ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)
FUAD MUCHLIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2009 Fuad Muchlis NRP. I352070081
ABSTRACT FUAD MUCHLIS. ANALYSIS OF PARTICIPATORY COMMUNICATION IN PROGRAM OF SOCIETY EMPOWERMENT (Case Study at Implementation of Discussion of PNPM Mandiri Perdesaan In The Teluk Village District Of Pemayung Batang Hari Regency). Under direction of SARWITITI and YATRI INDAH KUSUMASTUTI Successfullness of assistance activity for society empowerment determined by participatory communication process. PNPM MPd, a recent society empowerment development model initiated by government, has become important and interested research topic related to development communication science. The research aim are to describe the role of facilitator in the activity of PNPM MPd, to express the meaning of facilitators credibility according to perspective of PNPM MPd participant and to analyze participatory communication that happen between facilitator and participant in activity of PNPM MPd in the effort of society empowerment. The research is constructivist paradigm by using design of communication ethnography, which located in Teluk Village District of Pemayung Batang Hari Regency. The research is conducted from 11st March 2009 to 13rd May 2009. The result of research using access consept, heteroglasia (heterogenity of economic and gender) and dialogue indicates that communication in PNPM MPd activities was not undertaken participatively. Immature replication from PPK to PNPM MPd by government has become the cause of unparticipative communications. The role of facilitator is not maximal due to pursued by target of mechanistic program and greater location coverage. The credibility of facilitator also as a factor that makes PNPM MPd not as good as compared to previous program (PPK). Communication process that is not participatory in every activity of PNPM MPd make this program quite difficult to reach it purpose to empower the society. Keyword : Participatory communication, role of facilitator, credibility, society empowerment
RINGKASAN FUAD MUCHLIS. ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari). Dibimbing oleh SARWITITI dan YATRI INDAH KUSUMASTUTI. Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi yang lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri. Proses pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level grass root itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dengan stakeholder lain dalam proses pembangunan. Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam pemberdayaan masyarakat yang dipengaruhi oleh peran dan kredibilitas fasilitator menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma konstruktivis yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan pada aspek teknik, peran fasilitasi dan pendidikan terkesan diabaikan. Hal ini disebabkan oleh jenis kegiatan yang juga dominan pada aspek teknis yaitu pembangunan infrastruktur. Walaupun di lapangan dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, tetapi karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu maka fasilitator pemberdayaanpun ikut terjebak pada kerja teknis sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh dari pemberdayaan menjadi terabaikan. Peran fasilitator yang mengabaikan aspek fasilitasi dan pendidikan berdampak pada proses komunikasi yang berlangsung dalam implementasi program menjadi tidak partisipatif. Hasil penelusuran peneliti berhasil merangkum makna kredibilitas fasilitator perspektif partisipan, yaitu : (1) Kompetensi, yang meliputi aspek keahlian dan berpengalaman, menguasai informasi, percaya diri dan berani mengambil resiko; (2) Berkarakter yang meliputi aspek trust , sabar, objektif, disiplin dan rajin; (3) Karismatik yang ditunjukkan oleh sosok yang selalu aktif, tegas, bersemangat, berwibawa, berpenampilan tenang dan bisa memberi teladan; dan (4) Adaftif. Dari perspektif pelaku PNPM MPd terungkap bahwa kredibilitas fasilitator menjadi menurun jika dibandingkan pada program PPK. Hal ini disebabkan oleh (1) semakin longgarnya syarat rekruitment calon fasilitator PNPM MPd jika dibandingkan dengan PPK. PPK mensyaratkan fasilitator
berpendidikan sarjana yang berpengalaman di bidang pemberdayaan minimal 3 tahun sementara pada program PNPM MPd diturunkan menjadi 0 tahun; dan (2) PPK memberikan pelatihan pra tugas yang relatif cukup bagi calon fasilitator sebelum diturunkan ke lapangan yaitu selama 21 hari, sedangkan PNPM MPd hanya memberi pelatihan selama lima hari saja sehingga praktis pelatihan hanya mampu memberikan materi teknis. Kredibilitas yang cenderung menurun ini juga berdampak pada peran fasilitator yang menurun dan proses komunikasi dengan partisipan juga menjadi tidak partisipatif. Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator. Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi, sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi. Dengan merujuk pada konsep akses, heteroglasia dan dialog, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif. Proses komunikasi yang tidak partisipatif disebabkan oleh situasi dimana fasilitator tidak dapat menjalankan peran fasilitasi dan pendidikan secara optimal dan hanya dominan menjalankan peran teknik. Situasi dimana aktivitas pemberdayaan (empowerment) belum berjalan semestinya tersebut juga disebabkan oleh kredibilitas fasilitator yang cenderung menurun dibandingkan dengan program sebelumnya (PPK). Fakta dimana peran fasilitator tidak optimal dan kredibilitas fasilitator yang menurun ini disebabkan oleh “policy” pemerintah terhadap program yang kurang mendorong visi pemberdayaan. Kata kunci : komunikasi partisipatif, peran fasilitator, kredibilitas, pemberdayaan masyarakat
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)
FUAD MUCHLIS
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Djuara. P. Lubis, MS
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari). Fuad Muchlis I352070081
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MSi Anggota
Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ketua
Diketahui
Koordinator Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 29 Juli 2009
Tanggal Lulus: 18 Agustus 2009
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat (Studi kasus pada implementasi PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi, MS dan Ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan serta arahan dengan penuh kesabaran sejak awal penyusunan proposal penelitian, selama di lapangan dan penulisan hingga proses penyelesaian tesis ini serta Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan berharga bagi penyempurnaan tesis ini. Terima kasih juga kepada masyarakat dan perangkat Desa Teluk, pengurus UPK Kecamatan Pemayung, perangkat Kecamatan Pemayung, PJO Kabupaten Batang Hari dan para pelaku PNPM MPd lain yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan pada Mbak Lia (Sekretariat KMP), teman-teman di mayor KMP 2007 (Pak Ojat, Pak Ipunk, Pak Hosea, Mb Ely, Bu Lina, Bu Loli, Bu Retno, Mb Hanif, Wiwin, Uni, Gita, , dan Ria) atas segala dukungannya selama proses belajar. Tidak lupa terima kasih juga untuk temanteman di Markaz KIC Bogor (Bang Lukman, M.Si, Bang Sofyan, M.Si, Arman, M.Si, Husnul, Hayat, dan Nurhan) untuk kebersamaan yang selalu dan semoga tetap terjalin dengan baik. Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Jambi yang telah memberikan izin mengikuti pendidikan pascasarjana di SPs IPB, Dirjen Dikti Depdiknas RI atas bea siswa (BPPS) dan Pemerintah Provinsi Jambi c.q Dinas Pendidikan atas bantuan biaya penelitian dan penulisan tesis ini. Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan do’a ibunda Muhibah beserta seluruh keluarga (Mbak Alfiah, Mas Bisri, Srifitrotun Nisa, Kiki) serta Adinda Rica Natalisa atas segala cinta, pengertian dan dorongan untuk penyelesaian studi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diperlukan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga seluruh upaya ini dapat menjadi amal baik dan bermanfaat. Amin... Bogor, Agustus 2009 Fuad Muchlis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Teluk Sialang, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi pada tanggal 06 September 1979 dari Ayah Isjudi Syujak (Alm) dan Ibu Muhibah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh pada tahun 1997 hingga tahun 2002 pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Kesempatan melanjutkan pendidikan program Magister Sains (S.2) Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2007 pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) dengan sponsor Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis diterima sebagai staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi pada Desember 2003 dan mulai aktif bekerja sejak tahun 2004. Selain mengajar penulis juga pernah diperbantukan sebagai Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) pada Badan Pelaksana Kuliah Kerja Nyata (KUKERTA) Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Jambi sejak tahun 2005-2007.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xv
DAFTAR SINGKATAN ...........................................................................
xvi
PENDAHULUAN .................................................................................... Latar Belakang .................................................................................. Rumusan Masalah ............................................................................ Tujuan Penelitian .............................................................................. Kegunaan Penelitian .........................................................................
1 1 5 5 5
TINJAUAN TEORI .................................................................................. Komunikasi Pembangunan dan Pemberdayaan .............................. Komunikasi Partisipatif dan Pemberdayaan .................................... Habermas dan Ruang Publik ............................................................ Peran-peran Fasilitator dalam Pemberdayaan ................................ Kredibilitas Komunikator ................................................................... Tentang PNPM Mandiri Perdesaan .................................................. Kerangka Pemikiran..........................................................................
6 6 11 14 15 18 19 28
METODE PENELITIAN .......................................................................... Paradigma Penelitian ........................................................................ Desain Penelitian .............................................................................. Tempat dan Waktu Kajian ................................................................ Data dan Metode Pengumpulan Data ............................................. Teknik Analisis Data .........................................................................
30 30 31 32 33 37
PROFIL DAN PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA TELUK KECAMATAN PEMAYUNG ........................................................................................... 38 Gambaran Umum Wilayah ............................................................... 38 Kependudukan .................................................................................. 41 Aktivitas Pendidikan .......................................................................... 42 Aktivitas Keagamaan ........................................................................ 43 Struktur Komunitas ........................................................................... 44 Organisasi, Kelembagaan dan Kepemimpinan ................................ 46 Sistem Ekonomi ................................................................................ 48 AKTIVITAS PNPM MPd DI KECAMATAN PEMAYUNG ..................... Sekilas Tentang PNPM MPd di Kecamatan Pemayung .................. Alur Kegiatan PNPM MPd ................................................................ Jenis Kegiatan dalam PNPM MPd ................................................... Pelaksanaan dan Pelestarian Kegiatan PNPM MPd .......................
50 50 56 61 62
PERAN FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd Peran Teknik ..................................................................................... Peran Fasilitasi.................................................................................. Peran Pendidik .................................................................................. Ikhtisar ...............................................................................................
65 65 69 74 77
PEMAKNAAN KREDIBILITAS FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd ..................................................................................................... 78 Kredibilitas Fasilitator: Perspektif Partisipan .................................... 78 Kompetensi ................................................................................ 78 Berkarakter ................................................................................. 81 Karismatik ................................................................................... 82 Adaptif ......................................................................................... 84 Kredibilitas Fasilitator : Perspektif Pelaku PNPM MPd ................... 86 Ikhtisar ............................................................................................... 88 ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM IMPLEMENTASI MUSYAWARAH DI PNPM MPd ............................................................ Akses yang Tak Sama ...................................................................... Heteroglasia yang Terabaikan.......................................................... Komunikasi Tanpa Dialog ................................................................. Ikhtisar ...............................................................................................
90 98 100 106 109
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... Simpulan ................................................................................................. Saran .......................................................................................................
110 110 112
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
113
LAMPIRAN .............................................................................................
117
DAFTAR TABEL Halaman 1. Daftar Informan di Lokasi Penelitian .................................................
34
2. Orbitasi Jarak dan Waktu Tempuh Desa Teluk dari Pusat Pemerintahan .....................................................................................
39
3. Komposisi Penduduk Desa Teluk Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat Kesejahteraan dan Tingkat Pendidikan Tahun 2008 ...........
41
4. Jenis dan Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Pemayung ....
42
5. Kegiatan PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan Kecamatan Pemayung 52 6. Pemetaan Pembangunan Infrastruktur dan Pembiayaan PPK dan PNPM MPd di Kecamatan Pemayung ......................................
55
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian .............................................
29
2. Proses Analisis Data Penelitian.........................................................
37
3. Struktur Kelembagaan Pemerintahan Desa Teluk Tahun 2008 .......
47
4. Kunjungan Dirjen PMD Depdagri RI dan Salah Satu Event Komunikasi pada PNPM MPd (MAD III) di Kecamatan Pemayung..................... 51 5. Fasilitas infrastruktur bangunan PNPM MPd dan aktivitas Simpan Pinjam Khusus Perempuan (SPP) di Kecamatan Pemayung ..........
53
6. Peneliti bersama Fasilitator Usai Melakukan Wawancara di Ruang UPK PNPM MPd Kecamatan Pemayung ..........................................
54
7. Alur Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan .........................................
57
8. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU di Desa Teluk....................................................................
66
9. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh Masyarakat Melalui PPK di Desa Teluk ...............................................................
67
10. Posisi Tempat Duduk Peserta Rapat ...............................................
91
11. Pemisahan Tempat Duduk Peserta Rapat antara Kelompok Laki-laki dan Kelompok Perempuan ............................................................... 92
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian .......................................................................
117
2. Metoda Pengumpulan Data dan Informasi Penelitian ......................
118
3. Surat Izin Penelitian ...........................................................................
119
DAFTAR SINGKATAN APBD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ADD
: Alokasi Dana Desa
AD/ART
: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
BAPPEDA
: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS
: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BKAD
: Badan Kerja Sama Antar Desa
BBM
: Bahan Bakar Minyak
BLM
: Bantuan Langsung Masyarakat
BPKP
: Badan Pemeriksan Keuangan dan Pembangunan
BPS
: Badan Pusat Statistik
FK
: Fasilitator Kecamatan
FasKab
: Fasilitator Kabupaten
HAM
: Hak Asasi Manusia
HOK
: Hari Orang Kerja
IPM
: Indeks Pembangunan Manusia
Kades
: Kepala Desa
KM-Prov
: Konsultan Manajemen (tingkat) Provinsi
KPMD
: Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MAD
: Musyawarah Antar Desa
MDGS
: Milenium Development Goals
Musdes
: Musyawarah Desa
Musrenbang
: Musyawarah Perencanaan Pembangunan
PNPM
: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
PNPM MPd
: PNPM Mandiri Perdesaan
PPK
: Program Pengembangan Kecamatan
PELITA
: Pembangunan Lima tahun
Perda
: Peraturan Daerah
PerDes
: Peraturan Desa
PJOK
: Penanggung Jawab Operasional Kegiatan
PjOKab
: Penanggung Jawab Operasional Kabupaten
PjOProv
: Penanggung Jawab Operasional Provinsi
PMD
: Pemberdayaan Masyarakat Desa
P2KP
: Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan
Pokmas
: Kelompok Masyarakat
PTO
: Petunjuk Teknis Operasional
RAB
: Rencana Anggaran Biaya
RPJM
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJMDes
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
RT
: Rukun Tetangga
RTM
: Rumah Tangga Miskin
RW
: Rukun Warga
SDM
: Sumber Daya Manusia
SPP
: Simpan Pinjam Khusus Perempuan
TPK
: Tim Pengelola Kegiatan
TP3
: Tim Pengelola dan Pemelihara Prasarana
TPU
: Tim Penulis Usulan
TV
: Tim Verifikasi
UEP
: Usaha Ekonomi Produktif
UPK
: Unit Pengelola Kegiatan
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga
bagi
bangsa Indonesia, bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan pendekatan top-down dan sentralistis, belum berhasil menghadirkan kesejahteraan bagi publik dalam arti yang sesungguhnya. Implementasi pendekatan dan sistem pembangunan
tersebut
mengakibatkan
keikutsertaan
masyarakat
dalam
pembangunan, bukan dalam pengertian partisipasi yang sebenarnya, tetapi lebih pada
dimobilisasi. Karena itu, kegiatan pembangunan makin menjadikan
masyarakat sangat bergantung terhadap input-input dari pemerintah. Hal ini menjadikan masyarakat menjadi kurang percaya diri, tidak kreatif dan tidak inovatif. Pendekatan top-down
dan sentralistis juga mengakibatkan hak-hak
masyarakat terserap ke dalam kepentingan pemerintah, dan menjadikannya tidak berdaya baik pada aspek politik, sosial dan ekonomi. Pada aspek ekonomi misalnya, terlihat bahwa upaya penanganan kemiskinan untuk menyejahterakan rakyat tidak benar-benar berhasil secara nyata. Penanganan kemiskinan sesunguhnya sejak lama telah diupayakan. Sejak PELITA I (era pemerintahan Suharto) upaya penanganan kemiskinan yang dilakukan pemerintah telah menjangkau berbagai pelosok tanah air. Out-putnya, secara kuantitatif menunjukkan hasil yang cukup significant. Hal ini terlihat pada data statistik yang menunjukkan, ketika dimulainya pembangunan lima tahunan (PELITA) pada akhir 1960-an, kurang lebih 60 persen penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, dan kemudian pada 1996-an menjadi sekitar 12 persen dari total penduduk Indonesia (BPS 1997). Tetapi, ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-an telah mengecilkan pencapaian prestasi pembangunan pada umumnya dan penurunan angka kemiskinan pada khususnya. Krisis tersebut menyebabkan melonjaknya angka kemiskinan mencapai 40 persen dari total penduduk Indonesia. Terdapat pelajaran berharga dan (mungkin) sebagai penyadaran
bagi para penyelenggara negara, bahwa
kebijakan dalam
melakukan pembangunan yang menempatkan warga miskin sebagai obyek pembangunan perlu dikoreksi. Respons terhadap pendekatan pembangunan tersebut, berkembanglah diskusi tentang civil society di kalangan perguruan tinggi maupun organisasi non pemerintah. Diskursus tentang civil society ini menyadarkan para penyelenggara negara untuk menemukan pendekatan baru dalam kebijakan pembangunan yang
2
berpihak pada rakyat dengan mengedepankan demokratisasi dan hak asasi manusia (HAM). Terkait dengan wacana civil society ini berkembang pula pemikiran, bahwa untuk mewujudkan bangsa yang demokratis, harus dimulai dari masyarakat akar rumput (grass root). Pemberdayaan
(empowerment)
dipandang
sebagai
jawaban
atas
pengalaman pelaksanaan pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an tersebut. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu ternyata telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi
rakyat
merealisasikan
untuk
memahami
kebutuhannya
itu
kebutuhannya melalui
sendiri
proses
serta
cara-cara
pembangunan.
Proses
pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level akar rumput (grass root) itu telah menyadarkan para pemikir
kebijakan
publik
untuk
akhirnya
berani
mengadopsi
konsep
pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dalam proses pembangunan. Dalam konteks ini pemberdayaan ditantang untuk dapat menumbuhkan kembali inovasi dan kreatifitas rakyat (Wrihatnolo 2007) Salah satu program pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan (empowerment) yang diusung oleh pemerintah saat ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M). PNPM-M diharapkan dapat mewujudkan masyarakat berdaya dan mandiri yang mampu mengatasi berbagai persoalan kemiskinan, menerapkan model
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam
pembangunan partisipatif yang berbasis kelembagaan
masyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan meningkatkan capaian manfaat program kepada kelompok sasaran
yang ditandai dengan
adanya peningkatan IPM Milenium Development Goals (MDGs). Sejak tahun 2007, PNPM Mandiri dilaksanakan dengan memperluas cakupan wilayah sasaran pelaksanaan P2KP dan PPK. Selanjutnya pada tahun 2008 mulai diterapkan PNPM Mandiri Perkotaan (pengembangan dari P2KP) dan PNPM Mandiri Perdesaan (pengembangan dari PPK). Proses pemberdayaan masyarakat dititikberatkan pada fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat di tingkat
basis
menengah
kelurahan/desa,
penanggulangan
fasilitasi kemiskinan
pengintegrasian tingkat
program
jangka
kelurahan/desa
sesuai
kebutuhan masyarakat dengan perencanaan pemerintah. Program ini diharapkan dapat menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar delapan persen dan
3
tingkat pengangguran menjadi sebesar lima persen sampai dengan tahun 2009 (Pedum PNPM Mandiri 2007/2008) Pertanyaan mendasarnya adalah apakah PNPM Mandiri yang merupakan kelanjutan dari program-program pemberdayaan sebelumnya (PPK dan P2KP) benar-benar mampu memberdayakan keluarga miskin ? Dalam penelitiannya, Solihin (2005) menyebutkan bahwa pada aspek ekonomi terjadi peningkatan modal dan pendapatan bagi masyarakat miskin sebesar 60 persen sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pada aspek sosial
juga terjadi
peningkatan interaksi sosial antar anggota KSM dengan fasilitatornya dan terjadi peningkatan partisipasi warga masyarakat. Selanjutnya juga terjadi peningkatan pada aspek pembangunan sarana dan prasarana fisik di lokasi kegiatan. Hal yang kontras justru terjadi pada penelitian Zainuri (2005) yang memfokuskan penelitiannya pada proses partisipasi, transfer kekuasaan dan perbaikan kualitas hidup menurut perspektif pekerjaan sosial. Ia menyatakan bahwa Program Pengembangan Kecamatan/PPK (sekarang PNPM Mandiri Perdesaan) ternyata belum berhasil memberdayakan keluarga miskin. Berikutnya penelitian Muchtar (2007) juga
membuktikan
bahwa tidak terjadi proses
pemberdayaan dalam implementasi P2KP (sekarang PNPM perkotaan). Keberhasilan sebuah kegiatan pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat akan ditentukan oleh komunikasi yang partisipatif. Adanya komunikasi yang partisipatif memungkinkan anggota komunitas penerima program (partisipan) memiliki rasa tanggung jawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan masyarakatnya serta dapat menggali potensi dan kreativitas masyarakat. (Suparjan et al. 2003). Dengan komunikasi partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan kreativitas masyarakat dapat lebih tergali. Pendeknya, dengan pendekatan partisipatif diharapkan dapat berkembangnya aktifitas yang berorientasi pada kompetensi dan tanggung jawab sosial sebagai anggota
komunitas
itu
sendiri.
Dengan
melibatkan
masyarakat
dalam
keseluruhan proses, maka keterampilan analisis dan perencanaan menjadi teralihkan kepada mereka atau partisipan. Proses-proses komunikasi dalam PNPM MPd dapat teramati dalam berbagai event komunikasi di lokasi kegiatan. Dalam proses ini peran seorang fasilitator sangat menentukan apakah komunikasi berjalan secara partisipatif atau sebaliknya. Hal ini dapat dipahami karena fasilitator merupakan ujung tombak dalam aktivitas PNPM MPd. Ia adalah sosok yang selalu bersentuhan langsung
4
dengan partisipan atau penerima program di lapangan. Dalam konteks ini faktor kredibilitas yang melekat pada diri seorang fasilitator juga sangat menentukan keberhasilan
dalam
menjalankan
peran-peran
pendampingan
bervisi
pemberdayaan. Sebagai
sebuah
model
pembangunan
berdimensi
pemberdayaan
perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat yang ditunjukkan oleh peran seorang fasilitator dan kredibilitas yang melekat pada dirinya menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma kualitatif yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang komunikasi pembangunan. Perumusan Masalah Merujuk pada latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah yang diungkap oleh peneliti adalah bagaimana peran fasilitator dalam melakukan pendampingan, bagaimana partisipan dan pelaku PNPM MPd memaknai kredibilitas
seorang
fasilitator
dalam
melakukan
pendampingan
untuk
memberdayakan masyarakat serta bagaimana proses komunikasi berlangsung antara fasilitator dan partisipan dalam aktivitas PNPM MPd di lokasi penelitian ? Tujuan Penelitian Untuk menjawab rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan peran fasilitator dalam melakukan pendampingan pada aktivitas PNPM MPd. 2. Mengungkapkan
makna
kredibilitas
fasilitator
dalam
melakukan
pendampingan menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd 3. Menganalisis komunikasi partisipatif yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan
pada
masyarakat.
aktivitas
PNPM
MPd
dalam
upaya
pemberdayaan
5
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Memberikan masukan strategis yang efektif dan efisien kepada pemegang kebijakan program PNPM MPd 2. Memberikan sumbangan hasil diskusi bersama partisipan kepada pelaku PNPM Mandiri Perdesaan dan komponen masyarakat yang peduli terhadap isu-isu pemberdayaan.
6
TINJAUAN TEORI Komunikasi Pembangunan dan Pemberdayaan Dalam
konteks
komunikasi
pembangunan,
Melkote
(2002)
mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok paradigma dominan (modernisasi) dan kelompok paradigma
alternatif
(pemberdayaan).
Teori-teori
dan
Intervensi
dalam
paradigma dominan dari modernisasi dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Daniel Lerner dalam bukunya The Passing of Traditional Society menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasi dan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu, kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional (Sarwititi 2005). Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Teori Difusi dan Inovasi (Diffusion of Innovation Theory) yang mulai ditulis Rogers (1962) dan berkembang pada tahun 1970-an yang beranggapan bahwa pembangunan terjadi melalui penyebaran (difusi) inovasi dari agen pembangunan ke luar sistem sosial di tingkat lokal melalui berbagai saluran (Media massa, interpersonal dan lain-lain) kepada anggota-anggota sistem sosial dalam kurun waktu tertentu. Pendekatan ini mendapat kritik dari kalangan komunikasi pembangunan antara lain tidak memberikan umpan balik yang sangat mempengaruhi keberhasilan kampanye. Sejak akhir tahun 1970-an dan berkembang pada tahun 1990-an muncullah pendekatan pemasaran sosial yang melihat bahwa proses komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai proses bertahap yang memerlukan pesanpesan dan pendekatan yang berbeda pada setiap tahap proses perubahan perilaku. Pengembangan lebih jauh dari pendekatan pemasaran sosial ini adalah strategi hiburan pendidikan yang berkembang pada akhir tahun 1990-an. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa media massa sangat
7
efektif dalam meningkatkan tingkat kognisi khalayak mengenai kejadian-kejadian yang spektakuler dan media massa berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan khalayak termasuk hiburan dan informasi sesuai dengan teori uses and gratification. Selain itu kecendrungan komersialisasi dan privatisasi media meningkatkan pertumbuhan dan kepopuleran program hiburan-pendidikan (entertainment-education program). Dalam pendekatan ini pendidikan melekat pada program-program hiburan. Teori-teori modelling, self efficacy dan parasocial interaction digunakan untuk menduga dan menjelaskan hierarki efek yang dihasilkan program media. Sedangkan paradigma alternatif dalam komunikasi pembangunan melihat perlunya memasukkan masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan perlindungan budaya asli dalam konsep pembangunan. Terdapat dua jalur dalam pendekatan alternatif-komunikasi partisipatori, yakni PAR (Participatory Action Research) dan pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan dan psikologi komunitas. Oleh karena itu, pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan dapat diamati pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di tingkat komunitas, pemberdayaan berarti proses peningkatan kontrol kelompokkelompok terhadap konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi anggota kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al. 1984 diacu dalam Melkote 2002). Sedangkan di tingkat individu pemberdayaan didefinisikan sebagai “perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau pengaruh pribadi dan kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual, kekuasaan politis dan hukum legal (Rappaport 1987 diacu dalam Melkote 2002) Pergeseran pada isu pemberdayaan memberikan implikasi kepada perubahan etika, metodologi dan filosofi konsep-konsep dalam teori-teori komunikasi pembangunan (Wilkins 2002 diacu dalam Sarwititi 2005). Dalam hal etika, peneliti komunikasi didorong untuk peduli terhadap kelompok yang tertindas : wanita, orang miskin, kelompok etnis dan bahasa minoritas, pengungsi dan lain-lain. Perhatian terhadap hal-hal praktis dan etis (aksiologi) menjadi lebih diutamakan daripada masalah epistimologis seperti obyektivitas dan pemisahan antara peneliti dan yang diteliti (detacmhment) Jan Servaes menghubungkan pemberdayaan dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara kolektif pada semua tingkat sosial sehingga masyarakat dapat mengkontrol dampak dari keputusan tersebut. Pemberdayaan
8
adalah usaha untuk menjamin bahwa rakyat
mampu menolong diri mereka
sendiri (Servaes 1999). Lebih lanjut Servaes (1999) juga menyatakan bahwa inisiatif pembangunan harus diawali dari komunitas dan organisasi akar rumput. Bagi Servaes aktor utama dalam proses pembangunan adalah pergerakan sosial yang menyempal dari kondisi yang stabil dan membentuk struktur hirarki untuk menampilkan sistem bebas dari komunikasi dan organisasi. Untuk memperoleh energi pembangunan organisasi lokal harus diijinkan untuk memutuskan program-progam, isu-isu, bagaimana mengatasinya dan bagaimana hal tersebut dievaluasi. Kedua, dalam model pembangunan yang inisiatifnya berasal dari akar rumput partisipasi struktur komunikasi menjadi sangat penting. Secara tidak langsung dibutuhkan suatu media yang dikuasai oleh komunitas lokal, organisasi dan pergerakan. Hal ini akan mendorong mereka untuk memilih informasi yang benar-benar penting dan membentuk gambaran positif tentang diri mereka sendiri. Dengan begitu organisasi akan memiliki peluang untuk mempengaruhi media lainnya. Ketiga, langkah penting dalam pemberdayaan adalah bahwa tiap unit pembangunan harus bersifat mandiri. Hal ini berarti mengurangi ketergantungan pada mitra yang berkuasa, tiap unit harus berusaha mencari dan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan sumberdaya yang ada. Intinya adalah tidak tergantung pada pihak luar, kalaupun tergantung pada sumberdaya yang berasal dari luar maka sifatnya hanya melengkapi dari apa yang sudah ada. Keempat, menyadari pentingnya kebijakan desentralisasi. Pembangunan di suatu negara tidak didominasi oleh satu pusat metropolitan melainkan terdiri atas beberapa pusat pemerintahan lokal dan regional yang tersebar. Kelima, pembangunan harus didefinisikan secara kultural daripada secara ekonomi
atau
politik,
menurut
Servaes
kebudayaan
merupakan
arena
perjuangan dari upaya pemberdayaan. Selanjutnya, Melkote dan Steves (2001) juga menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah
konsep
inti dari
dari
pengorganisasian.
Mereka
menganggap ketidaksamaan kekuasaan merupakan masalah utama dari masalah pembangunan. Menurut mereka pemberdayaan adalah suatu proses dimana individu atau organisasi memperoleh kontrol dan menguasainya melalui suatu kondisi sosial ekonomi, melalui partisipasi demokrasi dalam komunitasnya dan melalui kisah mereka sendiri
9
Sementara
itu,
Payne
(1997)
diacu
dalam
Nasdian
(2003),
mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment), pada intinya, ditujukan untuk : “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existising power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.” Pemberdayaan adalah kegiatan yang ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya). Shardlow (1998) diacu dalam Adi IR (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka “such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their own future”. Pemberdayaan (empowerment) juga dapat didefinisikan sebagai “proses “ maupun sebagai hasil (DuBois & Miley 2005 diacu dalam Suharto 2006). Sebagai “proses” pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan untuk
meningkatkan
kekuasaan,
kapasitas
atau
kemampuan
personal,
interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi kehidupannya.
Sebagai
sebuah
hasil,
pemberdayaan
menunjuk
pada
tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan atau keberkuasaan. Definisi lain tentang pemberdayaan dikemukakan oleh Suharto (2005) yang berpendapat sebagai sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta
lembaga-lembaga yang mempengaruhi
kehidupannya. Sementara itu Ife (1995), menyatakan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit tetapi penguasaan klien atas pilihan personal untuk membuat keputusan gaya hidup, mendefinisikan kebutuhan, kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan, kemampuan menjangkau
dan
menggunakan
lembaga masyarakat, kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan
kemasyarakatan
dan
kemampuan
memanfaatkan
dan
mengelola
10
mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang serta jasa. Dengan demikian pemberdayaan diterjemahkan sebagai serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu yang mengalami masalah kemiskinan. Penelitian terkini mengenai komunikasi pembangunan menekankan bahwa pemberdayaan merepresentaikan harga diri, dan nilai identitas seseorang dan bentuk re-evaluasi kebudayaan lokal. Hal tersebut juga dapat dinyatakan sebagai institusi kebudayaan sehingga orang yang memiliki modal kebudayaan dihargai dan diakui. Ini juga penting dalam hal pergantian kebudayaan seseorang tidak
harus
mengganti
identitas
dirinya.
Konsep
pemberdayaan
yang
berkembang saat ini akan berbahaya jika tidak diorientasikan secara jelas kepada pelayanan masyarakat, pemberdayaan harus secara eksplisit diletakkan dalam kerangka kerja yang sesuai dengan paramater kemanusiaan dan kesamaan sosial (White 2004). Berangkat dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan”. Sebagai proses , pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu : penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan (Wrihatnolo 2007). Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai “sesuatu”. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun “demand) diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka. Tahap kedua adalah pengkapasitasan atau “capacity building” atau sederhananya adalah memampukan (enabling). Proses pengkapasitasan dilakukan pada tiga aspek, yaitu (1) memampukan manusia, baik dalam konteks individu maupun kelompok; (2) memampukan organisasi, dapat dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut; dan (3) memampukan sistem nilai (aturan main). Dalam cakupan organisasi, sistem nilai berkenaan dengan AD/ART, sistem dan prosedur dan peraturan. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya organisasi dan etika organisasi. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan “aturan main” diantara mereka sendiri. Tahap ketiga adalah pemberian daya itu sendiri. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas atau peluang.
11
Komunikasi Partisipatif dan Pemberdayaan Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk “membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.“ (Payne 1979 diacu dalam Nasdian 2003) Harus diakui bahwa selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003). Terhadap pengertian partisipasi di atas, terjadi tindakan korektif yang disejajarkan dengan upaya mencari definisi masyarakat yang lebih genuine, aktif dan kritis. Konsep yang baru tersebut menumbuhkan daya kreatif dalam dirinya sendiri sehingga menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh Paul (1987) diacu dalam Nasdian (2003) sebagai berikut : “……participation refers to an active process whereby beneficaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share of project benefits. “ Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai “sadar” akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka (memiliki kesadaran kritis). Partisipasi telah menjadi kata kunci untuk suatu perubahan dan menjadi koreksi total terhadap berbagai sistem interaksi (komunikasi) termasuk antara pemerintah dan rakyatnya. (Dwivedi 2003). Komunikasi partisipatif dengan demikian mesti dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pendidikan masyarakat yang partisipatif, tentu bukan sekedar teknik melainkan suatu
12
pendekatan atau bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama yang bersifat sistem bank. Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. “…..participation is concerned with the distribution of power in society, for it is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met through the distribution of resources” (Curtis et al. 1978 diacu dalam Nasdian 2003). Selanjutnya Rahim (2007), mengajukan empat konsep terkait komunikasi partisipatif yang akan mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval. Pertama, Heteroglasia; Konsep ini menunjukan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda-beda dengan berbagai variasi ekonomi, sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik di tingkat nasional-lokal, makro-mikro, publik-privat, teknisideologis dan informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut terdapat berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan berbagai peserta yang berbeda. Sebagai contoh, dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan
menggunakan
bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Sementara itu, petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata yang berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan permasalahan yang sama, tapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan yang lainnya. Tantangan memanfaatkan
bagi
kekuatan
komunikasi heteroglasia,
pembangunan bagaimana
adalah
bagaimana
menempatkan
konsep
tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi dan
kelompok
yang
berbeda-beda
atau
variasi
pandangan
tentang
pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Inilah yang menjadi problem dari partisipasi.
13
Kedua, Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Dalam dialog yang diperluas, masing-masing peserta juga melakukan dialog dengan dirinya sendiri sebelum berbicara atau merespon peserta yang lain. Peserta dalam dialog tidak memiliki kedaulatan ego, dia mesti membangun suatu kesadaran diri (sosial). Kesadaran dirinya tergantung pada seberapa aktif kesadaran sosial yang lain juga dimunculkan. Ketika peserta berbicara kepada yang lain pesan mereka secara umum terhubung dan tergantung pada pesan yang disampaikan oleh pembicara lain pada waktu dan tempat yang berbeda. Dialog internal merupakan aspek penting dalam proses dialog. Ini mirip seperti meditasi. Subjek meditasi menumbuhkan perhatian pada dunia sekitar dan subjek lain yang ada dalam dunia. Dia secara diam berbicara dengan mereka, berargumentasi dengan mereka, mencoba untuk mengerti posisi mereka, dan dalam proses tersebut menguji secara kritis ideologi mereka sendiri. Meskipun demikian hanya sedikit orang yang dapat melakukan meditasi seperti ini. Bagi sebagian orang lain, hal ini harus dipelajari dan itu dapat dipraktekkan apabila situasi komunikasi di desain untuk menstimulai proses tersebut. Salah satu jalan untuk mendorong meditasi tersebut dalam komunikasi pembangunan adalah dengan menstrukturkan situasi-situasi komunikasi untuk meditasi tertentu dan untuk mengkonstruksi suatu pesan yang dapat menstimulasi suatu dialogi internal. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain, atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar, dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain. Ketiga, Poliponi adalah bentuk tertinggi dari suatu dialog dimana suarasuara yang tidak menyatu atau terpisah dan meningkat menjadi terbuka, memperjelas satu sama lain, dan tidak menutupi satu sama lain. Itu adalah suatu bentuk ideal dari komunikasi partisipatif dimana keberbedaan suara-suara disadari secara kolektif dengan menghubungkan berbagai perlakuan konstruksi umum komunitas. Kesatuan poliponi bukan sesuatu yang diperkenalkan dari luar tetapi terbangun dari suatu proses dialog sehingga otonomi suatu suara selalu
14
diartikulasikan dengan yang lain, mendirikan ikatan saling ketergantungan yang saling menguatkan. Keempat, Karnaval ; Konsep ini bagi komunikasi pembangunan membawa semua varian dari semua ritual seperti
legenda, komik, festival,
permainan, parodi, dan hiburan secara bersama-sama. Proses ini dilakukan dengan tidak formal dan biasa juga diselingi oleh humor dan canda tawa. Anggota komunitas didorong berpartisipasi dalam karnaval secara bebas. Karnaval tidak memiliki sanksi resmi. Ini merupakan lawan dari sesuatu yang serius dan otoritatif dari Negara, agama, politik, dan doktrin-doktrin ekonomi. Karnaval dan pembangunan bermain secara berdampingan, masing-masing saling mengartikulasikan dan mengisi. Orang-orang hidup dengan karnaval sebelum dan selama mereka hidup dengan pembangunan. Bahasa dan gaya dari komunikasi karnaval selalu berdasarkan pengalaman khalayak yang tidak dimediasi,
menggunakan
kosakata
yang
umum,
fantastik
dan
berbau
pengalaman dari mereka. Habermas dan Ruang Publik Menurut Habermas, masyarakat memiliki tiga jenis kepentingan yang masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing. Kepentingan pertama adalah teknis, adalah kepentingan untuk menyediakan sumberdaya natural. Kepentingan yang kedua adalah interaksi. karena kerjasama sosial amat dibutuhkan untuk bertahan hidup, Habermas menamakannya kepentingan “praktis”.
Ia
mencakup
kebutuhan-kebutuhan
manusia
untuk
saling
berkomunikasi beserta praktek-prakteknya. Kepentingan yang ketiga adalah kekuasaan. Tatanan sosial, secara
alamiah cenderung pada
distribusi
kekuasaan, namun pada saat yang sama juga memiliki kepentingan untuk membebaskan diri dari dominasi. Kekuasaan mengarah pada distorsi terhadap komunikasi, namun dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan dirinya untuk mengubah keadaan. Maka, kepentingan kekuasaan adalah kepentingan yang “emansipatoris”. Masyarakat Pertentangan
antar
selalu
mengandung
ketiga
kepentingan-kepentingan
jenis
yang
kepentingan
ada,
hanya
ini. dapat
diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional. Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep ruang publik. Baginya, ruang publik adalah wahana di mana setiap kepentingan
15
terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memiliki akses yang sama untuk
berpartisipasi,
kemudian
mereka
terdorong
untuk
mendahulukan
kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan maasalah-masalah yang mereka hadapi. Ruang Publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta situasi berbicara yang ideal. Situasi yang ideal ini, adalah keadaan di mana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Dalam situasi ideal ini, kebenaran muncul lewat argumentasi. Ruang Publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat. Kekuasaan, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam ruang publik. Sementara masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa. Hanya melalui ruang publik inilah, dapat terwujud masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan menanggulangi krisis yang mereka hadapi (Hardiman 1993). Peran-Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan Prinsip dasar
dari kegiatan pendampingan adalah egaliter
kesederajatan kedudukan.
atau
Dengan demikian hubungan yang terjalin antara
fasilitator dan komunitas (masyarakat) adalah berupa kemitraan (partnership). Artinya adalah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pendampingan komunitas adalah proses saling hubungan dalam bentuk ikatan pertemanan atau perkawanan antara fasilitator dengan komunitas, melalui dialog kritis dan pendidikan berkelanjutan, dalam rangka menggali dan mengelola sumber daya, memecahkan persoalan kehidupan secara bersamasama serta mendorong tumbuhnya keberanian komunitas untuk mengungkapkan realitas
yang
Pendampingan
meminggirkan dan melakukan komunitas
pedesaan
juga
aksi
untuk merombaknya.
diartikan
sebagai
proses
pembangunan organisasi dan peningkatan kemampuan dalam menangani berbagai persoalan dasar yang mereka hadapi untuk mengarah kepada perubahan kondisi hidup yang semakin baik. Ada
beberapa
peranan
yang
dilakukan
oleh
fasilitator
dalam
pemberdayaan masyarakat. Dalam suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini bergerak dari satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda.
16
Oleh karena itu, tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang “generalist”. (Nasdian 2003). Ife (1995), membagi menjadi empat kategori seorang fasilitator dalam pengembangan masyarakat sebagai berikut : 1. Peran Fasilitatif Dalam proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat, dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri : bersemangat, memiliki komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, mampu menganalisis dan mengambil langkah yang tepat, dan mudah bergaul dan terbuka; (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar, dan mampu bernegosiasi (negosiator); (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas ; (d) membantu anggota komunitas untuk mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak; (e) memberikan fasilitas kepada anggota komunitas; dan (f) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas. 2.
Peran Pendidik Tantangan untuk fasilitator adalah ‘mengajar’ dengan cara seterbuka mungkin sambil mananggapi agenda partisipan, daripada menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi profesional. Ini dapat menjadi suatu tantangan yang berarti, dan menekankan pentingnya diskusi analisa struktural yang lebih luas.
Banyak dari ketrampilan dasar yang berasosiasi dengan
pendidikan, seperti dengan kelompok dan interaksi interpersonal. Mereka memasukkan dan
memberikan suatu gagasan dengan menggunakan
bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, dapat mendengar dan menanggapi pertanyaan orang lain dan merasakannya. Peran pendidikan dari fasilitator adalah
menerbitkan
kesadaran,
menginformasikan,
menghadapkan
(mengkonfrontasi), dan memberikan pelatihan kepada partisipan. Dalam konteks ini seorang fasilitator
mesti mampu menjawab
bagaimana dia menumbuhkan kesadaran (conciousness), menyampaikan informasi, menciptakan dinamika internal dari suatu komunitas, dan
17
memberikan pelatihan berdasarkan topik yang sesuai dengan kebutuhan anggota komunitas. Fasilitator dituntut berperan aktif dalam proses pendidikan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Kegiatan itu tidak saja membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan seharihari. 3.
Peneliti Fasilitator juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian , guna mengumpulkan dan menginterpretasikan data baru yang terkait, sehingga dapat memperkaya wawasan dan memberikan sumbangan bagi pengembangan model pemberdayaan sejenis di masa mendatang. Pekerja masyarakat (fasilitator) tidak terelakkan terlibat di dalam proses-proses riset, dengan menggunakan bermacam metodologi riset ilmu sosial untuk mengumpulkan data yang relevan, meneliti dan menyajikan data. Hal ini termasuk dalam hal merancang dan melaksanakan survai sosial, meneliti data
dari
survei-survei,
menggunakan
dan
meneliti
data
sensus,
mengumpulkan dan meneliti data tentang permintaan dan pemanfaatan berbagai jasa. Ini adalah satu bidang di mana pengetahuan teknis seperti sampling, membangun daftar pertanyaan/kuisioner dan analisis statistik diperlukan jika pekerjaan sosial ingin berjalan dengan baik. 4.
Peran Teknikal Dalam proses pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan keahlian dan teknik-teknik yang khas, terutama untuk melakukan “need assesment”. Peran teknik
yang
akan dilakukan oleh seorang fasilitator dalam
pemberdayaan dapat terlaksana jika yang bersangkutan memiliki kualifikasi teknis untuk membantu masyarakat melakukan hal-hal teknis yang berkaitan dengan pembangunan prasarana desa. Untuk maksud tersebut,seorang fasilitator teknik harus memiliki tiga macam keterampilan, yaitu : a. Keterampilan untuk memberdayakan masyarakat, termasuk peningkatan kapasitas teknis dan manajerial. Hal ini termasuk keterampilan untuk menerapkan prosedur dan metode yang mendorong peningkatan tingkat pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan pengalihan ilmu sesuai dengan uraian tugas.
18
b. Keterampilan teknis, termasuk keterampilan dalam bidang teknis sipil yang umum maupun keterampilan dalam pembangunan jenis prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. c. Keterampilan untuk menilai dan meningkatkan kemandirian teknis. Kredibilitas Komunikator Dipandang dari komponen komunikan, komunikasi yang efektif akan terjadi jika komunikan mengalami internalisasi (internalization), identifikasi-diri (self identification) dan ketundukan (Kelman 1975 diacu dalam Hamidi 2007). Komunikan mengalami proses internalisasi, jika komunikan menerima pesan yang sesuai dengan sistem nilai yang di anut. Komunikan merasa memperoleh sesuatu
yang bermanfaat jika pesan yang disampaikan memiliki rasionalitas
yang dapat diterima. Internalisasi bisa terjadi jika komunikatornya memiliki credibility , karenanya komunikasi bisa efektif. Hamidi (2007) menyatakan, Identifikasi terjadi pada diri komunikan, jika komunikan merasa puas dengan meniru atau mengambil pikiran atau perilaku dari orang atau kelompok lain (komunikator) dan jika komunikatornya memiliki daya tarik (attractiveness). Ketaatan pada diri komunikan akan terjadi, jika komunikan
yakin
akan
mengalami
kepuasan,
mengalami
reaksi
yang
menyenangkan, memperoleh reward dan terhindar dari punishment dari komunikator jika menerima atau menggunakan isi pesannya. Ethos atau ethikos berasal dari Bahasa Yunani yang berarti adat, kebiasaan, praktek (Bagus L 1996). Sebagaimana digunakan Aristoteles istilah ini mencakup ide “Karakter” dan “Disposisi” (kecondongan). Kata ethos sering juga dipadankan dengan kata moralis (Cicero diacu dalam Bagus 1996). Baginya kata ini ekuivalen dengan kata ethikos sebagaimana diangkat oleh Aristoteles. Perilaku ethos menyangkut perbuatan dalam kerangka baik dan benar. Bila kebaikan dipandang sebagai kunci tingkah laku etis, teori etika yang dihasilkan ditandai kepenuhan nilai. Kebenaran menjadi satu aspek dari kepenuhan tersebut, yaitu seperangkat kewajiban kepada yang lain yang mesti dihormati dalam pencapain kebaikan. Teori yang demikian disebut Aksiologis (menekankan kiblatnya kepada tujuan akhir). Bila kebenaran dianggap sebagai kunci perilaku etis, etika menjadi berkiblat kepada ide kewajiban dan tugas, berkisar pada pernyataan tentang prinsip-prinsip perilaku, dan bukan pada penelusuran konsekuensi-konsekuensi.
Teori-teori
seperti
ini
disebut
(menekankan kewajiban) atau formalistis (menekankan prinsip).
deontologis
19
Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauhmana sumber pesan dapat dipercaya oleh penerima. Tingkat kepercayaan ini penting karena pada kenyataannya orang terlebih dahulu akan memperhatikan siapa yang membawa pesan, sebelum ia mau menerima pesan yang dibawanya. Apabila kredibilitas
sumber
rendah,
maka
bagaimanapun
disampaikan, penerima tidak akan menerimanya. kredibilitas
baiknya
pesan
yang
Devito (1997) memahami
komunikator sebagai hal penting untuk menjadikan
orang lain
(komunikan) percaya atau tidak percaya terhadap apa yang disampaikan komunikator. Kredibilitas penting bagi politisi karena ini mempengaruhi suara pemilih. Kredibilitas penting dalam dunia pendidikan, karena ini mempengaruhi citra pendidik di depan kelas. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan mempengaruhi
anggota
pemberdayaan.
Tidak
komunitas ada
untuk
menjalankan
situasi komunikasi
program-program
dimana kredibilitas
tidak
mempunyai pengaruh atau efek bagi komunikan. Lebih lanjut Devito (1997) mengidentifikasi tiga aspek kualitas utama dari kredibilitas. (1) Kompetensi, mengacu pada pengetahuan dan kepakaran yang menurut khalayak dimiliki oleh komunikator; (2) Karakter, mengacu pada i’tikad dan perhatian komunikator kepada khalayak dan (3) Karisma, mengacu pada kepribadian dan kedinamisan komunikator. Selanjutnya Aristoteles (1954) diacu dalam Hamidi (2007) menyatakan bahwa dimensi ethos seorang komunikator terdiri dari good sense, good moral character dan good will. Sementara itu, unsur-unsur kredibilitas dari seorang komunikator terdiri dari : trust, expertise, authority, performans, socio economics status, experiences dan style of influence (Verderber F. Rudolph 1990 diacu dalam Hamidi 2007). Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kredibilitas seorang fasilitator dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu : Kompetensi (meliputi keahlian, pengalaman, percaya diri dan penguasaan informasi); Karakter (meliputi objektifitas, minat dan trust); Status sosial dan ekonomi (meliputi kekuasaan, pendidikan dan ekonomi); dan Karismatik (meliputi keaktifan, tegas dan semangat). Tentang PNPM-Mandiri Perdesaan PNPM Mandiri pada hakekatnya adalah gerakan dan program nasional yang dituangkan dalam kerangka kebijakan yang menjadi acuan pelaksanaan berbagai
program
penanggulangan
kemiskinan
berbasis
pemberdayaan
20
masyarakat.
Pemberdayaan
masyarakat
bertujuan
menciptakan
atau
meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, untuk menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan yang dihadapinya dengan baik dan benar. PNPM Mandiri membutuhkan harmonisasi kebijakan yang berbasis pemberdayaan masyarakat melalui perbaikan pemilihan sasaran (targetting) baik wilayah maupun masyarakat penerima manfaat, prinsip dasar, strategi, pendekatan, indikator, serta berbagai mekanisme dan prosedur yang diperlukan untuk mengefektifkan penanggulangan kemiskinan dan mempercepat tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Pedum PNPM Mandiri 2007/2008) Mulai tahun 2007 Pemerintah mencanangkan PNPM Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM MPd), PNPM Mandiri Perkotaan (PNPM MPk), serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM MPd adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan
berkelanjutan. Pendekatan PNPM MPd merupakan pengembangan dari
pProgram Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan
dan partisipasi masyarakat (Pedum
PNPM Mandiri 2007/2008) Visi PNPM MPd adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM MPd adalah: (1) peningkatan kapasitas
masyarakat
dan
kelembagaannya;
(2)
pelembagaan
pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran
sistem
pemerintahan
lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi
masyarakat;
(5)
pengembangan
jaringan
kemitraan
dalam
pembangunan (Pedum PNPM Mandiri 2007/2008) Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM MPd, strategi yang dikembangkan PNPM MPd yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi,
21
dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM MPd lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM MPd diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui PPK. Prinsip Dasar PNPM Md Sesuai dengan Pedoman Umum, PNPM MPd mempunyai prinsip atau nilai-nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan PNPM MPd.
Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu
mendorong terwujudnya tujuan PNPM MPd. Prinsip-prinsip itu meliputi: a. Bertumpu pada pembangunan manusia. Artinya bahwa
masyarakat
hendaknya memilih kegiatan yang berdampak langsung terhadap upaya pembangunan manusia daripada pembangunan fisik semata b. Otonomi. Maksudnya adalah masyarakat
memiliki hak dan kewenangan
mengatur diri secara mandiri dan bertanggung jawab, tanpa intervensi negatif dari luar c. Desentralisasi. Pengertiannya adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengelola kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan yang bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kapasitas masyarakat d. Berorientasi pada masyarakat miskin. Artinya bahwa segala keputusan yang diambil harus berpihak kepada masyarakat miskin e. Partisipasi. Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill f.
Kesetaraan dan keadilan gender.
Pengertiannya adalah masyarakat baik
laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahapan
program
dan
dalam
menikmati
manfaat
kegiatan
pembangunan,kesetaraan juga dalam pengertian kesejajaran kedudukan pada saat situasi konflik g. Demokratis. Maksud demokratis adalah masyarakat mengambil keputusan pembangunan secara musyarawah dan mufakat
22
h. Transparansi dan Akuntabel, dimana masyarakat memiliki akses terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan
dapat
dilaksanakan
secara
terbuka
dan
dapat
dipertanggungjawabkan baik secara moral, teknis, maupun administratif i.
Prioritas. Artinya bahwa masyarakat memilih kegiatan yang diutamakan dengan
mempertimbangkan
kemendesakan
dan
kemanfaatan
untuk
pengentasan kemiskinan. j.
Keberlanjutan. Maksudnya adalah dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan harus telah mempertimbangkan sistem pelestariannya.
Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan Pelaku PNPM MPd sebagaimana tertuang dalam Petunjuk Teknis Operasional (PTO) PNPM MPd tahun 2009 adalah sebagai berikut : 1. Pelaku di Perdesaan Pelaku di desa adalah pelaku-pelaku yang berkedudukan dan berperan dalam pelaksanaan PNPM MPd di desa. Pelaku di desa meliputi: a. Kepala Desa, berperan sebagai pembina dan pengendali kelancaran serta keberhasilan pelaksanaan PNPM MPd di desa. Bersama BPD, kepala desa menyusun peraturan desa yang relevan dan mendukung terjadinya proses pelembagaan prinsip dan prosedur PNPM MPd sebagai pola pembangunan partisipatif, serta pengembangan dan pelestarian aset PNPM MPd yang telah ada. Kepala desa juga berperan mewakili desanya dalam pembentukan forum musyawarah/badan kerja sama antar desa. b. Badan Permusyawarahan Desa (BPD), berperan sebagai lembaga yang mengawasi proses dari setiap tahapan PNPM MPd, termasuk sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian di desa. Selain itu juga berperan dalam melegalisasi atau mengesahkan
peraturan desa yang berkaitan
dengan pelembagaan dan pelestarian PNPM MPd desa. BPD juga bertugas mewakili masyarakat bersama Kepala Desa dalam membuat persetujuan pembentukan badan kerja sama antar desa. c. Tim Pengelola Kegiatan (TPK), terdiri dari anggota masyarakat yang dipilih melalui musyawarah desa yang mempunyai fungsi dan peran untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan
kegiatan
administrasi, serta keuangan PNPM MPd.
di
desa
dan
mengelola
23
d. Tim Penulis Usulan (TPU), berasal dari anggota masyarakat yang dipilih melalui Musdes. Peran TPU adalah menyiapkan dan menyusun gagasangagasan kegiatan yang telah ditetapkan dalam musyawarah desa dan musyawarah khusus perempuan, serta dokumen-dokumen yang diperlukan untuk musrenbang reguler, termasuk RPJM Desa dan RKPDes. Anggota TPU dipilih oleh masyarakat berdasarkan keahlian dan ketrampilan yang sesuai dengan jenis kegiatan yang diajukan masyarakat. e. Tim
Pemantau,
berperan
menjalankan fungsi
pemantauan
terhadap
pelaksanaan kegiatan yang ada di desa. Keanggotaannya berasal dari anggota masyarakat yang dipilih melalui Musdes. Hasil pemantauan kegiatan disampaikan saat Musdes dan MAD. f.
Tim Pemelihara, berperan menjalankan fungsi pemeliharaan terhadap hasil kegiatan yang ada di desa, termasuk perencanaan kegiatan dan pelaporan.
g. Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa/Kelurahan (KPMD/K). adalah warga desa terpilih yang memfasilitasi atau memandu masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan tahapan PNPM MPd di desa dan kelompok masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pemeliharaan. h. Kelompok Masyarakat (Pokmas), adalah kelompok masyarakat yang terlibat dan mendukung kegiatan PNPM MPd, baik kelompok sosial, kelompok ekonomi maupun kelompok perempuan. Termasuk sebagai kelompok masyarakat misalnya kelompok arisan, pengajian, kelompok ibu-ibu PKK, kelompok SPP, kelompok usaha ekonomi, kelompok pengelola air, kelompok pengelola pasar desa dan sebagainya. 2.
Pelaku di Kecamatan Pelaku-pelaku PNPM MPd di tingkat Kecamatan terdiri atas :
a. Camat (atas nama Bupati) berperan sebagai pembina pelaksanaan PNPM MPd kepada desa-desa di wilayah kecamatan. b. Penanggung jawab Operasional Kegiatan (PjOK) adalah seorang Kasi pemberdayaan masyarakat atau pejabat lain yang mempunyai tugas pokok sejenis di kecamatan yang ditetapkan berdasarkan SK Bupati dan bertanggung jawab atas
penyelenggaraan operasional kegiatan dan
keberhasilan seluruh kegiatan PNPM MPd di kecamatan. c. Tim Verifikasi (TV) adalah tim yang dibentuk dari anggota masyarakat yang memiliki pengalaman dan keahlian khusus, di bidang teknik prasarana, SPP, pendidikan, kesehatan atau pelatihan ketrampilan masyarakat sesuai usulan
24
kegiatan yang diajukan masyarakat dalam Musdes perencanaan. Perannya adalah melakukan pemeriksaan serta penilaian usulan kegiatan semua desa peserta PNPM MPd dan selanjutnya membuat rekomendasi kepada MAD sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan. d. Unit Pengelola Kegiatan (UPK), berperan sebagai unit pengelola dan operasional pelaksanaan kegiatan antar desa. Pengurus UPK sekurangkurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara. Pengurus UPK berasal dari anggota masyarakat yang diajukan oleh desa berdasarkan hasil Musdes dan selanjutnya dipilih dalam MAD. UPK mendapatkan penugasan BKAD untuk menjalankan tugas pengelolaan dana program dan tugas pengelolaan dana perguliran. e. Badan Pengawas UPK (BP-UPK), berperan dalam mengawasi pengelolaan kegiatan, administrasi, dan keuangan yang dilakukan oleh UPK. BP-UPK dibentuk melalui MAD, sekurang-kurangnya tiga orang terdiri dari ketua dan anggota. f.
Fasilitator Kecamatan (F-Kec) dan Fasilitator Teknik Kecamatan (FT-Kec) adalah pendamping masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan PNPM MPd. Perannya adalah
memfasilitasi masyarakat dalam setiap tahapan
program pada tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian. FK dan FT juga berperan dalam membimbing kader-kader desa atau pelakupelaku PNPM MPd di desa dan kecamatan. g. Pendamping Lokal (PL) adalah tenaga pendamping dari masyarakat yang membantu FK/FT untuk memfasilitasi masyarakat dalam melaksanakan tahapan dan kegiatan PNPM MPd pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian. Di setiap kecamatan akan ditempatkan minimal satu orang pendamping lokal. h. Tim Pengamat adalah anggota masyarakat yang dipilih untuk memantau dan mengamati jalannya proses MAD serta memberikan masukan dan saran agar MAD dapat berlangsung secara partisipatif. i.
Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) adalah lembaga lintas desa yang dibentuk secara sukarela atas dasar kesepakatan dua atau beberapa desa di satu wilayah dalam satu kecamatan dan atau antar kecamatan dengan suatu maksud dan tujuan tertentu. BKAD dibentuk untuk melindungi dan melestarikan hasil-hasil program yang terdiri dari kelembagaan UPK, sarana-
25
prasarana, hasil kegiatan bidang pendidikan, bidang kesehatan dan perguliran dana. j.
Setrawan Kecamatan. Setrawan Kecamatan diutamakan dari pegawai negeri sipil di lingkungan kecamatan yang dibekali kemampuan khusus untuk dapat melaksanakan tugas akselerasi perubahan sikap mental di lingkungan pemerintah kecamatan dan perubahan tata pemerintahan serta mendampingi masyarakat, khususnya dalam manajemen pembangunan partisipatif. Dalam hal tertentu pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah dapat ditugaskan di kecamatan sebagai setrawan kecamatan. Dalam kaitan dengan PNPM Mandiri Perdesaan, setrawan melibatkan diri dalam proses kegiatan pada perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan.
3.
Pelaku di Kabupaten Di tingkat kabupaten pelaku PNPM MPd terdiri atas :
a.
Bupati, merupakan pembina tim koordinasi PNPM MPd, penanggung jawab operasional kegiatan (PjOK) serta bertanggung jawab atas pelaksanaan PNPM MPd kabupaten. Bersama DPRD, Bupati bertanggung jawab untuk melakukan kaji ulang terhadap peraturan daerah yang berkaitan dengan pengaturan desa sesuai komitmen awal.
b.
Tim Koordinasi PNPM-Mandiri Kabupaten (TK PNPM Kab) dibentuk oleh bupati
untuk
masyarakat,
melakukan pembinaan
pembinaan administrasi,
pengembangan dan
fasilitasi
peran
serta
pemberdayaan
masyarakat pada seluruh tahapan program PNPM MPd dan memberikan dukungan
koordinasi program antar instansi, pelayanan dan proses
administrasi di tingkat kabupaten. c.
Penanggung jawab Operasional Kabupaten (PjOKab), adalah seorang pejabat di lingkungan Badan Pemberdayaan Masyarakat atau pejabat lain yang mempunyai tugas pokok sejenis di Kabupaten yang berperan sebagai pelaksana harian TK PNPM Mandiri kabupaten.
d.
Fasilitator
Kabupaten
(F-Kab),
adalah
tenaga
profesional
yang
berkedudukan di tingkat kabupaten. Peran fasilitator kabupaten adalah sebagai supervisor atas pelaksanaan tahapan PNPM MPd di lapangan yang difasilitasi oleh FK dan memfasilitasi perencanaan koordinatif di tingkat kabupaten. F-Kab harus memastikan setiap tahapan pelaksanaan PNPM MPd dapat selesai dengan baik, tepat waktu dengan tetap mengacu pada prinsip dan prosedur PNPM MPd.
F-Kab
berperan dalam memberikan
26
bimbingan atau dukungan teknis kepada pelaku PNPM MPd di kecamatan dan desa. Dia juga berperan dalam mendorong munculnya forum lintas pelaku atau sejenisnya, sebagai media pembelajaran pemberdayaan masyarakat. Dalam menjalankan perannya fasilitator kabupaten harus melakukan koordinasi dengan dinas/instansi yang ada di kabupaten dan TK PNPM Mandiri kabupaten yang ada di wilayah kerjanya. e.
Fasilitator teknik kabupaten (FT-Kab) adalah tenaga konsultan teknik dan manajerial profesional yang berkedudukan di tingkat kabupaten dan berperan
sebagai
supervisor
atas
hasil
kualitas
teknik
kegiatan
pembangunan prasarana perdesaan pada perencanaan desain dan RAB, survei dan pengukuran, pelaksanaan, serta operasi dan pemeliharaan. FTKab harus memastikan pelaksanaan kegiatan prasarana selesai dengan kualitas baik, selesai tepat waktu, dan tetap mengacu pada prinsip dan prosedur PNPM MPd serta sesuai kaidah atau standar teknik prasarana. Dia juga berperan dalam memberikan bimbingan atau dukungan tentang kaidah dan standar teknis prasarana Perdesaan kepada pelaku PNPM MPd di kecamatan dan desa. f.
Pendamping
UPK,
adalah
konsultan
yang
bertugas
melakukan
pendampingan kepada UPK dan lembaga pendukung agar menjadi suatu lembaga yang handal dan akuntabel. Pendampingan yang diberikan termasuk aspek pengelolaan keuangan dan pinjaman, aspek penguatan kelembagaan, serta aspek pengembangan jaringan kerja sama, termasuk lembaga pendukung. Pendamping UPK lebih berfokus pada penguatan dan pengembangan UPK yang potensial, tetapi juga memberikan bantuan teknis dan rekomendasi dalam rangka penyehatan UPK yang dinilai kurang atau tidak potensial. g.
Setrawan Kabupaten adalah pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah kabupaten
yang
dibekali
kemampuan
khusus
untuk
dapat
melaksanakan tugas akselerasi perubahan sikap mental di kalangan lingkungan
pemerintah
dan
perubahan
tata
kepemerintahan,
mengkoordinasi dan memfasilitasi setrawan kecamatan, serta mendampingi masyarakat, khususnya dalam manajemen pembangunan partisipatif.
27
4.
Pelaku Lainnya Selain pelaku PNPM MPd di desa, kecamatan dan kabupaten juga ada
pelaku PNPM MPd lainnya yang ada di tingkat provinsi dan nasional. Pelaku tersebut antara lain: a.
Gubernur sebagai pembina dan penanggung jawab pelaksanaan PNPM MPd di tingkat Provinsi
b.
TK PNPM Mandiri provinsi adalah tim yang dibentuk oleh gubernur yang berperan dalam melakukan pembinaan administrasi dan memberikan dukungan pelayanan dan proses administrasi di tingkat provinsi
c.
Penanggung jawab Operasional Provinsi (PjOProv), adalah seorang pejabat di lingkungan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa atau pejabat lain yang mempunyai tugas pokok sejenis di provinsi yang berperan sebagai Plh. TK PNPM Mandiri Provinsi. PjOProv ditetapkan dalam SK Gubernur
d.
Di tingkat provinsi disediakan beberapa tenaga ahli yang dipimpin oleh seorang Koordinator Manajemen Provinsi (KM-Prov),
e.
Di tingkat wilayah disediakan Konsultan Manajemen Wilayah yang dipimpin oleh Koordinator Wilayah (Korwil),
f.
Di tingkat nasional disediakan beberapa tenaga ahli yang dipimpin oleh seorang Ketua Tim Konsultan Manajemen Nasional (KT-KM Nas).
g.
Tim Pengendali PNPM Mandiri
berperan dalam
melakukan pembinaan
kepada Tim Koordinasi PNPM Mandiri di Provinsi dan Kabupaten yang meliputi pembinaan teknis dan administrasi. Dalam menjalankan tugasnya Tim Pengendali PNPM Mandiri Perdesaan didukung oleh Satuan Kerja PNPM Mandiri Perdesaan. Ruang lingkup program meliputi pembangunan infrastruktur transportasi perdesaan untuk mendukung peningkatan aksesibilitas masyarakat desa, yaitu: jalan, jembatan perdesaan, titian dan tambatan perahu; pembangunan infrastruktur yang mendukung produksi pertanian, yaitu: irigasi perdesaan; pembangunan infrastruktur yang
mendukung pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat, meliputi: penyediaan air minum, dan sanitasi perdesaan. Program ini dilaksanakan oleh masyarakat desa sasaran secara swakelola melalui organisasi masyarakat setempat sebagai pengelola kegiatan. Penetapan jenis infrastruktur,
perencanaan
dan
operasi
pemeliharaanya
dilaksanakan
berdasarkan keputusan dalam Musdes. Selama pelaksanaan di tingkat desa dilakukan pendampingan oleh fasilitator (konsultan).
28
PNPM
MPd
bertujuan
mempercepat
penanggulangan
kemiskinan
berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, pemerintahan lokal, serta penyediaan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi. Sedangkan tujuan khususnya meliputi: 1. Meningkatkan peran serta masyarakat terutama kelompok miskin dan perempuan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan; 2. Melembagakan
pengelolaan
pembangunan
partisipatif
dengan
mendayagunakan sumberdaya lokal; 3. Mengembangkan
kapasitas
pemerintahan
lokal
dalam
memfasilitasi
pengelolaan pembangunan perdesaan yang berkelanjutan; 4. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat; 5. Melembagakan pengelolaan keuangan mikro dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin. Kerangka Pemikiran Sebagaimana
tradisi
pada
penelitian
kualitatif,
peneliti
akan
mengembangkan kerangka pemikiran bersamaan dengan pengumpulan dan analisis data di lapangan. Peneliti juga akan membekali diri dengan literatur yang relevan, baik dari buku, jurnal dan hasil-hasil penelitian di bidang ilmu komunikasi pembangunan maupun dari disiplin ilmu lain yang terkait dengan topik penelitian ini. Peneliti menilai keberhasilan sebuah program pemberdayaan sangat ditentukan oleh proses komunikasi yang berlangsung secara partisipatif. Komunikasi yang partisipatif memungkinkan masyarakat memiliki rasa tanggung jawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan masyarakatnya serta dapat menggali potensi dan kreativitas masyarakat (Suparjan et al 2003). Servaes (1999) juga menyatakan bahwa inisiatif pembangunan untuk pemberdayaan masyarakat harus diawali dari komunitas dan organisasi pada level akar rumput. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne 1979 diacu dalam Nasdian 2003). Di tahap awal kajian ini, peneliti akan menggunakan konsepnya Rahim (2007) untuk menganalisis fenomena komunikasi dengan fokus komunikasi
29
partisipatif yaitu konsep tentang heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval. Akan tetapi setelah proses pengumpulan data di lapangan berjalan dan proses analisis mulai dilakukan, berkembang juga isu tentang akses yang muncul di tengah fenomena aktivitas komunikasi pada Impelementasi PNPM MPd di lokasi penelitian. Peneliti menilai konsep tentang ”akses” ini sangat relevan dan penting untuk dijadikan sebagai alat analisis komunikasi partisipatif ”berikutnya” untuk mempertajam kajian. Sementara itu isu tentang poliponi dan karnaval, di lokasi penelitian justru kurang begitu muncul. Oleh karenanya sebagai alat analisis untuk mengkaji topik ini peneliti menggunakan konsep heteroglasia, dialog dan akses. Konsep tentang dialog selain merujuk pada pendapatnya Rahim (2007), peneliti juga menggunakan gagasannya Paulo Freire untuk mempertajam analisis kajian ini. Sementara analisis tentang akses, peneliti menggunakan pendapatnya Habermas tentang ruang publik. Berbagai event komunikasi yang berlangsung sebagaimana teramati oleh peneliti ternyata berkaitan dengan peran fasilitator dan kredibilitasnya dalam menjalankan kegiatan pendampingan di lapangan. Sehingga pencarían dan pembahasan tentang peran serta kredibilitas fasilitator menjadi relevan dan penting untuk memperkaya kajian ini. Secara detail kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian : Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Kasus pada Implementasi PNPM Mandiri Perdesaan) Kebijakan dari Stake Holder PNPM MPd
Harapan dan Nilai Sosial dari Partisipan
Peran Fasilitator : 1. Teknik 2. Fasilitasi 3. Pendidik
Kredibilitas Fasilitator : 1. Kompetensi 2. Karakter 3. Karismatik 4. Adaftif
Komunikasi Partisipatif : 1. Heteroglasia 2. Dialog 3. Akses
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
30
METODE PENELITIAN Paradigma Penelitian Paradigma merupakan pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok kajian yang semestinya harus dipelajari sebagai suatu ilmu pengetahuan (Ritzer 1992 & Salim 2001). Dengan demikian paradigma merupakan suatu pokok
persoalan dalam suatu cabang ilmu menurut versi
ilmuan tertentu. Bertolak dari pengertian di atas, suatu cabang ilmu pengetahuan tertentu dimungkinkan di dalamnya terdapat terdapat beberapa bentuk paradigma. Guba dan Lincon (1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma, yaitu: positivisme, postpositivisme, critical theories dan constructivism. Tujuan penelitian ini adalah ingin memaknai peran dan kredibilitas fasilitator menurut perspektif
partisipan dan pelaku PNPM MPd serta
menganalisis proses komunikasi yang berlangsung dalam aktivitas PNPM MPd. Oleh karena itu penelitian ini mengarah kepada konstruksi realitas yang ada dari tindakan sosial dari partisipan dan pelaku program. Mengacu pada pemikiran ini maka paradigma penelitian yang dipilih adalah paradigma kontruktivis, yaitu paradigma yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action (tindakan sosial yang penuh arti) melalui pengamatan langsung terhadap perilaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka (Hidayat, 1999). Perbedaan antar paradigma yang satu dengan lainnya menurut Denzim dan Lincon (1994) pada dasarnya dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu ontology, epistimologi dan methodology. Mengacu pada pemikiran tersebut, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan peneliti dalam menentukan pilihan pada pendekatan konstruktivis, yaitu ; 1. Secara ontology paradigma konstruktivis memandang bahwa realitas merupakan konstruksi sosial, dimana kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Dalam pandangan paradigma konstruktivis realitas hadir sebagai konstruksi mental, dipahami secara beragam berdasarkan pengalaman serta konteks lokal dan spesifik para individu yang bersangkutan (Hidayat & Dedy N 1999). Dalam konteks penelitian ini budaya masyarakat Desa Teluk
polanya
memiliki
31
kekhasan sebagai bagian dari rumpun Melayu Jambi yang memiliki konstruksi sosial yang juga khusus. 2. Secara
Epistimologi,
paradigma
konstruktivis
memandang
bahwa
pemahaman tentang suatu realitas atau temuan penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan tineliti. Hubungan epistemologis antara peneliti dengan tineliti, menurut paradigma konstruktivis bersifat satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara keduanya (Salim 2001). Dalam konteks ini data yang diperoleh merupakan hasil interaksi peneliti dengan masyarakat Desa Teluk dan informan lainnya secara langsung, melalui interaksi yang sedekat mungkin dengan subyek penelitian baik melalui metode observasi participant ataupun wawancara mendalam. 3. Secara Metodologis, paradigma konstruktivis menekankan empati dan interaksi dialektik antara peneliti dan informan untuk merekonstuksi realitas yang diteliti melalui metode-metode penelitian kualitatif. Dalam konteks ini untuk memperoleh data peneliti menekankan interaksi dialektis antara peneliti dengan tineliti, terutama melalui pendekatan observasi participant. Paradigma konstruktivis merupakan bagian dari pendekatan penelitian kualitatif. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, kelompok atau interaksi tertentu.
Penelitian ini merupakan
sebuah proses investigasi dimana peneliti secara bertahap berusaha memahami fenomena
sosial
dengan
membedakan,
membandingkan,
meniru,
mengkatalogkan dan mengelompokkan obyek studi (Miles & Huberman 1984). Istilah kualitatif menunjuk pada proses dan makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas atau frekuensi, penekanan diberikan pada sifat konstruksi sosial dari realitas dan mencari jawaban bagaimana pengalaman sosial dibentuk dan diberi makna (Denzin dan Lincoln 2003). Bagi peneliti kualitatif, realitas sosial adalah wujud bentukan (konstruksi) para subyek penelitian yaitu tineliti dan peneliti. Dalam penelitian ini peristiwa atau gejala sosial yang akan diteliti adalah tentang peran dan kredibilitas fasilitator menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta proses komunikasi yang berlangsung dalam aktivitas PNPM MPd.
Desain Penelitian Studi ini akan menggunakan tradisi penelitian etnografi. Desain ini muncul dari bidang antropologi, terutama
dari sumbangan pemikirannya Bronislaw
Malinowski, Robert Park dan Franz Boas (Kirk & Miller 1986 diacu dalam
32
Spradley 1997). Tujuan penelitian etnografi adalah untuk memberi suatu gambaran holisitik subyek penelitian dengan penekanan pada pemotretan pengalaman sehari-hari individu dengan mengamati dan mewawancarai mereka dan orang-orang lain yang berhubungan. Selanjutnya Spradley (1997) menyatakan bahwa etnografi akan memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Ciri pokok etnografi adalah penekanan terhadap eksplorasi gejala sosial tertentu, pengumpulan data empiris tak terstruktur, pilihan atas sejumlah kecil kasus dan pendekatan interpretative dalam analisis data. Penelitian etnografi bersifat fleksibel dan akan berkembang secara kontekstual sebagai reaksi dari realitas sosial yang ditemukan secara tidak sengaja di lapangan. Hal ini seperti yang diungkapkan Grant dan Fine (1992) diacu dalam Creswell (1994) : “The research (ethnography) process is flexible and typically evolves contextually in response to the lived realities encountered in the field setting.” (11) Etnografi komunikasi sendiri merupakan pendekatan sosiolinguistik bahasa, yaitu melihat penggunaan bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai sosial kultural (Hymes 1962 diacu dalam Kuswarno, 2008). Dengan kata lain etnografi komunikasi menggabungkan sosiologi (analisis interaksional dan identitas peran) dengan antropologi (kebiasaan penggunaan bahasa dan filosofi
yang melatarbelakanginya) dalam konteks komunikasi, atau ketika
bahasa itu dipertukarkan. Seville-Troike (1986) diacu dalam Kuswarno (2008) menyatakan bahwa fokus kajian etnografi komunikasi adalah masyarakat tutur (speech community), yang di dalamnya mencakup : (a) cara-cara bagaimana komunikasi itu dipola dan diorganisasikan sebagai sebuah sistem dari peristiwa komunikasi;
dan (b) cara-cara bagaimana pola komunikasi itu hidup dalam
interaksi dengan komponen sistem kebudayaan lain. Studi etnografi mencakup wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta yang terus menerus terhadap suatu situasi dan dalam usaha untuk menangkap gambaran keseluruhan bagaimana manusia menggambarkan dan menyusun dunia mereka (Frankel & Wallen diacu dalam Creswell 1995). Tempat dan Waktu Kajian Peneliti memilih Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari sebagai lokasi penelitian dengan fokus di Desa Teluk. Kecamatan Pemayung dinyatakan telah berhasil melaksanakan program dan menjadi rujukan bagi program
33
pemberdayaan kecamatan-kecamatan lain di kabupaten ini. Kabupaten Batang Hari sendiri merupakan salah satu daerah pertama di Provinsi Jambi yang menerima Program PPK dan dianggap telah berhasil dan hingga kini dikembangkan menjadi lokasi PNPM MPd. Lokasi penelitian merupakan salah satu desa yang menerima bantuan PPK sejak tahun 2003 hingga saat ini (PNPM MPd). Untuk memilih desa sebagai lokasi penelitian, peneliti melakukan pendataan awal dan melakukan wawancara dengan pengurus UPK dan fasilitator Kecamatan Pemayung. Desa Teluk dipilih karena dinilai berhasil dalam melaksanakan aktivitas PPK dan PNPM MPd dan hampir setiap tahun desa ini mendapatkan kesempatan sebagai lokasi kegiatan PPK dan PNPM MPd di Kecamatan Pemayung.. Pertimbangan berikutnya adalah mayoritas atau hampir 95 persen penduduk Desa Teluk adalah beretnik Melayu Jambi, hal ini akan memudahkan peneliti untuk menggali budaya lokal yang cenderung sama sebagai basis untuk melakukan kajian etnografi komunikasi. Waktu penelitian dilaksanakan sejak tanggal 11 Maret 2009 sampai dengan tanggal 13 Mei 2009. Data dan Metode Pengumpulan data Sumber data primer dalam penelitian adalah data yang diperoleh dari informan. Penentuan informan dilakukan dengan sengaja (purposive) yaitu memilih informan yang sesuai dengan desain penelitian. Prosedur pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball yaitu penentuan sampling dimulai dari informan kunci dan berkembang mengikuti informasi atau data yang diperlukan.
Pada saat yang sama peneliti juga mengikuti setiap event
komunikasi dalam aktifitas PNPM MPd di lokasi penelitian. Proses penggalian data juga akan mempertimbangkan triangulasi. Dari penelusuran di lapangan, maka peneliti menggunakan informan sebagai berikut: tokoh informal (yaitu tokoh adat, agama, pemuda dan perempuan), KM Prov PNPM MPd Jambi, Camat Pemayung dan aparatnya, PJOKab Batang Hari dan PJOK Kecamatan Pemayung, FasKab dan FK, pengurus BKAD dan UPK Kecamatan Pemayung, aparat desa, PL, mantan PL, KPMD dan perwakilan RTM serta pengamatan lapangan (kondisi rumah, kondisi usaha ekonomi produktifnya, suasana relasi dan interaksi antar anggota keluarga dan kelompok). Lebih lanjut daftar informan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
34
Tabel 1. Daftar Informan di Lokasi Penelitian No Nama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Ir. Safwan Mularambe, S.Sos Adnan, S.Si Darma Etika, SE Bastian, ST Ependi, ST Oktaria, ST Parlaungan Lubis, SH Habibullah Mubarok Mery Sirojudin Machmud Hasan Abdul Somad Ibrahim Kamal Zawawi A. Hajar Jafar Fatimah Kartina Zakaria Rita Sayuti Amin Afandi Yusuf Saodah Yusuf Samin
Pekerjaan KM Prov. PNPM MPd Jambi PJOKab PNPM MPd Batang Hari Camat Pemayung FasKab Batang Hari FT Kabupaten Batang Hari FK Pemayung FT Kecamatan Pemayung PJOK Pemayung Ketua BKAD Kec. Pemayung Sekretaris BKAD Kec. Pemayung Ketua UPK Kec. Pemayung Sekretaris UPK Kec. Pemayung Bendahara UPK Kec. Pemayung Kepala Desa Teluk Sekretaris Desa Teluk Ketua LPM Desa Teluk TPK Desa Teluk Imam Masjid/Tokoh adat Da’i/ mantan TPK Kepala SD/mantan TPK Tokoh Perempuan/pelaku PNPM Guru SMP/mantan PL Guru SMP/tokoh adat Pendamping Lokal Tokoh Pemuda Tokoh Pemuda RTM RTM RTM RTM RTM
Untuk mendapatkan data primer tersebut peneliti menggunakan dua metode pengumpulan data yaitu : pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam. Metode tersebut digunakan untuk memenuhi bahan penelitian kualitatif. Masing-masing metode digunakan sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan peneliti. Data yang diperoleh dari masing-masing metode dianalisis berdasarkan pada penggunaan data tersebut. Pertama, pengamatan berperan serta, yaitu interaksi sosial yang terjadi antara peneliti dengan informan untuk memahami keseharian subjek penelitian serta makna dari tindakan mereka. Dalam kaitan ini saya sependapat dengan pernyataan Srinivas (1974) sebagaimana dikutip oleh Wiradi (2009) bahwa “jika ilmuan sosial betul-betul ingin mengetahui daerah pedesaan, maka dia harus menghabiskan beberapa waktu untuk tinggal dalam kondisi-kondisi yang sama dengan yang dialami oleh orang-orang yang menempati daerah itu. Sebab untuk memahami relasi dan proses sosial yang bekerja di pedesaan, dibutuhkan landasan pengalaman untuk mendapatkan suatu pengetahuan. Terdapat dua alasan metodologis, kenapa peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
35
berperan serta (Moleong 1989). (1) pengamatan memungkinkan peneliti melihat, merasakan dan memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial didalamnya sebagaimana tineliti melihat, merasakan dan memaknainya. (2) pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan tineliti. Selama dua bulan, tinggal di rumah penduduk, peneliti dapat mengamati dan menggali data tentang aktivitas PNPM MPd dan memandang realitas sosial dan kehidupan mereka, yaitu rutinitas kerja, kebiasaan-kebiasaan, perilaku, potensi, komunikasi dan jejaring sosial yang ada untuk meningkatkan akses mereka. Selama pengamatan diperoleh data tentang suasana relasi antar anggota masyarakat dengan pemimpin lokal, antar RTM dengan pemimpin lokal dan aparat desa, kondisi rumah dan lingkungan anggota masyarakat dan kondisi desa secara umum. Selain itu juga memahami latar belakang keberhasilan program dan kegagalan program pada setiap aktifitas PNPM MPd. Rentang waktu kurang lebih dua bulan di lapangan bagi peneliti memang cukup singkat untuk mampu mengungkap secara jujur dan apa adanya pendapat masyarakat. Akan tetapi peneliti sangat terbantu oleh salah seorang tokoh masyarakat Desa Teluk yaitu Bapak Hajar, seorang da’i tempat dimana peneliti tinggal. Dengan profesinya sebagai da’i (penceramah) yang bersangkutan menguasai informasi desa itu dan relasi yang luas di luar desa, sehingga tidak saja informasi tentang warga desa di wilayahnya tetapi juga desa-desa tetangga dapat peneliti peroleh. Melalui beliau juga peneliti dipertemukan dan dikenalkan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang diyakini memiliki kapasitas dan bisa memberikan referensi yang cukup untuk mendapatkan data penelitian. Pengalaman peneliti setelah tinggal di desa lokasi mengajarkan bahwa waktu yang tepat untuk mengunjungi responden ada dua : pertama di sore hari (ba’da asar) dan kedua pada malam hari (ba’da isya’) Beberapa aktivitas kemasyarakatan yang sempat peneliti ikuti di lokasi diantaranya adalah kegiatan yasinan remaja setiap malam selasa, kegiatan gotong royong warga (membuat rumah), olahraga dan di sela-sela waktu kosong peneliti juga turut melihat dari dekat aktivitas petani di kebun (kebun karet dan kelapa sawit). Pada saat berbaur dan menyatu dengan warga inilah peneliti mencoba memaknai aktivitas keseharian mereka dengan obrolan-obrolan ringan maupun mengamati interaksi antar mereka.
36
Kedua,
penelitian
menggunakan
metode
wawancara
mendalam.
Wawancara adalah proses komunikasi dan interaksi antara peneliti dengan subyek penelitian atau informan dalam rangka memperoleh keterangan tentang diri mereka dan masyarakatnya. Wawancara mendalam adalah komunikasi antara peneliti dan subyek kasus atau informan untuk memperoleh informasi melalui tatap muka berulang kali di fokus lokasi penelitian. Wawancara ini bersifat fleksibel dengan susunan outline wawancara yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lokasi penelitian. Wawancara mendalam ditujukan kepada pada keluarga miskin (penerima program), KM PNPM MPd Provinsi Jambi, aparat kecamatan, aparat desa, BPD, LPM, KPMD, FK, F-Kab dan pelaku PNPM MPd lainnya baik di desa, kecamatan maupun kabupaten. Sebelum dilakukan wawancara mendalam, peneliti terlebih dahulu mengadakan pendekatan dengan para informan dan menyampaikan maksud peneliti. Peneliti mencoba membuka percakapan dengan membicarakan permasalahan umum yang ada di desa untuk selanjutnya diteruskan sesuai dengan kebutuhan data dan informasi yang diperlukan peneliti. Informasi yang ingin diperoleh adalah bagaimana mereka memaknai kredibilitas seorang fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat dan bagaimana proses komunikasi partisipatif berlangsung pada aktifitas PNPM MPd. Dalam hal ini peneliti lebih banyak mendengarkan dan memberikan tanggapan secukupnya, sehingga para informan merasa dihargai dan bersemangat dalam memberikan informasi yang dibutuhkan. Peneliti menggunakan alat bantu MP4 (alat rekam audio) dan kamera digital untuk merekam apa yang disampaikan para informan untuk kemudian memasukkan data yang diperoleh ke dalam catatan lapangan. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui dokumendokumen
: dokumen Konsultan Manajemen (KM) PNPM MPd Jambi, F-Kab
Kabupaten Batanghari, dokumen di Kecamatan meliputi data tentang geografi, demografi, potensi yang ada pada monografi kecamatan dan desa lokasi penelitian serta data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Metode yang digunakan dalam mengumpulkan datanya adalah metode penelitian dokumen. Metode penelitian dokumen berupaya untuk melakukan penggalian data tentang pelaksanaan kegiatan PNPM MPd oleh anggota komunitas penerima program dengan mempelajari dokumen-dokumen yang tersedia.
37
Teknik Analisis Data Data yang diperoleh melalui kajian ini merupakan data kualitatif dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Analisis data dalam penelitian ini berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data. Di antaranya meliputi tiga jalur, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman 1994). Reduksi menggolongkan,
data
merupakan
mengarahkan,
bentuk
analisis
membuang
yang
yang
menajamkan,
tidak
perlu
dan
mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan akhir dapat diambil. Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penarikan kesimpulan juga mencakup verifikasi atas kesimpulan. Kesimpulankesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara : (1) memikir ulang selama penulisan, (2) tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, (3) peninjauan
kembali
dan
tukar
pikiran
antar
teman
sejawat
untuk
mengembangkan “kesepakatan intersubjektif”, dan (4) upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Ketiga kegiatan analisis tersebut merupakan proses siklus dan interaktif. Data selanjutnya disunting, untuk menentukan kelengkapan data dan keabsahan data. Keabsahan data dicek ulang dengan membandingkan antar data. Seluruh data primer dan sekunder ditelaah. Pada analisis untuk suatu topik masalah menghimpun fakta-fakta menurut unit analisis. Baru kemudian data-data dalam unit analisis yang sama dipisah lagi menurut konsep-konsep penting yang dijadikan dasar untuk menyederhanakan gambaran himpunan. Penelitian ditujukan untuk mengkaji kredibilitas fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat dengan melihat kasus implementasi PNPM MPd. Ketiga tahapan tersebut berlangsung secara simultan. Analisis data ini terlihat dalam Gambar 2 (dikutip dari Miles & Huberman 1994). Gambar 2. Proses Analisis Data Penelitian Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Simpulan: Verifikasi
38
PROFIL DAN PETA SOSIAL MASYARAKAT DI KECAMATAN PEMAYUNG Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Batang Hari atau dikenal dengan sebutan “Bumi Serentak Bak Regam” terdiri dari delapan Kecamatan dengan 100 Desa dan 13 Kelurahan. Jumlah Penduduk sebanyak 201.997 jiwa, dengan jumlah RTM sebanyak 17.473 atau anggota RTM sebanyak 69.032 jiwa. Luas wilayah Kabupaten Batang Hari adalah + 5.809,43 km2. Sementara Kecamatan Pemayung sendiri adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Batang Hari yang resmi menjadi kecamatan definitif sejak tanggal 10 Januari 1992 berdasarkan PP No : 10 Tahun 1991 tanggal 22 Oktober 1991. Secara geografis Kecamatan Pemayung terletak dibagian timur Kabupaten Batang Hari yang meliputi wilayah seluas 109.591 Ha, dengan jumlah penduduk s/d Triwulan IV tahun 2008 sebanyak 29.201 jiwa (6.978 KK) yang terdiri terdiri dari 17 desa dan 1 kelurahan. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.822 KK atau 21,26 persen dikategorikan sebagai keluarga miskin (BPS Kabupaten Batang Hari 2008) Dari luas Kecamatan Pemayung tersebut, dua pertiganya terletak di seberang sungai Batang Hari, dimana lokasi tersebut memiliki hutan produksi yang sangat luas dan berpotensi untuk ditanami perkebunan. Sedangkan pada tepi sungai Batang Hari memiliki potensi untuk peternakan Ikan dalam keramba. Mata pencaharian masyarakatnya mayoritas adalah petani selebihnya adalah PNS, pedagang kecil, industri rumahtangga, dan buruh tani. Potensi sumberdaya alam yang potensial adalah perkebunan dan pertanian. Adapun produk unggulannya adalah buah-buahan (terutama durian dan duku), karet, kelapa sawit, serta tanaman pangan. Di samping itu Kecamatan Pemayung juga memiliki potensi usaha-usaha kerajinan yang dikerjakan oleh rumah tangga, antara lain ukiran kayu di Desa Pulau Betung dan Desa Simpang Kubu Kandang, gerabah di Desa Serasah, Perikanan di Desa Senaning, Peternakan di Desa Selat, Industri makanan di Desa Selat, pendederan Ikan lele di Desa Kuap dan Salai Pisang di Desa Pulau Betung. Pusat Pemerintahan Kecamatan ini terletak di Kelurahan Jembatan Mas dengan orbitasi 36 kilometer dari Ibukota Propinsi Jambi dan 29 kilometer dari Ibukota Kabupaten Batang Hari dengan batas wilayah sebagai berikut: -
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sekernan Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
39
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Jambi luar kota Kabupaten Muaro Jambi, Kecamatan
Muara Bulian dan Kecamatan Bajubang
Kabupaten Batang Hari. -
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Jambi luar kota Kabupaten Muaro Jambi
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Muara Bulian, Kecamatan Tembesi, Kecamatan Mersam dan Kecamatan Muaro Sebo Ilir Kabupaten Batang Hari. Kecamatan Pemayung telah berpartisipasi dalam kegiatan PNPM MPd
sejak tahun 2003 (dulu masih dengan nama PPK), dan sampai saat ini terus mendapatkan alokasi BLM, dimulai dari PPK II ( Siklus empat, lima dan enam) , dan PPK III (Siklus sembilan dan 10). Memasuki Tahun Anggaran 2007 kecamatan ini juga ikut berpatisipasi dalam PNPM Mandiri Perdesaan dengan BLM
sebesar
Rp
4.999.967.910,-
(Tahun
Anggaran
2007)
dan
Rp
1.000.000.000,-(Tahun Anggaran 2008). Kegiatan yang didanai didasarkan atas skala prioritas pada Musrenbangdes masing-masing desa yang dikompetisikan dalam MAD atau Musrenbang di tingkat Kecamatan Pemayung. Sementara itu, Desa Teluk memiliki batas wilayah sebagai berikut : -
Sebelah Barat
: Sungai Batanghari
-
Sebelah Utara
: Desa Pulau Raman Kec. Pemayung
-
Sebelah Timur
: Desa Rantau Majo Kec. Sekernan Kab. Muaro Jambi
-
Sebelah Selatan : Desa Olak Rambahan Kec. Pemayung Orbitasi Jarak Desa Teluk berada pada posisi yang strategis karena
memiliki daya jangkau terhadap pelayanan dari pemerintahan baik di tingkat kecamatan, kabupaten dan propinsi yang relatif dekat. Secara geografis Desa Teluk sesungguhnya berada pada posisi yang menguntungkan karena warga desa tersebut dapat mengakses dan menggunakan fasilitas publik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Orbitasi Jarak dan Waktu Tempuh Desa Teluk dari Pusat Pemerintahan Jarak
Waktu
1
No
Pusat pemerintahan kecamatan
Orbitasi
18 km
20 menit
2
Pusat pemerintahan kabupaten
44 km
45 menit
3
Pusat pemerintahan provinsi
38 km
30 menit
Sumber : BPS Kabupaten Batang Hari 2008
40
Secara umum keadaan topografi Desa Teluk adalah dataran sedang yang memiliki iklim tropis dengan musim kemarau dan penghujan yang berimbang. Desa dengan luas 50,090 km2 ini terletak di sepanjang aliran sungai Batang Hari. Dari keadaan morfologi, posisi desa yang berada di pinggir sungai mempunyai sedikit catatan. Pada masa lalu, sungai merupakan satu-satunya alur transportasi antar wilayah yang efektif. Situasi ini berperan mendukung aktivitas masyarakat pada saat itu baik secara ekonomi, sosial dan politik paling tidak sampai awal abad 20. Namun, semua ini berakhir pada dekade ke-2 abad ke-20, ketika jalan darat telah banyak dibangun,. Sejak awal abad ke-20, transportasi jalan darat merupakan sarana utama aktifitas ekonomi, sosial dan politik di daerah ini. Kondisi
wilayah
yang
berada
di
wilayah
pinggir
sungai
juga
mengakibatkan sering terjadinya banjir pada musim hujan karena meningkatnya debit air sungai kiriman dari hulu sungai bahkan pada kondisi tertentu banjir dapat mencapai bibir jalan. Oleh karenanya, di daerah ini kita akan menjumpai pemukiman masyarakat dengan bentuk panggung untuk terhindar dari banjir. Akan tetapi yang menarik adalah bagi masyarakat Desa Teluk, banjir justru dianggap sebagai berkah dan bukan musibah atau bencana sebagaimana anggapan masyarakat di tempat lain. Berikut adalah penuturan seorang warga : ”Bagi kami banjir menjadikan ladang kami menjadi lebih subur dan dapat mengusir hama terutama tikus, sehingga ketika banjir datang hampir dipastikan hasil panen akan maksimal. Banjir juga bermanfaat bagi kami untuk mengeluarkan kayu dari dalam hutan, terutama untuk kayu bakar karena kami umumnya untuk keperluan memasak masih menggunakan kayu bakar. (Ah) Menurut sejarahnya Desa Teluk dahulu bernama Dusun Teluk yang dipimpin oleh seorang Penghulu dan Mangku. Diberikannya nama Dusun Teluk dikarenakan adanya lingkaran sungai di muara desa tersebut. Pada awalnya Desa Teluk memiliki tiga Dusun, yaitu Dusun Ilir, Dusun Tengah dan Dusun Ulu. Namun seiring perjalanan waktu dan pertumbuhan
jumlah penduduk yang
semakin berkembang maka terjadilah pemekaran dan saat ini memiliki empat Dusun, yaitu Dusun I, II, III dan IV dengan 15 Rukun Tetangga (RT). Lokasi Desa Teluk terdiri atas beberapa lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan mata pencaharian, untuk pemukiman dan sarana infrastruktur lainnya. Penggunaan tanah di Desa Teluk sebagian besar diperuntukkan untuk tanah pertanian sawah dan perkebunan sedangkan sisanya untuk tanah kering yang merupakan bangunan dan fasilitas-fasilitas lainnya.
41
Kependudukan Permasalahan penduduk selalu menjadi topik pembicaraan yang cukup menarik. Hal ini dikarenakan masalah penduduk selalu berkaitan erat dengan berbagai masalah lain dalam kehidupan manusia di tengah masyarakat. Pertumbuhan penduduk yang cepat sering dihubungkan dengan kepadatan yang tinggi, keperluan akan bahan sandang dan pangan, masalah pendidikan, tenaga kerja dan prasarana lainnya yang terwujud sebagai kesatuan sosial. Penduduk yang bermukim di lokasi ini hampir 100 persen merupakan masyarakat Melayu Jambi. Komposisi penduduk Desa Teluk berjumlah 974 KK (6186 Jiwa) dengan rincian sebagaimana tertera pada Tabel 3. Tabel. 3. Komposisi Penduduk Desa Teluk Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat Kesejahteraan dan Tingkat Pendidikan Tahun 2008 No 1 2
3
Komposisi Penduduk Desa Teluk Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan Tkt. Kesejahteraan Berdasarkan Tkt. Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
2.510 Jiwa
3.676 Jiwa
6.186 Jiwa
Kaya
Sedang
Miskin
174 KK/ 696 Jiwa Tidak Tamat SD 200
660 KK/ 2800 Jiwa Tamat SD
140 KK/ 2690 Jiwa Tamat SLTP 399
3186
Jumlah
6.186 Jiwa Tamat SLTA 2.302
S.1 6.186 Jiwa 99
Sumber : Profil Desa Teluk Tahun 2008. Dari Tabel di atas terlihat bahwa sumber daya manusia jika dilihat dari tingkat pendidikan cukup rendah dimana jumlah penduduk terbesar hanya berhasil menamatkan SD yaitu 3186 orang (52%) dan masih juga ditemukan penduduk yang tidak tamat SD yaitu 200 orang (3%). Tabel di atas juga menjelaskan bahwa ada 2303 orang (37%) berhasil menamatkan pendidikan SLTA dan 99 orang (2%) berhasil menamatkan pendidikan tinggi (Sarjana). Akan tetapi dari hasil pemantauan dan wawancara kepada warga desa umumnya mereka yang menamatkan pendidikan tinggi tersebut mencari pekerjaan di kota, baik di Ibukota provinsi maupun kabupaten sehingga SDM potensial di desa menjadi berkurang. Keterbatasan sumber daya manusia dari sisi kuantitas ini diduga menjadi penyebab rendahnya keterlibatan penduduk dalam aktivitas ekonomi maupun menangkap peluang yang ada di desa. Selain itu, sumber daya manusia yang rendah, menimbulkan kreatifitas yang rendah pula. Hal ini dapat dilihat pada apa yang dilakukan oleh masyarakat di desa tersebut. Umumnya petani, terutama buruh tani merasa menyerah dengan keadaan alam dan keadaan dirinya,
42
kalaupun ada yang memiliki ide mengembangkan potensi dan peluang yang ada di desa tersebut jumlahnya terbatas dan dimiliki oleh mereka yang memiliki akses dan informasi dari luar desa yang lebih baik. Aktivitas Pendidikan Untuk meningkatkan program wajib belajar 12 Tahun dan meningkatkan mutu pendidikan sejak tahun 2005 telah dibangun satu buah TK yang didanai oleh program PPK yaitu TK Seroja Kelurahan Jembatan Mas. Untuk tahun 2006 ada dua TK yang dibangun oleh program PPK yaitu TK Desa Lopak Aur dan Desa Selat
yang sampai saat ini telah bermanfaat bagi anak didik pra SD.
Sementara itu untuk tingkat SD Kecamatan ini memiliki SD 27 buah, MIS 27 buah, SMP Negeri dua buah, SMP satu atap dua buah, MTs dua buah, MTsN satu buah, SPP-SPMA 1 buah, MAS satu buah dan SMA Negeri satu buah. Di samping itu di Kecamatan Pemayung juga berdiri tiga buah pesantren
yaitu
pesantren Irsyadul Ibad di Desa Simpang Kubu Kandang, Darus Syafiiyah di Desa Tebing Tinggi dan Manba’ul Huda di Rasau Kelurahan Jembatan Mas. Pada pendidiikan di bidang agama telah juga di bangun oleh program PNPM MPd adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada tahun 2003 dan 2004 di Desa Teluk dan Desa Lopak Aur. Secara rinci jenis dan jumlah sarana pendidikan di Kecamatan Pemayung terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 . Jenis dan Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Pemayung. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis
Jumlah
TK SD MI
3 27 27
SMP Negeri SMP Satu Atap MTs Negeri MTs Swasta SMA Negeri SPP-SPMA MA Swasta Pesantren
2 2 1 2 1 1 1 2
Keterangan Dibangun oleh PPK dan PNPM MPd Dua diantaranya dibangun oleh PPK dan PNPM MPd Dibangun oleh PPK dan PNPM MPd -
Sampai saat ini aktivitas pendidikan berjalan lancar. Khusus untuk pendidikan dasar umumnya peserta didik mengikuti dua pendidikan sekaligus. Pagi hari bersekolah di SD Negeri (sekolah umum) dan siang hari di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Secara umum kesadaran masyarakat menyekolahkan anak-anak cukup tinggi. Hal ini terlihat dihampir seluruh keluarga, anak-anaknya di sekolahkan baik di dalam desa yang bersangkutan (khususnya untuk tingkat SD
43
dan SLTP sederajat) atau di luar desa mereka, baik di Ibukota kecamatan maupun di Ibukota kabupaten dan di ibukota provinsi (terutama untuk tingkatan SLTA dan pendidikan tinggi). Aktivitas Keagamaan Kegiatan keagamaan dilaksanakan di desa-desa dengan kelompok Pengajian Ibu-ibu yang dilaksanakan di setiap RT, yang dikoordinir oleh BKMT desa maupun BKMT Kecamatan. Kecamatan Pemayung melaksanakan pengajian BKMT setiap Jum’at Minggu ke 2 dengan bergiliran ke setiap desa yang ada di wilayah Kecamatan Pemayung. Begitu juga kegiatan remaja masjid berjalan dalam bentuk kegiatan pengajian antara Magrib dan Isya di setiap desa. Kecamatan ini juga memiliki da’i yang bertugas memberikan ceramah agama ke masing-masing desa secara rutin tiga hari sekali. Khusus untuk Desa Teluk dari dahulu hingga saat ini warga yang tinggal di desa tersebut adalah penduduk asli yang masih memegang kuat adat istiadat Melayu Jambi yang dicirikan oleh kentalnya budaya Islam. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan keseharian penduduknya yang selalu menggunakan sarung atau paling tidak mesti menggunakan celana panjang serta berpeci (bagi pria) apabila ingin bepergian atau keluar rumah terutama ketika bertamu ke rumah tetangga atau menghadiri acara-acara adat dan agama di wilayah desa tersebut. Penduduknya hampir 100% beragama Islam. Kegiatan-kegiatan keagamaan cukup semarak, seperti yasinan dan PHBI (perayaan hari besar Islam). Menurut Ustadz Zawawi, Dusun Teluk sebagai desa tertua di Kecamatan Pemayung dicirikan oleh aktivitas keagamaan yang masih sangat kental bila dibandingkan dengan desa-desa tetangga. Dulu di desa ini terkenal sangat fanatik sekali dengan nilai-nilai agama (Islam) dan bahkan mungkin sangat ekstrim jika dibandingkan dengan desa tetangga. Misalnya : melarang orang yang sudah akil balig memakai celana pendek berjalan di tempat umum, mengharuskan berkopiah bagi yang akan shalat di masjid atau menghadiri pertemuan-pertemuan desa. Begitu juga dengan ritual ketika ada penduduk yang meninggal dunia, setelah acara pemakaman maka warga akan melaksanakan shalat berjamaah magrib selama tujuh hari berturut-turut di tempat keluarga ahli waris yang dilanjutkan dengan pembacaan yasin dan doa untuk almarhum. Hingga saat ini nilai-nilai itu sangat terasa. Peneliti juga merasakan ketika ikut shalat Jum’at di Masjid Jami’ desa tersebut. Seluruh warga desa menghentikan aktifitas keseharian dan ikut bersama-sama mengikuti shalat jum’at berjamaah.
44
Desa ini memiliki masjid yang konon menurut masyarakat setempat adalah masjid terbesar di Kabupaten Batang Hari dan menjadi pusat segala aktifitas keagamaan di desa ini. Masjid kebanggaan desa ini dibangun dengan swadaya masyarakat dan bantuan dari pihak lain dan beberapa putra daerah yang telah berhasil di daerah lain. Struktur Komunitas Karakteristik masyarakat dalam Kecamatan Pemayung pada umumnya adalah rumpun masyarakat melayu dengan tetap mempertahankan adat istiadat Jambi dalam kehidupan sehari-hari dengan Alqur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai rujukan utama dan pedoman hidup karena hampir 100% penduduknya beragama Islam. Heterogenitas atau keberagaman hanya terlihat pada desa atau kelurahan yang berada di tepi jalan lintas Jambi-Muara Bulian, seperti Desa Selat dan Kelurahan Jembatan Mas. Selain Melayu Jambi Sukusuku yang tinggal di daerah tersebut adalah Jawa, Minang, Batak, Bugis, Cina, Palembang dan sebagainya. Sementara untuk daerah-daerah di sepanjang tepian Sungai Batanghari umumnya di diami oleh suku Melayu Jambi. Desa Teluk misalnya, hampir 100% penduduknya adalah beretnik Melayu Jambi. Penduduk sebagian besar bekerja sebagai petani, terutama petani karet, kelapa sawit, Tanaman pangan (padi)
dan buah-buahan (duku dan durian).
Pada musim buah-buahan terutama Desa Teluk, Selat dan Lopak Aur menjadi pemasok terbesar buah durian dan duku di Provinsi Jambi dan bahkan dikirim ke luar Provinsi Jambi hingga sampai ke pulau Jawa. Bagi warga Desa Teluk, keluarga merupakan hal pokok dalam kehidupan bermasyarakat.
Fungsi
pokoknya
adalah
menjamin
kebutuhan
hidup
keturunannya dan melestarikan ikatan kekeluargaan dan adat istiadat. Sebagian besar warga yang tinggal di daerah ini masih mempunyai hubungan keluarga atau kerabat. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh pola perkawinan antara suami dan istri yang umumnya masih masih satu suku. Hubungan-hubungan di antara mereka sesama anggota keluarga merupakan hubungan perorangan yang mendalam dan berlangsung lama yang diwujudkan dalam bentuk saling berkorban, saling menolong dan saling melindungi sehingga menjadi hubungan erat antara sekerabat. Stratifikasi sosial pada level atas terdiri dari beberapa kelompok yaitu para pejabat di kecamatan, pemangku adat di tingkat kecamatan. Kelompok atas di tingkat desa yang diperhitungkan pendapatnya di tingkat kecamatan adalah
45
Kepala Desa, aparat desa, Ketua BPD dan Ketua LPM. Tokoh agama dan tokoh adat desa. Untuk pelapisan sosial yang didasarkan pada pekerjaan, PNS serta ketokohan (tokoh agama dan tokoh adat) sebagai lapisan atas sementara pekerjaan buruh dan petani berlahan sempit berada pada lapisan bawah. Mereka yang berada pada pelapisan di level atas mempunyai pengaruh dalam menentukan keputusan-keputusan yang tidak dapat diselesaikan oleh kelompok. Selain itu, mereka mempunyai pengaruh dalam keteladanan perilaku, sebagai panutan dan mempunyai kedudukan dalam organisasi sosial pada posisi-posisi strategis. Meskipun, pelapisan ini tidak diformalkan oleh komunitas namun diakui oleh masyarakat dalam berbagai kesempatan dan tugas. Lapisan bawah yang terdiri dari buruh tani dan petani berlahan sempit umumnya berperilaku pasrah
pada pimpinan lokal untuk kepentingan desa
mereka. Hal ini dipengaruhi oleh anggapan bahwa mereka tidak mampu dalam mengelola desa dan lapisan atas dianggap mampu untuk mengelola desa. Pelapisan di level atas selanjunya juga akan mempengaruhi proses pembangunan di desa-desa wilayah Kecamatan Pemayung. Lapisan bawah mengikuti apa yang telah diputuskan oleh lapisan atas. Kalaupun ada hal-hal yang menjadi keinginannya tidak diakomodir oleh lapisan atas, mereka hanya bisa mendiskusikannya di komunitasnya saja di tempat-tempat yang tidak formal seperti warung atau di tempat kerja (kebun). Tokoh pemuda masuk dalam pelapisan di level tengah. Keberadaannya belum mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas. Mereka hanya mempunyai pengaruh di kelompok pemuda saja. Pelapisan tengah tidak diperhitungkan dalam pembangunan wilayah. Sehingga pertemuan-pertemuan hanya sebagai sarana kelompok elit di tingkat desa atau kecamatan
dalam
memuluskan program yang dibawa oleh pemerintah. Kegiatan yang dilakukan oleh pemuda adalah olahraga, antara lain sepak bola, bola voli, bulu tangkis. Kegiatan yang lain adalah kegitan agama seperti yasinan rutin setiap malam selasa, rebana, kelompok dan marhaban dan perayaan hari besar Islam (PBHI). Warga masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi belum memberikan pengaruh dalam pelapisan sosial dalam komunitas baik di kecamatan maupun desa, karena warga masyarakat lulusan pendidikan tinggi lebih suka hidup dan mencari pekerjaan di kota daripada di desa. Sebagian besar pemuda yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi terutama yang berprestasi baik tidak kembali ke desa. Alasannya desa tidak dapat memberikan jaminan pekerjaan sesuai
46
keahliannya, sehingga mereka memilih mencari pekerjaan di perkotaan. Menurut penuturan aparat desa dan masyarakat di Desa Teluk, sebagian orang-orang Desa Teluk yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di Jambi atau kota-kota lain telah menempati posisi strategis di pemerintahan baik di kabupaten maupun di provinsi. Organisasi, Kelembagaan dan Kepemimpinan Kecamatan Pemayung mempunyai organisasi yang bersifat formal dan informal. Organisasi formal terdiri dari organisasi-organisasi yang mempunyai status formal dan aturan-aturan yang jelas dan dimanfaatkan oleh komunitas untuk urusan-urusan formal. Organisasi formal ini terdiri dari pemerintahan kecamatan, pemerintahan desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), LKMD, LPM, PKK. organisasi informal terdiri dari kelompok yasinan, adat, arisan dan lain-lain. Kelembagaan sosial di Kecamatan Pemayung dapat dikelompokkan menjadi : 1). Kelembagaan politik pemerintahan kecamatan dan desa; 2) Kelembagaan kekerabatan; 3). Kelembagaan ekonomi; 4). Kelembagaan Pendidikan; 5). Kelembagaan keagamaan; 6). Kelembagaan kesehatan; dan 7). Kelembagaan Olahraga, yang dapat diuraikan sebagai berikut : Pertama. Kelembagaan pemerintahan yang ada di Kecamatan Pemayung sebagian
besar
merupakan
kelembagaan
sebagai
hasil
dari
bentukan
pemerintah di atasnya. Lembaga tersebut bersifat formal yaitu ada aturan tertulis yang mengatur hubungan antar anggotanya. Lembaga-lembaga itu adalah kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat dan dibantu oleh staf pegawai kecamatan. Kelembagaan tersebut bergerak dibidang kegiatan pemerintahan tingkat kecamatan yang struktur kedudukannya dibawah seorang bupati. Kelembagaan pemerintahan desa dipimpin oleh Kepala Desa bersama BPD (Badan Perwakilan Desa), LKMD, LPM, Kadus, dan RT. Kegiatan yang dilakukan adalah merencanakan pembangunan desa seperti adanya forum warga yang menampung aspirasi warga, kegiatan pengorganisasian masyarakat seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), keamanan dan ketentraman masyarakat, kegiatan
perempuan di bawah
pembinaan
PKK, kegiatan
kepemudaan oleh karang taruna serta remaja masjid. Berikut adalah gambar struktur kelembagaan pemerintahan Desa Teluk..
47
Gambar 3. Struktur Kelembagaan Pemerintahan Desa Teluk Tahun 2008 Kepala Desa HASAN. R Sekretaris Desa Abdussomad
Kader Teknis Lapangan M.Yusuf
Kaur Pemerintahan Hamdi
Kadus I Hasan. R KPMD (P) Siti Patimah
Kaur Pembangunan A. Kamal
Kadus II A. Ripai
Kadus III A.Wahab.Y
Kaur Umum Abdullah Hs
Kadus IV Bustomi
KPMD (L) Lukman
Sumber : Profil Desa Teluk Tahun 2008 Kedua, kelembagaan adat. Pada lembaga adat tidak ditemukan aturanaturan secara formal dan tertulis, namun aturan-aturan tidak tertulis itu ditaati dan dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakat setempat. Misalnya : dalam pernikahan, acara berbalas pantun untuk memasuki rumah perempuan setelah selesai baru dipersilahkan masuk. Pengantin lelaki juga diwajibkan membawa barang-barang hantaran sebagaimana telah disepakati pada saat lamaran. Kelembagaan ini juga diharapkan dapat memecahkan dan membantu aparat desa dalam mengatasi persoalan-persoalan adat di desa tersebut. Ketiga, kelembagaan pendidikan, terdiri dari pendidikan formal mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan pendidikan nonformal yang dilakukan di wilayah ini adalah pendidikan keagamaan yaitu pendidikan agama Islam diluar sekolah formal (TPA). Umumnya berlokasi di sekitar masjid. Anak-anak diberikan pelajaran tentang ajaran agama Islam karena mayoritas masyarakat beragama Islam. Sekolah Dasar Negeri dan SLTP serta yang sederajat/MTs tersebar di hampir setiap desa. Sementara SLTA hanya berada di Desa Selat dan Kelurahan Jembatan Mas Kelembagaan keagamaan, berupa kelompok pengajian yang diasuh oleh masing-masing da’i yang secara rutin memberikan penyuluhan atau ceramah agama setiap 3 hari sekali. Keberadaan da’i untuk Kabupaten Batang Hari ini telah di SK-kan oleh Bupati dan diberikan honor oleh Pemerintah Kabupaten Batang Hari. Di masing-masing desa juga berdiri masjid dan mushala dengan
48
jumlah yang cukup memadai. Masjid dan mushala selain difungsikan sebagai rumah ibadah (shalat) juga dipergunakan sebagai tempat untuk perayaan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Perayaan Tahun Baru Islam (Muharam) dan juga pengajian untuk anak-anak di desa setempat. Dalam hal kepemimpinan, hampir tidak berbeda dengan wilayah lainnya, hal yang menentukan adalah status sosial, keturunan (putra daerah), dukungan dan kepercayan dari masyarakat serta pekerjaan dan jabatan yang diemban baik formal atau informal. Informal bisa berupa pengaruh dalam adat, status dalam klan, ketokohan, maupun dalam kepemilikan materi. Oleh sebab itu di komunitas tersebut terdapat tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh formal atau pemerintahan desa dan juga tokoh pemuda. Kepemimpinan yang berjalan secara formal di Desa Teluk, didukung oleh figur dari seorang kepala desa dan aparaturnya, tidak hanya semata karena faktor tingkat pendidikan, tetapi karena posisinya dalam klan. Seseorang yang dating dari klan yang lebih kecil, apalagi didukung oleh unsur keturunan yang non pribumi akan menghadapi kesulitan jika tidak mampu mendekati tokoh yang berpengaruh dalam desa. Kemampuan mengakomodasi para tokoh dalam pengambilan keputusan menjadi potensi yang besar dalam menunjang berjalannya kepemimpinan yang lebih efektif. Pengaruh yang besar, tidak diutamakan pada mereka yang berpendidikan tinggi tetapi pada unsur ketokohan dan status seseorang untuk layak atau tidak menjadi pemimpin lokal. Dalam perjalanan kepemimpinan dapat dilihat dari berhasil tidaknya beberapa program yang masuk bagi masyarakat, contohnya adalah program RASKIN (beras untuk keluarga miskin), ASKESKIN (asuransi kesehatan keluarga miskin) dan BLT (bantuan langsung tunai). Dalam perjalanannya, hampir merata dibagikan kepada kalangan miskin, walau tidak sepenuhnya dapat memuaskan semua warga karena alasan teknis yang mengakibatkan tidak semua kalangan dapat terlayani. Sistem Ekonomi Kemampuan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia dan sumber daya alam atau fisik dan non fisik. Demikian dengan aktifitas anggota komunitas di Kecamatan Pemayung terdapat berbagai sumber daya local yang sebenarnya dapat menunjang kehidupan penduduknya. Sumber daya alam tersebut belum dapat dikelola maksimal karena faktor sumber daya manusia yang masih lemah.
49
Secara umum di hampir semua desa dalam Kecamatan Pemayung Potensi lahan (tanah) yang digunakan sebagai sandaran ekonomi masyarakat adalah untuk lahan perkebunan Kelapa Sawit, Karet, Buah-buahan (duku dan durian) dan tanaman pangan (padi sawah, jagung, ubi kayu ubi jalar, kacang tanah dan ubi jalar). Selain itu pemanfaatan sumber daya lahan juga digunakan untuk peternakan yang dikelola oleh masyarakat desa antara lain sapi, kerbau, kambing, domba, ayam kampung/buras, ayam ras dan itik. Sementara pada lahan-lahan berdataran rendah dan yang berada di tepian Sungai Batanghari umumnya warga memanfaatkannya untuk pembuatan kolam dan Keramba Ikan (terutama untuk Ikan Nila dan Ikan Patin). Penduduk Desa Teluk secara umum, bekerja di sektor pertanian, yakni kebun atau ladang, peternakan dan perikanan. Dahulu ketika hutan masih banyak, beberapa warga juga bekerja di hutan, mengambil hasil hutan (kayu) dan menjadikannya bahan bangunan (papan dan tiang), tetapi sekarang karena jumlah hutan yang semakin terbatas ditambah dengan penertiban illegal logging yang cukup gencar akhir-akhir ini kegiatan ini semakin berkurang. Pekerjaan tersebut dilakukan menyesuaikan dengan kondisi alam dan musim. Artinya mereka akan terkonsentrasi melakukan pekerjaan tertentu ketika alam cocok dengan pilihan usaha mereka. Misalnya pada musim penghujan, umumnya mereka akan menanam padi, sementara pada musim kering mereka beralih ke palawija. Pada musim panen buah mereka fokus menunggu dan mengumpulkan buah di kebun dan menjualnya kepada pedagang pengumpul atau dijajakan di pinggir jalan lintas dan meninggalkan untuk sementara aktifitas yang lain. Seiring perjalanan waktu, usaha warung dan kios juga menjadi salah satu pekerjaan yang dilakukan penduduk desa. Akan tetapi menurut penuturan salah seorang warga, pilihan utama pekerjaan adalah bertani dan menjadi pedagang sebenarnya sebagai batu lompatan saja, artinya jika yang bersangkutan telah memiliki modal untuk membuka lahan atau membeli kebun dan kebun tersebut telah menghasilkan, pekerjaan berdagang perlahan-lahan akan dihentikan. Hal ini terlihat jelas, warung dan kios terbanyak ada di dusun II dan IV yang notabene banyak yang belum memiliki lahan atau kebun. Hal kontras terlihat pada dusun I dan II, umumnya warga memiliki kebun (karet dan sawit) dan umumnya kehidupannya lebih mapan.
50
PELAKSANAAN KEGIATAN PNPM MANDIRI PERDESAAN DI KECAMATAN PEMAYUNG Sekilas PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan Pemayung Informasi umum tentang aktivitas PNPM MPd peneliti mulai telusuri dengan melalukan wawancara dengan Bapak Mularambe. S.Sos. Beliau adalah PJOK PNPM MPd Kabupaten Batang Hari. Menurutnya Kabupaten Batang Hari sangat serius dalam menjalankan Program ini sejak tahun 2003 (dulu masih dengan nama PPK). Keseriusan ini membuahkan hasil dan mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Hal ini ditunjukkan dengan keberhasilan Batang Hari menjadi Kabupaten terbaik tingkat nasional untuk implementasi PNPM MPd Tahun 2008 bersama tiga Kabupaten lain di Indonesia, yaitu Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah; Minahasa Selatan, Sulawesi Utara; dan Ngada, Nusa Tenggara Timur. Reward dari keberhasilan ini, keempat kabupaten tersebut kemudian mendapatkan apresiasi dari Dirjen PMD Depdagri dengan penunjukannya sebagai
lokasi
pilot
projet
P2SPP
(Program
Pengembangan
Sistem
Pembangunan Partisipatif). Bapak Mularambe juga menjelaskan bahwa saat ini kegiatan PNPM MPd juga sudah diintegrasikan dengan kegiatan pembangunan daerah regular lainnya, seperti pembangunan yang didanai oleh ADD maupun APBD Kabupaten Batang Hari. Proses integrasi ini dimulai dari Musrenbang di tingkat desa hingga tingkat kabupaten dengan mengadopsi pola dan sistem yang ada pada PNPM MPd yang partisipatif dengan mengedepankan kebutuhan
masyarakat yang
paling riil di lapangan. Hal ini sejalan dengan tujuan dari P2SPP yaitu mengintegrasikan model sistem pembangunan partisipatif ke dalam sistem pembangunan daerah. Berikut adalah ungkapan Bapak Mularambe : “Pengintegrasian ini kita dilakukan sebagai kebijakan dan proses untuk menyatupadukan sistem (nilai, mekanisme dan pelaku) pembangunan partisipatif ke dalam sistem pembangunan reguler. Adapun aspek-aspek yang akan diintegrasikan dari sistem yang dimaksud adalah : 1) Proses perencanaan partisipatif; 2) Pelaksanaan kegiatan pembangunan perdesaan dengan pola swakelola oleh masyarakat; 3) Model pendampingan yang akan dilakukan oleh fasilitator dan setrawan dan 4) Pola kontrol dan pertanggungjawaban yang transparan”. Ditambahkan juga oleh Bapak Mularambe, dalam kaitan dengan tujuan PNPM MPd untuk pengentasan kemiskinan, kontribusi riil dari kegiatan program dapat terlihat dari bertambahnya pendapatan RTM, berkurangnya pengangguran
51
dan yang juga tidak kalah palingnya adalah terjadinya desentralisasi keuangan hingga sampai ke desa-desa lokasi program. Sebagai daerah yang dianggap sukses melaksanakan PNPM MPd Kabupaten Batang Hari sering di kunjungi oleh tim dari pusat, seperti Dirjen PMD Depdagri, Bappenas, Bank Dunia serta beberapa daerah lain di Indonesia terutama di wilayah Provinsi Jambi untuk melihat dari dekat proses dan implementasi PNPM MPd di daerah ini.
Menurut Fasilitator PNPM MPd
Kabupaten Batang Hari, yaitu Bapak Bastian dan Ibu Darma Etika ada beberapa wilayah yang menurut mereka memiliki keunggulan dan dianggap berhasil melaksanakan program diantaranya adalah Kecamatan Pemayung, Batin XXIV, Mersam dan Tembesi. Kecamatan Pemayung sendiri tercatat sebagai daerah yang paling kerap dikunjungi oleh beberapa daerah untuk melakukan studi banding. Gambar 4. Kunjungan Dirjen PMD Depdagri RI dan Salah satu event Komunikasi pada PNPM MPd (MAD III) di Kecamatan Pemayung
Hal inilah yang peneliti jadikan pertimbangan untuk menggali informasi aktivitas PNPM MPd di Kecamatan Pemayung dan menjadikan kecamatan ini sebagai lokasi penelitian. Kesuksesan daerah melaksanakan program terungkap dari pernyataan Bapak Bastian dan Ibu Darma Etika berikut ini : “Hasil pemantauan dan evaluasi kami, perputaran modal dana BLM terutama SPP (simpan pinjam khusus perempuan) dan semangat masyarakat mengembangkannya dalam bentuk usaha bersama cukup baik, tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap event sangat tinggi sekali, misalnya pada MMDD (menggagas masa depan desa) dan MKP (musyawarah khusus perempuan). Hal lain yang menggembirakan adalah dukungan dari birokrat, baik camat hingga aparat desa sangat tinggi sekali. Terutama dalam hal membantu menyelesaikan masalah di lapangan. Kemandirian UPKnya juga sangat baik. Dari hasil kerja kerasnya UPK Kecamatan Pemayung saat ini telah memiliki kantor sendiri yang sudah permanen dengan perlengkapan administrasi yang cukup memadai dibandingkan kecamatan lain”.
52
Aktivitas PNPM MPd di Kecamatan Pemayung dimulai sejak PPK Fase II (Siklus IV Tahun 2003) dan berlanjut hingga saat ini menjadi PNPM MPd. Secara detil data tentang aktivitas PPK dan PNPM MPd di Kecamatan Pemayung dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kegiatan PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan Kecamatan Pemayung PPK FASE I
PPK FASE II
PNPM-MP
PNPM-MP
SIKLUS
SIKLUS
SIKLUS
SIKLUS
IV
V
VI
IX
SIKLUS X
Tahun I
(2003)
(2004)
(2005)
(2006)
(2007)
(2008)
(2009)
2
3
-
-
-
2
2
8
10,3
-
-
-
4
3,5
Jembatan (Unit)
2
5
-
-
-
1
-
Irigasi (Unit)
-
-
1
-
-
-
-
-
-
450
-
-
-
-
7.090.34
7.342.58
6.913.57
5.313
3.003
3.850
-
8
3
4
7
8
105
32
40
146
105
JENIS KEGIATAN
Tahun II
INFRASTRUKTUR Jalan (Unit) Panjang Jalan (Kilometer)
Panjang Irigasi (Kilometer) Jumlah Hari Orang Kerja (HOK) EKONOMI Jumlah Kelompok SPP Pemanfaat SPP PENDIDIKAN & KESEHATAN Sekolah Baru
1
-
4
4
4
2
1
Rehab Gd. Sekolah
4
1
2
-
-
-
-
Paket Beasiswa
1
-
3
-
-
-
-
Penerima Beasiswa
9
-
32
-
-
-
-
Lain-lain Pendidikan
11
-
32
-
-
-
-
Sumber : Profil PNPM Mandiri Perdesaan Kecamatan Pemayung 2009 Menurut pengurus UPK dan fasilitator saat ini 17 desa dan satu kelurahan di Kecamatan Pemayung telah memanfaatkan PNPM MPd ini dengan dua bentuk kegiatan utama yaitu: pembangunan infrastruktur dan SPP. Semua desa dan kelurahan setelah melalui proses kompetisi yang cukup ulet telah merasakan program ini. Untuk pembangunan infrastruktur umumnya warga masyarakat memanfaatkannya dalam bidang pendidikan, misalnya untuk pembangunan dan rehab TK, Madrasah dan SD; pada bidang kesehatan, misalnya untuk pembangunan posyandu; dan pembangunan jalan untuk membuka akses penduduk serta memperlancar mengeluarkan hasil kebun keluar desa dalam bentuk pembangunan jalan rabat beton dan perkerasan jalan desa serta pembangunan jembatan dan irigasi.
53
Gambar 5. Fasilitas infrastruktur bangunan PNPM MPd dan Aktivitas Simpan Pinjam Khusus Perempuan (SPP) di Kecamatan Pemayung
Tugu PNPM berdiri di samping kiri muara bangunan perkerasan jalan adalah program pembangunan infrastruktur PNPM MPd di Desa Teluk Tahun 2008
Bangunan Gedung MIS adalah salah satu program pembangunan Infrastruktur PNPM MPd di Desa Serasah Tahun 2007
Pembinaan Kelompok SPP oleh UPK Kecamatan Pemayung di Desa Pulau Raman merupakan salah satu program PNPM MPd Tahun 2008
Ada hal menarik dari wawancara dengan fasilitator, ternyata dari 17 Desa dan 1 Kelurahan di Kecamatan Pemayung, proporsi penerima program PNPM MPd tidaklah merata. Beberapa desa sering mendapatkan program sementara ada juga beberapa desa yang justru sebaliknya, belum mendapatkan sama sekali (rencananya baru tahun 2009 ini akan menerima program). Desa Teluk dan Desa Lopak Aur tercatat paling banyak menerima program sementara Desa Awin dan Desa Teluk Ketapang baru akan mendapatkan program pada tahun ini. Menurut fasilitator yang juga diamini oleh pengurus UPK, proses mendapatkan program dilakukan dengan sistem kompetisi dari masing-masing utusan desa yang dilakukan pada MAD prioritas usulan di tingkat kecamatan. Oleh
karenanya
untuk
memenangkan
kompetisi
tersebut
dan
berhak
mendapatkan program dibutuhkan strategi dan taktik dari masing-masing desa.
54
Tim enam yang terdiri dari Kepala desa, Sekretaris desa, Ketua BPD dan tiga orang utusan perempuan mesti memiliki proposal usulan yang
bagus dan
meyakinkan. Anggota tim enam juga harus piawai berargumentasi serta melakukan lobi dengan tim enam dari desa lain pada saat MAD prioritas usulan tersebut. Disampaikan juga oleh fasilitator jika tim enam tidak solid atau usulan kurang meyakinkan dapat dipastikan tidak akan memenangkan kompetisi atau tidak mendapatkan program. Gambar 6. Peneliti bersama Fasilitator Usai melakukan Wawancara di Ruang UPK PNPM MPd Kecamatan Pemayung
Peneliti sempat khawatir jangan-jangan ada desa yang sebenarnya sangat layak dan membutuhkan program tetapi karena minimnya sumberdaya lokal, misalnya aparat desa dan tokoh masyarakat yang menjadi tim 6 rendah SDMnya justru tidak bisa mendapatkan program karena usulan dari desanya selalu kalah dalam kompetisi. Ketika hal ini peneliti pertanyakan, mereka mengakui dengan terbuka. Persoalan mendasar mengapa desa tersebut tidak memenangkan kompetisi adalah karena tim 6 yang tidak solid dan umumnya tingkat partisipasinya rendah, misalnya jarang hadir pada pertemuan yang difasilitasi oleh fasilitator sehingga kemampuan anggota tim tidak sebagus pada desa-desa yang aktif mengikuti pertemuan. Karena kemampuan yang terbatas mereka juga selau kalah strategi terutama dalam hal melakukan lobi dengan desa-desa lain untuk menggolkan usulan program. Penentuan lokasi bantuan dengan cara kompetisi antar desa menyebabkan desa yang telah mampu dan berpengalaman akan mempunyai peluang mendapatkan bantuan terus menerus. Dan jika pola kompetisi ini di teruskan setiap tahun akan menghambat partisipasi dan memberikan ruang kesenjangan. Desa yang maju semakin maju dan desa terbelakang akan semakin miskin. Rincian pemetaan desa-desa penerima program dan alokasi dana PNPM MPd sejak PPK Tahun 2003 terlihat pada Tabel 6.
55
Tabel 6. Pemetaan Pembangunan Infrastruktur dan Pembiayaan PPK-PNPM MPd di Kecamatan Pemayung DESA
SARANA DAN PRASARANA
VOLUME
ALOKASI DANA
OPERASIONAL UPK 2 %
TPK 3 %
TOTAL BIAYA
PPK SIKLUS 4 P. Raman
Perkerasan Jalan
5 x 2.540 m
328,418,800.00
6,914,050.00
10,371,100.00
345,703,950.00
Awin Lubuk Ruso
3 x 2.500 m
146,050,750.00
3,264,200.00
4,896,300.00
154,211,250.00
4 lkl + 1 ktr
108,890,300.00
2,492,400.00
3,738,600.00
115,121,300.00
Lopak Aur
Pembangunan Jalan Rehab MIS dan Pemb Ktor Rehab MIS & Pemb MTS
4 lkl & 3 lkl
200,578,100.00
4,222,650.00
6,334,000.00
211,134,750.00
Teluk
Pemb MTS
3 lkl
97,548,210.00
2,053,600.00
3,080,450.00
102,682,260.00
260,845,250.00
5,491,450.00
8,237,200.00
274,573,900.00
492,537,850.00
10,369,200.00
15,553,800.00
518,460,850.00
PPK SIKLUS 5
Kaos Kubu Kandang
Pemb Jln & gorong 60 cm Pemb Jalan + Jembatan Rehab Madrasah + Moebeler
3 x 3530 & 5 unit 5 x 3514 m + 3 x 12 2 lkl
32,131,950.00
676,450.00
1,014,650.00
33,823,050.00
Ture
Perkerasan Jalan
3 x 1280 m
135,968,850.00
2,862,500.00
4,293,750.00
143,125,100.00
Serasah
Sp.Kubu Kandang Jembatan Mas Olak Rambahan Pulau Betung Kuap Senaning
PPK SIKLUS 6 Pemb Pesantren + MCK + Mobeler
3 lkl
173,796,600.00
3,858,900.00
5,788,350.00
183,443,850.00
7 x 13 m
123,658,800.00
2,919,550.00
4,379,300.00
130,957,650.00
Pemb Madrasah
2 lkl + 1 ktr
85,118,600.00
2,120,900.00
3,181,350.00
90,420,850.00
Pemb Madrasah Rehab Madrasah + Kelas Baru
3 lkl 7 x 15 m + 7 x 16 m
152,048,900.00
3,453,500.00
5,180,250.00
160,682,650.00
178,167,300.00
4,283,800.00
6,425,750.00
188,876,850.00
1 Paket
150,258,800.00
3,163,350.00
4,745,000.00
158,167,150.00
Gedung TK
Pompanisasi PPK SIKLUS 9
Selat
Pemb Gedung TK
1 lkl + 1 ktr
140,309,750.00
3,353,900.00
5,030,850.00
148,694,500.00
Lopak Aur Pulau Raman
Pemb Gedung TK
2 lkl + 1 ktr
218,949,500.00
4,925,250.00
7,387,900.00
231,262,650.00
Pemb Madrasah
3 lkl + 1 ktr 3 lkl + 1 ktr + MCK
233,368,250.00
5,586,700.00
8,380,050.00
247,335,000.00
175,372,500.00
3,692,050.00
5,538,100.00
184,602,650.00
Teluk
Pemb Madrasah PPK SIKLUS 10
Lubuk Ruso
Pemb Madrasah
2 lkl + 1 ktr
183,021,400.00
3,853,100.00
5,779,650.00
192,654,150.00
Lopak Aur
Pemb Madrasah
3 lkl + 1 ktr
221,226,900.00
5,331,150.00
7,996,600.00
234,554,650.00
Selat
Pemb Madrasah
2 lkl + 1 ktr
161,569,550.00
3,696,150.00
5,544,300.00
170,810,000.00
Serasah
Pemb Madrasah
2 lkl + 1 ktr
160,182,150.00
3,372,300.00
5,058,400.00
168,612,850.00
PNPM - MP 2008 Perkerasan Jalan + Jembatan Box
1500 m + 3 x 3,6 m
Teluk Lubuk Ruso
210,932,400.00
4,440,650.00
6,661,000.00
222,034,050.00
Perkerasan Jalan
2500 m
188,031,250.00
3,958,550.00
5,937,800.00
197,927,600.00
Senaning
Pemb. Madrasah
2 lkl + 1 ktr
184,849,950.00
3,891,550.00
5,837,350.00
194,578,850.00
Dari wawancara dengan fasilitator dan pengurus UPK juga diungkapkan tentang keberhasilan Desa Teluk yang sering memenangkan kompetisi dalam MAD prioritas usulan. Sejak tahun 2003, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 5 hampir setiap tahun Desa Teluk selalu memenangkan kompetisi dalam MAD prioritas usulan di kecamatan. Fasilitator dan pengurus UPK Kecamatan juga
56
menceritakan strategi-strategi yang digunakan oleh Desa Teluk sehingga dapat memenangkan kompetisi tersebut. Kerja tim enam dalam MAD prioritas usulan di Kecamatan sangat menentukan hasil kompetisi ini. Desa Teluk dinilai memiliki kader tim 6 yang handal dan mempunyai kemampuan serta siap melakukan kompetisi dengan desa lain. Salah satu strategi dari tim enam adalah melakukan lobi dengan desadesa lain yang dianggap bisa membantu menggolkan usulan desa dengan cara saling membantu memberi dukungan. Lobi ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh anggota tim enam tetapi juga oleh perwakilan masyarakat yang lain. Pada saat MAD prioritas usulan di kecamatan, utusan enam Desa Teluk juga membawa rombongan (sekitar 20 orang yang berpartisipasi secara sukarela dengan biaya sendiri) untuk memberi support sekaligus melakukan lobi dengan utusan dari desa lain. Mereka juga melakukan ikhtiar spiritual. Sebelum keberangkatan rombongan utusan desa ke kecamatan, Kepala desa, tokoh agama dan adat mengumpulkan warga di Masjid desa untuk melakukan acara ritual yaitu yasinan, tahlil dan do’a bersama untuk kesuksesan tim enam dalam mengikuti kompetisi pada acara MAD prioritas usulan tersebut. Disamping itu mereka juga menyatakan persiapan untuk kompetesi ini sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum hari H, seperti untuk usulan jalan rabat beton (PNPM MP tahun 2009/ saat ini sedang dalam penyususunan RAB dan desain gambar) telah disiapkan sejak tahun 2008 yang lalu sehingga ketika dilakukan verifikasi oleh pihak kecamatan tidak menemui masalah dan dinyatakan layak. Alur Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan Alur tahapan kegiatan PNPM MP di Kecamatan Pemayung sebagaimana diatur oleh PTO (petunjuk teknis operasional) dapat diihat pada Gambar 6.
57
Gambar 7. Alur Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan
ALUR TAHAPAN PNPM MANDIRI PERDESAAN ORIENTASI DAN PENGAMATAN LAPANG
MADSosialisasi
Evaluasi
Musdes Sosialisasi
Operasional Pemeliharaan Musdes Serah Terima
Pencairan Dana dan Pelaksanaan Kegiatan
Supervisi Pelaksanaan, Kunjungan Antar Desa, Pelatihan Tim Pemliharaan
Musdes Pertanggungjawaban (2X)
Forum SKPD
PENGGALIAN GAGASAN 1. Visi Desa 2. Peta Sosial Desa 3. Usulan Desa (BLM, ADD, PJM, Lainnya) 4. PJM (RPT Des, RPJMDes) 5. Renstra Desa
Musy. Desa Khusus Perempuan
Musdes Perencanaan
Supervisi Pelaksanaan dan Kunjungan Antar Desa
Persiapan Pelaksanaan (Pendaftaran tenaga, pelatihan TPK, UPK , dan pelaku desa lainnya)
Musrenbang Kab
Pelatihan Kader Pember-dayaan Masyarakat Desa/Kelurahan
Form; survey dusun criteria kesejahteraan pemetaan RTM diagram kelembagaan kalender musin peta sosial
Penulisan Usulan dng/tanpa desain RAB
Pencairan Dana dan Pelaksanaan Kegiatan
-Rangking Usulan -Renstra Kecamatan
Musdes Informasi Hasil MAD
MAD Penetapan Usulan
Verifikasi Usulan
MAD Prioritas Usulan Desain & RAB, Verifikasi -Penetapan
Pendanaan, -utusan kecamatan
PNPM MPd memulai kegiatan dengan melakukan orientasi terhadap kondisi sosial ekonomi penduduk. Kegiatan yang dilakukan dalam orientasi desa antara lain: 1) mengidentifikasi potensi dan sumberdaya yang dapat mendukung pelaksanaan PNPM di tingkat desa, termasuk pelaku-pelaku pada tahap sebelumnya; 2). Kondisi kegiatan atau bangunan yang telah dibiayai melalui
58
PNPM MPd pada tahap sebelumnya; 3). Inventarisasi data kependudukan, pembangunan desa yang ada di desa calon penerima PNPM MPd. Kegiatan dilanjutkan dengan sosialisasi PNPM MPd, baik secara formal maupun informal kepada masyarakat di masing-masing desa calon lokasi. Tahap ini dimanfaatkan oleh seluruh pelaku PNPM MPd di semua tingkatan, mulai dari desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi sebagai upaya untuk mendorong partisipasi dan pengawasan dari berbagai pihak, sehingga semua pelaku PNPM MPd memiliki pemahaman atau persepsi yang sama dalam menjalankan program. Kegiatan sosialisasi ini dilakukan pada setiap saat atau kesempatan oleh pelaku-pelaku PNPM MPd baik melalui pertemuan formal maupun informal. Pertemuan formal biasa mengambil moment pada acara-acara di pemerintahan sedangkan pertemuan informal dilakukan pada acara rutin yang berlangsung di desa, seperti kegiatan yasinan, arisan maupun acara adat. Untuk Kecamatan Pemayung kegiatan perencanaan dilaksanakan melalui MAD sosialisasi di Aula Kecamatan Pemayung dengan mengundang utusan dari masing-masing desa; MUSDES Sosialisasi dilakukan di setiap desa yang waktunya diatur oleh pihak kecamatan; Pelatihan pelaku PNPM MPd dan KPMD yang dilakukan di aula kecamatan; Penggalian gagasan atau lebih dikenal dengan istilah MMDD; MKP; penulisan usulan desa dalam bentuk proposal kegiatan; verifikasi usulan yang dilakukan oleh tim dari kecamatan terdiri dari dinas pendidikan, kesehatan, Kimpraswil dengan jumlah minimal lima orang; MAD prioritas usulan yang diwakili oleh enam orang dari masing-masing desa (selanjutnya disebut dengan tim enam) yaitu Kades, Ibu Kades, Ketua BPD dan tiga orang perwakilan dari tokoh masyarakat (tiga orang diantaranya diharuskan perempuan); Desain dan RAB; MAD penetapan usulan; MUSDES informasi hasil MAD; MUSDES Pertanggungjawaban dan MUSDES serah terima. MAD sosialisasi merupakan forum pertemuan antar desa untuk melakukan sosialisasi tentang tujuan, prinsip, kebijakan, prosedur maupun halhal yang berkaitan dengan PNPM MPd serta untuk menentukan kesepakatankesepakatan antar desa dalam melaksanakan PNPM MPd. Nara sumber dalam pertemuan tersebut adalah Camat Pemayung (Adnan, S.Si), PJOK kecamatan (Parlaungan Lubis, SH), FK (Ependi, ST), BKAD (Habibullah) dan Setrawan Kecamatan (Darmawi). MAD sosialisasi ini dilaksanakan pada tanggal 24 Nopember 2008 di aula kecamatan yang diikuti utusan dari 17 desa dan satu
59
kelurahan dengan agenda menetapkan desa-desa yang dapat mengikuti proses PNPM MPd. MUSDES sosialisasi merupakan forum pertemuan masyarakat desa sebagai ajang sosialisasi atau penyebarluasan informasi PNPM MPd tingkat desa. Untuk tingkat Kecamatan Pemayung MUSDES sosialisasi dilaksanakan tanggal 27 Nopember s.d 03 Desember 2009. Sedangkan untuk Desa Teluk sebagai fokus penelitian dilaksanakan pada tanggal 28 September 2008. Pelatihan pelaku PNPM MPd tingkat desa, seperti KPMD, TPU, TP3, kader teknik dan TPK yang telah terpilih dalam musyawarah desa sosialisasi. Peserta pelatihan ini selanjutnya akan memandu serangkaian tahapan kegiatan PNPM MPd yang diawali dengan proses penggalian gagasan di tingkat RT, dusun
dan
kelompok
masyarakat.
Untuk
persiapan
dan
menambah
kapasitasnya, maka pelaku tingkat desa mendapat pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan TPU dilaksanakan tanggal 27 s.d 28 Januari 2009 sedangkan pelatihan TP3 dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2009 berjumlah 12 orang. TP3 dibentuk untuk melakukan pengelolaan kegiatan yang telah didanai oleh PNPM MPd pada tahun sebelumnya. Untuk tahun 2009 ini pelatihan KPMD tidak dilaksanakan karena ada kendala teknis. Pada tahun-tahun sebelumnya selalu dilaksanakan dengan peserta dua utusan dari masing-masing desa (satu orang laki-laki dan satu orang perempuan). Untuk
proses penggalian gagasan diawali dengan mengadakan
pertemuan di tingkat RT dan dusun untuk membuat peta sosial kemiskinan bersama-sama dengan warga setempat. Metode atau teknik yang digunakan dalam pembuatan peta sosial dalam pertemuan dusun adalah penentuan klasifikasi kesejahteraan, penyusunan peta sosial dan menggali masa depan desa (MMDD). Kegiatan ini dilakukan dengan mengundang utusan-utusan dari masing-masing RT pada MMDD di tingkat dusun dan utusan dari masing-masing dusun pada MMDD di tingkat desa. Hasil yang diharapkan dari pertemuanpertemuan penggalian gagasan tersebut adalah : 1). Masyarakat memahami keperluan dan kebutuhannya; 2). Menganalisis permasalahan dan penyebab kemiskinan di tengah masyarakat desa; 3). Menemukan gagasan-gagasan kegiatan maupun visi ke depan dari masyarakat desa untuk mengatasi permasalahan dan penyebab kemiskinan tersebut. Kegiatan MKP dihadiri oleh kaum perempuan dan dilakukan dalam rangka membahas gagasan-gagasan dari kelompok-kelompok perempuan dan
60
menetapkan usulan kegiatan PNPM MPd yang merupakan aspirasi khusus dari perempuan. MKP ini dilaksanakan pada 15 Januari s.d 20 Februari 2009. Untuk Desa Teluk dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 2009. Usulan hasil musyawarah tersebut selanjutnya dibawa dalam forum MUSRENBANGDES dan menjadi usulan yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat untuk dibawa dalam MUSRENBANG di tingkat Kecamatan, artinya desa hanya menetapkan usulan untuk di sahkan sebagai bagian dari usulan desa. Hasil yang diharapkan melalui pertemuan itu adalah gagasan-gagasan kegiatan dan visi kedepan dari kelompok perempuan di desa dalam mengatasi penyebab kemiskinan, ditetapkannya usulan kegiatan simpan pinjam kelompok perempuan, ditetapkannya usulan yang merupakan aspirasi perempuan selain kegiatan simpan pinjam, seperti peningkatan kapasitas perempuan dalam bentuk pelatihan keterampilan dan terpilihnya calon-calon wakil perempuan (utusan tim enam) yang akan hadir dan berkompetisi di MAD prioritas usulan. Penulisan usulan desa merupakan kegiatan menguraikan secara tertulis gagasan kegiatan masyarakat yang sudah disetujui sebagai usulan desa yang akan diajukan pada musyawarah antar desa. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 20 Januari s.d 01 Februari 2009. sebelum melakukan penulisan, TPU dari masing-masing desa akan mendapatkan pelatihan atau penjelasan terlebih dahulu dari fasilitator kecamatan, baik fasilitator pemberdayaan maupun fasilitator teknik. Kegiatan pelatihan TPU ini berlangsung pada tanggal 27 dan 28 Januari 2009.
Hasil yang diharapkan dari proses penulisan usulan adalah
dokumen proposal usulan kegiatan desa yang terlebih dahulu telah disetujui dalam musyawarah desa perencanaan dan musyawarah khusus perempuan, termasuk data isian formulir pendukungnya. Verifikasi usulan merupakan tahap kegiatan yang bertujuan untuk memeriksa dan menilai kelayakan usulan kegiatan dari masing-masing desa yang akan didanai PNPM MPd. Verifikasi usulan dilakukan oleh TV yang dibentuk tanggal 28 Januari 2009 berdasarkan SK dari Camat Pemayung di tingkat kecamatan dengan beranggotakan 6 orang yang memiliki keahlian sesuai usulan kegiatan, yaitu Udayana (ahli konstruksi), Nawaliah (ahli kesehatan), Ruslan dan Sutarjo (ahli Simpan Pinjam), A. Rahman dan Martamba (ahli pendidikan). Sebelum menjalankan tugasnya TV memperoleh pelatihan OJT (on job training) terlebih dahulu dari fasilitator kecamatan (FK), fasilitator teknik dan KM Kabupaten. TV menilai setiap usulan kegiatan untuk melihat kesesuaian
61
usulan dengan kriteria penilaian usulan kegiatan yang meliputi : lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin, mendesak untuk dilaksanakan, bisa dikerjakan oleh masyarakat, tingkat keberhasilan dan keberlanjutan cukup tinggi dan didukung oleh sumber daya yang ada di masyarakat atau desa. MAD prioritas usulan adalah forum untuk membuat perankingan usulan dari masing utusan-utusan tiap desa. Masing-masing utusan dengan berbagai strategi berupaya untuk mendapatkan point tertinggi agar bisa lolos dalam kompetisi ini. .Pimpinan rapat dalam forum ini adalah Ketua BKAD (Habibullah) dan sebagai Notulen adalah Sekretaris BKAD (Mubarok). Sedangkan sebagai Narasumber adalah Bapak Adnan, S.Si (Camat), Ependi, ST (FK), Oktaria (FT), Parlaungan Lubis (PJOK) dan Darmawi. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 23 Februari 2009 dengan menghasilkan perangkingan sebagai berikut : (1). Desa Pulau
Raman
(Pembangunan
Jalan
Rabat
Beton);
(2).
Desa
Ture
(Pembangunan Gedung TK); (3) Desa Teluk (Pembangunan Jalan Rabat Beton); dan (4) Desa Kubu Kandang (Pembangunan Gedung Posyandu). MAD penetapan usulan merupakan forum untuk mengambil keputusan terhadap usulan yang akan didanai PNPM MPd. Keputusan pendanaan harus mengacu pada tingkat usul yang telah dibuat pada saat musyawarah antar desa prioritas usulan. Jika pada saat musyawarah antar desa prioritas usulan, seluruh usulan atau proposal
telah selesai dibuat berikut detail desai gambar dan
RABnya, maka keputusan penetapan usulan yang akan didanai oleh PNPM MPd bisa langsung diselenggarakan setelah agenda musyawarah antar desa penetapan usulan diselesaikan. Namun jika belum selesai desain RABnya, maka musyawarah antar desa penetapan usulan dilakukan pada waktu yang berbeda. Musyawarah desa informasi hasil merupakan forum sosialisasi atau penyebarluasan hasil penetapan alokasi dana PNPM MPd yang diputuskan dalam MAD penetapan usulan. Forum ini dilaksanakan baik desa yang mendapatkan dana maupun tidak. Forum ini sekaligus memberikan informasi kepada desa yang memenangkan dan tidak memenangkan kompetisi secara sehat yang telah dilaksanakan dalam musyawarah sebelumnya. Jenis Kegiatan dalam PNPM Mandiri Perdesaan Jenis kegiatan yang dibiayai melalui dana BLM, diutamakan untuk kegiatan yang memenuhi kriteria : 1). Lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin; 2). Mendesak untuk dilaksanakan; 3). Bisa dikerjakan oleh masyarakat; 4).
62
Didukung oleh sumberdaya yang ada di masyarakat; dan 5). Memiliki potensi berkembang dan berkelanjutan. Jenis kegiatan yang dimaksudkan tersebut meliputi : 1). Kegiatan pembangunan atau perbaikan prasarana dasar (infrastruktur pedesaan) yang dapat memberikan manfaat social ekonomi bagi masyarakat dan 2). Kegiatan simpan pinjam khusus bagi kelompok perempuan (SPP). Pelaksanaan dan Pelestarian Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan Program yang matang dan terencana serta tetap megacu pada prinsip dan asas PNPM MPd sebagai kegiatan persiapan untuk menjamin kualitas proses pelaksanaan program. Persiapan ditujukan kepada penyiapan aspek sumber daya manusia. Seperti : masyarakat, TPK dan seluruh pelaku PNPM MPd lainnya. Masyarakat dipersiapkan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang dilaksanakan di desa mereka. TPK dipersiapkan untuk melaksanakan kegiatan yang telah diputuskan bersama. Kegiatan persiapan berupa rapat koordinasi awal di kecamatan yang merupakan MAD sosialisasi dan rapat persiapan pelaksanaan di desa melalui MUSDES sosialisasi sampai dengan tahap pengesahan surat perjanjian pemberian bantuan (seperti telah dibahas bagian sebelumnya) Tahap pelaksanaan kegiatan PNPM MPd terdiri dari : pencairan dana, pengadaan tenaga kerja, pengadaan bahan dan alat, dan rapat evaluasi TPK. Tahapan kegiatan ini telah diatur oleh PNPM MPd dan dibatasi oleh waktu. Peraturan tersebut mengikat kegiatan yang dilaksanakan. Peraturan cenderung membatasi kreatifitas keluarga miskin. Misalnya : pencairan dana yang ditentukan bulan tertentu dan dengan waktu yang sangat dekat kurang memberikan keleluasaan keluarga miskin untuk terlibat dalam kegiatan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang dilaksanakan secara tergesa-gesa tersebut mengakibatkan keluarga miskin tidak puas karena tidak sesuai
dengan
kebutuhan
mereka.
Tetapi
hasil
keputusan
tersebut
menguntungkan PNPM MPd dan kalangan elit desa, sehingga pencapaian target hanya bersifal politis. Musyawarah desa pertanggungjawaban dilaksanakan untuk mewujudkan transparansi dalam proses pelaksanaan PNPM MPd, TPK wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara bertahap kepada masyarakat. Musyawarah pertanggungjawaban minimal dilakukan dua kali yaitu setelah memanfaatkan dana PNPM MPd tahap pertama dan tahap kedua.
63
Sertifikasi adalah penerimaan hasil pekerjaan berdasarkan spesifikasi teknis oleh FT untuk mendorong kualitas pekerjaan atau kegiatan. Kegiatan dilakukan sertifikasi dengan harapan fokus TPK dialihkan dari mengejar target fisik ke target kualitas. Namun demikian, seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, pencapaian target hanya bersifat politis dan belum menyentuh kebutuhan keluarga miskin. Pelaku PNPM MPd melakukan revisi kegiatan, jika pada tahap pelaksanaan program kegiatan terjadi kesalahan di lapangan atau terjadi bencana alam. Revisi dilakukan dengan tidak menambah jumlah anggaran dana yang diperlukan dalam melaksanakan kegiatan yang telah diputuskan melalui musyawarah desa. Revisi tersebut dibuat oleh TPK dan disetujui oleh PJOK, ketua TPK dan FK serta secara terbuka ada pemberitahuan kepada masyarakat. Revisi bertujuan untuk mencapai efektivitas program dalam mencapai target yang telah ditentukan. Revisi juga diperlukan untuk meminimalisir hambatanhambatan yang menggagalkan tujuan yang akan dicapai. Kegiatan yang dimaksud adalah penyelesaian tiap jenis kegiatan yang telah dilaksanakan sebagai bagian pertanggungjawaban TPK di desa. Kegiatan ini meliputi : pembuatan laporan penyelesaian pelaksanaan kegiatan, pembuatan realisasi kegiatan dan biaya, musyawarah desa serah terima, pembuatan dokumen
penyelesaian,
pelaksanaan
kegiatan,
pembuatan
dokumen
penyelesaian, pembuatan berita acara status pelaksanaan kegiatan (pada kondisi khusus). Kegiatan PNPM MPd diatur dan dipelihara untuk memberikan manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan. Kegiatan tersebut dilaksanakan agar bermanfaat pada semua pihak sehingga kegiatan memberikan dampak perubahan positif dan berkelanjutan bagi partisipan penerima program. Hasil kegiatan PNPM MPd yang berupa pembangunan infrastruktur dan SPP merupakan asset bagi masyarakat desa yang harus dipelihara, dikembangkan dan dilestarikan. Untuk menjaga agar pelestarian kegiatan bisa berjalan pemerintah sebagai penanggung jawab program memberikan sanksi yang telah ditentukan, bahwa jika hasil kegiatan tidak dikelola dengan baik seperti tidak terpelihara bahkan tidak bermanfaat bagi masyarakat atau pengembalian macet bagi dana SPP maka desa atau kecamatan tersebut tidak akan mendapat lagi dana PNPM MPd untuk tahun berikutnya.
64
Pelestarian kegiatan merupakan tahapan pasca pelaksanaan yang dikelola dan merupakan tanggung jawab masyarakat. Untuk mendukung pelestarian kegiatan diperlukan hal-hal sebagai berikut : 1). Peningkatan kemampuan teknis dan manajerial yang harus mampu dimiliki oleh kelompokkelompok masyarakat, TPK, serta pelaku-pelaku lain PNPM MPd di desa dan kecamatan, 2) Penyediaan sistem dan mekanisme monitoring, evaluasi, perencanaan pengendalian secara partisipatif yang memungkinkan anggota masyarakat dapat mengetahui serta ikut mengontrol kegiatan-kegiatan yang direncanakan, sedang berjalan, maupun yang sudah diselesaikan; 3) Penguatan lembaga-lembaga masyarakat di kecamatan dan desa, termasuk lembaga pengelola prasarana dan sarana. Sistem pemeliharaan PNPM MPd diarahkan kepada adanya perawatan dan pengembangan berbagai sarana dan prasarana yang ada, sehingga dapat secara terus menerus dimanfaatkan oleh masyarakat secara efektif dan efisien. FK dibantu FKab wajib memberikan pelatihan kepada tim pemeliharaan atau yang ditunjuk pada waktu pelaksanaan program hampir selesai. Dalam pelatihan tersebut, masyarakat diberi penjelasan mengenai kepentingan pemeliharaan, organisasi pengelola dan pemeliharaan, dan teknik-teknik yang digunakan
seperti
teknik
membuat
inventarisasi
masalah
dan
teknik
memperbaikinya. Disamping itu akan dilakukan praktek lapangan agar materi pelatihan dapat dipahami.
65
PERAN FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Kenyataannya seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau adanya intervensi dari fasilitator yang bekerja secara profesional. Dalam aktivitas pada PNPM MPd di lapangan fasilitator ini berperan sebagai pendamping sosial bagi partisipan penerima program. Peran seorang fasilitator di lapngan ini dapat peneliti uraikan menjadi tiga bagian, yaitu peran teknik, fasilitasi, dan pendidik. Peran Teknik Peran teknik dilakukan oleh fasilitator untuk menjamin bahwa
PNPM
MPd mengakibatkan partisipan atau masyarakat penerima program mendapat prasarana yang bermutu baik sebagai hasil karya sendiri, dan masyarakat menjadi semakin mampu dalam proses pengelolaan pembangunan secara mandiri. Pada acara musyawarah desa pertama, masyarakat akan memilih kader‐kader desa, di antaranya satu orang kader teknik. Kader teknik merupakan asistennya Fasilitator Teknik di desa, sehingga harus banyak menambah ilmu teknik sipil dan manajemen konstruksi. Produk utama dari peran teknik seorang fasilitator adalah gambar desain serta perhitungan kebutuhan bahan, tenaga, peralatan, dan biaya. Kebutuhan untuk program pemberdayaan masyarakat tidak sama dengan kebutuhan di pekerjaan yang diborongkan kepada kontraktor atau perusahaan swasta. Gambar desain yang dibutuhkan adalah gambar yang dapat dipegang oleh masyarakat sebagai dasar konstruksi dan gambar yang merupakan dasar perhitungan volume pekerjaan di desa lokasi kegiatan. Masyarakat di Desa Teluk mengungkapkan bahwa kualitas dan volume bangunan yang dibuat oleh PPK maupun PNPM MPd jauh lebih baik ketimbang proyek yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU. Mereka mencontohkan ada bangunan madrasah dengan nilai hampir 400 juta yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU dengan sumber dana dari APBD kabupaten, volumenya lebih kecil, yaitu hanya mampu membangun tiga ruang kelas dengan kualitas rendah yang mengecewakan jika dibandingkan dengan bangunan yang dikerjakan oleh
66
masyarakat melalui PNPM MPd dengan biaya yang jauh lebih murah yaitu hanya sekitar 200 juta rupiah, tetapi berhasil membangun empat ruang kelas dengan kualitas yang jauh baik. Alhasil
bangunan madrasah yang dikerjakan oleh
rekanan Dinas PU tersebut sampai kini belum diserahterimakan dan ditolak oleh warga karena beberapa bagian dari bangunan tersebut ternyata sudah banyak yang retak sebagaimana juga terlihat dari dekat ketika peneliti melakukan observasi di lapangan. Gambar 8. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU di Desa Teluk
Berbeda dengan gambar di atas, bangunan madrasah yang dibangun oleh PNPM MPd yang berada persis di sampingnya terlihat kokoh, rapi dan lebih berkualitas. Saat ini bangunan madrasah tersebut terus digunakan untuk aktivitas pendidikan agama (sekolah sore) bagi anak-anak warga Desa Teluk. Diyakini bahwa faktor fasilitator dalam melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan madrasah dan selalu menjaga agar kualitas bangunan betul-betul maksimal menjadi sangat menentukan. Beberapa mantan pelaku PPK yang terlibat dalam pembangunan madrasah tersebut menuturkan bahwa fasilitator sangat rajin memberikan motivasi dan mengajak semua komponen masyarakat untuk terlibat dalam setiap tahapan pembangunan. Masyarakat, terutama pelaku ditingkat desa (TPK) bersama-sama komponen masyarakat lain ikut mempersiapkan, mengerjakan dan memantau hingga pembangunan madrasah tersebut kelar.
Gambar 9. Bangunan Madrasah yang dikerjakan oleh Masyarakat melalui PPK
67
di Desa Teluk
Selain bangunan madrasah seperti terlihat pada gambar di atas, tahun 2004 juga dibangun rehab MTs di desa tersebut dengan kualitas yang juga sangat memuaskan warga. Seorang tokoh agama di Desa Teluk yaitu Ustadz Zawawi yang juga pernah menjadi anggota tim enam PPK tahun 2003 menyatakan bahwa untuk pembangunan sarana fisik, beliau mengakui bahwa kualitas maupun manfaat dari bangunan yang dikerjakan oleh PPK sangat dirasakan oleh masyarakat. Berikut adalah penuturan beliau: “Bangunan madrasah ini sudah hampir roboh sementara anak-anak harus terus bersekolah, jadi setelah ada pembangunan gedung baru oleh PPK kita merasa bersyukur sekali dan aktifitas sekolah kembali lancar. Apalagi bangunannya cukup kokoh dan permanen jika dibandingkan sebelumnya”. Bagaimana dengan bangunan fisik yang dikerjakan oleh PNPM MPd? Tahun 2008 di Desa Teluk telah dibangun jalan desa (perkerasan jalan) yang melintasi areal perkebunan kelapa sawit dan durian milik warga. Jalan tersebut saat ini dimanfaatkan oleh warga untuk mempermudah akses mengeluarkan hasil panen kebun mereka. Berbeda dengan pembangunan madrasah, pembangunan jalan ini selain dikerjakan oleh sebagian warga Desa Teluk, juga melibatkan tenaga kerja dari luar Desa Teluk. Menurut pengurus TPK Desa Teluk, hal ini dilakukan karena ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan untuk menjamin kualitas bangunan diperlukan tenaga dari luar desa. Pendapat ini agak berbeda dengan penuturan beberapa RTM yang sempat peneliti temui. Mereka menyatakan, sebenarnya semua komponen pekerjaan itu bisa dilakukan oleh warga desa sehingga mereka yang tergolong RTM bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari pekerjaan tersebut. Mereka juga kurang paham maksud atau tujuan dari pengurus TPK, mengapa harus merekrut tenaga kerja dari luar desa. Beberapa warga yang lain menuturkan, terlepas siapa yang mengerjakan yang penting bangunan tersebut memberikan manfaat
68
yang besar bagi warga terutama bagi mereka yang memiliki kebun yang dilintasi jalan tersebut. Harus diakui memang, proyek fisik yang dikerjakan oleh PPK maupun PNPM MPd melalui pendampingan yang intensif oleh fasilitator memberikan dampak positif bagi warga setempat. Pendapat tentang hal serupa juga muncul dari Bapak Habibullah. Beliau adalah mantan pelaku PPK dan sekarang menjadi ketua BKAD Kecamatan Pemayung. Menurutnya, peran fasilitator dari aspek fisik diakui cukup berhasil. Hal ini bisa ditunjukkan oleh begitu banyak pembangunan sarana fisik yang telah dibangun di wilayah Kecamatan Pemayung, seperti pembangunan jalan rabat beton, perkerasan jalan desa, pembangunan gedung TK, madrasah dan irigasi. Kesemua bangunan tersebut sangat terjamin kualitasnya karena melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengerjaan bangunan pada setiap tahapan. Berikut adalah penuturan dari beliau: “Harus kita akui bahwa proses pembangunan fisik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi memang melibatkan masyarakat desa. Pengawasan yang cukup rapi dari seluruh komponen masyarakat desa mampu meningkatkan efisiensi dan lebih manjamin kualitas bangunan, terutama jika dibandingkan dengan proyek yang dibangun oleh rekanan seperti proyek APBN maupun APBD yang lain. Ketika peneliti berjalan ke desa-desa lokasi kegiatan PNPM MPd yang lain memang terlihat, bahwa peran teknik dari fasilitator yang ber-output bangunan fisik ini sangat menonjol ketimbang peran-peran lain. Hal ini bisa dimaklumi karena memang aktivitas program umumnya adalah pembangunan sarana fisik yang membutuhkan pendampingan kepada partisipan pada aspek teknis. Dalam dokumen-dokumen yang peneliti telusuri juga terlihat jelas begitu padatnya aktivitas fasilitator dalam menjalankan peran teknis, apalagi sejak tahun 2007 cakupan lokasi kegiatan PNPM MPd yang diperluas ditambah lagi program P2SPP yang juga membutuhkan pendampingan dari fasilitator yang sama. Dokumen tersebut menjelaskan aktivitas teknis yang mesti diselesaikan secara tepat waktu, misalnya pembuatan RAB dan desain gambar bangunan pada masing-masing desa lokasi. Untuk melakukan pendampingan di lapangan, sebenarnya dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, tetapi karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu yang sangat mekanistis. fasilitator pemberdayaanpun juga kerap terjebak sibuk dengan aktivitas fisik yang seyogianya dijalankan oleh fasilitator teknis, sehingga peran-peran lain termasuk
69
aktivitas sosial fasilitator seperti berkunjung, berdiskusi dan mendengar keluhan dan kebutuhan warga ke desa-desa lokasi di luar konteks kerja teknis menjadi jarang dilakukan. Suatu ketika yaitu pada tanggal 24 Maret 2008, peneliti juga sempat mengikuti ekspose hasil audit dari BPKP dari Provinsi Jambi tentang implementasi P2SPP dan PNPM MPd se-Kabupaten Batang Hari yang digelar di aula kantor bupati setempat. Uraian hasil ekspose audit tersebut hampir keseluruhan mengevaluasi dan memonitoring kerja-kerja teknis di lapangan, misalnya menyangkut apakah kualitas dan volume bangunan jalan, jembatan, sekolah dan posyandu dikerjakan sesuai dengan PTO? Bagaimana penggunaan dana untuk kegiatan tersebut benar-benar transparan?. Hanya sedikit sekali disinggung evaluasi tentang aktivitas pemberdayaan bagi partisipan. Hal ini tentu saja akan mendorong dan menjadikan fasilitator serta pelaku lainnya selalu mengoptimalkan kerja-kerja fisik dan karena keterbatasannya tersebut bisa menjadikan peran-peran lain menjadi sulit dijalankan. Untuk memperkuat kemampuannya dalam menjalankan peran teknik ini, fasilitator akan menerima In Service Training (IST) yang biasanya disampaikan oleh FKab satu bulan sekali. In‐Service Training (IST) yang diterima di tingkat kabupaten topik dan lamanya ditentukan oleh Fasilitator Kabupaten, kecuali ada hal-hal tertentu yang telah di atur secara khusus oleh tim PNPM MPd pusat atau dari provinsi. IST menyangkut topik topik pelatihan yang dianggap perlu diketahui oleh fasilitator, termasuk topik teknis, topik manajemen, topik aturan atau
prinsip
program,
topik
pengembangan
profesi,
serta
topik
keterampilan keterampilan yang perlu dikuasai oleh seorang fasilitator. Karena tuntutan peran teknis yang begitu besar umumnya materi IST juga dominan menyangkut hal-hal yang bersifat teknis. Peran Fasilitasi Selain pembangunan infrastrukur atau fisik, PNPM MPd di Desa Teluk juga menyelengggarakan program Simpan Pinjam Khusus Perempuan (SPP). Beberapa desa sudah memanfaatkannnya sejak beberapa tahun yang lalu. Sedangkan untuk
Desa Teluk baru digulirkan pada tahun ini. Bergulirnya
program ini ternyata menuai kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat. Menurut beberapa warga hampir seluruh tokoh masyarakat terutama tokoh agama dan adat menolak SPP, karena bunga pinjaman dalam SPP tersebut di anggap riba (haram) tetapi oleh pihak kecamatan tetap dipaksakan untuk
70
diterima dan warga desa tak kuasa menolak. Penolakan
di Desa Teluk ini
dituturkan oleh beberapa tokoh masyarakat berikut ini : “Kita kebobolan dan ini menjadi kemunduran bagi warga desa serta menjadi catatan sejarah yang tidak baik. Program SPP itu dipaksakan untuk diterima oleh warga. Kalau ada warga yang mau pinjam uang di Bank dan ada bunganya itu adalah persoalan individu tetapi untuk SPP ini kita semua dipaksa secara bersama untuk melegalkan praktek riba ini” (Uz). “Ada intimidasi dari pihak-pihak tertentu kalau tidak mau menerima SPP maka program lain (misalnya pembangunan infrastruktur) akan dianggap tidak layak dan tidak akan diverifikasi. Ada pencucian otak secara sistematis oleh tim dari kecamatan sehingga SPP masuk dalam daftar usulan desa” (Ib). Kasus penolakan SPP oleh warga di atas merupakan salah satu contoh dimana fasilitator belum mampu melaksanakan peran fasilitasi secara baik. Fasilitasi merupakan suatu kegiatan yang menjelaskan pemahaman, tindakan, keputusan yang dilakukan seseorang dengan atau bersama orang lain untuk memberdayakan partisipan. Dalam proses pemberdayaan, fasilitasi mengandung pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai potensi yang dimilikinya bukan dengan cara-cara pemaksaan yang justru menjauhkan fasilitator dari partisipan. Aturan simpan pinjam, pada SPP yang mengadopsi sistem sebagaimana yang berlaku pada perbankan secara umum di desa-desa tertentu ternyata menuai protes. Fasilitator sesungguhnya bisa memerankan diri dengan memfasilitasi dan menguatkan masyarakat agar dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh partisipan sesuai konteks lokal tanpa harus menyeragamkan aturan di tempat lain yang justru mengundang kontroversi tidak produktif. Bersama dengan beberapa tokoh agama, peneliti sempat berdiskusi dan menanyakan apa sebenarnya keinginannya dalam konteks SPP. Mereka tidak memungkiri membutuhkan modal untuk pengembangan usaha, tetapi apakah tidak ada cara lain selain membungakan “riba” uang. Sebenarnya ada solusi yang bisa ditawarkan oleh fasilitator bersama pelaku PNPM MPd dengan menawarkan jasa pinjaman uang SPP dengan sistem syariah mengingat Desa Teluk sangat kental dan menjaga agar nilai-nilai agama Islam tetap lestari. Kegiatan
fasilitasi
bukan
hanya
sekedar
menjejalkan
sejumlah
pengetahuan dan pengalaman fasilitator maupun pelaku PNPM MPd dari tempat lain kepada partisipan melainkan upaya penyadaran melalui proses belajar
71
bersama
dan
menentukan
mendorong
prakarsa
keputusannya.
masyarakat
Fasilitator
di
secara
samping
mandiri
melakukan
untuk transfer
pengetahuan dan pengalaman juga harus mau belajar kepada budaya lokal agar program yang dibawa bisa diterima oleh partisipan. Lalu bagaimana dengan desa-desa lain? apakah program SPP ini berjalan semestinya? Beberapa desa yang sempat peneliti telusuri, kegiatan SPP memang telah bergulir sejak PPK dan tidak dipersoalkan oleh warga tentang “keabsahan” program. Akan tetapi program mendapatkan kritik terutama dari RTM karena ternyata dana yang digulirkan justru dimanfaatkan oleh mereka yang sudah mapan ekonominya. Alasannya adalah RTM dianggap tidak mampu membayar cicilan secara rutin kepada pengurus UPK. Hal ini tentu sangat kontras dengan tujuan program untuk memberdayakan RTM “kaum marginal”. Dalam konteks ini dapatlah dinyatakan
bahwa belum/tidak terjadi proses
pemberdayaan
(khususnya bagi warga miskin) karena tidak terjadi transfer daya kepada warga miskin, sebab program lebih dimanfaatkan oleh kelompok yang mampu. Apa dampaknya kemudian ? RTM menjadi enggan untuk terlibat dalam programprogram berikutnya. Rapat-rapat sebagai instrument menggali gagasan yang “partisipatif” menjadi sulit untuk menghadirkan RTM. Konsultan
Manajemen
(KM)
PNPM
MPd
Provinsi
Jambi
ketika
dikonfirmasi oleh peneliti tentang aktivitas PNPM MPd di wilayahnya memberikan tanggapan yang cukup relevan sebagaimana yang peneliti temukan di lapangan. Untuk program pembangunan infrastruktur beliau mengakui bahwa selama ini berharap ada peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai multiplier effect dari
kegiatan,
Pemberdayaan
misalnya dalam
terbukanya
artian
lapangan
sesungguhnya
kerja
yang
baru
mampu
bagi
RTM.
membangun
kesadaran bagi RTM untuk keluar dari lingkaran kemiskinan memang belum maksimal kita dapatkan.
Sementara untuk kegiatan Simpan Pinjam Khusus
Perempuan (SPP) harus diakui bahwa perkembangannya di UPK cukup pesat. Untuk Kecamatan Pemayung, saat ini telah memiliki omset kurang lebih satu Milyar. Tetapi persoalannya kelompok perempuan miskin yang sejatinya memanfaatkan untuk mengembangkan ekonomi keluarga ternyata tidak memperoleh akses untuk memanfaatkan program ini. Lebih lanjut beliau secara terbuka juga menceritakan alur aktivitas PNPM MPd yang menurutnya akan sulit membawa misi pemberdayaan. Beliau mengakui bahwa ada penurunan kualitas
72
pada aktivitas program ketimbang pada PPK sebelumnya sebagaimana diungkapan oleh beliau berikut ini : “Kita harus akui bahwa proses yang berjalan dalam PNPM ini sangat mekanistis sekali. Aktivitas yang berjalan selalu berpedoman pada PTO yang dikejar oleh target sehingga pemberdayaan masyarakat yang mestinya bisa didapat pada setiap tahapan program sangat sulit dijalankan”. Pada sisi lain juga terungkap bahwa TPK PNPM MPd di Desa Teluk mengeluhkan aturan main untuk pelaksanaan program mulai tahun ini (tahun 2009).
Mereka mengungkapkan bahwa sejak
tahun
ini
diminta untuk
mengumpulkan dana swadaya dari masyarakat yang jumlahnya sudah ditetapkan oleh pihak kabupaten sebesar lima persen. Menurutnya selama ini warga memang selalu diminta untuk menyumbang selama pelaksanaan program. Beberapa warga ada yang menyumbangkan bahan-bahan material seperti pasir, semen dan batu, tenaga kerja dan peralatan pekerjaan yang nilainya bisa jadi lebih dari lima persen karena merasakan bahwa program ini penting bagi kepentingan mereka tetapi ini dilakukan dengan prinsip sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Mereka berpendapat dengan penetapan angka minimal lima persen apalagi jika dilakukan secara terus menerus justru akan menyebabkan warga menyumbang karena ada unsur keterpaksaan dari pihak atas. Ketika persoalan ini peneliti pertanyakan kepada pengurus UPK di tingkat kecamatan mereka menyatakan sebenarnya tentang persoalan ini sudah sering dilakukan protes oleh mereka dan teman-teman dari UPK yang lain tetapi tidak ada respon dari pihak kabupaten. Menurut orang di kabupaten ketentuan ini sudah menjadi aturan baku yang tidak bisa dirubah. Kegiatan
pendampingan
untuk
mendidik
partisipan
bukanlah
memaksakan apalagi memberikan materi yang “tidak sehat” kepada partisipan melainkan upaya penyadaran melalui proses belajar bersama dan mendorong prakarsa masyarakat secara mandiri untuk menentukan keputusanya. Untuk mendukung usaha ini profesi sebagai fasilitator memang membutuhkan keseriusan dan ketekunan yang cukup tentang masyarakat. Deskripsi di atas menunjukkan bahwa proses dialog yang mesti muncul dalam pengambilan keputusan pada setiap aktivitas program ternyata belum terjadi. Dalam dialog seharusnya fasilitator membuka ruang “berbicara dan mendengar” yang setara” sehingga komunikasi antara fasilitator dan pelaku PNPM MPd dengan partisipan tidak terkesan menggurui atau bahkan memaksakan kehendak.
73
Di lokasi penelitian, peran fasilitasi memang tidak begitu tampak dijalankan oleh fasilitator. Kegiatan fasilitasi umumnya hanya dilakukan dalam rangka aktivitas teknis yang menjadi unggulan dari program. Misalnya memfasilitasi setiap pertemuan dalam pelaksanaan tahapan PNPM MPd, fasilitasi dan membantu survey lapangan, melakukan survey harga satuan dan menerapkannya dalam RAB dan memfasilitasi dalam penanganan dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan program fisik. Beberapa warga dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan peneliti juga menyampaikan bahwa fasilitator hanya datang ketika proyek akan berjalan. Sementara untuk fasilitasi program-program yang lain termasuk hadir dan berkunjung ke desa sekedar untuk merajut kebersamaan dengan warga jarang dilakukan. Kegiatan memfasilitasi yang merupakan tugas paling rutin fasilitator adalah pendampingan pembelajaran bersama kelompok yang harus diawali dengan interaksi sosial yang harmoni antara fasilitator dan partisipan. Apapun kegiatannya, proses fasilitasi yang dikembangkan oleh fasilitator harus selalu berorientasi pada proses pembelajaran yang bertumpu pada partisipan. Dalam beberapa kesempatan sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang pelaku PNPM MPd, fasilitator bersama pelaku PNPM MPd yang lain pernah menjadi mediator ketika terjadi ketegangan dan konflik antar kelompok yang berlawanan. Pernah suatu ketika terjadi ketegangan antara warga masyarakat dengan kontraktor yang melaksanakan pekerjaan pembangunan jalan. Saat itu sebagaimana dituturkan oleh Ketua BKAD, kontraktor meminta dibayar lunas sementara pekerjaan belum selesai. Warga tetap bersikukuh untuk tidak membayar. Kontraktor sempat mengancam dan mengadukan persoalan ini kepada Kejaksaan Negeri Muara Bulian. Oknum kejaksaan bersama kontraktor tersebut sempat mengeluarkan ancaman untuk membawa persoalan ini ke meja hukum. Akhirnya setelah melalui proses mediasi persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan baik antara warga dan pihak kontraktor. Sebenarnya peran fasilitasi mediasi yang lain yang bisa dilakukan misalnya membantu masyarakat untuk bisa mengakses potensi-potensi dan sumber daya yang dapat mendukung pengembangan dirinya, seperti sektor swasta, perguruan tinggi, LSM dan peluang pasar. Akan tetapi peran-peran ini belum muncul. Sering ditemui di lapangan bahwa masyarakat jarang mengetahui dan mengenal potensi dan kapasitasnya sendiri. Seorang fasilitator mestinya mampu merangsang dan mendorong masyarakat untuk menemukenali potensi
74
dan kapasitasnya sendiri. Dengan fungsinya tersebut fasilitator mampu mendorong masyarakat sehingga dapat melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan secara mandiri. Peran Pendidik Peran pendidik yang mesti dijalankan oleh fasilitator di lokasi kegiatan PNPM MPd adalah berperan aktif dalam proses pengembangan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan partisipan. Kegiatan itu tidak saja sekedar membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahanarahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari. Pengertian ini merujuk pada upaya memberikan kemudahan, kepada siapa saja untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam situasi kritis, peran pendampingan tidak hanya memberikan kemudahan terhadap berbagai akses bantuan saja tetapi secara proaktif juga melakukan intervensi langsung kepada masyarakat. Disisi inilah fasilitator mencoba mengambil peran sebagai perantara atau katarsis untuk mempercepat proses belajar dan peningkatan kesejahteraan. Kegiatan yang dimungkinkan dapat dilakukan adalah melalui pelatihan keterampilan bagi partisipan. Menurut penuturan beberapa warga, termasuk pelaku PNPM MPd, aktivitas PNPM MPd hanya ditunjukkan oleh pembangunan sarana fisik. Sementara program-program pemberdayaan, seperti pelatihan-pelatihan bagi RTM nyaris tidak pernah ada sebagaimana dituturkan oleh ketua BKAD warga berikut ini : Kegiatan PNPM-MPd yang betul-betul menyentuh kebutuhan dan memberdayakan masyarakat miskin sebagaimana tujuan PNPM MPd terutama yang terkait dengan upaya peningkatan keterampilan berusaha (ekonomi) bagi warga miskin tidak pernah ada. Seperti pelatihan menjahit, border, industri rumah tangga. Hampir semua usulan dari desa yang pernah muncul terkait dengan pelatihan selalu tidak mendapatkan prioritas termasuk dari tim. Selalu saja yang diunggulkan dan mendapatkan prioritas usulan adalah bangunan fisik saja, walaupun pada tahun-tahun sebelumnya telah pernah mendapatkan program PNPM juga dalam bentuk bangunan fisik sehingga keberadaan orang miskin di desa tidak pernah mengalami perubahan. Mereka tetap miskin dan tidak berdaya” Ketua BKAD juga mengungkapkan bahwa dalam rapat-rapat di tingkat kecamatan kita selalu mengingatkan agar selalu melibatkan dan mengutamakan kebutuhan RTM, tetapi selalu saja mentah dalam forum. Utusan dari masing-
75
masing desa beralasan kalau sarana fisik yang dibangun diperlukan semua orang, sementara kalau pelatihan atau yang sejenis hanya beberapa orang saja yang bisa memanfaatkan. Dengan demikian kepentingan program untuk memberdayakan orang miskin selalu terabaikan. Mengapa selalu terjadi hal demikian ? Menurutnya hal ini dikarenakan usulan program selalu dibawa oleh tim enam yang umumnya adalah elit desa. Beberapa usulan program yang digagas sejak MMDD, baik di tingkat RT, dusun dan desa maupun MKP, terkesan hanya sebagai prasyarat program saja, toh yang akan membawa dan memperjuangkan untuk mendapatkan program adalah tim enam juga. Sehingga yang terjadi adalah usulan dari RTM dan perempuan tidak benar-benar diperjuangkan oleh tim enam pada MAD prioritas usulan (kompetisi) di kecamatan. Hal lain yang menjadi persoalan adalah tidak adanya keterlibatan stakeholder lain yang mendukung aktivitas pemberdayaan di lapangan. Seharusnya dalam Musrenbang baik di tingkat desa maupun kecamatan menghadirkan dinas-dinas terkait yang dibutuhkan oleh masyarakat penerima program untuk pemberdayaan mereka. Catatan penting yang juga dapat peneliti ungkap di lapangan terkait dengan aspek pendidikan adalah adanya situasi yang memaksa perilaku “tidak jujur” dari pelaku kepada partisipan PNPM MPd. Salah seorang pelaku di Desa Teluk
menceritakan kepada peneliti tentang hal ini. Menurutnya ada kesan
skenario yang tidak jujur dari pelaku di tingkat desa (TPK) dan diajarkan oleh tim verifikasi di kecamatan serta kabupaten. Pada aspek pelestarian kegiatan, fasilitas yang pernah dibangun oleh PPK dan PNPM MPd pada tahun-tahun sebelumnya dengan berbagai cara harus disulap sehingga seolah-olah sangat terawat atau paling tidak ada tanda-tanda upaya ingin dirawat, misalnya ada tumpukan material di samping bangunan sehingga usulan desa bisa lolos untuk verifikasi program pada tahun berikutnya. Kondisi ini sebenarnya tidak mesti terjadi ketika monitoring dan evaluasi rutin dilakukan oleh pelaku program. Dalam sebuah obrolan dengan pelaku di kabupaten disebutkan, dahulu pada program PPK, monitoring ini rutin dilakukan bahkan oleh tim dari Depdagri dan Bank Dunia. Akan tetapi sejak PNPM MPd monitoring menjadi jarang dilakukan. Dalam konteks pendidikan hal ini tentu sangat tidak arif dilakukan oleh pelaku PNPM MPd ditingkatan yang lebih tinggi yang seyogianya harus mendorong transparansi “apa adanya” sebagai ciri program pemberdayaan.
76
Beberapa kegiatan pada aspek pendidikan yang pernah diselenggarakan oleh fasilitator di lokasi penelitian juga belum maksimal dijalankan. Pelatihan hanya diberikan kepada pelaku PNPM MPd saja bukan kepada warga komunitas apalagi RTM. Hanya KPMD, TPU, TP3, kader teknik dan TPK yang terpilih dalam musyawarah desa sosialisasi yang akan menerima pelatihan. Peserta pelatihan ini selanjutnya diharapkan akan memandu serangkaian tahapan kegiatan PNPM MPd yang diawali dengan proses penggalian gagasan di tingkat RT, dusun dan kelompok masyarakat. Pelatihan TPU dilaksanakan tanggal 27 s.d 28 Januari 2009 sedangkan pelatihan TP3 dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2009 berjumlah 12 orang. Ironisnya untuk tahun 2009 ini pelatihan bagi KPMD tidak dilaksanakan. Padahal KPMD adalah perpanjangan tangan fasilitator yang akan membantu kerja-kerja pemberdayaan di tingkat desa. KPMD sendiri umumnya selalu berganti setiap tahun di setiap desa. Artinya kemampuan kognisi KPMD mestinya di up grade secara rutin untuk menjadi pelopor pemberdayaan di desanya. Menurut pengurus UPK karena ada kendala teknis sehingga pelatihan batal dilakukan. Pada tahun-tahun sebelumnya selalu dilaksanakan dengan peserta dua utusan dari masing-masing desa
(satu orang laki-laki dan satu
orang perempuan). Sebagai pendidik, sesungguhnya fasilitator bisa menjadi nara sumber (resource person) karena keahliannya berperan sebagai sumber informasi sekaligus mengelola, menganalisis dan mendesiminasikan dalam berbagai cara atau pendekatan yang dianggap efektif.
Fasilitator juga bisa menjadi pelatih
(trainer) melakukan tugas pembimbingan, konsultasi atas masalah yang dihadapi warga dan penyampaian materi untuk peningkatan kapasitas dan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik bagi partisipan. Ikhtisar Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan pada aspek teknik, sementara peran fasilitasi dan pendidikan terkesan terabaikan. Kegiatan PNPM MPd sebagai bagian dari policy pemerintah yang termuat dalam PTO menuntut sistem kerja yang mekanisitis dan dominan pada aspek teknis yaitu pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur. Sehingga walaupun di lapangan dipersiapkan dua orang fasilitator
yaitu fasilitator
pemberdayaan dan fasilitator teknik, karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu
77
yang telah ditetapkan program maka fasilitator pemberdayaanpun ikut terjebak pada kerja teknis sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh dari proses pemberdayaan terkesan diabaikan.
78
PEMAKNAAN KREDIBILITAS FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd Pembahasan mengenai kredibilitas fasilitator menjadi penting karena faktor kredibilitas diyakini terkait dengan sukses tidaknya seorang fasilitator menjalankan peran pendampingan bervisi pemberdayaan. Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauhmana sumber pesan dapat dipercaya oleh penerima (Hamidi 2007). Kredibilitas ini penting karena pada kenyataannya partisipan terlebih dahulu akan memperhatikan siapa fasilitator yang membawa pesan sebelum ia mau menerima pesan yang dibawanya. Apabila kredibilitas fasilitator tidak meyakinkan, maka bagaimanapun baiknya pesan
yang
disampaikan, partisipan tidak akan menerimanya. Dalam konteks implementasi PNPM MPd, kredibilitas seorang fasilitator akan menentukan keberhasilan implementasi program di lapangan termasuk didalamnya adalah bagaimana seorang fasilitator mampu membangun komunikasi partisipatif sebagai instrumen penting pemberdayaan masyarakat. Ungkapan tentang makna kredibilitas fasilitator ini peneliti dapatkan dari penelusuran dan diskusi bersama partisipan penerima program dan pelaku pada kegiatan PNPM MPd di lokasi penelitian. Kredibilitas Fasilitator: Perspektif Partisipan 1. Kompetensi Ketika peneliti mengajukan pertanyaan kepada tokoh masyarakat dan partisipan penerima program hampir semua informan memberikan jawaban yang serupa dan menginginkan pendamping lapangan yang memiliki keahlian, jenius dan mempunyai pengalaman yang memadai tentang bidang yang dikerjakannya. Profesi fasilitator PNPM MPd oleh anggota komunitas dipahami sebagai orang yang harus bisa berperan sebagaimana guru, mengajar, membimbing dan memberi pelatihan kepada masyarakat yang umumnya memang masih rendah SDMnya. Berikut ini adalah salah satu ungkapan harapan dari salah seorang tokoh masyarakat : “Kita menginginkan fasilitator yang ditempatkan di sini, memang betulbetul pintar dan paham sehingga masyarakat kita bisa belajar banyak dari mereka. Khusus untuk FT misalnya, kalau dia tidak paham dengan ilmu teknik kita khawatir bangunan infrastruktur menjadi tidak berkualitas. (BT) Ada dua fasilitator yang bekerja sebagai pendamping PNPM MPd di Kecamatan Pemayung yaitu, fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknis. Fasilitator Pemberdayaan atau di lapangan di sebut Fasilitator Kecamatan (FK)
79
bertugas bagaimana menjaga agar proses pemberdayaan yang ada di desa dan di kecamatan dapat terus berlangsung. FK ini mempunyai latar belakang pendidikan dari bidang ilmu yang bebas. Sementara Fasilitator Teknik (FT) adalah orang yang memiliki kualifikasi teknis untuk membantu masyarakat melakukan hal‐hal teknis yang berkaitan dengan pembangunan prasarana fisik desa. Mereka adalah seorang sarjana teknik sipil yang ditempatkan sebagai salah satu pelaku PNPM MPd, bersama dengan FK bekerja terutama untuk menjaga kualitas pembangunan prasarana yang diinginkan oleh desa serta manajemen konstruksi. FT juga berperan dalam proses pemberdayaan masyarakat di desa. Selain membantu dalam proses pemberdayaan yang umum, dia mempunyai peran khusus bidang teknik, untuk menjamin bahwa masyarakat mempunyai pengalaman positif dalam upaya pemberdayaan. Kalau proses pemberdayaan berakibat pembangunan prasarana yang berkualitas jelek, masyarakat tidak akan memilih proses yang lebih berdaya untuk
kegiatan‐kegiatan
selanjutnya.
Harus
dibuktikan
bahwa
proses
pemberdayaan mengakibatkan masyarakat mendapat prasarana yang bermutu baik sebagai hasil karya sendiri, dan masyarakat menjadi semakin mampu dalam proses pengelolaan pembangunan sendiri. Harapannya adalah desa yang sudah cukup mampu membangun prasarana sendiri bisa menjadi desa yang mandiri secara teknis dan tidak lagi bergantung pada pemerintah atau konsultan untuk segalanya. Dari wawancara kepada beberapa tokoh masyarakat secara umum diakui bahwa FK dan FT yang ditempatkan memiliki keahlian yang cukup memadai. Saat ini FK dan FT yang ditempatkan di Kecamatan Pemayung semuanya berlatar belakang disiplin Ilmu teknik sipil. Bagi warga Desa Teluk karena kegiatan PNPM MPd yang dilakukan selama ini selalu kegiatan fisik, maka keberadaan fasilitator tersebut sangat mendukung dengan pekerjaannya. Seorang fasilitator juga dituntut untuk tahu dan mampu bagaimana sesuatu itu harus dikerjakan, artinya latar belakang pendidikan saja tidak cukup. Dia harus mampu menunjukkan kepada anggota komunitas bahwa secara teknis ia mampu mengerjakan, mampu mengendalikan proses pelaksanaan pekerjaan dan tidak hanya sekedar ahli berteori saja. Seorang fasilitator juga diharapkan menguasai
informasi-informasi lain yang dapat menunjang aktivitasnya
melakukan pendampingan di lapangan sebagaimana disampaikan oleh salah seorang masyarakat berikut ini :
80
“Kita berharap fasilitator jangan hanya pintar berteori saja, demonstrasikan apa yang disampaikan, sehinggga masyarakat bisa langsung melihat dan belajar dengan nyata (Mb)
Menurut fasilitator di tingkat Kabupaten Batang Hari, dalam rangka meningkatkan
kompetensi
dan
kapasitasnya,
FK
dan
FT
akan
mendapatkan pelatihan pratugas sebagai calon FK dan FT, pembekalan, yang dilakukan di provinsi (satu hari), di kabupaten (dua hari), dan di kecamatan tempat bertugas (dua hari), dengan agenda penjelasan beberapa tugas persiapan dan kebijaksanaan lokal. Setelah pembekalan kedua fasilitator akan bekerja di satu kecamatan selama satu tahun anggaran untuk membantu masyarakat di desa desa yang ada di kecamatan yang bersangkutan. Kontrak kerja dibuat untuk satu tahun, dengan kemungkinan besar akan diperpanjang bila bekerja dengan baik, asalkan
program masih berlanjut. Perpanjangan juga sering dilakukan
dengan mutasi ke tempat lain untuk alasan penyegaran. FK dan FT juga
disupervisi oleh fasilitator yang ada di tingkat
kabupaten, yaitu FasKab dan FT Kabupaten. Kedua orang ini akan menyelenggarakan pertemuan rapat koordinasi tingkat kabupaten sekali atau dua kali sebulan di kabupaten untuk seluruh fasilitator yang ada, teknis
maupun
pemberdayaan.
Fasilitator
juga
akan
menerima
In Service Training (IST) yang biasanya disampaikan oleh FKab satu bulan sekali. In‐Service Training (IST) yang diterima di tingkat kabupaten topiknya dan lamanya ditentukan oleh kedua Fasilitator Kabupaten, kecuali ada hal-hal tertentu yang telah di atur secara khusus oleh tim PNPM MPd pusat atau dari provinsi. IST seharusnya menyangkut topik topik pelatihan yang dianggap perlu diketahui oleh fasilitator, termasuk topik teknis, topik manajemen, topik aturan atau prinsip program, topik pengembangan profesi, serta topik keterampilan keterampilan yang perlu dikuasai oleh seorang fasilitator. Seorang fasilitator yang bekerja sebagai pendamping PNPM MPd mesti memiliki kompetensi atau keahlian dan berpengalaman sesuai dengan bidangnya. Ini dapat dimaklumi karena “source credibility” dari komunikan ditunjukkan oleh bagaimana seorang fasilitator atau komunikator mampu membuktikan bahwa ia memang pakar dalam bidangnya. Kepercayaan
81
partisipan terhadap fasilitator ditentukan oleh keahlian komunikator dalam bidang tugas pekerjaannya. Kepercayaan kepada fasilitator mencerminkan bahwa pesan yang disampaikan kepada partisipan dianggap olehnya sebagai suatu kebenaran dan sesuai dengan kenyataan empiris.
Komponen kompetensi berikutnya adalah percaya diri. Warga masyarakat
akan
terbangun
kepercayaannya
atas
materi
yang
disampaikan oleh fasilitator jika fasilitator mempunyai keyakinan diri yang tinggi akan kemampuan dirinya. Sebagaimana diungkap oleh salah seorang informan berikut : “Bagaimana mungkin kita akan percaya dengan omongannya kalau pembicaranya sendiri grogi di depan masyarakat” (Am) Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri tersebut diantaranya adalah: berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain (berani menjadi diri sendiri), punya pengendalian diri yang baik (emosinya stabil) dan tidak mudah menyerah pada keadaan serta tidak tergantung atau mengharapkan bantuan dari orang lain.
Kepercayaan diri adalah sikap positif dari seorang fasilitator yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin dan mampu meyakinkan orang lain, mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Dari uraian tentang pengertian kompetensi yang diungkap oleh partisipan di atas dapatlah didefinisikan bahwa pengertian kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan yang dilandasi atas keterampilan, dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. 2.
Berkarakter Karakter orang yang bisa dijadikan panutan dan pemimpin dalam
masyarakat desa menurut persepsi anggota komunitas ditunjukkan oleh
82
kepribadiannya yang dapat dipercaya (trust), jujur, sabar, objektif, disiplin dan rajin. Kepribadian yang berkarakter juga harus ditunjukkan oleh sikap pemimpin yang memiliki pribadi hangat dan bersahabat, memiliki daya tahan atau ulet serta tekun dalam menyelesaikan tugas. Dalam konteks fasilitasi ciri-ciri karakter di atas sangat relevan dalam melakukan aktivitas pendampingan. Berikut adalah beberapa pendapat warga tentang unsur karakter ini : “Bagi kami pemimpin yang ideal itu adalah dapat dipercaya, tidak suka bohong atau bikin-bikin janji tapi tidak pernah ditepati” (Zk) “Masyarakat senang memiliki pemimpin yang selalu dekat, hangat dan akrab dengan warga, tidak membuat jarak sehingga kita juga tidak segan kalau ada masalah menanyakannya ke beliau” (Am) Kepercayaan, adalah kesan komunikan tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya misalnya jujur atau tidak jujur, tulus atau lancung, dan sebagainya. Aristoteles menyebutnya “good moral character”, sedang Quintillianus menyebutnya “a good man speaks well”.
Komunikasi itu esensinya adalah tindakan pentransferan pesan. Pesan yang berasal dari pihak fasilitator selaku komunikator ditransfer ke anggota komunitas atau masyarakat desa sebagai khalayak sasaran komunikasi. Tujuan umumnya adalah menegakkan pengertian yang sama atau mutual understanding. Namun, untuk menciptakan pengertian yang sama antara pihak penyampai pesan (fasilitator) dengan khalayak sasaran bukanlah pekerjaan yang mudah. Ada banyak faktor penghambat yang barangkali akan merintangi terwujudnya pengertian bersama tersebut. Sulitnya mewujudkan pengertian yang sama ini karena dua pihak, yakni komunikator dan khalayak sasaran didasarkan pada dua perspektif kepentingan
berbeda.
Bagi
fasilitator,
tujuan
komunikasi
adalah
memberikan informasi, mendidik, menyenangkan, dan menganjurkan suatu tindakan atau persuasi. sementara
bagi partisipan
adalah
memahami informasi, mempelajari, menikmati dan menerima atau menolak anjuran dari fasilitator. Oleh sebab itu sikap saling percaya dan pribadi berkarakter yang dimiliki seorang fasilitator akan membantu kerjakerja pendampingan di lapangan. 3.
Karismatik Dalam konteks fasilitasi pada program PNPM MPd , kharisma seorang
fasilitator menjadi penting adanya. Dari penelusuran dan wawancara dengan
83
beberapa tokoh masyarakat, anggota komunitas memaknai kharisma seorang fasilitator
ditunjukkan
oleh
sifat
aktif,
tegas,
semangat,
berwibawa,
berpenampilan tenang, tidak emosi menghadapi keluhan-keluhan masyarakat dan bisa memberi teladan (memberi contoh dulu). Dalam konteks karismatik ini, beberapa warga dan tokoh masyarakat memberikan catatan penting bagi fasilitator PNPM MPd yang pernah mendampingi mereka.
“Waktu saya menjadi Pendamping Lokal (PL), saya melihat sosok pak samsul bahri (FK tahun 2003) sangat aktif, keaktifan beliau tidak hanya dilakukan di forum PPK saja tetapi juga di kegiatan informal masyarakat, beliau sering keliling desa dan juga aktif terlibat dan hadir dalam kegiatan yasinan kelompok Ibu-ibu. Sehingga sosok beliau menjadi akrab dengan warga. Beliau adalah perintis dan orang yang mengenalkan PPK pertama kali kepada masyarakat Kecamatan Pemayung, karena itu mungkin beliau punya tantangan bagaimana program ini bisa diterima warga. Fasilitator sekarang dan akan datang mestinya bisa seperti itu. (Kt) Kita melihat sosok pak samsul sebagai FK sangat bisa diterima oleh warga di sini, beliau itu cukup peka dan jeli terhadap kebutuhan warga, berpenampilan tenang, rajin, tidak emosi dalam menghadapi keluhankeluhan masyarakat dan selalu menggunakan bahasa dusun (bahasa daerah, red). Saya belum menemukan sosok fasilitator pengganti beliau yang memiliki sifat seperti itu (Zk, tokoh adat, mantan pelaku PPK Desa Lopak Aur)
Keteladanan adalah bergabungnya dua sifat mulia yaitu inisiatif dan integritas. Inisiatif berarti melakukan lebih dahulu sebelum orang lain melakukannya. Integritas berarti mentaati aturan dan berani berkata “tidak” terhadap bujukan untuk melanggar aturan. Seseorang yang memiliki inisiatif tapi tidak memiliki integritas tidak bisa disebut teladan. Mungkin lebih tepat disebut sebagai provokator. Sebaliknya orang yang memiliki integritas tapi tidak memiliki inisiatif juga tidak bisa disebut sebagai teladan, tapi hanya pengikut yang baik Konsep
kharismatik
(charismatic)
atau
kharisma
(charisma)
menurut Weber (1947) lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang yang memiliki bakat yang luar biasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis
84
tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luar biasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan. Burn
(1978)
menyatakan
bahwa
kepemimpinan
kharismatik
memberikan gerak kepada pemimpin untuk melakukan dan menerapkan kepemimpinannya
sesuai
dengan
nilai-nilai
dan
memotivasi
para
pengikutnya”. Sedangkan Conger dan Kanungo (1998) menyatakan bahwa
kepemimpinan
kharismatik
didasarkan
atas
perilaku
dan
penerimaan dari pengikutnya sebagai pemimpin yang kharismatik. Menurutnya ada lima dimensi prilaku yang harus dimiliki seorang pemimpin kharismatik, yaitu: peduli terhadap konsteks lingkungannya, memiliki
strategi
dan
artikulasi
visi,
peduli
terhadap
kebutuhan
pengikutnya, memiliki personal risk, serta memiliki perilaku yang tidak konvensional. Karisma, menunjukkan suatu sifat luar biasa yang dimiliki komunikator yang menarik dan mengendalikan komunikan seperti magnet menarik benda-benda sekitarnya. Karisma terletak pada persepsi komunikan yang melihat sosok komunikator yang dinamis dan memilki sosiabilitas. Dinamis berkenaan dengan cara berkomunikasi yang bergairah, bersemangat, aktif, tegas, dan berani. Dinamis memperkokoh kesan keahlian dan kepercayaan. Sosiabilitas, adalah kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang periang dan suka bergaul dengan orang di lingkungannya. Untuk
menjadi
pribadi
kharismatis
diperlukan
juga
kemampuan
berkomunikasi efektif. Kemampuan untuk berbicara yang mudah dimengerti dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Kemampuan memilih kata-kata yang menarik dan berkesan di hati para pendengar, misalnya dengan memakai bahasa daerah setempat. 4. Adaptif
Selain unsur-unsur kredibilitas yang telah disebutkan di atas peneliti juga menemukan banyak harapan-harapan yang berkembang dari masyarakat tentang sosok fasilitator atau pendamping yang ideal.
85
Harapan tersebut peneliti rangkum menjadi satu kelompok yaitu adaptif. Beberapa indikator yang termasuk dalam kemampuan adaptif ini adalah •
Humoris, misalnya sikap santai dan disertai guyonan ketika berbicara agar suasana lebih akrab dan bersahabat.
•
Mampu beradaptasi atau berbaur menjadi satu dengan berbagai kelompok di tengah masyarakat desa. Pada situasi ini fasilitator juga diharapkan bisa menjadi perekat
terutama pada masyarakat desa
dengan kultur yang beragam. •
Memiliki kemampuan mendekati dan meyakinkan orang yang berpengaruh di desa, misalnya tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pemuda.
•
Memakai pendekatan agama, jangan pernah bersikap atau berbuat yang menyalahi agama di tengah masyarakat.
•
Memakai adat, belajar dengan orang desa, pahami bahasa adat, gunakan bahasa itu untuk menyampaikan program
•
Menunjukkan sikap, ramah, murah senyum, empati dan bertegur sapa dengan siapapun tanpa memandang status sosial orang desa.
•
Bersilaturahmi atau saling kunjung dengan tokoh-tokoh masyarakat, berusaha mencapai titik temu dan bersinergi dalam membangun desa. Fasilitator sebagai komunikator atau orang yang memberikan pesan dan
gagasan dalam suatu proses komunikasi serta perubahan sosial itu memang tak mudah. Hal itu disebabkan oleh salah satu faktor kredibilitas, yaitu karakter yang melekat pada diri fasilitator di mata anggota komunitas. Kredibilitas menurut Aristoteles diacu dalam Hamidi (2007) bisa diperoleh jika seorang komunikator memiliki ethos, pathos dan logos. Ethos adalah kekuatan yang dimiliki komunikator dari karakter pribadinya, sehingga ucapan-ucapannya dapat dipercaya. Phatos ialah kekuatan yang dimiliki seorang pembicara dalam mengendalikan emosi pendengarnya, sedangkan logos ialah kekuatan yang dimiliki komunikator melalui argumentasinya. Penelitian tentang
kredibilitas berusaha mencari tahu bagaimana
modifikasi pada karakteristik-karakteristik sumber (komunikator) mempengaruhi keinginan orang untuk mengubah sikapnya terhadap isu-isu tertentu (Hovland et.al 1953). Dalam konteks penelitian ini. kredibilitas berusaha untuk menggali harapan partisipan sesuai budaya dan nilai lokal dimana kegiatan PNPM MPd
86
dilaksanakan. Harapannya adalah pelaku PNPM MPd dapat menyesuaikan sehingga peran fasilitator dapat menjadi optimal. Lalu bagaimana penilaian partisipan tentang kredibilitas fasilitator di lapangan? Sebagaimana diungkapkan pada pembahasan sebelumnya partisipan jarang bertemu dengan fasilitator, karena fasilitator hadir hanya ketika proyek berjalan sehingga sulit bagi partisipan memberikan tanggapan atau penilaian. Hanya pada aspek kompetensi yang terungkapkan oleh partisipan. Secara umum mereka memberikan apresiasi yang positif kepada fasilitator. Kedua fasilitator adalah Sarjana Teknik Sipil yang memiliki keahlian untuk melakukan pekerjaan teknis. Hasil kerja fisik seperti pembangunan infrastruktur sebagaimana terlihat di lokasi program sangat memuaskan warga dan terjamin kualitasnya. Sementara pada aspek karakter, karismatik dan kemampuan adaptasi belum terungkap secara gamblang karena penilaian pada aspek ini membutuhkan waktu yang cukup bagi partisipan, sementara fasilitator sendiri jarang menetap bersama partisipan di desa. Situasi seperti ini tentunya akan berdampak pada aktivitas komunikasi yang cenderung kurang optimal antara fasilitator dengan partisipan di lokasi kegiatan. Kredibilitas Fasilitator : Perspektif Pelaku PNPM MPd
Setelah mendapatkan informasi tentang makna kredibilitas fasilitator yang didapatkan di lapangan menurut perspektif anggota komunitas
penerima
program, sebagai pembanding selanjutnya peneliti menjumpai Konsultan Manajemen (KM) PNPM MPd Provinsi Jambi. Beliau menjelaskan bahwa selain syarat-syarat administrasi, program juga sangat mempertimbangkan kondisi sosial budaya atau adat setempat dalam proses rekruitmen dan penempatan fasilitator di lapangan, seperti pemahaman bahasa lokal, karakter masyarakat dan kebiasaan serta norma yang berlaku di desa lokasi kegiatan. Dalam kesempatan tersebut peneliti juga mempertanyakan pendapat KM Prov PNPM MPd Jambi terhadap aktivitas fasilitator dalam melaksanakan kerjakerja di lapangan, bagaimana jika dibandingkan dengan fasilitator periode sebelumnya (masih dengan nama PPK).
Secara umum beliau menjelaskan
bahwa aktivitas fasilitator berjalan baik, terutama di Kabupaten Batang Hari, karena program mendapatkan dukungan yang cukup baik dari Pemerintah Kabupaten. Evaluasi PEMDA setempat juga menyebutkan bahwa PNPM MPd di daerah tersebut dianggap berhasil dan mampu meningkatkan kualitas serta efisiensi pembangunan terutama dalam hal pembangunan sarana dan prasarana
87
infrastruktur. Oleh karenanya saat ini Kabupaten Batang Hari telah mengadopsi dan mengintegrasikan program regular lainnya bersamaan dengan PNPM MPd. Walaupun demikian juga diakui oleh KM Prov PNPM MPd Jambi bahwa kredibilitas fasilitator saat ini, menurun kualitasnya di bandingkan dengan program sebelumnya (PPK). Hal ini disebabkan oleh syarat rekruitment yang lebih rendah jika dibandingkan dengan program PPK sebelumnya. Persyaratan rekruitmen fasilitator pada tahun 2009 antara lain : bagi fasilitator pemberdayaan adalah Sarjana (S.1) untuk semua jurusan dengan pengalaman minimal tiga tahun (akan tetapi dalam prakteknya fresh graduate juga diterima karena program membutuhkan fasilitator dalam jumlah besar seiring perluasan cakupan lokasi kegiatan), dapat bekerja dalam pressure tinggi serta menguasai software minimal Microsoft Office, Foto copy KTP dan NPWP, Foto copy ijazah dan transkip nilai, foto copy referensi dan foto diri ukuran 4x6. Sedangkan syarat untuk melamar menjadi fasilitator teknik (FT) adalah Sarjana Teknik Sipil dengan pengalaman maupun fresh graduate atau Diploma 3 Teknik Sipil dengan pengalaman lima tahun. Selanjutnya, hasil wawancara dengan KMProv PNPM MPd Jambi dan FasKab Batang Hari tentang syarat rekruitment fasilitator, menghasilkan catatan penting sebagai berikut: 1. Syarat rekruitment calon fasilitator pada saat PPK (Tahun 2003-2007) mensyaratkan
pendidikan
sarjana
yang
berpengalaman
di
bidang
pemberdayaan minimal tiga tahun sementara pada program PNPM MPd (sekarang)
diturunkan menjadi 0 tahun karena cakupan lokasi yang
bertambah luas (dulu hanya tiga Kabupaten dengan 12 kecamatan sekarang sembilan kabupaten disemua kecamatan) sementara sumber daya terbatas. 2. Pada saat PPK
ada pelatihan pra tugas bagi calon fasilitator sebelum
diturunkan ke lapangan selama 21 hari. Pada PNPM MPd pelatihan hanya diberikan selama lima hari saja sehingga praktis pelatihan hanya diberikan materi teknis saja. Aspek perubahan sikap (kognitif, afeksi dan psikomotorik) sebagai tujuan pelatihan juga nyaris tidak tercapai. Sehingga keterampilan sosial peserta (calon fasilitator) untuk dapat bekerja efektif di lapangan menjadi kurang memadai. Dua point tersebut sebenarnya menjadi dilematis bagi KM Prov, di sisi lain kita di tuntut untuk memaksimalkan kerja di lapangan tetapi tidak didukung oleh proses yang memadai. Hal ini menurutnya karena PTO yang mengatur
88
demikian dan lokasi yang begitu luas sehingga kita sulit juga untuk mensiasatinya. Beliau juga menambahkan bahwa secara nasional pada Tahun 2003-2006 lokasi PNPM MPd hanya 1400 kecamatan tetapi sekarang (2009) sudah menjadi 5000 kecamatan, jadi memang dapat dibayangkan bahwa sepertinya program ini lebih berorientasi kepada kuantitas saja dan mengabaikan kualitas. Hal serupa juga diungkapkan oleh FasKab Batang Hari. Menurutnya rekruitmen fasilitator tanpa mempertimbangkan pengalaman dan juga pelatihan pra tugas yang kurang memadai menjadikan fasilitator kurang terampil bekerja di lapangan. Catatan lain tentang kredibilitas ini juga terungkap dari PJOKab Batang Hari. Menurutnya dahulu rutin dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap aktivitas PPK kepada semua pelaku terutama fasilitator. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh aparat dari Dirjen PMD Depdagri dan Bank dunia sebagai penyandang dana untuk mengontrol agar kegiatan berjalan semestinya. Bahkan ketika ditemukan fakta di lapangan ada pelaku termasuk fasilitator yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan aturan, maka akan diberikan sanksi seketika, sehingga hampir semua pelaku di semua tingkatan akan serius menjalankan amanah program. Sejak menjadi PNPM MPd hal ini tidak pernah lagi dilakukan. Menurutnya perluasan cakupan lokasi yang begitu besar sehingga kontrol dari program menjadi kurang efektif.
Ikhtisar Dari uraian di atas peneliti dapat merangkum makna kredibilitas fasilitator perspektif masyarakat penerima program, yaitu : (1) Kompetensi; (2) Berkarakter; (3) Karismatik; dan (4) Adaftif. Sementara itu dari perspektif pelaku PNPM MPd dapat
disimpulkan
bahwa
kredibilitas
fasilitator
menjadi
menurun
jika
dibandingkan pada program PPK. Hal ini disebabkan oleh (1) semakin longgarnya syarat rekruitment calon fasilitator PNPM MPd jika dibandingkan dengan PPK. PPK mensyaratkan fasilitator berpendidikan sarjana yang berpengalaman di bidang pemberdayaan minimal tiga tahun sementara pada program PNPM MPd diturunkan menjadi 0 tahun; dan (2) PPK memberikan pelatihan pra tugas yang relatif cukup bagi calon fasilitator sebelum diturunkan ke lapangan yaitu selama 21 hari, sedangkan pada PNPM MPd hanya memberi pelatihan selama lima hari saja sehingga praktis pelatihan hanya mampu memberikan
materi
teknis.
Aspek
perubahan
sikap
(kognisi,
89
afeksi
dan
psikomotorik)
sebagai
bekal
untuk
melakukan
kerja-kerja
pemberdayaan dan tujuan pelatihan nyaris tidak tercapai. Kredibilitas yang cenderung menurun ini dikhawatirkan akan berdampak pada tidak efektifnya peran fasilitator dalam menjalankan dan mengawal proses komunikasi dapat berlangsung secara partisipatif.
90
ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM IMPLEMENTASI PNPM MANDIRI PERDESAAN Peran fasilitator dan kredibilitas yang melekat dalam dirinya akan mempengaruhi bagaimana proses komunikasi berlangsung antara fasilitator dengan dan sesama partisipan di lokasi kegiatan PNPM MPd. Pada pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan bahwa peran fasilitator kurang tampak pada
kegiatan yang bervisi pemberdayaan. Kredibilitas fasilitator juga cenderung menurun jika dibandingkan dengan kegiatan pendahulunya (PPK). Bagaimana dengan proses komunikasinya ? Apakah berlangsung secara partisipatif ? Untuk melihat proses-proses komunikasi dalam implementasi PNPM MPd, peneliti mengikuti dan melakukan pengamatan secara langsung berbagai event komunikasi, yaitu musyawarah atau rapat ketika program berjalan. Selama penelitian berlangsung ada dua kali rapat atau musyawarah yang peneliti ikuti yaitu rapat di tingkat Desa Teluk dengan agenda musyawarah pengumpulan dana swadaya masyarakat yang akan disumbangkan dalam kegiatan PNPM MPd tahun 2009 dan Musyawarah Antar Desa (MAD) III di tingkat Kecamatan Pemayung dengan agenda penetapan usulan kegiatan PNPM MPd yang terdanai untuk tahun 2009. Sebagai pendukung dan pembanding, peneliti juga menggali informasi lain untuk melihat proses komunikasi yang berlangsung selama program berjalan melalui observasi dan wawancara mendalam kepada pelaku dan partisipan penerima program. Rapat dengan agenda pengumpulan dana swadaya masyarakat dilaksanakan di Kantor Kepala Desa Teluk pada Hari Jum’at, 3 April 2009 jam 14.30– 16.30 WIB. Peserta rapat terdiri dari fasilitator yaitu Bapak Efendi, ST, salah seorang pengurus UPK Kecamatan Pemayung yaitu Bapak Mahmud, Kepala desa dan aparat Desa Teluk, Anggota BPD, Ketua LPM, Tokoh Masyarakat (antara lain tokoh adat, tokoh agama dan guru), Ibu-ibu Kelompok SPP dan warga desa terutama bagi mereka yang rumahnya akan dilewati pembangunan jalan rabat beton (program PNPM MPd tahun 2009 di Desa Teluk) Menurut pengurus TPK, sedianya rapat akan dimulai jam 13.30 WIB sebagaimana undangan yang telah disampaikan kepada warga, akan tetapi dikarenakan hujan, maka rapat tertunda dan baru dapat dimulai pada jam 14.30 WIB. Sempat terjadi kekhawatiran (sebagaimana yang terdengar oleh peneliti dalam perbincangan antara aparat desa) jika hujan tak kunjung reda, maka besar kemungkinan rapat ditunda dengan pertimbangan rapat mesti bisa menghadirkan
91
orang banyak (terutama yang berkepentingan dengan program) karena rapat memiliki agenda yang sangat penting yaitu pengumpulan sumbangan dari masyarakat. Alhamdulillah hujan reda, satu persatu wargapun mulai mendatangi Kantor Kepala Desa Teluk. Beberapa tokoh masyarakat dan warga saling mengobrol di depan teras sebelum acara dimulai. Tepat jam 14. 15 fasilitator bersama pengurus UPK Kecamatan Pemayung datang dan acarapun segera dimulai. Dalam rapat tersebut dapat dijelaskan bahwa posisi tempat duduk peserta rapat adalah sebagai berikut : 1. Ruang utama bagian depan terdiri dari : aparat desa (Kepala desa dan Sekretaris desa,), fasilitator, pengurus UPK Kecamatan Pemayung dan beberapa tokoh masyarakat. 2. Ruang utama bagian tengah dan belakang terdiri warga masyarakat, sebagian tokoh masyarakat (ada tokoh agama, Ketua LPM dan Kepala SD) 3. Ruang samping : Kelompok Ibu-Ibu (sengaja dipersiapkan terpisah dari kelompok laki-laki) 4. Bagian teras disi oleh warga masyarakat (terutama yang hadir menyusul) Secara detail posisi tempat duduk peserta rapat tersebut, dapat dilihat pada Gambar 10.
Diisi Oleh Kades, Pengurus UPK dan Tokoh Masyarakat
Ruang Utama
Disi Oleh Kelompok Perempuan Disi oleh Fasilitator dan kelompok Laki‐laki
Disi oleh kelompok Laki‐laki dan Tokoh Masyarakat
Gambar 10. Posisi Tempat Duduk Peserta Rapat
Ruang Samping
Pintu Teras Diisi oleh kelompok Laki‐laki
Dinding
92
Gambar 9 di atas menunjukkan bahwa tempat duduk kelompok perempuan
dipersiapkan
secara
terpisah
dengan
posisi
yang
tidak
memungkinkan mereka bisa berpartisipasi dalam rapat. Kelompok perempuan juga tidak diberi ruang untuk berbicara dan terbukti tidak satupun dari mereka ikut menyumbangkan pikiran selama rapat berlangsung, bahkan ditengah perjalanan rapat mereka
meninggalkan ruangan (pulang ke rumah masing-
masing) tanpa mengikuti rapat hingga tuntas sehingga rapat berlanjut tanpa melibatkan kelompok perempuan. Gambar 11. Pemisahan Tempat Duduk Peserta Rapat antara Kelompok Laki-laki dan Kelompok Perempuan
Setelah melakukan konfirmasi kepada salah seorang tokoh masyarakat, kondisi di atas ternyata merupakan cermin dan ciri
budaya masyarakat
setempat. Dalam berbagai event yang lain, baik pada acara adat maupun acara sosial kemasyarakatan, seperti pada acara pesta perkawinan, yasinan dan rapatrapat di desa, umumnya mereka selalu membuat hijab atau pembatas antara kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan. Menurut penuturan tokoh masyarakat tersebut, hal ini dikarenakan masih kuatnya nilai-nilai religi (Islam) yang dianut oleh masyarakat Desa Teluk yang harus memisahkan ruang antara kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan. Fakta budaya seperti ini, sesunguhnya bukan menjadi penghalang bagi terciptanya ruang berbicara bagi kelompok perempuan.
Fasilitator bisa
mensiasati dengan lebih aktif dan responsif menciptakan suasana forum yang lebih terbuka dimana semua kelompok, baik laki-laki maupun perempuan bisa berpartisipasi mengeluarkan pendapat. Misalnya dengan berjalan, menyapa, memancing pertanyaan dan sebagainya. Pengalaman fasilitator pada program
93
PPK terdahulu membuktikan bahwa dia bisa mensiasati kondisi forum seperti itu. Sebagaimana dituturkan oleh tokoh masyarakat tersebut : “Dahulu posisi tempat duduk dalam rapat-rapat PPK juga seperti ini, tetapi fasilitatornya aktif dan selalu rajin berjalan dan menyapa, terkadang juga diselingi pertanyaan kepada yang hadir, sehingga ibuibupun tidak segan untuk memberikan usulan dalam rapat. (Kt) Sementara itu, pada kelompok warga masyarakat yang duduk di teras, karena dibatasi oleh dinding pemisah, perhatian warga cenderung tidak fokus dan terkesan asik
dengan obrolan masing-masing, baru ketika acara
pengumpulan dana berlangsung mereka ikut ambil bagian (berpartisipasi). Mereka yang duduk di teras adalah warga masyarakat yang hadir belakangan. Acara rapat di buka oleh
MC yaitu Bapak Mahmud. Beliau adalah
pengurus UPK Kecamatan (bendahara) yang berasal dari Desa Teluk. Kemudian secara berurutan acara dilanjutkan dengan kata sambutan dari kepala desa, pengarahan dari fasilitator, rapat warga desa yang dibuka oleh Ketua TPK (Bapak Kamal) untuk kemudian diserahkan kepada Bapak Jafar (Kepala SD) sebagai pemandu pengumpulan dana swadaya dan ditutup dengan pembacaan do’a oleh ustadz Hajar (Da’i Desa Teluk). Peserta yang terlihat dominan berbicara dalam forum tersebut adalah Bapak Jafar (Kepala SD), Bapak Ibrahim (Ketua LPM), fasilitator dan aparat desa. Setelah dibuka oleh MC acara dilanjutkan dengan Kata Sambutan dari Kepala Desa. Dalam sambutannya, pak Kades sembari meminta pendapat dan penguatan dari FK menekankan pentingnya swadaya masyarakat ini dan oleh karenanya berharap betul warga desa dapat dengan ikhlas ikut menyumbangkan dana atau bentuk sumbangan yang lain untuk keperluan pembangunan jalan rabat beton ini. Berikut ini isi kata sambutan Bapak Kepala Desa tersebut : “Disini saya akan memberitahukan tujuan kita berkumpul hari ini yaitu kita bersama-sama akan mendengarkan apa-apa yang akan disampaikan atau pengarahan dari FK tentang pembangunan jalan desa atau jalan rabat beton, dan juga dalam rangka pembangunan tersebut sekarang ada aturannya yaitu kita harus mempersiapkan swadaya atau dana minimal 5% untuk swadaya. Swadaya tersebut bisa kita berikan tidak hanya dalam bentuk uang cash saja, bisa berbentuk material seperti pasir, kerikil, semen dan sebagainya. Itu yang harus kita persiapkan bersama. Kalau dulu tidak ada, tetapi sekarang sudah ada. Untuk lebih jelasnya atau lebih lanjut marilah kita sama-sama rembukkan atau kita musyawarahkan untuk keperluan pembangunan jalan tersebut. Karena tanpa swadaya kemungkinan kita tidak bisa melanjutkan pembangunan ini., benar begitu pak FK ya.
94
Setelah selesai kata sambutan dari Kades, acara kemudian dilanjutkan dengan pengarahan dari fasilitator. Seirama dengan Kepala desa, dalam pengarahannya fasilitaor
juga menguatkan penekanan pentingnya swadaya
dalam rangka pembangunan jalan rabat beton untuk PNPM MPd Tahun 2009 ini. Bahkan sempat terlontar ucapan dari fasilitator jikalau tidak ada swadaya dari masyarakat, maka usulan yang telah disepakati bisa di tolak oleh program sebagaimana terungkap dalam salah satu petikan isi pengarahan fasilitator berikut ini : “Seperti yang telah disampaikan oleh Bapak Kepala Desa tadi tujuan dari rapat kita hari ini adalah untuk menghimpun dana swadaya kita, memang disini perlu saya sampaikan bahwa di program-program kita, mulai dari PPK dahulu , PNPM dan P2SPP yang kita laksanakan saat ini segala sesuatu yang dilaksanakan di desa sedikit banyaknya harus ada dana swadaya masyarakat. Memang kalau tidak ada swadaya dari masyarakat nanti akan ada cros cek dan pengajuan yang kita lakukan di kabupaten bisa di tolak oleh program”. Berikutnya, fasilitator juga menyampaikan tujuan dari swadaya ini adalah agar masyarakat bisa terlibat langsung dalam pembangunan dan memupuk rasa memiliki terhadap jalan yang akan di bangun atau dilaksanakan nantinya. Dengan menjadikan pembangunan sebagai milik bersama maka diharapkan semua warga desa dapat bersama-sama menjaga dan melestarikan apa yang telah
dibangun
tersebut.
Dalam
pengarahan
tersebut
fasilitator
juga
menyampaikan bahwa mulai tahun ini besaran swadaya yang harus dipersiapkan adalah minimal lima persen dari total dana yang akan dikucurkan dan bisa diberikan tidak hanya berbentuk uang cash, tetapi juga bisa dalam bentuk lain yang jika dikonversikan dengan uang tidak kurang dari lima persen. Swadaya tersebut harus sudah ada, tersedia atau direalisasikan sebelum pencairan dana seperti terungkap dalam statement fasilitator berikut : “Bapak-bapak, Dana swadaya itu minimal harus kita persiapkan lima persen dari total dana kegiatan yang akan kita terima. Seumpamanya dananya 200 juta, berarti lima persennya yaitu 10 juta. Swadaya itu dapat diberikan berupa, pertama adalah material (misalnya pasir, kerikil, dsb), kedua adalah tenaga kerja dengan cara bergotong royong yang akan dihitung berdasarkan hari orang kerja (HOK), misalnya ada 30 orang yang bergotong royong, kalaulah ongkos tenaga kerjanya Rp.50.000 sehari maka itu bisa dihitung menjadi Rp. 1.500.000, ketiga, bisa berupa peminjaman alat pekerjaan (misalnya ada warga yang punya molen, mesin air, gerobak), tidak usah kita sewa, nanti kita hitung semua nilainya, keempat bisa juga sumbangan dalam bentuk uang cash. Itu juga bisa dikategorikan swadaya. Swadaya tersebut telah dikumpulkan sebelum pencairan dana. Kalau seumpamanya besok pagi mau pencairan dana, hari ini sudah di cek, baru kemudian direalisasikan.
95
Misalnya swadayanya pasir, barangnya sudah ada di pinggir jalan baru dana dari kecamatan bisa dicairkan” Lebih lanjut fasilitator dalam pengarahannya juga mengharapkan keterlibatan masyarakat termasuk kelompok perempuan atau Ibu-ibu sebagai tenaga kerja dalam kegiatan pembangunan jalan rabat beton tersebut sebagaimana diungkapan oleh fasilitator berikut ini : “Dalam pekerjaan ini kalau bisa seluruhnya yang mengerajakan warga disni saja, jangan sampai orang luar, supaya uang hanya beredar di desa teluk ini saja. Ini yang kita harapkan dari program. Kalau bisa hanya untuk beli semen saja yang kita keluar. kalau ada pasir atau batu yang ada disini kita jual ke PNPM, nanti jual perkelompok, kita jual sesuai harga pasaran. Kalau tahun kemaren kita bangun jalan di sematang danau, memang agak berat makanya banyak yang tidak bisa terlibat termasuk ibu-ibu tidak bisa ikut kerja. Kalau sekarang kan tidak terlalu rumit. Jadi ibu-ibu bisa ikut bekerja” Setelah selesai pengarahan dari fasilitator, acara dilanjutkan dengan rapat menyepakati swadaya masyarakat yang dipimpin oleh Ketua TPK (Bapak Kamal), tapi sebelum rapat dimulai MC memberikan pengumuman kepada kelompok ibu-ibu tentang telah disahkannya kelompok SPP dari Desa Teluk yang pencairan
dananya akan diserentakkan
dengan
pencairan dana untuk
pembangunan jalan rabat beton. Ketua TPK setelah memberi salam dan penghormatan kepada Kades dan tokoh-tokoh masyarakat kembali mengajak kepada yang hadir dalam rapat tersebut untuk menyumbangkan dana maupun dalam bentuk yang lain untuk kepentingan pembangunan jalan rabat beton. Berikut ini adalah isi ajakan dan harapan ketua TPK tersebut : Saya mengharapkan untuk musyawarah hari ini, yang hadir disini maupun yang tidak hadir, yang sangat berkepentingan melewati rumahnya (akan dilewati jalan ini), kami minta dibebankan sedikit, diberatkan sedikit untuk swadaya ini tapi tidak memberatkan beban yang lain atau sedikit banyak memberi sumbangan untuk kebutuhan swadaya ini tetapi tidak memberatkan beban yang lain. Sempat terjadi jeda, dimana peserta rapat saling berbisik, rembuk, tukar fikiran sesaat setelah rapat dibuka oleh ketua TPK. Di tengah jeda tersebut, salah
seorang
tokoh
masyarakat,
yaitu
pak
Ibrahim
(ketua
LPM)
mempertanyakan dana swadaya yang mesti diharuskan dengan angka minimal lima persen. Berikut ini adalah isi pertanyaan Ketua TPK tersebut : “Saya mau tanya sedikit, saya tertarik dengan bahasa semampunya, kalau batas semampunya, ketika target swadaya kita tidak cukup lima persen atau 10 juta apakah barang (program, red) ini bisa batal. Kalau bahasanya semampunya berarti kan tidak harus atau tidak mesti menyumbang cukup 10 juta”
96
Setelah pertanyaan diajukan oleh ketua TPK sempat terjadi perdebatan antara pak Ibrahim dengan Ketua TPK dan pak Kades sebagai berikut : TPK
: “Kalau kita maksimal gotong royong sebanyak 5 hari dengan 30 orang, kita juga punya mesin air dan material lain. rasa-rasanya cukup lah itu, jadi kalau target itu terpenuhi rasa-rasanya sampai, saya rasa cukup dana itu.
Ibrahim
: “Sebentar pak, harapan saya jangan rasa-rasa, harus ada kepastian dari program, apakah swadaya ini sifatnya berdasarkan kemampuan atau memakai dana minimal lima persen itu
Kades
: “Baiklah saya jelaskan sedikit, Kalau swadaya (sumbangan) kita banyak, berarti tingkat keswadayaannya kita kan banyak, insyaAllah dana yang akan dikucurkan kepada kita juga akan banyak. Oleh sebab itu saya mohon kalau bisa kita maksimalkan dana ini. Akan tetapi untuk lebih jelasnya saya minta Bapak FK (fasilitator) mungkin bisa menjelaskan
Fasilitator
: “Kita dari program, persyaratan untuk PNPM ini. Kalau dulu kan memang tidak ada penekanan, yang penting ada swadaya dari masyarakat, sekarang memang sudah aturannya begitu. Maksud yang semampunya adalah tenaga kerja, misalnya ada yang tidak mampu bekerja 1 hari penuh mungkin bisa setengah hari saja, yang penting akumulasi swadayanya tetap dengan angka minimal tetap lima persen.
Ibrahim
Fasilitator
: “O, begitu, artinya angka lima persen itu sudah final dan mengikat, Tenaga kerjanya semampunya dan dananya tetap lima persen tidak berdasarkan kemampuan swadaya kita. : Ya pak
Dengan penjelasan dari fasilitator, akhirnya ketua TPK meminta persetujuan dari bapak-bapak peserta, dan secara serentak mereka menyatakan setuju. Setelah
jeda sejenak dan masing-masing peserta rapat
sibuk
mengobrol. MC (pak Mahmud) mengingatkan kepada Ketua TPK untuk melanjutkan acara. “Supaya acara kita ini agak terfokus saya berharap ketua TPK (ketua, sekretaris dan bendahara) harap berdekatan supaya nanti apa yang disampaikan oleh masyarakat di forum ini nanti bisa di catat, dan ada yang menanggapi. apapun hasilnya nanti ada berita acara, jadi kita tahu tugas dan fungsi di kita di TPK ini. Selanjutnya kepada ketua TPK agar bisa melanjutkan acara ini”
97
Ketua TPK selanjutnya melanjutkan rapat dengan meminta Bapak Jafar untuk menjadi pemandu pengumpulan dana swadaya tersebut. Tetapi sebelum pengumpulan dana swadaya dimulai pak Ibrahim kembali mengajukan interupsi. Ibrahim : “Interupsi bapak-bapak dan FK, nampaknya Ibu-ibu di dalam itu sudah gelisah, jadi kalau bisa kita sampaikan maksud dan tujuan kita mengundang mereka, setelah itu kalau tidak ada lagi bolehlah mereka dipersilahkan pulang. : Sudah, guna dia di undang, tadi sudah disampaikan pengumuman tentang SPP, setelah itu kalau mereka mau ikut kerja nanti boleh, sekarang kalau mau pulang, silahkan
Kades
Akhirnya kelompok Ibu-ibupun meninggalkan tempat rapat untuk selanjutnya rapat dilanjutkan tanpa melibatkan kelompok perempuan. Mereka pulang dikarenakan adanya kesibukan di rumah masing-masing karena hari memang sudah beranjak sore. Setelah dikonfirmasi kepada warga yang hadir, umumnya mereka pulang karena menyiapkan kebutuhan di rumah tangganya masing-masing, seperti memasak, mengurus anak dan keperluan rumah tangga yang lain. Dari pengamatan, pada saat rapat berlangsung yang dipandu oleh pak Jafar antusias warga untuk menyumbang sangat tinggi. Hampir semua orang terutama yang terlibat atau akan menerima manfaat langsung dari pembangunan jalan memberikan sumbangan secara spontan. Secara umum dapat disimpulkan rapat berlangsung dengan baik dan efektif dan berhasil mengumpulkan sumbangan peralatan kerja dan material dari warga masyarakat antara lain : lori, drum, selang air, cangkul, papan, pasir, kerikil, minyak solar, semen dan lain-lain. Beberapa warga juga menyumbang uang cash yang jumlahnya juga variatif, ada yang menyumbang 100 ribu, 50 ribu dan 200 ribu rupiah. Kepiawaian pak Jafar sebagai pemandu yang cukup santai, akrab tetapi tetap fokus pada tujuan sehingga rapat berlangsung cepat dan tidak bertele-tele. Para donator yang bersedia menyumbang baik dalam bentuk uang, material maupun peralatan kerja di catat oleh pengurus TPK dan minta untuk dapat mengumpulkan secepatnya kepada pengurus TPK. Rapat akhirnya berakhir dengan
kesepakatan
warga
akan
memberikan
sumbangan,
akumulasi
sumbangan (uang, material, peralatan kerja) sedang dihitung oleh pengurus TPK, dan tetap menerima sumbangan dari warga setelah berakhirnya rapat atau pada hari-hari berikutnya. Rapat akan dilanjutkan, pada waktu yang akan ditentukan kemudian untuk menentukan jadwal pekerjaan (pra pelaksanaan) pembangunan Jalan
98
Rabat Beton. Akhirnya pada pukul 16.30 WIB rapat ditutup dengan pembacaan do’a oleh da’i Desa Teluk yaitu Ustadz Hajar. Akses yang Tak Sama Analisis peluang dan kekuasaan bagi RTM dalam berpartisipasi dapat dijelaskan bahwa keluarga miskin tidak memiliki peluang dan kekuasaan. Hal ini ditandai dengan RTM yang tidak menerima undangan secara khusus untuk kegiatan PNPM MPd. Dalam musyawarah desa, keluarga miskin yang kebetulan hadir mereka hanya sebagai peserta dan bukan terlibat dalam usul atau berpendapat. Peluang keluarga miskin dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena kegiatan ini selalu didominasi oleh elit desa. Hal ini dipengaruhi adanya struktur sosial dalam masyarakat yang tidak memberikan ruang dalam pengambilan keputusan. Kelompok elit desa memimpin dan menentukan kegiatan-kegiatan desa. Dengan demikian RTM
belum memiliki kekuasaan
dalam pengambilan keputusan musyawarah dalam PNPM MPd dan hanya dimiliki oleh elit desa dan pelaku PNPM MPd. Tentang peluang RTM untuk selalu dilibatkan pada setiap aktivitas program, peneliti berkesempatan menelusurinya melalui Konsultan Manajemen (KM) PNPM MPd Provinsi Jambi. Berikut adalah petikan wawancara peneliti (P) kepada KM Provi Jambi (K). P
: Apakah ada mekanisme untuk memastikan bahwa RTM betul-betul dilibatkan dalam
K
: Agak sulit untuk mengontrol apakah RTM benar-benar dipastikan diundang dalam
setiap aktivitas program ?
P
:
K
:
setiap aktivitas PNPM. Kita hanya menyarankan kepada pelaku-pelaku di tingkat lokal untuk memprioritaskan RTM dan mengundangnya dalam rapat. Bahwa faktanya banyak warga miskin yang belum terlibat itu harus diakui karena keterbatasan-keterbatasan disamping persoalan pada diri RTM sendiri yang agak sulit untuk mau terlibat dalam kegiatan tersebut. Bapak bisa menjelaska, bagaimana proses pengambilan keputusan dalam musyawarah dalam PNPM MPd ?. Kecendrungannya memang untuk mengambil keputusan kita memakai sistem suara terbanyak. Artinya ketika dalam rapat tersebut yang hadir adalah elit desa dan bukan RTM, maka bisa dipastikan bahwa hasil yang diputuskan dalam rapat tersebut menguntungkan elit. Misalnya dalam hal kompetisi antar desa (MAD Prioritas) untuk mendapatkan program ke desa, kecendrungan program yang dibawa adalah bangunan fisik dan jarang sekali program pemberdayaan misalnya pelatihan ketermpilan di usung oleh utusan masing-masing desa.
99
Habermas dengan konsep ruang publik memandang pentingnya aspek akses bagi semua warga negara dalam pembangunan. Baginya ruang publik adalah wahana di mana setiap kepentingan terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat sejatinya memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi, kemudian mereka terdorong untuk mendahulukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan maasalah-masalah yang mereka hadapi. Ruang publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta “Situasi Berbicara yang Ideal”. Situasi yang ideal ini, adalah keadaan di mana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Dalam situasi ideal ini, kebenaran tidak menjadi objek dari kepentingan tersembunyi dan permainan, melainkan muncul lewat argumentasi. Dalam konteks musyawarah dalam PNPM MPd di lapangan juga terlihat bahwa kepentingan RTM selalu kalah ketika konsensus dilakukan karena selalu mengedepankan pendekatan politis sehingga kepentingan kaum marginal selalu terpinggirkan. Proses pengambilan keputusan selalu memakai sistem suara terbanyak. Artinya ketika dalam rapat tersebut yang hadir adalah elit desa dan bukan RTM atau kelompok marginal, maka bisa dipastikan bahwa hasil yang diputuskan dalam rapat tersebut menguntungkan elit. Misalnya dalam hal kompetisi antar desa (MAD Prioritas) untuk mendapatkan program ke desa, kecendrungan program yang dibawa adalah bangunan fisik dan jarang sekali program pemberdayaan misalnya pelatihan ketermpilan untuk RTM di usung oleh utusan masing-masing desa. Ruang publik ini merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat. Kekuasaan, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam ruang publik. Sementara masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa. Pada ruang publik inilah, individu-individu serta berbagai kelompok masyarakat berusaha meperjuangkan hak-hak
yang
menyangkut eksistensi dan aspirasi hidupnya.. dalam rangka perjuangan itu terjadi tawar menawar, kompromi, dan konsensus. Atau dengan kata lain tindakan komunikatif akan terjadi apabila terbebas dari segala bentuk dominasi dan dilakukan antara pihak-pihak yang setara. Salah satu faktor penyebab mengapa RTM tidak menikmati akses yang setara adalah karena pendidikan yang rendah, sikap pasrah, rendah diri dan
100
kurangnya pengalaman keluarga miskin dalam kegiatan rapat. Dalam kegiatan rapat desa misalnya, RTM lebih banyak duduk, diam dan mendengarkan saja. Peluang dan kekuasaan RTM dalam pemanfaatan bantuan PNPM MPd hanya sebagai tenaga upahan. RTM tidak memiliki kekuasaan untuk menikmati bantuan PNPM MPd, karena bantuan pinjaman modal seperti SPP misalnya belum menyentuh RTM dan hanya dapat dinikmati oleh keluarga mapan. Penelitian juga menemukan
fakta
bahwa
meskipun
PNPM
MPd
mempunyai
prinsip
keberpihakan kepada keluarga miskin (seperti tertuang dalam PTO), tetapi dalam pelaksanaannya tidak secara tegas melibatkan keluarga miskin dalam kegiatan proyek. Heteroglasia yang Terabaikan Musyawarah yang sempat peneliti ikuti di lokasi kegiatan PNPM MPd, menunjukkan adanya dominasi
kelompok elit desa, hampir tidak ada suara
muncul dari RTM. Dalam kesempatan yang lain ketika peneliti melakukan observasi
dan
mempertanyakan
kepada
beberapa
RTM,
mereka
juga
menyatakan tidak pernah di undang atau dilibatkan dalam rapat, baik dalam musyawarah untuk pengumpulan dana swadaya untuk PNPM MPd maupun musyawarah-musyawarah sebelumnya. RTM tidak dilibatkan sebagaimana yang dijanjikan oleh program (tertuang dalam PTO) padahal dalam proses pemberdayaan partisipasi semua komponen anggota komunitas terutama RTM menjadi sangat penting. Berikut adalah ungkapan salah seorang RTM di Desa Teluk : “Kami merasa sebagai orang yang tidak mampu (miskin), selama ini program pemerintah yang kami terima hanyalah bantuan beras miskin (Raskin) dan bantuan uang 300 ribu/3 bulan (BLT) saja. Tidak ada yang lain. Untuk PNPM ini kami tidak pernah menerima undangan atau dilibatkan dalam pekerjaan pembangunan” (Ys) Secara terbuka mereka juga menyampaikan uneg-uneg bahwa untuk rapat-rapat penyiapan program-program pemerintah yang lain hanya dilakukan oleh aparat desa dan orang-orang tertentu saja. Ada persepsi bahwa RTM dianggap tidak mampu mengeluarkan ide atau gagasan untuk pembangunan di desa mereka. Sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang RTM yang lain : “Kami ini selalu dianggap tidak bisa sehingga dari dahulu tidak pernah di undang dalam rapat-rapat di desa untuk pelaksanaan program pemerintah. Yang diundang orangnya itu-itu saja, aparat desa, Imam, khatib, pegawai syara’, guru dan orang-orang yang dianggap penting di desa ini saja” (Sm)
101
Uraian proses musyawarah yang berlangsung dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa komunikasi partisipatif yang betul-betul mengakomodir keberagaman ekonomi (kaya, sedang, miskin) belum benar-benar terimplementasi secara baik sebagaimana yang dijanjikan dalam strategi yang ingin dikembangkan oleh PNPM MPd. Strategi program sebagaimana tertuang dalam PTO adalah menjadikan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran dan menguatkan sistem pembangunan yang partisipatif. Salah satu tujuan khusus dari program adalah meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya kelompok masyarakat miskin dan kelompok perempuan dalam pengambilan keputusan baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian program. Beberapa pelaku mengungkapkan bahwa ketidakhadiran RTM karena yang bersangkutan disibukkan oleh aktivitas mencari nafkah di kebun. Bagi mereka meninggalkan pekerjaan berarti akan berdampak pada terganggunya pemenuhan kebutuhan subsistennya. Alasan yang lain adalah umumnya mereka mempercayakan atau mewakilkan kepada tetangganya yang memiliki waktu luang
untuk mengikuti rapat karena merasa bahwa kehadirannya juga tidak
terlalu penting karena tidak pernah menyampaikan usulan. Oleh sebab itu menurut pelaku yang paling penting bagi RTM adalah mempersiapkannya sebagai tenaga kerja pada saat proyek berjalan. Proses perencanaan dalam kegiatan PNPM MPd adalah MAD sosialisasi hingga tahap penetapan usulan dalam MAD Prioritas usulan kegiatan. MAD sosialisasi yaitu memberikan informasi tentang PNPM MPd kepada perwakilan desa di aula kecamatan. Peserta MAD sosialisasi sudah ditentukan oleh program yaitu enam orang terdiri dari Kepala Desa, dua orang wakil dari BPD, dan tiga orang tokoh masyarakat (minimal tiga dari keenam wakil tersebut
adalah
perempuan) dari semua desa di kecamatan dan anggota masyarakat lainnya yang berminat hadir. Dalam proses ini keluarga miskin tidak termasuk sebagai peserta, karena tidak memperoleh undangan dalam MAD. Setelah MAD sosialisasi dilanjutkan dengan MUSDES sosialisasi dan penggalian gagasan pada tingkat dusun. Musyawarah desa dan Menggagas Masa Depan Desa (MMDD) di tingkat dusun mempunyai tujuan untuk mengetahui rencana kegiatan desa. MMDD adalah proses untuk menemukenali gagasan-gagasan kegiatan atau kegiatan masyarakat dalam upaya mengatasi permasalahan kemiskinan yang dihadapi dan mengembangkan potensi yang ada
102
di masyarakat. Pada tahap ini idealnya keluarga miskin dapat memberikan usulan-usulan, pendapat dan sebagainya. Menurut informasi yang diperoleh dari UPK dan fasilitator, masyarakat
Kecamatan Pemayung
berpartisipasi aktif
dalam proses ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan, pada saat berlangsungnya MAD, usulan dan pendapat muncul dari orang-orang yang sudah terbiasa terlibat dalam pertemuan atau rapat. Orang-orang tersebut adalah aparat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan guru. Mereka adalah kelompok elit desa (masyarakat lapisan atas). Hal ini juga terlihat pada saat peneliti mengikuti rapat menyepakati swadaya pada kegiatan PNPM MPd di Desa Teluk dan MAD III dengan agenda penetapan usulan di tingkat Kecamatan Pemayung. Keluarga miskin sebagai kelompok masyarakat di lapisan bawah yang jumlahnya juga sedikit karena sebagian besar tidak hadir kurang aktif dalam forum tersebut. Kondisi ini menunjukkan fakta masih kuatnya dominasi kelompok elit desa selama berlangsungnya musyawarah dalam menentukan program di desa termasuk pada kegiatan PNPM MPd. Sebagai
sebuah
program
yang
mengusung
isu
pemberdayaan
(empowerment) PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu klien” terutama masyarakat marginal/RTM memperoleh daya “kuasa” untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Oleh karenanya harus dipastikan adanya keterlibatan RTM dan kelompok marginal lain dalam setiap tahapan kegiatan PNPM MPd. Fakta tentang ketidakterlibatan RTM yang peneliti temukan
sangat
kontras dengan penuturan para pelaku PNPM MPd diberbagai tingkatan. Hampir semua pelaku PNPM MPd yang berhasil diwawancarai, baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten selalu menyatakan bahwa PNPM MPd selalu melibatkan dan mengutamakan kepentingan RTM dan ini menjadi salah satu faktor
untuk
memberikan
penilaian
keberhasilan
program
di
lapangan
sebagaimana diungkapkan pada pembahasan sebelumnya. Penjelasan ketua BKAD pada pembahasan sebelumnya juga menyatakan bahwa fakta di lapangan seringkali kelompok marginal atau RTM tidak dilibatkan
103
dalam kegiatan PNPM MPd. Beliau bahkan menyatakan bahwa penilaian tentang keberhasilan akktivitas PNPM MPd di Kecamatan Pemayung tidak seluruhnya benar dan dianggapnya sebagai keberhasilan yang semu sebagaimana yang dituturkannya berikut ini : “Saya khawatir, janganlah PNPM di Kecamatan Pemayung ini, gaungnya saja yang terdengar luar biasa di daerah lain karena dianggap berhasil sementara keropos di dalam. Saudara-saudara kita yang miskin tetap tidak berubah nasibnya, bahkan masih banyak kita menemukan fakta mereka yang tinggal di ladang/hutan, tanpa pernah tahu apa manfaat dari PNPM ini. Yang miskin tetap tinggal di hutan, tidak pernah memanfaatkan jalan yang di bangun oleh PNPM ini” (Hb). Keberhasilan PNPM MPd ternyata hanya mampu ditunjukkan oleh keberhasilan pembangunan sarana fisik saja. Pembangunan sarana fisik tersebut diakui mampu meningkatkan efisiensi anggaran hingga mencapai 40% dengan kualitas bangunan yang sangat baik terutama jika dibandingkan dengan anggaran yang sama dikerjakan oleh rekanan proyek. Program pemberdayaan yang ditujukan bagi kelompok marginal dan RTM, seperti pelatihan-pelatihan nyaris tidak pernah ada. Kalaupun misalnya pernah muncul dalam rapat ditingkat RT atau dusun dan desa kecendrungannya selalu mentah atau bahkan tidak dibawa dalam forum di kecamatan. Utusan dari masing-masing desa selalu beralasan bahwa kalau sarana fisik yang dibangun akan berguna bagi semua orang, sementara kalau pelatihan bagi RTM hanya beberapa orang saja yang bisa memanfaatkan. Sehingga kepentingan program untuk memberdayakan orang miskin selalu terabaikan. Gejala kemiskinan sesungguhnya tidak cukup hanya bisa diterangkan sebagai realitas ekonomi saja. Artinya, ia tidak sekedar gejala keterbatasan lapangan kerja dan pendapatan. Dalam aktivitasnya PNPM MPd mestinya tidak hanya menjadikan masyarakat miskin sebagai tenaga kerja fisik saja, misalnya membangun jembatan, jalan, lalu dengan pekerjaan itu mereka mendapatkan upah atau uang. Dalam perspektif pemberdayaan, selain kerja fisik tersebut, pendidikan dan pelatihan keterampilan kepada RTM juga seharusnya diberikan. Peran fasilitator dalam mendidik warga komunitas penerima program sangat penting untuk membuatnya menjadi sadar akan kondisinya dan dengan keterampilan yang diberikan mereka bisa melakukan aktivitas yang produktif untuk keluar dari kemiskinannya. Potret aktivitas kegiatan PNPM MPd di lapangan yang kurang memberi ruang bagi kelompok marginal dan RTM untuk ikut berpartisipasi memberikan penjelasan kepada kita bahwa kemiskinan
104
sebagai sebuah realitas yang telah berjalan dalam rentang ruang dan waktu yang panjang belum menjadi perhatian utama program. Jangan sampai kemudian kemiskinan menjelma menjadi realitas sistem dan tata nilai kemasyarakatan dan merupakan suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan. Kondisi di atas sejalan dengan pendapat Nasdian (2003) yang menyatakan bahwa selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program. Masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis”. Kultur kemiskinan di kalangan massa miskin ini lambat laun akan membuat lingkaran kemiskinan a built-in vicious circle, suatu lingkaran yang tak berujung yang ditumbuhkan dari dalam. Keadaan kultur miskin dan statis ini menimbulkan kesan bahwa massa miskin itu sebenarnya tidak ingin mengubah nasib mereka. Mereka memandang bahwa kemiskinan sebagai suatu atribut permanen untuk mereka sehingga mereka seringkali tidak tergerak kenapa hal tersebut mesti dipersoalkan. Lingkaran kemiskinan yang parahpun seolah-olah menjadi fenomena permanen. Sebagai masyarakat miskin, mereka tidak mempunyai ambisi lagi dan menjadi statis gerakannya. Dari perspektif kesetaraan gender dapat juga dijelaskan bahwa MKP yang dilaksanakan di tingkat desa
ternyata belum mampu mengakomodir
keinginan dan kebutuhan kaum perempuan terutama bagi mereka yang berkategori miskin. Keragaman usulan yang muncul dalam MKP, jarang sekali menjadi usulan utama dalam MAD prioritas usulan di kecamatan. Hal ini diakui oleh salah seorang pelaku PNPM MPd sebagai berikut : “Sepanjang yang kami pantau dan perhatikan selama program berlangsung MKP itu hanya simbolis saja, sementara usulannya tidak pernah terealisasi kecuali SPP karena itu sudah menjadi ketentuan dan harus disepakati “(Hb)
105
Untuk kegiatan SPP juga dapat dijelaskan bahwa yang memanfaatkan program ini hanyalah orang-orang yang mampu di desa saja, tidak pernah orangorang miskin meminjam dana SPP ini. Alasannya sangat klasik. Orang miskin dianggap tidak mampu mengembalikan pinjaman secara rutin kepada pengelola sehingga ditakutkan macet dan tidak produktif dalam pengembangan keuangan. Dalam rapat desa tentang swadaya masyarakat juga dapat dijelaskan bahwa kehadiran kelompok perempuan terkesan hanya sebagai prasyarat saja untuk terlaksananya program. Ini terbukti dengan menempatkannya pada posisi yang tidak memungkinkan mereka mengeluarkan pendapat serta forum melanjutkan rapat pada pembahasan inti tanpa keterlibatan mereka. Posisi tempat duduk yang dibuat secara terpisah antara kelompok laki-laki dan perempuan bisa dipahami sebagai realitas dan cermin budaya masyarakat lokal. Akan tetapi dengan tidak munculnya satu suarapun dari kelompok perempuan karena tidak diberikan ruang oleh fasilitator dan pimpinan rapat serta mempersilahkannya untuk meninggalkan arena rapat justru pada acara inti memberi penjelasan kepada kita bahwa forum ini mengabaikan kesetaraan dan keadilan gender. Untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan pemihakan kepada perempuan. Pemihakan memberi makna berupa upaya pemberian kesempatan bagi perempuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, ekonomi, dan politik serta mengakses asset produktif. Kalaupun terungkap oleh fasilitator dalam pengarahannya dan beberapa kali berdiskusi dengan peneliti, bahwa program mengharuskan adanya keterlibatan
perempuan sebagai pengambil keputusan pada semua tahap
perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian serta kepentingan perempuan harus terwakili secara memadai. Fakta menyatakan sebaliknya, kelompok perempuan hanyalah menjadi pelengkap dan dianggap tidak penting. Forum rapat juga cenderung dimaknai hanya penting untuk dibicarakan oleh kelompok laki-laki tergambar dalam suasana rapat. Forum sedikitpun tidak menyinggung peran perempuan untuk bisa berbagi dalam mengambil keputusan sehingga kelompok perempuan merasa bahwa forum ini bukan miliknya tetapi dianggap tuntas pembahasannya oleh kelompok laki-laki terutama bagi elit desa. Uraian di atas juga menjelaskan bahwa budaya patriarki pada masyarakat di Desa Teluk masih sangat kuat. Patriarki adalah sistem yang selama ini meletakan kaum perempuan terdominasi dan tersubordinasi. Hubungan antara
106
perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan dominan sedangkan perempuan sebagai sub-ordinat, “laki-laki menentukan sementara perempuan ditentukan”. Kondisi ini juga terlihat dalam aktivitas keseharian mereka. Dalam pekerjaan sehari-hari misalnya umumnya laki-laki terlihat lebih dominan dalam mengontrol, menentukan serta melakukan pekerjaan utama dibandingkan perempuan. Umumnya perempuan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi, sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Idealnya komunikasi partisipatif sebagaimana cita-cita yang ingin dibangun oleh program PNPM
MPd
adalah
bagaimana
memanfaatkan
kekuatan
heteroglasia,
bagaimana menempatkan konsep tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi dan kelompok yang berbeda-beda atau variasi pandangan tentang pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Komunikasi Tanpa Dialog Pendapatnya Mikhail Bakhtin bisa menjelaskan tentang kualitas dialog. Menurutnya, semua komunikasi adalah monolog atau dialog. Komunikasi monolog tidak mengijinkan respon dan tidak ada apresiasi dari pendengar. Jenis komunikasi dialogis juga memerlukan pemahaman bahwa “bahasa” bukanlah sebuah medium netral yang dapat dengan mudah jadi milik pribadi pelaku program yang punya tujuan atau kepentingan tertentu sebab bahasa itu dihuni secara penuh (overpopulated) oleh tujuan atau kepentingan orang secara kolektif. Pengamatan peneliti pada saat rapat berlangsung elit dan pemimpin rapat yang mempersilahkan kelompok perempuan meninggalkan ruangan sebelum mencapai kesepakatan rapat menjelaskan adanya pengabaian keberagaman gender. Pengabaian keberagaman gender oleh pemimpin rapat termasuk fasilitator menjadikan respon atau pendapat kelompok perempuan tidak akan muncul. Dialog sejatinya membutuhkan interaksi antara pendengar dan pembicara atau antara pemimpin rapat dan audiens secara keseluruhan termasuk perempuan.
107
Setting posisi tempat duduk peserta dalam rapat juga memberi penjelasan bahwa kelompok perempuan tidak memungkinkan untuk ikut berpartisipasi mengeluarkan suara atau usulan karena dipisahkan oleh dinding pembatas. Mereka hanya hadir, menandatangani daftar hadir dan menjadi pendengar setia pada saat berlangsung rapat. Dengan posisi seperti itu kelompok perempuan tidak memiliki peluang dan ruang untuk bisa berbicara atau menyampaikan usulan, dan ini terbukti sampai mereka meninggalkan ruangan tidak satupun dari mereka ikut menyumbangkan pikiran. Aktivitas komunikasi pada saat rapat juga dapat dijelaskan pada bagian konten (isi). Kata sambutan dari kepala desa dan pengarahan fasilitator yang cenderung menekankan kewajiban swadaya minimal lima persen dari total bantuan dana yang akan digulirkan dengan statement “ini sudah menjadi aturan dari kabupaten” menjadikan pemaknaan swadaya menjadi bias. Di luar forum rapat beberapa tokoh masyarakat Desa Teluk juga sangat menyesalkan aturan ini. Seharusnya swadaya dimaknai sebagai kemauan dan kemampuan masyarakat yang disumbangkan sebagai bagian dari rasa ikut memiliki terhadap program. Swadaya masyarakat merupakan salah satu wujud partisipasi dalam pelaksanaan tahapan PNPM MPd. Dasar keswadayaan sendiri idealnya adalah kerelaan masyarakat, sehingga harus dipastikan bebas dari tekanan atau keterpaksaan.
Kesan
yang
ditangkap
dalam
forum
tersebut
adalah
“pengumuman” dari pelaku PNPM MPd bukan rapat yang selalu mengedepankan dialog. Warga dipaksa untuk menyepakati angka lima persen dana swadaya tanpa berhak mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses dialog dalam rapat tidak akan pernah terjadi. Seharusnya swadaya dimaknai sebagai kemauan dan kemampuan masyarakat yang disumbangkan sebagai bagian dari rasa ikut memiliki terhadap program. Swadaya merupakan salah satu wujud partisipasi dalam pelaksanaan tahapan PNPM MPd. Dasar keswadayaan sendiri idealnya adalah kerelaan masyarakat, sehingga harus dipastikan bebas dari tekanan atau keterpaksaan. Secara umum memang dapat disimpulkan bahwa rapat berlangsung dengan efektif karena pada saat rapat berlangsung, antusias warga untuk menyumbang sangat tinggi. Hampir semua orang terutama yang terlibat atau akan menerima manfaat langsung dari pembangunan jalan memberikan sumbangan secara spontan. Hal ini juga didukung oleh kepiawaian pemandu rapat yang santai, akrab tetapi tetap fokus pada tujuan rapat sehingga rapat
108
berlangsung cepat dan tidak bertele-tele. Para donator secara sukarela menyumbang baik dalam bentuk uang cash, material maupun peralatan kerja. Akan tetapi dengan melihat susunan acara yang berlangsung dan mendengarkan sambutan pelaku PNPM MPd, terutama dari fasilitator yang bernada paksaan dan ancaman “jika warga tidak menyediakan dana minimal lima persen untuk swadaya maka usulan program yang sudah dimenangkan dalam kompetisi (MAD prioritas usulan) bisa di tolak” maka dapat disimpulkan bahwa rapat yang berlangsung tidak membuka ruang dialog bagi warga yang mengikuti rapat. Kesan
yang ditangkap
dalam forum
tersebut adalah
“pengumuman” dari pelaku PNPM MPd bukan rapat yang selalu mengedepankan dialog. Warga dipaksa untuk menyepakati angka lima persen dana swadaya tanpa berhak mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses dialog dalam rapat tidak terjadi. Freire memberi perhatian khusus pada signifikansi kesadaran kritis bagi pendidikan yang esensial. Freire menegaskan bahwa dialog merupakan keharusan bagi resolusi kontradiksi guru-murid. Melalui dialog dan komunikasi, murid dianggap bertanggung jawab dalam proses pembelajaran mereka sendiri, dan lalu menjadi critical co investigators dalam dialog dengan guru. Dalam konteks rapat-rapat dalam forum pemberdayaan seharusnya fasilitator membuka ruang dialog sehingga komunikasi antara fasilitator dan partisipan tidak terkesan menggurui dan berlangsung setara. Dalam forum rapat yang teramati oleh peneliti juga dapat dijelaskan bahwa
penghormatan
dan
penghargaan
kepada
elit
begitu
dominan.
Penghormatan kepada kepala desa, tokoh adat dan tokoh agama serta fasilitator selalu menjadi pembuka pembicaraan setiap acara sambutan atau pengarahan. Kondisi yang tidak setara antara elit dan rakyat menjadikan kelompok marginal merasa segan untuk mengemukakan pendapatnya. Peneliti sempat mencari tahu apakah ada metafora lokal yang bisa dipadankan dengan isitilah “setara”. Ternyata ada bahasa adat melayu Jambi yang selalu digunakan dalam acaraacara adat seperti acara pesta perkawinan, termasuk di Desa Teluk yang bisa diadopsi oleh PNPM MPd. Umumnya petugas acara termasuk juga tokoh adat selalu mengungkapkan metafora diawal pembicaraan : “Besak idak disebut gelar, kecik idak disebut namo” (yang besar tidak disebutkan gelar dan yang kecil tidak disebutkan nama). Idiom tersebut menjadikan semua yang hadir dalam forum
109
tersebut merasa setara dan menjadi satu tanpa ada perbedaan kelas dan interakasipun akan menjadi lebih cair. Lebih jauh, Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Fraire menggarisbawahi potensi yang luas dari dialog dan dengan bersemangat mempertahankan kekuatan bahasa sebagai alat yang mampu menanamkan dominasi maupun kebebasan. Tentu saja dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia dan mendorong transformasi sosial dan pembebasan sebagaimana terungkap dalam kata-kata Freire: “To exist, humanily, is to name the world, to change it”. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain, atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog partisipatif setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar, dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain. Ikhtisar Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator. Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender juga belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari
pelaku PNPM MPd
sebagai perpanjangan
tangan
pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa
110
oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Dengan merujuk pada konsep heteroglasia ; dialog; dan akses, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif.
111
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Uraian hasil kajian tentang analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan pada kasus implementasi musyawarah dalam PNPM MPd di lokasi penelitian dapat dijelaskan bahwa kegiatan PNPM MPd dikembangkan pada era dimana bangsa ini sedang mengalami masa transisi demokrasi dan menghadapi suksesi “kepemimpinan nasional” yang memungkinkan adanya tekanan
atau
mobilisasi
dukungan
politik
melalui
peluncuran
program
pembangunan kepada masyarakat secara masif. Ada kecenderungan bahwa perluasan cakupan lokasi kegiatan dari PPK menjadi PNPM MPd yang begitu besar terkesan dipaksakan oleh pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh perluasan cakupan lokasi tanpa dibarengi dengan proses peningkatan kualitas perangkat pelaku program termasuk fasilitator. Pemahaman pelaku termasuk fasilitator terhadap konsep PNPM MPd menjadi kurang utuh sehingga implementasi program hanya dipahami sebatas penyebaran informasi proyek, dan bukan sebagai proses penyadaran masyarakat guna memecahkan masalah yang dihadapinya secara mandiri sehingga menjadikan program tidak berhasil membawa misi pemberdayaan. Dapat juga dijelaskan bahwa penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat beretnik Melayu Jambi yang memiliki karakter dan nilai yang bisa saja berbeda dengan tempat lain. Menjawab tujuan penelitian di awal pembahasan, peneliti dapat merinci simpulan penelitian sebagai berikut : 1. Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan pada aspek teknik, sementara peran fasilitasi dan pendidikan terkesan terabaikan. Hal ini disebabkan oleh jenis kegiatan PNPM MPd yang terlihat dominan pada aspek teknis yaitu pembangunan infrastruktur sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh pemberdayaan menjadi terabaikan. 2. Hasil penelusuran peneliti berhasil merangkum makna kredibilitas fasilitator perspektif partisipan, yaitu : (1) Kompetensi; (2) Berkarakter; (3) Karismatik; dan (4) Adaptif. Dari perspektif pelaku PNPM MPd dapat disimpulkan bahwa kredibilitas fasilitator menurun jika dibandingkan pada program PPK. Hal ini disebabkan oleh
semakin longgarnya syarat rekruitmen calon fasilitator
PNPM MPd jika dibandingkan dengan PPK dan tidak memadainya waktu pelatihan pra tugas calon fasilitator sebelum diturunkan ke lapangan sehingga praktis pelatihan hanya memberikan materi teknis.
112
3. Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator. Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi
pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai
sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu partisipan” terutama RTM
dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah
“pengumuman” dari pelaku
PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd
dari
pemerintah.
Partisipan
tidak
diberi
kesempatan
mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Dengan merujuk pada konsep akses, heteroglasia dan dialog, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif. Proses komunikasi yang tidak partisipatif disebabkan oleh situasi dimana fasilitator tidak dapat menjalankan peran fasilitasi dan pendidikan secara optimal dan hanya dominan menjalankan peran teknik. Situasi dimana aktivitas pemberdayaan (empowerment) belum berjalan semestinya tersebut juga disebabkan oleh kredibilitas fasilitator yang cenderung menurun dibandingkan dengan program sebelumnya (PPK). Fakta
dimana peran
fasilitator tidak optimal dan kredibilitas fasilitator yang menurun ini disebabkan oleh “policy”
pemerintah terhadap program yang kurang
mendorong visi pemberdayaan.
113
Saran Bertolak dari kesimpulan di atas, saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Para fasilitator (dalam hal ini sebagai komunikator) perlu memiliki pemahaman yang baik terhadap konsep pemberdayaan (empowerment) dalam implementasi PNPM MPd. Untuk itu, kedepan, dalam perekrutan fasilitator harus dilakukan dengan lebih cermat dan berkualitas dan perlunya pembekalan atau pelatihan kepada mereka secara memadai. 2. Perlunya pelaksanaan sosialisasi program kepada masyarakat secara benar, dimana sosialisasi bukan semata penyebaran informasi proyek fisik, tetapi lebih dari itu, yaitu upaya membangun dialog dengan partisipan menuju penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkannya secara mandiri. Untuk itu diperlukan pelaku program yang mempunyai kualitas memadai dan memiliki kredibilitas yang mumpuni. 3. Perlunya monitoring dan evaluasi secara rutin kepada pelaku PNPM MPd di semua
tingkatan
untuk
memastikan
bahwa
proses
pemberdayaan
(empowerment) betul-betul dijalankan, dimana proses-proses pengambilan keputusan
dapat
dilakukan
secara
demokratis,
mendengar
memperhatikan suara partisipan untuk membangun daya dari partisipan.
dan
114
DAFTAR PUSTAKA Adi IR. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI [Anonim]. Profil Desa Teluk Tahun 2008. Jambi: Kantor Kepala Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi. Antoni. 2004. Riuhnya Persimpangan Itu. Profil dan Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi. Solo: Tiga Serangkai. Agusta
I. 2007. Kritik Atas Komunikasi Pembangunan dan Program Pengembangan Kecamatan. Bogor: Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol. 01 No.03 Desember 2007. Departemen KPM IPB.
Bagus, L. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Bungin B. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2001. Data Statistik Indonesia [terhubung berkala]. http: //www.demografi.bps.go.id. [15 November 2008] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Batang Hari dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari 2008 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kecamatan Pemayung dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari 2008 Creswell JW. 2002. Research Design Qualitative & Quantitatif Approaches. Terjemahan oleh Angkatan III & IV KIK UI. Jakarta : KIK UI Press. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2008. PTO (Petunjuk Teknis Operasional) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Jakarta : Tim Koordinasi PNPM Mandiri Perdesaan. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2008. Penjelasan PTO (Petunjuk Teknis Operasional) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Jakarta : Tim Koordinasi PNPM Mandiri Perdesaan. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2008. Pedoman Umum (Pedum) PNPM Mandiri Tahun 2007/2008. Jakarta: Tim Koordinasi PNPM Mandiri . Denzin. N.K. 1989. Interpretive Biography : Qualitative Research Method Series 17. Sage Publications Dey I. 1993. Qualitative Data Analysis, A user-friendly Guide for social scientist. New York: Library of Congress Cataloging data. Devito, 1997. Human Communication. Edisi Kelima. Jakarta: Professional Books. Dwivedi A. 2003. Metodelogi Pelatihan Partisipatif. Cetakan I Bantul: Pondok Edukasi Etzioni A.1964. Complex Organizations a Sociological Reader. New York: Holt Rinehart and Winston.
115
Freire P. 1984. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : LP3ES. Freire P. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. DiIndonesiakan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta : PT. Gramedia. Gube Egon G. Ed.1990. The Paradigm Dialog. Newbury Park. London. New Delhi: SAGE Publications. Habermas J. 1984. Theory of Communicattive Action Boston: Beacon. Hardiman FB. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu, Masyarakat Politik & Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. Hidayah N. 2005. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Swadaya Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Hidayat DN. 1999. Paradigma Klasik dan Hypoyheco Deductive Method. Bahan Penunjang Kuliah Metodologi Penelitian Sosial Program Studi Ilmu-ilmu social. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Ife J. 1995. Community Development: Creating community lternatives-vision, analysis and practice, Australia: Longman Pty Ltd. Khan M, Mackwon. 1997. Introduction to Political Science. Ontario:.Irwin-Dorsey Ltd. Kuswarno E. 2008. Etnografi Komunikasi. Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran. Melkote SR. 2006. Everett M. Rogers and His Contributions to the Field of Communication and Social Change in Developing Countries. Journal of Creative Communications 1:1 (2006) SAGE PUBLICATIONS New Delhi: l Thousand Oaks l London Miles MB, Huberman AM. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIPress). Moelong LJ. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Muchtar. 2007. Strategi Pemberdayaan Berbasis Kelembagaan Lokal Dalam Penanganan Kemiskinan Perkotaan (Kasus Implementasi P2KP di Desa Sukadanau). Jakarta: Jurnal BALATBANGSOS Departemen Sosial Republik Indonesia. Nasdian. 2003. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor: Bagian Ilmu-ilmu Sosial, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian-IPB. Rahim SA. 2004. Participatory Development Communication as a Dialogical Process dalam White, SA. 2004. Participatory Communication Working for Change and Devwelopment. New Delhi: Sage Publication India Pvt Ltd Rachman ZM. 2007. Teknik Fasilitasi Partisipasi Pendampingan Masyarakat. Tim Partnership for e-Prosperity for the poor (Pe-PP). Jakarta: Bappenas-UNDP.
116
Rogers EM. 1985. Komunikasi dan Pembangunan Perspektif Kritis. Jakarta: LP3ES. Ritzer G, Douglas JG. 2004. Teori Sosiologi Modern (terjemahan dari Modern Sociological Theory oleh Alimandan). Jakarta : Penerbit Kencana Sahab K. 2002. Perubahan Nilai-nilai Sosial Budaya, Kajian Kasus Perubahan Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Pada Masyarakat Bengkulu [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Salim A. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Saribanon N. 2007. Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat (Kasus di Kotamadya Jakarta Timur). [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarja. Institut Pertanian Bogor. Sarwititi. 2005. Tantangan Intelektual Terhadap ‘Komunikasi Pembangunan. Bogor: Jurnal Komunikasi Pembangunan Vol.03, No.1. Februari 2005. Sastrosasmita S. 1998. Pemberdayaan Desa-Kota bagi Penanggulangan Kemiskinan di Perdesaan. Jakarta: Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Servaes.J. 2002. Communication for development: one world, multiple cultures. Second printing. The Hampton Press, INC, Cresskill, New Jersy Solihin T 2005. Evaluasi Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat. Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Smith
WA. 2008. Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Diterjemahkan dari The Meaning of Conscientizacao, The Goal of Paulo Freire’s Pedagogi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Cetakan II .
Spradley.JP. 1997. Metode Etnografi.. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Suparjan. 2003. Pengembangan Masyarakat : dari Pembangunan sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Aditya Media. Sutaryo. 2005. Sosiologi Komunikasi Perspektif Teoritik. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran. Susanto. S. 2007. Hubungan Ethos Komunikator dengan Sistem Latihan dan Kunjungan dalam Meningkatkan Keberhasilan Penyuluhan Pertanian Lapangan. [Tesis]. Bandung: Program Pascasarjana. Universitas Padjajaran. Silverman D. 1993. Interpreting Qualitative Data : Methods for Analysis talk, text and interaction. Sage publications. London, thousand oals. New Delhi Sitorus MT. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan. Bogor: Dokumen IlmuIlmu Sosial IPB. White RA. 2004. Is “Empowerment The Answer “? Current Theory and Research on Development Communication ? International Communication Gazette 2004; 66; 7. Copy right 2004 by Sage Publications Wiradi G. Metodologi Studi Agraria : Karya terpiliha Gunawan Wiradi. Bogor: Sajogyo Institute.
117
Wrihatnolo. RR. 2007. Manajemen Pemberdayaan, Sebuah Pegantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Elek Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Yunus FM. 2005. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire & YB. Mangunwijaya. Yogyakarta: .Logung Pustaka. Zainuri.
M. 2005. Pemberdayaan Keluarga Miskin dalam Program Pengembangan Kecamatan menurut Perspektif Pekerjaan Sosial (Studi Kasus di Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Instiut Pertanian Bogor.
118
Lampiran 1. Peta Administrasi Lokasi Penelitian
119
Lampiran 2. Metoda Pengumpulan Data dan Informasi Penelitian Sumber Data
Jenis Data/Informasi
Metode
Waktu
BPS, Dinas KSPM Provinsi Jambi, KM Prov PNPM MPd Jambi, Pemkab Batanghari, BPMD Kab Batanghari, Kantor Kecamatan Pemayung dan Kantor Kepala Desa Teluk.
1. Data Sekunder 2. Indikator keberhasilan kegiatan PNPM MPd 3. Persepsi tentang kredibilitas fasilitator dan perannya di lokasi kegiatan PNPM MPd
Studi Dokumentasi dan Wawancara
2 Minggu
Fasilitator Kabupaten 1. Fasilitator Pemberdayaan 2. Fasilitator Teknik
1. Info Pelaksanaan PNPM-MP/Kecamatan 2. Info tentang kecamatan yang berhasil melaksanakan PNPMMP 3. Indikator keberhasilan kegiatan PNPM-MP 4. Persepsi tentang kredibilitas fasilitator dan perannya di lokasi kegiatan PNPM MPd
Wawancara mendalam dan studi dokumentasi
2 Minggu
Fasilitator Kecamatan 1. Fasilitator Pemberdayaan 2. Fasilitator Teknik
1. Proses Pelaksanaan PNPM- MP di Kecamatan Pemayung 2. Peta sosial lokasi PNPM-MP 3. Aktivitas komunikasi di lokasi kegiatan program
Wawancara mendalam, studi dokumentasi dan pengamatan berperan serta
2 Bulan
1. Tokoh Adat dan Budaya 2. Tokoh Agama 3. Tokoh Perempuan 4. Tokoh Pemuda 5. Rumah Tangga Miskin (RTM)
Unsur Masyarakat/Penerima Program 1. Pelaksanaan kegiatan Pengamatan PNPM-MP dan peran berperan serta fasilitator di setiap dan tahapan kegiatan wawancara 2. Peta sosial wilayah dan mendalam partisipan penerima PNPM MPd 3. Riwayat dan Kredibilitas Fasilitator di lokasi kegiatan. 4. Harapan dan capaiannya dalam kegiatan PNPM MPd: perspektif partisipan. 5. Aktivitas komunikasi di lokasi kegiatan program
2 Bulan