Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
ANALISIS KOHESI LEKSIKAL DALAM NOVEL DOM SUMURUP ING BANYU KARYA SUPARTO BRATA Rokhanah Qudus
[email protected] Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK Penelitian ini bertujuan (1) menyebutkan penanda kohesi leksikal pada novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata. (2) mendeskripsikan penggunaan penanda kohesi leksikal pada novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata. Teori yang menjadi acuan untuk mengungkapkan mengenai praktik analisis wacana dalam penelitian ini adalah Sumarlam dalam bukunya Teori dan Praktek Analisis Wacana (2010). Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata dan objek penelitian ini adalah aspek kohesi leksikal pada wacana novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata yang diterbitkan oleh Narasi, Yogyakarta tahun 2006. Instrumen yang digunakan, yaitu peneliti sendiri dan dibantu bukubuku tentang wacana, buku-buku penunjang yang berkaitan dengan penelitian serta nota pencatat data. Dalam teknik analisis data menggunakan metode analisis kualitatif. Teknik penyajian hasil analisis data dengan menggunakan teknik penyajian verbal. Berdasarkan hasil analisis deskriptif aspek kohesi leksikal dalam novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata, bahwa aspek kohesi leksikal yang ditemukan ada lima jenis penanda. Kelima jenis penanda kohesi leksikal meliputi: repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi, dan hiponim. Dalam kaitannya dengan aspek leksikal, analisis ini menemukan (i) repetisi yang muncul ada enam jenis repetisi, yaitu repetisi epizeuksis, repetisi anadiplosis, repetisi mesodiplosis, repetisi anafora, repetisi epistrofa, dan repetisi tautotes; (ii) sinonim kata dengan kata, kata dengan frasa dan sebaliknya, frasa dengan frasa, dan klausa dengan klausa; (iii) lima macam antonim yang ada, yaitu antonim mutlak, antonim gradasi/kutub, antonim hubungan, antonim hirarkial, dan antonim resiprokal; (iv) kolokasi (sanding kata); (v) hiponim (hubungan atas – bawah) yang melibatkan hipernim (superordinat). Kata kunci : kohesi leksikal, wacana, novel I.
PENDAHULUAN Bahasa Jawa (BJ) merupakan wahana komunikasi yang dapat
menyatukan antaranggota etnik, di samping itu juga berfungsi sebagai sarana pengembang dan pengungkap kebudayaan Jawa, adat istiadat, upacara ritual, dan seremonial, serta pengungkap seni tradisi Jawa. Memahami keseluruan isi dalam suatu wacana dengan baik dan tepat tidaklah mudah, diperlukan bekal pengetahuan kebahasaan yang luas. Untuk itu, agar dapat memahaminya dapat dilakukan dengan analisis wacana melalui unsur kohesi. Dengan kohesi, maka Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
83
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
akan dapat mengetahui bagaimana cara proposisi – proposisi saling berhubungan antara yang satu dengan lainnya untuk membentuk suatu keutuhan wacana. Kohesi dibagi menjadi dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Penanda gramatikal terdiri dari pengacuan, penyulihan, pelesapan, dan perangkaian. Sementara penanda kohesi leksikal seperti, repetisi (pengulangan), sinonim (padan kata), antonim (lawan kata), kolokasi (sanding kata), hiponim (hubungan atas – bawah) dan ekuivalensi (kesepadanan). Analisis kohesi disusun karena mengingat kohesi pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa. Dari uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian karya sastra novel yang berkaitan dengan analisis penggunaan penanda kohesi leksikal dalam novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata yang diterbitkan oleh Narasi, Yogyakarta tahun 2006 dengan beberapa alasan: (1) di dalam karya sastra novel banyak ditemukan variasi penanda kohesi leksikal, (2) novel Dom Sumurup Ing Banyu merupakan buah karya ahli kasusastraan,yaitu karya Suparto Brata, (3) karya sastra novel merupakan tantangan komunikasi yang bersifat abstrak, (4) novel Dom Sumurup Ing Banyu terdapat beberapa hikmah sejarah ditahun 1948.
II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain: (1) penelitian pertama dilakukan oleh Nanang Muhammad Rizal dengan judul “Analisis Kohesi dan Koherensi Wacana Khutbah Jum‟at Berbahasa Jawa Terbitan Kementrian Agama Kabupaten Purworejo” (Skripsi S1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMP tahun 2011), dan (2) Tri Widayanti (Skripsi SI FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo tahun 2011) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis kohesi dan Koherensi dalam Novel Tjobaning Katresnan karya Nial S.B”.
III. KAJIAN TEORI A. Wacana Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
84
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis (Tarigan, 2009: 26). B. Jenis – jenis wacana Sumarlam (2010: 30) membagi wacana berdasarkan beberapa segi, yaitu berdasarkan bahasa yang dipakai (1), berdasarkan media yang digunakan, berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya, berdasarkan bentuknya wacana, berdasarkan cara dan tujuannya pemaparannya. C. Kohesi Menurut Meoliono dalam Sumarlam (2003: 173) kohesi adalah hubungan semantik atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalam teks dan unsur-unsur lain yang penting untuk menafsirkan atau menginterprestasi teks; pertautan logis antarkesatuan atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik. Kohesi dapat dibedakan menjadi dua jenis. Perbedaan tesebut dapat dijabarkan dalam kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal dan leksikal ini merupakan bagian dari kohesi endosentris. Karena kohesi dibagi menjadi dua ada kohesi endosentrsi dan kohesi eksosentris. Kohesi gramatikal terdiri dari: referensi, substitusi, elipsis, paralelisme, dan konjungsi. Sedangkan kohesi leksikal terdiri dari: repetisi, sinonimi, antonimi, hiponimi, kolokasi, dan ekuivalensi. D. Novel Nurgiyantoro (2009: 4) menyatakan bahwa novel adalah sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia. Dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan dengan dunia imajinasi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain – lain semuanya tentu saja bersifat imajinatif.
IV. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah adalah novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata yang diterbitkan oleh Narasi, Yogyakarta Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
85
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
pada tahun 2006. Sementara objek penelitian ini difokuskan pada aspek kebahasaan, khususnya kajian penanda kohesi leksikal pada novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata. Pengumpulan data pada penelitian ini, yaitu menggunakan teknik pustaka, observasi dan teknik catat. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu peneliti sendiri, dibantu buku-buku tentang wacana, buku-buku penunjang yang berkaitan dengan penelitian dan nota pencatat data. Dalam kaitannya dengan teknik analisis data, teknik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif, yaitu analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan semantis antarkonsep (variabel) yang sedang diteliti (Afifudin & Saebani, 2009: 159). Teknik penyajian data dalam penelitian ini yaitu dengan mengunakan metode penyajian verbal. Afifudin & Saebani (2009: 191 – 192) menjelaskan bahwa penyajian verbal, yaitu penyajian hasil analisis dengan menggunakan kata-kata.
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penanda – penanda kohesi leksikal yang mendukung keutuhan wacana dalam novel „Dom Sumurup Ing Banyu‟ karya Suparto Brata, yaitu meliputi repetisi, sinonim, antonym, kolokasi, dan hiponim. Hal ini, diuraikan sebagai berikut. (1) Aturan – aturan militer kang dilakoni saben dinane, kadang rinasa megah – megahake. Mula yen ana kelonggaran metu saka kazarne (markas, asrama tentara) padha pating kluyur golek kebebasan. Ana sing golek wong wadon, ana sing kepingin mangan masakan Cina, ana sing ngombe – ngombe nganti mabuk (DSIB: 2). Aturan – aturan militer yang dijalankan setiap harinya, kadang terasa membosankan. Oleh karena itu ketika ada kelonggaran keluar dari kazarne (markas asrama tentara) mereka berjalan - jalan mencari kebebasan. Ada yang mencari perempuan, ada yang berkeinginan makan masakan Cina, ada yang minum – minum sampai mabuk. Pada tuturan (1) menunjukan realitas repetisi epizeuksis, sebab pengulangan tersebut untuk menekankan betapa pentingnya pengulangan kata tersebut dalam konteks tuturan itu. Pada tuturan (1) frasa ana sing „ada yang‟ diulang tiga kali secara langsung, tuturan tersebut menggambarkan realitas Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
86
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
bahwa kegiatan yang dilakukan tentara Belanda dalam setiap harinya kadang menjenuhkan, karena itu dari mereka ada yang mencari wanita, ada yang makan masakan Cina atau ada yang minum – minum sampai mabuk. Selain repetisi epizeuksis tuturan (1) juga terdapat repetisi tautotes, karena pengulangan yang terjadi dalam terjadi pada satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah kontruksi. (2) “Awake dhewe kudu memba – memba kanthi sempurna! Ora kena jam tanganan! Ora kena kotangan! Ora kena kathokan nylon!” (DSIB: 29). “Kita harus menjelma/menyamar dengan sempurna! Tidak boleh jam tanganan! Tidak boleh kutangan (bra)! Tidak boleh celana dalam nilon. Tuturan (2) terdapat repetisi anafora yaitu pengulangan kata/frasa pertama pada baris berikutnya. Repetisi ini berfungsi untuk menekankan pentingnya makna kata/frasa yang diulang pada tiap baris tuturan tersebut. Pada frasa ora kena „tidak boleh‟ pada kalimat pertama diulang kembali pada frasa pertama kalimat berikutnya, dan ditekankan kembali frasa ora kena „tidak boleh‟ frasa pertama kalimat ketiga. Pada tuturan di atas, repetisi anafora dimanfaatkan untuk menyampaikan bahwa dalam melakukan penyamaran harus dengan sempurna, tidak boleh memakai jam tangan, tidak boleh memakai kutang (bra) dan tidak boleh memakai celana dalam nilon. (3) “Mbak. Wong lanang kuwi sapa, ta? Ngesthi kelingan pitakon Kiswanta sing sajak adreng. Sing sajak sujana banget karo Herlambang. Sujana embuh Herlambang diaku bojone, mangka Kiswanta sajake dhemen karo Ngesthi. Embuh sujana merga Kiswanta kaya ngerti tenan sapa Ngesthireni, sing jare kenal karo Raden Mas Yogyantara Lojiwetan, nanging babar pisan ora ngreti sapa Herlambang (DSIB: 99). “Mbak. Orang laki – laki itu siapa, sih? Ngesthi teringat pertanyaan Kiswanta yang sepertinya sangat ingin tahu. Yang sepertinya tidak begitu percaya dengan Herlambang. Tidak percaya apakah karena Herlambang diakui suaminya, sedangkan Kiswanta sepertinya menyukai Ngesthi. Tidak percaya karena Kiswanta seperti mengetahui siapa Ngesthireni, yang katanya kenal dengan Raden Mas Yogyantara Lojiwetan, tetapi sama sekali tidak mengetahui siapa Herlambang.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
87
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
Pada tuturan (3) kata sujana „tidak percaya‟ diulang tiga kali. Pengulangan kata tersebut diulang di tengah kalimat, sehingga repetisi tersebut diklasifikasikan dalam repetisi mesodiplosis. Pengulangan tersebut dimaksudkan untuk menekankan makna satuan lingual yang diulang, yaitu alasan Kiswanta tidak percaya kepada Herlambang: tidak percaya karena Herlambang diakui suaminya, sedangkan Kiswanta sepertinya menyukai Ngesthi, tidak percaya karena Kiswanta seperti mengetahui siapa Ngesthireni, yang katanya kenal dengan Raden Mas Yogyantara Lojiwetan, tetapi sama sekali tidak mengetahui siapa Herlambang. (4) Kena apa? Keduwang?” sing wadon takon, bebisik. Herlambang ya mangsuli bebisik, nanging, kiraku awake dhewe ya kudu pisah.” Kudu? Kok tulak aku, ya marga aku pancen wong wedok lecekan tilase serdhadhu Jepang?” Ora! – ora! - ora mengkono, Dheajeng! Nanging marga tugasku isih abot (DSIB: 117). “Kenapa? Menyesal?” yang perempuan bertanya, berbisik. Herlambang ya menjawab bisik – bisik, tetapi, perkiraanku kita harus pisah. ”Harus? Kamu tolak aku, ya karena aku memang perempuan hina bekas serdadu Jepang?” Bukan! – bukan! – bukan seperti itu, Diajeng! Tetapi karena tugasku masih berat. Tuturan (4) menunjukan adanya repetisi anadiplosis sebab pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya. Pengulangan dalam konteks ini berfungsi untuk menekankan/meyakinkan informasi suatu tuturan. Kata ora „tidak‟ pada akhir kata pertama menjadi kata pertama pada bagian kata berikutnya, pengulangan kata ora „tidak‟ menekankan bahwa tokoh Herlambang benar – benar harus berpisah dengan Ngesthireni bukan karena Ngesthireni wanita hina bekas serdadu Jepang, (5) Kiswana jrunthul krudukan jarit, Ngesthireni wuda mlayoni jarike.” Kurangajar! Kowe ki kurangajar!” (DSIB: 129). Kiswanta berlari kencang menunduk dengan muka tertutup jarit. Ngesthireni telanjang mengejar jariknya.” Tidak sopan! Kamu ni tidak sopan!”.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
88
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
Pada
tuturan
(5)
terdapat
repetisi
epistrofa
pengulangan
pengulangan kata/frasa yang terjadi pada akhir baris atau akhir kalimat secara berturut – turut. Tampak pada tuturan di atas kata kurangajar „tidak sopan‟ diulang dua kali pada akhir tiapa kontruksi secara berturut – turut. a. Sinonim (Padan Kata) (1)Wong Jawa mau ora enggal mangsuli. Dheweke sasmita marang peladen restoran supaya ngejoki bire (DSIB: 6). Orang Jawa tadi tidak cepat – cepat menjawab. Dia memberi tanda kepada pelayan restoran supaya menuangkan birnya. Pada tuturan (1) terdapat sinonim morfem (bebas) dengan morfem (terikat). Pada tuturan (1) morfem (bebas) dheweke „dia‟ bersinonim dengan morfem – e „nya‟. (2)“Ah, mosok aku lali wektu! Ora, nalika samana wayah surup, kok! Saorane aku dislundupake dhisik wayah surup, minangka telik kanggo mahanani kahanane mungsuh,” ujare wong Jawa mau (DSIB: 3). “Ah, masa aku lupa waktu! Tidak, ketika itu waktu sore, kok! setidaknya aku diselundupkan dulu waktu sore, dalam rangka mata – mata untuk mengetahui keadaan musuh,” kata orang Jawa tadi. Pada tuturan (2) terdapat sinonim kata dengan kata. Pada tuturan (2) kata waktu „waktu‟ dan kata wayah „waktu‟. (3)“Genah sing dilabuhi nganti tumekane pati kuwi sliramu ngono, lo! Tresna kuwi ngalahake sekabehe kajaba mati.” Hartono sumela (DSIB: 234). “Jelas yang diabdikan sampai datangnya mati itu dirimu itu, lo! Cinta itu mengalahkan segalanya kecuali mati.” Hartono menyela. Pada data (3) terlihat sinonim kata dengan klausa, yaitu antara kata pati „mati, meninggal‟ bersinonim dengan mati „mati, meninggal‟. (4)“Hm! Dadi kowe ora mbantah sebutanku setan belang?!” Kowe ya peri periyangan ngono! Ora mung mbeda, nanging ya ngajak ngono (DSIB: 30).
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
89
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
“Hm! Jadi kamu tidak setuju sebutanku setan belang?!” kamu ya peri periyangan juga! Tidak berbeda juga, tetapi ya ngajak seperti itu. Pada data (4) menunjukan sinonim frasa dengan frasa, yaitu antara frasa setan belang „makluk halus‟ dan frasa peri periyangan „makluk halus‟. (5)Konvoi! Ngono wae mithet ambegan!” Aja kesusu ngunjal nafas! Aku mau rak wis kandha, yen mandhege konvoi marga bane mledos, ora apa – apa (DSIB: 20). Konvoi! Seperti itu saja menekan nafas!” Jangan terburu - buru menarik nafas! aku tadi kan sudah bilang, kalau berhentinya konvoi karena bannya meletus, tidak apa – apa. Pada tuturan (5) terdapat sinonim kata dengan frasa, yaitu kata ambegan „bernafas‟ dan frasa ngunjal nafas „menarik nafas‟. (6)Ing sasi Agustus 1948, wayah asar ana serdhadhu Walanda tanpa tandha pangkat mlebu ing Restoran Tong Sien. Sajake ora kulina mlebu mrono, nyatane sajak ingah – ingih. Ndulu solah tingkahe kang ora cladakan, sajake dheweke wong alim, ora sugih kanca. Utawa pancen ora duwe kanca ( DSIB: 3). Di bulan Agustus 1948, waktu asar ada tentara Belanda tidak bertanda pangkat masuk ke Restoran Tong Sien. Sepertinya tidak terbiasa masuk sana, nyatanya seperti tidak percaya diri. Tingkahnya polos dan tidak semaunya sendiri, sepertinya orang alim, tidak banyak taman. Atau tidak punya teman. Pada tuturan (6) terdapat sinonim klausa/kalimat dengan klausa/kalimat. Klausa ora sugih kanca „tidak banyak teman‟ bersinonim dengan ora duwe kanca „tidak punya teman‟. (7)Priye - priyea tingkah lakunene Van Grinsven sing takon – takon nyujani mau luwih ndrawasi ketimbang pratingkahe wong wadon ing jip kuwi (DSIB: 11). Seperti apapun tingkah laku Van Grinsven yang tidak percaya ketika bertanya lebih menakutkan dari pada tingkah laku perempuan di jip itu.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
90
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
Pada tuturan (7) terdapat sinonim frasa dengan kata. Pada tuturan (7) frasa tingkah lakune „tingkah lakunya‟ bersinonim dengan kata pratingkake „tingkah lakunya‟, kedua
kata tersebut memiliki
makna yang sama yaitu tingkah lakunya.
b. Antonim (Lawan Kata) (1) “Luwih becik aku enggal budhal wae, mumpung, isih awan.” Ora perlu kesusu. Nyabrang kali luwih becik ing wayah bengi (DSIB: 5). “Lebih baik aku pergi saja, selagi masih siang.” Tidak perlu terburu – buru. Menyeberang sungai lebih baik diwaktu malam. Oposisi yang terjadi pada data (1) menunjukan oposisi mutlak, karena memiliki pertentangan yang mutlak. Oposisi kata awan „siang‟ dan kata bengi „malam‟ (1), oposisi kata wengi „malam‟ dan kata raina „siang‟. (2) La nggih sampun semadosan kaliyan dhik Ambar. Menawi kula pesen menapa – menapa ngaten, menapa bir menapa es, mawi driji panuding kula ebah – ebah kadhos enthung endi elor endi kidul, ebah – ebah kados ngawe – awe. Dhik Ambar supados nyelaki kula, piyambakipun kedah nyukani obat biyus ingkang murugake tiyang semaput,” wangsulane Hartono karo nuduhake carane ngobahake driji sasmita marang Ambarwati (DSIB: 207). La ya sudah berjanji dengan dik Ambar. Ketika saya pesan apa – apa itu, apa bir apa es, aku gerak – gerakkan seperti enthung (ulat pada daun pisang) mana utara mana selatan, gerak – gerak seperti melambai – lambai. Dik Ambar supaya mendekati aku, dia harus memberi obat bius yang menjadikan orang pingsan,‟ jawab Hartono dengan menunjukan caranya menggerakan jari memberi isyarat kepada Ambarwati. Pada tuturan (2) menunjukan adanya antonim hubungan, oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Oposisi hubungan tuturan (2) kata elor „utara dan kata kidul selatan‟.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
91
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
(3) “Kena apa kok disangkani saka Mojokerto? Kena apa ora saka gapura pabrik kono wae? Rak luwih gampang, ora rekasa lan kangelan iya, ta?” pitakone Sagriwa (DSIB: 225). Kenapa kok dikira dari Mojokerto? Kanapa tidak dari gapura pabrik sana saja? Kan lebih mudah, tidak susah payah dan kesulitan iya kan?” Tanya Sagriwa. Pada data (3) terdapat oposisi kutub sebab pertentangan maknanya tidak mutlak tetapi bersifat gradasi. Oposisi kata gampang „mudah‟ dan kangelan „kesulitan‟, ada juga unsur bahasa rada gampang „agak mudah‟ dan rada kangelan „agak kesulitan‟, selain itu gampang banget „mudah sekali‟ dan angel banget „sulit sekali‟. (4) Misine awake dhewe, ijen – ijen apa bareng – barengan, ora kena juga, kudu kanthi semenweken ketekan ing gawe (DSIB: 65). Misinya kita, sendiri – sendiri atau bersama – saman, tidak boleh, harus dengan semenweken sampai ditujuan. Data (4) menunjukan oposisi hirarkial, sebab oposisinya menyatakan deret jenjang atau tingkatan, sehingga kata ijen – ijen „satu – satu‟ dan bareng – bareng „bersama – sama‟ juga menyatakan tingkatan, yaitu menyatakan tingkatan jumlah, bahwa bareng – bareng „ bersama – sama, tingkatannya lebih besar atau lebih banyak dari pada ijen – ijen „sendiri – sendiri‟ dan tentu saja satuan yang lebih besar atau lebih banyak dari itu juga menyatakan realitas jumlah yang lebih besar atau lebih banyak pula. (5) Sawise kuwi, dheweke merem. Mabayangake gambar – gambar ing angen – angene. Banjur melek maneh, ngawasake perangan – perangan sing durung cetha, durung ganep (DSIB: 179). Setelah itu, dia memejamkan mata. Membayangkan gambar – gambar di dalam angan – angannya. Kemudian membuka mata lagi, mengamati bagian – bagian yang belum jelas, belum genap. Pada data (5) menunjukan antonim resiprokal, sebab di dalam relasi antarkatanya terdapat sejenis antonim yang mengandung pasangan yang belawanan atau bertentangan dalam makna tetapi
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
92
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
secara fungsional mempunyai hubungan berupa hubungan yang sangat erat dan hubungan itu berupa hubungan timbal balik. Dari pernyataan merem „memejamkan mata‟ berhubungan erat
tersebut maka kata
dengan sinonim kata melek „membuka mata‟. c. Kolokasi (Sanding Kata) Letnan van Grinsven kudu nyepak – nyepakake kuwi kabeh. Piranti liyane, kaya ta peso lempet ing sak mburi, korek sing urupe genine bisa mbawurake mripat ing kanthongan clana kiwa kumpul karo saputangan kang ngandut dom racun, wis cumepak kabeh. Mengkono uga surat – surat sing disiyapake bab dheweke, mesthine wis dicocokake karo anggone memba – memba (DSIB: 45). Letnan van Grinsven harus menyiapkan itu semua. Peralatan lainnya, seperti pisau lipat di kantong belakang, korek yang nyala apinya dapat menyuramkan mata di kantong celana kiri kumpul dengan saputangan yang mengandung jarum racun, sudah siap semua. Begitu juga surat – surat yang disiapkan tentang dirinya, seharusnya sudah dicocokan dengan cara menjelma/menyamar. Pada tuturan kolokasi/sanding kata terjadi pada peso limpet „pisau lipat‟, korek sing urupe genine bisa mbawurake mripat „korek yang nyala apinya dapat menyuramkan mata‟, saputangan kang ngandut dom racun „saputangan yang mengandung jarum racun‟, surat – surat „surat – surat‟ merupakan kata – kata yang cenderung berdampingan dalam jaringan alat – alat/peralatan yang digunakan dalam rangka misi mata mata. d. Hiponim (Hubungan Atas – Bawah) Nalika samana bisa wae wong ngedegake pasukan bersenjata non – pemerintah, arane lasykar, kayata Hisbullah, Pesindo, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, Barisan Benteng (DSIB: 47). Ketika itu orang bisa juga mendirihkan pasukan bersenjata non pemerintah,
bernama
laskar
seperti
Hisbullah,
Pesindo,
Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia, Barisan Benteng.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
93
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
Pada tuturan di atas hiponim/subordinat tercermin pada kata Hisbullah, Pesindo, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, Barisan Benteng dan hiponimnya/superordinatnya yaitu pasukan bersenjata (laskyar).
VI. SIMPULAN (1) Kohesi leksikal yang mendukung kepaduan wacana dalam rangka membentuk wacana yang kohesif dalam novel dom sumurup ing banyu karya Suparto Brata antara lain: repetisi (pengulangan), sinonim (padan kata), antonim (lawan kata), kolokasi (sanding kata), dan hiponim (hubungan atas – bawah). Dalam kaitannya dengan aspek leksikal, analisis ini menemukan (i) enam jenis repetisis, yaitu repetisi epizeuksis, repetisi anadiplosis, dan repetisi mesodiplosis, repetisi anafora, repetisi epistrofa dan repetisi tautotes; (ii) sinonim kata dengan kata, kata dengan frasa dan sebaliknya dan klausa dengan klausa; (iii) lima macam antonim yang ada, yaitu antonim mutlak, antonim gradasi/kutub, antonim hubungan, antonim hirarkial, dan antonim resiprokal; (iv) kolokasi (sanding kata), dan (v) hiponim (hubungan atas – bawah) yang melibatkan hipernim (superordinat). (2) Penggunaan aspek kohesi leksikal yang digunakan oleh penulis pada novel dom sumurup ing banyu dalam rangka membentuk wacana yang kohesif sudah sangat baik, hal ini dibuktikan dengan banyaknya aspek – aspek kohesi leksikal yang digunakan.
VII. SARAN (1) Dalam membuat wacana lisan maupun tulis (penutur/penulis) harus memperhatikan aspek – aspek keutuhan wacana, supaya informasi yang disampaikan dapat dengan mudah dipahami dan diterima oleh (mitra tutur/pembaca). (2) Penelitian tentang wacana tulis ini, hanya membahas tentang penggunaan penanda kohesi leksikal saja. Oleh karena itu, diharapkan diadakan penelitian lanjutan tentang novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata dengan
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
94
Vol /0 2 / No. 01 / Mei 2013
menggunakan teori lain untuk melestarikan karya sastra Jawa khususnya novel Jawa.
DAFTAR PUSTAKA Afifudin dan Saebani. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Brata, Suparto. 2006. Dom Sumurup Ing Banyu. Yogyakarta: Narasi. Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Muhammad R, Nanang. 2011.” Analisis Kohesi dan Koherensi Wacana Khotbah Jum‟at Berbahasa Jawa Terbitan Kementrian Agama Kabupaten Purworejo”. Skripsi UMP: Fakultas Bahasa dan Sastra Jawa. Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra. --------- 2010. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Solo: Buku Katta. Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa. Suwandi, Sarwiji. 2011. Semantik: Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa. Widayanti, Tri. 2011. “Kajian Kohesi dan Koherensi dalam Novel Tjobaning Katresnan”. Skripsi UMP: Fakultas Bahasa dan Sastra Jawa.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo
95