perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
NILAI ESTETIKA DAN MAKNA NOVEL DOM SUMURUP ING BANYU KARYA SUPARTO BRATA (Suatu Tinjauan Struktural Robert Stanton)
SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh : CYRILIUS ANGGA MUNDISARI C 0104004
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Cyrilius Angga Mundisari NIM : C0104004 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa, skripsi berjudul Nilai Estetika dan Makna Novel Dom Sumurup ing Banyu karya Suparto Brata (Suatu Tinjauan Struktural Robert Stanton) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, Yang membuat pernyataan,
Cyrilius Angga Mundisari
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO: Gunakanlah waktumu sebaik mungkin, agar tak menyesal dikemudian hari.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk: 1. Bapak dan Ibuku tercinta 2. Istriku dan anakku tersayang 3. Almamaterku
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas menyusun skripsi guna mencapai gelar sarjana Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penulisan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari kesulitankesulitan yang dihadapi, tetapi berkat bantuan, bimbingan serta dorongan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu sudah sepantasnya pada kesempatan ini dengan segenap kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Drs. Riyadi Santosa, M. Ed., PhD, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Drs. Supardjo, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kemudahan untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum, selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini. 4. Dra. Sundari, M. Hum, selaku Pembimbing Pertama yang dengan teliti, sabar dan penuh perhatian memberikan pengarahan dan bimbingan yang berguna dalam penyusunan skripsi ini. commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Drs. Christiana Dwi Wardhana, M. Hum, selaku Pembimbing Kedua dan pembimbing akademik yang telah dengan teliti dan sabar memberi pengarahan yang berguna dalam penyusunan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan bekal ilmu yang berguna bagi penulis. 7. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam mendapatkan referensi. 8. Pimpinan dan Staf
Pengajaran Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik. 9. Bapak dan ibuku tercinta, adikku Monika, calon kakak ipar Muhhamad
yang telah memberi dorongan baik moril maupun
materiil selama penulis melakukan kegiatan skripsi. 10. Istriku Fitri A dan anakku Angger Raditya Sena beserta keluarga besarnya, yang selalu ada di sisiku dan selalu memberi motivasi, serta tempat curahan suka dan duka dalam penyusunan skripsi ini. 11. Teman-teman angkatan 2004, terutama Mahatma Himawan, terima kasih atas segala dukungan dan perhatiannya. commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12. Bapak Suparto Brata beserta keluarga, selaku pengarang novel Dom Sumurup ing Banyu, yang telah bersedia diwawancarai dan banyak memberikan informasi tentang apa saja yang penulis butuhkan demi kelancaran penyusunan skripsi ini. 13. Semua pihak yang telah membantu penulis, baik secara materi maupun spiritual yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Semoga amal kebaikan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang sesuai dari Tuhan YME. Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini akan penulis terima dengan tangan terbuka.
Surakarta,
Penulis
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………...i HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………………ii HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….iii HALAMAN PERNYATAAN …………………………………………….iv HALAMAN MOTTO ……………………………………………………...v HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………..vi KATA PENGANTAR …………………………………………………….vii DAFTAR ISI ………………………………………………………………x ABSTRAK ………………………………………………………………...xiv BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………...1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………………............1 B. Rumusan Masalah ………………………………………………….6 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………...6 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………….7 E. Sistematika Penulisan ………………………………………………7 BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………………..9 A. Teori Analisis Struktural …………………………………………...10 1. Fakta-fakta cerita ………………………………………………10 a. Alur ………………………………………………………...11 b. Karakter ……………………………………………………13 c. Latar ……………………………………………………….13 commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Tema ……………………………………………………….15 2. Sarana Sastra …………………………………………………. 16 a. Judul ……………………………………………………….16 b. Sudut Pandang …………………………………………….17 c. Gaya dan Tone …………………………………………….18 B. Nilai Estetika dan Makna…………..................................................18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................19 A. Bentuk Penelitian ..............................................................................19 B. Sumber Data dan Data .....................................................................19 C. Teknik Pengumpulan Data ...............................................................20 D. Teknik Analisis Data ........................................................................22 BAB IV. ANALISIS DATA........................................................................23 A. ANALISIS STRUKTURAL ...........................................................23 1. Fakta Cerita ……………………………………………………23 a. Alur ………………………………………………………...23 1) Tahapan Alur …………………………………………...23 2) Kausalitas ………………………………………………41 3) Plausabilitas ……………………………………………45 4) Konflik …………………………………………………48 5) Konflik Utama dan Klimaks …………………………...74 6) Penyelesaian ……………………………………………76 b. Karakter ……………………………………………………78 1) Tokoh Herlambang ……………………………………78 2) Tokoh Ngesthireni ……………………………………..83 commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Tokoh Kiswanta ………………………………………87 4) Letnan Pengkuh ………………………………………90 5) Tokoh Yogyantara ……………………………………92 6) Motivasi Karakter …………………………………….94 c. Latar ………………………………………………………97 1) Latar Tempat …………………………………………98 2) Latar Waktu ………………………………………….106 3) Latar Sosial …………………………………………..116 4) Atmosfer ……………………………………………..122 d. tema ………………………………………………………135 1) Tema Bawahan ……………………………………….135 2) Tema Utama (sentral) ………………………………...139 2. Sarana Sastra …………………………………………………140 a. Judul ……………………………………………………...140 b. Sudut Pandang ……………………………………………142 c. Gaya dan Tone ……………………………………………147 1) Gaya …………………………………………………147 2) Tone …………………………………………………163 B. NILAI ESTETIKA DAN MAKNA .............................................166 1. Nilai Estetika …………………………………………………166 a. Memiliki Kepadatan Struktural ………………………….166 b. Stilistika ………………………………………………….167 2. Makna Novel DSB …………………………………………...171 BAB V. PENUTUP ...................................................................................175 commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A. Kesimpulan .....................................................................................175 B. Saran ................................................................................................177 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................178 LAMPIRAN ................................................................................................180
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Cyrilius Angga Mundisari, NIM : C0104004, Nilai Estetika dan Makna Novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata (Suatu Tinjauan Strutural Robert Stanton), Skripsi Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Karya sastra Jawa sebagai karya seni tidak cukup hanya dinikmati keindahannya saja. Akan tetapi perlu pula mendapatkan perhatian secara ilmiah, yaitu melalui suatu kajian ilmiah yang bertujuan untuk mengangkat semua aspek yang terkandung di dalamnya, melalui cara-cara atau pola pemikiran ilmiah yang berlaku, salah satunya adalah novel karya sastra Suparto Brata yang berjudul Dom Sumurup Ing Banyu. Masalah yang dikaji mencakup dua hal yaitu : (1) Analisis Struktural menurut teori Robert Stanton, (2) Nilai Estetika dan Makna Novel Dom Sumurup Ing Banyu. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan keterkaitan antarunsur pembangun novel Dom Sumurup Ing Banyu yang meliputi fakta cerita yang terdiri dari alur, karakter, latar, dan tema. Sarana Sastra yang terdiri dari judul, sudut pandang, serta gaya dan tone. (2) Mendeskripsikan tentang nilai-nilai estetika dan makna novel Dom Sumurup Ing Banyu. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural Robert Stanton. Objek penelitian ini adalah unsur-unsur struktural, baik yang berupa fakta cerita (alur, karakter, dan latar), sarana sastra (judul, sudut pandang, serta gaya dan tone), dan tema (tema bawahan dan tema sentral). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Dom Sumurup Ing banyu karya Suparto Brata, penerbit NARASI Yogyakarta, tahun 2006, jumlah halaman 238. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pustaka. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui beberapa tahap, yaitu tahap deskripsi, tahap klasifikasi, tahap analisis data, tahap interpretasi, dan tahap evaluasi data. Teknik penarikan simpulan menggunakan teknik penarikan simpulan induktif. Manfaat yang dapat diperolah dari penelitian ini, yaitu peneliti dapat mengetahui tentang kepadatan unsur-unsur yang membangun novel Dom Sumurup Ing Banyu. Juga memberikan pencerahan atau pelajaran tentang sikap patriotism yang ditunjukkan oleh tokoh utama maupun bawahan. Hasil analisis penelitian ini dapat disimpulkan (1) unsur-unsur intrinsik atau struktural yang terdapat dalam novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata adalah suatu keterjalinan, sehingga membentuk kebulatan atau totalitas. (2) Novel Dom Sumurup Ing Banyu memiliki nilai estetik yang dilihat dari segi kepadatan unsur struktural dan memiliki makna yang memberi pencerahan tentang sikap patriotisme dalam kehidupan sehari-hari
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SARIPATHI Cyrilius Angga Mundisari, NIM : C0104004, Nilai Estetika dan Makna Novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata (Suatu Tinjauan Strutural Robert Stanton), Skripsi Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Karya sastra Jawa minangka seni mbotên cêkap namung dipun raosakên kaéndahanipun kémawon. Nanging ugi perlu pikantuk kawigatèn ilmiah, inggih punika nglangkungi satunggaling kajian ilmiah anggadhahi tujuan ngangkat sadaya aspek wontên ing salêbêtipun, kanthi cara-cara pola pikiran ilmiah ingkang lumampah, déné salah satunggalipun inggih punika anggitanipun Suparto Brata kathi irah-irahan Dom Sumurup Ing Banyu. Pêrkawis ingkang dipunkaji kapérang dados kalih, inggih punika: (1) kadospundi analisis Struktural miturut teori Robert Stanton, (2) kadospundi Nilai Estetika lan Makna Novel Dom Sumurup Ing Banyu. Tujuanipun saking panalitèn punika (1) ngandharakên sêsambungan unsur-unsur pambangun novel Dom Sumurup Ing Banyu ingkang kapérang dados fakta cerita kaliyan sarana sastra. Fakta cerita kapérang saking alur, karakter, latar saha tema. Sarana sastra kaperang saking judul, sudut pandhang saha gaya kaliyan tone. (2) ngandharakên nilai-nilai estetika saha makna novel Dom Sumurup Ing Banyu. Metode ingkang dipun-gunakakên wontên ing panalitèn inggih punika metode deskriptif kualitatif. Pendekatan ingkang dipun-gunakakên wontên panalitén inggih punika pendekatan struktural miturut teori Robert Stanton. Obyek panalitèn inggih punika unsur-unsur struktural ingkang dumados saking fakta cerita ( alur, karakter, latar, saha tema ), saha sarana sastra ( judul, sudut pandhang, saha gaya kaliyan tone ). Sumbêr data ingkang dipun-gunakakên wontên ing panalitèn inggih punika novel Dom Sumurup Ing Banyu anggitanipun Suparto Brata penerbit NARASI Yogyakarta, taun 2006, ingkang kandêlipun 238 kaca. Teknik pangêmpalan data ingkang dipun-gunakakên inggih punika teknik pustaka. Data ingkang sampun dipunkêmpalakên lajêng dipun olah dados sawêtawis tahap, inggih punika tahap deskripsi, tahap klasifikasi, kaliyan tahap evaluasi data. Teknik penarikan simpulan dipun-gunakakên teknik penarikan induktif. Manfaat ingkang sagêd kapundhut saking panalitèn punika, panaliti sagêd mangêrtèni padêtipun unsur-unsur ingkang mbangun novel Dom Sumurup ing banyu ingkang dipunandharakên tokoh utama utawi bawahan. Asil analisis panalitèn punika sagêd disimpulakên, 1) unsur-unsur intrisik utawi struktur novel Dom Sumurup ing Banyu anggitanipun Suparto Brata sêsambungan ingkang njalari dumadosipun kebulatan utawi totalitas. 2) Novel Dom Sumurup ing Banyu anggadhahi nilai estetik ingkang katingal saking segi padêtipun unsur struktural saha suraos ingkang paring pancêrahan kanggé sikap patriotisme wontên ing panggêsangan sabên dhintên.
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Cyrilius Angga Mundisari, NIM : C0104004, Nilai Estetika dan Makna Novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata (Suatu Tinjauan Strutural Robert Stanton), Skripsi Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Java’s literature work as an art work is more than enjoy the beautifulness. More than that its also need to get attention scientifically by scientific lesson that aimed to raise all aspect included, by methods or scientific thought ‘pola’ that apply. One is novel written by Suparto Brata with tittle Dom Sumurup ing Banyu. Problem that learned covered two things, which are: 1) structural analysis according to Robert Stanton teori. 2) aesthetics value and the meaning of Dom Sumurup ing Banyu novel. The aim of this search are 1) to describe relevance inter constructor elements of novel Dom Sumurup ing Banyu which is covered fact of story that consist of plot, character, setting, and theme. Literatures medium that consist of title, point of view, style and Tone. 2) to describe about aesthetics value and the meaning of Dom Sumurup ing Banyu novel. The used method in this research is qualitative descriptive method. Approach used in this researd is Robert Stanton structural approach. The object of this research is structural element, such as the fact of story ( plot, character, setting and theme ) literature medium ( title, point of view, also style and tone ). Data sources that used in this research is novel Dom Sumurup Ing Banyu written by Suparto Brata, publisher NARASI Yogyakarta, year 2006, total page 238. Data gethering technique that used divining manual technique. The data that was collected then processed by some steps, which are descriptive step, classification step, data analysis step, interpretation step, and data evaluation step. Drawing conclusion technique using drawing inductive conclusion technique. The advantages of this research is the researches will know about density of element that build novel Dom Sumurup Ing Banyu . It is also gives clearness or lesson about patriotism attitude that addressed by starring of figuran. Analysis result of this research inferential (1) intrinsic or structural element contained in novel Dom Sumurup Ing Banyu written by Suparto Brata is a connection, so that forming roundness or totality, (2) Novel Dom Sumurup Ing Banyu has aesthetics value that can saw from density aspect of structural element and has meaning that gives clearness about patriotism attitude in daily life.
commit to user
xvi
NILAI ESTETIKA DAN MAKNA NOVEL DOM SUMURUP ING BANYU KARYA SUPARTO BRATA (Suatu Tinjauan Struktural Robert Stanton) Cyrilius Angga Mundisari1 Dra. Sundari, M. Hum2 Drs. Christiana Dwi Wardhana, M. Hum3
ABSTRAK 2011. Skripsi Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Karya sastra Jawa sebagai karya seni tidak cukup hanya dinikmati keindahannya saja. Akan tetapi perlu pula mendapatkan perhatian secara ilmiah, yaitu melalui suatu kajian ilmiah yang bertujuan untuk mengangkat semua aspek yang terkandung di dalamnya, melalui cara-cara atau pola pemikiran ilmiah yang berlaku, salah satunya adalah novel karya sastra Suparto Brata yang berjudul Dom Sumurup Ing Banyu. Masalah yang dikaji mencakup dua hal yaitu : (1) Analisis Struktural menurut teori Robert Stanton, (2) Nilai Estetika dan Makna Novel Dom Sumurup Ing Banyu. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan keterkaitan antarunsur pembangun novel Dom Sumurup Ing Banyu yang meliputi fakta cerita yang terdiri dari alur, karakter, latar, dan tema. Sarana Sastra yang terdiri dari judul, sudut pandang, serta gaya dan tone. (2) Mendeskripsikan tentang nilai-nilai estetika dan makna novel Dom Sumurup Ing Banyu. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural Robert Stanton. Objek penelitian ini adalah unsur-unsur struktural, baik yang berupa fakta cerita (alur, karakter, dan latar), sarana sastra (judul, sudut pandang, serta gaya 1
Mahasiswa Jurusan Sastra Daerah dengan NIM C0104004 Dosen Pembimbing I 3 Dosen Pembimbing II 2
dan tone), dan tema (tema bawahan dan tema sentral). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Dom Sumurup Ing banyu karya Suparto Brata, penerbit NARASI Yogyakarta, tahun 2006, jumlah halaman 238. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pustaka. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui beberapa tahap, yaitu tahap deskripsi, tahap klasifikasi, tahap analisis data, tahap interpretasi, dan tahap evaluasi data. Teknik penarikan simpulan menggunakan teknik penarikan simpulan induktif. Manfaat yang dapat diperolah dari penelitian ini, yaitu peneliti dapat mengetahui tentang kepadatan unsur-unsur yang membangun novel Dom Sumurup Ing Banyu. Juga memberikan pencerahan atau pelajaran tentang sikap patriotism yang ditunjukkan oleh tokoh utama maupun bawahan. Hasil analisis penelitian ini dapat disimpulkan (1) unsur-unsur intrinsik atau struktural yang terdapat dalam novel Dom Sumurup Ing Banyu karya Suparto Brata adalah suatu keterjalinan, sehingga membentuk kebulatan atau totalitas. (2) Novel Dom Sumurup Ing Banyu memiliki nilai estetik yang dilihat dari segi kepadatan unsur struktural dan memiliki makna yang memberi pencerahan tentang sikap patriotisme dalam kehidupan sehari-hari
NILAI ESTETIKA DAN MAKNA NOVEL DOM SUMURUP ING BANYU KARYA SUPARTO BRATA (Suatu Tinjauan Struktural Robert Stanton) Cyrilius Angga Mundisari1 Dra. Sundari, M. Hum2 Drs. Christiana Dwi Wardhana, M. Hum3
ABSTRACT 2011. Skripsi Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Java’s literature work as an art work is more than enjoy the beautifulness. More than that its also need to get attention scientifically by scientific lesson that aimed to raise all aspect included, by methods or scientific thought ‘pola’ that apply. One is novel written by Suparto Brata with tittle Dom Sumurup ing Banyu. Problem that learned covered two things, which are: 1) structural analysis according to Robert Stanton teori. 2) aesthetics value and the meaning of Dom Sumurup ing Banyu novel. The aim of this search are 1) to describe relevance inter constructor elements of novel Dom Sumurup ing Banyu which is covered fact of story that consist of plot, character, setting, and theme. Literatures medium that consist of title, point of view, style and Tone. 2) to describe about aesthetics value and the meaning of Dom Sumurup ing Banyu novel. The used method in this research is qualitative descriptive method. Approach used in this researd is Robert Stanton structural approach. The object of this research is structural element, such as the fact of story ( plot, character, setting and theme ) literature medium ( title, point of view, also style and tone ). Data sources that used in this research is novel Dom Sumurup Ing Banyu written 1
Mahasiswa Jurusan Sastra Daerah dengan NIM C0104004 Dosen Pembimbing I 3 Dosen Pembimbing II 2
by Suparto Brata, publisher NARASI Yogyakarta, year 2006, total page 238. Data gethering technique that used divining manual technique. The data that was collected then processed by some steps, which are descriptive step, classification step, data analysis step, interpretation step, and data evaluation step. Drawing conclusion technique using drawing inductive conclusion technique. The advantages of this research is the researches will know about density of element that build novel Dom Sumurup Ing Banyu . It is also gives clearness or lesson about patriotism attitude that addressed by starring of figuran. Analysis result of this research inferential (1) intrinsic or structural element contained in novel Dom Sumurup Ing Banyu written by Suparto Brata is a connection, so that forming roundness or totality, (2) Novel Dom Sumurup Ing Banyu has aesthetics value that can saw from density aspect of structural element and has meaning that gives clearness about patriotism attitude in daily life.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Kebudayaan merupakan perwujudan dari perilaku manusia sebagai anggota masyarakat. Satu konsep keindahan Jawa yang menyatakan bahwa sesuatu yang halus adalah indah. Konsep tersebut berkaitan dengan sesuatu penilaian baik buruk (ini berkaitan erat dengan cita rasa) terhadap suatu hal. Halus dan kasar pertama-tama merupakan katagori estetis. Apa yang halus itu juga indah dan yang kasar itu jelek. Dengan demikian penilaian baik buruk berdekatan dengan penilaian estetis. Banyak ragam kebudayaan yang memiliki nilai estetik, salah satunya adalah karya sastra. seseorang
terhadap
kehidupan,
Karya sastra merupakan hasil tanggapan baik
melalui
pengalaman,
pengetahuan,
kebudayaan maupun hasil bacaan, yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan itu dapat dipahami dan dinikmati oleh masyarakat pembaca. Hubungan antara pengarang, karya sastra, dan pembaca merupakan satu kesatuan, tidak dapat dipisah-pisahkan. Karya sastra diciptakan pengarang pasti mengandung suatu ajaran. Ajaran itu berfungsi sebagai bekal dalam menjalankan roda kehidupan yang selalu berputar. Ajaran-ajaran itu antara lain: moral, kepemimpinan, tanggung jawab, sopan santun dan sebagainya. Lewat karya sastra ajaran yang disampaikan kepada pembaca sangat halus, yakni dalam bentuk kias dan perlambangan, bukan tembak langsung (Zainuddin fananie, 2000:46). commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
Karya sastra bukanlah barang mati dan fenomena yang lumpuh, melainkan penuh daya imajinasi yang hidup. Karya sastra tidak berbeda jauh dengan fenomena manusia yang bergerak, fenomena alam yang kadang-kadang ganas, dan fenomena apa pun yang ada di dunia dan akherat. Karya sastra dapat menyebrang ke ruang dan waktu, yang kadang-kadang jauh dari jangkauan nalar manusia (Suwardi Endraswara, 2003:22). Karya sastra adalah budidaya manusia yang berupa lisan dan tulis. Karya sastra bentuk lisan di antaranya adalah folklor, dongeng, legenda, dan sebagainya. Karya sastra seperti ini penyebarannya dari mulut ke mulut, sedangkan karya sastra bentuk tulis di antaranya cerbung, cerita pendek, drama, puisi, dan novel. Dengan menggunakan bahasa yang indah sebagai ungkapan pikiran yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Gorys Keraf 2004:113).Novel berbeda dengan cerpen karena novel lebih kompleks dalam segi ceritanya. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai masalah yang ada (Burhan Nurgihantoro, 2000:11). Selain itu novel tidak bisa dibaca sekali duduk berbeda dengan cerpen yang bisa dibaca dalam sekali duduk. Novel merupakan ungkapan realita kehidupan yang selalu menarik dan pelik untuk diperhatikan. Banyak novel yang ditulis pengarang yang berkisah tentang asmara, misteri, kehidupan rumah tangga, kesetiaan, perjuangan, dan sebagainya. Masalah tersebut merupakan realitas kehidupan dari seorang pengarang yang telah mewakili gejolak jiwanya kemudian dituangkan dalam bantuk karya sastra. Novel Dom Sumurup ing Banyu karya Suparto Broto adalah kisah nyata perjalanan beliau pada saat jaman kemerdekaan RI. Hanya saja Pak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
Brata (panggilan akrap di lingkungan tempat tinggalnya) menuangkan cerita tersebut dengan nama-nama tokoh yang fiksi atau Pak Brata membuat sendiri tokoh-tokoh tersebut. Novel DSB menceritakan tentang seorang mata-mata Belanda yang berusaha masuk ke Indonesia. Seorang mata-mata tersebut diutus oleh seorang perwira staf suatu organisasi Belanda yang berdiri di Surabaya bernama Luidelmeyer. Mata-mata tersebut berusaha masuk ke tanah Indonesia lewat garis dhemarkasi Mojokerto. Belanda mengutus seorang mata-mata masuk ke Indonesia dengan tujuan mengambil gambar rumus bangunan pabrik mesiu/senjata di Batu Jamus yang dimiliki Indonesia. Pabrik mesiu/senjata ini terletak di lereng gunung Lawu sebelah barat, yang rencananya akan dihancurkan oleh Belanda. Dahulu belum seperti jaman modern sekarang ini, yang sudah ada kamera untuk memudahkan mengambil sebuah gambar. Novel Dom Sumurup ing Banyu diceritakan rumusan gambar tersebut dipotret oleh seorang mata-mata dengan mata telanjang, diingat dan kemudian dituangkan ke sebuah bentuk gambar tangan. Herlambang adalah tokoh yang diceritakan mampu dan memiliki kemampuan memotret dengan mata telanjang yang diingat dan kemudian digambarkan kembali dalam bentuk gambar tangan. Herlambang adalah tokoh utama dalam novel Dom Sumurup ing Banyu, di novel ini diceritakan kepintaran seorang Herlambang telah banyak dipakai untuk kepentingan perang, seperti di perang dunia ke II di Pasifik. Herlambang telah membantu pasukan US-Army mengalahkan pasukan Jepang di pulau-pulau Saipan, Mariane, Iwo Jiwo, Tarakan, luzon yang dikomandani Jendral McArthur. Novel ini menceritakan tentang pengalaman seorang Herlambang menjadi ” dom sumurup ing banyu ”, spionase commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang masuk di tanah Republik Indonesia bulan Agustus 1948. Mojokerto awal mula Herlambang memulai petualangannya sebagai spion atau mata-mata dan bertemu dengan van Grinsven perwira VDMB Belanda (Veiligheids Dienst Mariniers Brigade) yang merencanakan, mempersiapkan menyusup ke garis dhemarkasi. Persiapan penyusupan tersebut telah matang dan harus dijalankan, Herlambang adalah seorang yang profesional, dia langsung menjalankan apa yang diperitahkan hingga akhirnya Herlambang bertemu dengan seorang wanita bernama Ngestireni.mereka berdua berjalan bersama melewati rintangan kota demi kota hingga akhirnya sampai ke Batu Jamus. Sesampai di Batu Jamus Herlambang harus menemui Raden Mas Yogyantara seorang petinggi keraton Solo pada waktu itu, yang ternyata dia juga seorang ”anthek” Belanda. Raden mas Yogyantara adalah kakak Dyah Ngestireni wanita yang menemani perjalanan Herlambang. Di Batu Jamus terjadi ketegangan antara herlambang dan Raden Yogyantara tentang rumusan bangunan pabrik mesiu, dimana Herlambang ternyata bukan Herlambang melainkan adalah Hartono yang menyamar menjadi herlambang
untuk
mengelabui
Belanda
untuk
menggagalkan
rencana
menghancurkan pabrik mesiu batu Jamus dan menangkap Raden mas Yogyantara. Pengarang Suparto Brata ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui novel ini dengan harapan agar kita sebagai penerus bangsa tetap menjunjung tinggi binneka tunggal ika, yang selama ini luntur karena pengaruh budaya barat masuk di negeri ini. Novel Dom Sumurup ing Banyu karya Suparto Brata diangkat sebagai objek penelitian ini didasari oleh beberapa alasan berikut. commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Novel DSB menampilkan masalah sosial manusia yang meliputi perjuangan manusia, penderitaan, kesetiaan, kecintaan terhadap negara, kebencian, serta segala sesuatu yang dialami seorang yang membela negara hingga rela berpura-pura menjadi spion Belanda. 2. Sepengetahuan peneliti dan pengarang, Novel DSB belum diteliti, baik dari segi isi maupun bentuk. 3. Pengarang novel DSB sangat produktif, selain itu memiliki pengetahuan luas, dalam karyanya selalu menampilkan kehidupan atau sebuah perjuangan hidup yang memberikan contoh bagi pembaca. Penulis sangat tertarik dengan permasalahan yang ada tentang kesetian terhadap tanah air dan pejuangan membela negara. Permasalahan yang muncul dalam novel ini sangat kompleks, konflik-konflik yang dihadirkan sangat menantang dan menarik. Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan atau analisis struktural untuk menemukan nilai-nilai estetika dan makna yang terkandung dalam Novel Dom Sumurup ing Banyu
B. Rumusan Masalah Dengan mencermati latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur dan keterkaitan antarunsur yang membangun novel Dom Sumurup ing Banyu karya Suparto Brata yang meliputi: tema, amanat, penokohan, alur, serta latar? 2. Bagaimanakah Novel Dom Sumurup ing Banyu sebagai karya sastra memiliki nilai-nilai estetik dan makna menurut teori Robert Stanton? commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sasaran yang hendak dicapai dalam setiap penelitian. Berhasil tidaknya suatu penelitian tergantung pada hasil pemecahan terhadap masalah yang telah ditetapkan. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini seperti berikut ini: 1. Mendeskripsikan keterkaitan antar unsur-unsur pembangun novel Dom Sumurup ing Banyu, yang meliputi tema, amanat, alur cerita, penokohan dan latar (setting). 2. Mendeskripsikan dan menemukan nilai estetika juga makna melalui teori Robert Stanton (sarana-sarana sastra) yang terkandung di dalam novel Dom Sumurup ing Banyu
D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun manfaat praktis. Adapun manfaat penulisan sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep, teori, dan prinsip sastra yang selanjutnya dapat menjadi masukan yang berguna bagi perkembangan ilmu sastra. 2. Secara Praktis a. Penelitian ini agar dapat membantu dalam usaha memperkaya khasanah penelitian sastra atau hal-hal yang terungkap melalui karya commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sastra, sebab apa yang terkandung didalamnya mempunyai relevansi dengan kehidupan manusia. b. Hasil penelitian ini bisa sebagai acuan untuk peneliti selanjutnya. c. Bisa dimanfaatkan oleh pengarang muda sebagai pengayaan tentang penulisan karya sastra. d. Bisa dimanfaatkan oleh guru bahasa dan sastra Jawa dalam hal menambah materi pengajaran sastra.
E. Sistematika Penulisan Secara garis besar penelitian terhadap novel Dom Sumurup ing Banyu ini akan dibahas dalam beberapa bab, adapun susunannya sebagai berikut: Bab
I
: PENDAHULUAN yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab
II
: LANDASAN TEORI, meliputi pendekatan struktural, aspek
nilai-nilai estetika dan makna yang terkandung di dalam karya sastra yang membangun novel Dom Sumurup ing Banyu. Bab
III
: METODE PENELITIAN, meliputi metode dan bentuk
penelitian, sumber data dan data, teknik pengupulan data, teknik analisis data. Bab
IV
: ANALISIS DATA, yang meliputi tinjauan struktural novel Dom
Sumurup ing Banyu yang meliputi alur, tema, amanat, serta penokohan. Menemukan dan menganalisis nilai-nilai estetika dan makna yang terkandung dalam novel DSB. commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bab
V
: PENUTUP, yang meliputi Kesimpulan dan Saran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
Landasan teori dalam suatu penelitian akan lebih membantu penulis dalam menganalisis permasalahan yang ada di dalam penelitian tersebut. Mengingat hal tersebut maka dalam suatu penelitian sebaiknya berpegang pada suatu paham atau teori tertentu, sehingga arah dan tujuan dari penelitian tersebut akan lebih jelas dan mudah untuk dikaji. Judul penelitian menjelaskan bahwa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis struktural. Analisis struktural harus dilakukan terlebih dahulu sebagai langkah awal dalam setiap penelitian karya sastra, maka dalam penelitian ini penulis akan menggunakan dua macam pendekatan. Pertama adalah pendekatan struktural, yaitu suatu pendekatan yang menekankan pada segi intrinsik, merupakan suatu totalitas kerangka pembangun karya sastra tersebut. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah, pemahaman dan pengkajian unsur struktural harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur itu (Tirto Suwondo, 1994: 75). Sebagai pelengkapnya akan digunakan pendekatan estetika sastra, sebagai pendekatan kedua, yang membahas tentang nilai- nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra khususnya novel atau karya sastra tulis, dan menemukan makna dibalik karya sastra tersebut yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat pendukung karya sastra itu.
commit to user
9
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A. Teori Analisis Struktural Pendekatan struktural adalah pendekatan yang digunakan dalam usaha memahami karya sastra dengan memperhitungkan struktur atau unsur-unsru pembentuk karya sastra sebagai jalinan yang utuh. Pendekatan struktural yang digunakan di dalam analisis bermaksud untuk membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterjalinan dan keterkaitan semua unsur-unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984:36). Pendekatan struktural yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural model Robert Stanton. Robert Stanton (2007:97), menyatakan bahwa untuk menganalisis novel sebaiknya dilihat terlebih dahulu prinsip kepaduan sebuah novel. Kepaduan di sini berarti seluruh aspek dari karya sastra harus berkontribusi penuh pada maksud utama atau tema. Dengan demikian, pendekatan struktural memandang karya sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh, terdiri dari unsur-unsur yang memiliki suatu keterkaitan dan dapat membentuk suatu makna yang menyeluruh. Robert Stanton menyatakan bahwa struktur karya sastra meliputi 3 kategori, yaitu: fakta cerita, sarana sastra, dan tema.
1. Fakta-fakta Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan „struktur faktual‟ atau „tingkatan faktual‟ cerita (Robert Stanton, 2007:22). commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Alur Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang berhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa yang lain, dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Robert Stanton, 2007:26). Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemenelemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dapat dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri. Alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan, dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, serta memunculkan sekaligus mengakhiri keteganganketegangan (Robert Stanton, 2007:28). Awal cerita memperkenalkan peristiwa
yang membuat pembaca
mendapatkan informasi yang penting, berkaitan dengan hal-hal yang muncul pada kejadian selanjutnya. Bagian tengah menampilkan konflik yang sudah mulai dimunculkan pada bagian awal dan konflik itu semakin meningkat hingga mencapai klimaks. Bagian akhir merupakan penyelesaian dari klimaks dan menjadi bagian akhir cerita. Alur sebuah cerita harus bersifat saling terkait, antara peristiwa yang satu dengan yang lain, antara peristiwa yang diceritakan terlebih dahulu dengan yang diceritakan kemudian, terdapat hubungan dan sifat saling terkait. Keterkaitan antar peristiwa yang dikisahkan akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang ditampilkan. Sebaliknya, alur sebuah karya fiksi yang ruwet dan sulit commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikenali hubungan kausalitas antar peristiwanya menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah „konflik‟ dan „klimaks‟. Konflik dibagi atas konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal merupakan konflik antara dua keinginan dalam diri seorang tokoh; sedangkan konflik eksternal merupakan konflik antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain (antar tokoh), atau antara tokoh dengan lingkungannya. Konflik-konflik ini merupakan subordinasi dari satu “konflik utama”, baik yang bersifat internal, eksternal, maupun dua-duanya. Konflik utama selalu merupakan pertentangan antara dua nilai atau kekuatan yang mendasar, seperti kejujuran dan kemunafikan dengan individualitas, dan pemaksaan untuk disetujui dan sebagainya. Sebuah cerita mungkin mengandung lebih dari satu konflik, tetapi hanya konflik utamalah yang dapat merangkum seluruh peristiwa yang terjadi dalam alur. Konflik utama merupakan inti cerita atau tema (Robert Stanton, 2007:31―32). Konflik yang muncul dalam cerita mengarah pada klimaks, yaitu saat konflik telah mencapai puncak, dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiaannya. Klimaks sangat menentukan perkembangan plot. Robert Stanton (2007:32), menyatakan sebagai berikut. „Klimaks‟ adalah saat ketika konflik terasa sangat intens, sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks hanya dimungkinkan ada dan terjadi jika ada konflik. Namun, tidak semua konflik harus mencapai klimaks. Hal itu sejalan dengan keadaan bahwa tidak semua konflik harus mempunyai penyelesaian. Klimaks sangat menentukan (arah) perkembangan alur yang akan diselesaikan. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan. Satu kekuatan mungkin menaklukan kekuatan lain, namun selayaknya kehidupan, keseimbanganlah yang sering kali menjadi penyelesaian, karena tidak ada satu kekuatan pun yang sepenuhnya kalah atau menang. Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler. Klimaks utama tersebut acapkali sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaksnya sendiri. Bahkan, konflik sebuah cerita terwujud dalam berbagai bentuk atau cara dan melalui beberapa fase yang berlainan, akan sangat tidak mungkin menentukan satu klimaks utama. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
b. Karakter Karakter dapat berarti „pelaku‟ dan dapat pula berarti „perwatakan‟, keterkaitan antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimiliki, memang merupakan suatu kesatuan yang utuh, dapat dikatakan bahwa seorang tokoh dalam cerita diciptakan bersama dengan perwatakan yang dimilikinya. Karakter biasanya dipakai dalam dua konteks; konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita; konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari idividu-individu tersebut. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemui satu karakter utama , yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Dengan pembagian karakter menjadi dua konteks tersebut, setidaknya dapat menganalisis dan mengamati tokoh cerita atau karakter dengan merujuk pada dua hal, yakni antara individu-individu yang muncul dalam cerita, dan pada percampuran berbagai kepentigan dari individu-individu tersebut sehingga bisa ditemukan karakter atau tokoh utama (Robert Stanton, 2007:33). Alasan seorang tokoh untuk melakukan suatu tindakan dinamakan „motivasi‟. Robert Stanton (2007:33), membedakan motivasi menjadi dua jenis, yakni „motivasi spesifik‟ dan „motivasi dasar‟. Motivasi spesifik seorang tokoh adalah alasan atas reaksi spontan yang mungkin juga tidak disadari, yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu. Motivasi dasar adalah suatu aspek umum dari satu tokoh (hasrat dan maksud yang memandu sang tokoh) dalam melewati keseluruhan cerita. Dari kedua motivasi ini, seorang tokoh bisa dicermati atas tindakan yang dilakukan.
c. Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semua hal yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
berlangsung. Latar dapat berwujud dekor (sebuah cafe di Paris, Pegunungan di California, sebuah jalan buntu di sudut kota Dublin, dan sebagainya). Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca atau satu periode sejarah. Meski secara tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita (Robert Stanton, 2007:35). Dalam berbagai cerita dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan mood dan tone emosional yang melingkupi sang karakter. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa terlihat dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau bahkan penuh perasaan. Ketika seorang pengarang mampu berbagi “perasaan” (mood) dengan sang karakter, dan ketika perasaan itu tercermin pada lingkungan, tone menjadi identik dengan „atmosfer‟. Atmosfer bisa jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter, agar perilaku sang karakter atau orang-orang di luar dirinya dapat sepenuhnya dimengerti (Robert Stanton, 2007:63). Dengan demikian, latar sebagai salah satu unsur fiksi, berhubungan langsung dan mempengaruhi pengaluran dan penokohan. Latar sebagai bagian cerita yang tidak dapat dipisahkan. Unsur latar dapat dibedakan menjadi 3 unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Ketiga unsur tersebut meskipun masing-masing menampilkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, namun pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Latar tempat berkaitan dengan lokasi tempat terjadinya peristiwa yang diceritakandalam sebuah karya fiksi (nama tempat, pegunungan, restaurant,dan sebagainya); latar waktu berkaitan dengan masalah „kapan‟ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah commit latar to usersosial berkaitan dengen perilaku karya fiksi (hari, bulan, dan tahun);
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (tradisi, adat-istiadat, pandangan hidup, dan sebagainya).
d. Tema Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam pengalaman manusai; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang mengambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap dirisendiri, atau bahkan yang lainnya. Beberapa cerita bermaksud menghakimi tindakan karakter-karakter di dalamnya dengan memberi atribut „baik‟ atau „buruk‟. Cerita-cerita lain memusatkan perhatian pada persoalan moral tanpa bermaksud memberi penilaian dan seolah-oleh hanya berkata „inilah hidup‟ (Robert Stanto, 2007:36―37). Tema dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) atau tujuan utama (central purpose). Tema dibagi menjadi dua bagian, yaitu tema sentral atau tema mayor atau ide utama yang menjdaikan cerita berfokus dan saling memiliki keterkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lain, untuk membentuk makna cerita yang utuh. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar keseluruhan cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Tema bawahan atau tema minoe adalah makna yang terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita atau makna tambahan. Makna tambahan itu bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama atau keseluruhan cerita. Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih rinci, Robert Stanton (2007:44―45), menyatakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti sebagai berikut. Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail yang menonjol. Hal ini disebabkan pada detail-detail yang menonjol (ditonjolkan) itulah pada to user umumnya sesuatu yang commit ingin disampaikan. Detail cerita yang
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
demikian diperkirakan beradadi sekitar persoalan utama. Dengan demikian tokoh-masalah-konflik utama merupakan tempat yang paling strategis untuk mengungkapkan tema utama sebuah novel; kedua, penafsiran tema sebuah novel hendaknyatidak bersifat bertentangan dengan tiap detai cerita; ketiga, penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan (baik secara langsung maupun tidak langsung) dalam novel yang bersangkutan. Tema cerita tidak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, sesuatu yang dibayangkan ada dalam cerita, atau informasi yang kurang dapat dipercaya; keempat, penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung adat atau disaran dalam cerita. Penunjukkan tema sebuah cerita haruslah dapat dibuktikan dengan data-data atau detai-detail cerita yang terdapat dalam cerita itu, baik yang berupa bukti-bukti langsung, artinya hanya berupa penafsiran terhadap kata-kata yang ada. Dari fakta-fakta cerita yang ada, didukung dengan sarana-sarana sastra, maka makna totalitas dari suatu karya sastra cenderung dapat dimunculkan melalui analisis dari unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut.
2. Sarana Sastra Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang ) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu, karena dengan sarana-sarana itu pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang.
a. Judul Pembaca pada umumnya mengira bahwa judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya, sehingga keduanya membentuk suatu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu, akan tetapi judul seringkali menjadi petunjuk makna cerita yang commit to userberhubungan dengan cerita secara bersangkutan (Robert Stanton, 2007:51). Judul
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
keseluruhan karena merujuk pada karakter, latar, dan tema. Judul merupakan kunci pada makna cerita. Seringkali judul dari karya sastra mempunyai beberapa makna yang terkandung dalam cerita, judul juga dapat merupakan sindiran terhadap kondisi yang ingin dikritisi oleh pengarang, dapat juga dikatakan sebagai kesimpulan terhadap keadaan yang sebenarnya dalam cerita.
b. Sudut Pandang Sudut pandang dapat dikatakan sebagai dasar berpijak pembaca untuk melihat peristiwa-peristiwa dalam cerita. Pengarang sengaja memilih sudut pandang secara berhati-hati agar dapat memiliki berbagai posisi dan berbagai hubungan dengan setiap peristiwa dalam cerita (baik di dalam maupun di luar tokoh), dan secara emosinal terlibat atau tidak. Robert Stanton (2007:53), berpendapat bahwa pemikiran dan emosi para arakter hanya dapat diketahui melalui berbagai tindakan yang mereka lakukan. Pendeknya, „kita‟ memiliki posisi yang berbeda , memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam cerita (di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional), „posisi‟ ini sebagai pusat kesadaran, tempat di mana kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita, maka dinamakan „sudut pandang‟. Robert Stanton (2007:53―54), membagi sudut pandang menjadi 4 tipe utama. 1. Orang pertama-utama, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. 2. Orang pertama-sampingan, cerita dituturkan oleh satu karakter sampingan. 3. Orang ketiga-terbatas, pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga, tetapi hanya mengambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan diperkirakan oleh satu orang karakter saja. 4. Orang ketiga-tidak terbatas, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga. to user Pengarang juga dapatcommit membuat beberapa karakter, melihat,
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mendengar, atau berfikir, atau bahkan saat tidak ada satu karakter pun hadir.
c. Gaya dan Tone Gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karkter, dan latar yang sama, namun hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan meyebar dalam berbagai aspek; seperti kerumitan, ritme, panjangpendek kalimat, pada bagian-bagian, humor, kenyataan, dan banyaknya imaji, serta metafora. Campuran dari berbagai aspek tersebut akan menghasilkan gaya (Robert Stanton, 2007:61). Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah „tone‟. Tone adalah sikap emosinal pengarang yang ditampilkan dala cerita. Tone bisa tampak dalam berbagai wujud, baik yang tingan, romantis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan. Ketika seorang pengarang mampu berbagai “perasaan” dengan sang karakter, dan ketika perasaan itu tercermin pada lingkungan, tone menjdi identik dengan “atmosfer”. Pada posisi tertentu tone dimunculkan oleh fakta-fakta. Satu cerita yang mengisahkan tentang seorang pembunuh berkapak, maka akan memunculkan tone „gila‟, akan tetapi yang terpenting adalah ppilihan detail pengarang ketika meyodorkan fakta-fakta itu dan tentu saja gaya pengarang sendiri (Robert Stanton, 2007:63).
B. Nilai Estetika dan Makna Estetika sastra adalah aspek keindahan yang terkandung dalam sastra. Pada umumnya aspek-aspek keindahan sastra didominasi oleh gaya bahasa. Mengingat bahwa penelitian ini menggunakan penelitian struktural, maka kriteria yang dikemukakan
adalah kriteria
yang sesuai dengan
prinsip-prinsip
strukturalisme. Menurut paham strukturalisme, suatu karya sastra itu memiliki nilai estetik apabila; (a) memiliki commit kepadatan struktural (b) stilistika. to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian ini adalah diskriptif kualitatif. Adapun tujuan dari penelitian diskriptif kualitatif adalah untuk memperoleh gambaran atau diskripsi mengenai kualitas dari objek yang dikaji, dalam hal ini adalah karya sastra yang berbentuk novel. Penelitian deskriptif kualitatif memiliki karakterisasi ialah penelitian yang memusatkan perhatiannya pada deskripsi. Data yang dikumpulkan berwujud katakata atau gambaran yang artinya lebih dari sekadar angka atau jumlah. Untuk memperoleh data atau melengkapi data, peneliti mengadakan studi pustaka, ialah dengan mencari informasi melalui buku-buku, karangan-karangan ilmiah seperti skripsi, makalah, naskah-naskah, dan dokumen untuk usaha pengembangan validitas data (HB. Sutopo, 2006: 81).
B. Sumber Data dan Data a. Sumber Data Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel yang berjudul Dom Sumurup ing Banyu karya Suparto Brata cetakan pertama, penerbit NARASI Yogyakarta, terdiri atas 238 halaman. Sumber data sekunder yaitu berupa tulisan-tulisan dan referensi yang mendukung topik penelitian. commit to user
19
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Data Data dalam penelitian ini adalah: 1. Data primer yaitu unsur-unsur intrinsik teks Novel Dom Sumurup ing Banyu. 2. Data sekunder yaitu informasi dari buku-buku dan referensi yang relevan dengan penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data Data disediakan dari sumber data. Teknik pengumpulan data berkaitan erat dengan sumber data. Data yang diperoleh dari sumber data tertulis termasuk novel DSB mempunyai sifat yang berbeda dengan data yang diperoleh dari sumber lisan (pengarang, narasumber). Perbedaan sifat itu ditampakkan dalam tiga teknik pengumpulan data berikut: 1. Teknik Analisis Struktural Teknik ini digunakan untuk mengambil data literer. Data yang membangun unsur-unsur intrinsik struktur novel DSB, sehingga didapat data katagoris yang berupa: tema, amanat, alur, plot, penokohan, latar (setting). Teknik ini juga dapat digunakan untuk mendapatkan atau menemukan nilai-nilai estetika dan makna yang terkandung di dalam sebuah karya sastra khususnya novel.
2. Teknik Kepustakaan Menurut Edi Subroto (2007) teknik kepustakaan adalah teknik yang dilakuakan dengan cara pengumpulan data berdasarkan dokomen tertulis/arsip. Teknik ini dilakukan terhadap data tertulis jika ada dan dimungkinkan (terutama dalam commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penelitian bahasa). Istilah teknik kepustakaan disebut juga content analysis. HB Sutopo (2006) menjelaskan bahwa Teknik ini dipakai untuk pengumpulan data utama (novel) dan tulisan lain yang berkaitan dengan novel dan pengarangnya. Dokumen tertulis dan arsip merupakan data yang sering memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif. Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari yang ditulis sederhana sampai yang lebih lengkap dan kompleks, dan bahkan bisa berupa benda-benda lainnya sebagai peninggalan masa lampau. Sabagai catatan formal arsip sering memiliki peran sebagai sumber informasi yang sangat berharga bagi pemahaman suatu pristiwa. Sumber data yang berupa arsip dan dokumen biasanya merupakan sumber data pokok, terutama untuk mendukung proses interpretasi dari setiap pristiwa yang diteliti. Teknik mencatat dokumen ini disebut content analysis, untuk menemukan berbagai hal sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitiannya. Dalam penelitian ini perlu disadari bahwa peneliti bukan sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga maknanya yang tersirat. Maka dari itu, peliti harus bersikap kritis dan teliti ( HB. Sutopo, 2006: 81). Teknik ini juga sering pula disebut sebagai analisis isi/dokumen. Cara kerjanya adalah dengan memeriksa dan menampilkan berbagai macam data yang bersumber dari artikel, beberapa makalah, makalah seminar atau diskusi, dan beberapa tulisan lain Penggunaan teknik kepustakaan diikuti langkah lanjutan yang berupa penyimakan, dan pencatatan terhadap (yang dianggap) data, untuk kemudian diklasifikasi, dipilih, dan dipilah sebagai data. Dengan demikian wujud data yang diperoleh berupa catatan-catatan dalam kartu data. commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis interaktif. Dalam teknik analisis interaktif ini peneliti bergerak dalam tiga komponen analisis yang dapat dijelaskan sebagai berikut: setelah data yang berupa kata, frasa, kalimat, wacana, dan lain-lain, data yang dikumpulkan dengan teknik analisis struktural, flow chart maupun wawancara, langkah selanjutnya adalah dilakukan proses seleksi data, proses selaksi data ini dengan reduksi data berdasarkan kartu data yang ada. Dalam reduksi data ini peneliti melakukan proses seleksi data dengan mengklasifikasi data yang diarahkan sesuai dengan tema dan masalah penelitian. Tahap selanjutnya adalah penyajian data, data yang telah terseleksi tersebut kemudian diolah, disusun dan disajikan, setelah itu dilakukan penarikan kesimpulan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV ANALISIS DATA
A. ANALISIS STRUKTURAL
1. Fakta Cerita Fakta cerita yaitu meliputi karakter, alur, dan latar. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imaginatif dari sebuah cerita. Pembahasan fakta cerita Dom Sumurup ing Banyu adalah sebagai berikut: a. Alur Alur secara umum merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Alur dalam Dom novel Sumurup ing Banyu pada penelitian ini menggunakan alur maju mundur, yaitu urutan kejadian atau cerita yang dikisahkan dalam karya fiksi urut sampai akhir cerita, kemudian ada peristiwa yang ditarik ke belakang atau flash back. Analisis alur novel Dom Sumurup ing Banyu berupa kutipan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam cerita. 1) Tahapan alur Tahapan alur dalam novel Dom Sumurup ing Banyu dapat diuraikan pada tahap-tahap sebagai berikut: a) Tahapan awal Tahap awal novel
Dom Sumurup ing Banyu menceritakan tentang
keadaan kota Mojokerto yang pada saattoituuser ada sebuah restoran yang bernama commit 23
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
restoran Tong Sien. Restoran Tong Sien terkenal akan masakan-masakan Cina dan para wanita yang melayani setiap para pengunjung datang. Restoran Tong Sien inilah awal cerita pengenalan seorang Herlambang yang bertemu dengan Van Grinsven untuk membicarakan tentang misinya menjadi seorang mata-mata, yang akan berangkat ke Batu Jamus. … Jres! Ana wong liya ngurupake, dicungake marang rokoke serdhadhu Walanda mau … “Dank uwel!” wasana ujare lan banjur ngempakake rokoke. “ora kepenak ngombe bir ijen” wong sing aweh geni mau omong. Kalem, dedege pideksa, klambine putih lengen dawa, clanane biru gargarbadin. Sajak wong sing kulina urip mubra-mubru. … nganggo basa Walanda “Priye, Meneer Van Grinsven, apa aku bisa metu saka Mojokerto sore iki?” “kudu bisa. Saka restoran iki kowe mengko mlaku ngiwa. Watara satus meter ana gang ngiwa. Ing gang kuwi ana jip … (Suparto Brata, 2006:3-4). Terjemahan: … Jres! Ada orang lain yang menyalakan, diacungkan ke rokok serdadu Belanda tadi… “Terima kasih” katanya dan kemudian menyalakan rokoknya “Tidak enak minum bir sendirian” orang yang member api tadi berbicara. Tenang, badannya perkasa, bajunya putih lengan panjang, celana biru. Seperti orng yang terbiasa hidup hura-hura … memakai bahasa Belanda “Bagaimana, mener van Grinsven, apakah aku bisa keluar dari kota Mojokerto sore ini?” “harus bisa. Dari restoran ini kamu nanti berjalan ke kiri. Kira-kira seratus meter ada gang kiri. Di gang itu ada jip…
Pembicaraan Van Grinsven dan Herlambang mencapai kesepakatan. Herlambang segera berangkat menuju tempat yang telah dibicarakan dengan menggunakan jip, kendaraan yang telah dijanjikan oleh Van Grinsven kepada Herlambang. Dari sinilah awal pertemuan Herlambang bertemu dengan wanita yang bernama Dyah Ngesthireni. Pertemuan Herlambang dengan Ngesthireni commit to user tidak ada dalam pembicaraan Herlambang dengan Van Grinsven, akan tetapi
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ngesthireni inilah yang menemani separuh perjalanan Herlambang menuju Batu Jamus. …. “Goede middag, meneer Herlambang!” suwarane wong ing sopiran jip. Nglimpreg semangate Herlambang! Pucuk pistol ngacung, meh wae nyuleg mripate! “edan tenan! Iki mesthi pokale Van Grinsven!” pangunandikane Herlambang. Van Grinsven jan wis maeka dheweke tenan! Modar saikimu! … (Suparto Brata, 2006:10). Terjemahan: … “Goede middag, mener Herlambang!” suara orang di dalam jip Lemas semangat Herlambang! Pucuk pistol hampir saja mengenai matanya! “gila! Ini pasti akal-akalan van Grinsven” katanya dalam hati
Cerita selanjutnya Herlambang dan Ngesthireni berangkat meninggalkan kota
Mojokerto.
Sebelum
meninggalkan
kota
Mojokerto,
Ngesthireni
mengingatkan Herlambang untuk berganti pakaian yang telah disediakan oleh Van Grinsven untuk berjaga-jaga melewati penjagaan tentera Belanda yang ketat. Pakaian tersebut disiapkan Van Grinsven agar Herlambang dapat keluar dari kota Mojokerto dan melanjutkan misinya, dan sampai di ujung kota mereka dihadang penjagaan. … jip diendheg ing penjagaan. Ana wong landa papat sikep gegaman ngepung jip. Salah sijine kulite ireng, brintik. Genah dudu landa. Landa tenan sing pangkate sersan nginguk jip mandheg. “Goede middag meneer. Ik ben Ngesthireni …!” ujare wong wadon mau karo ngelungake kartu pengenal lan surat jalan. “Goed! Gaa maar door! Cepet sopir, ya! Ini nona musti sampai … wat moet ik zegen?” sersan totok mau kandha. “Jalan terus ya! Sebelum itu matahari verdwenen harus sudah sampai Brangkal.” Si sinyo ireng milung printah. Herlambang ora kakehan rembug. Manthuk, terus amblas! (Suparto Brata, 2006:15). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: … jip dihadang di penjagaan. Ada orang Belanda yang membawa senjata. Salah satunya berkulit hitam. Pasti bukan orang Belanda. “Goede middag mener. Saya Ngesthireni…!” kata wanita itu sambil memberikan kartu pengenal dan surat jalan. “Goed! Gaa maar door! Cepat sopir, ya! Ini nona mesti sampai…wat moet ik zegen?” sersan tersebut member perintah. “jalan terus ya! Sebelum matahari terbenam harus sudah sampai di Brangkal.” Herlambang tidak banyak berbicara. Mengangguk dan terus jalan!
Ternyata penjagaan tidak hanya di Mojokerto saja, akan tetapi di banyak tempat. Herlambang dan Ngesthireni harus bisa melewatinya. Perjalanan Herlambang tidaklah mudah, di tengah perjalanan menuju Brangkal menemui penjagaan yang lebih ketat lagi, menjadikan Herlambang dan Ngesthireni ke tanah dhemarkasi untuk berlindung. Tanah dhermarkasi adalah perbatasan antara wilayah jajahan Belanda dan wilayah Indonesia. Perbatasan tersebut dijaga oleh orang Indonesia. Herlambang dan Ngesthireni harus berjalan menuju tanah dhemarkasi karena jip yang mereka kendarai tercebur ke sungai pada saat ada penjagaan yang berubah menjadi perang. … Throl! Throl-throl-throl! Dhor-dhor-dhor-dhor! Dhet-dhet-dhet! … Herlambang manteg gas. Pikirane ora lali karo cucuke 12,7 kang ngetutake lakune jip mau. … Embuh pirang puluh meter saka ajang perang mau, jipe mbentur galengan pinggir dalan, banjur njempalik. Nglumpati galengan … (Suparto Brata, 2006:21-22). Terjemahan: … Throl! Throl-throl-throl! Dhor-dhor-dhor-dhor! Dhet-dhet-dhet! … Herlambang menginjak gas. Pikirannya tertuju pada pucuk 12,7 yang mengikuti jalannya jip. commit to user …
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Entah berapa puluh meter dari ajang perang tadi, jip itu menabrak pinggiran jalan dan terbalik.
Cerita selanjutnya di tengah perjalanan ke demarkasi, Ngesthireni membuka sedikit jati dirinya, yang semenjak awal bersama Herlambang dia belum cerita siapa dirinya. …”Ck! Rumangsamu apa bisa prawan-prawan Jawa sing diemot ing kapal Nipon dijanjeni layar nyang Tokyo tibake nglandrah kebucang ing Pulo Seram lan sapanunggalane isih tetep prawan? … nalika pasukan Inggris ndharat mrana, aku dadi juru ketik. Melu perang pisan.” (Suparto Brata, 2006:31) Terjemahan: …”Ck! Apa bisa perawan-perawan Jawa yang dibawa kapal Nipon dijanjikan sampai Tokyo akan tetapi dibuang ke pulau Seram dan apakah tetap masih perawan?” … ketika pasukan Inggris mendarat di sana, aku jadi juru ketik. Ikut perang juga.
Akhirnya Herlambang dan Ngesthireni sampai di tanah demarkasi (Peterongan). Akan tetapi sampai di pos penjagaan mereka dihadang oleh para penjaga pos dhemarkasi dan bertemu dengan Sagriwa (kepala Penjagaan di tanah dhemarkasi). Mereka berdua diperiksa guna memastikan apakah Herlambang dan Ngesthireni mata-mata Belanda atau pejuang Indonesia. Mereka mengaku sebagai suami istri. … Sajrone Herlambang omong, pengawal-pengawal sing nggawa bedhil mau ngupengi Herlambang. Nanging Herlambang sajak ora nggape. … “Heh-heh-heh! Ora! Kabeh wae wong anyar katon kudu dititi priksa! Iya ta?” … commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“O, la yen pancen aturane kene ngono yo kepriye maneh.” Dheweke nguculi tommygun, bedhil otomatissing cendhak kuwi …(Suparto Brata, 2006:37-38) Terjemahan: … Serambi Herlambang berbicara, para pengawal sudah mengepungnya. Akan tetapi Herlambang seperti tidak peduli. … “heh-heh-heh! Tidak! Semua orang baru harus diperiksa! Iya kan?” … “O, kalau itu memang peraturannya harus bagaimana lagi” dia melepaskan tommygun, senjata otomatis.
Di tanah demarkasi, Herlambang dan Ngesthireni mendapat pengawalan ketat, diperiksa sampai semaksimal mungkin. Pemeriksaan dari surat-surat ijin yang mereka bawa, sampai kepemeriksaan badan, untuk memastikan mereka bukan mata-mata musuh. Walaupun mereka sudah diperiksa, Pengkuh (lentan di tanah dhemarkasi/keponakan Sagriwa) masih tidak percaya dan menganggap bahwa mereka adalah mata-mata musuh. Secara diam-diam ada pemuda tampan dari CI (Corp Intelijen/ badan penyelidik) yang bernama Kiswanta mengagumi Ngesthireni, dan sinilah pertemuan Herlambang, Ngesthireni, dan Kiswanta. Kiswanto menjadi teman perjalanan ke Jombang. … Dene Kiswanta wong CI sing bagus, ngeploki ngalembana marang ketrampilane Ngesthireni.”Horee! hidup! hidup …!!” (Suparto Brata, 2006 : 58) Terjemahan: … Sedangkan Kiswanta orang CI yang tampan itu, bertepuktangan mengagumi ketrampilan Ngesthireni. “Horee! hidup! hidup…!!” commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Cerita selanjutnya Herlambang, Ngesthireni, dan Kiswanta berencana berangkat ke Jombang dengan naik kereta api. Serambi menanti keberangkatan kereta, mereka bertiga berbincang-bincang, dan perbincangan itu membuat mereka lebih dekat sebagai teman. … Sajrone ngenteni sepur budhal, wong kekancan telu mau dadi saya rumaket. Kiswanta ngajak menyang warung sarapan barang. Kiswanta paling akeh pitakone, dene Herlambang paling meneng. Ngesthireni tanggap karo sikepe Herlambang, olehe mangsuli pitakone Kiswanta kang nrecel kuwi ngati-ati banget. Bubar sarapan, sangu panganan, ngesthireni ngajak bali menyang gerbong. Sanajan budhale sepur durung karuwan jame, wongwong wis akeh sing numpak, luwih-luwih para bakul. Njero sepur sumuk, nanging Ngesthi nekat mlebu ing tengahe gerbong, perlu arep turu (Suparto Brata, 2006:71). Terjemahan: Serambi menanti kereta berangkat, Kiswanta mengajak ke warung untuk sarapan. Kiswanta yang terlalu banyak bertanya, sedang Herlambang hanya diam. Ngesthireni tanggap akan sikap Herlambang tersebut, hati-hati saat menjawab pertanyaan dari Kiswanta.
b) Tahap tengah Herlambang, Ngesthireni, dan Kiswanta sudah sampai di Jombang. Mereka mencari penginapan agar dapat beristirahat dan Herlambang dapat melanjutkan perjalanan dan misinya esok hari. Setelah mendapatkan penginapan dan beristirahat, mereka keluar penginapan untuk jalan-jalan, dan bermaksud membeli makan. Restoran Sedhep Malem yang akhirnya mereka tuju. Di restoran ini, ketika sedang asyiknya makan Herlambang dikagetkan oleh seorang pemuda yang bernama Atrum, yang mengaku mengenal Herlambang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
Herlambang genah ora ngarep-arep duwe tepungan nang Jombang. Mula mung kelik-kelik nyawang wong dhempal sing semanak kuwi. Nanging wong mau ora rumangsa kecelik. Sing dicablek kuwi genah kenalan aran Ton. Mula disawang kelik-kelik ngono ora klincutan, nanging ngguyune saya amba. “Aku Atrum, Ton! Mosok lali? Kapan kowe tekan mrene?” omonge wong mau. Karo ngguyu untune gedhe-gedhe katon rangah, idune muncrat, ana sing nyripati pipine Herlambang. “Maaf, jenengku dudu Ton!” Herlambang mangsuli karo rada nyengingis, rada isin, rada gumun, ning yo kudu grapyak. Repot ngatur tangkepe.(Suparto Brata, 2006:74) Terjemahan: Herlambang tidak mengharapkan ada kenalan di Jombang. Maka dengan hati-hati dia mengawasi orang tersebut. “Aku Atrum, Ton! Apakah kamu lupa? Kapan kamu sampai ke sini?” perkataan orang tadi. Sambil tertawa giginya terlihat besarbesar. “Maaf, namaku bukan Ton!” Herlambang menjawab pertanyaan tersebut sambil tersenyum Oleh orang itu Herlambang dipanggil dengan sebutan Ton. Herlambang mengatakan tidak mengenal orang tersebut, namun Atrum tetap ngotot bahwa Herlambang adalah temannya yang bernama Hartono. Hingga akhirnya terjadi perang mulut antara mereka. Akhirnya adu mulut bisa diredakan dan Atrum pergi meninggalkan mereka. Herlambang, Ngesthireni, dan Kiswanta berjalan beriringan kembali ke penginapan untuk beristirahat, karena pada saat itu hari sudah mulai malam. Herlambang dan Ngesthireni tidur berdua dalam satu kamar, sedang Kiswanta di kamar lain. Herlambang dan Ngesthireni segera beristirahat, tetapi Kiswanta pamit akan pergi menemui temannya di daerah Jombang juga. Tengah malam saat Herlambang dan Ngesthi tertidur pulas dan Kiswanta akan kembali ke kamarnya, Kiswanta melihat ada seseorang yang mengendap-endap di kamar Herlambang. commit to user Terjadi konflik, pertarungan antara Kiswanta dan orang tersebut.
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Bajingan! Apa karepmu nginceng-nginceng wong mantenan?!” ujare Kiswanta sumengit … Si bajingan prayata pawakane gotot, methekel disikep saka mburi kaget, kalah papan lan ora bisa polah. Tangane sakloron ora bisa obah, kaangkat memburi … Lan mak prucut bisa uwal saka sikepe Kiswanta sarana ngamblesake awake mengisor. “Dhoor! Jhemedhore unine pistul. “komplotanmu Letnan Pengkuh mesthine wis crita bab kapinteranku iki marang kowe, rak iyo to? Hayo coba terusna sesumbarmu, dakldeni!” suarane alus, terang, cetha, ora ngroyok (Suparto Brata, 2006:86-89). Terjemahan: “Bajingan! Apa maksudmu mengintip orang sedang berduaan?!” kata Kiswanta sinis… Si Bajingan ternyata badannya berotot, didekap dari belakang masih bisa bergerak… Dan kemudian bisa lepas dari dekapan Kiswanta. “Door!” terdengar suara pistol. “Komplotanmu Letnan Pengkuh pasti sudah tahu ketrampilanku, iya kan? Ayo coba perlihatkan kesombonganmu, akan kuhadapi!” suaranya halus, tenang dan jelas Ngesthireni terbangun dari tidurnya, membawa pistol yang terjatuh milik orang tersebut dan berusaha mengendalikan suasana. Dan ternyata orang tersebut adalah Atrum yang mengaku mengenal Herlambang di restoran saat mereka makan. Ngesthireni kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidurnya. Belum lama ia tertidur, Herlambang sudah membangunkannya untuk segera bergegas meninggalkan penginapan dan melanjutkan perjalanan. Di depan penginapan terjadi pertikaian yang menyebabkan seseorang mati tertusuk di perutnya, itulah sebabnya Herlambang mengajak Ngesthireni segera meninggalkan penginapan. Herlambang
mencium
adanya bahaya yang mengincar mereka. commit to user Herlambang dan Ngesthi bergegas menuju ke stasiun berharap ada kereta api yang
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
akan berangkat ke Madiun, tanpa Kiswanta yang diduga masih tertidur pulas. Harapan sirna, tidak ada kereta yang berhenti di stasiun. Namun Herlambang adalah seorang mata-mata yang cekatan dan mampu berpikir cepat. Ada sebuah mobil yang diparkir di dekat stasiun. Herlambang segera mengambil mobil tersebut, walaupun bukan miliknya. Ia juga trampil dalam hal mesin mobil, sehingga mobil tersebut dapat menyala. Herlambang mengajak Ngesthi segera pergi dari kota Jombang, tancap gas, mobil dikendarai dengan cepat. Tanpa diduga Kiswanta berlari mengejar mereka ingin pergi bersama. Kiswanta juga mengetahui pertikaian tersebut, maka ia pun lari, dan mengetahui yang bertikai itu Atrum hingga mati. “Mbaak! Entenana aku, Mbaak!” “Mbaak!” pambengoke wong sing mlayu-mlayu ing tengah dalan, nututi motor. Ora kuwatir ditembaki mungsuh. … “O … aku wis tangi kok. Ora ana ing jero kamar. Nyang ngarepan. Ana rajapati. Atrum mati Mbak!” (Suparto Brata, 2006:101-102). “Mbak! Tunggu aku, Mbak!” “Mbak!” … “O… aku sudah bangun kok. Tidak di dalam kamar. Di depan losmen. Ada perkelahian. Atrum mati Mbak!” Mobil berjalan menuju ke arah Madiun, akan tetapi baru akan memasuki Kertosono mendadak mobil mogok. Herlambang segera keluar dari mobil dan memeriksa mesinnya, sementara Ngesthireni dan Kiswanta tetap di dalam mobil. Mereka malah berbincang-bincang. Kiswanta mengutarakan niatnya untuk mengajak Ngesthi untuk meninggalkan Herlambang, namun ajakannya ditolak oleh Ngesthi. Herlambang menyuruh Kiswanta commit to user mencoba menghidupkan mesin
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mobil dan menyala. Kiswanta benar-benar membulatkan niatnya, dia langsung memasukkan perseneling dan menginjak gas, dan tanpa mempedulikan Herlambang yang ada di depan mobil sedang menutup kap mobil. Herlambang orang yang cekatan dalam bertindak. Setelah ditabrak Kiswanta, dia langsung berlari mengejar, dan dapat naik di belakang mobil. Mobil kembali mogok. Herlambang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kiswanta tidak mengetahui kalau Herlambang ada di belakang mobil. Secara tiba-tiba Herlambang menghantam
Kiswanta dan terjadilah perkelahian. Herlambang
menang. Herlambang segera mengajak Ngesthireni menjauh dari Kiswanta, yang sejak awal ia curigai akan mencelakakan dirinya. Kiswanta suka terhadap Ngesthireni dan berniat mempertemukan Ngesthi dengan Yogyantara. …Kiswanta nyoba nulak karo bedhil sing digawa, nanging ora guna … Pandelenge Kiswanta peteng. Sirahe kena kampleng tangan tengen. Antep.Pleg! ping pindho, terus klenger.(Suparto Brata, 2006: 110) Terjemahan: …Kiswanta mencoba menangkis dengan senjata yang dibawanya, akan tetapi tidak berguna… Penglihatan Kiswanta menjadi gelap. Kepalanya terkena pukulan tangan kanan. Pleg! dua kali, terus pingsan. Herlambang dan Ngesthi segera meninggalkan Kiswanta mencari tumpangan ke Madiun. Dengan menumpang truk mereka menuju Madiun. Ngesthireni masih berfikir bagaimana Atrum mati, apakah Atrum dibunuh oleh Herlambang? Dan Herlambang menjelaskan bahwa yang membunuh Atrum adlah Kiswanto. Truk sudah memasuki daerah Madiun. Setelah melewati penjagaan di commit to user depan kota Madiun, mereka turun di depan rumah bangunan Cina. Ini sudah
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
menjadi rencana dari pembicaraan Herlambang dan Van Grinsven atas perintah Luidelmejer (letnan tinggi Belanda yang menyewa Herlambang jadi mata-mata). Rumah ini digunakan Herlambang untuk istirahat sejenak dan merencanakan strategi keberangkatan esok hari. Esok hari yang masih gelap, di rumah bangunan Cina tersebut, Kiswanta datang bermaksud menjemput Ngesthi. Kiswanta tahu kalau Herlambang dan Ngesthi bermalam di rumah ini dari keterangan telik sandi yang dia utus. “Mbak! Mbak Ngesthi! Aku, mbak, Kiswanta! Tangi, mbak. Manuta aku wae, kita mlayu menyang Sala, Lojiwetan! Prahotone wis siyap! Herlambang kon manut! Yen ora, kene dak rangkete! Tuman! Ngganggu wong tugas wae! Ayo tangi, mbak!” (Suparto Brata, 2006:127-128) Terjemahan: “Mbak! Mbak Ngesthi! Aku, Mbak, Kiswanta! Bangun, mbak. Kita pergi menuju ke Sala, Lojiwetan! Kendaraan sudah siap. Herlambang tahu kalau itu adalah Kiswanta. Dia berencana keluar dari kamar rumah bangunan Cina itu tanpa diketahui Kiswanta, sedangkan Ngesthi tetap tinggal dan menuruti rencana Kis. Kiswanta menggeledah kamar tersebut berusaha menemukan Herlambang. Usahanya tidak berhasil, karena Herlambang sudah berhasil melarikan diri lewat atap rumah. “O … goblok kabeh! Kena apa iki mau sing diobyak mung ngisor thok?! Ndhuwur ora? Ayo di uber!” pambengoke Kiswanta srengen (Suparto Brata, 2006:134). Terjemahan: “O… bodoh semua! Mengapa yang diperiksa hanya di bagian bawah saja?! Di atas tidak? Ayo cepat periksa!” Kiswanta berteriak marah. commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Tahap Akhir Cerita selanjutnya Herlambang meneruskan misinya pergi ke Batu Jamus. Herlambang berniat naik kereta api untuk menuju ke sana. Kali ini ia menyamar sebagai petani yang ingin menjenguk saudaranya. … Nalika metu saka pasar gedhe, ngenyang becak menyang stasiyun, Herlambang wis dudu pemudha pejuwang utawa bakul jarik saka Sala. Nanging wong tani sing sok tilik sedulure ing kutha liya sangu pikulan karo kurungan manuk kutut, iket-iketan, capingan, clana ijo, sandal kulit, kalung sarung bathik kawung sogane wis midho (Suparto Brata, 2006:137). Terjemahan: … Ketika keluar dari pasar besar, menawar becak menuju ke stasiun, Herlambang sudah bukan menjadi pejuang atau pedagang jarik dari Sala. Akan tetapi menjadi petani yang akan menjenguk saudaranya di lain kota sambil membawa kandang burung kutut. Stasiun dijaga ketat oleh tentara, siapa saja yang akan masuk ke dalam stasiun akan diperiksa dan digeledah terlebih dahulu. Para tentara melakukan penggeledahan bermaksud untuk mencari Herlambang dan Ngesthireni. Banyak pemuda pemudi yang diperiksa. Penyamaran Herlambang berhasil, dia dapat melewati pemeriksaan tersebut yang ternyata didalangi oleh Pengkuh. Herlambang berhasil naik kereta dan berangkat ke Batu Jamus. Seperti yang telah direncanakan dari awal, Herlambang turun di stasiun kota kecil bernama Masaran. Dari Masaran, dia harus berjalan lagi menuju Batu Jamus. Masaran ke Batu Jamus jaraknya cukup jauh, maka Van Grinsven berpesan padanya sesampainya di Masaran ada mobil yang siap mengantar ke pabrik mesiu Batu Jamus. commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
… Herlambang dikon takon “Yah kenten niki napa wonten sing teng Batu Jamus, nggih?” Krungu pitakone Herlambang kuwi, wong sing lagi main sekak ing omah nggone montor mandeg ma uterus ndengengek. “Sinten sing ajeng teng Batu Jamus, Bung?” “La nggih kula.” “Sampeyan king pundi ta?” “King Madiun. Tumut sepur niku wau napa.” “Teng Batu Jamus, daleme sinten, Bung?” “Anu, pabrik mesiu.” … “mang tumut montor kula, Bung. Niki nggih ajeng mrika.” (Suparto Brata, 2006:142). Terjemahan: … Herlambang disuruh bertanya “waktu ini apa ada kendaraan yang ke Batu Jamus?” Terdengar pertanyaan Herlambang tersebut, orang yang sedang main catur kemudian menjawab “Siapa yang akan ke sana?” “Saya” “Anda dari mana?” “Dari Madiun, naik kereta itu tadi.” “Di Batu Jamus, ke tempat siapa?” “Anu, pabrik mesiu.” … “Ikut naik mobil saya saja Bung. Ini saya juga akan ke sana.” Herlambang bersama dua orang tersebut naik mobil menuju pabrik mesiu Batu Jamus. Walaupun Herlambang sudah akan sampai ke tempat tujuan misinya, dia masih waspada akan Letnan Pengkuh yang sejak dari tanah dhemarkasi sampai Madiun masih mencarinya. Cerita selanjutnya Herlambang telah sampai di pabrik mesiu Batu Jamus. Di sana dia juga harus melewati pos penjagaan sebelum masuk ke area pabrik. Herlambang berhasil masuk dengan menyebut sebuah nama setelah bersitegang dengan para penjaga. commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Cekake ngene wae. Undangna majikanku. Mengko rak beres! Bung tentara! Mang undangke majikan kula beres-beres!” ujare si tawanan. “Majikanmu sapa?” “Jare majikane jenenge Ibu … Sapa mau? Sopir iki ketemune sepisanan nang Mojokerto.” Tentara mau nerangke. “Ibu kota Republik Indonesia, alias Raden Mas Yogyantara, jenenge majikanku.” … “Ooo, la wiwit ta mau nyebut jeneng Yogyantara, beres, Pak!” ujare komandan (Suparto Brata, 2006:168). Terjemahan: “Singkatnya, panggilkan majikanku. Pasti beres! Bung tentara!” kata si tawanan. “Majikanmu siapa?” “Namanya Ibu… siapa? Sopir ini bertemu dengan majikannya ketika di Mojokerto.” Tentara tadi menjelaskan “Ibu kota Republik Indonesia, alias Raden Mas Yogyantara, nama majikanku.” Herlambang sampai di dalam pabrik disambut oleh beberapa orang yang masuk dalam misi spion ini. Insinyur Suwandi yang pertama menyambutnya dan memperkenalkan diri. “Hartrlijk welkom hetter, meneer Herlambang. Sugeng rawuh.” Ujare salah sijine wong sing lungguh kursi, nganggo basa Walanda. “ . . . Aku Insinyur Suwandi sing mandhegani bangunan ngisor lemah. Kiwaku iki, Dr. Honggo ahli bahan kimia. Lan wong Eropa kuwi Dr. Mann, sala siji saka ahli-ahli manca sing nyambut gawe ing pabrik kene.” (Suparto Brata, 2006:172) Terjemahan: “Hartrlijk welkom hetter, meneer Herlambang. Selamat datang.” salah satu dari orang yang duduk berbicara memakai bahasa Belanda “… Aku Insinyur Suwandi, sebelah kiriku ini Dr. Honggo ahli bahan kimia. Dan orang Eropa itu Dr. Mann, salah satu ahli-ahli dari manca negara yang bekerja di sini.” commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Insinyur Suwandi segera menjelaskan apa yang harus dilakukan Herlambang sebagai tugas yang berikutnya. Tugas Herlambang berikutnya adalah memotret gambar rumusan-rumusan pabrik mesiu Batu Jamus dengan mata dan otaknya. Herlambang harus bisa mengingat gambar rumusan tersebut, kemudian menggambarkannya kembali setelah bertemu dengan Van Grinsven dan Luidelmeyer, dan itulah keahlian Herlambang yaitu memotret tanpa kamera tapi dengan mata dan ingatanya. Herlambang dites oleh Ir. Suwandi sebelum melaksanakan tugasnya. Herlambang diberi sebuah gambar dan mengamatinya. “Waspadakna kang pramana . . .” ujare Ir.Suwandi marang Herlambang. Herlambang maspadakake. Merlokake ngadeg, lan njinggleng rada suwe, nlusuri garis-garise gambar bangunan pabrik kuwi. Banjur mentheleng nyawang Ir. Suwandi. Mripate mulad-mulad “Dammed you! Apa karepmu ngene iki?” Sing disentak kaget “Priye?” “Gambar apa mau jaremu mau?” La gambar apa?” “Iki ngengrengan gambar pabrik gula!” ujare Herlambang. “Pabrik gula?” Ir. Suwandi tskon sajak gumun karo nyawang Herlambang. ... Ir. Suwandi suwe-suwe mesem. Ngguyu lan ngelungi tangan ngajak salaman. “Bravo! Kita yakin saiki, menawa ketemu wong sing hebat.” (Suparto Brata, 2006:176). Terjemahan: “Perhatikanlah dengan seksama…” Herlambang memperhatikan dengan seksama gambar rumusan pabrik tersebut. Kemudian dia memandang Ir. Suwandi dengan tatapan marah, dia seakan dipermainkan bahwa yang dilihatnya adalah gambar rumusan pabrik gula bukan pabrik mesiu. Akan tetapi ternyata Ir. Suwandi hanya mencoba mengetes seberapa jauh tingkat kejeliannya memperhatikan sebuah gambaran. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
Van Grinsven berpesan kepada Herlambang bahwa setelah sampai di pabrik mesiu Batu Jamus dia harus menemui RM. Yogyantara. Tidak seberapa lama Herlambang pun bertemu RM. Yogyantara. Merekapun saling menyapa. Sebenarnya Yogyantara mengetahui Herlambang datang dan memperhatikan dari ruang yang berbeda. Waktu Herlambang tidak lama, ia segera kembali bertemu Van Grinsven dan Luidelmeyer, guna menggambarkan kembali gambar rumusan pabrik mesiu tersebut atas intruksi-intruksi Yogyantara. Dengan adanya rumusan pabrik mesiu, Belanda akan mudah meledakanya. Dengan seksama, Herlambang mulai menyimpan semua gambaran rumusan pabrik mesiu tersebut di dalam kepalanya, dengan begitu mudah membawanya. “Priye?” pitakone Yogyantara. “Wis! Bener iki sing kudu dak opnemen?” Yogyantara mathuk. “Yen gambar iki kliru, mengko sing digambar Luidelmeyer yo kliru, Lo. Ora perlu dikoreksi maneh?” Herlambang ngencengke kertas, terus diemat-ematake anggone nyawang, ditlusur saka pinggir ngisor lan mendhuwur. Mengkono nganti rampung tekan sisih tengen. Sawise kuwi, dheweke mesem. Mbayangake gambar ing angen-angene, banjur melek maneh, ngawasake peranganperangan sing during cetha, durung ganep. Bareng gambar ing pikirane wis premana tenan, dheweke ngawasake RM. Yogyantara “Wis rampung.” “Oh hebat banget! Wis ndang dilempit, mas, lan ganti rumus bangune.” Ujare Yogyantara marang Suwandi (Suparto Brata,2006:179-180). Terjemahan: “Bagaimana?” Yogyantara bertanya “Sudah! Benar ini yang harus diopnemen?” Yogyantara mengangguk “Jika gambar ini salah, nanti yang akan digambar Luidelmeyer juga akan salah, lho. Tidak perlu dikoreksi lagi?” Herlambang kembali mengamati gambaran tersebut, kemudian setelah semuanya selesai, Herlambang memandang Yogyantara mantap. “sudah selesai” commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Oh, hebat sekali! Cepat dilipat, Mas, dan ganti rumus bangunnya.” Ujar Yogyantara pada Suwandi. Herlambang
memperhatikan
dengan
teliti
semua
gambar
yang
diperlihatkan kepadanya. Tiba-tiba telepon yang ada di dalam pabrik berbunyi. Ternyata dari pos penjagaan, mengebarkan bahwa ada beberapa orang yang mencari RM. Yogyantara. Semua orang yang berada di dalam pabrik saling berpandangan dan bertanya-tanya termasuk Herlambang, siapa yang akan datang? Dia berfikir, dalam hatinya ia berkata bahwa yang diutus Van Grinsven adalah Herlambang dan nama Yogyantara yang tahu hanya dikalangan koloni pembantu bangsa Belanda saja. Herlambang dibawa ke ruang berbeda untuk mencegah terjadinya peperangan. Herlambang menunggu di ruangan itu, sedang Yogyantara tamu yang datang. Setelah menunggu beberapa menit, ada beberapa orang yang datang yaitu Kiswanta, Sirtuhadi, dan … Ngesthireni. Mengintip dari dalam ruangan, Herlambang tersentak kaget dan bertanya dalam hati, apa yang dilakukan Ngesthireni disini? Apakah dia juga diutus Van Grinsven untuk menjalankan misi ini? Jadi doubleagent. Tapi Herlambang memperhatikan dengan seksama di balik ruangan tersebut dan tak bisa berbuat apa-apa karena ia dijaga Dr. Honggo dan Dr, Mann. . . . Wusanane lawang dibukak sing mlebu kajaba punggawa pabrik sing ngirid Herlambang sepisanan mau disusul wong lanang loro karo wong wadon siji. Kiswanta! Sirtuhadi! lan . . . Ngesthireni! “Edan-edanan! Apa perlune wong-wong kuwi mrene?!” Nyut, pikirane Herlambang njala ngemu anyel (Suparto Brata, 2006:184). Terjemahan: commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
. . .setelah pintu dibuka yang masuk selain pegawai pabrik yang mengawal Herlambang pertama kali disusul dua lelaki dan seorang wanita. Kiswanta! Sirtuhadi! dan . . .Ngesthireni! “Gila-gilaan! Apa perlunya mereka kemari?! Pikir Herlambang kesal.
Kiswanto
laporan
kepada
Yogyantara
(Kiswanta
adalah
utusan
Yogyantara) bahwa telah menjemput mata-mata yang dimaksudkan Yogyantara. Kiswanto salah tangkap, yang dimaksudkan mata-mata disini adalah Herlambang. Yogyantara kaget tapi juga senang hatinya, sebab yang dijemput Kiswanta adalah Ngesthireni yang tak lain adalah adiknya sendiri. Yogyantara tak menyangka bisa bertemu dengan Ngesthi, mereka saling berpelukan. Kedatangan Ngesthireni ke pabrik mesiu Batu Jamus bukan sebagai spion, tapi ingin menemui RM. Yogyantara kakaknya dan ingin membicarakan tentang hak warisnya. Herlambang masih tetap memperhatikan apa yang akan terjadi. Ngesthireni mencoba membicarakan dan menanyakan haknya kepada Yogyantara, namun Yogyantara sepertinya pura-pura tidak tahu soal warisan dari kakeknya. Warisan tersebut sebenarnya diberikan kepada orang tua Ngesthi, tetapi orang tuanya direkrut Jepang untuk dijadikan kenpetai (polisi militer Jepang yang terkenal kejam). Yogyantara dan Ngesthi adalah anak-anak keraton Kasunanan Solo, jadi pantas mereka mendapatkan warisan. Yogyantara masih tetap pura-pura tidak tahu apa yang dibicarakan Ngesthi, sehingga terjadi perselisihan. “Ha, ha, ha! Apa perlune mukir, ta, kang mas? Kabeh wis gamblang! Saiki aku ngadhep panjenengan, saperlu ngurus darbekku! Warisanku! Aku ngreti, wis ora bisa ngukup rama lan commit to user ibu sing kebacut mlebu kenpetai. Aku ngreti jare kowe terus
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pindah neng daleme eyang ing Lojiwetan. Urip mubra-mubru marga nemu warisan.” “Rumangsamu kowe terus menang?!” ujare Yogyantara karo ngampleng Ngaesthireni sing lena ngguyu-ngguyu. “Aduh!!” sambate dyah Ngesthireni. Ambruk sanalika (Suparto Brata, 2006:188). Terjemaahan: “Ha, ha, ha! Apa perlunya mengelak, Kang Mas? Semua sudah jelas! Sekarang aku menemui kamu, untuk mengurus hak-ku! Warisanku! Aku tahu, sudah tidak bisa menolong rama dan ibu yang terlanjur masuk kenpetai. Aku tahu katanya kamu terus pindah di rumah eyang di Lojiwetan. Hidup hura-hura karena mendapat warisan.” “kamu kira kamu terus menang?! Ujar Yogyantara seraya memukul Ngesthireni yang sedang tertawa. “Aduh!!” keluh Dyah Ngesthireni. Jatuh seketika. Kiswanto yang dari kedatangannya memperhatikan pembicaraan mereka malah berbalik menentang Yogyantara, karena Yogyantara telah memukul Ngesthireni. Kiswanta mencoba melukai Yogyantara, namun anak buah Yogyantara selalu siap siaga dan tertembaklah Kiswanta yang ingin membela sang pujaan hatinya. Dhor! Dhor! Dhor! “Oh! Oh!” sambate sing kena mimis. Getih dleweran ing cangklakan kiwa, pistul sing dicekel mencolot sadurunge mbledhos. Kiswanta munting, terus ambruk. Dheweke sing kena pistul. Kena dhisik. Kalah cepet karo jumledore pistul punggawa pabrik sing mistul Kiswanta (Suparto Brata, 2006:189). Terjemaahan: Dhor! Dhor! Dhor! “Oh! Oh!” rintih kesakitan yang terkena tembak. Kiswanta terjatuh. Dia yang terkena pistol. Kalah cepat dengan tembakan pegawai pabrik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
Dari dalam ruangan yang lain, Herlambang memperhatikan semua peristiwa yang sedang terjadi di luar sana. Dia ingin sekali keluar, menemui Ngesthireni dan Yogyantara. Herlambang menunggu waktu yang tepat untuk keluar ruangan. Pada saat Dr. Honggo dan Dr. Mann terlena akan peristiwa di luar sana, Herlambang dengan cekatan memukul mereka hingga tak sadarkan diri, dengan begitu ia bisa keluar dari ruangan. Herlambang berhasil keluar dan menemui Yogyantara dan memukul Yogyantara dengan tiba-tiba. Yogyantara yang tak menduga akan mendapat pukulan dari Herlambang, limbung dan rubuh. … Herlambang tetep mlaku sakpenake, nyedaki Yogyantara. Bareng cedhak, mara-mara tangane kemlawe ngampleng Yogyantara. Kena cengele, sanalika ndlosor, kantaka sak kal. … “Kepriye karepmu, Her?” Ngesthireni ora ngreti “ Apa dheweke iyo ngalangi misimu?” “ Mengko dak critani. Saiki luwih becik tetep jaganen tawanantawananmu kuwi, dak tilpun ngundang pegawe-pegawe pabrik liyane.” (Suparto Brata, 2006:193). Terjemaahan: … Herlambang berjalan semaunya, mendekati Yogyantara. Setelah dekat, ia memukul Yogyantara. Seketika jatuh tersungkur. ... “Apa maksudmu, Her?” Ngesthireni juga tidak tahu. “Apa dia juga menghalangi misimu?” “Nanti aku ceritakan. Sekarang lebih baik tetap kamu jaga tawanan-tawananmu, akan ku panggil pegawai-pegawai yang lainnya.” Herlambang dan Ngesthireni berencana segera keluar dari pabrik mesiu tersebut dan menuju kantor administrasi pabrik tersebut. Herlambang meminta Ir. Suwandi yang sejak awal konflik berada disitu, untuk menyerahkan mobilnya. Ir. Suwandi segera menyerahkan mobil dan berpesan supaya Herlambang segera commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
menemui Luidelmeyer untuk menyelesaikan misinya. Mereka membawa serta Yogyantara. Herlambang dan Ngesthireni segera meninggalkan pabrik dan menuju kantor administrasi. Mobil mereka berhenti di depan kantor administrasi. Herlambang beserta Ngesthireni dan Yogyantara yang masih pingsan segera masuk dan menemui seseorang. Di dalam ruang administrasi ternyata sudah ada orang yang menunggu. Dia adalah seorang komisaris Biro Spionase RI yang bernama Ir. Suprayoga. Herlambang melaporkan kepada Ir. Suprayoga bahwa ia telah berhasil menjalankan misinya dan membawa RM. Yogyantara. “Atma wis lapur yen kowe wis mlebu tlatah Batu Jamus. Jare diudhunake ing alas sadurunge dhang-dhangan tentera saka Sala.” “Kasinggihan, Pak. La menika tiyangipun sampun kula ringkus pisan,” “Tiyangipun sapa?” priyayi kuwi karo mliliki Ngesthireni, sing dianggep „tiyangipun‟ ing omongane Herlambang kok wedok?! “Yogyantara.” “Yogyantara? Yogyantara kuwi rak mung pas-woord ta? Lan umpama ana manungsane mesthine lanang!” “Anu, Pak, Yogyantara menika punggawa pabrik mriki.” (Suparto Brata, 2006:200). Terjemaahan: “Atma sudah melapor kalau kamu telah masuk daerah Batu Jamus. Katanya diturunkan di hutan sebelum penjagaan tentara dari Sala.” “Benar, Pak. Ini orangnya sudah saya ringkus.” “Siapa?” “Yogyantara” “Yogyantara? Yogyantara itu kan hanya password dan kalaupun ada pasti laki-laki!” “Anu, Pak, Yogyantara adalah pegawai pabrik disini.”
Herlambang juga tidak lupa memperkenalkan Ngesthireni kepada Ir. commit to user Suprayoga, karena mereka belum saling kenal.
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“O, menika Jeng Ngesthireni. Adhikipun Yogyantara. Kene, Jeng, nyedhaka mrene. Awake dhewe wis ning ing antarane para kanca, kok. Ditepungake dhisik, iki Ir. Suprayoga ahli listrik sing duwe hobi dadi detektip. Panjenengane dadi komisaris Biro Spionase Republik Indonesia ing Sala. Lan aku iki mung antheke wae … (Suparto Brata, 2006:200). Terjemaahan: “O, ini Jeng Ngesthireni. Adiknya Yogyantara. Jeng, mendekatlah. Kita sudah diantara rekan sendiri. Diperkenalkan dulu, ini Ir. Suprayoga ahli listrik yang mempunyai hobi detektif. Di adalah komisaris Biro Spionase Republik Indonesia di Sala. Aku hanya pesuruhnya saja . . . Setelah saling kenal, Ngesthireni teringat akan kejadian di Madiun. Ia teringat akan sopir truk yang mereka tumpangi. Sopir itu adalah orang yang kini ada di hadapannya. Ngesthireni bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya siapa Herlambang?! Mengapa Herlambang dipanggil dengan sebutan Hartono oleh Ir. Suprayoga? Dan Ngesthireni teringat pada Atrum yang mengenal Herlambang dengan nama Hartono. Tersingkaplah sudah identitas Herlambang. Herlambang yang sebenarnya mempunyai nama asli Hartono, sedangkan nama Herlambang hanya nama samaran
pada
saat
menjalankan
tugasnya
sebagai
spion.
Herlambang
sesungguhnya bukan mata-mata Belanda, melainkan ia menyamar menjadi Herlambang dan menjadi mata-mata Belanda. Rakyat dan pejuang RI ingin menyelamatkan pabrik mesiu Batu Jamus yang akan dibumi hanguskan oleh Belanda, dengan mengirimkan telik sandi berharap mendapatkan gambar rumusan sebelum meledakannya. Pemerintahan Belanda beranggapan bahwa jika pabrik mesiu Batu Jamus masih berdiri, pejuang Indonesia tidak akan kehabisan amunisi commit to user Indonesia. dan akan menyerang Belanda supaya meninggalkan
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
Maka RI merencanakan misi Herlambang ini untuk mencegah hal itu terjadi. Dalam misi ini, seorang Hartono (Herlambang) menjadi dom sumurup ing banyu yang bertugas menggagalkan rencana Belanda. Orang-orang Belanda dibuat percaya kepada Hartono yang menyamar menjadi Herlambang, yang terkenal sebagai mata-mata bayaran yang profesional. Herlambang yang sebenarnya sudah tidak diketahui keberadaannya dan Ir. Suprayoga memanfaatkan hal tersebut untuk mengelabui orang-orang Belanda, dan pengkhianat bangsa seperti Yogyantara. 2) Kausalitas Sebuah karya sastra memiliki hubungan kausalitas. Apabila hubungan antar bagian cerita memiliki sebab dan akibat yang berhubungan, juga dapat menjelaskan cerita selanjutnya. Hubungan tersebut, yaitu peristiwa-peristiwa yang secara langsung merupakan sebab atau akibat dari peristiwa yang lain. Jika salah satu peristiwa dihilangkan, maka akan merusak jalan ceritanya. Novel dapat dikatakan memiliki hubungan kausalitas, karena antar peristiwa mempunyai keterkaitan hubungan sebab-akibat. Hubungan kausalitas yang terdapat dalam novel Dom Sumurup ing Banyu sebagai berikut: a) Herlambang dan Ngesthireni yang dicekal di garis dhemarkasi (Peterongan). Herlambang dan Ngesthireni harus berjalan melewati dan menuju garis dhemarkasi untuk menghindari konflik perang dengan lawan, dan karena mobil yang mereka kendarai tercebur ke dalam sungai. Kedatangan mereka dianggap mencurigakan oleh para tentara. Mereka dianggap sebagai mata-mata Belanda. commit to user Berikut kutipannya:
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
Embun wengi isih sumrambah. Irenge wengi isih njanges. Maramara Herlambang nahan lengene Ngesthireni. Waspada! Tangan kiwa nyekel janggute pawestri kuwi dikon nyawang mangulon. Ana regemenge wong. Ngadeg njejer. “Aja digawe kaget. Kene kudu ethok-ethok lena. Awake dhewe memba-memba kaya wong loro lagi mulih saka front, ngreti?” Herlambang bisik-bisik. Ngesthireni manthuk. Wong loro nutuke laku, sajak ora prayitna. Mlaku urut-urutan liwat galengan. … “E, kok aneh! Saka Brangkal kok karo wong wedok!” ana sing rerasan ngono. “Mata-mata ayake!” keprungu wong-wong sing ngrubung pada rerasan. Herlambang ora ngomong apa-apa maneh. Sanajan isih remengremeng dheweke bisa ngreti cetha. Saka tingkah lakune wongwong mau, dheweke ngreti yen prajurit-prajurit kuwi ora bakal wani ngganggu gawe dheweke. Bisa uga Herlambang nyekel tommygun bedhil anyar gawane Walanda, utawa pancen ana printah saka panggedhene yen ana apa-apa ora kena tumindak dhewe-dhewe (Suparto Brata, 2006:34-36). Terjemahan: Embun pagi masih basah. Hitamnya malam masih tampak. Tibatiba Herlambang menahan lengan Ngesthireni. Waspada! Tangan kiri memegang dagu wanita yang disuruhnya menoleh ke barat. Terdengar sayup-sayup suara orang. “Jangan kaget. Kita menyamar seperti sepasang pemuda yang sedang pulang dari front, tahu?” bisik Herlambang. Ngesthireni mengangguk …”E, kok aneh! Dari Brangkal kok bersama dengan wanita!” “Sepertinya mata-mata!” terdengar orang-orang yang berkerumun saling berbicara. Herlambang tidak berbicara lagi. Walaupun masih terlihat gelap namun dia tetap bisa melihat dengan jelas. Dari gelagat para prajurit tersebut bisa dipastikan mereka akan mengganggu perjalanan Herlambang.
Pencekalan ini membuat waktu Herlambang dan Ngesthireni tersendat. Di tanah atau garis dhemarkasi mereka harus menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh Sagriwa (kepala garis dhemarkasi), membuat mereka bertemu dengan Letnan commit to user Pengkuh dan Kiswanta, yang membuat kacau perjalanan mereka di setiap kota.
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Pemeriksaan di garis dhemarkasi yang dianggap Ngesthi terlalu berlebihan Ngesthireni
marah
setelah
diperiksa
dhokter
Sambudi,
karena
pemerikasaan tersebut hingga bagian perempuan yang paling dalam (untuk memastikan Ngesthireni masih perawan atau tidak). Hal tersebut membuat konflik dengan Letnan Pengkuh, karena dialah yang mendalangi pemeriksaan tersebut hingga sedetai mungkin. Bagaimana tidak marah, Ngesthireni harus melalui pemeriksaan hingga pangkal paha dan kemaluannya. Apalagi yang memeriksa adalah dhokter Sambudi, seorang laki-laki. Wong kuwi rak ngaku jare temanten anyar? Yen manten anyar tenan, mesthine sing wadon kuwi wis ora prawan maneh! . . . “Ha, ha, ha. Diamput si Pengkuh iku! Ya, ya, julig tenan dheweke. Sakersamu, Dhokter! Idhe iki pancen apik, merga srawunge Herlambang karo bojone pancen sajak kaku. Ora kaya manten anyar, nanging luwih kaya sepasang mata-mata mungsuh sing wis dilatih yen mlebu ing wilayahe mungsuh! Kencan lelana barengbareng marga tugas, ora merga tresna! Ha-ha-ha-hi-hi-hi!” … Sambudi mlengeh urmat, untune sing gedhe-gedhe katon putihputih. “E, sanajan salaki-rabi ora kena wong wadon bukak klambi ditonton wong lanang loro!” “Bukak klambi?” Ngesthireni takon njengek. “Lo, mesthi, ta! Hi, hi, hik!” Sagriwa cepet nyaut “Edan apa iki?!” … Cekake pepriksan tetep dianakake. Ganti-ganti Herlambang lan Ngesthireni dipriksa mlebu senthong. Nalika Herlambang mlebu senthong, Ngesthireni ngenteni ana ngarep senthong karo nggawa tommygun, lan nalika Ngesthireni mlebu senthong, Herlambang sing njaga ngarep senthong karo senjatane. Ana rebut-ribut nalika Ngesthireni dipriksa. Dheweke mbukak lawang lan kandha marang Herlambang “Mas! Dhokter edan arep mriksa lakangku! Edan Apa!” Herlambang ora enggal mangsuli. Dheweke nginguk manjero, mandeng Dhokter Sambudi “Apa perlu sitliti tekan samono? . . . ... commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
“Ora ana cape mata-mata mungsuh! Kowe jan ngisin-isinke tenan kok! Lunga kana! Aku ora sudi aku kokeloni!” sentake Sagriwa, saiki tanpa ngempet guyu maneh. “Pengkuh ngadeg “Pak, kula dados pembantu sampeyan mboten margi dibayar. Kula dados tentara margi tresna kula teng wutah rah lan bangsa kula. . . . .Tiyang kalih niki genah mata-mata mungsuh, ajeng kula urus piyambak!” Dhor! Keprungu unu jumledore pistul. Kabeh kaget! Pustule Pengkuh sing gumantung ing lempenge ceblok. Pengkuh pendhelikan, nggoleki wong sing mistul . . . “Yen aku dadi kepala pasukan, dudu pistulmu sing dak tembak, nanging utekmu sing julig kuwi!” sing ngomomg ngono swarane wadon. Tangane ndlesep neng njero tas mendhong. Metu beluke, ambune mimis mbledhos (Suparto Brata, 2006 : 49-57). Terjemahan: Orang itu mengaku sebagai pengantin baru? Jadi jika mereka pengantin baru maka yang perempuan pasti sudah tidak perawan lagi!... “Ha,ha,ha. Kurangajar si Pengkuh! Terserah kamu, dokter! Ide ini memang bagus, karena kedekatan Herlambang dengan istrinya terlihat kaku tidak seperti pengantin baru.” … Sambudi tersenyum hormat, giginya yang besar-besar terlihat putih “E, walaupun suami istri tidak boleh seorang wanita membuka bajunya dilihat dua laki-laki.” “buka baju?” Ngesthireni tersentak … Singkatnya pemeriksaan itu tetap dilakukan. Herlambang diperiksa bergantian. Jika herlambang masuk ke kamar mandi Ngesthireni yang berjaga di depan, dan begitu sebaliknya. … “Tidak ada cap sebagai mata-mata musuh! c) Munculnya Atrum yang mengaku mengenal Herlambang Ketika masih berada di Jombang. Ketika Herlambang, Ngesthireni, dan Kiswanta masih berada di Jombang. Kehadiran Atrum pada saat mereka sedang makan malam sangat mengejutkan. Atrum menghampiri mereka dan langsung menyapa Herlambang. Ia mengaku mengenal Herlambang dengan sebutan Hartono. Herlambang sebenarnya tahu commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Atrum adalah temannya, namun saat itu ia sedang menjalankan misi. Ia berusaha untuk mengelak bahwa ia adalah Hartono. Herlambang tidak ingin Ngesthireni dan Kiswanta tahu siapa dirinya, demi keberhasilan misinya ini. Lagi enak-enak mangan mengkono, pundhake dicablek uwong, “Ton!” Herlambang noleh. Kanca-kancane sak meja uga nyawang wong sing ngluruhi Herlambang. Wonge ngguyu mlengeh, untune gedhegedhe. Klambine ulas soklat sogan, potongan lasykar. Sikepe grapyak, sanajan potongane awake dhempal lan kaku. … “Aku Atrum, Ton! Mosok lali? Kapan teka mrene?” omonge wong mau. Karo ngguyu, untune gedhe-gedhe katon rangah, idune muncrat, ana sing nyripati pipine Herlambang. “Maaf, jenengku dudu Ton.” Herlambang mangsuli karo rada nyengingis, rada isin, rada gumun, ning ya kudu grapyak. Repot ngaku tangkepe. “Aaah! Kowe ki! Sapa kancamu ngedhang kopipanas neng asrama Purwodadi yen dudu Atrum? Aku!” ... “Ora, kok ora ngakoni. Nanging saelingku, aku ora kenal kowe.” “Sombong kowe, ya, dupeh nggawa bedhil anyar lan wong ayu.” (Suparto Brata, 2006 : 73-75). Terjemahan: Sedang menikmati makanannya, tiba-tiba pundaknya ditepuk orang, “Ton!” Herlambang menoleh. Teman satu meja juga mengamati orang menyapa Herlambang. Orang itu tersenyum, giginya terlihat besarbesar … “Aku Atrum, Ton! Apakah kamu lupa? Kapan kamu sampai ke sini?” perkataan orang tadi. Sambil tertawa giginya terlihat besarbesar. “Maaf, namaku bukan Ton!” Herlambang menjawab pertanyaan tersebut sambil tersenyum. … “Bukannya aku tidak mengakui. Akan tetapi seingatku, aku tidak mengenalmu.” “Sombong kamu.”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
Hal tersebut membuat Atrum marah. Dia tetap bersikeras bahwa Herlambang adalah Hartono temannya. Situasi ini berlanjut memanas hingga di losmen tempat Herlambang, Ngesthireni, dan Kiswanta menginap. Atrum datang ke penginapan itu, bermaksud menemui Herlambang. Tapi yang terjadi malah Atrum berkelahi dengan Kiswanta. Hal ini karena Kiswanta melihat Atrum mengendap-endap di depan kamar Herlambang, ketika baru pulang dari suatu tempat. Perkelahian tersebut membuat Atrum mati oleh Kiswanta, sehingga herlambang dan Ngesthireni harus meninggalkan Jombang lebih cepat dari waktu yang mereka rencanakan sebelumnya. Ketika meninggalkan Jombang, ditengah perjalanan Herlambang dan Kiswanta pun berkelahi yang mengakibatkan Herlambang dan Ngesthireni meninggalkan Kiswanta. d) Kiswanta mengetahui bahwa Herlambang dan Ngesthireni menyamar sebagai pedagang kain jarik dari Solo. Sesampainya di Madiun, Herlambang dan Ngesthireni menyamar sebagai pedagang kain jarik dari Solo yang, beristirahat disebuah rumah bangunan Cina. Kiswanto mengetahui keberadaan mereka karena diberi tahu telik sandi yang juga teman Kiswanta bernama Sirtuhadi. Kiswanta mencoba menemukan Ngesthireni dan ingin membawa bersamanya untuk bertemu Yogyantara. Esuk umun-umun lawang kamar penginepane bakul jarik saka Sala di dhodhogi wong. Thok-thok-thok. “Mbak! Mbak Ngesthireni! Aku, Mbak, Kiswanto! Tangi, Mbak, manuta aku wae, kita mlayu menyang Sala, Lojiwetan! Prahotone wis siyap! Herlambang kon manut! Yen ora dakrangkete! Tuman! Ngganggu wong tugas wae! Ayo tangi, Mbak!” ... “Ning apa, dhik Kis?” “Ayo, melu! Endi dhapure Herlambang?” (Suparto Brata, 2006 : 127-129). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: Pagi-pagi sekali pintu kamar penginapan pedagang jarik dari Sala digedor-gedor orang. Thok-thok-thok “Mbak! Mbak Ngesthi! Aku, Mbak, Kiswanta! Bangun, mbak. Kita pergi menuju ke Sala, Lojiwetan! Kendaraan sudah siap. … “Ada apa, dik Kis?” “Ayo ikut! Di mana Herlambang?” Kedatangan Kiswanta menyebabkan Herlambang dan Ngesthireni berpisah. Herlambang meneruskan perjalanan misinya ke Batu Jamus, sedangkan Ngesthireni pergi bersama Kiswanta, dan tanpa disengaja mereka bertemu kembali di pabrik mesiu Batu Jamus. 3) Plausabilitas Sebuah karya sastra dikatakan plausible jika memiliki alasan-alasan yang logis. Jika tindakan tokoh benar-benar mengikuti kepribadian yang telah diketahui sebelumnya, maka cerita itu masuk akal. Dengan kata lain, dalam situasi khusus, tokoh bertindak sesuai dengan yang memang harus dilakukan. Plausibilitas yang terdapat dalam novel Dom Sumurup ing Banyu sebagai berikut. a) Mengungkap siapa pemilik JA-8 yang berada di Surakarta dan menggagalkan rencana Belanda ingin meledakkan pabrik mesiu Batu Jamus. Biro Spionase RI membentuk misi herlambang karena mengetahui adanya pesan-pesan dari LUI di Surabaya kepada JA-8 yang merencanakan tentang peledakan pabrik mesiu Batu Jamus dan akan menyewa seorang yang bernama Herlambang. Dengan sigap Biro Spionase RI oleh pimpinan Komisaris Ir. Suprayoga merancang suatu misi commit yang bernama to user“misi herlambang”. Ir. Suprayoga
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengirimkan pesan-pesan kepada LUI yang seolah-olah pesan ini dari JA-8 dan LUI mempercayainya. Kemudian untuk melengkapi misi ini, diutuslah seseorang yang bernama Hartono yang akan menyamar sebagai Herlambang, karena pada saat itu LUI tidak mengetahui keberadaan dan sosok seorang Herlambang. Maka dari itu Biro Spionase RI membentuk dan merancang “misi herlambang.” “…pirang-pirang sasi aku malsu kontake wong loro iki. Wekasan pawarta ing The Malayan Straits Times kuwi nuwuhake ilham. Marang LUI aku kandha yen JA-8 oleh wong jeneng Herlambang sing bisa diutus njupuk gambar kuwi, supaya LUI oleh kejangkepane piranti marang wong kuwi ing Mojokerto. LUI nyanggupi lan mantah van Grinsven ngurus bab kuwi. Marang JA8 aku kandha yen LUI sung duwe prakarsa ngutus mata-mata kodhang sing wis tau mbiyantu US- Army ing perang Pasifik. Supaya JA-8 cepak-cepak aweh dalan kang sinandi marang meneer Herlambang anggone bakal nemoni JA-8. Pranyata matamata mau kudu mlebu menyang pabrik mesiu kene mawa uluksalam nggoleki Raden Mas Yogyantara kadidene pas-woord-e. misi iki dak matengake.” (Suparto Brata, 2006 : 225). Terjemahan: “… berbulan-bulan aku memalsukan kontak dua orang ini. Setelah kabar dari The Malayan Straits Times itu menumbuhkan ilham. Marang LUI aku mengatakan bahwa JA-8 dapat seseorang yang bernama Herlambang dan dapat diutus untuk mengambil gambar itu, supaya LUI mendapat penjelasan orang itu di Mojokerto. LUI menyanggupi dan mengutus Van Grinsven mengurus bab ini. b) Ngesthireni yang dilucuti oleh Herlambang. Herlambang melucuti Ngesthireni yang memakai jam tangan buatan luar negeri, karena dianggap tidak pantas. Pada saat itu Republik Indonesia sedang serba kekurangan, kekurangan pangan dan kekurangan sandang. Maka tidak pantas Ngesthi memakai barang yang mencolok, dan ketika itu Herlambang dan Ngesthi sedang menyamar sebagai pejuang RI yang akan pulang dari tugas. Helambang tidak mau penyamaran ini gagal dan menghalangi misinya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
“Kabeh barang-barang Landa, kudu ora kena tumempel ing awake dhewe. Awake dhewe iki wong Republik, sing kaet biyen ya ana ing tlatah Republik. Sarwa ora kecukupan marga mentas dijajah Jepang telu setengah taun lawase, nalika Jepang perang karo Sekuthu! Wong Republik urip sarwa kecingkrangan! Gak cocok kowe duwe arloji weton njaban Republik.” “Kabeh wis dakbuang! Uga surat pikukuh asli pangayoman Negara Inggris.” (Suparto Brata, 2006 : 27). Terjemahan: “Semua barang-barang Belanda, tidak boleh melekat di badan kita. Kita ini orang Republik yang sejak dulu ya ada di tanah Republik. Serba kekurangan karena baru saja merdeka dari penjajahan Jepang tiga setengah tahun lamanya. Orang Republik hidup serba kemiskinan! Tidak cocok kamu memakai arloji keluaran luar negeri.” “Semua sudah aku buang! Juga surat asli pangayoman dari Negara Inggris.”
c) Herlambang tidak mengakui atrum sebagai temannya karena sedang menjalankan misi spion. Herlambang ketika berada di Jombang tiba-tiba dihampiri seseorang yang kenal dirinya. Orang itu mengaku bernama Atrum, dan Atrum memanggil Herlambang dengan sebutan Hartono. Sebenarnya Herlambang ingin mengakui hal tersebut. Akan tetapi dia harus bersikap profesional, karena dia sedang menjalankan misi sebagai spion dan tak mau penyamarannya terbongkar di depan Ngesthi dan Kiswanta. “His dudu!” Hartono ngethok gunem. “Atrum mono pancen kurban salah kedaden. Kacilakan. Atrum dudu klerehane Letnan Pengkuh. Dheweke pancen wong Purwodadi, kancaku neng asrama ing front kana. Bocahe pancen dhugal, brangasan, nanging lugu. La kuwi sing dak wedeni yen aku diterka kakeham dosa. Neng Jombang kae, Atrum nyapa aku ing sakjur-jujure atine. Nanging aku ngaling, marga ing kana aku dudu Hartono kancane, aku Herlambang spione Walanda. Anggone nyapa Atrum ing ngarepmu lan Kiswanta, dadi kudu daksamarake identitasku sing tenan (Suparto Brata, 2006commit : 229).to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: “His, bukan!” Hartono mulai berbicara. “Atrum itu memang korban ketidaksengajaan. Kecelakaan. Atrum buka teman Letnan Pengkuh. Dia asli orang Porwodadi, temanku sewaktu di asrama. Anak itu terkenal nakal, tapi lugu. Ketika Jombang, Atrum menyapa aku dengan jujur dari hatinya. Akan tetapi aku mengelak, karena aku sedang menyamar sebagai Herlambang spion Belanda, jadi harus menyamarkan identitasku.
4) Konflik Konflik-konflik yang terdapat dalam novel Dom Sumurup ing Banyu karya Suparto Brata adalah sebagai berikut: a) Konflik Internal Konflik internal yang dialami oleh Herlambang sebagai berikut: (1) Konlik batin dalam diri Herlambang ketika berada di Restoran Tong Sien dan berbicara dengan Van Grinsven. Van Grinsven bertanya kepada Herlambang saat ia membantu pasukan Amerika menyerbu ke Tarakan. Van Grinsven menanyakan tentang kapan waktu penyerbuan tersebut, pagi hari atau petang. Herlambang menjawab bahwa penyerbuan itu saat hari sudah petang, namun Van Grinsven berpendapat lain. Setahu Van Grinsven penyerbuan pasukan Amerika ke Tarakan dilakukan saat pagi hari, bukan petang. Herlambang salah tingkah untuk menjawagnya kembali, sehingga ia memberi kode pada pelayan restoran Tong Sien untuk memberikan minuman yang sangat memabukan Van Grinsven, supaya Van Grinsven pingsan dan tak bertanya-tanya lagi. Konflik batin yang dialami Herlambang tersebut commit to user dapat dilihat dalam kutipan berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
“Edan, van Grinsven! Nyalawadi banget pitakone! Tujune sinona mau tanggap sasmita! Heh! Ndrawasi! Mengko gek van Grinsven dadi mungsuh mungging cangklakan?” mengkono pikirane Herlambang klawan mlaku. Enere manut pituture Van Grinsven. Ngiwa, watara satus meter ana gang. Ing kono ana jip! Mugamuga Van Grinsven ora blenjani janji! (Suparto Brata, 2006 : 9). Terjemahan: “Edan, van Grinsven! Berbahaya sekali pertanyaannya! Untungnya aku tanggap! Heh! Berbahaya! Jangan-jangan van Grinsven adalah musuh dalam selimut?” pikiran Herlambang serambi berjalan. Menurut perkataan van Grinsven, berjalan ke kiri kira-kira seratus meter ada jip. Dan ternyata benar, van Grinsven tidak berbohong!
(2) Konflik batin dalam diri Herlambang ketika bertemu seorang wanita di dalam jip yang dijanjikan Van Grinsven untuknya. Herlambang keluar dari restoran Tong Sien menuju tempat yang ditunjuk Van Grinsven. Van Grinsven mengatakan kepada Herlambang bahwa ia sudah menyediakan kendaraan berupa jip untuk Herlambang keluar dari kota Mojokerto. Namun betapa kagetnya Herlambang ketika pintu jip dibuka, ada seorang wanita yang menyapa dari dalam, sambil mengarahkan pistul ke arah Herlambang. Konflik yang terjdi dalam diri Herlambang tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Goede middag, meneer Herlambang!” suwarane wong ing sopiran jip. Nglimpreg semangate Herlambang! Pucuk pistul ngacung meh wae nyuleg mripate! “Edan tenan! Iki mesthi pokale Van Grinsven!” pangundikane Herlambang. Van Grinsven jan wis maeka dheweke tenan! Modar saikimu. “Waarom zo lat?” suwarane ing njero jip mau. Suwara wadon! Ora patia ngancam! Herlambang gage bali kaprayitnane. Anggone ngadeg radangampingake lawang jip, saora-orane ngendani samangsa-mangsa pistul mau jumledhor (Suparto Brata, 2006 : 10). commit to user Terjemahan:
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
… “Goede middag, mener Herlambang!” suara orang di dalam jip Lemas semangat Herlambang! Pucuk pistol hampir saja mengenai matanya! “gila! Ini pasti akal-akalan van Grinsven” katanya dalam hati “Waarom zo lat?” suara dari dalam jip. Suara wanita! Tidak mengancam! Herlambang kembali tenang.
Herlambang
menganggap
Van
Grinsven
menjebak
dia
dengan
mengirimkan seseorang, namun ada percakapan dengan wanita tersebut, anggapan itu pun sirna. Wanita dengan nama Ngesthireni inilah yang akan menjadi teman seperjalanan misinya. (3) Konflik batin diri Herlambang, yaitu ketika perjalannya menemui tentera yang sedang melakukan pemeriksaan. Herlambang dan Ngesthireni berkendaraan meninggalkan kota Mojokerto. Ngesthireni mencoba mengingatkan Herlambang bahwa Van Grinsven berpesan jika sebelum keluar dari kota Mojokerto Herlambang harus berganti pakaian, menyamar jadi tentara Cakra. Herlambang berusaha secepat mungkin untuk dapat meninggalkan kota Mojokerto sebelum hari gelap. Herlambang masih memperhatikan jalan dengan hati-hati, karena sekarang jalannya sudah tak mulus lagi seperti di dalam kota. Banyak jalan yang berlubang atau sengaja dilubangi, jadi jip tidak bisa jalan dengan cepat dan mulus. Herlambang sesekali memperhatikan suasana, waspada akan peperangan. Tiba-tiba Ngesthireni kaget melihat ada beberapa mobil di depannya mogok. Ngesthireni bertanya-tanya, mobil-mobil tersebut berhenti karena ada penjagaan atau ada konflik? Mobil jip mereka berjalan perlahan menuju ke arah mobil-mobil yang berhenti. Ternyata commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
ada mobil yang rodanya terperosok lobang dan sulit untuk berjalan kembali. Di situ juga ada tentara-tentara Belanda yang melakukan penjagaan guna mengamankan situasi jika terjadi kontak senjata. Melihat mobil yang ditumpangi Herlambang dan Ngesthireni menuju ke arah mereka, mereka segera menghentikan laju mobil guna dilakukan pemeriksaan. Herlambang dengan tenang menghentikan kendaraanya dan bersedia diperiksa. Herlambang dan Ngesthireni bersikap tenang pada saat diperiksa dan berusaha mengenalkan jati diri mereka. Herlambang memberikan selembar kertas yang ada di kantong bajunya. Tapi bodohnya Herlambang, dia belum tahu kertas apa yang diberikannya itu. Mengapa ia tidak memeriksa terlebih dulu isi surat tersebut? Jangan-jangan bisa menyelakakan dirinya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: Wayah surup srengenge, dalane saya ora rata. Ing ngarep katon remeng-remeng prahoto mandeg ing pinggir lurung. Parane papagan karo arah lakune jip. “Ana apa kae?” Ngesthireni nyuwara njengek. “Sajake konvoi mogok.” “Nyamari ora?” “Yen konvoi thok ora nyamari. Suratmu isih payu nggo liwat. Nanging yen mogoke marga sabotase, prayoga tata-tata nyamar dadi wong Republik. Siyap mlayu ngadohi konvoi cilaka kae, . . . .... Ing payone prahoto sing kejeglong malah ana metraliyun kanthi mimis sing direntengi gilap-gilap ora tedhing aling-aling ngincer sopirane jip. Cekake ana glagat ala sithik wae ora ngepenakake klompoke wong pihak konvoi, ajur mumur jip kuwi sawalangwalang. Salah polah utawa kliru tembung sithik wae, Herlambang lan kancane bisa ancur sanalika kuwi, uga dibrondong mimis klompoke wong pihak konvoi. Herlambang ngrogohi sake, banjur ngulungake surate Van Grinsven sing mau dituduhake Ngesthireni. Tolol! Surat apa kuwi? Mau kok ora ditliti dhisik. Kena apa dheweke percaya banget marang Van Grinsven? Mengko gek . . . . .!? (Suparto Brata, 2006 : 17-19). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: Waktu senja hari, jalannya sudah mulai tidak rata. Di depan terlihat remang-remang kendaraan berhenti di pinggir jalan searah dengan jalan jip. “Ada apa itu?” teriak Ngesthireni “Sepertinya ada mobil mogok.” “Berbahaya tidak?” “Kalau hanya mogok tidak berbahaya. Suratmu masih berlaku untuk lewat. Tetapi jika mogok itu disebabkan oleh sabotase, lebih baik cepat menyamar sebagai orang Republik. Siap lari menjauh. … Singkatnya jika ada sikap yang mencurigakan pasti mobil beserta isinya akan hancur oleh sejata otomatis. Herlambang merogoh sakunya, kemudian memberikan selembar kertas dari van Grinsven. Tolol! Surat apa tadi! Kok tadi tidak dipastikan dulu. Mengapa aku terlalu percaya dengan van Grinsven? Nanti malah…!? (4) Konflik batin Herlambang selanjutnya terjadi ketika Herlambang dan Ngesthireni selesai diperiksa Dokter Sambudi di garis dhemarkasi Peterongan. Herlambang dan Ngesthireni ketika akan melewati garis dhemarkasi, mereka menyamar dan mengaku sebagai suami istri. Mereka berdua berjalan ke pos penjagaan garis dhemarkasi. Di sana mereka diperiksa oleh dokter Sambudi, Karena para tentara di situ belum percaya. Pemerikasaan tersebut dilakukan kepada Herlambang dan Ngesthireni hingga bagian badan yang tertutup. Ngesthireni harus berbesar hati, merelakan seluruh tubuhnya diperiksa dokter Sambudi, dan marah pada Herlambang karena dianggap tidak bisa mencegah hal itu terjadi. Kutipannya adalah sebagai berikut: Herlambang ora seneng congkreh ing ngarepe wong akeh mengkono. Luwih-luwih nonton mripate Pengkuh sing nyalatnyalat, bencine mudal. Nanging sikepe prawira kudu dijaga supaya ora njugarake anggone nylamur (Suparto Brata, 2006 : 54). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: Herlambang tidak suka bertengkar di depan orang banyak. Terlebih melihat mata Pengkuh yang melotot, bertambah benci. Tetapi sikap perwira harus dijaga agar penyamarannya tidak terbongkar. Haelambang merasa bersalah terhadap Ngesthireni, karena tidak dapat mencegah pemerikasaan yang sangat mempermalukan Ngesthireni, yaitu membiarkan dokter Sambudi memeriksanya. Herlambang rumangsa salah marga ngidini dhokter Sambudi nitipriksa awake Ngesthireni nganti enggon sing paling wadi, mangka sing duwe wadi iwis kabotan (Suparto Brata, 2006 : 60). Terjemahan: Herlambang merasa bersalah karena telah mengijinkan dokter Sambudi memeriksa tubuh Ngesthireni sampai di tempat yang paling dijaga kesuciannya, jadi yang punya keberatan. (5) Konflik batin diri Herlambang ketika sampai di Masaran dan akan menuju ke Batu Jamus. Herlambang sudah dekat dengan pabrik mesiu Batu Jamus. Dia telah sampai di kota kecil bernama Masaran. Menurut rancangan dia akan naik mobil manuju Batu Jamus. Di dalam perjalananya, Herlambang masih terlihat waspada walaupun sudah dekat dengan tujuan. Dia masih merasa belum aman dengan naik mobil menuju pabrik mesiu. Dia berfikir bahwa pada saat itu mobil masih jarang dan sangat terlihat mencolok pada saat melewati pedesaan dan semoga Pengkuh tidak melihatnya. Konflik batin tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Muga-muga wae, anak buahe Pengkuh durung tekan kene, lan ora weruh montor iki!” pikire Herlambang, marga montor liwat lurung pedesaan kuwi nyolok mata banget. Ing jaman Republik ngene iki aneh banget. Jare rakyattoIndonesia kuwi sakit lan miskin, commit user nanging nyatane Herlambang isih bisa oleh nunutan montor sing
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
mesine bregas kaya ngene! Apa iki jalaran Herlambang laku di dom sumurup ing banyu! Tegese oleh bantuan kang murwat banget merga tugase! Umpama dadi rakyat RI biasa, mesthine dheweke ya sakit lan miskin? Ora numpak montor apik kaya ngene iki! Yen Letnan Pengkuh ngonangi wis genah tanpa ampun anggone ngarani Herlambang spion, mata-mata Landa! Montor kang nyleneh karo penumpange kuwi mesthi dauber nganti tekan njerone neraka (Suparto Brata, 2006 : 143). Terjemahan: “Semoga saja, anak buah Pengkuh belum sampai sini, dan tidak melihat mobil ini,” Pikir Herlambang. Karena mobil lewat jalan pedesaan pada saat itu terbilang tidak lazim, karena saat itu rakyat Indonesia sedang serba kekurangan. Akan tetapi Herlambang bisa naik mobil yang mesinnya bagus, apa karena dia lakon dalam dom sumurup ing banyu ini. (6) Konflik batin diri Herlambang ketika ia berada di dalam pabrik mesiu Batu Jamus. Herlambang telah berada di dalam ruangan pabrik mesiu Batu Jamus bersama Ir. Suwandi, Dr. Honggo, dan Dr. Mann. Ketika itu Ir. Suwandi mencoba menguji kewaspadaan Herlambang dengan memberikan gambar rumusan pabrik gula di Tasikmadu. Ternyata Herlambang waspada. Herlambang pun bertemu bertemu dengan R. M. Yogyantara yang menurut Van Grinsven orang tersebut harus ditemuinya. Konflik tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: Herlambang rada plingukan. Nanging Ir. Suwandi gage nerangake “Ora sah gumun. Pancen kene kudu prayitna. Kudu ngerti tenan sapa wong sing tiba adhepi. Aku rak durung tepung sapa sliramu. Apa sliramu kuwi Herlambang sing bisa opnemen utawa motret mawa mripat wantah, apa dudu? Mula dak tuduhake gambar cengkorongane pabrik gula Tasikmadu, dakakokake gambar pabrik mesiu ing kene. Jebul sliramu pancen waspada!” “O, dadi panjenengan sing asmane Raden Mas Yogyantara?” Herlambang isih karo ngrungokake omongane Ir. Suwandi gage ngaturi salam grapyak, sanajan rangu-rangu. Apa tenan kuwi commitisih to user sing jenenge Raden Mas Yogyantara, sing manut welinge Van
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
Grinsven kudu ditemoni Herlambang ing misine mlebu ing tlatah Republik iki. Rangune marga iki mau dheweke wis dislamurake anggone nglakoni jejibahane kang nyala wadi kuwi! Kudu waspada! (Suparto Brata, 2006 : 177-178). Terjemahan: Herlambang agak bingung, tetapi Ir. Suprayoga segera menerangkan, “tidak usah kaget. Di sini memang harus waspada. Harus tahu siapa yang kita hadapi. Aku belum kenal siapa kamu. Apa benar kamu Herlambang yang bisa opnemen atau memotret mata telanjang, atau bukan? Makanya aku perlihatkan gambar pabrik gula Tasikmadu, yang dipalsukan menjadi pabrik mesiu ini. Ternyata kamu memang waspada!” (7) Konflik batin diri Herlambang ketika ia masih di dalam pabrik mesiu Batu Jamus dan ada yang datang membuat semua orang yang ada dalam pabrik penasaran, termasuk Herlambang. Tentara atau penjaga yang ada di pos penjagaan di depan pabrik mesiu Batu Jamus melaporkan, bahwa di pos kedatangan tiga orang yang mengaku mencari Yogyantara. Karena mendengar nama Yogyantara, orang didalam yang bernama Yogyantara menyuruh sopirnya untuk menjemput orang di pos penjagaan. R.M. Yogyantara memandangi Herlambang dengan sorot mata yang penuh tanya. Setahunya, yang diutus Van Grinsven dan Luidelmeyer untuk tugas ini adalah Herlambang, lalu siapa lagi yang datang? Herlambang juga penasaran. Yogyantara menemui orang-orang yang mencarinya, dan Herlambang dibawa ke sebuah ruangan lain untuk mencegah terjadinya pertengkaran oleh Dr. Honggo dan Dr. Mann. Kutipannya adalah sebagai berikut: Saiki Herlambang adreng anggone arep weruh sapa sing arep teka! Lan apa perlune teka! Marga manut Ir. Suwandi mau, sing nyebut jeneng Yogyantara kuwi mung wong-wong sing gegayuhan karo misine, yakuwi ngirimake mata-mata Walanda pabrik Batu Jamus kene. Mata-mata kuwi orato liya commit userkajaba Herlambang. Ora bakal dikirim wong liya, marga cepak-cepake ngirim siji wae iku
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
ora gampang. Gek sapa maneh sing bisa tumandang kaya Herlambang? Yakuwi ngedelake pengalamane mbiyantu serdhadhu Amerika nlundhup ndlajahi daerah mungsuh sarana ketrampilane kang luar biyasa? Lan sapa wong kang bisa motret barang mung nganggo mripat salugu? Tanpa kamera? Kuwi kabeh kadibyane Herlambang. Mung Herlambang sing kaya ngono lan mung Herlambang sing dipilih dening Luidelmeyer dadi spion, diutus dom sumurup ing banyu mlebu tlatah Republik mrasuk menyang pabrik mesiu Batu Jamus! Saprene wis kasil. La kok saiki ana utusane Luidelmeyer liya? Sapa? (Suparto Brata, 2006:183). Terjemahan: Sekarang Herlambang penasaran ingin tahu siapa yang akan datang! dan apa keperluannya. Sebab, menurut Ir. Suwandi yang menyebut nama Yogyantara itu hanya orang-orang yang mempunyai ikatan dengan misi, yaitu mengirim mata-mata Belanda ke pabrik Batu Jamus. Mata-mata tersebut tak lain adalah Herlambang. Tidak mungkin kalau mengirim orang lain, sebab mengirim satu orang saja sudah sulit. Siapa lagi yang bisa bekerja seperti Herlambang? Yaitu mengandalkan pengalaman membantu serdadu Amerika menyelusup masuk daerah musuh dengan ketrampilan yang luar biasa? Dan siapa yang dapat memotret hanya dengan mata telanjang? Tanpa kamera? Semua itu kelebihan Herlambang! Hanya Herlambang yang bisa seperti itu dan hanya dia yang dipilih oleh Luidelmeyer menjadi spion, diperintah dom sumurup ing banyu masuk daerah Republik menuju pabrik mesiu Batu Jamus! Sekarang sudah berhasil. Tapi sekarang kok ada utusan Luidelmeyer yang lain? Siapa? Herlambang menunggu siapa yang akan datang, dengan rasa penasaran dan hati bertanya-tanya. Dia menunggu dari ruangan yang berbeda, dimana ada celah yang bisa digunakan untuk melihat keruangan tamu tersebut akan disambut oleh Yogyantara dan anak buahnya. Karena terlalu penasaran, menunggu lima menit rasanya seperti setahun. Akhirnya yang ditunggupun datang. Herlambang memperhaikan dengan seksama. Betapa kagetnya Herlambang melihat siapa yang datang. Ternyata tamu yang datang tak lain adalah Kiswanta, Sirtuhadi, dan Ngesthireni. Dalam hati ia bertanya, untuk apa mereka datang kemari? commit to user Herlambang mencari cara untuk dapat keluar dan itu percuma, karena ia diawasi
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
oleh Dr. Honggo dan Dr. Mann. Ia hanya bisa memperhatikan dan mendengarkan pembicaraan mereka dari dalam ruangan. Konflik batin tersebut dapat dari kutipan berikut: Ngenteni limang menit kaya setahun! Wusanane lawang dibukak. Sing mlebu kajaba punggawa pabrik sing ngirid Herlambang sepisanan mau, disusul wong lanang loro karo wadon siji. Kiswanta! Sirtuhadi! Lan . . .Ngesthireni! “Edan-edanan! Apa perlune wong-wong kuwi Mrene?!” nyut, pikirane Herlambang nyola ngemu anyel. Sanalika kuwi uga Herlambang duwe gambaran cetha! Ngesthireni kuwi wonge Van Grinsven! Sing ngirim mlebu menyang tlatah Republik Van Grinsven! Ah, edan! Mesthine wiwit ana ing Mojokerto kae Herlambang kudune wis nggraito mengkono! Kena apa dheweke ngeculake pikiran-pikiran ala bab Ngesthireni? Lan Van Grinsven! Herlambang kelingan yen Van Grinsven uga ora tumindak kaya intruksi kang semesthine! Landa kuwi malah wiwit prabasangka marang Herlambang, sing marahi Herlambang kudu enggal nyemaputake, supaya Van Grinsven ora ndhudah-ndhudah prekarane pribadine Herlambang luwih tandes. Apa marga ora patia ngandel karo Herlambang kuwi, Van Grinsven terus nylundupke Ngesthireni? Gawe serepan. Gawe double agent? Nanging sing kaya ngono ora klebu ing skenarione misi iki. Blas. ora ana! (Suparto Brata, 2006:184). Terjemahan: Menunggu lima menit seperti setahun. Setelah pintu dibuka yang masuk selain pegawai pabrik yang mengawal Herlambang pertama kali disusul dua lelaki dan seorang wanita. Kiswanta! Sirtuhadi! dan . . .Ngesthireni! “Gila-gilaan! Apa perlunya mereka kemari?! Pikir Herlambang kesal. Saat itu juga Herlambang mempunyai gambaran yang jelas bahwa Ngesthireni juga orangnya Van Grinsven! Gila! Harusnya dari awal Herlambang sudah berpikir begitu! Mengapa ia melupakan pikiran-pikiran buruk tentang Ngesthireni dan Van Grinsven? Herlambang ingat kalau Van Grinsven tidak bertindak seperti intruksi yang benar! Dia malah memulai berprasangka pada Herlambang, sehingga Herlambang harus segera membuatnya tak sadarkan diri karena rasa ingin tahu yang lebih dalam pada pribadi Herlambang. Apa mungkin karena tak percaya, lalu Van Grinsven mengutus Ngesthireni? Namun yang seperti itu tidak ada dalam skenario misi ini. commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Herlambang masih tidak percaya akan kedatangan Ngesthireni. Apa yang akan dilakukan Ngesthireni ke pabrik mesiu Batu Jamus ini? Apakah dia juga mata-mata slundupan Van Grinsven? Van Grinsven membuat double agent untuk mendampingi Herlambang jika terjadi sesuatu pada dirinya? Ngesthireni menggantikanya kalau ia tidak bisa menyelesaikan misinya? Apakah itu yang direncanakan Van Grinsven? Piker Herlambang. ... Van Grisven sing nylundupake Ngesthireni. Lan sapa Ngesthireni kuwi, Herlambang bisa kenal saka pengalamane nalika bebarengan nyabrang dhemarkasi lijn. Wong wedok sing ulet, trampil, pinter, lan pengalamane hebat! Patut ditugasi dadi spion! Gek kae Kiswanta ora nggawa bedhil cung, tegese kahanane aman. Papan iki pancen papane Yogyantara-Van Grinsven! Kiswanta utusane Yogyantara, Ngesthireni spione Van Grinsven. Serepane Herlambang! Kabeh mau ora ana ing jladren rancangan. Ora mungkin ana rancangan kaya ngono sing dirembug lan wis dimupakati karo Luidelmeyer! Iki genah pokal gawene Van Grinsven! Nyabot Herlambang! Tegese saiki Herlambang kejoderan! “Ora genah!” Herlambang kudu gage tumindak! (Suparto Brata, 2006:184-185). Terjemahan: ... Van Grinsven yang menyelundupkan Ngesthireni. Dan siapa Ngeathireni, Herlambang bisa kenal dari pengalamannya ketika bersama-sama menyeberang demarkasi lijn. Perempuan yang gigih, trampil, pintar, dan mempunyai pengalaman hebat! Pantas bila ditugasi menjadi spion! Kiswanta yang tidak membawa senjata menandakan bahwa keadaannya aman. Tempat ini memang tempat Yogyantara-Van Grinsven! Kiswanta suruhan Yogyantara, Ngesthireni spionnya Van Grinsven. Pikir Herlambang! Semua tidak ada dalam skenario. Ini jelas akal Van Grinsven! Herlambang harus bertindak. (8) Konflik batin diri Herlambang selanjutnya adalah ketika dia melihat Ngesthireni bertengkar dengan Yogyantara. commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari ruangan yang tak terlihat dari luar, Herlambang memperhatikan semua kejadian dari balik celah. Betapa kagetnya dia saat melihat Ngesthireni dipukul hingga terjerembab dan kemudian ditendang oleh Yogyantara yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Ngesthireni membicarakan soal warisan peninggalan kakeknya kepada Yogyantara. Namun Yogyantara tak mau mengungkit-ungkit soal warisan, hingga memukul Ngesthireni yang banyak bicara dan memojokan dia, menganggap bahwa Yogyantara telah menghabiskan semua warisan selama ditinggal Ngesthireni. Melihat Ngesthireni dipukul dan ditendang, Herlambang ingin sekali menolong. Namun dia tidak bisa keluar karena Dr. Honggo dan Dr. Mann masih siaga mengawasinya. Kutipannya sebagai berikut: Kedadean kuwi cepet banget. Yogyantara ngampleng uwange Ngesthireni, wong wadon kuwi ambruk, terus ditendhang pisan sakayange dening sedulure. Njempalik kelumah, njrebabah aneng jogan. Herlambang sing tansah nyemak lan prayitna saka njeron kamar wadi arep gage gemregah tumindak mberesake kejoderane, nanging Dr. Honggo lan wong manca ing cedhake nyasmitani supaya anteng wae. Herlambang ngerti yen wong loro kuwi wis siyaga nyembadani apa wae sing bakal klakon sing sakira ngrugekake balane. Mula Herlambang ya banjur menggak karepe, kaya-kaya netral. Kaya-kaya ora arep melu-melu urusane wong pabrik kono, kepetung prekarane Ngesthireni (Suparto Brata, 2006:188). Terjemahan: Kejadian itu sangat cepat. Yogyantara memukul Ngesthireni hingga terjatuh, lalu menendangnya sekuat tenaga. Herlambang yang menyaksikan dari dalam ruangan ingin segera bertindak. Namun Dr. Honggo dan temannya ada didekatnya dan memintanya untuk tetap tenang. Herlambang tahu diri kalau dua orang itu sudah siaga apabila terjadi sesuatu pada temannya. Maka Herlambang menahan diri, seolah bersikap netral.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
b) Konflik Eksternal Konflik eksternal yang terdapat dalam novel Dom Sumurup ing Banyu sebagai berikut: (1) Konflik antara Herlambang dengan tentara Belanda. Konflik terjadi setelah Herlambang dipersilakan untuk jalan kembali oleh tentera Belanda usai pemeriksaan. Namun baru beberapa meter mobil dijalankan, terdengar suara tembakan yang tak tentu arahnya. Tembakan itu seperti membabi buta siapa atau apa saja yang menghalangi. Para tentara Belanda ternyata saling baku tembak dengan para gerilyawan yang telah mengepung tempat itu. Dari pada mereka terkena tembakan, Herlambang menginjak gas dengan kerasnya hingga mobil jip melaju dengan cepat, kencang, dan tak memikirkan jalanya berlubang. Herlambang tak bisa membayangkan jika senjata yang dibawa tentara Belanda mengenai jip ini, bisa meledak mobil ini. Sebab senjata yang mereka gunakan adalah senjata yang sudah modern dan otomatis. Unine bedhil saka pihak gerilyawan kuwi uga enggal dibalesi karo pihak-pihak konvoi. Dadi drel-drelan rame banget. Throl! Throlthrol-throl! Dhor-dhor-dhor-dhor! Dhet-dhet-dhet! Herlambang mateg gas. Pikirane ora lali karo ucuke 12,7 kang ngetutake lakune jip mau. Para gerilyawan kuwi uga pinter. Saiki 12,7 kae mesthi rekasa golek utawa nandangi sasaran liya, marga kabeh padha dienerake marang lakune jipe Herlambang. Para gerilyawan sing ngepung konvoi bebas saka incerane 12,7. Herlambang ora kandha apa-apa, jipe dienggak-enggokake lakune sig-sag ngebaki dalan kaya kewan mbanyaki. Umpama ora sig-sag mengkono, klakon dikrutug mimis 12,7 tenan (Suparto Brata, 2006:21). Terjemahan: Suara tembakan dari gerilyawan segera mendapat balasan dari pihak musuh. Suasana commit menjadito ramai, user saling baku tembak. Herlambang melaju mobil jip dengan kencang, sebab senjata
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
cangih itu mengincar mobilnya. Tanpa kata, Herlambang melaju jip-nya dengan sig-sag supaya lolos dari brondongan peluru. (2) Konflik antara Herlambang dengan Ngesthireni. Konflik yang terjadi antara Herlambang dan Ngesthireni terjadi setelah mereka berhasil lolos dari peperangan antara tentara belanda dengan para gerilyawan Republik. Setelah lolos dari peperangan itu, mereka berdua harus menyamar kembali menjadi orang pribumi, karena akan melewati garis dhemarkasi di Peterongan. Setelah beberapa saat istirahat, Herlambang segera berganti pakaian. Begitu pula dengan Ngesthireni. Berubahlah mereka menjadi sepasang muda-mudi pejuang RI. Karena hari sudah malam, mereka kembali istirahat. Serambi beristirahat, mereka berbincang-bincang. Herlambang melihat ke langit, bertanya-tanya jam berapa sekarang ini. Ngesthireni menjawab dengan cepat seraya meliaht arloji yang ada di pergelangan tangannya. Herlambang kaget dan dengan paksa ingin merebut jam tangan Ngesthireni, karena pada saat itu jarang sekali wanita atau pemuda RI yang memakai jam tangan seperti itu, bisabisa nanti menggagalkan penyamaran mereka. Ngesthireni tidak mau memberikan arloji tersebut, tetapi Herlambang memaksa dan terjadi konflik. “Heh! Kene, jam kuwi!” ujare Herlambang sentak. “Buwangen!” “Kena apa?” “Wis suwe Republik ora import jam! Ora ana jam tangan kaya ngono!” “Oh!” ujare Ngesthireni “Jamku iki tandha mata saka Mayoor Dawson!” “Ora preduli!‟ Herlambang ngrebut jam tangan ing ugel-ugele Ngesthireni, dibethot terus dibuwang. Ngesthireni arep bangga, ngukuhi jame. Eman, pancen apik kok dibuwang! Nanging tangane Herlambang kukuh lan kasar, ora ken adicegah. commit user “Kowe kok kasar timen, ta!” ujaretoNgesthireni.
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
“Kabeh barang-barang Landa, kudu ora kena tumempel ing awake dhewe. Awake dhewe iki wong Republik, sing kaet biyen ya ana ing tlatah Republik. Sarwa ora kecukupan mentas dijajah Jepang telu setengah taun lawase, nalika Jepang perang karo sekuthu! Wong Republik urip sarwa kecingkrangan! Gak cocog kok duwe arloji weton njaban Republik.” (Suparto Brata, 2006:2627). Terjemahan: “Heh, mana jamnya!” sentak Herlambang. “Buang!” “Kenapa?” “Sudah lama Republik tidak mengimport jam! Tidak ada jam seperti itu!” “Oh!” ujar Ngesthi. “Jam ini kenang-kenangan dari Mayor Dawson!” “Tidak peduli!” Herlambang merebut jam yang dipakai Ngesthi dengan paksa dan dibuang. Ngesthireni ingin mengambil jamnya, sayang kalau dibuang. Namun tangan Herlambang kuat, tidak dapat dicegah. “Kamu kasar sekali!” ujar Ngesthireni “Semua barang-barang Belanda, tidak boleh menempel di badan kita. Kita ini orang Republik, yang dari dulu ada di Republik. Dan tidak pernah kecukupan karena telah dijajah Jepang selama tiga setengah tahun. Orang Republik hidup kesusahan! Tidak pantas mempunyai arloji keluaran luar negeri. Herlambang melucuti Ngesthireni tidak hanya sebatas jam tangan saja, melainkan sampai kepakaian dalam Ngesthireni. Kontan saja Ngesthireni kaget bukan kepalang, dia berusaha melindungi kehormatannya. Namun Herlambang tidak peduli. Dia hanya ingin memastikan Ngesthireni sudah tidak memakai barang-barang import atau yang tak pantas dipakai wanita RI pada saat itu. “Kabeh wis dak buwang! Uga surat pikukuh asli pangayoman Negara Inggris.” “Aku ora percaya! Kotangmu! Bustehouder-mu! Kene bukaken!” “Hus! Edan apa?!” “Bukak! Uga underbreek-mu! Kathok njero!” “Emoh!” Herlambang wong praktis, ora tau kesuwen. Ngesthireni digrayang, bangga, gagen arep njranthal, mlayu! Ditubruk, commit to user dikruket bangkekane, gemlundhung ing alang-alang. Ngesthireni
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
njerit sakayange. Age-age didikep dening Herlambang. Tangan kiwa ndikep tutuk, tangan tengen nggrayangi payudarane wong wadon kancane kuwi. Ngesthireni polah ora karuwan trajange, nanging tangan kang prakosa kuwi tetep wae menang kuwat, ora kena dicegah babar pisan. Klambi kebak tinggi sing mentas sienggo cepetan diuculi benike, mbledheh. Kotang anyar tukon Toko Piet Surabaya dicengkerem, terus disendhal kasaran, pedhot, ucul saka payudarane. Kejodheran nutupi payudarane, Ngesthireni rumangsa muspra bangga nyegah kekarepane Herlambang. Nanging meksa nyoba brontak, ngerahake kekuwatan sisa-sisane. Kekuwatan jasmani sing wis kari sisa, direnggani kekarepan liya sing nggrangsang nasfune. Apa maneh Herlambang ora mandheg mung samono. Tangan sing wis mbebaske payudara nggrayangi mangisor, wis genah tumandang sing diomongke mau. Ngesthireni saya kecincalan nyoba nyametake darbeke, nanging ya wis ngreti yen muspra. Apa maneh Herlambang uga saya brutal ora wegah-wegih anggone arep ngalahake kekuwatane mungsuhe, nggulet tangan kang srawean sarana ngeculake tangan kiwa sing mbungkem tutuk. . . . (Suparto Brata, 2006:27-28). Terjemahan: “Semua sudah aku buang! Begitu juga surat jaminan asli dari Inggris!” “Aku tidak percaya! Baju dalammu, buka!” “gila, apa?!” “Buka! Juga baju dalammu! Celana dalammu!” “Tidak!” Herlambang orang yang praktis. Dengan cekatan Herlambang melepas pakaian Ngesthireni dengan pakasa.ngesthireni ingin melepaskan diri, namun Herlambang terlalu kokoh untuk dilawan, apalagi ditambah kekuatan napsu. Ngesthireni terus menjerit. Herlambang membungkm mulutnya.
(3) Konflik antara Herlambang dan Ngesthireni dengan para tentara di garis dhermakasi. Herlambang dan Ngesthireni masuk di wilayah dhermakasi, di wilayah ini siapa saja yang melewatinya harus diperiksa, guna memastikan mata-mata mungsuh atau pejuang RI. Herlambang dan Ngesthireni harus dilucuti senjatanya, namun Herlambang tidak mau menyerahkan senjatanya, sehingga bersitegang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
dengan para tentara disitu. Herlambang merasa dia bukan mata-mata musuh, maka ia tidak mau dilucuti. Pengawal sing ngupengi Herlambang kaget, uga gage nyokong bedhile. Nanging Ngesthireni tumindak luwih cepet, mbalikake awak lan mepetake gegere ing gegere Herlambang, dene tangane tengen wis ngacungake pistul kang tumuju marang sawenehe pengawal sing paling dhisik ngokok bedhile. “Yen keprungu unine pistulku, terus wae brondongna wae bedhilmu, Mas!” ujare Ngesthireni. Cukup terang keprungu ing kupinge wong sakupeng kono. Sirep, sidhem premanen. Dalah komandan sing seneng ngguyu, sawatara ora keprungu heh-heh-heh guyune. Bareng wis nyata kalah papan, sawise meneng sadela komandan awak dhempel mau ngguyu mlengeh. “Ha, ha, ha, heh, heh, heh. Pinter, ya, kowe! Rumangsamu kowe bakal menang mungsuh wong sakmene?” ujare ora lali karo nggeguyu. “Dudu karepku rebutan menang. Nanging saora-orane komandan pasukan kene mesthi muncrat utege!” “Heh, heh, heh! Terus kepriye karepmu brontakan kaya ngene iki?” (Suparto Brata, 2006:38-39). Terjemahan: Pengawal yang mengepung Herlambang terkejut, dan segera memanggul senjata. Namun Ngesthireni bertindak cepat, membalikkan badan dan merapat di punggung Herlambang, tangannya sudah mengacungkan pistol kea rah para pengawal yang pertama kali menodongkan pistol. “Jika mendengar bunyi pistolku, terus saja tembakkan pistolmu, Mas!” ujar Ngesthireni, dapat didengarkan orang yang berada di situ. Sunyi. Komandan yang suka tertawa, sejenak tidak terdengar lagi tawanya. Setelah merasa kalah, ia kembali tesenyum. “Ha, ha, ha, heh, heh, heh. Pintar kamu! Kamu merasa akan menang dengan orang sebanyak ini?” ujarnya tak lupa sambil tertawa. “Bukan keinginanku berebut kemenangan. Namun setidaknya Komandan di sini harus mati!” “Heh, heh, heh! Lalu apa maumu?”
(4) Konflik antara Herlambang dan Ngesthireni dengan Dokter Sambudi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
Ngesthireni tersentak, mendengar mereka harus diperiksa dengan cara membuka baju. Ngesthireni tidak mau diperiksa seperti itu, apalagi yang memeriksa seorang dokter laki-laki. Sebenarnya Herlambang ingin mencegahnya, tetapi tidak bisa karena Sagriwa berkata itu sudah aturan disini. Dengan pasrah Herlambang dan Ngesthireni menjalani pemeriksaan itu. Sambudi mlengeh urmat, untune sing gedhe-gedhe katon putihputih. “ E, sanajan salaki-rabi ora kena wong wadon bukak klambi ditonton wong lanang loro.” “Bukak klambi?” Ngesthireni takon njengek. “Lo, mesthi,ta! Hi-hi-hik!” Sagriwa cepet nyaut. “Edan apa, iki?!” “Heh-heh-heh! Taun kepungkur vander plas ngeculake mata-mata sarana ciri spion sing capake ing perangan badan sisih njero, iya, ta? Hi-hi-hik.” Sagriwa kandha. ... Cekake pepriksan tetep dianakake. Ganti-ganti Herlambang lan Ngesthireni dipriksa mlebu senthong. Nalika Herlambang mlebu senthong, Ngesthireni ngenteni ana ngarep senthong karo nggawa tommygune, lan nalika Ngesthireni mlebu santhonnng Herlambang sing njaga ing ngarep senthong karo senjatane. Ana rebut-ribut nalika Ngesthireni dipriksa. Dheweke bukak lawang lan kandha marang Herlambang “Mas! Dokter arep mriksa lakangku! Edsn apa!” Herlambang ora enggal mangsuli. Dheweke nginguk manjero, mandeng dokter Sambudi “Apa perlu ditliti tekan samono?” Sambudi mlengeh, untune katon rangah-rangah “Vander Plas nalika . . . “Oh, pikiran ambleg vander plas!” herlambang gumremeng. Banjur sasmita marang Ngesthireni “Yen pancen dadi aturan kene, ya kapeksa kudu nurut.” “Aturan Edan! Aku mrene iki . . .!” Ngesthireni kandeg omonge, marga Herlambang menthelengi. Tanpa kakehan omong maneh, lawang senthong ditutup banter, jedher! Persis neng ngarep irunge Herlambang. Sajake Ngesthireni muring-muring tenan (Suparto Brata, 2006:49-52). Terjemahan: Sambudi tersenyum member hormat.”E, meskipun suami istri, tidak boleh seorang wanita buka baju dilihat dua lelaki.” “Buka baju?” Ngesthireni panik. “Lho, harus! Hi-hi-hik!” Sagriwa menyahut. commit to user “Gila apa?!”
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Heh-heh-heh! Tahun lalu van der Plas melepaskan mata-mata dengan ciri spion yang dicapkan di bagian tubuh yang dalam. Iya, kan? Hi-hi-hik!” Sagriwa bicara. ... Singkatnya pemeriksaan tetap dilakukan secara bergantian antara Herlambang dan Ngesthireni. Ketika Ngesthireni diperiksa terjadi keributan, sebab pemeriksaan mengahurkan Ngesthireni membuka baju hingga paling dalam. Karena sudah peraturan, pemeriksaan pun tetap dilaksanakan. Meski Ngesthireni marah-marah tak terima. Pemeriksaan tersebut dilakukan atas ide Letnan Pengkuh yang beranggapan bahwa Herlambang dan Ngesthireni adalah mata-mata musuh. Pengkuh juga ingin memastikan apakah mereka berdua benar-benar sebagai suami istri, jika benar maka si perempuan sudah tidak perawan lagi, tapi jika masih perawan mereka berdua adalah mata-mata musuh yang menyamar sebagai suami istri. (5) Konflik antara Ngesthireni dan Pengkuh. Setelah Ngesthireni dan Herlambang selesai diperiksa oleh dokter Sambudi, mereka berhadapan kembali dengan Sagriwa guna memastikan hasil pemeriksaan. Sagriwa menyatakan bahwa mereka tidak ada tanda-tanda sebagai mata-mata musuh. Itu berarti mereka dapat melanjutkan perjalanan kembali. Tapi Letnan Pengkuh bersikeras kalau mereka berdua adalah mata-mata musuh. Pengkuh berusaha untuk membuktikan penafsiranya kepada komandanya Sagriwa, tapi Sagriwa tetap mengatakan bahwa mereka bukan mata-mata Belanda. Tiba-tiba terdengar suara tembakan danpistul yang tergantung di pinggang Pengkuh terjatuh ke tanah. Ngesthireni melepaskan tembakan kea rah Pengkuh, bukan
bermaksud
membunuhnya,
tapi
hanya
commit to user
memberikan
balsan
atas
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
perbuatannya kepada Ngesthireni yang harus rela memperlihatkan bagian tubuhnya yang paling ia jaga untuk diperiksa. “Pun Pak, yen tiyang kalih niki pancene enten tandha-tandhane mata-mata mungsuh, nggih pun diringkus mawon. Ampun wegahwegah! Ampun wedi diagar-agari diancam bedhil ngonten! Mongsok kita kathahe sementen niki kalah kalih tiyang kalih niku thok? Sijine wedok maneh!” Pengkuh ngotot. “Ora ana cape mata-mata mungsuh! Kowe jan ngisin-isinke tenan kok! Lungaa kana! Ora sudi aku kokeloni!” sentake Sagriwa, saiki tanpa ngempet ngguyu maneh. .... Dhor! Keprungu uni jumledhore pistul. Kabeh kaget! Pustule Pengkuh sing gumantung ing lempenge ceblok. Pengkuh pendhelikan, nggoleki wong sing mistul. Dene Sagriwa sing isih dicungi bedhil dening Herlambang ngguyu latah-latah. “Ha-ha-haak!” tangane loro pisan megar ning meja gedhe, nyasmitani yen ora nggawa pistul. Dudu dheweke sing mistul. “Yen aku dadi kepala pasukan, dudu pistulmu sing dak tembak, nanging utekmu sing julig kuwi!” sing ngomong ngono suwara wadon. Tangane ndlesep neng njero tas mendhong. Metu beluke ambune mimis mbledhos. .... Pengkuh mendeliki Ngesthireni. Dheweke rumangsa diwirangke, ing atase Letnan dilucuti pustule ora bisa males apa-apa. Raine mbabrak abang. Untune geget-geget. Sarana ketrampilan luwar biyasa dheweke ngunus peso ing sepatu larse. Wet, disawatake marang wong wadon Ngesthireni. Dhor! Keprungu pistul muni jumledhor maneh. Lan suwara wadon kandha, “Mimise pistulku ana enem. Sing lima dak enggo nyembadani gendhingmu, sing pungkasan kanggo mungkasi nyawamu. Luwih becik aja kokbanjurake polahmu sing culika kuwi, supaya aku ora kepeksa nglepasake mimis kang kaping enem!” Pengkuh pringisan. Peso sing disawatake ajur sawalang-walang, ambyar ing jogan. Sagriwa ngguyu maneh cekakakan. .... “Kuh, lungaa wae, Kuh! Isin nyawang sorote srengenge,Kuh! Heh-heh-heh!” Sarana suwara pedhot-pedhot, Pengkuh kandha “Awas, kowe, ya! Aku ora trima tenan . . . ! Apa! Sing prayitna, Nduk! Jokna sakbalamu, aku ora wedi . . . apa !” banjur njupuk sabuk sing mlorot sakpistule. Kanthi gegancangan dheweke ning galake pendhapa. Nggawa sepedhah sing ban mati, sepedhah silihane commit to user dhewe (Suparto Brata, 2006:56-58).
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Sudah, Pak. Jika memang dua orang ini ada tanda-tanda sebagai mata-mata musuh, diringkus saja. Jangan ditakut-takuti diancam pistol. Masak kita sebanyak ini kalah dengan dua orang ini, apalagi yang satu perempuan!” Pengkuh ngotot. “tidak ada tanda mata-mata musuh! Kamu ini, membuat malu saja! Pergi sana! Tak sudi aku kamu ikuti!” ... Terdengar bunyi tembakkan. Semua terkejut. Pistol yang dibawa Pengkuh terjatuh. Pengkuh kebingungan mencari siapa yang menembak. Sagriwa yang masih ditodang pistol oleh Herlambang tertawa latah. Kedua tangannya berada di atas meja menandakan bukan dia yang menmbak. “kalau aku yang jadi kepala pasukan, bukan pistolmu yang aku tembak, namun otakmu yang licik!” terdengar suara perempuan. ... Pengkuh menatap Ngesthireni. Dia merasa dipermalukan. Wajahnya memerah. Dengan ketrampilan yang luar biasa, ia mengambil pisau yang ada di sepatunya, dan dilemparkannya ke arah Ngesthireni. Dan kembali terdengar bunyi tembakkan. Pisau yang dilemparkannya hancur. Sagriwa tertawa. Ia menyuruh Pengkuh untuk pergi dari pada memalukan. Pengkuh pun pergi meninggalkan tempat itu seraya mengamcam Ngesthireni.
(6) Konflik antara Herlambang dengan Atrum. Herlambang telah sampai di Jombang. Dia bermaksud bermalam di kota tersebut dan akan melanjutkan misinya menuju ke Batu Jamus pada keesokan harinya. Herlambang, Ngesthireni, dan Kiswanto bermaksud mencari makan malam. Restoran Sedhep Malem menjadi pilihan mereka untuk mengisi perut dengan makanan-makanannya. Disela-sela menikmati makan malam, tiba-tiba Herlambang dihampiri seorang laki-laki yang mengaku mengenalnya. Orang itu memperkenalkan diri dan mengaku sebagai teman seasrama Herlambang pada saat di Purwodadi. Orang tersebut menyapa dan mengajak Herlambang berbicara, namun Herlambang tidak menanggapinya. Orang itu memiliki nama Atrum. commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Herlambang masih bersikukuh bahwa ia tidak mengenal orang itu. Dia merasa tidak mengenal Atrum hingga terjadi konflik dengan Atrum. Restoran Sedhep Malem beda karo restoran Tong Sien. Ambune masakane ora muda, lan ing kono ora adol bir, tanpa peladen noniek rok-rokan. Ewa samana Herlambang olehe mangan dhokoh. Lagi enak-enake mangan mengkono, pundhake dicablek wong. “Ton! Nggethune olehmu mangan, Ton!” Herlambang noleh. Kanca-kancane sak meja uga nyawang wong sing ngluruhi Herlambang. Wonge ngguyu mlengeh. Untune gedhe-gedhe. Klambine ulese soklat sogan, potongan lasykar. Sikepe grapyak, sanajan potongan awake dhempal lan kau. .... “Aku Atrum, Ton! Mongsok lali? Kapan kone teka mrene?” omonge wonge mau. Karo ngguyu, untune gedhe-gedhe katon rangah, idhune muncrat, ana sing nyiprati pipine Herlambang. “Maaf jenengku dudu, Ton.” Herlambang mangsuli karo nyengingis, rada isin, rada gumun, ning yo kudu grapyak. Repot ngatur tangkepe. “Ah! Kowe iki! Sapa kancamu ngedhang kopi panas ning asrama Purwodadi yen dudu Atrum? Aku!” “Pur-wo-da-di? Purwodadi ngendi? Purworejo? Aku ora tau mrana.” Grobogan! Ah kowe ki! Aja gawe isin, kowe, Ton!” “Nuwun sewu yen aku gawe isin. Nanging temen, aku ora tau mrana.” “Edanane!” guyune wiwit ilang “Jenengmu ki rak Hartono,sih? Biyen tau ning asrama TP Purwodadi! Yen sore wayah rangsum wedang kopi anget teka, kowe karo aku ngedhang kopi ning gapura. Iya, ta?” “Bisa uga aku madha rupa. Ayo lenggah, dak kenalake karo kanca-kancaku.” clegug, karo ngeleg idu Herlambang ngacarani tepungan anyar. Suwarane sengak, lambene rada njudir merga merlokake ngulu sega sing lagi dimamah dhisik (Suparto Brata, 2006:73-75). 0rang yang bernama Atrum mencoba untuk menyakinkan Herlambang bahwa ia tak salah mengenali orang. Herlambang adalah Hartono temannya. Herlambang dengan sikap yang tak ingin bertengkar mengatakan bahwa dia commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bukanlah Hartono yang Atrum maksud. Atrum masih bersikeras, bahwa Herlambang adalah Hartono. “Edan! Dadi kowe ora ngakoni aku kancamu?” idune muncrat maneh. “Sombong kowe ya, dupeh nggawa bedhil anyar lan wong ayu!” “Aja ngrindhuhi anggonku mangan! Yen arep kenalan, omomgomong, mengko yen aku wis rampung mangan! Mangga, lungaa dhisik.” Ujare Herlambang ngempet omonge sentak karo ngrogoh kanthong kiwa, nyuguhake premen sing enak tilas wadah pastiles marang wong kosro mau. “Kowe nantang aku?! Ha, ha, ha! Kok ora eling ta,Ton? Kamdi gugun kowe arep dikrubut kanca-kancane dikira sing mbujuki Kamdi mlebu tegal kebedhil Landa kowe. Sapa sing nulungi kowe? Atrum, Ton. Wong loro dak kumba, benjut kabeh terus mlayu ngethipleng! Saiki aku kok tantang? Iya?!” “Jenengku dudu, Ton. Wis, nyingkira, yen ora dakjagongi klawan becik. Ora apik tetemon bengkerengan dideleng wong akeh!” “Apik klakuanmu! Gak ngemut premenmu gak patheken! Ya, aku nyingkir. Ora kok marga wedi karo kowe, nanging Atrum iki ngreti suba sita! Cekake kapan-kapan yen ketemu ana lapngan, ayo adu karosan, kuwat-kuwatan. Gelut apa jotosan, sakarep gendhingmu dak tandangi!” Sawise kandha ngono Atrum ninggalake restoran. . . . (Suparto Brata, 2006 : 75-76).
(7) Konflik antara Kiswanta dengan Atrum. Hari sudah malam, Herlambang dan Ngesthireni telah tidur berdua di kamarnya. Mereka masih menyamar sebagai suami istri. Berbeda dengan Kiswanto, dia masih berjalan-jalan mengunjungi temannya yang kebetulan berada di Jombang. Kiswanta juga menyempatkan untuk menghubungi temannya yang berada di Madiun melalui pesawat telepon sambungan interlokal. Selesai menghubungi temannya, Kiswanta segera kembali ke penginapan dimana Herlambang dan Ngesthireni menginap. Sesampai di depan kamarnya, tiba-tiba Kiswanto melihat ada seseorang yang mengendap-endap di depan kamar commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Herlambang, tampak mencurigakan. Tanpa diberi komando, Kiswanta langsung menegur orang itu serambi menyergapnya. “Bajingan! Apa karepmu nginceng-nginceng wong temantenan?” ujare Kiswanta sumengit. Tangane singset ngekep gegere wong mau, mlebu cangklakan ngranggeh cengel. Drijine kiwa karo tengen gathuk, kemancing! Kiswanta oleh pasinaon pencak silat ing pabrik Batu Jamus, lan saiki dipraktekake kanggo nyekel durjana. Si bajingan prayta awake gothot, methekel. Disikep saka mburi kaget, kalah papan ora bisa polah. Tangan sakloron ora bisa obah, kaangkat memburi. Nanging dheweke ora sambat. Ora mangsuli ancaman lan pitakon Kiswanto. Wong lanang loro pada adu karosan, bekah-bakuh ing plataran mburine losmen. Wong methekel sing panggang ayam kuwi suwesuwe kringeten, awak dadi lunyu. Lan mak prucut bisa uwal saka sikepane Kiswanto sarana ngamblesake wake mengisor (Suparto Brata, 2006:86-90). Terjemahan: “Bajingan! Apa maksudmu mengintip orang sedang berduaan?!” kata Kiswanta sinis… Si Bajingan ternyata badannya berotot, didekap dari belakang masih bisa bergerak. Dua orang saling mengadu kekuatan. Orang yang berotot itu lama-lama berkeringat.Dan kemudian bisa lepas dari dekapan Kiswanta.
(8) Konflik antara Herlambang dengan Kiswanta. Herlambang dan Ngesthireni terburu-buru meninggalkan penginapan. Herlambang mencium adanya bahaya yang mengancam dirinya dan Ngesthireni. Mereka segera menuju ke stasiun, berharap ada kereta yang lewat, dan segera meninggalkan kota Jombang. Sesampai di stasiun tak ada kereta yang berhenti. Karena ingin segera meninggalkan kota, Herlambang mengajak Ngesthireni untuk mencuri mobil. Awalnya Ngesthireni tidak mau, tapi mengingat dia dititipkan Van Grinsven kepada Herlambang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
79 digilib.uns.ac.id
Herlambang dengan cekatan menghidupkan mesin mobil karena tidak ada kuncinya. Mesin mobilpun menyala, Herlambang segera memacu laju kendaraan. Dari jauh terdengar suara tembakan yang mengarah ke mereka. Tanpa menghiraukannya, Herlambang tetap menginjak pedal gas. Tiba-tiba Ngesthireni mendengar suara laki-laki yang memanggilnya. Ternyata Kiswanta. Akhirnya Kiswanta kembali ikut bersama mereka. Laju kendaraan begitu kencang, tiba-tiba mogok disebuah jembatan. Terpaksa Herlambang harus memeriksa mesin mobil. Herlambang mencoba mengamati dan memperbaiki mesin mobil curian itu. Sementara Kiswanta berpindah kebelakang kemudi. Kiswanta berbicara dengan Ngesthireni. Dia berniat menyingkirkan Herlambang dan memisahkannya dengan Ngesthireni. Karena Kiswanta beranggapan bahwa mereka berdua bukan suami istri. Tapi Ngesthireni tidak mau dan menolak. Pembicaraanpun berhenti karena Herlambang menyuruh Kiswanta untuk menghidupkan mesin mobil. Mesin mobil kembali hidup. Menurut Kiswanta, kesempatan inilah yang dapat ia gunakan untuk menyingkirkan Herlambang. Tanpa pikir panjang, Kiswanta menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya. Ia pun menabrak Herlambang yang sedang menutup kap mobil. “Kok dha ora ngrungokake ta? Coba stateren!” printahe Herlambang. Kiswanta nyekel setir, ngidak gas. Kawat-kawat strum digoleki, digandengake, mesine nggereng . . . . Saka sopiran, sarana keclapane banyu kali Brantas ing latar mburi, katon jenggerenge Herlambang ungkrak-ungkrek mbenerake tutup mesin, methongkrong ing slebor ngarep. Lawang sopiran ditutup ngeget, preseneling mlebu siji, gas dipancal maramara montore mlaku. Sing nongkrong ning slebor kageblag tiba. Kiswanta ing sopiran nyleyotake lakune montor supaya rodha mburi mlindhes Herlambang sing tiba glundhungan. Ngesthireni njerit, gage ngrebut setir, nanging Kiswanto kanthi kasar nyikut commit dhadhane Ngesthi, dhug! Seruto user banget. Ngesthi nggeblag,
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
dhadhane krasa ampeg. Sawatara lakune montor sleyotan meh nabrak buk kreteg Brantas, nanging terus kenceng mlebu dalan maneh, mlebu kreteg (Suparto Brata, 2006:108). Terjemahan: “Kok tidak mendengarkan, coba distarter!” perintah Herlambang. Kiswanta duduk di belakang setir, menginjak gas. Kawat listrik dicari, digandengkan, dan kemudian mesin menyala… Dari belakang sopiran kiswanta menabrak Herlambang yang sedang menutup kap mobil. Kiswanta mengenggak-enggokan mobil supaya dapat melindas tubuh Herlambang yang terjatuh. Ngesthireni menjerit, segera merebut setir dari Kiswanta, akan tetapi Kiswanta dengan kasar memukul dada Ngesthi. Ngesthi terjerembab, dadanya terasa sesak. Tak berapa lama mobil berjalan tak terarah hampir saja menabrak pinggiran jembatan, akan tetapi dapat melaju kembali.
(9) Konflik antara Ngesthireni dan Kiswanta. Kiswanta menabrak Herlambang yang sedang menutup kap mobil. Herlambang terpental, namun segera berdiri dan mengejar mobil yang disopiri Kiswanta. Herlambang berhasil naik di belakang mobil tanpa sepengetahuan Kiswanta. Sementara di dalam mobil, Ngesthireni marah terhadap Kiswanta yang menabrak Herlambang dan meninggalkannya. Ngesthireni mencoba merebut kembali kemudi dan menghentikan mobil, tapi Kiswanta tanggap dan memukul Ngesthireni dengan sikunya hingga tak berani berbuat apa-apa lagi. Longgar ambegane, Ngesthireni menthelengi Kiswanta. “Rumangsamu ki priye, ta, Kis? Kowe ki ditulung diolehi nunut jebul kaya ngene piwalesmu! . . . . . “Sakarepmu kandhamu, mbak! Nanging karepku marang panjenengan becik! Ya kuwi nemokake panjenengan karo kang mas Yogyantara. Aku ora rumangsa utang nyawa karo Herlambang. Sing genah dheweke marake kisruh marga mlayu nganggo montor iki! Rancanganku kene tekan Madiun numpak sepur. Ngono luwih kepenak.” “Aku ora seneng caramu ngrebut panguwasa kaya ngene iki. Upama kokrundhing terang-terangan, mesthine Herlambang bisa commit to user aweh pamrayoga.”
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Piye olehku bisa rundhingan, wong diincer mungsuh, kene gelut setengeh mati, dheweke enak-enak turu! Durung bisa guneman becik, mara-mara grumutan mlayu nyolong montor! Ngono kuwi rak genah, ta, licik! Ngrusak aturan, ngrusak rencanaku!” Montor klakon liwat kreteg dawa, nyabrang kali. Mesin ndadakengkrek-engkrek maneh. Atine Kiswanta anyel. Gase digedhekake, malah nyendhat-nyendhat. Dicilikake kaya arep mati. Lagi nyoba-nyoba mengkono mesine klakon mati! Klekeg! “Edan ora, ngene iki! Kene kepeksa kethayalan kudu mlayu menyang stasiyun Kertosono! Aku ora ngreti, bab mesin mobil babar pisan!” Montor mandheg ing tengah dalan. Lawang sopiran dibuka. Ngesthi di glandhang metu. “Ayo, Mbak! Gage! Herlambang mesthi ora enak-enakan. Mesthi nututi kene. Yen dheweke arep numpak montor, ben iki didandani!” Ngesthireni nuruti melu, nanging banjur nyendhal tangane. “Ikik! Aja kok glendheng, ta! Aku suthik kok jak mlayu-mlayu! Aku wong bebas, dudu tawananmu!” . . . . (Suparto Brata, 2006:109-110). Terjemahan: Napasnya kembali lega, Ngesthireni memandangi Kiswanta marah. “apa maksudmu, Kis? Kamu di tolong, tetapi balasanmu seperti ini. Maka benar kata Herlambang, lebih baik kamu ditembak saja, supaya mati.” … Aku tidak suka kamu berbuat seperti ini. Seumpama kau rundingkan secara terus terang, pastinya Herlambang bisa mengerti.” … Mobil melewati jembatan yang panjang. Mesinnya kembali mati. Hati Kiswanta menjadi kesal. “Edan! Terpaksa harus lari menuju stasiun Kertosono! Aku tidak tahu soal mesin mobil. Mobil berhenti di tengah jalan. Pintu dibuka, Ngesthi dipaksa keluar. “Ayo, Mbak! Cepat! Herlambang pasti akan segera menyusul. Jika dia ingin naik mobil, biar dia perbaiki!” … “Jangan kau paksa aku. Aku tidak mau kamu ajak lari-lari! Akku orang bebas, bukan tawananmu!”
(10) Tanpa
Konflik antara Herlambang dengan Kiswanta. sepengetahuan
Kiswanta
dan
Ngesthireni,
Herlambang
bergelantungan di belakang mobil. Mobil kembali mogok, dengan terpaksa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
Kiswanta keluar dari mobil dan bermaksud untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ngesthireni pun diminta keluar dari mobil dengan paksa. Tanpa disadari Kiswanta, Herlambang sudah bersiap untuk memberikan balasan atas perbuatan Kiswanta yang telah menabraknya. Dengan kekuatannya, Herlambang menubruk Kiswanta dari atas mobil. Merekapun terlibat perkelahian sengit, dan kemenanganpun berpihak pada Herlambang. Herlambang kembali melanjutkan perjalanan bersama Ngesthireni, meninggalkan Kiswanta dan mencoba mencari tumpangan menuju Madiun. Montor klakon liwat kreteg dawa, nyabrang kali. Mesin ndadak engkrek-engkrek maneh. Atine Kiswanta anyel. ..... Ngesthireni nuruti metu, nanging banjur nyendhal tangane. “Ikik! Aja kok glendheng, ta! Aku suthik kok jak mlayu-mlayu! Aku wong bebas, dudu tawananmu!” “Haning, Mbak! Awake dhewe rak padha karepe . . .! heh!” pambengoke Kiswanta. Kaget dijlogi uwong saka ndhuwur payon montor. Herlambang. Kiswanta nyoba nulak karo bedhil sing digawa, nanging ora guna. Sikile Herlambang sing dawa ngebregi awake, ambruk bareng. Wong lanang loro mau padha gage-gage tangi, terus adu jotos. Kiswanta isih nyekeli bedhile, dikamplengake baune Herlambang. Pres! Herlambang glayaran mundur, sendhen slebor montor. Dipindhoni, dhueeng! Kena slebore montor. Herlambang ambles menyang ngisor ban. Kiswanta ngokang bedhile. Nanging sakdurunge dienggo gegaman, pucuke isih nggoleki lesan sing dhelik cedhak ban montor, ndadak gulune dipithing wong saka mburi. Drijine Kiswanta nyentil platuke bedhil, dhor! dhor! dhor! ban montor gembos sak kal. Pandelenge Kiswanta peteng. Sirahe kena kampleng tangan antep. Pleg! sepisan. Pleg! ping pindho. Terus klenger. Mungsuhe prayata pinter golek pengapesane wong. Ora kakehan polah lan gunem, wis bisa nandangi kridhane Kiswanta (Suparto Brata, 2006:110-111). Terjemahan: Mobil berhenti di tengah jalan. Pintu dibuka, Ngesthi dipaksa keluar. “Ayo, Mbak! Cepat! Herlambang pasti akan segera menyusul. Jika dia ingin naik mobil, biar dia perbaiki!” commit to user …
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
“Jangan kau paksa aku. Aku tidak mau kamu ajak lari-lari! Aku orang bebas, bukan tawananmu!” “Tapi, Mbak! Kita punya satu tujuan yang sama…! Heh!” teriak Kiswanta. Terkejut ada orang yang menubruk dirinya dari atas. Herlambang. Kiswanta mencoba menangkis dengan senjata yang dibawanya, akan tetapi tidak berguna… Penglihatan Kiswanta menjadi gelap. Kepalanya terkena pukulan tangan kanan. Pleg! dua kali, terus pingsan. Tidak banyak bertidak dan berbicara, sudah bisa melumpuhkan Kiswanta. (11)
Konflik antara Ngesthireni dengan Herlambang.
Setelah meninggalkan Kiswanta, Herlambang dan Ngesthireni mendapat tumpangan menuju Madiun. Mereka menumpang sebuah truk. Dalam perjalanan, Herlambang menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di penginapan ketika masih di Jombang. Herlambang bercerita pada Ngesthireni, bahwa di depan penginapan Kiswanta dan Atrum terlibat perkelahian, hingga mengakibatkan kematian Atrum. Kiswanta juga berencana ingin memisahkan mereka, atau membunuh Herlambang. Hal itu terbukti, bahwa yang menembak Ngesthireni dan Herlambang saat akan meninggalkan Jombang dengan mobil curian adalah Kiswanta. Herlambang mengatakan pada Ngesthireni bahwa nanti jika sampai di Madiun, mereka harus berpisah. Perkataan Herlambang tersebut membuat Ngesthireni mengeluarkan banyak pertanyaan, yang beranggapan Herlambang benar-benar mata-mata Belanda berhati nista, tapi disanggah oleh Herlambang. Padahal Ngesthireni tidak ingin lagi berpisah dengan Herlambang. Herlambang ambegan dawa, ana sing digagas. “Kena apa? Keduwung?” sing wadon takon, bebisik. Herlambang ya mangsuli bebisik “Nanging kiraku awake dhewe ya kudu pisah.” “Kudu? Kok tulak aku, ya, marga aku pancen wong wedok lecekan, tilase serdhadhu Jepang?” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
“Ora! Ora! Ora mengkono, Dhiajeng! Nanging marga tugasku isih abot.” “Oh, tugas mata-mata?! Satemene aku rumangsa aneh, wong sembada kayak owe kok cekak pikirmu. Yen kowe mbelani tentara sekuthu nglawan Jepang ing Pulo Luzon apa ing Saipan, aku mangsa bodho. Aku dhewe kanthi semangat kandel nyoba numpes Jepang ing Pulo Seram. Nanging bareng saiki, kowe kingadhepi bangsamu diupah karo Landa! Lo! Apa ora rumangsa nistha . . .?! Adhuh!!” Tangan tengene Herlambang nyampluk tutuke Ngesthi. Dikira mung nyampluk ora njarak. Jebul Herlambang mencereng nyawang Ngesthi sing kelaran. Srengen. Mentheleng sengit banget, mripate mulat-mulat tan kena dibantah. Ngakon Ngesthi meneng aja ngomong! Krasa lara, lara tutuke, lara atine, Ngesthi ya wedi, ora wani mbantah pakone Herlambang, ngenteni njlentrehe pakon. Pratandha yen kepeksane dheweke isih wani nglawan (Suparto Brata, 2006:117-118). Terjemahan: Herlambang ambil napas panjang, ada yang dipikirkan. “Ada apa, bingung?” yang wanita bertanya, berbisik. Herlambang menjawab berbisik pula, “Sepertinya kita memang harus berpisah.” “Harus? Kau tolak aku, ya, apa karena aku seorang wanita kotor bekas serdadu Jepang?” “Tidak! Tidak! Tidak seperti itu Diajeng! Tetapi karena tugasku masih berat.” “oh! Tugas mata-mata?!... Tangan kanan Herlambang menampar mulut Ngesthi. Dikira hanya bercanda, ternyata Herlambang menatap Ngesthi, marah… Merasa sakit, sakit mulutnya dan hatinya, Ngesthi tidak berani berbicara lagi.
(12)
Konflik antara Herlambang dengan para tentara yang berjaga di
pabrik mesiu Batu Jamus. Setelah dari Madiun, Herlambang dan Ngesthireni tidak bersama lagi. Mereka menjalankan misinya masing-masing. Herlambang meneruska misinya pergi ke pabrik mesiu Btu Jamus. Kali ini Herlambang menyamar sebagai petani yang ingin mengunjungi saudaranya. Singkat cerita Herlambang telah sampai di commit to user Batu Jamus dengan naik kereta api. Penyamaran Herlambang sebagai petani yang
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
akan masuk ke kawasan pabrik mesiu dicurigai oleh prajurit yang berjaga sebagai mata-mata musuh. “Ngakua, lo. Awas, kowe. Yen nganti konangan kowe mata-mata mungsuh, sida digantung ing ngarep pabrik kono. Tentara kene kabeh wis diprintah supaya waspada, jare saka Madiun wis ana tandha-tandha yen kene klebon mata-mata mungsuh!” “Mboten, Den! Ampun, Den! Kula mlajeng yen ajenge digantung. “Ha coba, mlayua yen wani! Sida tak bedhil utekmu!” .... “Edan, kowe ki! Jare tani, jare sopir!” ora sranta tentara sing mriksa terus wae ngampleng, Pleg! Pleg! “Wis ora susah ditakoni wae! Ben crita dhewe sapa dheweke iki!” pleg! pleg! “Adhuh! Adhuh!” (Suparto Brata, 2006 : 161-168). Terjemahan: “Ayo mengaku. Awas kamu. Jika kamu terbukti sebagai mata-mata musuh akan kugantung dirimu di depan pabrik. Tentara di sini sudah diperitah untuk selalu waspada, ada kabar dari Madiun sudah ada tanda-tanda kalau akan ada mata-mata yang akan masuk ke sini!” “Bukan, Den! Ampun Den! Saya jangan digantung.” “Ha coba, lari kalau berani! Akan kutembak kepalamu!” … “Edan! Katanya kamu itu tani, terus sopir!” “Sudah tidak usah ditanya! Biarkan bercerita sendiri!” pleg! pleg “Aduh! Aduh!” Herlambang dapat lepas dari siksaan para prajurit, dengan menjelaskan bahwa dirinya adalah sopir pabrik mesiu dan menyebutkan sebuah nama yaitu Yogyantara. Mendengar kata Yogyantara para prajurit langsung berubah sikap dan mempersilakan Herlambang masuk kekawasan pabrik mesiu, dengan dijemput sebuah mobil. Kata Yogyantara adalah sebuah kode untuk masuk ke pabrik mesiu Batu Jamus. (13)
Konflik antara Yogyantara dengan Ngesthireni.
Gambar rumusan pabrik mesiu Batu Jamus segera dipotret oleh commit to user Herlambang. Dia akan membawanya kepada Luidelmeyer. Setelah selesai
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memotret dan menghafalkan rumusan tersebut, tiba-tiba Kiswanta, Sirtuhadi, dan Ngesthireni datang ke pabrik mesiu juga. Namun sebelum Ngesthi datang, Herlambang sudah dipindahkan atau dibawa ke ruang lain. Ngesthireni ke sini bermaksud menemui Yogyantara. Ia ingin menuntut hak warisannya. Ngesthi meminta Yogyantara memberikan hak warisan dari orang tuanya (kakeknya). Namun Yogyantara pura-pura tidak tahu. “ . . . mung Gusti Allah sing isih maringi aku nyawa, lan saiki bali mrene, ngadhep panjenenganmu perlu ngurus warisan sing dak tinggal!” ujare Ngesthireni teteg, titi, lan praktis. “Warisan? Aku ora ngreti karepmu, Dhiajeng? Warisan apa?” .... “Ha, ha, ha! Apa perlune mukir, ta, Kangmas? . . . “Rumangsamu kowe terus menang?!” ujare Yogyantara karo ngampleng Ngesthireni sing lena ngguyu-ngguyu. “Adhuh!!” sambate Dyah Ngesthireni. Ambruk sanalika. Kedadean kuwi cepet banget. Yogyantara ngampleng uwange Ngesthireni, wong wadon kuwi ambruk, terus ditendhang pisan sakayange dening sedulure. Njempalik kelumah, njrebabah aneng jogan (Suparto Brata, 2006 : 186-188). Terjemahan: “…hanya Tuhan yang masih memberikan aku nyawa, dan sekarang aku pulang ke sini, menghadap anda guna mengurus bab warisan yang ku tinggal dulu!” “Warisan? Aku tidak mengerti maksudmu, Diajeng? Warisan apa?” … “Ha, ha, ha! Apa perlunya mengelak, Kang Mas? Semua sudah jelas! Sekarang aku menemui kamu, untuk mengurus hak-ku! Warisanku! Aku tahu, sudah tidak bisa menolong rama dan ibu yang terlanjur masuk kenpetai. Aku tahu katanya kamu terus pindah di rumah eyang di Lojiwetan. Hidup hura-hura karena mendapat warisan.” “kamu kira kamu terus menang?! Ujar Yogyantara seraya memukul Ngesthireni yang sedang tertawa. “Aduh!!” keluh Dyah Ngesthireni. Jatuh seketika.
commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(14)
Konflik antara Yogyantara dengan Kiswanta dan Ngesthireni.
Melihat wanita yang diam-diam dicintainya, Kiswanta tak bisa mengendalikan emosinya ketika melihat Yogyantara memukul Ngesthireni hingga terjatuh. Kiswanta mencoba membunuh Yogyantara, namun malah Kiswanta yang mati. Dene sing ora bisa ngedaleni emosine malah Kiswanta. Weruh wong wadon sing ditresnani dipilara kaya ngono, Kiswanta mencolt nyandhak gulune ipene, terus ditekak. “Wong culika! Murka! Duraka!” . . . . , Yogyantara ora gampang pasrah. Tangane sekaro sing nekak gulune dienggo gondhelan. Sikile ndhupak dhadhane Kiswanta, ngek! Kontal memburi. ..... Dene Kiswanta glayaran mundur. Pandelenge kepyur-kepyur. Mundure tekan papane Sirtuhadi, anggone kunang-kunang ilang. Bali awas. Weruh Sirtuhadi sing nyandhang tentara pustule katon njongat ing cethike, terus wae disaut, dibukak kuncine lan disentil platuke. Larase tumuju marang Yogyantara. “Dhor! Dhor! Dhor! “Oh! Oh!” sambate sing kena mimis. Getih dleweran ing cangklakan kiwa, pistul sing dicekel mencolot sadurunge mbledhos. Kiswanta munting, terus ambruk. Dheweke sing kena pistul. Kena dhisik. Kalah cepet karo jomledhore pustule punggawa pabrik sing mistul Kiswanta. Wong-wong mau sajake wis prayitna, sawayahwayah ana kedadean kang ora manut rancangan bisa tumindak cepet lan mbelani sang majikan. Yakuwi Raden Mas Yogyantara (Suparto Brata, 2006 : 189-190). Terjemahan: Kiswanta tidak dapat meredam emosinya. Melihat wanita yang disukainya dilukai oleh orang lain dia tidak terima. Diambinya pistol dan mengarahkannya kea rah Yogyantara. … Dhor! Dhor! Dhor! “Oh! Oh!” rintih kesakitan yang terkena tembak. Kiswanta terjatuh. Dia yang terkena pistol. Kalah cepat dengan tembakan pegawai pabrik. commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setelah Kiswanta mati, Yogyantara menyuruh para punggawa pabrik untuk membunuh Ngesthireni juga. Mendengar dia akan dibunuh, dengan cepat Ngesthireni bertindak. Ping telu mbledhose pistul Sirtuhadi, kabeh ngenani tangane punggawa-punggawa pabrik sing nyekel pistul. Sirtuhadi, Ir. Suwandi, lan wong ndempal necis sing mapag Ngesthireni ing gapura. Ngesthireni merlokake mbedili wong-wong kuwi, marga para punggawa mau sajake ya wis sikep gegaman arep mbelani majikane. Sing diarah kena driji tangane, lan ora mleset. Sanajana bisa nyekel pistul, ora bakal bisa mistul maneh, wong drijine ketaton. .... “Angkat tangan kabeh! Ayo, kowe mrana! Kumpul!” pakone Ngesthireni marang mungsuh-mungsuhe. Wong lanang papat ora bisa nglawan wanita siji, sebab pistul ing tangane putri kuwi pancen ampuh. “Dhiajeng Ngesthi! Kowe aja kleru tampa, Jeng. Pira etungan bandha warisanmu bakal dak ijoli!” ngreti kalindhih yudane, Yogyantara nglendhih mbebujuk adhine. (Suparto Brata, 2006:191192). Terjemahan: Tiga kali bunyi pistol Sirtuhadi, semua mengenai tangan para pegawai pabrik yang memegang pistol…. Ngesthireni menembaki orang-orang tersebut karena merasa para pabrik itu membawa sejata yang siap menyancam nyawanya kapan saja. … “Semua angkat tangan! Ayo kamu ke sana! Kumpul!” perintah Ngesthi. … “Diajeng Ngesthi! Kamu jangan salah sangka, Jeng. Berapa harta warisanmu, akan kukembalikan!”… Tanpa disadari Ngesthireni, Herlambang yang sejak awal menyimak peristiwa itu, keluar dari ruangan dan menemui Ngesthireni. Herlambang bertemu kembali dengan Ngesthireni. Dengan perlahan tapi pasti, Herlambang berjalan kea rah Yogyantara dan begitu dekat, Herlambang memukul Yogyantara hingga pingsan.
commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Konflik Utama dan Klimaks. Konflik utama atau konflik sentral dalam novel Dom Sumurup ing Banyu terjadi ketika Herlambang telah sampai di pabrik mesiu Batu Jamus. Konflik yang terdapat dalam Dom Sumurup ing Banyu terjadi sejak awal pertemuan Herlambang dengan Van Grinsven di restoran Tong Sien, dan pertemuan Herlambang dengan Ngesthireni di Mojokerto menyebabkan banyak konflik yang terjadi dalam perjalanan Herlambang menuju Batu Jamus. Konflik demi konflik menghampiri Herlambang dan Ngesthireni dalam perjalanan misinya. Berawal dari konflik di garis dhemarkasi, Herlambang harus menjalani pemeriksaan yang ketat, hingga membuat Ngesthireni bertengkar dengan dokter Sambudi dan Pengkuh. Konflik menjalar hingga di Jombang, pertemuan Herlambang dengan Atrum yang tak diharapkan, menjadikan Kiswanta dan Atrum berkelahi. Matilah si Atrum ditangan Kiswanta. Perburuan Kiswanta yang ingin memisahkan Herlambang dengan Ngesthireni, sehingga Kiswanta selalu mengikuti dan mencari kemana Ngesthi pergi. Herlambang dan Ngesthi berpisah di Madiun, dari sanalah Herlambang langsung menuju Batu Jamus. Dan akhirnya Herlambang bertemu kembali dengan Ngesthireni di pabrik mesiu Batu Jamus. Inilah klimaksnya, Herlambang harus menuntaskan misinya memotret dan mengingat gambar rumusan pabrik mesiu Batu Jamus. Ia terlebih dulu dites oleh Ir. Suwandi akan kemahirannya memotret tanpa menggunakan kamera dan menyimpan di otaknya. Awal pertemuan dengan Yogyantara, Herlambang terpaksa hanya bisa menyaksikan Yogyantara mencelakai Ngesthi dan membunuh Kiswanta, karena ia berada di ruangan lain yang diawasi oleh Dr. Honggo dan Dr. Mann. Herlambang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
bisa keluar dan berhasil melumpuhkan Yogyantara hingga jatuh pingsan, lalu membawanya pergi dari pabrik Batu Jamus. “Rumangsamu kowe terus menang?!” ujare Yogyantara karo ngampleng Ngesthireni sing lena ngguyu-ngguyu. .... Dhor! Dhor! Dhor! “Oh! Oh!” sambate sing kena mimis. Getih dleweran ing cangklakan kiwa, pistul sing dicekel mencolot sadurunge mbledhos. Kiswanta munting, terus ambruk. Dheweke sing kena pistul. .... “Mara bedhilen pisan wong wedok sing klesedan kuwi! Entekna mimismu!” printahe tanpa emosi. (Suparto Brata, 2006:188) Terjemahan: “Ha, ha, ha! Apa perlunya mengelak, Kang Mas? Semua sudah jelas! Sekarang aku menemui kamu, untuk mengurus hak-ku! Warisanku! Aku tahu, sudah tidak bisa menolong rama dan ibu yang terlanjur masuk kenpetai. Aku tahu katanya kamu terus pindah di rumah eyang di Lojiwetan. Hidup hura-hura karena mendapat warisan.” “kamu kira kamu terus menang?! Ujar Yogyantara seraya memukul Ngesthireni yang sedang tertawa. “Aduh!!” keluh Dyah Ngesthireni. Jatuh seketika.
Namun Ngesthireni lebih sigap. Dengan cepat dia merebut pistol yang dibawa oleh punggawa pabrik, dan menembak tangan mereka satu-persatu hingga tak bisa berbuat apa-apa lagi. “Angkat tangan kabeh! Ayo, kowe mrana! Kumpul!” pakone Ngesthireni marang mungsuh-mungsuhe. .... “Becik klakuwanmu! Yen ngono sing dak tagih dhisik utangmu bab nyawane Kanjeng Rama lan Kanjeng Ibu. Sauren saiki pisan!” ujare Ngesthi ngenerake bolongan pistul marang Yogyantara. Nalika kuwi Ngesthireni weruh kledhange Herlambang. “Her?! Mas?!” “Sugeng ketemu maneh, Jeng Reni!” .... commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
91 digilib.uns.ac.id
Herlambang tetep mlaku sakepenake, nyedaki Yogyantara. Bareng cedhak, mara-mara tangane kemlawe ngampleng Yogyantara, kena cengele, sanalika ndlosor. Kantaka sak kal. .... “Yen ngono Yogyantara kita gawa pisan wae oncat saka pabrik, bareng karo awake dhewe! Sing penting tenan, aku lan kowe kudu enggal oncat saka pabrik kene. Marga jadwalku kudu mengkono.” ujare Herlambang. . . . . lan ora mbuwang-mbuwang wektu, metu saka ruwangan kono, tetep karo nggotong Yogyantarasing mbengkeluk ing pundhake. (Suparto Brata, 2006:192-194) Terjemahan: “Baik, kelakuanmu. Jika begitu aku tagih hutangmu terhadap nyawa rama dan ibu. Lunasi sekarang. … Herlambang berjalan semaunya, mendekati Yogyantara. Setelah dekat, ia memukul Yogyantara. Seketika jatuh tersungkur. ... “Apa maksudmu, Her?” Ngesthireni juga tidak tahu. “Apa dia juga menghalangi misimu?” “Nanti aku ceritakan. Sekarang lebih baik tetap kamu jaga tawanan-tawananmu, akan ku panggil pegawai-pegawai yang lainnya.”
Misi Herlambang di pabrik mesiu Batu Jamus akhirnya berhasil ia selesaikan. Walaupun pada kenyataannya ada halangan, rintangan, dan konflik yang menghampiri. Tapi Herlambang adalah seorang yang professional dalam pekerjaannya, dengan tenang dia menyelesaikan tanggung jawab misinya. 6) Penyelesaian Herlambang membawa Ngesthireni dan Yogyantara bukan untuk keluar dari wilayah pabrik mesiu, tapi dia menuju kantor administrasi pabrik tersebut. Dari awal misi Herlambang sudah merencanakan hal ini. Mobil pabrik yang ia kendarai telah sampai di pelataran kantor administrasi pabrik mesiu. Herlambang commitbingung to user tak tau harus berbuat apa. Tadi segera keluar dari mobil. Ngesthireni
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
sebelum sampai di sini Herlambang berkata harus segera keluar dari wilayah pabrik, tapi mengapa sekarang masih tetap di sini. Karena bingung harus berbuat apa, Ngesthi mengikuti Herlambang masuk ke kantor administrasi tersebut. Ternyata di dalam kantor sudah ada orang yang cukup umur menunggu kedatangan Herlambang. Herlambang dengan menggotong Yogyantara menemui orang itu, yang ak lain adalah Ir. Suprayoga seorang Komisaris Biro Spionase RI. Montor ngliwati plataran kantor administrasi. Herlambang ngenggokake mrono, terus mandheg ing ngarep kantor. Mesin mati, Herlambang mbukak lawang, metu. “Saiki kepriye, Her?” pitakone Ngesthireni uga mbukak lawang, arep metu. Jan bingung tenan karo apa sing arep ditindakake Herlambang. Mau jare kudu enggal amblas saka pabrik, saiki kok ayem, ora kesusu ngono … .... “Kowe arep menyang ngendi?” Herlambang ganti takon, karo terus mlebu kantor. “Mesthine wae melu kowe!” ngreti tenan ninggal montor ora papa, wong Yogyantara sajake isih nglentruk, durung pulih saka semapute. .... “Kepriye?” priyayi sepuh mau nyapa Herlambang. “Sampun beres, Bapak Komisaris.” Wangsulane Herlambang andhap lan asor (Suparto Brata, 2006 : 199). Terjemahan: Mobil melewati plataran kantor administrasi. Herlambang berhenti di depan kantor tersebut. “Sekarang bagaimana, Her?” Ngesthireni bertanya serambi membuka pintu mobil. Benar-benar bingung dengan tindakan Herlambang, yang semula ingin segera meninggalkan pabrik, tetapi sekarang tidak tampak tergesa-gesa. … “Kamu mau kemana?” Herlambang berbalik bertanya “Ikut kamu!” mengetahui jika meninggalkan mobil tidak apa-apa, karena Yogyantara masih pingsan. … “Bagaimana?” seseorang yang sudah cukup umur bertanya kepada commit to user Herlambang
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Sudah beres, bapak komisaris.” Jawab Herlambang dengan sopan santun. Herlambang kemudian melaporkan kepada Ir. Suprayoga, bahwa ia telah berhasil menjalankan misinya dan dapat menangkap Yogyantara sekaligus. “Kasinggihan, Pak. La menika tiyangipun sampun kula ringkus pisan.” . . . .”Yogyantara.” “Yogyantara? Yogyantara kuwi rak mung password, ta? Lan upama ana mnungsane mesthine lanang!” “Anu, Pak. Yogyantara menika punggawa pabrik mriki.” (Suparto Brata, 2006 : 200). Terjemahan: “Benar, Pak. Ini orangnya sudah saya ringkus.” “Siapa?” “Yogyantara” “Yogyantara? Yogyantara itu kan hanya password dan kalaupun ada pasti laki-laki!” “Anu, Pak, Yogyantara adalah pegawai pabrik disini.” Herlambang Suprayoga.
Ngesthi
tidak
lupa
adalah
memperkenalkan
adik
dari
Ngesthireni
Yogyantara
dan
Ir.
kepada
Ir.
Suprayoga
menanggapinya dengan baik. Tetapi Ngesthireni berpikir dan mengotak-atik ingatanya. Dia seperti pernah melihat “priyayi” ini. Ternyata dia adalah sopir truk ketika di Madiun. Kemudian Ir. Suprayoga memanggil seseorang yang bernama Atma, disuruh untuk membantu Herlambang dengan sebutan nama Hartono. Ngesthireni semakin tidak mengerti, mengapa Herlambang dipanggil Hartono oleh Ir.Suprayoga. Jadi, Atrum benar!! Ngesthi mulai berpikir sendiri. “O, menika Jeng Ngesthireni, adhikipun Yogyantara. Kene Jeng, nyedhaka mrene. Awake dhewe wis neng ing antarane para kanca, kok. Ditepungake dhisik. Iki Ir. Suprayoga, ahli listrik sing duwe hobby dadi dhetektip. Panjenengane dadi Komisaris Biro Spionase commit to user Republik Indonesia ing Sala. Lan aku iki mung antheke wae . . . !
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
.... “Atma- maaa!! Ewangana Hartono kuwi, ma!” Ngesthireni ngernyitke alis. Herlambang kok disebut Hartono. Yen ngono bener si Atrum! Dhek tantang-tantangan kae nyebut jeneng Hartono! Herlambang dikira sombong dupeh karo wong ayu lan nggawa bedhil anyar rampasan saka Landa, emoh ngaku jenenge Hartono? Saiki Komisaris Biro Spionase RI alias daokene prahoto ing Madiun uga nyebut Hartono. (Suparto Brata, 2006:200-201 Terjemahan: “O, ini Jeng Ngesthireni. Adiknya Yogyantara. Jeng, mendekatlah. Kita sudah diantara rekan sendiri. Diperkenalkan dulu, ini Ir. Suprayoga ahli listrik yang mempunyai hobi detektif. Di adalah komisaris Biro Spionase Republik Indonesia di Sala. Aku hanya pesuruhnya saja . . . … “Atma-maaa!! Bantu Hartono, ma!” Ngesthireni mengerutkan dahinya. Herlambang kok disebut Hartono. Jadi si Atrum benar!... Sekarang komisaris Biro Spionase RI alias sopir di Madiun juga menyebutnya Hartono. Sebenarnya Herlambang nama aslinya adalah Hartono. Hartono oleh biro spionase RI disuruh menjalankan misi menjadi dom sumurup ing banyu, yaitu menyamar menjadi Herlambang. Herlambang, menurut orang Belanda adalah seorang mata-mata bayaran yang profesional. Herlambang pernah membantu pasukan Inggris waktu akan menyerbu Tarakan. Kehebatan Herlambang di mata Belanda sudah tak diraguksn lagi. Oleh sebab itu, Hartono menyamar menjadi Herlambang. Menurut informasi, Belanda akan meledakkan pabrik mesiu di Batu Jamus. Namun sebelum meledakannya, pihak Belanda akan meminta bantuan Herlambang untuk mengambil gambar rumusan pabrik mesiu tersebut. Maka biro spionase RI merencanakan misi dom sumurup ing banyu ini untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Hartono dislundupkan dan disamarkan namanya, menyamar sebagai mata-mata Belanda yang diutus oleh Luidelmeyer untuk commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengambil rumusan itu. Kemudian misi ini berakhir dengan manis. Hartono menjalankan misinya demi Bangsa dan Negara Indonesia. b. Karakter Ada banyak karakter dalam cerita novel DSB ini, namun hanya karakter yang sering dimunculkan saja yang akan dibahas dalam penelitian ini. Karakter utama yang terdapat dalam novel DSB adalah Herlambang, sedangkan karakter bawahan adalah Ngesthireni, Kiswanta, Pengkuh, dan Yogyantara. 1) Tokoh Herlambang Herlambang merupakan tokoh utama yang menjadi sentral dalam cerita ini. Keberadaanya mendominasi seluruh jalinan cerita, baik sebagai pelaku kejadian maupun pelaku yang dikenai kejadian. Herlambang digambarkan sebagai seorang yang profesional, tegas, cekatan, praktis, dan mempunyai daya ingat yang kuat. Tetapi ia juga merupakan sosok pribadi yang baik hati dan setia. Gambaran karakter yang dimiliki Herlambang dapat dilihat dalam kutipan berikut: a) Profesional Herlambang dalam cerita novel DSB ini, digambarkan sebagai seorang yang profesional dalam pekerjaannya. Herlambang seorang profesional sebagai mata-mata (spion). Seorang mata-mata harus bisa melakukan hal atau perbuatan suatu penyamaran agar identitasnya tidak terbongkar. “Merga tugasmu sing kok kukuhi kuwi, ya?Dadi spione Walanda! Kok ngaya banget ta, Her, eh, Mas, anggonmu mbelani Walanda?” “Kupingku wis kebanjur kandel. Ora mangsah mbok ece-ece, kok isin-isin, kok semoni! Aku wis kebacut kontrak labuh. Aku wong profesional!” (Suparto Brata, 2006 : 120). Terjemahan:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
“Karena tugasmu yang kamu emban itu, ya? Jadi mata-mata Belanda! Mengapa kamu sangat membela Belanda?” “Kupingku sudah terlanjur mengeras. Tidak usah kau hina, kau permalukan! Aku sudah terlanjur terikat kontrak. Aku orang yang profesional!” Walaupun Herlambang mengetahui bahwa Belanda adalah negara yang menjajah bangsanya dan yang dilakukanya itu salah, namun Herlambang seorang yang profesional. Herlambang sudah ada ikatan kontrak denganBelanda. b) Tegas Selain profesional, Herlambang juga mempunyai sikap yang tegas, tegas dalam bertindak. Sebagai seorang mata-mata, Herlambang dituntut untuk bentindak tegas. Karena ketegasan memberinya kemudahan perjalanan misinya sebagai mata-mata. Ketegasan tersebut diperlihatkan Herlambang ketika di Jombang. Herlambang berseteru dengan Atrum yang mengaku mengenal dirinya. Sesudah itu Kiswanta bertanya pada Herlambang tentang siapa orang yang berbicara dengan Herlambang. Namun Herlambang eggan menanggapinya, bahkan tidak ingin mengungkit masalah tersebut. “Sapa, ta, kuwi mau, Mas?” Kiswanta kumechap dhisik. “Embuh! Aku ora kenal, kiraku dheweke salah deleng.” sauté Herlambang . . . . “Nanging, Mas Herlambang uga wis tau neng kuwu, ta? Cedhak, Purwadadi?” “Kis, yen kowe isih seneng memitran karo aku lan mas Her, luwih becik aja akeh-akeh pitakonan!” ujare Ngesthireni sentak. Kiswanta kaget. Arep mbantah, wurung. Ngulu idu, clegug. “Yen kowe wedi ing bebaya, luwih becik ngedoha aku wiwit saiki.” Herlambang ngomong kalem. Tutuke isih kebak sega, pulukan kang pungkasan. Tutuke disrebeti kacu (Suparto Brata, 2006 : 7677). Terjemahan: commit tocepat user “Siapa tadi, mas?” tanya Kiswanta
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
“Tidak tahu! Aku tidak kenal, mungkin dia salah lihat.” Jawab Herlambang “Tetapi, mas Herlambang dulu juga dari Kuwu, ta? Dekat Porwodadi?” “Kis, kalau kamu masih ingin berteman denganku dan mas Her, lebih baik kamu jangan banyak bicara dan pertanyaan.” Kata Ngesthireni membentak. Kiswanta terkejut. Ingin membantah, tidak jadi. “jika kamu takut bahaya, lebih baik kamu menjauh dariku sekarang!” Ketegasan tersebut juga ditunjukan ketika bersama Ngesthireni menuju Madiun. Dalam perjalanan tersebut, ia mengatakan pada Ngesthireni kalau sampai di Madiun mereka harus berpisah. Hal ini dikarenakan misi yang berbeda, dan Herlambang yakin jika Ngesthi tak bersamanya, perjalanan Ngesthi tidak akan mengalami konflik dan cepat sampai. Herlambang ambegan dawa, ana sing digagas. “Kena apa? Keduwung” Sing wadon bebisik. Herlambang ya mangsuli bebisik “Nanging, kiraku awak dhewe ya kudu pisah.” “Kudu? Kok tulak aku, ya, marga aku pancen wong wedok lecekan tilase serdhadhu Jepang?” “Ora! Ora! Ora mengkono, Dhiajeng! Nanging marga tugasku isih abot.” “Oh! Tugas mata-mata?! Satemene aku rumangsa aneh, wong sembada kowe kowe kok cekak pikirmu. Yen kowe mbelani tentara sekutu nglawan Jepang ing pulo Luzzon apa ing Saipan, aku mangsa bodho. Aku dhewe kanthi semangat kandel nyoba mimpes Jepang ing Pulo Seram. Nanging bareng saiki, kowe bisa ngadepi bangsamu diupah karo Landa! Lo! Apa ora rumangsa nistha . . .?! Adhuh! Tangan tengene Herlambang nyampluk tutuke Ngesthi. Dikira mung nyampluk ora njarag. Jebul Herlambang mencereng nyawang Ngesthi sing kelaran. Srengen. Mentheleng sengit banget, mripate mulat-mulat tan kena di bantah. Ngakon Ngesthi meneng, aja ngomong. .... “Yen pancen wis wektune, kita kepeksa pisah! Nuwun sewu awake dhewe dhuweni ril laku dhewe-dhewe! Kowe ngantepi pikiranmu, aku uga ngukuhi kekarepanku! Mula aku ora wani tanggung yen awake dhewe bakal terus kumpul. Aku percaya akeh pengalamanmu karo wong lanang liya mesthi tau mrangguli. Sing bisa nyekoki atimu, saliyane aku,toKiswanta, upamane kowe isih commit user enom, Jeng Reni . . .!” (Suparto Brata, 2006 : 117-118).
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: Herlambang ambil napas panjang, ada yang dipikirkan. “Ada apa, bingung?” yang wanita bertanya, berbisik. Herlambang menjawab berbisik pula, “Sepertinya kita memang harus berpisah.” “Harus? Kau tolak aku, ya, apa karena aku seorang wanita kotor bekas serdadu Jepang?” “Tidak! Tidak! Tidak seperti itu Diajeng! Tetapi karena tugasku masih berat.” “oh! Tugas mata-mata?!... Tangan kanan Herlambang menampar mulut Ngesthi. Dikira hanya bercanda, ternyata Herlambang menatap Ngesthi, marah… Merasa sakit, sakit mulutnya dan hatinya, Ngesthi tidak berani berbicara lagi. “Kalau sudah waktunya, kita terpaksa harus berpisah. Kita tempuh jalan kita sendiri-sendiri. Aku tak berani jamin kita bisa berkumpul. Aku yakin kamu punya banyak pengalaman dengan lelaki, Kiswanta misalnya . . .
Herlambang tegas dalam mengambil keputusan walaupun sebenarnya perkataan tersebut beda dengan hatinya. Namun perjalanannya ke Batu Jamus akan lebih mudah bila sendirian.
c) Cekatan Herlambang adalah orang yang cekatan, cekatan dalam bertindak atau cekatan dalam olah senjata. Herlambang cekatan dalam bertindak ketika mobil yang dikendarainya bersama Ngesthireni tercebur sungai. Sungai yang agak dalam membuat Ngesthireni sulit untuk meraih bibir sungai. Dengan cekatan Herlambang membantu Ngesthireni naik ke atas. Embuh pirang puluh meter saka ajang perang mau, jipe mbentur galengan pinggir dalan, banjur njempalik. Nglumpati galengan, njegur menyang kalen pinggir dalan. Ngeng-ng-ng-ngeng . . . mogok. Mesine mati. .... “Aja kesuwen. Iki durung wayahe leren.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
“Nanging tanggul iki kedhuwuren kanggo aku. Repot anggonku mlangkahake sikil.” panggresahe wong wadon kuwi. Herlambang ora sranta. Dheweke bali nyemplung kali. Ngesthireni dikekep wetenge saka mburi dimunjukake munggah . . ... Sikile Ngesthireni kethekelan bali golek pancatan. Ndupak raine Herlambang, pleg! Herlambang gage nyekel sikil sing nakal mau, dlamakane diselehake pundhake. Ngesthi bekah-bekuh ngongsrotake awake, munggah menyang tanggul (Suparto Brata, 2006 : 22-23). Terjemahan: Entah berapa puluh meter mobil meninggalkan medan perang, jip kemudian menabrak gundukan pinggir jalan dan terbalik. Ngeng-ng-ng-ngeng…mesinnya mati. … “Jangan membuang waktu, belum saatnya untuk istirahat.” “Tapi aku tak bisa naik ke atas.” Herlambang tak mau membuang waktu, dia kembali turun ke sungai. Ngesthi di bantu untuk naik ke pinggir jalan.
d) Praktis Herlambang dalam bertindak selain cekatan juga praktis, tidak mau terlalu lama menunggu. Seperti yang dilakukannya terhadap Ngesthireni. Ngesthireni dan Herlambang akan menuju ke garis dhemarkasi, mereka harus menyamar sebagai suami istri yang berjuang bersama untuk RI. Herlambang melihat Ngesthireni masih memakai jam tangan, yang pada saat itu jam tangan sangat jarang dipakai oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Herlambang praktis merampas jam tersebut takut akan penyamarannya terbongkar. “Heh! Kene, jam kuwi!” ujare Herlambang sentak. “Buwangen!” “Kena apa?” “Wis suwe Republik ora import jam! Ora ana jam tangan kaya ngono!” commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Oh!” ujare Ngesthi “ Jamku iki tandha matasaka Majoor Dawson.” “Ora preduli!” Herlambang ngrebut jam tangan ing ugel-ugele Ngesthi, dibethot terus dibuwang. Ngesthireni arep bangga, ngukuhi jame. Eman, pancen, jam apikapik kok di buwang! Nanging tangane Herlambang kukuh lan kasar, ora kena dicegah. “Kowe kok kasar timen, ta?” ujare Ngesthi. “Kabeh barang Landa, kudu ora kena tumempel ing awake dhewe. Awake dhewe iki wong Republik, sing kaet biyen ya ana ing tlatah Republik . . . . wong Republikurip sarwa kecingkrangan! Gak cocog kok duwe arloji weton njaban Republik.” “Kabeh wis dak buwang! Uga surat pikukuh asli pangayoman Negara Inggris. .... Herlambang wong praktis, ora tau kesuwen. Ngesthireni digrayang, bangga, gagean arep njrantal mlayu! Ditubruk dikruket bangkekane, gemlundhung ing alang-alang (Suparto Brata, 2006 : 26-27). Terjemahan: “Heh, mana jamnya!” sentak Herlambang. “Buang!” “Kenapa?” “Sudah lama Republik tidak mengimport jam! Tidak ada jam seperti itu!” “Oh!” ujar Ngesthi. “Jam ini kenang-kenangan dari Mayor Dawson!” “Tidak peduli!” Herlambang merebut jam yang dipakai Ngesthi dengan paksa dan dibuang. Ngesthireni ingin mengambil jamnya, sayang kalau dibuang. Namun tangan Herlambang kuat, tidak dapat dicegah. “Kamu kasar sekali!” ujar Ngesthireni “Semua barang-barang Belanda, tidak boleh menempel di badan kita. Kita ini orang Republik, yang dari dulu ada di Republik. Dan tidak pernah kecukupan karena telah dijajah Jepang selama tiga setengah tahun. Orang Republik hidup kesusahan! Tidak pantas mempunyai arloji keluaran luar negeri.
Herlambang tidak hanya merampas jam tangan Ngesthireni, melainkan juga pakaian dalam Ngesthireni yang kemungkinan juga barang dari luar negeri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
2) Tokoh Ngesthireni Ngesthireni adalah tokoh bawahan yang sangat menunjang peran tokoh utama dalam novel DSB ini. Dari awal cerita pertemuannya dengan Herlambang, Ngesthireni menemani dan berperan di setiap jalinan ceritanya. Banyak konflik yang terjadi karena kebersamaan Ngesthireni dan Herlambang, sehingga dapat digambarkan karakter-karakter yang muncul dari diri Ngesthireni. Ngesthireni adalah sosok wanita yang berani, cekatan, baik hati, dan mengasihi sesame. Gambaran karakter yang muncul dari diri Ngesthireni dapat dilihat dari kutipan berikut:
a) Berani Ngesthireni sosok wanita yang berani. Keberanian Ngesthi membuat Herlambang kagum terhadapnya, tidak hanya herlambang tetapi Kiswanta juga sangat mengagumi dan jatuh hati kepada Ngesthi. Ngesthi berani menghadapi segala bahaya yang menghalanginya. Seperti Ngesthireni berani menghadapi Pengkuh yang sudah membuatnya malu. Pengkuh mendalangi pemeriksaan terhadap Ngesthi hingga ke bagian tubuh yang paling dia jaga kesuciannya,pada saat di Peterongan. Ngesthireni tidak terima akan ide Pengkuh tersebut, hingga Ngesthi berani bertindak membalas membuat malu Pengkuh dihadapan komamdannya. Dhor! keprungu jumledhore pistul. Kabeh kaget! Pistule Pengkuh sing gumantung ing lempenge ceblok. Pengkuh pendhelian, nggoleki wong sing mistul. Dene Sagriwa isih dicungi bedhil dening Herlambang ngguyu latahlatah,”Ha,ha,haaak!” Tangane loro pisan megar neng meja gadhe, nyasmitani yen ora nggawa pistul. Dudu dheweke sing mistul. commit to user
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Yen aku dadi kepala pasukan, dudu pitulmu sing daktembak, nanging uthekmu sing julig kuwi!” Sing ngomong ngono suwara wadon. Tanganne ndhlesep neng njero tas mendhong. Metu beluke, ambune mimis mbledhos. ……. “… ha-ha-ha! Jupuken pistulmu lan lungaa, Kuuuh, Pengkuh!” (Suparto Brata, 2006:56-57). Terjemahan: Dor! Terdengar suara tembakan. Semua terkejut! Pistol milik Pengkuh yang tergantung dipinggangnya jatuh. Pengkuh bingung mencari siapa yang menembaknya. Sedangkan Sagriwa masih diacungkan pistol oleh Herlambang yang tertawa terbahak-bahak, “ha,ha,haaak!” “Jika aku jadi kepala pasukan, bukan pistolmu yang aku tembak, tetapi otakmu yang selalu perpikiran kotor!” yang berbicara suara perempuan. Tangannya masih berada di dalam tas yang keluar asapnya. … “…ha-ha-ha! Ambilah pistolmu dan pergilah, Kuuuh, Pengkuh!”
b) Cekatan Ngesthireni juga sorag wanita yang cekatan dalam olah senjata. Tangannya trampil memeinkan senjata pistol. Ngesthireni cepat sekali merespon tanda bahaya yang akan menghampirinya pada saat Pengkuh memainkan pisaunya untuk mencelakai Ngesthi, dengan cekatan Ngesthi menghidar dan membalas perbuatan Pengkuh. Pengkuh mendeliki Ngesthireni. Dheweke rumangsa diwirangake ing atase Letnan dilucuti pustule ora bisa males apa-apa. Raine mbabrak abang. Untune geget-geget. Sarana ketrampilane luwar biyasa dheweke ngunus peso ing sepatu larse. Wet, disawatake marang wong wadon Ngesthireni. Dhor! keprungu pistul muni jumledhor maneh. Lan suwara wadon kandha. “Mimise pistulku ana enem. Sing lima dakenggo nyembadani gendhingmu, sing pungkasan kanggo mungkasi nyawamu. Luwih becikaja kok banjurke polahmu sing culika kuwi, supaya aku ora kepeksa nglepasake mimis kang kaping enem!” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
Pengkuh pringisan. Peso sing disawatake ajur sawalang-walang, ambyar ing jogan. Sagriwa ngguyu maneh cekakakan (Suparto Brata, 2006 : 57-58). Terjemahan: Pengkuh marah kepada Ngesthireni. Dia merasa dipermalukan dan tak bisa membalasnya. Dengan ketrampilan yang luar biasa dia mengambil pisau yang terselip di sepatunya. Kemudian diarahkan ke Ngethireni. Dor! Terdengar suara tembakan kembali. Dan terdengar wanita berbicara. “Peluruku ini ada enam. Yang lima kugunakan untuk membunuh sifatmu yang buruk itu, dan ke enam untuk mengakhiri nyawamu. Lebih baik jangan kau teruskan sikapmu yang celaka itu!” Ngesthireni juga sangat berani dan cekatan ketika berada di pabrik mesiu Batu Jamus. Ngesthi datang ke Batu Jamus bersama Kiswanta, karena di Madiun berpisah dengan Herlambang. Di Batu Jamus bermaksud bertemu dengan RM. Yogyantara kakaknya guna mempertanyakan bagian warisan Ngesthireni yang ditinggalkan dari eyangnya. Ngesthi mempertanyakan hal tersebut, akan tetapi Yogyantara pura-pura tidak tahu apa yang dibicarakan Ngesthi, hingga Ngesthireni mengungkap keburukan kakaknya dan membuatnya marah. Kemarahan Yogyantara hingga ingin membunuh adiknya sendiri, akan tetapi dengan cekatan dari pucuk pistul yang siap melepaskan isinya. “Dhiajeng Ngesthireni! Menenga dhisik! Apa karepmu nerka aku dadi wong ala sing kolu merjaya ramane dhewe lan nggadheake adhine wadon?” “Mesthi wae dak terka! Kawanabe ngece-ece, nudhuhake barangbarang rajabrana sing asal saka panjenengan, kangmas . . . .... “Ngesthi! Edan, kowe, ya! Aja ngguyu sakarepmu dhewe nuduhnuduh wong kaya mengkono!” ujare Yogyantarakaro nggoyogoyog Ngesthi sing lagi ngguyu. “Ha, ha, ha! Apa perlune mukir, ta, Kangmas? Kabeh wis gamblang! Saiki aku ngadhep panjenengan saperlu ngurus darbekku! Warisan! . . . “Rumangsamu kowe terus menang?!” ujare Yogyantara karo ngampleng Ngesthireni sing lena ngguyu-ngguyu. commit to user “Adhuh!” sambate Dyah Ngesthireni. Ambruk sanalika.
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
..... “Mara bedhilen pisan wong wedok sing klesedan kuwi! Entekna mimismu!” printahe . . . . “Oh . . . . .kowe!” pambengoke Ngesthireni. Gulung ing jogan, ora ngawur. Sing diglundhungi pustule Sirtuhadi sing diceblokake dening Kiswanta. Kena saut, terus dhor! dhor! dhor! Wadon nanging trampile setengah mati. Karo gumlundhung, nyaut pistul, terus jengkeng. Bubar mistul, mlayu nubruk punggawa pabrik sing pringisan. Ngrebut pistul-pistul sing dicekel dening punggawa pabrik kuwi. Sakedhep netra pistule Sirtuhadi sing wis kosong dibuwang ing pojoke ruwangan, dening tangane Ngesthireni kiwa tengen wis nggegem pistul anyar, rampasan saka punggawa pabrik (Suparto Brata, 2006:187-191). Terjemahan: “Diamlah Diajeng Ngesthireni! Apa maksudmu menuduhku yang mencelakakan orang tua dan menggadaikan adikku sendiri?” “Tentu saja aku berpikir begitu. Kawanabe mengejek sambil menunjukkan barang-barang yang berasal darimu!” ... Mereka pun berdebat sendiri hingga akhirnya Yogyantara memukul adiknya hingga jatuh tersungkur. Kiswanta yang tak terima melihat gadis yang dicintai, berusaha untuk menghabisi Yogyantara malah tertembak mati oleh pegawai pabrik yang siaga dengan tembaknya. Yogyantara juga menyuruh anak buahnya untuk menghabisi Ngesthireni. Namun dengan cekatan, Ngesthireni bangun dan menyaut pistol yang dibawa Sirtuhadi.
c) Baik hati Kebaikan Ngesthireni membuat dia dikagumi oleh pria yang bersamanya. Kebaikan Ngesthi terhadap Kiswanta yang membuat Herlambang sedikit cemburu terhadap Kiswanta yang mendapatkan perhatian dari Ngesthi. Dhuull!! Durung mingkem wong wadon kuwi omong, keprungu unine barang mledhos ing sisih wetan. Ditoleh langit sing mencorong abang, kaling-kalingan beluk ireng nggembuleng. “Apa kae mau, Her?” “Ana sing ngobong montore dhewe mau.” “Ah! La priye Kiswanto?” “Yen ora tega, kana tilikana.” “Kok iso muni ngono, ki, lo?!” commit to user “Rasa-rasane srawungmu raket karo Kiswanto.”
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
“Ora. Ya mung krasa eman, ta, wong sing wis tau dak kenal bisa uga saiki ngadhepi bebaya gedhe!” (Suparto Brata, 2006:112-113). Terjemahan: Belum berhenti Ngesthireni bicara, terdengar suara letusan. Asap hitam mengepul dari jauh. Mobil mereka telah dibakar. Ngesthireni teringat Kiswanta yang masih ada di sana. Ia mengkhawatirkan Kiswanta.
d) Mengasihi sesama Ngesthireni adalah seorang wanita yang penuh kasih sayang. Walaupun terkadang dia sendiri jarang mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Orang tuanya pun jarang dan mungkin pernah ia dapatkan, karena ia telah berpisah dengan orang tuanya yang dibawa oleh tentara Jepang dan dijadikan prajurit Jepang. Sedangkan Ngesthireni dibawa oleh serdadu jepang untuk dijadikan wanita penghibur, namun karena kecerdikannya ia bisa meloloskan diri. Sekarang Ngesthi bersama Herlambang yang menjadi panutan selama perjalanan menuju ke Sala. Kasih sayang Ngesthi tidak hanya pada Herlambang, tetapi pada semuanya termasuk pada Kiswanta. Hanya saja dari awal pertemuannya dengan Herlambang, Ngesthireni merasa terlindungi olehnya. Ngesthireni ingin membalasnya dengan kasih sayang, dan ternyata Herlambang membalasnya. “Kiswanta eram banget karo kowe, lan gandhrung kapirungu. Kuwi wis genah!” “Mesakake! Isih ijo ngono.” .... “Kowe ki rak meri, ta, butarepan karo dheweke?” Ngesthi ngomong ngalem karo ndeselake awake marang Herlambang. Herlambang ngrangkulake tangan kiwa, menetake rangkulane supaya Ngesthireni saya caket lan ceket marang awake. “Pancen kepara nyata. Butarepan! La kowe ayu!” “Aku emoh pisah karo kowe, kok, Mas Herlambang!” omonge Ngesthi saya ngalem. Ngomonh mepet karo nyawang Herlambang commit to user (Suparto Brata, 2006 : 116-117).
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: “Kiswanta sangat menyayangimu, dia mencintaimu!” “Kasihan! Dia masih polos.” ... “Kamu cemburu sama dia?” Ngesthireni bicara kalem. mereka duduk saling rapat. Secara tak langsung Herlambang memuji kecantikkan Ngesthireni. Gadis itupun mengatakan tak ingin berpisah dengan Herlambang.
3) Kiswanta Tokoh Kiswanta dalam cerita novel DSB ini, merupakan tokoh bawahan yang perannya juga sangat menunjang tokoh utama. Tokoh Kiswanta juga menunjang terjadinya konflik-konflik yang ada di dalam cerita ini. Adanya konflik-konflik yang terjadi memunculkan karakter Kiswanta. Kiswanta disini digambarkan sebagai tokoh yang berani, baik hati, jahat, dan tidak punya pendirian. Gambaran karakter yang dimiliki Kiswanta dapat dilihat pada kutipan berikut: a) Berani Kiswanta adalah seorang pemuda yang penuh keberanian. Keberanian tersebut muncul ketika Kiswanta membela Ngesthi dan Herlambang melawan seseorang yang sepertinya akan mencelakai mereka berdua. Kiswanta melihat ada seseorang yang mengendap-endap di depan pintu kamar Ngesthi dan Herlambang saat mereka menginap di Jombang. Karena terlihat mencurigakan, Kiswanta dengan berani menegur orang itu, hingga terjadi perkelahian. Ewa samana Kiswanta kaget weruh ana glibete wong ing ngarep lawang kamare Herlambang lan Ngesthireni. “. . . ! apa karepmu nginceng-nginceng wong temantenan?!” ujare Kiswanta sumengit. Tangane singset ngekep gegere wong mau mlebu cangklakan ngranggeh cengel. Drijine kiwa karo tengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
107 digilib.uns.ac.id
gathuk kemancing! Kiswanta oleh pasinaon pencak silat ing Batu Jamus lan saiki diprakteke kanggo nyekel durjana. .... Kiswanta ora bodho. Krasa birone mrucut, cepetan sikile maju ndugang sirahe uwong inceng-inceng lawang kuwi. Dhabrus! Ndlosor! Wonge kejungkel nanging gage cekekal tangi. Kasep! Jotosane Kiswanta wis ngenani wange (Suparto Brata, 2006:8687). Terjemahan: Kiswanta terkejut melihat ada bayangan orang menyelinap di depan kamar Herlambang dan Ngestireni. Dengan sigap ia menyergap orang tersebut dan mencekik leher orang yang menyelinap itu. Mereka pun berkelahi dengan sengit.
b) Baik hati Kiswanta juga memiliki karakter yang baik hati, kebaikan Kiswanta terlihat ketika bertemu Ngesthireni. Pertemuannya dengan Ngesthireni lantaran tugas dari Yogyantara untuk mengawasi dan melindungi mata-mata yang dikirimkan Belanda. Sejak pertama kali bertemu dengan Ngesthireni di garis dhemarkasi Peterongan, dia selalu memperhatikan gerak-gerik wanita tersebut. Kiswanta menganggap bahwa Ngesthi adalah seorang mata-mata Belanda yang dimaksudkan oleh Yogyantara. Maka dengan segenap kekuatannya, Kiswanta akan menjaga dan melindungi Ngesthireni walaupun harus menorbankan nyawanya. Kiswanta juga menaruh hati kepada wanita dikdaya itu. Kebaikan Kiswanta ditunjukan ketika akan melindungi dan membela Ngesthireni yang bertengkar dengan Yogyantara. Kiswanta harus mati Karena membela wanita yang dicintainya. Dene sing ora bisa ngendaleni emosine malah si Kiswanta. Weruh wong wadon sing di tresnani dipilara kaya ngono, Kiswanta mencolot nyandak gulune ipene, terus ditekak! “Wong culika! Murka! Duraka!” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
108 digilib.uns.ac.id
Yogyantara ketekak gulune ungkrat-ungkret bangga. Sanajan pawakane lencir lan pakulitane alus, nanging ngadhepi bebaya kaya ngono kuwi, Yogyantara ora gampang pasrah. Tangane sekaro sing nekak gulune dienggo gandolan, sikile ndupak dhadhane Kiswanta, ngek! Kontal memburi. Sing ditekak ucul. Watuk0watuk marga gurunge gerok. Nanging solahe trengginas, mlangkah glayaran sedelok, terus ngadek sentosa. Dene Kiswanta glayaran mundur. Pandelenge kepyur-kepyur. Mundure tekan papane Sirtuhadi, anggone kunang-kunang ilang. Bali awas. Weruh Sirtuhadi sing nyandhang tentara, pustule katon njongat ing cethike, terus wae disaut, dibukak kuncine, lan disentil platuke. Larase tumuju marang Yogyantara. Dhor! Dhor! Dhor! “Oh! Oh!” sambate sing kena mimis. Getih dleweran ing cangklakan kiwa, pistul sing dicekel mencolot sakdurunge mbledhos. Kiswanta munting terus ambruk. Dheweke sing kena pistul (Suparto Brata, 2006 : 189). Terjemahan: Kiswanta tidak dapat meredam emosinya. Melihat wanita yang disukainya dilukai oleh orang lain dia tidak terima. Diambinya pistol dan mengarahkannya kea rah Yogyantara. … Dhor! Dhor! Dhor! “Oh! Oh!” rintih kesakitan yang terkena tembak. Kiswanta terjatuh. Dia yang terkena pistol. Kalah cepat dengan tembakan pegawai pabrik.
c) Jahat Kiswanta tidak hanya memiliki kebaikan, akan tetapi dia juga jahat. Dia jahat terhadap Herlambang. Kiswanta menganggap Herlambang menghalangi tugasnya dalam menjaga Ngesthireni. Maka dia berusaha menyingkirkan Herlambang dari Ngesthi. Kemudian kesempatan itu datang, ketika akan keluar dari kota Jombang dan menuju Madiun. Ketika itu mobil yang mereka kendarai mendadak mogok. Herlambang mencoba memperbaiki mobil tersebut. Kemudian commitdiduga to usermemegang setir dan menabrak mobil itu menyala kembali. Tanpa
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
Herlambang yang sedang mencoba menutup kap mobil. Tanpa merasa bersalah kiswanta meninggalkan Herlambang dan membawa Ngesthireni bersamanya. “Kok dha ora ngrungokake, ta? Coba starteren!” printahe Herlambang. Kiswanta nyekel setir, ngidak gas. Kawat-kawat strum digoleki, digandhengake mesine nggereng. Ngreti mesine apik, Herlambang nutup kudhunge mesin motor. Saka sopiran, sarana keclapane banyu Kali Brantas ing latar mburi, katon jenggerenge Herlambang ungkrak-ungkrek mbenerake tutup mesin, methongkrong ing slebor ngarep. Lawang sopiran ditutup ngeget, preseling mlebu siji, gas dipancal, mara-mara montore mlaku. Sing nongkrong neng slebor kageblag tiba. Kiswanta ing sopiran nyleyotake lakune montor supaya roda mburi mlindhes Herlambang sing tiba glundhungan. Ngesthireni njerit gage ngrebut setir, nanging Kiswanta kanthi kasar nyikut dhadhane Ngesthi, dhug! Seru banget. Ngesthi nggeblag, dhadhane krasa ampeg. Sawatara lakune montor sleyotan meh nabrak buk kreteg Brantas nanging terus kenceng mlebu dalan maneh, mlebu kreteg (Suparto Brata, 2006 : 108). Terjemahan: “Kok tidak mendengarkan, coba distarter!” perintah Herlambang. Kiswanta duduk di belakang setir, menginjak gas. Kawat listrik dicari, digandengkan, dan kemudian mesin menyala… Dari belakang sopiran kiswanta menabrak Herlambang yang sedang menutup kap mobil. Kiswanta mengenggak-enggokan mobil supaya dapat melindas tubuh Herlambang yang terjatuh. Ngesthireni menjerit, segera merebut setir dari Kiswanta, akan tetapi Kiswanta dengan kasar memukul dada Ngesthi. Ngesthi terjerembab, dadanya terasa sesak. Tak berapa lama mobil berjalan tak terarah hampir saja menabrak pinggiran jembatan, akan tetapi dapat melaju kembali.
d) Tidak punya pendirian Kiswanta juga seorang yang tidak punya pendirian, dia pemuda yang bingung akan tindakannya sendiri. Kiswanta dulu adlah seorang tentara Indonesia yang gagah berani membela negaranya. Akan tetapi beralih memberontak, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
mengkhianati negaranya sendiri, mengikuti Yogyantara membantu pasukan Belanda menghancurkan Indonesia. “Yen ngoten Kiswanta niku balane FDR, nyatane Mbeta cung. Nanging kok ngewangi kangmas Yogyantara, dados spione Landa?” “Dheweke kuwi wong ela-elu. Bingung. Apes lan dadi tiwase.” “Enggih,kok. Jan apes tenan, nggih? Pikirane isih ijo banget. Melu ngalor, ngidul, ela-elu, ora ngerti sing dilabuhi.” Sambate Ngesthi karo usap-usap mripat. (Suparto Brata, 2006:222) Terjemahan: “Kalau begitu Kiswanta sekutu FDR. Tetapi kenapa membantu kangmas Yogyantara, jadi spion Belanda?” “Dia itu orang bingung.” “Betul. Pikirannya masih polos.”
4) Tokoh Pengkuh Tokoh selanjutnya yang penting dalam cerita novel DSB ini adalah Pengkuh. Tokoh pengkuh disini juga memberikan warna dan alur yang baik. Pengkuh juga memberikan konflik yang tercipta karenanya. Dalam novel DSB, seorang Pengkuh digambarkan sebagai orang yang keras kepala, bertekad kuat dan pendendam. Gambaran karakter yang dimiliki Pengkuh dapat dilihat dalam kutipan berikut: a) Keras kepala Pengkuh digambarkan sebagai orang yang keras kepala. Gambaran tesebut muncul ketika bertemu Herlambang dan Ngesthireni. Pengkuh mempercayai anggapannya bahwa mereka berdua adalah mata-mata Belanda. Herlambang dan Ngesthireni datang ke wilayah keberadaan Pengkuh dengan mencurigakan. Wajar saja Pengkuh yang disuruh atasannya memeriksa mereka, memastikan apakah commit to user mereka mata-mata musuh atau bukan. Setelah dilakukan pemeriksaan,
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Herlambang dan Ngesthireni terbukti tidak ada tanda-tanda sebagai mata-mata. Namun dengan lantang dia mengatakan bahwa mereka adalah mata-mata. Pengkuh percaya pada keyakinannya bahwa mereka adalah mata-mata musuh. “Pun, Pak. Yen pancene tiyang kalih niki enten tandha-tandhane mata-mata mungsuh, nggihpun diringkus mawon. Ampun wegahwegih! Ampun wedi diagar-agari diancam bedhil ngoten! Mongsok kita kathah sementen niki kalah kalih tiyang kalih niku thok? Siji wedok maneh!” Pengkuh ngotot. “Ora ana cape mata-mata mungsuh! Kowe jan ngisin-isinake tenan kok! Lunga kana! Ora sudi aku kokeloni!” sentak Sagriwa saiki tanpa ngempet guyu maneh. Pengkuh ngadeg “Pak, kula dados pembantu sampeyan mboten margi dibayar . . . . . tiyang kalih niki genah mata-mata mungsuh. Ajeng kula urus piyambak!” (Suparto Brata, 2006:58). Terjemahan: “Pak, kalau memang mereka ada tanda-tanda sebagai mata-mata musuh, segera saja diringkus. Jangan ditakut-takuti, diancam tembak. Masak kita sebanyak ini kalah dengan mereka berdua, apalagi yang satu perempuan!” Pengkuh ngotot. “Tidak ada tanda-tanda sebagai mata-mata musuh! Kamu ini membuat malu saja. Pergi sana!” sentak Sagriwa. Pengkuh berdiri “Pak, aku jadi pembantumu bukan karena dibayar . . . mereka ini jelas mata-mata. Akan aku urus sendiri!”
b) Bertekad kuat dan pendedam Pengkuh diceritakan sebagai orang yang mempunyai tekad yang kuat. Dia mempunyai tekad untuk membuktikan bahwa Herlambang dan Ngesthireni adalah mata-mata musuh. Walaupun komandan Pengkuh mengatakan bahwa mereka dinyatakan bukan mata-mata musuh, tetapi Pengkuh bertekad membongkar penyamaran Herlambang dan Ngesthireni hingga mengikuti mereka sampai di Madiun.
commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saka lawange kamar priksan sing mbukak, Herlambang weruh Letnan Pengkuh nyetilekake wong wedok-wedok sing padha digawa mlebu. Sajake Letnan Pengkuh sing dadi tindihe pepriksan. Klirehane ana sing disentak-sentak, marga sing ditangkep dicakup angger wong wadon wae ora manut ciri-ciri pituduhe (Suparto Brata, 2006:137-138). Terjemahan: Dari pintu ruang pemeriksaan yang terbuka, Herlambang melihat Pengkuh. Ternyata yang mendalangi pemeriksaan ini adalah Pengkuh.
Tekad kuat yang dimiliki Letnan Pengkuh untuk membuktikan dan mencari Herlambang dan Ngesthireni didasari oleh dendam kepada Ngesthireni yang membuatnya malu di depan komandan dan semua orang. Maka dari itu, Pengkuh bertekad kuat untuk membalas perbautan yang telah dilakukan Ngesthi terhadapnya, hingga Pengkuh melakukan pemeriksaan distasiun guna mencari Ngesthireni. “Ambleg, ki! Sing dakgoleki ki mata-mata, wonge vander Plas! Titikane wedok, ayu, enom! Sing lanang udakara umur 28 taun, dedege pideksa! Sing koklebokake mrene kuwi apa? Genah wong irunge pesek lambene ndhoweh ngono, mongsok pantes dadi matamata!? Ayo totohan wong sing mentas wae kok gawa mlebu mau jenenge mesthi Sukiyem utawa timinem. Sing dak goleki ki wis genah, praene priyayi luhur. Saka polatane wae wong wis bisa kandha, kuwi cah wadon terpelajar . . . ! jenenge wae apik ngetarani yen wong wedok pendhidhikan, Ngesthireni (Suparto Brata, 2006:138). Terjemahan: “Yang dicari itu mata-mata, orangnya van der Plas. Cirinya perempuan, cantik, masih muda! Yang lelaki sekitar 28 tahun, berpawakan tegap. Yang kamu bawa itu siapa? Jelas hidungnya pesek, mulutnya memble, apa pantas jadi mata-mata? Namanya saja pasti Sukiyem? Yang aku cari itu sudah pasti priyayi, orang terpelajar, namanya saja bukti kalau berpendidikan, Ngesthireni.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
5) Tokoh Yogyantara Raden Mas Yogyantara adalah nama tokoh yang memberikan konflik klimaks di cerita novel DSB ini. Yogyantara adalah sosok yang dicari Herlambang dan harus ditemuinya. Nama Yogyantara dari awal cerita sebenarnya sudah disebutkan, namun peran Yogyantara hanya di akhir cerita pada saat Herlambang telah sampai di pabrik mesiu Batu Jamus. Walaupun sedikit diceritakan, Yogyantara memiliki gambaran orang yang licik dan tidak punya pendirian. a) Licik Yogyantara digambarkan sebagai orang yang licik. Ia pura-pura tidak tahu saat diajak bicara Ngesthireni bab warisan yang ditinggalkan orang tuanya. Ia mengelak dituduh Ngesthi, bahwa yang menghabiskan warisan tersebut adalah dia. Yogyantara juga tidak mengakui kalau yang menyerahkan orang tua mereka dan Ngesthireni kepada tentara Jepang adalah dia. “Oh, wis suwe tenan! Suwe tenan kita pisah!” ujare Yogyantara. “Dakkira sliramu wis seda! Dakkira sliramu wis diprejaya dening Kawanabe!” “Pancen! Ora kliru panerkamu, Kangmas! Kancamu Kapten Kawanabe wis ngubur aku ing tengahe samodra! Kapten Kawanabe wis marem lan wis oleh panduman saka apa sing kok kersakake! Mung Gusti Allah sing isih maringi aku nyawa, lan saiki bali mrene, ngadhep panjenenganmu perlu ngurus warisan sing dak tinggal!” ujare Ngesthireni teteg, titi, lan pratitis. “Warisan? Aku ora ngreti karepmu, Dhiajeng? Warisan apa?” (Suparto Brata, 2006 : 186). Terjemahan: “Oh, sudah lama sekali! Lama sekali kita berpisah!” ujar Yogyantara. “Kukira kamu sudah meninggal oleh Kawanabe!” commit to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Benar! Tak salah dugaanmu. Kawanabe sudah menguburku di tengah samudra! Namun Tuhan masih memberiku nyawa. Sekarang aku kembali untuk mengurus warisan.” Ujar Ngesthireni. “Warisan? Aku tak paham dengan maksudmu. Warisan Apa?”
b) Tidak punya pendirian Yogyantara juga digambarkan sebagai orang yang tidak punya pendirian. Dia masih menyangkal bahwa tidak melakukan tindakan yang diutarakan Ngesthireni, yaitu menyerahkan orang tuanya dan Ngesthi kepada tentara Jepang. Yogyantara juga menyangkal bahwa dia yang mengambil hak warisan Ngesthi dari orang tuanya, hingga dia juga akan membunuh Ngesthi adiknya sendiri. Namun setelah Ngesthi memgang senjata dan menodongkanya pada Yogyantara, sikapnya berubah, takut dan mengakui perbuatannya kemudian mengatakan akan mengganti semua bagian warisan Ngesthi yang dia ambil. “Angkat tangan kabeh! Ayo kowe mrana! Kumpul!” pakone Ngesthireni marang mungsuh-mungsuhe. Wong lanang papat ora bisa nglawan wanita siji. Sebab pistul ing tangane putri kuwi pancen ampuh. “Dhiajeng Ngesthi! Kowe aja kliru tanpa, Jeng. Pira etungen bandha warisanmu bakal dak ijoli!” ngreti kalindih yudane Yogyantara nglendhih mbebujuk adhine. “Becik klakuwanmu! Yen ngono sing daktagih dhisik utangmu bab nyawane kanjeng Rama lan Kanjeng Ibu. Sauren saiki pisan!” ujare Ngesthi ngenerake bolongane pistul marang Yogyantara (Suparto Brata, 2006:192). Terjemahan: “Angkat tangan! Kumpul!” suruh Ngesthireni pada musuhmusuhnya. Tak ada yang berani melawan. Senjata yang dibawa gadis itu sangat canggih. Yogyantara mulai ketakutan dan mencoba merajuk adiknya. Namun Ngesthireni tak peduli dengan rayuan kakaknya. commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Motivasi karakter Motivasi karakter dibedakan dua jenis, “motivasi spesifik” dan “motivasi dasar”. Analisis motivasi yang terdapat dalam diri tokoh adalah sebagai berikut.
a) Motivasi dalam diri tokoh Herlambang Motivasi dasar dalam diri Herlambang adalah menjalankan misi matamata (spion) guna mencari siapa pemilik pemancar JA-8 yang sering mengirimkan pesan kepada Belanda (pemancar LUI) yang isi pesannya yaitu merencanakan penghancuran pabrik mesiu Batu Jamus milik RI. Herlambang (Hartono) diutus oleh Biro Spionase RI untuk menjadi mata-mata dan menggagalkan rencana pemerintah Belanda tersebut. Motivasi dasar yang terdapat dalam diri tokoh Herlambang dapat dilihat dalam kutipan berikut. Pirang-pirang sasi aku malsu kontake wong loro iki. Wekasan pawarta ing The Malayan Straits times kuwi nuwuhake ilham. Marang Lui aku Kandha yen JA-8 oleh wong jeneng Herlambang sing bisa diutus njupuk gambar kuwi, supaya LUI oleh kejangkepane piranti marang wong kuwi ing Mojokerto. LUI nyanggup lan matah van Grinsven ngurus bab kuwi. Marang JA-8 aku kandha yen LUI sing duwe prakarsa ngutus mata-mata kondhang sing wis tau mbiyantu US-Army ing perang Pasifik. Supaya JA-8 cepak-cepak aweh dalan kang sinandi marang meneer Herlambang anggone bakal nemoni JA-8. Pranyata matamata mau kudu mlebu menyang pabrik mesiu kene mawa uluk salam nggoleki Raden Mas Yogyantara kadidene pas-woord-e. misi iki dak matengake.” (Suparto Brata, 2006:225). Terjemahan: Berbulan- bulan aku memalsu kontak dua orang ini. Setelah berita di The Malayan Straits times memberikan ilham. Pada LUI aku katakana mendapat orang yang bernama Herlambang, yang dapat di suruh mengambil gambar. LUI menyanggupi dan memerintah Van Grinsven. Ternyata mata-mata tadi harus masuk ke pabrik mesiu dengan kata sandi Raden Mas Yogyantara. commit to user
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Motivasi
spesifik
yang
terdapat
dalam
diri
Herlambang
yaitu
bagaimanakah dia mengatur penyamaran-penyamaran dan strategi agar jati dirinya sebagai mata-mata tidak terbongkar dan juga berhasil menjalankan misinya. Motivasi spesifik yang terdapat dalam diri tokoh Herlambang ada dalam kutipan berikut. “Heh! Kene, jam kuwi!” ujare Herlambang sentak. “Buwangen!” “Kena apa?” “Wis suwe Republik ora import jam! Ora ana jam tangan kaya ngono!” “Oh!” ujare Ngesthireni “Jamku iki tandha mata saka Mayoor Dawson!” “Ora preduli!‟ Herlambang ngrebut jam tangan ing ugel-ugele Ngesthireni, dibethot terus dibuwang. Ngesthireni arep bangga, ngukuhi jame. Eman, pancen apik kok dibuwang! Nanging tangane Herlambang kukuh lan kasar, ora ken adicegah. “Kowe kok kasar timen, ta!” ujare Ngesthireni. “Kabeh barang-barang Landa, kudu ora kena tumempel ing awake dhewe. Awake dhewe iki wong Republik, sing kaet biyen ya ana ing tlatah Republik. Sarwa ora kecukupan mentas dijajah Jepang telu setengah taun lawase, nalika Jepang perang karo sekuthu! Wong Republik urip sarwa kecingkrangan! Gak cocog kok duwe arloji weton njaban Republik.” (Suparto Brata, 2006:2627). Terjemahan: Herlambang menyuruh Ngesthireni untuk membuang jam tangannya yang keluaran dari luar negeri. Selain itu, Herlambang juga menyuruh Ngesthireni untuk menanggalkan semua pakaian yang bermerek luar negeri. Sebab barang-barang import tidak mungkin dipakai oleh orang Republik pada saat ini.
Herlambang melucuti Ngesthireni ketika berada di garis dhemarkasi. Herlambang melakukan hal tersebut karena seorang mata-mata harus siap dalam segala kodisi dan menyamarkan dirinya semaksimal mungkin. commit to user
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Edan! Dadi kowe ora ngakoni aku kancamu?” idune muncrat maneh. “Sombong kowe ya, dupeh nggawa bedhil anyar lan wong ayu!” “Aja ngrindhuhi anggonku mangan! Yen arep kenalan, omomgomong, mengko yen aku wis rampung mangan! Mangga, lungaa dhisik.” Ujare Herlambang ngempet omonge sentak karo ngrogoh kanthong kiwa, nyuguhake premen sing enak tilas wadah pastiles marang wong kosro mau. “Kowe nantang aku?! Ha, ha, ha! Kok ora eling ta,Ton? Kamdi gugun kowe arep dikrubut kanca-kancane dikira sing mbujuki Kamdi mlebu tegal kebedhil Landa kowe. Sapa sing nulungi kowe? Atrum, Ton. Wong loro dak kumba, benjut kabeh terus mlayu ngethipleng! Saiki aku kok tantang? Iya?!” “Jenengku dudu, Ton. Wis, nyingkira, yen ora dakjagongi klawan becik. Ora apik tetemon bengkerengan dideleng wong akeh!” “Apik klakuanmu! Gak ngemut premenmu gak patheken! Ya, aku nyingkir. Ora kok marga wedi karo kowe, nanging Atrum iki ngreti suba sita! Cekake kapan-kapan yen ketemu ana lapngan, ayo adu karosan, kuwat-kuwatan. Gelut apa jotosan, sakarep gendhingmu dak tandangi!” Sawise kandha ngono Atrum ninggalake restoran. . . . (Suparto Brata, 2006:75-76). Terjemahan: Atrum masih tak percaya kalau Herlambang tak mengenalinya. Ia yakin kalau Herlambang yang ada di hadapannya adalah Hartono temannya saat di Purwadadi. Herlambang tak ingin identitasnya terbongkar. Akhirnya mereka saling adu mulut. Atrum pun meniggalkan restoran. Kemudian Herlambang berpura-pura mengenal Atrum, teman satu asrama ketika masih berada di front Purwodadi. Hal itu dilakukannya karena dia sedang mengemban tugas sebagai mata-mata.
b) Motivasi dalam diri tokoh Ngesthireni Motivasi dasar dalam diri Ngestireni dia ingin pulang ke solo menemui kakaknya Yogyantara untuk menanyakan hak warisannya. Motivasi dasar ini muncul ketika Ngesthi dikirim ke pulau Seram oleh para sedadu Jepang. Motivasi commit to user
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dasar yang terdapat dalam diri tokoh Ngesthirenidapat dilihat dalam kutipan berikut. “Pancen! Ora salah panerkamu Kangmas! Kancamu Kapten Kawanabe wis ngubur aku ing tengahe samodra! Kapten Kawanabe wis marem lan oleh panduman saka apa sing kok kersakake! Mung Gusti Allah sing isih maringi aku nyawa. Lan saiki bali mrene, ngadhep panjenenganmu perlu ngurus warisan sing dak tinggal!” ujare Ngesthi teteg, titi, lan pratitis.(Suparto Brata 2006:186). Terjemahan: “Benar! Temanmu Kawanabe memang telah menguburku di tengah samudra, namun Tuhan masih melindungiku. Sekarang aku kembali menemuimu untuk mengurus warisan.”
Motivasi spesifik yang terdapat dalam diri tokoh Ngesthireni yaitu setelah Ngesthi dititipkan oleh van Grinsven kepada Herlambang sarana pulang ke Sala. Ngesthireni harus menjalankan apa yang diinginkan Herlambang dalam misi spionnya
dan
membantu
penyamaran
Herlambang.
Negsthi
membantu
Herlambang ketika akan keluer dari kota Mojokerto yaitu mengingatkan herlambang untuk berganti pakaian, menyamar sebagai tentara Cakra, agar dapat melewati penjagaan pasukan Belanda di ujung kota. “Van Grinsven wani tanggung aku slamet tekan Sala yen bebarengan karo kowe. Eh, kosik. Sadurunge metu kutha gantia sandangan. Van Grinsven meling ngono. Kene aku sing nyetir.” Herlambang ora nampik. Iki pancen sing dijanjekake dening van Grinsven. Klambi putih diuculi. Nyaut klambi ijo ing bak mburi. Clanane dirangkep wae. Ora nganti limang menit. Herlambang dadi sersan tentara Cakra sing kondhang ing daerah pandhudhukan dadi anjing Nica.(Suparto Brata 2006:14). Terjemahan: “Van Grinsven berani menanggung aku selamat sampai Sala bersama kamu. Tapi sebelum keluar dari kota cepat ganti baju.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
119 digilib.uns.ac.id
Herlambang tak menolak. Dia pun ganti baju. Tak ada lima menit ia sudah menjadi sersan tentara Cakra.
c) Motivasi dalam diri tokoh Kiswanta Motivasi dasar dalam diri tokoh Kiswanta dia diutus oleh Yogyantara untuk menjemput dan melindungi perjalanan mata-mata yang dikirimkan Belanda menuju ke Batu Jamus. Motivasi spesifik dalam diri Kiswanta yaitu melindungi Ngesthireni yang diangagap sebagai mata-mata Belanda padahal dia mengenali orang karena matamata tersebut sebenarnya adalah Herlambang. “Wonge wis ora ana. Saiki aku dadi tawananmu arep kok kapakake?” “Melu aku. Melu rombonganku iki! Mbak Ngesthi kudu dak jaga, kudu slamet tekan tujuan misi kita sapraya!” (suparto Brata, 2006 : 134) “Kowe!? Oh, sokur! Sokur! Endi wonge?” “La menika! Menika pun Dyah Ngesthireni! Utusanipun Kangjeng Ratu Juliana ingkang pranyata ngedap-edapi elok ing tindaktandukeipun. Kula nyekseni piyambak wiwit mlebetipun ing Peterongan!” umuke Kiswanta. Nanging sakala banjur kaget “Wonten menapa, Kangmas?” Terjemahan: “Orangnya sudah tak ada. Sekarang aku jadi tawananmu, mau kau apakan?” “Ikut aku. Mbak Ngesthi harus aku jaga, harus selamat sampai tujuan.” ... “Kowe?! Oh, syukur! Mana orangnya?” “Ini. Ini Dyah Ngesthireni! Suruhan Kanjeng Ratu Juliana yang ternyata mempesona.” Ujar Kiswanta.
c. Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita. Latar dibedakan menjadi 3 unsur, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. commit to user Analisis latar dalam novel DSB sebagai berikut:
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Latar Tempat Latar tempat merupakan lokasi kejadian cerita. Pada novel DSB tempattempat yang digunakan pengarang merupakan rute perjalanan tokoh Herlambang dalam menjalankan misi spion-nya yang melalui tempat-tempat di daerah Mojokerto, Jombang, Kertosono, Madiun, Masaran dan Batu Jamus. Guna memperjelas tentang latar tempat dari novel DSB maka akan dijelaskan satupersatu berikut kutipannya: a) Mojokerto Kota Mojokerto merupakan tempat di mana cerita novel DSB berawal, yaitu ketika Herlambang/Hartono menemui Van Grisven di Restoran Tong Sien untuk menjalankan misi mata-matanya. Di kota ini pula Herlambang pertama kali bertemu dengan Ngesthireni. Kemudian di daerah Mojokerto mereka mengalami pemeriksaan ketat yaitu di daerah garis demarkasi dan di markas front gerilyawan yang dipimpin Sagriwa karena dicurigai sebagai mata-mata. Di markas gerilyawan mereka berselisih dengan Letnan Pengkuh dan berkenalan dengan Kiswanta yang kemudian menyertai perjalannya. Daerah Mojokerto menjadi kekuasaan Belanda setelah Agresi Militer. Para gerilyawan yang seharusnya keluar dari daerah tersebut hanya menyingkir ke luar kota, untuk sewaktu-waktu bergerilya di daerah kekuasaan Belanda, sehingga ada daerah yang dinamakan daerah garis Demarkasi yaitu batas antara daerah kekuasaan Belanda dengan daerah Republik. Para gerilyawan tergabung dalam kesatuan/front yang dipimpin oleh Sagriwa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
121 digilib.uns.ac.id
Kutipan yang menyebutkan cerita dalam novel DSB terjadi di restoran Tong Sien adalah sebagai berikut: Verboden toegang voor militairen. Tulisan kuwi kapasang ngegla ing kusen nduwur lawange restoran Tong Sien. Restoran kang lagi kondhang ing Kutha Mojokerto. Kondhang marga nalika samono durung akeh wong wani bukak restoran. Jamane lagi kisruh. Wadyabala krajan Walanda wis sawetara suwe ngebroki Kutha Mojokerto, nanging tentara Republik ora adoh olehe nyingkir menyang njaban kutha. Gek saben-saben mlebu kutha; gawe rerusuh ing tlatahe mungsuh, terus ngilang menyang sabrang kali. (Suparto Brata, 2006 : 1)
Terjemahan: Verboden toegang voor militairen. Tulisan itu terpasang jelas di atas pintu restoran Tong Sien. Restoran yang sedang terkenal di kota Mojokerto. Terkenal karena ketika itu belum banyak orang berani membuka restoran. Jaman sedang kacau. Tentara kerajaan Belanda sudah sementara lama menduduki Kota Mojokerto, tetapi tentara Republik tidak jauh menyingkir ke luar kota. Kutipan yang menyebutkan cerita dalam novel DSB terjadi di garis demarkasi adalah sebagai berikut: “Sing kita ambah iki tlatah dhemarkasi, tapel wates antarane Republik karo Walanda sing padha memungsuhan. Wong Republik wani nyabrang mrene mung yen srengenge wis ambles. Mung dadi liwatan ndlusup menyang wilayah sing dibroki mungsuh, dibroki Landa. Nanging wayah mene akeh-akehe wis padha tekan kutha pendhudhukan, perlu ngaco. Wayah awan ora wani mrene, marga mortire Walanda saka Mojokerto utawa Brangkal isih gaduk nglanjak mrene.” (Suparto Brata, 2006 : 24-25) Terjemahan: “Yang kita masuki ini daerah, tapal batas antara Republik dengan Belanda yang saling bermusuhan. Orang Republik berani menyeberang kemari hanya jika matahari sudah terbenam. Hanya menjadi lintasan menyusup ke wilayah yang diduduki musuh, diduduki Belanda. Tetapi saat seperti ini kebanyakan sudah sampai kota pendudukan, untuk mengacau. Saat siang tidak berani kemari, karena mortir Belanda dari Mojokerto atau Brangkal masih commit to user menjangkau kemari.”
perpustakaan.uns.ac.id
122 digilib.uns.ac.id
Kutipan yang menyebutkan cerita dalam novel DSB terjadi di markas gerilyawan adalah sebagai berikut: Kampung kono klebu kampung ngarep dhewe, cedhak karo tapel wates papane perang. Mula omah-omah sepi, akeh sing suwung marga ditinggal ngungsi. Sagriwa milih omah tembok kang duwe pendhapa gedhe, bisa uga nggone kamituwa, dienggo markas. Markas tentara republik garis ngarep, ora kebak serdhadhu lan gamane, nanging gelaran klasa kana-kene ngebaki jogan pendhapa, ana bantale siji loro. Lampune teplok, urupe melipmelip. Ngarepake mlebu pendhapa, Sagriwa ngawe salah sijine pengawal, banjur dibisiki, “Paranana Dhokter Sambudi. Aturana mrene cepet-cepet. Penting, ngono!” (Suparto Brata, 2006 : 42) Terjemahan: Kampung itu termasuk paling depan, dekat dengan tapal batas tempat perang. Maka rumah-rumah sepi, banyak yang kosong karena ditinggal mengungsi. Sagriwa memilih rumah tembok yang berpendapa besar, bisa juga tempat tinggal kamituwa, digunakan sebagai markas. Markas tentara republik garis depan, tidak banyak serdadu dan senjata, tetapi di sana-sini tikar tergelar memenuhi lantai pendapa, ada satu dua bantal. Lampunya lentera, sinarnya remang-remang. Sebelum memasuki pendapa, Sagriwa memanggil salah satu pengawal, kemudian dibisiki, “Datangi Dokter Sambudi. Suruh cepat kemari. Penting, begitu!”
b) Jombang Jombang hanya menjadi tempat beristirahat/menginap karena kereta yang ditumpangi Herlambang, Ngesthireni serta Kiswanta berhenti di tempat tersebut dan kereta selanjutnya menuju Madiun baru ada keesokan harinya, tetapi beberapa peristiwa terjadi di kota itu. Peristiwa dalam novel DSB yang terjadi di kota Jombang yaitu Herlambang, Ngesthireni dan Kiswanta bertemu dengan Atrum yang mengaku sebagai teman Hartono (nama asli Herlambang), Kiswanta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
mendatangi rumah temannya untuk mengambil senapan, terjadi perkelahian antara Kiswanta dan Atrum serta Herlambang mencuri mobil untuk segera meninggalkan kota tersebut karena Atrum terbunuh. Kutipan yang menyebutkan cerita dalam novel DSB terjadi di Jombang adalah sebagai berikut: Sepur budhal. Tekan Jombang wis nglanjak wayah sore. Kiswanta ngajani golek panginepan dhisik, marga yen wis sore sok kangelan. Oleh losmen cedhak stasiyun, wong telu njaluk kamar loro, siji kanggo Kiswanta, siji kanggo Herlambang karo bojone. Oleh ing sisih mburi, mawa let latar karo gedhonge losmen. (Suparto Brata, 2006 : 72-73) Terjemahan: Kereta berangkat. Sampai Jombang sudah menjelang sore. Kiswanta membujuk untuk mencari penginapan dahulu, karena jika sudah sore sering kesulitan. Mendapat losmen di dekat stasiun, tiga orang meminta dua kamar, satu untuk Kiswanta, satu untuk Herlambang dan istrinya. Mendapat kamar di sisi belakang, dengan batas halaman dengan gedung losmen. Kiswanta mlaku gegancangan marani sawenehe panggonan. Lampu listrik Kutha Jombang kurang voltasene, merdhip-merdhip abang, ora kuwawa madhangi pojok-pojoke kutha. Wondene Kiswanta marani sawenehe gedhong tuwa sing lampune luwih dening surem. (Suparto Brata, 2006 : 81) Terjemahan: Kiswanta berjalan cepat menuju sebuah tempat. Lampu listrik Kota Jombang kurang voltasenya, remang kemerahan, tidak mampu menerangi sudut-sudut kota. Sedangkan Kiswanta menuju sebuah gedung tua yang lampunya lebih dari suram.
c) Kertosono Kertosono menjadi tempat berpisahnya Kiswanta dari rombongan perjalanannya. Peristiwa yang terjadi di Kertosono diawali mobil curian yang commit to user digunakan Herlambang mogok sebelum masuk jembatan sungai Brantas. Di dekat
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jembatan itu pula Herlambang berkelahi dengan Kiswanta yang ketika mencoba menghidupkan mobil berusaha menabrak dan melindasnya, namun akhirnya mobil itu mogok lagi. Akhirnya Herlambang dan Ngesthireni melanjutkan perjalanan dengan menumpang mobil pedagang meninggalkan Kiswanta yang pingsan. Kutipan yang menyebutkan cerita dalam novel DSB terjadi di Kertosono adalah sebagai berikut: Nalika arep mlebu kreteg Kali Brantas, mesine montor ndadak engkrek-engkrek srei. Wasana mati. Mandeg. (Suparto Brata, 2006 : 105) Terjemahan: Ketika akan masuk jembatan Sungai Brantas, mesin mobil mendadak tersendat-sendat kasar. Akhirnya mati. Berhenti. Montor klakon liwat kreteg dawa, nyabrang kali. Mesine ndadak engkrek-engkrek maneh. Atine Kiswanta anyel. Gase digedhekake, malah nyendhat-nyendhat. Dicilikake kaya arep mati. Lagi nyobanyoba mengkono mesine klakon mati! klekek! (Suparto Brata, 2006: 109) Terjemahan: Mobil telah melalui jembatan panjang, menyeberang sungai. Mesinnya mendadak tersendat-sendat lagi. Hati Kiswanta kesal. Gas dibesarkan, malah menyendat-nyendat. Dikecilkan seperti akan mati. Baru mencoba-coba seperti itu mesin mati! Dinane saya padhang. Sisih wetan langite abang mbranang. Sajake wong-wong Kertosono ya wis wiwit padha tangi. Kabeh mau gawe kesusune atine sing padha lumayu ninggal montor gembos neng tengah dalan, lan wong semaput kelaran. (Suparto Brata, 2006 : 111) Terjemahan: Hari semakin terang. Sebelah timur langit merah menyala. Sepertinya orang Kertosono juga sudah mulai bangun. Semua itu membuat terburu-buru hati yang sedang berlari meninggalkan mobil kempes di tengah jalan, dan orang pingsan kesakitan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
d) Madiun Madiun menjadi tempat berpisahnya Herlambang dan Ngesthireni yang sebenarnya menjalankan misi yang berbeda. Memasuki daerah Madiun mobil pedagang yang dinaiki Herlambang dan Ngesthireni, yang telah berganti penampilan seperti sopir mobil dan wanitanya, diperiksa oleh tentara republik yang telah menerima berita dari Letnan Pengkuh bahwa ada mata-mata yang lari ke arah Madiun dengan menumpang mobil pedagang. Di kota Madiun mereka berganti penampilan lagi sebagai pedagang batik. Akhirnya Herlambang meninggalkan Ngesthireni ketika kamar hotel tempat mereka menginap didatangi Kiswanta dengan beberapa tentara yang bersamanya. Herlambang meninggalkan Madiun dengan berkereta api dan berpenampilan sebagai penjual burung. Kutipan yang menyebutkan cerita dalam novel DSB terjadi di Madiun adalah sebagai berikut: Wayah awan prahoto mlebu Kutha Madiun. Ngarepake mlangkah ril sepur kang kaya-kaya tapel watese Kutha Madiun sisih lor, prahoto digledhah dening tentara sabajeg akehe. (Suparto Brata, 2006 : 121) Terjemahan: Ketika siang mobil masuk Kota Madiun. Sebelum melalui rel kereta yang seperti tapal batas Kota Madiun sebelah utara, mobil digeledah oleh serombongan tentara. Nalika metu saka pasar gedhe, ngenyang becak menyang setasiyun, Herlambang wis dudu pemudha pejuang utawa bakul jarik saka Sala. Nanging wong tani sing sok tilik sedulure ing kutha liya sangu pikulan karo kurungan manuk kutut, iket-iketan, capingan, clana ijo, sandhal kulit, kalung sarung bathik kawung sogane wis mindho. Sandangan kaya ngene mokal yen bisa dicukupi dening Letnan Van Grisven, mula dheweke kudu golek modhel dhewe neng pasar Madiun. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
126 digilib.uns.ac.id
Stasiun dijaga tentara. Wong sing arep mlebu peron kudu digledhah dhisik. Herlambang rumangsa begja dene wis nyamar kaya mengkono, gek wis ora bareng karo Ngesthireni. (Suparto Brata, 2006 : 137) Terjemahan: Ketika keluar dari pasar besar, menawar becak ke stasiun, Herlambang sudah bukan lagi pemuda pejuang atau pedagang batik dari Sala. Tetapi petani yang sering menengok saudaranya di kota lain berbekal pikulan dan kurungan burung perkutut, berikat kepala, bercaping, celana hijau, sandal kulit, berkalung sarung batik kawung yang sogannya sudah dicat ulang. Pakaian seperti ini tidak mungkin bisa dicukupi oleh Letnan Van Grisven, maka dia harus mencari model sendiri di pasar Madiun. Stasiun dijaga tentara. Orang yang akan masuk peron harus digeledah dahulu. Herlambang merasa mujur karena sudah menyamar seperti itu, juga sudah tidak bersama Ngesthireni.
e) Masaran Masaran hanya menjadi tempat turun Herlambang dari kereta untuk selanjutnya menuju pabrik mesiu di Batu Jamus. Kutipan yang menyebutkan cerita dalam novel DSB terjadi di Masaran adalah sebagai berikut: Ora kacarita lakune sepur snel Madiun-Kutoarjo, wayah bedhug sawise ninggalake setasiyun Mojo Sragen mandheg maneh tekan sawenehe setasiun cilik Masaran. Jenenge thok wae sepur snel, snel kuwi basa Landa tegese cepet, nanging lakune rendet banget, kaya sepur thruthuk, ujas-ujus-ujas-ujus ora ndang tekan Sala. Sajane sepur snel kuwi, stasiyun cilik kaya Masaran ngono mesthine ora diendhegi. Nanging embuh, sep sepur stasiyun kok ora mbukake sinyale. Dadi sepure ya mandheg. Weruh yen sing diendhegi sepur kuwi stasiyun Masaran, sanalika bakul manuk kutut sing kathokan ijo potongan Jakarta kuwi ngadeg, ranggeh-ranggeh kurungane manuk ing wadhah barang ndhuwur. (Suparto Brata, 2006 : 139) Terjemahan: Tidak diceritakan jalannya kereta snel Madiun-Kutoarjo, tengah to user hari setelah meninggalkancommit stasiun Mojo Sragen berhenti lagi di
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebuah stasiun kecil Masaran. Namanya saja kereta snel, snel itu bahasa Belanda artinya cepat, tetapi jalannya lambat sekali, seperti kereta barang, ujas-ujus ujas-ujus tidak segera sampai Sala. Sebenarnya kereta snel itu, stasiun kecil seperti Masaran seharusnya tidak berhenti. Tetapi entah, petugas stasiun kok tidak membukakan sinyal. Jadi kereta berhenti. Tahu jika kereta berhenti di stasiun Masaran, seketika pedagang burung perkutut yang bercelana hijau potongan Jakarta itu berdiri, meraih kurungan burung di tempat barang atas.
f) Batu Jamus Merupakan tempat tujuan misi spionase Herlambang berupa bekas pabrik teh yang dialih fungsikan menjadi pabrik mesiu oleh Jepang, ketika Jepang kalah perang pabrik tersebut diambil alih oleh Republik. Di tempat tersebut Herlambang dan Ngesthireni yang tiba-tiba datang bersama Kiswanta bertemu dengan Yogyantara yang merupakan target misi spionase Herlambang dan ternyata pula adalah kakak tiri Ngesthireni. Kiswanta tewas setelah beberapa hari dirawat karena ditembak anak buah Yogyantara saat membela Ngesthireni. Cerita berakhir di tempat ini juga, dengan sebuah pesta perayaan keberhasilan misi Herlambang. Kutipan yang menyebutkan cerita dalam novel DSB terjadi di Batu Jamus adalah sebagai berikut: Batu Jamus sawenehe desa onderneming utawa alas kebonan sing ditanduri teh, karet lan pinus. Ana pabrike teh barang. Nanging wiwit jaman Jepang pabrik teh mau ora mlaku. Minangka sulihe, dening bala tentara Dai Nippon digunake nyimpen barang-barang perang bangsane mesiu. Suwening suwe, marga saka wong-wong Eropa sing kecekel Jepang akeh uga sing gelem nyambut gawe tembayatan karo Jepang, luwih-luwih wong Jerman, padha ahli laboratoria apa wae, wong-wong mau banjur dikumpulke ing Batu Jamus, dikon madeg pabrik mesiu minangka nyokong perange Jepang nglawan Sekuthu. (Suparto Brata, 2006 : 143-144) Terjemahan: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
128 digilib.uns.ac.id
Batu Jamus sebuah desa onderneming atau hutan perkebunan yang ditanami teh, karet dan pinus. Ada pabrik teh juga. Tetapi sejak jaman Jepang pabrik teh itu tidak berjalan. Sebagai gantinya, oleh tentara Dai Nippon digunakan untuk menyimpan barang-barang perang seperti mesiu. Lama-lama, karena orang-orang Eropa yang tertangkap oleh Jepang banyak yang mau bekerjasama dengan Jepang, lebih-lebih orang Jerman, ahli laboratirium apa saja, orangorang itu kemudian dikumpulkan di Batu Jamus, disuruh mendirikan pabrik mesiu untuk mendukung perang Jepang melawan Sekutu. Wondene ing sasi Agustus 1948 wis suwe ora ana udan lan wilayah Batu Jamus garing, ora katon seger sanajan klebu ing alam pegunungan, ing wayah sore ana montor nyalawadi mlebu ing laladan kono saka dalan arah Masaran. (Suparto Brata, 2006 : 148-149) Terjemahan: Sedangkan di bulan Agustus 1948 sudah lama tidak ada hujan dan wilayah Batu Jamus kering, tidak terlihat segar walaupun termasuk daerah pegunungan, di waktu sore ada mobil mencurigakan masuk di daerah itu dari jalan arah Masaran.
2) Latar Waktu Latar waktu yang digunakan dalam novel DSB adalah bulan Agustus 1948, satu bulan sebelum pemberontakan FDR di Madiun. Diceritakan dalam novel DSB, partai sosialis yang tergabung dalam FDR melakukan pemberotakan untuk menentang kebijakan Re-Ra (reorganisasi dan rasionalisasi) yang merupakan tindak lanjut dari persetujuan Renville 17 Januari 1948. Perundingan Renville merupakan penyelesaian peperangan antara RI dan Belanda (Agresi Militer I) yang ditawarkan oleh PBB. Ketika terjadi pertempuran tersebut Belanda merasa heran karena RI tidak segera kehabisan mesiu, pelurunya tidak pernah macet bahkan mempunyai bom tarik yang ledakannya kuat. Belanda mengira RI mempunyai pabrik mesiu di wilayahnya karena akses untuk mendapat selundupan commit to user senjata dari luar negeri telah ditutup oleh Belanda. Karena itulah Belanda
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengirim Herlambang sebagai mata-mata untuk memotret data-data penting tentang pabrik mesiu tersebut dari Yogyantara yang sebelumnya menawarkan untuk menjual informasi tersebut kepada Belanda. Herlambang yang sebenarnya bernama Hartono, anak buah Ir. Suprayoga (komisaris intelejen Indonesia) mempunyai misi sendiri dari atasannya yaitu menemukan Yogyantara, pemimpin pengkhianat pabrik mesiu yang hendak memberi informasi penting tentang pabrik mesiu di Batu Jamus kepada Belanda. Cerita pada novel DSB, sejak awal perjalanan cerita yaitu Herlambang menemui Van Griensven di Mojokerto sampai dengan berhasil menyerahkan Yogyantara kepada Ir. Suprayoga di Batu Jamus terjadi selama empat hari tiga malam. Perjalanan Herlambang selama empat hari tiga malam tersebut, hari pertama siang di Restoran Tong Sien sampai garis demarkasi, malamnya dari garis demarkasi sampai markas gerilyawan. Hari kedua siang dari markas gerilyawan sampai Jombang, malamnya dari Jombang sampai Kertosono. Hari ketiga siang dari Kertosono sampai Madiun malamnya menginap di Madiun. Hari keempat dari Madiun, Masaran sampai Batu Jamus. Latar waktu yang terdapat dalam novel DSB secara terperinci adalah sebagai berikut. Kutipan langsung yang merujuk pada waktu a) Hari pertama. Pada waktu sore hari, terjadi pertemuan pertama Herlambang dengan Ngesthireni, setelah Herlambang menemui Van Grinsven dan mencari mobil yang disediakan Van Grinsven untuknya. Setelah menemukan mobil tersebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
130 digilib.uns.ac.id
Herlambang terkejut dengan adanya Ngesthireni yang menodongkan pistol ke arahnya. Peristiwa tersebut terdapat dalam kutipan berikut. Srengenge isih manjer ing sisih kulon. Sorote kaya ngincenginceng saselane gegodhongan wit-witan kang mentiyung ing tengah lurung. Herlambang sedhela-sedhela noleh memburi, maspadakake restoran kang lagi wae ditinggal karo nglirik sunare srengenge, nerka-nerka jam pira wektu kuwi. Dheweke mlaku gegancangan. “Edan, Van Grinsven! Nyalawadi banget pitakonane! Tujune si nona mau tanggap sasmita! Heh! Ndrawasi! Mengko gek Van Grinsven dadi mungsuh mungwing cangklakkan?” Mengkono pikirane Herlambang klawan mlaku. Enere manut pituture Van Grinsven. Ngiwa, watara satus meter ana gang. Ing kono ana jip! Muga-muga Van Grinsven ora mblenjani janji! “Letnan Intelejen VDMB (Veiligheids-dienst Mariniers Brigade = dinas panentrem Brigade Marine, pasukan Walanda kang ngebroki Jawa Wetan ing perang Kamardikan I, 21 Juli 1947*) ing Mojokerto mosok arep goroh!” Herlambang seneng atine bareng weruh ana gang, lan katon jip tentara Walanda ndhelik ing eyupan. Ngarepe ditambahi canthuk wesi, piranti kanggo ngresiki kawat-kawat kang mantheng malang ing marga sing dipasang dening gerilyawan Republik. Jip mau tutupan rapet, mesthine njerone barang-barang kang dibutuhake kanggo sangune Herlambang mengko. Gita-gita wong Jawa klambi putih kuwi marani tumpakan perang mau. Lawang jip sisih kiwa dibukak, blak! “Geode minddag, meneer Herlambang!” swarane wong ing sopiran jip. Nglimpreg semangate Herlambang! Pucuk pistol ngacung, meh wae nyulek mripate! (Suparto Brata, 2006 : 9-10) Terjemahan: Matahari masih bersinar di sebelah barat. Sinarnya seperti mengintip sela-sela daun pohon-pohon yang melengkung di tengah jalan. Herlambang sebentar-sebentar menoleh ke belakang, memperhatikan restoran yang baru saja ditinggal dengan melirik sinar matahari, menerka-nerka jam berapa waktu itu. Dia berjalan cepat. “Gila, Van Grinsven! Mencurigakan sekali pertanyaannya! Untung si nona tadi paham tahu isyarat! Heh! Berbahaya! Nanti malah Van Grinsven menjadi musuh dalam selimut?” begitu pikiran Herlambang sambil berjalan. Arahnya mengikuti petunjuk Van Grinsven. Ke kiri, kira-kira seratus meter ada gang. Di situ commit to usertidak ingkar janji! “Letnan terdapat jip! Muga-muga Van Grinsven
131 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Intelejen VDMB (Veiligheids-dienst Mariniers Brigade = dinas panentram Brigade Marine, pasukan Belanda yang menduduki Jawa Timur di perang Kemerdekaan I, 21 Juli 1947*) di Mojokerto masak mau berbohong!” Herlambang gembira hatinya setelah tahu ada gang, dan kelihatan jip tentara Belanda tersembunyi di keteduhan. Depannya ditambahi besi, alat untuk membersihkan kawat-kawat yang melintang di jalan yang dipasang oleh gerilyawan Republik. Jip tadi tertutup rapat, mestinya di dalamnya barang-barang yang dibutuhakan untuk bekal Herlambang nanti. Segera orang Jawa berbaju putih itu mendatangi kendaraan perang tersebut. Pintu jip sebelah kiri dibuka, blak! “Geode minddag, meneer Herlambang!” swara orang di sopiran jip. Lemas semangat Herlambang! Pucuk pistol mengacung, hampir saja mengenai matanya!
Peristiwa pemeriksaan Herlambang dan Ngesthireni oleh tentara Belanda di garis demarkasi. Peristiwa tersebut terjadi saat petang di tempat macetnya konvoi tentara Belanda. Peristiwa tersebut terdapat dalam kutipan berikut: Mata dina selak kumudu-kudu ambles ing bumi. Padhange jagad disoroti saka putih dadi abang. Dhisike ndelik ing suwalike pradesan, suwe-suwe angslup ing suwalike mega. Kahanan saya remeng-remeng. Wayah surup srengenge, dalane saya ora rata. Ing ngarep katon remeng-remeng prahoto mandheg ing pinggir lurung. Papane papagan karo arah lakune jip. “Ana apa kae?” Ngesthi nyuwara njenggek. “Sajake konvoi mogok.” (Suparto Brata, 2006 : 16-17) Terjemahan: Matahari terlalu cepat harus terbenam ke bumi. Terangnya dunia disinari dari putih menjadi merah. Sebelumnya sembunyi di balik pedesaan, lama-lama terbenam di balik awan. Keadaan semakin remang-remang. commit to user
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saat petang hari, jalan semakin tidak rata. Di depan kelihatan remang-remang mobil berhenti di pinggir jalan. Tempatnya berlawanan dengan arah laju jip. “Ada apa itu?” Ngesthireni bersuara kejut. “Sepertinya konvoi mogok.
Latar waktu untuk peristiwa tersebut juga terdapat pada kutipan berikut:
Srengenge saiki wis ambles ing bumi sisih kulon. Kari sunar-sunar abang mbranang, sulake isih kuwat madhangi jagad. Madhangi wong maca layang prentah saka Seksi Intelejen VDMB Mojokerto ngeterake nyonya Inggris menyang Mbrangkal. (Suparto Brata, 2006 : 19) Terjemahan: Matahari sekarang sudah tenggelam di bumi sebelah barat. Tinggal sinar-sinar merah menyala, biasnya masih kuat menerangi dunia. Menerangi orang membaca surat perintah dari Seksi Intelejen VDMB Mojokerto mengantarkan nyonya Inggris ke Mbrangkal. Pada pukul sembilan malam, peristiwa yang terjadi berupa Herlambang dan Ngesthireni berganti pakaian untuk menyamar sebagai gerilyawan Republik dan menimbun pakaian yang sebelumnya digunakan. Kutipan untuk waktu terjadinya peristiwa tersebut adalah sebagai berikut: Ora let suwe anggone padha mendhem turahan barang sing ora kanggo rampung. Herlambang tetep sangu tommygune lan Ngesthi nyangklong tas anaman mendhong, diiseni pistul. “Jam pira saiki, ya?” Herlambang nyawang langit, ngira-ira obahe wektu sarana lakune lintang. “Jam sanga, Java tijd,”( Java tijd = wektu ing tanah Jawa*) Ngesthi njawab sarana ndeleng jam ing ugel-ugele. (Suparto Brata, 2006 : 26) Terjemahan: commit to user
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tidak berapa lama darinya menimbun sisa barang yang tidak berguna selesai. Herlambang tetap membawa tommygunnya dan Ngesthireni menjinjing tas anyaman pandan, diisi pistol. “Jam berapa sekarang, ya?” Herlambang menatap langit, mengiraira gerak waktu dengan pergerakan bintang. “Jam sembilan, Java tijd,” (Java tijd = waktu di Tanah Jawa*) Ngesthi menjawab dengan melihat jam di pergelangan tangannya. Peristiwa berikutnya terjadi pada tengah malam yaitu ketika Herlambang dan Ngesthireni melanjutkan perjalanan ke markas gerilyawan front Peterongan setelah bangun dari tidur. Waktu dalam peristiwa tersebut tampak dalam kutipan berikut: Padha aso, padha turu. Pules. Tangi turu, isih ing tengahe alangalang, ing tengahe wengi. Terus padha gumregah, gandhengan tangan, sarimbit nutugake laku. (Suparto Brata, 2006 : 33) Terjemahan: Keduanya beristirahat, tidur. Pulas. Bangun tidur, masih di tengah alang-alang, di tengah malam. Kemudian bergegas, bergandeng tangan, berdua melanjutkan perjalanan.
b) Hari kedua. Peristiwa yang terjadi pada pagi hari, yaitu pemeriksaan Herlambang dan Ngesthireni di markas gerilyawan oleh dokter Sambudi. Peristiwa tersebut tampak dalam kutipan berikut. Petenge wengi wis ilang. Ganti padhang raina srengenge ketiga trontong-trontong nongol sangka prenahe Herlambang teka uthukuthuk mau. Dhokter Sambudi teka. Nunggang sepedhah ban mati, tanpa slebor. (Suparto Brata, 2006 : 46) Terjemahan: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
134 digilib.uns.ac.id
Gelap malam telah hilang. Berganti terang siang matahari kemarau perlahan-lahan muncul dari arah Herlambang datang pagi-pagi tadi. Dokter Sambudi datang. Naik sepeda ban mati, tanpa slebor. Peristiwa berikutnya terjadi setelah munculnya tokoh Atrum teman lama Hartono (nama asli Herlambang) di sebuah restoran di kota Jombang. Peristiwa tersebut terjadi senja hari dan dapat diketahui dari kutipan berikut: Sadurunge ninggalake restoran, Herlambang isih ngrokok barang. Rokok kretek cap Cecak weton Nganjuk, sedhepe eram. Awak wis seger maneh. Wong telu nutugake mlaku-mlaku ndeleng Kutha Jombang. Srengenge sasi Agustus ngarepake angslup, langit sisih kulon sumilak abang. (Suparto Brata, 2006 : 77) Terjemahan: Sebelum meninggalkan restoran. Herlambang masih merokok segala. Rokok kretek cap Cicak produksi Nganjuk, sedap sekali. Tubuh sudah segar kembali. Tiga orang melanjutkan berjalan-jalan melihat Kota Jombang. Matahari bulan Agustus menjelang terbenam, langit sebelah barat bersinar merah. Peristiwa yang terjadi pada malam hari, di Jombang Kiswanta mendatangi tempat tinggal temannya untuk menghubungi seseorang di Madiundan mengambil senapan otomatis yang dititipkan di tempat tersebut. Kutipan waktu terjadinya peristiwa tersebut adalah sebagai berikut: Kiswanta mlaku gegancangan marani sawenehe panggonan. Lampu listrik Kutha Jombang kurang voltasene, merdhip-merdhip abang, ora kuwawa madhangi pojok-pojoke kutha. Wondene Kiswanta marani sawenehe gedhong tuwa sing lampune luwih dening surem. (Suparto Brata, 2006 : 81) Terjemahan: Kiswanta berjalan cepat menuju sebuah tempat. Lampu listrik Kota Jombang kurang voltasenya, remang kemerahan, tidak mampu menerangi sudut-sudut kota. Sedangkan Kiswanta menuju sebuah to user gedung tua yang lampunyacommit lebih dari suram.
perpustakaan.uns.ac.id
135 digilib.uns.ac.id
Peristiwa yang terjadi pada tengah malam, untuk menghindri masalah yang kemukinan besar akan terjadi Herlambang membangunkan Ngesthireni diajak sesegera mungkin pergi karena Atrum tewas terbunuh. Kutipan waktu terjadinya peristiwa tersebut adalah sebagai berikut: Rumangsane anggone turu durung tanek. Durung tutug anggone ngrungokake swara sindhen dikendhangi nganyut-anyut tengah wengi. Ler, keturon, ndadak digugah wong. Ngesthireni gage ngrayangi tas mendhong nggone nyimpen pistul. Nanging enggal rumangsa aman, marga krungu swarane Herlambang. “Wungu, Dhik Reni. Ayo cepet-cepet lunga!” “Ana apa?” “Rajapati.! Ing ngarepan. Kene kudu enggal nyingkir! Yen nganti kebulet kedadeyan iki repot iki mengko!” (Suparto Brata, 2006 : 95) Terjemahan: Rasanya belum nyaman tidurnya. Belum selesai dalam mendengar swara sinden dikendangi sayup-sayup tengah malam. Ketiduran, mendadak dibangunkan orang. Ngesthireni segera meraih tas anyaman pandan tempatnya menyimpan pistol. Tetapi segera merasa aman, karena mendengar suara Herlambang. “Bangun, dik Reni. Ayo segera pergi!” “Ada apa?” “Pembunuhan! Di depan. Kita harus segera menyingkir! Jika sampai terjerat kejadian ini repot nanti!”
c) Hari ketiga. Peristiwa yang terjadi pada waktu fajar atau pagi hari berupa setelah Herlambang melumpuhkan Kiswanta yang ditinggal dalam keadaan pingsan. Herlambang dan Ngesthireni kemudian menumpang mobil sayur yang telah bersiap berangkat untuk melanjutkan perjalanan. Kutipan waktu terjadinya peristiwa tersebut adalah sebagai berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
136 digilib.uns.ac.id
Dinane saya padhang. Sisih wetan langite abang mbranang. Sajake wong-wong Kertosono ya wis wiwit padha tangi. Kabeh mau gawe kesusune atine sing padha lumayu ninggal montor gembos neng tengah dalan, lan wong semaput kelaran. (Suparto Brata, 2006 : 111) Terjemahan: Hari semakin terang. Sebelah timur langit merah menyala. Sepertinya orang Kertosono juga sudah mulai bangun. Semua itu membuat terburu-buru hati yang sedang berlari meninggalkan mobil kemps di tengah jalan, dan orang pingsan kesakitan.
Peristiwa yang terjadi pada siang hari, Herlambang dan Ngesthireni yang telah menyamar sebagai sopir mobil sayur dan wanitanya diperiksa oleh serombongan tentara. Kutipan waktu terjadinya peristiwa tersebut adalah sebagai berikut: Wayah awan prahoto mlebu Kutha Madiun. Ngarepake mlangkah ril sepur kang kaya-kaya tapel watese Kutha Madiun sisih lor, prahoto digledhah dening tentara sabajeg akehe. (Suparto Brata, 2006 : 121) Terjemahan: Ketika siang mobil masuk Kota Madiun. Sebelum melalui rel kereta yang seperti tapal batas Kota Madiun sebelah utara, mobil digeledah oleh serombongan tentara.
d) Hari keempat. Peristiwa yang terjadi pada pagi hari, Kiswanta tiba-tiba mendatangi kamar hotel tempat Herlambang dan Ngesthireni yang telah menyamar sebagai pedagang batik dari Sala untuk memaksa Ngesthireni ikut dengannya. Kutipan waktu terjadinya peristiwa tersebut adalah sebagai berikut: Esuk umun-umun lawangcommit kamartopanginepane bakul jarik saka user Sala didhodhoki wong. Thok-thok-thok.
perpustakaan.uns.ac.id
137 digilib.uns.ac.id
“Mbak! Mbak Ngesthi! Aku, Kiswanta! Tangi, Mbak. Manuta aku wae, kita mlayu menyang Sala, Lojiwetan! Prahotone wis siyap! Herlambang kon manut! Yen ora, kene takrangkete! Tuman! Nganggu wong tugas wae! Ayo, tangi, Mbak!” (Suparto Brata, 2006 : 127-128) Terjemahan: Pagi-pagi pintu kamar penginapan pedagang batik dari Sala diketuk orang. Tok-tok-tok. “Mbak! Mbak Ngesthi! Aku, Kiswanta! Bangun, Mbak. Menyerah padaku saja, kita lari ka Sala, Lojiwetan! Mobilnya sudah siap! Herlambang suruh menyerah! Jika tidak, sini kuringkusnya! Bandel! Mengganggu orang bertugas saja! Ayo, bangun, Mbak!”
Kutipan yang merujuk pada waktu dalam kalender, seperti penggunaan hari, minggu, bulan, dan tahun. Cerita novel DSB terjadi pada bulan Agustus tahun 1948. Terdapat tiga kutipan yang secara tersurat menyebutkan waktu pada cerita novel tersebut terjadi pada Agustus 1948, kutipan tersebut adalah sebagai berikut: Ing sasi Agustus 1948, wayah asar ana serdhadhu Walanda tanpa tandha pangkat mlebu ing Restoran Tong Sien. Sajake ora kulina mlebu mrono, nyatane sajak inggah-inggih. Ndulu solah tingkahe kang ora clandhakan, sajake dheweke wong alim, ora sugih kanca. Utawa pancen ora duwe kanca. Iki mretandhani menawa Walanda mau dhuwur pangkate, ora kulina tumindak urakan blusukan menyang restoran Cina ngono kuwi. (Suparto Brata, 2006 : 3) Terjemahan: Di bulan Agustus 1948, saat Asar ada serdadu Belanda tanpa tanda pangkat masuk ke Restoran Tong Sien. Sepertinya tidak terbiasa masuk tempat itu, nyatanya seperti ragu-ragu. Melihat gerak-gerik yang tidak sembarangan, sepertinya dia orang alim, tidak banyak teman. Atau memang tidak punya teman. Ini menandakan jika Belanda tadi tinggi pangkatnya, tak terbiasa bertindak urakan masuk restoran Cina seperti itu. Crita iki kedadean sasi Agustus 1948, grombolan komunis FDR gawe kaco Kutha Surakarta marga ora bisa nampa asil perjanjen commitslundhupan to user Renville, kawentar oleh bedhil saka negara komunis
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
luar negeri. Tanggal 18 September 1948, sesasi sawise crita iki, PKI pimpinane Muso lan Amir Syarifuddin ngraman Republik Indonesia ing Madiun. (Suparto Brata, 2006 : 102) Terjemahan: Cerita ini terjadi bulan Agustus 1948, gerombolan komunis FDR mengacau kota Surakarta karena tidak bisa menerima hasil perjanjian Renville, terkenal mendapat senapan selundupan dari negara komunis luar negeri. Tanggal 18 September 1948, sebulan setelah cerita ini, PKI pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin memberontak Republik Indonesia di Madiun. Wondene ing sasi Agustus 1948 wis suwe ora ana udan lan wilayah Batu Jamus garing, ora katon seger sanajan klebu ing alam pegunungan, ing wayah sore ana montor nyalawadi mlebu ing laladan kono saka dalan arah Masaran. (Suparto Brata, 2006 : 148-149) Terjemahan: Sedangkan di bulan Agustus 1948 sudah lama tidak ada hujan dan wilayah Batu Jamus kering, tidak terlihat segar walaupun termasuk daerah pegunungan, di waktu sore ada mobil mencurigakan masuk di daerah itu dari jalan arah Masaran.
3) Latar Sosial Latar sosial yang terdapat dalam novel DSB menggambarkan kehidupan masyarakat yang ada di jaman ketika bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Selain mempertahankan kemerdekaan dari Belanda juga mendapat ancaman pemberontakan dari golongan Sosialis/Komunis FDR. Novel DSB menampilkan kehidupan tentara Belanda di daerah kekuasaannnya, tentara RI yang pecah menjadi golongan yang pro Re-Ra dan golongan yang kontra atau menolak kebijakan Re-Ra (golongan Sosialis yang berencana untuk memberontak), serta kehidupan masyarakat yang hidup di jaman tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
139 digilib.uns.ac.id
Kehidupan tentara Belanda pada masa tersebut digambarkan mulai jenuh dengan disiplin militer yang harus selalu mereka jalani. Hal tersebut membuat mereka selalu mencari hiburan dengan mencari wanita penghibur, mabukmabukan, sekedar makan dan sebagainya jika tidak sedang bertugas atau jika ada kesempatan lain walaupun telah ada peringatan ditempat-tempat tertentu bahwa serdadu dilarang masuk. Kehidupan masyarakat yang berada di daerah kekuasaan Belanda dalam novel DSB digambarkan melalui para pelayan Restoran Tong Sien yang telah berpakaian dan merias diri layaknya orang Belanda dengan pakaian rok, memakai lipstik bahkan ada pula yang mengeriting rambut. Tentara Republik memanfaatkan keadaan tersebut dengan menyelundupkan mata-mata sebagai pelayan restoran atau berpura-pura berpihak pada Belanda untuk mencuri kabar kegiatan tentara Belanda. Ketiga hal tersebut dapat diketahui dari kutipan berikut: Restoran Tong Sien kondhang ora mung marga masakane Cina mirasa lan ngijeni, nanging uga marga sing ngladeni wong wadon-wadon ayu, rok-rokan, bengesan abing-abing. Wiwit Jaman Nippon, wis arang wong Jawa rok-rokan lan bengesan. Jaman Mardika ora lumrah wong wadon bengesan. Sing dodol lipstik uga ora ana. Bareng Walanda ngejeki kutha, barangbarang sing asat ing toko metu kabeh, kaya ta cita kembang, sabuk atom lan dhompet plastik (istilahe ya atom), lipstik, potlod. Peladen restoran Tong Sien sajake iya disandhangi mawa barangbarang gawane Walanda, malah wis ana sing mbrintikake rambut barang. Nalika semana prajurit-prajurit Walanda uga akeh sing ngelak. Ngelak kebebasan. Aturan-aturan militer kang dilakoni saben dinane, kadhang-kadhang rinasa megah-megahake. Mula yen ana kelonggaran metu saka kazerne (markas, asrama tentara) padha pating kluyur golek kebebasan. Ana sing golek wong wadon, ana sing kepengin mangan masakan Cina, ana sing ngombe-ngombe nganti mabuk. Restoran Tong Sien nyediyani kebutuhane serdhadhu-serdhadhu sing padha ngelak. Mula enggal kondhang marga laris. Wong Republik sing isih sok toklinteran neng njero Kutha commit user Mojokerto, adate dudu wong-wong sing fanatik. Weruh modele
perpustakaan.uns.ac.id
140 digilib.uns.ac.id
restoran Tong Sien ora dianggep mungsuhi utawa ngathok Walanda, nanging migunakake restoran mau kanggo kepentingan Republik. Akeh wong ayu-ayu sing wis didhidhik dadi telik sandi upayane Republik didadekake peladen kono. Akeh wong-wong Republik sing memba-memba dadi wong royal ngiras ing restoran kono sinambi ngrungok-ngrungokake pawarta kegiatane para tentara Walanda. Pemerintah Walanda uga ora kilap ing pamawas. Weruh modhele Restoran Tong Sien kang mengkono mau, enggal gawe wara-wara. Akeh gang-gang peteng, warung-warung utawa restoran-restoran dipasangi wara-wara: Verboden toegang voor militairen, para serdhadhu ora oleh mlebu, ing pamrih supaya prajurit Walanda aja padha mrono. Mengkono uga ing kusen ndhuwur lawange Restoran Tong Sien, diwenehi wara-wara mau. Nanging mau sajake wara-wara kuwi ora mutlak, nyatane akeh serdhadhuserdhadhu Walanda kang mampir mrono ngombe bir lan cekelcekelan karo wong ayu peladen ing kono. (Suparto Brata, 2006 : 13) Terjemahan: Restoran Tong Sien terkenal bukan hanya karena masakan Cinanya lezat dank has, tetapi juga karena yang melayani wanita-wanita cantik, memakai rok, berlipstik merah. Sejak Jaman Nippon, sudah jarang orang Jawa memakai rok dan berlipstik. Jaman Merdeka tidak wajar wanita berlipstik. Penjualnya juga tidak ada. Ketika Belanda menduduki kota, barang-barang yang musnah di toko keluar semua, seperti cita kembang, sabuk atom dan dompet plastik (istilahnya juga atom), lipstik, pensil alis. Pelayan restoran Tong Sien sepertinya juga diberi pakaian dengan barang-barang bawaan Belanda, malah sudah ada yang mengeritingkan rambut segala. Ketika itu prajurit-prajurit Belanda juga banyak yang haus. Haus kebebasan. Aturan-aturan militer yang dijalani setiap hari, kadangkadang terasa membosankan. Maka jika ada kelonggaran keluar dari kazerne (markas, asrama tentara) keluyuran mencari kebebasan. Ada yang mencari wanita, ada yang ingin makan masakan Cina, ada yang minum-minum sampai mabuk. Restoran Tong Sien menyediakan kebutuhan serdadu-serdadu yang kehausan. Maka segera terkenal karena laris. Orang Republik yang masih sering berkeliaran di dalam Kota Mojokerto, biasanya bukan orang-orang yang fanatik. Tahu model restoran Tong Sien tidak dianggap memusuhi atau memihak Belanda, tetapi menggunakan restoran tersebut untuk kepentingan Republik. Banyak wanita cantik-cantik yang sudah dididik menjadi commit to user mata-mata Republik dijadikan pelayan di situ. Banyak orang-orang
perpustakaan.uns.ac.id
141 digilib.uns.ac.id
Republik yang berpura-pura menjadi orang royal bersantai di restoran itu sambil mencuri dengar kabar kegiatan para tentara Belanda. Pemerintah Belanda juga tidak kilap lengah. Tahu model Restoran Tong Sien yang seperti itu, segera membuat pengumuman. Banyak gang-gang gelap, warung-warung atau restoran-restoran dipasangi pengumuman: Verboden toegang voor militairen, para serdadu tidak boleh masuk, dengan pamrih supaya prajurit Belanda jangan ke situ. Begitu juga kusen di atas pintu Restoran Tong Sien, diberi pengumuman itu. Tetapi hal itu sepertinya tidak mutlak, nyatannya banyak serdadu-serdadu Belanda yang mampir minum bir dan pegang-pegangan dengan wanita cantik pelayan di situ.
Masyarakat kecil yang setia pada pemerintahan Republik memilih mengungsi dari daerah tempat tinggalnya yang telah dikuasai Belanda karena merasa tidak aman dengan alasan menjalankan perjanjian Renville. Menurut perjanjian Renville orang-orang yang pro Republik harus pindah ke daerah Republik supaya tidak berbuat kecurangan dengan menyabotase daerah pendudukan. Kutipan dari novel DSB yang menggambarkan hal tersebut adalah sebagai berikut: Budhale sepur sidane awan banget. Ngenteni pengungsi-pengungsi resmi saka daerah pendhudhukan sing liwat Mojoagung. Pengungsi-pengungsi saka dhaerah pendhudhukan Walanda kuwi adate mlayu saka dhaerah Malang sapengetan, rumangsa ora aman ing dhaerah pendhudhukan, banjur milih ngungsi pindhah menyang tlatah Republik. Alesane ngukuhi Prejanjen Renville. Jare wong sing pro republik, kudu pindhah menyang tlatah Republik, supaya dhaerah pendhudhukan veilig ora diganggu sabotase. Wong-wong mau didhaftar lan diklumpukake dhisik ing Mojokerto, diangkut menyang Trowulan nganggo prahotone Landa, saka Trowulan menyang Mojoagung mlaku nrobos dhaerah dhemarkasi, ditampani dening PAM (panitia sing ngatur pengungsen resmi pihak Republik*) Mojoagung, terus dikirim menyang Peterongan. Anggone ngirim ditumpakake dhokar. Jam nampane pengungsi ing PAM mung wayah esuk thok, wis semayan karo pihak Landa ing Mojokerto, lan pihak stasiyun sepur ing Peterongan sing bakal nerusake para pengungsi menyang tlatah commit to user pujere Republik. (Suparto Brata, 2006 : 70-71)
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: Berangkatnya kereta akhirnya terlalu siang. Menunggu pengungsipengungsi resmi dari daerah pendudukan yang lewat Mojoagung. Pengungsi-pengungsi dari daerah pendudukan Belanda itu biasanya lari dari daerah Malang ke timur, merasa tidak aman di daerah pendudukan, lalu memilih mengungsi pindah ke daerah Republik. Alasannya mengukuhi Perjanjian Renville. Katanya orang yang pro republik, harus pindah ke daerah Republik, supaya daerah pendudukan veilig tidak diganggu sabotase. Orang-orang tadi didaftar dan dikumpulkan dahulu di Mojokerto, diangkut ke Trowulan dengan mobil Belanda, dari Trowulan ke Mojoagung berjalan menerobos daerah demarkasi, diterima oleh PAM (panitia yang mengatur pengungsi resmi pihak Republik*) Mojoagung, terus dikirim ke Peterongan. Mengirim dinaikkan kereta kuda. Jam menerima pengungsi di PAM hanya waktu pagi saja, sudah sepakat dengan pihak Belanda di Mojokerto, dan pihak stasiun kereta api di Peterongan yang akan meneruskan para pengungsi ke daerah Republik.
Dua ancaman untuk mempertahankan kemerdekaan RI, berupa adanya perang antara bangsa sendiri karena pemberontakan fihak komunis yang menolak kebijakan Re-Ra (yang merupakan tindak lanjut dari perjanjian Renville) dan juga Belanda yang mulai menyelidiki kekuatan RI dengan giat mengirimkan matamata. Hal tersebut dapat diketahui dari kutipan berikut: “… .Pihak komunis gawe ontran-ontran nampik prejanjen Renville. Dene Landa wis nylundhupke mata-mata mungsuh naker kekuatane Republik. Jogja bisa diranggeh saka Salatiga jroning nem jam… !” omonge Kiswanta ngethuprus. “Kowe ki omong apa, ta, Dhik Kis? Kowe ki bala sapa? Kok ngenyek banget karo kekuatane wong Republik?” “Lo, wong nyatane tenan! Sala saiki dadi ajang Wild West, kutha koboi. Ajang pistul-pistulan karo bangsa dhewek. Dene Walanda giyat ngirimake mata-mata ndlusup menyang tlatah Republik. Dom sumurup ing banyu. Dislundhupake liwat garis dhemarkasi kaya ing Peterongan wingi kae. …” (Suparto Brata, 2006 : 78) Terjemahan: commit to user
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“… .Pihak komunis membuat kekacauan menolak perjanjian Renville. Sedangkan Belanda sudah menyelundupkan mata-mata musuh menakar kekuatan Republik. Jogja bisa diraih dari Salatiga dalam enam jam… !” kata Kiswanta cerewet. “Kamu itu bicara apa, ta, Dik Kis? Kamu itu ikut siapa? Kok meremehkan sekali kekuatan orang Republik?” “Lho, orang kenyataanya! Sala sekarang menjadi ajang Wild West, kota koboi. Ajang pistol-pistolan dengan bangsa sendiri. Sedang Belanda giat mengirimkan mata-mata menyusup ke daerah Republik. Dom sumurup ing banyu. Diselundupkan lewat garis demarkasi seperti di Peterongan kemarin. …”
Perpecahan yang terjadi dalam pasukan militer RI secara lebih rinci dapat dilihat dari kutipan berikut: “… .Apa Sala wis direbut FDR (Front Demokrasi Rakyat, kekuatan pasukan Komunis kang andel*), dadi kutha komunis? Nalika aku keplayu biyen lak marga FDR gawe ontran-ontran Kutha Surakarta didadekake Wild West, campuh bedhil-bedhilan antarane grombolan sing anti karo sing pro Re-Ra?” (Reorganisasi lan Rasionalisasi, ngurangi akehe prajurit Republik, dicakake Perdana Mentri Mohammad Hatta minangka asile prejanjen Renville; sing ora disetujoni dening pihak FDR/komunis kang terus nglawan pemerintah Republik Indonesia sarana kraman bedhil-bedhilan, kawiwitan ing Kutha Surakarta*). (Suparto Brata, 2006 : 84) Terjemahan: “… .Apa Sala sudah direbut FDR (Front Demokrasi Rakyat, kekuatan pasukan Komunis yang handal*), jadi kota komunis? ketika aku lari dulu kan karena FDR membuat onar Kota Surakarta dijadikan Wild West, campuh tembak-menembak antara gerombolan yang anti dengan yang pro Re-Ra?” (Reorganisasi dan Rasionalisasi, mengurangi jumlah prajurit Republik, dijalankan Perdana Mentri Mohammad Hatta sebagai hasil perjanjian Renville; yang tidak disetujui oleh pihak FDR/komunis yang terus melawan pemerintah Republik Indonesia dengan pemberontakan tembak-menembak, diawali di Kota Surakarta*).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
144 digilib.uns.ac.id
Sedangkan imbas dari perberontakan fihak komunis dalam kehidupan masyarakat kecil digambarkan dengan adanya intimidasi untuk memilih Muso sebagai Presiden. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut: Ing ndalan gedhe, akeh pemudha-pemudha padha baris. Nyang alun-alun. “Sajake kok rame, nggih, Pak?” ujare Herlambang semu takon marang bakul soto. “Enggih, niki. Ajenge enten rapat raksasa! Raseksa Buta Cakil, Buta Terong… !” “O, Bung Karno pidhato napa?” “Kirang terang, Den. Ning sanes Bung Karno, kok. Turene sing dadi presiden saniki Muso! Kita-kita niki ditakeni, milih presidene sinten? Bung Karno napa Muso? Yen njawab Bung Karno terus dikeplaki. Yen njawab Muso dielem-elem!” wangsulane sing dodol soto. (Suparto Brata, 2006 : 136) Terjemahan: Di jalan raya, banyak pemuda-pemuda berbaris. ke alun-alun. “Sepertinya kok ramai, ya, Pak?” kata Herlambang agak bertanya pada penjual soto. “Iya, ini. Akan ada rapat raksasa! Rasaksa Buta Cakil, Buta Terong… !” “O, Bung Karno pidato apa?” “Kurang tahu, Den. Tapi bukan Bung Karno, kok. katanya yang menjadi presiden sekarang Muso! Kita-kita ini ditanyai, memilih presiden siapa? Bung Karno apa Muso? Jika menjawab Bung Karno terus dipukuli. Jika menjawab Muso disanjung-sanjung!” jawab penjual soto.
4) Atmosfer Latar juga memunculkan atmosfer yang melingkupi sang karakter, atmosfer yang terdapat dalam novel DSB terbagi menjadi dua, yaiu terjadi di commit to user dalam diri tokoh dan di luar diri tokoh.
perpustakaan.uns.ac.id
145 digilib.uns.ac.id
a) Di dalam diri tokoh (1) Suasana senang Suasana senang yang dirasakan tokoh Herlambang terlihat saat mengetahui bahwa Van Griensven benar-benar telah menyediakan mobil jip untuknya. Herlambang senang karena seharusnya semua kebutuhannya yang diminta dari Belanda tentu telah ada dalam mobil itu. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Herlambang seneng atine bareng weruh ana gang, lan katon jip tentara Walanda ndhelik ing eyupan. Ngarepe ditambahi canthuk wesi, piranti kanggo ngresiki kawat-kawat kang mantheng malang ing marga sing dipasang dening gerilyawan Republik. Jip mau tutupan rapet, mesthine njerone barang-barang kang dibutuhake kanggo sangune Herlambang mengko. Gita-gita wong Jawa klambi putih kuwi marani tumpakan perang mau. Lawang jip sisih kiwa dibukak, blak! (Suparto Brata, 2006 : 9-10) Terjemahan: Herlambang gembira hatinya setelah tahu ada gang, dan kelihatan jip tentara Belanda tersembunyi di keteduhan. Depannya ditambahi besi, alat untuk membersihkan kawat-kawat yang melintang di jalan yang dipasang oleh gerilyawan Republik. Jip tadi tertutup rapat, mestinya di dalamnya barang-barang yang dibutuhakan untuk bekal Herlambang nanti. Segera orang Jawa berbaju putih itu mendatangi kendaraan perang tersebut. Pintu jip sebelah kiri dibuka, blak!
Herlambang juga merasa senang ketika telah bertemu dengan Yogyantara.. Rasa senang tersebut dirasakan dengan kelegaan hati karena tugas dari atasannya untuk mencari orang tersebut dengan misi Herlambang telah terlaksana. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Herlambang manthuk. Katon lega atine dene wasanane dheweke bisa ketemu adu arep karo kepalatospion commit user sing jenenge Raden Mas Yogyantara. “Geachte Heer Raden Mas Yogyantara! Meneer
146 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Luidelmeyer laat U hatelijk groeten. Ngaturaken salam kagem panjenengan.” (Suparto Brata, 2006 : 178) Terjemahan: Harlambang mengangguk. Kelihatan lega hatinya akhirnya dia bisa bertemu dengan kepala spion yang bernama Raden Mas Yogyantara. “Geachte Heer Raden Mas Yogyantara! Meneer Luidelmeyer laat U hatelijk groeten. Menyampaikan salam kepada anda.”
Suasana senang juga dirasakan tokoh Kiswanta di penginapan/losmen kota Jombang karena gang yang menuju ke kamar mereka (Kiswanta, Herlambang dan Ngesthireni) tidak dipenuhi oleh pedagang-pedagang yang tidur di lantai seperti yang terjadi di ruang depan losmen tersebut. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Beda kahanan karo latar ngarepane losmen, mlebu sithik liwat iringan, kahanane sepi mamring, peteng. Kiswanta liwat gang mau, ing batin seneng dene gang kono ora katut dibroki tukangtukang cathut lan pedagang-pedagang kaya sisih ngarep. Ngliwati gang tekan latar mburi sepi. Sorote lampu listrik ora ndayani. (Suparto Brata, 2006 : 85-86) Terjemahan: Beda keadaanya dengan ruang depan losmen, masuk sedikit lewat samping, keadaannya sepi, gelap. Kiswanta lewat gang tersebut, dalam batin senang karena gang itu tidak ikut dipakai tukangtukang catut dan pedagang-pedagang seperti sebelah depan. Melewati gang sampai halaman belakang sepi. Sinar lampu listrik seperti tidak membantu.
Kiswanta juga merasa senang karena merasa sudah berhasil melaksanakan tugas dari Yogyantara untuk menemukan dan membantu perjalanan mata-mata Belanda. Perasaan senang tersebut disertai rasa menyombongkan diri. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
147 digilib.uns.ac.id
“Kangmas! Kula saged mapag mata-mata ingkang panjenengan dhawuhaken!” ujare Kiswanta marang Yogyantara. Mripate kinclong-kinclong, nuduhake senenge atine. “Kowe?! Oh, sokur! Sokur! Endi wonge?” “La menika! Menika pun Dyah Ngesthireni! Utusanipun Kanjeng Ratu Juliana ingkang pranyata ngedap-edapi eloking tindaktandukipun. Kula nyekseni piyambak wiwit mlebetipun ing Peterongan!” umuke Kiswanta. (Suparto Brata, 2006 : 185)
Terjemahan: “Kangmas! Saya bisa menjemput mata-mata yang anda perintahkan!” kata Kiswanta pada Yogyantara. Matanya bersinar, menandakan senang hatinya. “Kamu?! Oh, syukur! syukur! Mana orangnya?” “Lha ini! Inilah Dyah Ngesthireni! Utusan Kanjeng Ratu Juliana yang memang mengagumkan tingkah lakunya. Saya menyaksikan sendiri sejak masuk ke Peterongan!” Kiswanta menyombongkan.
Suasana senang juga dirasakan tokoh Ir. Suwandi. Rasa senang itu timbul karena puas dan kagum melihat cara kerja Herlambang yang dikiranya benarbenar utusan belanda yang berada di pihaknya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: “Nanging Herlambang kuwi spion nomer wahid. Ngerti kepriye carane metu saka pabrik, lan nggawa Kangmas Yogyantara ditemokake karo Luidelmeyer,” wangsulane Ir. Suwandi katon marem banget. “Lo, pistol-pistolan wau, mboten ateges pancakara?” “Wis mlebu skenarione Herlambang! Cara-cara yen ana alangan ing ndalan, ana gora-godha nyleneh saka galere rancangan, kudu ana serep liya carane nylametake lakune misi. Ana jodher pistulpistulan lan gontokan kang ora kanyana kaya ngana mau, Herlambang gage gumregah tandang gawe mbengkasi karya. Ya ngene iki dadine. Kangmas Yogyantara digawa pisan lunga, arep ditemokake langsung karo Luidelmeyer, jejedhuge kolone angka to user lima perwira Walanda commit sing dadi utege konspirasi misi iki,”
perpustakaan.uns.ac.id
148 digilib.uns.ac.id
wangsulane Ir. Suwandi ayem. Karo gedheg-gedheg eram manoni kridha trengginas lan cerdhase polahe Herlambang, paraga matamata sing disewa Luidelmeyer. (Suparto Brata, 2006 : 197-198) Terjemahan: “Tetapi Herlambang itu spion nomor wahid. Tahu bagaimana cara keluar dari pabrik, dan membawa Kangmas Yogyantara dipertemukan dengan Luidelmeyer,” jawab Ir. Suwandi kelihatan puas sekali. “Lho, pistol-pistolan tadi, bukan berarti masalah?” “Sudah masuk skenario Herlambang! Cara-cara jika ada halangan di jalan, ada masalah keluar dari garis rancangan, harus ada antisipasi cara lain menyelamatkan misi. Ada pistol-pistolan dan perkelahian yang tidak terduga seperti itu tadi, Herlambang segera bertindak menyelesaikan masalah. Ya beginilah jadinya. Kangmas Yogyantara dibawa pergi sekalian, mau dipertemukan langsung dengan Luidelmeyer, kepala kolone angka lima perwira Belanda yang menjadi otak konspirasi misi ini,” jawab Ir. Suwandi tenang. Dengan geleng-geleng kagum melihat kerja cekatan dan cerdas tindakan Herlambang, mata-mata yang disewa Luidelmeyer.
(2) Suasana marah Suasana marah dirasakan tokoh Ngesthireni ketika salah paham kepada Herlambang yang mengiranya benar-benar merupakan mata-mata Belanda dan teringat perlakuan buruk Herlambang padanya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Krungu kang mengkono Herlambang ngguyu mlengeh. Weruh plengehe lambene Herlambang, muntap kenepsone Ngesthireni. Dheweke kelingan pokale Herlambang mau bengi anggone deksiya marang wong wadon! “Nanging yen kowe mata-matane Republik, ya mokal! Modhelmu dudu wong kang tresna bangsa! Dudu satriyaning negara! Nyatane nyang wong wedok bangsane dhewe gelem ngremus kanthi mentalane kaya mau. Ora nduwe ngeman marang wong wadon bangsane dhewe blas! Mau bengi wis diprawasa, esuke dipriksa dhokter ora prekara lara apa waras, ya kok tegakake commit to user wae…!” (Suparto Brata, 2006 : 62-63)
perpustakaan.uns.ac.id
149 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: Mendengar hal itu Herlambang tertawa. Melihat tawa Herlambang, berkobar kemarahan Ngesthireni. Dia teringat kelakuan Herlambang tadi malam yang tega kepada wanita! “Tapi jika kamu mata-mata Republik, ya mustahil! Modelmu bukan orang yang cinta bangsa! Bukan satria negara! Nyatanya pada wanita bangsa sendiri mau menikam dengan tega seperti tadi. Tidak punya kasihan pada wanita bangsa sendiri sama sekali! Tadi malam sudah diperkosa, paginya diperiksa dokter bukan masalah sakit atau sehat, ya tega saja…!”
Suasana marah juga dirasakan Kiswanta karena cemburu pada Herlambang. Ia yakin bahwa Herlambang yang tidur bersama Ngesthireni (yang disukainya) bukanlah benar-benar suaminya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Nanging enggal eling kuwajibane. Meteg birahine. Greget atine dadi sereng, nesu. Butarepan. “Mbak wong lanang kuwi sapa ta?” mripate mencereng, janggute manggut sasmita nudingi njeron kamar. “Kowe ki kena apa? Ya genah Mas Herlambang ngono. Bojoku.” “Ah! Gak percaya aku! Kene kudu ngati-ati, lo, karo wong tepungan anyar. Mengko gek mungsuh mungwing cangklakan?” “Mungsuh mungwing cangklakan apa? Kowe rak wis meningi tenan, kepriye tingkah polahe Mas Herlambang. Ah, aja nekaneka! Yen kowe ora seneng karo bebadranku, ya lungaa sing adoh kana!” (Suparto Brata, 2006 : 92-93) Terjemahan: Tetapi segera ingat kewajibannya. Mengendalikan nafsu birahinya. Perasaan hatinya menjadi panas, marah. Cemburu. “Mbak pria itu siapa?” matanya melotot, janggutnya memberi isyarat menunjuk ke dalam kamar. “Kamu itu kenapa? Ya jelas Mas Herlambang begitu. Suamiku.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
150 digilib.uns.ac.id
“Ah! Tak percaya aku! Kita harus hati-hati, lho, dengan kenalan baru. Nanti malah musuh dalam selimut?” “Musuh dalam selimut apa? Kamu kan sudah tahu benar, bagaimana tingkah laku Mas Herlambang. Ah, jangan sembarangan! Jika kamu tidak suka pada keluargaku, ya pergilah yang jauh sana!” Suasana marah yang tertahan menjadi rasa kebencian yang besar dirasakan oleh tokoh Herlambang kepada tokoh Pengkuh setelah diadakan pemeriksaan terhadapnya dan Ngesthireni. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Herlambang ora seneng congkreh ing ngarepe wong akeh mengkono. Luwih-luwih nonton mripate Pengkuh sing nyalatnyalat, bencine mudal. Nanging sikepe prawira kudu dijaga supaya ora njugarake anggone nylamur (Suparto Brata, 2006 : 54). Terjemahan: Herlambang tidak suka bertengkar di depan orang banyak begitu. Lebih-lebih melihat mata penkuh yang menyala-nyala, kebenciannya meledak. Tetapi sikap perwiranya harus dijaga supaya tidak merusak penyamarannya. (3) Suasana terburu-buru Suasana terburu-buru dirasakan tokoh Herlambang dan Ngesthireni di Kertosono ketika lari meninggalkan Kiswanta yang pingsan setelah berkelahi dengan Herlambang di sebelah mobil curian yang bannya kempes tertembak oleh Kiswanta. Rasa terburu-buru tersebut muncul karena hari mulai terang dan orangorang Kertosono sudah mulai bangun tidur. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Dinane saya padhang. Sisih wetan langite abang mbranang. Sajake wong-wong Kertosono ya wis wiwit padha tangi. Kabeh mau gawe kesusune atine sing padha lumayu ninggal montor gembos neng commit to user
151 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tengah dalan, lan wong semaput kelaran. (Suparto Brata, 2006: 111) Terjemahan: Hari semakin terang. Sebelah timur langit merah menyala. Sepertinya orang Kertosono juga sudah mulai bangun. Semua itu membuat terburu-buru hati yang sedang berlari meninggalkan mobil kemps di tengah jalan, dan orang pingsan kesakitan.
(4) Suasana bingung. Suasana bingung dirasakan tokoh Ngesthireni ketika Herlambang yang seharusnya segera keluar dari pabrik untuk menyelamatkan diri mereka dan misinya malah menuju ke kantor administrasi pabrik tersebut. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: “Saiki kepriye, Her?” pitakone Ngesthireni uga mbukak lawang, arep metu. Jan bingung tenan karo apa sing arep ditindakake dening Herlambang. Mau jare kudu enggal amblas saka pabrik, saiki kok ayem, ora kesusu-susu ngono. Mesine dipateni, mudhun, malah sajake arep mampir ing kantor administrasi. Mangka Yogyantara ya digawa. Apa printahe misine durung rampung? Manut kandhane wong pincang wakile Yogyantara mau rak misi adi kuwi yen bisa ngliwati gardhu panjagan wis bakal aman, ora kejodheran? “Awake dhewe ora terus metu saka kene, Her? Arep apa maneh?” (Suparto Brata, 2006 : 198-199) Terjemahan: “Sekarang bagaimana, Her?” Tanya Ngesthireni juga membuka pintu, akan keluar. Sungguh-sungguh bingung dengan apa yang akan dilakukan oleh Herlambang. Tadi katanya harus segera pergi dari pabrik, sekarang kok tenang, tidak terburu-buru begitu. Mesin dimatikan, turun, malah seperti akan mampir kantor administrasi. Padahal Yogyantara juga dibawa. Apa printah misinya belum selesai? Menurut kata orang pincang wakil Yogyantara tadi kan misi penting itu jika bisa melewati penjagaan sudah akan aman, tidak ketahuan? “Kita tidak terus keluar dari sini, Her? Mau apa lagi?” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
152 digilib.uns.ac.id
b) Di luar diri Tokoh (1) Kota Mojokerto Mengambarkan suasana daerah yang kacau karena merupakan daerah kekuasaan Belanda setelah Agresi Militer yang dikukuhkan perjanjian Renville. Sesuai hasil perjanjian tersebut seharusnya tentara RI harus ditarik mundur dari dearah kekuasaan Belanda seperti Pasukan Siliwangi dari Jawa Barat tetapi tentara di Mojokerto tidak meninggalkan kota terlalu jauh. Mereka bermarkas di batas kota dan sering bergerilya mengacau kota Mojokerto. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut: Kondhang merga nalika semono durung akeh wong wani bukak restoran. Jamane lagi kisruh. Wadyabala Krajan Walanda wis sawetara suwe ngebroki Kutha Mojokerto, nanging tentara Republik ora adoh olehe nyingkir menyang njaban kutha. Gek saben-saben mlebu kutha; gawe rerusuh ing tlatahe mungsuh, terus ngilang menyang sabrang kali. (Suparto Brata, 2006 : 1) Terjemahan: Restoran yang sedang terkenal di kota Mojokerto. Terkenal karena ketika itu belum banyak orang berani membuka restoran. Jaman sedang kacau. Tentara kerajaan Belanda sudah sementara lama menduduki Kota Mojokerto, tetapi tentara Republik tidak jauh menyingkir ke luar kota. Sesekali masuk kota, mengacau daerah musuh kemudian enghilang ke seberang sungai.
(2) Markas Gerilyawan Suasana kampung yang digunakan sebagai markas para gerilyawan diceritakan sepi dari penduduk yang telah mengungsi, sehingga rumah-rumah di daerah tersebut dapat digunakan dengan leluasa untuk markas. Suasana markas tidak begitu mencerminkan pusat kegiatan gerilyawan karena di dalamnya tidak commit to user terlihat tentara dan senjata, hanya tikar yang memenuhi pendapa dan satu dua
153 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bantal serta pencahayaan yang remang-remang di malam hari. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan berikut: Kampung kono klebu kampung ngarep dhewe, cedhak karo tapel wates papane perang. Mula omah-omah sepi, akeh sing suwung marga ditinggal ngungsi. Sagriwa milih omah tembok kang duwe pendhapa gedhe, bisa uga nggone kamituwa, dienggo markas. Markas tentara republik garis ngarep, ora kebak serdhadhu lan gamane, nanging gelaran klasa kana-kene ngebaki jogan pendhapa, ana bantale siji loro. Lampune teplok, urupe melipmelip. (Suparto Brata, 2006 : 42) Terjemahan: Kampung itu termasuk paling depan, dekat dengan tapal batas tempat perang. Maka rumah-rumah sepi, banyak yang kosong karena ditinggal mengungsi. Sagriwa memilih rumah tembok yang berpendapa besar, bisa juga tempat tinggal kamituwa, digunakan sebagai markas. Markas tentara republik garis depan, tidak banyak serdadu dan senjata, tetapi di sana-sini tikar tergelar memenuhi lantai pendapa, ada satu dua bantal. Lampunya lentera, sinarnya remang-remang.
(3) Kota Jombang Kota Jombang merupakan kota persinggahan para pedagang untuk sekedar menginap sambil menunggu kereta api keesokan harinya. Oleh karena itu penginapan di daerah tersebut selalu dipenuhi pengunjung, sampai pemilik penginapan juga menyediakan tikar dan bantal untuk menginap di ruang tengah. Selain
digunakan
sebagai
kota
persinggahan,
juga
digunakan
untuk
menggambarkan keadaan masa perjuangan bangsa Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Hal tersebut terlihat dari adanya pemuda pejuang yang wajar bepergian membawa senjata, terlihat dari kutipan berikut: Kamar gedhong losmen sing madhep ruwang tengah wis kebak. Karo dene kamar-kamar mau amba-amba, padhatan kanggo wong commit to user lima utawa luwih. Yen wis bengi malah ruwang tengah barang
perpustakaan.uns.ac.id
154 digilib.uns.ac.id
kuwi dienggo inepan para bakul sing arep nyepur esuk. Sewane murah banget. Sing duwe losmen nyepaki bantal lan klasa thok ing ruwang tengah sing amba bawera kuwi. Sawise ngaso sawatara, wong telu padha ajak-ajakan metu, mlaku-mlaku ndeleng kutha Jombang. Karo padha arep mangan. Herlambang ora ninggal tommygune, dene Ngesthireni ora lali nyangklong tas anyaman mending. Sajake Kiswanta rada gela wong-wong mau ora padha ninggalke barang-barang kuwi, sanajan lumrah ing kutha-kutha Republik jaman semana pemudhapemudha mlaku-mlaku nggawa pistul utawa bedhil pratandha yen pemudha kang kaya ngono kuwi pejuang kang kerep tugas menyang front, bertempur nglawan Landa. (Suparto Brata, 2006 : 73) Terjemahan: Kamar gedung losmen yang menghadap ruang tengah sudah penuh. Begitu juga kamar-kamar tadi luas-luas, biasanya untuk orang lima atau lebih. Jika sudah malam malah ruang tengah itu juga untuk penginapan para pedagang yang akan berkereta besok pagi. Sewanya murah sekali. Pemilik losmen menyediakan bantal dan tikar saja di ruang tengah yang lebar dan luas itu. Setelah beristirahat sejenak, tiga orang saling mengajak keluar, jalan-jalan melihat kota Jombang. Juga akan makan. Herlambang tidak meninggalkan tommygunnya, sedangkan Ngesthireni tidak lupa menjinjing tas anyaman pandan. Sepertinya Kiswanta agak kecewa orang-orang itu tidak meninggalkan barang-barang itu, walaupun wajar di kota-kota Republik jaman itu pemuda-pemuda jalan-jalan membawa pistol atau senapan tanda jika pemuda yang seperti itu tadi pejuang yang sering tugas ke front, bertempur melawan Belanda.
(4) Jalan antara Jombang-Kertosono Menggambarkan suasana terburu-buru untuk sampai Kertosono dan keadaan jalan di jaman ketika cerita tersebut terjadi. Banyak rintangan berupa lubang-lubang yang sengaja dibuat, bantalan karung pasir atau batang pohon besar di jalan antara Jombang-Kertosono yang membuat mobil harus berbelakbelok menghindarinya. Kutipan yang mendheskripsikan hal tersebut adalah commit to user sebagai berikut:
155 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Playune montor kaya disawatke. Enggal-enggal tekan Kertosono. Dalane bledug, saben-saben kudu menggak-menggok merga lurunge dijuglangi, dirintangi bantalan karung pasir, utawa dialangi tegoran wit gedhe pingir lurung malang-malang. (Suparto Brata, 2006 : 103) Terjemahan: Lajunya seperti dilemparkan. Menyegerakan sampai Kertosono. Jalan berdebu, sekali-kali harus berbelak-belok karena jalannya dilubangi, dihalangi bantalan karung pasir, atau dihalangi tebangan pohon besar pinggir jalan yang melintang.
(5) Pasar Pasar pada cerita novel DSB suasananya sama dengan pasar-pasar normal, ramai oleh banyaknya orang dan suara. Tetapi yang membedakan adalah pasar dalam cerita tersebut digambarkan masih menggunakan kereta kuda sebagai angkutan. Herlambang saka hotel panginepane, mbrobos gendheng, terus mlembar-mlembar liwat wuwung omah, jebus dalan prenah mburi hotel. Anjlog, terus gegancangan mlaku ngetan, menyang pasar. Pasar gedhe wis rame, dhokar saka brang kulon lan kidulan akeh sing wis teka, nggawa kasile karang kekitren saka ndesa. Herlambang mblusuk mlebu pasar, awor wong sing lagi umyek. Tolah-toleh, terus mlaku maneh nguncug ngetan, liwat los-los bakul sembet. (Suparto Brata, 2006 : 135) Terjemahan: Herlambang dari hotel penginapan, menerobos genteng, kemudian mengendap-endap lewat atap, tembus jalan belakang hotel. Terjun, kemudian segera berjalan ke timur, ke pasar. Pasar besar sudah ramai, kereta kuda dari arah barat dan selatan banyak yang sudah tiba, membawa hasil bumi dari desa. Herlambang menyusup masuk pasar, menyatu dengan orang-orang ramai. Menolah-noleh, kemudian berjalan lagi lurus ke timur, lewat kios-kios pedagang kecil.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
156 digilib.uns.ac.id
(6) Stasiun Masaran Keadaan stasiun Masaran sepi, jauh berbeda dengan suasana stasiun lain yang ditampilkan dalam cerita novel DSB. Stasiyun Masaran sepi. Beda karo Madiun mau. Beda karo Peterongan. Wayah panas banter, stasiyun Masaran sepi mamring, sing jaga padha leyeh-leyeh, utawa nggloso ing bangku. Ewa samana nalika wong nggawa pikulan lan kurungan manuk liwat stasiyun kuwi, ana wong sing nyapa; “Jeng teng pundi, mase?” (Suparto Brata, 2006 : 141) Terjemahan: Stasiun Masaran sepi. Beda dengan Madiun tadi. Beda dengan Peterongan. Saat panas-panasnya, stasiun Masaran sepi sunyi, yang jaga duduk-duduk, atau terkulai di bangku. Meskipun begitu ketika orang membawa pikulan dan kurungan burung lewat stasiun itu, ada orang yang manyapa, “Mau kemana, mas?” (7) Penutupan Misi Herlambang Menggambarkan suasana bahagia, banyak tamu undangan untuk merayakan keberhasilan Misi Herlambang. Pesta perayaan yang merupakan gabungan pesta gaya Barat (standing party) dengan pesta adat Jawa yang menyajikan bubur sungsum sebagai tanda penutupan acara inti. “Wis, aja regejegan. Ayo bali nutugake pasamuwan iki,” ujare Suprayoga, sing banjur keplok-keplok, para rawuh diaturi bali lungguh ing panggonane dhewe-dhewe. Pirena mangayu bagya bab kasile misi Herlambang arep ditutugake sarana dhaharan. Klebu dhaharan bubur sungsum, minangka pratandha panutupe misi Herlambang kang wis klakon kanthi prayoga. (Suparto Brata, 2006 : 235) Terjemahan: “Sudah jangan bertengkar. Ayo kembali melanjutkan acara ini,” kata Suprayoga, yang kemudian bertepuk tangan, para tamu dipersilahkan kembali duduk di tempatnya masing-masing. Pesta perayaan keberhasilan misi Herlambang akan dilanjutkan dengan makan-makan. Termasuk makan bubIur sungsum, sebagai tanda commit user penutupan misi Herlambang yang to telah berjalan dengan baik.
perpustakaan.uns.ac.id
157 digilib.uns.ac.id
d. Tema Tema merupakan suatu gagasan atau ide sentral yang menjadi pangkal tolak peristiwa dalam cerita. Tema dalam sebuah cerita dibedakan menjadi dua, yakni tema sentral atau tema mayor dan tema bawahan atau tema minor. Tema sentral atau tema pokok atau tema mayor merupakan makna pokok yang menjadi dasar atau gagasan utama cerita. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar keseluruhan cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Berbeda dengan tema bawahan atau tema minor, yaitu makna yag terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita atau makna tambahan. Makna tambahan itu bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama atau keseluruhan cerita. Analisis tema dalam novel Dom Sumurup ing Banyu adalah sebagai berikut.
1) Tema bawahan dalam novel Dom Sumurup ing Banyu. Tema bawahan dalam cerita novel DSB muncul karena adanya tokoh dan konflik yang terjadi. Unsure tema bawahan akan menciptakan tema utama atau tema sentral. Tema bawahan yang dapat dikutip antara lain, patriotisme, profesionalisme, dan pengkhianatan. a) Patriotisme Herlambang mempunyai jiwa patriotis, walaupun dia seorang mata-mata. Akan tetapi Herlambang adalah mata-mata yang berjuang untuk kemerdekaan RI. Cerita novel Dom Sumurup ing Banyu ini, herlambang menyamar sebagai matamata Belanda yang diutus untuk mengambik gambar rumusan pabrik mesiu Batu Jamus. Berbekal pengalaman ketika masih berjuang di Purwodadi, Herlambang commit to user
158 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tugas tersebut. Tugasnya sebagai spion berangkat dari kota Mojokerto, karena menurut rancangan dia harus menemui van Grinsven di kota tersebut. Van Grinsven akan memberikan petujuk dan mempersiapkan semua keperluan Herlambang untuk melakukan misinya. Sikap patriotis herlambang tersebut ditunjukkannya ketika berada di Jombang dan berbincang dengan Kiswanta. “lo, nyatane tenan! Sala saiki dadi ajang wild west, kotha koboi. Ajang pistul-pistulan karo bangsa dhewek. Dene Walanda giyat ngirimske mata-mata dlusup menyang tlatah republic. Dom sumurup ing banyu. Dislundupake liwat garis dhemarkasi kaya ing Peterongan wingi kae. Aku ngreti kok…!” “Ngreti ngono , kowe yo meneng wae? Ora kok lapurke komandanmu? “Komandanku ki dudu wilayah kene. Wilayah Surakarta kana…” “Yen aku nemoni mata-mata Walanda ngono kuwi, ya sida dak pateni tenan! Sapa wae ngrugekake Republik kudu dakbrasta!” ujare Herlambang kereng. Kiswanta mendeliki Herlambang. Rumangsa di semoni. Utawa diancam. Anggota TP Gemolong kuwi kaya patriot-patriota dhewe…(Suparto Brata, 2006:78). Terjemahan: “Ini kenyataan! Sala sekarang jadi kota koboi. Ajang tembaktembakan dengan bangsa kita. Belanda giat menyelundupkan matamata ke daerah kita. Dom Sumurup ing Banyu. Seperti di Peterongan kemarin. Aku tahu kok . . .!” “Tahu begitu kamu juga diam saja?” “Komandanku bukan daerah sini.” “Kalau aku menemui mata-mata, ya aku bunuh sekalian. Harus diberantas.” Kiswanta memelototi Herlambang. Merasa diancam.
Pengkuh juga seorang yang memiliki sikap patriotis. Dia adalah seorang pejuang yang gigih. Dia menjaga bangsanya dari serangan Belanda yang saat itu sedang gencar-gencarnya menyelundupkan mata-mata ke tanah Republik. Sikap patriotis Pengkuh ditunjukan dalam kutipan berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
159 digilib.uns.ac.id
Pengkuh ngadeg. “Pak,kula dados pembantu sampeyan mboten marga dibayar. Kula dados pembantu tentara margi tresna kula teng wutah rah lan bangsa kula. Dene kleresan dadi bawahan sampeyan, nggih nasib kula. Nanging kula kedah ikhtiyar nyaekaken nasib kula piyambak anggen kula badhe lelabuh nagari. Mila wiwit wekdal niki kula nyuwun medal saking tentara klerehan sampeyan. Tiyang kalih niki genah mata-mata mungsuh. Ajeng kula urus piyambak!” (Suparto Brata, 2006 : 56). .... “Pengkuh mesthine ya teka, wong ya oleh uleman mrene. Nanging embuh, kok durung ana katon. Wah, konyol cah kuwi. Semangate ora kena dieluk! Iya, ta? Jarene bisane ngawasi kowe sakloron mung tekan Jombang. Terus kelangan lacak. Ngreti kowe mlayu karo wong CI jare amblas ngulon, Pengkuh gage golek nunutan angkutan nututi ngulon. Weruh ana mobil . . . . . .” Ir. Suprayoga melu ngumpul karo nggawa panganan suguhan, dipangan dhewe, “La yen Letnan Pengkuh, pancen patriot sejati. Keyakinane ora kena disepelekake. Mula ngotot nerka yen Hartono karo Ngesthi iki mata-mata mungsuh.” (Suparto Brata, 2006:215-216). Terjemahan: Pengkuh berdiri. “Pak, saya menjadi pembantumu bukan karena dibayar. Saya menjadi pembantu tentara karena cinta saya pada tumpah darah dan bangsaku. Saya jadi bawahanmu, itu sudah nasib. Namun saya harus berusaha memperbaiki nasib saya sendiri. Maka dari sekarang saya keluar dari tentara pimpinanmu. Dua orang ini jelas mata-mata musuh.” ... “Pengkuh harusnya datang. tapi entahlah, kenapa belum datang. semangatnya tidak dapat dibendung. Katanya telah mengawasi keduanya sampai Jombang. Lalu kehilangan jejak. “ Ir. Suprayoga ikut berkumpul membawa makanan, dimakan sendiri. “Pengkuh memang patriot sejati. Keyakinannya tidak bisa disepelekan. Makanya ia ngotot kalau Hartono dan Ngesthireni mata-mata.”
b) Profesionalisme Tema bawahan “profesionalisme” ini ditunjukan oleh seorang Herlambang yang sedang mengemban tugas sebagai mata-mata. Herlambang menjalankan tugas ini dengan lancer. Keprofesionalan Herlambang ini ditunjukan dari awal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
160 digilib.uns.ac.id
cerita hingga akhir. Dia melakukan berbagai penyamaran, hingga ia tidak sengaja bertemu Atrum (temannya ketika di Purwadadi) saat berada di Jombang. Herlambang harus berbohong dan pura-pura tidak mengenal Atrum, karena ketika itu dia sedang menjalankan tugas mata-mata yang tak mau rahasianya terbongkar di depan Ngesthi dan Kiswanta. “His, dudu!” Hartono ngethok gunem. “Atrum mono pancen kurban salah kedadean. Kacilakan. Atrum dudu klerehane Letnan Pengkuh. Dheweke pancen wong Purwodadi, kancaku neng asrama ing front kana. Bocahe pancen ndhugal, brangasan, nanging lugu. La kuwi sing dak wedeni yen aku diterka kakehan dosa. Neng Jombang kae, Atrum nyapa aku ing sakjujur-jujure atine. Nanging aku ngaling, marga ing kana aku dudu Hartono kancane, aku Herlambang spionase Walanda. Anggone nyapa Atrum ing ngarepmu lan Kiswanta, dadi kudu daksamarake identitasku sing tenan (Suparto Brata, 2006:229). Terjemahan: “Bukan!” Hartono memotong pembicaraan. “Atrum memang korban. Kecelakaan. Dia bukan suruhan Pengkuh. Dia memang orang Purwadadi, temanku. Dia lugu. Di Jombang Atrum memang menyapaku, tapi aku mengelak, sebab aku menyamar jadi Herlambang. Karena di depanmu dan Kiswanta, aku pura-pusa tak kenal. c) Pengkhianatan Herlambang juga melakukan pengkhianatan, karena keprofesionalannya. Herlambang harus berkhianat terhadap Atrum teman satu asrama ketika di Purwadadi, yang mengakibatkan kematian Atrum. Kematian Atrum disebabkan ketidakpercayaannya akan perkataan Herlambang saat di restoran Sedhep Malem, yang pura-pura tidak mengenalnya. Atrum ingin kembali menemui Herlambang di penginapan tempat Herlambang bermalam. Namun, belum sempat bertemu dengan Herlambang, Atrum dikejutkan oleh kedatangan Kiswanta yang langsung commit to user menantangnya berkelahi. Kemudian matilah Atrum dibunuh Kiswanta.
perpustakaan.uns.ac.id
161 digilib.uns.ac.id
Restoran Sedhep Malem beda karo restoran Tong Sien. Ambune mangsakane ora muda, lan ing kono ora adol bir, tanpa peladen noniek Jawa rok-rokan. Ewa semana Herlambang olehe mangan dhokoh. Lagi enak-enake mangan mengkono, pundhake dicablek uwong, “Ton! Nggethune olehmu mangan, Ton!” Herlambang noleh. Kanca-kancane sak meja uga nyawang wong sing ngluruhi Herlambang. Wonge ngguyu mlengeh, untune gedhegedhe. Klambine ulese soklat sogan, potongan lasykar. Sikepe grapyak, sanajan potongan awake dhempal lan kau. Herlambang genah yen ora ngarep-arep duwe tepungan neng Jombang. Mula mung kelik-kelik nyawang wong dhempal sing semanak kuwi…. “Aku Atrum, Ton! Mongsok lali? Kapan kowe teka Mrene?”…. “Maaf. Jenengku dudu Ton,” (Suparto Brata, 2006:73-74). Terjemahan: Restoran Sedhep Malem berbeda dengan Tong Sien. Aroma masakan berbeda, tidak berbau bir, dan tanpapelayan cantik. Sedang asyiknya makan, Herlambang ditegur orang. Herlambang menoleh, teman-temannya ikut menoleh. Orang itu tersenyum. Herlambang tak berharap bertemu dengan orang yang mengenalnya. Kemudian Herlambang dikhianati oleh Kiswanta. Kiswanta ikut perjalanan Herlambang dan Ngesthireni sejak dari Peterongan hingga sampai ke Jombang. Dari awal pertemuan, Herlambang sebenarnya tidak menginginkan Kiswanta ikut bersama mereka. Hingga akhirnya terbukti Kiswanta mencoba menyingkirkan Herlambang dari Kiswanta dan Ngesthireni. Karena Kiswanta menganggap Ngesthireni adalah mata-mata Belanda yang harus dilindungi, dan dibawa bersamanya untuk menemui Yogyantara di Batu Jamus. “Kok dha ora ngrungokake, ta? Coba starteren!” printahe Herlambang. Kiswanta nyekel setir, ngidak gas. Kawat-kawat strum digoleki, digandhengake mesine nggereng. Ngreti mesine apik, Herlambang nutup kudhunge mesin motor. Saka sopiran, sarana keclapane banyu Kali Brantas ing latar mburi, katon jenggerenge commit to user Herlambang ungkrak-ungkrek mbenerake tutup mesin,
perpustakaan.uns.ac.id
162 digilib.uns.ac.id
methongkrong ing slebor ngarep. Lawang sopiran ditutup ngeget, preseling mlebu siji, gas dipancal, mara-mara montore mlaku. Sing nongkrong neng slebor kageblag tiba. Kiswanta ing sopiran nyleyotake lakune montor supaya roda mburi mlindhes Herlambang sing tiba glundhungan. Ngesthireni njerit gage ngrebut setir, nanging Kiswanta kanthi kasar nyikut dhadhane Ngesthi, dhug! Seru banget. Ngesthi nggeblag, dhadhane krasa ampeg. Sawatara lakune montor sleyotan meh nabrak buk kreteg Brantas nanging terus kenceng mlebu dalan maneh, mlebu kreteg (Suparto Brata, 2006:108). 2) Tema utama (sentral) Tema utama dalam cerita novel DSB ini adalah mata-mata (spionase). Alasan mengapa tema utamanya adalah mata-mata karena novel ini menceritakan tugas yang diemban seorang Herlambang yaitu sebagai mata-mata. Dari awal cerita sampai akhir mrnceritakan tentang perjalanan dan misi seorang mata-mata. Herlambang melakukan penyamaran-penyamaran untuk mencapai tujuan misinya. Segabai seorang spion harus dapat melakukan tugasnya dengan professional atau bahkan rela berkhianat terhadap temannya, karena arti dari dom sumurup ing banyu adalah mata-mata. Seorang mata-mata harus cekatan, berani, pintar dalam segala hal, dan rela melakukan apa saja untuk misi yang diembannya. Dan Herlambang melakukan semua hal tersebut. Awalnya Herlambang bertindak sebagai spion Negara Belanda yang akan melakukan perjalanan menuju pabrik mesiu Batu Jamus, guna mengambil dan memotret gambar rumusan pabrik mesiu. Gambar rumusan pabrik mesiu Batu Jamus tersebut, kemudian diserahkan kembali ke Belanda untuk perencanaan peledekan pabrik tersebut. Akan tetapi di akhir cerita Herlambang bertindak sebaliknya, dia menggagalkan rencana tersebut. Herlambang berbalik membela RI commit to user berjuang melindungi asset Negara yang penting. Ternyata tokoh Herlambang
perpustakaan.uns.ac.id
163 digilib.uns.ac.id
sebenarnya bernama Hartono. Berjuang untuk Negara Indonesia, diutus oleh Biro Spionase Republik Indonesia menyamar sebagai Herlambang. Biro Spionase RI sebelumnya pernah mengetahui pesan-pesan yang dikirim dari pemancar LUI (si Surabaya) kepada pemancar JA-8 atau sebaliknya. Isi pesan-pesan tersebut yaitu ingin merencanakan meledakan pabri mesiu Batu Jamus. Namun sebelum dilakukannya peledakan pabrik mesiu tersebut, pihak Belanda dalam hal ini Luidelmeyer akan menggunakan jasa seorang Herlambang untuk memotret dan membawa gambar rumusan pabrik mesiu batu Jamus agas tidak salah sasaran. Sosok Herlambang menurut cerita, adalah seorang yang pintar dan mempunyai kemampuan memotret suatu gambaran atau keadaan tanpa menggunakan kamera. Herlambang diceritakan pernah membantu pasukan Inggris ketika penyerbuan di Tarakan, dan kemampuannya itulah yang tidak diragukan lagi oleh pemerintahan Belanda untuk mnyewa dirinya. Maka setelah menimbang dan mengetahui rencana Herlambang trsebut, Biro Spionase RI mengutus Hartono untuk menyamar sebagai Herlambangdan menggagalkan rencana tersebut, karena sebenarnya pihak belanda tidak tahu pasti keberadaan juga sosok seorang Herlambang. Dan Hartono dengan apik melakukan dom sumurup ing banyu ini.
2) Sarana Sastra a. Judul Kalimat bahasa Jawa dom sumurup ing banyu yang dijadikan sebagai judul novel ini mempunyai arti mata-mata (spion). Pengarang mengambil judul ini diangkat sebagai karya sastra, karena novel yang ditulis pengarang menceritakan commit to user tentang perjalanan misi seorang mata-mata terkenal. Seorang mata-mata tersebut
perpustakaan.uns.ac.id
164 digilib.uns.ac.id
yang sekaligus menjadi tokoh utama dalam novel DSB adalah Herlambang. Seorang Herlambang diceritakan sebagai mata-mata yang menjalankan misi berat. Misi tersebut yaitu diutus oleh tentara Belanda untuk mengambil dan memotret gambar rumusan pabrik mesiu di Batu Jamus yang menurut rencana pabrik tersebut akan diledakkan oleh pasukan Belanda. Namun sebelum pabrik tersebut dibumi hanguskan, pihak Belanda mengirim Herlambang untuk memotret rumusan gambar pabrik mesiu, supaya pengeboman tidak salah sasaran. Herlambang diceritakan sebagai mata-mata yang mempunyai kemampuan yang luar biasa. Dia dapat memotret dengan tanpa alat, kamera, untuk mengambil sebuah gambaran. Herlambang memotret gambar hanya dengan mata dan menyimpannya di memori otaknya. Jika orang lain ingin meliahat gambaran tersebut, ia tinggal menggambarkannya kembali. Itulah kelebihan Herlambang yang dikagumi pasukan Belanda untuk menjalankan misi ini. Karena dengan begitu gambar rumusan tersebut akan dapat dibawa kembali ke pasukan Belanda tanpa dicurigai oleh tentara RI. Selain itu, Herlambang juga pernah melakukan hal yang sama, yaitu membantu pasukan Inggris ketika penyerbuan di Tarakan dan itu berhasil. Karena itulah Belanda tidak meragukan lagi untuk menyewa kemampuan Herlambang. Awal mula perjalanan misinya, Herlambang harus menemui Van Grinsven yang memastikan bahwa pemerintah Belanda benar-benar membutuhkan dirinya. Dia juga tidak sengaja bertemu Dyah Ngesthireni yang dalam cerita novel DSB ini, membantu Herlambang dalam melakukan penyamaran-penyamaran sebagai mata-mata untuk menuju ke Batu Jamus menemui RM. Yogyantara. Banyak rintangan dalam menjalankan tugasnya, namun sebagai seorang mata-mata dia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
165 digilib.uns.ac.id
harus siap disegala hal. Semua rintangan dilaluinya dengan tenang, sampai akhirnya ia berhasil berada di pabrik mesiu Batu Jamus. Namun, sesampainya ia di Batu Jamus, misinya berbeda pada saat awal dia diceritakan dalam novel DSB ini. Herlambang mempunyai misi mengungkap pengkhianatan terhadap RI (pemilik pemancar JA-8) yang berhasil berhubungan dengan pasukan Belanda untuk merencanakan meledakan pabrik mesiu Batu Jamus. Ternyata sebenarnya Herlambang adalah seorang telik sandi, yaitu mata-mata RI yang dikirimkan Biro Spionase RI di Sala, yang ditugaskan untuk menggagalkan rencana itu. Herlambang adalah nama samaran, nama sebenarnya adalah hartono. Hartono menyamar sebagai Herlambang menjalankan misi dom sumurup ing banyu untuk melindungi RI dari serangan musuh. Dari uraian diatas novel dengan judul Dom Sumurup ing Banyu yaitu mengkiaskan makna dan gambaran dari tulisan pengarang, yaitu cerita atau gambaran tentang spionase (tugs mata-mata).
b. Sudut Pandang Sudut pandang adalah dasar bagi pembaca untuk melihat berbagai peristiwa yang digambarkan oleh pengarang. Pengarang sengaja memilih sudut pandang secara berhati-hati agar dapat memiliki berbagai posisi dan berbagai hubungan dengan setiap peristiwa dalam cerita (baik di dalam maupun di luar tokoh), dan secara emosinal terlibat atau tidak. Sudut pandang dibedakan menjadi 4 tipe utama yaitu orang pertamautama, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri; orang pertamacommit to user sampingan, cerita dituturkan oleh satu karakter sampingan; orang ketiga-terbatas,
166 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga, tetapi hanya mengambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan diperkirakan oleh satu orang karakter saja; orang ketiga-tidak terbatas, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga, pengarang juga dapat membuat beberapa karakter, melihat, mendengar, atau berfikir, atau bahkan saat tidak ada satu karakter pun hadir (Robert Stanton 2007 : 53-54). Novel DSB secara keseluruhan dihadirkan pengarang melalui sudut pandang orang ketiga-tidak terbatas. Pencerita memposisikan diri sebagai orang ketiga, beberapa karakter, melihat, mendengar atau berfikir (dalam posisinya sebagai orang ketiga/bukan „aku‟) dan bercerita tanpa kehadiran satu karakter pun. Hal itu dapat diketahui dari beberapa kutipan berikut: Dheweke njujug ing bar, sawise mikir-mikir sedhela, banjur pesen bir sabotol. Sadurunge botol lumadi dheweke ngulat-ulatake swasanane restoran. Rogoh-rogoh sak, ndudut rokok Davros saeler, nanging ora enggal diudut. Nganti botol lan gelas lumadi, rokok dislempitake ing lambene, nggagapi kanthongan golek korek ora nemu-nemu. Jres! Ana wong liya ngurupake korek, dicungake marang rokoke serdhadhu Walanda mau. Walanda mau ora enggal ngempakake rokok, nanging nyawang dhisik marang wong sing menehi geni. Mripate ireng, alis njengkerut, kulit sawo mateng. “Dank U well!” wasana ujare. Lan banjur ngempakake rokoke. “Ora penak ngombe bir ijen,” wong sing aweh geni mau omong. Dedege pidegsa. Klambine putih lengen dawa, clanane biru gabardin. Sajak wong sing kulina urip mubra-mubru. “Pancen. Ayo, kancanana aku,” Walanda mau mangsuli. Minger menyang meja bar, lan aweh sasmita marang peladen wadon sing ngladeni botol bir mau supaya menehi gelas siji engkas. (Suparto Brata, 2006 : 3-4) Terjemahan:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
167 digilib.uns.ac.id
Dia langsung menuju ke bar, setelah berpikir sejenak, kemudian memesan bir sebotol. Sebelum botol tersaji dia melihat-lihat suasana restoran. merogoh-rogoh saku, memungut rokok Davros sebatang, tapi tidak segera dihisap. Sampai botol dan gelas tersaji, rokok diselipkan ke bibirnya, menggagapi saku mencari korek tidak ketemu. Jres! Ada orang lain menyalakan korek, diacungkan ke rokok serdadu Belanda tadi. Belanda tadi tidak segera menyalakan rokok, tetapi melihat dahulu pada orang yang member api. Matanya hitam, alis tebal, kulit sawo matang. “Dank U well!” kemudian katanya. Dan lalu menyalakan rokoknya. “Tidak asyik minum bir sendiri,” orang yang member api tadi berkata. Tubuhnya gagah. Bajunya putih lengan panjang, celananya biru gabardin. Seperti orang yang terbiasa hidup berfoya-foya. “Memang. Ayo, temani aku,” Belanda tadi menjawab. Miring ke meja bar, dan memberi kode pada pelayan wanita yang menyajikan botol bir tadi supaya memberi gelas satu lagi.
Dari kutipan di atas dapat diketahui jika posisi pencerita sebagai orang ketiga atau di luar tokoh dalam cerita yang seakan-akan melihat cerita tersebut terjadi. Contoh beberapa karakter yang melihat, mendengar, atau berfikir dalam posisinya sebagai orang ketiga terdapat pada kutipan berikut: Herlambang sedhela-sedhela noleh memburi, maspadakake restoran kang lagi wae ditinggal karo nglirik sunare srengenge, nerka-nerka jam pira wektu kuwi. Dheweke mlaku gegancangan. “Edan, Van Grinsven! Nyalawadi banget pitakonane! Tujune si nona mau tanggap sasmita! Heh! Ndrawasi! Mengko gek Van Grinsven dadi mungsuh mungwing cangklakkan?” Mengkono pikirane Herlambang klawan mlaku. Enere manut pituture Van Grinsven. Ngiwa, watara satus meter ana gang. Ing kono ana jip! Muga-muga Van Grinsven ora mblenjani janji! “Letnan Intelejen VDMB (Veiligheids-dienst Mariniers Brigade = dinas panentrem Brigade Marine, pasukan Walanda kang ngebroki Jawa Wetan ing perang Kamardikan I, 21 Juli 1947*) ing Mojokerto mosok arep goroh!” Herlambang seneng atine bareng weruh ana gang, lan katon jip tentara Walanda ndhelik ing eyupan. Ngarepe ditambahi canthuk commit to user wesi, piranti kanggo ngresiki kawat-kawat kang mantheng malang
perpustakaan.uns.ac.id
168 digilib.uns.ac.id
ing marga sing dipasang dening gerilyawan Republik. Jip mau tutupan rapet, mesthine njerone barang-barang kang dibutuhake kanggo sangune Herlambang mengko. Gita-gita wong Jawa klambi putih kuwi marani tumpakan perang mau. Lawang jip sisih kiwa dibukak, blak! (Suparto Brata, 2006 : 9-10) Terjemahan: Herlambang sebentar-sebentar menoleh ke belakang, memperhatikan restoran yang baru saja ditinggal dengan melirik sinar matahari, menerka-nerka jam berapa waktu itu. Dia berjalan cepat. “Gila, Van Grinsven! Mencurigakan sekali pertanyaannya! Untung si nona tadi paham tahu isyarat! Heh! Berbahaya! Nanti malah Van Grinsven menjadi musuh dalam selimut?” begitu pikiran Herlambang sambil berjalan. Arahnya mengikuti petunjuk Van Grinsven. Ke kiri, kira-kira seratus meter ada gang. Di situ terdapat jip! Muga-muga Van Grinsven tidak ingkar janji! “Letnan Intelejen VDMB (Veiligheids-dienst Mariniers Brigade = dinas panentram Brigade Marine, pasukan Belanda yang menduduki Jawa Timur di perang Kemerdekaan I, 21 Juli 1947*) di Mojokerto masak mau berbohong!” Herlambang gembira hatinya setelah tahu ada gang, dan kelihatan jip tentara Belanda tersembunyi di keteduhan. Depannya ditambahi besi, alat untuk membersihkan kawat-kawat yang melintang di jalan yang dipasang oleh gerilyawan Republik. Jip tadi tertutup rapat, mestinya di dalamnya barang-barang yang dibutuhakan untuk bekal Herlambang nanti. Segera orang Jawa berbaju putih itu mendatangi kendaraan perang tersebut. Pintu jip sebelah kiri dibuka, blak!
Pada kutipan di atas tokoh Herlambang dalam posisinya sebagai orang ketiga berfikir dan melihat, tokoh lain juga diceritakan seperti itu salah satunya adalah Ngesthireni pada kutipan berikut: Ngesthireni nggumun banget marang sikepe Kiswanta sing terus mbegagah. Rumangsane wiwit nyebut Yogyantara mau bengi kae, sipate kok owah. Priye, ta, gegayutane Kiswanta, Yogyantara lan dheweke kuwi manut gagasane Kiswanta? Ngesthi babar pisan ora mudheng. Pancen, tekan Sala mengko dheweke perlu ketemu Yogyantara. Nanging ora ana sing dikandhani. Iki wewadi gedhe, wewadine dhewe! Lha kok Kiswanta wis tansah nggandhengnggandhengake dheweke karo Yogyantara? Apa sedyane Kiswanta? Ngesthi ora commit kober mangsuli. to user Mung nyawang kami tenggengen. (Suparto Brata, 2006 : 106)
169 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: Ngesthireni heran sekali dengan sikap Kiswanta yang kemudian sok gagah. Rasanya sejak menyebut Yogyantara kemarin malam itu, sifatnya berubah. Bagaimana, hubangan Kiswanta, Yogyantara dan dia itu menurut pikiran Kiswanta? Ngesthi sama sekali tidak paham. Memang sampai Sala nanti dia perlu bertemu Yogyantara. Tetapi tidak ada yang diberitahu. Ini rahasia besar, rahasianya sendiri! Kok Kiswanta sudah selalu menghubung-hubungkan dia dengan Yogyantara? Apa tujuan Kiswanta? Ngesthi tidak sempat menjawab. Hanya melihat tak bergerak.
Sudut pandang yang ditampilkan dengan penceritaan tanpa adanya kehadiran satu karakter pun, salah satu contohnya adalah kutipan berikut: Batu Jamus sawenehe desa onderneming utawa alas kebonan sing ditanduri teh, karet lan pinus. Ana pabrike teh barang. Nanging wiwit jaman Jepang pabrik teh mau ora mlaku. Minangka sulihe, dening bala tentara Dai Nippon digunake nyimpen barang-barng perang bangsane mesiu. Suwening suwe, marga saka wong-wong Eropa sing kecekel Jepang akeh uga sing gelem nyambut gawe tembayatan karo Jepang, luwih-luwih wong Jerman, padha ahli laboratoria apa wae, wong-wong mau banjur dikumpulke ing Batu Jamus, dikon madeg pabrik mesiu minangka nyokong perange Jepang nglawan Sekuthu. (Suparto Brata, 2006 : 143-144) Terjemahan: Batu Jamus sebuah desa onderneming atau hutan perkebunan yang ditanami teh, karet dan pinus. Ada pabrik teh juga. Tetapi sejak jaman Jepang pabrik teh itu tidak berjalan. Sebagai gantinya, oleh tentara Dai Nippon digunakan untuk menyimpan barang-barang perang seperti mesiu. Lama-lama, karena orang-orang Eropa yang tertangkap oleh Jepang banyak yang mau bekerjasama dengan Jepang, lebih-lebih orang Jerman, ahli laboratirium apa saja, orangorang itu kemudian dikumpulkan di Batu Jamus, disuruh mendirikan pabrik mesiu untuk mendukung perang Jepang melawan Sekutu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
170 digilib.uns.ac.id
c. Gaya dan Tone 1) Gaya Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek; seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan dan banyaknya imaji, serta metafora. Campuran dari berbagai aspek tersebut dalam kadar tertentu akan menghasilkan gaya (Robert Stanton, 2007: 61). Gaya yang terdapat dalam novel DSB adalah sebagai berikut: a) Pemakaian kalimat berbahasa asing Novel DSB disajikan dengan latar waktu ketika bangsa Indonesia berjuang mempertahankan Kemerdekaan dari Belanda yang ingin menjajah kembali. Untuk memperkuat kesan waktu tersebut pengarang menyajikan novel DSB dengan memunculkan penggunaan bahasa Belanda. Penggunaan kata atau kalimat yang menggunakan bahasa Belanda dalam novel DSB antara lain terlihat pada beberapa kutipan berikut: Verboden toegang voor militairen. Tulisan kuwi kapasang ngegla ing kusen nduwur lawange restoran Tong Sien. Restoran kang lagi kondhang ing Kutha Mojokerto. (Suparto Brata, 2006: 1) Terjemahan: Verboden toegang voor militairen. Tulisan itu terpasang jelas di atas pintu restoran Tong Sien. Restoran yang sedang terkenal di kota Mojokerto. Ing kono ana jip! Muga-muga Van Grinsven ora mblenjani janji! commit to user “Letnan Intelejen VDMB (Veiligheids-dienst Mariniers Brigade =
perpustakaan.uns.ac.id
171 digilib.uns.ac.id
dinas panentrem Brigade Marine, pasukan Walanda kang ngebroki Jawa Wetan ing perang Kamardikan I, 21 Juli 1947*) ing Mojokerto mosok arep goroh!” … . Lawang jip sisih kiwa dibukak, blak! “Geode minddag, meneer Herlambang!” swarane wong ing sopiran jip. (Suparto Brata, 2006 : 9-10) Terjemahan: Di situ terdapat jip! Muga-muga Van Grinsven tidak ingkar janji! “Letnan Intelejen VDMB (Veiligheids-dienst Mariniers Brigade = dinas ketentraman Brigade Marine, pasukan Belanda yang menduduki Jawa Timur di perang Kemerdekaan I, 21 Juli 1947*) di Mojokerto masak mau berbohong!” … . Pintu jip sebelah kiri dibuka, blak!
“Geode minddag, meneer Herlambang!” swara orang di sopiran jip. Herlambang manthuk. Katon lega atine dene wasanane dheweke bisa ketemu adu arep karo kepala spion sing jenenge Raden Mas Yogyantara. “Geachte Heer Raden Mas Yogyantara! Meneer Luidelmeyer laat U hatelijk groeten. Ngaturaken salam kagem panjenengan.” (Suparto Brata, 2006 : 178) Terjemahan: Herlambang mengangguk. Kelihatan lega hatinya akhirnya dia bisa bertemu dengan kepala spion yang bernama Raden Mas Yogyantara. “Geachte Heer Raden Mas Yogyantara! Meneer Luidelmeyer laat U hatelijk groeten. Menyampaikan salam kepada anda.”
Pengarang juga memunculkan penggunaan bahasa Inggris dan Jepang. Penggunaan kata yang menggunakan bahasa Inggris dalam novel DSB antara lain terlihat pada beberapa kutipan berikut: Wong Jawa sing aweh geni mau mangsuli karo nyandhak gelas bir, “Aku wis wareg. Iki ngombe bir mung saperlu warming up!” (Suparto Brata, 2006 : 4) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
172 digilib.uns.ac.id
“Daktakokake marang Luidelmeyer, dheweke wis confirm. Mula saiki aku teka mrene.” (Suparto Brata, 2006 : 6) Asmane Herlambang, ya? Anggota TP wilayah gemolong. Hi-hihik. Anu kok ora disebutake yen lelungan honeymoon? Hi-hi-hiiik, ujare Sagriwa sawise nyemak surate Herlambang. (Suparto Brata, 2006 : 46)
Penggunaan kata atau istilah yang menggunakan bahasa Jepang dalam novel DSB antara lain terlihat pada beberapa kutipan berikut: “… . Akeh sing ora kuwat nampa pacoban, lan mati. Ing kapal utawa ing dharatan padha dikon ngladeni nafsu bejate para heitaisan. Aku kasil umpetan ing omahe wong kana. Nganti pasukan Inggris ndharat. …” (Suparto Brata, 2006 : 16) “Eman dene Jepang kesusu ngobarake perang Dai TooA (= Asia Wetan Kang Agung, basa Nippon ), perang sing ngrusak tata tentrem lan angen-angene eyang putri! Perang kang aweh kelonggaran marang wong sing duwe wewatekan lan angen-angen ala lan culika, niiyat duraka ngleksanakake karep aluamahe dhewe! Rama ibuku dilebokake menyang tahanan kenpeitai, diperjaya, …” (Suparto Brata, 2006 : 187)
b) Kalimat tanya. Sebuah karangan mungkin tidak begitu menarik apabila di dalamnya hanya terdapat kalimat berita, atau ditambah dengan kalimat permintaan bagaimanapun halusnya cara penyampaiannya. Dengan kalimat berita saja, penulis berarti omong sepihak saja, padahal mengarang berarti berdiskusi dengan pembaca tentang suatu topik (Abdul Razak, 1990 : 144). Untuk itulah kalimat tanya diikutsertakan. Dengan sekali-sekali menampilkan kalimat tanya, berarti pembaca seakan-akan diajak turut serta dalam mendiskusikan masalah dalam commit to user cerita atau apa yang ada dalam pikiran tokoh. Kalimat-kalimat pertanyaan tersebut
perpustakaan.uns.ac.id
173 digilib.uns.ac.id
merupakan bagian dari gaya bahasa yang digunakan pengarang. Kalimat-kalimat pertanyaan tersebut antara lain tampak pada kutipan-kutipan berikut. “Edan, Van Grinsven! Nyalawadi banget pitakone! Tujune sinona mau tanggap sasmita! Heh! Ndrawasi! Mengko gek Van Grinsven dadi mungsuh mungging cangklakan?” mengkono pikirane Herlambang klawan mlaku. Enere manut pituture Van Grinsven. Ngiwa, watara satus meter ana gang. Ing kono ana jip! Mugamuga Van Grinsven ora blenjani janji! (Suparto Brata, 2006 : 9) Terjemahan: “Gila Van Griensven! Mencurigakan sekali pertanyaannya! Untung si nona tadi tahu isyarat! Heh! Berbahaya! Nanti malah Van Griensven jadi musuh dalam selimut?” begitu pikir Herlambang sambil berjalan. Arahnya mengikuti petunjuk Van Griensven. Kiri, antara seratus meter ada gang. Di situ ada jip! Semoga Van Griensven tidak ingkar janji!
Herlambang ngrogohi sake, banjur ngulungake surate Van Grinsven sing mau dituduhake Ngesthireni. Tolol! Surat apa kuwi? Mau kok ora ditliti dhisik. Kena apa dheweke percaya banget marang Van Grinsven? Mengko gek . . . . .!? (Suparto Brata, 2006 : 19) Terjemahan: Herlambang merogoh kantongnya, kemudian menyerahkan surat Van Griensven yang tadi diperlihatkan Ngesthireni. Tolol! Surat apa itu? Tadi kok tidak diteliti dulu. Kenapa dia percaya begitu sekali pada Van Griensven? Nanti malah….!?
Mata-mata kuwi ora liya kajaba Herlambang. Ora bakal dikirim wong liya, marga cepak-cepake ngirim siji wae iku ora gampang. Gek sapa maneh sing bisa tumandang kaya Herlambang? Ya kuwi ngedelake pengalamane mbiyantu serdhadhu Amerika nylundhup njlajahi daerah mungsuh sarana ketrampilane kang luar biyasa? Lan sapa wong kang bisa motret barang mung nganggo mripat salugu? Tanpa kamera? Kuwi kabeh kadibyane Herlambang. Mung Herlambang sing kaya ngono lan mung Herlambang sing dipilih dening Luidelmeyer dadi spion, diutus dom sumurup ing banyu mlebu tlatah Republik mrasuk menyang pabrik mesiu Batu Jamus! Saprene wis kasil. La kok saiki ana utusane Luidelmeyer liya? Sapa? (Suparto Brata, 2006 :to183). commit user
perpustakaan.uns.ac.id
174 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: Mata-mata tidak lain adalah Herlambang. Tidak akan dikirim orang lain, karena mengirim satu saja tidak mudah. Lalu siapa lagi yang bisa bertindak seperti Herlambang? Yaitu mengadalkan pengalamannya membantu serdadu Amerika menyelundup menjelajahi daerah musuh dengan ketrampilan yang luar biasa? Dan siapa orang yang bisa memotret barang hanya dengan mata saja? Tanpa kamera? Itu semua keahlian Herlambang. Hanya Herlambang yang dipilih oleh Luidelmeyer menjadi spion, diperintah dom sumurup ing banyu masuk daerah Republik masuk ke pabrik mesiu Batu Jamus! Sampai kini sudah berhasil. Lha kok sekarang ini ada utusan Luidelmeyer lain? Siapa?
c) Imaji/pencitraan Gambaran angan-angan dalam karya sastra disebut citraan. Citraan atau imaji adalah setiap penggambaran pikiran dalam karya sastra untuk membuat gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana khusus, untuk membuat gambaran dalam pikiran dan pengindraan menjadi lebih hidup, serta untuk menarik perhatian agar bahasanya menjadi lebih indah dan cerita menjadi lebih hidup. Imaji atau citraan yang ditampilkan dalam suatu cerita, dapat memperjelas gambaran mengenai suatu hal. Beberapa imaji yang tampak dalam novel DSB, yaitu yang berhubungan dengan indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman dan indra pengecapan. Berikut ini merupakan contoh kutipan yang menunjukkan adanya citraan yang berhubungan dengan indra penglihatan: Playune montor kaya disawatke. Enggal-enggal tekan Kertosono. Dalane bledug, saben-saben kudu menggak-menggok merga lurunge dijuglangi, dirintangi bantalan karung pasir, utawa dialangi tegoran wit gedhe pingir lurung malang-malang. Lampune mung siji, kuwi wae ditutupi ireng kacane, mung diwenehi injen-injenan njlirit. commitTujune to user sopire trengginas. Lan,
175 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sanajan peteng rembulan, lintang abyor, dalane katon putih nggaler marga aspale wis nglothok, watu putih dhasare padha mendhilis. (Suparto Brata, 2006 : 103) Terjemahan: Lajunya seperti dilemparkan. Menyegerakan sampai Kertosono. Jalan berdebu, sekali-kali harus berbelak-belok karena jalannya dilubangi, dihalangi bantalan karung pasir, atau dihalangi tebangan pohon besar pinggir jalan yang melintang. Lampunya hanya satu, itu saja ditutup hitam kacanya, hanya diberi intipan menggaris. Untungnya sopirnya lincah. Dan, walau gelap, rembulan, bintang bersinar, jalan kelihatan putih karena aspal mengelupas, batu putih dasarnya kalihatan. Wong wadon mau nyawang si sopir, terus mandeng Herlambang. Mesem. Sanajan klambine luthu lan sarapane pohung, bareng mesem jebul ya manis, klabangane rambute dikipatake memburi, terus anjlog mudhun. Roke kecanthol lingire lungguhan, katon pupune kang gilig. (Suparto Brata, 2006 : 114) Terjemahan: Wanita itu melihat si sopir, kemudian menatap Herlambang. Tersenyum, walaupun bajunya kusam dan sarapannya singkong, ketika tersenyum ya manis, kepang rambutnya dilempar ke belakang, terus turun. Roknya tersangkut sudut tempat duduk, kelihatan pahanya yang padat.
Ruwangane amba bawera. Tamu-tamu wis pepak. Jendela dibukak amba, sanajan tlatah Republik wis akeh taman ora kopen, nanging kebon kembang ing pabrik teh Batu Jamus katone isih diopeni tenan, mula pethetan maneka warna katon ngresepake dideleng saka ruwangan sing amba bawera kuwi. Raden Ajeng Ngesthireni, sawenehe buyut dalem Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuwun Pakubuwana X, nalika kuwi nganggo jarit bledhak latar putih, klambine blentong-blentong antarane warna-warna abang, biru lan kuning, katon pamore yen pancen putri Sala trahing ratu. (Suparto Brata, 2006 : 201-202) Terjemahan: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
176 digilib.uns.ac.id
Ruangan luas. Tamu-tamu sudah lengkap. Jendela dibuka lebar, walaupun daerah Republik sudah banyak taman tidak terawat, tetapi kebun bunga di pabrik teh Batu Jamus kelihatan masih benar-benar dirawat, maka tanaman beraneka warna terlihat indah dilihat dari ruangan yang luas itu. Raden Ajeng Ngesthireni, seorang cicit Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuwun Pakubuwana X, ketika itu memakai kain bledhak latar putih, bajunya blentongblentong antaran warna-warna merah, biru dan kuning, terlihat auranya jika memang putri Sala keturunan raja.
Membaca baris-baris tersebut seolah-olah pembaca dapat melihat keadaan yang digambarkan pengarang secara konkret, walau hanya terjadi di dalam khayal. Kutipan yang berhubungan dengan citraan indra pendengaran tampak pada kutipan berikut. Kahanane isih remeng-remeng. Jago kluruk wis padha rame kapiyarsi. Tekane Herlambang lan Ngesthireni tumuli oleh kawigaten. Wong-wong lanang kabeh, pating grudug padha teka. (Suparto Brata, 2006 : 35) Terjemahan: Keadaan masih remang-remang. Ayam jantan berkokok sudah ramai terdengar. Kedatangan Herlambang dan Ngesthireni kemudian mendapat perhatian. Orang-orang pria semua, bergerudugan datang.
Rumangsane anggone turu durung tanek. Durung tutug anggone ngrungokake swarane wong sindhen dikendhangi nganyut-anyut tengah wengi, dene pikirane nglayap marang pacelathon kang mentas wae diprungu saka Kiswanta. Yakuwi bab Raden Mas Yogyantara ing Loji Wetan. Kuwi ipene Kiswanta! Swara wong sindhen sing keprungu, mbalekake alam sing wis suwe ditinggal. (Suparto Brata, 2006 : 93) Terjemahan: Asanya belum nyaman tidurnya. Belum selesai mendengarkan suara sindhen dikendangi commit sanyup-sayup to usertengah malam, sedangkan pikirannya melayang pada percakapan yang baru saja ia dengar
177 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari Kiswanta. Yaitu bab Raden Mas Yogyantara di Loji Wetan. Itu ipar Kiswanta! Suara sindhen yang terdengar, mengembalikan alam yang sudah lama ditinggal.
Thorrr!! Keprungu tembakan. Sajake ana sing ngonangi Herlambang nyolong montor, gawe cidra. Herlambang gage mlebu ing montor. Cepetan nguthek-uthek kabel ngisor stir, dionceki nganggo pemes, disambung, terus dhrrenn! Mesine urip. Thor! Thor! Thor-thor-thor!! Keprungu unine brondongan bedhil. Arahe sajak saka ngarepe montor! Apa nalika uwet karo mesine montor mungsuhe wis ndhedhepi, nututi, terus nyegati bakal playune montor? Mimise cumuwit nyamber-nyamber ing idere kono, ora adoh saka montor. (Suparto Brata, 2006 : 99-100) Terjemahan: Thorrr!! Terdengar tembakan. Sepertinya ada yang mengetahui Herlambang mencuri mobil, melakukan kejahatan. Herlambang segera masuk mobil. Segera mengutak-utik kabel di bawah stir, dikupas dengan pisau, disambung, terus dhrrenn! Mesin hidup. Thor! Thor! Thor-thor-thor!! Terdengar suara brondongan senapan. Arahnya seperti dari depan mobil! Apa ketika sibuk dengan mesine mobil musuhnya sudah menyusul, terus menghadang laju mobil? Peluru bersiut menyambar-nyambar di sekitar, tidak jauh dari mobil. Kutipan berikut berhubungan dengan indra pendengaran dan penciuman: Angine midid. Pangerike jangkrik sisih kana, sok keprungu sok ora. Embuh saka ngendi asale ambune pating klenyit, walang sangit. (Suparto Brata, 2006 : 30)
Terjemahan: Angin berhembus. Derik jangkrik sebelah sana, kadang terdengar kadang tidak. Entah dari mana asalnya baunya tengik, belalang sangit. commit to user
178 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan berikut berhubungan dengan indra penciuman: Restoran Sedhep Malem beda karo restoran Tong Sien. Ambune mangsakane ora mudha, lan ing kono ora adol bir, tanpa peladen noniek Jawa rok-rokan. Ewa semana Herlambang olehe mangan dhokoh. (Suparto Brata, 2006 : 73) Terjemahan: Restoran Sedap Malam beda dengan restoran Tong Sien. Bau masakannya tidak muda, dan di situ tidak menjual bir, tanpa pelayan nona Jawa memakai rok. Akan tetapi Herlambang makan dengan lahap.
Sedangkan kutipan berikut berhubungan dengan indra penciuman dan indra pengecapan: Herlambang terus wae mlangkahi lincak, lungguh srog. Irunge nyengir-nyengir ngambu sing kumebul. “Napa, Mase?” “Babate enten, nggih, Pak?” “Enten.” “Sekul soto semangkok, men, Pak. Mawi babat.” Herlambang anggone sarapan dhokoh! Duduhe soto sing panas, disruput srap-srup-srap-srup sajak seger. Didulegi sambel, dadine pedhes-panas, ngesas-ngeses, ssshah-ssshuh-ssshah-ssshuh, kringete gumrobyos! (Suparto Brata, 2006 : 136) Terjemahan: Herlambang terus saja melangkahi kursi, duduk srog. Hidungnya nyengir-nyengir mencium yang mengepul. “Apa, Mas?” “Babatnya ada, ya, Pak?” “Ada.” “Nasi soto semangkok, saja, Pak. Pakai babat.” Herlambang sarapan dengan lahap! Kuah soto yang panas, disruput srap-srup-srap-srup sepertinya segar. Dicoleki sambal, jadinya pedas-panas, mendesas-desis, ssshah-ssshuh-ssshah-ssshuh, keringatnya bercucuran!
commit to user
179 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Permajasan Pengarang menggunakan gaya bahasa untuk menambah estetika bahasanya. Menurut Suparman Natawidjaja (1986 : 73), gaya bahasa adalah pernyataan dengan pola tertentu, sehingga mempunyai efek tersendiri terhadap pemerhati. Dengan pola materi akan menimbulkan efek lahiriah (efek bentuk), sedangkan dalam pola arti (pola makna) akan menimbulkan efek rokhaniah. Dalam novel DSB pengarang sering menggunakan idiom-idiom khas Jawa yang tentu akan bergeser makna jika dialihbahasakan. Penggunaan idiom-idiom tersebut tampak dalam kutipan berikut. “Kowe ki omong apa, ta, Dhik Kis? Kowe ki bala sapa? Kok ngenyek banget karo kekuatane wong Republik?” “Lo, wong nyatane tenan! Sala saiki dadi ajang Wild West, kutha koboi. Ajang pistul-pistulan karo bangsa dhewek. Dene Walanda giyat ngirimake mata-mata ndlusup menyang tlatah Republik. Dom sumurup ing banyu. Dislundhupake liwat garis dhemarkasi kaya ing Peterongan wingi kae. …” (Suparto Brata, 2006 : 78) Terjemahan: “Kamu itu bicara apa, ta, Dik Kis? Kamu itu ikut siapa? Kok meremehkan sekali kekuatan orang Republik?” “Lho, orang kenyataanya! Sala sekarang menjadi ajang Wild West, kota koboi. Ajang pistol-pistolan dengan bangsa sendiri. Sedang Belanda giat mengirimkan mata-mata menyusup ke daerah Republik. Dom sumurup ing banyu. Diselundupkan lewat garis demarkasi seperti di Peterongan kemarin. …”
Idiom Dom sumurup ing banyu jika dialihbahasakan menurut tata bahasa menjadi jarum menyusup dalam air, tetapi makna yang dimaksudkan dengan idiom tersebut adalah telik sandi atau mata-mata. Idiom serupa terdapat pada kutipan dibawah ini: commit to user
180 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Ah! Gak percaya aku! Kene kudu ngati-ati, lo, karo wong tepungan anyar. Mengko gek mungsuh mungwing cangklakan?” “Mungsuh mungwing cangklakan apa? Kowe rak wis meningi tenan, kepriye tingkah polahe Mas Herlambang. Ah, aja nekaneka! Yen kowe ora seneng karo bebadranku, ya lungaa sing adoh kana!” (Suparto Brata, 2006: 92-93) Terjemahan: “Ah! Tak percaya aku! Kita harus hati-hati, lho, dengan kenalan baru. Nanti malah musuh dalam selimut?” “Musuh dalam selimut apa? Kamu kan sudah tahu benar, bagaimana tingkah laku Mas Herlambang. Ah, jangan sembarangan! Jika kamu tidak suka pada keluargaku, ya pergilah yang jauh sana!”
Idiom mungsuh mungwing cangklakan jika dialihbahasakan menurut tata bahasa menjadi musuh dalam gendongan atau musuh yang menunggangi, sedangkan makna yang dimaksudkan dengan idiom tersebut hampir sama dengan yang dimaksudkan oleh idiom dalam bahasa Indonesia yaitu musuh dalam selimut atau pengkhianat. Idiom serupa terdapat pada kutipan dibawah ini: “Ah, ya ora , Mas. Yen kene wis mardika satus persen, lan wong wuta sastra kaya ngono dadi pepimpin, lan sing kaya Hartono iki dadi klerehane, Republik iki dadine tunggak jarak padha mrajak, tunggak jati padha mati. Heh-heh-heh! Padha wae alas jati kang kayune aji padha ilang, diganti alas wit jarak tanduran sing gunane ora mingsra! Iya, ta? Republik ora mingsra. Ya aja nganti mengkono.” (Suparto Brata, 2006 : 217) Terjemahan: “Ah, ya tidak, Mas. Jika kita sudah merdeka seratus persen, dan orang buta sastra seperti itu jadi pemimpin, dan yang seperti Hartono ini jadi bawahannya, Republik ini jadinya tunggak jarak padha mrajak, tunggak jati padha mati. Heh-heh-heh! Sama saja hutan jati yang kayunya berharga hilang, diganti hutan pohon jarak yang gunanya tidak seberapa! Iya, kan? Republik tidak berharga, ya jangan sampai seperti itu.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
181 digilib.uns.ac.id
Idiom tunggak jarak padha mrajak, tunggak jati padha mati jika dialihbahasakan menurut tata bahasa menjadi pangkal pohon jarak bersemi, pangkal pohon jati mati, tetapi makna yang dimaksudkan dengan idiom tersebut adalah sesuatu yang tidak begitu berguna atau yang dimaksudkan dalam cerita orang-orang bodoh (sebagai contoh sindiran untuk Letnan Pengkuh) berkembang, sedang sesuatu yang sangat berguna atau berharga punah. Gaya bahasa digunakan Pengarang untuk menambah estetika bahasanya. Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang antara lain adalah simile. Simile merupakan gaya bahasa yang mempersamakan sesuatu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding. Gaya bahasa simile yang digunakan pengarang dalam DSB terlihat dalam kutipan-kutipan berikut. Letnan Pengkuh mlaku kethemlek-kethemlek kaya macan ngambus-ambusake irunge marga mambu gandane mangsane. Wangsulane kalem, “Dospundi, Pak?” (Suparto Brata, 2006 : 52) Terjemahan: Letnan Pengkuh berjalan melenggang-lenggang seperti macan mengendus-enduskan hidungnya karena mencium aroma mangsannya. Jawabnya kalem, “Bagaimana, Pak?”
“Enggih. Enggih, mang beta tiyang niki. Ngati-ati, polahe kaya welut lunyune, ajeng mlajeng mawon.” (Suparto Brata, 2006 : 170) Terjemahan: “Ya. Ya, bawalah orang ini. Hati-hati, geraknya seperti belut licinnya, mau lari saja.”
“Kaya adegan Janaka-Buta Cakil wae. Ditakoni durung mangsuli genti takon!” omonge Sagriwa gage dikethok dening Hartono, merga nyenggol wilayah saru. (Suparto Brata, 2006 : 215) commit to user
182 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: “Seperti adegan Janaka-Buta Cakil saja. Ditanya belum menjawab gentian tanya!” omongan Sagriwa segera dipotong oleh Hartono, karena menyenggol wilayah tabu. Gaya bahasa yang digunakan pengarang selanjutnya adalah personifikasi. Gaya bahasa ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi ini membuat lukisan hidup di samping memberikan bayangan angan yang konkret. Gaya bahasa personifikasi tampak dalam kutipan berikut: Srengenge isih manjer ing sisih kulon. Sorote kaya ngincenginceng saselane gegodhongan wit-witan kang mentiyung ing tengah lurung. Herlambang sedhela-sedhela noleh memburi, maspadakake restoran kang lagi wae ditinggal karo nglirik sunare srengenge, nerka-nerka jam pira wektu kuwi. (Suparto Brata, 2006 : 9) Terjemahan: Matahari masih bersinar di sebelah barat. Sinarnya seperti mengintip sela-sela daun pohon-pohon yang melengkung di tengah jalan. Herlambang sebentar-sebentar menoleh ke belakang, memperhatikan restoran yang baru saja ditinggal dengan melirik sinar matahari, menerka-nerka jam berapa waktu itu.
Mata dina selak kumudu-kudu ambles ing bumi. Padhange jagad disoroti saka putih dadi abang. Dhisike ndelik ing suwalike pradesan, suwe-suwe angslup ing suwalike mega. Kahanan saya remeng-remeng. (Suparto Brata, 2006: 16-17)
Terjemahan: Matahari terlalu cepat harus terbenam ke bumi. Terangnya dunia disinari dari putih menjadi merah. Sebelumnya sembunyi di balik pedesaan, lama-lama terbenam di balik awan. Keadaan semakin remang-remang. commit to user
183 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Petenge wengi wis ilang. Ganti padhang raina srengenge ketiga trontong-trontong nongol sangka prenahe Herlambang teka uthukuthuk mau. (Suparto Brata, 2006: 46) Terjemahan: Gelap malam telah hilang. Berganti terang siang matahari kemarau perlahan-lahan muncul dari arah Herlambang datang pagi-pagi tadi.
Pada beberapa kutipan tersebut digambarkan matahari yang dapat melakukan sesuatu seperti halnya manusia. Digambarkan bahwa matahari mengintip, bersembunyi dan nongol layaknya kelakuan manusia. Gaya bahasa ini menambah estetika karya tanpa mengurangi atau mengubah makna yang dimaksudkan. Gaya bahasa serupa juga tampak pada waktu yang disebutkan bergerak dan bintang yang berjalan dalam kutipan berikut: “Jam pira saiki, ya?” Herlambang nyawang langit, ngira-ira obahe wektu sarana lakune lintang. “Jam sanga, Java tijd,”( Java tijd = wektu ing tanah Jawa*) Ngesthi njawab sarana ndeleng jam ing ugel-ugele. (Suparto Brata, 2006: 26) Terjemahan: “Jam berapa sekarang, ya?” Herlambang menatap langit, mengiraira gerak waktu dengan perjalanan bintang. “Jam sembilan, Java tijd,” (Java tijd = waktu di Tanah Jawa*) Ngesthi menjawab dengan melihat jam di pergelangan tangannya. Gaya bahasa yang digunakan pengarang selanjutnya adalah eufinisme. Gaya bahasa ini berupa ungkapan pilihan sebagai pelemah dari pernyataan yang akan dikemukakan, karena tabu atau menjaga tersinggungnya hati seseorang. Gaya bahasa eufinisme tampak pada beberapa kutipan berikut: commit to user
184 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kowe ya peri prayangan ngono! Ora mung mbeda nanging ya ngajak ngono.” “Aku? Aku ngajak? Aja sembrana kowe!” “La mau, sawise kowe pasrah or ngglawat maneh, ambeganmu sentik-sentik, awakmu kruget-kruget ngajak ngono.” (Suparto Brata, 2006: 30) “Tengah wengi mau wis dakrancang priye baya uniku bab kowe yen ditakoni penjaga tapel wates dhemarkasi, takanggep adhi ora pantes, takanggep kenalan thok ora prayoga. Mula dakkarang critane kowe dadi bojoku. Awake dhewe manten anyar nanging aku kuwatir kowe isih prawan thing-thing. Marga pemeriksaan dhokter ing garis ngarepan bisa wae klakon. Mula mau bengi dakperlokake ngono mau…!” (Suparto Brata, 2006: 61) “Wis dakduga, lan dakrencana priye bisane lolos iki mau uga sawenehe solusi kelantipane pikir, pupur sadurunge benjut. Sing klakon mau bengi, pranyata ana paedahe ing tembe, ya kedadeyan esuk iki mau!” (Suparto Brata, 2006: 63) “Apane sing dadi jaminan? Tindhihe tentara takon karo mak-mek nggledhah awake wong wadon sing kalah rebutan mau. Ban serep kok balung thok ngene!” Sing padha krungu ngguyu cekakakan. “La ya mung sopir, Bung. Yen ngaso ya mampir nyang warunge ngonokan kuwi! Golek ban serep. Balung-balung dikeloni!” si sopir ngomong nglendheh. (Suparto Brata, 2006: 122-123)
Pada beberapa kutipan tersebut pengarang sengaja mengganti kata-kata yang tidak pantas atau tabu untuk diungkapkan secara langsung. Kata-kata yang menggunakan gaya bahasa eufinisme pada kutipan-kutipan tersebut memiliki makna yang mengarah pada hubungan seksual. Gaya bahasa serupa juga tampak pada kutipan berikut: Sambi ngetokake ampas wetenge wong mau mangsuli, “Eegg! Nggih ajenge teng pabrik! Eegg!” Crot! Ocrot-ocrot-ocrot, ampase weteng metu. (Suparto Brata, 2006: 152)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
185 digilib.uns.ac.id
Gaya bahasa yang digunakan pengarang selanjutnya adalah okupasi. Gaya bahasa ini berupa pernyataan yang mengemukakan tanggapan atas sesuatu hal disertai kontradiksinya. Gaya bahasa okupasi tampak dalam kutipan berikut: “Heh, idhemu kuwi pancen tepak! Aku ngelem pikiranmu kang kaya ngono kuwi. Mung sok-sok olehmu gemaib arep nyekel pasukan kuwi aku sing sok ora betah nyawang kowe, ha, ha, ha!” Ujare Sagriwa sajak setengah seneng setengah ngenyek. (Suparto Brata, 2006: 52) Kutipan di atas mengemukakan pujian Sagriwa atas kecerdasan Letnan Pengkuh tetapi sekaligus juga memberikan pernyataan ketidaksukaannya karena tindakan Letnan Pengkuh kadang-kadang melangkahi kedudukannya sebagai pemimpin pasukan. Kontradiksi antara pujian dan ejekan juga diperkuat dengan keterangan di akhir dialog bahwa Sagriwa setengah memuji setengah mengejek. Gaya bahasa okupasi juga terdapat pada kutipan berikut: Ngesthireni unjal ambegan, nyaut, “Hi,hi,hi. Enom, ayu, ning wis rusak! Wis dhedhel dhuwel ora karuwan! Ngono, ta, sing kokemohi bab aku?” (Suparto Brata, 2006: 118)
Kutipan di atas menyatakan kelebihan yang dimiliki Ngesthireni yaitu muda dan cantik tetapi sekaligus juga menyatakan kebalikan atau kekurangannya yaitu sudah rusak yang bermakna tidak perawan lagi. Gaya bahasa serupa juga tampak dalam kutipan berikut:
Pancen kekuatan tentara Republik katone ora nggandra sepiraa. Carane ngatur stategi isih amatir banget. Gampang dibethek Walanda. Lan gegamane genah bedhil tinggalane Jepang. Ora mingsra. Mula angger dikurung wae, ora bakal Republik duwe piranti perang anyar. Nanging, sanajan wis dikurung ora ana barang anyar mlebu menyang Republik, kok republik tetep bisa nyaranani perange nganggo mimis kang ora mejenan, lan dhinamit kang mbledhose bantas banget. Cacahe ora suda. (Suparto Brata, 2006: 148)commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
186 digilib.uns.ac.id
Gaya bahasa yang digunakan pengarang selanjutnya adalah metonimia. Gaya bahasa ini berupa ungkapan yang menyatakan sesuatu langsung menyebut namanya. Gaya bahasa metonimia tampak dalam kutipan berikut: Herlambang mateg gas. Pikirane ora lali karo cucuke 12,7 kang ngetutake lakune jip mau. Para gerilyawan kuwi uga pinter. Saiki 12,7 kae mesthi rekasa golek utawa nandangi sasaran liya, marga kabeh padha diener marang lakune jipe Herlambang. Para gerilyawan sing ngepung konvoi bebas saka incerane 12,7. (Suparto Brata, 2006: 21) Pada kutipan di atas menyebutkan kaliber 12,7 yang merupakan nama suatu model atau suatu jenis senapan otomatis. Pernyataan yang menyebutkan bahwa 12,7 adalah jenis senapan, terdapat pada kutipan berikut: Sanajan wong-wong mau ulate wis ora kenceng kaya mau, malah ana prajurit enom sing nyingsoti ndugal wong ayu ing njero jip, nanging Herlambang kober nglirik ing kaca spion lan ngonangi yen metraliyur-metraliyur 12,7 sing nggegirisi ati ing ndhuwur prahoto padha diputer ngincer jipe terus wae. (Suparto Brata, 2006: 20) Dalam cerita novel DSB juga menyebutkan nama-nama jenis senapan lain dengan gaya bahasa metonimia. Jenis senapan yang dimaksud adalah tommygun senapan otomatis milik Herlambang dan cung senapan otomatis milik Kiswanta.
2. Tone Nada berhubungan dekat dengan gaya. Nada merupakan sikap emosinal pengarang yang di hadirkan dalam cerita, bisa berupa sikap (perasaan), romantis, ironis, misterius, gembira, tidak sadar, atau perasaan lainnya. Nada cerita dibangun dengan fakta cerita, tetapi yang lebih penting adalah pilihan pengarang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
187 digilib.uns.ac.id
terhadap rincian-rincian dalam mengambarkan fakta-fakta itu (Robert Stanton, 2008:37). Dari awal dimulainya cerita sampai cerita diserahkannya Yogyantara kepada Ir. Suprayoga kepala intelejen Republik Indonesia, novel DSB disajikan dengan tone misterius. Kehadiran tokoh sentral Hartono yang menyandang misi spionase dan menyembunyikan identitas asli dengan mengubah diri menjadi Herlambang merupakan pembangun tone kemisteriusan cerita novel DSB. Hal itu karena sejak awal pembaca diarahkan untuk mengira bahwa Herlambang merupakan mata-mata yang dikirim Belanda. Di tengah cerita beberapa hal yang janggal atau misterius tentang identitas Herlambang ditampilkan yaitu ketika Herlambang membuat Van Griensven pingsan ketika membicarakan masa lalu Herlambang yang sebenarnya (anggota OSS US Army, bukan Hartono) dan kemunculan tokoh Atrum yang mengaku teman dekat Hartono di front Purwodadi yang mundur ke Gemolong-Kuwu (front yang menjadi alibi Herlambang saat diperiksa di markas gerilyawan Sagriwa). Nama asli Hartono baru dibuka kepada pembaca sewaktu menyerahkan Yogyantara dan identitas aslinya baru diceritakan pada pesta perayaan keberhasilan misi Herlambang. Tokoh lain yang menghadirkan tone misterius adalah Kiswanta. Sebelumnya pembaca diarahkan untuk mengenalnya sebagai anggota laskar CI (Corp Intelejen) dari Surakarta yang mencari mata-mata Belanda. Kejanggalan mulai terlihat sejak ia mengambil cung di Jombang, yang kemudian berniat membunuh Herlambang dengan menabrak dan mengilasnya di Kertosono serta perubahan motifnya dari mencari mata-mata menjadi mengantar Ngesthireni commit to user untuk mempertemukan dengan Yogyantara (kakak iparnya).
perpustakaan.uns.ac.id
188 digilib.uns.ac.id
Alur berjalannya cerita juga memunculkan tone misterius misalnya cerita pembunuhan Atrum yang misterius (karena tidak diceritakan secara langsung siapa dan apa motif pembunuhan tersebut) dan dua penyamaran Herlambang sebagai sopir ketika di Madiun dan petani yang membawa kurungan burung ketika di Batu Jamus. Kedua penyamaran Herlambang tersebut membuat pembaca tertipu (kecelik bahasa Jawa), pertama karena mengira sopir di Madiun benarbenar sopir yang sebelumnya diceritakan di Kertosono bukan Herlambang dan kedua karena penasaran dengan siapa sebenarnya pembawa kurungan burung di Batu Jamus, benar-benar Herlambang yang sebelumnya memang berkostum petani dan membawa kurungan burung atau sopir mobil yang bertukar peran, sama motifnya dengan penyamaran menjadi sopir ketika di Madiun. Tone lain yang muncul dalam cerita DSB adalah tone romantis. Hal tersebut terdapat pada cerita ketika Herlambang dan Ngesthireni menumpang di mobil sayur dalam perjalanan dari Kertosono menuju Madiun. Tone tersebut muncul dengan kata perpisahan Herlambang yang memperkirakan mereka akan segera berpisah karena mempunyai tujuan yang berbeda. Ngesthireni yang merasa sedih dan hampir menangis karena mengira Herlambang bersikap seperti itu karena tidak dapat menerima keadaannya yang sudah tidak suci kemudian mendapat jawaban pengakuan Herlambang bahwa jika tidak sedang menjalankan misi penting ia mau memperistrinya. Pada akhir cerita pengarang menyajikan cerita dengan tone gembira. Cerita diakhiri dengan happy ending melalui sebuah pesta perayaan keberhasilan misi Herlambang. Semua sisi-sisi misterius dalam cerita sebelumnya dikuak commit to user
189 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam suasana penuh kebahagiaan dan Hartono akhirnya dapat bersama lagi dengan Ngesthireni.
B. NILAI ESTETIKA DAN MAKNA NOVEL DOM SUMURUP ING BANYU
1. Nilai-nilai Estetika Perlu dikemukakan untuk menemukan nilai-nilai estetika perlu dasar yang dapat dipahami untuk menilai sebuah karya sastra itu memiliki nilai estetik atau tidak. Mengingat bahwa penelitian ini menggunakan penelitian struktural, maka kriteria yang dikemukakan adalah kriteria yang sesuai dengan prinsip-prinsip strukturalisme. Menurut paham strukturalisme, suatu karya sastra itu memiliki nilai estetik apabila; (a) memiliki kepadatan struktural (b) stilistika. a. Memiliki kepadatan struktural Estetika sastra adalah aspek keindahan yang terkandung dalam sastra. Pada umumnya aspek-aspek keindahan sastra didominasi oleh gaya bahasa. Aspek-aspek keindahan yang lain terkandung dalam komposisi tautan unsur structural karya sastra itu sendiri merupakan keseimbangan yang dinamis, bukan statis. Keseimbangan unsur-unsur novel detektif, biasanya mempertimbangkan adanya dominasi unsur-unsur perwatakan. Dalam hal ini novel yang berjudul Dom Sumurup ing Banyu karya Suparto Brata ini termasuk novel detektif. Novel DSB ini memiliki kesatuan alur yang runtut membuat novel ini memiliki jalan cerita yang apik. Dari alur tahapan awal ke tahapan tengah kemudian ke tahapan commit to user akhir saling berkesinambungan, saling terkait. Tanpa degresi atau alur yang baik
190 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan jelas, maka sebuah karya sastra tidak akan memiliki nilai keindahan. Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Peristiwa-peristiwa tersebut bersatu, berkaitan, membentuk jalan cerita yang mempunyai arti dan maksud tertentu. Jika salah satu cerita tersebut dihilangkan, maka jalan cerita yang akan tercapai pasti akan berbeda. Novel DSB juga memiliki nilai estetik dari dari segi tokoh atau karakter. Tokoh dalam karya tulis sangat berperan aktif dalam menjalankan suatu peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tanpa adanya tokoh, jalan cerita suatu karya sastra khususnya novel, tidak akan tampak hidup, suasana-suasana tidak akan tercipta. Dalam novel DSB ini memiliki tokoh-tokoh yang saling berkaitan, baik tokoh utama atau tokoh bawahan. Tokoh utama dalam novel DSB karya Suparto Brata ini adalah Herlambang dan tokoh bawahannya ada beberapa nama. Namun yang berperan aktif membantu terciptanya suasana di dalam novel ini ada beberapa, di antaranya Ngesthireni, Pengkuh, Kiswanta, dan Yogyantara. Tokohtkoh yang digunakan pengarang memiliki daya tarik untuk mudah diingat. Pengarang menggunakan nama-nama tokoh dengan karakter yang berbeda-beda. Tokoh utama Herlambang mempunyai ciri khasnya sebagai seorang mata-mata. Peristiwa atau konflik yang terjadi tercipta adanya peran tokoh-tokoh tersebut, baik tokoh utama maupun tokoh bawahan. Dan tokoh-tokoh tersebut saling berkaitan. b. Stilistika Setiap
pengarang
mempunyai
ciri
khas
sendiri-sendiri
bahkan
membingungkan pembaca. Dalam karya sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang menggunakan alur, karakter, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
191 digilib.uns.ac.id
dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek. Seperti pengarang Suparto Brata, menuangkan ide-idenya atau ciri khasnya ke dalam karyanya, sehingga novel DSB ini memiliki gaya bahasa yang indah. Gaya bahasa yang terkandung dalam novel DSB menggambarkan suasana yang seakanakan membawa kita mengikuti dan masuk dalam suasana yang tercipta. Seperti halnya gaya bahasa asing yang dibubuhkan pengarang membawa pembaca masuk ke dalam suasana masa lalu, yang diceritakan pada masa penjajahan Belanda. Pengarang seakan memberikan kesan terhadap karyanya untuk memperkuat waktu yang terjadi pada masa itu. Penggunaan bahasa asing oleh pengarang, terkadang memberikan kesulitan bagi para pembaca yang tak mengerti arti dari bahasa tersebut. Namun dari kesulitan tersebut, muncul keindahan dalam novel tersebut. Pembaca dibuat penasaran, ingin memecahkan arti dan ingin melanjutkan jalan cerita. Ing kono ana jip! Muga-muga Van Grinsven ora mblenjani janji! “Letnan Intelejen VDMB (Veiligheids-dienst Mariniers Brigade = dinas panentrem Brigade Marine, pasukan Walanda kang ngebroki Jawa Wetan ing perang Kamardikan I, 21 Juli 1947*) ing Mojokerto mosok arep goroh!” … . Lawang jip sisih kiwa dibukak, blak! “Geode minddag, meneer Herlambang!” swarane wong ing sopiran jip. (Suparto Brata, 2006 : 9-10) Terjemahan: Di situ terdapat jip! Muga-muga Van Grinsven tidak ingkar janji! “Letnan Intelejen VDMB (Veiligheids-dienst Mariniers Brigade = dinas ketentraman Brigade Marine, pasukan Belanda yang menduduki Jawa Timur di perang Kemerdekaan I, 21 Juli 1947*) di Mojokerto masak mau berbohong!” … . Pintu jip sebelah kiri dibuka, commit blak! to user
192 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“selamat datang, tuan Herlambang!” swara orang di sopiran jip.
Novel Dom Sumurup ing Banyu
ini memiliki kaindahan dari segi
pemilihan atau penggunaan kata yang lugas, sehingga mudah untuk dimengerti. Tidak hanya kata-kata yang lugas, tetapi unsur majas juga terdapat di dalam novel ini untuk mengungkapkan isi dari pikiran pengarang. Permajasan termasuk dalam gaya bahasa. Gaya bahasa sebenarnya adalah pernyataan dengan pola tertentu, sehingga mempunyai efek tersendiri terhadap pemerhati. Dinane saya padhang. Sisih wetan langite abang mbranang. Sajake wong-wong Kertosono ya wis wiwit padha tangi. Kabeh mau gawe kesusune atine sing padha lumayu ninggal montor gembos neng tengah dalan, lan wong semaput kelaran. (Suparto Brata, 2006 : 111) Terjemahan: Hari semakin terang. Sebelah timur langit merah menyala. Sepertinya orang Kertosono juga sudah mulai bangun. Semua itu membuat terburu-buru hati yang sedang berlari meninggalkan mobil kempes di tengah jalan, dan orang pingsan kesakitan.
Dalam novel DSB ini, pengarang sering menggunakan idiom-idiom khas Jawa, yang tentu akan bergeser makna jika dialih bahasakan. Setiap novel mempunyai gaya majas yang berbeda ataupun sama, tergantung keinginan pengarang. Seperti Suparto Brata adalah seorang pengarang novel berbahasa Jawa, jadi peribahasanya pun menggunakan bahasa Jawa. Peribahasa Jawa merupakan salah satu fenomena pemakaian bahasa Jawa yang menarik untuk dikaji nilai estetiknya, karena sifatnya yang unik dan spesifik. Masalah-masalah yang berkaitan dengan peribahasa Jawa menarik untuk dikaji baik dari aspek kebahasaan, kasastraan, maupuncommit kebudayaan. to user Dari aspek kebahasaan (bahasa
193 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang digunakan), peribahasa Jawa mempunyai struktur yang khas. Novel DSB memiliki peribahasa yang khas. Dari penggunaan judul, dom sumurup ing banyu mempunyai ciri khas sendiri. Kalimat Dom sumurup ing banyu mengungkapkan atau mempunyai arti mata-mata. Pengarang tidak ingin menggunakan bahasa yang lugas, tetapi menggunakan peribahasa yang menimbulkan efek keindahan disetiap unsur-unsur pembangun karyanya. Jika dialih bahasakan, kalimat tersebut akan memiliki arti yang berbeda, yaitu : dom
: jarum
sumurup
: berjalan
ing
: di
banyu
: air
jadi memiliki arti „jarum yang berjalan di air‟, dengan kata lain jarum tersebut dapat berjalan di air. Padahal makna yang dimaksud bukan itu. Itulah yang menyebabkan keindahan novel DSB dari segi judul. Novel DSB, dilihat dari judulnya sudah menarik. Namun tidak hanya judul yang menarik, di dalam novel DSB ini juga terdapat kata atau kalimat peribahasa (bebasan) yang memberi nilai estetik dan menarik untuk diteliti. Pengarang ingin menggunakan peribahasa untuk mengungkapkan sesuatu, namun dengan bahasa yang indah. Misalnya di dalam novel DSB ini terdapat kalimat “mungsuh munggwing cangklakan”. Jika dialih bahasakan menurut tata bahasa Indonesia menjadi „musuh dalam gendongan atau musuh yang menunggangi‟. Sedang makna yang dimaksud dengan idiom tersebut hampir sama dengan arti sebenarnya yaitu „musuh dalam selimut atau pengkhianat‟. Hal serupa juga banyak terdapat commit to user dalam novel DSB ini, seperti tunggak jarak padha mrajak, tunggak jati padha
perpustakaan.uns.ac.id
194 digilib.uns.ac.id
mati yang berarti „sesuatu yang tidak berguna tersebut akan tumbuh atau berkembang, sedangkan sesuatu yang sangat berguna atau berharga akan punah‟. Adanya bebasan-bebasan tersebut, novel DSB walaupun menceritakan perjalanan seorang mata-mata atau termasuk novel detektif, namun bahasa yang digunakan indah. Selain nilai estetik yang terdapat dalam unsur kebahasaan, ada lagi yang membuat cerita novel DSB ini menarik, yaitu pembaca dibuat bingung dengan peran Herlambang sebagai mata-mata. Pada awal cerita Herlambang diceritakan sebagai seorang mata-mata sewaan Belanda yang diutus ke pabrik mesiu di Batu Jamus. Herlambang di utus ke pabrik mesiu untuk mengambil dan memotret gambar rumusan pabrik mesiu, yang menurut rancangan pihak Belanda akan menghancurkan pabrik tersebut. Dengan dibantu pengkhianatan RM. Yogyantara terhadap negara Indonesia, bangsa Belanda merencanakan merncanakan penghancuran pabrik tersebut. Namun di akhir cerita, sesampainya Herlambang di pabrik mesiu Batu Jamus, ia berubah perannya, yang semula sebagai mata-mata utusan bangsa Belanda berubah menjadi membela bangsa Indonesia, dan menagkap Yogyantara sang pengkhianat. Herlambang juga berubah nama menjadi Hartono. Ternyata nama Herlambang hanyalah sebuah nama samara, nama aslinya Hartono. Akhir cerita dijelaskan bahwa Hartono adalah seorang mata-mata bangsa Indonesia yang diutus Biro Spionase RI dislundupkan untuk mencegah rancangan Belanda yang ingin menghancurkan pabrik mesiu dan menangkap para pengkhianat negara yang membantu rancangan Belanda tersebut. Nilai estetika dalam novel DSB tercipta karena adanya komposisi commit to user penulisan yang selaras. Dari penggunaan judul, jalan cerita yang tidak melenceng
perpustakaan.uns.ac.id
195 digilib.uns.ac.id
dengan judul, alur, gaya bahasanya, penokohan, dan masih banyak lagi. Suparto Brata sepertinya memahami apa yang harus ditulisnya, sehingga membentuk suatu karya sastra yaitu novel, yang indah dari segala hal. 2. Makna Novel Dom Sumurup ing Banyu Novel Dom Sumurup ing Banyu selain memiliki nilai-nilai estetik yang membangun keseimbangan jalan ceritanya, novel DSB ini juga memiliki makna yang memberikan pencerahan bagi masyarakat pembacanya. Novel DSB memberikan pelajaran yang berharga. Karakter-karakter yang muncul dalam diri tokoh, baik tokoh utama maupun tokoh bawahan memberikan pengaruh positif bagi para pembacanya. Dari sebuah pengkhianatan terhadap bangsanya sendiri, yang berusaha menghancurkannya, muncul beberapa sikap yang berusaha membela Negara yang patut menjadi teladan. Seperti sikap Herlambang dan Pengkuh yang memberikan pencerahan akan sikap patriotis. Sikap tokoh tersebut mengingatkan kita betapa pentingnya sikap patriotis, membela negara dari segala bentuk penjajahan yang merugikan bangsa. Membela negara pada saat ini tidak seperti yang dilakukan Herlambang ataupun Letnan Pengkuh, yang rela menjadi spion, mengangkat senjata berperang dengan musuh. Melainkan dapat dilakukan dengan cara lain, misalnya dengan melestarikan kebudayaan daerah yang merupakan aset kebudayaan bangsa, menjaga supaya ciri khas bangsa kita tidak dijajah bangsa lain. Seperti negara Malaysia yang membajak kebudayaan daerah bangsa Indonesia. Dengan melestarikan dan menjaga kebudayaan bangsa secara tidak langsung kita sebagai masyarakat di dalamnya ikut membela negara, karena kebudayaan bangsa mencerminkan jati to user diri sebuah bangsa. Novel DSBcommit ini memberikan teladan untuk kita sebagai
196 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat Jawa
yang mempunyai ragam kebudayaan. Bahasa Jawa yang
memiliki sejuta filosofi tata bahasa yang indah, cara pengucapan yang halus inilah ciri khas masyarakat Jawa khususnya. Novel DSB juga memberikan pencerahan bagi kita tentang tatanan ekonomi bangsa pada saat ini. Sama halnya novel DSB menceritakan tentang keadaan bangsa pada saat itu, dijajah dan serba kekurangan. Para petinggi bangsa yang seharusnya melindungi dan membela rakyatnya, berbalik berkhianat terhadap negara dan menjadikan kesengsaraan bagi rakyat kecil. Yang kaya semakin kaya, yang miskin bertambah miskin, dan akhirnya mati. “La, ngoten, ta, Bung! Kula saged nekuk dhengkul!”sajake kelegan atine, ketemu guyune, ora methuthut maneh, terus malah nglucu, ujare karo medingi bokong aherlambang. “Lo, bokonge enten ampas parutan klapa! Napa sing mang lungguhi wau?” .... “O, sanes ampas parutan klapa, dhing. Anu ayake. Dondoman tisikan benang putih nggen jait kathok sampeyan! Kathok wis tisikan kaya ngono kok ya isih dienggo numpak sepur snel. Jan mlarat banget wong Jawa saiki!”
Percakapan dalam cerita novel DSB tersebut mengingatkan akan banyak kemiskinan di Indonesia, karena adanya pengkhianatan para penjabat negara terhadap negerinya sendiri.pengkhianatan tersebut seperti korupsi. Dana yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, digunakan untuk kesenangan pribadi para pejabat Negara. Pernyataan dia atas tidak sama dengan ideologi Pancasila terutama sila ke empat, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
Para
pejabat
tinggi
negara
seharusnya
mempertimbangkan hal tersebut, menjadi wakil rakyat yang bisa membela rakyat. commit to user Bahkan para wakil rakyat tersebut memperbudak dan membohongi rakyatnya
197 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
demi
kepentingan
politiknya.
Pembangunan
gedung
DPR
baru
yang
membutuhkan biaya trilyunan rupiah tetap dilakukan, padahal banyak yang harus diperbaiki dari pada gedung DPR yang masih terlihat kokoh dan bagus. Sekolahan-sekolahan yang rubuh karena termakan usia, seharusnya mendapatkan dana untuk perbaikkan. Banyak orang tak mampu yang tidak mendapatkan keringanan pengobatan untuk kesejahteraan kesehatan, dikarenakan para pejabat tinggi negara yang mementingkan dirinya sendiri. Sikap para pejabat tersebut tidak memiliki solidaritas terhadap masyarakat kecil. Masyarakat kecil akan terus terinjak-injak dan selalu menjadi korban kepentingan politik para pemimpin bangsa, sehingga menyebabkan keamanan di negeri ini sedikit tak aman. Masyarakat yang kurang mampu nekat untuk mencuri, merampok, atau melakukan hal-hal yang tak baik. Banyak demo dan kerusuhan, karena masyarakat yang ingin menuntut hak-hak mereka sebagai warga Negara. Maka sebab itu, novel DSB ini memberikan makna bagi kita atau bahkan para pemimpin negara agar memiliki sikap patriotis menegakkan kebenaran dan membela rakyat kecil, karena kita adalah bagian dari negara ini yang mempunyai jati diri, walaupun berbeda suku, tetapi kita tetap menjadi satu kesatuan bangsa Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada tahap sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Analisis struktural yang terdapat dalam novel dom sumurup ing banyu meliputi fakta cerita dan sarana-sarana sastra. Fakta cerita terdiri atas alur karakter, dan tema. Alur dalam cerita novel DSB adalah maju mundur, karena awal cerita novel DSB hingga puncak di Batu Jamus menceritakan tentang perjalanan tugas seorang Herlambang menjadi seorang mata-mata utusan bangsa Belanda yang dislundupkan untuk mengambil gambar rumusan pabrik mesiu di Batu Jamus, yang rencananya akan dihancurkan oleh Belanda. Namun setelah Herlambang menangkap Yogyantara dan menyerahkan kepada komisaris Biro Spionase RI yaitu Ir. Suprayoga, cerita tersebut dilanjutkan tentang pengungkapan nama asli Herlambang. Herlambang mempunyai nama asli Hartono. Hartono dipanggil oleh Biro Spionase
RI untuk
menggagalkan
rencana
Belanda
yang
akan
menghancurkan pabrik mesiu Batu Jamus. Maka di utuslah Hartono untuk menyamar sebagai Herlambang (mata-mata sewaan yang terkenal beberapa Negara termasuk Belanda) untuk menggagalkan rencana tersebut dan menangkap pengkhianat RI, yang rela memberikan informasi tentang commit to user
198
199 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Negaranya sendiri kepada Belanda yang pada saat itu sedang menjajah Indonesia. Ada beberapa karakter yang muncul di antaranya Herlambang. Herlambang digambarkan memiliki karakter seseorang yang professional dalam pekerjaannya, tegas, cekatan, dan praktis dalam bertindak. Novel DSB juga memunculkan karakter tokoh bawahan yaitu Ngesthireni yang digambarkan sosok wanita yang berani, cekatan, baik hati, dan memgasihi sesama; Kiswanta digambarkan sebagai seorang yang berani, baik hati, jahat, dan tidak punya pendirian; Pengkuh digambarkan seorang yang keras kepala, bertekad kuat, dan pendendam; dan Yogyantara digambarkan sebagai orang yang licik, tidak punya pendirian, dan berkhianat. Latar waktu yang terdapat dalam novel DSB ini adalah ketika tahun 1948, ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Latar tempat yang terdapat dalam novel DSB adalah Mojokerto, Peterongan, Jombang, Madiun, Masaran, dan pabrik mesiu Batu Jamus. Latar sosial yang terdapat dalam novel DSB menggambarkan kehidupan masyarakat ketika bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Tema novel DSB adalah mata-mata. Sarana-sarana sastra dalam novel DSB terdiri dari judul, sudut pandang, serta gaya dan tone. Judul Dom Sumurup ing Banyu mengkiaskan tentang tugas seorang mata-mata. Sudut pandang yang digunakan dalam novel DSB secara keseluruhan adalah sudut pandang orang ketiga. Gaya yang digunakan dalam novel DSB adalah pemakaian bahasa bahasa asing, kalimat tanya, imaji/pencitraan, permajasan yaitu pemakaian idiom-idiom Jawa, majas simile, personifikasi, okupasi, dan commit to user
200 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
metonimia. Tone atau nada berhubungan dekat dengan gaya yang terdapat dalam novel DSB ini adalah tone misterius dan tone romantis. 2. Nilai estetika dan makna Nilai estetika yang terdapat dalam novel DSB yaitu memiliki kepadatan structural dan memiliki keindahan dalam segi kebahasaannya atau stilistika, serta mempunyai makna yang memberi pencerahan bagi masyarakat pembaca tentang betapa penting sikap patriotisme dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih belum tuntas dalam menelaah struktur sastra yang terdapat dalam novel Dom Sumurup Ing Banyu. Oleh sebab itu, novel Dom Sumurup Ing Banyu masih menarik untuk diteliti dari berbagai kajian, misalnya kajian sosiologi sastra atau psikologi sastra. Jadi, apabila pembaca berkeinginan untuk menelaah lebih lanjut novel Dom Sumurup Ing Banyu, kiranya dapat menjabarkan hal-hal tersebut yang belum dikupas. Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut.
commit to user