ANALISIS FAKTOR INDIVIDU PEMBENTUK ENTREPRENEURSHIP PADA PEREMPUAN PENGUSAHA PEMULA DI KOTA MALANG Oleh : Rahayu Relawati Abstract
Participation of women labor force is getting higher, including them who conduct entrepreneur’s activities. The research aimed to analyze personal factors, i.e..: knowledge, attitude and skill of woman beginner entrepreneur in managing their business. The research result was expected to answer a question why women’s entrepreneurship is less developed so their business also less developed. The research subject is woman beginner entrepreneur in Malang. The research result is as follows. Knowledge of most women beginner entrepreneur concerning management of their business is limited at accidental planning, product processing of their own business and a conventional marketing without any promotion. Their attitude is wishing to develop their business, but it is not supported with a serious effort to reach, meanwhile the attitude on investment is still simply to run the business. Skill of woman beginner entrepreneur in business management is still lower: their business planning is not noted, production process is done by their self and product marketing is still not accompanied by promotion to improve sale. The research recommendation is as follow. To move forward the business conducted by many women, government and institution which is have competence need to improve mental of entrepreneurship and managerial skill as part of life skills to improve woman empower in economic aspect.
Keyword entrepreneurship, knowledge, attitude, skill, beginner entrepreneur. Penulis Rahayu Relawati, Dosen Jurusan Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol.7No.3September-Desember‘09 Fak. Ekonomi - Universitas Cokroaminoto Yogyakarta ISSN: 1412-9450
PENDAHULUAN Jumlah entreprener perempuan makin bertambah seiring meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan. Banyak perempuan yang memasuki dunia entreprener diawali dari coba-coba untuk mengembangkan ketrampilan terkait pekerjaan domestik seperti masak-memasak atau jahit menjahit. Sebagian yang lain memulai usaha karena pekerjaan domestik sudah mulai berkurang, karena anak-anak sudah besar. Karakteristik memulai usaha yang demikian membawa konsekwensi pada lemahnya profesionalisme manajemen usaha. Para enterprener perempuan tersebut. lebih mudah masuk usaha di sektor informal. Sebuah penelitian tentang wirausaha florist di Kota Malang menunjukkan bahwa usaha yang banyak meli
Rahayu Relawati
Analisis Faktor Individu Pembentuk Entrepreneurship pada Perempuan Pengusaha Pemula di Kota Malang
batkan perempuan sebagai pengelola tersebut belum memisahkan secara tegas antara manajemen rumah tangga dan manajeman usaha terutama pada aspek keuangan sehingga kinerja usaha kurang dapat dievaluasi secara cermat. Hal ini disebabkan perempuan pengelola usaha belum memiliki sikap entrepreneur yang profesional (Relawati R., 2003). Penelitian lain tentang penguatan jaringan usaha melalui wadah organisasi perempuan merekomendasikan bahwa perlu dimulai pembinaan terhadap perempuan pengusahanya. Pembinaan yang dibutuhkan meliputi sikap mental entrepreneur, teknis produksi dan manajeman pemasaran (Relawati R., 2006).
Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dari sebuah penelitian yang tujuan akhirnya adalah merumuskan konsep Nurturing Entrepreneurship (pembelajaran/pembentukan sikap kewirausahaan) pada perempuan. Tujuan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor pribadi yaitu: pengetahuan, sikap dan ketrampilan perempuan pengusaha pemula dalam mengelola usaha mereka. Diharapkan hasil penelitian ini menjawab pertanyaan mengapa entrepreneurship pada perempuan belum berkembang optimal sehingga keberhasilan usaha juga belum maksimal.
Dari temuan kedua penelitian tersebut diketahui masalah dalam pengelolaan usaha oleh perempuan belum terbina dengan baik sikap mental entrepreneur mereka. Untuk merumuskan model pembelajaran entrepreneur yang efektif sangat penting untuk dianalisis faktor-faktor pribadi perempuan yang membentuk entrepreneurship (sikap kewirausahaan) tersebut. Bentuk-bentuk pelatihan yang ada selama ini hanya terfokus pada manajemen usaha. Secara spesifik bagaimana membentuk jiwa entrepreneur pada perempuan yang notabene masih banyak terkendala secara budaya belum menjadi kajian yang intensif.
Relawati R. (2003) dalam penelitian tentang Analisis Gender Pada Wirausaha Agribisnis menemukan bahwa wirausaha florist di Kota Malang banyak melibatkan perempuan sebagai pengelola usaha. Peran mereka terutama pada pengelolaan keuangan dan pembukuan usaha. Sedangkan pekerjaan teknis merangkai bunga justru banyak dikerjakan pekerja laki-laki karena pengerjaannya lebih banyak dilakukan pada malam hari. Dalam pengelolaan keuangan usaha, para pengusaha florist belum memisahkan secara tegas antara manajemen rumah tangga dan manajeman usaha terutama pada aspek keuangan sehingga kinerja usaha kurang dapat dievaluasi secara cermat.
TINJAUAN PUSTAKA
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 1-18
Pengelolaan keuangan usaha yang belum terpisah secara tegas dengan keuangan rumah tangga lebih disebabkan pada anggapan bahwa perempuan lebih tekun dalam mengatur keuangan. Namun disisi lain bekal pengetahuan manajemen usaha yang terbatas menyebabkan mereka tidak melakukan pembukuan yang sistematis. Pada kasus ini dan pada banyak kasus usaha rumah tangga yang lain, perempuan pengelola usaha belum memiliki sikap entrepreneur yang profesional sehingga usaha sulit untuk berkembang menjadi besar. Relawati R. (2006) dalam temuan awal dari penelitian tentang Penguatan Jaringan Usaha Melalui Wadah Organisasi Perempuan mengungkap bahwa perempuan pengusaha pemula mempunyai potensi dan kemauan untuk mengelola usaha. Hanya saja motivasi usaha mereka masih terbatas pada usaha sampingan sebagai tambahan atas pendapatan suami. Prinsip mendapatkan pendapatan tambahan (bukan pendapatan utama) menyebabkan orientasi pengembangan usaha mereka kurang maksimal. Secara faktual bisa jadi usaha mereka sudah memperoleh pendapatan yang lebih besar atau sama dengan penghasilkan suami. Namun karena konsep memperoleh pendapatan tambahan maka usaha mereka dianggap tidak terlalu penting. Kendala pengembangan usaha yang ditemukan
terutama adalah rendahnya spirit Entrepreneur dan lemahnya jaringan pemasaran. Hal ini perlu diperbaiki melalui pembinaan terhadap perempuan pengusahanya. Pembinaan yang dibutuhkan meliputi sikap mental entrepreneur, pembinaan teknis produksi dan manajeman pemasaran. Penelitian tersebut belum menjawab bagaimana metode pembinaan tersebut agar lebih efektif untuk menumbuhkan jiwa entrepreneur. Berwirausaha senantiasa melibatkan dua unsur pokok: peluang dan kemampuan menanggapi peluang. Karena itu, kewirausahaan adalah tanggapan terhadap peluang usaha yang terungkap dalam seperangkat tindakan serta membuahkan hasil berupa organisasi usaha yang melembaga, produktif dan inovatif. Para wirausaha adalah individu-individu yang berorientasi pada tindakan dan sukses. Wirausaha adalah mereka yang bisa menciptakan kerja bagi orang lain dan berswadaya (Faisol, 2007). Seorang perintis teori psikologi kewirausahaan, David Mc. Clelland pernah melakukan penelitian terhadap mahasiswa di Harvard University. Penelitian menemukan adanya korelasi antara tinggi rendahnya n-ach (need for achievement) pada kelompok mahasiswa yang diteliti, yang diukur semasa masih kuliah dengan pemilihan karier/pekerjaan setelah mereka tamat dan terjun ke masyarakat. Hasil penelitian menunjuk
Rahayu Relawati
Analisis Faktor Individu Pembentuk Entrepreneurship pada Perempuan Pengusaha Pemula di Kota Malang
kan bahwa bagi mereka yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi ternyata sekitar 66% diantaranya memilih karier sebagai pengusaha, sementara 34% lainnya memilih bidang pekerjaan lainnya. Sebaliknya pada mahasiswa yang mempunyai kebutuhan prestasi rendah, hanya sekitar 10% memilih pekerjaan sebagai pengusaha, dan 90% lainnya memilih pekerjaan di bidang lain. Selanjutnya Mc. Clelland mengembangkan penelitiannya terhadap orangorang di luar kampus yang terdiri dari beragam latar belakang profesi seperti guru, pengacara, pekerja bank, dokter, pengusaha dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara umum pengusaha (entrepreneur) mendapat nilai n-ach lebih tinggi dibandingkan orangorang dari bidang profesi lain. Dari hasil tersebut Mc. Clelland dan kawan-kawan akhirnya pada suatu kesimpulan bahwa ada hubungan yang erat antara kewirausahaan (entrepreneurship) dengan tingkat n-ach yang tinggi. Mc Clelland kemudian juga melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat n-ach dengan tingkat perkembangan ekonomi suatu negara. Hasilnya menujukkan adanya hubungan antara tingkat n-ach suatu negara dengan tingkat perkembangan perekonomiannya. Hasil penelitian tersebut pada tahun 1961 diterbitkan dalam buku berjudul “The Achieving Society”.
Dari hasil-hasil penelitiannya kemudian Mc. Clelland dan kawan-kawan mengambil kesimpulan bahwa betapa pentingnya meningkatkan n-ach seseorang dalam rangka mengembangkan jiwa entepreneurship masyarakat, yang bila dilihat dari segi ekonomi mikro dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha dan dari segi ekonomi makro dapat meningkatkan perekonomian suatu negara. Pentingnya n-ach pada entrepreneur menjadi landasan dalam pengembangan konsep nurturing entrepreneurship bahwa n-ach sebagai variabel penting yang harus diperhatikan. Pendekatan behaviorism dari ahli psikologi B. Watson menyatakan bahwa perilaku manusia bukan bersifat instingtif tetapi dapat dipelajari. Watson menyatakan bahwa perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan masyarakat atau dengan kata lain dibentuk oleh nurture, bukan dengan nature. Faktor nurture berperan lebih banyak daripada nature dalam pembentukan perilaku manusia, atau dapat dikatakan karena nature manusia menciptakan dan mempelajari culture maka nature dan nurture bukan saling beroposisi tetapi tetapi saling melengkapi (Macionis, 1996). Para ahli antropologi berpendapat bahwa sifat (nature) manusia yang diekspresikan dalam gagasan dan perilaku sangat bervariasi dari masyarakat satu
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 1-18
dengan masyarakat lainnya. Mengapa terjadi demikian karena pada masingmasing masyarakat dilakukan sosialisasi atau enkulturasi. Sosialisasi atau enkulturasi adalah proses dimana anggota baru masyarakat diajari sikap, nilai, perilaku dan ketrampilan yang menjadi dasar masyarakat tersebut (Plog, et all, 1979). Proses ini merupakan proses jangka panjang, yang bisa dimulai sejak bayi lahir dan berlanjut sampai seseorang meninggal. Sosialisasi meliputi instruksi eksplisit maupun contoh oleh keluarga dan masyarakat. Pendekatan behaviorism dari ahli psikologi B. Watson menyatakan bahwa perilaku manusia bukan bersifat instingtif tetapi dapat dipelajari. Watson menyatakan bahwa perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan masyarakat atau dengan kata lain dibentuk oleh nurture, bukan dengan nature. Faktor nurture berperan lebih banyak daripada nature dalam pembentukan perilaku manusia, atau dapat dikatakan karena nature manusia menciptakan dan mempelajari culture maka nature dan nurture bukan saling beroposisi tetapi tetapi saling melengkapi (Macionis, 1996). Para ahli antropologi berpendapat bahwa sifat (nature) manusia yang diekspresikan dalam gagasan dan perilaku sangat bervariasi dari masyarakat
satu dengan masyarakat lainnya. Mengapa terjadi demikian karena pada masing-masing masyarakat dilakukan sosialisasi atau enkulturasi. Sosialisasi atau enkulturasi adalah proses dimana anggota baru masyarakat diajari sikap, nilai, perilaku dan ketrampilan yang menjadi dasar masyarakat tersebut (Plog, et all, 1979). Proses ini merupakan proses jangka panjang, yang bisa dimulai sejak bayi lahir dan berlanjut sampai seseorang meninggal. Sosialisasi meliputi instruksi eksplisit maupun contoh oleh keluarga dan masyarakat. Dari proses enkulturasi, seseorang bisa belajar tentang nilai, sikap, perilaku dan ketrampilan. Hal ini juga dapat diperoleh dari proses pendidikan baik formal maupun non formal. Pendidikan merupakan transmisi pengetahuan, pemahaman, sikap dan cara untuk melakukan sesuatu yang menjadi karakteristik masyarakat tertentu. Pendidikan tidak hanya diperoleh dari pengajaran ketrampilan teknis tetapi juga bagian dari proses sosialisasi. Pendidikan mempunyai banyak bentuk, baik instruksi formal maupun informal. Pada kebanyakan masyarakat, justru pembelajaran ketrampilan khusus tidak diperoleh dari pendidikan formal. Ketrampilan dan sikap dipelajari dari observasi ‘on the job’ (Plog, et all, 1979).
Rahayu Relawati
Analisis Faktor Individu Pembentuk Entrepreneurship pada Perempuan Pengusaha Pemula di Kota Malang
METODE PENELITIAN Tempat penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu di Kota Malang. Unit analisis dibatasi pada perempuan pengelola usaha pemula yang terhimpun dalam wadah Ikatan Pengusaha Aisyiyah. Teknik pengumpulan data formal dan informal digunakan, mencakup: observasi lapang, angket terbuka, serta wawancara mendalam. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Berbagai jawaban informan tentang pengetahuan, sikap dan ketrampilan kemudian diringkas dan dikelompokkan berdasarkan jawaban yang bermakna sama. Masing-masing kelompok jawaban yang bermakna sama selanjutnya diuraikan untuk memperjelas pemaknaan jawaban informan. HASIL PENELITIAN Pengetahuan, sikap dan ketrampilan perempuan pengusaha pemula dinilai dari hasil wawancara tentang aspek
manajemen usaha, meliputi perencanaan usaha, produksi dan pemasaran hasil. Jika usaha yang dilakukan merupakan usaha dagang maka aspek produksi tidak dibahas, tetapi diganti dengan aspek pencarian/pembelian barang dagangan. a. Pengetahuan Pengusaha Pemula Pengetahuan pengusaha pemula sangat penting untuk mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengelola usaha. Wawancara mendalam mengungkap pengetahuan mereka tentang manajemen usaha. Pengetahuan tentang manajemen usaha digali dari tiga aspek yaitu perencanaan, produksi dan pemasaran. Untuk memperjelas deskripsi, sebaran informan berdasarkan kelompok jawaban disajikan pada Grafik 1. Perbandingan visual dengan grafik diagram batang dapat menunjukkan perbandingan jumlah informan pada masing-masing kelompok jawaban.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 1-18
Grafik 1. Sebaran pengetahuan informan tentang perencanaan, produksi dan pemasaran Keterangan grafik : 1) Pengetahuan perencanaan : A 1 : Aktivitas yang akan dilakukan terkait usaha A 2 : Rencana aktivitas yang akan dilakukan selama satu minggu/bulan/tahun A 3 : Rencana kegiatan yang akan dilakukan selama satu bulan/ tahun secara detil termasuk anggaran biayanya 2) Pengetahuan tentang produksi : A 1 : Hasil pembuatan produk A 2 : Proses/cara pembuatan produk 3) Pengetahuan tentang pemasaran : A 1 : Penjualan produk / barang dagangan A 2: Promosi dan penjualan produk/barang dagangan
a.1. Pengetahuan Tentang Perencanaan Usaha Perencanaan usaha merupakan bagian penting dalam manajemen. Temuan lapang mengindikasikan bahwa pengetahuan tentang perencanaan usaha masih sangat minim dan belum merata. Berikut secara berurutan dideskripsikan pengetahuan tentang perencanaan. Sebagian besar informan 26/38 (68,4%) mengetahui perencanaan usaha sebatas pada “aktivitas yang akan dilakukan terkait usaha”. Perencanaan yang mereka pahami sebatas pada rencana jangka pendek bahkan yang bersifat insidentil. Jawaban seperti ini antara lain diberikan oleh informan pengusaha pakaian, misalnya menjelang lebaran pengusaha pakaian merencanakan menambah barang dagangan karena pasti pembeli akan meningkat. Informan lain pada usaha makanan ada yang mencontohkan perencanaan usaha ada
Rahayu Relawati
Analisis Faktor Individu Pembentuk Entrepreneurship pada Perempuan Pengusaha Pemula di Kota Malang
lah menentukan jumlah makanan yang akan dijual dalam seminggu. Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pengusaha pemula mengetahui tentang perencanaan sebagai suatu aktivitas rencana usaha dalam jangka yang sangat pendek (harian, mingguan, atau rencana insidental pada event tertentu). Lebih jauh tentang unsur apa saja yang harus ada dalam perencanaan dan bagaimana menyusun perencanaan belum diketahui oleh sebagian besar informan. Urutan berikutnya sebanyak 10/38 informan (26,3%) adalah informan dengan pengetahuan tentang perencanaan sebagai “rencana aktivitas yang akan dilakukan selama satu minggu/bulan/tahun”. Kelompok informan ini tidak mengetahui/menyebutkan bahwa perencanaan usaha juga mencakup anggaran biayanya. Pada kelompok ini sudah ada pengetahuan yang setingkat lebih baik, yakni memahami perencanaan bukan sekedar rencana insidentil, melainkan sudah ada rutinitas dalam waktu satu minggu/bulan/tahun. Ada sedikit jumlah perempuan pengusaha pemula, 2/38 informan (5,3%) yang sudah memiliki pengetahuan perencanaan cukup detil. Pengetahuan tersebut adalah “rencana kegiatan yang akan dilakukan selama satu bulan/tahun secara detil termasuk anggaran bia
yanya”. Perempuan pengusaha pemula yang sedikit ini sudah relatif maju dalam menjalankan usaha mereka. Minimnya pengetahuan tentang perencanaan usaha dapat dimengerti karena mereka memulai usaha umumnya berangkat dari hobby (seperti memasak, menjahit) atau karena mencoba-coba berdagang. Pengetahuan yang terbatas tentang perencanaan sebagai fungsi pertama dan utama dalam manajemen mengindikasikan secara umum pengetahuan manajemen mereka juga lemah. Dampak lebih jauh dari kondisi ini tentu ketrampilan manajemennya juga lemah. a.2. Pengetahuan tentang Produksi Produksi merupakan aktivitas penting pada usaha yang melakukan pembuatan produk. Pengusaha perempuan dalam penelitian ini yang melakukan aktivitas produksi adalah usaha kue, katering, minuman instant, kaos olah raga dan penjahit. Temuan lapang mengindikasikan bahwa pengetahuan tentang produksi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok (lihat Grafik 1). Sebagian informan (14/38 = 36,8%) memahami produksi sebagai hasil pembuatan produk, selanjutnya disebut kelompok pertama. Pemahaman kelompok pertama ini produksi merupakan kuantitas output dari suatu proses pro-
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 1-18
duksi. Sebagian besar informan (24/38 = 63,2%) menjelaskan produksi sebagai proses dan cara pembuatan produk, selanjutnya disebut kelompok kedua. Dari informan sebanyak 38 orang, hanya 18 orang diantara mereka yang usahanya melakukan aktivitas produksi. Selebihnya 20 orang tidak melakukan aktivitas produksi karena usaha mereka hanya usaha dagang atau jasa persewaan komputer, Wartel dan lain-lain. Kelompok jawaban kedua berasal dari semua informan yang melakukan proses produksi dan sebagian dari mereka yang tidak melakukan aktivitas produksi. Pengetahuan kelompok kedua digali lebih jauh tentang apa dan bagaimana proses produksi yang dilakukan pada masing-masing usaha mereka. Mereka yang melakukan proses produksi dalam usahanya semuanya mampu menjelaskan proses produksi pada usaha mereka. Hal ini dapat dimengerti karena memang semua pengusaha pemula tersebut melakukan semua aktivitas usahanya sendiri bersama keluarga, ada juga yang mempunyai pekerja namun secara teknis pemilik usaha menguasai teknis produksi. Misalnya pada pengusaha minuman instant yang sudah relatif maju dan tidak melakukan semua aktivitas produksi karena kesibukan pada berbagai pertemuan usaha, pengetahuan produksi dikuasai karena pengusaha sendiri yang mengajarkan semua pekerja tentang teknis produksi. Demikian juga
pada pengusaha kaos olah raga, pemiliknya menguasai pengetahuan tentang teknis produksi. Informan dari kelompok jawaban kedua yang tidak melakukan proses produksi dalam usahanya tidak diwawancara detil tentang proses produksi. a.3. Pengetahuan tentang Pemasaran Pemasaran merupakan ujung tombak dari aktivitas usaha. Paradigma baru pemasaran adalah “memproduksi apa yang dapat dipasarkan”. Semua pengusaha perempuan dalam penelitian ini melakukan aktivitas pemasaran. Temuan lapang mengindikasikan bahwa pengetahuan tentang pemasaran dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok (lihat Grafik 1). Berikut secara berurutan dideskripsikan pengetahuan tentang pemasaran. Sebagian besar informan (32/38 = 84,2%) mengetahui pemasaran sebagai penjualan produk/barang dagangan. Pada kelompok informan ini mereka hanya menjelaskan bagaimana mereka secara rutin melakukan penjualan. Ketika mereka ditanya bagaimana upaya untuk meningkatkan penjualan maka belum tampak ide-ide untuk melakukan peningkatan penjualan. Sebagian kecil lainnya yaitu sebanyak 6/38 (15,8%) mengetahui pemasaran sebagai promosi dan penjualan produk/barang da
Rahayu Relawati
Analisis Faktor Individu Pembentuk Entrepreneurship pada Perempuan Pengusaha Pemula di Kota Malang
gangan. Jadi pada kelompok jawaban kedua ini mereka sudah mempunyai pengetahuan lebih baik bahwa dalam pemasaran ada upaya-upaya promosi yang harus dilakukan. Jawaban ini nampak pada penjelasan mereka tentang bentuk-bentuk promosi yang dilakukan dapat dengan cara-cara: mengikuti pameran atau bazar, memberikan produk contoh (kue), dan memberikan bonus pada sejumlah pembelian tertentu yang cukup besar. Perlu diketahui bahwa istilah ’promosi’ ini merupakan pemaknaan yang diberikan peneliti terhadap jawaban informan tentang upaya meningkatkan penjualan. Dari kondisi pengetahuan perempuan pengusaha pemula tentang pemasaran yang masih sangat terbatas, dapat
dimengerti mengapa usaha mereka masih sulit untuk dikembangkan. Sebagian dari mereka yang usahanya sudah relatif maju, memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang pemasaran dibandingkan sebagian besar informan. b. Sikap Pengusaha Pemula Sikap pengusaha pemula sangat penting untuk mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengelola usaha. Wawancara mendalam mengungkap sikap mereka sebagai enterprener. Sikap sebagai enterprener digali dari dua aspek yaitu sikap dalam mengembangkan usaha dan berinvestasi. Untuk memperjelas deskripsi, sebaran informan berdasarkan kelompok jawaban disajikan pada Grafik 2.
Grafik 2. Sikap Informan dalam mengembangkan usaha dan berinvestasi Keterangan grafik : 1) Mengembangkan Usaha : B1 : Tidak berpendapat B2 : Setuju namun merasa belum mampu 10
B3 : Setuju dan sangat menginginkan B4: Setuju dan sangat menginginkan diikuti upaya menyisihkan sebagian keuntungan untuk investasi
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 1-18
2) Berinvestasi : B1 : Menganggap penting berinvestasi untuk menjalankan usaha B2 : Investasi penting untuk pengembangan usaha saat ini B3 : Investasi penting untuk pengembangan usaha dan jika perlu mencari modal tambahan dari luar b.1. Sikap dalam Mengembangkan Usaha Sikap seorang enterprener tentang pengembangan usaha sangat penting dalam menentukan keberhasilan usaha. Temuan lapang mengindikasikan bahwa sikap tentang pengembangan usaha cukup beragam. Setelah diringkas, jawaban informan dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok sikap. Berikut secara berurutan dari kelompok sikap yang terbanyak dideskripsikan pengetahuan tentang pengembangan usaha. Jumlah kelompok jawaban terbesar adalah informan yang setuju dan sangat menginginkan pengembangan usaha 15/38 (39,5%). Layaknya orang yang sudah memulai usaha maka mereka menginginkan usaha yang makin besar. Namun pada kelompok jawaban ini mereka tidak menyatakan sikap lain yang memperkuat keinginan mengembangkan usaha.
Kelompok jawaban kedua yang diberikan oleh sejumlah orang yang hampir sama dengan kelompok pertama yaitu 14/38 (36,8%) menyatakan bahwa mereka setuju dan sangat menginginkan pengembangan usaha serta diikuti upaya menyisihkan sebagian keuntungan untuk investasi. Kelompok jawaban kedua ini menunjukkan sikap yang makin kuat dalam keinginan mengembangkan usaha. Memang pengembangan usaha tidak mungkin dilakukan tanpa adanya modal tambahan. Sikap demikian lebih banyak muncul pada usaha yang sudah mempunyai keuntungan lebih besar. Kelompok jawaban lain dari informan sebanyak 7/38 (18,4%) menyatakan setuju terhadap pengembangan usaha namun mereka merasa belum mampu = 7/38 (18,4%). Sikap demikian lebih banyak muncul pada usaha yang belum mempunyai keuntungan besar, dan pada kondisi kemampuan ekonomi keluarga yang terbatas. Kelompok jawaban ini memang terkesan sebagai sikap pesimistis para perempuan pengusaha pemula. Diantara informan ada juga sebagian kecil, 2/38 (5,3%), yang tidak berpendapat atau memberikan respon terhadap pertanyaan tentang pengembangan usaha mereka. Dengan malu-malu para ibu setengah baya yang mempunyai usaha rumah tangga tersebut menggeleng sambil mengatakan ”tidak tahu” 11
Rahayu Relawati
Analisis Faktor Individu Pembentuk Entrepreneurship pada Perempuan Pengusaha Pemula di Kota Malang
apakah mereka mempunyai keinginan untuk mengembangkan usaha. b.2. Sikap dalam Berinvestasi Sikap seorang enterprener untuk berinvestasi pada usaha mereka sangat penting dalam menentukan keberhasilan usaha. Temuan lapang mengindikasikan bahwa sikap tentang berinvestasi dalam usaha cukup beragam. Setelah diringkas, jawaban informan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok sikap. Berikut secara berurutan dari kelompok sikap yang terbanyak dideskripsikan sikap tentang berinvestasi dalam usaha. Jumlah kelompok jawaban terbesar adalah informan yang menganggap penting berinvestasi untuk menjalankan usaha (17/38 = 44,7%). Layaknya orang yang sudah memulai usaha maka mereka menginginkan usaha yang makin besar, sehingga penting untuk berinvestasi. Sikap dalam berinvestasi ini memang sejalan dengan sikap mereka dalam pengembangan usaha. Namun pada kelompok jawaban ini mereka tidak menyatakan sikap lain yang memperkuat keinginan berinvestasi. Kelompok jawaban berikutnya adalah sikap mereka bahwa investasi penting untuk pengembangan usaha saat ini. Kelompok jawaban ini diberikan oleh sejumlah 13/38 informan (34,2%). Kelompok jawaban sikap ini lebih maju 12
dari kelompok terbanyak pertama. Jika pada kelompok jawaban pertama mereka menganggap penting investasi untuk menjalankan usaha, maka kelompok kedua ini menganggap penting investasi untuk mengembangkan usaha. Sikap demikian diberikan karena usaha mereka sudah cukup menguntungkan dan ingin dikembangkan menjadi lebih besar. Kelompok jawaban berikutnya yang diberikan oleh sebanyak 8/38 informan (21,1%) adalah investasi penting untuk pengembangan usaha dan jika perlu mereka mencari modal tambahan dari luar. Kelebihan sikap ini dibandingkan kelompok sikap sebelumnya adalah keberanian mencari pinjaman modal (bank dan atau koperasi). Sikap ini diberikan oleh usaha yang sudah cukup maju, pengetahuan mereka tentang perencanaan usaha dan pemasaran lebih baik dibandingkan informan lain. Akses mereka terhadap sumberdaya pendukung bisnis seperti lembaga keuangan juga cukup luas. Dalam dunia bisnis, dengan kemampuan dana pribadi/keluarga yang terbatas tentu dibutuhkan modal eksternal untuk mengembangkan usaha. c. Ketrampilan Pengusaha Pemula Ketrampilan pengusaha pemula sangat penting dalam menjalankan usaha untuk keberhasilan mereka. Wawancara mendalam mengungkap ket-
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 1-18
rampilan mereka dalam menjalankan manajemen usaha. Ketrampilan tentang manajemen usaha digali dari tiga aspek yaitu perencanaan, produksi dan pemasaran. Berbagai jawaban informan kemudian diringkas dan dikelompokkan berdasarkan jawaban yang bermakna sama.
Masing-masing kelompok jawaban yang bermakna sama selanjutnya diuraikan untuk memperjelas pemaknaan jawaban informan. Untuk memperjelas deskripsi, sebaran informan berdasarkan kelompok jawaban disajikan pada Grafik 3. Perbandingan visual dengan grafik diagram batang dapat menunjukkan perbandingan jumlah informan pada masing-masing kelompok jawaban.
Grafik 3. Ketrampilan Informan dalam Perencanaan, Produksi dan Pemasaran Keterangan grafik: 1) Ketrampilan perencanaan C1 : Merencanakan aktivitas yang akan dilakukan insidental tanpa catatan C2 : Merencanakan aktivitas yang akan dilakukan selama satu minggu/bulan tanpa catatan C3 : Merencanakan kegiatan yang akan dilakukan selama satu bulan dengan catatan sederhana dan anggaran kasar 2) Ketrampilan produksi C1 : Tidak melakukan pembuatan
produk (jasa/dagang) C2 : Mampu melakukan pembuatan produk sendiri C3 : Mampu melakukan pembuatan produk sendiri namun dibantu pekerja 3) Ketrampilan pemasaran C1 : Melakukan penjualan produk / barang dagangan sendiri C2 : Mampu melakukan promosi dan penjualan produk/barang dagangan sendiri C3 : Mampu melakukan promosi dan penjualan produk sendiri namun dibantu pekerja 13
Rahayu Relawati
Analisis Faktor Individu Pembentuk Entrepreneurship pada Perempuan Pengusaha Pemula di Kota Malang
c.1. Ketrampilan dalam Perencanaan Perencanaan usaha merupakan bagian penting dalam manajemen. Temuan lapang mengindikasikan bahwa ketrampilan dalam perencanaan usaha masih sangat minim dan belum merata. Berikut secara berurutan dari yang terbanyak dideskripsikan ketrampilan dalam perencanaan usaha. Ketrampilan perencanaan usaha ini sejalan dengan pengetahuan mereka tentang perencanaan tersebut. Sebagian besar informan, 25/38 (65,8%) merencanakan aktivitas yang akan dilakukan secara insidental tanpa catatan. Perencanaan yang mereka lakukan sebatas pada rencana jangka pendek bahkan yang bersifat insidentil. Ketrampilan merencanakan sebatas insidentil ini antara lain diberikan oleh informan pengusaha pakaian, misalnya menjelang lebaran pengusaha pakaian merencanakan menambah barang dagangan karena pasti pembeli akan meningkat. Informan lain pada usaha toko bahan makanan ada merencanakan untuk menentukan jumlah bahan makanan yang akan dijual dalam seminggu. Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa ketrampilan dari sebagian besar pengusaha pemula dalam masih bersifat jangka yang sangat pendek (harian, mingguan, atau rencana insidental pada event tertentu) dan tanpa catatan sama 14
sekali. Lebih jauh mereka tidak merinci unsur apa saja yang direncanakan dan bagaimana pelaksanaannya belum dilakukan oleh sebagian besar informan. Urutan berikutnya sebanyak 11/38 informan (28,9%) adalah informan yang merencanakan aktivitas yang akan dilakukan selama satu minggu/bulan namun tanpa catatan. Kelompok informan ini tidak memiliki ketrampilan dan tidak melakukan penganggaran biaya tertulis dalam perencanaan usaha tersebut. Jika dianalisis pada kelompok ini sudah ada ketrampilan yang setingkat lebih baik, yakni ketrampilan perencanaan bukan sekedar rencana insidentil, melainkan sudah ada rutinitas dalam waktu satu minggu / bulan / tahun. Ada sedikit jumlah perempuan pengusaha pemula, 2/38 informan (5,3%) yang sudah memiliki ketrampilan perencanaan lebih baik. Mereka merencanakan kegiatan yang akan dilakukan selama satu bulan dengan catatan sederhana dan anggaran kasar. Ketrampilan tersebut dimiliki oleh sangat sedikit perempuan pengusaha pemula yang usahanya relatif maju. Minimnya ketrampilan dalam perencanaan usaha dapat dimengerti karena pengetahuan mereka tentang perencanaan juga terbatas, dan mereka belajar berusaha secara otodidak, tanpa didasari ilmu pengetahuan manajemen
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 1-18
bisnis yang memadai. Mereka juga memulai usaha umumnya berangkat dari hobby dan karena mencoba-coba berdagang untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Ketrampilan yang terbatas dalam perencanaan sebagai fungsi pertama dan utama dalam manajemen mengindikasikan secara umum ketrampilan manajemen mereka juga lemah. Dampak lebih jauh dari kondisi ini tentu usaha mereka juga belum berpotensi besar untuk dikembangkan. c.2. Ketrampilan dalam Berproduksi Produksi merupakan aktivitas penting pada usaha yang melakukan pembuatan produk. Pengusaha perempuan dalam penelitian ini yang melakukan aktivitas produksi adalah usaha kue, katering, minuman instant, kaos olah raga dan penjahit. Seluruh informan diwawancara tentang ketrampilan mereka dalam melakukan aktivitas produksi. Wawancara ini diperkuat dengan obserbasi pada sebagian informan saat ada aktivitas produksi, sehingga ketrampilan pengusaha dalam aktivitas produksi dapat diamati langsung. Temuan lapang mengindikasikan bahwa ketrampilan dalam produksi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok (lihat Grafik 3). Berikut secara berurutan dideskripsikan ketrampilan berproduksi.
informan (52,6%) tidak melakukan pembuatan produk, sehingga mereka tidak diwawancara tentang ketrampilan berproduksi. Jumlah ini relatif besar, sekaligus indikasi bahwa dari informan perempuan pengusaha pemula 38 orang, lebih dari separoh mereka melakukan usaha uang tidak memerlukan aktivitas prouksi. Hal ini dapat berkaitan dengan peluang usaha dagang lebih menarik bagi mereka tanpa ada risiko kegagalan pembuatan produk. Alasan lebih jauh, usaha terkait produksi memerlukan kecakapan vokasional (bagian dari life skills) yang tidak dimiliki banyak orang. Sebagian informan mampu melakukan pembuatan produk sendiri (10/38 = (26,3%). Mereka yang memiliki ketrampilan produksi ini seiring dengan pemahaman mereka tentang produksi dengan urutan dana cara yang jelas. Proses pembuatan produk tersebut harus baik agar laku dipasarkan. Ketrampilan dalam berproduksi digali lebih jauh tentang apa dan bagaimana proses produksi yang dilakukan pada masing-masing usaha mereka. Mereka yang melakukan proses produksi dalam usahanya semuanya mempunyai ketrampilan proses produksi pada usaha mereka. Hal ini dapat dimengerti karena memang semua pengusaha pemula tersebut melakukan semua aktivitas usahanya sendiri bersama keluarga.
Sebagian informan yang usahanya berupa usaha dagang atau jasa, 20/38 15
Rahayu Relawati
Analisis Faktor Individu Pembentuk Entrepreneurship pada Perempuan Pengusaha Pemula di Kota Malang
Kelompok berikutnya adalah mereka yang memiliki ketrampilan produksi, mampu melakukan pembuatan produk sendiri namun dibantu pekerja. Jumlah mereka sebanyak 8/38 informan (21,1%). Mereka mempunyai pekerja namun secara teknis pemilik usaha menguasai ketrampilan teknis produksi. Kadang ketika pengusaha sedang berada di rumah mereka melakukan sebagian atau seluruh proses produksi, bersama-sama dengan pekerja. Cara seperti ini dirasakan cukup efektif untuk mengontrol proses produksi agar kualitas produk tetap terjaga baik. Perempuan pada usaha yang sudah relatif maju tidak melakukan semua aktivitas produksi sendiri, karena tidak mungkin semua pekerjaan dapat diselesaikan. Apalagi, mental enterprener jika usahanya ingin semakin besar maka harus ada proses pengalihan pekerjaan pada pekerja mereka. Jika waktu habis untuk mengerjakan proses produksi, maka kesempatan memikirkan pengembangan usaha dan membangun jaringan pemasaran menjadi sangat terbatas. c.3. Ketrampilan dalam Pemasaran Pemasaran merupakan ujung tombak dari aktivitas usaha. Paradigma baru pemasaran adalah “memproduksi apa yang dapat dipasarkan”. Semua pengusaha perempuan dalam penelitian ini melakukan aktivitas pemasaran. Temuan lapang mengindikasikan bahwa 16
ketrampilan dalam pemasaran dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (lihat Grafik 3). Secara berurutan kelompok dideskripsikan dari kelompok terbanyak dalam ketrampilan dalam pemasaran. Ketiga kelompok tersebut adalah : •
Melakukan penjualan produk / barang dagangan sendiri = 21/38 (55,3%)
•
Mampu melakukan promosi dan penjualan produk sendiri = 9/38 (23,7%)
•
Mampu melakukan promosi dan penjualan produk sendiri namun dibantu pekerja = 8/38 (21,1%)
Sebagian besar informan (21/38 = 55,3%) memiliki ketrampilan pemasaran dengan melakukan penjualan produk/ barang dagangan sendiri. Kelompok informan ini hanya menjelaskan bagaimana mereka secara rutin melakukan penjualan. Ada yang dengan membuka kios, depot makanan, menjual produk di rumah dan dijajakan ke teman/tetangga, memanfaatkan pertemuan organisasi / pengajian dan lain-lain. Pada mereka belum ada upaya khusus untuk meningkatkan penjualan. Kelompok jawaban berikutnya adalah mereka yang memiliki ketrampilan promosi dan sekaligus penjualan produk, yaitu sebanyak 9/38 (23,7%). Jadi
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 1-18
pada kelompok jawaban kedua ini mereka sudah mempunyai ketrampilan lebih baik bahwa dalam pemasaran ada upaya-upaya promosi yang harus dilakukan. Mereka melakukan bentuk-bentuk promosi dalam berbagai cara. Perempuan pengusaha pemula mengikuti acara pameran atau bazar, biasanya terkait dengan event hari besar nasional atau hari besar keagamaan yang diselenggarakan organisasi. Pada beberapa kesempatan pengusaha kue juga memberikan produk contoh (kue) sambil menawarkan sewaktu-waktu dapat memesan kue padanya. Promosi juga dilakukan dengan pemberian bonus pada sejumlah pembelian tertentu yang cukup besar, misalnya pada produk pakaian Muslimah (kerudung, dll). Perlu diketahui bahwa istilah ’promosi’ ini merupakan pemaknaan yang diberikan peneliti terhadap jawaban informan tentang upaya meningkatkan penjualan. Sebagian kecil dari informan (8/38 = 21,1%) mampu memasarkan produk sendiri namun juga dibantu oleh pekerja. Hal ini dilakukan karena usaha yang menetap di satu tempat memerlukan bantuan pekerja, dan pada usaha yang memerlukan distribusi produk dengan jangkauan pemasaran cukup luas tidak mungkin hanya ditangani sendiri. Pada kelompok jawaban ini menunjukkan usaha mereka sudah cukup berhasil.
Kondisi ketrampilan perempuan pengusaha pemula dalam pemasaran yang masih sangat terbatas dan masih dominan hanya ditangani sendiri, menunjukkan bahwa usaha mereka masih kecil. Sebagian dari mereka yang usahanya sudah relatif maju, memiliki ketrampilan yang lebih baik dalam pemasaran yaitu dengan berusaha membuka jaringan distribusi produk lewat toko-toko lain. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:. 1. Pengetahuan sebagian besar perempuan pengusaha pemula tentang manajemen usaha terbatas pada perencanaan usaha yang bersifat insidentil, proses pembuatan produk pada usahanya dan cara pemasaran produk konvensional tanpa upaya promosi. 2. Sikap sebagian besar perempuan pengusaha pemula sangat menginginkan pengembangan usaha walaupun belum didukung dengan upaya mencapainya, sedangkan sikap dalam berinvestasi mayoritas masih sekedar untuk menjalankan usaha. 3. Ketrampilan perempuan pengusaha pemula dalam manajemen usahanya masih rendah. Perencanaan usaha yang dilakukan tidak tercatat, proses 17
Rahayu Relawati
Analisis Faktor Individu Pembentuk Entrepreneurship pada Perempuan Pengusaha Pemula di Kota Malang
produksi dilakukan sendiri dan pemasaran produk masih banyak yang belum disertai upaya promosi untuk meningkatkan penjualan. Saran yang direkomendasikan adalah sebagai berikut: 1. Untuk memajukan usaha yang banyak dilakukan perempuan, pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten perlu membina perempuan pengusaha pemula dalam aspek manajemen usaha. 2. Pembinaan mental entrepreneurship sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan diri perempuan dan semangat memajukan usaha mereka. 3. Pembinaan ketrampilan manajemen sebagai bagian dari life skills penting penting dilakukan melalui berbagai media, terutama melalui pendidikan non formal. DAFTAR PUSTAKA Charina Anne, 2004. Identifikasi Karakteristik Entrepreneur Sukses Dan Analisis Perbedaan Kelompok Entrepreneur (Studi Kasus Dengan 22 Sampel Pengusaha Sukses Di Kec.Cikoneng. Ciamis). Thesis Pascasarjana Teknik Industri - Institut Teknologi Bandung. 18
Faisol, 2007. Manajer, Entrepreneur, Intrapreneur dan Seminar. Dipublikasikan di Internet: http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?IDKate gori=Opini&id=195119 Macionis, John J., 1996. Society The Basics, Third Edition. Prentice-Hall, New Jersey, USA. Plog, Fred and D.G.Bates, 1979. Cultural Anthropology. Second Edition. Alfred A.Knoff, Inc. USA. Relawati, Rahayu, 2003. Analisis Gender Pada Wirausaha Agribisnis (Studi Kasus pada Wirausaha Florist di Kota Malang). Laporan Penelitian Dosen Muda DIKTI. Relawati, Rahayu, 2006. Penguatan Jaringan Usaha Melalui Wadah Organisasi Perempuan (Studi Kasus pada Usaha Milik Warga Aisyiyah di Kota Malang). Laporan Penelitian Program Penelitian Unggulan (P2U) UMM.
PENGARUH OFFICE CHANNELLING TERHADAP KINERJA BANK SYARIAH DI INDONESIA Oleh: M. Zubaedy S. dan Surifah Abstrak
Pemerintah mendorong perkembangan perbankkan syariah dengan mengeluarkan kebijakan dalam bentuk office channeling. Penelitian ini, bermaksud menguji pengaruh office channeling terhadap kinerja perbankan syariah di Indonesia. Hasil penelitian berdasar uji t menunjukkan bahwa hanya rasio PER (Profit Expense Ratio) yang merupakan perbandingan antara profit after tax dengan total expense, yang berbeda secara signifikan antara sebelum dan setelah OC. Namun Namun berdasar uji Man Whitney U menunjukkan bahwa dari 9 rasio keuangan di atas tidak ada satupun yang berbeda secara signifikan antara sebelum dan setelah OC. Hal ini berarti bahwa dengan adanya OC, kinerja perbankan syariah di Indonesia tidak berbeda secara signifikan baik sebelum OC maupun setelah OC.
Keyword Office chanelling, kinerja bank syariah Penulis M. Zubaedy S., Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Cokroaminoto Yogyakarta Surifah, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol.7No.3September-Desember‘09 Fak. Ekonomi - Universitas Cokroaminoto Yogyakarta ISSN: 1412-9450
Pendahuluan Pada saat ini (2008) kita dapat melihat bahwa di Indonesia telah berkembang banyak lembaga keuangan syariah dalam bentuk Bank Umum Syariah, unit usaha syariah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Pada akhir tahun 2007 setidaknya tercatat 3 Bank umum syariah, 26 unit usaha syariah dan 105 BPR Syariah. Sedangkan jumlah jaringan kantor dari ketiga lembaga tersebut pada tahun 2007 sedikitnya tercatat lebih dari 630-an kantor, diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah. Dengan dikeluarkannya kebijakan tentang Office Channelling (PBI No. 8/3/2006 sebagai mana diubah dalam PBI No.9 tahun 2007) kantor unit usaha syariah pada bank konvensional semakin tidak terbatas pada kantornya saja, karena dapat menggunakan kantor-kantor pada perbankan konvensional yang sudah tersebar di Indonesia. Menilik sejarahnya, perkembangan yang pesat pada lembaga keuangan dan perbankan syariah ini berhubungan erat dengan perkembangan dan kemajuan perbankan syariah internasional, semangat kebangkitan Islam pada era 80-an, dukungan dari Majelis Ulama Indonesia serta Dukun19
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
gan Pemerintah dalam bentuk Undangundang dan peraturan perbankkan yang berlaku. Semangat kebangkitan Islam terutama dipelopori oleh kalangan muda terdidik yang ingin menerapkan Islam pada semua aspek kehidupan, termasuk aspek ekonomi dan keuangan. Kebangkitan Islam ini ditandai dengan maraknya acara-acara bertajuk keislaman di kampus-kampus besar, penerbitan buku-buku Islam yang sangat banyak, kecenderungan kaum muslimah terpelajar untuk memakai jilbab, dan tumbuh pesatnya TPA yang mengajarkan bacatulis alqur’an (Rizky, 2007). Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam suatu lokakarya dengan topik utama “ Masalah bunga bank dan perbankan” di Cisarua pada tanggal 18-19 Agustus 1990, merekomendasikan agar didirikan lembaga perbankkan syariah untuk mewadahi kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi terhadap sistem keuangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Sejalan dengan hal ini, pada bulan Nopember 1991 berdirilah bank Muamalat Indonesia (BMI), yang merupakan bank pertama di Indonesia yang berdasarkan prinsip syariah. Berdirinya BMI ini diprakarsai oleh Majlis Ulama Indonesia, pemerintah, dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), serta beberapa pengusaha muslim Indonesia.
20
Dalam perkembangannya dukungan dari MUI semakin besar dengan ijtima ulama komisi fatwa se-Indonesia yang pada tanggal 16 Desember 2003 menetapkan fatwa tentang bunga. Pengertian bunga dalam fatwa tersebut adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman, tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu dan diperhitungkan secara pasti dimuka berdasarkan prosentase. Sedangkan Riba adalah tambahan (Ziyadah) tanpa imbalan, yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Fatwa ini secara tegas menyatakan bahwa praktek bunga uang saat ini telah memenuhi kriteria riba sebagaimana yang terjadi pada zaman rasululloh (riba nasi’ah) sehingga dinyatakan haram hukumnya. Sementara dukungan dari pemerintah dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang membuka peluang kegiatan usaha perbankan syariah dengan istilah bank bagi hasil, sehingga pada periode 1992 sampai dengan 1998, telah beroperasi satu bank umum syariah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Pada tahun 1998, Undang-undang nomor 7 Tahun 1992 diubah dengan UU Nomor 10 tahun 1998. Berdasar undang-undang yang baru ini, memungkinkan perbankan diselengga-
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
rakan dalam dua sistem, yaitu 1)sistem perbankan konvensional dan 2) sistem perbankan berdasarkan prinsip syariah. Pada Tahun 1999 dikeluarkan UU N0. 23 yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk selain menjalankan tugasnya pada perbankan konvensional, juga pada perbankan yang berdasarkan prinsip syariah. Pada tahun 1999 ini, BI mengeluarkan ketentuan mengenai kelembagaan dan jaringan kantor bagi bank Umum Syariah (BUS), Bank Umum Konvensional (BUK) yang membuka unit usaha syariah dan Kantor Cabang Syariah (KCS), serta ketentuan mengenai BPR Syariah (BPRS). Dukungan pemerintah untuk mendorong perbankan syariah semakin besar, ketika pada tahun 2006 diterbitkan Peraturan Bank Indonesia PBI No. 8/3/2006 tentang Office Channelling (OC). Peraturan Bank Indonesia ini memungkinkan unit usaha syariah (UUS) bank konvensional membuka layanan penghimpunan dana masyarakat atau
Dana Pihak Ketiga (DPK) diberbagai kantor cabang konvensional. Setahun setelahnya, BI lebih memperlonggar kebijakan tentang OC tersebut dengan menerbitkan PBI No.9 tahun 2007 yang merevisi PBI No. 8/3/2006. Dalam PBI hasil revisi itu, BI tak hanya mengijinkan UUS melakukan penjaringan DPK, tapi juga menyalurkannya kembali dalam bentuk pembiayaan kepada masyarakat melalui kantor cabang OC. Sebelumnya kantor OC hanya boleh dibuka dikantor cabang konvensional di suatu wilayah BI bila UUS memiliki satu kantor cabang. Namun, dengan dikeluarkannya PBI revisi, UUS kini boleh membuka kantor UUS dengan cakupan wilayah provinsi. Dengan dukungan dari berbagai pihak tersebut di atas, lembaga perbankan syariah terus bermunculan. Perkembangan kelembagaan Perbankan Syariah sejak tahun 1992 sampai tahun 2007 dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini:
21
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
Tabel 1 Perkembangan kelembagaan Perbankan Syariah
Sumber: Bank Indonesia, dalam berbagai terbitan
Dengan adanya PBI No.8/3/2006 sebagaimana telah di ubah dengan PBI No.9 tahun 2007 Kinerja perbankan sya-
riah meningkat 30% lebih seperti terlihat dalam tabel 2 (Republika, 11 Januari 2008), berikut ini.
Tabel 2 Kinerja perbankan syariah November 2006-2007
Sumber: Bank Indonesia 2007
Perkembangan kinerja bank syariah ini semakin menarik untuk dicermati, khususnya setelah adanya peraturan mengenai office channelling, oleh karena itu tulisan ini akan mengkaji tentang “pengaruh office channelling terhadap kinerja bank syariah di Indonesia”.
22
Perumusan Masalah Berdasar pada uraian di atas perkembangan perbankan syariah Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu semangat kebangkitan Islam, perkembangan Perbankan Islam Internasional, pengusaha-pengusaha muslim, ICMI, Majlis Ulama Indonesia (MUI), dan Pemerintah.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
Kalau kita cermati perkembangan perbankan Islam seperti yang terlihat pada tabel I, khususnya pada unit usaha syariah jumlah kelembagaannya mengalami peningkatan yang sangat tajam, yaitu dari berjumlah 8 unit pada tahun 2003 menjadi 15 unit pada tahun 2004, hal ini bisa jadi disebabkan karena adanya fatwa dari MUI tentang pengharaman bunga bank. Jumlah ini terus membesar hingga pada 2007 menjadi 26 unit usaha syariah, bisa jadi hal ini juga disebabkan karena adanya kebijakan Bank Indonesia tentang Office Cannelling (OC) yang dikeluarkan pada tahun 2006. Fatwa dari MUI dan berbagai kebijakan perbankan secara kelembagaan mampu untuk meningkatkan jumlah kelembagaan perbankan syariah, namun apakah secara finansial kinerja perbankan syariah juga turut meningkat?. Berdasar penelitian Ika (2006) menunjukkan bahwa Fatwa MUI tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perbankan Islam maupun konvensional. Penelitian Ika ini dapat dihubungkan dengan penelitian Widowati (1998) dan penelitiannya Ganis (2006). Widowati menganalisis faktor-faktor strategik yang mempengaruhi kinerja industri perbankan di Indonesia yang menunjukkan bahwa dari ketiga variabel yang mempengaruhi variabel kinerja organisasi yakni variabel kualitas pelayanan, faktor produktifitas dan market acuity ternyata hanya variabel kualitas pelay-
anan yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kinerja organisasi. Hasil penelitian Ganis (2006) yang menunjukkan bahwa faktor kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan di Jawa tengah dan DIY pada Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah mandiri dan BNI Syariah. Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Office Cahnnelling (OC) diduga sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan perbankan, karena dengan adanya OC memungkinkan unit usaha syariah (UUS) bank konvensional membuka layanan penghimpunan dana masyarakat atau Dana Pihak Ketiga (DPK) diberbagai kantor cabang konvensional, hal ini akan semakin mendekatkan bank syariah pada para konsumennya yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pelayanan. Dari berbagai uraian diatas permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaruh Office Channelling terhadap kinerja perbankan syariah di Indonesia. Pengaruh Office channelling terhadap kinerja bank syariah di Indonesia dapat dikaji dengan membandingkan perbedaan kinerja bank syariah sebelum dan setelah adanya Office channelling, Oleh karena itu perumusan masalah penelitian ini adalah:
23
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
1. Bagaimana pengaruh Office Channelling terhadap kinerja perbankan syariah di Indonesia. 2. Apakah terdapat perbedaan kinerja perbankan syariah Indonesia sebelum dan setelah adanya Office Channelling” Tinjauan Pustaka Dan Perumusan Hipotesis Kinerja merupakan salah satu faktor penting yang menunjukkan efektifitas dan efisiensi suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuannya. Penilaian kinerja dimaksudkan untuk menilai keberhasilan suatu organisasi. Penilaian kinerja diproksi dengan berbagai indikator. Pemilihan indikator penilaian sebagai proksi kinerja perusahaan merupakan faktor yang sangat penting karena menyangkut ketepatan hasil penilaian itu sendiri. Dalam riset-riset yang berkaitan dengan penilaian kinerja perusahaan, pada umumnya para peneliti memilih proksi kinerja perusahaan berdasarkan pertimbangan (Payamta dan Machfoedz, 1999): 1) hasil riset-riset sejenis masa sebelumnya, 2) menggunakan tolok ukur yang telah ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, 3) kelaziman dalam praktik dan 4) mengembangkan model pengukuran melalui pengujian secara statistik terlebih dahulu untuk memilih tolok ukur yang sesuai dengan tujuan risetnya. 24
Banyak studi dilakukan untuk menguji kinerja perusahaan dengan mendasarkan pada laporan keuangan yang dipublikasikan. Beberapa studi yang berhubungan dengan penilaian kinerja perusahaan dengan menggunakan indikator rasio keuangan adalah: Payamta dan Mas’ud Machfoedz (1999) mengukur kinerja keuangan perusahaan perbankkan dengan menggunakan berbagai rasio CAMEL (Capital adequacy; Assets quality; Management; Earning; dan Liquidity,). Rasio CAMEL ini ditetapkan juga oleh Bank Indonesia (otoritas moneter) sebagai salah satu faktor penting untuk menilai kesehatan bank. Rusdi (2000) memproxy kinerja dengan menggunakan angka-angka seperti Sales, Sales growth, Market share, market share growth, ROI (Return on investment), Return on Sales yang datanya bersumber dari laporan keuangan. Rahmawati (2001) mengukur kinerja keuangan dengan menggunakan net profit margin, Growth in Sales dan Return On Assets yang juga berasal dari laporan keuangan. Rasio Keuangan dapat juga dipakai sebagai indikator sistem peringatan awal (early warning system) terhadap kemajuan dan kemunduran kondisi keuangan suatu perusahaan. Berbagai ukuran kinerja yang biasa digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan indikator selain yang berasal dari laporan keuangan adalah: pada perusahaan-pe-
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
rusahaan yang telah memublik kinerja perusahaan lazim diukur dengan menggunakan perubahan harga dan retun (return) saham, karena harga saham merupakan fungsi dari nilai perusahaan. Apabila kinerja sebuah perusahaan publik meningkat, nilai keusahaannya akan semakin tinggi, yang diapresiasi oleh pasar dalam bentuk kenaikan harga saham. Sebaliknya berita buruk tentang kinerja perusahaan akan diikuti dengan penurunan harga saham perusahaan di pasar modal. Oleh karena itu perubahan harga saham relevan dijadikan dasar penilaian tentang kinerja perusahaan publik. Widowati (1998), menganalisis faktor-faktor strategik yang mempengaruhi kinerja industri perbankan di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari ketiga variabel yang mempengaruhi variabel kinerja organisasi yakni variabel kualitas pelayanan, faktor produktifitas dan market acuity ternyata hanya variabel kualitas pelayanan yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel kinerja organisasi. Hasil penelitian Widowati ini didukung oleh penelitiannya Ganis (2006), yang menyatakan bahwa faktor kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan di Jawa tengah dan DIY pada Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah mandiri dan BNI Syariah.
Kamal dan Na’im (2000) mengevaluasi kinerja manajerial dengan menggunakan instrument self rating yang dikembangkan oleh Mahoney dkk (1963). Dalam instrumen ini setiap responden diminta untuk mengukur kinerjanya sendiri dengan memilih skala satu sampai dengan tujuh. Kinerja manajerial yang diukur meliputi delapan dimensi yaitu perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi, supervisi, pengaturan staff, negosiasi, dan representasi serta satu dimensi pengukuran kinerja secara keseluruhan. Rusdi (2000) memproxy kinerja dengan menggunakan angka-angka seperti Sales, Sales growth, Market share, market share growth, ROI (Return on investment), Return on Sales. Cahyono (1998), menggunakan ukuran kepuasan konsumen, kepuasan karyawan dan kualitas industri untuk mengevaluasi kinerja perusahaan. Rahmawati (2001) mengukur kinerja keuangan dengan menggunakan net profit margin, Growth in Sales dan Return On Assets. Penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan kinerja perbankan Islam juga menilai kinerja dengan berdasarkan pada laporan keuangan. Penelitian-penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh: Samad dan M. Kabir Hassan (2000) meneliti tentang kinerja Bank Islam Malaysia selama tahun 1984 sampai tahun 1997, dengan 25
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
menggunakan alat uji T-test dan F-test. Kinerja perbankkan di nilai berdasarkan rasio profitabilitas, likuiditas, risiko dan solvabilitas (risk and solvency) dan community involvement. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Bank Islam Malaysia Berhad relatif lebih likuid dan lebih kecil risikonya dibandingkan dengan 8 bank konvensional. Wibowo dan Sabtutyningsih (2004) meneliti tentang analisis tingkat kesehatan perbankan pada PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri pada tahun 2000 sampai 2003, dengan menggunakan rasio CAMELModified, hasilnya menunjukkan bahwa kedua bank tersebut sehat. Siti Rochmah Ika (2006) meneliti tentang pengaruh Fatwa MUI tentang keharaman bunga bank terhadap kinerja Bank syariah dan Bank Konvensional di Indonesia. Pengukuran Kinerja menggunakan ukuran yang sama dengan yang digunakan Samad dan M. Kabir Hassan, yaitu profitabilitas, likuiditas risk and solvency) dan community involvement. Alat uji yang digunakan adalah Uji Wilcoxon Sign Rank test, uji Paired T-test dan Uji Wilks Lambda Manova. Hasilnya menunjukkan bahwa fatwa MUI tentang kaharaman bunga bank tidak mempengaruhi tingkat kinerja bank syariah maupun bank swasta.
26
Berdasar penelitian-penelitian terdahulu bahwa kinerja perusahaan khususnya perbankan dinilai berdasarkan pada analisis rasio keuangan, maka penelitian ini nantinya juga akan menggunakan rasio-rasio pada laporan keuangan untuk menilai kinerja perbankan syariah. Berdasar penelitian Ika (2006) menyatakan bahwa Fatma MUI tentang kekaharaman bunga bank tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja bank syariah maupun bank konvensional, sedangkan berdasarkan penelitian widowati (1998) yang didukung oleh penelitiannya Ganis (2006), menunjukkkan bahwa faktor strategik yang mempengaruhi kinerja perbankan syariah hanya faktor pelayanan, sedangkan OC chanelling akan sangat berpengaruh terhadap faktor pelayanan ini, maka untuk sementara dapat diduga bahwa OC akan berpengaruh terhadap kinerja perbankan syariah Indonesia. Dugaan sementara ini juga didukung oleh realita bahwa antara 2006 sampai 2007 (setelah adanya OC) perkembangan bank syariah cukup pesat (lihat tabel 1 dan 2). Pengaruh PBI tentang OC terhadap kinerja perbankan syariah dapat dikaji dengan membandingkan apakah terdapat perbedaan kinerja bank syariah sebelum dan setelah adanya PBI tentang OC. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas hipotesis alternatif penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
Ha : Terdapat perbedaan kinerja perbankan syariah Indonesia antara sebelum dan setelah adanya Office Channelling yang diukur berdasarkan rasio keuangan. Metode Penelitian 1. Populasi Dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh perbankan syariah yang meliputi Bank Umum syariah dan unit usaha syariah. Sampel penelitian diambil secara purposive, yaitu harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Terdapat laporan keuangan pada tahun 2004 dan 2005 mewakili sebelum adanya OC. b. Terdapat laporan keuangan pada tahun 2006 dan tahun 2007 mewakili setelah adanya OC. Peraturan mengenai OC pertama kali dikeluarkan pada tanggal 30 Januari 2006 atau terjadi pada awal tahun 2006, Oleh karena itu dalam penelitian ini tahun 2006 sudah dapat mewakili periode setelah adanya OC. 2. Sumber Data Dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan sumber data historis. Data sekunder berupa laporan keuangan tahun 2004 sampai
dengan tahun 2007 dapat diambil dari direktori perbankan dan didukung dengan informasi keuangan lainnya yang lebih detail yang dapat diakses melalui Internet atau di Pojok Bursa Efek Indonesia. Data pendukung lainnya diperoleh dan dikumpulkan dari berbagai buku, jurnal ilmiah, mass media, serta sumber-sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. 3. Definisi Operasional dan pengukuran Variabel penelitian a. Office Channelling (OC) Variabel independen dalam penelitian ini adalah OC. OC adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang ditetapkan oleh Gubernur BI pada tanggal 30 Januari 2006, dengan nomor 8/3/PBI/2006 tentang perubahan kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional. Peraturan BI tentang OC ini, dimaksudkan untuk dapat lebih mendorong perkembangan bank syariah Indonesia. Dengan adanya OC memungkinkan unit usaha syariah (UUS) bank konvensional membuka layanan penghimpunan dana masyarakat atau Dana Pihak Ketiga (DPK) diberbagai kantor cabang konvensional. 27
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
Setahun setelahnya, BI lebih memperlonggar kebijakan tentang OC tersebut dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No.9/7/PBI/2007 yang merevisi PBI No. 8/3/2006. Dalam PBI hasil revisi itu, BI tak hanya mengijinkan UUS melakukan penjaringan DPK, tapi juga menyalurkannya kembali dalam bentuk pembiayaan kepada masyarakat melalui kantor cabang OC. Sebelumnya kantor OC hanya boleh dibuka dikantor cabang konvensional di suatu wilayah BI bila UUS memiliki satu kantor cabang. Namun, dengan dikeluarkannya PBI revisi, UUS kini boleh membuka kantor UUS dengan cakupan wilayah provinsi. b. Pengukuran variabel kinerja Variable dependent penelitian ini adalah kinerja bank syariah Indonesia. Pengukuran kinerja dengan menggunakan indikator rasio-rasio keuangan seperti yang telah dilakukan oleh banyak peneliti terdahulu antara lain oleh: Payamta dan Mas’ud Machfoedz (1999), Rusdi (2000), Samad dan M.Khabir Hasan (2000), Rahmawati (2001), Surifah (2002), Wibowo dan Sabtuningsing (2004), dan Ika (2006). Rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini mereplikasi penelitian-penelitian sebelumnya yaitu penelitiannya Samad dan Hasan (2000) serta Ika (2006). Rasiorasio tersebut adalah:
28
1) Profitability, yaitu indikator kemampuan bank memperoleh laba apabila dihubungkan dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Semakin besar rasio ini berarti semakin bagus kinerja suatu bank. Profitability dalam penelitian ini diproksikan dengan Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE), dan Profit Expense Ratio (PER). ROA merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan modal sendiri. PER merupakan perbandingan antara profit after tax dengan total expense. PER yang semakin besar menunjukkan bahwa suatu bank cost effecient. 2) Liquidity, yaitu indikator kemampuan bank dalam menyelesaikan kewajiban jangka pendeknya. Bank merupakan suatu institusi dengan resiko likuiditas yang tinggi karena simpanan nasabah dalam bentuk giro dan tabungan dapat diambil kapan saja. Jika terjadi penarikan dana (rush) dalam waktu singkat bank bisa kesulitan likuiditas. Liquidity dalam penelitian ini diproksikan dengan cash deposit ratio (CDR), loan deposit ratio (LDR), current ratio (CR) dan current asset ratio (CAR). Kecuali rasio LDR, semakin tinggi nilai rasio-rasio tersebut berarti suatu bank semakin likuid. CDR merupakan perbandingan antara cash dan bank dengan total deposit. Kepercayaan nasabah
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
semakin tinggi bila bank mempunyai CDR yang tinggi. LDR adalah total loan dibagi dengan total deposit. Semakin tinggi LDR mengindikasikan bank mempunyai tekanan finansial karena memberikan kredit/pinjaman yang berlebihan. CR merupakan perbandingan antara cash and bank dengan demand deposit (simpanan giro). Rasio ini mengindikasikan bank mempunyai aset yang likuid untuk membayar uang penabung. Sedangkan CAR adalah aktiva lancar dibagi dengan total aktiva. 3) Risk and Solvency. Yaitu indikator kemampuan perusahaan menyelesaikan kewajiban jangka panjangnya. Solvency dalam penelitian ini diproksikan dengan debt to equity ratio (DER), Debt to total assets ratio (DTAR), dan equity multiplier (EM). Semakin tinggi nilai rasio ini berarti suatu bank semakin beresiko. DER merupakan perbandingan antara total utang dengan total ekuitas. DER yang rendah mengindikasikan kinerja bank yang baik karena modal bank kuat untuk menyerap financial shock bila aktiva menurun atau kredit yang diberikan tidak terbayar. DTAR adalah total utang dibagi dengan total aktiva, sedangkan EM adalah total aktiva dibagi dengan total ekuitas. EM yang semakin besar mengindikasikan bahwa suatu bank telah meminjam dana yang berlebi-
han untuk mengkonversikannya dengan ekuitas menjadi total aktiva. 4) Commitment to Economy and Muslim Community (CEME). Yaitu indikator komitment bank syariah untuk meningkatkan perekonomian dan pelayanan masyarakat muslim. Rasio ini diproksikan dengan Government bond investment (GBD) dan mudaraba-musyaraka ratio (MML). GDB merupakan perbandingan antara kas yang ditempatkan pada bank Indonesia dengan total deposit. Semakin tinggi rasio ini mengindikasikan bahwa suatu bank lebih likuid dan lebih kecil resikonya. Sedangkan MML adalah pembiayaan mudaraba dikurangi dengan musharaka dibagi dengan total loan. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin besar komitment bank syariah untuk pembangunan masyarakat. c. Teknik Statistik Teknik statistik yang digunakan meliputi Uji normalitas data, Uji beda ratarata rasio profitability, liquidity, Risk dan Solvency serta CEME bank syariah sebelum dan setelah adanya OC dengan menggunakan analisis non parametrik seperti uji Rank Wilcoxon yang merupakan pengembangan dan penyederhanaan dari uji Mann-Whitney U. dan juga dilengkapi dengan analisis parametric dengan t-test. 29
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
Uji normalitas data digunakan untuk mengetahui apakah data dari masing-masing variabel (rasio keuangan) berdistribusi normal atau tidak. Jika data tersebut berdistribusi normal maka digunakan pengujian univariate secara parametrik, seperti t-test Sedangkan jika tidak berdistribusi normal maka digunakan univariate secara non parametrik seperti uji Rank Wilcoxon. Dalam penelitian ini, uji normalitas data menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test dengan tingkat signifikansi 5%. Pengujian Rank Wilcoxon merupakan pengembangan dan penyederhanaan konsep pengujian Mann-Whitney. Pengujian ini digunakan untuk menguji perbedaan dua sampel yang independen dan tidak menuntut bahwa sampel tersebut harus berdistribusi normal (Subiyakto, 1995, hal.238). d. Langkah-Langkah Pengujian Langkah-langkah pengujian yang akan dilakukan dalam penelitian untuk menguji hipotesis adalah: 1) Menentukan Hipotesis nol (Ho). Ho penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan kinerja perbankan syariah sebelum dan setelah adanya Peraturan Bank Indonesia tentang OC, yang diukur berdasarkan rasio keuangan.
30
2) Menguji normalitas data yang akan di Uji dengan menggunakan OneSample Kolmogorov-Smirnov test seperti yang telah dilakukan oleh Jin (1997) untuk menentukan jenis pengujian yang akan dilakukan. Jika Asymp. Sig (2-tailed) > 0,05 maka data berdistribusi normal, sebaliknya jika < 0,05 data berdistribusi tidak normal. 3) Menghitung besarnya rasio profitability, liquidity, Risk dan Solvency serta CEME pada tiap perbankan syariah sebelum dan setelah adanya PBI tentang OC 4) Mencari rata-rata rasio profitability, liquidity, Risk dan Solvency serta CEME dua tahun sebelum dan dua tahun setelah adanya PBI tentang OC 5) Membandingkan rata-rata rasio tersebut 2 tahun sebelum dan 2 tahun setelah adanya PBI tentang OC dengan menggunakan alat uji 6) Menguji signifikansi perbedaan masing-masing rasio profitability, liquidity, Risk dan Solvency serta CEME sebelum dan setelah adanya OC dengan tingkat signifikansi 5%, dengan uji Rank Wilcoxon dan T-test 7) Dilakukan analisis terhadap kinerja perbankkan sebelum dan setelah
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
adanya PBI tentang OC dan menyimpulkan hasil analisis.
4. Unit Usaha Syariah Bank Niaga 5. Unit Usaha Syariah Bank Permata
HASIL DAN PEMBAHASAN
6. Unit Usaha Syariah Bank BPD Kalimantan Selatan
a. Sampel Penelitian
7. Unit Usaha Syariah Bank BPD DKI
Berdasar kriteria sampel yang disebutkan di atas, maka sampel Bank Umum Syariah terdiri dari: 1. Bank Mandiri 2. Bank Mega 3. Bank Muamalat Indonesia Sampel Unit Usaha Syariah meliputi: 1. Unit Usaha Syariah Bank BRI 2. Unit Usaha Syariah Bank BTN
8. Unit Usaha Syariah Bank BPD Aceh 9. Unit Usaha Syariah Bank BPD Jabar dan Banten 10. Unit Usaha Syariah Bank BPD NTB 11. Unit Usaha Syariah Bank BPD Riau b. Statistik Deskriptif Rasio Keuangan tahun 2004-2005 dan 20062007 Statistik Deskriptif Rasio Keuangan tahun 2004-2005 dan 2006-2007 dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.
3. Unit Usaha Syariah Bank Bukopin
31
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
Tabel 1 Descriptive Statistics Rasio Keuangan Tahun 2004-2005
Tabel 2 Descriptive Statistics Rasio Keuangan Tahun 2006-2007
32
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
Berdasar Statistik deskripsi diatas maka rata-rata rasio keuangan sebelum Office Channeling (OC) untuk 4 rasio berikut yaitu ROE, PER, CDR, GBD lebih kecil dibandingkan setelah Office Channeling. Sedangkan untuk 7 rasio lainnya yaitu ROA, LDR, CR, CAR, DER, DTAR dan EM sebelum OC lebih besar dibandingkan setelah OC. Sehingga se-
cara sekilas dapat dilihat bahwa kinerja keuangan setelah office channeling tidak lebih baik dari pada sebelum OC. Namun hal ini masih akan di uji signifikansi perbedaannya dengan menggunakan uji t dan uji Man Whitney. Perbandingan rata-rata rasio keuangan sebelum OC dan setelah OC berdasar pada statistic deskriptif dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Descriptive Statistics Perbandingan Rata-rata Rasio Keuangan Tahun 2004-2005 dengan 2006-2007
c. Uji Normalitas Data Uji normalitas data diperlukan untuk mengetahui alat analisis yang seharusnya digunakan parametrik atau non parametrik. Apabila data berdistribusi normal maka akan digunakan analisis
parametrik (uji t) dan apabila tidak normal akan digunakan uji non parametrik (Man Whitney U). Dalam penelitian ini, digunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test untuk menguji normalitas data dari ma33
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
sing-masing variabel, dengan tingkat signifikansi 5%. Hasil pengujian tersebut dapat di lihat pada tabel 4. Berdasar
tebel 4, dapat di tarik kesimpulan sebagaimana terdapat pada tabel 5.
Tabel 4 Uji Normalitas data One- Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Tabel 5. Hasil Pengujian Normalitas Masing-Masing Variabel
Dari tabel 5 dapat diketahui bahwa dari 11 rasio keuangan (variabel) yang diuji terdapat 2 rasio yang berdistribusi normal, dan 9 rasio yang berdistribusi tidak normal. Dua rasio yang berdistribusi normal adalah PER dan DTAR. Kedua rasio tersebut akan diuji dengan anali-
34
sis parametrik yaitu t-test. Sedangkan 9 rasio lainnya tidak berdistribusi normal, sehingga pengujian menggunakan analisis parametrik seperti t-test tidak tepat. Alternatif yang dapat digunakan adalah menggunakan analisis non parametrik yaitu uji Mann-Whitney U.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
d. Hasil Uji t-test Dua rasio keuangan yang berdistrinusi normal akan di uji perbedaannya
dengan menggunakan uji independent sampel t-test, dengan hasil pada tabel 6 dan 7 sebagai berikut:
Tabel 6 Group Statistics
Tabel 7 Hasil uji - Independent Samples Test
Berdasar dari uji t tersebut dapat diketahui bahwa hanya rasio PER (Profit Expense Ratio) yang merupakan perbandingan antara profit after tax dengan total expense, yang berbeda secara signifikan antara sebelum dan setelah OC. Hal ini berarti dengan adanya OC maka
laba bank syariah mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan total biaya yang dikeluarkan. Hal ini bisa dimengerti karena dengan adanya OC, maka unit usaha syariah dapat menggunakan fasilitas-fasilitas pada bank konvensional sehingga tidak perlu 35
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
mengeluarkan biaya sendiri dalam menyediakan fasilitas-fasilitas seperti gedung, mesin ATM dan bahkan karyawan pada bank konvensional dapat melayani transaksi pada nasabah unit usaha syariah. Dengan demikian Implikasi OC terhadap praktik perbankan syariah adalah dapat memotong total biaya operasi unit usaha syariah.
c. Hasil Uji dengan Man Whitney U 9 rasio keuangan yang berdistribusi tidak normal akan di uji dengan uji Man Whitney U. Hasil pengujiannya dapat di lihat dalam tabel 8 dan 9.
Tabel 8 Uji Man Whitney U
Tabel 9 Uji Man Whitney U
36
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
Berdasar dari uji Man Whitney U dapat diketahui bahwa dari 9 rasio keuangan di atas tidak ada satupun yang berbeda secara signifikan antara sebelum dan setelah OC. Hal ini berarti bahwa dengan adanya OC, kinerja perbankan syariah di Indonesia tidak berbeda secara signifikan baik sebelum OC maupun setelah OC. Berdasar ke 9 rasio ini berarti bahwa penelitian ini tidak mampu menolak hipotesis nol. Kesimpulan Berdasar dari uji t tersebut dapat diketahui bahwa hanya rasio PER (Profit Expense Ratio) yang merupakan perbandingan antara profit after tax dengan total expense, yang berbeda secara signifikan antara sebelum dan setelah OC. Hal ini berarti dengan adanya OC maka
laba bank syariah mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan total biaya yang dikeluarkan. Hal ini bisa dimengerti karena dengan adanya OC, maka unit usaha syariah dapat menggunakan fasilitas-fasilitas pada bank konvensional sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya sendiri dalam menyediakan fasilitas-fasilitas seperti gedung, mesin ATM dan bahkan karyawan pada bank konvensional dapat melayani transaksi pada nasabah unit usaha syariah. Dengan demikian Implikasi OC terhadap praktik perbankan syariah adalah dapat memotong total biaya operasi unit usaha syariah. Berdasar dari uji Man Whitney U dapat diketahui bahwa dari 9 rasio keuangan di atas tidak ada satupun yang berbeda secara signifikan antara 37
M. Zubaedy S. dan Surifah
Pengaruh Office Channelling Terhadap Kinerja Bank Syariah di Indonesia
sebelum dan setelah OC. Hal ini berarti bahwa dengan adanya OC, kinerja perbankan syariah di Indonesia tidak berbeda secara signifikan baik sebelum OC maupun setelah OC. Daftar Pustaka Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah tahun 2006, 2007. Cahyana, Budhi (1998), “Analisis hubungan berbagai dimensi kualitas dengan kinerja perusahaan pada industri manufaktur di kodya Semarang,” Tesis S2 Fakultas Ekonomi UGM. Ika, Siti Rochmah, 2006, Pengaruh Fatma MUI Tentang keharaman Bunga Bank Terhadap Kinerja Bank Syariah dan Bank Konvensional Di Indonesia, Janavisi Vol 9, No.3, 2006, Halaman 315- 332 Kamal, Maulana dan Na’im Ainun, 2000, Pengaruh Perselisihan dalam Gaya Evaluasi Kinerja Anggaran terhadap Kinerja: Tekanan kerja dan Kepuasan Kerja sebagai variabel Mediasi, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.3, No.1, Januari, Hal. 68-101. Payamta dan Machfoedz,M, (1999) Evaluasi Kinerja Perusahaan Perbankan Sebelum Dan Sesudah Menjadi Perusahaan Publik Di Bursa Efek Ja38
karta, Kelola, No.20/VIII/1999, Hal. 54-69. Lembaran Negara republik Indonesia tahun 2006 nomor 5 Dpbs, Peraturan Bank Indonesia, Nomor Nomor 8/3/PBI/2006 tentang perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank umum yang berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional, Ditetapkan di Jakarta, tanggal 30 Januari 2006 oleh Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Lembaran Negara republik Indonesia tahun 2007 nomor 70 Dpbs, Peraturan Bank Indonesia, Nomor 9/7/ PBI/2007 tentang perubahan atas peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank umum yang berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional, Ditetapkan di Jakarta, tanggal 4 Mei 2007 oleh Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Republika, Tiga Skenario Pangsa Bank Syariah, Jum’at 11 January 2008 halaman 16.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 19-39
Rahmawati, Penny (2001), Pengaruh strategi inovasi pada kinerja keuangan perusahaan manufaktur di Indonesia, Tesis S2 Fakultas Ekonomi UGM.
Widowati, Mustika (1998), Analisis faktor-faktor strategig yang mempengaruhi kinerja industri perbankan di Indonesia, Tesis S2 Fakultas Ekonomi UGM.
Rusdi, Muhammad (2000), Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja bisnis ndustri manufaktur, Tesis S2 Fakultas Ekonomi UGM
Wirawan, Ganis (2007), Pengaruh faktor-faktor layanan terhadap kepuasan pelanggan Bank Syariah (Studi Kasus di DIY dan Jawa Tengan), Optimal, Volume 4, Nomor 1, Oktober 2006, Halaman 117-143.
Rizky, Awalil (2007), BMT, Fakta Dan Prospek Baitul Maal Wat Tamwil, UCY Press, Yogyakarta. Samad, Abdus and M.Khabir Hassan, 2000, “The performance of malaysian Islamic Bank During 1084-1997: An Explanatory Study”, International Journal of Islamic Financial Service Vol. 1 No.3. Surifah, 2002, Kinerja keuangan perbankan swasta Nasional Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi, Jurnal Akuntansi dan auditing Indonesia, Volume 6 No.2, Syawal 1423 H /Desember 2002 M, halaman 2343. Wibowo, Edi dan Endah Sabtutyningsih, 2004, “Analisis Tingkat kesehatan Perbankan Pada PT Bank Muamalat Indonesia Dan PT Bank Syariah Mandiri,” JESP Vol.5 N0.1, Juli 2004
39
INTERNATIONAL TRANSFER PRICING by Sabaruddin Abstract
This paper analyzes the problems encountered by a Multinational Corporation in settimg the prices for its exported products to subsidiaries. When the corporation chooses a certain method of International Transfer Pricing, it must consider not only profit maximization, but also such other factors as performace evaluation, governments and tax authorities in both home and host countries. This paper also discusses in detail several International Transfer Pricing Methods including the Method allowed by Tax Regulation and the determinant aspects that influence the choice of the price. The result of the analysis is to recommend the use of the Market-based Price since this method is considered as the most appropriate one that meet the interest of all the concerned parties.
Keyword Market Price, Profit Maximization, Performance, Evaluation, Tax Regulation. Penulis Sabaruddin, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol.7No.3September-Desember‘09 Fak. Ekonomi - Universitas Cokroaminoto Yogyakarta ISSN: 1412-9450
40
INTRODUCTION One of the most difficult problems for a Multinational Corporation is to determine the prices at which goods, services, and technology are traded between related subsidiaries in different countries. The problems arise since several aspects of international business environment affect the setting of an International Transfer Pricing (ITP). A multinational manager will consider such aspects as rates of income taxation, duties and quotas imposed on imported materials, foreign market competition, managerial preference for risk avoidance through consideration of risks associated with exchange rate fluctuations and rates of inflation, capital flows restrictions and currency regulations imposed by a host government, the form of affiliate’s company, and income smoothing consideration. In addition, the behavioral dimension of managerial rewards and controls through performance evaluation will be considered in selecting price method as an International Transfer Pricing basis. The use of the method often result in a conflict among all concerned parties such as transferring and receiving divisions within the MNC and governments and tax authorities in both home and host countries.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 40-56
In this paper, I will discuss the role of International Transfer Pricing within an MNC, several determinants factors, various methods used in common and allowed by tax regulation, ITP in practices, the impact of choosing a method on the concerned parties, and the appropriate method for ITP. DISCUSSION The Role of International Transfer Pricing A multinational manager should consider the two most important role of International Transfer Pricing (ITP); to promote goal congruence and to enhance performance evaluation. Goal congruence could be promoted through global profit maximization with the objective of minimizing overall corporate’s income taxes and import duties, reducing environmental risk such as exchange risk, and accelerating the return on investment. ITP of a Multinational Corporation (MNC) should encourage headquarter manager as well as subsidiary manager to maximize corporate profits. At the same time, an MNC manager is responsible for maximizing the profits or minimizing the cost of responsibility center within the MNC. If there is a conflict between maximizing the corporate’s profit and responsibility center’s profits,
the corporate profits are likely to suffer. For example, if a US parent company’s manager concentrate his/her productive resources on producing a product for a sale to his/her subsidiary in Indonesia only because of low tax rate consideration, 35% compared to 42% in the USA, that stimulates him/her to underpricing the product, he/she may be maximizing the subsidiary’s profit at the expense of the parent’s profits. If so, the ITP is guiding the manager away from profit maximization rather than promoting it as it should (Benke and Don Edwards, 1980). In theory, to optimize an organization’s profits, the transfer price should be selected. So it motivates and guides managers to choose their inputs and outputs in coordination with the other sub-units. Abdallah (1989) in “Handbook of International Accounting” (Choi, 1991) addressed some criteria as necessary for efficient International Transfer Pricing system. The system should: -
provide an adequate profit measurement to evaluate performance of foreign subsidiaries and their managers in term of their controllable divisional contribution to overall profits.
-
provide sufficient information to top management to be used as 41
Sabaruddin
International Transfer Pricing
guidelines in managerial decision making. -
increase the overall profit rate of the MNC; in other words, the use of International Transfer Pricing system must enhance overall performance of the MNC.
-
motivates foreign subsidiary manager to increase their efficiency and maximize their divisional profits in harmony with the objectives of the top management.
-
minimize the international transaction cost for an MNC by minimizing global income tax liabilities, foreign exchange risks, currency manipulation losses, and conflict with the foreign government’s policies. Furthermore, Belkaoui (1985) underlined that an ideal transfer pricing should be consistent with the goal of maximizing both company and divisional profits; Transfer pricing should insure goal congruence between units. In addition, Benke and Don Edwards (1980) pointed out that International Transfer Pricing also should enhance performance evaluation. Through performance evaluation, the MNC, in part, determine the extent to which the goal of the overall profit maximization is being achieved. Performance evaluation can take
42
many forms such as the return on investment, residual incomes, and variances from budgeted and standard cost. The ITP technique should not distort performance evaluation of the affiliates (parent’s and subsidiary’s company). The technique should not allow manipulation or cause distortion of profits or costs of either affiliate involved in the transfer, that means creating the illusion of better or worse performance than has actually occurred. Because of 7% tax differences, the US parent company transfer goods to its Indonesian subsidiary made at cost. In this case, the parent does not make a profit, whereas the subsidiary gets all the profit on the product that it sells to unrelated party (externally). This costbased price result in an understatement of the parent’s income and an overstatement of its subsidiary’s profits. Therefore, this method has impeded the performance evaluation. Profit no longer has the same meaning. Return on investment will not be accurate. comparison of financial statement with other subsidiary within an MNC may be difficult as will comparison with similar subsidiary in the other MNC. Income Tax Minimization As mentioned before that one of an MNC objective in determining ITP is to minimize its total tax expense. This objective can be achieved by shifting
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 40-56
profit from a country (e.g. home base) with a high tax rate to a country (e.g. subsidiary) with a low tax rate. Generally, the lower the income tax of the host country, as compared to that of the home country, the more the ITP from home to host country transfer would reduce the total tax expense (Benke and Don Edward, 1980). Therefore, the higher the total profit obtained by the MNC. Considering income tax differences, some MNCs prefer to establish their subsidiaries in Less Developed Countries (LDCs) where their local government offer a lower income tax rate. The US home base MNC prefer to set its subsidiary in Indonesia where
corporate income tax is 7% lower than that in the USA (35% vs 42%) rather than set it in Japan where income tax rate is the same as that in the USA (42% vs 42%). Holding other variables constant, the US MNC would attempt to shift profit by underpricing its product transferred to its subsidiary in Indonesia. If US parent company, for example, exports 1000 units car to its subsidiary in Indonesia, the company can yield a higher global profit of $10,202,500 by setting a low transfer pricing ($9,000/unit), compared to $9,992,500 if the company set high transfer price ($12,000/unit). Table 1 show the complete calculation of the profit.
Table 1. International Transfer Pricing and Tax Consideration. ________________________________________________________________ Car-USparent Car-IND.subs. Global Corp. ________________________________________________________________ 1. Low Price Sales Cost of sales Gross margin Other expense Income before tax Income tax Net income
$9,000,000 8,000,000 __________ $1,000,000 500,000 __________
$25,000,000 $25,000,000 9,000,000 8,000,000 ___________ ___________ $16,000,000 $17,000,000 750,000 1,250,000 ___________ ___________
$500,000 210,000 __________ $290,000
$15,250,000 5,337,500 ___________ $9,912,500
$15,750,000 5,547,500 ___________ $10,202,500
43
Sabaruddin
International Transfer Pricing
2. High price. sales $12,000,000 $25,000,000 $25,000,000 Cost of sales 8,000,000 12,000,000 8,000,000 ___________ ___________ ___________ Gross margin $4,000,000 $13,000,000 $17,000,000 Other expense 500,000 750,000 1,250,000 ___________ ___________ ___________ Income before tax $3,500,000 $12,250,000 $15,750,000 Income tax 1,470,000 4,287,500 5,757,500 __________ ___________ ___________ Net income $2,030,000 $7,962,500 $9,992,500 Shifting profit is not a simple matter for the MNC because US tax law requires additional income tax for underpricing the transferred product. The Internal Revenue Service (IRS) under section 482 may distribute, apportion or allocate gross income or deduction among the business if it determines that it is necessary to do so in order to prevent evasion of taxes or reflect clearly the income of the business involved (Benke and Don Edwards, 1980).
Transfer pricing may be used to shift profit from a regular US domestic company to a specially-taxed company owned by US MNC.
A US MNC manager needs to design transfer pricing properly. If the transfer pricing system is designed to meet the existing requirements of the treasury regulations and is compatible with the section 482, it may be possible to shift profit from US parent company to its Indonesian subsidiary with a lower tax rate.
Transfer pricing may also be used to maximize the benefit of the foreign tax credit. The availability of a foreign tax credit depends on the amount of foreign source income giving rise to foreign tax. A company with excess credit available could benefit by the transfer of a product at low price to foreign subsidiaries which would then resale the product at high
44
By transferring products at low price from the US parent company to special corporation, the parent’s taxes are minimized. The profit accruing to the special corporation from the transfer is taxed at preferential rate, thereby minimizing the global tax of the MNC.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 40-56
price (Cowen, Phillips, and Stillabower, 1979). Import Duties In addition to income taxation, import duties also can be minimized. A parent company transferring products to a subsidiary domiciled in a high import duties, for example, could reduce the total cost for import duties by underpricing the product sent to the subsidiary. Moreover, it could minimized the duties impact on market penetration as to compete with a foreign protected industry. A multinational manager has to consider the import duties along with income tax before deciding the price of products being transferred. A MNC could not obtain import duties benefit by lowering the price if income tax rate in the importing country is higher than that
in the exporting country. Underpricing strategy could maximize global profit of an MNC if products are transferred to affiliate in a country which offers a lower income tax and impose a high import duties. In the case of Indonesia, its government impose high import duties for several luxury goods such as automobile. Automobile industry like Ford corporation could save its fiscal expense by lowering the price of its automobiles sent to Indonesia. Table 2 shows the calculation of global profit with income tax and import duties consideration all together. The example is the same with the previous one, except 100 percent of import duties imposed in Indonesia. By setting a low transfer price, the company could yield much higher profit ($4,352,500) than if it set a high transfer pricing ($2,192,500).
45
Sabaruddin
International Transfer Pricing
Table 2 ITP and Income Tax and Import Duties Considerations. _________________________________________________________________ Car-US parent Car-IND.subs. Global corp. _________________________________________________________________ 1. Low price Sales Cost of sales Import duties Gross margin Other expense Income before tax income tax Net income
$9,000,000 8,000,000 - __________ $1,000,000 500,000 __________
$25,000,000 $25,000,000 9,000,000 8,000,000 9,000,000 9,000,000 ___________ ___________ $7,000,000 $8,000,000 750,000 1,250,000 ___________ ___________
$500,000 210,000 __________ 290,000
$6,250,000 2,187,500 ___________ $4,062,500
$6,750,000 2,397,500 ___________ $4,352,500
2. High price. Sales $12,000,000 $25,000,000 $25,000,000 Cost of sales 8,000,000 12,000,000 8,000,000 Import duties - 12,000,000 12,000,000 __________ ___________ ___________ Gross margin $4,000,000 $1,000,000 $5,000,000 Other expense 500,000 750,000 1,250,000 __________ ___________ ___________ Income before tax $3,500,000 $250,000 $3,750,000 Income tax 1,470,000 87,500 1,557,500 __________ ___________ ___________ Net income $2,030,000 $162,500 $2,192,500
46
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 40-56
Market Penetration and Competitive Factors In order to penetrate a competitive foreign market, a parent company establish a foreign subsidiary and supply the subsidiary with inputs at a lower price in comparison to foreign market price for the same inputs. These price subsidies could gradually be removed as foreign subsidiary hold a competitive position in the foreign market. Similarly, underpricing strategy could be used to protect an existing position from deleterious effect of increased foreign competition(Choi and Mueller, 1991). Indonesian market for consumer products such as food product is so large and competitive, that setting a lower price for such a product seems to be appropriate. To improve a foreign subsidiary access to local capital markets, its reported earnings and financial position could be bolstered by setting low transfer prices on the subsidiary’s inputs and high transfer prices on its outputs (Choi and Mueller, 1992). Enviromental Risk Minimization In contrast to the market penetration and competitive considerations that necessitate a low transfer price setting, the risks of severe price inflation requires a high transfer prices. Because inflation erodes the purchasing power
of a firm’s monetary assets, setting high transfer pricing on products supplied to a subsidiary domiciled in an inflationary environment could remove as much cash from the subsidiary as possible. Balance of payment problems often lead foreign government to devalue their currencies, impose foreign exchange control, and impose a number of restrictions on the repatriation of profit from foreign-owned corporation. Potential losses from exposures to currency devaluation may be avoided by shifting funds to the parent corporation or related affiliates through high transfer pricing strategy. Indonesia has experience to devalue its currency (Rupiah) several time when it faced a budget deficit as a result of a decrease in oil price. Such a decrease make Indonesian government to devalue rupiah against dollar and other foreign currencies as to make its budget balance. In the case of exchange controls, for example, once Indonesian government restricts the amount of foreign exchange available for importing luxury products, lowering transfer prices on the imported products would allow Indonesian subsidiary impacted by the controls to acquire a larger quantity of the desired import than would otherwise be possible (Choi and Mueller, 1992). In certain circumstance, when an MNC faces the difficulties of profit remittance to the home country, it can overpricing the transferred products, to obtain some 47
Sabaruddin
International Transfer Pricing
margin of cash as an earlier return. This can significantly reduce the risk in its investment (Lin, Lefebvre, and Kantor, 1992). The Form of Investment The form of investment is also considered as an important factor for an MNC in choosing its ITP policy. According to Plasschaert (1985), as quoted by Lin, Lefebvre, and Kantor (1992), an MNC would more probably set high price for its products transferred to its foreign subsidiary if the MNC has only invested in a joint venture than if it has invested in a wholly owned subsidiary. The reason is that a joint venture company results in only 50 percent profit share. By applying overpricing strategy, it can earned 100 percent of overpriced portion. Of course, in a joint venture, approval for such overpriced transfer may be difficult and take a long time to receive. Indonesia is an open country for foreign direct investment, both for wholly-owned and a joint venture company. In the case of the form of investment, Indonesian government prefer a joint venture to a wholly-owned company especially for machinery and hi-tech products. Income Smoothing Besides reducing the risk of investment and increasing return on investment of a joint venture, ITP also could be used 48
toward income smoothing. With this aim, an MNC could exclude some of the unfit subsidiaries and wash all of losses of the group to those subsidiaries. Through this manipulation, the MNC could create a smoothed income. The market, investors/shareholders, and the partner of a joint venture would be glad to see a smooth and steadily increase in income and its impact on the MNC financial position as a whole. To make operating results look good, the corporation must forecast the trend of future income first, then it adjust the forecasted income with the transfer pricing policy, underpricing or overpricing, to result in a desired income. International Methods
Transfer
Pricing
As mentioned in previous section that ITP should promote global profit maximization as well as improve performance evaluation. To meet these objectives, a multinational manager needs to adopt and develop a transfer pricing method that is ensuring goal congruence, being fair to all concerned parties, and minimizing conflict between divisions. Some authors (Belkaoui, 1985; Benke and Don Edwards, 1980; and Choi and Muller,1992) addressed various transfer pricing methods that are used in practice. The most common methods are market-based price, costbased price, and negotiated price.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 40-56
Market-based price
Cost-based price
A market-based transfer pricing is the price at which transferring division would charge the same price to receiving division as it would charge to outside customer in open market transaction. This method is considered as the most representative of an arm’s-length price. It provides an objective measure of value for the transferred products and it may contribute the best information to performance evaluation because resource allocation decision involving investment return and capacity are closely related to existing supply and demand market conditions. In addition, this system encourages managers to be more concerned with cost control since cost allocations are based upon realistic rather than artificial prices (Cowen, Phillips, and Stillabower, 1979). However, as stated by Belkaoui (1985), there are some handicaps to applying market-based transfer pricing. Firstly, in many countries such as Indonesia, the market is not so efficient and perfect, and the price are frequently subject to governmental controls. In this inefficient and imperfect market, one seller and buyer can affect the market price, rendering it inapplicable as an effective transfer price. Secondly, even if the market is perfect, the comparability of the product is difficult to make. Lastly, there may be a problem if a ready market price of the transferred product does not exist.
Cost-based transfer pricing may be used as an alternative if market prices are not available or not applicable. This system classified cost as actual cost, standard cost, and marginal or variable cost. Actual cost-based price has the advantage of being measurable, verifiable, and readily available because it is based on the historical full cost of the transferred products. Actual cost will motivate transferring division if it includes full cost and some markup. Full cost plus is set up as a way of approximating the market price. This price may be better than the actual market price when quality, brand name, and other relevant characteristic are not comparable. However, the actual full cost-based price may transfer the efficiency of the transfering division to the receiving division due to the absorption cost that includes all direct and indirect expenses. It also may lessen transferring division’s incentive to control cost and can impede the search for technological progress by manufacturing division (Belkaoui, 1985). The weaknesses of the actual costbased price can be eliminated by setting transfer pricing based on standard cost. The method requires the transferring division to comply with the standard cost 49
Sabaruddin
International Transfer Pricing
as a guidance to incur cost. Therefore, using a standard cost as a transfer pricing basis can eliminate the inefficiency of the transferring/manufacturing division. At the same time, it may create an incentive to control cost, when it is compared with actual cost. An MNC using a transfer price based on either the full actual cost or the full standard cost may face two situations. First, the two cost may be higher than the market price. Second, those cost include both direct and indirect costs (variable and fixed). The indirect cost can result from arbitrary allocation procedures. The fixed costs can be committed costs that are incurred whether the manufacturing division operates at full or less than full capacity. Thus, the receiving division may feel that either the indirect cost or the fixed cost should not be included in the determination of the transfer price. When this situation arises, Belkaoui (1985) suggested to use partial cost, either marginal or variable cost, as a transfer pricing basis. Negotiated price A negotiated transfer price is the price set based on the agreement between the transferring division and the receiving division. This method requires these division deal with one another in the same manner as they deal with unrelated parties. Every division has a 50
freedom to bargain not only with another division within an MNC, but also with an external parties. This freedom will avoid the bilateral monopoly which exists when the divisions are allowed to deal with only themselves. Some writers, as quoted by Belkaoui (1985), pointed out that prices negotiated in arm’s-length bargaining by division managers help accomplish goal congruence. Moreover, they oversee the method as compatible with profit decentralization, ensuring the division manager’s freedom of action and increasing their accountability for profits. Methods under section 482 and related regulations The purpose of section 482 is “to place a controlled taxpayer on a tax parity with an uncontrollable taxpayer by determining according to the standards of an uncontrolled taxpayer, the true taxable income from the property and business of a controlled tax payer”. The section 482 requires international transfer pricing reflects an arm’slength principle. That is, intercompany transfer pricing should be established based upon similar transaction between unrelated buyer and seller. In determining the arm’s -length price for the sale of tangible property (e.g. product) between a US parent and foreign subsidiary, section 482
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 40-56
and related regulations allow the use of several pricing methods such as the comparable uncontrolled price method, the resale price method, the cost plus method, and other acceptable methods (Benke and Don Edwards, 1980). Section 482 specifies that when establishing transfer price, a company (an MNC) first must attempt to apply the comparable uncontrolled price method, in which the price is set by reference to price used in comparable transactions between companies independent from each other. This method is similar to the market- based price method as discussed before, but the section 482 implicitly recognizes that the perfectly competitive market necessary to support the use of the market-based price rarely occur. Therefore, it allows the use of the adjusted market price, which is used with slightly imperfectly competitive markets, but restricts the number of adjustments that can be made to perfect marketbased price. If comparable uncontrolled price method are not applicable, section 482 recommends an MNC to use the resale price method. This method is based on the belief that after a buyer
(reseller) subtracts the appropriate markup percentage from the resale price, the resulting balance should be an approximation of an arm’s-length transaction. The method can be used only if the appropriate markup percentage can be determined and if an accurately determinable amount is added to the value of the transferred product by the buyer (reseller). Cost-plus method is suggested to use if both the comparable uncontrolled price method and the resale price method are not applicable. The costplus method, which is similar to the cost-plus-based price mentioned in the previous section, is a work-forward method of constructing an arm’s-length price. The cost-plus price is equal to full cost (actual or standard) plus appropriate profit percentage similar to that earned by division or other companies in similar transactions with unrelated parties. In addition to the three methods, the section 482 and related regulations allow the use of some appropriate method of pricing if it is comparable to the pricing which would be charged to an unrelated party.
51
Sabaruddin
International Transfer Pricing
Table 3 Shows a summary of transfer price systems based on management’s and tax authori ty’s point of view (reedited from Cowen, Phillips, and Stillabower, 1979). Management Control Systems
Income Tax Methods
1. Market-based prices 1. Market prices a. Comparable uncontrolled price method b. Resale price method is used if comparable uncontrolled price are not available 2. Cost-based price 2. Cost-plus pricing a. Actual cost a. Actual costs are not allowed the IRS b. Cost-plus markup b. The cost-plus markup approach may 1) Actual cost-plus be used if market prices are not 2) Standard cost-plus available. c. Marginal cost c. Marginal cost may be used if the economic circumstances warrant such use d. Variable cost d. Variable cost (the same) 3. Other method 3. Other methods are acceptable Negotiated price if the transfer price is comparable to a price which would be charged to unrelated party. International Practice
Transfer
Pricing
in
Tang (1992) reported his study of surveying nine-eight companies that judge the importance of environmental variables that multinational corporations usually consider when formulating their international transfer pricing policy. He ranked the result (I list only 10 of 20 variables) as follows : 52
1. Overall profit to the company. 2. Differentials in income tax rates and income tax legislation among countries. 3. Restriction imposed by foreign countries on repatriation of profits or dividend.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 40-56
4. The competitive position of subsidiaries in foreign countries. 5. Rate of customs duties and customs legislation where the company has operations. 6. Restrictions imposed by foreign countries on the amount of royalty or management fee that can be charged against foreign subsidiaries. 7. Maintaining good relationship with host governments. 8. The need to maintain adequate cash flows in foreign subsidiaries. 9. Import restrictions foreign countries.
imposed
by
10. Performance evaluation of foreign subsidiaries. The lists seemed to indicate that the companies tended to use underpricing strategy for their transferred products. The overall profit, income tax rate, competitive position, custom duties, cash flows adequacy, and import restrictions factors stimulate those companies to implement such a strategy. Underpricing policy tended to utilize cost-based price method. Tang (1992) also reported that 26.8% of number of methods used by those companies is full production cost (actual or standard) plus a markup. This number is slightly above that of market price (26.1%).
A survey conducted by Business International, in Choi and Mueller (1992), indicated that Us respondents use most frequently cost-plus a markup and market transfer pricing methods respectively. In contrast, non-US MNCs generally employ some variant of market and, less frequently, cost-plus a markup methods. In the same book (Choi and Mueller, 1992), Arpan presented evidence that larger companies tend to favor the use of cost-based as opposed to market-based transfer prices since they tend to operate in more oligopolistic markets in order to protect their market position from new entrance companies. Highly decentralized operations that provide maximum autonomy to subunit managers tend to use a market price as their transfer pricing basis. Meanwhile, centralized operations seems to be appropriate with the cost-based transfer price. Additionally, Business International indicated that non-US MNCs tended to guarantee their local managers with a greater autonomy than did their US counterparts. As a result, the first group tended to base their transfer pricing decisions on negotiations between unit managers, whereas the second group to be split between negotiated price and those determined at central office. Legal environment such as tax law is considered as an influential factor that lead MNCs to utilize market-based 53
Sabaruddin
International Transfer Pricing
prices to the extent that these prices are more objective than cost-based price for income tax calculation basis. What Price ? Considering income tax differentials, management prefer to practice underpricing strategy as to maximize its overall profits. However, this strategy will hinder performance evaluation since its transferring division’s profit is shifted to the receiving division. Moreover, this strategy is opposed by tax authorities in the transferring division country due to tax evasion/avoidance resulted from income manipulation. A multinational manager tends to set a lower transfer price as to reduce expenses for import duties. In addition, by underpricing the transferred product, a company can penetrate market of protected domestic industry. The lower the price set, the more expenses can be reduced and the more capability of competing with the domestic industry. Regardless of performance evaluation, tax authority, and host government problems,setting transfer price based on variable cost will maximize global profit since import duties and total income tax expenses could be minimized, besides increasing profit resulted from a competitive position. Overpricing policy that at least reflects to market price will be undertaken 54
by a multinational manager who face an environmental risk. This strategy will be utilized for products transferred to an affiliate in an inflationary country where its government has a balance of payment problems. This, in turn, will lead the government to devalue its currency and restrict a profit repatriation. By setting high transfer pricing, the MNC can remove as much cash as possible and acquire an early return from its subsidiary. However, if the product transferred is a competitive product, applying the strategy will hurt the receiving division. It will loss its market share that, in turn, will erode profit of the receiving division, even it will result in a lost of the division. Thereby, decreasing its performance. CONCLUSION AND RECOMMENDATION Setting International Transfer Pricing is not a simple matter since it involves a number of influential factors that a multinational manager needs to consider before he or she comes to a decision for such a price. The manager needs to account not only how to maximize the company’s total profit, but also how to evaluate its divisions’ performance fairly, besides satisfying governments and tax authorities in home and host countries.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 40-56
Based on the previous analysis, I list several methods for each of determinant
factors of International Transfer Pricing, as follows:
Determinant Strategy
Suggested Methods Profit maxi Performance mization Evaluation
1. Income tax Underpricing
Variable or Full Std. Cost
Mkt. price
2. Import duties Underpricing
Variable or Full Std. Cost
Full Std. Cost Plus
3. Mkt. penetration/ Underpricing Competitive factor
Variable or Full Std. Cost
Full Std. Cost Plus
4. Foreign currency Underpricing restrictions on import
Full Std. Cost Cost plus
Full Std.
5. Inflationary env. Overpricing in foreign count.
Mkt. Price adj. to inflation
Mkt. Price Neg. Price
6. Currency risk Overpricing (devaluation)
Mkt. Price adj. to devaluation
Mkt. Price Neg. Price
7. Form of investment: a. Joint-venture Overpricing Mkt. Price b. Wholly-owned Underpricing Full Std. Cost subsidiary 8. Income smoothing
Over/Under pricing
Neg. Price
Mkt. price Full Std. Cost Plus Neg. Price
55
Sabaruddin
International Transfer Pricing
To meet the interest of all concerned parties, it is recommended to use market-based price method as the most appropriate transfer pricing basis since this method provides the most reliable value and measurement of a reported income.
Lin, L., Lefebvre, C., and Kantor, J. 1993. “Economic Determinants of International Transfer Pricing and the Related Accounting Issues, with Particular Reference to Asian Pacific Countries,” The International Journal of Accounting. 28: 49-69.
REFERENCE
Merville, L. J, and Petty, J. W. 1978. “Transfer Pricing for Multinational Firm,” The Accounting Review.: 935959.
Belkaoui, A. 1985. International Accounting: Issues and Solutions. Westport, Connecticut: Quorum books. Benke Jr., Ralph L. and Don Edwards, J. 1980. Transfer pricing: Techniques and Uses. New York: National Association of Accountants. Choi, F.D.S. 1991. Handbook of International Accounting. New York: John Willey & Son, Inc. Choi, F.D.S. and Mueller, G.G. 1992. International Accounting. 2 nd ed. Englewood Cliffs, New Jersey: Printice-Hall, 1992. Cowen, S.S., Phillips, L.C., and Stillabower, L. 1979. “Multinational Transfer Pricing,” Management Accounting. 60: 17-22. Eccles, R .G. 1985. The Transfer Pricing Problems. Lexington : D.C. Heath and Company. 56
Tang, R.Y.W. 1992. “Transfer Pricing in the 1990s: The Emphasis is on Multinational and Tax Issues,” Management Accounting.: 22-26. Tang, R.Y.W. 1979. Transfer Pricing Practices in the United States and Japan. New York: Praeger Publishers.
MANAJEMEN LABA DALAM PERSPEKTIF ETIKA BISNIS Oleh: Ganis Wirawan Abstrak
The purpose of a financial statement (FASB, 1978) is to provide information that is useful in making business and economic decision. The financial statement must be relevant, credible, and transparent, herefore it can ve useful for business and economic decision. Some research found that there were many financial statement have earnings management indication. How earnings management will be if it is seen from business ethic point of view? Does it disobey the ethic. Based on the principals of business ethic, earnings management practiced for optimizing management interest is considered to disobey the ethic.
Keyword earning management, business ethic. Penulis Ganis Wirawan, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IEU Yogyakarta
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol.7No.3September-Desember‘09 Fak. Ekonomi - Universitas Cokroaminoto Yogyakarta ISSN: 1412-9450
Pendahuluan Karakteristik kualitatif akuntansi mensyaratkan bahwa laporan keuangan harus relevan dan dapat diandalkan (Hendriksen, 2000). Agar informasi yang dihasilkan relevan maka laporan keuangan harus mempunyai nilai prediksi, nilai umpan balik dan disajikan dengan tepat waktu. Laporan keuangan dapat diandalkan apabila dapat diperiksa kebenarannya, disajikan secara netral dan jujur. Kejujuran penyajian merupakan salah satu syarat penting agar laporan keuangan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan bisnis. Dalam dunia praktik, tidak semua laporan keuangan memenuhi karakteristik kualitatif di atas. Berdasar hasil penelitian terdapat banyak indikasi earnings management dalam laporan keuangan. Ada pendapat yang pro dan kontra tentang manajemen laba ini. Pendapat yang pro, menyatakan bahwa manajemen laba yang dilakukan untuk kepentingan strategi perusahaan agar memperoleh keuntungan yang optimal tanpa merugikan pihak-pihak lain, syah-syah saja dilakukan, namun bagi yang kontra, mempertanyakan 57
Ganis Wirawan
Manajemen Laba Dilihat Dari Sudut Pandang Etika Bisnis
bagaimana dengan manajemen laba yang dilakukan untuk memaksimalkan kepentingan manajemen? Apakah melanggar etika bisnis?. Tulisan ini akan membahas lebih dalam mengenai manajemen laba dilihat dari perspektif etika bisnis. Rumusan Masalah Tujuan laporan keuangan (FASB) adalah: “to provide information that is useful in making business and economic decision”. Dengan tujuan ini tersirat bahwa sasaran pelaporan adalah para pelaku dalam dunia bisnis dan perekonomian suatu negara. Yang menjadi masalah adalah: 1) apakah laporan keuangan yang disajikan kepada masyarakat bisnis telah memenuhi karakteristik kualitatif di atas, khususnya mengenai kejujuran penyajian? 2) Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat indikasi earnings management atau manajemen laba dalam laporan keuangan. Apakah earnings management melanggar etika bisnis? Pengertian “earnings management” dan tujuan penulisan Earnings management (manajemen laba) merupakan intervensi manajemen dalam proses menyusun pelaporan keuangan dengan menggunakan 58
metode dan kebijakan akuntansi tertentu, merubah metode dan kebijakan akuntansi serta teknik-teknik lainnya, sehingga dapat menaikkan atau menurunkan angka laba, tanpa keluar dari aturan atau standar yang berlaku. Seorang auditor yang mengaudit laporan keuangan tidak akan bisa membuktikan apakah dalam menyusun laporan keuangan telah dilakukan manajemen laba atau tidak, karena laporan keuangan disusun sesuai dengan standar yang berlaku. Jadi apabila di lihat dari standar pelaporan keuangan, maka manajemen laba tidak melanggar standar dan laporan keuangan yang disajikan masih bisa mendapatkan pendapat “wajar tanpa pengecualian”. Rumusan masalah di atas mempertanyakan apakah laporan keuangan yang disajikan kepada masyarakat bisnis telah memenuhi karakteristik kualitatif, khususnya mengenai kejujuran penyajian atau belum? Laporan keuangan yang disajikan dalam masyarakat banyak yang dapat di andalkan untuk membuat keputusan dan mempunyai nilai prediksi, hal ini terbukti dari berbagai hasil penelitian tentang manfaat laporan keuangan sebagai alat prediksi (Beaver (1966), Dambolena dan Khoury (1980), Thomson (1991) dan Altman (1968), Pankoff dan Virgil, 1970 dan Sinkey,1975 dan rasio keuangan juga bermanfaat untuk memprediksi pertumbuhan laba di Indonesia, (Machfoedz,1994
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 57-66
dan Zainuddin, 1998). Namun selain bermanfaat sebagai alat prediksi, laporan keuangan juga mempunyai keterbatasan yaitu bahwa dari sekian banyak laporan keaungan yang ada, keandalan laporan keuangan juga terusik dengan adanya banyak kasus manajemen laba. Tujuan tulisan ini adalah mengkaji rumusan masalah yang kedua, yaitu apakah “earnings management” melanggar etika bisnis?. Pembahasan dilakukan dengan menyampaikan pengertian etika bisnis dan prinsip-prinsip etika bisnis yang dipertemukan dengan praktik dan hasil penelitian berkaitan dengan manajemen laba, sebagai bahan pertimbangan untuk menilai apakah “earnings management” melanggar etika bisnis atau tidak. Pengertian etika bisnis Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi. Studi ini tidak hanya mencakup analisis norma moral dan nilai moral , namun juga berusaha mengaplikasikan kesimpulan-kesimpulan analisis tersebut ke beragam
institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha-usaha yang disebut bisnis (Velasquez, 2005, p.14) Etika bisnis merupakan sistem nilai yang dijabarkan dari filosofi perusahaan, paradigma bisnis, dan bussiness values yang dianut oleh perusahaan sebagai acuan untuk berhubungan dengan lingkungan internal maupun eksternalnya. Etika bisnis mengatur hubungan antara perusahaan dengan pelanggan, pemegang saham, individu dalam perusahaan, komunitas (publik), pemerintah, auditor, media massa, dan pesaing. Etika bisnis menjelaskan bagaimana perusahaan beretika, bersikap dan bertindak dalam upaya menyeimbangkan kepentingan perusahaan dengan seluruh stakeholder lainnya. Dalam pengertian di atas disebutkan bahwa etika bisnis mengatur hubungan antara perusahaan dengan para pemegang saham, pemerintah maupun komunitas publik lainnya, misalnya kreditor. Pihak-pihak ini merupakan pemakai potensial laporan keuangan, dengan demikian dalam menyajikan laporan keuangan seharusnya memperhatikan prinsip-prinsip dalam etika bisnis. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Prinsip-prinsip etika bisnis, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang berikut ini: 59
Ganis Wirawan
Manajemen Laba Dilihat Dari Sudut Pandang Etika Bisnis
1. Prinsip utilitarian. Prinsip utilitarian menyatakan bahwa “suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dapat dilakukan (Velasquez, 2005)”. Suatu tindakan dikatakan benar apabila keuntungan sosial yang dihasilkan lebih besar dari biaya sosial yang harus ditanggung atas tindakan tersebut. Dalam prinsip utilitarian diasumsikan bahwa semua biaya dan utilitas dapat dihitung, namun dalam praktik penghitungan tersebut sulit dilakukan karena terkait dengan banyak faktor dan banyaknya masyarakat bisnis yang terlibat, misalnya pemegang atau calon pemegang saham. Dilihat dari prinsip utilitarian, Bagaimana dengan “earnings management”? melanggar etika bisnis atau tidak?. Tindakan melakukan “earnings management”, dengan tujuan pragmatis. Misalnya untuk mendongkrak kinerja, mendapatkan bonus, agar tidak melanggar perjanjian hutang, jelas hanya menguntungkan pihak manajemen, di sisi lain, masyarakat bisnis yang mendasarkan pengambilan keputusannya berdasar pada laporan keuangan, bisa salah dalam mengambil keputusan kare60
na adanya manipulasi informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Namun apabila earnings manajemen dilakukan dalam rangka meningkatkan strategi perusahaan, agar nantinya perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, maka dilihat dari prinsip utilitarian tidak melanggra etika bisnis, karena tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal ini. 2. Prinsip Hak dan kewajiban Hak adalah klaim atau kepemilikan individu atas sesuatu. Seseorang memiliki hak jika dia memiliki klaim untuk melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu atau jika orang lain berkewajiban melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu kepadanya. Menurut teori etis yang dikembangkan oleh Immanuel Kant 1724-1804, (dalam Velasquez, 2005), dinyatakan bahwa: “ suatu tindakan secara moral benar bagi seseorang dalam suatu situasi, jika dan hanya jika, alasan orang tersebut melakukan tindakan itu adalah alasan yang dipilih semua orang dalam situasi yang sama”. Selanjutnya “suatu tindakan secara moral benar bagi seseorang, jika dan hanya jika, dalam melakukannya orang tersebut tidak hanya memanfaatkan orang lain sebagai sarana dalam meraih kepentingan-kepentingannya, namun juga menghargai
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 57-66
dan mengembangkan kapasitas mereka untuk memilih secara bebas bagi diri mereka sendiri. Seperti dalam prinsip utilitarian, prinsip hak dan kewajiban ini juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan teori kant ini adalah bagaimana jika hak-hak saling berkonflik dari masing-masing orang, bagaimana harus menyesuaikan hak satu sama lain? Misalnya suara musik keras yang dimainkan oleh sekelompok pemain trombone yang mengganggu orang lain atau perusahaan yang mencamari udara dan air yang mengganggu kesehatan, Hak mana yang harus dibatasi dan hak mana yang harus diutamakan? Bagaimana dengan earnings management?. Apakah hak pemakai laporan keuangan terganggu apabila pihak menejemen melakukan manajemen laba?. Dilihat dari hasil penelitian terdahulu bahwa: perusahaan di UK menggunakan manajemen laba untuk meyakinkan bahwa pelaporan laba mereka memenuhi harapan analis, Athanasakou (2009), strategi manajemen laba dalam rangka menghemat pajak yaitu dengan melakukan earnings management pada laba sebelum pajak, Badertscher (2009), ada pengaruh kenaikan leverage terhadap manajemen laba, Jelinek, K.(2007), dan masih banyak hasil penelitian sejenis, mengindikasikan bahwa informasi yang dihasilkan dari laporan keuangan
diragukan keandalannya dengan adanya manajemen laba. Dengan demikian manajemen laba mengganggu hak para pemakai laporan keuangan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa manajemen laba tidak etis dilihat dari sudut pandang hak dan kewajiban. 3. Keadilan dan kesamaan Keadilan dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu keadilan distributive, keadilan retributive dan keadilan kompensatif (Velasquez, 2005). Ketiga kategori keadilan tersebut dikaitkan dengan manajemen laba sebagai berikut: 1) Keadilan distributive, berkaitan dengan distribusi yang adil atas keuntungan dan beban dalam masyarakat. Dalam hubungan antara pihak manajemen dan pemilik atau pemegang saham (sebagai pemakai potensial laporan keuangan), menuntut adanya distribusi yang adil atas keuntungan perusahaan, namun di sini terdapat ketidakseimbangan informasi antara pihak manajemen dan pemilik. Pihak manajemen mengerti betul tentang kondisi perusahaan, khususnya tentang keuangan dan bagaimana pelaporannya, sedangkan pihak pemilik tahu informasi keuangan hanya dari laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Disinilah awal dimulainya earnings management. 61
Ganis Wirawan
Manajemen Laba Dilihat Dari Sudut Pandang Etika Bisnis
2) Keadilan retributive, mengacu pada pemberlakuan hukuman yang adil pada pihak-pihak yang melakukan kesalahan, apakah adil jika kita menghukum pihak manajemen yang melakukan manajemen laba untuk meningkatkan kepentingannya?, 3) Keadilan kompensatif, berkaitan dengan cara yang adil dalam memberikan kompensasi pada seseorang atas kerugian yang mereka alami akibat perbuatan orang lain. Kompensasi yang adil adalah kompensasi yang dalam artian tertentu proporsional dengan nilai kerugian yang diderita (Velasquez, 2005). Hasil penelitian menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami kerugian melakukan earnings management dengan menaikkan angka laba 4 tahun sebelum mengalami kerugian, Lara (2009). Berdasar hasil penelitian ini terlihat bahwa ada upaya manajemen untuk mengalihkan informasi kerugian perusahaan kepada informasi yang lebih baik agar kinerjanya terlihat bagus. Prinsip keadilan, menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria rasional obyektif, serta dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya ketidakseimbangan informasi akuntansi yang dimanfaatkan oleh manajemen untuk melakukan manajemen laba agar dapat memaksimalkan kepentin62
gannya, maka prinsip keadilan dan kesamaan ini tidak tercapai, sehingga dapat disimpulkan bahwa manajemen laba melanggar etika bisnis. Menurut Sonny Keraf (1998), prinsip-prinsip etika bisnis, meliputi prinsip otonomi, prinsip kejujuran, prinsip keadilan, prinsip saling menguntungkan, dan prinsip integritas moral 1. Prinsip Otonomi, adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Seorang manajer dapat melakukan manajemen laba untuk menurunkan biaya pajak, tanpa harus melanggar undang-undang pajak dan tanpa harus merugikan orang lain. Misalnya pendapatan tahun ini begitu besar, sehingga pajak tahun ini juga akan besar. Agar beban pajak mengecil maka tahun ini pengeluaran biaya iklan diperbesar, sehingga labanya mengecil dan akhirnya beban pajak menjadi lebih kecil. 2. Prinsip Kejujuran, terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 57-66
penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. Dalam Agency Theory terdapat dua pihak yang melakukan kontrak yaitu Agent dan Principal. Kontrak tersebut bisa dalam bentuk: kontrak kerja, atau kontrak pinjaman atau yang lainnya. Kontrak kerja dilakukan oleh pemilik perusahaan dan top manajer perusahaan. Salah satu pihak dalam kontrak disebut principal dan pihak lainnya disebut Agent. dalam kontrak kerja, pemilik perusahaan merupakan Principal dan top manajer sebagai Agent yang dibayar untuk menjalankan kepentingan pemilik perusahaan. Dalam menjalankan kepentingan pemilik perusahaan ini, manajemen dihadapkan pada konflik kepentingan, yaitu kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan pemilik. Karena manajemen mempunyai lebih banyak informasi mengenai perusahaan yang ia kelola maka manajemen punya kesempatan tidak jujur dengan lebih mementingkan kepentingannya, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Healy (1985) yang menyatakan bahwa keputusan akuntansi dipengaruhi oleh skema bonus yang berlaku sehingga manajemen dapat mengoptimalkan bonus yang dapat dia peroleh.
Berdasar uraian di atas manajemen laba dapat digunakan sebagai alat manajemen untuk memanipulasi laba yang tidak sesuai dengan prinsip kejujuran dalam etika bisnis. 3. Prinsip Keadilan, menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria rasional obyektif, serta dapat dipertanggungjawabkan. 4. Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual Benefit Principle), menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Earnings management dapat digunakan sebagai strategi perusahaan agar dapat mengoptimalkan keuntunganya sehingga semua pihak baik manajer maupun pemilik dan lainnya dapat menerima manfaatnya, namun juga dapat digunakan sebagai alat untuk memanipulasi laba, dan keuntungannya lebih banyak diterima pihak menajemen. 5. Prinsip Integritas Moral, terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan/orang- orangnya maupun perusahaannya.
63
Ganis Wirawan
Manajemen Laba Dilihat Dari Sudut Pandang Etika Bisnis
Kesimpulan
Saran
Tujuan laporan keuangan (FASB) adalah: “to provide information that is useful in making business and economic decision”. Agar laporan keuangan berguna untuk pengambilan keputusan bisnis dan ekonomi maka laporan keaungan harus relevan, dapat diandalkan dan disajikan secara jujur.
Seperti disebut di atas, bahwa berdasar hasil penelitian, laporan keuangan dapat digunakan sebagai alat prediksi keuangan perusahaan di masa yang akan datang, dengan demikian laporan keuangan dapat diandalkan untuk membuat keputusan ekonomi dan bisnis. Disisi lain, berdasar hasil penelitian juga terbukti bahwa laporan keuangan terindikasi terdapat earnings management, yang dapat mengurangi keandalan informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Oleh karena itu disarankan kepada para pemakai laporan keuangan agar:
Dalam dunia praktik telah terbukti bahwa laporan keuangan dapat diandalkan sebagai salah satu pertimbangan dalam membuat keputusan, hal ini terbukti dari berbagai hasil penelitian yang menyatakan bahwa laporan keuangan dapat digunakan sebagai alat prediksi kejadian-kejadian dimasa yang akan datang (Beaver (1966), Dambolena dan Khoury (1980), Thomson (1991) dan Altman (1968), Pankoff dan Virgil, 1970 dan Sinkey,1975 dan rasio keuangan juga bermanfaat untuk memprediksi pertumbuhan laba di Indonesia, (Machfoedz,1994 dan Zainuddin, 1998). Namun apabila manajemen tidak dalam posisi netral dalam menyusun laporan keuangan, maka pihak manajemen bisa melakukan earnings management untuk mengoptimalkan kepentingannya. Berdasar pada prinsip-prinsip etika bisnis dapat disimpulkan bahwa Earnings management khususnya yang dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan kepentingan manajemen, melanggar etika bisnis. 64
1) Hati-hati apabila menggunakan laporan keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan, karena bisa jadi laporan keuangan tersebut disusun dengan melanggar etika bisnis. 2) Menggunakan laporan keuangan hanya sebagai salah satu dasar dari berbagai dasar lainnya untuk mengambil keputusan. 3) Krishnan (2008), menyatakan bahwa Klien Anderson terindikasi menduduki proporsi agresivitas manajeman laba relatif lebih besar dari pada 5 auditor lainnya. Hal ini berarti bahwa manajemen perlu melihat siapa yang mengaudit laporan keuangan
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 57-66
perusahaan, apakah dia mempunyai kredibilitas yang tinggi diantara para auditor besar lainnya. DAFTAR PUSTAKA Altman, Edward I, 1968, Financial Ratio, Discriminant Analysis and The Prediction of Corporate Bankruptcy, The Journal of Finance, pp589-609. Athanasakou, V.E., N. C. Strong, and M. Walker. 2009, Earnings Management or Forecast Guidance to meet Analyst Expectations, Accounting and Business Research, 39 (1): 335.
Of Financial Reporting by Business Enterprises. P.4021-35. Hendriksen, Eldon S dan Van Breda, 1991. Accounting Theory, Fifth Edition, Irwin, United States of America. Healy, Paul M, 1985. The Effect of Bonus Schemes On Accounting Decision, Journal Of Accounting and Economict, “ 7, hal.85-107 Jelinek, K. 2007, The effect of leverage increases on earnings management, The Journal of Business and Economic Stidies, 13 (2): 24–46.
Badertscher, B. A., J. D. Philips, M. Pincus, and S. O. Rego. 2009. Earnings management strategies and the trade-off between tax benefits and detection risk: to conform or not to conform, The Accounting Review, 84 (1): 63-97
Krishnan, Gopal V, and Gnanakumar Visvanathan, (2008), Was Arthur Andesen different?, Further Evidence on Earnings Management by Clients of Arthur Andersen, International Journal of Disclosure and Governance, Vol. 5, 1, 36-47.
Beaver, William H. 1966, Fanancial Ratio as Predictors of Failure, Journal of Accounting Research, p. 71-111.
Lara, JMG, Osma BG and Neophytou, Evi. 2009, Earnings Quality in expost failed firms, Accounting and Business Research, 39 (2):119-138
Dambolena Ismael G, & Khoury, 1980. Ratio Stability and Corporate Failure. The Journal of Finance. Vol. XXX, No4, September, P.1017-1027.
Machfoedz, Mas’ud, 1994, Financial Ratio Analysis and The Prediction of Earnings Changes In Indonesia, Kelola No. 7/III, p.114 -137.
FASB, 1978. Statement Of Financial Accounting Concept No1 - Objectives 65
Ganis Wirawan
Manajemen Laba Dilihat Dari Sudut Pandang Etika Bisnis
Pankoff & Virgil (1970), On The Usefulness of Financial Stetement Information, The Accounting Review, P.269-279. Sinkey, Joseph F, (1975). A Multivariate Statistical Analysis of The Characteristics of Problem Banks, The Journal of Finance. Vol. XXX No1, Maret, p.21- 36. Sonny Keraf (1998), Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta Thomson (1991). Predicting Bank Failure in 1980’s, Economic Review, (second Quarter) P17-26. Velasquez, Manuel G. 2005, Etika bisnis, konsep dan kasus, edisi 5, Andi, Yogyakarta. Zainuddin, 1998, Manfa at Rasio Keuangan dalam memprediksi pertumbuhan laba: suatu studi empiris pada perusahaan perbankan yang terdapat di Bursa Efek Jakarta. Thesis S2, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
66
PENGARUH MOTIVASI TERHADAP PRODUKTIVITAS AGEN ASURANSI DI YOGYAKARTA Oleh: Amirah Sutestri Abstract
This research is aimed to know the influence of motivating factor awarded to insurance agent toward insurance agent productivity in Yogyakarta, using descriptive analysis and paired means difference observation test It is found that the motivation factor covering rewarded incentive , appreciation, targeted production quantity, decree and insurance company attitude can influence insurance agent productivity, and the most motivating factor is rewarded incentive . To examine the influence of the motivating factors toward insurance agent productivity, Test –t is used. The result of Test-t is significant, meaning Ho is refused and Hi is accepted, it means there is an influence of motivation factor giving toward insurance agent productivity in the case of acquirement Letter of Request ( SP) and Acceptance of Premium 1 ( PP).
Keyword Agent, motivation, productivity, insurance. Penulis Amirah Sutestri, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol.7No.3September-Desember‘09 Fak. Ekonomi - Universitas Cokroaminoto Yogyakarta ISSN: 1412-9450
A. PENDAHULUAN Krisis multi dimensi yang terjadi di Indonesia belum reda ditambah pula dampak kenaikkan harga BBM menyebabkan daya beli masyarakat menurun, sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan bisnis baik produk maupun jasa. Industri jasa di Indonesia sangat merasakan bahwa kondisi ini sangat tidak menguntungkan bahkan menghambat pertumbuhannya. Hanya perusahaan yang mapan yang dapat bertahan untuk kelangsungan perusahaannya. Bagi perusahan yang bergerak dibidang jasa maka mau tidak mau harus mempersiapkan sumber daya manusianya agar dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pelanggannya. Salah satu perusahaan jasa tersebut adalah perusahaan asuransi, dimana masyarakat Indonesia masih banyak yang belum sadar pentingnya untuk berasuransi, sehingga prospeknya masih sangat bagus, mengingat penduduk Indonesia jumlahnya diatas 200 juta jiwa dan baru sebagian kecil yang sudah berasuransi. Untuk ini pihak perusahaan 67
Amirah Sutestri
Pengaruh Motivasi Terhadap Produktivitas Agen Asuransi di Yogyakarta
harus mempersiapkan tenaga pemasarannya, yang lebih dikenal dengan sebutan agen asuransi, apalagi dengan masuknya pesaing perusahaan asuransi dari luar negeri yang memiliki sumber daya manusia yang lebih professional dan didukung modal yang kuat dan teknologi yang lebih maju, hal ini akan semakin menambah persaingan. Apalagi belum tentu mereka langsung dengan nama perusahaannya, tetapi bisa saja melakukan kerja sama dengan perusahaan yang ada di Indonesia, yang lebih mengetahui perilaku dan budaya konsumen potensial yang ada di Indonesia. Oleh karena untuk dapat mempertahankan perusahaan dan mampu mengatasi pesaing-pesaingnya maka perlu upaya peningkatan produktivitas agen/tenaga pemasarannya/konsultan penjualannya.
dan pemberian jasa/imbalan tertentu, di luar penghasilan pokok agen yang berupa uang komisi dan provisi, maka permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan, apakah motivasi dapat mempengaruhi produktivitas agen ? Untuk itu faktor motivasi dibatasi dalam pemberian insentif, pemberian penghargaan, penetapan target produksi dan melalui lingkungan perusahaan, salah satunya sikap perusahaan terhadap agen.
Menurut penelitian Amirah (1995) tentang tanggapan masyarakat terhadap produk asuransi Jiwa di Kotamadya Yogyakarta, bahwa waktu itu keagenan belum dapat memotivasi konsumen untuk melakukan suatu pembelian polis, meskipun 71,13 % responden menyatakan agen asuransi sangat menarik. Untuk itu perlu peningkatan ketrampilan dan profesionalisme agen disamping perlu memperhatikan psikologis agen yang dapat ditingkatkan dengan sarana yang dapat memotivasi agen. Antara lain dengan adanya pengakuan/penghargaan terhadap prestasi yang dicapai
Faktor yang mendorong timbulnya asuransi adalah keinginan untuk mendapatkan rasa aman. Adanya keinginan ini mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu sebagai suatu kegiatan ekonomi, pengertian asuransi dapat dikatakan sebagai suatu metode untuk mengurangi resiko dengan cara melakukan pemindahan ketidak pastian terhadap kerugian keuangan atau resiko. Dalam pasal 246 Kitab Undang Undang Hukum Perniagaan atau Wetboek Van Koophandel memberikan definisi asuransi sebagai berikut:
68
Dalam kesempatan ini, peneliti akan mencoba menanyai beberapa agen asuransi yang pernah atau masih menjalankan profesinya di Yogyakarta. B. TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 1. PENGERTIAN ASURANSI
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 67-79
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena peristiwa yang tak tertentu”
haan yang diwakilinya, sehingga mereka dapat menjual polis dari beberapa perusahaan asuransi. Dan ikatan kerja tersebut merupakan perjanjian keperantaraan dengan perusahaan yang diwakilinya, antara lain mengatur tentang: -
Target produksi yang harus dicapai untuk suatu periode tertentu
Definisi diatas mengandung unsur pokok, yaitu:
-
Wilayah kerjanya
-
Tata cara, penutupan polis asuransi, kontra prestasi, ketentuan penagihan dan penyetoran premi asuransi.
Unsur pertama : Tertanggung berjanji membayar premi kepada penanggung Unsur kedua : Penanggung berjanji akan membayar sejumlah ganti rugi kepada Tertanggung Unsur ketiga : Kerugian yang diderita tertanggung disebutkan oleh suatu peristiwa yang datangnya tidak terduga. 2. SISTEM KEAGENAN Dalam perasuransian dikenal adanya tiga macam sistem keagenan, yaitu: a. Sistem Keagenan Umum (General Agency System) Organisasi keperantaraan ini biasa disebut agen umum atau agen bebas. Pada system ini, seorang agen asuransi tidak terlalu terikat pada perusa-
Dalam sistem keagenan ini tidak ada pengawasan dari manajer, berhasil tidaknya seorang agen dalam memenuhi target diserahkan sepenuhnya pada agen yang bersangkutan. b. Sistem Keagenan Manajerial (Manageral Agency System) Yaitu suatu bentuk organisasi pemasaran dimana kegiatan operasionalnya ditentukan pada suatu wilayah tertentu dan bisa disebut dengan kantor cabang. Dan semua pegawai mulai dari staff sampai kepala cabang berstatus sebagai pegawai organic. Petugas lapangan (operasional) disamping mendapatkan gaji masih memperoleh tambahan pendapatan berupa komisi/provisi. 69
Amirah Sutestri
Pengaruh Motivasi Terhadap Produktivitas Agen Asuransi di Yogyakarta
c. Sistem Keagenan Kombinasi (Mixed Agency System )
4) perolehan hasil tagih premi lanjutan pertama
Bentuk keagenan ini ini merupakan gabungan dari kedua sistem keagenan diatas dimana general agency diangkat sebagai kepala cabang yang dibantu oleh pegawai yang berstatus pegawai organic. Sedang untuk petugas lapangan tetap berstatus bebas atau non organic.
5) premi lanjutan maupun dalam keberhasilan dalam menagih, yang dihitung berdasarkan ratio hasil tagih.
Dengan surat keputusan Menteri Keuangan RI No Kep 595/MK/IV/8/1969 tanggal 27 Agustus 1969 tentang pendaftaran semua usaha-usaha perantaraan dalam bidang perasuransian, maka sistem keagenan di Indonesia perlu dibenahi dimana semua petugas keperantaraan/agen asuransi harus didaftar untuk mendapat surat izin memasarkan (SIM) Asuransi.Unit yang mengeluarkan SIM Keagenan Asuransi adalah Direktorat Perasuransian Departemen Keuangan. d. Produktivitas Agen Asuransi Adalah hasil penilaian terhadap kemampuan seorang agen dalam melakukan kegiatannya di lapangan, yang unsur-unsurnya dapat dinilai dari data kinerja yang berupa: 1) perolehan surat permintaan 2) perolehan uang pertanggungan 3) perolehan premi pertama 70
e. Hal-hal yang terkait dengan produktivitas Agen Asuransi 1) Surat Permintaan Adalah Surat Permintaan/ Permohonan Asuransi dari CalonPemegang Polis/Tertanggung kepada Perusahaan, yang memuat data pemegang Polis / tertanggung dan jenis asuransi yang dikehendaki serta dasar penerbitan polis. Surat permintaan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari polis, maksudnya jika sewaktu-waktu terjadi perselisihan selama perjanjian asuransi belum berakhir, maka Surat PermintaanAsuransi tersebut akan dijadikan bukti sebagai dasar timbulnya perjanjian. 2) Perolehan uang Pertanggungan Adalah sejumlah uang yang diperoleh, yang tercantum dalam polis yang pembayarannya dikaitkan dengan hidup matinya Tertanggung.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 67-79
3) Perolehan Premi Pertama
3. MOTIVASI
Uang Premi merupakan pembayaran yang dibutuhkan Oleh Penanggung untuk menjamin kelangsungan berlakunya polis Asuransi Bagi Tertanggung merupakan sejumlah uang yang harus dibayar oleh Pemegang Polis kepada perusahaan Asuransi sebagai harga pertanggungan/biaya / pelimpahan resiko.
a. Pengertian Motivasi
Premi Pertama berarti pembayaran pertama pada saat Surat Permintaan dibuat/ditanda tangani, sebelum Sebelum Polis terbit, premi pertama tersbut berupa titipan. 4) Premi Lanjutan Premi Tahun Pertama Uang Premi Asuransi yang diterima oleh Perusahaan dalam tahun pertama, apabila pembayaran premi asuransi yang dilakukan oleh pemegang polis dibayar secara bulanan, kwartalan atau setaengah tahunan.
Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untun melakukan kegiatan tertentu guna mencapai tujuan (T Hani Handoko,1999: 252) Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan dirinya (T Hani Handoko,1999:252) Motivator factor / faktor motivasi meliputi: penghargaan, kemajuan, hasil yang membanggakan, pekerjaan itu sendiri, kemungkinan berkembang, dan tanggung jawab b. Pemberian motivasi terhadap agen asuransi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain; •
Pemberian tambahan pendapatan yang diberikan karena prestasi kerja, dengan maksud agar agen yang berproduktivitas tinggi tetap tinggi dan loyal terhadap perusahaan.
5) Premi Lanjutan Adalah premi yang diterima oleh Perusahaan setelah tahun pertama sampai dengan berakhirnya masa pembayaran premi
Pemberian motivasi dengan insentif
•
Pemberiaan motivasi dengan penghargaan
71
Amirah Sutestri
Pengaruh Motivasi Terhadap Produktivitas Agen Asuransi di Yogyakarta
Penghargaan merupakan motivasi positif yang sering digunakan dalam industri jasa seperti Asuransi, perusaahaan Multi Level Marketing (MLM) untuk meningkatkan kinerja atau semangat para agennya /para distributor. •
Pemberian motivasi dengan penetapan target produksi Pada umumnya target agen asuransi adalah target penjualan meliputi, Surat Permintaan Polis, Premi Pertama dan uang pertanggungan.
•
Pemberian motivasi melalui lingkungan perusahaan Termasuk didalamnya sikap perusahaan terhadap agen. Apabila agen dihargai tinggi maka prestasi mereka akan tinggi atau meningkat dan sebaliknya kalau agen dipandang rendah, maka prestasinya juga akan rendah.
PENGEMBANGAN HIPOTESIS Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui apakah pemberian faktor motivasi yang meliputi; pemberian insentif, pemberian penghargaan, penetapan target produksi/penjualan dan sikap perusahaan asuransi dapat meningkatkan produktivitas agen asuransi.
72
Berdasarkan hal itu maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut; Ho : Adanya faktor motivasi yang diberikan perusahaan tidak mempengaruhi produktivitas agen H1 : Adanya faktor motivasi yang diberikan perusahaan mempengaruhi produktivitas agen. C. METODOLOGI PENELITIAN 1. Populasi dan sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan Agen Asuransi pada berbagai perusahaan asuransi yang ada di Yogyakarta dan sampel akan diambil secara Random Sampling , artinya sampel ditentukan secara acak dari agen asuransi yang dapat ditemui. Oleh sebab itu, pilihan pada sampel hanya ditentukan oleh intuisi belaka. Hal ini dilakukan agar supaya setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sample. Sampel akan ditentukan sejumlah 50 n responden ( ) 2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menyebar questioner kepada 50 agen asuransi yang telah diambil sebagai sampel. sekunder. Kuesioner memuat pertanyaan tentang adanya pemberiaan faktor
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 67-79
motivasi dengan daftar pertanyaan yang telah disusun.
dimana ; atau
Sedang cara lain diperoleh dengan cara mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan penelitian, antara lain dari bulletin, jurnal-jurnal ilmiah, surat kabar majalah bisnis dan bukubuku referensi. 3. Metode Analisis data
Bi B = ------------n
B I = ( X i – X 2i) s
Analisa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif (Winarno Surachmad,1987;78). Keuntungan dari analisis ini adalah, waktu yang diperlukan relatif singkat, tetapi tidak bisa dijadikan pegangan untuk pembuatan keputusan secara eksak. Namun demikian, hasil analisis dalam penelitian ini bisa menggambarkan kondisi sebenarnya sebagian dari agen asuransi di Yogyakarta yang bisa digunakan sebagai sumbang saran bagi pihak manajemen. Untuk menguji kebenaran dari hasil penelitian akan digunakan uji Paired Means Difference dengan menggunakan t test sebagai berikut : ∑ B t = -------------- s B/ √ n
B = standar deviasi B
tingkat kepercayaan data yang digunakan adalah 95 % atau α =0,05 Ho : μ 1 = μ2 Hi : μ 1 ≠ μ2 D. DATA HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini dibatasi 50 orang, mengingat peneliti tidak memfokuskan pada perusahaan asuransi tertentu saja, tetapi agen asuransi dimana pun mereka bergabung dengan perusahaan asuransi, sehingga variable penelitian yang digunakan pun yang bersifat umum dimana semua perusahaan asuransi mempunyai variable tersebut. Untuk produktivitas agen hanya akan diukur dengan perolehan Surat Permintaan (SP) sebelum agen merasa termotivasi dan setelah termotivasi, 73
Amirah Sutestri
Pengaruh Motivasi Terhadap Produktivitas Agen Asuransi di Yogyakarta
serta perolehan premi pertama sebelum merasa termotivasi dan sesudah termotivasi. Sedang untuk faktor termotivasi akan ditanyakan pendapat agen tentang adanya pemberian insentif, adanya penghargaan,adanya penetapan target produksi dan Sikap perusahaan terhadap agen itu sendiri.
Tabel 2 Distribusi Responden atas dasar lama bekerja sebagai agen
ANALISIS DISKRIPTIF Dari hasil kuesioner diperoleh hasil yang disusun dalam tabel-tabel berikut ini: Tabel 1. Distribusi Responden atas dasar jenis kelamin
Sumber : Data primair diolah
Tabel 3 Pemberiaan motivasi berdasarkan insentif terhadap produktivitas agen
Sumber : Data primair diolah Sumber: Hasil Penelitian
Ternyata dari 50 agen asuransi yang bisa ditemui, perempuan mempunyai porsi 39 orang/agen atau 78 % dari seluruh responden, ini bisa dimengerti bahwa perempuan lebih telaten untuk membujuk calon tertanggung, sedangkan lelaki berjumlah 11 orang/agen atau 22 %.
74
Insentif masih masih merupakan faktor terbesar dalam mendorong produktivitas agen, terbukti dari tabel diatas responden yang menjawab kurang termotivasi 6 agen (12%), merasa termotivasi 32 agen (64%) dan sangat termotivasi 12 agen (24%).
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 67-79
Tabel 4 Pemberian motivasi dengan Penghargaan terhadap produktivitas agen
Pemberiaan Motivasi dengan penghargaan terhadap produktivitas agen, terlihat pada tabel diatas bahwa 66% merasakan adanya penghargaan bagi mereka dapat memotivasi untuk meningkatkan produktivitas mereka, hanya 3 agen (6%) menyatakan tidak termotivasi dan 19 agen (38%) menyatakan kurang termotivasi. Tabel 5 Pemberian motivasi dengan penetapan target produksi bulanan (10SP) terhadap produktivitas agen
Sumber : Data primair diolah
Target penetapan target produksi dengan jumlah minimal 10 Surat Permintaan (SP), yang dapat memenuhi target 10 SP ada 6 agen (12 %), berarti mereka termasuk yang sangat termotivasi, Sedang lainnya tidak dapat mencapa target, tapi cukup termotivasi ada 18 agen (36%) dan kurang termotivasi 21 agen (42%) dan tidak termotivasi 5 agen (10%). Tabel 6 Pemberian motivasi dengan sikap perusahaan terhadap produktivitas Agen
Sumber : Data primair diolah
Sikap perusahaan asuransi yang ditunjukkan kepada agen asuransinya akan berdampak terhadap produktivitas agen. Apabila sikap perusahaan positip terhadap agen, maka agen juga akan menghasilkan hasil yang positip dan sebaliknya. Sikap perusahaan Asuransi terhadap agen yang dirasakan agen asuransinya dapat memotivasi untuk meningkatkan produktivitasnya, yang menjawab termotivasi 11 agen (22%) dan san75
Amirah Sutestri
Pengaruh Motivasi Terhadap Produktivitas Agen Asuransi di Yogyakarta
gat termotivasi 13 agen (26%), sisanya 18 agen (36%) kurang termotivasi dan 8
agen (16%) merasa tidak termotivasi
Tabel 7 Penutupan Produksi berdasarkan perolehan SP (Surat Permintaan)
Sumber : Data primair diolah
Dari Tabel 7 diatas terlihat bahwa adanya faktor motivasi yang diberi kan perusahaan asuransi berdasarkan Surat
Permintaan (SP) meningkatkan produktivitas agen.
Tabel 8 Penutupan Produksi atas premi yang diperoleh
Sumber : Data primair diolah
Dari tabel 8 diatas, menunjukkan bahwa adanya faktor motivasi yang diberikan oleh perusahaan asuransi, 15 agen termotivasi/sangat berhasil dalam penutupan premi yang diperoleh (>Rp 20.000.000), sementara untuk yang berhasil dalam penutupan premi antar (Rp 10.000.000,- Rp 20.000.000,-) dari 24 76
agen (48%) menjadi 17 agen (34%), ini dimungkinkan sebagian berhasil termotivasi ke katagori yang sanat berhasil, sedang yang kurang berhasil (penutupan premi < Rp 10.000.000,-) menadi 5 agen (10%), berarti ada juga yang meningkat ke kategori berhasil.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 67-79
ANALISIS TERHADAP PRODUKTIVITAS Surat Permintaan (SP) dan Perolehan Premi Pertama (PP) T – TEST
Dari hasil olah data dengan komputer diperoleh; •
•
•
Mean SP sebelum ada faktor motivasi 46.50 dan standard deviasi 19,19 Mean SP setelah ada faktor motivasi 88,48 dan standard deviasi 70,12 ρ < α = 0,05 Dapat terlihat secara nominal bahwa terdapat peningkatan SP setelah adanya faktor motivasi, sebesar 41,98
•
Dari hasil uji –t, diperoleh nilai t hi= -5,177 dan sig (2-Tailed) atau tung probabilitas = 0,000, karena nilai ρ< α =0,05 berarti signifikan.
Dengan demikian Ho ditolak dan Hi diterima, pemberian motivasi mempengaruhi produktivitas Surat Permintaan. Dengan kata lain bahwa terdapat pengaruh pemberian motivasi terhadap produktvias agen dalam hal Surat Permintaan (SP)
77
Amirah Sutestri
Pengaruh Motivasi Terhadap Produktivitas Agen Asuransi di Yogyakarta
ANALISIS TERHADAP PRODUKTIVITAS Perolehan Premi 1 (PP) sebelum dan sesudah termotivasi Untuk menguji kebenaran hasil analisis diskriptif diatas dengan T – TEST
•
Mean PP sebelum adanya faktor motivasi 23.491,8 dan standard deviasi 21.266,8
•
Mean PP setelah adanya faktor motivasi 30.471,9 dan standard deviasi 23.699,4
•
78
Dapat terlihat secara nominal ada peningkatan PP setelah adanya faktor motivasi sebesar 6.980,1
•
Dari hasil uji t diperoleh hasil , nilai t = -2,570 dan Sig.2-tailed (probahitung bilitas) =0,013, karena nilai p < α = 0,05 berarti signifikan.
Berarti Ho ditolak dan Hi diterima, yang berarti bahwa motivasi mempengaruhi perolehan PP/produktivitas perolehan premi pertama. Dengan kata lain, berarti terdapat pengaruh pemberian motivasi terhadap Premi Pertama
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 67-79
E. SIMPULAN Bahwa 78% agen asuransi berjenis kelamin wanita, dan 50% telah menjadi agen asuransi di atas 5 tahunan.
T Hani Handoko, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, BPFE Yogyakarta, 2000
Faktor motivasi yang meliputi pemberian insentif, penghargaan, penetapan target produksi dan sikap perusahaan dapat memotivasi agen asuransi dan yang paling memotivasi adalah pemberian insentif. Hasil uji Paired Means Difference dengan t test adalah signifikan yang berarti bahwa Ho ditolak dan Hi diterima, artinya terdapat pengaruh pemberiaan motivasi terhadap produktivitas agen asuransi meliputi perolehan Surat Permintaan (SP) dan Permintaan Premi 1 (PP). DAFTAR PUSTAKA Amirah Sutestri, Tanggapan Masyarakat terhadap produk jasa Asuransi Jiwa di Kotamadya Yogyakarta, Thesis, 1995 Basu Swasta dan Irawan, Manajemen pemasaran Modern, Liberty, 2002 Macam-macam Asuransi, Yayasan Dharma Bumi Putera, Jakarta, 1982 R Winaryo SM, Drop out Agen, PT Mardimulyo, Jakarta, 2001 79
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif: Tinjauan dalam Fiqh Muamalat dan Penerapannya dalam Perbankan Syariah Oleh: Moh Khoiruddin Abstract
Islamic trade finance has played an important role in facilitating international trade since the times of the Prophet. With the rapid process of globalisation, its role is even vital in bridging the trade between countries. The principle of Kafalah has great potential in fostering cooperation in business activities around the globe. Using kafalah scheme in Islamic Bank of Indonesia’s finance service is new relatively, although in other countries such as Malaysia and Saudi Arabia were practiced for long years ago. With kafalah, finance product services of Islamic Bank can be wider and diversivied. Meanwhile on the people side it can provide more a lot of financial product services for their financing need, such as letter of guarantee, charge card, shariah card, letter of credit (L/C), financial guarantee for Small-Medium Enterprise, etc. For understand deeply about kafalah concept, this paper will try to explain shariah fundamentals of kafalah for financial service operation in Islamic Bank. Additional, this paper also explain how kafalah concept was operated in some Islamic Bank, opportunities, and challenges were faced by Islamic Bank when operate it.
Keyword Kafalah, financial instrumen, sharia banking Penulis Moh. Khoiruddin, Dosen Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol.7No.3September-Desember‘09 Fak. Ekonomi - Universitas Cokroaminoto Yogyakarta ISSN: 1412-9450
80
I. Pendahuluan Semakin maju suatu masyarakat biasanya ditandai dengan semakin familiarnya masyarakat tersebut dengan produk-produk perbankan. Aktifitas bisnis maupun non bisnis dalam masyarakat maju semakin menghendaki bentuk layanan keuangan yang mudah, sederhana, cepat, dan praktis. Seiring dengan semakin banyaknya kebutuhan masyarakat terhadap layanan bank yang mempertimbangkan aspek efisiensi, kualitas layanan, kualitas hasil dan tidak melanggar ajaran agama, maka bank syariah yang merupakan lembaga keuangan bank yang beroperasi dengan menggunakan prinsip syariah dituntut untuk mampu menyediakan berbagai jenis layanan yang menjadi kebutuhan masyarakat tersebut. Namun demikian bank syariah dalam menawarkan produk layanannya tidak bisa seperti bank konvensional yang mengabaikan aspek aturan agama Islam
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
dalam bermuamalah (fiqh muamalah). Bank syariah di satu sisi dituntut untuk dapat melayani nasabah secara profesional dengan ragam dan kualitas setara dengan produk jasa keuangan bank konvensional, dan di sisi lain dituntut untuk taat aturan agama sebagai prinsip dasar penawaran produknya. Telah banyak upaya dilakukan oleh para ulama klasik dan kontemporer, dewan syariah, dan berbagai pakar atau akademisi untuk menggali dan memodifikasi konsep dasar Islam dalam bermuamalah untuk melandasi berbagai produk layanan bank yang sedemikian beragam dikenal dalam masyarakat modern. Dari sekian banyak konsep Islam dalam bermuamalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah kafalah. Kafalah ini sekarang dan di masa yang akan datang diperkirakan akan semakin banyak digunakan sebagai dasar akad berbagai bentuk transaksi antara nasabah dan bank syariah, karena semakin meningkatnya keinginan nasabah untuk bertransaksi secara syariah dengan pihak lain yang melibatkan bank. Jasa keuangan dengan skim kafalah telah banyak ditawarkan dan digunakan oleh bank syariah, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Dengan kafalah bank syariah sebagai lembaga penyedia jasa-jasa keuangan syariah
akan dapat menawarkan banyak bentuk produk layanan terutama pembiayaan, seperti skim pembiayaan bank garansi (letter of guarantee), charge card, syariah card, letter of credit (L/C), jaminan pembiayaan untuk usaha menengah ke bawah, dan lain sebagainya. Tulisan ini akan mencoba memaparkan konsep dasar kafalah beserta landasan syariahnya dan bagaimana penerapannya dalam sejumlah produk keuangan yang ditawarkan oleh bankbank syariah. Dengan paparan ini diharapkan akan semakin meningkatkan pemahaman konsep kafalah dalam melandasi berbagai jenis pembiayaan, sehingga akan semakin banyak masyarakat pelaku usaha dan bank syariah yang menggunakan konsep ini dalam pembiayaan yang disepakati. Karena sebagaimana hasil riset yang dilakukan Norafifah and Haron (2002) menunjukkan bahwa rata-rata pembiayaan perdagangan berdasarkan syariah Islam masih sangat sedikit, yaitu hanya sebesar 7,5% dibandingkan instrumeninstrumen pembiayaan konvensioanal 2 yang sebesar 62,7%. Padahal sebetulnya prinsip-prinsip keuangan Islam bila digali dan dikembangkan akan mampu merespon kebutuhan perdagangan domestik maupun internasional, yaitu mampu membatu para eksportir, impor-
Lihat Norafifah, N. and Haron, S., “The Potentiality of Islamic Products and Services in Fulfilling Corporate Customers’ Banking Requirements” The First International Conference on Islamic Banking, Finance and Insurance Reshaping Global Financial Architecture through the Islamic System, Malaysia 30-31st January 2002. 2
81
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
tir dan produsen.
3
Tulisan ini akan diawali dengan bahasan tentang konsep kafalah dari sisi fiqh. Kemudian di bagian kedua, dibahas praktik kafalah dalam dalam sejumlah produk keuangan bank syariah. Sementara di bagian akhir dari tulisan ini adalah penutup yang berisi sejumlah kesimpulan dan saran. II. Kafalah Pembiayaan perdagangan dengan konsep Islam telah memainkan peranan penting dalam memfasilitasi perdagangan internasional sejak di zaman Rasulullah. Seiring dengan proses globalisasi yang cepat, maka keberadaan pembiayaan berbasis syariah merupakan sesuatu yang vital dalam menjembatani aktifitas perdagangan antar wilayah/ negara. Prinsip kafalah merupakan salah satu dari bentuk pembiayaan yang mempunyai potensi besar dalam menjalin kerjasama aktifitas bisnis di seluruh 4 dunia. Kafalah telah lama dipakai sebagai dasar bermuamalah pada masyarakat muslim. Kajian fiqh tentang kafalah telah banyak dilakukan oleh para ulama
klasik maupun kontemporer. Dalam kajian fiqh, masih terdapat pro kontra dalam pengembangan kafalah, terutama menyangkut pengenaan ujrah. Namun untuk kondisi Indonesia, dalam praktik penerapan akad kafalah tersebut tidak begitu bermasalah karena adanya fatwa kafalah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang selama ini digunakan sebagai acuan utama para praktisi keuanganperbankan dalam menawarkan produkproduknya. Kafalah secara etimologi berarti jaminan. Sedangkan Qataluji dalam Dictionary of Islamic Legal Terminology dan Az-Zuhaily dalam Uqud AlMusamma mendefinisikan Al-Kafalah sebagai “suatu jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua 5 (yang ditangguh) terhadapnya”. Ayat Al-Quran yang dijadikan dasar hukum beroperasionalnya kegiatan kafalah ini adalah, “Pegawai-pegawai itu berseru, Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terha6 dapnya”.
Lihat Monzer Kahf, “Financing International Trade: An Islamic Alternative”, Seminar on International Trade from Islamic Perspective, IKIM, Malaysia April 1999. 4 Lihat Rosita Chong, Raihana Firdaus Seah Abdullah, Alex Anderson dan Hanudin Amin, Economics Of Islamic Trade Financing Instruments, International Review of Business Research Papers Vol.5 No. 1 January 2009 hal 231. 5 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, h.36-37. 6 QS. Yusuf ayat 72 dalam Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 1983. 3
82
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
Dalam rangka menjalankan usahanya, seseorang sering memerlukan penjaminan dari pihak lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul’anhu, ashil). Untuk memenuhi kebutuhan usaha tersebut Bank Syariah dapat menyediakan suatu skema penjaminan (kafalah) yang berdasarkan prinsipprinsip syariah. Dasar operasional jasa kafalah yang diberikan bank syariah di Indonesia kepada nasabah didasarkan pada Fatwa No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah. Hadis Rasulullah yang digunakan sebagai dasar dari Fatwa tersebut adalah sebagai berikut, “Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah SAW bertanya, “Apakah ia mempunyai hutang?” Sahabat menjawab, “Tidak”. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, “Apakah ia mempunyai hutang?” Sahabat menjawab, “Ya”. Rasulullah berkata, “Salatkanlah temanmu itu” (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, “Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah”. Maka Rasulullah pun mensalatkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah 7 bin Akwa’).
A. Ketentuan Umum Kafalah 1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. 2. Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan. 3. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. B. Rukun dan Syarat Kafalah 1. Pihak penjamin (Kafiil) a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat. b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut. 2. Pihak Orang yang Berhutang (Ashiil, Mak fuul’anhu) a. Sanggup menyerahkan tanggugannya (piutang) kepada penjamin. b. Dikenal oleh penjamin.
Dewan Syari’ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi, DSNMUI dan Bank Indonesia, 2006, h.70. 7
83
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
c. Harus merupakan piutang mengikat (laziim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah. Jaminan atau kafalah merupakan bentuk kontrak yang dikenal baik dalam fiqh, dan teks-teks klasik fiqh. Menyangkut masalah fee atas pemberian jaminan ini terdapat pro dan kontra, namun sejumlah ulama kontemporer sepakat bahwa ketika Al-Quran atau Sunnah tidak secara eksplisit melarang fee atas jaminan yang diberikan, maka pengenaan fee diijinkan dengan dasar kebutuhan atau darurat. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa jaminan bank garansi menjadi suatu kebutuhan, khususnya dalam perdagangan internasional dimana penjual dan pembeli tidak saling mengetahui satu dengan lainnya, serta pembayaran harga oleh pembeli tidak dapat berlangsung secara simultan dengan penawaran produk. Oleh karenaya sebuah bank syariah dapat mengutip fee untuk meng-cover biayabiaya yang dikeluarkan dalam proses 8 penerbitan suatu jaminan.
d. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
III. Kafalah dalam Praktik Perbankan Syariah
e. Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan).
Kafalah dalam Bank Garansi (Letter of Guarantee)
Kemudian, apabila salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para
Seorang nasabah sering menghendaki bank untuk bertindak sebagai perantara dalam berbagai transaksi
3. Pihak Orang (Makfuul Lahu)
yang
Berpiutang
a. Diketahui identitasnya. b. Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa. c. Berakal sehat. 4. Obyek Penjaminan (Makfuul Bihi) a. Merupakan tanggungan pihak/ orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan. b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
8 Mohammed Obaidullah, Islamic Financial Services, Islamic Economics Research Center King Abdul Aziz University, 2005, h.114.
84
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
yang aman dan dapat dipercaya oleh berbagai pihak. Dalam fungsinya sebagai perantara, bank terkadang bertindak sebagai penjamin hutang nasabah kepada nasabah tertentu atau partner bisnisnya. Bank garansi (letter of guarantee) merupakan jaminan pembayaran yang diberikan oleh bank kepada sutau pihak, baik perorangan, perusahaan atau badan hukum/lembaga lainnya dalam bentuk surat jaminan. Pemberian jaminan dengan maksud bank menjamin akan memenuhi (membayar) kewajiban-kewajiban dari pihak yang dijaminkan kepada pihak yang menerima jaminan, apabila yang dijamin tersebut kemudian hari ternyata tidak memenuhi kewajiban kepada pihak lain sesuai dengan yang diperjanjikan (cidera janji). Dalam kasus ini tidak ada aliran kas keluar dalam tahap awal kontrak bagi bank. Namun demikian, dalam rangka untuk menanggulangi kegagalan bayar nasabah, karena hutang menjadi tanggungan bank sebagai penjamin, maka bank dapat meminta pembayaran atas jaminan yang diberikan tersebut. Adapun tujuan dan manfaat pemberian jaminan bank garansi oleh bank syariah kepada nasabah penerima jaminan antara lain adalah sebagai berikut : 1. Memberikan bantuan fasilitas dan kemudaan dalam memperlancar transaksi nasabah. 9
2. Meringankan cash flow nasabah. 3. Nasabah dapat mengikuti tender, karena biasanya dalam tender, bank garansi adalah suatu keharusan. 4. Bagi pemegang jaminan bank garansi adalah untuk memberikan keyakinan bahwa pemegang jaminan tidak akan menderita kerugian bila pihak yang dijaminkan melalaikan kewajibannya, karena pemegang akan mendapat ganti rugi dari pihak bank. 5. Menumbuhkan saling percaya antara pemberi jaminan, yang diberi jaminan dan yang menerima jaminan. 6. Memberikan rasa aman dan ketentraman dalam berusaha bagi semua pihak. 7. Menguntungkan bagi semua pihak. Pendapatan bank dari layanan jasa bank garansi tersebut paling banyak berupa komisi, dan berupa bunga dalam sejumlah kasus pemberian dana temporer oleh bank konvensional. Dalam bank syariah dana temporer yang diberikan bebas dari bunga. Bank syariah menggunakan mekanisme kafalah dalam menyediakan fasilitas tersebut. Fasilitas yang akan diberikan tersebut meliputi 9 sejumlah tahap :
Mohammed Obaidullah, ibid, h. 115.
85
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
1. Bank garansi diajukan bagi suatu kinerja tugas, persetujuan pendanaan, dan lainnya. 2. Nasabah diminta menempatkan sejumlah dana untuk keperluan fasilitas yang diminta tersebut, Bank menerima simpanan dana tersebut dengan menggunakan prinsip wadiah dhamanah.
3. Bank menarik fee kepada nasabah atas layanan yang diberikannya. Bank Syariah menyediakan fasilitas bank garansi ini biasanya dalam bentuk pendanaan perdagangan, konstruksi, proyek yang berhubungan dengan keuangan, pengapalan, dan lain-lain. Adapun proses permohonan bank garansi ini dapat dilihat pada skema beri10 kut ini :
Gambar 1 Skema Proses Permohonan Bank Garansi dengan Akad Kafalah
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Baru, Rajawali Press, Jakarta, 1999, h. 158159
10
86
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
Keterangan : 1. PT. Amanah adalah nasabah yang mengajukan bank garansi ke Bank Syariah. Hal ini misalnya dilakukan nasabah untuk dapat melaksanakan pekerjaan/proyek milik suatu BUMN. 2. Bank Syariah akan menerbitkan bank garansi jika nasabah memenuhi syarat dengan akad kafalah, serta bank menerima jaminan lawan (counter guarantee) dengan akad wadiah dhamanah. 3. Surat jaminan (bank garansi) asli diserahkan nasabah kepada pihak BUMN. 4. Jika terdapat sesuatu yang merugikan BUMN karena nasabah ingkar janji, maka pihak BUMN dapat langsung membawa surat jaminan tadi yang asli yang dipegangnya ke Bank Syariah untuk dicairkan. 5. Pihak Bank syariah akan memberikan ganti rugi dengan cara mencairkan jaminan lawan yang diserahkan oleh nasabah sebelumnya. 6. Jika tidak terjadi masalah dalam pekerjaannya, maka pihak BUMN akan mengembalikan bank garansi asli ke nasabah, sehingga nasabah dapat 11
mengembalikannya ke Bank Syariah. Terdapat berbagai jenis bank garansi bila dilihat dari tujuannya. Jenis-je11 nis bank garansi tersebut adalah : 1. Bank garansi untuk penangguhan bea masuk, yaitu bank garansi yang diberikan kepada kantor bea cukai untuk kepentingan pemilik barang guna penangguhan pembayaran bea masuk atau barang yang dikeluarkan oleh pelabuhan. 2. Bank garansi untuk tender di dalam negeri, yaitu bank garansi yang diberikan kepada yang memberi pekerjaan untuk kepentingan kontraktor/leveransir untuk mengikuti tender dalam negeri. 3. Bank garansi untuk pelaksanaan pekerjaan, yaitu bank garansi yang diberikan kepada pemberi pekerjaan untuk kepentingan kontraktor guna menjamin pelaksanaan pekerjaan yang diterima dari pemberi pekerjaan. 4. Bank garansi untuk uang muka pekerjaan, yaitu bank garansi yang diberikan kepada pemberi pekerjaan untuk kepentingan kontraktor untuk menerima pembayaran uang muka dari yang memberi pekerjaan.
Kasmir, ibid h.162
87
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
5. Bank garansi untuk tender di luar negeri, yaitu bank garansi yang diberikan untuk kepentngan kontraktor yang akan mengikuti tender pemborong yang mana pemberi pekerjaan adalah pihak luar negeri. Garansi ini juga bisa untuk menjamin kontraktor/eksportir dalam negeri yang turut tender/melaksanakan kontrak. 6. Bank garansi untuk perdagangan, yaitu bank garansi yang diberikan kepada agen atau dealer perdagangan atau depot-depot perdagangan. 7. Bank garansi untuk penyerahan barang, yaitu bank garansi yang diberikan kepada nasabah yang akan melakkukan penyerahan barang, baik yang dibiayai oleh bank ataupun tidak. 8. Bank garansi untuk mendapatkan keterangan pemasukan barang, yaitu bank garansi yang diberikan untuk pengeluaran barang yang L/C-nya belum dibayar penuh oleh importir. Sementara itu, dari pengamatan penulis atas surat jaminan atau dokumen bank garansi setidaknya di dalamnya memuat hal-hal sebagai berikut : 1. Judul garansi bank atas bank garansi 2. Nama dan alamat bank pemberi garansi 88
3. Nama dan alamat terjamin 4. Nama dan alamat penerima jaminan 5. Macam transaksi antara terjamin dan penerima jaminan 6. Tanggal penerbitan surat bank garansi 7. Jumlah uang yang dijaminkan oleh bank 8. Batas waktu untuk mengajukan klaim kepada bank 9. Pernyataan bahwa penjamin (bank) akan memenuhi pembayaran hingga suatu jumlah tertentu. 10. Jangka waktu pembayaran oleh bank kepada penerima jaminan terhitung saat bank menerima tuntutan. 11. Tanda tangan pihak bank pemberi garansi. Kafalah dalam Charge Card Untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai diperlukan charge card. Aturan penerbitan charge card didasarkan pada Fatwa DSN Nomor: 42/DSN-
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
MUI/V/2004 Tentang Syariah Charge Card. Syariah charge card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan. Penyelenggaraan syariah charge card harus memenuhi sejumlah ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud). Adapun ketentuan dan batasan syariah 12 charge card adalah sebagai berikut : 1. Tidak boleh menimbulkan riba 2. Tidak digunakan untuk transaksi obyek yang haram atau maksiat. 3. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu. 4. Tidak mengakibatkan hutang yang tidak pernah lunas (ghalabah aldayn). 5. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
ijarah atau akad al-qard wal ijarah. Secara lebih lengkap, akad yang dapat digunakan untuk syariah charge card adalah sebagai berikut : 1. Untuk transaksi pemegang kartu (hamil al-bithaqah) melalui merchant (qabil al bithaqah/penerima kartu), akad yang digunakan adalah akad kafalah wal ijarah. 2. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-qardh wal ijarah. Untuk bisa mendapatkan fasilitas charge card ini nasabah biasanya akan dikenakan pembayaran sejumlah fee. Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb alnuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan. Fee yang dikenakan kepada nasabah 13 tersebut meliputi : 1. Membership fee (rusum al-udhwiyah). Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan (rusum al’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin penggunaan fasilitas kartu.
Syariah charge card dapat dioperasionalkan dengan akad kafalah wal 12 13
Dewan Syari’ah Nasional MUI, opcit h.304. Dewan Syari’ah Nasional MUI, opcit h.304-305
89
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
2. Merchant fee (ujrah). Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga obyek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn). 3. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud)
terlambatan atau denda akibat melampaui pagu yang diberikan. Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial. Denda karena melampaui pagu (over limit charge) adalah denda yang dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.
Dalam charge card ini dimungkinkan pengenaan denda kepada nasabah. Denda tersebut dapat berupa denda ke-
Adapun proses permohonan dan operasinal kafalah charge card ini dapat dilihat pada skema berikut ini :
Gambar 2 Skema Proses Permohonan dan Operasinalisasi Kafalah Charge Card Keterangan : 1. Nasabah mengajukan permohonan syariah charge card ke Bank Syariah. 90
2. Bank Syariah akan menerbitkan syariah charge card jika nasabah memenuhi syarat dengan akad kafalah wal ijarah.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
3. Syariah charge card diserahkan nasabah untuk dapat membeli produk yang diinginkannya. 4. Merchant mengembalikan Syariah charge card kepada nasabah 5. Merchant akan menagih pembayaran kepada Bank Syariah senilai pembelian yang dilakukan nasabah. 6. Pihak Bank Syariah akan membayar kepada merchant atas transaksi nasabahnya. Kafalah dalam Syariah Card Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang mengakibatkan hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak, berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa No: 54/ DSN-MUI/X/2006 yang ditetapkan pada 11 Oktober 2006 M. Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa ini. Bank Indonesia juga sudah mengamini produk ini dengan surat persetujuan bernomor 9/183/ 14 DPbS/2007. Sebenarnya produk ini adalah pengembangan lebih kompleks dari produk Syariah Charge Card (SCC) yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini berdasarkan fatwa DSNMUI pada 2004. Produk SCC dinilai 14 15
kalangan praktisi perbankan syariah kurang greget sehingga perlu diperbarui 15 menjadi syariah card. Para pihak yang terlibat dalam operasionalisasi syariah card ini adalah pihak penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) dan penerima kartu (merchant, tajir atau qabil al-bithaqah). Adapun akad yang dapat digunakan dalam Syariah Card sesuai dengan fatwa No: 54/DSN-MUI/X/2006 adalah sebagai berikut : 1. Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/ atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah). 2. Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu. 3. Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pe-
BHS, Kartu Kredit Ramaikan Pasar Syariah, 19 Juli 2007, www.niriah.com Muhammad Gunawan Yasni, Kartu Sorry ah Jadi Syariah?, Kompas, edisi 07 Agustus 2007.
91
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
megang Kartu dikenakan membership fee. Untuk bisa mendapatkan syariah card ini nasabah dapat dikenakan pembayaran sejumlah fee. Fee yang dikenakan kepada nasabah tersebut meliputi :
likasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee. Sementara itu untuk ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) Syariah Card adalah sebagai berikut : 1. Tidak menimbulkan riba.
1. Iuran keanggotaan (membership fee). Penerbit Kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
2. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
2. Merchant fee. Penerbit Kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil aldayn).
4. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
3. Fee penarikan uang tunai. Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan. 4. Fee Kafalah. Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian Kafalah. Semua bentuk fee tersebut di atas harus ditetapkan pada saat akad ap92
3. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
5. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah Sebagaimana dalam charge card, dalam syariah card ini juga dimungkinkan pengenaan denda kepada nasabah. Denda tersebut dapat berupa : 1. Ta’widh Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
2. Denda keterlambatan (late charge). Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah atau melalui Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Berkenaan dengan Syariah Card ini, Bank Danamon Syariah telah menggandeng MasterCard menerbitkan Dirham Card. Dirham Card ditujukan untuk melengkapi rangkaian produk kartu telah ditawarkan kepada para nasabah Bank Danamon. Perbedaan Dirham Card dan kartu kredit biasa terletak pada akad (perjanjian kontrak atau skema transaksi yang digunakan dan dapat berupa ijarah, kafalah ataupun Qardh. Dalam skema kafalah, Bank Danamon Syariah selaku penerbit kartu bertindak sebagai penjamin bagi pemegang kartu terhadap merchant (toko) atas semua kewajiban bayar yang timbul. Bank sebagai penerbit kartu akan menerima imbal jasa atau fee. Dirham Card ini tidak menerapkan sistem bunga. Namun menggunakan sistem biaya sewa berdasarkan prinsip 16
ijarah. Sementara pengelolaan dana kebajikan yang diperoleh dari penyelenggaraan produk syariah misalnya late payment fee, disalurkan untuk kegiatan kedermawanan. Selain Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia (BII) juga telah mengeluarkan kartu BII Syariah Card. Kartu kredit itu menggunakan prinsip akad qardh dan kafalah. Dalam skema kafalah merupakan prinsip perwakilan. Artinya, pada saat bertransaksi pemegang kartu bertindak mewakili bank untuk bertransaksi dengan merchant. Perbedaan dengan kartu kredit konvensional, kartu Syariah ini bebas bunga. Penggunaannya seperti kartu kredit, tetapi tidak ada pembayaran minimum seperti kartu kredit. Jadi, begitu jatuh tempo, tagihan harus dilunasi seluruhnya, tidak boleh dicicil. BII sudah memiliki dua produk kartu kredit syariah yakni tipe BII Syariah Card Gold dan Platinum. BII Syariah Card telah mengacu pada fatwa MUI yang menyatakan, jangan sampai keberadaan kartu semacam ini mendorong konsumerisme. Karena itulah yang dibidik adalah segmen Gold, yang relatif punya uang banyak. Segera menyusul Danamon dan BII, bank syariah terbesar di Indonesia, Bank Syariah Mandiri menurut informasi juga akan mengeluarkan kartu kredit syariah, selambatlambatnya pada tahun 2008. 16
Lihat BHS, opcit.
93
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
Kafalah bil Ujrah dalam Letter of Credit (L/C) Bagi pebisnis yang ikut bermain dalam arena ekspor impor tentu saja sudah tidak asing lagi dengan istilah L/C (Letter of Credit) baik pada ekspor maupun impor. L/C ekspor merupakan surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor. Begitu juga pada L/C impor, surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk kepentingan importir dengan pemenu17 han persyaratan tertentu. L/C Akad Kafalah Bil Ujrah adalah transaksi perdagangan ekspor impor yang diselenggarakan oleh Bank Syariah berdasarkan akad Kafalah, dan atas jasa tersebut Bank Syariah memperoleh fee (ujrah). Sementara, kafalah sebagaimana disebutkan di atas adalah akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil). Berdasarkan Fatwa No: 57/DSNMUI/V/2007 yang ditetapkan pada 30 Mei 2007 tersebut, transaksi L/C ekspor impor diperbolehkan menggunakan akad Kafalah bil Ujrah. Seluruh rukun dan syarat akad Kafalah Bil Ujrah meru-
juk pada fatwa No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah. Kemudian, penerapan akad Kafalah dalam transaksi L/C ekspor maupun impor merujuk kepada fatwa No.34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah dan fatwa No.35/DSN-MUI/IX/2002 tentang 18 Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah. Fee atas transaksi akad Kafalah harus disepakati dan dituangkan di dalam akad. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah atau Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Untuk lebih memberi gambaran bagaimana secara umum operasionalisasi L/C, berikut ini disajikan secara sederhana tahapan-tahapan dalam 19 proses L/C tersebut : a. Negosiasi antara penjual/eksportir dan pembeli/importir (dalam hal ini antara perusahaan A dan perusahaan K) mengenai kesepakatan harga dan jenis barang; b. Perusahaan mengajukan permohonan L/C ke Bank Matahari;
www.wirausaha.com,”Banyak Pilihan di L/C Ekspor Syariah”, 04 Apr 2007. Lihat Fatwa No: 57/DSN-MUI/V/2007, www.mui.or.id, tanggal akses 27 Nopember 2007. 19 Sri Yuliarti, Tentang Letter Of Credit (L/C) Impor Syariah, www.msi-uii.net, tanggal akses 10 Desember 2007 17 18
94
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
c. Bank Matahari mengadakan analisis terhadap permohonan tersebut;
bank penerus untuk menagih pembayaran;
d. Jika bank menyetujui permohonan tersebut, maka bank dan pemohon L/C mengadakan perjanjian. Dalam hal ini, Bank Matahari adalah bank yang menerbitkan L/C, maka sering disebut sebagai Bank Penerbit atau Issuing Bank atau Remitting Bank;
i. Bank penerus tidak langsung mengadakan pembayaran, namun sesuai fungsinya bank penerus meneruskan dokumen tersebut kepada Bank Matahari sebagai bank penerbit;
e. L/C diterbitkan melalui perantara yang ditunjuk atas dasar kesepakatan antara pembeli, penjual dan Bank Matahari; f. Bank perantara meneruskan L/C yang diterima dari bank penerbit ke perusahaan K. Bank perantara sering disebut sebagai Bank Penerus atau Advising Bank atau Negotiating Bank; g. Setelah menerima L/C, perusahaan K kemudian mengirimkan barangnya kepada perusahaan A; h. Perusahaan K membawa dokumen pengiriman barang kepada
j. Bank Penerbit meneliti keabsahan dokumen dan kesesuaian isi perjanjian jual beli serta L/C; k. Apabila dokumen sesuai, maka bank penerbit melakukan pembayaran ke perusahaan K melalui bank penerus; l. Bank penerus meneruskan dan melakukan pembayaran pada perusahaan K; m. Bank penerbit menagih kewajiban pembayaran pembelian barang ke perusahaan A sebagai pembeli; Selanjutnya, proses yang dilakukan bank syariah terkait dengan L/C Kafalah bil Ujrah ini dapat dilihat pada skema 20 berikut ini :
Lihat Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi Ketiga, Rajawali Press, 2006, h.254. 20
95
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
Gambar 3 Skema Pembiayaan L/C Syariah
96
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
Kemudian, berikut ini merupakan contoh kutipan ketentuan L/C dari Bank Sya21 riah Mandiri BSM Letter of Credit Janji tertulis berdasarkan permintaan tertulis nasabah (applicant) yang mengikat Bank Syariah Mandiri sebagai bank pembuka untuk membayar kepada penerima atau order-nya atau menerima dan membayar wesel pada saat jatuh tempo yang ditarik penerima, atau memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima, atau untuk menegosiasikan weselwesel yang ditarik oleh penerima atas penyerahan dokumen. Karakteristik : • L/C ini hanya diterbitkan untuk transaksi pembelian barang di luar negeri (transaksi internasional) • Valuta yang digunakan adalah valuta asing maupun rupiah • L/C harus diterbitkan dalam bentuk irrevocable di mana tidak dapat diubah atau dibatalkan sepihak selama jangka waktu berlakunya L/C Peruntukkan : • Perorangan Syarat : • • • • • •
Harus memiliki rekening di Bank Syariah Mandiri Harus memiliki perizinan import Mengajukan permohonan pembukaan L/C Supplier (beneficiary) harus berkedudukan di luar negeri Dibukakan line facility apabila dana jaminan nasabah tidak mengcover seluruh nilai L/ C Dikenakan biaya komisi, biaya SWIFT dan handling document sesuai ketentuan Bank Syariah Mandiri
Penerbitan fatwa DSN tersebut diharapkan akan mendorong perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia, terutama di bidang perdagangan ekspor dan impor dengan menggunakan sistem syariah. Indikasi ke arah sana sudah terlihat, setidaknya dari Bank Ekspor Impor (BEI) yang membuka divisi syariah atau unit usaha syariah (UUS) pada pertengahan 2007. Tujuan pembukaan divisi syariah dalam BEI adalah untuk memberi pembiayaan sejumlah 21
kegiatan ekspor-impor dengan menggunakan skim syariah. Selain itu, pembukaan divisi syariah tersebut juga bertujuan untuk menangkap peluang dana investasi dari investor Timur Tengah. Sebagaimana diketahui pasca lonjakan harga minyak dunia beberapa waktu lalu di sepanjang tahun 2006-2008, para investor Timur Tengah mengalami kelebihan likuditas hingga miliaran dolar AS. Sementara
www.bsm.com, tanggal akses 10 Desember 2007.
97
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
ada kecenderungan dalam beberapa tahun terakhir para investor Timur Tengah ini mengalihkan dana investasinya dari Amerika Serikat ke negara-negara yang menawarkan instrumen-instrumen keuangan syariah. Kafalah Scheme untuk Perusahaan Kecil dan Menengah Di luar negeri seperti di Malaysia, Bank Muamalat Malaysia Bhd (BMMB) belum lama ini telah menandatangani kesepakatan dengan Bank SME untuk meluncurkan Kafalah Scheme yang memberikan kesempatan bagi nasabah usaha kecil dan menengah untuk mendapatkan pembiayaan berbasis syariah. Skim kafalah ini memberikan peluang bagi nasabah khususnya yang mempunyai usaha pada skala kecil dan menengah pada sektor produksi dan jasa serta wirausaha untuk mendaptkan pembiayaan dari Bank Muamalat. Kesepakatan yang dibuat untuk jangka waktu tiga tahun. Bank SME dalam hal ini setuju untuk menyediakan jaminan pembiayaan pada Bank Muamalat yang akan menyediakan pembiayaan syariah bagi pelaku baru atau pelaku lama usaha kecil dan menengah. Bank tersebut juga akan menyelenggarakan pengembangan program training untuk melahirkan wirausahawan baru dengan tingkat keahlian dan pengetahuan yang
tinggi. Mereka juga mengadakan pembimbingan bisnis bagi usaha kecil dan menengah untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan dari kedua bank tersebut. Keunggulan sistem kafalah ini adalah bahwa nasabah usaha kecil dan menengah akan dapat menikmati fasilitas yang ditawarkan oleh bank-bank komersial dengan biaya yang rasional. Skim pembiayaan ini juga diharapkan akan meningkatkan citra jasa keuangan 22 syariah yang ada. Sementara itu di Arab Saudi sudah menjadi kelaziman bagi bank-bank besar menjadikan kafalah ini sebagai sebuah program khusus bagi usaha kecil dan menengah dengan nama Kafalah Program. Sebagaimana yang dilakukan oleh Saudi Industrial Development Fund International Finance Corporation dan The Council of Saudi Chambers yang bekerjasama menyelenggarakan training/kursus untuk rehabilitasi, pendidikan dan pelatihan bagi para pemilik usaha kecil dan menengah agar mereka mengetahui bagaimana mempertahankan kelangsungan usaha dan mengelola proyek-proyek mereka. Sejak program kafalah ini digulirkan hingga sekarang telah sekitar 607 jaminan dikeluarkan, dengan nilai total 270 juta riyal. Pada akhir tahun 2008 saja telah dikeluarkan penjaminan sebanyak 292, dengan nilai total sebesar 118 juta riyal. Telah
BERNAMA.com, Bank Muamalat & SME Bank Launch Kafalah Scheme For SMEs, tanggal akses 29 April, 2009. 22
98
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
terjadi pertumbuhan sebesar 11 persen dibandingkan dengan penjaminan yang dikeluarkan pada tahun 2007. Bank-bank lain seperti Bank Riyadh telah menjamin 25 persen dari total jumlah obligasi yang diterbitkan pada akhir tahun lalu. National Commercial Bank dan Arab National berada di urutan kedua dengan melakukan penjaminan sebesar 24 %. Sementara Al Rajhi Bank telah menerbitkan 12 % penjaminan bagi usaha kecil dan menengah dari total garansi program bantuan yang 23 diterbitkan pada akhir tahun 2008. III. Penutup Penerapan kafalah pada zaman dulu tidak seluas seperti sekarang. Dalam dunia modern seperti sekarang ini penerapan kafalah dalam melandasi transaksi telah mengalami pengembangan dan modifikasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama dalam dunia keuangan-perbankan. Bank Syariah sebagai lembaga penyedia jasa keuangan sesuai syariah Islam sangat berkepentingan dengan kafalah ini, karena dengan akad kafalah ini menjadikan banyak jasa keuangan dapat diselenggarakan. Di Indonesia, munculnya fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang Kafalah, Kafalah bil Ujrah, serta 23
sejumlah fatwa terkait telah mendorong banyak bank menawarkan berbagai bentuk jasa keuangan. Dengan kafalah sekarang bank syariah dapat menawarkan banyak bentuk produk layanan seperti skim pembiayaan bank garansi (letter of guarantee), charge card, syariah card, letter of credit (L/C), dan kafalah scheme bagi usaha kecil dan menengah. Dengan semakin bervariasinya produk perbankan berdasarkan akad kafalah ini banyak keuntungan yang didapat. Dari kacamata bank, bank syariah akan mempunyai keunggulan, yaitu dapat menangkap peluang bisnis yang tidak terakomodasi oleh layanan bank konvensional, baik dari sisi pengumpulan dana maupun penyaluran dana. Dari kacamata nasabah, fasilitas yang ditawarkan bank syariah tersebut akan menjadi alternatif pilihan dan sangat memudahkan nasabah dalam melakukan berbagi aktifitas bisnis tanpa harus melanggar syariah. Dari kacamata investor yang minded dengan syariah, bank syariah yang semakin lengkap menawarkan produk syariahnya, semakin menarik sebagai pilihan dalam investasi karena potensi keuntungannya semakin besar dengan risiko tertentu. Sementara dari kacamata pemerintah, hal tersebut sangat menguntungkan karena peluang untuk mendapatkan dana asing alternatif semakin terbuka
ibid
99
Moh. Khoiruddin, S.E., M.Si.
Kafalah Sebagai Landasan Instrumen Keuangan Alternatif
dengan disertai keunggulan komparatif. Di tengah semakin banyaknya negara, baik mayoritas penduduknya muslim (Malaysia) maupun non muslim (Inggris, Jepang, Belanda, Hongkong, dan Singapura) yang bertekad menjadikan keuangan syariah sebagai “core bussines” baru keuangannya, maka sudah menjadi keharusan bagi Indonesia untuk tidak ketinggalan kesekian kalinya dalam pengembangan di wilayah keuangan syariah. Melengkapi berbagai fasilitas dan instrumen keuangan perbankan dengan prinsip kafalah beserta aturan hukum yang jelas sudah menjadi suatu keharusan yang mendesak untuk menangkap peluang pasar luar negeri sekaligus sebagai upaya untuk menggairahkan pasar keuangan syariah domestik serta sektor riil kecil dan menengah. Dari pengamatan sementara yang terbatas pada sejumlah berita yang dilansir di media massa, penerapan akad kafalah pada berbagai produk yang ditawarkan bank syariah tidak banyak menyimpang dari ketentuan syariah. Namun demikian, pemantauan terhadap sharia compliance terutama untuk akad kafalah ini perlu terus dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap transaksi yang dilakukan antara bank syariah dan nasabah. Dengan penegakan sharia compliance yang tegas diharapkan akan menjadi “keunggulan” tersendiri bagi bank syariah terutama dalam jangka panjang. 100
DAFTAR REFERENSI Abdullah Al-Muslih, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta, 2004. Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi Ketiga, Rajawali Press, 2006. BERNAMA.com, Bank Muamalat & SME Bank Launch Kafalah Scheme For SMEs, tanggal akses 29 April, 2009. BHS, Kartu Kredit Ramaikan Pasar Syariah, 19 Juli 2007, www.niriah.com, tanggal akses 24 Nopember 2007. Council of Saudi Chambers, Council of Saudi Chambers and Kafalah Program Organize Training Courses for SME Owners, Oktober 2009 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, 1983. Dewan Syari’ah Nasional MUI, Fatwa No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, www.mui.or.id, tanggal akses 27 Nopember 2007. Dewan Syari’ah Nasional MUI, Fatwa No.54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card, www.mui.or.id, tanggal akses 27 Nopember 2007.
KOMPETENSI Jurnal Ekonomi, Manajemen & Akuntansi Vol. 7 No. 3 September - Desember ‘09 80-101
Dewan Syari’ah Nasional MUI, Fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007, tentang Letter of Credit (L/C) dengan Kafalah bil Ujrah www.mui.or.id, tanggal akses 27 Nopember 2007. Dewan Syari’ah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, Edisi Revisi, DSN-MUI dan Bank Indonesia, 2006. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Baru, Rajawali Press, Jakarta, 1999. Mohammed Obaidullah, Islamic Financial Services, Islamic Economics Research Center King Abdul Aziz University, 2005. Monzer Kahf, “Financing International Trade: An Islamic Alternative”, Seminar on International Trade from Islamic Perspective, IKIM, Malaysia April 1999.
Journal of King Abdul Aziz University (Islamic Economics), Saudi Arabia, Vol. 9, 1997. Norafifah, N. and Haron, S., “The Potentiality of Islamic Products and Services in Fulfilling Corporate Customers’ Banking Requirements” The First International Conference on Islamic Banking, Finance and Insurance Reshaping Global Financial Architecture through the Islamic System, Malaysia 30-31st January 2002. Pikiran Rakyat, “Mengenal Produk Pembiayaan Bank Syariah”, edisi Minggu, 21 Agustus 2005. Republika, “Fatwa Ekspor-Impor Syariah Terbit Akhir Maret”, Edisi Kamis, 15 Maret 2007.
Muhammad Gunawan Yasni, Kartu Sorry ah Jadi Syariah?, Kompas, edisi 07 Agustus 2007.
Rosita Chong, Raihana Firdaus Seah Abdullah, Alex Anderson dan Hanudin Amin, Economics Of Islamic Trade Financing Instruments, International Review of Business Research Papers Vol.5 No. 1 January 2009 Pp. 230-241
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001.
Sri Yuliarti, Tentang Letter Of Credit (L/ C) Impor Syariah, www.msi-uii.net, tanggal akses 10 Desember 2007
Nazih Kamal Hammad, Charging Fees for Debt-Guaranties: Extent of Permissibility in Islamic Fiqh (Jurism),
www.wirausaha.com,”Banyak Pilihan di L/C Ekspor Syariah”, 04 Apr 2007.
101