ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA DI PABRIK GULA CEPIRING, KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH
AHMAD ZAKI RAHMAN
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Ahmad Zaki Rahman NIM H34090142
ABSTRAK AHMAD ZAKI RAHMAN. Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Cepiring, Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Dibimbing oleh RACHMAT PAMBUDY. Revitalisasi pabrik gula menjadi kunci utama untuk mencapai swasembada gula. PG Cepiring yang baru direvitalisasi pada 2008 menjadi andalan untuk mencapai swasembada gula di Jawa Tengah. Sejak direvitalisasi PG Cepiring belum mampu memenuhi target produksi perusahaan dan pemerintah. Hal ini mengindikasikan adanya inefisiensi dalam operasional pabrik. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi terhadap produksi gula, serta menganalisis tingkat efisiensi alokatif faktor-faktor produksi gula di PG Cepiring. Analisis data menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas yang diolah dengan pendugaan OLS (Ordinary Least Square). Analisis efisiensi alokatif dilakukan dengan menggunakan rasio NPM dan BKM. Berdasarkan hasil analisis, variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula adalah raw sugar, rendemen raw sugar, jumlah tebu, dan rendemen tebu di musim giling tebu. Sedangkan diluar musim giling variabel yang berpengaruh adalah rendemen raw sugar dan raw sugar. Hasil analisis juga memperlihatkan PG Cepiring akan lebih efisien jika mengolah raw sugar dibandingkan dengan mengolah tebu. Kata kunci: Gula, PG Cepiring, Faktor-faktor produksi gula, Efisiensi alokatif
ABSTRACT AHMAD ZAKI RAHMAN. Factors Analysis Of Sugar Production In Sugar Mills Cepiring, Kendal Regency Central Java. Supervised by RACHMAT PAMBUDY. Revitalization of the sugar mills is one of the key factor to achieve sugar self-sufficiency. Cepiring Sugar Factory (PG Cepiring) which newly revitalized in 2008 become a mainstay to achieve sugar self-sufficiency in Central Java. Since revitalized, PG Cepiring has not been able to fulfill the production target from companies and the government. This case indicates that the factory has an inefficiencies problems in manufacturing operation. The aim of this research is to analyze the influence of production factors on sugar production, and analyze the allocative efficiency of sugar production factors in PG Cepiring. Data were analyzed using the model of Cobb-Douglas production function that is processed with OLS estimation (Ordinary Least Square). Allocative efficiency analysis performed by using the ratio of NPM and BKM. Based on the analysis, variables that significantly affect to sugar production is raw sugar, raw sugar yield, the amount of sugar cane, and cane yield in sugar cane milling season. On the other side, the most significant variables outside the miling season are yield of raw sugar and raw sugar. The result of this analysis also showed that PG Cepiring would be more efficient to processing raw sugar than processing sugar cane. Keywords: Allocative efficiency, PG Cepiring, Sugar, Sugar production factors
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA DI PABRIK GULA CEPIRING, KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH
AHMAD ZAKI RAHMAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
JuduJ Skripsi : AnaJisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik GuJa lndustri Gula Nusantara, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal , Jawa Tengah Nama
: Ahmad Zaki Rahman
~IM
: H34090142
Disetujui oleh
Dr Ir Rachmat Pambudy, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
MS
Tanggal Lulus:
2 0 AUG. 2013
Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Produksi Gula di Pabrik Gula Industri Gula Nusantara, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah Nama NIM
: Ahmad Zaki Rahman : H34090142
Disetujui oleh
Dr Ir Rachmat Pambudy, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berlangsung sejak bulan April sampai Mei 2013 dengan judul Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di Pabrik Gula Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rahmat Pambudy, MS selaku dosen pembimbing, dan Ibu Ir. Harmini, M.Si yang telah banyak memberi saran kepada penulis. Di samping itu terima kasih penulis sampaikan kepada saudari Nora Asfia, Qisthy Nur Fathia, dan Irva Mavrudah. Juga tak lupa, terima kasih penukis ucapkan kepada Bapak Arthur, Saudara Hariatmoko, Bapak Agus, Saudara Suharmono sebagai pihak PT IGN Pabrik Gula Cepiring yang telah memberikan izin penelitian, para karyawan PT IGN, yang telah banyak membantu sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta para sahabat atas doa, semangat, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat menjadi sumber ilmu dan informasi yang bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2013 Ahmad Zaki Rahman
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
6
Tujuan Penelitian
8
Manfaat Penelitian
9
Ruang Lingkup Penelitian
9
TINJAUAN PUSTAKA
9
Pengusahaan Tebu
9
Pengusahaan Pabrik Gula
12
Rendemen
12
Kebijakan Tataniaga Impor Raw Sugar (Gula Mentah)
14
Faktor-Faktor Produksi dan Efisiensi Produksi Gula
15
KERANGKA PEMIKIRAN
18
Kerangka Pemikiran Teoritis
18
Kerangka Pemikiran Operasional
23
METODE PENELITIAN
25
Model Fungsi Produksi Gula
25
Lokasi Penelitian Dan Waktu Penelitian
26
Jenis Dan Sumber Data
26
Pengukuran Variabel
27
Metode Pengolahan dan Analisis Data
29
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
36
Sejarah Perusahaan
36
Struktur Organisasi Perusahaan
36
Tinjauan Geografi dan Iklim
37
Kemitraan Petani Dengan PG
37
Perkembangan Produksi Pabrik
38
Agribisnis Gula
41
Pengolahan Tebu dan Raw Sugar
42
Distribusi Gula
46
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA PASIR
47
Pemilihan Model Fungsi Produksi
47
Analisis Elastisitas Produksi
55
Analisis Efisiensi
58
KESIMPULAN DAN SARAN
62
Kesimpulan
62
Saran
63
DAFTAR PUSTAKA
64
LAMPIRAN
67
DAFTAR TABEL 1 Luas areal tanam tebu dan produksi gula di Indonesia tahun 1995 – 2011 2 Konsumsi, produksi, dan impor gula nasional tahun 1995 – 2010 3 Proyeksi sasaran produksi gula 2011 – 2014 4 Luas panen tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula 5 Perbandingan rata-rata *) produktivitas gula serta rendemen antar 6 Produksi gula di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007 7 Beberapa indikator efisiensi teknis PG di Indonesia tahun 2003 8 Target dan Realisasi Produksi PG Cepiring 9 Jenis dan sumber data penelitian 10 Karyawan PT IGN 2012 11 Standarisasi mutu Gula Kristal Putih 12 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar dan tebu memanfaatkan delapan faktor produksi 13 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku Raw Sugar dan Tebu memanfaatkan enam faktor produksi 14 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar dengan memanfaatkan enam faktor produksi 15 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar dengan memanfaatkan empat faktor produksi 16 Analisis elastisitas produksi 17 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) Kegiatan Produksi Gula pada Pabrik Gula Cepiring saat Musim Giling Tebu 18 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) Dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) Kegiatan Produksi Gula Pada Pabrik Gula Cepiring Diluar Musim Giling Tebu
2 3 3 4 5 5 6 7 27 40 46 48 50 52 54 58
59 61
DAFTAR GAMBAR
1 Grafik Fungsi Produksi 2 Return to Scale 3 Bagan Kerangka Pemikiran Operasional 4 Bagan Pemasaran Gula Pabrik Gula Cepiring
20 21 24 46
DAFTAR LAMPIRAN 1 Data produksi gula di Pabrik Gula Cepiring per periode tahun 2010 – 2012 2 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan Delapan Faktor Produksi Saat Musim Giling Tebu 3 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Dengan DelapanVariabel
67 69 72
4 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Dengan Delapan Variabel 5 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan enam Faktor Produksi 6 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Dengan Enam Variabel 7 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Dengan Enam Variabel 8 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan enam Faktor Produksi 9 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan Enam Variabel 10 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan Enam Faktor Produksi 11 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan empat Faktor Produksi diluar Musim Giling Tebu 12 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan Empat Variabel 13 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan Enam Faktor Produksi 14 Bagan Proses Produksi PG Cepiring 15 Struktur Organisasi PG Cepiring 16 Dokumentasi Penelitian
72 73 75 75 76 78 78 79 81 81 82 83 84
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemandirian pangan merupakan hal yang penting bagi negara berkembang yang berpenduduk besar dengan daya beli yang masih rendah, seperti Indonesia. Hasil sensus BPS pada 2010 yang menyatakan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 641 326 orang menjadi titik kritis ketika kebutuhan pokok negara tidak dapat dipenuhi secara mandiri. Kemandirian pangan tersebut utamanya harus dipenuhi untuk bahan-bahan pangan pokok yang menjamin ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu bahan pangan pokok utama yang memegang peran penting adalah gula. Sebagaimana tercermin dari kebijakan pemerintah yang menetapkan gula sebagai salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat1. Gula adalah hasil pengolahan tebu yang merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 425 ribu ha pada periode 2007-2011, agribisnis gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 1.3 juta orang (Mardianto 2005). Kedudukan gula sebagai bahan pemanis utama di Indonesia belum dapat digantikan oleh bahan pemanis lainnya. Hal ini disebabkan gula masih merupakan bahan pemanis dominan yang digunakan baik oleh rumah tangga maupun industri makanan dan minuman. Setelah 83 tahun lamanya mengalami berbagai pasang-surut, pada periode 1995-2013, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang cukup kompleks. Akibatnya, kinerja industri gula Indonesia mengalami penurunan. Penurunan produksi gula tersebut setidaknya disebabkan oleh: 1) Penurunan areal dan peningkatan proporsi areal tebu tegalan; 2) penurunan produktivitas lahan; dan 3) penurunan efisiensi di tingkat pabrik (Susila 2005). Data luas areal dan produksi gula dari tahun 1995-2011 disajikan dalam Tabel 1. Pertumbuhan rata-rata produksi gula di Indonesia adalah 0,71 persen per tahun. Produksi gula mengalami penurunan pada tahun 1998-2003 yang disebabkan penurunan luas areal tanaman tebu akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Hal tersebut menyebabkan petani tebu beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi, sehingga pabrik gula kekurangan pasokan tebu untuk berproduksi. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan produktivitas tebu yang cenderung tetap bahkan menurun. Rendahnya produktivitas tebu disebabkan oleh rendemen yang dihasilkan tebu. Ketidakpaduan jadwal tanam dan tebang antara petani tebu dan PG serta inefisiensi di tingkat pabrik turut berperan dalam hal ini. Selain itu umur pabrik gula yang sudah tua terutama di pulau jawa menyebabkan produksi gula pada pabrik-pabrik tersebut tidak efisien.
1
Seminar nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi kesejahteraan Petani.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MKP_BI.pdf [Diakses 4 Februari 2013]
2 Tabel 1 Luas areal tanam tebu dan produksi gula di Indonesia tahun 1995 – 2011a Tahun Luas areal Pertumbuhan Produksi (Ton) Pertumbuhan (Hektar) (Persen) (Persen) 1995 436 037 2 059 576 1996 446 553 2.41 2 094 195 1.68 1997 386 878 -13.36 2 191 986 4.67 1998 377 089 -2.53 1 488 296 -32.10 1999 342 211 -9.25 1 493 933 0.38 2000 340 660 -0.45 1 690 004 13.12 2001 344 441 1.11 1 725 467 2.10 2002 350 722 1.82 1 755 354 1.73 2003 335 725 -4.28 1 631 918 -7.03 2004 344 793 2.70 2 051 645 25.72 2005 381 786 10.73 2 241 742 9.27 2006 396 441 3.84 2 307 027 2.91 2007 427 799 7.91 2 623 786 13.73 2008 436 505 2.04 2 668 428 1.70 2009 443 832 1.68 2 849 769 6.80 2010 434 257 -2.15 2 694 227 -5.45 2011 473 923 9.13 3 159 836 17.28 Rata-rata 392 062 0.67 2 160 422 3.53 a
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013 (Diolah)
Kekurangan gula dalam negeri mendorong pemerintah untuk melakukan impor gula. Impor gula semakin meningkat sejak tahun 2006-2010 dengan ratarata tumbuh 19.63 persen per tahun. Membiarkan impor terus meningkat berarti membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran yang akan menimbulkan masalah bagi Indonesia. Pertama, industri gula melibatkan sekitar 1.3 juta petani dan tenaga kerja (Mardianto 2005). Kedua, kebangkrutan industri gula juga berkaitan dengan aset yang sangat besar dengan nilai sekitar Rp 50 triliun . Ketiga, gula merupakan kebutuhan pokok yang mempunyai pengaruh langsung terhadap inflasi (Pakpahan 2000). Selanjutnya, beban devisa untuk mengimpor akan terus meningkat. Tabel 2 menunjukan bahwa produksi gula lebih rendah dari konsumsi gula. Keadaan dan kenyataan bahwa Indonesia menjadi negara pengimpor gula utama di dunia cukup memprihatinkan. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan produksi dalam negeri dengan mencanangkan target swasembada gula2. Pemerintah berupaya untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia yang akan ditempuh melalui tiga tahap, yaitu: 1) Tahap Jangka Pendek (sampai dengan 2009), pencapaian swasembada ditujukan untuk memenuhi konsumsi langsung rumah tangga (swasembada gula konsumsi), sedangkan kebutuhan gula industri sepenuhnya dipasok dari gula impor. 2) Tahap Jangka Menengah (20102014), pada tahap ini produksi gula dalam negeri sudah dapat memenuhi konsumsi gula dalam negeri, baik untuk konsumsi langsung rumah tangga, industri, dan sekaligus dapat menutup neraca perdagangan gula nasional 2
Bustanul Arifin.2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. http://www.scribd.com/doc/50576423/GULA [diakses 4 Februari 2013]
3 (swasembada gula nasional). 3) Tahap Jangka Panjang (swasembada gula berdayasaing) mulai tahun 2015 sampai dengan 2025, difokuskan pada modernisasi industri berbasis tebu melalui pengembangan industri produk pendamping tebu (PPGT) yang memiliki nilai tambah (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006). Tabel 2 Konsumsi, produksi, dan impor gula nasional tahun 1995 – 2010a Tahun
2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata a
Konsumsi Nasional (juta Ton) 4.30 4.70 4.34 4.54 5.10 4.60
Produksi Nasional (juta Ton) 2 051 644 2 623 786 2 668 428 2 849 769 2 694 227 2 577 570
Persentase Produksi Terhadap Konsumsi 47.71 55.82 61.48 62.77 52.83 56.12
Impor Gula (juta Ton) 1.71 2.84 2.04 2.75 2.91 2.45
Pertumbu han Impor (%) 66.08 -28.17 34.80 5.82 19.63
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2011 (diolah)
Guna mendukung swasembada gula, pemerintah melaksanakan program revitalisasi Industri Gula. Revitalisasi industri gula BUMN dan BUMS 2009-2014 diperlukan guna mendukung pencapaian produksi gula pada 2014 sebanyak 3.41 juta ton dari total kebutuhan sebanyak 5.7juta ton. Tabel 3 menjelaskan sasaran produksi gula 2011-2014. Tabel 3 Proyeksi sasaran produksi gula 2011 – 2014a Uraian Areal Produksi Tebu Produktivitas Tebu Rendemen Produksi Hablur Produktivitas Hablur Produksi Molasess a
Satuan Ha Ton Ton/Ha % Ton Ton/Ha Ton
2011 572 122 47 743 581 83 45 8 10 3 867 230 6.76 2 148 461
2012 631 846 53 612 133 84 85 8 20 4 396 195 6.96 2 412 546
2013 691 952 58 746 725 84 90 8 40 4 934 725 7.13 2 643 603
2014 766 613 67 061 705 87 48 8 50 5 700 000 7.44 3 017 777
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010
Upaya revitalisasi ini mengalami berbagai masalah dalam perjalanannya. Menurut Susila (2005) Setidaknya ada 3 masalah utama yang memiliki potensi untuk menghambat pencapaian target revitalisasi PG, yaitu; 1) Keterbatasan bahan baku dalam hal ini tebu, 2) distorsi pasar gula dalam negeri dan luar negeri yang melemahkan daya saing industri gula, dan 3) Rendahnya efisiensi PG. Masalah pertama terjadi karena menurunnya tingkat rendemen dan liberalisasi pertanian atas desakan IMF (International monetary fund). Disatu sisi petani memiliki keleluasaan untuk memilih tanaman yang akan ditanam, namun disisi lain hal ini menyebabkan konversi lahan kepada tanaman lain yang lebih menguntungkan.
4 Tabel 4 Luas panen tebu, produksi, produktivitas, dan rendemen gula nasional tahun 2005-2010a Tahun Area Giling (Ha) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 a
381 768 396 440 428 401 436 504 422 935 418 259
Produksi Tebu Ton Ton/Ha 31 242 268 81.80 30 232 835 76.30 33 289 542 77.70 32 960 166 75.50 32 165 572 76.10 34 216 549 81.80
Rendemen (%) 7.18 7.63 7.35 8.20 7.83 6.47
Produksi Hablur Ton Ton/Ha 2 241 741 5.87 2 307 027 5.82 2 448 143 5.71 2 703 976 6.19 2 519 675 5.96 2 214 488 5.29
Sumber: Purwono. 2011
Berbagai kebijakan pemerintah dalam agribisnis gula pasca krisis 1998 setidaknya mampu memulihkan kondisi pergulaan nasional. Luas areal pertanaman tebu di Indonesia antara tahun 2007-2010 kembali seperti sebelum krisis yang berkisar antara 420 – 430 ribu ha/tahun (Tabel 4). Demikian halnya dengan produktivitas gula hablur dan rendemen yang masing-masing ada pada kisaran 5 ton/ha dan 7 persen. hal ini tidak lepas dari pengaruh kebijakan harga lelang dan bongkar ratoon yang dilaksanakan. Namun hal ini masih jauh dari target swasembada pada 2014. Target pemerintah pada 2014 luas areal tebu mencapai sekitar 767 ribu ha, rendemen 8.5 persen, dan produktivitas hablur 7.4 ton/ha. Setelah keterbatasan bahan baku masalah inefisiensi PG merupakan suatu hal yang kritis. Perbandingan produktivitas tebu dan produksi gula antara negara dunia pada Tabel 5 berikut bisa menjadi suatu indikasi tidak efisiennya PG di Indonesia. Masalah inefisiensi pabrik tersebut baik dari sisi manajemen, teknologi, sumber daya manusia, dan lain-lain. Proses produksi di pabrik ini berpotensi menghilangkan 5-10 persen gula kristal putih (Arkeman et al. 2002). Padahal rata-rata produktivitas tebu Indonesia relatif tinggi, mendekati produktivitas Amerika jika dibandingkan dengan negara penghasil gula di Asia lainnya. Namun dalam rata-rata rendemen dan produktivitas gula, Indonesia menempati posisi terendah. Rendahnya rendemen gula yang bersumber dari pabrik gula yang tidak efisien mempunyai kontribusi 25-40 persen terhadap berkurangnya hasil produksi (Lembaga Riset perkebunan Indonesia 2004). Sehingga meningkatkan efisiensi di pabrik gula merupakan suatu keharusan. Besarnya proteksi yang diberikan pemerintah terhadap industri gula telah dijadikan tameng untuk menutupi ketidak-efisienan PG, karena petani tebu tidak sepenuhnya merasakan kenaikan pendapatan dari proteksi yang diberikan oleh pemerintah. Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG umumnya masih rendah terutama untuk wilayah jawa, dan sampai saat ini masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan PG. Masalah efisiensi ini juga terkait dengan kapasitas PG. Sebagian besar (53 persen) PG di Pulau Jawa didominasi oleh PG-PG dengan kapasitas giling kecil (<3 000 TCD), 44 persen berkapasitas giling antara 3 000-6 000 TCD, dan hanya 3.0 persen yang berkapasitas giling >6 000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah PG yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun (umumnya berskala kecil) serta kurang mendapat perawatan secara memadai (Malian et al 2004). Akibatnya,
5 biaya produksi gula/ton pada PG berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PG berskala besar atau bermesin relatif baru. Tabel 5 Perbandingan rata-rata *) produktivitas gula serta rendemen antar negara produsena Negara Rata-rata Rata-rata Rata-rata produktivitas tebu rendemen (%) produktivitas gula (ton/ha) (ton/ha) Brazil 68.87 14.00 6.80 Jepang 64.09 11.53 7.41 Thailand 56.76 10.97 6.24 China 59.16 11.84 7.00 India 69.33 10.90 7.56 Philipina 60.70 8.26 5.00 Indonesia 70.13 7.05 4.95 USA 78.44 11.61 9.11 *)rata-rata dihitung dari tahun 1996/1997 sampai 2002/2003 Sumber : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2003 (data diolah)
a
Menurut data pada Tabel 6 produktivitas PG di luar Jawa relatif lebih tinggi daripada PG di Jawa. Keadaan tersebut khususnya terjadi pada PG yang dikelola oleh swasta dengan penguasaan lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang memadai. Sebagian besar (75%) dari pabrik gula tersebut memiliki kapasitas giling lebih dari 4 000 TCD (P3GI). Pabrik Gula yang terdapat di luar Jawa tersebut mampu meningkatkan efisiensi dengan menerapkan pola pengelolaan Budidaya dan penggilingan dalam satu sistem manajemen yang sama serta mampu menerapkan peralatan modern pada kegiatan produksinnya. Tabel 6 Produksi gula di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007a Keterangan Jawa Luar Jawa Indonesia Jumlah Pabrik Gula 46 12 58 Luas Areal (Ha) 248 398 148 884 397 282 Total Tebu (Ton) 19 918 300 10 325 660 30 243 960 Rendemen (%) 7.31 8.25 7.78 Produksi Gula (Ton) 1 455 800 852 169 2 307 969 Rata-rata produksi gula (Ton) 31 648 71 014 39 793 a
Sumber: Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional (2007)
Fakta lainnya dalam Tabel 7 berikut menunjukkan indikator efisiensi teknis yang menunjukkan rendahnya efisiensi PG. Rendahnya rendemen yang diberikan dan produktivitas gula hablur ini dipicu oleh ketidak-efisienan, yang ditunjukkan oleh beberapa indikator efisiensi teknis yang berada di bawah angka efisiensi normal.
6 Tabel 7 Beberapa indikator efisiensi teknis PG di Indonesia tahun 2003a Komponen Efisiensi PG (%) Efisiensi Normal (%) Mill extraction (ME) 84 – 85 95 Boiling house recovery (BHR) 70 – 80 90 Overall recoverry (OR) 59 – 79 85 Pol tebu 8 – 11 14 Rendemen 5 - 8.5 12 a
Sumber : Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional. Kerjasama Ditjen Bina Produksi Perkebunan dengan P3GI
Berbagai masalah dalam pergulaan nasional tersebut menjadi tantangan bagi industri gula nasional yang salah satunya adalah PT IGN. Sebagai perusahaan joint venture antara pemerintah dan swasta yang baru saja direvitalisasi pada tahun 2008 dituntut untuk terus berkembang dan meningkatkan produktivitasnya. Sebagai pabrik yang baru direvitalisasi, PG Cepiring di bawah PT IGN memiliki potensi untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdayanya, oleh karena itu penting untuk meningkatkan efisiensi kegiatan produksi gula di PG Cepiring milik PT IGN yang diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi industri gula nasional khususnya untuk wilayah Jawa Tengah. Langkah tersebut dapat diawali dengan menganalisis faktor-faktor produksi gula sehingga mengetahui kekurangan atau kelebihan dalam penggunaan faktor produksi yang akan mampu meningkatkan produktivitas pabrik gula. Sehingga dalam jangka pnjang akan mampu berkembang dan memberikan kesejahteraan bagi petani. Perumusan Masalah Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dan rendemen mencapai 11.0 persen - 13.8 persen. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al. 2000). Industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 58 pabrik gula (PG) aktif, 46 PG dikelola oleh BUMN dan 12 PG dikelola oleh swasta. Luas areal tebu yang dikelola umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan (Studi Konsolidasi Pergulaan Nasional P3GI 2006). Kondisi pergulaan Indonesia saat ini tidak terlepas dari beragam permasalahan. Permasalahan tersebut berasal dari sisi onfarm, pabrik, dan sosial ekonomi. Hal ini juga yang terjadi di Jawa, sejak tahun 1993 industri gula di Jawa mengalami penurunan secara besar-besaran. Luas areal menurun sebesar 32.62 persen dari 310.2 ribu hektar menjadi 209 ribu hektar dan produktivitas menurun sebesar 27.33 persen dari 6.22 ton/hektar menjadi 4.52 ton/hektar (Arkeman et al. 2002). Perkembangan produksi yang cenderung menurun tidak bisa juga terlepas dari kinerja Pabrik Gula (PG) dan berdampak pula pada keberadaan PG. Pada
7 dekade terakhir, kinerja PG cenderung menurun. Disamping disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak mencapai standar (Dewan Gula Indonesia 2012). Sebagai contoh, PG yang ada di Jawa mempunyai kapasitas giling 23.8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling). Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12.8 juta ton sehingga PG yang berada di Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46.2persen. Selanjutnya, PG diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14.2 juta ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8.6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39.4persen (Dewan Gula Indonesia 2012). Hal ini memberikan indikasi bahwa PG yang berada di Jawa perlu melakukan konsolidasi dan rehabilitasi. Perusahaan pabrik gula berbeda dengan perusahaan industri non pertanian, pabrik gula pada umumnya sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku tebu (Suratiyah et al. 2004). Suatu sektor industri dapat berjalan dengan baik dan bertambah besar bila nilai tambah, input, maupun outputnya meningkat. Untuk dapat meningkatkan output tersebut, faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi pabrik gula harus dimanfaatkan secara optimal. Salah satu produsen gula di pulau Jawa adalah PT Industri Gula Nusantara yang mengelola PG di Cepiring Kendal. Semakin tingginya konsumsi gula masyarakat merupakan peluang bisnis sekaligus tantangan bagi pabrik gula. Peluang untuk meningkatkan produksi guna untuk memenuhi permintaan masyarakat dan tantangan terhadap peningkatan jumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama. Dengan kata lain tingkat persaingan menjadi lebih tinggi. PG Cepiring juga harus bersaing untuk mendapatkan sumberdaya terbaik, baik persaingan dalam mendapatkan sumber bahan baku, tenaga kerja, maupun bahan pembantu yang digunakan dalam kegiatan produksi gula.
Uraian Jumlah Tebu Rendeme n tebu Raw Sugar Rendeme n RS Gula Kristal Putih a
Tabel 8 Target dan Realisasi Produksi PG Cepiringa 2010 2011 2012 Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi 108 011 135 902 146 000 150 048 180 000 76 649 6.50
5.37
6.75
5.79
7.00
7.05
142 594
142 593
125 545
116 780
177 800
126 839
93.4
93.13
94.5
90.95
94.5
94.44
133 183
140 452
118 640
117 679
168 021
126 476
Sumber : PT IGN Pabrik Gula Cepiring
Masalah umum yang dihadapi PG di Jawa juga turut dialami PG Cepiring ini. Kelangkaan bahan baku, tingginnya biaya produksi dan tataniaga bahan baku impor yang tidak menentu dapat mengancam kelangsungan pabrik gula cepiring, ditambah areal lahan di pulau jawa menghambat pabrik melakukan perluasan usaha. Tingkat efisiensi PG juga belum menunjukkan PG berproduksi secara optimal seperti PG diluar Jawa. Selain kedua hal tersebut perdagangan gula dunia
8 yang sangat distortif juga turut melemahkan dayasaing PG Cepiring. indikator efisiensi lainnya dapat dilihat dari perbandingan antara target dan realisasi pada Tabel 8. Belum optimalnya PG Cepiring dapat dilihat dari perbandingan target dan realisasi pada Tabel 8. Dari tabel tersebut dapat diketahui jumlah tebu yang diperoleh pada tahun 2012 tidak mencapai target. Jumlah raw sugar tahun 2011 dan gula kristal putih pada tahun 2012 juga mengindikasikan inefisiensi pabrik. Padahal pihak perusahaan telah menetapkan target berdasarkan batas bawah yang bisa dicapai. Jika dilihat tercapainya kapasitas terpasang pabrik. PG Cepiring memiliki kapasitas giling 22 423 ton per tahun yang masih lebih rendah dibandingkan kapasitas giling rata-rata pabrik gula di Jawa yaitu 31 648 ton per tahun. Hal tersebut disebabkan jumlah pasokan tebu yang masih dibawah kapasitas giling pabrik maupun tingkat rendemen yang masih rendah dimana data pada 2010 dan 2011 tingkat rendemen PG masing-masing adalah 5.37 persen, dan 5.79 persen, serta pada 2012 sebesar 7.05 persen. Angka ini masih dibawah angka rendemen target pada 2010-2011, sedangkan pada 2012 masih dibawah angka rata-rata nasional yaitu 7.35 persen. Jika PG PT IGN mampu memanfaatkan faktor-faktor produksinnya secara optimal maka akan dapat mencapai tujuan perusahaan untuk memperoleh profit yang maksimal atau setidak-tidaknya terhindar dari kerugian (normal profit) dan mensejahterakan petani. Namun demikian kendala yang dihadapi oleh pabrik gula ini semakin berat karena berkurangnya sumberdaya yang tersedia. Oleh karena itu, perlu ditelaah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula serta efisiensi penggunaannya agar target PG dalam memenuhi kapasitas giling terpasang dapat terwujud. Dengan mengetahui tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi, maka perusahaan akan memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor produksi yang menghambat pencapaian kondisi efisien dalam kegiatan produksi gula. Sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat pertimbangan dalam melakukan evaluasi terhadap kegiatan produksi perusahaan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan dan mampu bersaing dengan produsen lain. Oleh karena itu salah satu hal yang sangat penting adalah efisiensi produksi berdasarkan pada hasil analisis kuantitatif, dengan kata lain sangat diperlukan analisis untuk menjawab beberapa pertanyaan: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi gula di Pabrik Gula PT. IGN Cepiring? 2. Apakah kegiatan produksi gula di Pabrik Gula PT. IGN Cepiring dijalankan secara efisien? Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di Pabrik Gula PT. IGN Cepiring 2. Menganalisis tingkat efisiensi alokatif produksi gula di Pabrik Gula PT IGN Cepiring
9 Manfaat Penelitian 1. Bagi pihak perusahaan, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan dan pemikiran dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan strategi dalam meningkatkan produksi dan efisiensinnya di dalam mengembangkan PG. 2. Bagi pihak perusahaan atau PG lain, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan dan pemikiran dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan strategi untuk meningkatkan produksi dan efisiensi di dalam mengembangkan PG terutama di wilayah Jawa. 3. Bagi penulis, hasil penulisan penelitian ini sebagai aplikasi dari ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan. 4. Bagi peneliti lain, hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya tentang upaya pengembangan pabrik gula. 5. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan bahan masukan dalam strategi pengembangan pabrik gula dan revitalisasi pabrik gula di wilayah lain. Terutama terkait dengan kebijakan untuk meningkatkan efisiensi produksi gula di pabrik gula.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam pabrik dan produksi gula tanpa membahas dan menganalisis hasil sampingan produksi gula. Penelitian ini hanya menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula Pabrik Gula Cepiring PT IGN pada saat musim giling dan diluar musim giling. Variabel yang dibahas saat musim giling ada delapan variabel bebas. Sedangkan saat diluar musim giling variabel yang digunakan ada enam. Selain itu penelitian juga menganalisis efisiensi produksi secara alokatif dengan menggunakan rasio NPM (Nilai produk Marjinal) dan BKM (Biaya Korbanan Marjinal) sehingga tidak semua kombinasi optimal dari input diketahui. Penelitian ini menggunakan fungsi Cobb Douglas dengan metode pendugaan OLS (Ordinary Least Square) yang diolah menggunakan software SPSS 20. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data perusahaan terutama produksi dari masa giling tahun 2010 – 2012 (per periode). Produksi gula yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gula konsumsi atau gula putih, dan tidak mencakup hasil sampingan produksi seperti tetes. Selain itu penelitian ini hanya mengenai produksi gula pada bagian industri pengolahan atau off-farm dan pengaruh kebijakan tataniaga impor gula mentah. Penelitian ini tidak membahas pengaruh kebijakan pemerintah lainnya terhadap produksi gula pabrik.
TINJAUAN PUSTAKA Pengusahaan Tebu Menurut Supriyadi (1992) tanaman tebu (Saccharum Officinarum L) merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnnya terdapat zat gula. Tinggi batang antara 1 sampai 5 meter, tergantung baik buruknya pertumbuhan, jenis tebu maupun keadaan iklim. Daur
10 kehidupan tanaman tebu dimulai dari fase perkecambahan, fase pertunasan, fase pemanjangan batang, fase kemasakan dan diakhiri dengan fase kematian 3 komoditas tebu di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, di tahun 1930 Indonesia pernah menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua di Dunia setelah Kuba (Mubyarto 1984). Pada saat itu Indonesia mampu memproduksi gula sebesar 3 juta ton dengan luas lahan sekitar 200 000 hektar, dan rendemen mencapai 13.8 persen (Mubyarto, 1984 dan Sabrina 2011). Keberhasilan tersebut salah satunnya bersumber pada kemudahan pabrik-pabrik gula dalam memanfaatkan lahan yang subur untuk pertanaman tebu dengan sistem sewa paksa dari petani. Kemudahan itu dijamin dalam UU Agraria 1870 (Agrarische Wet 1870) dan UU sewa tanah (Grondhuur Ordonantie 1918). Sistem pola tanam tebu di Indonesia setidaknya mengalami empat kali pergantian. Pertama, pada saat pemerintahan Hindia Belanda sistem pola tanam yang berlaku adalah glebagan atau perguliran komoditas yang ditanam. Kedua, pada saat pemerintahan Presiden Soeharto berlaku sistem Tebu Rakyat Intensif (TRI) dengan Inpres No. 9 Tahun 1975 (Asnur, 1999 dan Mardianto dkk, 2005). Ketiga, berlakunya Inpres No. 5 Tahun 1998 petani bebas menentukan jenis komoditas yang akan ditanamnya, yang memberikan keuntungan bagi petani (Pakpahan, 2003). Keempat, sistem pola tanam yang berlaku sampai saat ini adalah pola tanam tetap (Nuryanti, 2007). Ketika transisi kekuasaan dari Belanda ke Indonesia banyak pabrik-pabrik gula yang dinasionalisasi. Walaupun pemerintah telah mengambil alih pabrikpabrik gula tersebut tetapi sistem sewa tetap digunakan, yaitu pabrik gula menyewa lahan milik petani lalu mengusahakannya sendiri. Dengan sistem sewa tersebut petani hanya memperoleh pendapatan dari sewanya dan petani tidak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan pendapatannya. Berdasarkan hal-hal di atas, maka pada tahun 1975 dikeluarkan Inpres No.9 Tahun 1975 mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diringkas sebagai berikut: 1) Mengganti sistem sewa yang biasa dijalankan oleh pabrik gula dengan sistem tebu rakyat. Petani melakukan usaha budidaya di lahannya sendiri dengan menerapkan teknologi yang telah dianjurkan. Dalam pengelolaan usahatani tebu dilakukan dalam satuan kelompok hamparan. Sedangkan pabrik gula berperan sebagai perusahaan pengelola, yaitu bertanggung jawab secara operasional dan sebagai pimpinan kerja pelaksana budidaya tanaman tebu diwilayah kerjanya, serta menyusun perencanaan areal, melaksanakan bimbingan teknis, menyediakan dan menyalurkan bibit. 2) Melaksanakan program intensifikasi tebu dengan sistem BIMAS (Bimbingan Masyarakat). 3) Mendudukkan pabrik gula sebagai penggiling tebu yang dihasilkan oleh rakyat hingga menjadi gula pasir dengan sistem bagi hasil. Program TRI ini sebenarnya telah berhasil meningkatkan luas areal tebu,yaitu mencapai 428 000 hektar pada tahun 1994. Namun perluasan luas areal tanaman tebu tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas karena sebagian besar perluasan areal tebu dilakukan di lahan kering tanpa irigasi. Kemudian kebijakan ini dihapuskan pada tahun 1997 menjadi Inpres No. 5 Tahun 1998, 3
http://blog.ub.ac.id/waduh/2010/06/01/17/ [diakses 4 Februari 2013]
11 petani bebas menentukan jenis komoditas yang akan ditanamnya. Hal ini dilakukan untuk mengikuti persyaratan IMF (International Monetary Fund) sehingga menurunkan luas areal produksi yang telah ada. Akibatnya produksi tebu yang dihasilkan juga rendah dan menurun. Pada tahun 2002, Departemen Pertanian menerapkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional, yang meliputi kegiatan rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (bongkar ratoon). Program ini bertujuan memperbaiki komposisi tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas potensial. Selain itu, program ini diperkirakan dapat memberikan peningkatan hasil pada tahun-tahun mendatang. Hal ini disebabkan oleh adanya pergantian ratoon seluas 7000 hektar, peningkatan produktivitas lahan dengan adanya penggunaan bibit berkualitas, dan peningkatan modal usahatani tebu melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), serta pengendalian harga melalui implementasi kebijakan tata niaga pergulaan nasional. Selain itu bongkar ratoon ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat rendemen tebu nasional dari 7.6 persen pada tahun 2007 menjadi delapan persen di tahun 2008. Sehingga pada tahun 2008 ditargetkan akan terjadi peningkatan produksi gula nasional menjadi sebesar 2.6 juta – 2.7 juta ton 4 . Pemerintah sendiri menargetkan Indonesia mampu swasembada Gula konsumsi dan industri mencapai 5.2 juta ton pada 2014. Dalam mekanisme pembentukan harga lewat dorongan dari APTRI telah disepakati formula penentuan harga untuk petani, yaitu HPT=HT+a(HL-HT); dimana HPT=harga penerimaan petani, HT= Harga Talangan atau HPP, a=koefisien bagi hasil, dan HL=harga lelang (Khudori 2005). Negosiasi yang dilakukan APTRI termasuk dalam menentukan besarnya koefisien bagi hasil 5060 persen untuk petani dari selisih HL dengan HT. Sehingga apabila harga gula lebih rendah dari harga lelang maka para investor yang menanggung resiko kerugiannya. Penelitian terdahulu oleh Dita dan Waridin (2012) mengenai usahatani tebu di PT.IGN Cepiring Kendal menjelaskan bagaimana pengusahaan tebu di PT. IGN Cepiring Kendal. Sampel yang diambil adalah petani yang bermitra dengan PG yang berjumlah 52 Orang dari 6 Kabupaten di Jawa Tengah. Karekteristik pengambilan sampel didasarkan kepada empat karakteristik yaitu, usia, luas lahan, lama bertani tebu, dan pendidikan. Penelitian ini membagi Usahatani tebu di PT IGN menjadi 2 yaitu petani tebu dengan kontrak giling dan petani tebu dengan kontrak kredit. Dalam pembahasannya penelitian tersebut menghasilkan empat hal. Pertama, biaya usahatani petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan ternyata lebih besar dibandingkan dengan petani tebu yang memiliki kontrak kredit. Kedua, penerimaan petani tebu dengan kontrak kredit lebih besar dibandingkan dengan petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan, begitu pula pendapatannya. Ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan atau laba bersih yang diperoleh petani tebu yang memiliki kontrak kredit dengan petani tebu yang memiliki kontrak penggilingan. Keempat, kemitraan antara petani tebu dengan PT IGN Cepiring lebih menguntungkan apabila membuat kontrak kredit.
4
www.els.bappenas.go.id “Deptan Optimis Tak Perlu Impor Gula” diakses 4 Februari 2013.
12 Hasil penelitian Dita dan Wardani dapat menjadi salah satu rumusan strategi pada penelitian ini jika terjadi Inefisiensi terkait kurangnya pasokan tebu. Sehingga langkah yang diambil dari penelitian efisiensi produksi PG bisa dikombinasikan dengan penelitian yang terlebih dahulu dilakukan mengenai usahatani PG Cepiring. Pengusahaan Pabrik Gula Sejak tahun 1975 pabrik gula telah dinyatakan secara resmi sebagai usaha pemroses atau pengolah tebu menjadi gula pasir. Pabrik gula juga berperan sebagai pembimbing petani dalam budidaya tebu. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memperoleh jumlah dan kualitas tebu sesuai harapan. Sebagai imbalan atas pemrosesan tebu menjadi gula pasir, pihak pabrik gula menerima “ongkos giling”yang dinyatakan dalam persen dari keseluruhan hasil giling. Sistem pembagian hasil ini ditetapkan oleh pemerintah. Prinsip dasar pembagian adalah semakin tinggi rendemen tebu yang digilingkan semakin tinggi pula persentase bagian yang diterima petani. Dengan demikian, semakin banyak hasil gula semakin rendah ongkos gilingnya. Walaupun telah beberapa kali dilakukan peninjauan, ketentuan bagi hasil ini tidak banyak berubah. Ketentuan bagi hasil yang tercantum dalam SK Mentan No.03/SK/Mentan/BIMAS/VI/187 menyatakan bahwa: 1) Petani tebu akan mendapatkan 62 persen gula yang dihasilkan dari tebu yang nilai rendemennya sampai dengan delapan persen, bila rendemen melampaui delapan persen maka petani mendapatkan tambahan hasil. 2) Petani tebu akan mendapatkan bagian tetes sebanyak 4,5 kilogram untuk setiap kuintal tebu yang digilingkan. Berdasarkan kepemilikannya sebagian besar pabrik gula di Indonesia adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan sisanya adalah BUMS (Badan Usaha Milik Swasta). Pada tahun 1930, Indonesia memiliki 179 pabrik gula (PG). Saat ini Indonesia hanya memiliki 62 pabrik gula yang aktif berproduksi dengan total kapasitas mencapai 200 000 TCD. Pabrik-pabrik tersebut mampu memroduksi 2.3 juta ton gula dari total kapasitas produksi 3.45 juta ton. Kebutuhan gula yang tidak mampu dipenuhi dari produksi domestik diperoleh dari impor gula yang berasal dari Thailand, Brazil, dan Amerika (Dewan Gula Indonesia, 2012). Pada umumnya pabrik-pabrik yang ada beroperasi dibawah kapasitas giling dan memiliki indikasi inefisiensi. Hal ini terutama terjadi pada PG yang berada di Jawa dan dikelola BUMN. Kerugian akibat inefisiensi ini diperkirakan mencapai 4.2 Triliun5. Sebagian besar PG mempunyai kapasitas giling yang kecil (kurang dari 3 000 TCD) karena mesin yang sudah tua serta tidak mendapat perawatan yang memadai yang menyebabkan biaya produksi per kilogram gula tinggi. Pemenuhan bahan baku pabrik gula di Indonesia dapat di tempuh dengan 2 cara yaitu melalui pengusahaan tebu dan impor gula mentah. Khusus untuk pemenuhan bahan baku melalui impor telah diatur oleh pemerintah melalui 5
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/01/04112127/Inefisiensi.Pabrik.Gula.Rp.4.2.Tril iun “Inefisiensi Pabrik Gula Rp4,2 T” diakses 4 februari 2013.
13 Keputusan (SK 643/2002) yang dikeluarkan oleh menteri perindustrian dan perdagangan, Rini Soewandi pada 2002. Pada 2004, memperindag penggantinya Mari E. Pangestu menyempurnakan menjadi SK 527/2004. Komponen utama kebijakan tersebut menyangkut kuota impor, hingga pengaturan distribusi gula impor. SK inilah yang menjadi acuan dalam impor gula yang berlaku hingga sekarang. Pada mulanya Berdirinya PT IGN Cepiring ditujukan untuk membantu pemerintah dalam Program Swasembada Gula di Jawa Tengah. Dimana konsumsi gula Jawa tengah sebesar 360 000 ton dan produksi gula 260 000 (tidak termasuk PT IGN). Dengan berdirinya PT. IGN diproyeksikan produksi gula di Jawa Tengah mencapai 380 000 ton. PT IGN Cepiring diperkirakan mampu menyerap produksi petani di sekitar lokasi kurang lebih 3 200 ha tanaman tebu dan tenaga kerja yang mampu diserap sekitar 6 000 orang (Suprayoga 2007). Kapasitas giling tebu sebesar 1 800 ton per hari. Kenyataan yang ada di lapangan, kapasitas giling maupun penyerapan produksi tebu PT IGN Cepiring belum terpenuhi oleh hasil panen tebu lokal. Berdasarkan data dari PT IGN Cepiring (2012), PT IGN Cepiring hanya menyerap produksi tanaman tebu dari lahan seluas 2 471 ha pada tahun 2011. Luas areal tersebut belum mampu memaksimalkan kinerja PT IGN Cepiring yang kapasitas gilingnya sebesar 1 800 ton per hari. Keenganan petani untuk melakukan usahatani tebu merupakan salah satu penyebab kapasitas giling PT IGN Cepiring belum terpenuhi. Pada penelitian ini analisis efisiensi produksi diperlukan untuk mengetahui apakah benar pabrik gula PT.IGN telah berproduksi secara optimal. Diharapkan hasil tersebut akan memotivasi petani untuk menanam tebu lebih baik dengan kondisi pabrik yang semakin baik. Rendemen Rendemen tebu adalah kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Rendemen tebu yang ideal sekitar 7 – 9 persen. Rendemen tebu berpengaruh terhadap produktivitas, dengan semakin kecilnya rendemen akan menyebabkan produktivitas semakin menurun. Penyebab kecilnya rendemen tebu adalah (a) kurang terpadunya jadwal tanam dan panen, (b) lamanya perjalanan dari kebun ke pabrik pengolahan, (c) kondisi mesin yang sudah tua/usang. Berkaitan dengan rendemen terdapat tiga macam rendemen, yaitu: 1. Rendemen Contoh Rendemen ini merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah suatu kebun tebu sudah mencapai masak optimal atau belum. Rendemen contoh adalah untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa tingkat rendemen yang sudah ada. Melalui rendemen contoh ini akan diketahui kapan saat tebang yang tepat dan kapan tanaman tebu mencapai tingkat rendemen yang optimal. Supriyadi (1992) menyatakan bahwa cara mendapatkan rendemen tebu adalah dengan mengambil beberapa batang tebu contoh setiap 15 hari sekali. Tebu contoh ini dibawa ke pabrik gula dan digiling pada gilingan contoh di laboratorium untuk diketahui berapa tingkat niranya. Dari hasil nilai nira ini
14 kemudian dikalikan dengan faktor rendemen, maka akan diperoleh tingkat rendemennya. Rumusnya adalah sebagai berikut: Rendemen = Nilai Nira x Faktor Rendemen Dari hasil analisis rendemen contoh ini, dapat diketahui tingkat rendemen tebu saat ini. Faktor-faktor lain yang perlu diamati adalah faktor kemasakan, faktor koefisien daya tahan, dan faktor koefisien peningkatan. 2. Rendemen Sementara Perhitungan rendemen sementara perlu dilaksanakan untuk menentukan bagi hasil gula, tetapi sifatnya masih sementara. Sedangkan penentuan bagi hasil yang benar akan diperhitungkan setelah rendemen nyata diketahui. Cara mendapatkan rendemen sementara ini adalah dengan mengambil nira perahan pertama tebu yang akan digiling untuk dianalisis di laboratorium untuk mengetahui seberapa besar rendemen sementara tersebut. Hasil perhitungan antara rendemen sementara dengan rendemen nyata perbedaannya biasanya hanya kecil, atau hampir sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung rendemen sementara adalah sebagai berikut: Rendemen Sementara = Faktor Rendemen x Nilai Nira Faktor Rendemen (FR) merupakan hasil dari prestasi tanaman, prestasi hasil gilingan, dan prestasi pengolahan gula di pabrik. Prestasi tanaman dapat dilihat dari besar kecilnya jumlah nira yang didapat. Hasil perahan brix (HPB) dan perbandingan antara hasil bagi kemurnian (PSHK) merupakan indikator dari prestasi gilingan. Sedangkan besar kecilnya nilai nira merupakan suatu petunjuk atas prestasi dalam bidang pengolahan. 3. Rendemen Efektif Rendemen efektif disebut juga rendemen nyata atau rendemen terkoreksi. Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling habis dalam jangka waktu tertentu. Rumus untuk menentukan rendemen nyata adalah :
Peningkatan produktivitas pabrik gula dapat diperoleh melalui peningkatan rendemen. Rendemen sangat dipengaruhi teknik budidaya dan pemeliharaan yang dilakukan petani tebu dan kondisi fisik mesin produksi gula di pabrik gula. Beberapa hal yang mempengaruhi rendemen meliputi: 1) penataan varietas dan pembibitan; 2) Waktu tanam dan Pengaturan kebutuhan air; 3) Pemupukan berimbang; 4) Pemeliharaan tanaman tebu; 5)Tebang muat dan angkut tebu. Kebijakan Tataniaga Impor Raw Sugar (Gula Mentah) Gula mentah atau raw sugar adalah gula setengah jadi berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan bahan baku dari tebu. Untuk mengasilkan raw sugar perlu dilakukan proses seperti berikut : Tebu Giling Nira Penguapan Kristal Merah (raw sugar)6. Raw Sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600 - 1200 IU. Gula tipe ini adalah produksi gula “setengah jadi” dari pabrik-pabrik 6
http://disbun.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/45“Gula Rafinasi”Diakses 5 Februari 2013
15 penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan yang biasanya jenis gula inilah yang banyak diimpor untuk kemudian diolah menjadi gula kristal putih maupun gula rafinasi. Pada tingkat pusat Kemendag/Kemenkeu menggunakan instrumen impor dan bea masuk untuk tujuan stabilisasi harga dan pemenuhan bahan baku gula mentah (GM) untuk pabrik Gula dan Pabrik Gula Rafinasi. Agar impor dapat dikelola maka pemerintah menetapkan kuota impor, waktu impor, dan menunjuk importir khusus yaitu importir terdaftar (IT) dan importir produsen (IP). Untuk impor Gula Putih, perusahaan BUMN seperti PTPN/RNI, PPI, dan BULOG dengan kriteria tertentu ditetapkan sebagai IT. Sama halnya dengan gula putih untuk Gula Mentah. Izin impor GM hanya untuk IP, yaitu untuk PGR, dan sejumlah PGP ( Pabrik Gula Putih), dan perusahaan penghasil MSG (Monosodium Glutamat). Dalam waktu yang sama pemerintah juga mengalokasikan kuota impor GR untuk perusahaan Mamin besar dan farmasi akibat kuatnya lobi pengusaha. Acuan kebijakan impor gula ini mengunakan Keputusan (SK 643/2002) yang dikeluarkan oleh menteri perindustrian dan perdagangan, Rini Soewandi pada 2002. Kemudian, tahun 2004, memperindag penggantinya Mari E. Pangestu menyempurnakan menjadi SK 527/2004. Komponen utama kebijakan tersebut menyangkut kuota impor, hingga pengaturan distribusi gula impor. Untuk IP Gula mentah terdapat 9 importir yang merupakan PGP dan 12 importir yang merupakan PGR. Pemerintah Jawa Tengah memiliki otonomi untuk memberikan izin bongkar muat impor gula di pelabuhan. Melalui rekomendasi bongkar muat oleh Gubernur ini Pemerintah Jawa Tengah mampu mengatur waktu masuknya gula impor dari pelabuhan ke pabrik yang menyesuaikan musim panen tebu petani dan musim giling, baru setelah musim panen akan selesai PG bisa memperoleh jatah GM atau raw sugar yang telah diimpor. Diharapkan dengan kebijakan ini Pabrik dapat menggiling tebu petani lebih banyak dari gula mentah dengan minimal 20 persen gula berasal dari tebu. Jawa Tengah memiliki 2 IP yang mendapat jatah impor GM. Untuk keperluan industri ada satu PGR yang berlokasi di Cilacap, dan GM untuk keperluan gula putih izin dikeluarkan kepada PT IGN. Faktor-Faktor Produksi dan Efisiensi Produksi Gula Secara umum untuk menghasilkan suatu output industri pengolahan diperlukan input atau faktor-faktor produksi. Input atau faktor-faktor produksi yang digunakan berbeda untuk setiap komoditi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi di suatu komoditi di pabrik pengolahan antara lain faktor bahan baku, tenaga kerja bahan pembantu, tahapan proses produksi, mesin, dan rendemen. Faktor- faktor produksi tersebut dapat sebagian atau seluruhnya berpengaruh secara nyata terhadap kegiatan industri. Agar proses produksi berjalan secara kontinyu maka pengadaan faktor produksi sangat dibutuhkan baik secara kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas. Meiditha (2003), menganalisis mengenai efisiensi produksi gula pasir di PG Kebon Agung. Dalam pendugaan modelnya produksi gula dipengaruhi oleh tujuh faktor produksi dan satu peubah dummy. Faktor produksi tersebut terdiri dari bahan baku tebu, rendemen tebu, jam mesin, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, residu dan jumlah bahan pembantu. Sedangkan variabel dummy
16 ditambahkan untuk mengetahui pengaruh dari kebijakan tataniaga gula dan tataniaga impor terhadap produksi gula. Setelah dilakukan analisis regresi dihasilkan lima variabel yang berpengaruh nyata, yaitu jumlah tebu, rendemen,jam mesin, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman serta variabel dummy.Analisis efisiensi yang dilakukan dengan membandingkan antara NPMxi dengan BKMxi hanya dapat menilai tiga faktor produksi, yaitu tebu, tenaga kerja tetap, dan tenaga kerja musiman yang ketiganya dinyatakan belum efisien secara ekonomis. Sedangkan dua faktor produksi lainnya, yaitu rendemen dan jam mesin tidak dapat dilihat efisiensinya karena tidak dapat diukur tingkat harganya. Nurrofiq (2005), menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Djatiroto. Dalam analisisnya terdapat enam faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, bahan pembantu, dan lama giling. Dari keenam peubah tersebut hanya lima faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap model produksi gula di PG Djatiroto, yaitu jumlah tebu, rendemen, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, dan lama giling. Pengolahan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan model regresi yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Djatiroto serta rasio NPM dan BKM untuk melihat efisiensi alokatif pabrik tersebut. Untuk perumusan model produksi gula dipergunakan model fungsi produksi linier berganda. Wahyuni (2007), di dalam penelitiannya terdapat lima faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi gula di PG Madukismo, Yogyakarta. Faktorfaktor produksi tersebut antara lain: tenaga kerja tetap, tenaga kerja tidak tetap, jumlah tebu, lama giling, dan jam mesin. Penelitian ini menggunakan fungsi linear berganda dengan taraf nyata lima persen. hasil dari penelitian ini elastisitas dari tenaga kerja tetap dan musiman bernilai negatif. Sedangkan elastisitas dari jumlah tebu, jam mesin, dan lama giling bernilai positif. Menurut Widawarti (2008) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di PG Pagottan ada empat faktor yang berpengaruh terhadap proses produksi gula, yaitu jumlah tebu, rendemen, jam mesin, tenaga kerja. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap produksi gula di PG Pagottan. Fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb Douglas dengan taraf nyata lima persen. Menurut Savitri (2010) dalam Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula PTPN VII (Persero) PG Cinta manis ada empat faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi gula, antara lain tingkat rendemen, tenaga kerja, jumlah penggunaan bahan pembantu, dan lama giling. Penelitian ini menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas dengan taraf nyata lima persen. Menurut Wardani (2012) dalam Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PTPN IX Unit PG Mojo-Jawa Tengah ada empat faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula antara lain jumlah tebu, rendemen, lama giling, bahan pembantu. Penelitian ini menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas dengan taraf nyata lima persen. Berdasarkan penelitian sebelumnya,dapat ditarik kesimpulan bahwa faktorfaktor yang diduga mempengaruhi produksi gula antara lain jumlah tebu, tenaga kerja baik tenaga kerja tetap atau musiman, jam mesin, lama giling, dan jumlah bahan pembantu yang digunakan. Sedangkan dilihat dari keadaan pasar meliputi
17 harga gula di pasar serta kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang gula. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dalam penelitian ini akan dibahas apakah faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula yang telah diuraikan dalam penelitian terdahulu yang mempengaruhi produksi gula di Pabrik Gula Cepiring PT IGN. Faktor-faktor tersebut adalah jumlah bahan baku tebu, gula mentah atau raw sugar, tenaga kerja (tetap dan musiman), bahan pembantu, rendemen, jam mesin, bahan bakar, lama giling, dan rendemen raw sugar. Efisiensi merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam peningkatan produksi gula nasional. Ada beberapa macam efisiensi yaitu efisiensi ekonomis, efisiensi alokatif, dan efisiensi teknis (Suratiyah 2008). Efisiensi ekonomis dapat dilihat dari persentase harga pokok dengan persentase harga provenue, nilai titik impas serta kemampuan laba. Efisiensi alokatif dapat diukur dengan membandingkan antara NPM dan BKM. Sedangkan efisiensi teknis diukur dengan melihat perbandingan antara persentase kapasitas giling dengan kapasitas terpasang serta dapat mengukur antara rasio bahan baku dengan gula yang dihasilkannya (Suratiyah 2008). Dari hasil pembahasan dengan dua variabel pemakaian bahan pembantu telah melebihi batas dan jumlah tebu masih dapat ditingkatkan atau kedua variabel belum efisien. Menurut Wardani (2012), untuk mengetahui efisiensi penggunaan faktorfaktor produksi pada kegiatan produksi gula dapat dilihat dari perbandingan antara Nilai produk Marginal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Dalam penelitian ini, faktor-faktor produksi yang diukur tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu, bahan pembantu, dan lama giling karena ketiga faktor produksi tersebut dapat diukur tingkat harganya. Dari nilai NPM dan BKM dari setiap faktor produksi dapat dijelaskan bahwa pengalokasian sumberdaya dari ketiga faktor produksi di PG Mojo belum efisien secara alokatif. Kondisi tersebut disebabkan pengalokasian sumberdaya atau faktor-faktor produksi yang masih bisa ditambah. Menurut Widawarti (2008), kegiatan produksi gula di PG Pagottan belum mencapai kondisi efisien. Faktor produksi yang dinilai tingkat efisiensinya adalah jumlah tebu karena faktor produksi tersebut dapat diukur tingkat harganya dan memenuhi syarat Cobb Douglas yaitu koefisien regresinya bernilai positif. Perhitungan rasio antara NPM dan BKM sebesar 0,01 menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku tebu telah melebihi batas kondisi efisien sehingga penggunaan faktor produksi tersebut harus dikurangi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi pada pabrik gula juga dipengaruhi oleh kegiatan budidaya tebu di kebun. Efisiensi budidaya tebu dapat diketahui dengan analisis dari faktor-faktor produksi yang dapat diketahui biayanya. Menurut Lestari (2008), efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani tebu di lahan kering dapat dilihat dari rasio Nilai Produk marginal dengan Biaya Korbanan marginal. Jika rasio NPM dan BKM lebih besar dari satu maka penggunaan faktor-faktor produksi perlu ditingkatkan untuk mencapai kondisi optimal dimana rasio NPM dan BKM sama dengan satu. Apabila rasio NPM dan BKM kurang dari satu maka penggunaan faktor-faktor produksi harus dikurangi karena telah melebihi batas optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi tebu di lahan kering adalah bibit tebu, pupuk ZA, pupuk Ponska, dan tenaga kerja. Berdasarkan nilai rasio antara NPM dan BKM dari faktor produksi bibit tebu dan tenaga kerja masing-masing
18 lebih kecil dari satu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi melebihi batas optimal sehingga jumlah penggunaannya harus dikurangi. Sedangkan nilai rasio antara NPM dengan BKM untuk faktor produksi pupuk ZA dan pupuk Ponska lebih besar dari satu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pupuk ZA dan Ponska masih kurang dan harus ditingkatkan untuk mencapai tingkat penggunaan yang optimal. Dalam penelitian di PG Cepiring PT IGN ini akan dicari tingkat efisiensi alokatifnya untuk mengetahui efisiensi dari faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi pada pabrik gula antara lain faktor-faktor yang dapat diketahui biaya dalam pengadaan faktor produksi tersebut.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Fungsi Produksi Produksi merupakan kegiatan menghasilkan barang dan jasa. Menurut Beattie dan Taylor (1996), produksi adalah proses kombinasi dan koordinasi beberapa material serta beberapa input (faktor, sumberdaya atau jasa-jasa produksi) dalam pembuatan suatu barang atau jasa (output atau produk). Sedangkan fungsi produksi merupakan gambaran secara matematis dari berbagai kemungkinan produksi secara teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Dalam masalah produksi tidak bisa dilepaskan dari prinsip ekonomi yang berlaku dalam hal ini untuk menghasilkan barang dan jasa dengan kombinasi input yang dimiliki. Prinsip ekonomi adalah tindakan dengan menggunakan pengorbanan sekecilkecilnya untuk mendapat hasil tertentu. Dimana prinsip ekonomi tersebut dibatasi oleh kelangkaan atau keterbatasan dalam penggunaan seluruh faktor produksi. Oleh karena itu dalam melakukan produksi harus melakukan pilihan-pilihan terhadap kombinasi input terbaik agar dihasilkan hasil yang maksimal. Faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal sangat berpengaruh terhadap besarnya produksi yang dihasilkan. Dalam proses produksi terdapat pilihanpilihan sumberdaya yang dikombinasikan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu output maksimal dengan kinerja dan biaya yang efektif dan efisien (Nicholson 1999). Hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan dinamakan fungsi produksi (Lipsey et al 1995). Fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif sejumlah input tertentu (Nicholson 1999). Beattie dan Taylor (1996) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan teknis antara variabel faktor produksi dengan output. Bentuk umum fungsi produksi secara matematis dinotasikan sebagai berikut: Y= f (X1,X2,X3,...,Xn) Dimana, Y : Jumlah Output X1,X2,X3,...,Xn : Variabel input dalam proses produksi f : bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam output
19 Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi, yaitu “Hukum Kenaikan Hasil yang Semakin Berkurang” (The Law of Diminishing Return) dan dapat digambarkan dengan grafik yang memperlihatkan peningkatan dan penurunan output. Hukum ini menjelaskan bahwa jika faktor produksi dengan jumlah tertentu ditambahkan terus-menerus dalam proses produksi sedangkan sejumlah faktor produksi lainnya tetap, maka akhirnya akan dicapai suatu kondisi dimana setiap penambahan satu faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang besarnya semakin berkurang (Doll dan Orazem 1984). Dari fungsi produksi tersebut dapat diketahui bahwa output yang dihasilkan secara fisik sangat dipengaruhi oleh jumlah input yang digunakan, dalam hal ini output sebagai variabel terikat merespon setiap perubahan input sebagai variabel bebasnya. Menurut Doll dan Orazem (1984) fungsi produksi klasik dapat dibagi menjadi tiga daerah, masing-masing daerah tersebut penting dari segi efisiensi penggunaan sumberdaya. Daerah I terjadi ketika produk marjinal (MP) lebih besar dari produk rata-rata (AP). Pada kondisi ini produk rata-rata (AP) meningkat hingga kondisi maksimalnya pada akhir tahap I. Kegiatan produksi pada tahap ini secara ekonomi tidak rasional karena input-input belum digunakan secara efisien, jadi sebenarnya tingkat produksi masih dapat ditingkatkan dengan melakukan penambahan penggunaan input. Daerah II terjadi ketika produk marjinal (MP) mengalami penurunan hingga besarnya lebih kecil dari produk rata-rata (AP) tapi masih lebih besar dari nol. Daerah ini merupakan daerah rasional bagi kegiatan produksi, karena pada daerah ini kegiatan produksi sudah efisien. Efisiensi penggunaan input variabel mencapai puncaknya pada awal tahap II, yaitu ketika produk rata-rata (AP) sama dengan produk marjinalnya (MP). Efisiensi penggunaan input tetap mencapai puncaknya pada akhir tahap II, yaitu ketika produk marjinal sama dengan nol. Daerah III terjadi ketika produk marjinal (MP) lebih kecil dari nol. Kegiatan produksi yang dilakukan pada daerah ini, secara ekonomi tidak rasional karena setiap penambahan input yang dilakukan terhadap input tetap akan diperoleh output yang semakin menurun. Dalam proses produksi, jumlah input yang digunakan cenderung berubahubah. Perubahan tersebut disebabkan adanya elastisitas produksi dari input yang digunakan. Elastisitas produksi (Ɛp) adalah persentase perubahan jumlah output sebagai akibat dari persentase perubahan jumlah input. Soekartawi (2003), mendefinisikan skala usaha (return to scale) sebagai penjumlahan dari semua elastisitas faktor produksi. Berdasarkan tingkat elastisitas tersebut, suatu fungsi produksi memiliki tiga daerah, antara lain : 1. Daerah I Ɛp>1 artinya setiap perubahan faktor produksi sebesar satu persen maka akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu persen. Jadi pada daerah ini produsen akan memperoleh keuntungan berupa jumlah output yang lebih besar apabila jumlah input ditambahkan. Pada grafik, daerah I memperlihatkan bahwa TP terus meningkat pada tahap increasing rate, AP juga terus meningkat, dan nilai MP yang naik hingga mencapai titik maksimum. Daerah ini juga disebut daerah irrasional karena keuntungan masih dapat ditingkatkan dengan menambah faktor produksi. Sehingga keuntungan maksimum belum tercapai.
20 2. Daerah II 0< Ɛp<1 artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen maka akan menyebabkan penambahan produksi paling rendah 0 persen dan paling tinggi 1 persen. Jadi pada daerah ini penambahan input tidak diimbangi dengan penambahan jumlah output secara proporsional. Daerah ini memperlihatkan penurunan MP dan AP. Sedangkan TP tetap mengalami peningkatan pada tahap decreasing rate karena setiap penambahan input maka peningkatan jumlah output semakin lama akan semakin berkurang. Hal ini menandakan penggunaan faktor produksi telah optimal sehingga disebut juga daerah rasional. 3. Daerah III Ɛp< 0 artinya setiap penambahan faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah penambahan output yang dihasilkan. Pada daerah ini TP, MP, dan AP mengalami penurunan atau bahkan bernilai negatif untuk MP sehingga penambahan input justru akan menyebabkan penurunan jumlah output. Daerah ini termasuk daerah irrasional atau tidak diinginkan oleh perusahaan. Skala hasil usaha (return to scale) menunjukkan kondisi yang terjadi pada output jika terjadi peningkatan seluruh faktor produksi pada skala yang sama. Konsep skala usaha merupakan konsep yang akan terjadi dalam jangka panjang dimana semua faktor produksi dianggap variabel. Ada tiga macam skala hasil usaha yaitu Constant Return to Scale (CRTS), Increasing return to Scale (IRTS), dan Decreasing Return to Scale (DRTS).
Gambar 1 Grafik Fungsi Produksi
21
Efisiensi Produksi Pada umumnya efisiensi diartikan sebagai perbandingan antara nilai hasil atau output terhadap nilai masukan atau input (Lipsey et al 1995). Suatu metode produksi dikatakan lebih efisien daripada metode produksi lainnya apabila menghasilkan produk yang lebih tinggi nilainya untuk nilai tingkat korbanan yang sama atau dapat mengurangi korbanan untuk memperoleh produk yang sama. Jadi, konsep efisiensi merupakan konsep yang bersifat relatif (Soekartawi 2003). Konsep efisiensi mempunyai tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis menyatakan sejumlah produk yang dapat diperoleh dengan penggunaan kombinasi masukan yang paling sedikit. Efisiensi teknis akan tercapai apabila dalam mengalokasikan sumber-sumber produksi tidak terdapat barang yang diproduksi tanpa keharusan untuk mengurangi produksi barang lainnya. Efisiensi alokatif menyatakan nilai produk marjinal sama dengan oportunitas dari masukan yang berarti setiap tambahan biaya yang dikeluarkan sama dengan tambahan biaya. Produksi output dikatakan efisien secara alokatif jika tidak ada cara lain untuk memproduksi output yang dapat menggunakan seluruh nilai input dengan jumlah yang lebih sedikit. Efisiensi teknis dan efisiensi alokatif merupakan komponen dari efisiensi ekonomi (Semaoen 1992 dalam Widarwati 2008).
Gambar 2 Return to Scale Menurut Doll dan Orazem (1984) efisiensi ekonomi adalah kombinasi input-input yang memaksimalkan tujuan individu atau sosial. Efisiensi ekonomi ditentukan dalam dua syarat, yaitu syarat kebutuhan dan syarat kecukupan. Syarat kebutuhan ditemukan pada proses produksi ketika: pertama, tidak mungkin memproduksi output dalam jumlah yang sama dengan input yang lebih sedikit dan kedua, tidak mungkin memproduksi lebih banyak output dengan input yang sama. Dalam analisis fungsi produksi, syarat ini ditemukan jika elastisitas produksi sama
22 dengan atau lebih dari nol dan sama dengan atau kurang dari satu (0≤Ɛp≤1). Berbeda dengan syarat kebutuhan yang objektif, syarat kecukupan untuk efisiensi meliputi tujuan-tujian individu atau sosial. Kondisi efisien pada suatu perusahaan terkait dengan tujuan perusahaan pada umumnya, yaitu memaksimumkan keuntungan. Syarat mencapai keuntungan maksimal adalah turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol (Doll dan Orazem 1978). Fungsi keuntungan yang dapat diperoleh dinyatakan dengan persamaan berikut: * + Dimana: : Keuntungan Py : harga per unit produksi Px : harga pembelian faktor produksi ke-i Y : hasil produksi Xi : input ke-i TFC : Biaya input total (Total Fixed Cost) Dengan demikian, untuk memenuhi syarat tercapainya keuntungan maksimum, maka turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah:
Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa level penggunaan faktor produksi ke-i yang efisien merupakan fungsi dari harga output, harga faktor produksi ke-i dan jumlah output yang dihasilkan, atau secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Xi = f (Py,Px,Y) Dengan persamaan sebagai produk marjinal (Mpxi) faktor produksi ke-i, maka persamaan diatas menjadi: Py.MPx = Px Sesuai dengan prinsip keseimbangan marjinal, bahwa untuk mencapai keuntungan maksimal, tambahan nilai produksi akibat tambahan penggunaan faktor produksi ke-i (Py . Mpxi) harus lebih besar dari tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi ke-i tersebut (Pxi), penambahan penggunaan faktor produksi berhenti ketika Py . Mpxi = Pxi pada saat inilah keuntungan maksimum dapat dicapai. Secara sistematis keuntungan maksimum dari penggunaan faktor produksi ke-i dapat dinyatakan sebagai berikut : Dimana: Py.Mpxi : Nilai produk marjinal (NPM) faktor produksi ke-i Pxi : Biaya Korbanan Marjinal (BKM) faktor produksi ke-i
23 Artinya keuntungan maksimum tercapai pada saat tambahan nilai produksi akibat penambahan penggunaan faktor produksi ke-i tersebut atau resiko keduanya sama dengan satu. Jadi secara umum keuntungan maksimum dari penggunaan faktor produksi akan diperoleh pada saat:
Dengan asumsi Py dan Px merupakan nilai konstan, maka hanya yang mengalami perubahan. Ketika Py.Mpxi > Pxi, maka penggunaan faktor produksi harus ditambah agar tercapai keuntungan maksimum. Sebaliknya jika Py. Mpxi < Pxi, maka penggunaan faktor produksi harus dikurangi. Kerangka Pemikiran Operasional Dalam rangka mencapai keuntungan optimal pabrik gula PT IGN perlu membuat perencanaan produksi untuk dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan. Salah satu perencanaan produksi adalah perencanaan faktor-faktor produksi yang digunakan. Analisis faktor-faktor produksi yang digunakan bertujuan untuk mengetahui faktor produksi mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan maupun penurunan produksi gula sehingga dapat memberikan keuntungan optimal bagi perusahaan. PG PT IGN merupakan pabrik gula yang diproyeksikan akan mampu mendukung swasembada gula 2014 di Jawa Tengah. Kegiatan produksi gula di Pabrik Gula PT IGN diindikasikan mengalami masalah dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Untuk mencapai kondisi efisien maka sudah selayaknya dilakukan analisis efisiensi produksi dengan menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas data diolah dengan pendugaan OLS sehingga diperoleh beberapa alternatif dan tindakan yang dapat diambil perusahaan untuk mencapai kondisi efisien perusahaan. Analisis permasalahan dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan memberikan gambaran secara umum mengenai gambaran produksi gula di PG PT IGN Cepiring. sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula yang kemudian akan dianalisis dengan analisis regresi untuk memperoleh faktor produksi yang berpengaruh secara nyata terhadap produksi gula. Efisiensi produksi dapat juga diukur dengan membandingkan Nilai Produk marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk mengetahui kondisi faktor produksi sudah dalam kondisi efisien sehingga dapat memaksimalkan keuntungan kegiatan produksi gula di PG PT IGN Cepiring. selain itu akan diketahui faktor-faktor produksi mana yang mempengaruhi produksi gula secara signifikan maupun tidak. Dalam penelitian ini digunakan dua fungsi produksi Cobb Douglas pada fungsi pertama yang dilakukan saat musim giling variabel bebas (independent variabel) yang diduga berpengaruh terhadap variabel dependent yaitu produksi gula (Y) adalah jumlah tebu (X1), rendemen tebu (X2), Jumlah raw sugar (X3), rendemen raw sugar(X4) lama melting (X5), tenaga kerja total (X6), Bahan Pembantu (X7), dan bahan bakar (X8). Sedangkan pada pada fungsi kedua yang
24 dilakukan diluar musim giling variabel bebas (independent variabel) yang diduga berpengaruh terhadap variabel dependent yaitu produksi gula (Y) adalah Jumlah raw sugar (X1), rendemen raw sugar(X2) lama melting (X3), tenaga kerja total (X4), Bahan Pembantu (X5), dan bahan bakar (X6) . Faktor produksi tersebut dikelompokan menjadi tiga, yaitu berdasarkan karakteristik usahatani (jumlah tebu, dan rendemen) yang dipengaruhi oleh kegiatan budidaya petani tebu, kemudian berdasarkan karakteristik pabrik (tenaga kerja total, lama melting, bahan pembantu, rendemen raw sugar, dan bahan bakar) yang dipengaruhi sumber daya pabrik, kapasitas pabrik, dan mesin produksi yang digunakan. Kemudian berdasarkan karakteristik pasar (raw sugar) yang dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga impor gula. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3.
Produktivitas Pabrik Gula PT IGN Cepiring rendah
Faktor-faktor yang berikut: Karakteristik Usahatani: 1. Jumlah Tebu 2. Rendemen
mempengaruhi produksi gula, dengan variabel sebagai Karakteristik Pabrik 1. Tenaga Kerja Total 2. Lama melting 3. Bahan Pembantu 4. Bahan Bakar 5. Rendemen raw sugar
Karakteristik Pasar 1. Jumlah Raw Sugar
Model Fungsi Produksi Cobb Douglas dengan pendugaan Ordinary Least Square (OLS) saat musim giling dan diluar musim giling
Analisis Efisiensi Alokatif
Analisis Elastisitas
Efisiensi produksi gula di PG PT IGN Cepiring
Gambar 3 Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
25
METODE PENELITIAN Model Fungsi Produksi Gula Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode penelitian yang dipusatkan pada pemecahan masalah yang aktual. Data yang telah dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis. Penelitian ini juga menggunakan teknik studi kasus, yaitu memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan mendetail, sebanyak yang diteliti terdiri atas satu unit atau kesatuan unit yang dipandang sebagai kasus. Penelitian ini merupakan suatu kasus di perusahaan PG. Cepiring dengan memusatkan perhatian pada efisiensi produksi gula. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah sama dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb Douglas yang diolah dengan pendugaan Ordinary Least Square (OLS) atau Metode kuadrat terkecil (MKT). Metode yang digunakan untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi terhadap produksi gula PG Madu Baru adalah fungsi Cobb Douglas dengan pendugaan Ordinary Least Square (OLS) (Suratiyah et al. 2008). Dari analisis yang dilakukan dapat diketahui variabel yang mempengaruhi produksi gula PG Madu Baru. Adapun variabel-variabel bebas yang digunakan berpengaruh yaitu jumlah tebu, jumlah tenaga kerja, dan jumlah bahan pembantu FO, dan bahan pembantu kapur. Hasil uji t menunjukan bahwa tiga variabel berpengaruh secara nyata terhadap variabel dependennya yaitu produksi gula. Hal ini dibuktikan oleh nilai probabilitas pada tiga variabel bebas lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Sehingga dapat disimpulkan jumlah tebu jumlah bahan baku pembantu FO, dan Jumlah Bahan Pembantu Kapur berpengaruh nyata terhadap produksi gula PG Madu Baru. Metode lainnya yang dapat digunakan seperti yang dipakai oleh Wahyuni (2007), dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi PG madukismo menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Hasil analisis menunjukkan bahwa produksi gula gula di PG Madukismo dipengaruhi secara positif oleh produksi tebu, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, lama giling, dan jam mesin. Sebenarnya ada tiga fungsi produksi yang bisa dipilih untuk dipakai dalam penelitian ini yaitu fungsi produksi linier, fungsi produksi kuadratik, dan fungsi produksi Cobb Douglas. Fungsi produksi linier (sederhana dan berganda) memiliki kelemahan yang tidak memiliki nilai maksimum. Fungsi produksi kuadratik memiliki kelemahan bahwasannya fungsi ini tidak dapat digunakan untuk mengetahui seluruh kondisi dari produk marjinal dan skala usaha. Sedangkan fungsi produksi Cobb Douglas memiliki keunggulan dapat melihat seluruh kondisi dari produk marjinal, elastisitas, nilai maksimum, dan skala usaha (return to scale). Dalam penelitian ini akan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan fungsi produksi Cobb Douglas untuk mengetahui variabel apa saja yang mempengaruhi produksi gula di PG Cepiring PT IGN. Sehingga akan diperoleh satu persamaan terbaik yang memenuhi asumsi OLS (uji normalitas, homoskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas) dan berdasarkan uji-t dan uji-F dapat diketahui pengaruh dari masing-masing variabel atau secara
26 keseluruhan terhadap produksi gula. Dasar pemilihan fungsi ini selain karena faktor teknis juga karena kesesuaian dengan tujuan penelitian dan secara analitis model tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan mengikuti uji validitas model yang tersedia. Walaupun fungsi Cobb Douglas juga memiliki limitasi dimana data variabel tidak boleh bernilai nol, multikolinieritas, dan asumsi bahwa teknologi dianggap netral padahal belum tentu teknologi di daerah penelitian adalah sama (Soekartawi 2003). Lokasi Penelitian Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PG Cepiring PT Industri Gula Nusantara, Kendal, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa pabrik gula ini merupakan salah satu pabrik gula yang baru direvitalisasi pada tahun 2008 di Jawa Tengah yang beroperasi dengan dua jenis bahan baku yaitu tebu dan gula mentah. Pabrik gula ini adalah salah satu pabrik yang mendapat izin impor untuk gula mentah dan menjadi andalan Jawa Tengah dalam mencapai swasembada gula 2014. PG Cepiring juga merupakan produsen gula terbesar di Jawa Tengah. PT IGN sendiri adalah perusahaan patungan antara PTPN IX dan PT Multi Manis Mandiri. Saat ini pemerintah sedang berencana melakukan revitalisasi PG dan pembuatan PG baru, oleh karena itu keberhasilan revitalisasi PG PT IGN ini dapat dijadikan acuan dalam membuat kebijakan revitalisasi PG di tempat lain. Penyusunan rencana penelitian (proposal penelitian) dilakukan pada Bulan Februari 2013 sampai dengan Bulan Maret 2013. Selanjutnya pengumpulan data di lapang berlangsung mulai Maret dan April 2013. Kegiatan pengolahan data dan penyusunan skripsi dilakukan mulai Bulan Mei sampai Juni 2013. Jenis Dan Sumber Data Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder diperoleh dari catatan atau dokumen yang terdapat di Pabrik Gula PT IGN dan lembaga-lembaga lain yang terkait. Data sekunder yang merupakan data time series (deret waktu) terdiri dari data output dan input bulanan sejak tahun 2010 sampai tahun 2012. Data time series yang diambil tersebut didasarkan pada waktu produksi pabrik saat sudah mulai normal berproduksi. Walaupun pada tahun 2008 dan 2009 pabrik telah berproduksi namun pabrik masih dalam tahap percobaan giling dan uji coba mesin. Oleh karena itu pada tahun 2008 dan 2009 data produksipabrik tidak diambil karena belum berproduksi secara normal. Sedangkan untuk data primer diperoleh dari wawancara terhadap administratur, kepala bagian, karyawan pabrik, dan petani serta pengamatan kegiatan produksi gula di lokasi penelitian sebagai penjelas dalam analisis. Secara terperinci jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9:
27 Tabel 9 Jenis dan sumber data penelitian Keterangan
Jenis Data a. Sejarah Umum PG PT IGN Gambaran b. Tinjauan geografis dan Iklim Umum c. Perkembangan pabrik Perusahaan d. Proses produksi gula e. Struktur organisasi perusahaan -Output a. Produksi gula b. Harga Gula Data Output -Input dan Input a. Jumlah Tebu b. Rendemen Tebu c. tenaga Kerja tetap d. Tenaga kerja Musiman e. Bahan pembantu f. Lama Melting g. Harga tebu h. Harga bahan pembantu i. Harga bahan bakar j. Jumlah bahan baku gula mentah k. Harga gula mentah l. Rendemen raw sugar
Sumber
Pabrik Gula PT IGN
Pabrik Gula PT IGN
Pengukuran Variabel Konsep pengukuran variabel yang dipakai dalam penentuan pendugaan fungsi produksi gula ini terdiri dari variabel bebas (independent variable) danvariabel tidak bebas (dependent variable). Produksi gula merupakan variabel tak bebas, yaitu peubah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dalam model. Sedangkan variabel bebas adalah variabel yang tidak dipengaruhi oleh faktor lain dalam model, seperti jumlah tebu, jumlah raw sugar, rendemen, rendemen raw sugar, tenaga kerja total, bahan pembantu, lama melting, dan bahan bakar. Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG PT IGN, variabel yang digunakan meliputi: 1. Produksi Gula (Y) Gula yang dimaksud adalah gula tebu atau gula pasir atau gula putih (rafined sugar) atau gula SHS, gula ini dihasilkan dari tebu rakyat maupun tebu sendiri yang dinyatakan dalam satuan ton. Setelah tataniaga gula lepas dari Bulog (Badan Urusan Logistik) maka untuk pemasaran gula dilakukan dengan dijual sendiri maupun dilelang dengan tingkat harga terendah sebesar harga provenue (harga dasar yang ditetapkan pemerintah) atau dijual langsung kepada pedagang. 2. Jumlah Tebu (X1) Jumlah tebu adalah tebu yang dihasilkan dari tebu rakyat (TR). Satuan yang digunakan adalah ton. Harga tebu diperkirakan berasal dari biaya pengolahan lahan, pembibitan, budidaya, dan tebang angkut tebu. Variabel ini hanya dipakai pada fungsi produksi saat musim giling.
28 3. Jumlah raw sugar (X2) Raw Sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan bahan baku dari tebu. Raw Sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600 - 1200 IU. Gula tipe ini adalah produksi gula setengah jadi dari pabrikpabrik penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan yang biasanya jenis gula inilah yang diimpor PG sebagai bahan baku produksi gula untuk kemudian diolah menjadi gula kristal putih maupun gula rafinasi. Satuan yang digunakan adalah ton. 4. Rendemen Tebu (X3) Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dalam satuan persen. Bila dinyatakan bahwa rendemen tebu 10 persen, artinya dari 100 kilogram tebu yang digiling di pabrik gula akan menghasilkan gula sebanyak 10 kilogram. Nilai persentase rendemen tersebut dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut :
5.
6.
7.
8.
9.
Rendemen ini diperkirakan tidak dapat dinilai efisiensi alokatifnya karena tidak dapat ditentukan harganya, namun dengan menilai elastisitasnya maka dapat diketahui pengaruhnya terhadap produksi gula. Variabel ini hanya dipakai pada fungsi produksi saat musim giling. Rendemen raw sugar (X4) Rendemen raw sugar sama halnya seperti rendemen tebu juga menandakan jumlah kadar kandungan gula atau gula yang dapat dihasilkan dari 1 kg raw sugar. Satuan yang digunakan adalah persen. Lama Melting (X6) Lama Melting adalah waktu yang digunakan untuk mengolah tebu dan raw sugar menjadi gula dalam satu periode.Satuan lama melting yang digunakan adalah hari. Tenaga kerja total (X7) Tenaga kerja total terdiri dari tenaga kerja tetap dan tenaga kerja musiman. Tenaga kerja tetap adalah tenaga yang sifat hubungannya tidak ditentukan batas waktunya oleh musim giling pabrik sehingga mereka harus bekerja dalam musim giling maupun diluar musim giling. Satuan yang digunakan adalah hari orang kerja (HOK). Gaji tenaga kerja tetapdihitung berdasarkan tingkat golongan pekerja. Tenaga kerja musiman adalah tenaga kerja yang tingkat hubungannya ditentukan oleh batas waktu yang pada umumnya bekerja pada saat giling. Satuan tenaga kerja musiman yang digunakan adalah orang dengan upah tenaga kerja yang dihitung berdasarkan suatu proses pekerjaan. Bahan pembantu (X8) Bahan pembantu yang digunakan adalah kapur tohor, filter aid, dan flokulant Magnafloc. Penggunaan bahan baku sesuai dengan fungsinyadan komposisinya. Satuan yang digunakan untuk masing-masing bahan pembantu adalah ton Bahan bakar (X9) Bahan bakar dibutuhkan oleh Pabrik Gula untuk melakukan pembakaran di stasiun ketel. Di stasiun tersebut akan dihasilkan uap yang berfungsi sebagai penggerak turbin. Uap tersebut kemudian akan digunakan untuk
29 menjalankan mesin maupun peralatan yang terdapat di dalam pabrik. Jenis bahan bakar yang digunakan Pabrik Gula PT IGN yaitu bahan bakar padat yaitu Batu bara danbahan bakar cair yaitu solar. Satuan yang akan digunakan adalah ton. Dimana 1000 Liter solar sama dengan 1 Ton Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif yang berdasarkan data primer dan sekunder dari hasil penelitian. Analisis kualitatif untuk mengetahui kegiatan yang berkaitan dengan produksi gula di PG Cepiring yang diuraikan secara deskriptif. Sementara analisis kuantitatif dilakukan dengan model fungsi produksi Cobb Douglas untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula di PG Cepiring. Pengolahan data tersebut akan menggunakan bantuan aplikasi program komputer SPSS 20. Model Fungsi Produksi Dalam penelitian ini analisis fungsi produksi yang akan digunakan adalah model fungsi produksi Cobb Douglas. Menurut Soekartawi (2003) fungsi Cobb Douglas adalah fungsi atau persamaan yang melibatkan dua tau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut variabel dependent, yang dijelaskan (Y) dan yang lainnya disebut variabel independent, yang menjelaskan (X). Pemilihan model fungsi produksi Cobb Douglas karena fungsi produksi Cobb Douglas merupakan model yang umum digunakan dalam penelitian ekonomi dan selain itu terdapat empat alasan mengapa fungsi produksi Cobb Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti (Soekartawi 2003): 1. Penyelesaian fungsi produksi Cobb douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lainnya, seperti fungsi kuadratik karena fungsi Cobb Douglas dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linear. 2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukan besaran elastis. 3. Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to scale. 4. Koefisien intersep dari fungsi produksi Cobb Douglas merupakan indeks efisiensi produksi yang secara langsung menggambarkan efisiensi penggunaan input dalam menghasilkan output darisistem produksi yang sedang dikaji Sehubungan dengan alasan teknis tersebut pemilihan fungsi ini didasarkan kepada tujuan penelitian yaitu mengetahui skala hasil produksi (return to scale), efisiensi dan elastisitas produksi. Oleh karena itu penggunaan fungsi Cobb Douglas masih relevan digunakan dalam penelitian ini. Namun karena penyelesaian fungsi Cobb Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum peneliti menggunakan fungsi Cobb Douglas menurut Soekartawi (2003) antara lain: 1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Sebab logaritma dari nilai nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite). 2. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective technologies).
30 Ini artinya jika fungsi Cobb Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan diperlukan analisis lebih dari satu model (dua model) maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut. 3. Tiap variabel independent (X) berada pada posisi perfect competition. 4. Perbedaan lokasi pada fungsi produksi seperti iklim sudah tercakup pada faktor kesalahan (galat). Analisis fungsi produksi digunakan untuk melihat hubungan antara variabel terikat (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable) dalam analisis ini dilakukan analisis fungsi produksi dan analisis regresi untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor produksi terhadap produksi gula. Tahap-tahap dalam menganalisis fungsi produksi adalah sebagai berikut: 1) Identifikasi variabel bebas dan variabel terikat Identifikasi variabel dilakukan dengan mendaftar faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh dalam proses produksi gula. Faktor-faktor tersebut antara lain jumlah tebu, jumlah raw sugar, tenaga kerja tetap, tenaga kerja musiman, rendemen tebu, rendemen raw sugar, bahan pembantu, bahan bakar dan lama melting. Faktor-faktor produksi tersebut merupakan variabel bebas yang akan diuji pengaruhnya terhadap variabel terikat yaitu produksi gula. 2) Analisis Regresi Dalam analisis regresi, pendekatan fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb Douglas, yaitu: Saat musim giling: Diluar musim giling: Dengan mentransformasikan dari fungsi Cobb Douglas kedalam linier logaritma, model fungsi produksi gula saat musim giling dapat ditulis sebagai berikut: Saat musim giling:
Di luar musim giling:
Dimana: Y : Hasil Produksi Gula (Ton) X1 : Jumlah tebu ( Ton) X2 : Tingkat Rendemen (Persen) X3 : Jumlah raw sugar (Ton) X4 : Rendemen raw sugar (Persen) X5 : Lama Melting (Hari) X6 : Jumlah Tenaga kerja (HOK) X7 : Bahan Pembantu (Ton) X8 : Bahan bakar (Ton) bo : intersep, merupakan besaran parameter e : bilangan natural (e=2,7182) b1,b2,b3,... b9: Nilai dugaan besaran parameter
31 Hipotesis untuk fungsi produksi saat musim giling Dasar pertimbangan dalam penentuan hipotesis adalah asumsi bahwa pabrik gula berada pada daerah II pada kurva produksi sehingga pabrik gula dikatakan bertindak secara rasional dalam melakukan proses produksi, sehingga setiap faktor produksi berpengaruh secara positif terhadap rata-rata hasil produksi gula. Secara lebih rinci, hipotesis untuk masing-masing variabel adalah: a. Jumlah Tebu (X1) β1 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan pasokan tebu akan meningkatkan produktivitas gula b. Rendemen (X2) β2 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan Rendemen akan meningkatkan produktivitas Gula c. Raw Sugar (X3) β3 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan jumlah Raw Sugar akan meningkatkan produktivitas Gula d. Rendemen Raw Sugar (X4) β4 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan Rendemen Raw Sugar akan meningkatkan produktivitas Gula e. Lama Melting (X5) β5 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan Lama hari melting akan meningkatkan produktivitas Gula f. Tenaga Kerja (X6) β6 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan Tenaga Kerja akan meningkatkan produktivitas gula g. Bahan Bakar (X7) β7 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan bahan Bakar akan meningkatkan produktivitas gula h. bahan Pembantu (X8) β8 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan bahan pembantu akan meningkatkan produktivitas gula Hipotesis untuk fungsi produksi diluar musim giling a.
b.
c.
d.
e.
Secara lebih rinci, hipotesis untuk masing-masing variabel adalah: Raw Sugar (X3) β3 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan jumlah Raw Sugar akan meningkatkan produktivitas Gula Rendemen Raw Sugar (X4) β4 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan Rendemen Raw Sugar akan meningkatkan produktivitas Gula Lama Melting (X5) β5 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan Lama hari melting akan meningkatkan produktivitas Gula Tenaga Kerja (X6) β6 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan Tenaga Kerja akan meningkatkan produktivitas gula Bahan Bakar (X7)
32 β7 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan bahan Bakar akan meningkatkan produktivitas gula f. Bahan Pembantu (X8) β8 > 0, menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan bahan pembantu akan meningkatkan produktivitas gula Dengan pendekatan OLS diasumsikan bahwa nilai disturbance data yang dipakai mempunyai sifat berikut (Gujarati 1993): 1. E (Ui) = 0 untuk setiap i, i=1,2,3,... n Artinya rata-rata hitung simpangan atau nilai rata-rata kesalahan pengganggu sama dengan nol. 2. Cov(ui,uj) = 0, i≠j Artinya tidak ada korelasi antara kesalahan pengganggu ui dan uj 3. Var (ui) =ṍ2, untuk setiap i, i= 1,2,3,... n Artinya setiap error mempunyai varian yang sama besar (homoskedastisitas) 4. Cov(ui,x2j)=cov (ui,x3j) = 0 Artinya tidak ada korelasi antara kesalahan pengganggu dengan setiap variabel yang menjelaskan (Xij) 5. Tidak ada multikolinieritas, yang berarti tidak ada hubungan linier yang nyata antara variabel-variabel yang menjelaskan 6. N (O : ṍ2), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata-rata nol dan varian ṍ2. Jika asumsi-asumsi tersebut dapat dipenuhi, maka koefisien regresi yang diperoleh adalah penduga linier terbaik yang tidak bias (BLUE = Best Linier Unbiased Estimator). 3) Evaluasi Model Dugaan Fungsi Produksi Sebelum dilakukan analisis lanjutan, maka harus dilakukan pemilihan fungsi produksi Cobb Douglas terbaik yang sesuai untuk data produksi yang tersedia. Pemilihan fungsi tersebut antara lain didasarkan kepada asumsi OLS. Untuk mengetahui apakah asumsi OLS terpenuhi dalam model maka dilakukan beberapa pengujian model. Pengujian tersebut berhubungan dengan kriteria ekonometrik, statistik, dan ekonomi. Kriteria ekonometrik terkait dengan masalah autokorelasi, multikolinieritas, dan homoskedastisitas. Kriteria statistik berhubungan dengan uji t-hitung dan F hitung, sedangkan kriteria ekonomi terkait dengan kesesuaian tanda dengan teori ekonomi yang mendasarinya. Asumsi OLS lain yang harus dipenuhi adalah tidak terdapat gejala multikolinieritas di dalam fungsi. Gejala multikolinieritas tersebut dapat ditunjukkan oleh Variance Inflation Factor (VIF). Tingkat multikolinieritas yang tinggi ditunjukkan oleh nilai VIF yang lebih besar dari 10. Apabila terdapat gejala multikolinieritas yang ditunjukkan oleh nilai VIF lebih besar dari 10, maka model fungsi produksi Cobb Douglas tersebut belum dapat dikatakan sebagai model fungsi produksi terbaik. Cara lain untuk melihat multikolinearitas adalah dengan melakukan analisis pearson correlatondan melihat apakah nilai R2 lebih besar daripada nilai partial correlation (Suliyanto 2011). Salah satu cara untuk mengatasi gejala multikolinieritas adalah dengan mengurangi salah satu atau beberapa variabel bebas yang memiliki tingkat korelasi yang tinggi diantara satu dengan lainnya (Soekartawi 2003). Nilai VIF dapat dihitung dengan menggunkana rumus sebagai berikut:
33 =
( )
(
)
Dimana: VIF (Xj) : Variance Inflation factors peubah bebas ke-j Rj : Koefisien determinasi dari model regresi dengan variabel dependen Xj dan variabel independen adalah variabel X lainnya. Asumsi lain dari model regresi yang harus dipenuhi adalah asumsi normalitas. Normalitas menunjukkan bahwa residu atau sisa diasumsikan mengikuti distribusi normal. Pengujian ini dapat dilihat melalui grafik yang dihasilkan melalui komputer, apabila sebaran sisaan membentuk suatu garis lurus maka asumsi ini terpenuhi. Suatu fungsi dikatakan baik juga apabila memenuhi asumsi Homoskedastisitas (memiliki ragam error yang sama). Untuk dapat membuktikan kesamaan varians (homoskedastisitas) secara visual dengan cara melihat penyebaran nilai-nilai residual terhadap nilai-nilai prediksi. Jika penyebarannya tidak membentuk pola tertentu seperti meningkat atau menurun maka kondisi homoskedastisitas terpenuhi. Suatu fungsi produksi dikatakan semakin baik apabila memiliki nilai koefisien determinasi (R2) yang semakin tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai koefisien determinasi persamaan, maka faktor-faktor produksi di dalam persamaan model fungsi produksi semakin berpengaruh terhadap hasil produksi. Adapun rumus dari koefisien determinasi adalah : Dimana : SSE : Jumlah Kuadrat galat SST : Jumlah Kuadrat total SSR : Jumlah Kuadrat regresi 4) Evaluasi untuk masing-masing Parameter Untuk mengetahui apakah peubah bebas yang terdapat dalam model berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas maka digunakan uji parsial (Uji-t). Nilai kritis dalam pengujian terhadap koefisien regresi ditentukan dengan tabel distribusi t serta memperhatikan signifikansi atau taraf nyata. Hipotesis : Ho : j = 0 H1 : > 0 (X berpengaruh positif terhadap Y) ( ) T-Hitung : ( ) T-Tabel :t Dimana : Bj (Ho) StDev(bj) n
(n-k-1)
: Koefisien model dugaan (slope) untuk variabel Xj : Nilai koefisien model (slope) untuk variabel Xj di bawah Ho :Standard deviasi dari bj : Jumlah observasi : tingkat kepercayaan Kriteria Uji : t-hitung < t-tabel : Terima Ho (tidak berpengaruh nyata) t-hitung > t-tabel : Tolak Ho dan terima H1 (berpengaruh nyata) suatu model akan semakin baik untuk dijadikan model persamaan regresi apabila semakin banyak Ho yang ditolak.
34 Untuk mengetahui pengaruh semua peubah bebas yang terdapat dalam model secara bersama-sama terhadap peubah tak bebas digunakan uji-f dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel. Hipotesis : Ho : bi = 0 H1 : minimal ada satu bi ≠ 0
F-Tabel : F (v1 =k, v2 = n-k-1) Dimana : R2 : Koefisien Determinasi n : Jumlah observasi k : Jumlah variabel independen Kriteria uji : F-hitung < F-tabel : Terima Ho, artinya secara bersama-sama variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. F-hitung > F-tabel :Tolak Ho, artinya secara bersama-sama variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Selain itu suatu fungsi dikatakan baik apabila telah memenuhi asumsi tidak terdapat gejala autokorelasi. Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series atau ruang seperti dalam data cross sectional. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menguji gejala autokorelasi adalah dengan menggunakan uji Durbin Watson yang dapat diperoleh dari pengolahan data dengan menggunakan program SPSS. Pada output komputer dapat dilihat apabila nilai Durbin Watson mendekati dua maka tidak terjadi masalah autokorelasi. Analisis Elastisitas Produksi Nilai elastisitas tiap variabel (Ɛp) dapat diketahui dari nilai regresi penduga pada masing-masing variabel bebas pada fungsi Cobb Douglas. Jika Ɛp>1 maka penggunaan input belum optimal. Jika Ɛp=1, maka penggunaan input sudah optimal sedangkan jika Ɛp<1, maka penggunaan input sudah lebih dari optimal (over utilizied). Skala usaha pada fungsi Cobb Douglas dapat dituliskan sebagai berikut: ∑ bi ≤ 1 atau ∑ bi ≥ 1 Dengan demikian terdapat tiga alternatif kemungkinan (Soekartawi 2000) sebagai berikut: 1. Decreasing return to Scale (DRTS), jika ∑ bi < 1 dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi. 2. Constant return to Scale (CRTS), jika ∑ bi = 1 dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi sama dengan proporsi penambahan produksi yang diperoleh. 3. Increasing return to Scale (IRTS), jika ∑ bi > 1 dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.
35 Penentuan Kondisi Efisien Dari fungsi produksi dugaan terbaik yang telah diperoleh sebelumnya, maka dapat diketahui apakah faktor-faktor produksi telah dimanfaatkan secara efisien. Untuk melihat tingkat efisiensi penggunaan fakto-faktor produksi, dapat dilihat dari kombinasi optimal dari penggunaan faktor produksi yang ditunjukkan oleh perbandingan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM). NPM merupakan hasil kali antara harga produk dengan produk marginal , sehingga untuk menghitung NPMxi diperlukan besaran produk marginal (MPPxi) dan harga produk (Py). Produk marginal merupakan perubahan produksi yang diakibatkan oleh adannya tambahan unit variabel. Produk marginal dihitung dengan menurunkan atau menghitung turunan pertama dari fungsi produksi terhadap variabel Xi. Di dalam fungsi produksi Cobb Douglas besarnya produk marginal faktor produksi ke-i (MPPxi) adalah:
Dimana : MPPxi : Produk marjinal faktor produksi ke-i : Nilai dugaan parameter ke-i Y* : Nilai dugaan Output X* : Rata-rata geometri faktor produksi ke-i I : 1,2,3,..., n
Biaya Korbanan Marginal (BKMxi) merupakan tambahan biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan penggunaan faktor-faktor produksi per satuan. Sehingga BKM sama dengan harga masing-masing faktor produksi itu sendiri. Untuk dapat melihat pengaruh dari faktor produksi dapat diketahui dari nilai elastisitas produksinya. Untuk mengetahui apakah rasio tersebut sudah memenuhi kondisi efisien, maka diperlukan pengujian terhadap rasio tersebut secara statistik, yaitu dengan menguji apakah nilai secara signifikan berbeda dari satu. Apabila nilai rasio , maka penggunaan faktor produksi telah melebihi batas kondisi efisien. Sehingga produsen yang rasional akan mengurangi penggunaan faktor produksi. Sedangkan jika rasio , maka penggunaan faktor produksi belum mencapai kondisi efisien sehingga penggunaan faktor produksi dapat ditingkatkan, dan apabila nilai rasio , maka faktor produksi yang digunakan sudah efisien.
36
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN Sejarah Perusahaan Pabrik gula Cepiring didirikan tahun 1835 oleh pemerintah Hindia Belanda dengan nama Kendalsche Suiker Onderneming sebagai suatu perseroan di atas tanah seluas 1 298 594 m2. Rehabilitasi pabrik pertama dilakukan tahun 1917 dengan menyempurnakan proses defekasi. Rehabilitasi yang kedua dilakukan pada tahun 1926 dengan mengganti proses pemurnian dari cara defekasi menjadi karbonatasi rangkap. Pabrik gula Cepiring menjadi milik pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia. PG Cepiring dikoordinir oleh Pusat Perkebunan Negara (PPN) pada masa transisi kemerdekaan. Pada tahun 1968, PPN diubah menjadi perusahaan negara Perkebunan (PNP) dan PG Cepiring dibawah pengawasan PNP XV di Semarang. Kemudian tahun 1973, PNP XV diubah statusnya menjadi PTP XV (persero) dan tahun 1981, PTP XV digabung dengan PTP XVI menjadi PTP XV – XVI (persero) yang berpusat di Surakarta. PG Cepiring beroperasi dan mengalami masa kejayaan, hingga pada tahun 1998 terpaksa berhenti beroperasi. Hal ini dikarenakan kekurangan bahan baku akibat persaingan lahan dengan komoditas pertanian lain. Akibatnya, kapasitas giling dan biaya operasional tidak tercapai. PG Cepiring mulai direnovasi dibawah manajemen PT Industri Gula Nusantara (IGN) dan diresmikan pada tahun 2008. Setelah berhenti beroperasi selama 10 tahun. PT IGN merupakan perusahaan patungan antara PT Multi Manis Mandiri (MMM) dan PT Perkebunan Nusantara IX (PTPN IX) dengan kepemilikan saham 64 persen untuk PT MMM dan 36 persen untuk PTPN IX. PG Cepiring direnovasi bangunan dan mesinnya dengan menggunakan dua macam bahan baku, yaitu tebu dan raw sugar. PG Cepiring melakukan giling perdana untuk kedua bahan baku pada tahun 2008. Hingga saat ini PG Cepiring tetap beroperasi dengan menggiling bahan baku tebu pada masa panen dan bahan baku campuran raw sugar diluar masa panen tebu. Struktur Organisasi Perusahaan Pabrik Gula Cepiring merupakan salah satu unit usaha yang berada dibawah naungan PT.Industri Gula Nusantara. PT.IGN sendiri merupakan perusahaan patungan antara PTPN IX dan PT. Multi Manis Mandiri. Pada mulanya PT. GMP juga merupakan salah satu pemilik saham namun pada 2010 PT GMP melepas kepemilikan sahamnya. Di dalam menjalankan kegiatan produksinya, PG Cepiring mempunyai visi yaitu PG Cepiring menjadi perusahaan perkebunan yang mampu menghasilkan profit dan memenuhi kebutuhan gula nasional maupun regional. Sedangkan Misi yaitu memenuhi kebutuhan gula di Jawa Tengah, kedua menyelenggarakan usaha agribisnis utamanya yang berbasis tebu melalui pemanfaatan sumberdaya secara optimal dengan memperhatikan kelestatrian lingkungan. Mencapai kapasitas produksi 500 ton gula putih per hari, dengan bahan baku tebu kapasitas 1.800 ton tebu per hari dan sisanya dengan bahan baku raw sugar serta meningkatkan kesejahteraan stakeholder.
37 Sistem organisasi di PG Cepiring secara garis besar menganut sistem organisasi fungsional yang dipimpin oleh dewan direksi yang diketuai oleh direktur utama. Dewan direksi ini terdiri dari 3 orang yaitu direktur utama, direktur komersil, dan direktur operasional. Direktur operasional membawahi bagian pabrikasi, sedangkan direktur komersil membawahi bagian administrasi dan bagian tanaman. Untuk lebih jelasnya strktur organisasi dapat dilihat pada lampiran 15. Tinjauan Geografi dan Iklim PT Industri Gula Nusantara adalah perusahaan perkebunan tebu dengan pabrik gula yang terletak di Cepiring, Kendal. Areal perkebunan tebu yang dimiliki mencakup tebu dengan sistem kemitraan pola A (KMA), sistem kemitraan pola B (KMB) dan sistem kemitraan pola D (KMD). Kebun KMA dan KMB tersebar di wilayah Kabupaten Kendal sampai Kabupaten Semarang. Kebun Tebu yang terletak di Kabupaten Kendal menyebar pada Kecamatan Patebon di wilayah utara, Kecamatan Weleri, Cepiring, sampai Kecamatan Sukorejo di wilayah selatan. Kebun tebu di Kabupaten Semarang menyebar pada kecamatan Kedungpane di wilayah barat sampai Kecamatan Bergas di wilayah timur. Secara umum letak geografis kebun milik PG Cepiring terletak diantara 6o 32’ LS – 6o18’LS dan 109o 40’ BT – 110o 18’ BT untuk wilayah Kabupaten Kendal. Ketinggian kebun tebu berkisar antara 0 mdpl sampai lebih dari 1000 mdpl. Topografi kebun tebu bervariasi, yaitu topografi datar pada kebun sawah tadah hujan dan irigasi teknis, sampai topografi bergelombang pada kebun tegalan. Keadaan iklim di wilayah PG Cepiring memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai dengan bulan Oktober karena pada saat itu arus angin tidak banyak mengandung uap air. Sebaliknya mulai bulan November hingga Mei arus angin banyak mengandung uap air sehingga terjadi musim hujan. Rata-rata curah hujan pertahun adalah 2135 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 105 hari. Kemitraan Petani Dengan PG Setelah Inpres No. 9/1975 mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dihentikan pelaksanaannya, maka PG “diwajibkan” untuk mengadakan hubungan kemitraan dengan petani tebu, kemitraan ini juga didukung oleh Undang-undang No. 9/1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44/1997 tentang Kemitraan. Di samping itu hubungan kemitraan merupakan tuntutan objektif dari PG-PG yang tidak memiliki areal HGU tetapi masih memerlukan tambahan areal untuk mencukupi kapasitas gilingnya seperti PG Cepiring. apalagi PG Cepiring saat ini berproduksi dengan bahan baku campuran raw sugar, dimana untuk mendapat izin impor raw sugar syarat pemenuhan tebu yang digiling harus dipenuhi. Ada 3 pola kemitraan antara PT IGN dan petani tebu yaitu, KMA, KMB, dan KMD. Pada pola kemitraan KMA petani menyerahkan lahannya ke PG Cepiring untuk ditanami tebu dimana petani akan mendapatkan JPP (Jaminan pendapatan petani) diterima langsung oleh petani pada saat penandatanganan kontrak yang besarnya disesuaikan dengan potensi lahan. Model ini seperti
38 melanjutkan model sewa kebun namun dibayar mengacu kepada pendapatan yang mungkin diterima. Biasannya dalam satu hektar akan memperoleh 15 juta sampai 17 juta rupiah. Kemitraan KMA ini memberikan keleluasaan perusahaan untuk mengelola kebun dan memperoleh seluruh hasil tebu. Petani tidak dibebankan biaya apapun selain biaya pajak PBB lahan. Pada pola kemitraan KMB petani mengelola sendiri lahannya untuk ditanami tebu dengan mendapatkan pinjaman biaya garap, pupuk, bibit, dan biaya tebang angkut. Pembiayaan tersebut menggunakan kredit dari dana KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) yang jumlahnya sesuai dengan paket pemerintah. Keuntungan dari sistem ini adalah petani mendapatkan bagi hasil tebu sesuai dengan sk mentan tentang rendemen dimana rendemen sampai dengan 6 persen bagi hasil gula petani 66 persen, PG 34 persen. Selebihnya dari 6 persen bagi hasil petani 70 persen, PG 30 persen. Ditambah bagi hasil tetes 3 kg/ kw tebu yang dipasok. Pada pola kemitraan mandiri petani mengelola lahannya sendiri untuk ditanami tebu. Kemudian hasil tebu digilingkan di pabrik. Untuk satu kwintal tebu akan dihargai rata-rata lima puluh ribu rupiah. Dari hasil analisis usahatani yang dilakukan Dita dan Wardani (2012) kemitraan yang memberikan pendapatan ke petani paling baik adalah pola kemitraan KMB. Perkembangan Produksi Pabrik Perkembangan produksi di PG Cepiring dapat ditinjau dari beberapa hal, antara lain penyediaan bahan baku, keberhasilan dalam proses pengolahan, serta ketersediaan tenaga kerja. Data yang dianalisis merupakan data-data yang terjadi selama 3 tahun terakhir. Untuk melihat kinerja dari penyediaan bahan baku maka dapat dilihat perkembangan luas lahan yang digunakan, jumlah tebu yang dihasilkan, raw sugar, produktivitas tebu per ha serta tingkat rendemen yang dihasilkan. Keberhasilan dalam proses pengolahan dapat dilihat dari data produksi gula, lama melting serta pemakaian bahan pembantu, yaitu kapur tohor, Filter Aid, dan flokulant. Sedangkan untuk melihat ketersediaan tenaga kerja dapat melihat formasi karyawan PG Cepiring. 1) Luas Lahan Bahan baku tebu yang dipasok ke PG Cepiring berasal dari dua sumber, yaitu tebu yang dipasok dari petani atau tebu rakyat (TR), dan tebu yang berasal dari lahan yang disewa PG Cepiring yang disebut tebu sendiri (TS). Luas lahan yang dimaksud adalah luas lahan tebu yang digiling. Dari periode masa giling 2010 hingga periode akhir masa giling 2011 memang luasan lahan mengalami kenaikan, penurunan terutama pada tahun 2012. Hal ini dikarenakan petani mitra yang mendapat kredit dari PG justru melempar tebunnya ke PG lain. Ini terjadi khususnya untuk wilayah Blora dan Pati.penyebab lainnya adalah penguasaan lahan sewa pabrik yang telah habis masa sewannya. 2) Jumlah Tebu Dari perkembangan jumlah pasokan tebu yang terlihat pada Lampiran 1, dapat diperoleh gambaran bahwa pertumbuhan produksi tebu rata-rata di pabrik dari periode awal masa giling 2010 sampai periode akhir masa giling 2011 cenderung mengalami kenaikan 10.41 persen. Kemudian pada periode
39
3)
4)
5)
6)
7)
berikutnya terjadi Penurunan jumlah tebu sebesar 48.9 persen. Pasokan tebu yang tidak stabil ini dikarenakan kurang sigapnya manajemen memperpanjang kebun sewa dan kurangnya kontrol terhadap petani mitra sehingga melempar tebunnya ke PG lain. Selain itu aturan impor GM yang longgar turut andil pada menurunnya jumlah tebu karena PG memiliki keleluasaan menggiling GM pada musim giling. Kualitas Tebu Perkembangan mengenai rendemen yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 1.Pertumbuhan rendemen dari periode awal masa giling 2010 hingga periode akhir masa giling 2012 menunjukkan kecenderungan peningkatan dimana pada 2010 rata-rata rendemen ada pada kisaran 5.37 persen. Rata-rata rendemen tersebut meningkat pada 2011 walaupun tidak signifikan menjadi 5.78 persen. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada 2012 dimana ratarata rendemen adalah 7.07 persen. Kondisi pabrik yang mengolah RM banyak mendapat sorotan karena dianggap tidak serius membenahi kualitas rendemennya. Oleh karena itu PG terus berupaya untuk meningkatkan kualitas rendemennya. Raw Sugar PG Cepiring sebagai salah satu perusahaan yang menghasilkan gula dari bahan baku tebu dan impor mendapat jatah kuota yang cukup besar. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi stok gula di Jawa Tengah yang masih kekurangan suplai. Walaupun angka impornya terus menurun dan jumlah raw sugar yang digiling juga turut menurun namun jumlah yang diimpor maupun digiling masih diatas 110 000 ton. Produksi Gula Gula produk yang dihasilkan PG Cepiring berupa gula kristal putih (direct plantation white sugar) atau juga dikenal sebagai SHS (Superieur Hoofd Suiker).Berdasarkan Lampiran 1, terlihat bahwa pertumbuhan total produksi gula sejak tahun 2010 hingga 2012 menunjukkan kecenderungan penurunan. Dimana kondisi di 2011 menurun sebanyak 25 991 ton dan pada 2012 mengalami kenaikan sebesar 13 777 ton. Kondisi ini dipengaruhi oleh pasokan tebu dan gula mentah yang saling berkaitan karena PP pemerintah tentang impor gula. Namun demikian walaupun saling memengaruhi PG Cepiring cukup beruntung karena aturan tersebut belum berjalan secara efektif sehingga jumlah impor yang dilakukan masih cukup besar. Lama Melting Lama melting merupakan waktu yang digunakan oleh pabrik untuk mengolah tebu dan raw sugar menjadi gula. Lama melting dinyatakan dengan satuan hari. Lama melting sangat dipengaruhi oleh jumlah tebu dan raw sugar yang akan diolah. semakin banyak jumlah tebu dan raw sugar yang akan diolah maka semakin lama waktu meltingnya demikian pula sebaliknya. Rata-rata waktu yang digunakan PG Cepiring untuk mengolah raw sugar dan nira tebu dalam satu bulan adalah 29 hari. Bahan Pembantu Dalam proses produksi gula PG Cepiring banyak menggunakan bahan pembantu. Bahan pembantu tersebut digunakan untuk memperlancar proses produksi. Penambahan bahan pembantu tersebut disesuaikan dengan kondisi bahan baku tebu baik kualitas maupun kuantitasnya. Bahan pembantu yang banyak digunakan dalam proses produksi gula di PG Cepiring adalah kapur
40 tohor, Filter Aid dan flokulant. Kapur tohor dan filter aid digunakan untuk mengolah nira tebu dan raw sugar. Sementara flokulant dipergunakan untuk mengolah Tebu saat digiling. 8) Tenaga Kerja Ketersediaan tenaga kerja merupakan salah satu faktor dalam kegiatan produksi. Tenaga kerja merupakan sumberdaya yang dapat mengelola dan mengkombinasikan faktor-faktor produksi lain sehingga dapat menghasilkan suatu output yang diinginkan. Di PG Cepiring terdapat dua jenis tenaga kerja, yaitu karyawan staf atau karyawan pimpinan dan karyawan non staf atau karyawan pelaksana. Karyawan staf dibagi menjadi dua yaitu karyawan staf IGN dan karyawan staf perwakilan PTPN IX. Karyawan pelaksana dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karyawan tetap bulanan dan karyawan tetap harian. Di samping itu juga ada karyawan tidak tetap yang terdiri dari karyawan kampak, karyawan tebang, karyawan musim tanam, karyawan musim lain-lain, dan karyawan ekstra atau harian lepas. PG Cepiring memberlakukan hari kerja yang sama, baik pada musim tebangan maupun diluar musim tebangan. Hal ini dikarenakan pabrik akan mengolah raw sugar diluar musim tebangan. Kegiatan produksi berlangsung 24 jam, terutama di dalam pabrik sehingga dibutuhkan pengaturan tenaga kerja agar proses produksi tetap berjalan. Jam kerja selama 24 jam dibagi kedalam tiga shift, yaitu pagi, siang, dan malam. Waktu yang diberlakukan pada ketiga shift tersebut yaitu, shift pagi dimulai pukul 07.00-15.00 WIB, shift siang dimulai puku 15.00-23.00 WIB, dan shift malam dimulai pukul 23.00-07.00 WIB. Karyawan yang akan dilihat perkembangannya adalah karyawan pelaksana yang terbagi atas karyawan tetap dan karyawan tidak tetap atau musiman yang menangani proses produksi di pabrik gula. Secara umum perkembangan karyawan tetap dari periode awal tahun 2010 hingga periode akhir tahun 2012 mengalami kecenderungan peningkatan. Peningkatan ini disebabkan beban pekerjaan dalam pabrik yang semakin banyak dan sekaligus sebagai upaya manajemen untuk menunjukkan keseriusan membenahi kegiatan produksi. Diharapkan kualitas gula dan rendemen akan terus meningkat seiring dengan penambahan karyawan tersebut. Meskipun demikian jika ada pengurangan jumlah karyawan itu bukan disebabkan oleh PHK namun karena adanya peningkatan golongan dari karyawan harian menjadi karyawan kampanye. Sehingga jumlah karyawan tetap namun dengan komposisi yang berbeda. Berkurangnya jumlah karyawan juga disebabkan oleh faktor usia. Komposisi karyawan PT IGN terangkum pada Tabel 10.
Karyawan Ex-PG PTPN IX IGN Musiman/harian Total a
Tabel 10 Karyawan PT IGN 2012a Kota Asal Jenis kelamin Jumlah Kendal Luar Kendal Laki-laki Perempuan 35 1 33 3 36 331 79 376 36 412 448 4 448 4 452 900
Sumber : PG Cepiring, 2013
41 Agribisnis Gula Pengadaan Bahan Tanam dan Persiapan Lahan Tebu Giling Pengadaan bahan tanam atau bibit merupakan kegiatan awal yang memegang peranan penting dalam usaha mendapatkan pembibitan dengan kualitas yang baik. Bibit tebu dengan varietas yang sesuai merupakan salah satu modal utama dalam keberhasilan produksi tebu. Varietas tebu yang diusahakan di PG Cepiring sangat beragam antara lain BL, PS 864, PS 881, PSJT 941. Penanaman dalam satu blok menggunakan varietas yang sama. Untuk suatu kebun dengan beberapa blok terdapat kemungkinan penggunaan lebih dari satu macam varietas. Kategori tanaman tebu meliputi tanaman pertama dan tanaman ratoon. Kategori tanaman yang ada meliputi PC, RC1, RC2, dan RC3 Berdasarkan kepemilikan lahan PG Cepiring belum mempunyai Hak Guna Usaha atau lahan Non HGU. Oleh karena itu, untuk budidaya tebu PG Cepiring harus menyewa lahan dari petani atau masyarakat sekitar. Karena menggunakan lahan sewa maka untuk mendapatkan lahan seluas satu hektar saja perlu menyewa beberapa tempat. Total Luas lahan sewa dan kemitraan dengan petani yang digunakan PG Cepiring untuk tanaman tebu per 2012 adalah 2400 ha. Lahan tersebut dapat menghasilkan tebu sebesar 76 649.46 ton. Rendemen yang dihasilkan ada pada kisaran 7.05 persen. Sistem Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Ada dua macam cara tanam yang biasa digunakan pada lahan khususnya pada lahan tegalan, yaitu tanam kering dan basah. Tanam kering dilakukan jika pengairan sulit. Proses tanam kering, yaitu dilakukan penanaman dahulu setelah itu dilakukan pengairan. Sedangkan cara tanam basah, pengairan dilakukan sebelum tanam sehingga keadaan alas tanam membentuk jenangan. Dibandingkan dengan tanam kering, tanam basah lebih menguntungkan karena dapat menghemat pengairan dan mata tunas lebih cepat berkecambah. Pemeliharaan tanaman bertujuan mendapatkan pertumbuhan tebu yang baik. Pemeliharaan meliputi pemeliharaan tanaman pertama (plant cane/PC) meliputi: penyulaman yang bertujuan mempertahankan populasi tanaman dalam jumlah tetap pada satuan luas tertentu, pengairan, pengendalian gulma baik secara mekanis maupun khemis, pemupukan, pembumbunan atau penimbunan tanah disekitar tanaman, klentek atau membersihkan tebu dari kulit dan daun yang sudah kering, pemberantasan hama dan penyakit serta kuras got yang bertujuan memperdalam got sesuai ukuran standard agar mampu berfungsi dengan baik. Sedangkan pemeliharaan tanaman keprasan pada umumnya sama dengan PC. Adapun yang membedakan antara tanaman keprasan dan PC adalah kegiatan kegiatan seperti : pedot oyot yang dilakukan segera setelah tanaman dikepras. Pedot oyot, yaitu memotong disamping kanan dan kiri barisan tanaman dengan kedalaman 20 cm dengan tujuan memutus akar-akar lama dan mendorong tumbuhnya akar-akar baru yang sehat dan kuat.
42 Tebang dan Angkut Tebang, muat, dan angkut merupakan pekerjaan terakhir dari kegiatan pengadaan bahan baku industri gula. Pelaksanaan kegiatan tersebut harus direncanakan secara matang karena tebu merupakan tanaman semusim yang mempunyai nilai produksi yang ditentukan oleh batasan waktu. Agar diperoleh tebu yang manis, bersih, dan segar maka pelaksanaan tebang harus tepat dan proses penebangan serta angkutan harus berpegang pada batasan-batasan tertentu. Sebagai dasar penentuan suatu kebun cukup optimal untuk ditebang adalah dengan analisa pendahuluan yang akan menghasilkan angka rendemen, Koefisien Daya Tahan (KDT) dan Koefisien Peningkatan (KP). Dari hasil analisa tersebut kemudian diberi skor atau nilai yang selanjutnya dikalkulasikan. Kebun yang mempunyai nilai tertinggi mendapat prioritas tebang terlebih dahulu. Analisa pendahuluan dilakukan pada saat tebu berumur 1-45 hari. Tebu yang dianalisa adalah tebu dari PC dan ratoon. Kegunaan dari analisa pendahuluan selain dari yang disebutkan di atas, yaitu dengan analisa pendahaluan PG dapat menentukan lahan mana yang akan diberikan perlakuan tambahan seperti pemberian ZPK (Zat Pemacu Kemasakan). Pasca Panen dan Kriteria Bahan Baku Tebu Pengaturan tebu dari lori maupun truk di PG Cepiring menggunakan sistem FIFO (first in first out). Maksudnya adalah tebu yang masuk paling awal akan digiling terlebih dahulu sesuai jadwal. Truk dari kebun sebelum ditimbang biasanya diatur di emplasment sesuai dengan jadwal kedatangan. Sedangkan untuk lori setelah ditimbang diatur di emplasment sesuai dengan jadwal kedatangan. Kritera tebu giling sebagai bahan baku pabrik adalah manis, bersih, dan segar. Yang dimaksud manis, yaitu tebu sudah cukup tua atau masak yang ditebang pada saat rendemen puncak dan tebu ditebang dengan cara didongkel atau pemotongan sampai tanah dengan Faktor Kemasakan (FK) sebesar 25-30 persen, Koefisien Daya Tahan (KDT) dan Koefisien Peningkatan (KP) sebesar 90100 persen. Besarnya faktor-faktor tersebut tergantung pada varietas tebu yang ditanam. Adapun yang dimaksud bersih adalah bahan baku tebu terbebas dari unsur non tebu (kotoran) maksimal 5 persen, meliputi: pucukan, tebu muda (sogolan), daun tebu (pucuk dan daun kering/daduk), akar dan tanah, serta barang asing lain. Sedangkan yang dimaksud tebu segar secara teoritis adalah saat tebu ditebang dan digiling maksimal 36 jam, tebu tidak kering, dan tebu tidak dibakar. Pengolahan Tebu dan Raw Sugar Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula Proses produksi gula pasir di PG Cepiring pada dasarnya berupa aliran proses produksi. Diagram pada lampiran 14 menunjukkan bahwa proses pengolahan tebu maupun raw sugar menjadi gula merupakan proses yang saling berhubungan, jika terjadi kemacetan pada satu tahapan produksi akan mempengaruhi proses produksi selanjutnya. Untuk pengolahan tebu prosesnya
43 melalui 5 tahap . Sedangkan untuk pengolahan raw sugar dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tanpa menggunakan nira tebu dan menggunakan nira tebu. Pengolahan raw sugar model pertama digunakan pada kondisi diluar musim giling dan sebaliknya. Oleh karena itu faktor produksi yang digunakan disini adalah lama melting yang berlangsung pada stasiun penguapan. Tahapan kegiatan produksi di PG Cepiring menurut proses dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Stasiun Gilingan Proses ini bertujuan mendapatkan nira mentah sebanyak-banyaknya dari dalam batang tebu sehingga didapatkan kandungan gula semaksimal mungkin dengan menekan kehilangan gula yang ikut bersama ampas sekecil mungkin. Proses pada stasiun penggilingan tebu dimulai dari truk atau lori yang diterima dibagian penerimaan kemudian dipindahkan ke keprak tebu melalui tipper atau meja tebu yang selanjutnya dibawa ke cane cutter. Tebu yang masuk ke stasiun gilingan dipotong dan dicacah, cacahan tebu kemudian digiling pada rol-rol gilingan sehingga dihasilkan nira mentah dan ampas. Untuk memaksimalkan pemerahan di stasiun gilingan PG Cepiring dilengkapi 5 unit rol penggiling. Sedangkan untuk memperkecil kehilangan gula dalam ampas ditambahkan air imbisisi pada gilingan ke IV dan V. Nira mentah yang dihasilkan dipompa ke stasiun pemurnian dan ampas dipakai sebagai bahan bakar. Banyaknya komponen di dalam nira akan membawa pengaruh terhadap sifat-sifat nira. Karena yang diambil adalah saccharosa maka yang perlu dihilangkan adalah air dan komponen bukan gula. 2. Stasiun Pemurnian Tujuan dari pemurnian adalah menghilangkan atau membuang bahan organik maupun anorganik bukan gula yang terdapat dalam nira dengan cara kimia atau fisika sehingga diperoleh kadar sukrosa yang semaksimal mungkin dari nira dan kerusakan sukrosa yang serendah mungkin. Proses pemurnian ini dilakukan dengan sistem karbonatasi dengan memanfaatkan gas CO2 dari cerobong ketel. Selain itu pada defektator akan ditambah dengan susu kapur (Ca (OH)2) yang berguna untuk mencegah terjadinya inversi (kerusakan), mengendapkan kotoran kotoran pada nira encer serta mengatur derajat keasaman (pH) nira. Selain itu di dalam stasiun ini terdapat penambahan gas belerang (SO2) yang diperoleh dari pembakaran belerang padat yang berguna untuk menetralkan kelebihan susu kapur dalam nira. Pada penetralan dengan gas SO2 akan terjadi endapan ekstra kalsium sulfit. Endapan ini akan mengabsorbsi kotoran-kotoran dalam nira. Di stasiun pemurnian diperoleh nira jernih (nira encer) dan nira kotor. Nira jernih akan dialirkan ke stasiun penguapan sedangkan nira kotor dialirkan ke vacum filter untuk memisahkan kotoran padat (blotong) dengan kotoran cair (nira tapis). Nira tapis dikembalikan lagi pada bak nira mentah tertimbang, sedangkan blotong dijadikan bahan pembuatan kompos yang selanjutnya digunakan sebagai pupuk. 3. Stasiun Penguapan Dalam stasiun ini terjadi proses penguapan (evaporasi) yang dialakukan untuk menguapkan air yang terdapat dalam nira encer sehingga diperoleh nira dengan kekentalan tertentu. Nira kental yang keluar dari pan penguapan dilakukan pemberian gas SO2 sampai nilai pH nira kental mencapai 5.4-5.6
44 yang bertujuan memucatkan warna nira kental agar kristal gula yang dihasilkan berwarna lebih putih dan mencegah terjadinya perubahan warna karena gas SO2 mempunyai sifat menahan peningkatan intensitas warna. Nira kental tersulfitir tersebut kemudian dialirkan ke stasiun masakan untuk proses lebih lanjut. Di dalam proses penguapan tersebut akan didapat hasil sampingan berupa air kondensat yang dapat dimanfaatkan pada stasiun ketel. Pada proses ini juga raw sugar mulai diolah dengan dicampur nira tebu maupun tidak. 4. Stasiun Kristalisasi Nira yang dihasilkan di stasiun penguapan masih mempunyai kadar air yang tinggi sehingga sukrosa dalam keadaan terlarut. Bila nira kental ini diuapkan airnya maka akan mencapai titik jenuh dan jika penguapan masih berlanjut maka larutan akan menjadi sangat jenuh yang akhirnya terjadi pengkristalan. Akan tetapi gula yang terkandung dalam nira kental tidak dapat dikristalkan seluruhnya dan harus dilakukan secara bertahap dengan menggunakan pan masakan yang bertekanan vakum di atas 65 mmHg dan suhu 70°C, yaitu masakan A, C, dan D. Pada stasiun ini akan dihasilkan larutan kristal gula (mascuite) serta hasil sampingan berupa air kondensat yang dapat dimanfaatkan oleh stasiun ketel. Pada tingkat masakan A, nira kental dimasak pada masakan A dengan bibitan magma C, hasil masakan (mascuite) diputar menjadi stroop A dan gula A1. Gula A1 dicampur dengan klare A menjadi magma A kemudian diputar lagi sehingga menjadi gula produk (GKP) dan klare A. Bahan untuk membuat masakan C adalah stroop A dengan bibitan magma D. hasil masakan C adalah mascuite dan diputar menjadi stroop C dan gula C. Setelah dicampur air, gula C akan menjadi magma C kemudian dipakai sebagai bibitan masakan A. Bahan untuk membuat masakan D adalah stroop A, stroop C, dan klare D dengan bibitan Fondan. Mascuite D setelah didinginkan kemudian diputar dan dihasilkan tetes dan gula D1. Magma D1 diputar menjadi klare D dan gula D2. Gula D2 dicampur dengan air menjadi magma dan dipakai sebagai bibitan masakan C. 5. Stasiun Puteran dan Penyelesaian Mascuite dari hasil proses pengkristalan dalam pan merupakan suatu massa campuran yang terdiri dari larutan dan kristal sakarosa. Sesudah mengalami pendinginan dalam palung pendingin selanjutnya dipisahkan kristal dan larutannya. Pemisah dilakukan dalam suatu alat saringan (puteran) yang menggunakan gaya sentrifugal sebagai kekuatan pendorongnya. Langkah-langkah yang terjadi pada pemutaran mascuite terbagi atas tiga langkah, yaitu: a) Penghilangan larutan yang ada disekitar kristal dan memenuhi ruanganruangan diantara kristal-kristal. b) Penghilangan sisa larutan yang masih tertinggal di antara kristal sehingga hanya tinggal lapisan yang menempel pada kristal c) Mengurangi jumlah atau ketebalan lapisan larutan yang tertinggal pada permukaan kristal. Gula produk yang dihasilkan dari pemutaran mascuite A kondisinya masih basah. Gula basah ini dijatuhkan pada talang goyang/getar. Pengeringan gula dengan dihembus udara kering dan panas pada suhu 104° -132°C. Gula yang dihasilkan dibagi menjadi gula halus, normal dan kasar. Gula halus dan
45 kasar akan dilebur lagi sebagai bahan masakan A. Gula normal dengan diameter 0.9-1.1 mm dimasukkan ke gudang untuk disimpan. Limbah Limbah diartikan sebagai bahan yang dihasilkan dalam suatu proses yang tidak berguna lagi untuk proses tersebut. Semua proses menghasilkan limbah, mulai dari proses hidup yang terjadi dalam tubuh organisme hidup, misalnya CO2 dan panas dari pernapasan serta O2 dari fotosintesis, sampai pada proses dalam industri misalnya CO2, NO serta logam berat dari proses kimia tertentu dalam pabrik. Limbah yang tidak berguna untuk proses tersebut keluar dari pabrik ke lingkungan. Jika laju masukan limbah ke dalam lingkungan lebih besar daripada laju asimilasi atau degradasi limbah maka akan merusak dan terjadilah pencemaran. Limbah pabrik gula Cepiring dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas. Limbah padat terdiri dari blotong, abu ketel dan ampas halus, namun limbah ini telah dapat dimanfaatkan oleh pabrik baik menjadi pupuk maupun bahan berguna lainnya. Limbah cair dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan jumlah dan sifat pencemarannya, yaitu 1) tingkat pencemaran rendah dengan jumlah besar seperti air bekas kondensor, 2) tingkat pencemaran tinggi dengan jumlah sedikit seperti air cucian peralatan, tumpahan nira, cucian tapisan, bocoran dari peralatan yang rusak, air cucian evaporator, dan air buangan ketel. Limbah cair yang dihasilkan dapat diatasi dengan sistem pengolahan limbah yang baik. Sedangkan untuk limbah gas terdiri dari CO2, CO, SO2, dan asap cerobong. Limbah inilah yang masih belum dapat dikelola dengan baik oleh PG Cepiring. untuk limbah cair dan padat PG Cepiring telah memiliki IPAL, namun demikian ketika produksi puncak terjadi masih ada cemaran limbah yang tidak terserap oleh IPAL dan masuk ke lingkungan sekitar. Hasil Samping Gula Hasil sampingan PG diperoleh dari pengolahan tebu yang tidak terpakai. Produk sampingan tersebut, yaitu berupa tetes, blotong, dan ampas. Tetes merupakan larutan sisa yang tidak bisa lagi dimasukkan dalam proses untuk diambil kristalnya. Saat ini tetes sudah bisa dijadikan barang produk dan sudah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dikesampingkan peranannya, misalnya bumbu masak (MSG), pellet (makanan ternak), kecap, dan ragi. Selain itu tetes dapat diolah menjadi alkohol, etanol, dan pakan ternak. Blotong merupakan hasil pemisahan di stasiun pemurnian, di PG Cepiring blotong dapat dijadikan pupuk kompos yang dicampur abu ketel dan dijadikan bahan bakar karena mengandung biogas. Oleh PG Cepiring produksi blotong digunakan untuk mendukung program penanaman organik untuk lahan tebu. Sedangkan ampas adalah hasil pemisahan di stasiun gilingan. Ampas dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan pulp kertas, solvent, particleboard, hard board, cellulose, dan lain-lain. Standarisasi Mutu Gula Standardisasi mutu gula produk ditentukan oleh P3GI. Adapun standardisasi mutu gula dapat dilihat pada Tabel 11.
46 Tabel 11 Standarisasi mutu Gula Kristal Putiha Unsur Satuan GKP Warna Warna Kristal WarnaLarutan (ICUMSA) Berat jenis Butir Susut Pengeringan Polarisasi Abu Konduktiviti Bahan Tambahan Makanan Belerang dioksida (SO2) a
CT IU mm %bb %Z, 200C %bb
5.0-10.00 Max 300 0,8-1,2 Max 0,15 Min 99,5 Max 0,15
mg/kg
Max 30
Metode Refleksi Spektometris Ayakan Oven/IR driyer Polarimetris Konduktometris Iodometri
Sumber: Bagian Pabrikasi PG Cepiring, 2013
Pengepakan dan Penyimpanan Gula produk yang telah ditimbang dimasukkkan ke dalam karung plastik yang bagian dalamnya telah dilapisi plastik, tujuannya adalah melindungi kristal gula dari uap air selama penyimpanan. Berat setiap karung adalah 50 kg. karung yang telah diisi kemudian dijahit dan disimpan di gudang. PG Cepiring mempunyai empat gudang penyimpanan gula (gudang A, B, C, dan D) dan satu gudang cadangan (gudang E) dengan luas dan kapasitas yang berbeda-beda. Gudang cadangan ini juga biasannya difungsikan untuk menampung raw sugar yang belum digiling. Distribusi Gula Bagi Hasil Giling Antara PG dan PTR PG Cepiring disamping mengolah tebu sendiri juga mengolah tebu rakyat. Bagi hasil terhadap gula yang dihasilkan tebu rakyat mengacu pada kesepakatan Pemerintah yang tertuang pada peraturan pemerintah, yaitu apabila rendemen tebu rakyat sampai dengan enam persen maka petani mendapatkan 66 persen hasil sedangkan PG mendapatkan 34 persen. Tetapi jika rendemen tebu rakyat di atas enam persen maka hasil awal (rendemen enam persen) ditambah selisih di atas enam persen dengan perhitungan bagi hasil 70 persen untuk petani dan 30 persen untuk PG. Perusahan
Mamin Luar Jawa
Milik PG PG RItel
Tebu Pabrik
Raw Sugar
Jawa
Gula
Milik PTR
Lelang PTR
Natura !0%
Gambar 4 Pemasaran Gula di PG Cepiring
47 Sistem Penjualan Gula Sistem perdagangan gula dikelola oleh masing-masing perusahaan. Untuk gula hasil olahan tebu baik dari lahan mitra bersama-sama dijual dalam pelelangan. Untuk gula dari hasil olahan tebu lahan sendiri dan hasil olahan raw sugar dijual langsung oleh perusahaan baik melalui ritel atau ke perusahaan makanan dan minuman. Untuk penjualan melalui pelelangan gula akan mendapat dana talangan yang besarnya sesuai harga dasar yang disepakati antara petani, perusahaan selaku penjamin bahwa petani yang mendapat dana talangan benarbenar memiliki gula dari hasil penggilingan tebu, investor dana talangan, dan pemerintah. Dana talangan ini dimaksudkan agar petani bisa meneruskan usahatani tebu ketika gula belum terjual semua. Selain itu dana talangan digunakan untuk mengantisipasi resiko kerugian oleh produsen tebu. Dana talangan tersebut dibayar oleh investor dengan perjanjian bila harga gula di pelelangan lebih tinggi dari dana talangan maka kelebihannya tersebut akan dibagi menurut perhitungan 60 persen untuk PTR dan 40 persen untuk PG sisa dari masing-masing tersebut, yaitu 40 dan 60 persen akan diberikan kepada investor sebagai penyedia dana talangan. Untuk gula yang dijual diluar pelelangan ditujukan untuk pasar ritel dan perusahaan makanan dan minuman. Sedangkan disaat musim giling gula dijual ke luar daerah seperti ke Jakarta dan Sumatera untuk menghindari kejenuhan pasar. Disamping itu juga ada natura yang merupakan sisa gula milik petani untuk konsumsi sehari-hari yaitu 10 persen dari gula petani yang dilelang. Untuk lebih jelasnya mengenai pemasaran gula PG Cepiring dapat dilihat pada Gambar 4.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI GULA PASIR Pemilihan Model Fungsi Produksi Model fungsi produksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model fungsi produksi Cobb-Douglass. Sebelum menerima model fungsi produksi yang diajukan tersebut, terlebih dahulu harus dilakukan pengujian terhadap ketepatan model dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi yang mendasarinya. Hal ini perlu dilakukan karena parameter di dalam model merupakan parameter dugaan sehingga dengan pengujian tersebut akan diperoleh model terbaik. Beberapa indikator model dikatakan baik atau tidak dapat dilihat melalui koefisien determinasi (R2), F-hitung dan t-hitung untuk masing-masing parameter dugaan. Analisis regresi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi produksi gula di PG Cepiring. Penelitian ini menggunakan dua model produksi untuk mengetahui variabelvariabel yang berpengaruh terhadap produksi gula. Alasan digunakannya dua model produksi tersebut karena ada perbedaan bahan baku yaitu dengan menggunakan raw sugar saja dan dengan mengkombinasikan raw sugar dan tebu. Sehingga data yang diperoleh memiliki nilai nol pada data produksi diluar musim giling. Hal ini kontradiktif dengan penggunaan fungsi Cobb Douglas yang mensyaratkan untuk tidak ada variabel yang bernilai nol karena akan menjadikan hasil output menjadi tidak terhingga. Hal ini disebabkan oleh nilai logaritma dari nol atau negatif bernilai tak terhingga.
48 Fungsi Produksi Dengan Bahan Baku Tebu Dan Raw Sugar Model fungsi produksi pertama menggunakan faktor-faktor produksi, yaitu bahan baku tebu, rendemen, lama melting, tenaga kerja total, bahan pembantu, bahan bakar, raw sugar dan rendemen raw sugar dari tahun 2010-2012 (per periode)(Lampiran 2). Dari variable-variabel yang terdapat pada Lampiran 2, maka dapat dibentuk suatu model regresi berganda. Hasil analisis dan model regresi kegiatan produksi gula dengan memanfaatkan delapan faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut. Hasil pendugaan awal yang diperoleh dari model Cobb-Douglas adalah : Ln produksi gula =7.884 + 0.126 Ln Jumlah Tebu + 0.247 Ln Rendemen + 1.788 Ln Lama Melting + 0.664 Ln raw sugar + 0.872 Ln Rendemen raw sugar – 0.312 Ln Tenaga Kerja Total – 1.770 Ln Bahan Bakar + 0.006 Ln BP
Tabel 12 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar dan tebu memanfaatkan delapan faktor produksia Variabel Konstanta Jumlah Tebu (JT) Rendemen (RDM) Lama Melting (LM) Raw sugar (RS) Rendemen Raw Sugar (RDMrs) Tenaga Kerja Total (TK) Bahan Bakar (BB) Bahan Pembantu (BP) R2 R2adj F-hitung P-value Uji Durbin-Watson a
Koefisien Dugaan 7.884 0.126 0.247 1.788 0.664 0.872 -0.312 -1.770 0.006 98.7% 97.2% 66.538 0.000 1.342
T-Hitung 0.938 1.254 1.703 0.572 6.389 1.733 -0.319 -0.726 0.030
signifikansi
Nilai VIF
Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata
11.543 1.822 39.733 12.787 3.274 7.240 25.473 10.187
Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata Tidak Nyata
sumber : Data Primer (diolah)
Suatu model terbaik harus memenuhi asumsi OLS antara lain asumsi normalitas (kenormalan sisaan). Pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa pada analisis regresi dengan delapan faktor produksi asumsi normalitas terpenuhi. Asumsi ini terpenuhi karena tebaran sisaan membentuk suatu garis lurus. Asumsi homoskedastisitas juga terpenuhi karena penyebaran nilai-nilai residual tidak membentuk suatu pola tertentu. (lampiran 4). Hasil pengolahan data dengan menggunakan delapan faktor produksi menunjukkan adanya dua gejala multikolinearitas yang tinggi di antara beberapa faktor produksi. Pertama, Dari hasil pengolahan data dapat diketahui nilai VIF jumlah tebu, raw sugar, dan bahan pembantu masing-masing sebesar 11 543, 12
49 787, dan 10 187. Ketiga variabel tersebut tidak berbeda nyata dari 10, sehingga dapat diduga terdapat korelasi yang kuat antara variabel jumlah tebu, raw sugar, dan bahan pembantu. Hal tersebut juga dapat dilihat dari nilai pearson correlation antara bahan pembantu dengan jumlah tebu dan bahan pembantu dengan raw sugar yang masing-masing sebesar 0.185 dan 0.478 (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara bahan pembantu dengan jumlah tebu dan bahan pembantu dengan raw sugar. Angka korelasi yang tinggi tersebut sangat mungkin terjadi karena fakta di lapangan adalah bahan pembantu dipengaruhi oleh jumlah tebu dan raw sugar yang diolah pabrik. Semakin banyak jumlah raw sugar dan tebu maka bahan pembantu yang digunakan dalam proses produksi akan semakin meningkat. Gejala multikolinearitas yang kedua terjadi antara lama melting dan bahan bakar. Lama melting dan bahan bakar mempunyai nilai VIF masing-masing 39.733 dan 25.473. kedua variabel tersebut tidak berbeda nyata dari 10, sehingga dapat diduga terdapat korelasi yang kuat antara variabel lama melting dan bahan bakar. Hal tersebut juga dapat dilihat dari nilai pearson correlation antara lama melting dan bahan bakar 0.94 (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara bahan bakar dengan lama melting. Angka korelasi yang tinggi tersebut sangat mungkin terjadi karena fakta di lapangan adalah jumlah bahan bakar dipengaruhi oleh lama hari melting dalam pabrik. Semakin banyak lama hari melting pabrik maka bahan bakar yang digunakan akan semakin banyak. Pengujian terhadap gejala autokorelasi perlu dilakukan karena data yang ada dalam penelitian ini adalah data time series. Pengujian autokorelasi dapat dilakukan dengan melihat nilai uji Durbin-Watson (DW). Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa nilai hasil DW dari fungsi produksi dengan 8 faktor produksi adalah 1.342. nilai tersebut berarti bahwa model tersebut tidak terjadi masalah autokorelasi karena nilai DW masih berada diantara nilai 0.304 dan 2.8601 pada tabel Durbin Watson. Pengujian secara statistik yang dilakukan meliputi koefisien determinasi, uji-F, dan uji-t. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan delapan faktor produksi pada taraf nyata lima persen menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang tinggi yaitu 98.7 persen. Hal ini berarti 98,7 persen dari variasi produksigula dapat dijelaskan oleh variasi faktor produksi jumlah tebu (JT), rendemen (RDM), lama melting (LM), raw sugar (RS), rendemen raw sugar (RDMrs), Tenaga Kerja Total (TK), Bahan Bakar (BB), dan bahan pembantu (BP). Sedangkan sisannya sebesar 2.3 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model tersebut. Uji bersama-sama dengan menggunakan uji-F dapat dilihat dalam tabel 12, hasil uji-F untuk delapan faktor produksi diperoleh nilai sebesar 66.538 yang lebih besar dari nilai F-Tabel yang nilainnya 2,59 dan berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan untuk uji setiap faktor produksi dengan menggunakan t-hitung pada tingkat kepercayaan 95 persen hanya ada satu faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula yaitu raw sugar. Adanya gejala multikolinearitas mengakibatkan model fungsi produksi Cobb Douglas dengan memanfaatkan delapan variabel belum dapat dikatakan sebagai fungsi produksi yang baik. Menurut Soekartawi 2003, gejala multikolinearitas tersebut dapat diatasi dengan cara mengurangi salah satu atau beberapa variabel bebas yang memiliki tingkat korelasi yang tinggi antara satu dan lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka di dalam penilitian ini
50 variabel lama melting dan bahan pembantu dihilangkan dari model fungsi produksi. Sehingga fungsi produksi PG Cepiring selanjutnya akan memanfaatkan enam faktor produksi meliputi jumlah tebu, rendemen , raw sugar, rendemen raw sugar, tenaga kerja total, dan bahan bakar. Hasil pengolahan data dengan memanfaatkan enam faktor produksi meliputi jumlah tebu, rendemen , raw sugar, rendemen raw sugar, tenaga kerja total, dan bahan bakar dapat dilihat di lampiran 5, sedangkan hasil analisis dari model regresi berganda dapat dilihat di tabel 13. Hasil pendugaan kedua yang diperoleh dari model Cobb-Douglas adalah : Ln produksi gula = 6 .319 + 0 .127 Ln Jumlah Tebu + 0 .295 Ln Rendemen + 0 .664 Ln raw sugar + 0 .774 Ln Rendemen raw sugar – 0 .741 Ln Tenaga Kerja Total – 1 .454 Ln Bahan Bakar Tabel 13 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku Raw Sugar dan Tebu memanfaatkan enam faktor produksia Variabel Konstanta Jumlah Tebu (JT) Rendemen (RDM) Raw sugar (RS) Rendemen Raw Sugar (RDMrs) Tenaga Kerja Total (TK) Bahan Bakar (BB) R2 R2adj F-hitung P-value Uji Durbin-Watson a
Koefisien Dugaan 6.319 0.127 0.295 0.664 0.774
THitung 0.846 3.119 2.786 16.366 2.261
-0.741 -0.454 98.60% 97.70% 105.376 0 1.317
Signifikansi
Nilai VIF
Nyata Nyata Nyata Nyata
2.2 1.1 2.3 1.8
-1.53
Tidak nyata
2.1
-7.87
Tidak Nyata
1.6
Sumber : Data Primer (diolah)
Pada grafik analisis regresi dapat dilihat bahwa analisis regresi dengan enam faktor produksi memenuhi asumsi normalitas karena tebaran sisaan membentuk suatu garis lurus (Lampiran 6). Asumsi homoskedastisitas juga terpenuhi karena penyebaran nilai-nilai residual tidak membentuk suatu pola tertentu (Lampiran 7). Hasil pengolahan data tabel 13 dapat dilihat bahwa nilai VIF dari semua faktor produksi dugaan memiliki nilai VIF kurang dari 10 sehingga model tersebut memenuhi asumsi OLS, yaitu tidak ada multikoliniearitas. Demikian halnya dengan pengujian terhadap autokorelasi pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa nilai Durbin Watson dari model Cobb Douglas dengan enam faktor produksi sebesar 1.317 . Angka ini berada diantara nilai tabel Durbin Watson yaitu 0,50 dan 2.38. Pengujian secara statistik yang dilakukan meliputi koefisien determinasi, uji-F, dan uji-t. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan enam faktor produksi
51 pada taraf nyata lima persen menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang tinggi yaitu 98.6 persen. Hal ini berarti 98,6 persen dari variasi produksi gula dapat dijelaskan oleh variasi faktor produksi jumlah tebu (JT), rendemen (RDM), raw sugar (RS), rendemen raw sugar (RDMrs), Tenaga Kerja Total (TK), Bahan Bakar (BB). Sedangkan sisannya sebesar 2.4 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model tersebut. Uji bersama-sama dengan menggunakan uji-F dapat dilihat dalam tabel 13, hasil uji-F untuk delapan faktor produksi diperoleh nilai sebesar 105.376 yang lebih besar dari nilai F-Tabel yang nilainnya 2,74 dan berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Nilai tersebut menunjukan bahwa secara statistik terdapat hubungan yang nyata diantara hasil produksi dengan faktor-faktor produksi yang digunakan secara bersama-sama. Hal ini berarti produksi gula di pabrik gula Cepiring dipengaruhi oleh faktor produksi jumlah tebu (JT), rendemen (RDM), raw sugar (RS), rendemen raw sugar (RDMrs), Tenaga Kerja Total (TK), dan Bahan Bakar (BB) yang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam kegiatan produksi. Sedangkan untuk uji setiap faktor produksi dengan menggunakan t-hitung pada tingkat kepercayaan 95 persen ada empat faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula pada taraf nyata lima persen yaitu jumlah tebu, rendemen, raw sugar, dan rendemen raw sugar. Nilai peluang t-hitung keempat variabel tersebut berada dibawah = 0.05. Sedangkan dua variabel lain yaitu jumlah tenaga kerja dan bahan bakar memiliki nilai yang tidak signifikan karena berada di atas =0.05. Hal ini dapat terjadi mengingat fakta di lapangan bahwa pekerja bagian produksi telah melebihi jumlah beban kerja yang diperlukan. Pada variabel bahan bakar juga tidak signifikan karena jumlah bahan bakar yang dipakai digunakan untuk seluruh aktivitas perusahaan dan lingkungan perusahaan seperti UPT kesehatan dengan unit gawat daruratnya, sekolah TK dan SD, perumahan karyawan, kantor besar, gedung pertemuan dan unit olahraga seperti fitnes dan kolam renang. Berdasarkan nilai koefisien regresi secara keseluruhan maka variabel yang paling elastis adalah variabel rendemen raw sugar yaitu sebesar 0.744. Hal ini menunjukan bahwa rendemen raw sugar berpengaruh terhadap peningkatan produksi gula. Nilai koefisien variabel lain yang elastis adalah raw sugar sebesar 0.664. Dengan demikian kepastian bahan baku raw sugar yang sampai saat ini masih diperoleh dari impor perlu dijaga baik kuantitas maupun standar kualitasnya yang terlihat pada jumlah raw sugar, dan rendemen raw sugar. Nilai koefisien variabel lain yang elastis adalah jumlah tebu dan rendemen tebu yang masing-masing memiliki nilai 0.127 dan 0.295. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah tebu dan nilai rendemen tebu akan berpengaruh pada peningkatan produksi gula di PG Cepiring. Kedua variabel ini juga menentukan variasi pendapatan petani tebu. Sehingga dengan produktivitas yang semakin baik dan kualitas yang terus meningkat bisa menjadi motivasi bagi petani dalam membudidayakan tebu untuk bahan baku produksi gula di PG Cepiring. Fungsi Produksi Dengan Bahan Baku Raw Sugar Model fungsi produksi kedua menggunakan faktor-faktor produksi, yaitu lama melting, tenaga kerja total, bahan pembantu, bahan bakar, raw sugar dan rendemen raw sugar dari tahun 2010-2012 (per periode)(Lampiran 8). Dari
52 variable-variabel yang terdapat pada Lampiran 8, maka dapat dibentuk suatu model regresi berganda. Hasil analisis dan model regresi kegiatan produksi gula dengan memanfaatkan enam faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut. Hasil pendugaan awal yang diperoleh dari model Cobb-Douglas adalah : Ln produksi gula = – 4 .826 – 0 .003 Ln Lama Melting + 1 .004 Ln raw sugar + 1 .031 Ln Rendemen raw sugar + 0 .002 Ln Tenaga Kerja Total + 0 .007 Ln Bahan Bakar – 0 .004 Ln Bahan Pembantu Tabel 14 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar dengan memanfaatkan enam faktor produksia Koefisien Nilai Variabel T-Hitung Signifikansi Dugaan VIF Konstanta -4.826 -36.343 Tidak nyata Lama Melting (LM) -0.003 -178 11.351 Raw sugar (RS) 1.004 310.64 Nyata 20.689 Rendemen Raw Sugar 1.031 43.236 Nyata 4.48 (RDMrs) Tidak nyata Tenaga Kerja Total (TK) 0.002 1.489 2.094 Tidak nyata Bahan Bakar (BB) 0.007 0.647 11.322 Tidak nyata Bahan Pembantu (BP) -0.004 -1.298 25.652 2 R 100% R2adj 100% F-hitung 345719 P-value 0 Uji Durbin-Watson 1.941 a
Sumber : Data Primer (diolah)
Pada Lampiran 9 dapat dilihat bahwa pada analisis regresi dengan enam faktor produksi asumsi normalitas terpenuhi. Asumsi ini terpenuhi karena tebaran sisaan membentuk suatu garis lurus. Asumsi homoskedastisitas juga terpenuhi karena penyebaran nilai-nilai residual tidak membentuk suatu pola tertentu. (Lampiran 10). Hasil pengolahan data dengan menggunakan enam faktor produksi menunjukkan adanya dua gejala multikolinearitas yang tinggi di antara beberapa faktor produksi. Pertama, Dari hasil pengolahan data dapat diketahui nilai VIF raw sugar dan bahan pembantu masing-masing sebesar 20.689, dan 25.652. Kedua variabel tersebut tidak berbeda nyata dari 10, sehingga dapat diduga terdapat korelasi yang kuat antara variabel raw sugar, dan bahan pembantu. Angka korelasi yang tinggi tersebut sangat mungkin terjadi karena fakta di lapangan adalah bahan pembantu dipengaruhi oleh raw sugar yang diolah pabrik ketika tidak musim giling tebu. Semakin banyak jumlah raw sugar maka bahan pembantu yang digunakan dalam proses produksi akan semakin meningkat. Gejala multikolinearitas yang kedua terjadi antara lama melting dan bahan bakar. Lama melting dan bahan bakar mempunyai nilai VIF masing-masing 11.351 dan 11.322. kedua variabel tersebut tidak berbeda nyata dari 10, sehingga dapat diduga terdapat korelasi yang kuat antara variabel lama melting dan bahan bakar. Angka korelasi yang tinggi tersebut sangat mungkin terjadi karena fakta di lapangan adalah jumlah bahan bakar dipengaruhi oleh lama hari melting dalam
53 pabrik. Semakin banyak lama hari melting pabrik maka bahan bakar yang digunakan akan semakin banyak. Pengujian terhadap gejala autokorelasi perlu dilakukan karena data yang ada dalam penelitian ini adalah data time series. Pengujian autokorelasi dapat dilakukan dengan melihat nilai uji Durbin-Watson (DW). Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa nilai hasil DW dari fungsi produksi dengan enam faktor produksi adalah 1.941. nilai tersebut berarti bahwa model tersebut tidak terjadi masalah autokorelasi karena nilai DW masih berada diantara nilai 0.389 dan 2.571 pada tabel Durbin Watson. Pengujian secara statistik yang dilakukan meliputi koefisien determinasi, uji-F, dan uji-t. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan enam faktor produksi pada taraf nyata lima persen menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang tinggi yaitu 100 persen. Hal ini berarti 100 persen dari variasi produksi gula dapat dijelaskan oleh variasi faktor produksi lama melting (LM), raw sugar (RS), rendemen raw sugar (RDMrs), Tenaga Kerja Total (TK), Bahan Bakar (BB), dan bahan pembantu (BP). Uji bersama-sama dengan menggunakan uji-F dapat dilihat dalam tabel 14, hasil uji-F untuk delapan faktor produksi diperoleh nilai sebesar 345.719 yang lebih besar dari nilai F-Tabel yang nilainnya 2,85 dan berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan untuk uji setiap faktor produksi dengan menggunakan t-hitung pada tingkat kepercayaan 95 persen hanya ada dua faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula yaitu raw sugar dan rendemen raw sugar. Adanya gejala multikolinearitas mengakibatkan model fungsi produksi Cobb Douglas dengan memanfaatkan enam variabel belum dapat dikatakan sebagai fungsi produksi yang baik. maka di dalam penelitian ini variabel lama melting dan bahan pembantu dihilangkan dari model fungsi produksi. Sehingga fungsi produksi PG Cepiring diluar musim giling tebu selanjutnya akan memanfaatkan empat faktor produksi meliputi raw sugar, rendemen raw sugar, tenaga kerja total, dan bahan bakar. Hasil pengolahan data dengan memanfaatkan empat faktor produksi meliputi raw sugar, rendemen raw sugar, tenaga kerja total, dan bahan bakar dapat dilihat di lampiran 11, sedangkan hasil analisis dari model regresi berganda dapat dilihat di Tabel 15. Hasil pendugaan kedua yang diperoleh dari model Cobb-Douglas adalah : Ln produksi gula = -4.685 + 1.000 Ln raw sugar + 1.013 Ln Rendemen raw sugar + 0.002 Ln Tenaga Kerja Total + 0.001 Ln Bahan Bakar Pada grafik analisis regresi dapat dilihat bahwa empat faktor produksi memenuhi asumsi normalitas membentuk suatu garis lurus (Lampiran 12). Asumsi terpenuhi karena penyebaran nilai-nilai residual tidak tertentu (Lampiran 13).
analisis regresi dengan karena tebaran sisaan homoskedastisitas juga membentuk suatu pola
54
Tabel 15 Hasil pendugaan fungsi produksi gula dengan bahan baku raw sugar dengan memanfaatkan empat faktor produksia Variabel Konstanta Raw sugar (RS)
Koefisien Dugaan
T-Hitung
-4.685
Signifikansi
Nilai VIF
-55.167
1
1086.93
Nyata
1.661
Rendemen Raw Sugar (RDMrs)
1.013
64.208
Nyata
1.94
Tenaga Kerja Total (TK)
0.002
1.028
Tidak Nyata
1.744
Bahan Bakar (BB)
0.001
0.301
Tidak Nyata
1.35
2
100%
2
100%
R
R adj F-hitung P-value Uji Durbin-Watson a Sumber : Data Primer (diolah)
513263 0 1.69
Hasil pengolahan data Tabel 15 dapat dilihat bahwa nilai VIF dari semua faktor produksi dugaan memiliki nilai VIF kurang dari 10 sehingga model tersebut memenuhi asumsi OLS, yaitu tidak ada multikoliniearitas. Demikian halnya dengan pengujian terhadap autokorelasi pada tabel tujuh dapat dilihat bahwa nilai Durbin Watson dari model Cobb Douglas dengan empat faktor produksi sebesar 1.690 . Angka ini berada diantara nilai tabel Durbin Watson yaitu 0.6321 dan 2.029. Pengujian secara statistik yang dilakukan meliputi koefisien determinasi, uji-F, dan uji-t. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan empat faktor produksi pada taraf nyata lima persen menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang tinggi yaitu 100 persen. Hal ini berarti 100 persen dari variasi produksi gula dapat dijelaskan oleh variasi faktor produksi raw sugar (RS), rendemen raw sugar (RDMrs), Tenaga Kerja Total (TK), Bahan Bakar (BB). Uji bersama-sama dengan menggunakan uji-F dapat dilihat dalam Tabel 15, hasil uji-F untuk empat faktor produksi diperoleh nilai sebesar 513.263 yang lebih besar dari nilai F-Tabel yang nilainnya 3.11 dan berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Nilai tersebut menunjukan bahwa secara statistik terdapat hubungan yang nyata diantara hasil produksi dengan faktor-faktor produksi yang digunakan secara bersama-sama. Hal ini berarti produksi gula di pabrik gula Cepiring diluar musim giling tebu dipengaruhi oleh faktor produksi raw sugar (RS), rendemen raw sugar (RDMrs), Tenaga Kerja Total (TK), dan Bahan Bakar (BB) yang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam kegiatan produksi. Sedangkan untuk uji setiap faktor produksi dengan menggunakan t-hitung pada tingkat kepercayaan 95 persen ada dua faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi gula pada taraf nyata lima persen yaitu raw sugar, dan rendemen raw sugar. Nilai peluang t-hitung kedua variabel tersebut berada dibawah = 0.05. Sedangkan dua variabel lain yaitu jumlah tenaga kerja dan bahan bakar memiliki nilai yang tidak signifikan karena berada di atas =0.05. Hal ini dapat terjadi mengingat fakta di lapangan mengindikasikan hal yang sama
55 terjadi dengan periode giling bahwa pekerja bagian produksi telah melebihi jumlah beban kerja yang diperlukan. Pada variabel bahan bakar juga tidak signifikan karena jumlah bahan bakar yang dipakai digunakan untuk seluruh aktivitas perusahaan dan lingkungan perusahaan seperti UPT kesehatan dengan unit gawat daruratnya, sekolah TK dan SD, perumahan karyawan, kantor besar, gedung pertemuan dan unit olahraga seperti fitnes dan kolam renang. Berdasarkan nilai koefisien regresi secara keseluruhan maka variabel yang paling elastis adalah variabel rendemen raw sugar yaitu sebesar 1.013. Hal ini menunjukan bahwa rendemen raw sugar berpengaruh terhadap peningkatan produksi gula. Nilai koefisien variabel lain yang elastis adalah raw sugar sebesar 0.664. Dengan demikian kepastian terpenuhinya bahan baku raw sugar yang sampai saat ini masih diperoleh dari impor perlu dijaga baik kuantitas maupun standar kualitasnya yang terlihat pada jumlah raw sugar, dan rendemen raw sugar. Analisis Elastisitas Produksi Fungsi produksi Cobb Douglas tidak hanya menjelaskan pengaruh faktorfaktor produksi tetapi juga elastisitas produksi. Elastisitas produksi ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi penduga dari masing-masing variabel bebas yang digunakan dalam fungsi. Sehingga pengaruh masing-masing faktor produksi terhadap produksi gula dapat diketahui. Penelitian ini akan membandingkan elastisitas produksi dari dua fungsi yang berbeda variabelnya karena perbedaan penggunaan bahan baku. Adapun elastisitas produksi pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Raw sugar (RS) Koefisien regresi faktor raw sugar pada kedua fungsi pada taraf nyata 5 persen menunjukkan bahwa jumlah raw sugar yang didapat PG Cepiring memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat produksi gula pasir di pabrik tersebut. Hal ini menunjukan bahwa raw sugar merupakan bahan baku utama produksi gula, dimana peningkatan jumlah raw sugar akan meningkatkan produksi gula. Raw sugar atau gula mentah adalah produk setengah jadi yang lebih mudah diolah. Dalam pembelian raw sugar ini juga telah ditetapkan standar umumnya oleh pemerintah dan pabrik. Sehingga perbedaan kualitas bisa dihindari. Namun demikian, raw sugar sebagai bahan baku utama yang menyumbang produksi gula terbesar pengadaannya masih tergantung oleh kuota impor pemerintah dan peraturan yang berlaku. Sebagai salah satu syaratnya PG Cepiring harus mengolah tebu minimal 75 persen dari kapasitas yang terpasang dalam pabrik. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan raw sugar ini perlu diimbangi oleh pengadaan bahan baku lain yaitu tebu. Karena jika aturan ini kurang diperhatikan maka pabrik bisa terancam gagal produksi karena tidak mendapat izin impor. Nilai koefisien regresi raw sugar diluar musim giling adalah 1.000. Nilai ini menunjukkan penambahan jumlah raw sugar sebesar 1 persen maka produksi gula akan meningkat sebesar 1 persen, dengan asumsi semua faktor produksi lain tetap (cateris paribus). Sedangkan Nilai koefisien regresi raw sugar pada musim giling adalah 0.664. Nilai ini menunjukkan penambahan jumlah raw sugar sebesar 1 persen maka produksi gula akan meningkat sebesar
56 0.664 persen, dengan asumsi semua faktor produksi lain tetap (cateris paribus). Jika dibandingkan antara koefisien raw sugar diluar musim giling dan saat musim giling tebu maka dapat dipastikan koefisien diluar musim giling tebu akan lebih elastis hasilnya. Hal ini juga dapat dihubungkan dengan pembatasan jumlah raw sugar yang dapat masuk pabrik ketika musim giling tebu sesuai peraturan yang berlaku. 2. Rendemen raw sugar (RDMrs) Koefisien regresi faktor rendemen raw sugar pada kedua fungsi pada taraf nyata 5 persen menunjukkan bahwa rendemen raw sugar yang didapat PG Cepiring memberikan pengaruh yang paling besar terhadap tingkat produksi gula pasir di pabrik tersebut. Rendemen raw sugar tersebut menunjukkan kualitas bahan baku raw sugar yang telah memiliki standar tertentu sesuai yang ditetapkan pemerintah. Semakin tinggi nilai rendemen raw sugar maka raw sugar tersebut semakin berkualitas. Nilai koefisien regresi rendemen raw sugar diluar musim giling adalah 1.013. Nilai ini menunjukkan penambahan rendemen raw sugar sebesar 1 persen maka produksi gula akan meningkat sebesar 1.013 persen, dengan asumsi semua faktor produksi lain tetap (cateris paribus). Sedangkan Nilai koefisien regresi rendemen raw sugar pada musim giling adalah 0.774. Nilai ini menunjukkan penambahan rendemen raw sugar sebesar 1 persen maka produksi gula akan meningkat sebesar 0.774 persen, dengan asumsi semua faktor produksi lain tetap (cateris paribus). 3. Jumlah tebu (JT) Berdasarkan analisis regresi, jumlah tebu mempunyai pengaruh yang positif dan nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil ini sesuai dengan fungsi tebu sebagai bahan baku utama yang secara langsung mempengaruhi produksi gula, dimana peningkatan jumlah tebu akan meningkatkan produksi gula. Meskipun fakta di lapangan gula yang dihasilkan lebih banyak berasal dari raw sugar namun tebu memiliki fungsi strategis untuk mendapatkan izin mendatangkan raw sugar. Selain itu peningkatan jumlah tebu masuk pabrik juga akan menjaga terjalinnya hubungan kondusif antara PG dan petani. Nilai koefisien regresi tebu adalah 0.127. Nilai ini menunjukkan penambahan jumlah tebu sebesar 1 persen maka produksi gula akan meningkat sebesar 0.127 persen, dengan asumsi semua faktor produksi lain tetap (cateris paribus). Nilai ini masih jauh lebih kecil dari koefisien raw sugar pada saat musim giling tebu. Hal ini mengindikasikan peraturan yang berlaku belum benar-benar berjalan efektif sehingga elastisitasnya berbeda cukup besar. 4. Rendemen tebu (RDM) Salah satu indikator kualitas tebu ditunjukkan oleh tingkat rendemen, pada taraf nyata lima persen faktor rendemen berpengaruh nyata terhadap produksi gula pasir di lokasi penelitian. Elastisitas produksi faktor rendemen adalah sebesar 0.295 persen, artinya bahwa setiap penambahan satu persen rendemen maka akan memberikan peningkatan produksi gula pasir sebesar 0.295 persen, dengan asumsi semua faktor-faktor lainnya tetap (cateris paribus). Hal ini berarti bahwa kualitas tebu berpengaruh besar terhadap produksi gula pasir. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa tingkat rendemen tebu yang dipasok ke PG Cepiring dari tahun ke tahun cenderung mengalami
57 peningkatan. Beberapa kebijakan perusahaan telah ditetapkan untuk meningkatkan kembali tingkat rendemen tersebut, antara lain dengan menjalankan program go organik, pemberian pelatihan teknis kepada petani dan diperkenalkan beberapa varietas tebu unggul kepada petani. Meningkatnya rendemen tebu di PG Cepiring akan memacu petani tebu untuk lebih meningkatkan produksi tebu dan dorongan kepada petani lain untuk memberikan tebunya ke PG Cepiring. Dengan kondisi tersebut jumlah tebu yang masuk pabrik akan meningkat dengan sendirinya. 5. Tenaga kerja total (TK) Sesuai dengan analisis regresi menunjukkan bahwa faktor produksi tenaga kerja total tidak berpengaruh nyata terhadap produksi gula. Hal ini terjadi baik pada saat musim giling maupun diluar musim giling dimana nilai peluang-t yang dihasilkan melebihi = 5 persen. Pada taraf nyata 5 persen nilai peluang-t saat musim giling adalah 0.160 dan saat tidak musim giling nilai peluang-t adalah 0.331. Fakta dilapangan menunjukkan manajemen terus menambah jumlah tenaga kerja pada bagian produksi baik harian lepas, musiman, dan tetap untuk mengotimalkan produksi. Namun diduga pemakaian tenaga kerja ini telah melebihi jumlah riil tenaga kerja yang dibutuhkan dan tidak sesuai dengan kebutuhan beban kerja yang ada. 6. Bahan Bakar (BB) Sesuai dengan analisis regresi menunjukkan bahwa faktor produksi bahan bakar tidak berpengaruh nyata terhadap produksi gula. Hal ini terjadi baik pada saat musim giling maupun diluar musim giling dimana nilai peluangt yang dihasilkan melebihi = 5 persen. Pada taraf nyata 5 persen nilai peluang-t saat musim giling adalah 0.452 dan saat tidak musim giling nilai peluang-t adalah 0.770. Fakta dilapangan menunjukkan bahan bakar yang digunakan tidak hanya dipakai untuk kebutuhan produksi pabrik saja tetapi juga untuk kebutuhan lingkungan pabrik seperti kantor besar, upt kesehatan, kolam renang, fitness centre sekolah TK dan SD, serta perumahan karyawan di dalam pabrik. Jumlah elastisitas produksi yang masuk dalam model di PG Cepiring untuk keseluruhan faktor produksi, yang berpengaruh nyata pada saat musim giling adalah 1.86. Hal ini berarti skala produksi gula berada pada skala usaha yang menaik (Increasing Return to Scale). Nilai tersebut menunjukkan jika masingmasing faktor produksi meningkat secara bersama-sama sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi gula di PG Cepiring sebesar 1.86 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa PG Cepiring masih memiliki peluang untuk meningkatkan produksi gula dengan sumberdaya yang dimiliki. Pengaturan kembali mengenai alokasi pemanfaatan sumberdaya dan perbaikan terhadap kualitas akan mampu meningkatkan produksi gula di PG Cepiring. Pada kondisi diluar musim giling jumlah elastisitas produksi adalah 2.013 Hal ini berarti skala produksi gula berada pada skala usaha yang menaik (Increasing Return to Scale). Nilai tersebut menunjukkan bahwa jika masingmasing faktor produksi meningkat secara bersama-sama sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi gula di PG Cepiring sebesar 2.013 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa PG Cepiring masih memiliki peluang untuk meningkatkan produksi gula dengan sumberdaya yang dimiliki. Pengaturan
58 kembali mengenai alokasi pemanfaatan sumberdaya dan perbaikan terhadap kualitas akan mampu meningkatkan produksi gula di PG Cepiring. Dengan membandingkan kedua fungsi tersebut dapat dilihat bahwasannya PG Cepiring lebih elastis jika memakai fungsi produksi kedua yang hanya ditentukan oleh raw sugar dan rendemen raw sugar. Dengan kata lain PG Cepiring akan lebih optimal berproduksi jika hanya fokus memanfaatkan bahan baku raw sugar saja. Namun hal ini terkendala dengan peraturan pemerintah yang membuat pabrik mendapat izin bahan baku raw sugar. Tabel 16 Analisis elastisitas produksia Rata-rata penggunaan Elastisitas input Variabel Musim Diluar Musim Diluar Giling Musim Giling Musim Tebu Giling Tebu (1) Giling (2) Jumlah Tebu (JT) 22423,83 0.127 Rendemen tebu (RDM) 6,05 0.295 Raw Sugar (RS) 11097,23 14904,09 0.664 1,000 Rendemen raw sugar (RDMrs) 91,06 94,95 0.774 1,013 Total Nilai Elastisitas (1) 1,86 Total Nilai Elastisitas (2) 2,013 Output Rata-rata (Y1) 11621,02 Output Rata-rata (Y2) 14180,60 a
Sumber : Data Primer (diolah)
Analisis Efisiensi Sebelum melakukan analisis efisiensi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap produksi gula penting untuk mengetahui apakah nilai koefisien regresi dari faktor-faktor produksi yang akan dinilai efisiensinya sudah memenuhi syarat dari model Cobb-Douglas, yaitu nilai koefisien regresi berada antara nol dan satu. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi secara alokatif pada kegiatan produksi gula pasir dapat dilihat dari nilai perbandingan Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Nilai produk marjinal diperoleh dari perkalian antara harga rata-rata gula pasir di Pabrik Gula Cepiring dengan nilai produk marjinalnya. Sedangkan biaya korbanan marjinal diperoleh dari harga rata-rata input, yaitu berupa harga rata-rata tebu dan raw sugar yang dipasok ke Pabrik Gula Cepiring. proses produksi dinyatakan efisien apabila perbandingan nilai NPM dan BKM sama dengan satu untuk masing-masing faktor produksi yang digunakan. Pada kondisi yang demikian, dapat dikatakan bahwa keuntungan maksimal dapat dicapai dengan asumsi bahwa perusahaan tidak memiliki kendala di dalam kegiatan produksi tersebut
59 Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Gula Saat Musim Giling Pada model fungsi produksi pertama yang dilakukan saat musim giling faktor produksi yang digunakan ada enam yaitu, jumlah tebu, rendemen, raw sugar, rendemen raw sugar, tenaga kerja, dan bahan bakar. Dari enam faktor produksi tersebut hanya ada dua faktor produksi yang bisa dinilai tingkat efisiensinya yaitu jumlah tebu dan raw sugar. Faktor produksi tenaga kerja dan bahan bakar tidak dapat dinilai efisiensinnya karena dinyatakan tidak signifikan terhadap produksi gula. Sedangkan rendemen raw sugar dan rendemen tidak dapat dinilai tingkat efisiensinnya terhadap produksi gula di PG Cepiring karena tidak dapat diketahui nilai nominal rupiahnya. Harga rata-rata tebu petani yang dipasok ke Pabrik Gula Cepiring dihitung dari biaya pengolahan tanah, pembibitan, pemupukan, serta biaya tebang angkut tebu. Selain itu pendekatan harga tebu juga dapat dilihat dari bagi hasil dalam bentuk gula pasir (natura) yang diterima petani, dengan mempertimbangkan tingkat rendemen dan nota gula yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan. Besarnya bagi hasil petani tersebut nilainya bervariasi baik dalam satu musim giling maupun antar musim giling. Dengan memperhitungkan nilai bagi hasil ratarata tersebut maka dapat diperoleh harga tebu per ton per periode. Sedangkan harga rata-rata raw sugar diperoleh dari estimasi harga raw sugar di dunia yang nilainya berfluktuasi. Harga raw sugar tersebut menggunakan harga raw sugar dari negara India dimana perusahaan mengimpor raw sugar dari negara India. Tabel 17 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) Kegiatan Produksi Gula pada Pabrik Gula Cepiring saat Musim Giling Tebua Variabel Jumlah Tebu Raw Sugar a
Rata-rata penggunaan 22 423,83
Koefisien Regresi 0.127
NPM (Rp)
BKM (Rp)
704 900.223
520 000
NPM/B KM 1.36
11 097,23
0.664
7 447 100.445
6 019 194.95
1.23
Sumber : Data Primer (diolah)
Rata-rata produksi gula pasir per periode dari tahun 2010-2012 adalah 11 621.02 ton dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 10 710 000,- per ton (Tabel 17). Penggunaan rata-rata bahan baku tebu dalam proses produksi gula pasir sebesar 22 423.83 ton per periode. Harga tebu per ton adalah Rp 520 000 per periode. Sedangkan penggunaan bahan baku raw sugar rata-rata dalam kegiatan produksi gula adalah 11 097.23 ton. Harga pembelian raw sugar per ton adalah Rp 6 019 194.95 dalam satu periode. Penggunaan rata-rata faktor produksi serta harga rataratanya digunakan untuk menduga besarnya rasio NPM dan BKM. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 17, terlihat bahwa penggunaan faktor produksi gula pada saat musim giling di PG Cepiring belum mencapai kondisi efisien. Hal ini ditunjukkan oleh rasio antara NPM dan BKM faktor produksi jumlah tebu dan raw sugar tidak sama dengan satu. Jumlah tebu mempunyai NPM sebesar Rp 704 900.223 yang mempunyai arti bahwa setiap penambahan pasokan satu ton tebu, akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 704 900.223. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 1.36 dengan harga rata-rata tebu sebesar Rp 520 000 per ton dan koefisien regresi
60 sebesar 0.127. Nilai rasio NPM dan BKM jumlah tebu lebih dari satu menyatakan bahwa jumlah pasokan tebu masih dapat ditingkatkan dalam kegiatan produksi untuk mencapai kondisi efisien. Oleh karena itu, perusahaan harus mengatur kembali jumlah tebu yang dipasok ke pabrik meliputi jadwal penanaman dan jadwal tebang angkut sehingga tidak terlalu banyak tebu yang mengalami penurunan tingkat rendeman karena terlalu lama menunggu. Hal ini berakibat penurunan produksi gula di PG Cepiring. PT IGN juga perlu melakukan pengawasan rutin kepada petani gara petani mitra tidak melanggar perjanjian dan menyetorkan tebunya ke PG Cepiring. PT IGN juga harus terus memperluas areal lahan sewaan pabrik sesuai target yang ditetapkan pabrik pada 2014 yaitu seluas 4 000 ha. Langkah lainnya adalah perusahaan dapat melakukan jaminan nilai rendemen minimal agar petani termotivasi untuk meningkatkan produksinya dan mengirim ke PG Cepiring. Jumlah raw sugar mempunyai NPM sebesar Rp7 447 100.445 yang mempunyai arti bahwa setiap penambahan pasokan satu ton raw sugar, akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 7 447 100.445. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 1.23 dengan harga rata-rata raw sugar sebesar Rp 6 019 194.95 per ton dan koefisien regresi sebesar 0.664. Nilai rasio NPM dan BKM raw sugar lebih dari satu menyatakan bahwa jumlah raw sugar masih dapat ditingkatkan dalam kegiatan produksi untuk mencapai kondisi efisien. Namun, peningkatan jumlah raw sugar ini mendapat kendala berupa izin impor yang dikeluarkan pemerintah. Karena yang menentukan berapa banyak kuota raw sugar yang dapat diimpor adalah pemerintah melalui Keputusan (SK 527/2004) yang dikeluarkan oleh menteri perindustrian dan perdagangan. Oleh karena itu, untuk mendapat izin impor peraturan pemerintah mewajibkan perusahaan harus dapat memenuhi target 75 persen pengolahan tebu dari kapasitas terpasang. Selain itu, kendala lainnya adalah perusahaan dibatasi untuk mengolah raw sugar saat musim giling sesuai yang tercantum di peraturan pemerintah. Jika kebijakan ini telah efektif diberlakukan maka perusahaan akan sulit mencapai efisiensi dengan penambahan raw sugar. Pendekatan yang bisa diambil adalah dengan mengoptimalkan penggunaan tebu sebagai bahan baku dan membangun PG yang khusus memproduksi raw sugar di Indonesia. Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Gula Diluar Musim Giling Pada model fungsi produksi kedua yang dilakukan diluar musim giling faktor produksi yang digunakan ada empat yaitu, raw sugar, rendemen raw sugar, tenaga kerja, dan bahan bakar. Dari empat faktor produksi tersebut hanya ada satu faktor produksi yang bisa dinilai tingkat efisiensinya yaitu raw sugar. Faktor produksi tenaga kerja dan bahan bakar tidak dapat dinilai efisiensinnya karena dinyatakan tidak signifikan terhadap produksi gula. Sedangkan rendemen raw sugar tidak dapat dinilai tingkat efisiensinnya terhadap produksi gula di PG Cepiring karena tidak dapat diketahui nilai nominal rupiahnya. Harga rata-rata raw sugar diperoleh dari estimasi harga raw sugar di dunia yang nilainya berfluktuasi. Harga raw sugar tersebut menggunakan harga raw sugar dari negara India dimana perusahaan mengimpor raw sugar dari negara India. Harga ini telah memperhitungkan nilai pajak yang masih dibebaskan oleh pemerintah atau raw sugar yang tidak dikenakan pajak.
61 Tabel 18 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) Dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) Kegiatan Produksi Gula Pada Pabrik Gula Cepiring Diluar Musim Giling Tebu Variabel Raw Sugar a
Rata-rata Koefisien NPM (Rp) penggunaan Regresi 14904.09 1.000 10 190 103.92
BKM (Rp)
NPM/BK M 6 019 194.95 1.58
Sumber : Data Primer (diolah)
Rata-rata produksi gula pasir per periode dari tahun 2010-2012 adalah 14 180.60 ton dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 10 710 000,- per ton. Sedangkan penggunaan bahan baku raw sugar rata-rata dalam kegiatan produksi gula adalah 14 904.09 ton. Harga pembelian raw sugar per ton adalah Rp 6 019 194.95 dalam satu periode. Penggunaan rata-rata faktor produksi serta harga rataratanya digunakan untuk menduga besarnya rasio NPM dan BKM. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 18, terlihat bahwa penggunaan faktor produksi gula diluar musim giling di PG Cepiring belum mencapai kondisi efisien. Hal ini ditunjukkan oleh rasio antara NPM dan BKM faktor produksi raw sugar tidak sama dengan satu. Jumlah raw sugar mempunyai NPM sebesar Rp 10 190 103.92 yang mempunyai arti bahwa setiap penambahan pasokan satu ton raw sugar, akan memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp 10 190 103.92. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 1.69 dengan harga rata-rata raw sugar sebesar Rp 6 019 194.95 per ton dan koefisien regresi sebesar 1.000. Nilai rasio NPM dan BKM raw sugar lebih dari satu menyatakan bahwa jumlah raw sugar masih dapat ditingkatkan dalam kegiatan produksi untuk mencapai kondisi efisien. Namun demikian, peningkatan jumlah raw sugar ini mendapat kendala berupa izin impor yang dikeluarkan pemerintah. Karena yang menentukan berapa banyak kuota raw sugar yang dapat diimpor adalah pemerintah melalui Keputusan (SK 527/2004) yang dikeluarkan oleh menteri perindustrian dan perdagangan. Berbeda dengan kondisi saat musim giling, diluar musim giling perusahaan bisa lebih fokus untuk mendatangkan raw sugar dan mengolahnya tanpa ada pembatasan lain kecuali kuota. Untuk menghindari hambatan kuota ini perusahaan perlu membuat rencana membangun PG yang memproduksi raw sugar demi keberlanjutan produksi. Dari beberapa analisis yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa kegiatan produksi gula pasir di PG Cepiring baik saat musim giling maupun diluar musim giling belum efisien. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan oleh komponen bahan baku produksi khususnya untuk jumlah tebu yang diambil dari petani terlalu rendah. Hal ini terkait dengan harga tebu yang diberikan kepada petani juga masih terlalu rendah. Selain itu inefisiensi disebabkan oleh pengalokasian sumberdaya atau faktor-faktor produksi yang kurang tepat. Pengaruh peraturan pemerintah dalam kebijakan impor raw sugar menjadi salah satu penghambat kondisi efisien dalam pabrik terpenuhi. Akibatnya, pencapaian keuntungan perusahaan belum mencapai tingkat yang maksimum. Kegiatan produksi gula di PG Cepiring dinilai belum efisien secara alokatif pada tingkat harga gula yang ditetapkan pemerintah. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan perusahaan yaitu, menambah jumlah input produksi berupa jumlah tebu dan raw sugar, dan meningkatkan harga gula di pasaran.
62 Upaya meningkatkan harga gula mungkin dilakukan jika pemerintah menaikkan tarif impor gula konsumsi atau dengan memberikan nilai tambah pada produk gula misalnya dalam hal packaging. Tujuannya agar harga gula lokal dapat bersaing dengan gula impor sehingga pabrik gula dapat beroperasi secara lebih efisien. Upaya meningkatkan input dapat dibagi menjadi dua, yaitu saat musim giling dan diluar musim giling. Upaya yang dapat dilakukan disaat musim giling adalah dengan mengoptimalkan pasokan bahan baku tebu ke pabrik. Langkah yang dapat ditempuh dengan mengatur kembali jadwal tanam dan tebang angkut, memperluas areal tebu sewa, pengawasan terhadap petani mitra terkait potensi pelanggaran perjanjian, dan meningkatkan nilai rendemen dengan jaminan rendemen minimal. Langkah ini akan mendorong petani untuk lebih memiliki motivasi dalam meningkatkan produksi tebu. Sedangkan upaya pengoptimalan raw sugar saat musim giling menemui kendala berupa kebijakan pemerintah yang membatasi kuota dan kebijakan pembatasan mengolah raw sugar saat musim giling. Jadi peningkatan jumlah tebu masuk pabrik merupakan langkah utama yang harus dioptimalkan. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi diluar musim giling adalah mengoptimalkan penggunaan raw sugar. Namun langkah ini terkendala kuota impor yang dikeluarkan pemerintah. Langkah yang bisa diambil adalah meningkatkan pasokan tebu saat musim giling mencapai 75 persen dari kapasitas produksi. Hal ini dilakukan agar izin kuota impor yang diajukan tidak mengalami masalah atau pengurangan. Langkah kedua dengan mengimpor raw sugar dari negara yang memberikan penawaran paling murah. Dan langkah ketiga adalah merencanakan pembangunan pabrik gula untuk produksi raw sugar. Hal ini dilakukan agar PG tidak bergantung pada kuota impor raw sugar yang ditetapkan pemerintah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap data hasil produksi saat musim giling maka dapat diketahui produksi gula di PG Cepiring saat musim giling dipengaruhi oleh faktor produksi jumlah tebu, rendemen, raw sugar, rendemen raw sugar, tenaga kerja total, dan bahan bakar. Dari keenam faktor tersebut ada empat faktor yang berpengaruh secara nyata pada produksi gula di PG Cepiring yaitu, jumlah tebu, rendemen tebu, raw sugar, dan rendemen raw sugar. Nilai Elastisitas untuk masing masing faktor produksi yaitu jumlah tebu (0.127), rendemen (0.295), raw sugar (0.664), rendemen raw sugar (0.774). Elastisitas produksi yang masuk dalam model di PG Cepiring untuk keseluruhan faktor produksi, yang berpengaruh nyata pada saat musim giling adalah 1.86. Hal ini berarti skala produksi gula berada pada skala usaha yang menaik (Increasing Return to Scale). Nilai tersebut menunjukkan jika masing-masing faktor produksi meningkat secara bersama-sama sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi gula di PG Cepiring sebesar 1.86 persen. Berdasarkan hasil analisis terhadap data hasil produksi diluar musim giling maka dapat diketahui produksi gula di PG Cepiring diluar musim giling
63 dipengaruhi oleh faktor produksi raw sugar, rendemen raw sugar, tenaga kerja total, dan bahan bakar. Dari keempat faktor tersebut ada dua faktor yang berpengaruh secara nyata pada produksi gula di PG Cepiring yaitu, raw sugar dan rendemen raw sugar. Nilai Elastisitas untuk masing masing faktor produksi yaitu raw sugar (1.000) dan rendemen raw sugar (1.013). Jumlah elastisitas produksi untuk keseluruhan faktor produksi, yang berpengaruh nyata diluar musim giling adalah 2.013. Hal ini berarti skala produksi gula berada pada skala usaha yang menaik (Increasing Return to Scale). Nilai tersebut menunjukkan bahwa jika masing-masing faktor produksi meningkat secara bersama-sama sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi gula di PG Cepiring sebesar 2.013 persen.Nilai elastisitas tersebut menunjukkan fungsi produksi diluar musim giling tebu memiliki elastisitas yang lebih besar daripada fungsi produksi saat musim giling tebu. Berdasarkan hasil analisis efisiensi alokatif dengan menggunakan rasio antara NPM dan BKM jumlah tebu, raw sugar (saat musim giling), dan raw sugar (diluar musim giling) diperoleh nilai rasio masing-masing 1.27 , 1.16, dan 1.58. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan faktor produksi tebu, raw sugar (saat musim giling), dan raw sugar (diluar musim giling) belum mencapai kondisi efisien secara alokatif pada tingkat harga input dan output yang berlaku. Sehingga perusahaan masih dapat meningkatkan penggunaan faktor produksi tersebut untuk mencapai kondisi efisien sehingga dapat mencapai tujuan perusahaan yaitu memaksimumkan keuntungan. Saran Dalam rangka meningkatkan produksinya maka sebaiknya perusahaan meningkatkan kualitas dan kuantitas dari pasokan bahan baku tersebut dengan melakukan pengaturan kembali terhadap jadwal tanam dan tebang serta penambahan luas areal. PG Cepiring juga perlu meningkatkan harga tebu petani dengan memberikan jaminan rendemen agar petani lebih produktif lagi dan semakin banyak petani yang menyetorkan hasil panennya ke PG Cepiring. karena peran tebu disini selain menjadi bahan baku juga penting untuk syarat mendatangkan raw sugar. Dalam rangka memenuhi pasokan raw sugar dalam jangka menengah PG Cepiring perlu melakukan pengembangan PG untuk produksi raw sugar. Untuk itu saran untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan studi kelayakan bisnis mengenai pendirian Pabrik Gula dengan produksi raw sugar. Untuk meningkatkan keuntungan PG Cepiring juga dapat mencari alternatif lain dengan mengimpor bahan baku raw sugar dari negara yang memberikan penawaran lebih murah. Untuk itu alangkah baiknya bila Penelitian selanjutnya dapat dilakukan peramalan harga raw sugar dunia. Dari segi kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Tengah perlu membuat Perda mengenai raw sugar untuk memperkuat kebijakan di tingkat pusat. Kebijakan tersebut mengenai izin bongkar muat raw sugar, subsidi rendemen tebu bagi perusahaan yang mengolah raw sugar, dan proporsi pengolahan raw sugar saat musim giling tebu . Dengan demikian PG akan lebih fokus mengolah tebu saat musim giling dan petani tidak akan dirugikan dengan impor raw sugar tersebut.
64
DAFTAR PUSTAKA Akerman, Y., Pramodo D, dan Wiryastuti. 2002. Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Gula Di Jawa. J.Tek. Industri Pert. Vol. J J (I), 27-34 Asnur, D. 1999. Pelaksanaan Kebijakan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/07_10_Pelaksanaan_T RI.pdf [BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (ID). 2007. Prospek dan arah pengembangan agribisnis tebu edisi kedua. Jakarta: Departemen Pertanian. Beattie, B R dan C Robert Taylor. 1996. Ekonomi Produksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. [DGI] Dewan Gula Indonesia (ID). 2012. Agribisnis Gula Indonesia. Laporan Intern, Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Doll, P J dan Frank O. 1984. Production Economics Theory With Applications. Second Edition. Canada : Jhon Wiley & Sons, Inc. Doll, P.J. 1974. On Exact Multicollinearity and the Estimating of the CobbDouglas Production Function. American Journal of Agricultural Economics, Vol 56 (3). Pp 556-562 [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan (ID). 2006. Road Map Swasembada Gula. Jakarta: Departemen Pertanian. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan (ID). 2013. Kegiatan 2013 untuk Terwujudnya Swasembada Gula 2014 . Jakarta: Departemen Pertanian Khudori, 2005. Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula. Jakarta (ID): LP3ES. [LRPI] Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (ID). 2004. Dengan Kemitraan, Petani dan Pabrik Gula Maju Bersama [Internet]. [diunduh 2013 Feb 4] tersedia pada:http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr245026. pdf Lipsey, R G, dkk. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jakarta (ID): Binarupa Aksara. Malian, H., dan Suci Indraningsih. 2004. Perspektif Pengembangan Industri Gula Di Indonesia. Bogor (ID):Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Mardianto, S, dkk. 2005. Peta Jalan (Roadmap) dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula Nasional. Jakarta (ID): Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1, Juli 2005: 19-37. Meiditha, N. 2003. Analisis Efisiensi Produksi Gula Pasir di Pabrik Gula Kebon Agung, Kabupaten Malang. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Mubyarto. 1984. Masalah industri gula di Indonesia. Yogyakarta: BPFE. Nicholson W. 1985. Teori Ekonomi MIkro. Deliarnov, penerjemah. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Perkasa. Terjemahan dari: Microeconomic Theory. Nurrofiq, A. 2005. Analisis Efisiensi Produksi Pabrik Gula. [skripsi].Bogor (ID):Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
65 Nuryanti, S. 2007. Usahatani Tebu Pada Lahan Sawah Dan Tegalan Di Yogyakarta Dan Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Pemikiran Mubyarto. Juli: 2007. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_23/artikel_7.htm. Pakpahan, A. 2003. “Ada Apa Dengan Gula?” Agrimedia, Vol. 8, No. 8, April:4451.http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/baijournal/Agus _Pakpahan. pdf Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri Gula Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan.. Purbo, S S L. 2008. Analisis efisiensi penggunaan faktor – faktor produksi dan pendapatan petani tebu di lahan kering (Studi kasus di Kecamatan Trangkil Wilayah Kerja PG Trangkil Kabupaten Pati – Jawa Tengah) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Purwono. 2011. Overview Industri Gula Nasional: Materi Kajian dan Diskusi Gula. Bogor (ID). Profil perusahaan PT Industri Gula Nusantara. [P3GI] Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (ID). 2008. Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional. Pasuruan : P3GI. Sabrina, A F. 2011. Pentingnya Kelembagaan Pada Kinerja Agribisnis Tebu Di PG Gempolkrep, Mojokerto, Jawa Timur. http://www.ditjenbun.deptan.go.id/bbp2tpsur/images/stories/perbenihan/jurn al.pdf. Savitri, R. 2010. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula PTPN VII (Persero) PG Cinta Manis [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Sawit, M H. 2010. Kebijakan Swasembada Gula Apanya yang Kurang?. Bogor (ID): pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan pertanian. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART8-4a.pdf Sekretariat Dewan Gula Nasional (ID). 2002. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional. Jakarta (ID): Departemen pertanian [DKP] Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (ID). 2003. Ekonomi Gula 11 Negara Pemain Utama Dunia Kajian Komparasi dari perspektif Indonesia. Rachmat Pambudy, editor. Jakarta: Dewan ketahanan pangan. Soekartawi. 2003. Teori Faktor Produksi: dengan pokok bahasan analisis fungsi Cobb-Douglas. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyatno, C. Muslim, dan T. Sulistyo, 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan dan Pendapatan Petani. Bogor (ID): Laporan Teknis Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan :Teori dan Aplikasi dengan SPSS. Yogyakarta : CV. Andi Offset Suprayoga, J. 2007. “Menghidupkan Lagi Industri Gula” Suara Merdeka, 20 Februari 2007. http://www.suaramerdeka.com/harian/0702/20/opi06.htm Supriyadi, A. 1992. Rendemen Tebu dan Lika-Liku Permasalahannya. Yogyakarta (ID): Kanisius. Suratiyah, K., Fitri S, dan Masyhuri. 2004. Efisiensi produksi Gula Di Pabrik Gula PT. Madu baru Yogyakarta. Yogyakarta (ID): Buletin Ilmiah Instiper vol 15 No. 2 Oktober 2008. LPPM Instiper
66 Susila, W R. 2005. Pengembangan industri gula Indonesia: Analisis kebijakan dari keterpaduan sistem produksi [disertasi]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, I. T. 2007. Analisis Efisiensi Produksi Gula di PG Madukismo, Yogyakarta [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wardani, N P. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Gula Di PT Perkebunan Nusantara IX Unit Pabrik Gula (PG) Mojo-Jawa Tengah. [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Widawarti, Tutik. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di Pabrik Gula Pagottan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yuniar, D dan Waridin. 2012. Biaya Dan Pendapatan Usahatani Tebu Menurut Status Kontrak (Studi Kasus di PT.IGN Cepiring Kab. Kendal). Semarang (ID): Diponegoro Journal Of Economics Volume 1 Nomer 1. http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme .
67
LAMPIRAN Lampiran 1 Data produksi gula di Pabrik Gula Cepiring per periode tahun 2010 – 2012 Periode
Jumlah Tebu (TON)
Jan-10 Feb-10 Mar-10 Apr-10 Mei-10 Jun-10 Jul-10 Agust-10 Sep-10 Okt-10 Nop-10 Des-10 Jan-11 Feb-11 Apr-11 Mei-11
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13547.99 33285.40 31011.05 13770.42 16685.76 13116.51 14484.89 16813.57 0.00 0.00 0.00
Rendemen (%)
Lama Melting (Hari)
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.18 6.00 5.17 5.26 5.20 5.12 4.65 4.66 0.00 0.00 0.00
29 27 29 29 30 30 29 29 28 28 29 31 31 27 29 30
Raw Sugar (Ton) 13573.49 12401.47 13866.78 15107.11 6657.18 10835.77 10515.79 8809.27 11729.74 12207.94 12961.11 13928.14 14077.98 12412.10 6591.08 18946.12
Rendemen Raw Sugar (%) 96.03 95.50 96.28 95.67 94.07 93.02 90.97 87.64 90.40 91.44 94.25 92.30 94.56 95.96 89.66 96.12
TK Tetap Musiman Total (Orang) (Orang) (Orang) 398 398 395 393 390 598 609 609 588 577 564 531 515 498 491 486
263 262 260 259 257 256 254 252 250 250 247 248 245 244 239 237
135 136 135 134 133 342 355 357 338 327 317 283 270 254 252 249
Bahan Bakar (Ton) 3558.17 3026.57 3358.17 3458.17 3673.97 3573.97 3458.17 3358.17 3242.37 3211.37 3358.17 3589.77 3589.77 2926.57 2958.17 3511.97
Total Bahan Pembantu (Ton) 138.25 127.35 137.98 149.51 72.92 189.42 370.31 333.25 201.81 234.41 207.17 228.91 225.36 97.45 42.30 155.22
Jumlah Gula (Ton) 13035.20 11842.85 13351.10 14453.55 6262.10 10912.80 11557.90 9311.65 11306.76 12010.43 12883.15 13525.10 14091.65 11910.15 5909.84 18271.46
67
68
68 Lanjutan Lampiran 1 Data produksi gula di Pabrik Gula Cepiring per periode tahun 2010 – 2012 Periode
Jumlah Tebu (TON)
Jul-11 Agust-11 Sep-11 Okt-11 Nop-11 Des-11 Jan-12 Feb-12 Mar-12 Apr-12 Mei-12 Jun-12 Jul-12 Agust-12 Sep-12 Rata-rata
43623.00 46880.00 42732.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3818.78 9894.74 18072.79 21487.18 18907.50 4468.47 0.00 11696.78
Rendemen (%)
Lama Melting (Hari)
6.03 6.28 6.17 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.18 6.08 6.95 7.27 7.73 8.09 0.00 3.32
31 29 30 31 30 31 31 28 18 31 31 30 31 30 31 29.29
Raw Sugar (Ton) 2527.16 2524.15 4516.51 17571.07 17626.26 19987.64 21501.43 11232.51 0.00 7119.88 15073.11 16997.58 17042.27 16689.26 21183.06 12.497.19
Rendemen TK Tetap Musiman Raw Total (Orang) (Orang) Sugar (%) (Orang) 77.84 97.78 78.46 92.07 92.70 94.36 96.72 98.69 0.00 88.95 94.32 95.73 96.18 93.05 95.52 93.04
586 575 577 495 493 471 241 256 256 535 552 549 547 546 543 492.32
238 231 232 232 231 229 241 240 240 240 240 239 239 238 236 244.16
348 344 345 263 262 242 0 16 16 295 312 310 308 308 307 248.16
Bahan Bakar (Ton) 3589.77 3358.17 3517.97 3609.77 3503.97 3589.77 3589.77 3242.37 1934.38 3589.77 3537.77 3473.97 3589.77 3403.97 3589.77 3.386.27
Total Bahan Pembantu (Ton) 185.64 215.95 169.88 141.53 142.04 164.01 178.09 94.57 51.18 150.50 330.65 380.36 356.74 218.85 207.03 190.28
Jumlah Gula (Ton) 4571.40 5391.15 6156.55 16177.55 16338.95 18861.05 20795.30 11084.95 144.00 7158.40 15475.07 17835.45 17856.80 15892.00 20234.35 12406.73
69 Lampiran 2 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan Delapan Faktor Produksi Saat Musim Giling Tebu
b
Model Summary Model
R
1
.993
R Square
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.987
.972
Durbin-Watson
.07052629
1.342
a. Predictors: (Constant), BP, LM, JT, RDM, RdmRS, TK, RS, BB b. Dependent Variable: Gula
a
ANOVA Model
Sum of Squares Regression
1
Residual Total
Df
Mean Square
2.648
8
.331
.035
7
.005
2.682
15
F 66.538
Sig. .000
b
a. Dependent Variable: Gula b. Predictors: (Constant), BP, LM, JT, RDM, RdmRS, TK, RS, BB
69
70
70 Lanjutan Lampiran 2 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan Delapan Faktor Produksi Saat Musim Giling Tebu Coefficients Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
t
a
Sig.
Correlations
Collinearity Statistics
Coefficients B (Constant)
1
Std. Error 7.884
8.406
JT
.126
.100
RDM
.247
LM
Beta
Zero-order
Partial
Part
Tolerance
VIF
.938
.380
.183
1.254
.250
-.580
.428
.054
.087
11.543
.145
.099
1.703
.132
.171
.541
.073
.549
1.822
1.788
3.128
.155
.572
.585
.053
.211
.025
.025
39.733
RS
.664
.104
.984
6.389
.000
.973
.924
.275
.078
12.787
RdmRS
.872
.503
.135
1.733
.127
.668
.548
.075
.305
3.274
TK
-.312
.979
-.037
-.319
.759
-.395
-.120
-.014
.138
7.240
BB
-1.770
2.437
-.158
-.726
.491
-.027
-.265
-.031
.039
25.473
BP
.006
.197
.004
.030
.977
.590
.011
.001
.098
10.187
a. Dependent Variable: Gula
71
Lanjutan Lampiran 2 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan Delapan Faktor Produksi Saat Musim Giling Tebu
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
Gula JT RDM LM RS RdmRS TK BB BP Gula JT RDM LM RS RdmRS TK BB BP Gula JT RDM LM RS RdmRS TK BB BP
Gula 1.000 -.580 .171 .053 .973 .668 -.395 -.027 .590 . .009 .264 .422 .000 .002 .065 .460 .008 16 16 16 16 16 16 16 16 16
JT -.580 1.000 -.141 -.092 -.668 -.403 .472 .049 .185 .009 . .301 .367 .002 .061 .032 .428 .246 16 16 16 16 16 16 16 16 16
Correlations RDM LM .171 .053 -.141 -.092 1.000 .263 .263 1.000 .070 .028 .127 -.096 -.037 -.626 .199 .940 .278 -.047 .264 .422 .301 .367 . .162 .162 . .399 .459 .319 .361 .446 .005 .231 .000 .149 .432 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16
RS .973 -.668 .070 .028 1.000 .579 -.372 -.040 .478 .000 .002 .399 .459 . .009 .078 .442 .031 16 16 16 16 16 16 16 16 16
RdmRS .668 -.403 .127 -.096 .579 1.000 -.354 -.154 .429 .002 .061 .319 .361 .009 . .089 .284 .049 16 16 16 16 16 16 16 16 16
TK -.395 .472 -.037 -.626 -.372 -.354 1.000 -.437 .099 .065 .032 .446 .005 .078 .089 . .045 .357 16 16 16 16 16 16 16 16 16
BB -.027 .049 .199 .940 -.040 -.154 -.437 1.000 -.051 .460 .428 .231 .000 .442 .284 .045 . .426 16 16 16 16 16 16 16 16 16
BP .590 .185 .278 -.047 .478 .429 .099 -.051 1.000 .008 .246 .149 .432 .031 .049 .357 .426 . 16 16 16 16 16 16 16 16 16
71
72 Lampiran 3 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Dengan Delapan Variabel
Lampiran 4 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Dengan Delapan Faktor Produksi
73 Lampiran 5 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan enam Faktor Produksi Saat Musim Giling Tebu b
Model Summary Model
R
1
.993
R Square
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.986
.977
Durbin-Watson
.06467727
1.317
a. Predictors: (Constant), BB, RS, RDM, TK, RdmRS, JT b. Dependent Variable: Gula
a
ANOVA Model
Sum of Squares Regression
1
Residual Total
df
Mean Square
2.645
6
.441
.038
9
.004
2.682
15
a. Dependent Variable: Gula b. Predictors: (Constant), BB, RS, RDM, TK, RdmRS, JT
F 105.376
Sig. .000
b
74
74 Lanjutan Lampiran 5
Coefficients Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
t
a
Sig.
Correlations
Collinearity Statistics
Coefficients B (Constant)
1
Std. Error 6.319
7.471
JT
.127
.041
RDM
.295
RS RdmRS
Beta
Zero-order
Partial
Part
Tolerance
VIF
.846
.420
.185
3.119
.012
-.580
.721
.123
.443
2.258
.106
.118
2.786
.021
.171
.681
.110
.870
1.150
.664
.041
.984
16.366
.000
.973
.984
.646
.431
2.320
.774
.342
.120
2.261
.050
.668
.602
.089
.555
1.802
TK
-.741
.484
-.088
-1.530
.160
-.395
-.454
-.060
.475
2.105
BB
-.454
.577
-.040
-.787
.452
-.027
-.254
-.031
.589
1.698
a. Dependent Variable: Gula
75 Lampiran 6 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi Dengan Enam Variabel
Lampiran 7 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi Dengan Delapan Faktor Produksi
76 Lampiran 8 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan enam Faktor Produksi diluar Musim Giling Tebu
a
ANOVA Model
Sum of Squares Regression
1
Residual Total
df
Mean Square
1.971
6
.328
.000
7
.000
1.971
13
a. Dependent Variable: Gula b. Predictors: (Constant), BP, TK, LM, RDMrs, BB, RS
F 345719.215
Sig. .000
b
77 Lanjutan Lampiran 8
78 Lampiran 9 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan Enam Variabel
Lampiran 10 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan Enam Faktor Produksi
79
Lampiran 11 Hasil Analisis Regresi Dengan Memanfaatkan empat Faktor Produksi diluar Musim Giling Tebu b
Model Summary Model
1
R
1.000
R Square
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
1.000
1.000
Durbin-Watson
.00097979
1.690
a. Predictors: (Constant), BB, TK, RS, RDMrs b. Dependent Variable: Gula
a
ANOVA Model
Sum of Squares Regression
1
Residual Total
df
Mean Square
1.971
4
.493
.000
9
.000
1.971
13
a. Dependent Variable: Gula b. Predictors: (Constant), BB, TK, RS, RDMrs
F 513263.759
Sig. .000
b
80
80 Lanjutan Lampiran 11
Coefficients Model
Unstandardized
Standardiz t
Coefficients B
a
Sig.
Correlations
Collinearity
ed Coefficients Std.
Statistics
Beta
Zero-
Error
order -
Parti
Part Tolerance
VIF
.759
.602
1.661
al
(Constant)
-4.685
.085
RS
1.000
.001
.978
1086.933
.000
.998
RDMrs
1.013
.016
.062
64.208
.000
.384
.999
.045
.516
1.940
TK
.002
.001
.001
1.028
.331
.011
.324
.001
.573
1.744
BB
.001
.004
.000
.301
.770
.472
.100
.000
.741
1.350
55.167
.000
1
a. Dependent Variable: Gula
1.00 0
81 Lampiran 12 Hasil Visual Uji Normalitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan Empat Variabel
Lampiran 13 Hasil Visualisasi Asumsi Homoskedastisitas Analisis Regresi diluar musim giling Dengan Enam Faktor Produksi
82
82 Lampiran 14 Bagan Proses Produksi PG Cepiring RAW SUGAR
Suikerriet - TEBU Suikerriet
Timbangan Suikerriet tebu Timbangan tebu
ketel boiler Boiler
bezinksel ampas Gilingan Gilingan
SCHAAL – SCALE Scale
Centrifugal C Melasse
Water
MOLASSES C
Melter Ketel
Air imbibisi
V.Pan C
Ca(OH)2
Defektator
pH= 10.5 DE Timbangan Timbangan Nira Nira
Juice Heater 0 Sap kachel II II 102-105 C
Carbonator I Centrifugal B CENTRIFUGAAL B
V.Pan B
Clarifier
Carbonator II
Ca(OH)2
A MOLL
SAP - filter Nira tapis
Clarifier
CO2(g) Ube - UBE
Sap kachel I I Juice heater 0 Juice heater I 70 C DEFEKATOR Defektator DEFEKATOR PH 7,2-7,5
Evaporator Brix 62-65
CENTIFUGAAL Centrifugal A
celite RPLF
V.Pan A
Filterpers Filter
Press
BLQ
CAKE V.Pan White
Vacuum filter Vacuum filter White Run off
Putaran WS White Sugar
Blotong Blotong
Zoetwater Sweet
83 Lampiran 15 Struktur Organisasi PG Cepiring RUPS PTPN IX & PT MMM
Komisaris Direktur Utama Arwan Ahimsa Direktur Operasional Herry K
Direktur Eksekutif Togar Rudi
Manajer umum Produksi Roesbandi Manager umum Komersial Purwanto P
Manager umum HR & GA Sugeng Setia Wk. Manajer umum Produksi
Imam S Acounting & Financial Eny Setyowati
Staf dan karyawan
Staf dan karyawan
Staf dan karyawan
Proses &Lab Darsono
Staf dan karyawan
Power Plant Benediktus
Staf dan karyawan
Teknik Basiran
Staf dan karyawan
Tanaman Giardi
Staf dan karyawan
83
84 Lampiran 16 Dokumentasi Penelitian
Gambar 5. Bibit Tebu
Gambar 6. Pengolahan Lahan
Gambar 7. Tanam Tebu
Gambar 8 Pemupukan Pasca Tanam
Gambar 9 Tanaman Tebu Muda
Gambar 10Tebu Siap Panen
Gambar 11 Gerbang Utama
Gambar 12Timbangan
85 Lanjutan lampiran 16 Dokumentasi Penelitian
Gambar 13 Pabrik Gula Cepiring
Gambar 14 Gilingan Tebu
Gambar 15 Kantor Besar
Gambar 16Cerobong Asap
Gambar 17 Kapur tohor
Gambar 18Kondisi Dalam Pabrik
Gambar 19 Stasiun Purifikasi
Gambar 20 Mesin Packaging
86 Lanjutan Lampiran 16 Dokumentasi Penelitian
Gambar 21 Stasiun Kristalisasi
Gambar 22 Tabung Molases
Gambar 23Gudang Raw Sugar
Gambar 24 Gudang Gula Kristal Putih
Gambar 25 Gula Kristal Putih
Gambar 26 Melter
87
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 27 November 1991. Penulis merupakan putra terakhir dari keluarga Bapak Drs. H. Maisuri Abdullah dan Ibu Hj. Intifa’ah (Alm). Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan akademis penulis dimulai sejak tahun 1995 dengan bersekolah di TK Nasima, Semarang. Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Nasima Semarang pada tahun 2003, yang dilanjutkan dengan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 1 Semarang sejak tahun 2003 hingga tahun 2006. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Semarang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SNMPTN. Penulis diterima di Program studi Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa, penulis aktif di berbagai organisasi yaitu Organisasi Mahasiswa Daerah Patra Atlas Semarang, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Ekonomi Manajemen, Beswan Djarum IPB, dan Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA). Penulis juga pernah menjadi juara dalam LKTI Nasional Karet Perhepi Jambi Sebagai Juara I, LKTI Nasional Green Economy Popmasepi UNSRI sebagai Juara III, dan Kompetisi Bisnis Plan Nasional Universitas Trisakti sebagai Juara Harapan I.