kaya akan unsur hara, dalam hutan mangrove hewan muda tersebut juga terlindung dari predator. Selain itu, ekosistem ini adalah daerah asuhan (nursery ground) dan perkembangbiakan (spawning ground) bagi beberapa hewan perairan. Oleh karena
9 itu, ekosistem hutan mangrove dapat dipandang sebagai suatu unit fungsional dari seluruh sistem estuaria (Bengen 2001). II.3.
Fungsi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara daratan dan lautan,
mempunyai fungsi pokok yang dapat diklasifikasikan berdasarkan manfaat dari wilayah pesisir tersebut, yaitu: (1) manfaat ekologis (2) manfaat ekonomi dan. Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing manfaat. II.3.1. Manfaat Ekologis Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir secara berkelanjutan adalah cara pengelolaan kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsional yang tercakup dalam empat fungsi pokok wilayah pesisir bagi manusia. Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara dan air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa kenyamanan (amenity services) yang disediakan oleh ekosistem alamiah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan. Ekosistem alamiah juga menyediakan sumber daya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi. Wilayah pesisir berfungsi sebagai penyedia sumber daya alam, sehingga pemanfaatan sumber daya pesisir harus dilakukan dengan cermat agar efeknya tidak merusak lingkungan sekitar. Sumber daya pesisir terdiri dari sumber daya yang tak dapat pulih (non-renewable resources) dan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources). Kriteria pemanfaatan untuk sumber daya yang dapat pulih (renewable resources) adalah bila laju ekstraksinya tidak melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu (Clark 1996). Kemampuan wilayah pesisir dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, mengakibatkan wilayah (perairan) pesisir sering dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah. Oleh karena itu harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak melebihi kapasitas daya asimilasinya. Daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima limbah
10 dalam jumlah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Dahuri et al .1996). II.3.2. Manfaat Ekonomi Sumberdaya alam seperti hutan, ikan dan sebagainya merupakan sumberdaya yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa. Menurut Fauzi (2000b), pengelolaan semberdaya alam yang baik dapat menambah kesejahteraan umat manusia. Sebaliknya, pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Secara sosial ekonomi, manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan wilayah pesisir serta sumber daya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, terutama mereka yang termasuk dalam golongan ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Kualitas dan jumlah permintaan terhadap sumberdaya alam ditentukan oleh jumlah penduduk dan standar (kualitas) kehidupannya. Oleh karena itu, selain mengendalikan jumlah penduduk, kebijakan penting lainnya adalah mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin. II.4.
Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Dalam penelitian ini lahan didefinisikan berdasarkan definisi wilayah pesisir
untuk daratan. Sedangkan spesifikasi dari lahan sebenarnya lebih mengarah kepada suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land resources) adalah kondisi dan sumber daya yang dapat dieksploitasi manusia. Kemudian Soepardi (1977) menambahkan bahwa tanah (soil) adalah bahan mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan. Pada dasarnya tanah merupakan komoditi yang mempunyai nilai yang meningkat terus menerus karena tanah itu luasannya tetap selain itu tanah juga memliki potensi estetika, nilai politik, fisik dan sosial. Nilai-nilai ini dimiliki oleh sumberdaya tanah apabila mempunyai manfaat atau potensi untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan. Penawaran akan lahan jumlahnya akan selalu tetap, sementara permintaan akan lahan terus meningkat. Selain itu, sifat keterbatasan
11 tanah berhubungan dengan sifatnya yang mudah untuk ditransfer (Bambang 1982). II.4.1. Penggunaan Lahan Menurut Anderson dalam Suburi (1999) penggunaan lahan adalah bentuk penggunaan kegiatan manusia terhadap lahan (aktivitas manusia di atas lahan) termasuk keadaan alamiah yang belum terpengaruh oleh kegiatan manusia. Aktivitas tersebut menyebabkan terjadinya penggunaan lahan yang sangat beraneka ragam sesuai dengan peruntukannya. Barlowe (1978) membagi penggunaan lahan menjadi sepuluh kelas sebagai berikut: (1) lahan pemukiman, (2) lahan industri dan perdagangan, (3) lahan bercocok tanam, (4) lahan peternakan dan penggembalaan, (5) lahan hutan, (6) lahan mineral/pertambangan, (7) lahan rekreasi, (8) lahan pelayanan jasa, (9) lahan transportasiasi, dan (10) lahan tempat pembuangan. Kelas penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis penggunaan, yaitu: Pemukiman dan Industri. Meliputi sebagian besar penggunaan lahan di perkotaan, tetapi hanya sebagian kecil dari penggunaan lahan seluruhnya. Pertanian. Meliputi areal tanaman pertanian, yaitu pangan dan perkebunan yang merupakan porsi terbesar dari penggunaan lahan seluruhnya. Padang Rumput dan Penggembalaan. Meliputi penggunaan lahan untuk peternakan termasuk komplek peternakan. Perhutanan. Meliputi penggunaan lahan untuk hutan industri, hutan lindung dan belukar. Lain-lain. Meliputi penggunaan lahan untuk tempat rekreasi, jalan raya, pertambangan, pembuangan sampah dan lainnya. Selanjutnya
Barlowe
(1978)
menjelaskan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi permintaan akan lahan didasarkan atas kegunaannya seperti untuk perumahan dipengaruhi urbanisasi, jumlah rumah tangga, jumlah penduduk, perubahan distribusi umur penduduk, tingkat dan keadaan pendidikan, perubahan formasi pemilik rumah. Industri atau perdagangan dipengaruhi oleh jenis, besar, bentuk dan lokasi usaha, dan adanya pasar potensial. Pertanian dipengaruhi pola konsumsi produk pertanian, produktivitas lahan dan permintaan lahan non
12 pertanian. Rekreasi dipengaruhi jumlah populasi, tingkat pendapatan, waktu senggang, sarana transportasiasi, penggunaan non rekreasi. Menurut Dahuri et al. (1996), ekosistem wilayah pesisir memiliki potensi ekonomi dan ekologi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan dan penggunaan lahan di wilayah pesisir perlu direncanakan dengan matang. Di Indonesia, penggunaan lahan di wilayah pesisir meliputi kehutanan, pertanian, perikanan budidaya, pemukiman dan perkotaan serta pariwisata. Untuk itu, perlu pedoman umum dalam penggunaan lahan di wilayah pesisir agar tidak mengganggu ekosistem wilayah pesisir yang ada di sekitarnya. II.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan Perkembangan penguasaan dan penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya (Roll 1983). Perubahan jumlah penduduk, pengetahuan dan teknologi mengakibatkan perubahan dalam keinginan, selera atau standar kebudayaan dan ideologinya. Perubahan-perubahan tersebut
mengakibatkan
perubahan
dalam
tata
kehidupan
dan
sistem
perekonomian yang mendasari perubahan penguasaan dan penggunaan lahan (Murphy 1974). Perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem di wilayah pesisir. Dampak yang terlihat dapat dilihat pada pengembangan usaha pertanian, dimana kegiatan kontruksi seperti saluran irigasi, drainase dan penebangan hutan dapat menggangu pola aliran alami daerah tersebut. Gangguan lain dapat dilihat pada penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Ada empat faktor utama yang menentukan suply lahan untuk berbagai kegunaan, yaitu : (1) sifat fisik tanah, (2) ekonomi, (3) institusi dan (4) teknologi. Sifat fisik tanah seperti sinar matahari, temperatur, hujan dan sistem pengaturan air, topografi dan drainase, lapisan permukaan tanah dan mineral dibawahnya, dan lokasi tanah dan keberadaan fasilitas-fasilitas seperti pasar dan angkutan. Faktor ekonomi seperti permintaan, harga, persaingan yang mempengaruhi persediaan sumber daya lahan. Peranan lembaga atau institusi meliputi aspek dari budaya dan tindakan kita seperti, budaya dalam masyarakat, pemerintahan, hukum,
13 pendapatan masyarakat dan konsep hak kekayaan. Sementara dari sisi teknologi berkaitan dengan kemampuan kita untuk memanfaatkan teknologi yang tersedia agar penggunaannya maksimal (Barlowe 1978). Alih fungsi lahan merupakan permasalahan yang sifatnya global dan lokal. Permasalahan alih fungsi lahan meliputi tiga aspek yaitu: (1) Efisiensi alokasi dan distribusi lahan dari aspek ekonomi, (2) Alih fungsi yang terkait dengan pemerataan dan keadilan, dan (3) Keterkaitan dengan degredasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Oleh karena itu perlu pemecahan secara parsial sehingga diperoleh hasil yang spesifik dari setiap bentuk alih fungsi lahan tersebut, misalnya alih fungsi lahan produktif dan non-produktif kepada peruntukan pertanian, perikanan budidaya dan konservasi. Perubahan penggunaan lahan (alih fungsi lahan) tidak dapat dihindari dan merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial ekonomi masyarakat. Hal ini tercermin dari perubahan pemanfaatan sumberdaya lahan dan terjadinya pergeseran fungsi-fungsi tertentu ke bentuk fungsi lain baik lahan produktif maupun lahan tidak produktif. Menurut aliran struktural, perubahan pola spasial (tata ruang) disebabkan oleh switching sirkuit kapital dari orientasi produksi dan akumulasi menuju investasi kapital dan dana konsumsi yang mapan, sampai pada investasi riset dan teknologi serta pengeluaran sosial (seperti pendidikan dan kesehatan) untuk reproduksi tenaga kerja. Sedangkan aliran rasionalisme justru menempatkan individu konsumen yang berpikir dan bertindak rasional sebagai penyebab perubahan pola spasial tersebut. Artinya, pemilik kapital akan menggunakan modalnya sesuai dengan tuntutan pasar atau kehendak konsumen, baik dalam pilihan lokasi dan bentuknya maupun soal harga dan kemudahan lainnya (Pahl 1979). Parengkuan (1991) menyatakan masalah ketersediaan lahan semakin parah dengan adanya kasus-kasus seperti lahan-lahan yang semula telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu, pada saat akan di implementasikan sering telah digunakan oleh jenis kegiatan lainnya. Perubahan guna lahan mudah saja terjadi yang kemudian disahkan pada evaluasi rencana berikutnya (Winarso 1995). Keadaan ini tentu tidak benar, bahkan sering pula menyulut ketidakpuasan masyarakat karena perubahan yang terjadi tidak sesuai dengan rencana yang telah
14 diketahui masyarakat. Perubahan juga mempunyai dampak yang besar terhadap pengeluaran publik, terutama jika perubahan itu untuk guna lahan yang lebih komersial seperti daerah wisata dan lain sebagainya. Ade et al. (1999). Pada dasarnya perubahan penggunaan lahan yang terjadi diwilayah pesisir ,lebih kepada masalah nilai ekonomi lahan (land rent). Untuk menghambat laju konversi lahan-lahan di wilayah pesisir
ada beberapa konsep yang dapat
dilakukan salah satunya dengan menerapkan konsep perencanaan wilayah pesisir secara terpadu. II.4.3. Konsep Sewa Lahan (Land Rent) Menurut Pearce dan Turner (1990) pengertian land rent berkaitan dengan aliran penerimaan bersih (benefit) yang diturunkan dari lahan tersebut. Semakin bertambah baiknya lingkungan maka harga lahan akan semakin meningkat. Perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga lahan yang bersangkutan. Pada dasarnya, harga lahan merupakan nilai lahan di pasar lahan yang bersumber dari total land rent atas masing-masing sifat intristik yang dimiliki lahan. Sifat intristik yang dimiliki lahan tidak semata-mata aspek fisik lahan seperti kesuburan tapi juga aspek-aspek lain seperti faktor lokasi, sosial dan kependudukan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa meningkatnya harga lahan per satuan luas lahan di suatu lokasi merupakan manifestasi dari peningkatan land rent di lokasi yang bersangkutan. Land rent menurut ekonom neo-klasikal seperti Alfred Marshall, merupakan pendapatan yang dapat diturunkan dari kepemilikan lahan dan hasil limpahan sumberdaya lain di alam. Di luar pengertian land rent, maka dapat saja melakukan menyewa (rent) sumberdaya lainnya (seperti menyewa sesuatu dengan cara membayar uang untuk menggunakan setiap barang yang dimiliki seperti rumah, kendaraan, dan lainnya), yang apabila telah selesai waktu pemakaiannya, maka barang-barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan keadaan fisik yang sama seperti sebelumnya (Ricardo 1975). II.4.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan Ada dua faktor utama yang mempengaruhi penggunaan lahan yakni faktor supply dan faktor demand (permintaan). Faktor penawaran sebagai dijelaskan
15 sebelumnya di tentukan oleh empat hal yaitu sifat fisik tanah , ekonomi, institusi dan teknologi . Demand dipengaruhi oleh situasi yang berkaitan dengan faktor demografik, (seperti komposisi umur, jenis kelamin),
tingkat pendapatan,
konsolidasi lahan, pengaturan tata ruang, kebijakan perencanaan lingkungan serta periode waktu seperti
waktu yang diperlukan untuk pembangunan dan
peningkatan jasa seiring dengan waktu (Barlowe 1978). Dari keempat faktor utama yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, kecendrungan terjadi perubahan penggunaan lahan diIndonesia lebih diakibatkan faktor ekonomi dan Institusi. II.5.
Kesesuaian Lahan Menurut Sitorus (1985) kesesuiaan lahan adalah penggambaran tingkat
kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu, penggambaran ini dilakukan dengan menganalisis dalam bentuk klasifikasi kesesuaiaannya. Sedangkan hasil penilaian dapat dipergunakan sebagai dasar pemilihan didalam merencanakan aktivitas kegiatan diatasnya. Sedangkan di wilayah pesisir, aktivitas penggunaan lahan sering berdampak negatif terhadap potensi ekologi yang terkandung didalamnya, hal ini sering terjadi pada konversi hutan mangrove menjadi tambak. Untuk itu analisis kesesuian lahan diwilayah pesisir harus mengkaji ekologis didalammnya. II.5.1. Kesesuaian Lahan Untuk Tambak Lokasi merupakan langkah awal yang perlu diperhatikan dalam budidaya. Dalam pemilihan lokasi tambak ini tidak hanya untuk menentukan kecocokan lahan sebagai media saja, tetapi juga untuk mendukung modifikasi desain tambak, tata letak tambak, pembuatan konstruksi tambak, dan manajemen yang akan diterapkan (Afrianto dan Liviawaty, 1993). Selanjutnya dijelaskan bahwa ada 4 aspek utama yang perlu diperhatikan sebagai kriteria dalam penentuan lokasi tambak, seperti aspek ekologis, tanah, biologis dan sosial ekonomi. a. Aspek Ekologis. Ditinjau dari segi ekologis, keadaan alam sumber air dan iklim di Indonesia sangat menunjang usaha budidaya tambak walaupun secara ekologis kondisi lingkungan menunjang. Secara ekologis paling sedikitnya ada 7 faktor yang perlu
16 dipertimbangkan untuk menentukan tingkat kesesuaian lokasi tambak, yaitu: a. Iklim dan suhu lingkungan Informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim dan suhu lingkungan di suatu tempat sangat membantu untuk menentukan lokasi lahan yang memenuhi syarat, parameter iklim yang perlu diperhatikan oleh petani tambak adalah data hujan dan angin. a) pasang surut air, b) salinitas, c) arus air, d) pola hujan,e) rembesan , f) polusi e) kuantitas dan kualitas air yang merupakan kebutuhan mutlak bagi tambak. Sumber air yang digunakan untuk mengairi tambak harus memenuhi syarat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan tersedia sepanjang tahun. Menurut Boyd (1991) Ada 6 (enam) parameter kualitas air yang perlu diperhatikan bagi pertambakan, yaitu: Bersih, Derajat Keasaman (pH), Daya Mengikat Asam (DMA), Produktivitas primer, Tingkat sedimentasi yang rendah dan Kelarutan oksigen (DO) dalam air tinggi. b. Aspek Tanah Tanah merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produktivitas tambak, sebab tanah mempunyai kemampuan untuk menyerap atau melepaskan zat hara tanaman yang dibutuhkan oleh fitoplankton atau vegetasi air lainnya yang hidup di dalam tambak. Di samping itu, tanah juga merupakan komponen utama dalam pembuatan petakan tambak, pematang, saluran air dan pintu air serta mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas air. c. Aspek Biologi Dilihat dari aspek biologi ada lima kriteria didalam analisis kesesuaiaan lahan untuk budidaya tambak yang meliputi sebagai berikut: a. Sumber Benih b. Sifat Organisme yang akan dibudidaya c. Organisme lain d. Vegetasi di sekitar Tambak e. Kelestarian Lingkungan d. Aspek Sosial Ekonomi. Dalam budidaya tambak masalah aspek sosial dipelihat dari beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut. a. Lokasi peruntukan dan status lahan b. Transportasi c. Tenaga kerja d. Ketersediaan alat dan bahan e. Ketersediaan pasar dan harga yang stabil
17 II.5.2. Kesesuaiaan Lahan Untuk Pemukiman Pemukiman merupakan tempat dimana sejumlah penduduk tinggal dan melakukan kegiatan sehari-harinya. Untuk keperluan tersebut diperlukan tanah untuk mendirikan bangunan seperti rumah, septic tank, jalan, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya. Karena bangunan-bangunan tersebut didirikan di atas tanah maka sifat-sifat tanah pun perlu diperhatikan. Sifat-sifat tersebut antara lain adalah klasifikasi tanah berdasar atas besar butir dan sifat geologi, potensi mengembang dan mengerut tanah, tata air atau drainase tanah, tebal tanah sampai ke hamparan batuan, kepekaan erosi, bahaya banjir, lereng, daya menyangga tanah (daya dukung tanah), potensi terjadi korosi, lapisan organik, mudah tidaknya tanah digali, dan sebagainya. II.5.3. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Untuk Sawah Irigasi Lahan untuk irigasi memerlukan syarat-syarat yang berbeda dengan lahan tanpa irigasi, sehingga perlu disusun kriteria-kriteria khusus untuk tujuan ini. Di bawah ini dikemukakan kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Arsyad (1989), yang banyak digunakan dalam survai tanah untuk irigasi oleh Institut Pertanian Bogor. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Untuk Irigasi (Land Classification for Irrigation) terutama bertujuan untuk menetapkan penggunaan tanah dan air secara tepat, meliputi perencanaan (design) sistem jaringan irigasi dan drainase, luas usaha tani, kebutuhan air untuk irigasi, dan untuk menentukan ongkos-ongkos pembayaran kembali kredit serta operasi dan pemeliharaan. II.5.4. Analisis Kesesuaian Lahan Tegalan Untuk
tanaman
upland
(tanaman
pertanian)
faktor–faktor
yang
mempengaruhi kesesuaiaan lahan untuk tegalan meliputi a. Kedalaman efektif tanah b. Ketebalan gambut c. Ketebalan peaty mineral d. Ukuran partikel atau tekstur dari bahan mineral e. Lereng f. Drainase g. Defisiensi kesuburan
h.
Salinitas i. Persentase Na dapat dipertukarkan j. Bahaya subsiden dan Kualitas air
18 II.6.
Data Envelopment Analysis Produktivitas Penggunaan Lahan Menurut Fauzi dan Anna (2005), dalam bukunya permodelan sumberdaya
perikanan dan Kelautan, Data envelopment analysis merupakan metode pendekatan nonparametric yang cukup baik untuk aplikasi yang luas dan mudah dilakukan berkaitan dengan defenisi ekonomi teknologi yang terfokus pada kapasitas output dan input. Pendekatan yang berorientasi pada pendekatan input dan output ini dikemukakan pertamakali oleh Carnes et al. (1978) dan kemudian dikembangkan oleh Fare et al. (1994). DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian dari pengambil keputusan (Korhonen et al dalam Fauzi & Anna 1998), teknik ini didasarkan pada pemograman matematis untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala, DEA bertujuan mengukur keragaan relatif dari unit analisa pada kondisi keberadaan multiple input dan output. Selain kemampuan DEA dalam mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu, DEA dapat digunakan dalam mengakomodasi multiple outputs dan multiple inputs, serta tingkat input atau output yang riil maupun nondiskret. DEA juga dapat menentukan tingkat potensi maksimal dari effort atau variable input secara umum dan laju utilisasi optimalnya. Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio pembagian antara output dan input. Dalam menggunakan metode DEA ini, pengukuran efisinesi ini menjadi tidak tepat apabila berhadapan dengan data multiple input dan output yang berkaitan dengan sumber daya, faktor aktivitas dan lingkungan yang berbeda. Meskipun pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat diatasi dengan menggunakan pengukuran efisiensi relative yang dibobot yaitu pembagian antara jumlah output yang sudah dibobot dan jumlah input yang sudah dibobot. Namun, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. keterbatasan tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA , dimana efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan.
19 Oleh karena itu, didalam DEA efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relative efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100% . secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan 10 dan dengan kendala yang diberikan pada Persamaan 11 dan 12. Pemecahan masalah pemograman matematis diatas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum, sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah keefisiensi. Jadi jika nilai = 1, unit ke-m tersebut dikatakan efisien relative terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai lebih kecil dari 1 maka unit lain dikatakan lebih efisien relative terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimalkan unit m. Salah satu kendala dari pemecahan persamaan diatas adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit di pecahkan melalui pemograman linier. Namun, dengan melakukan linieritas, persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan linier. Sehingga pemecahan melalui pemograman linier dapat dilakukan. Linierisasi persamaan di atas menghasilkan persamaan 12 dan dengan kendala yang diberikan pada persamaan 13, 14,dan 15. Salah satu manfaat dilakukan linierisasi adalah kita dapat melakukan pemecahan pemograman linier diatas dengan pemecahan dual, sebagaimana ciri yang dimiliki oleh program linier, pemecahan baik primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama, namun pemecahan dengan dual seringkali lebih sederhana, sebab dimensi kendala berkurang. Primal dan dual variable dari persamaan diatas dapat dilihat pada persamaan 16 dan dengan kendala pada persamaan 17, 18,dan 19. Hasil analisis DEA dapat dijabarkan dalam bentuk grafis apa yang disebut efficiency frontier, dari enam unit yang menghasilkan dua jenis output y1 dan y2. Pada gambar berikut, titik E1 sampai E6 menggambarkan unit pada efficiency frontier dengan DEA, titik-titik E1, E3 dan E4 menggambarkan unit yang efisien karena tepat berada di efficiency frontier, sekaligus menjadi “amplop” (envelope) yang menutupi seluruh set data yang ada. Unit E5 dan E6 berada dalam “Envelop” tersebut sehingga dikatakan tidak efisien. Amplop data ditutup ke horizontal akses dengan E4Y1, sementara ke vertikal aksis ditutup dengan E1Y2.
20
Y2 E1 Y2’
E5’ E5” E2’
E5
E3 E4 E6
E6’
Y1’
Y1
Sumber : Fauzi , Ana (2004) Gambar 1 Grafik Effisiensi Frontier Dari gambar di atas terlihat bahwa kelompok terdekat (perunit) untuk unit E5 adalah E1 dan E2, dan target efisien dari E5 adalah E5’. Target tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan output E5 secara proporsional (pro rata) antara Y1 dan Y2. peningkatan tersebut diperoleh dengan pembobotan unit E1 dan E2. Namun, jika misalnya output Y2 tidak dapat ditingkatkan, pilihan target efisisen berikutnya dari E5 adalah titik E5 yang sepenuhnya mengandalkan peningkatan output Y1. Sementara itu untuk unit E6, target efisien telah didomonasi oleh E4 sebab dengan output Y1 yang sama, E4 memiliki output Y2 yang lebih banyak dari E6. Pengukuran efisiensi dengan DEA sebagaimana pengukuran efisiensi lain, terkait dengan aspek produksi dari aktivitas ekonomi yang diamati. Dari sisi teoritis, fungsi produksi berkaitan dengan return to scale yang menghubungkan bagaimana output bereaksi terhadap perubahan input. Didalam model DEA yang dikembangkan oleh CCR, efisiensi diukur dengan asumsi bahwa fungsi produksi besifat constant return to scale (CRS) artinya, jika input dinaikkan dari dua kali lipat, misalnya output juga meningkat secara proporsional (dua kali lipat). Model ini sangat bersifat linier dan sangat mudah diformulasikan serta dikerjakan dalam program linier. Namun model yang didasarkan pada constant return to scale ini tidak selalu tepat bila diaplikasikan pada aktivitas produksi yang mengalami non constant return to scale. Beberapa fungsi produksi, seperti produksi perikanan,
21 bersifat decreasing return to scale. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, model asal dari CCRS ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Banker et al. (1984) dan dikenal dengan model BCC DEA, yang memungkinkan kita melakukan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return to scale. Kedua pendekatan DEA tersebut merupakan pendekatan dasar yang digunakan dalam analisis DEA. II.7.
Konsep Valuasi Ekonomi Valuasi ekonomi merupakan suatu pemberian nilai kuantitatif terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar ada atau tidak. Akar konsep ini sebenarnya berlandaskan pada ekonomi neo-klasikal (neoclassical economic theory) yang menekankan pada kepuasan dan keperluan konsumen (Fauzi 2000a). Konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total ini pada dasarnya sama dengan manfaat bersih (net benefit) yang diperoleh dari sumberdaya alam. Di dalam konsep ini, nilai yang dikonsumsi oleh seorang individu dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama use value (nilai guna) dan non-use value (Nilai Tidak Guna) (Krutila, 1967). Menurut Fauzi (2000a), komponen pertama, yakni use value pada dasarnya diartikan sebagai nilai yang diperoleh seorang individu atas pemanfaatan langsung dari sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan (berburu, memancing, rekreasi, dsb). Nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya ikan dan kayu yang bisa dijual maupun untuk konsumsi langsung. Use value secara lebih rinci diklasifikasikan kembali kedalam direct use value (nilai kegunaan langsung) dan indirect use value (nilai kegunaan tidak langsung). Direct use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya seperti penangkapan ikan, pertanian, dan lainnya baik secara komersial maupun non komersial. Sementara indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Termasuk di dalam kategori indirect use value ini misalnya fungsi pencegahan banjir dan nursery ground dari suatu ekosistem.
22 Komponen non-use value adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Non-use value bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Secara detail, kategori non-use value ini dibagi lagi kedalam sub-class yakni: Existence Value, Bequest Value dan Option Value. value Penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsic dari sumberdaya alam. Bequest value atau nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang. Sementara, option value diartikan sebagai nilai pilihan untuk memanfaatkannya. Option value, mengandung makna ketidakpastian. Nilai ini merujuk pada nilai barang dan jasa dari sumber daya alam yang mungkin timbul sehubungan dengan ketidakpastian permintaan di masa mendatang. Jika kita yakin akan preferensi dan ketersediaan sumber daya alam di masa mendatang, maka nilai option value kita akan nol. Sebaliknya jika tidak yakin, maka nilai option value-nya akan positif. Misalnya kita mau membayar "premium" (nilai opsi) agar opsi untuk mengkonsumsi barang dan jasa dari sumber daya alam tetap terbuka. Quasi-option dan existence value merupakan konsep yang kurang jelas, karena tidak ada definisi yang pasti. Pearce dan Turner (1990) mendefenisikannya sebagai nilai yang dimiliki seseorang atau sumberdaya alam yang mewakili penilaian orang atau spesies lain. II.8.
Metode Valuasi Ekonomi Pada umumnya banyak metode yang dipergunakan dalam menghitung
valuasi ekonomi dari sumberdaya alam dan lingkungan. Akan tetapi metodemetode tersebut merupakan turunan dari metode yang lebih umum berupa analisis biaya manfaat atau Cost-Benefit Analysis (CBA). Sehingga dalam perhitungannya pun metode valuasi ekonomi mempunyai dua pendekatan yakni pendekatan manfaat (benefit) dan pendekatan biaya (cost) (Fauzi, 2000a). Secara rinci, pendekatan valuasi ekonomi dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
23
Valuasi Ekonomi
Nilai dengan Pendekatan Manfaat (Benefit-Based Valuation)
Actual Market Price
- Effect on Production (EOP) - Loss of Earnings (Human Capital Approach)
Surrogate Market
Nilai dengan Pendekatan Biaya (Cost-Based Valuation)
-
Replacement Cost Shadow Project Preventive Expenditure Relocation Cost
- Travel Cost - Wage Differerntial - Property Values
Sumber : Fauzi (2000a) Gambar 2. Metode Valuasi Ekonomi
II.8.1. Valuasi Ekonomi Berdasarkan Manfaat (Benefit-based Valuation) Metode Valuasi berdasarkan sisi manfaat dikelompokkan dalam dua kategori umum, yaitu Actual Market Price atau produktivitas yang berupa Effect of Production (EOP) dan Human Capital Approach (HCA) atau Loss of Earnings Approach (LEA) dan Surrogate Markets (Nilai Pasar Pengganti) atau Complementary Goods. Pendekatan Effect on Production (EOP), pada dasarnya melihat pengaruh produksi sumberdaya alam akibat adanya intervensi terhadap sumberdaya alam. Pendekatan ini melihat bahwa perubahan kualitas lingkungan akan mempengaruhi produktivitas dan biaya produksi yang pada akhirnya mempengaruhi harga dan produksi (Fauzi 2000a). Nilai yang sering diukur adalah nilai kegunaan langsung (Ruitenbeck 1992). Dalam pendekatan Loss of Earnings atau Human Capital Approach (HCA), Selain sumberdaya yang dianggap sebagai asset produksi, tenaga kerja juga dilihat sebagai human capital. Meskipun pendekatan ini tidak mengukur
24 benefit secara langsung, namun pendekatan ini menggunakan nilai minimum untuk mengukur kompensasi yang diberikan apabila kehilangan nyawa atau sakit dan sebagainya. Pendekatan ini sering menjadi kontroversi mengingat adanya faktor etis dan kultural yang sering tidak bisa diukur dengan nilai moneter semata (Fauzi 2000a). Metode Surrogate Market dikembangkan dari teori atribut atau karakteristik Lancaster (1966). Pada dasarnya metode ini menggunakan barang dan jasa substitusi atau komplementer untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak teramati (Fauzi, 2000b). Metode ini terdiri dari: 1. Travel Cost Method (TCM) Metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi. Dengan mengetahui pola ekspenditur, dapat dikaji berapa nilai yang diberikan konsumen pada sumberdaya alam dan lingkungan. Jika biaya ekspenditur nol, maka utilitas marjinal sumberdaya alam tersebut adalah nol. 2. Property Value Approach Metode ini mengkaji nilai amenities dari lingkungan berdasarkan nilai dari aset-aset properti seperti lahan atau rumah. Namun pendekatan ini sering dipadukan dengan teknik statistika sehingga kemungkinan timbul bias cukup potensial. 3. Wage Differential Approach Metode ini menggunakan tingkat upah sebagai tolok ukur kualitas lingkungan. Perbedaan tingkat upah antara pekerja yang bekerja di daerah terpolusi dengan yang tidak terpolusi dapat dilihat dari indikasi tingkat kerusakan lingkungannya. Sama dengan Property Value, pendekatan ini sering dipadukan dengan teknik statistika sehingga sangat sensitif terhadap spesifikasi model. II.8.2. Valuasi Ekonomi Berdasarkan Biaya ( Cost-based Valuation) Sulitnya pengolahan data pada penilaian ekonomi dari sisi manfaat, lebih dikarenakan banyaknya data yang sulit dikonversi kedalam nilai moneter. Alternatif lainnya adalah menilainya dari segi biaya. Dengan demikian biaya
25 menjadi tolok ukur untuk menilai manfaat dari lingkungan (Fauzi 2000b). Beberapa metode yang sering digunakan untuk valuasi berdasarkan biaya, antara lain: 1. Replacement Cost Metode berdasarkan pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk mengganti aset produktif yang rusak akibat dampak lingkungan yang kurang baik. Biaya tersebut digunakan sebagai perkiraan minimum manfaat yang diperoleh untuk memelihara maupun memperbaiki lingkungan. Pendekatan ini bisa digunakan untuk menilai indirect use values pada kondisi dimana data ekologi sulit diperoleh. Akan tetapi pendekatan ini bisa menimbulkan penilaian yang berlebih atas willingness to pay, jika yang tersedia hanya indikator-indikator fisik semata. 2. Shadow Project Prinsipnya sama dengan Replacement Cost, hanya pada metode ini investasi digunakan sebagai acuan turunnya produktifitas akibat kerusakan. 3. Preventive Expenditure Metode ini merujuk kepada metode pengukuran biaya yang dikeluarkan untuk mencegah terjadi degradasi lingkungan. Metode ini berguna untuk mengukur indirect use values dimana teknologi pencegahan kerusakan lingkungan tersedia. 4. Relocation Cost Metode ini didasari dari pemikiran individu yang merasa terancam dengan kondisi lingkungan yang memburuk, sehingga bermigrasi ke tempat lain. Biaya relokasi menjadi acuan untuk mengukur hilangnya manfaat akibat menurunnya kualitas lingkungan. Pendekatan ini berguna bagi penilaian relokasi massal. Kelemahannya bisa menimbulkan understate karena bisa saja manfaat yang diperoleh di lokasi baru jauh lebih rendah dari lokasi asal. Selain metode diatas, valuasi ekonomi juga mempunyai metode yang berdasarkan pada pendekatan survey. Metode yang paling populer dalam pendekatan ini adalah Contingen Valuation Method (CVM). Pendekatan CVM berdasarkan dari keinginan membayar sekelompok masyarakat (Willingness to Pay) dan keinginan untuk menerima kerusakan suatu lingkungan perairan
26 (Willingness to Accept). Pendekatan memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan, terutama adalah timbulnya bias. Bias terjadi karena adanya nilai yang overstate atau yang understate dari nilai yang sebenarnya. Bias ini muncul dari kesalahan dalam merancang dan menerapkan strategi dan kesalahan dalam rancangan penelitian (Fauzi, 2000b). Masalah yang sering timbul dalam menilai dampak lingkungan adalah minimnya data yang tersedia dan biaya untuk melakukan penelitian secara komprehensif. Menurut Fauzi (2000b), salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan menilai perkiraan benefit dari tempat lain, hasilnya ditransfer untuk memperoleh perkiraan kasar mengenai manfaat dari lingkungan. Metode ini dikenal dengan nama benefit transfer. Berbagai pertimbangan, terutama masalah biaya, manfaat, desain dan koleksi data untuk keperluan di tempat asal perlu dipikirkan secara matang sebelum teknik ini dilaksanakan karena belum adanya kesepakatan baku dalam menggunakan metode ini (Fauzi 2000b). Krupnick (1993) dalam Fauzi (2000c), menyatakan kapan dan dalam situasi yang bagaimana benefit transfer bisa. Metode benefit transfer dapat dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistem yang sama baik dari segi tempat maupun segi karakteristik pasar. Oleh karena itu sulit dilakukan untuk sumberdaya alam wetland (seperti mangrove dan sejenisnya) karena nilai yang diperoleh akan sangat tergantung pada tempat dan karakteristik populasi. Teknik valuasi ekonomi dengan pendekatan tertentu sering tidak berlaku pada kondisi kenyataan dimana sebegitu kompleksnya lingkungan dan sumberdaya alam yang diteliti. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, para peneliti mengembangkan suatu pendekatan yang disebut Multi-criteria Analysis. Pendekatan ini merupakan kombinasi dari pnedekatan dan metode yang terdahulu. Dengan tujuan hasil dari penelitiannya lebih mendekati pada kebenaran dan solusi yang keluar lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan. II.9.
Analisa Degradasi Sumberdaya Lahan Menurut Fauzi dan Anna (2004), degradasi dapat diartikan penurunan
kualitas /kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarukan (dalam bentuk fisik), dimana sumberdaya alam yang dapat diperbaharui ini berkurang kemampauan alaminya dalam beregenarsi sesuai kapasitas produksinya. keadaan ini bisa
27 disebabkan karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia, Fauzi dan Anna (2004) juga mengatakan kebanyakan degradasi yang terjadi di wilayah pesisir dan laut Indonesia akibat aktivitas produksi, penangkapan dan ekploitasi serta aktivitas non produksi, seperti pencemaran akibat limbah domestic maupun industri. Untuk melakukan perhitungan degradasi, analisis lebih mengarah kepada lahan ekonomis yang dilihat dari sisi aspek penggunan lahan pemukiman dan dari sisi aspek lahan Budidaya yang meliputi lahan sawah, tambak, tegalan. Untuk menghitung degradasi lahan menggunakan keseimbangan lahan dan unit rent dari lahan dengan menggunakan Persamaan 20 pada metodologi penelitian . II.9.1. Template dan Model Simulasi Untuk memudahkan analisa degradasi maka dilakukan analisa secara model simulasi dengan menggunakan vensim. Adapun tujuan penggunaan template ini adalah untuk mempermudah pengguna dalam melakukan analisis sumber daya alam pesisir dan laut sehingga dapat lebih efisien baik dari segi waktu , ketelitian dan pola berfikir (system thinking) Perhitungan degradasi lahan di wilayah pesisir mengalamai modifikasi dari perhitungan baasisi mengingat adanya perubahan peruntukan lahan lahan ekonomis dan non ekonomis dalam simulasi template gambar berikut digambarkan keterkaitan lima variable stok yang mempengaruhi degradasi lahan yaitu : potensi lahan ekonomis, stok lahan ekonomi, penggunaan lahan pemukiman, kesuburan lahan dan perkembangan penduduk dan perkembangan penduduk. Sebagaimana terlihat pada gambar, laju degradasi lahan dihitung berdasarkan laju erosi lahan akaibat penggunaan lahan ekonomi dan laju degradasi kesuburan lahan yang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan kegiatan pertanian dan kegiatan non ekonomi seperti lahan pemukiman. Perubahan laju degradasi lahan pada prisipnya dipengaruhi oleh perubahan laju konversi dari potensi lahan ekonolmi menjadi stok lahan ekonomi oleh pertanian dan laju konversi dari lahan ekonomi menjadi lahan pemukiman. Laju konversi yang kedua ini akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir. Pemanfaaatan lahan ekonomi seperti untuk pertanian, akan mempengaruhi tingkat
28 kesuburan lahan yang akan mempercepat proses laju degradasi melalui konversi kesuburan lahan dari berbagai aktivitas. II.10. Pembangunan Berkelanjutan Selama ini pembangunan ekonomi sering kontroversial dengan pelestarian lingkungan. Namun pada tahun 1987 The World Commission on Environment and Development (Brundtland Commistion), sebuah badan komisi di PBB, mendeklarasikan pembangunan berkelanjutan, yaitu "pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kebutuhannya"
kemampuan (WCED
generasi
1987).
mendatang
Deklarasi
inilah
dalam yang
memenuhi
pada
akhirnya
menyelesaikan permasalahan antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Dilihat dari implikasinya, pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan jauh lebih menantang dan kompleks. Menurut Harris et al pembangunan
berkelanjutan
terkandung
tiga
unsur
pokok
(2001), dalam yang
harus
diperhatikan, yaitu unsur ekologi, unsur ekonomi dan unsur sosial. Pembangunan berkelanjutan dilihat dari unsur ekonomi diartikan sebagai kemampuan suatu wilayah dalam menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan. Sedangkan secara ekologis dikatakan berkelanjutan (an ecologically sustainable area/ecosystem), manakala basis (ketersediaan stok) sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, dimana tidak terjadi eksploitasi berlebih, tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan sehingga menimbulkan pencemaran, serta pemanfaatan sumberdaya tak dapat diperbaharui yang dibarengi upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai. Termasuk pula didalamnya pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeo-kimia, dan iklim. Suatu kawasan pembangunan yang secara sosial disebut berkelanjutan (a socially sustainable area/ecosystem), adalah apabila seluruh kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan) semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, tercipta kesetaraan gender (gender equity) dan terdapat akuntabilitas serta partisipasi politik. Dengan demikian tujuan pembangunan berkelanjutan bersifat
29 multidimensi (multi objectives) yaitu mewujudkan kelestarian (sustainability) pembangunan suatu kawasan/ekosistem baik secara ekonomis, ekologis maupun sosial. II.11. Pengelolaan Wilayah Pesisir berkelanjutan Menurut Dahuri (2000), konsep pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir untuk mencapai kesejahteraaan
masyarakat
pesisir dengan
memperhatikan
daya
dukung
lingkungan, sebagai indikator. Fungsi kawasan pesisir adalah (1) menyediakan ruang (space) yang sehat dan nyaman beserta segenap kegiatan pembangunannya, (2) menyediakan sumberdaya alam, baik melalui penggunaan langsung maupun melalui proses produksi atau pengolahan, (3) menyerap atau menetralisir limbah, dan (4) melakukan fungsi-fungsi penunjang kehidupan (life-supporting functions), termasuk siklus biogeokimia, siklus hidrologi dan lainnya. Wilayah pesisir sendiri dapat dilihat dari 3 dimensi yaitu, dimensi ekologis, dimensi ekonomi dan dimensi sosial (Dahuri et al, 1996). II.11.1.
Dimensi Ekologis
Agar pembangunan yang terjadi adalah pembangunan berkelanjutan maka, perlu dilakukan lima langkah pengelolaan. Pertama adalah adanya keharmonisan ruang (spatial harmony), antara ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan
dengan
ruang
untuk
kepentingan
pelestarian
lingkungan,
kesemuanya dituangkan dalam peta tata ruang. Suatu wilayah pesisir dan lautan, baik dalam lingkup kabupaten/kota, propinsi, dan atau nasional, hendaknya tidak dimanfaatkan semua untuk kegiatan pembangunan (development/utilization zone), tetapi harus dialokasikan sebagian untuk zona preservasi dan zona konservasi. Zona preservasi adalah lokasi wilayah pesisir yang mengandung sumberdaya alam (flora, fauna, dan mikroba), warisan budaya dan komponen ekosistem lainnya yang bersifat endemik, langka, atau sangat menentukan kelangsungan hidup ekosistem; dan atau merupakan tempat berlangsungnya proses-proses ekologis penting seperti pemijahan (spawning grounds), pembesaran (nursery grounds), mencari makan (feeding grounds) dan alur ruaya (migratory routes) dari ikan beserta spesies lainnya.
30 Zona
konservasi
merupakan
wilayah
dimana
diperbolehkan
berlangsungnya kegiatan pembangunan, tetapi dengan laju atau pada tingkat yang sangat terbatas, misalnya berupa penebangan kayu mangrove secara selektif, snorkling dan menyelam (diving) di kawasan terumbu karang. Sementara itu, zona pembangunan (utilization zone) adalah kawasan, yang berdasarkan karakteristik biofisiknya, dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan pembangunan termasuk perikanan tangkap, perikanan budidaya (tambak dan marin kultur), kehutanan, pertanian pantai (coastal agriculture), pariwisata, pertambangan dan energi, kepelabuhanan dan transportasi, kawasan pemukiman, kawasan perkotaan (waterfront city, coastal city), dan industri maritim. Menurut Odum (1976) dan Clark (1996), proporsi luasan zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan dalam suatu wilayah pesisir dan lautan idealnya adalah sekitar 20:20:60 persen. Selanjutnya berdasarkan pada karakteristik biofisik serta pertimbangan sosial-ekonomi dan budaya, zona pemanfaatan (pembangunan), yang sekitar 60 persen dari total wilayah pesisir dan laut yang kita kelola, dibagi-bagi menjadi berbagai lokasi kegiatan pembangunan (seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, pertambangan dan energi, kepelabuhanan dan transportasi, dan industri) sesuai dengan daya dukung lingkungan yang tersedia. Kedua, adalah bahwa laju pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (seperti sumberdaya perikanan dan hutan mangrove) tidak boleh melebihi kemampuan pulih (renewable capacity) dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dalam terminologi pengelolaan sumberdaya perikanan, kemampuan pulih lazim disebut sebagai potensi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY), sedangkan dalam pengelolaan hutan mangrove diistilahkan sebagai jatah tebangan yang diperbolehkan (Total Allowable Harvest/TAH). Ketiga, pada saat mengeksploitasi bahan tambang dan mineral (sumberdaya tak dapat pulih) harus melaksanakan cara-cara yang tidak merusak lingkungan (tidak merusak tatanan dan fungsi ekosistem pesisir dan lautan), sehingga tidak mematikan kelayakan usaha (viability) sektor pembangunan (ekonomi) lainnya. Selain itu, keuntungan (economic rent)
dari usaha
pertambangan tersebut sebagian hendaknya diinvestasikan untuk mengembangkan bahan (sumberdaya) substitusinya
dan
kegiatan-kegiatan
ekonomi yang
31 berkelanjutan (sustainable economic activities). Idealnya laju pemanfaatan sumberdaya tidak dapat pulih diatur sedemikian rupa, sehingga sebelum sumberdaya ini habis, sudah ditemukan bahan substitusinya. Keempat, limbah yang dibuang ke lingkungan pesisir dan lautan, maka jenis limbahnya bukan yang bersifat B3 (Bahan Berbahaya Beracun), seperti logam berat dan pestisida, tetapi jenis limbah yang dapat diuraikan di alam (biodegradable) seperti limbah organik dan unsur hara. Meski demikian, laju pembuangan limbah yang dapat terurai tersebut, tidak melebihi kapasitas asimilasi (assimilative capacity) lingkungan pesisir dan lautan. Kelima, manakala kita memodifikasi bentang alam pesisir dan lautan untuk membangun dermaga
(jetty),
pemecah gelombang (breakwaters),
pelabuhan, hotel, anjungan minyak (oil rigs) dan infrastruktur lainnya, maka harus menyesuaikan dengan karakteristik dan dinamika alamiah lingkungan pesisir dan lautan, seperti pola arus, pasang surut, sifat geologi dan geomorfologi (sediment budget), serta sifat biologis dan kimiawi, sehingga tidak mengganggu tatanan dan fungsi ekosistem. Dengan kata lain, pembangunan kawasan pesisir dan laut harus sesuai dengan kaidah-kaidah alam (design and construction with nature) (Mc.Harg, 1969). II.11.2.
Dimensi Ekonomi
Dimensi ekonomis dan dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan sebenarnya merepresentasikan permintaan (demand side) manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah termaksud. Permintaan tersebut tidak hanya dari penduduk yang bermukim di wilayah pesisir dan lautan yang sedang kita kelola melainkan dapat pula berasal dari penduduk luar, seperti kabupaten, propinsi, bahkan negara lain (untuk pasar ekspor). Pembangunan berkelanjutan dari perspektif sosial-ekonomi adalah bagaimana kita mengelola agar permintaan agregat (total demand) terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tersebut tidak melampaui kemampuan wilayah pesisir dan lautan untuk menyediakannya. Implikasinya adalah kita harus mengusahakan peningkatan daya dukung lingkungan wilayah pesisir dan laut melalui penerapan Iptek yang tepat dan benar. Pada saat yang sama, kita pun harus mengendalikan permintaan agregat manusia akan sumberdaya alam dan
32 jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan melalui pengendalian jumlah penduduk, pengendalian
(optimalisasi)
tingkat
konsumsi/pemanfaatan
sumberdaya
alam/kapita, mekanisme pasar dan kebijakan serta program pemerintah (government interventions) secara proporsional. Agar
kebijakan,
program,
dan
kegiatan
pembangunan
untuk
memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, termasuk yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, dapat dikendalikan sesuai dengan daya dukung lingkungan untuk menyediakannya (sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan), maka diperlukan reorientasi konsep ekonomi konvensional (ekonomi neoklasik) yang selama ini menjadi dasar pembangunan ekonomi di hampir seluruh negara-negara di dunia. Reorientasi tersebut terutama mencakup tiga aspek (1) Hubungan antara barang modal dan pembangunan ekonomi Konsep pembangunan berkelanjutan mengenal empat macam barang modal yang menentukan pembangunan ekonomi (kemajuan dan kemakmuran), yaitu: (a) barang modal buatan, (b) sumberdaya alam, (c) sumberdaya manusia, dan (d) modal sosial. Barang modal buatan (manufactured capital) mencakup benda buatan manusia, seperti kapal, tambak, dan lainnya. Dalam konsep ekonomi konvensional, sumberdaya alam (natural capital) hanya berupa lahan, tetapi dalam konsep pembangunan berkelanjutan, sumberdaya alam berupa ekosistem di alam (seperti lahan, air bersih, kayu hutan, ikan, dan mineral) beserta segenap fungsi lingkungan {environmental functions) yang terkandung di dalamnya. Human
capital
(sumberdaya
manusia)
berupa
pendidikan
dan
keterampilan/keahlian (skills) yang dimiliki oleh individu manusia. Modal sosial adalah pengetahuan (knowledge) dan aturan main (rules) yang berkembang di dalam budaya dan kelembagaan suatu masyarakat, seperti sistem hukum, adat istiadat, dan hak kepemilikan (property rights). Selanjutnya paradigma pembangunan
berkelanjutan
menganjurkan
agar
barang
modal
tersebut
dimanfaatkan secara lestari dan dipelihara pada tingkatan (level) yang mampu menunjang kesejahteraan umat manusia dengan mernperhatikan ekosistem alam. Konsep ekonomi konvensional memperlakukan barang modal buatan dan sumberdaya alam sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat saling menggantikan (fully substitutable) (Costanza dan Daly 1992). Pengertian ini menyatakan bahwa
33 tidak ada alasan untuk mengkonservasi sumberdaya alam, sepanjang hasil dari pemanfaatan sumberdaya alam dapat memperbesar barang modal dengan nilai finansial lebih besar. Hal tersebut sama dengan pengurasan (depletion) nilai sumberdaya alam yang dimiliki suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Misalnya anggapan bahwa pemerintah berhak untuk membabat habis hutan mangrove, menguras sumberdaya ikan, dan mereklamasi terumbu karang, sepanjang hasil dari semua kegiatan ini dapat diinvestasikan kembali untuk pembangunan. Untuk memperbaiki teori ini, pembangunan berkelanjutan menawarkan alternatif pemecahan, yaitu: a weak sustainability approach dan a strong sustainability approach. Pendekatan keberlanjutan lemah (a weak sustainability approach) membolehkan
pemanfaatan
atau
pengurasan
sumberdaya
alam,
asalkan
keuntungan dari aktivitas ekonomi, diinvestasikan kembali dalam kegiatankegiatan ekonomi yang berkelanjutan atau barang-barang yang terpulihkan (reproducible capital) (Hartwick 1977; Solow 1986). Syarat dalam pendekatan ini adalah nilai total dari manufactured capital dan natural capital tetap konstan sepanjang masa. Nilai tersebut diperoleh melalui penghitungan menyeluruh dari pengurasan sumberdaya alam (a full accounting of natural capital depletion) (Serafy 1993). Sementara pendekatan keberlanjutan kuat (a strong sustainability approach) menganggap daya substitusi tersebut bersifat terbatas tetapi saling melengkapi, sehingga dapat digunakan secara sinergis. Namun untuk sumberdaya alam yang vital (critical natural capital), seperti daerah pemijahan ikan dan sumber air bersih, hampir tidak dapat disubstitusi dengan barang modal buatan. Pendekatan ini juga meyakini bahwa ada semacam batas terhadap pertumbuhan skala ekonomi makro. Dengan pengertian bahwa sistem (pembangunan) ekonomi tidak mungkin tumbuh terus melampaui batas-batas yang ditentukan sesuai kemampuan regenerasi ekosistem alam. Oleh karena itu, syarat minimal (a minimum necessary condition) bagi kelestarian sumberdaya alam, yaitu untuk sumberdaya dapat pulih maka tingkat pemanfaatannya tidak boleh melebihi potensi lestari (sustainable yield)-nya. Sedangkan untuk sumberdaya tak dapat pulih adalah hasil pemanfaatan sumberdaya ini, diinvestasikan kembali pada usaha-usaha yang menghasilkan subtitusi berupa sumberdaya dapat pulih. Pendekatan ini
34 menyarankan untuk mengimplementasikan program-program: penggunaan energi non-petroleum (seperti energi surya, angin, pasang-surut, dan OTEC); pertanian organik; pengendalian/pembatasan jumlah penduduk; pembatasan konsumsi (moderate consumption); dan keadilan global (international equity) (Dahuri et al .1996).
(2) Keadilan Antar Generasi (Intergenerational equity) Keberlanjutan menurut konsep pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai keadilan antargenerasi yang menjamin bahwa generasi mendatang memiliki warisan barang modal buatan, sumberdaya alam, human capital, dan social capital, dengan kondisi yang paling tidak sama dengan yang dimiliki generasi sekarang. Hal tersebut sukar dicapai, jika proses perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan hanya berdasarkan pada konsep ekonomi konvensional (teori ekonomi neoklasik). Ekonomi neoklasik mendefinisikan keberlanjutan sebagai maksimalisasi kesejahteraan manusia, yang diidentikan dengan maksimalisasi manfaat dari aktivitias konsumsi atau pemanfaatan sumberdaya alam. Indikator kinerja yang digunakan hanya berupa satu indikator tunggal (a measurable single-dimensional indicator). Dalam ekonomi makro, biasanya berupa PDB (Produk Domestik Bruto) atau Gross National Product (GNP). Sedangkan dalam ekonomi mikro berupa NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), atau B/C (Benefit and Cost) Ratio yang dikenal sebagai analisis manfaat dan biaya (cost-benefit analysis). Dalam analisis manfaat dan biaya, suatu kegiatan pembangunan pada umumnya dinilai menggunakan discount rate, yang nilainya sama dengan nilai tingkat suku bunga (interest rate) yang berlaku pada saat dilakukan analisis. Semakin besar nilai discount rate yang digunakan berarti nilai sumberdaya alam di masa depan dianggap semakin rendah. Contohnya, dengan discount rate 10%, maka nilai uang US$ 72 saat ini sama dengan US$ 1 juta pada seratus tahun yang akan datang. Karenanya hampir semua kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam bersifat mencari keuntungan jangka pendek, tanpa mengindahkan kelestarian sumberdaya alam. Jika ingin pembangunan ekonomi berlangsung secara berkelanjutan (on a sustainable basis), maka perlu penyempurnaan kriteria analisis kelayakan
35 kegiatan pembangunan. Penyempurnaan tersebut dapat ditempuh melalui berbagai pendekatan. Pertama adalah penggunaan discount rate serendah mungkin, jika perlu nol persen untuk kegiatan-kegiatan pembangunan yang menyangkut pemnfaatan sumberdaya alam. Kedua dengan cara memasukkan kerusakan lingkungan dan kerugian sosial sebagai komponen biaya dalam analisis manfaat dan biaya. Meski masih mengandung sejumlah kelemahan, namun sudah tersedia teknik untuk menghitung nilai moneter atribut dan fungsi-fungsi lingkungan dari ekosistem alam. Teknik tersebut dikenal sebagai valuasi ekonomi (economic valuation) (Costanza et al., 1997). Ketiga adalah menerapkan prinsip kehatihatian (precautionary principles) untuk kegiatan pembangunan yang dampak negatifnya terhadap ekosistem alam sangat signifikan atau tidak terpulihkan atau dampaknya terhadap ekosistem alam dan kehidupan manusia belum dapat diprediksi. Untuk kegiatan pembangunan semacam ini sebaiknya ditunda. (3) Green accounting dan genuine saving Indikator yang selama ini digunakan dalam mengevaluasi kemajuan ekonomi suatu negara hanya berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi (GDP dan GNP) atau pada aspek pendidikan dan kesehatan saja yang berupa HDI (Human Development Index, tanpa memasukkan indikator kelestarian lingkungan. Akibatnya sebagian besar perencana dan pelaksana pembangunan saat ini hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, tetapi kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Apabila kerangka berfikir semacam ini diteruskan, maka pembangunan berkelanjutan tidak akan mecapai hasil yang optimal. Oleh karena itu, perlu perbaikan kriteria atau cara-cara kita menilai kemajuan ekonomi dari segi makro ekonomi. Penyempurnaan dimaksud dapat ditempuh melalui tiga cara (Harris 2003). Pertama dengan cara mengoreksi statistik pendapatan nasional dan daerah, yaitu dengan
memasukkan
pengurangan
sumberdaya
alam
(natural
capital
depriciation) ke dalam perhitungan GNP, GDP, atau PDRB. Instrumen ini cocok diterapkan untuk sumberdaya yang mudah dihitung valuasi ekonominya. Pendekatan ini menimbulkan implikasi signifikan terhadap kebijakan perdagangan dan makro ekonomi suatu negara, terutama yang bergantung pada ekspor sumberdaya alam. Hal ini disebabkan pengurangan sumberdaya alam dimasukkan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan statistik pendapatan nasional atau
36 daerah. Kedua dengan menyusun satellite accounts yang menghitung semua stok dan fungsi lingkungan dalam bentuk fisik, tanpa mengkonversikan ke dalam nilai uang, kemudian ditambahkan ke dalam statistik pendapatan nasional atau daerah (Lange dan Duchin, 1993). Satellite accounts ini menyajikan gambaran yang lebih lengkap tentang kondisi lingkungan hidup dan kekayaan sumberdaya alam. Ketiga dengan
penghitungan
genuine
saving,
yang
memasukkan
pengurangan
sumberdaya alam sebagai akibat dari pembangunan ekonomi, dalam penghitungan statistik pendapatan negara atau daerah. Pendekatan ini mengungkapkan sesuatu yang seolah-olah sebagai keberhasilan pembangunan, tetapi sebenarnya telah menimbulkan kerusakan sumberdaya alam yang dahsyat, dalam beberapa kasus bahkan menghasilkan "a net negative genuine saving rate" (Dahuri et al. 1996). II.11.3.
Dimensi Sosial
Wujud pembangunan berkelanjutan di suatu wilayah, berdasarkan dimensi sosialnya dicirikan oleh terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha seluruh anggota masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, adanya kesetaraan gender, terjadinya partisipasi dan akuntabilitas politik. Menurut Haq (1995) perspektif sosial dari pembangunan berkelanjutan berkembang dari konsep capabilities, functioning, endowments dan entitlements. Hal ini menunjukan bahwa program-program pendidikan, kesehatan dan gizi masyarakat merupakan representasi dari investasi di bidang sumberdaya manusia yang akan produktif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu Amartya Sen berpendapat pentingnya pergeseran dalam penekanan dari incomes kepada outcomes, dari pertumbuhan pendapatan per kapita kepada perbaikan kualitas kehidupan yang lebih baik. Kedua school of thought ini kemudian membentuk paradigma pembangunan manusia yang dikembangkan oleh UNDP pada tahun 1980-an. Salah satu aspek terpenting penyempurnaan paradigma pembangunan manusia adalah dalam perlakuannya terhadap isu-isu lingkungan. The World Commision on Environment and Development menempatkan kemiskinan dan lingkungan sebagai hubungan sebab akibat dimana kemiskinan merupakan sebab utama dari kerusakan lingkungan.
37 Selanjutnya Chambers dalam Dahuri (2002) menyatakan
bahwa
sustainable development harus dimulai pertama dan utamanya dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan memberdayakan masyarakat miskin. Chambers lebih lanjut menyatakan bahwa " the solution, is to ensure that the poor have adequate command over resources, rights, and livelihoods. For the poor, secure property are essential to the stabilization of ecosystems". Disinilah letak pentingnya konsepsi entitlements dan endowments dari Amartya Sen dalam kerangka pemikiran dan pelaksanaan sustainable development. Dengan demikian dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pentingnya pengembangan kebijakan dan program-program yang berorientasi langsung kepada kebutuhan dasar manusia; pemenuhan dan perlindungan kepada masyarakat miskin; kesetaraan gender; pengembangan hak dan kepemilikan masyarakat terhadap sumberdaya; dan terjadinya partisipasi dan akuntabilitas politik. Tanpa adanya kebijakan dan program tersebut maka pembangunan berkelanjutan akan berakhir pada kegagalan sebagaimana juga yang terjadi pada model pembangunan yang berorientasi hanya kepada pertumbuhan saja. Perwujudan langsung dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan ini setidaknya tercermin dari hal-hal sebagai berikut.: •
Pertama, investasi yang signifikan pada bidang pendidikan, kesehatan, dan pelatihan sumberdaya manusia.
•
Kedua, mendorong terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan masyarakat.
•
Ketiga, adanya kebijakan dan program yang menciptakan kesetaraan gender. Beberapa hasil studi menunjukan adanya hubungan yang positif antara ketidaksetaraan gender dengan tingkat kemiskinan masyarakat. Keadaan ini merupakan fenomena yang lazim dalam kehidupan masyarakat agraris di dunia ketiga, khususnya masyarakat nelayan. Peran dan kedudukan sosial ini selanjutnya menempatkan perempuan di masyarakat nelayan pada kehidupan domestik dan ternyata memiliki fungsi
strategis
dalam
kehidupan
ekonomi
dan
sosial,
yakni
bertanggungjawab dalam kesejahteraan keluarga. Persoalan lemahnya
38 kualitas SDM nelayan yang terjadi sepanjang ini, sejatinya tidak lepas dari lemahnya kedudukan sosial perempuan nelayan dalam masyarakat. •
Keempat, terdapat dan berkembangya partisipasi masyarakat dan akuntabilitas politik. Partisipasi masyarakat akan memberikan dua manfaat dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yaitu: (a) menjamin adanya rasa memiliki terhadap program-program yang dilaksanakan, (b) menjamin bahwa masyarakat yang akan memperoleh manfaat dari program-program yang dilaksanakan tersebut Dalam kerangka lebih luas lagi maka demokrasi merupakan elemen yang harus ada dalam pembangunan berkelanjutan.
39 III.
METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Kerangka Pemecahan Masalah Wilayah pesisir merupakan sebuah ekosistem yang memiliki fungsi sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, penyedia jasa lingkungan, penyedia sumberdaya dan tempat pembuangan limbah. Wilayah pesisir terdiri dari daratan dan laut. Bagian laut mengandung sumberdaya yang sangat beragam seperti perikanan dan energi, sedangkan bagian darat yang terdiri atas tanah memiliki potensi sumberdaya berdasarkan pemanfaatannya, seperti untuk pertanian, perkebunan atau yang lainnya. Tanah yang sudah dimanfaatkan biasa disebut lahan. Lahan di wilayah pesisir sangat rentan terhadap perubahan. Perubahan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan degradasi terhadap ekosistem wilayah pesisir. Untuk itu pengelolaannya perlu dilakukan secara hati-hati agar tercapai pengelolaan yang berkelanjutan. Dalam mengelola suatu lahan, perlu diingat fungsi dari lahan tersebut. Secara umum, fungsi pokok wilayah pesisir dapat diklasifikasikan berdasarkan manfaatnya, yaitu manfaat ekologis, ekonomi dan sosial. Manfaat ekologis lahan di wilayah pesisir adalah lestarinya ekosistem di wilayah pesisir sehingga sumberdaya alam yang ada dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Manfaat ekonomi merupakan manfaat yang paling dirasakan
karena wilayah pesisir dapat memberikan produktivitasnya bagi berbagai aktivitas perekonomioan masyarakat. Manfaat sosial lahan wilayah pesisir adalah tersedianya sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir yang berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat pesisir. Setiap ekosistem alami wilayah pesisir memiliki empat fungsi pokok bagi manusia, yaitu sebagai penyedia jasa-jasa lingkungan, jasa-jasa kenyamanan, sumberdaya alam dan sebagai penerima limbah. Dimana kemampuan dua fungsi yang pertama sangat tergantung pada dua fungsi yang terakhir, ini berarti bahwa jika kemampuan dua fungsi terakhir dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan dan penyedia jasa kenyamanan diharapkan dapat tetap terpelihara. Idealnya, agar tercipta pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan, penggunaan lahan tidak sepenuhnya diperuntukan sebagai zona pemanfaatan tetapi juga diperuntukan
40 sebagai zona preservasi dan konservasi. Peruntukan lahan yang sesuai dengan potensinya secara ekologis, dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup sumberdaya yang terdapat di dalamnya. Hal ini menunjukkan manfaat ekologis dalam pengelolaan wilayah pesisir. Pada dasarnya lahan mempunyai fungsi yang dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung penggunaan lahan di wilayah pesisir bersumber dari sumberdaya di dalamnya yang dapat langsung dieksploitasi. Sedangkan manfaat tidak langsung berasal dari pengaruh ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir terhadap lingkungan sekitar, namun hasilnya tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia. Seperti fungsi kawasan hutan mangrove sebagai tempat pemijahan bagi ikan-ikan serta dapat melindungi lahan dari abrasi pantai dan sebagainya. Terjadinya perubahan penggunaan lahan akan sangat bermempengaruhi pada keberlangsungan kehidupan manusia beserta sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Seringkali perubahan penggunaan lahan menggunakan lahan-lahan produktif untuk penggunaan yang kurang produktif. Bahkan sering perubahan penggunaan menimbulkan kerusakan ekosistem karena berubahnya kondisi fisik lahan. Kondisil ini terjadi bila aspek kesesuaian penggunaan lahan secara ekologis tidak terperhatikan. Analisis terhadap aspek ekologis dan ekonomi yang saling berkaitan perlu untuk dilakukan agar sumberdaya lahan yang ada dapat digunakan secara lebih optimal dan efisien serta berkelanjutan. Analisis aspek ekologis memperhatikan faktor kesesuaian lahan dan daya dukung untuk perubahan penggunaan lahan. Sedangkan analisis ekonomi dilakukan dengan perhitungan Total Economic Value (TEV). Analisis ini berfungsi untuk menilai perubahan penggunaan lahan yang optimal di wilayah pesisir Kecamatan Muara Gembong. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan dalam perencanaan penggunaan lahan secara optimum dan berkelanjutan.khususnya dalam penetapan kebijakan penggunaan lahan di wilayah pesisir, seperti di wilayah pesisir Kecamatan Muara Gembong.
41 III.2. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi Propinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipertimbangkan dengan alasan banyaknya lahan mangrove yang terkonversi menjadi tambak ikan dan udang. Konversi tersebut diakibatkan nilai ekonomis lahan tambak yang lebih tinggi dari nilai ekonomis lahan mangrove, sehingga lahan cenderung dikonversi. Akibatnya, luas lahan mangrove di Kecamatan Muara Gembong menjadi berkurang. Pengaruh yang signifikan dapat dilihat dari perubahan mata pencaharian masyarakat Muara Gembong. Penduduk yang dulunya bekerja sebagai pengumpul ikan dan kepiting di hutan mangrove, sekarang berubah menjadi pengelola hasil tambak. Penelitian ini akan mencoba menganalisis total economic value dari konversi lahan yang terjadi di Muara Gembong dan mencari pola penggunaan lahan yang optimal bagi daerah ini. III.3. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi) dan wawancara kepada responden dan wawancara langsung dengan tokoh yang mengetahui permasalahan yang dikaji (secara indepth interview). Sedangkan data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan literatur dari instansi–instansi terkait seperti data statistik pemerintah daerah Bekasi, BPS (Biro Pusat Statistik), BAPPEDA dan Propinsi Jawa Barat, serta peta. Peta yang akan digunakan diantaranya adalah peta tematik yang akan diperoleh dari (BPN) Badan Pertanahan Nasional dan BAKOSURTANAL serta lembaga-lembaga yang pernah mengkaji wilayah pesisir Kecamatan Muara Gembong, peta penggunaan lahan Kecamatan Muara Gembong tahun 2000 serta peta-peta tematik untuk kesesuaian lahan.
42
Pola Penggunaan Lahan Di Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi Overlay peta tematik dan tabulasi data
Penggunaan Lahan : - Peningkatan penggunaan lahan tambak - Peningkatan pengunaan lahan Mangrove - Peningkatan lahan pemukiman pada kawasan pinggiran sungai dan mangrove - Terjadinya penurunan lahan sawah, tegalan -
Efisiensi Penggunaan Lahan (metode DEA) Analisis Maksimal Produktivitas
Analisis Ekologi Analisis Optimalisasi Analisis Ekonomi Analisis Degradasi Lahan
Opsi Pola Penggunaan Lahan yang Optimal
Perkiraan Pola Penggunaan Lahan untuk 20 tahun ke depan
Masukan untuk kebijakan pengelolaan Lahan di wilayah pesisir
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 3. Kerangka Pemecahan Masalah
43 III.4. Pengolahan Data Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengolahan peta dengan cara overlay menggunakan program Geography Information System (GIS), serta tabulasi data dengan menggunakan program excel. Metoda overlay sering digunakan dalam menganalisis peta-peta tematik, yang dalam hal ini adalah untuk melihat perubahan penggunaan lahan serta kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan tambak dan sawah. Caranya adalah dengan menumpang susunkan peta yang memiliki skala yang sama dan tahun yang sama, tetapi masing-masing peta tersebut mempunyai tema yang berbeda. Metoda ini semakin berkembang setelah ditemukan program GIS dimana peta dirubah bentuknya menjadi digital (digitasi) untuk kemudian dianalisis dengan mengunakan program komputer, seperti ArcView dan ArcInfo. Metoda pengolahan data dengan menggunakan tabulasi adalah untuk menghitung data-data kuantitatif (misalnya jumlah, luas, dan produktivitas) sehingga dapat dibaca nilai maupun perubahannya. Pengolahan data kuantitatif dengan menggunakan tabulasi ini sangat penting untuk kemudian dilanjutkan dengan metoda analisa kuantitatif lebih lanjut yang menggunakan pendekatan model. III.5. Analisis Data Metode
analisis
yang
digunakan
didalam
penelitian
ini
dapat
dikelompokkan dalam dua bagian besar yaitu yang menyangkut aspek ekologis, dan aspek ekonomi. Analisis kedua aspek ini dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Cara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan model sedangkan analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif. Metode analisis yang menyangkut aspek ekologis adalah analisis tentang kesesuaian lahan, daya dukung lingkungan serta degradasi lingkungan. Sedangkan metode analisis yang menyangkut aspek ekonomi adalah analisis valuasi total ekonomi (Total Economic Valuation) yang mencakup pula perhitungan tentang Use Value, Future Value, dan Foregone Benefit.
44 III.5.1. Analisis Kesesuaian Lahan Berdasarkan FAO (1976) Sistem klasifikasi analisis kesesuaiaan lahan yang dipergunakan berdasarkan metode FAO, menurut Hardjowigeno (1996) didalam metode FAO dikenal 4 (empat) kategori system klasifikasi kesesuaiaan lahan yaitu : 1). Ordo 2). Kelas 3). Sub-Kelas 4). Unit, dimana ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, Sub-kelas untuk tanah semi detil, dan unit untuk pemetaan tanah detil, selanjutnya Hardjowigeno (1996) mengatakan jumlah kelas dalam ordo S (Suitable) dan N (Non Suitable) tidak terbatas tetapi jumlah kelas harus didasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran, didalam studi ini digunakan klasifikasi ordo, Analisis ini merupakan bagian dari daya dukung fisik lahan. Tujuan analisis ini adalah untuk melihat apakah kebijakan peruntukan lahan yang ditetapkan sudah sesuai dengan peruntukannya atau belum. Analisis ini dilakukan dengan melakukan tahapan berikut: (1) Metoda tumpangsusun (overlay) peta, (2) Pembobotan, (3) Skoring dan pengklasifikasian. Pada penelitian ini tidak semua jenis penggunaan lahan akan dianalisis kesesuaiannya. Penggunaan lahan yang akan dianalisis hanya penggunaan lahan yang banyak dan terdapat dalam jumlah yang banyak. Jenis penggunaan lahan yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah: (1) Penggunaan lahan untuk pemukiman (2) Penggunaan lahan sawah (3) Penggunaan lahan tegalan (4) Penggunaan lahan tambak (5) Penggunaan lahan mangrove Penyusunan matrik kesesuaiaan lahan pada wilayah pesisir barat Kabupaten Bekasi, akan dilakukan berdasarkan hasil identifikasi penggunaan lahan. Analisis tersebut dilakukan dengan berpedoman pada analisis kesesuiaan lahan dalam proyek LREP Harjowigeno et al. (1996) teknis penataan ruang daerah menggunakan kriteria kesesuaian dapat dilihat pada lampiran 1. Klasifikasi kesesuaian lahan didalam study ini dari tiga kelas untuk klasifikasi Sesuai (Suitable) dan dua kelas untuk klasifikasi tidak sesuai (Non Suitable) dengan defenisi sebagai berikut ini:
45 (1) Kelas S1 : Sangat Sesuai (High Suitable), lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari. Serta tidak akan menambah masukan dari yang biasa dilakukan dalam mengusahakan lahan tersebut. (2) Kelas S2 : Cukup Sesuai (moderately Suitable), lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembatasan tersebut akan mengurangi produksi lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan dalam mengusahakan lahan tersebut. (3) Kelas S3 : Sesuai Marginal (Marginally Suitable), lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk suatu penggunaan yang lestari . pembatas akan mengurangi produktifitas atau keuntungan dan perlu menaikkan masukan yang diperlukan. (4) Kelas N1 : Tidak Sesuai pada saat ini (Currently not suitable), lahan yang mempunyai pembatas sangat berat, sehingga tidak mungkin untuk diperbaiki, apalagi dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu secara lestari. (5) Kelas N2 : Tidak Sesuai untuk selamanya (Permanently not Suitable) lahan mempunyai pempunyai pembatas permanent yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Pembobotan adalah pemberian bobot bagi setiap faktor pembatas, misalnya lereng memiliki nilai lebih sebagai faktor pembatas bagi perumahan daripada untuk lahan sawah. Sedangkan skoring adalah penilaian faktor pembatas terhadap evaluasi kesesuaian lahan, misalnya lereng dengan kemiringan tertentu dalam penggunaan lahan sawah termasuk dalam kelas 2 (dua) atau termasuk dalam kelas S2. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara menumpang susunkan peta tematik. Sedangkan untuk Pemukiman Klasifikasi kesesuaiaan lahan berdasarkan USDA 1983 membagi menjadi 3 klasifikasi dengan klasifikasi Baik, Sedang dan Buruk.
46 III.5.2. Analisis Total Economic Value (TEV) Total Economic Value (TEV) merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan (Use Value = UV) dan nilai non-pemanfaatan (Non-Use Value = NUV). Nilai pemanfaatan adalah jumlah dari nilai pemanfaatan langsung (Direct Use Value = DUV) dan nilai pemanfaatan tidak langsung (Indirect Use Value = IUV). Sementara nilai non-pemanfaatan adalah jumlah dari nilai future value (Future Value = FV) dan (Forgone Benefit = FB). Dengan demikian Nilai Ekonomi Total (TEV) dapat dituliskan sebagai berikut (Pearce 1994):
TEV = UV + NUV = (DUV + IUV ) + (FV + FB ) ...…..(1)
Total Economic Value
Use Value
Direct Use Value
Non Use Value
Indirect Use Value
Future Value Foregone Benefit
Gambar 4 Kerangka Analisis Total Economic Valuation
Use Value. Penggunaan pendekatan Total Economic Value perlu melakukan identifikasi use value (nilai guna) dan non use value (nilai non guna) dari berbagai tipe lahan yang ada di wilayah pesisir Kecamatan Muara Gembong. Nilai guna lebih bersifat aktif,
47 sedangkan nilai non guna bersifat pasif. Nilai guna dapat diperkirakan langsung dari konsumsi atau produksi, yaitu penentuan harga dalam transaksi pasar. Nilai ini dapat dikelompokkan menjadi nilai guna langsung (direct use value) dan nilai guna tidak langsung (indirect use value). Nilai guna langsung adalah nilai yang dibayarkan oleh orang yang secara langsung menggunakan dan mendapatkan manfaat dari lahan tersebut. Sedangkan nilai guna tidak langsung adalah nilai guna fungsi pendukung terhadap nilai guna langsung dari lahan yang ada. Berdasarkan pada sisi manfaat (benefit based) dari penelitian ini maka perlu untuk mengkuantifikasi perubahan penggunaan lahan ke dalam nilai uang. Untuk melakukan penilaian berdasarkan nilai pasar aktual dapat menggunakan beberapa metode, diantaranya adalah metode: (1) Nilai pasar : Merupakan nilai yang diperoleh dari hasil penggunaan lahan tertentu, misalnya hasil dari lahan sawah. Penilaian dilakukan berdasarkan analisis keuangan. Nilai yang diperoleh merupakan nilai nominal yang berlaku saat penelitian diadakan. (2) Nilai yang hilang (Foregone Earing) : Pendekatan ini menggunakan harga pasar dan tingkat upah. Tujuannya adalah untuk menilai sumbangan suatu kegiatan penggunaan lahan tertentu terhadap masyarakat. Future value Future value merupakan kebalikan nilai yang sekarang, Pada penilaian harga sekarang harga yang berlaku merupakan patokan, sedangkan dalam masa akan datang nilai yang dipakai adalah nilai akhir dari nilai proyeksi, Untuk kurun waktu 10 tahun, dapat nilai pada tahun yang ke- 10 yang dipakai sebagai indikator dasar. Persamaan untuk future value disajikan pada persamaan (2) FV = (1 + r ) V …..................................................... …(2) Dimana : FV
=
r
= Rata-rata pertahun
V
= Nilai pada tahun terakhir.
Future Value
48
Foregone Benefit. Foregone Benefit merupakan manfaat yang dibatalkan atau dengan kata lain merupakan dampak negatif yang diakibatkan konversi lahan terhadap keuntungan yang seharusnya diperoleh masyarakat yang dibatasi sebagai . FB = PNR − RAU .................................................. …(3)
Dimana : FB
= Foregone Benefit
PNR
= Potencial Net Revenue
RAU = Revenue of Alternative Uses
III.5.3. Analisa Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV).
Menurut Kadaria et al., (1978) untuk
menentukan NPV harus ditetapkan terlebih dahulu discount rate yang digunakan untuk menghitung nilai saat ini dari manfaat dan biaya. Apabila usaha yang ditangani adalah untuk kepentingan masyarakat dalam arti luas, maka yang dipakai adalah
the opportunity cost of capital. Artinya manfaat yang hilang
karena modal dipakai untuk suatu usaha. Adapun yang dimaksud dengan manfaat yang hilang adalah pada penggunaan yang paling penguntungkan yang belum terpenuhi. n
NPV =
Bt − C t
∑ (1 + r )
t
………………………………. (4)
t =1
Dimana : Bt = Benefit unit usaha pada tahun ke t Ct = Cost unit usaha pada tahun ke t n = umur ekonomis r
= discount rate
t
= 0, 1,2,3, …… tahun ke n
III.5.4. Analisis Simulasi Optimalisasi Untuk mengetahui tingkat penggunaan lahan yang optimal, maka dilakukan analisis optimalisasi. Model ini disebut model optimalisasi, dimana tujuan optimalisasi ini diarahkan untuk memperoleh manfaat ekonomi (total
49 ekonomi value) yang sebesar-besarnya dengan alokasi lahan yang optimal. Di
dalam penghitungan optimalisasi dilakukan pendekatan future value, hal ini mengingat pentingnya penekanan terhadap nilai mendatang karena jika menggunakan present value kita hanya melihat kepada kondisi sekarang saja. Di dalam analisis model ini, kondisi existing penggunaan lahan merupakan faktor kendala (Constraint). Luas lahan adalah tetap, sementara penggunaan lahan sangat beragam. Model optimalisasi berupaya mencari seberapa besar perubahan lahan dalam luasan tersebut yang dapat ditolerir sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang maksimum. Analisis dilakukan pada lahan-lahan konservasi dan budidaya. Dengan model optimalisasi luas lahan didapat alokasi optimal pada setiap peruntukannya, model optimalisasi tersebut akan dipecahkan melalui persamaan dibawah ini: TP = NRij ∗ H ij ..................................................... …(5)
Dimana: TP
= Total Profit
NRij
= Net Revenue dari tipe lahan ke-i dan pilihan penggunaan lahan ke-j
Hij
= Alternatif penggunaan lahan ke-i dan potensial penggunaan lahan ke-j
i
= 1,……..n (Existing penggunaan lahan)
j
= 1,……..n (Alternatife penggunaan lahan)
NRij = ∑ Pk Qk − ∑ Ci .............................................. …(6) Dimana : NRij
= Total Revenue dari tipe lahan ke-i dan pilihan penggunaan lahan ke-j
P
= Harga Pasar
Q
= Quantitas Produksi
C
= Cost
k
= 1,….n ( Comodity lahan )
Kendala: H1j….Hnj
=
Hi1…..Hin =
Luas lahan yang tersedia Batasan Daya Dukung lahan
50
Perubahan Nilai Lahan : ∆NBt = NBt −1 − NBt +1 .............................................. …(7)
f (Pt , H t , Ct ) − f (Pt −1 , H t −1 , Ct −1 )
∆NBt =
δ
................. …(8)
Dimana NB = Net Benefit
δ
= Discount Rate (Tingkat Suku Bunga)
P
= Price
C
= Cost
III.5.5. Data Envelope Analysis (DEA) Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam pengelolaan lahan, perlu dilakukan langkah-langkah efisiensi, untuk itu perlu dilakukan penilaiaan efisiensi didalam penggunaannya. Pengukuran efisiensi tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Keterbatasan efisiensi tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA, dimana efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. Oleh karena itu, didalam DEA efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relative efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan berikut:
max Em
∑w y = ∑v y i
ij m
k
kj m
i
................................................. ....(9)
k
Dengan Kendala
∑w y ∑v y
i ij m
i
k
kj m
k
wi , , vk ≥ ε
≤ 1 untuk setiap unit ke j
51 Keterangan : E
= Efisiensi Frontier
y
= Output
w,v = Nilai bobot dari Unit Pemecahan masalah pemograman matematis diatas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum, sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah keefisiensi relative terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai lebih kecil dari 1, unit lain dikatakan lebih efisien relative terhadap unit, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimalkan unit m. Salah satu kendala dari pemecahan persamaan diatas adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit di pecahkan melalui pemograman linier. Namun , dengan melakukan linieritas, persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan linier. Sehingga pemecahan melalui pemograman linier dapat dilakukan. Linierisasi persamaan diatas menghasilkan persamaan berikut.
max Em = ∑ wi yij m ................................................. (10) j
Dengan Kendala
∑v x
=ϖ
∑w y
− ∑ vk xkjm ≤ 1
k kj m
i ij m
k
wi , vk ≥ ε
Hasil analisis DEA tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk grafis yang disebut dengan efficiency frontier, terdiri dari enam unit yang menghasilkan dua jenis output y1 dan y2.
III.5.6. Analisa Degradasi Sumberdaya Lahan Menurut Fauzi dan Anna (2004), Degradasi dapat diartikan penurunan kualitas /kuantitas sumberdaya alam dapat diperbaharui (dalam bentuk fisik), dimana sumberdaya alam yang dapat diperbaharui ini berkurang kemampuan alaminya dalam beregenerasi sesuai kapasitas produksinya. keadaan ini bisa disebabkan karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia, Fauzi dan Anna (2004) juga mengatakan kebanyakan degradasi yang terjadi di
52 wilayah pesisir dan laut Indonesia akibat aktivitas produksi, penangkapan dan eksploitasi serta aktivitas non produksi, seperti pencemaran akibat limbah domestik maupun industri. Untuk melakukan perhitungan degradasi, analisis lebih mengarah kepada lahan ekonomis yang dilihat dari sisi aspek penggunan lahan pemukiman dan dari sisi aspek lahan Budidaya yang meliputi lahan sawah, tambak, tegalan. Untuk menghitung degradasi lahan menggunakan keseimbangan lahan dan unit rent dari lahan dengan menggunakan formula sebagai berikut :
φ
t
=
1 1+ e
Q Qt
........................................................... (11)
Dimana Ø
= Degradasi
Q
= Produktivitas rata-rata lahan / ha
Qt
= Produksi pada tahun
III.5.7. Model Simulasi Degradasi Untuk memudahkan analisa degradasi maka dilakukan analisa secara model simulasi dengan menggunakan vensim. Adapun tujuan penggunaan template ini adalah untuk mempermudah pengguna dalam melakukan analisis sumber daya alam pesisir dan laut sehingga dapat lebih efisien baik dari segi waktu, ketelitian dan pola berfikir (system thinking) Penggunaan teknik simulasi melalui icon modeling dengan menggunakan software vensim digunakan karena alasan sebagai berikut : template ini bersifat fleksibel sehingga dapat bersifat adaptif manakala terjadi updating data dilokasi tersebut. Perhitungan degradasi lahan di wilayah pesisir mengalami modifikasi dari perhitungan basis, mengingat adanya perubahan peruntukan lahan ekonomis dan non ekonomis dalam simulasi template. Gambar berikut digambarkan keterkaitan lima variable stok yang mempengaruhi degradasi lahan yaitu : potensi lahan ekonomis, stok lahan ekonomi, penggunaan lahan pemukiman, kesuburan lahan dan perkembangan penduduk dan perkembangan penduduk. Sebagaimana terlihat pada gambar, laju degradasi lahan dihitung berdasarkan laju erosi lahan akibat penggunaan lahan ekonomi dan laju degradasi kesuburan lahan yang dipengaruhi
53 oleh kegiatan ekonomi dan kegiatan pertanian dan kegiatan non ekonomi seperti lahan pemukiman. perubahan laju degradasi lahan pada prinsipnya dipengaruhi oleh perubahan laju konversi dari potensi lahan ekonomi menjadi stok lahan ekonomi oleh pertanian dan laju konversi dari lahan ekonomi menjadi lahan pemukiman. laju konversi yang kedua ini akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir, pemanfaaatan lahan ekonomi seperti untuk pertanian, mau tidak mau akan mempengaruhi tingkat kesuburan lahan yang akan mempercepat proses laju degradasi melalui konversi kesuburan lahan dari berbagai aktivitas.
54
IV.
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
IV.1. Deskripsi Umum Wilayah yang dijadikan objek penelitian adalah kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Muara Gembong berjarak sekitar 100 km dari Ibukota Kabupaten Bekasi, sedangkan jarak dari Ibukota Propinsi Jawa Barat sekitar 225 km. Dilihat dari segi geografis, Kecamatan Muara Gembong terletak pada posisi 1070 10” BT dan 60 11” LS.
Sumber : Citra landsat (2000) Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi
55 Kecamatan Muara Gembong merupakan wilayah administratif Kabupaten Bekasi dengan batas-batas sebagai berikut: •
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
•
Sebelah Selatan dengan Kecamatan Cabangbungin
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Babelan
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan terluas di Bekasi.
Luas wilayah ini pada tahun 2000 adalah sebesar 13 310 hektar dengan 60% merupakan wilayah pantai. Pada wilayah tersebut terdapat 5 (lima) Desa dengan status definitive (mendagri), yaitu Desa Pantai Harapan Jaya, Pantai Bahagia, Pantai Bakti, Pantai Sederhana dan Desa Pantai Mekar. Kecamatan Muara Gembong merupakan salah satu wilayah pesisir yang mendapat tekanan cukup berat dalam pemanfaatan lahan Tekanan dalam pemanfaatan lahan di Kecamatan Muara Gembong diakibatkan oleh banyaknya aktifitas pembangunan di wilayah tersebut, sehingga menyebabkan laju pertumbuhan dan perubahan penggunaan lahan yang terjadi sangat cepat. Kondisi ini berkaitan dengan sumberdaya wilayah pesisir yang bersifat multisumberdaya (multi resources) dan multiguna (multiple uses).
IV.2. Keadaan Alam Umumnya lahan di wilayah Kecamatan Muara Gembong mempunyai topografi datar. Dimana sebagian besar wilayahnya adalah daerah yang memiliki ketinggian 0-5 meter diatas permukaan laut dengan permukaan tanah yang datar. Topografi yang datar dan berair menyebabkan derajat kemasaman tanahnya termasuk dalam kondisi masam. PH tanah di Kecamatan Muara Gembong berkisar antara 4.5-5.5. Rendahnya nilai pH tanah disebabkan kandungan ferit yang tinggi. Kecamatan Muara Gembong dilintasi oleh sungai Citarum dengan 4 (empat) anak sungai yang bermuara ke laut Jawa. Total luas sungai di Kecamatan Muara Gembon, pada tahun 2000 sebanyak 2.57% dari total luas wilayah.
56 Karakteristik sungai dan laut berwarna keruh atau kecoklatan terutama pada musim hujan. Suhu udara di Kecamatan Muara Gembong berkisar antara 29 0C – 34 0C dengan suhu rata-rata 320C. Curah hujan rata-rata 1 697 mm dengan curah hujan terbanyak terdapat antara bulan Januari - Februari. Angin musim barat bertiup dari arah utara atau pantai pada awal bulan Desember sampai dengan Februari. Musim ini dikenal dengan nama musim panceklik karena pada saat itu gelombang laut sangat tinggi, sehingga nelayan banyak yang tidak melaut.
IV.3. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan yang umum terlihat di Kecamatan Muara Gembong adalah lahan perikanan tambak yakni seluas 8 914 hektar atau sekitar 66.97 % dari luas wilayah Kecamatan Muaragembong. Penggunaan lahan yang juga mendapat porsi terbesar adalah penggunaan lahan sawah irigasi yaitu sebesar 15.7 % dari total luas wilayah. Jumlah lahan yang belum digunakan seperti hutan mangrove, yang dulunya merupakan lahan mayoritas didaerah Muara gembong sekarang tinggal hanya 398 hektar. Komposisi penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong pada tahun 2000, dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini: Tabel 2. Luas Wilayah Kecamatan Muara Gembong Berdasarkan Penggunaan Lahan Pada Tahun 2000 Penggunaan Lahan Luas (Ha) Hutan Mangrove 398 Pemukiman 399 Sawah Irigasi 2090 Tambak/Empang 8914 Tegalan 405 Lain-lain 1105 Total 13311 Sumber: Monografi Kecamatan Muaragembong, 2000 No 1 2 3 4 5 6
Persentase (%) 2,98 3,00 15,70 66,97 3,04 8,31 100
57
IV.4. Kependudukan Jumlah Penduduk Kecamatan Muara Gembong pada tahun 2000 adalah sebanyak 22 074 jiwa. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Desa Pantai Mekar yang terletak di tengah-tengah Kecamatan Muara Gembong. Sementara jumlah penduduk terkecil terdapat di Desa Pantai Sederhana. Sebaran jumlah penduduk tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Muara Gembong Per Desa tahun 2000 Jumlah Penduduk (Jiwa) 5 259
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) 1.42
Jumlah RumahTangga (KK) 1 216
Pantai Mekar
5 293
2.35
2 021
4.29
Pantai Sederhana
3 203
2.37
1 474
10.57
Pantai Bhakti
4 660
1.65
1 095
3.41
Pantai Bahagia
3 659
1.15
1 118
12.52
Total
22 074
-
6 924
46.09
Nama Desa Pantai Harapan Jaya
Rasio (Persen) 15..29
Sumber: Monografi Muara Gembong, tahun 2001
Angka kepadatan penduduk adalah rasio dari jumlah penduduk per luasan lahan. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Pantai Sederhana yaitu sebesar 2.37 jiwa per hektar. Angka tersebut menunjukkan bahwa Desa Pantai Sederhana merupakan wilayah yang paling padat penduduknya. Dari Tabel terlihat bahwa jumlah penduduk di Desa Pantai Sederhana adalah yang terendah. Tetapi meskipun jumlah penduduknya sedikit, luas wilayah Desa Pantai sederhana juga merupakan yang terkecil. Sebaliknya dengan Desa Harapan Jaya, meskipun jumlah penduduknya termasuk tinggi tetapi wilayahnya merupakan wilayah yang terluas. Hal tersebut menyebabkan tingkat kepadatan penduduk di Desa Harapan Jaya termasuk rendah. Jumlah rumah tangga di Kecamatan Muara Gembong adalah sebesar 6 924 KK. Jumlah rumah tangga terbanyak terdapat di Desa Pantai Mekar yaitu sebesar 2 021 KK. Hal tersebut sesuai dengan jumlah penduduknya yang terbanyak. Jumlah rumah tangga terkecil adalah sebesar 1 095 KK, terdapat di Desa Pantai Bakti. Jumlah rumah tangga pertanian adalah jumlah rumah tangga yang mata
58 pencaharian utamanya adalah bertani, termasuk di dalamnya petani tambak dan sawah. Dari Tabel terlihat bahwa hampir setengah dari rumah tangga yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Kondisi tersebut merupakan gambaran umum dari kondisi kependudukan di daerah pesisir, dimana persentase jumlah rumah tangga yang bermata pencaharian di bidang pertanian sangat tingggi. Jumlah rumah tangga pertanian terbanyak terdapat di Desa Pantai Harapan Jaya yaitu sebesar 1 059. Rasio merupakan perbandingan jumlah rumah tangga pertanian dengan jumlah rumah tangga per desa yang dinyatakan dalam persen.
IV.5. Mata Pencaharian Mata pencaharian merupakan suatu aktivitas dari suatu masyarakat dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hidupnya, misalnya: petani, pelayan, pegawai dan yang lainnya. Menurut data dari Perkumpulan Petambak yang ada di Muara Gembong, sebagian besar penduduk Kecamatan Muara Gembong mempunyai mata pencaharian sebagai petani tambak. Petani tambak di wilayah ini terbagi dua jenis, yaitu petani utama dan sambilan. Jumlah petani tambak menurut data dari monografi tahun 2000 adalah 10 194 orang atau 46.18% dari total jumlah penduduk di Kecamatan Muara Gembong (Tabel 3). Jenis mata pencaharian yang juga banyak terdapat di Kecamatan Muara Gembong adalah sebagai petani lahan sawah, yaitu sebesar 24.60% atau sama dengan 5 429 orang. Buruh pabrik, nelayan, pedagang dan buruh tani juga termasuk mata pencaharian yang banyak ditemukan di Kecamatan Muara Gembong. Jenis mata pencaharian yang juga banyak terdapat di Kecamatan Muara Gembong adalah sebagai petani lahan sawah, yaitu sebesar 24.60% atau sama dengan 5 429 orang. Buruh pabrik, nelayan, pedagang dan buruh tani juga termasuk mata pencaharian yang banyak ditemukan di Kecamatan Muara Gembong. Sementara peluang usaha-usaha lain sangat susah untuk dikembangkan karena letak wilayah pesisir ini sulit dijangkau ke pusat perekonomian melalui jalan darat, sedangkan transportasi laut yang tersedia masih sangat sederhana.
59 Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Muara Gembong Jumlah Penduduk (Orang) 1. Petani 5 429 2. Petani Tambak 10 194 3. Nelayan 2 141 4. Pedagang 895 5. Pegawai Negeri Sipil 131 6. ABRI 20 7. Buruh Pabrik 2 633 8. Buruh Tani 543 9. Buruh Bangunan 54 10. Pengajar 7 11. Penjahit 28 Total 22 074 Sumber: Monografi Kecamatan Muaragembong, 2001 No.
Jenis Mata Pencaharian
Persentase (%) 24.60 46.18 9.70 4.05 0.59 0.09 11.93 2.46 0.24 0.03 0.13 100.00
Mata pencaharian sebagai petani tambak banyak diminati oleh penduduk di Kecamatan Muara Gembong karena sarana dan prasarana yang terdapat di wilayah ini sangat mendukung, seperti kondisi wilayah, iklim dan jenis tanahnya. Faktor lain yang juga mendorong terbentuknya pertanian tambak adalah harga rata-rata dari budidaya tambak yang cukup tinggi. Tabel 5. Harga Rata-Rata Budidaya Tambak Jenis budidaya Variabel Harga Tertinggi (Rp/kg) Harga
Terendah
(Rp/kg) Harga (Rp/kg/thn)
Rata-rata
Ikan Bandeng
Udang Basah
20 222
21 667
(Februari)
(April)
16 245
19 981
(Desember)
(Desember)
17 667
20 924
Sumber : Harga konsumen beberapa kota di 43 kota Indonesia. 2002
60
IV.6. Pendidikan Tingkat kesadaraaan penduduk Kecamatan Muara Gembong terhadap arti pentingnya pendidikan cukup tinggi. Namun tingginya kesadaran akan pendidikan tersebut tidak ditunjang juga sarana dan prasarana pendidikan yang memadai seperti: sarana transportasi, jumlah sekolah, fasilitas sekolah dan sebagainya. Kecamatan Muara Gembong mempunyai sedikit sekali fasilitas pendidikan. Hal ini dilihat dari sarana transportasi yang sangat sulit dan minimnya jumlah sekolah lanjutan, sehingga penduduk Muara Gembong mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi terhadap tingkat sumberdaya manusia dikecamatan muara gembong, pengaruh lain yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan yang ada dikecamatan muara gembong adalah lambatnya respon masyakarat dalam hal menerima inovasi-inovasi baru dalam pengelolaan tambak. Tabel 6 memperlihatkan jumlah sarana pendidikan yang terdapat di kecamatan Muara Gembong.
Tabel 6. Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Muara Gembong Tahun 2000 Tingkat Pendidikan TK
Jumlah Sekolah -
SD/Madrasah Ibtidaiyah
15
SLTP/Madrasah Tsanawiyah
1
SLTA/Madrasah Aliyah
-
Sumber: Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah 2002
IV.7. Media Komunikasi dan Perhubungan Media Komunikasi yang ada di Kecamatan Muara Gembong masih sangat terbatas. Penduduk di Kecamatan Muara Gembong memperoleh informasi dari televisi dan radio. Media komunikasi lainnya yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong, yaitu koran dan majalah. Tetapi untuk mendapatkan koran atau majalah, penduduk harus pergi ke luar daerah seperti ke Cikarang dan Cilincing, karena di wilayah Muaragembong tidak terdapat agen atau penjual koran/majalah. Sementara untuk melakukan komunikasi jarak jauh penduduk di Kecamatan Muara Gembong menggunakan telephone. Namun jumlah telephone yang tersedia
61 masih sangat terbatas, yaitu telephone rumah 2 buah, kiosphone 2 buah dan telephone umum 1 buah. Sarana transportasi yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong terdiri dari dua jenis yaitu, transportasi darat dan laut. Sarana perhubungan laut adalah perahu motor yang berjumlah 22 perahu dan berlabuh di Cilincing. Sungai Citarum dan Laut Jawa menghubungkan Kecamatan Muaragembong dengan Cilincing dan Pantai Utara Jawa lainnya. Sarana transportasi darat yang umum terdapat di Kecamatan Muara Gembong adalah ojeg. Sementara transportasi darat antar kota yang terdapat hanya satu jenis angkutan yang dikenal dengan nama ELF. Untuk naik ELF penduduk Kecamatan Muara Gembong harus ke Terminal Cikarang dahulu. Minimnya sarana transportasi darat di Kecamatan Muara Gembong dikarenakan kondisi jalannya yang rusak berat.
62
V.
V.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong Pola penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong dalam kurun waktu
40 tahun telah mengalami perubahan yang cukup signifikan, hal ini ditunjukan oleh berubahnya daerah muara gembong yang mayoritas tanaman hutan mangrove menjadi lahan tambak. Sebagai daerah yang berada dipesisir Teluk Jakarta, yang dulunya difungsikan sebagai daerah konservasi, sekarang telah beralih fungsi sebagai sumber perikanan darat untuk daerah Jakarta, Bekasi dan sekitarnya. Hal ini terbukti dengan telah beralih fungsinya lahan mangrove menjadi tambak. Luas tambak di Kecamatan Muara Gembong hingga tahun 2000 telah mencapai 8 917 hektar atau telah mencapai 66.97 % dari luas total lahan di kecamatan tersebut sedangkan luas lahan mangrove tidak sampai 5 % dari luas total lahan. Perubahan hutan mangrove cukup besar terjadi pada awal tahun 80-an, dimana terjadinya ekpor udang besar-besar akibat tingginya harga udang dipasaran international, dampak yang ditimbulkan adalah tidak terkendalinya konversi hutan mangrove menjadi tambak, hal ini berkaitan dengan nilai lahan (Lend Rent) tingginya konversi lahan mangrove berhubungan dengan nilai kualitasnya (Ricardian rent) dimana nilai lahan dari lahan mangrove lebih rendah nilai ekonomi tambak (Ricardo ,1975) . Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan yang memiliki tingkat pertubuhan penduduk paling tinggi di Kabupaten Bekasi. Akibat dari pertumbuhan penduduk ini mengakibatkan meningkatnya permintaaan lahan akan pemukiman. Sedangkan sarana dan prasarana pemukiman didaerah ini sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan penduduk bermukim didaerah yang tidak layak huni, seperti di sepadan sungai dan daerah rawa. Sedangkan sarana dan prasarana pemukiman seperti air minum belum ada, hal ini mengakibatkan kebutuhan akan air minum mereka harus membawa dari Jakarta.
63
V.2.
Produktivitas Maksimal Menurut Ress dalam Fauzi (2004) dalam pengukuran sumber daya dapat
diperbaharui (Flow) dapat diukur dengan beberapa cara, salah satu pengukuran dilakukan dengan kapasitas daya dukung, pengukuran kapasitas ini didasari oleh pemikiran bahwa kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Dimana Pertumbuhan yang terus menerus akan menimbulkan kompetisi terhadap ruang sampai daya dukung lingkungan tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan. Analisis Produktivitas maksimal yang dihasilkan dari lahan dalam kurun waktu tertentu dapat dijadikan sebagai pengukuran sumber daya. Hal ini berhubungan dengan kapasitas kemampuan lahan untuk menghasilkan suatu produksi tergantung dengan faktor yang berhubungan dengan kondisi kemampuan lahan (internal) seperti sifat fisik dan kimia yang dikandung yang mempengaruhi terhadap tingkat kesuburan, dan faktor luar seperti pemupukan, curah hujan, dan lainnya, faktor-faktor tersebut mempengaruhi terhadap produksi yang dihasilkan dalam suatu penggunaan lahan. Dengan demikian maka produktivitas maksimal yang dapat dihasilkan oleh lahan dengan semua faktor yang mempengaruhinya, merupakan produksi optimal dalam penggunaan lahan.
V.2.1. Produktivitas Maksimal Untuk Lahan Tambak Penggunaan tambak di Kecamatan Muara Gembong dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 luas penggunaan lahan tambak mengalami peningkatan seluas 3 283 hektar, yaitu dari 5 631 hektar tahun 1990 menjadi 8 914 hektar tahun 2000. Penggunaan tambak pada umumnya dimanfaatkan untuk tambak udang yang mencapai rata-rata 88.37% dari total luas tambak. Apabila dibandingkan dengan luas panen menunjukkan penurunan persentase luas panen yaitu 96% tahun 1990 menjadi 79% tahun 1999 (turun 20%). Penurunan luas panen ini berkaitan dengan adanya penurunan produktivitas udang yang dihasilkan. Penggunaan lahan tambak tahun 1990 seluas 5 631 hektar dengan diperoleh hasil dari per hektar lahan tambak yaitu sebesar 1.3 ton. Sedangkan pada tahun 2000 luas penggunaan lahan tambak meningkat menjadi 8 914 hektar dengan diperoleh hasil tambak sebesar 1.2 ton. Hal ini menggambarkan bahwa meskipun luas penggunaan lahan tambak dari tahun ke tahun selalu mengalami
64 peningkatan namun hasil tambak tidak memberikan produksi yang maksimal, hal ini dikarenakan lahan tambak tersebut hanya dijadikan sebagai komoditi, dimana nilai lahan (lent rent) akan berbeda apa bila dikonversi dari hutan mangrove menjadi tambak. Tabel 7. Produktivitas Lahan Tambak udang tahun 1990 sampai tahun 2000 di Kecamatan Muara Gembong Penggunaan lahan Tambak (ha) 1990 5 631 1991 6 543 1992 6 955 1993 7 503 1994 7 782 1995 8 285 1996 8 704 1997 8 823 1998 8 867 1999 8 876 2000 8 914 Sumber : DKP 2000, BPS 2000. Tahun
Luas Panen Udang (ha) 5 406 6 150 6 398 7 203 7 203 6 959 7 659 7 147 7 094 7 012 7 933
% 96 94 92 96 93 84 88 81 80 79 89
Produktivitas (ton/ha) 1.3 1.5 1.6 1.3 1.9 1.5 1.4 1.2 1.2 1.2 1.2
Dari tabel di atas menunjukan pula bahwa produktivitas tambak untuk budidaya udang tertinggi pada tahun 1994 mencapai 1.9 ton per hektar dengan produksi sebesar 13 686 ton dan tidak pernah mencapai atau mendekati produktivitas tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa pada jangka panjang apabila tidak ada perbaikan sistim pengelolaan tambak untuk budidaya udang (misalnya dengan peningkatan kualitas air, pemberantasan hama dan penyakit) maka pengusahaan tambak udang tidak akan efisien lagi berarti pengelolaan tambak tidak akan sustainable. Menurut Fauzi 2004 Untuk itu perluasan lahan tambak udang di Kecamatan Muara Gembong tidak efektif, sehingga perlu dilakukan peningkatan hasil produksi tanpa perluasan penggunaan lahan tambak / peningkatan intensifikasi tambak.
ton/he kta r
00 20
99 19
98
97
penggunaan lahan tambak udang (ha)
19
19
96 19
95 19
94 19
93 19
19
19
19
92
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 91
10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 90
he kta r
65
Produktivitas (ton/ha)
Gambar 6. Produktivitas maksimal Untuk Lahan Tambak Udang dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Penggunaan lahan tambak untuk budidaya Bandeng hanya sebesar 10 % dari total luas tambak, namun pada musim panas (setelah panen Udang) masyarakat melakukan pembudidayaan Bandeng mencapai 40 % dari luas tambak. Budidaya Bandeng pada musim panas dilakukan untuk mengantisipasi kekosongan penggunaan tambak sampai pada saat pembudidayaan udang pada musim budidaya berikutnya. Alternative ini dikarenakan udang sangat sensitive pada peningkatan suhu air pada musim panas yang berdampak pada peningkatan salinitas air. Dengan demikian bandeng merupakan alternative pemanfaatan lahan tambak, setelah panen udang dan dapat meningkatkan income bagi masyarakat.
66 Tabel 8. Produktivitas Lahan Tambak Bandeng dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Penggunaan Lahan Tambak (ha) 1990 5 631 1991 6 543 1992 6 955 1993 7 503 1994 7 782 1995 8 285 1996 8 704 1997 8 823 1998 8 867 1999 8 876 2000 8 914 Sumber : DKP 2000, BPS 2000. Tahun
Luas Panen Bandeng (ha) 1 689 1 387 1 864 2 341 2 366 2 320 2 263 1 976 2 128 2 840 2 853
% 96 94 92 96 93 84 88 81 80 79 89
Produktivitas (Ton/ha) 1.8 1.7 1.7 1.6 1.8 1.9 1.8 1.5 1.7 1.6 1.6
Berdasarkan data pada tabel di atas ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan tambak untuk Bandeng mengalami peningkatan, namun tetap berada pada kisaran 40 % dari total penggunaan tambak, sebab penggunaan lebih difokuskan untuk Udang. Bila dikaitkan antara luas panen dengan produksi tambak bandeng menunjukkan bahwa seiring dengan adanya peningkatan luas panen terjadi peningkatan produksi yaitu dari pada tahun 1990 sebesar 3 041 ton per hektar menjadi 4 564 ton per hektar pada tahun 2000. Meskipun dengan peningkatan luas tambak budidaya bandeng namun tidak diiringi dengan peningkatan hasil produksi, bahkan mengalami penurunan. Produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 1995 yaitu sebesar 1.9 ton per hektar dengan produksi sebesar 4 407 ribu ton, namun pada tahun 2000 produktivitas ini mencapai angka terendah yaitu sebesar 1.6 ton per hektar. Kondisi ini menggambarkan bahwa penggunaan tambak untuk budidaya bandeng tidak jauh berbeda dengan untuk budidaya udang, sehingga budidaya tambak bandeng untuk jangka panjang apabila tidak ada peningkatan intensifikasi (misalnya dengan peningkatan kualitas air, pemberantasan hama dan penyakit) maka pengusahaan tambak budidaya bandeng akan merugi.
2 1.5 1 0.5
ton/he kta r
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Penggunaan Lahan Tambak Bandeng (ha)
00 20
99 19
98 19
97 19
96 19
95 19
93
94 19
19
92 19
19
19
91
0 90
h e kta r
67
Produktivitas (ton/ha)
Gambar 7. Produktivitas maksimal Untuk Lahan Tambak Bandeng
V.2.2. Produktivitas Maksimal Untuk Lahan Sawah Penggunaan lahan sawah di Kecamatan Muara Gembong dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 mengalami penurunan. Penurunan penggunaan lahan sawah ini terjadi akibat adanya konversi lahan sawah kepada penggunaan lainnya. Produktivitas hasil per hektar sawah juga mengalami penurunan. Hal ini dapat dibandingkan antara tahun 1990 dengan tahun 2000, yaitu pada tahun 1990 penggunaan lahan sawah seluas 2 730 hektar diperoleh hasil per hektar sawah sebesar 5.50 ton. Sedangkan pada tahun 2000 luas penggunaan sawah sebesar 2 090 hektar, namun hanya diperoleh hasil sebesar 4.57 ton. Hal ini menggambarkan bahwa penggunaan sawah maupun produktivitas yang diperoleh dari lahan sawah mengalami penurunan. Dari Tabel di bawah menunjukkan bahwa Luas panen dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 selalu berada pada kondisi dibawah luas penggunaannya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah, masih banyak yang belum ditanami (lahan sawah ditelantarkan). Penelantaran lahan sawah ini pada saat krisis moneter
menunjukkan peningkatan yang semakin
tinggi bahkan luas penanaman/panen hanya mencapai kisaran 39 % sampai 48 % (lebih dari separoh lahan sawah ditelantarkan).
68
Tabel 9 . Produktivitas Lahan Sawah dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Penggunaan Lahan Sawah (ha) 1990 2 730 1991 2 597 1992 2 291 1993 2 192 1994 2 059 1995 1 862 1996 1 995 1997 2 128 1998 2 261 1999 2 128 2000 2 090 Sumber : Deptan 2000, BPS 2000. Tahun
Luas Panen Sawah (ha) 1 790 1 734 1 743 1 652 1 645 1 555 1 413 950 878 1 023 1 256
% 66 67 76 75 80 84 71 45 39 48 60
Produktivitas (Ton/ha) 5.50 5.49 4.56 5.85 5.43 5.58 5.28 3.44 3.64 4.64 4.57
Hal ini menunjukkan bahwa pada saat krisis moneter penelantaran lahan sawah ini berhubungan dengan modal (input) yang terbatas seperti biaya tenaga kerja, biaya pemupukan, biaya pengolahan, sehingga banyak lahan sawah yang ditelantarkan. Tapi pada dasarnya produktivitas lahan di Muara Gembong cukup tinggi yang dapat dilihat pada tahun 1993 dengan luas penggunaan lahan sawah sebesar 2 192 hektar, luas panen sebesar 1 652 hektar dan hasil produksi yang diperoleh sebesar 5.85 ton per hektar
69
3000
70
2500
60
hektar
40 1500 30 1000
ton/hektar
50
2000
20
500
10 0
19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00
0
Land Use Sawah (ha)
Produktivitas (Ton/ha)
Gambar 8. Produktivitas maksimal untuk lahan sawah dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong
V.2.3. Produktivitas Maksimal Untuk Lahan Tegalan Penggunaan lahan tegalan untuk Jagung di Kecamatan Muara Gembong sebagaimana ditunjukkan pada table dibawah ini dari tahun 1990 sampai tahun 2000 berkisar antara 17 hektar sampai 27 hektar atau berkisar antara 3.5 % sampai 6.97 % dari total luas tegalan. Luas panen jagung pada tahun 1995 merupakan luas tertinggi yaitu 27 hektar dan pada tahun 1992 dan tahun 1993 merupakan luas terrendah yaitu seluas 17 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman jagung di Kecamatan Muara Gembong adalah berfluktuatif. Meskipun luas panen tertinggi untuk tanaman jagung mencapai 27 hektar pada tahun 1995, namun apabila kita bandingkan dengan hasil produksi panen tertinggi, justru dicapai pada tahun 1994 yaitu mencapai 5.7 ton per hektar, dan terendah adalah 3.4 ton per hektar pada tahun 1992 dan 1993.
70 Tabel 10. Produktivitas Tanaman Jagung dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Penggunaan Lahan Tegalan (ha) 1990 529 1991 505 1992 476 1993 465 1994 459 1995 445 1996 439 1997 426 1998 419 1999 412 2000 405 Sumber : BPS 2000, Deptan 2000 Tahun
Luas Panen Jagung (ha) 20 19 17 17 23 27 23 23 21 21 20
(%) 3.78 3.76 3.57 3.66 5.01 6.07 5.24 5.40 5.01 5.10 4.94
Produktivitas (Ton/ha) 2.0 2.1 2.0 2.0 2.5 1.7 1.7 1.8 1.7 1.9 2.0
Timbulnya perbedaan produktivitas ini disebabkan karena adanya perbedaan varietas dari bibit yang ditanam yang memberikan perbedaan terhadap hasil, juga disebabkan sistem pembudidayaan yang belum optimal dijalankan, sehingga budi daya tanaman jagung kebanyakan merupakan tanaman yang dikonsumsi sendiri dengan penanamannya pada sela-sela tanaman lainnya, dan kurangnya pemeliharaan. Namun apabila dilihat produktivitas tertinggi yang mencapai 2.5 ton per hektar, menunjukkan bahwa pembudidayaan tanaman Jagung di Kecamatan Muara Gembong pada dasarnya cukup potensial
600
60
500
50
400
40
300
30
200
20
100
10
Penggunaan Lahan Jagung
20 00
19 99
19 98
19 97
19 96
19 95
19 94
19 93
19 92
0 19 91
19 90
0
ton/hektar
hektar
dikembangkan.
Produktivitas
Gambar 9. Produktivitas maksimal Untuk Lahan Tegalan Tanaman Jagung dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong
71 Penggunaan lahan tegalan untuk budidaya Ubikayu menunjukkan penurunan luas panen dari tahun 1990 hingga tahun 2000 yaitu dari 36 hektar (tahun 1990) tinggal 17 hektar (tahun 2000), bahkan pada tahun 1996 penanaman ubi kayu hanya mencapai 10 hektar. Kondisi ini menunjukkan bahwa tanaman ubikayu sama dengan tanaman jagung, dilihat dari tanaman ubikayu merupakan tanaman sela dan pada umumnya untuk di konsumsi sendiri sehingga pemeliharaan kurang diperhatikan. Tabel 11. Produktivitas Ubikayu dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Penggunaan lahan Luas Panen Tegalan (ha) Ubikayu (ha) 1990 529 36 1991 505 35 1992 476 33 1993 465 33 1994 459 20 1995 445 17 1996 439 10 1997 426 15 1998 419 14 1999 412 17 2000 405 17 Sumber : BPS 2000, Deptan 2000 Tahun
% 6.8 6.9 6.9 7.1 4.4 3.8 2.3 3.5 3.3 4.1 4.2
Produktivitas (Ton/ha) 12.4 12.4 12.4 14.5 14.5 12.7 14.5 13.0 13.2 13.2 13.0
Pada dasarnya tanaman ubikayu yang dibudidayakan perlu dilakukan intensifikasi seperti penyiangan dan pemupukan agar mencapai produktivitas yang tinggi, berdasarkan pada tabel bahwa produktivitas yang tertinggi yang mencapai 14.5 ton per hektar dengan luas panen 33 hektar pada tahun 1993.
600
150 145 140 135 130 125 120 115 110
hektar
500 400 300 200 100
19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00
0
ton/hektar
72
penggunaan lahan ubi kayu (ha)
Produktivitas (Ton/ha)
Gambar 10. Produktivitas maksimal Untuk Lahan Tegalan Tanaman Ubikayu dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Berdasarkan uraian di atas, pembudidayaan penggunaan lahan tegalan baik untuk tanaman Jagung, maupun untuk Ubikayu belum mencapai optimum. Sehingga hasil
produksi
yang didapatkan tidak mencapai kemampuan
produktivitas nya. Kondisi ini sebenarnya merugikan masyarakat yang melakukan pembudidayaan, karena sistem pengolahan yang sangat minimal sehingga produksi yang didapatkan jauh dari optimalnya.
V.3.
Efisiensi Penggunaan Lahan Efisiensi di dalam penggunaan lahan akan memberikan suatu manfaat
didalam penggunaan lahan secara berkelanjutan. Di dalam ekploitasi sumberdaya yang terbarukan seperti penggunaan lahan, perikanan dan sebagainya dengan efisiensi yang baik akan memberikan tingkat keberlanjutan sumberdaya yang panjang. Metode Data Envelope Analisis (DEA) merupakan salah satu alat analisis Efisiensi, penggunaan lahan akan efisien apa bila out put mendekati satu. Berdasarkan penggunaan lahan penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong, efisiensi penggunaan lahan pada kurun waktu 10 tahun terlihat dari analisis sebagai berikut.
73
V.3.1. Efisiensi penggunaan lahan sawah Hasil analisis efisiensi dengan menggunakan Data Envelope Analysis (DEA) untuk lahan sawah pada gambar diatas terlihat bahwa, produktivitas yang paling efisien terjadi pada tahun 1993 dan tahun 1995. Sedangkan produktivitas lahan sawah yang paling tidak efisien terjadi pada tahun 1997. Peningkatan efisiensi yang tajam disebabkan karena adanya faktor-faktor yang dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah seperti penggunaan lahan yang sesuai, luas panen yang meningkat dan produksi padi yang tinggi sehingga secara agregat terjadi juga peningkatan terhadap output. Pada kondisi ekspansi digambarkan mulai tahun 1992 dan mencapai puncak pada tahun 1993 maka akan terjadi kontraksi produktivitas dari lahan sawah, tetapi pada tahun 1994 terjadi ekspansi kembali sehingga diperlihatkan dengan adanya penurunan tingkat efisiensi. Ketika ekspansi kembali terjadi, efisiensi kembali meningkat pada tahun 1995 dan hal ini akan terjadi berulang-ulang secara alami pada produktivitas lahan sawah. Kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan penurunan efisiensi harus dikendalikan. Faktor-faktor seperti adanya konversi lahan sawah yang menyebabkan penurunan terhadap lahan sawah harus segera dihentikan sehingga mungkin akan membantu meningkatkan efisiensi produktivitas lahan sawah. 1.2 1
Nilai Efisiensi
0.8 0.6 0.4 0.2 0 1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Gambar 11. Efisiensi frontier Penggunaan lahan sawah dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong
74
V.3.2. Efisiensi penggunaan Lahan Tambak Muara Gembong merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar untuk perikanan darat di Kabupaten Bekasi, penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong pada tahun 2000 mencapai 65 % dari total luas lahan di Kecamatan Muara Gembong. Di Kecamatan Muara Gembong penggunaan lahan ini dimanfaatkan untuk perikanan darat (Aquaculture), dalam kurun waktu 10 tahun penggunaan lahan effisiensi frontier berada pada tahun 1994, hal ini dapat dilihat dari analisa efisiensi yang menunjukkan produktivitas hampir mendekati 1, hal ini membuktikan bahwa penggunaan lahan maksimal terjadi pada penggunaan lahan dengan luas 7 782 hektar.
1.2
Nilai Efisiensi
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Gambar 12. Efisiensi frontier penggunaan lahan Tambak Udang dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Berdasarkan pada Gambar 12, Efisiensi frontier terjadi pada tahun 1994, sementara produktivitas lahan tambak yang paling tidak efisien terjadi mulai tahun 1997 sampai dengan tahun 2000. Peningkatan efisiensi yang tajam disebabkan karena adanya faktor-faktor yang dapat meningkatkan produktivitas lahan tambak seperti penggunaan lahan yang sesuai, luas panen yang meningkat dan produksi hasil tambak yang tinggi sehingga secara agregat terjadi juga peningkatan terhadap output. Pada kondisi ekspansi digambarkan mulai tahun 1993 dan mencapai puncak pada tahun 1994 maka hal ini mengakibatkan terjadinya kontraksi produktivits dari lahan tambak. Namun mulai tahun 1997
75 sampai dengan tahun 2000 terjadi ekspansi kembali sehingga diperlihatkan dengan adanya penurunan tingkat efisiensi produktivitas lahan tambak bahkan selama empat tahun terakhir tidak terlihat adanya peningkatan efisiensi. Faktorfaktor tersebut seperti kurang optimalnya petani tambak mengelola lahan tambaknya dan adanya penyakit yang menyerang hasil tambak mereka sehingga menyebabkan penurunan terhadap produktivitas lahan tambak. Hal ini harus segera ditanggulangi sehingga mungkin akan membantu meningkatkan efisiensi produktivitas lahan tambak dengan cara adanya perhatian dan kebijakan
Nilai Efisiensi
pemerintah terhadap pengelolaan lahan tambak.
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Gambar 13 Efisiensi frontier penggunan lahan Tambak Bandeng dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong
V.3.3. Efisiensi penggunaan Lahan Tegalan Dari gambar grafik analisis dengan menggunakan DEA penggunaan lahan untuk jagung selama 10 tahun, menunjukkan bahwa pada dasarnya efisiensi penggunaannya masih sangat kurang. Efisiensi tertinggi dicapai pada tahun 1994, sementara pada tahun-tahun lainnya efisiensi ini bahkan tidak mencapai 0.8. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya lahan tegalan kurang dilakukan pemeliharaan (karena hanya merupakan tanaman sela yang ditujukan untuk konsumsi sendiri). Tanaman jagung merupakan tanaman yang dapat tumbuh dan berproduksi meskipun dengan pembudidayaannya kurang insentif, sehingga bagi masyarakat Muara Gembong penanaman jagung yang hanya ditujukan lebih
76 kepada konsumsi sendiri, kurang berkeinginan untuk melakukan perawatan yang lebih baik.
1.2 1
Nilai Efisiensi
0.8 0.6 0.4 0.2 0 1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Gambar 14. Efisiensi frontier penggunaan Lahan Tegalan Tanaman Jagung dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong Berdasarkan hasil analisis dengan DEA sebagaimana ditujukan pada gambar di bawah ini menunjukkan bahwa tanaman ubikayu mencapai efisiensinya pada tahun 1993, 1994, dan 1996. Meskipun pada tahun lainnya tidak mencapai efisiensi, namun berkisar pada skala 0.9 yang artinya mendekati efisiensi. Tidak jauh berbeda dengan pembudidayaan tanaman jagung pada lahan tegalan, tanaman ubi kayu pada dasarnya juga merupakan tanaman yang ditanam lebih kepada untuk konsumsi sendiri, dan kebanyakan dibudidayakan sebagai tanaman pagar hidup bagi masyarakat. Sifat tanaman Ubikayu yang sangat mudah untuk tumbuh dan berproduksi meskipun tanpa pernah dilakukan pemeliharannya, membuat masyarakat tidak terdorong melakukan peningkatan intensifikasinya, seperti dengan melakukan penyiangan dan pemupukan. Hal ini juga dipicu dari harga jual yang sangat rendah, ditambah dengan sistem pembudidayaan dengan luasan yang kecil-kecil (sebatas pagar tanaman hidup).
77
1.05 1
Nilai Efisiensi
0.95 0.9
0.85 0.8 0.75 1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Gambar 15. Efisiensi Frontier Lahan tegalan Tanaman Ubikayu dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong
V.3.4. Efisiensi penggunaan Lahan Pemukiman Dari gambar grafik analisis dengan menggunakan DEA penggunaan lahan untuk rumah efisien terjadi pada tahun 1990 dan pada tahun-tahun sebelumnya penggunaan lahan untuk rumah adalah semakin tidak efisien karena semakin jauh dari (Gambar 20), Kurang efisiennya penggunaan lahan untuk pemukiman disebabkan oleh banyaknya lahan pemukiman yang tidak dimanfaatkan sebagai wilayah terbangun, serta terbatasnya sarana dan prasarana lingkungan yang dibutuhkan untuk pemukiman, seperti ketersediaan air bersih, listrik, drainase, dan jalan lingkungan. Namun dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk pada daerah ini, mengakibatkan permintaan akan rumah semakin tinggi, sehingga pembangunan rumah banyak dilakukan pada sepanjang pinggiran daerah aliran sungai yang mengalir serta pada hutan mangrove. Pembangunan perumahan ini dilakukan dengan menebang pohon mangrove dan melakukan penggurukan pinggiran sungai yang memungkinkan karena tingginya sedimentasi pada sungai ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa melakukan pembangunan perumahan rumah untuk masamasa yang akan datang pada dasarnya adalah semakin tidak akan efisien sehingga perlu dicegah.
78
1.005 1.000 0.995 0.990
Nilai Efisiensi
0.985 0.980 0.975 0.970 0.965 0.960 0.955 0.950 1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Gambar 16. Efisiensi frontier penggunaan lahan untuk pemukiman dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong
V.3.5. Efisiensi pengelolaan Lahan Mangrove Berdasarkan pada gambar efisiensi frontier dengan menggunakan DEA terhadap penggunaan lahan mangrove terdapat pada gambar 17, menunjukkan bahwa meskipun efisiensi tertinggi dicapai pada tahun 1994 yang menghasilkan nilai 1, namun pada dasarnya dari tahun 1990 hingga tahun 2000 terjadi peningkatan efisiensi penggunaan lahan mangrove. Berdasarkan kecendrungannya ini menujukkan, bahwa pada jangka panjang penggunaan lahan mangrove dapat lebih efisiensi. Berdasarkan kondisi ini maka penggunaan lahan mangrove di Kecamatan Muara Gembong lebih baik dari pada penggunaan lahan lainnya, sehingga konversi lahan mangrove kepada penggunaan lainnya yang tidak efisien perlu dibatasi.Efisiensi lahan mangrove di daerah ini dilihat dari kerapatan hutan mangrove yang berkurang.
79
1.2
1
Nilai Efisiensi
0.8
0.6
0.4
0.2
0 1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Gambar 17. Efisiensi frontier pengelolaan lahan mangrove dari tahun 1990 sampai tahun 2000 di kecamatan Muara Gembong
V.4.
Analisis Kesesuaiaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong Pengembangan usaha pertanian di wilayah pesisir merupakan salah satu
bagian dari kebijaksanaan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Namun demikian, pembukaan lahan pertanian di wilayah pesisir harus dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek perlindungan lingkungan sehingga
tidak
akan
menimbulkan
masalah-masalah
lingkungan
seperti
menurunnya produktitivitas perikanan, pencemaran perairan, perubahan siklus aliran air, dan meningkatnya laju sedimentasi. Salah satu masalah utama yang potensial timbul dari kegiatan pertanian di wilayah pesisir adalah menurunnya kualitas air perairan pesisir. Penurunan kualitas air sebagian besar disebabkan oleh masuknya bahan-bahan beracun seperti pestisida, insektisida dan fungisida. Selain itu dapat juga disebabkan oleh masuknya unsur hara yang berlebihan ke dalam perairan tersebut bersama bahanbahan tererosi. Kegiatan-kegiatan konstruksi yang berkaitan dengan usaha pertanian seperti pembuatan saluran irigasi, drainase, dan penebangan hutan akan menganggu pola pembuatan aliran alami daerah tersebut. Gangguan ini antara lain meliputi aspek kualitas, volume dan debit air. Pengurangan debit air sungai bagi keperluan irigasi dapat mengubah salinitas dan pola sirkulasi air di perairan pesisir
80 seperti wilayah estuaria. Berkurangnya debit air sungai mengakibatkan jangkauan instrusi garam semakin jauh ke hulu sungai. Hal ini akan mengakibatkan perubahan selain pada ekosistem daratan di sekitar perairan tersebut sebagai akibat instrusi air laut pada air tanah. Analisis kesesuaian lahan di Kecamatan Muara Gembong dilihat dari beberapa klasifikasi, yang terdiri dari sifat fisik lahan, iklim dan lingkungan. Untuk klasifikasi iklim dilihat secara keseluruhan karena data diambil dari satu stasiun yang dekat dengan Kecamatan Muara Gembong, sedangkan untuk sifat fisik tanah dikumpulkan dari hasil analisisi Balitbang pertanian dan evaluasi survey kelapangan (data primer) untuk analisis lingkungan dilihat dari survey lapangan. Untuk hasil analisis dapat dilihat dalam analisa berikut.
V.4.1. Analisis Kesesuaiaan Lahan Untuk Tambak Hasil analisis kesesuaiaan lahan untuk tambak ternyata daerah yang memiliki pantai, di Kecamatan Muara Gembong daerah yang memiliki daerah yang Sangat sesuai yaitu desa pantai bhakti, desa pantai bahagia dan desa pantai sederhana, sedangkan desa harapan jaya sebahagian wilayahnya memiliki klasifikasi cukup sesuai, Keberadaan klasifikasi sesuai didaerah Muara Gembong ini dikarenakan wilayah ini memiliki klasifikasi tanah yang cocok seperti kelerengan, tekstur, iklim, jenis, tanah yang cocok untuk tambak. Sedangkan untuk kualitas air yang sangat menetukan dalam usaha tambak Muara Gembong memiliki kondisi Kedalaman pirit, oksigen terlarut, salinitas, kecerahan, pH air baik bagi tambak Daerah yang sesuai untuk klasifikasi tanah di Muara Gembong memiliki kemiringan lahan 0–1 %, tektur liat, iklim seperti curah hujan dan bulan kering melebihi 2 500 mm pertahun sedangkan untuk kualitas air, suhu air memilliki 24 sampai 30 °C dengan Oksigen terlarut berkisar antara 6 sampai 7 sedangkan kecerahan sampai 30 cm dan salinitas 12 sampai 20. Sedangkan untuk usaha tambak hanya terdapat di desa Mekar dan sebahagian didesa Harapan Jaya, kondisi ini disebabkan karena jumlah oksigen terlarut, salinitas yang rendah, dan jarak dari pantai juga mementukan dalam penilaiaan klasifikasi ini.
81 Tabel 12. Kesesuaian Lahan untuk Lahan Tambak di kecamatan Muara Gembong Lokasi Desa Pantai Harapan Jaya Desa Pantai Mekar Desa Pantai Sederhana Desa Pantai Bakti Desa Bahagia Total
S1 1 849 2 249 948 2 826 3 171 11 043
S2 1 479 0 271 0 0 1 750
S3 320 0 0 0 0 329
N1 370 0 135 0 0 505
N2 0 0 0 0 0 0
Jumlah 3 698 2 249 1 354 2 826 3 171 13 298
Berdasarkan luas lahan diatas menunjukkan bahwa Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia memiliki tingkat kesesuaian lahan untuk lahan tambak yang cukup tinggi hal ini ditunjukkan dengan seluruh luas lahan Desa Pantai Mekar Desa, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia secara keseluruhan sangat sesuai untuk lahan tambak. Desa yang terluas yang memiliki kesesuaian lahan untuk lahan tambak adalah Desa Bahagia, dimana luas lahannya mencapai 3 171 hektar dan desa yang memiliki tingkat kesesuaian lahan untuk lahan tambak yang rendah yaitu Desa Pantai Harapan Jaya, hal ini ditunjukkan dengan luas lahan yang tidak sesuai untuk lahan tambak yang dimiliki oleh Desa Pantai Harapan Jaya, yaitu mencapai seluas 370 hektar. Secara global kelima desa, yaitu Desa Pantai Harapan Jaya, Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia memiliki kesesuaian lahan dengan klasifikasi sangat sesuai untuk tambak, tetapi masingmasing memiliki tingkatan yang berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan persentase kesesuaian lahan untuk tambak pada masing-masing daerah berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 18 berikut.
82
83 Penggunaan lahan tambak lebih banyak dimanfaatkan sebagai budidaya udang dan bandeng. Dengan adanya peningkatan nilai udang di pasaran international pada tahun 1980, lahan mangrove banyak dikonversi masyarakat menjadi tambak. Peningkatan luas lahan tambak yang cukup signifikan sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat di Kecamatan tersebut, berdasarkan data BPS Kecamatan Muara Gembong peningkatan disektor perikanan budidaya selama kurun waktu 10 tahun itu mencapai 29 % dari total PDRB di Kecamatan Muara Gembong
V.4.2. Analisis Kesesuaiaan Lahan Untuk Mangrove Mangrove merupakan nama dari sebuah komunitas tumbuhan yang mempunyai kemampuan tumbuh di daerah pesisir, di Indonesia mangrove sering disebut sebagai tanaman bakau atau tanaman pasang surut. Tanaman ini banyak tumbuh didaerah pesisir yang terdiri dari beberapa jenis, seperti Rhizopora sp, apiapi dan banyak jenis lainnya. Di daerah pesisir, mangrove membentuk suatu koloni menjadi hutan yang didalamnya telah membentuk suatu ekosistem. Hutan mangrove merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat banyak terdapat di Indonesia, menurut data statistik pada tahun 1983 luas mangrove di Indonesia mencapai 5 209 543 hektar, selama kurun waktu 10 tahun hutan mangrove telah mengalami penyusutan sampai 2 496 185 hektar, pada dasarnya mangrove mempunyai manfaat ganda baik dari aspek ekologis maupun dari aspek sosial ekonomi, dari kedua manfaat ini telah terbentuk suatu sistem alami dimana aktifitas ini telah membuat suatu ketergantungan bagi kehidupan manusia. Ekosistem alami ini dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan sosial ekonomi manusia, seperti ikan, udang sebagai komoditi ekonomi dan sumber protein hewani bagi masyarakat sedangkan kayu mangrove dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi masyarakat. Permasalahan utama tentang pengaruh dan tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutang mangrove menjadi areal budidaya perairan. Di Kecamatan Muara Gembong yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambaktambak untuk budidaya udang dan bandeng. Kegiatan ini memberikan kontribusi terbesar dalam pengrusakan ekosistem mangrove. Dalam situasi seperti ini habitat
84 dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Selama kurun waktu 10 tahun, dari tahun 1990 sampai 2000 luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak seluas 2 012 hektar dari total luas yang ada, dari luas mangrove pada tahun 1990 seluas 2 dari total luas lahan, luas mangrove sekarang hanya tinggal 398 hektar dari luas total kecamatan, melihat kondisi mangrove sudah pasti ekosistem mangrove yang ada di Muara Gembong terganggu.
Tabel 13 Kesesuaian Lahan untuk Mangrove di kecamatan Muara Gembong Lokasi Desa Pantai Harapan Jaya Desa Pantai Mekar Desa Pantai Sederhana Desa Pantai Bakti Desa Bahagia Total
S1 1 342 995 1 354 2 826 3 171 9 688
S2 1 231 1 254 0 0 0 2 485
S3 230 0 0 0 0 230
N1 895 0 0 0 0 895
N2 0 0 0 0 0 0
Jumlah 3 698 2 249 1 354 2 826 3 171 13 298
Berdasarkan hasil analisis di atas, kesesuaian lahan untuk Mangrove Desa Pantai Harapan Jaya memiliki luas lahan terluas dibandingkan dengan Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia. Luas lahan yang dimiliki oleh Desa Pantai Harapan Jaya, yaitu seluas 3 698 hektar atau 28 persen, pembagian luas kesesuaian lahan untuk mangrove di kecamatan Muara Gembong, yaitu 9 688 hektar memiliki kesesuaian sangat sesuai untuk mangrove dan 2 485 hektar memiliki kesesuaian cukup sesuai untuk mangrove. Untuk Desa Pantai Sederhana seluruh luas lahanya memiliki kesesuain sangat sesuai untuk mangrove, dimana luas lahan Desa Pantai Sederhana seluas 13 540 hektar. Desa Pantai Sederhana merupakan desa yang memiliki lahan tersempit dibandingkan dengan empat desa yang lainnya. Dari kelima desa, Desa Pantai Harapan dan Desa Bahagia memiliki kriteria sangat sesuai dan sesuai untuk Mangrove. Hal ini ditunjukan dengan presentase lahan untuk mangrove mencapai 90% artinya hamper secara keseluruhan mempunyai pontensi sangat sesuai untuk mangrove.
85
86 Desa Sederhana merupakan desa yang memiliki luas lahan terluas yang sangat sesuai untuk kesesuaian lahan mangrove dibandingkan dengan empat desa yang lainnya. Sedangkan desa Pantai Mekar merupakan desa yang memiliki luas lahan yang kurang memiliki kesesuain lahan
untuk Mangrove, hal ini ditunjukkan
dengan persentase lahan untuk mangrove hanya sebesar 20 % dan persentase lahan yang sesuai untuk mangrove mencapai sebesar 80 %. Pada dasarnya kelima desa tersebut memiliki tingkat kesesuaian lahan untuk Mangrove, tetapi tingkat kesesuaian lahan diantara kelima desa (Desa Pantai Harapan Jaya, Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia) tersebut memiliki tingkatan persentase yang berbeda-beda. Mengkaji jenis kegiatan yang diperkirakan menimbulkan perubahan ekosisitem hutan mangrove menjadi ekosistem non mangrove dapat didekati dari macam dampak potensialnya. Jenis kegiatan yang menimbulkan penurunan luas hutan mangrove : 1. Konservasi hutan mangrove menjadi lahan pertanian/perikanan Konservasi hutan mangrove menjadi lahan perikanan diperkirakan sekitar 268 743 hektar, dengan daerah yang cukup laus terdapat di Pulau Jawa, Aceh dan Sulawesi Selatan. Sedangkan konservasi hutan mangrove menjadi lahan pertanian (perkebunan kelapa sawit) telah terjadi di Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), dimana tidak kurang 3 000 hektar hutan mangrove dengan status Suaka Margasatawa dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Dampak langsung kegiatan konservasi hutan mangrove menjadi lahan pertanian/perikanan adalah hilangnya biomass hutan mangrove dan habitat organisme yang menggantungkan sebagian atau seluruh hidupnya pada ekosistem mangrove, interusi garam, erosi garis pantai dan seterusnya. 2. Pembuatan sampah padat Pembuatan sampah padat banyak terjadi di kota-kota besar, seperti Kota Jakarta.
Dampak dari kegiatan ini adalah kemungkinan terlapisnya
pneumatofora (akar nafas/lentisel) yang mengakibatkan kematian pohonpohon mangrove.
Di samping itu dampak dari kegiatan ini adalah
menurunkan kualitas subtrat (tempat tumbuh) tumbuhan mangrove,
87 mengganggu proses regenerasi alami serta pertumbuhan vegetasi mangrove, dan pada akhirnya akan mendorong terjadinya kematian tumbuhan mangrove. 3. Pencemaran tumpahan minyak Kematian tumbuhan mangrove terjadi akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak.
Kondisi ini sulait diatasi dalam jangka waktu
singkat, baik dengan regenerasi alami maupun penanaman kembali. Dampak lain dari pencemaran minyak adalah menurunnya kualitas habitat organisme (biota perairan, satwaliar). 4. Penambangan dan ekstraksi mineral Penambanngan pasir di laut yang tidak mengindahkan aturan dan kondisi ekosistem mangrove, seringkali mendorong terjadinya abrasi pantai atau pemunduran garis pantai.
Demikian pula penambangan timah yang
membuang limbahnya ke pantai, dapat menyebabkan kematian pohonpohon mangrove akibat tertutupnya akar nafas. 5. Pengendapan sedimen yang tinggi Laju pendapatan sedimen yang tinggi akibat aktivitas budidaya pertanian di daerah hulu DAS Citanduy, DAS Cimeneng telah mendorong terjadinya pendangkalan yang cepat dikawasan ekosisitem hutan mangrove Segara Anakan-Cilacap. Dampak lanjutan dari kondisi tersebut adalah perubahan komposisi jenis vegetasi, dan menurunnya wilayah yang terkena pasangurut, serta masyarakat secara perlahan telah merubah ekosistem mangrove menjadi lahan budidaya pertanian. 6. Penebangan hutan Penebangan hutan mangrove dengan mengikuti pedoman sistem silvikultur, direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan dengan ketat, diyakini dapat menurunkan dampak negatif yang akan timbul. Penebangan hutan mangrove yang seringkali menimbulkan dampak berupa penurunan kuantitas dan kualitas hutan mangarove adalah penebangan liar. Kasus penebangan liar sampai saat ini masih berlangsung. Penebangan liar dilakukan oleh masyarakat untuk keperluan kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan tiang pancang.
88 Di samping dipengaruhi jenis kegiatan, penurunan kualitas dan kuantitas mangrove di Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan dan koordinasi yang masih lemah, persepsi masyarakat yang kurang mendukung kelestarian mangrove, kondisi sosial ekonomi masyarakat pantai . Berdasarkan analisis kesesuian untuk mangrove dapat dilihat pada gambar berikut ini.
V.4.3. Analisis Kesesuaiaan Lahan Untuk Pemukiman Jenis rumah yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong banyak dalam bentuk semi permanen, dimana perumahan ini banyak terdapat di daerah yang memiliki lahan yang tidak tergenang air, sedangkan untuk lahan yang berada di pesisir lebih banyak berbentuk pemukiman sederhana, hal ini disebabkan oleh hak kepemilikan lahan, karena lahan yang terdapat di daerah Muara Gembong lebih banyak dimiliki oleh perhutani, akibatnya kurang minat masyarakat untuk merubah jenis rumah mereka menjadi permanen, faktor lain disebabkan oleh tingginya harga bahan baku seperti semen, kayu dan lain-lain. Fasilitas infrastruktur untuk pemukiman di beberapa desa belum ada, seperti air minum, sarana kesehatan dan sebagainya. Akibatnya fasilitas yang belum memadai ini mengakibatkan beberapa desa tidak layak huni sehingga tidak cocok untuk pemukiman. Untuk penggunaan lahan pemukiman sarana dan prasarana merupakan sesuatu hal yang sangat fital, karena untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga diperlukan sarana dan prasaran, seperti air minum, jalan, kesehatan dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan pada beberapa desa kesesuaian lahan untuk pemukiman tidak cocok, ketidak cocokan bukan berarti tempat tersebut tidak bisa di huni tetapi untuk masuk pada klasifikasi sesuai kebutuhan sarana dan prasarana ini perlu dilengkapi.
89 Tabel 14. Kesesuaian Lahan untuk Lahan Pemukiman di kecamatan Muara Gembong Lokasi Desa Pantai Harapan Jaya Desa Pantai Mekar Desa Pantai Sederhana Desa Pantai Bakti Desa Bahagia Total
Baik 430 0 0 0 0 0
Sedang 1 789 1 574 135 1 130 317 5 376
Buruk 1 479 675 1 219 1 696 2 854 7 922
Jumlah 3 698 2 249 1 354 2 826 3 171 13 298
Berdasarkan kesesuaian lahan untuk lahan pemukiman, Desa Pantai Harapan Jaya merupakan desa terluas dengan luasnya sebesar 3 698 ha, pembagian luas lahan Desa Pantai Harapan Jaya, yaitu 430 hektar klasifikasi lahan baik dan 1 789 hektar Sedang untuk lahan pemukiman serta 1 479 hektar Buruk untuk lahan pemukiman. Secara global dari kelima desa, yaitu Desa Pantai Harapan Jaya, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia tidak satupun desa yang memiliki kriteria Baik untuk kesesuaian lahan pemukiman, hal ini ditunjukkan dengan lahan dengan klasifikasi baik tidak ada sama sekali. Berdasarkan kesesuaian lahan untuk pemukiman menunjukkan Desa Pantai Harapan Jaya merupakan desa yang memiliki tingkat kesesuaian lahan sedang paling luas untuk pemukiman dibandingkan dengan Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia. Evaluasi lahan untuk daerah pemukiman mencakup penilaiaan kesesuaian lahan untuk gedung septic tanck, jalan, tempat pembuangan sampah/penimbunan sampah. Pemukiman merupakan tempat dimana sejumlah penduduk tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari. Penentuan kelas suatu lahan untuk tempat tinggal didasarakn pada kemampuan lahan sebagi penopang pondasi. Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah, sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap biaya penggalian dan konstruksi. Sifat-sifat lahan seperti kerapatan, tata air, bahaya banjir, pladtisitas, tekstur dan potensi mengembang dan mengerutnya tanah berpengaruh terhadap daya dukung tanah. Sedangakan biaya penggalian tanah pondasi dipengaruhi oleh tata air tanah, lereng, kedalaman tanah sampai hamparan batuan dan keadaaan batu dipermukaan.
90 Tanah-tanah bertekstur liat yang banyak mengandung liat akan menyerap banyak air sehingga mempunyai nilai batas cair tinggi. Nilai batas cair berhubungan erat dengan compressibility tanah (penurunan volume tanah oleh beban/tegangan yang diberikan pada tanah tersebut). Semakin tinggi nilai batas cair maka nilai compressibility semakin besar. Daya dukung tanah bertekstur pasir dan kerikil untuk pondasi lebih besar daripada tanah bertekstur liat karena tanah bertekstur liat menyerap air lebih banyak sehingga menjadi lunak. Pengerutan dari tanah yang banyak mengandung liat telah banyak menyebabkan kerusakan pada pondasi bangunan yang ringan. Untuk menghindari adanya kerusakan bangunan yang disebabkan oleh pengerutan tanah, hendaknya pondasi dibangun lebih dalam dimana proses pengerutan tanah tidak terjadi atau sampai kedalaman batuan. Penentuan kelas suatu tanah untuk lapangan drainase didasarkan pada kemampuan tanah menyerap aliran dari septic tank. Sifat-sifat tanah yang berpengaruh pada kemampuan tanah menyerap aliran dari septic tank adalah permeabilitas tanah, tinggi muka air tanah, dalamnya tanah sampai kehamparan batuan/bahan induk/lapisan kedap air, perkolasi tanah, bahaya banjir, lereng dan keadaan batu di permukaaan. Tanah bertekstur sangat kasar (pasir berlempung, pasir, dan kerikil) merupakan bahan penyaring relatif buruk, dan mungkin akan menimbulkan pencemaran terhadap sumber air tanah bila digunakan sebagia lapangan drainase. Tanah akan berfungsi baik sebagai drainase septic tank bila tinggi muka air tanah 120 cm lebih dalam dari saluran, dan akan berfungsi kurang baik bila tinggi muka air tanah kurang dari 60 cm dari. Berdasarkan persentase kesesuaian lahan untuk pemukiman tidak ada satu desa pun yang memiliki kriteria sangat sesuai untuk lahan untuk pemukiman. Sebagian besar luas lahan Desa Pantai Mekar, memiliki kesesuaian lahan untuk pemukiman yang cukup luas, hal ini ditunjukkan dengan nilai kesesuaian lahan untuk pemukiman mencapai 70 %. Desa Pantai Sederhana dan Desa Bahagia merupakan desa yang memiliki tingkat kesesuaian lahan untuk pemukiman cukup kecil dibandingkan dengan ketiga desa lainnya, hal ini ditujukkan dengan persentase lahan yang tidak sesuai. Pemukiman kedua desa tersebut mencapai 90 % dan persentase lahan yang sesuai untuk kesesuaian lahan untuk pemukiman hanya mencapai 10 %.
91
92 Ketentuan pengadaan prasarana lingkungan perumahan mencakup aspek teknis dan non teknis. Aspek teknis antara lain standard lingkungan perumahan, ketentuan teknis mengenai prasarana dan pola keterkaitan antara sistim lingkungan denagn sistim kota. Sedang aspek non teknis mencakup ketentuan hubungan antara pemerintah daerah, pengembanng dan pemukim tentang hak dam kewajiban dalam pengadaan dan pemeliharaaan prasarana lingkungan. Secara umum, prasarana lingkungan dikenal sebagai utilities dan amenties, atau dalam khasanah perencanaan di Indonesia dikenal sebagai wisma, marga, suka dan penyempurna. Lebih spesifik lagi, jenis-jenis tersebut adalah fasilitas sosial, sistem jarinagn sirkulasi, drainasi dan kesehatan lingkungan. Ketentuan besaran fasilitas secara umum diturunkan dari kebutuhan penduduk atas fasilitas tersebut. Secara normatif standard kebutuhan diukur persatuan jumlah penduduk tetentu, sesuai denagn kebutuhannya. Disamping besaran penduduk, dapat pula diturunkan dari jumlah unit rumah yang dilayani, satuan luas atau satuan wilayah administratif yang dilayani. Secara umum di Indonesia digunakan standard Cipta Karya, yang tercantum dalam standar perumahan sederhana tidak bertingkat. Standard tersebut merupakan penyempurnaan dari standard Soefaat. Sedang penempatan fasilitas, dapat dilihat dari dari dua aspek, yaitu atas dasar ketentuan yang bersifat hirakis struktural (terhadap sistim yang lebih besar) dan jarak tempuh. Kedudukan fasilitas dalam sistim prasarana yang lebih luas (keterkaitan struktural), seperti jenjang fasilitas kesehatan, pendidikan dan rekreasi. Jarak minimal atau area pelayanan minimal utuk satu jenis pelayanan, yang diukur atas dasar jarak tempuh dengan jalan kaki atau angkutan lingkungan. Penempatan fasilitas dapat pula ditentukan oleh tujuan tertentu, misalnya untuk pemerataan pencapaian dan efisiensi, fasilitas diletakkan dan dikumpulkan di pusat lingkungan di pusat lingkungan (central place theory). Tetapi dapat pula diletakkan pada garis singgung komunitas yang berbeda, dengan tujuan untuk menyatukan 2 komunitas yang berbeda. Di samping ketentuan yang berkaitan dengan jenis dan besaran, standard teknis juga mengatur mengenai persyaratan teknis minimal untuk setiap jenis fasilitas, seperti dimensi/kapasitas minimal, daya dukung dan tingkat layanan.
93 Kebutuhan perencanaan
fasilitas lingkungan,
yang
baku,
dapat
selain
pula
didekati
didekati
dengan
dengan
standard kebutuhan
setempat/relatif,untuk tujuan tertentu. Biasanya klasifikasi tingkat layanan yang disediakan berada diatas standard baku, seperti penyediaan amenties, kemudahan sirkulasi. Tujuan dari penyediaan fasilitas yang berlebih tersebut berhubungan dengan tujuan tertentu, terutama untuk menciptakan lingkungan perumahan yang bercitra tertentu, sebagai bagian dari strategi bisnis para pengembang. Ketentuan mengenai
hubungan
sistim
lingkungan
dengan
sistim
wilayah
yang
melingkupinya antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut : a. Hubungan struktural yang menerus dan compatible, antara sistim lingkungan dengan sistim wilayah. b. Hubungan struktural yang menerus dan compatible, antara sistim lingkungan dengan sistim lingkungan tetangga. c. Jika antara sistim lingkungan dengan sistim wilayah atau lingkungan tetangga belum memungkinkan, sistim dalam lingkungan tersebut harus : -
Mampu memenuhi kebutuhan sendiri, tanpa mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan sekitar.
-
Menyiapkan “joint” (sambungan) yang compatible dengan sistim lain yang akan datang, baik sistim wilayah maupun sistim lingkungan tetangga.
d. Rencana struktur prasarana wilayah memberikan arahan yang jelas mengenai bagaimana dan dimana terjadi hubungan dengan sistem lingkungan.
Kegiatan pembangunan perumahan dilakukan oleh banyak aktor, tetapi dalam skala besar, yang dominan adalah hubungan antara Pemerintah daerah sebagai pengelola wilayah dan pengembang sebagai pembangun. Masalah koordinasi dalam penyediaan prasarana ini menjadi rawan pada kasus pembangunan perumahan skala besar. Pada umumnya, pembangunan perumahan skala besar akan membutuhkan penyediaan prasarana yang juga besar volumenya, yang membutuhkan inlet/outlet yang besar pula. Untuk kawasan perumahan yang dibangun diluar built up area, sistim wilayah belum ada, sedang untuk yang didalam built up area, sistim yang ada tidak mencukupi. Perangkat yang efektif
94 untuk berlangsungnya proses koordinasi adalah arahan kebijakan pembangunan kota yang mencakup : a. Kebijakan yang bersifat insentif dan disinsentif b. Rencana
struktur
ruang
yang
disepakati
sebagai
pedomen
arah
pengembangan kota, khususnya untuk prasarana kota. c. Distribusi tanggung jawab penanganan prasarana lingkungan, yang membagi secar adil tanggung jawab penanganan prasarana lingkungan.
V.4.4. Analisa Kesesuaiaan Lahan untuk Sawah Dari hasil survey lapangan dan informasi data sekunder dari Balitbang pertanian Pusat penelitian tanah bogor terlihat bahwa kondisi sifat fisik tanah untuk penggunaan lahan sawah menunjukkan 5 klas kesesuaian lahan yang terdiri dari kelas sesuai, cukup sesuai dan tidak sesuai. Klasifikasi pemanfaatan lahan untuk sawah dinilai berdasarkan beberapa kriteria antara lain ketersediaan air, temperatur retensi akar, kegaraman , toksisitas, ketersediaan hara, kemudahan pengolahan, terrain/potensi mekanisasi, tingkat bahaya erosi dan bahaya banjir. Dari kriteria diatas untuk ketersediaan air yang dilihat dari curah hujan, bulan kering di Kecamatan Muara Gembong didapat nilai cukup sesuai karena jumlah curah hujan 3 bulan sampai 4 bulan, sedangkan curah hujan pertahun di Kecamatan Muara Gembong mencapai 1 839 mm per tahun yang masuk klasifikasi sesuai untuk lahan sawah, sedangkan temperatur terdiri klasifikasi cukup sesuai dengan tempertaur 27.1 ºC. Sedangkan klasifikasi tanah berdasarkan sifat fisik tanah, dapat dilihat dari retensi akar yang menyangkut kemampuan akar dalam menyerap unsur hara, terlihat wilayah yang memiliki kondisi yang cukup baik terlihat desa Pantai bhakti dan sebagian di Pantai Mekar didaerah ini juga kondisi tanah didalam pengolahan cukup baik, dan kandungan garam yang masih rendah. Sementara di beberapa desa yang memiliki pantai kondisi lahannya kurang baik.
95 Tabel 15. Luas Lahan untuk Lahan Sawah Lokasi Desa Pantai Harapan Jaya Desa Pantai Mekar Desa Pantai Sederhana Desa Pantai Bakti Desa Bahagia Total
S1 0 0 0 0 0 0
S2 S3 N1 1 109 1 109 2 589 675 675 1 574 271 271 1 083 1 130 1 130 1 696 634 2 537 634 3 820 3 820 9 479
N2 0 0 0 0 0 0
Jumlah 3 698 2 249 1 354 2 826 3 171 13 298
Tabel 15 di atas menunjukkan bahwa dari lima desa (Desa Pantai Harapan Jaya Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia) tidak ada satu desapun yang memiliki lahan yang sesuai untuk kesesuaian lahan sebagai lahan sawah. Desa Pantai Harapan Jaya memiliki luas lahan untuk lahan sawah yang paling luas dibandingkan dengan Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia. Dimana luas lahan yang dimiliki Desa Pantai Harapan Jaya, seluas 3 698 ha, dengan pembagian lahan sebagai berikut lahan yang cukup sesuai untuk digunakan sebagai lahan sawah seluas 3 820 ha dan yang tidak sesuai pada saat ini, yaitu seluas 9 479 hektar. Desa Pantai Harapan Jaya juga merupakan desa yang paling luas memiliki lahan yang sesuai untuk digunakan sebagai lahan sawah dibandingkan dengan Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia. Selain itu juga Desa Pantai Harapan Jaya juga merupakan desa yang paling luas yang memiliki lahan yang tidak sesuai digunakan sebagai lahan sawah. Desa Pantai Sederhana merupakan desa yang paling tidak luas untuk digunakan sebagai lahan sawah, desa tersebut hanya memiliki luas lahan 1 354 hektar atau 10 % dari total luas Kecamatan Muara Gembong, dimana 271 hektar cukup sesuai digunakan untuk lahan sawah dan 1 083 hektar tidak sesuai digunakan atau dimanfaatkan untuk lahan sawah. Berdasarkan peta di bawah ini dapat dilihat penempatan secara spasial dalam klasifikasi penggunaan lahan untuk padi sawah di Kecamatan Muara Gembong.
96
97 Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah dataran rendah, pada awalnya menurut hasil wawancara masyarakat yang bertempat tinggal di kecamatan muara gembong berasal dari Cilacap, dengan profesi sebagai buruh tani, oleh karena itu pada awal kedatangan mereka lebih cendrung menjadikan lahan perhutani sebagai lahan pertanian.
V.4.5. Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Tegalan Kondisi daerah di Muara Gembong ini berdasarkan data statistik Muara Gembong pada tahun 1990 luas lahan tegalan berdasarkan data statistik 529 hektar pada tahun 1992 terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana luas lahan berubah menjadi 476 hektar, melihat kondisi yang cukup tinggi ini, pada tahun 1990 lahan tegalan telah dikonversi menjadi tambak, perubahan ini disebabkan oleh mulai bergairahnya pertanian tambak, walaupun jenis tambak konvensional. Tabel 16 Kesesuaian Lahan untuk Tegalan Lokasi Desa Pantai Harapan Jaya Desa Pantai Mekar Desa Pantai Sederhana Desa Pantai Bakti Desa Bahagia Total
S1 0 0 0 0 0 0
S2 0 0 0 0 0 0
S3 1 849 1 349 0 848 951 4 998
N1 1849 900 1354 1978 2219 8300
N2 0 0 0 0 0 0
Jumlah 3 698 2 249 1 354 2 826 3 171 13 298
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa Desa Pantai Harapan Jaya memiliki luas lahan yang terluas untuk penggunaan lahan tegalan., dibanding dengan Desa Pantai Mekar, Desa Pantai Sederhana, Desa Pantai Bakti dan Desa Bahagia, dimana luas lahan yang dimiliki oleh Desa Pantai Harapan Jaya tersebut adalah seluas 36 986 hektar atau 27 % dari total luas lahan Kecamatan Muara Gembong. Klasifikasi kesesuiaan lahan untuk tegalan yang terdapat di Kecamatan Muara Gembong dengan klasifikasi sesuai di Desa Pantai Harapan Jaya seluas 185 hektar atau 5 % dari total luas desa Pantai Harapan Jaya, sedangkan klasifikasi cukup sesuai untuk tegalan, seluas 1 849 hektar atau 50 % dari total luas lahan Sedangkan desa Pantai Harapan Jaya klasifikasi sebesar 1 664 hektar atau 45 % dari total luas lahan.
cukup sesuai untuk tegalan
98
99 Selain itu juga berdasarkan kesesuaian lahan untuk tegalan, dapat ditentukan bahwa desa yang memiliki luas lahan tersempit, yaitu Desa Pantai Sederhana, dimana klasifikasi sesuai untuk tegalan di desa tersebut hanya seluas 54 hektar atau 4 % dari luas total desa pantai sederhana. Desa Bahagia merupakan desa yang memiliki lahan yang sangat potensial untuk digunakan sebagai lahan tegalan, hal ini terlihat dari luas lahan yang sangat sesuai untuk tegalan terdapat di Desa Bahagia, dimana luas lahan yang sangat sesuai untuk tegalan mencapai seluas 190 hektar. Desa yang paling tidak memiliki kesesuaian lahan untuk tegalan adalah Desa bahagia, karena desa tersebut memiliki luas lahan yang paling tinggi untuk kriteria yang tidak sesuai untuk kesesuain lahan tegalan, dimana luas lahannya mencapai seluas 2 029 hektar.
V.5.
Analisa Total Economic Value (TEV)
V.5.1. Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove Di dalam perhitungan total economic value, untuk penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong, telah terdefenisi dari fungsi dari masing-masing penggunaan lahan dikecamatan tersebut, untuk lahan mangrove memiliki manfaat langsung (direct value) dari manfaat kayu mangrove yang dipergunakan untuk kontruksi bangunan, sedangkan manfaat lain masyarakat setempat memanfaatkan kayu mangrove sebagai bahan baku arang, dan sumber perikanan udang dan kepiting. Sedangkan manfaat tidak langsung (Indirect value ) berfungsi sebagai penahan aberasi pantai dan sumber hara bagi biomass yang hidup pada ekosistem mangrove. Untuk non use value terdapat dari kandungan biodiversiti (keanekaragaman hayati) dari hutan mangrove. Nilai hutan mangrove berdasarkan perhitungan total economic value menurut masyarakat setempat memiliki valuasi Dari pemanfaatan langsung (direct value), pemanfaatan tidak langsung (Indirect value) dan Option value. Pemanfaatan langsung dari hutan mangrove berdasarkan hasil survey yang dilakukan di daerah penelitian ini, meliputi manfaat langsung dari produksi kayu mangrove yang dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai bahan bangunan atau pembuatan podasi untuk rumah mereka, manfaat lain dari hutan ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat juga sebagai bahan baku arang kayu, dan sumber lain
100 Dari pendapatan kekayaan potensi hutan mangrove adalah sebagai area penangkapan ikan bagi masayarakat setempat, sedangkan untuk biaya tidak langsung fungsi hutan mangrove di kecamatan ini, berfungsi sebagai penahan aberasi pantai , dan manfaat lain. Dari hutan ini juga sebagai penyedia unsur hara bagi perikanan tambak yang banyak terdapat didaerah ini. Sedangkan nilai pilihan atau option value. Manfaat hutan mangrove lebih terlihat dari jumlah biodiversity, atau keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya.
1. Manfaat Langsung (Direct Use value ) a. Kayu Mangrove Dari hasil analisis ekonomi dari pemanfaatan kayu mangrove menunjukkan bahwa perhitungan kayu mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan bangunan, dimanfaatkan untuk perumahan dan dijual sebagai bahan bangunan untuk pemukiman. Perhitungan penggunaan kayu mangrove, diukur berdasarkan jumlah tegakan mangrove per ha yang terdapat pada Kecamatan Muara Gembong yang berkisar 500 batang dengan total dari volume pohon per hektar berkisar 0.94 meter kubik per hektar per tahun, untuk kayu mangrove dijual di Muara Gembong berkisar Rp 75 000,- per meter kubik
b. Ikan Daerah di Muara Gembong sebelum tahun 1990 dikenal masyarakat nelayan dengan tempat sumber udang dan ikan, oleh karena itu daerah disepanjang Muara Gembong sebagai daerah tangkapan untuk ikan-ikan yang nantinya dibawa ke Cilincing pada umumnya daerah disekitar hutan mangrove sering digunakan nelayan sebagai daerah tangkapan ikan, udang dan kepiting, mereka menjual hasil tangkapan mereka ke Cilincing. Selama dua periode waktu penelitian tahun 1990 sampai 2000 jumlah tangkapanan ikan, kepiting dan udang terus menurun, berdasarkan hasil wawancara dari masyarakat. Walaupun harga undang cukup tinggi di pasarana, tetapi ditingkat petani harga udang hanya Rp 3 000,- per kg sedangkan untuk ikan Rp 1 250 per kg, dan kepiting Rp 2 500,- per kg, harga ini didapt dari data pelelangan ikan yang ada di Muara Gembong.
101
2. Manfaat tidak Langsung (Indirec Use Value ) a. Pencegah Aberasi Di Kecamatan Muara Gembong Manfaat tidak langsung hutan mangrove juga berfungsi sebagai pencegah erosi, dengan menggunakan metode benefit tranfer, dengan membuat tanggul di mana dapat dinilai dari upah tenaga kerja untuk 1 hektar tanggul sebesar Rp 300 000,-
b. Penyedia Unsur hara Penilaiaan tidak langsung pada penggunaan lahan mangrove dapat dinilai dari kandungan unsur hara yang terkandung dari daun mangrove atau biasa disebut sarasah, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sukarjo (1995) dimana lokasi yang dilakukan kondisi fisik wilayah tidak begitu jauh dibandungkan dengan lokasi penelitian ini yaitu muara angke Jakarta, mendapatkan hasil bahwa setiap hektar hutan mangrove menghasilkan guguran daun mangrove (serasah) sebanyak 13.08 ton /tahun yang berarti akan mendapatkan 4.85 ton berat kering, dari hasil analisis kandungan unsur hara yang terkandung didalam daun mangrove tersebut terdapat 10.5 kilogram per hektar unsur hara Nitrogen (N) jika disetarakan kedalam kandungan unsur N pada pupuk urea terdapat kurang lebih 23.33 kilogram pupuk urea. Sedangkan Posphor (P) mengandung 4.72 kilogram atau setara dengan 13.11 kilogram pupuk SP-36, sedangkan harga pupuk urea di Muara Gembong pada tahun 2000 berkisar antara Rp 2 000,- per kilogram sedangkan pupuk SP-36 berkisar antara 3 000,- per kilogram jika dikalikan dengan luas mangrove yang berjumlah 398,40 hektar. Manfaat tidak langsung yang mempunyai fungsi yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan, udang dan kepiting mangrove adalah guguran daun mangrove (Sarasah) yang mempunyai fungsi sebagai makanan bagi ikan-ikan. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan mangrove. daun mangrove tersebut akan terurai oleh mikroorganisme dan kemudian diuraikan menjadi partikel – partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti cacing mysidaceae ,udang-udang kecil.kemudian hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting serta binatang lainnya sesuai dengan
102 sistem dialam hewan yang lebih besar akan mengkonsumsi hewan kecil darinya yang akhirnya sehingga ikan dan udang serta kepiting dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber makanan. Selama keberadaan hutan mangrove masih mencukupi untuk kebutuhan ikan-ikan tersebut, maka jumlah ikan–ikan yang membesarkan anaknya di sekitar mangrove tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Muara Gembong yang bermata pencaharian sebagai pengumpul ikan-ikan,udang dan kepiting. Mereka pada umumnya menjual ikan-ikan tersebut ke cilincing dan kemudian didistrtibusikan di sekitar Jakarta.
3. Nilai Pilihan ( Option Value ) Option value dari hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong dihtung deengan menggunakan nilai manfaat dari keanekaragaman hayati ( Biodiversity ). Dalam penelitian Ruitenbeek (1991) menilai Option value untuk hutang mangrove di Indonesia sebesar USD $ 15,- hektar per tahun, yang berarti apa bila dikonversikan kedalam nilai rupiah US $ 1,- sama dengan Rp 9 500, sesuai waktu penelitian maka nilai manfaat biodiversity di Kecamatan Muara Gembong sebesar Rp 142 500,- per hektar per tahun. Melihat fungsi hutan mangrove yang sudah kritis, pada hutan ini mempunyai nilai waris, maka perhitungan hutan mangrove digunakan dengan metode benefit tranfer dengan analisis future value. Dengan mengunakan metode benefit tranfer. Dengan mengunakan diskount rate sebesar 10 % dan dari luas mangrove sekarang maka dalam jangka 10 tahun ke depan nilai yang akan datang (Future Value) dari ekosistem mangrove di Kecamatan Muara Gembong adalah Rp 345 574 631 per hektar.
103
Tabel 17. Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di Kecamatan Muara Gembong Produksi rata-rata
No Penilaiaan Langsung (Direct Value) a. Potensi Kayu (m3/ha/tahun) b. Kayu Bakar (m3/ha/tahun) c. Ikan (kg/tahun) d. Udang (kg/tahun) e. Kepiting (Kg/tahun)
Harga
Nilai Jual (Rp/Ha/tahun)
0.94 1.40 12,57 120 850
75000 2500 1250 3000 2500
70,5 3,5 15,712,500 360 2,125,000 18,271,500
Penilaian Tidak langung (Inderect value) a. Guguran Daun mangrove(Pupuk urea dan NPK) Nitrogen(Kg/Ha) (23.33 kg pupuk urea) Phospor (kg/Ha) (13.11 Kg pupuk SP-36)
10.5 4.72
2000 3000
46,66 39,33 85,99
Penilaiaan Pilihan (Option Value) a. Nilai Biodiversity (Ha/tahun)
$15
$1 = 9500
142,5
Total Nilai Ekonomi (TEV) Keterangan : * 13.08 ton per hektar, 4.85 berat kering (Witjaksono,2002) ** Biodiversity $15/hektar/tahun (Ruitenbeek,1991)
18,499,990
V.5.2. Analisis Financial Pada Penggunaan Lahan Tambak Sebagian besar kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik tambak udang dan bandeng. Karena air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan, maka pengelolaan terhadap sumbersumber air alami maupun nonalami (tambak, kolam, dan lain-lain) harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir. Disamping itu pengaruh utama yang harus diperhatikan antara lain pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya termasuk aktivitas di lahan atas dan pengaruh budidaya terhadap lingkungan. Berdasarkan hasil survey kegiatan tambak di Kecamatan Muara Gembong banyak dikuasai oleh pengusaha dari Jakarta, yang berinvestasi pada masyarakat yang tinggal didaerah tersebut. Hal ini terbukti pada saat wawancara dengan masyarakat setempat, pada awalnya mereka membuka lahan milik perhutani yang diberi izin oleh pemerintah setempat (camat) kemudian mereka akan bagi hasil
104 dengan pihak luar. Dari waktu ke waktu perubahan terjadi dimana pemilik tambak akhirnya bekerja sebagai buruh tambak di daerah tersebut. Berdasarkan tingkat teknologi penggunaan lahan tambak, kategori penggunaan lahan tambak di kecamatan muara gembong adalah konventional, walaupun pemberian pakan buatan sudah dilakukan, tetapi pengaturan air masih alami dan konstruksi tambak masih sederhana, berdasarkan hasil survey masarakat juga mengatakan bahwa pengendalian hama penyakit dan pengapuran masih belum teratur. Tambak merupakan lahan yang paling luas dalam penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong. Total luas lahan pada tahun 2000 mencapai 8 917 hektar atau 67 % dari luas lahan di kecamatan ini. Berdasarkan penilaian Net Present Value di kecamatan ini, umumnya masyarakat menanam tambaknya dengan ikan bandeng dan udang, pada tahun 2000 produktivitas tambak udang mencapai 67 kg per hektar per tahun sedangkan untuk ikan bandeng 153 kg per hektar per tahun, sedangkan harga per kilogram berdasarkan hasil survey harga udang mencapai Rp 24 000,- sedangkan harga bandeng Rp 15 000,Berdasarkan informasi dari kantor Kecamatan Muara Gembong pada tahun 2000 luas lahan tambak yang ditanami dengan udang 60 % dan bandeng seluas 40 % dari total luas tambak yang ada di Kecamatan Muara Gembong. Dengan menghitung Net Present Value
dari tambak di Kecamatan Muara Gembong
mencapai 28 394 382,- untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran.
V.5.3. Analisis Financial Pada Penggunaan Lahan Tegalan Berkebun ubi kayu dan jagung di Kecamatan Muara Gembong sudah lama dilakukan, hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari masarakat setempat, penanaman ubi kayu dan jagung juga dimanfaatkan masyarakat setempat untuk penghasilan tambahan, sedangkan kebanyakan penduduk yang pindah kemuara gembong pada awalnya adalah petani dari daerah Jawa, yang berpropesi sebagai petani. Berdasarkan hasil survey penurunan penggunaan lahan tegalan terjadi akibat adanya potensi yang lebih menjanjikan pada lahan tambak, dan kemudian petani tegalan yang baru pindah dari daerah pertanian telah dapat menyesuaikan
105 dengan pertanian tambak, potensi inilah yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan tegalan ke tambak. Berdasarkan data dari kantor Kecamatan Muara Gembong pada tahun 2000 luas lahan tegalan sekitar 405 hektar, berdasarkan hasil survey dari ubi kayu produktivitasnya sebesar 7 500 kilogram per hektar per tahun dan jagung produktivitasnya sebesar 5 000 kilogram per hektar per tahun dari total luas tegalan yang ada di Kecamatan Muara Gembong. Berdasarkan perhitungan NPV dari tegalan di Kecamatan Muara Gembong mencapai Rp 7 002 671,-
V.5.4. Analisis Financial Pada Penggunaan Lahan Sawah. Lahan sawah merupakan lahan budidaya yang terluas sesudah tambak, di Kecamatan Muara Gembong memiliki lahan sawah seluas 2 090 per hektar, dari NPV dapat dilihat pada Lampiran . Kecamatan Muara Gembong memiliki luas Luas lahan sawah di Kecamatan Muara Gembong 2 090 hektar dimana, lahan sawah yang terdapat dilokasi penelitian ini, manfaat langsung lahan sawah dilokasi penelitian didapat dari hasil produksi padi per hektar yang berarti berdasarkan data BPS Bekasi mengatakan hasil produksi beras Dari analisis NPV lahan sawah dengan diskoun rate 10 % dan kurun waktu 10 tahun maka didapat NPV Rp 13 770 980,-. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk di Kecamatan Muara Gembong selama 10 tahun ini terlihat bahwa permintaan akan lahan semakin tinggi. Hal ini terlihat dari pertumbuhan lahan budidaya seperti sawah, tambak, tegalan dan pemukiman. Sedangkan lahan mangrove
terjadi penyusutan yang sangat drastis. Padahal lahan mangrove
merupakan lahan konservasi yang mempunyai nilai ekologis yang tinggi.
V.5.5. Analisis Financial Pada Penggunaan Lahan Pemukiman . Dikecamatan muara gembong pemukiman merupakan investasi untuk jangka panjang, penggunaan lahan pada tahun 2000 di daerah ini sebesar 270 hektar dan hal ini cendrung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan isu akan dibukanya akses di daerah ini. Beberapa investor dibidang perumahan ini berasal dari petani tambak, yang telah mapan dan telah memiliki rumah, dengan menyewakan rumah kepada para
106 pendatang yang pada umumnya berasal dari kampung mereka dengan membuka lahan didaerah tersebut. Dari hasil analisis NPV nilai NPV per hektar selama kurun waktu 10 tahun belum memberikan keuntungan bagi investor, bahkan nilai NPV Rp – 9 845 824 dengan discoun rate 10 %, tetapi hal ini cendrung menaik untuk jangka waktu sepuluh tahun kedepan.
V.6. Analisis Optimalisasi Penggunaan Lahan Di Kecamatan Muara Gembong Guna melakukan perhitungan nilai optimal dilakukan pendekatan future value dari pada pendekatan future value, hal ini mengingat pentingnya penekanan terhadap nilai mendatang di Kecamatan Muara Gembong. Kondisi existing pemanfaatan lahan di jadikan faktor kendala dengan demikian model optimal berupaya mencari seberapa besar peruntukan konversi lahan yang dapat ditolerir dengan menghasilkan manfaat ekonomi yang maksimal. 5 penggunaan lahan yang dipigunakan dalam model optimalisasi yang terdiri dari lahan sawah, lahan tambak, lahan pemukiman, lahan tegalan, dan lahan mangrove. Dengan luas lahan terpilih berdasarkan maximal produktivitas dari penggunaan lahan sawah dan tambak selama kurun waktu 10 dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000. maka model optimalisasi berusaha mencari alokasi yang optimal pada setiap peruntukan tersebut, dengan discount rate (suku bunga menggambarkan unit rente dari lahan dan pemanfaatan lahan existing, sementara batas maksimal penggunaan lahan yang dapat ditolerir sesuai dengan luas lahan pada nilai produktifitas maksimal selama kurun waktu 10 tahun Dari Analisis simulasi optimalisasi penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong dengan metode total economic value dengan 3 opsi penggunaan lahan, dengan aplikasi program linier. Memasukkan estimasi future Value (FV) untuk lahan mangrove dan foregone benefit, yang diestimasi dengan substraksui dari potensi net revenue dari kondisi existing, pada lahan budidaya. Untuk penggunaan aplikasi program linier, representasi fungsi tujuan, maksimalisasi dari profit dan kendala berupa kondisi land use exisiting serta kendala konversi, yaitu batasan konversi sebesar 5 780 hektar untuk lahan tambak, dan 2 036 hektar untuk lahan sawah nilai ini didapat dari hasil maksimal
107 produktifitas dalam kurun waktu 10 tahun penggunaan lahan dari tahun 1990 – 2000 . dengan total economic value (TEV) Tabel 18. Economic Loss perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong Penggunaan Lahan Sawah Tambak
Tambak
Sawah
21 394 352 0
0
Tanpa Konversi 13 770 980
10 340 420
28 394 382
Tegalan
20 240 531
14 520 410
7 002 671
Pemukiman
25 667 109
11 043 707
- 9 845 824
Mangrove
28 452 450
10 243 230
345 574 631
V.7.
Hasil Analisis Optimalisasi Penggunaan Lahan Dari tabel di d ibawah diperoleh skenario pemanfaatan lahan berdasarkan
perhitungan total economic value (TEV) yakni (1) tidak terjadinya pengurangan daya dukung lahan untuk pengembangan kedepan , (2) menunjukkan terjadinya perubahan posistif dalam hal pemanfaatan lahan optimal dalam kurun waktu 10 tahun, maka nilai optimal yang dapat diperoleh seperti tabel di bawah ini . Dari hasil skenario penggunaan lahan seperti diuaraikan di atas, menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di Kecamatan Muara Gembong dengan nilai maksimum (objective Value) sebesar Rp 652.796.929,-akan dapat dicapai jika perubahan lahan di Kecamatan Muara Gembong apabila (1) Perubahan lahan tambak tidak melebihi 60 %. (2) lahan tegalan dapat dikonversi seluruhnya karena dianggap kurang produktif (3) sedangkan lahan mangrove karena mempunyai nilai TEV yang tinggi harus tetap dipertahankan.
108 Tabel 19 . Optimalisasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong Konversi Lahan Tambak dari Tambak Tambak dari Sawah Tambak dari Pemukiman Tambak dari Tegalan Tambak dari Mangrove Sawah dari Tambak Sawah dari Sawah Sawah dari Pemukiman Sawah dari Tegalan Sawah dari Mangrove Tanpa konversi Tambak Tanpa konversi Sawah Tanpa konversi Pemukiman Tanpa konversi Tegalan Tanpa konversi Mangrove
Optimalisasi (Ha) 4.888 2.090 399 405 . 2.192 . . . . 1.834 . . . 1.490
Dari hasil analisa optimalisasi penggunaan lahan, di Kecamatan Muara Gembong dapat di klasifikasikan menjadi tiga zonasi yang sesuai dengan ketentuan pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan, (1) zona perlindungan, (2) zona pengelolaan dan (3) zona penyangga. Zona perlindungan yang sesuai dengan kaidah – kaidah pengelolan wilayah pesisir zecara berkelanjutan, dari hasil analisis diatas, zona perlindungan dapat dilihat dari penggunaan lahan mangrove, yang hanya 398 hektar menjadi 1 490 hektar, karena mangrove dapat bermanfaat sebagai pelindung bagi habitat yang berada di kecamatan tersebut. Sedangkan zona pengelolaan dapat dimanfaatkan lahan tambak dan sawah, untuk sawah potensi saluran irigasi mengakibatkan lahan untuk sawah tetap, sedangkan untuk pemukiman lebih disebabkan oleh sarana dan prasarana yang tidak ada dan tidak memiliki lahan yang sesuai. Sedangkan untuk tegalan
V.8.
Analisa Degradasi Sumberdaya Lahan Menurut Fauzi dan Anna (2004), Degradasi dapat diartikan penurunan
kualitas /kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarukan (dalam bentuk fisik), dimana sumberdaya alam yang dapat diperbaharui ini berkurang kemampauan alaminya dalam beregenarsi sesuai kapasitas produksinya. keadaan ini bisa
109 disebabkan karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia, Fauzi dan Anna (2004) juga mengatakan kebanyakan degradasi yang terjadi di wilayah pesisir dan laut Indonesia akibat aktivitas produksi dan non produksi. Untuk melakukan perhitungan degradasi, analisis lebih mengarah kepada lahan ekonomis yang dilihat dari sisi aspek penggunan lahan pemukiman dan dari sisi aspek lahan Budidaya yang meliputi lahan sawah, tambak, tegalan. Perhitungan degradasi lahan di wilayah pesisir mengalamai modifikasi dari perhitungan basis mengingat adanya perubahan peruntukan lahan lahan ekonomis dan non ekonomis dalam simulasi template gambar berikut digambarkan keterkaitan lima variable stok yang mempengaruhi degradasi lahan yaitu : potensi lahan ekonomis, stok lahan ekonomi, pemanfaatan lahan pemukiman, kesuburan lahan dan perkembangan penduduk Sebagaimana terlihat pada gambar dibawah, laju degradasi lahan dihitung berdasarkan laju konversi lahan akibat pemanfaatan lahan ekonomi dan laju degradasi kesuburan lahan yang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan kegiatan pertanian dan kegiatan non ekonomi seperti lahan pemukiman. Perubahan laju degradasi lahan pada prinsipnya dipengaruhi oleh perubahan laju konversi dari potensi lahan ekonomi menjadi stok lahan ekonomi oleh pertanian dan laju konversi dari lahan ekonomi menjadi lahan pemukiman. Laju konversi yang kedua ini akan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir. Pemanfaaatan lahan ekonomi seperti untuk pertanian, mau tidak mau akan mempengaruhi tingkat kesuburan lahan yang akan mempercepat proses laju degradasi melalui konversi kesuburan lahan dari berbagai aktivitas.
110 init lahan pemukiman
porsi lahan pertanian
pemanfatan lahan pemukiman
kebutuhan lahan
laju konversi2
init lahan ekonomis lahan ekonomis
land development time
lahan pemukiman/kapita
land fert regeneration
land fert gener time exit rate inherent land fer population
potensi lahan ekonomis
laju konversi1
init potensi lahan avg life land
laju erosi lahan
land fertility land fert degradation
init land fert
land fert degradation rate
init popul
growth
This Land Degradation Model was developed by A. Fauzi. Copyright 2004
Sumber : A Fauzi 2004
Gambar 23. Simulasi Degradasi lahan di Kecamatan Muara Gembong Keterangan : Initial Condition - Lahan Ekonomi - Lahan Pemukiman - Land Fertility - Populasi - Potensi Lahan Variabel Sistem - Pemanfaatan Lahan pemukiman - Land fertility - Potensi lahan ekonomi - Populasi - Lahan Ekonomi Elemen Sistem -
Laju Konversi 1 Laju Konversi 2 Laju Erosi Lahan Land Fertility Degradation Land Fertility Regeneration Growth Exit rate
111
Dari hasil simulasi di atas didapat hasil peningkatan populasi selama kurun waktu 20 tahun. Dari kurva dibawah ini terlihat adanya peningkatan jumlah populasi yang cukup siqnifikan. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa sesuai data di lapangan ternyata terjadi peningkatan pemanfaatan lahan pemukiman yang cukup signifikan akibat kebutuhan lahan yang tinggi, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan laju konversi dari sekitar 21 hektar per tahun menjadi 300 hektar per tahun pada 20 tahun kemudian. Sementara itu untuk potensi lahan ekonomi terjadi penurunan luasan dari sekitar 11 303 hektar , menjadi sekitar 200 000 hektar dalam 20 tahun kedepan , dengan laju konversi tetap sebesar 1 600 hektar sampai 125 tahun ke depan , penurunan lahan ekonomis ini lebih dikarenakan pemanfaatan pemukiman seperti dijelaskan diatas. Untuk kebutuhan lahan per kapita , terjadi peningkatan dari 5 hektar per tahun menjadi sekitar 6 hektar pertahun selama 15 tahun. Peningkatan
Hektar
kebutuhan yang relatif kecil ini terjadi karena menurunya lahan ekonomi.
Gambar 24. Simulasi pemanfaatan lahan pemukiman Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi terhadap permintaan lahan untuk pemukiman, di Kecamatan Muara Gembong peningkatan penduduk
112 dalam kurun waktu 15 tahun akan meningkatkan permintaan akan lahan pemukiman sehingga mencapai 1700 hektar, pada tahun 2010. dengan bertambahnya lahan pemukiman berarti akan mempengaruhi terhadap lahan lainnya, seperti hutan mangrove dan lahan budidaya lainnya. Penggunaan lahan untuk pemukiman juga akan mempengaruhi terhadap keberadaaan sumberdaya pesisir seperti lahan mangrove, hal ini disebabkan oleh fungsi kayu mangrove
Hektar
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan bangunan.
Gambar 25. Simulasi potensi lahan ekonomi Dengan meningkatnya lahan pemukiman, berarti lahan budidaya dan lahan mangrove akan merkurang secara drastis, hal ini dapat ditimbulkkan apabila masarakat di Kecamatan Muara Gembong bekerja disektor pertanian, akibat dari pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi selama kurun waktu 20 tahun yang berarti akan menyebabkan terjadinya konversi lahan berdasarkan simulasi degradasi penggunaan lahan pada tahun keempat nilai ekonomi dari lahan di Kecamatan Muara Gembong akan habis. Hal ini dapat dilihat apabila dikaitkan penggunaan lahan dengan produktifitas lahan dalam kurun waktu 10 tahun.
Hektar
113
Gambar 26. Analisis simulasi kebutuhan lahan
Sementara analisis laju degradasi subur (ferti land) hanya tinggi pada awal tahun pengamatan (300 hektar per tahun ) dan menurun dengan drastis pada tahun pertama, untuk selanjutnya meningkat kembali dan konstan pada laju 0 hektar per tahun dari tahun ke 2 sampai tahun 20. Untuk laju erosi lahan, pada kondisi awal mencapai 3 000 hektar per tahun, untuk kemudian menurun sampai mencapai sekitar 2 500 hektar per tahun pada tahun 20. kondisi ini terjadi karena adanya proses alamiah dan juga perubahan pola tanam dan penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong. Dari hasil analisis simulasi degradasi lahan terlihat bahwa dengan memasukkan nilai optimalisasi penggunaan lahan dengan laju konversi yang terjadi pada saat ini akan mengakibatkan potensi lahan ekonomi pada tahun keempat akan habis, sedangkan untuk lahan subur (land fertility) dengan kondisi eksisting akan terjadi hal yang sama. Untuk itu perlu dilakukan suatu kebijakan dalam pengendalian penggunaan lahan.
114
V.9.
Konsep Pengembangan Wilayah Pesisir Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan proses awal
dari keseluruhan tahapan penataan ruang. RTRW adalah proses awal dari keseluruhan tahapan penataan ruang dan produk pengaturan yang berisi struktur dan pola pemanfaatan ruang. Struktur mengatur sistem pusat-pusat kegiatan beserta jaringan prasarana secara hierarkis, sedangkan pola pemanfaatan ruang bertujuan untuk mengatur wilayah dengan satuan-satuan (deliniasi ruang) yang fungsional sesuai dengan tujuan rencana dan kondisi daya dukung dan daya tampung sumberdaya . Perencanaan tata ruang wilayah pesisir sangat berperan untuk menserasikan kebutuhan pembangunan dengan kebutuhan untuk melindungi, melestarikan dan meningkatkan kualitas lansekap, lingkungan, habitat flora dan fauna serta untuk membangun kawasan budidaya. Rencana tata ruang wilayah pesisir diperlukan untuk menjaga kelestarian pantai di satu sisi dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada sisi yang lain. Maka dengan demikian diperlukan adanya kebijakan tata ruang untuk wilayah pesisir yang meliputi: kebijakan konversi lingkungan alam; kebijakan pembangunan yang khusus membutuhkan lokasi pantai; kebijakan mencegah bencana alam seperti banjir, erosi dan lian-lain; kebijakan rehabilitasi lingkungan, khususnya garis pantai yang rusak atau mengalami pergeseran.
V.10. Rencana Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Bekasi Perencanaan tata ruang di Kabupaten Bekasi pada wilayah pesisir khususnya daerah pertanian harus mengikutsertakan aspek pengendalian kualitas air dan proteksi daerah penting. Pedoman yang berkaitan dengan pengaturan tata ruang tersebut antara lain perhatian terhadap pengendalian kualitas air agar tidak terjadi proses sedimentasi dan pencemaran perairan pesisir, serta menyediakan daerah penyangga (Buffer zone) antara daerah pertanian dan tepi perairan pesisir. Sejalan dengan kebijakan nasional dan provinsi, kebijakan tata ruang daerah ditujukan untuk mengurangi kesenjangan hubungan antara kepadatan penduduk, kondisi ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam serta potensi daerah lainnya. Pemanfaatan ruang wilayah meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Di
115 Kabupaten Bekasi, kawasan hutan lindung dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai), sedangakn kawasan budidaya meliputi kawasan budidaya pertanian, kawasan perikanan, kawasan pemukiman, kawasan peruntukan, kawasan industri, kawasan pertambangan, dan kawasan pariwisata. Rencana pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung (termasuk sempadan sungai/jalur hijau) di wilayah Kabupaten Bekasi seluruhnya mencakup 11 092.5 hektar atau sekitar 8,7% dari luas wilayah kabupaten, yang meliputi : 1. Kawasan hutan lindung dan sempadan pantai (6 887.5 hektar), lokasinya berada di Kecamatan Muara Gembong dan di sekitar kawasan budidaya perikanan (tambak) yang terletak di bagian selatan Kecamatan Muaragembong. Di dalam kawasan ini sudah termasuk pantai. 2. Sempadan sungai dan jalur hijau (4 205 hektar), lokasinya tersebar di sepanjang sungai-sungai dan menjadi penyangga antara kawasan permukiman dan kawasan peruntukan industri. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya yang ada, rencana pemanfaatan ruang untuk pengembangan kawasan budidaya di wilayah Kabupaten Bekasi, mencakup penetapan lokasi kawasan budidaya pertanian dan non pertanian sebagai berikut : 1. Kawasan Pertanian Lahan Basah Kawasan pertanian lahan basah adalah kawasan yang fungsi utamanya untuk kegiatan pertanian lahan basah karena didukung kondisi topografi tanah yang sesuai dengan dukungan prasarana pengairan.
Kawasan
pertanian lahan basah ini pada dasarnya merupakan kawasan lahan bawah (sawah) sekarang yang tetap dipertahankan keberdaannya sebagai bagian dari sentra produksi padi di wilayah pantura Jawa Barat.
Secara
keseluruhan kawasan ini mempunyai luas sekitar 74 422 hektar. Lokasinya menyebar hampir di seluruh kaecamatan yaitu ; Kecamatan Serang, Kedungwaringin, Cibarusah, Pebayuran, Tambelang, Sukatani, Cibiung, Lemahabang, Setu dan kecamatan Cikarang ( Muara Gembong adalah bagian dari wilayah studi) 2. Kawasan Pertanian Lahan Kering
116 Kawasan pertanian lahan kering adalah kawasan yang fungsi utamanya diperuntukkan bagi kegiatan pertanian lahan kering karena didukung oleh kondisi topografi tanah yang sesuai. Luasan kawasan ini secara keseluruhan sekitar 3 897.5 hektar yang lokasinya sebagian besar berada di Kecamatan Cibarusah (2.850 hektar), Kecamatan Serang (885 hektar) dan di Kecamatan Setu (162.5 hektar). Di dalam kawasan ini dikembangkan kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan lahan kering berupa kebun campuran, ladang, serta hortikultura. Di dalam kawasan ini masih dimungkinkan
adanya
kegiatan/pemanfaatan
ruang
peternakan,
pemukiman perdesaan. 3. Kawasan Pertanian Tanaman Tahunan Kawasan pertanian tanaman tahunan adalah kawasan di luar kawasan lindung yang fungsi utamanya diperuntukkan bagi kegiatan budidaya tanaman tahunan/tanaman keras karena didukung oleh kondisi dan topografi tanahnya sesuia. Kawasan ini diperuntukkan bagi jenis-jenis tanaman keras yang menunjang konservasi tanah dan air. Luas kawasan ini secara keseluruhan sekitar 4 232.5 hektar yang tersebar di Kecamatan Cibarusah seluas 757.5 hektar, Kecamatan Serang seluas 475 hektar dan Kecamatan Setu seluas 3 000 hektar. Kawasan budidaya tanaman tahunan ini berupa kebun campuran, ladang dan huma. Dalam pengembangannya, pada kawasan ini masih dimungkinkan adanya budidaya pertanian lainnya serta dan permukiman perdesaan secara terbatas. 4. Kawasan Perikanan/ Tambak Kawasan perikanan adalah kawasan yang fungsi utamanya diperuntukkan bagi kegiatan perikanan dan segala kegiatan penunjangnya. Kawasan ini di Kabupaten Bekasi merupakan kawasan budidaya tambak yang secara keseluruhan memiliki luas 8.565 hektar yang tersebar di dua kecamatan yaitu Kecamatan Muara Gembong dan Babelan. 5. Kawasan Permukiman Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawaaaaan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan
117 dan penghidupan. Sesuai dengan karakteristiknya, pengembangan kawasan permukiman di Kabupaten Bekasi dibedakan. 1. Kawasan permukiman perkotaan merupakan bagian dari kawasan perkotaan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian. Pengembangan kawasan permukiman ini perlu dikaitkan serasi dengan pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi perkotaan. Kawasan ini secara fisik berwujud sebagai permukiman skala besar (>100 Hektar) serta permukiman yang telah ada yang secara keseluruhan mencakup luasan sekitar 10 548 hektar, dimana luas untuk sarana tempat tinggal (kavling efektif) seluas 6 329 hektar. Sedangkan luas lahan untuk fasilitas sosial dan fasilitas umum pada kawasan permukiman perkotaan direncanakan 40 % dari luas kawasan atau sebesar 4 219 hektar. Kawasan permukiman perkotaan ini lokasinya tersebar di Kecamatan Cikarang, Cibitung, Tambun, Lemahabng, Setu, dan Kecamatan Serang. 2. Kawasan permukiman perdesaan merupakan bagain dari kawasan perdesaaan yang mempunyai kegiatan untuk pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam, yang pengembangannya perlu dikaitkan dengan desa-desa yang berfungsi sebagi pusat pertumbuhan karena terkait dengan pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi perdesaaan.
Kawasan
permukiman perdesaaan secara keseluruhan memiliki luas sekitar 4 321 hektar. Kawasan perdesaan ini lokasinya tersebar di Kecamatan Muara Gembong, Tarumajaya, Bebelan, Cabang Bungin, Tambelang, Sukatani, Pebayuran, Cibarusah dan Kecamatan Kedung Waringin. Mengacu kepada perencanaan tata ruang wilayah Bekasi maka hasil analisa optimalisasi penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong, dapat memberikan kontribusi dalam implementasi pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan.
118
V.11. Implikasi Kebijakan Dalam hal kebijakan perencanaan pemanfaatan ruang yang tujuannya adalah untuk menghasilkan penggunaan yang terbaik, namun sudah seharusnya pemerintah juga memfokuskan pada tiga sasaran umum dalam pemanfaatan sumberdaya lahan: (1) efisiensi, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3) keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik-lingkungan berkelanjutan
sehingga
menjamin
(sustainable).
peningkatan
Keberlanjutan
ini
kesejahteraan didapat
apabila
secara dalam
pemanfaatannya memperhitungkan nilai-nilai mamfaat langsung dan tidak langsung yang dihasilkan oleh penggunaan lahan. Seperti halnya penggunaan lahan mangrove meskipun secara mamfaat langsung (nilai ekonomi) memberikan nilai yang jauh lebih rendah dari penggunaan lahan tambak, namun akan memberikan nilai manfaat tidak langsung yang sangat besar. Dengan demikian perlu melakukan pendekatan kebijakan yang mengarah kepada sustainability di samping merujuk pada nilai efisiensinya / ekonominya. Kecamatan
Muara
Gembong
berdasarkan
pada
rencana
wilayah
pengembangan Kabupaten Bekasi, termasuk ke dalam Wilayah Pelayanan II (zona utara), Wilayah pada zona ini terutama diarahkan pada pengembangan kegiatan pertanian lahan basah. Wilayah yang termasuk zona ini diantaranya adalah Kecamatan Muaragembong, dengan demikian pada wilayah kecamatan Muara Gembong dikembangkan lahan pertanian basah, yang salah satunya adalah untuk pemanfaatan lahan tambak. Meskipun dari analisis kesesuaiaan lahan dengan klasifikasi lahan yang baik untuk tambak, menunjukkan bahwa Kecamatan Muara Gembong sangat berpotensi untuk pengembangan budidaya tambak, hal ini dapat dilihat dari klasifikasi kesesuaian lahan untuk tambak yang memiliki klasifikasi sangat sesuai (S1) sebesar 83% (11043 hektar) sedangkan yang tidak sesuai (N1) dan (N2) untuk tambak hanya sebesar 3 % dari total luas lahan di Kecamatan Muara
119 Gembong. Namun pada dasarnya lahan yang sesuai untuk tambak ini merupakan lahan hutan mangrove yang berada di bawah penguasaan PT Perhutani. Kurangnya pengontrolan dari Perhutani terhadap konversi hutan mangrove ke tambak yang dilakukan oleh masyarakat, mengakibatkan terjadinya konversi besar-besaran. Orientasi untuk mendapatkan pendapatan (income) yang besar serta penerimaan daerah (PAD) sebesar-besarnya yang didapat dari lahan tambak, ternyata cenderung mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumber daya hutan mangrove, yang mengakibatkan kerusakan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Berdasarkan pola penggunaan lahan di Kecamatan Muara Gembong dari tahun 1990 sampai tahun 2000, menunjukkan bahwa telah terjadi konversi lahan mangrove yang mengakibatkan luas hutan mangrove tinggal hanya sebesar 2 % dari total luas hutan mangrove.
Konversi mangrove ke tambak memang
menguntungkan tetapi dampak ekternalias seperti rusaknya ekosistem tidak diperhitungkan pleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan ketidak seimbangan ekosistem di wilayah pesisir Teluk Jakarta. Berkurangnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan terjadinya pendangkalan Teluk Jakarta disekitar Kecamatan Muara Gembong. Dampak lain yang ditimbulkan adalah berkurangnya sumber makanan dan tingkat kesuburan sumberdaya perikanan, sehingga menggangu terhadap fungsi ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan dan pembesaran ikan. Karena kawasan mangrove merupakan suatu ekosistem yang mampu menghasilkan bahan organik yang sangat penting peranannya untuk mempertahankan produktivitas perairan /kelestarian sumberdaya, juga dimaksudkan sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta pencegahan erosi dari ombak dan hempasan angin laut yang kuat. Karena ekosistem mangrove memiliki fungsi–fungsi ekologis dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, dan merupakan rantai penghubung antara ekosistem pantai dan ekosistem daratan yang harus terus dilindungi dari kegiatan konversi yang tidak terkontrol dan pencemaran yang diperoleh dari luasan lahan yang tersisa. Berdasarkan kondisi demikian, sudah selayaknya kerusakan dan degradasi kawasan pesisir Kecamatan Muara Gembong sebagai akibat terjadinya konversi hutan mangreove secara besar-besaran, harus segera diakhiri. Untuk itu proses
120 pelaksanaan pembangunan harus direka ulang, sehingga pemanfaatan lahan di Kecamatan Muara Gembong mengisyaratkan diperlukannya penyesuaianpenyesuaian yang juga harus didasarkan atas kerangka ideal mengenai prinsip dasar perencanaan tata ruang wilayah, serta melakukan penilaian valuasi ekonomi dalam mencari
optimalisasi pemanfaatan lahan, dengan memasukkan unsur
ekologi didalam perhitungan ekonomi. Dengan demikian maka dalam rangka penyusunan pola Rencana Tata Ruang, di samping menekankan deskripsi kondisi yang ingin dicapai, yakni berupa zonasi arahan penggunaan lahan yang dikehendaki, harus juga menelaah dan mendeskripsikan sisi keberlanjutan dan daya dukung ekologi ekonominya, sehingga dapat diwujudkan pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan.. Selain itu, hal yang perlu dilakukan dalam pemanfaatan lahan adalah menciptakan keseimbangan spasial, oleh karenanya perlu dibangun struktur keterkaitan antar wilayah yang seimbang dan berkelanjutan, mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Untuk menjamin kelestarian lahan bagi pengembangan pemanfaatan lahan yang berkelanjutan, perlu dilakukan suatu strategi dalam pengelolaan hutan mangrove dan implikasi kebijakan dengan melakukan usaha-usaha terpadu yang tidak saling merugikan dan sesuai dengan prinsip – prinsip konservasi lahan yang menjaga kesimbangan ekosistem dalam upaya mempertahankan kelestarian sumberdaya di wilayah pesisir Kecamatan Muara Gembong diperlukan dua startegi pokok , yaitu : 1. Melakukan perlindungan terhadap sumberdaya hutan mangrove agar supaya dapat dimanfaatkan secara maksimal dan berkelanjutan oleh masyarakat. Karena lahan ini merupakan area perlindungan terhadap sumberdaya
hayati
yang
bertujuan
untuk
mempertahankan
keanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi ekologis sumberdaya hutan mangrove. 2. Meminimalisasi kegiatan konversi lahan yang banyak digunakan untuk kegiatan pertambakan yang pada akhirnya akan mengeliminir sumberdaya hutan mangrove. 3. Menjadikan
lahan mangrove sebagai kawasan konservasi, sehingga
diharapkan akan mampu menghasilkan bahan organik yang sangat penting
121 peranannya untuk mempertahankan produktivitas perairan /kelestarian sumberdaya, juga menjadi penyangga daratan dari rembesan air laut serta pencegahan erosi dari ombak dan hempasan angin laut yang kuat. 4. Kawasan hutan mangrove yang telah terbuka atau telah rusak harus segera direhabilitasi melalui kegiatan pengayaan dan penanaman kembali . tujuan dari kegiatan rehabilitasi adalah untuk memulihkan fungsi hutan mangrove sebagai ekosistem daerah pantai. Rehabilitasi dilakukan dengan menanam kembali hutan mangrove yang telah rusak maupun pada pematangpematang tambak yang dapat berfungsi sebagai jalur hijau serta rehabilitasi tambak-tambak yang telah rusak dan tidak berfungsi lagi dapat dilakukan melalui pola agroforestry seperti wanamina sepanjang persyaratan teknis memenuhi.
(sylvofishery)
122
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan Muara Gembong maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan pola penggunaan lahan tahun 1990, di Kecamatan Muara gembong terdiri atas tambak 5 631 hektar, sawah 2 730 hektar, tegalan 529 hektar, mangrove 2411 hektar dan pemukiman 262 hektar. Pada tahun 2000 luas penggunaan lahan untuk tambak 8 914 hektar, sawah 2090 hektar, tegalan 405 hektar, mangrove 398 hektar. 2. Daya dukung lahan yang dinilai dari produksi maksimal, penggunaan lahan untuk tambak telah melebihi daya dukung, dengan luas 8 914 ha, sedangkan daya dukung tambak hanya 7 782 hektar. Hal ini membuktikan dikecamatan muara gembong telah mengalami kelebihan 1 132
hektar, hal ini berdampak kepada produktivitas lahan tambak
dikecamatan tersebut. 3. Dari analisis kesesuaiaan lahan, kawasan
hutan mangrove memang
sesuai untuk tambak. Tetapi kesesuaiaan lahan untuk tambak sangat berkaitan dengan ekosistem mangrove, dengan terjadinya konversi yang berlebihan, telah terbukti dapat menurunkan produktivitas tambak hingga 70 %, hal ini disebabkan oleh jenis lahan yang terdapat di kecamatan muara gembong lebih dari 90 % merupakan tambak konventional, dimana konsumsi pakan untuk ikan tergantung jasad renik yang terdapat pada ekosistem mangrove. Berdasarkanan ananlisis kesesuaiaan lahan mangrove menunjukkan bahwa untuk klasifikasi lahan yang Sangat Sesuai (S1) sebesar 9 688 hektar dan klasifikasi yang cukup sesuai (S2) sebesar 2 485 hektar sedangkan Sesuai Marginal (S3) sebesar 230 hektar dan Tidak sesuai untuk saat ini (N1) Sebesar 895 hektar Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah yang tergenang oleh pasang air laut yang sangat dibutuhkan oleh ekosistem mangrove. 4. Berfdasarkan anaslisis kesesuaian lahan untuk klasifikasi kesesuaian penggunaan lahan tambak, menujukkan bahwa Kecamatan Muara Gembong sangat berpotensi untuk pengembangan budidaya tambak, hal
123 ini dapat dilihat dari klasifikasi kesesuaian lahan untuk tambak memiliki klasifikasi yang Sangat sesuai (S1) sebesar 83% (11043 hektar) sedangkan yang tidak sesuai (N1) dan (N2) untuk tambak hanya sebesar 3 % dari total luas lahan di Kecamatan Muara Gembong. 5. Dalam kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak seluas 1 582 hektar Akibat konversi mangrove yang berlebihan mengakibatkan terjadinya banjir sampai berbulan-bulan, yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat beternak ikan untuk satu kali musim tanam, serta terjadinya aberasi pantai yang pada muara sungai, hal ini disebabkan kontruksi tambak yang berbatasan langsung dengan laut. 6. Tingginya tingkat konversi hutan mangrove menjadi tambak (mencapai 1,59 ribu ha selama 10 tahun), disebabkan adanya kesesuaian lahan mangrove untuk tambak, serta net revenue yang dihasilkan paling tinggi (Rp 56, 4 juta/ ha) dibanding konversi ke penggunaan lainnya. Namun konversi yang berlebihan telah mengakibatkan terjadinya penurunan produktifitas dari 1,9 ton/ha pada tahun 1994 menjadi 1,2 ton/hektar pada tahun 2000 7. TEV manggrove yang terdiri dari manfaat langsung (menghasilkan kayu, arang dan perikanan laut), serta manfaat tidak langsung penahan abrasi pantai serta sumber hara dan tempat
(sebagai
pemijah ikan)
adalah sebesar Rp. 345, 57 juta, dengan option value yang terdiri dari manfaat langsung menghasilkan kayu, arang dan perikanan laut serta manfaat tidak langsung yaitu sebagai penahanan aberasi dan sumber hara. 8. TEV lahan tambak sebesar Rp 28 394 382,- serta memiliki manfaat langsung yaitu menghasilkan ikan bandeng dan udang. Dengan adanya konversdi mangrove ini akan mengakibatkan terjadinya Economic loss dari hutan mangrove. 9. NPV tambak sebesar Rp 28,39 juta, sawah Rp13,77 juta, tegalan Rp 7,00 juta, pemukiman Rp – 9,8 juta untuk kurun waktu 20 tahun. 10. Produktivitas lahan tambak di Kecamatan Muara Gembong terjadi pada tahun kelima (tahun 1990-2000) yaitu mencapai 13 686 ton dengan luas
124 panen 7 203 hektar, sedangkan penggunaan lahan tambak pada tahun tersebut sebesar 7 782 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa luas penggunaan lahan tambak sudah mencapai luas penggunaan lahan yang ideal atau optimal. 11. Berdasarkan produksi maksimal, penggunaan lahan untuk tambak telah melebihi daya dukungnya yang hanya sebesar 7,78 ribu ha, sementara luas lahan tambak pada saat ini mencapai 8,91 ribu ha. 12. Berdasarkan analisis simulasi degradasi sumberdaya lahan pesisir , Peningkatan pemanfaatan lahan pemukiman dalam kurun waktu
20
tahun akan terjadi peningkatan laju konversi dari sekitar 21 hektar per tahun menjadi 300 hektar per tahun. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Muara Gembong dalam kurun waktu 15 tahun (tahun 2010) akan meningkatkan permintaan terhadap lahan pemukiman mencapai sekitar 1 700 hektar. 13. Dengan meningkatnya lahan pemukiman dimana rata-rata penduduknya bermata pencaharian sebagai petani tambak berarti lahan mangrove akan berkurang secara drastis, hal ini akan menyebabkan terjadinya konversi lahan mangrove sedangkan permintaan lahan untuk pemukiman yang cukup tinggi juga akan berdampak kepada berkurangnya lahan tambak yang dikonversi menjadi lahan pemukiman. Berdasarkan simulasi degradasi penggunaan lahan maka pada tahun keempat nilai ekonomi dari lahan di Kecamatan Muara Gembong akan habis. 14. Berdasarkan rencanan tata ruang Kabupaten Bekasi Kecamatan Muara Gembong masuk kedalam kawasan konservasi dan preservasi. Hal ini disebabkan daerah ini berbatasan langsung dengan Teluk Jakarta yang dikembangkan sebagai sepadan pantai, sedangkan untuk kawasan budidaya lahan basah kecamatan Muara Gembong juga diperuntukanan sebagai daerah pengembangan tambak, sedrta
kawasan pemukiman
pedesaan. Sementara hasil opsi penggunaan lahan kawasan pemukiman pedesaan Muara Gembong memiliki luas sekitar 160 hektar. 15. Peningkatan penggunaan lahan pemukiman pada kawasan sempadan sungai, didorong oleh tidak tersedianya sarana pemukiman (seperti prasaran air bersih, mandi dan cuci) pada kawasan sekitar tambak.
125 Sementara masyarakat disekitar wilayah pesisir Muara gembong 46,18 persennya bermata pencarian sebagai petani tambak. 16. Penggunaan lahan untuk mangrove yang saat ini hanya seluas 398 ha, harus ditingkatkan menjadi 1,490 ha, sesui dengan hasil analisis optimalisasi lahan untuk hutan mangrove. 17. Penggunaan lahan pemukiman di pinggir sungai harus dihilangkan karena
tidak memenuhi prasyarat pendirian pemukiman, serta
menyalahi ketentuan tata ruang (sempadan sungai).
VI.2. Saran – saran 1. Lahan diwilayah pesisir merupakan sumberdaya yang tidak terpisahkan dengan sumberdaya pesisir oleh karenanya pemerintah daerah dalam menentukan
perencanaan
wilayah
pesisir
harus
memperhatikan
keterpaduan pengelolaan lahan pesisir tersebut dengan kegiatan ekonomi dan lingkungannya (daya dukung ekosistem) 2. Sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi pemanfaatan lahan secara berkala, dengan memperhatikan manfaat ekonomi dan kesesuaiaan /daya dukung ekosistem di wilayah pesisir. 3. Oleh karena pemanfaatan lahan untuk tambak di wilayah peisisr Muara Gembong saat ini sudah melewati daya dukungnya, disarankan agar dilakukan pengurangan luas lahan untuk tambak diwilayah pesisir ini, hingga mencapai luasan daya dukungnya, agar dapat memberikan hasil yang optimal.
126
VII. DAFTAR PUSTAKA Afrianto E, Liviawaty E. 1993. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Ade SN, Hang Tuah dan Ofyar. 1999. Analisis Kebutuhan Model Interaksi Tata Guna Lahan dan Transportasi Studi Kasus Kotamadya Bandung. Bandung Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air . Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bangker R D, A Charnes and W W Cooper. 1984. Some Models for Estimating Technical and Scale Inefficiencies in Data Envelopment Analysis. Management Science 30:1078-1092. [ BPS ] Biro Pusat Statistik. 2001 Kabupaten Bekasi Dalam Angka ” Monografi Muara Gembong 2001 ” . BPS Kabupaten Bekasi . [ BPS ] Biro Pusat Statistik . 2002. Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah 2002. BPS Jakarta. [ BPS ] Biro Pusat Statistik . 2002. Harga Konsumen beberapa kota di 43 kota Indonesia 2002. BPS Jakarta Barlowe R. 1978. Land Resources Economic. The Economics of Real Estate. 3nd ed. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Michigan State University. Bengen DG. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. IPB. Bogor. Boyd CF. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. Central Research Institute for Fisheries, Jakarta. Bambang TC. 1982. Ekonomi Pertanahan. Penerbit Liberty, Yogyakarta. Carnes A, WW Cooper, and E Rhodes .1978. Measuring the efficiency of decision making units, European Journal of Operation Research 2 pp: 429 – 444. Costanza, R., J. C. Cumberland, H. E. Daly, R. Goodland, and R. Norgaard. 1997. An Introduction to Ecological Economics. St. Lucie Press, Boca Raton Costanza R, Daly HE. 1992. Natural Capital and Sustainable Development. Conservation Biology. Clark, J.R. 1996. Dynamite fishing, Part 3.23. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers: Boca Raton, Florida.
127
Dahuri R, J Rais, S P Ginting, M J Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan , PT Pradnya Paramita, Jakarta. Dahuri R. 2000. Strategi dan Program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Indonesia. Prosiding Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB. Bogor. Fare R. Shawna G, and Edward C K .1994. Production Frontier. Cambridge University Press. Cambridge, U K. [FAO] United Nation Food And Fondation. 1976. A framework for land evaluation. FAO Soils Bulletin 32. FAO, Rome. Fauzi A. 2000a. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Bogor. Bahan Kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam . Pasca Sarjana IPB. Bahan Kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam. Pasca Sarjana IPB. Fauzi A. 2000b. Metode Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan. Seminar “ The Role of Economic Valuation in EIA.PPSML.UI. Fauzi A. 2000c. Aspek Dinamis Sumber Daya Alam. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam . Pasca Sarjana IPB. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan . PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Untuk Analisa Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. [FMIPA-UI] Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. 2000. Evaluasi Tata Ruang Kabupaten Bekasi. Universita Indonesia. Haq, Mahbub ul .1995. Reflections on Human Development, New York: Oxford University Press Hartwick JM. 1977. Intergenerational Equity and the Investing of Rents from Exhaustible Resources. American Economic Review 66. Harris J.M 2002. Sustainability and Sustainable Development. International Society for Ecological Economics, Internet Encyclopaedia of Ecological Economics. Harris, Jonathan M., Timothy A Wise, Kevin P. Gallagher, and Neva R. Goodwin eds. 2001, A Survey of Sustainable Development: Social and Economic Dimensions, Washington, D.C.: Island Press.
128 Harjowigeno S, Soekardi M, Djaenuddin D, Suharta N, Jordens E.R . 1996. Kesesuaiaan Lahan Untuk Tambak . Centre For Soil and Agroclimate Research . Bogor. Korhument P, A Silijamaki, and M Soismaa. 1998. Practical Aspect of Value Efficiency Analysis. Interim Report IR-98-042 IIASA. Krupnick. A.J 1993. Benefit Transfer and Valuation of Enviromental Improvement.Resources . Krutila.J. 1967. Conservation Reconsidered. American Economic Review 57. Lancaster K.J. 1966. A New Approach to Consumer Theory, Journal of Political Economic. Lange, Duchin F. 1993. The Choice of Teknology and Associated Changes in Prices in the U.S Economy. Working Paper, Institute for Economic Analysis, NYU, New York. McHarg I. 1969. Design with Nature. John Wiley & Sons. Murphey. 1974. The American City : An Uraban Geography. McGraw Hill Book Company. New York. Odum WE. 1976. Ecological Guidenlinefor tropical Coastal Development. IUCN Publication New Series No 42, IUCN, Switzerland. Ortolano L. 1984. Environmental Planning and Decision Making. John Wiley and Sons, New York. Pahl RE. 1979. Socio Political Factor In Resources Allocation, dalam D.T Herbert and D.M Smith (Eds). Social Problem and The City, London : Oxford University Press. Parengkuan EP. 1991. Studi Permasalahan Pajak Lahan Kota Dalam Kaitannya Dengan Penggunaan Lahan Dan Aspek Pengendalian Guna Lahan Di Kotamadya Bandung, Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, No.2 Triwulan 1 Pearce D 1994. Valuing the Environment, Past Practice, Future Prospect. CSERGE Working Paper PA 94 – 02 Centre For Social And Economic Research On The Global Environment University College London Pearce D, Turner KR. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheat sheafs. New York. Potter T. 1977. A Seminar of Fishpond Soil, In Reading in Aquaculture Practices. Training Material Series No.1, Vol.1 (1977): 98-144.
129 Pratomo A.G, Kasijadi, Muhariyanto A, Krisunari D., Pratomo S. 2004 Kajian Karakterisasi dan Potensi Wilayah Pengembangan Usahatani Terpadu Padi – Udang Windu Di Sawah Irigasi Ricardo D. 1975. Land Rent. Volume II. On the Principles of Political Economy and Taxation . Published for the Royal Economic Society. Cambridge University Press. Roll W. 1983. Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia. CV Rajawali Jakarta Ruitenbeck. 1992. The Rainforest Supply Price : a Tool for Evaluating Rainforest Conservation Expenditures. Ecological Economics, Vol.6, No.1, July. UK Serafy E. 1993 .Depletable Resources: Fixed Capital or Inventories Approaches to Environmental Accounting, Physica-Verlag Heidelberg. Sitorus S. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan .Tarsito. Jakarta Soegiarto A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga Oseonologi Nasional, Jakarta. Soepardi G. 1977. Sifat dan Ciri Tanah. IPB Press. Bogor. Soeseno S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang dalam Tambak. PT Gramedia, Jakarta. Solow RM. 1986. On the Intergenerational Allocation of Exhaustible Resources . Scandanavian Journal of Economics 88. Suburi J. 1999. Konsep Wilayah Tanah Usaha Sebagai Dasar Penataan Suatu Wilayah. Dephan. Sulistiyo B. 2002. Indonesia Masih Berhutang Pada PBB. 28 Maret 2002.Kompas Trinidad AC, Alojado Z, Cargamneto AGC. 1996. Opsi for Land Use Management in Lingayen Gulf, Filipina. Tang YA. 1967. Improvement of Milkfish Culture in the Philiphines. IndoPacific Fisheries Council. Current Affairs Bulletin, No.49 1967. FAO, Rome. [WCED] The World Commition on Enviroment and Development. 1987. Our Common Future, Oxford University Press. Oxford, England UK. Winarso H. 1995. Tarif Izin Perubahan Guna Lahan Perkotaan Sebagai Bentuk Kontrol Pelaksanaan Penataan Ruang Kota, Aspek Hukum Dalam Penataan Ruang, Jurnal PWK No. 17.
130 [DKP] Direktur Jenderal Perikanan No. C.I. /2/1/ 12/1974 tertanggal 30 Desember 1974 Bureau of Land Reclamation. 1953. Instruction for the Conduct of Feasibility Grade Land Classificat/on Surveys of the Lam Nam Oon Project-Thailand, US Bureau of Interior.
131 Lampiran 1 : Analisis Kesesuaian Lahan untuk Tambak Bandeng di Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996 No
Parameter Lahan Bobot
Ketersediaan air · Jarak dari pantai · Jarak dari sungai · Lereng (%) · Amplitudo Pasang surut 2 Mutu Air · Oksigen terlarut (o/oo) · Salinitas (o/oo) · kecerahan (cm) · pH 3 Mutu Media · Jenis tanah · Tekstur · Kedalaman pirit (cm) · Tebal Gambut (cm) terhindar dari hazard 4 · Banjir · Drainase Total Keterangan :
W-1
Kesesuaiaan W-3
W-2
W-4
W-5
1
W W W W W
-1 -2 -3 -4 -5
: Pantai : Pantai : Pantai : Pantai : Pantai
6,25 6,25 6,25 6,25
3 2 3 2
<2500 500 – < 5% 1 – 1.5
19 13 19 13
2 2 3 2
2500 – 500 – < 5% 1 – 1.5
13 13 19 13
3 2 3 2
<2500 500 – < 5% 1 – 1.5
19 13 19 13
3 2 3 2
<2500 500 – < 5% 1 – 1.5
19 13 19 13
3 2 3 2
<2500 500 – < 5% 1 – 1.5
19 13 19 13
6,25 6,25 6,25 6,25
3 3 2 3
>7 <20 25 - 30 5.6 – 7.6
19 19 13 19
3 3 2 3
>7 <20 25 - 30 5.6 – 7.6
19 19 13 19
2 2 2 3
7-3 20 - 35 25 - 30 5.6 – 7.6
13 13 13 19
2 2 2 2
7-3 20 - 35 25 - 30 5.4 -5.6
13 13 13 13
2 2 2 2
7-3 20 - 35 25 - 30 5.4 -5.6
13 13 13 13
6,25 6,25 6,25 6,25
3 3 3 1
Alluvial Liat >100 <25
19 19 19 6
2 2 3 1
Alluvial Liat >100 <25
13 13 19 6
2 3 3 1
Alluvial Liat >100 <25
13 19 19 6
2 3 3 1
Alluvial Liat >100 <25
13 19 19 6
2 3 3 1
Alluvial Liat >100 <25
13 19 19 6
15 10 100
2 3
ringan Sangat
30 30 254
2 3
ringan Sangat
30 30 235
2 3
ringan Sangat
30 30 235
2 3
ringan Sangat
30 30 229
2 3
ringan Sangat
Harapan jaya dan Pantai Sederhana Harapan jaya, Pantai Bhakti dan Pantai Bahagia Sederhana Harapan jaya Pantai Sederhana , Pantai Bhakti, dan Pantai Bahagia
30 30 229
132 Lampiran 2: Analisis Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman di Kecamata Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1996 No 1 2 3 4 5 6 7
8
9 10
Parameter Lahan Subsiden Total Banjir Air tanah Potensi mengembang Kelas Unified Lereng Kedalaman Hamparan Batu · Keras · Lunak Kedalaman Padas Keras · Tebal · Tipis Batu/kerikil (>7.5 cm)(%) Longsor
Bobot 10 10 10 10 10 10
W-1 2 1 1 1 2 3
0 Tanpa <45 Rendah 0 <8
5 5
3 2
>100 <50
5 5 10 10
3 2 1 3
>100 <50 >50 0
100
20 10 10 10 20 30 0 15 10 0 15 10 10 30 190
W-2 2 1 1 1 2 3
0 Tanpa <45 Rendah 0 <8
2 2
50 - 100 <50
1 2 1 3
>100 <50 >50 0
Keterangan :
W - 1 : Pantai Harapan jaya dan Pantai Sederhana W - 2 : Pantai Harapan jaya, Pantai Bhakti dan Pantai Bahagia W - 3 : Pantai Sederhana W - 4 : Pantai Harapan jaya W - 5 : Pantai Pantai Sederhana , Pantai Bhakti, dan Pantai Bahagia
20 10 10 10 20 30 0 10 10 0 5 10 10 30 175
Kesesuaiaan W-3 2 0 1 Tanpa 1 <45 1 Rendah 2 0 3 <8 2 2
50 - 100 <50
2 2 1 3
50 – 100 <50 >50 0
20 10 10 10 20 30 0 10 10 0 10 10 10 30 180
W-4 2 1 1 1 2 3
0 Tanpa <45 Rendah 0 <8
2 2
50 - 100 <50
2 2 2 3
50 – 100 <50 25 - 50 0
20 10 10 10 20 30 0 10 10 0 10 10 20 30 190
W-5 2 1 1 1 2 3
0 Tanpa <45 Rendah 0 <8
2 2
50 - 100 <50
2 2 2 3
50 – 100 <50 25 - 50 0
20 10 10 10 20 30 0 10 10 0 10 10 20 30 190
133 Lampiran 3 : Kesesuaian Lahan untuk Tegalan di Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1990 No
Parameter Lahan Temperatur · Rata-rata tahunan Ketersediaan Air · Bulan Kering (<75) · Curah Hujan /tahun (mm) · LGP (hari) Media Perakaran · Drainase tanah · Tektur · Kedalaman Efektif (cm) · Gambut · Kematangan · Ketebalan (cm)
1 2
3
Retensi Hara · KTK tanah · PH tanah · C. Organik Penggaraman . Salinitas Toksisitas · Kejenuhan Al · Kedalaman sulfidik Hara Tersedia · Total N · P2O5 · K2O Kemudahan Pengolahan Terrain/ potensi mekanisasi · Lereng · Batuan Permukaan · Singkapan Batuan Tingkat Bahaya erosi Bahaya Banjir
4
5 6
7
8 9
10 11
Kesesuaiaan Bobot
W-1
3
2
>26 - <32
6
2
>26 - <32
6
2
>26 - <32
6
2
>26 - <32
6
2
>26 - <32
6
3 3 3
2 3 2
>7 – 9 >1200 90 - 120
6 9 6
2 3 2
>7 – 9 >1200 90 - 120
6 9 6
2 3 2
>7 – 9 >1200 90 - 120
6 9 6
2 3 2
>7 – 9 >1200 90 - 120
6 9 6
2 3 2
>7 – 9 >1200 90 - 120
6 9 6
3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
3 2 3 2 2
Terhambat SL,L,SiCL,C >60 Saprik <100
10,5 7 10,5
Terhambat SL,L,SiCL,C >60 Saprik <100
10,5 7 10,5
Terhambat SL,L,SiCL,C >60 Saprik <100
2 2 3 -
2 2 3 -
2 2
7 7
2 2
Terhambat SL,L,SiCL,C >60 Saprik <100
7 7 10,5
7 7
Terhambat SL,L,SiCL,C >60 Saprik <100
7 7 10,5
7 7
2 2 3 2 2
7 7 10,5
7 7
3 2 3 2 2
5 5 5
2 2 2
Rendah >7.0 – 8.0 4.5 – 5.9
10 10 10
2 2 2
Rendah >7.0 – 8.0 4.5 – 5.9
10 10 10
2 2 2
Rendah >7.0 – 8.0 4.5 – 5.9
10 10 10
3 2 2
>sedang >7.0 – 8.0 4.5 – 5.9
15 10 10
3 2 2
>sedang >7.0 – 8.0 4.5 – 5.9
15 10 10
3
3
<2
9
3
<2
9
3
<2
9
3
<2
9
3
<2
9
4 4
2 2
50 - <100
8 8
2 2
50 - <100
8 8
2 2
50 - <100
8 8
2 2
50 - <100
8 8
2 2
50 - <100
8 8
3 3 3 8
2 2 3 3
Rendah Sedang Sedang mudah
6 6 9 24
2 2 3 3
Rendah Sedang Sedang mudah
6 6 9 24
2 2 2 3
Rendah Sedang Sedang mudah
6 6 6 24
2 2 2 3
Rendah Sedang Sedang mudah
6 6 6 24
2 2 2 3
Rendah Sedang Sedang mudah
6 6 6 24
4 4 4 3 9
3 3 2 2 1
<3 <3 2 – 25 R-S F4
12 12 8 6 9
3 3 2 2 1
<3 <3 2 – 25 R-S F4
12 12 8 6 9
3 3 2 2 1
<3 <3 2 – 25 R-S F4
12 12 8 6 9
3 3 2 2
<3 <3 2 – 25 R-S F4
12 12 8 6 18
3 3 2 2
<3 <3 2 – 25 R-S F4
12 12 8 6 18
100
W-2
216
Keterangan :
W W W W W
-
1 2 3 4 5
: : : : :
Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai
Harapan jaya dan Pantai Sederhana Harapan jaya, Pantai Bhakti dan Pantai Bahagia Sederhana Harapan jaya Pantai Sederhana , Pantai Bhakti, dan Pantai Bahagia
W-3
216
W-4
209,5
2
W-5
223,5
2
7 7
223,5
134 Lampiran 4 : Kesesuaian Lahan untuk Hutan Mangrove di Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi Tahun 1996 No 1 2 3 4 5
Parameter Lahan
Kesesuaiaan
Kemiringan Lahan Jenis Tanah Jarak dari Pantai Ketinggian Drainase
Bobot W - 1 20 3 20 3 20 3 20 3 20 3
Total
100
<2 Aluvial Pantai <200 <5 Tergenang Periodik
60 60 60 60 60
W-2 3 3 3 3 3
<2 Aluvial Pantai <200 <5 Tergenang Periodik
60 60 60 60 60
W-3 3 3 2 3 2
<2 Aluvial Pantai 200 - 300 <5 Sering Tergenang
60 60 40 60 40
W-4 3 3 1 3
<2 Aluvial Pantai >300 <5 Sering Tergenang
60 60 20 60 40
2 300
Keterangan :
W - 1 : Pantai Harapan jaya dan Pantai Sederhana W - 2 : Pantai Harapan jaya, Pantai Bhakti dan Pantai Bahagia W - 3 : Pantai Sederhana W - 4 : Pantai Harapan jaya W - 5 : Pantai Pantai Sederhana , Pantai Bhakti, dan Pantai Bahagia
300
260
W-5 3 3 1 3
<2 Aluvial Pantai >300 <5 Sering Tergenang
60 60 20 60 40
2 240
240
135 Lampiran 5 : Kesesuaian lahan Untuk Sawah Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi tahun 1990 No
Parameter Lahan
Kesesuaiaan W-1
1 2
3
4
5 6
7
8 9
10 11
Temperatur · Rata-rata tahunan Ketersediaan Air · Bulan Kering (<75) · Curah Hujan /tahun (mm) · LGP (hari) Media Perakaran · Drainase tanah · Tektur · Kedalaman Efektif (cm) · Gambut · Kematangan · Ketebalan (cm) Retensi Hara · KTK tanah · PH tanah · C. Organik Penggaraman · salinitas Toksisitas · kejenuhan Al · Kedalaman sulfidik Hara Tersedia · Total N · P2O5 · K2O Kemudahan Pengolahan Terrain/ potensi mekanisasi · Lereng · Batuan Permukaan · Singkapan Batuan Tingkat Bahaya erosi Bahaya Banjir
Total Keterangan :
W W W W W
-1 -2 -3 -4 -5
: : : : :
Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai
W-2
W-3
W-4
W-5
3
3
24 - 29
9
3
24 - 29
9
3
24 - 29
9
3
24 - 29
9
3
24 - 29
9
3 3 3
3 2 2
<3 800 – 1200 75 - 90
9 6 6
3 2 2
<3 800 – 1200 75 - 90
9 6 6
3 2 2
<3 800 – 1200 75 - 90
9 6 6
3 2 2
<3 800 – 1200 75 - 90
9 6 6
3 2 2
<3 800 – 1200 75 - 90
9 6 6
3,5 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
3 3 2 1 2
Terhambat SCL,SiL,Si,CL 40-50 Fibrik <100
9 9 6 3 6
3 3 2 1 2
Terhambat SCL,SiL,Si,CL 40-50 Fibrik <100
9 9 6 3 6
3 3 2 1 2
Terhambat SCL,SiL,Si,CL 40-50 Fibrik <100
9 9 6 3 6
3
9 6 6 3 6
2
1 2
Terhambat SL,L,SiCL,C 40-50 Fibrik <100
1 2
Sedang Kerikil ,Pasir 40-50 Fibrik <100
6 3 6 3 6
5 5 5
2 3 2
Rendah 5.5 – 70 4.0 – 6.5
6 9 6
2 2 1
Rendah >7.0 – 8.5 -
6 6 3
2 2 1
Rendah >7.0 – 8.5 -
6 6 3
2 1 2
Rendah >8.5 -
6 3 6
2 1 1
Rendah >8.5 -
6 3 3
3
3
<3.5
9
3
<3.5
9
3
<3.5
9
3
<3.5
9
3
<3.5
9
4 4
2 2
40 - 75
6 6
2 2
40 - 75
6 6
2 2
40 - 75
6 6
2 2
40 - 75
6 6
2 2
40 - 75
6 6
3 3 3 8
3 2 2 2
Sedang Sedang rendah Sangat keras
9 6 6 6
3 2 2 2
Sedang Sedang rendah Sangat keras
9 6 6 6
2 2 2 2
Sedang Sedang rendah Sangat keras
6 6 6 6
2 2 2 3
Sedang Sedang rendah mudah
6 6 6 9
2 2 2 3
Sedang Sedang rendah mudah
6 6 6 9
4 4 4 3 9
3 3 2 3 1
<3 <3 25 - 40 SR F4
9 9 6 9 3
3 3 3 3 1
<3 <3 <2 SR F4
9 9 9 9 3
3 3 2 3 1
<3 <3 25 - 40 SR F4
9 9 6 9 3
3 3 1 3
<3 <3 >25 – 40 SR F2-F3 - 93 -3
9 9 3 9 6
3 3 1 3
<3 <3 >25 – 40 SR F2-F3 - 93 -3
9 9 3 9 6
100
168
Harapan jaya dan Pantai Sederhana Harapan jaya, Pantai Bhakti dan Pantai Bahagia Sederhana Harapan jaya Pantai Sederhana , Pantai Bhakti, dan Pantai Bahagia
165
159
2 2 -
2
159
1 2 -
2
150
136 Lampiran 6 :Net Present Value (NPV) Pada Penggunaan Lahan Tambak di Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi No
tahun 1
tahun 2
tahun 3
tahun 4
tahun 5
tahun 6
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
Nilai Total
Biaya Konversi a. Pembelian lahan b. Pembuatan Pematang c. Pembuatan Saluran Air d. Pengolahan Tanah
7.000.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
350.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.000.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
300.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
e. Pembuatan Rumah Jaga
500.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
f. Pembersihan lahan
300.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
300.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
g.Pembuatan hamparan Tambak
11.750.000
11.750.000
Biaya Operational a. Pembersihan tambak
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
b. Upah Tenaga Kerja
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
c. Sarana Produksi c.1 Benih Nener
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
Benur
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
c.2 Pupuk Urea
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
SP-36
200.000
200.000
200.000
200.000
200.000
200.000
200.000
200.000
200.000
200.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
30.000
Pupuk Kandang c.3 Obat-obatan Bresto 60 c.4 Pakan Pakan Buatan d. Panen dan Processing Total Biaya
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
50.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
1.735.000
1.735.000
1.735.000
1.735.000
1.735.000
1.735.000
1.735.000
1.735.000
1.735.000
1.735.000
17.350.000
Produksi a. Udang (Survival rate = 50 % x 30 gram)
0
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
b. Bandeng (Survival rate = 50 % x 300 gram)
0
4.500.000
4.500.000
4.500.000
4.500.000
4.500.000
4.500.000
4.500.000
4.500.000
4.500.000
Nilai Produksi
0
9.500.000
9.500.000
9.500.000
9.500.000
9.500.000
9.500.000
9.500.000
9.500.000
9.500.000
85.500.000
(13.485.000)
7.765.000
7.765.000
7.765.000
7.765.000
7.765.000
7.765.000
7.765.000
7.765.000
7.765.000
56.400.000
Net revenue = Total Biaya - Nilai Produksi
137
Lanjutan : Net Present Value (NPV) Pada Penggunaan Lahan Tambak Tahun
tahun 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun 9 tahun 10 Nilai Total
Net Benefit (13.485.000) 7.765.000 7.765.000 7.765.000 7.765.000 7.765.000 7.765.000 7.765.000 7.765.000 7.765.000 56.400.000
Faktor pengganda (r = 10 %) 0,91 0,83 0,75 0,68 0,62 0,56 0,51 0,47 0,42 0,39
PV (12.259.091) 6.417.355 5.833.959 5.303.599 4.821.454 4.383.140 3.984.673 3.622.430 3.293.118 2.993.744 28.394.382
138 Lampiran 7 : Net Present Value (NPV) Pada Penggunaan Lahan Sawah kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi No
tahun 1
tahun 2
tahun 3
tahun 4
tahun 5
tahun 6
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
Nilai Total
Biaya Konversi a. Pembelian lahan
7.000.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
b. Pembuatan Pematang
30.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
d. Pengolahan Tanah
50.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
f. Pembersihan lahan
50.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7.130.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7.130.000
Biaya Operational a. Pembersihan lahan
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
b. Upah Tenaga Kerja
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
c. Sarana Produksi c.1 Benih c.2 Pupuk Urea
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
NPK
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
Pupuk Kandang
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
c.3 Obat-obatan Bresto 60
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
8.686.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
a. Gabah
4.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
Nilai Produksi
4.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
5.000.000
49.000.000
(4.686.000)
3.444.000
3.444.000
3.444.000
3.444.000
3.444.000
3.444.000
3.444.000
3.444.000
3.444.000
26.310.000
d. Panen dan Processing Total Biaya
15.560.000
Produksi
Net revenue = Total Biaya - Nilai Produksi
139
Lanjutan : Net Present Value (NPV) Pada Penggunaan Lahan Sawah Tahun
tahun 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun 9 tahun 10 Nilai Total
Net Benefit (4.686.000) 3.444.000 3.444.000 3.444.000 3.444.000 3.444.000 3.444.000 3.444.000 3.444.000 3.444.000 26.310.000
Faktor pengganda (r = 10 %) 0,91 0,83 0,75 0,68 0,62 0,56 0,51 0,47 0,42 0,39
PV (4.260.000) 2.846.281 2.587.528 2.352.298 2.138.453 1.944.048 1.767.317 1.606.651 1.460.592 1.327.811 13.770.980
140
Lampiran 8 : Net Present Value (NPV) Pada Penggunaan Lahan Tegalan Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi No
tahun 1
tahun 2
tahun 3
tahun 4
tahun 5
tahun 6
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Nilai Total
Biaya Konversi a. Pembelian lahan b. Pembuatan Pematang
7.000.000 -
d. Pengolahan Tanah
250.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
f. Pembersihan lahan
2.250.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9.500.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9.500.000
Biaya Operational a. Pembersihan tegalan
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
31.000
b. Upah Tenaga Kerja
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
25.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
c. Sarana Produksi c.1 Benih c.2 Pupuk Urea
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
300.000
NPK
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
Pupuk Kandang
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
150.000
250.000
250.000
250.000
c.3 Obat-obatan Bresto 60 d. Panen dan Processing
-
-
-
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
250.000
1.306.000
1.306.000
1.306.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
14.810.000
10.806.000
1.306.000
1.306.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
1.556.000
24.310.000
a. Ubi Kayu
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
1.500.000
b. Jagung
2.500.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
Nilai Produksi
4.000.000
4.000.000
4.000.000
4.000.000
4.000.000
4.000.000
4.000.000
4.000.000
4.000.000
4.000.000
40.000.000
(6.806.000)
2.694.000
2.694.000
2.444.000
2.444.000
2.444.000
2.444.000
2.444.000
2.444.000
2.444.000
15.690.000
Total Biaya Produksi
Net revenue = Total Biaya - Nilai Produksi
141
Lanjutan : Net Present Value (NPV) Pada Penggunaan Lahan Tegalan Tahun
tahun 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun 9 tahun 10 Nilai Total
Net Benefit (6.806.000) 2.694.000 2.694.000 2.444.000 2.444.000 2.444.000 2.444.000 2.444.000 2.444.000 2.444.000 15.690.000
Faktor pengganda (r = 10 %) 0,91 0,83 0,75 0,68 0,62 0,56 0,51 0,47 0,42 0,39
PV (6.187.273) 2.226.446 2.024.042 1.669.285 1.517.532 1.379.574 1.254.158 1.140.144 1.036.495 942.268 7.002.671
142 Lampiran 9 : Net Present Value ( NPV) Pada Penggunaan Lahan Pemukiman Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi No
tahun 1 Biaya Konve rsi a. Pembelian lahan b. Pembersihan lahan
tahun 2
tahun 3
t ahun 4
tahun 5
tahun 6
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
5.000.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
300.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
5.300.000
Nilai T otal
5.300.000
Biaya O pe rational a. Pekerjaan Pondasi
2.112.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
b. Rangka
1.980.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
c. Dinding dan Partisi
3.611.950 -
-
-
-
-
-
-
-
-
d. Atap
1.704.404 -
-
-
-
-
-
-
-
-
e. Langit-langit
2.070.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
f. Pekerjaan lantai
2.400.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
g. Jendela h. Pintu
970.100 -
-
-
-
-
-
-
-
-
2.760.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
i.listrik
180.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
j. Pekerjaan persiapan
200.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
k.IMB
300.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
l. Fasilitas PLN
260.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
500.000 -
-
-
-
-
-
-
-
-
m. Sarana Pelengkap lain (sumur) n. Perawatan Total Biaya
-
24.348.454
-
-
-
-
-
-
-
-
-
24.348.454
Produ ksi a. Sewa rumah
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
20.000.000
Nilai Produksi
(22.348.454)
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
18.000.000
Ne t re ve nue = Total Biaya - Nilai Produksi
(22.348.454)
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
(4.348.454)
143 Lanjutan : Net Present Value (NPV) Pada Penggunaan Lahan Pemukiman Tahun
tahun 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun 9 tahun 10 Nilai Total
Net Benefit (22.348.454) 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 (4.348.454)
Faktor pengganda (r = 10 %) 0,91 0,83 0,75 0,68 0,62 0,56 0,51 0,47 0,42 0,39
PV (20.316.776) 1.652.893 1.502.630 1.366.027 1.241.843 1.128.948 1.026.316 933.015 848.195 771.087 (9.845.824)
144 Lampiran 10 : Model Optimalisasi Penggunaan Lahan di Kecamatan Muara Gembong Optimalisasi Penggunaan Lahan berdasarkan nilai total ekonomi value Di kecamatan Muara Gembong pada tahun 2000 By Novian jamil 6 7 set i tev /tb,sw,tk/ 8 j lahan /pm,tb,sw,tg,mr/; 9 10 parameter 11 12 a(j) Konstrain Luas Penggunaan lahan 13 /tb 8914 14 pm 399 15 sw 2090 16 tg 405 17 mr 398/ 18 19 b(i) Konstrain Penggunaan Lahan berdasarkan maximal produktivitas 20 /tb 7782 21 sw 2192 22 tk 3324/; 23 24 25 Table p(i,j) Total Ekonomi value lahan i ke j dalam Jutaan 26 pm tb sw tg mr 27 sw 11043 10340 0 14520 10243 28 tb 25667 0 21394 20240 28452 29 tk -9845 28394 13770 7002 345574 30 31 Variable 32 Nilai optimal penggunaan lahan 33 positive variable 34 x(i,j) sumberdaya lahan di sektor i di wilayah j; 35 36 equation 37 obj fungsi tujuan 38 landuse(i) existing landuse 39 maxprod(j) batasan opsi ; 40 41 obj.. nilai =e= sum((i,j),(p(i,j)*x(i,j))); 42 landuse(i)..sum(j, x(i,j)) =l=b(i); 43 maxprod(j)..sum(i, x(i,j)) =g=a(j); 44 45 model lhn /all / ; 46 solve lhn using lp maximizing nilai ;
GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 20:28:47 PAGE 5 G e n e r a l A l g e b r a i c
01/14/07 M o d e l i n g
S y s t e m
145 Lanjutan : Model Optimalisasi penggunaan lahan di kecamatan Muara Gembong S O L V E MODEL TYPE SOLVER
S U M M A R Y
lhn LP BDMLP
OBJECTIVE DIRECTION FROM LINE
**** SOLVER STATUS **** MODEL STATUS **** OBJECTIVE VALUE
1 NORMAL COMPLETION 1 OPTIMAL 652796929.0000
RESOURCE USAGE, LIMIT ITERATION COUNT, LIMIT BDMLP 1.3
Nilai MAXIMIZE 46
0.039 8
1000.000 10000
Nov 22, 2001 WIN.BD.NA 20.2 056.044.039.WAT
Originally developed by A. Brooke, A. Drud, and A. Meeraus, World Bank, Washington, D.C., U.S.A. Work space allocated
--
0.03 Mb
EXIT -- OPTIMAL SOLUTION FOUND.
---- EQU obj obj
LEVEL
UPPER
.
.
.
MARGINAL EPS
fungsi tujuan
---- EQU landuse LOWER tb sw tk
-INF -INF -INF
LOWER 8914.000 2090.000 399.000 405.000 398.000
existing landuse LEVEL
7782.000 2192.000 3324.000
---- EQU maxprod
tb sw pm tg mr
LOWER
UPPER
7782.000 3.1718E+5 2192.000 3.2752E+5 3324.000 3.4557E+5
batasan opsi LEVEL
8914.000 2090.000 399.000 405.000 1490.000
UPPER +INF +INF +INF +INF +INF LOWER
---- VAR Nilai Nilai
MARGINAL
-INF
MARGINAL -3.172E+5 -2.958E+5 -2.915E+5 -2.969E+5 . LEVEL
6.5280E+8
optimal penggunaan lahan
UPPER +INF
MARGINAL .
146 Lanjutan : Model Optimalisasi penggunaan lahan di kecamatan Muara Gembong GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 20:28:47 PAGE 6 G e n e r a l A l g e b r a i c
---- VAR x
sumberdaya lahan
LOWER tb.tb tb.sw tb.pm tb.tg tb.mr sw.tb sw.sw sw.pm sw.tg sw.mr tk.tb tk.sw tk.pm tk.tg tk.mr
. . . . . . . . . . . . . . .
LEVEL 4888.000 2090.000 399.000 405.000 . 2192.000 . . . . 1834.000 . . . 1490.000
**** REPORT SUMMARY :
EXECUTION TIME 128
01/14/07 M o d e l i n g
S y s t e m
di sektor i di wilayah j UPPER +INF +INF +INF +INF +INF +INF +INF +INF +INF +INF +INF +INF +INF +INF +INF
MARGINAL . . . . -2.887E+5 . -3.173E+4 -2.496E+4 -1.606E+4 -3.173E+5 . -3.602E+4 -6.391E+4 -4.163E+4 .
0 NONOPT 0 INFEASIBLE 0 UNBOUNDED
=
0.015 SECONDS
0.7 Mb
WIN202-
USER: GAMS Development Corporation, Washington, DC G871201:0000XX-XXX Free Demo, 202-342-0180,
[email protected], www.gams.com DC9999 **** FILE SUMMARY INPUT OUTPUT
F:\IAN\EVALUASI OPSI2.GMS C:\WINDOWS\GAMSDIR\EVALUASI OPSI2.LST
147 Lampiran 11 : Model Data Envelope Analysis untuk efisiensi lahan tambak Nilai efisiensi dari tambak dengan analisis input output dengan menggunakan Data Envelope Analisis di kecamatan muara gembong dengan variabel penggunaan lahan,luas panen dan produksi dalam kurun waktu 10 tahun 9 10 sets i units 11 is(i) selected unit 12 j inputs and outputs 13 ji(j) inputs 14 jo(j) outputs 15 16 Parameter data(i,j) unit input output 17 vlo v lower bound 18 ulo u lower bound 19 norm normalizing constant 20 21 Variables v(ji) input weights 22 u(jo) output weights 23 eff efficiency 24 var dual convexicty 25 26 lam(i) dual weights 27 vs(ji) input duals 28 us(jo) output duals 29 Z 30 31 positive variables u,v,vs,us,lam; 32 33 Equations defe(i) efficiency definition - weighted output 34 denom(i) weighted input 35 lime(i) 'output / input < 1' 36 dii(i,ji) input duals 37 dio(i,jo) output dual 38 defvar variable return to scale 39 dobj dual objective; 40 41 * primal model 42 43 defe(is).. eff =e= sum(jo, u(jo)*data(is,jo)) - 1*var; 44 45 denom(is).. sum(ji, v(ji)*data(is,ji)) =e= norm; 46 47 lime(i).. sum(jo, u(jo)*data(i,jo)) =l= sum(ji, v(ji)*data(i,ji)) +
148 Lanjutan : Model Data Envelope Analysis untuk Efisiensi Lahan Tambak var; 48 49 * dual model 50 51 dii(is,ji).. sum(i, lam(i)*data(i,ji)) + vs(ji) =e= z*data(is,ji); 52 53 dio(is,jo).. sum(i, lam(i)*data(i,jo)) - us(jo) =e= data(is,jo); 54 55 defvar.. sum(i, lam(i)) =e= 1; 56 57 dobj.. eff =e= norm*z - vlo*sum(ji, vs(ji)) - ulo*sum(jo, us(jo));
GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 20:33:08 PAGE 2 Data Envelopment Analysis - DEA (DEA,SEQ=192)
01/14/07
63 model deap primal / defe, denom,lime / 64 deadc dual with CRS / dobj, dii, dio / 65 deadv dual with VRS / dobj, dii, dio, defvar / 66 67 sets i units /1990,1991,1992,1993,1994,1995,1996,1997,1998,1999,2000 / 68 j inputs and outputs / Landuse, LuasPanen, Produksi / 69 ji(j) inputs / Landuse, LuasPanen / 70 jo(j) outputs /produksi / 71 72 73 Table data(i,j) 74 Landuse LuasPanen Produksi 75 1990 5631 5406 7028 76 1991 6543 6150 9225 77 1992 6955 6398 10237 78 1993 7503 7203 9364 79 1994 7782 7203 13686 80 1995 8285 6959 10439 81 1996 8704 7659 10723 82 1997 8823 7147 8576 83 1998 8867 7094 8513 84 1999 8876 7012 8414 85 2000 8914 7933 9520 86 90 option limcol=0 // no column listing 91 limrow=0 // no row listing 92 solveopt=replace; // don't keep old var and equ values 96 var.fx = 0; // to run CRS with the primal model 97 *var.lo = -inf; // to run VRS with the primal model 98 *var.up = +inf; // to run VRS with the primal model 99 vlo=1e-4; 100 ulo=1e-4; 101 norm=100;
149 Lanjutan : Model Data Envelope Analysis untuk Efisiensi Lahan Tambak 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113
v.lo(ji) = vlo; u.lo(jo) = ulo; *deadc.solprint=2; *deadv.solprint=2; *deap.solprint=2; set ii(i) set of units to analyze / 1990,1995,2000 /; *ii(i) = yes; is(i) = no;
// use to run all depots
GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 20:33:08 PAGE 22 Data Envelopment Analysis - DEA (DEA,SEQ=192) E x e c u t i o n
----
131 PARAMETER rep 1990
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 MStat-p MStat-d obj-check
0.710 0.802 0.837 0.710 1.000 0.717 0.701 0.553 0.546 0.539 0.607 1.000 1.000
+
Avg
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
INPUT OUTPUT
1995
01/14/07
summary report 2000
Min
Max
0.684 0.684 0.790 0.790 0.842 0.842 0.684 0.684 1.000 1.000 0.789 0.789 0.737 0.737 0.631 0.631 0.631 0.631 0.631 0.631 0.631 0.631 1.000 1.000 1.000 1.000 1.42109E-14 1.42109E-14
0.684 0.790 0.837 0.684 1.000 0.717 0.701 0.553 0.546 0.539 0.607
0.710 0.802 0.842 0.710 1.000 0.789 0.737 0.631 0.631 0.631 0.631
0.693 0.794 0.840 0.693 1.000 0.765 0.725 0.605 0.603 0.600 0.623
F:\IAN\NOVIANDEA-1.GMS C:\WINDOWS\GAMSDIR\NOVIANDEA-1.LST