ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR
RETNA DEWI LESTARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Retna Dewi Lestari NIM H351130181
RINGKASAN RETNA DEWI LESTARI. Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Dibimbing oleh LUKMAN MOHAMMAD BAGA dan RITA NURMALINA. Sapi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi sapi potong skala peternakan rakyat mengalami peningkatan mulai tahun 2007 sampai tahun 2013 sebesar 3 188 juta ekor (Ditjennak 2014). Walaupun Indonesia memiliki potensi pengembangan peternakan, untuk pemenuhan konsumsi daging sapi dalam negeri masih dicukupi dengan daging sapi impor, tahun 2014 untuk konsumsi dan industri sebanyak 620 ribu ton, sedangkan produksi daging sapi sebanyak 539 ribu ton (86.93 persen), sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar 81 ribu ton (13.07 persen). Dengan kondisi peternakan sapi yang belum mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri pada era globalisasi ini, usaha peternakan di Indonesia dihadapkan pada perdagangan bebas, sehingga diharapkan produk-produk peternakan memiliki daya saing. Sentra populasi sapi potong terbesar berada di Provinsi Jawa Timur dengan Kabupaten Bojonegoro merupakan Kabupaten yang tingkat pertumbuhan populasi sapinya terbesar tahun 2009 sampai 2013 dibandingkan dengan Kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 13.99 persen. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Analisis dan pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan juga kuantitatif. Pengolahan data dengan metode kualitatif digunakan untuk menguraikan secara deskriptif gambaran umum lokasi penelitian dan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Pengolahan data dengan metode kuantitatif menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix). Penelitian ini dilakukan di di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro dengan responden peternak sebanyak 40 orang yang melakukan usaha penggemukan sapi potong. Data yang dikumpulkan merupakan data primer melalui teknik wawancara menggunakan kuisioner. Berdasarkan analisis keuntungan diketahui bahwa keuntungan usaha pengemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro pada harga privat dan harga sosial bernilai negatif yaitu masing-masing sebesar Rp5 415.39 per kilogram dan Rp3 445.52 per kilogram, hal ini menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro tidak menguntungkan. Analisis daya saing dihitung dengan pendekatan keunggulan komparatif (Domestic Resources Cost Ratio) dan keunggulan kompetitif (Privat Cost Ratio), berdasarkan hasil penelitian nilai DRC dan PCR masing-masing adalah 1.04 dan 1.05, hasil ini menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro tidak memiliki daya saing. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input sapi potong di Kabupaten Bojonegoro menunjukan transfer input bernilai negatif, hal ini berarti peternak membayar input tradable yang lebih murah dibandingkan dengan harga harga sosialnya sebesar – Rp329.18 per kilogram. Nilai
transfer output usaha pengemukan sapi di Kabupaten Bojonegoro lebih besar dari pada 0, yaitu sebesar Rp9 116.00, mengindikasikan bahwa peternak menerima harga output daging sapi lebih besar dari harga sosialnya. Secara keseluruhan, dampak kebijakan input-output usaha sapi potong di Kabupaten Bojonegoro belum mampu untuk mendukung daya saing usaha penggemukan sapi potong, ditunjukan dengan nilai transfer bersih –Rp1 969.88, nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 1.10, nilai koefisien keuntungan (PC) sebesar 0.64, dan nilai rasio subsidi produsen (SRP) sebesar -0.02. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas dan elastisitas diketahui bahwa kebijakan yang paling peka dalam meningkatkan daya saing adalah kebijakan peningkatan PBBH (Pertambahan Bobot Badan Harian) sapi potong. Implikasi kebijakan yang dapat diterapkan agar usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro berdaya saing adalah dengan meningkatkan PBBH sebesar 17.33 persen atau setara dengan 0.11 kg per harinya dari PBBH sebelumnya yaitu 0.55 kg per hari, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian input pakan dan konsentrat yang berkualitas. Selain itu berdasarkan karakterisitik peternak di Kabupaten Bojonegoro adalah masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengalaman beternak maka diperlukan penyuluhan kepada peternak mengenai pentingnya pakan yang berkualitas dan untuk meningkatkan kemampuan peternak diperlukan adanya pelatihan dan pendampingan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terkait teknologi peningkatan kualitas pakan yaitu fermentasi jerami, fermentasi silase (pakan hijauan) seperti daun jagung dan daun tebu, sumplemen UMB (Urea Molasis Block) yang merupakan percampuran antara molase (tetes tebu) dengan urea, serta pemanfaatan limbah sapi untuk meningkatkan pendapatan peternak. Kata kunci: daya saing, policy analysis matrix, usaha penggemukan, sapi potong
SUMMARY RETNA DEWI LESTARI. Competitiveness Analysis Beef Cattle Fattening in Bojonegoro District, East Java. Supervised by LUKMAN MOHAMMAD BAGA and RITA NURMALINA. Beef is one commodity that has the potential to be developed in Indonesia. Beef cattle population increased micro scale farm starting from 2007 until 2013 amounted to 3 188 million head (Ditjennak 2014). Although Indonesia has the potential for development of animal husbandry, for the fulfillment of the consumption of beef in the country remains satisfied with imported beef, in 2014 for consumption and industry as much as 620 thousand tons, while beef production as much as 539 thousand tonnes (86.93 percent), so that there is a deficiency of supply of 81 thousand tonnes (13.07 percent). With the condition of beef cattle that have not been able to the needs of domestic meat in this era of globalization, livestock operations in Indonesia are faced with free trade, so expect farm products competitive. The beef cattle population centers are Bojonegoro in East Java with a district that is the biggest beef population growth rate in 2009 until 2013 compared to other districts in East Java Province in the amount of 13.99 percent. The purpose of this study is to analyze the competitiveness and impact of government policy on beef cattle fattening in Bojonegoro. Analysis and data processing is done qualitatively and quantitatively. Processing of data with qualitative methods are used for descriptive outlines a general overview of the study site and beef cattle fattening in Bojonegoro. Quantitative data processing methods using PAM (Policy Analysis Matrix). This research was conducted in the village Napis, Tambakrejo District, Bojonegoro with farmers respondents as many as 40 respondents doing beef cattle fattening. The data collected is of primary data through interview using a questionnaire. Based on the analysis of the advantages in mind that profits fattening beef cattle in Bojonegoro in private and social price is negative, Rp5 415.39 per kilogram and Rp3 445.52 per kilogram, indicating that fattening beef cattle in Bojonegoro not profitable. Analysis of competitiveness calculated by the approach of comparative advantage (Domestic Resources Cost Ratio) and competitive advantage (Private Cost Ratio), based on the results of the research value of the DRC and PCR respectively 1.04 and 1.05, these results show that fattening beef cattle in Bojonegoro not competitiveness. The impact of government policy on the input of beef cattle in Bojonegoro shows the input transfer is negative, it means that farmers pay tradable inputs are cheaper than the price of its social price - Rp329.18 per kilogram. The transfer value of cattle output pengemukan business in Bojonegoro is greater than 0, namely Rp9 116.00, indicating that the farmer receives the output price of beef is greater than the social price. Overall, the impact of input-output policy beef cattle business in Bojonegoro has not been able to support the competitiveness of beef cattl fattening, indicated by the net transfer value -Rp1 969.88, effective protection coefficient (EPC) of
1.10, the value of gain coefficient (PC) at 0.64, and the ratio of subsidies producers (SRP) of -0.02. Based on the analysis of sensitivity and elasticity is known that the most sensitive policy in improving competitiveness is the policy of increasing ADBW (Added Daily Body Weight) beef cattle. Policy implications that can be applied in order fattening beef cattle in Bojonegoro competitiveness is to increase PBBH of 17.33 percent, equivalent to 0.11 kg per day of ADBW previous 0.55 kg per day, one of the efforts that can be done is by providing input feed and quality concentrates. Also based on the characteristics of farmers in Bojonegoro is still low level of education and experience of breeding it is necessary to educate farmers about the importance of quality feed and to improve the ability of farmers needed training and assistance from the Government of Bojonegoro related technologies improve the quality of beef cattle feed is fermented straw, fermentation silage (forage) such as corn leaves and leaves of sugarcane, UMB suplements (Urea Molasis Block) which is a mixture of molasses with urea, as well as waste utilization beef cattle to increase the income of farmers. Keywords: beef cattle, competitiveness, fattening farm, policy analysis matrix
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR
RETNA DEWI LESTARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr. Amzul Rifin, SP., MA
Penguji Wakil Program Studi
: Dr. Ir. Suharno, M.ADev
Judul Tesis
Analisis
Daya
Saing
Usaha
Penggemukan
Sapi
Potong
di
Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur Nama
Retna Dewi Lestari
NIM
H351130181
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
c___-..-t
c::Y-
Dr Ir Lukman M Baga, MAEc
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
�
�·
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tangga1 Ujian: 16 Desember 2015
Tanggal Lulus
2
5 JAN 2 O 16
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah daya saing, dengan judul Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lukman M Baga, MAEc dan Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Amzul Rifin, SP., MA selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Suharno, M.ADev selaku penguji dari program studi yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, nenek, mbak, mas, dan seluruh keluarga besar, serta sahabat-sahabat penulis atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Peternakan Kabupaten Bojonegoro, KSU Lembu Seto Desa Napis dan Bapak Supriyanto beserta keluarga besar yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan kepada tim JAI, keluarga O61 dan rekan-rekan Magister Sains Agribisnis Angkatan IV. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016 Retna Dewi Lestari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
LAMPIRAN
ix
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 4 6 6 7
2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Kebijakan Pemerintah Terkait Peternakan Sapi Potong 7 Daya Saing Peternakan Sapi Potong 9 Pengaruh Kebijakan PemerintahTerhadap Daya Saing Ternak 11 Pengukuran Daya Saing dengan Analisis PAM (Policy Analysis Matrix) 12 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Perdagangan Internasional Konsep Daya Saing Keunggulan Komparatif Keunggulan Kompetetif Konsep Kebijakan Pemerintah Kebijakan Pemerintah terhadap Barang Impor dan Hambatan (Retriksi) Kebijakan Pemerintah pada Harga Input Policy Analysis Matrix Analisis Sensitivitas Kerangka Pemikiran Operasional
14 14 14 15 17 18 19 22 24 26 27 28
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penentuan Responden Metode Pengolahan dan Analisis Data PAM (Policy Analysis Matrix) Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah Penentuan Alokasi Komponen Input Output Penentuan Harga Bayangan Identifikasi Kebijakan Analisis Sensitivitas
30 30 31 31 32 32 34 36 37 39 40
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Karakteristik Peternak Responden Kepemilikan Ternak Lama Penggemukan Sapi Potong Keragaan Usaha Penggemukan Sapi Potong Kesehatan Ternak dan Pertambahan Bobot Ternak Saluran Pemasaran Kebijakan Input Usaha Penggemukan Sapi Potong Kebijakan Output Usaha Penggemukan Sapi Potong Kebijakan Input Output Usaha Penggemukan Sapi Potong
43 43 45 48 49 50 52 53 55 58 59
6 ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI Analisis Keuntungan Usaha Penggemukan Sapi Potong Struktur Penerimaan dan Biaya Usaha Penggemukan Sapi Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Bojonegoro Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Analisis Sensitivitas dan Elastisitas Usaha Penggemukan Sapi Potong Implikasi Kebijakan
60 60 62 64 68 74 80
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
82 82 83
DAFTAR PUSTAKA
84
LAMPIRAN
89
RIWAYAT HIDUP
92
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Perkembangan produksi daging di Jawa Timur tahun 2011-2013 Klasifikasi kebijakan harga pada komoditas pertanian Populasi sapi potong dan produksi daging di Kabupaten Bojonegoro tahun 2013 Policy Analisis Matrix (PAM) Alokasi komponen input dan output Identifikasi kebijakan pemerintah terkait usaha penggemukan sapi potong Penggunaan lahan di Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro Karakteristik peternak responden di Kabupaten Bojonegoro Sebaran peternak menurut kepemilikan ternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Lama penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Keuntungan usaha penggemukan sapi potong di Bojonegoro Struktur penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi potong PAM usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Hasil indikator dampak kebijakan input terhadap usaha pengemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Indikator dampak kebijakan output terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Indikator dampak kebijakan input-output terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Dampak perubahan input dan output terhadap keuntungan privat dan sosial usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Elastisitas perubahan daya saing terhadap harga output dan input Analisis switching value PBBH untuk mencapai daya saing
4 20 30 33 36 40 45 46 48 49 61 63 65 69 70 71 72 75 76 79 79
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor Kebijakan hambatan perdagangan barang impor dan barang ekspor Penerapan kebijakan sajak dan subsidi pada input tradable Penerapan kebijakan pajak dan subsidi pada input non tradable Kerangka pemikiran daya saing ternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Persentase kenaikan harga daging sapi lokal dan dunia Pertambahan bobot sapi di Kabupaten Bojonegoro Saluran pemasara sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
22 24 24 26 29 42 53 54
9
Keunggulan komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
67
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange rate, tahun 2014 Penentuan harga bayangan sapi bakalan Penentuan harga bayangan sapi hidup Penentuan harga bayangan daging sapi Penentuan harga bayangan bensin Penentuan harga bayangan garam Penentuan harga bayangan vitamin b complex Penentuan harga bayangan albenol
89 89 90 90 90 90 91 91
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini didukung dengan adanya sumber daya alam yang berlimpah, seperti untuk pakan dan daya dukung dari segi iklim tropis yang cocok untuk peternakan sapi. Selain didukung dengan kondisi alam yang cukup baik, permintaan akan pangan hewani asal ternak seperti daging sapi, cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan. Berdasarkan pangsa konsumsi daging penduduk Indonesia pada tahun 2013 (BPS 2014), daging sapi menempati posisi ketiga yaitu sebesar 16.16 persen, sedangkan konsumsi daging unggas sebesar 56.98 persen, kemudian sisanya 26.86 merupakan konsumsi daging ternak lainnya. Populasi sapi potong skala peternakan rakyat mengalami peningkatan mulai tahun 2007 sampai tahun 2013 sebesar 3 188 juta ekor (Ditjennak 2014). Sementara itu secara nasional berdasarkan data BPS 2014 kebutuhan daging sapi tahun 2014 untuk konsumsi dan industri sebanyak 620 ribu ton, sedangkan produksi daging sapi sebanyak 539 ribu ton (86.93 persen), sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar 81 ribu ton (13.07 persen). Kekurangan ini dipenuhi dari impor berupa sapi hidup dan daging sapi yaitu sapi hidup sebanyak 296 ribu ekor (setara dengan daging 52 ribu ton) dan impor daging sapi beku sebanyak 29 ribu ton. Berdasarkan data tersebut untuk pemenuhan konsumsi daging sapi dalam negeri masih dicukupi dengan daging sapi impor. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah agar Indonesia tidak semakin tergantung dengan impor daging sapi, yaitu salah satunya dengan pencanangan PSDSK (Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau). PSDSK yang dicanangkan untuk dicapai pada tahun 2014 merupakan bagian dari sasaran utama pembangunan pertanian periode 20102014. Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk mendukung PSDSK. Demikian juga berbagai program di daerah dibuat untuk meningkatkan populasi sapi demi keberhasilan PSDSK. Peningkatan populasi sapi melalui upaya perbenihan, khususnya inseminasi buatan (IB), masih merupakan pilihan utama disamping pembibitan rakyat dengan cara alami (VBC), (Reza 2012). Namun, pada kenyataannya PSDSK yang dicanangkan Pemerintah, dirasakan masih sulit untuk menjadikan Indonesia berswasembada daging tahun 2014. Pada tahun 2013 impor sapi hidup adalah 130 041 ton atau senilai dengan 338 juta U$D, dan untuk impor daging sapi yaitu sebesar 48 000 ton yang senilai dengan 223 U$D (Basis Data Ekspor-Impor Deptan 2014). PSDSK 2014 sebenarnya merupakan program lanjutan yang telah dicanangkan sebelumya sejak tahun 2001-2005. Pada waktu itu, program bernama Program Kecukupan Daging Sapi yang diartikan tersedianya secara cukup pangan hewani berupa ternak khususnya daging sapi sampai tingkat rumah tangga. Pengertian ketersediaan tersebut adalah paling tidak 90 persen tersedia dari supply dalam negeri, sehingga kecukupan bersifat swasembada on trend, yang artinya pada kurun waktu tertentu dapat saja dilakukan impor (Daryanto 2010).
2 Pada kenyataannya tanda-tanda keberhasilan PSDSK 2014 belum tercapai sampai sekarang. Jumlah populasi sapi potong di Indonesia tersisa hanya 12.68 juta ekor. Ini berarti penurunan 24.07 persen bila dibanding angka populasi sapi pada 2011 yang mencapai 16.70 juta ekor (Sensus Pertanian 2013). Dalam dua tahun, populasi sapi berkurang 4.02 juta ekor. Hal ini terjadi diduga terkait dengan kebijakan Kementerian Pertanian yang memperketat impor sapi bakalan mau pun sapi potong. Akibatnya, permintaan yang meningkat menyebabkan sapi yang dipotong jauh lebih banyak daripada sapi yang lahir. Peternak di daerah sentra sapi saat ini enggan menjual sapi karena harganya yang rendah. Para peternak mengeluhkan hal ini karena insentif pasar yang sangat rendah membuat peternak enggan beternak sapi. Mereka menahan sapinya untuk menunggu sampai harga membaik. Harga yang rendah dan lesunya transaksi penjualan sapi ini ditengarai karena adanya stock sapi dalam negeri yang berlebihan akibat impor. Di balik pesatnya impor sapi bakalan dan sapi siap potong, sektor ini diduga telah menjadi penyebab tidak berkembangnya peternakan rakyat, padahal dengan adanya bakalan impor dapat menjadi pengendali terhadap pengurasan sapi impor yang jumlahnya semakin menurun karena pemotongan yang tidak terkendali termasuk pemotongan sapi betina produktif. Permintaan, dan konsumsi daging sapi yang berfluktuasi, bahkan cenderung meningkat menyebabkan harga daging sapi juga akan meningkat. Pada tahun 2010 sampai 2012 harga daging sapi rata rata meningkat yaitu sebesar 12.3 persen, dan pada tahun 2012 akhir sampai tahun 2014 harga daging sapi meningkat cukup tajam yaitu 22.5 persen, dengan harga tertinggi terjadi bulan oktober 2014 yaitu mencapai Rp102 000,00 per kilogramnya (Kemendag, 2015). Harga daging sapi yang meningkat ini seharusnya bisa memacu peternak lokal, namun kenyataan malah sebaliknya kenaikan harga daging tidak membuat peternak terpacu untuk meningkatkan kuantitas ternaknya, hal ini terjadi karena tidak adanya insentif dari Pemerintah, sehingga dari segi penawaran dari peternak lokal masih cukup rendah. Selain jumlah permintaan dan penawaran daging sapi yang tidak seimbang, peternakan sapi di Indonesia masih didominasi oleh peternakan rakyat. Secara teoritis, relatif mahalnya harga daging sapi di pasar domestik akan merangsang produsen sapi potong untuk meningkatkan produksinya. Fenomena ekonomi ini tampaknya tidak berjalan pada peternak rakyat. Hal ini banyak disebabkan karena usaha sapi potong bagi peternak rakyat masih bersifat sambilan dan cenderung berfungsi sebagai tabungan dan atau status sosial. Pada pola dan peran usaha sapi potong peternak rakyat yang pengambilan keputusan bagi peternak rakyat, melainkan lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan non ekonomi. Peternakan sapi potong rakyat di Indonesia sebagian besar masih merupakan usaha sambilan atau pelengkap usaha penggemukan dengan karakteristik utama jumlah ternak yang diperlihara sangat terbatas dan masukan (input) teknologi yang rendah. Skala usaha ternak sapi potong umumnya antara 1 sampai 4 ekor per rumah tangga peternak sapi potong (Widiyazid et al. 1999). Pada tingkat pemeliharaan minimum 6 ekor per rumah tangga sudah dapat dikategorikan kepada usaha peternakan sapi potong skala kecil, yaitu usaha ternak sapi potong yang telah mulai berorientasi ekonomi. Pada skala tersebut perhitungan keuntungan dan masukan teknologi sudah mulai diterapkan walaupun masih sangat sederhana (Rochadi et al. 1993). Hal ini merupakan salah satu
3 penyebab fluktuasi harga daging sapi tidak responsif terhadap penawaran domestik daging sapi. Pada era globalisasi saat ini, melihat kondisi usaha peternakan yang demikian tentunya usaha peternakan di Indonesia dihadapkan pada persaingan yang makin ketat. Di dalam negeri sendiri, usaha peternakan rakyat yang mengusahakan secara komersial dihadapkan pada usaha penggemukan sapi (feedlot) pada tingkat perusahaan yang mengaplikasikan teknologi pakan dalam usahanya. Sedangkan di luar negeri, perdagangan bebas menjadi salah satu tantangan terbesar produk-produk peternakan Indonesia seperti daging sapi dan susu. Tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), yang merupakan kesepakatan antar Negara ASEAN termasuk Indonesia untuk menyatukan perekonomian ASEAN yang berarti menyepakati pembebasan arus barang, jasa, tenaga kerja, investasi, dan modal. Selain itu kesepakatan di bidang Pertanian (Agreement on Agriculture, AoA), yang merupakan bagian dari Kesepakatan Umum di bidang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tarif and Trade, GATT), dalam wadah Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization),dan kebijakan pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN Australia Selandia Baru (Agreement Establishing the ASEAN Australia New Zealand Free Trade Area) adanya pembebanan tariff bea masuk atas barang impor berdasarkan Harmonized System Tahun 2012 dari Negara anggota ASEAN, Australia, dan Selandia Baru, kemudian dalam rangka AANZFTA mulai pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2020 telah disepakati skema penurunan tarif bea masuk. Adanya berbagai kesepakatan perdagangan yang diikuti oleh Indonesia memberikan sinyal bahwa produk-produk pertanian termasuk produk perternakan harus memiliki daya saing, untuk menghadapi persaingan bebas secara global. Sesuai dengan kondisi tersebut maka diperlukan penelitian daya saing sapi potong di daerah sentra, yang bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, dan implikasi kebijakan apa yang tepat untuk meningkatkan daya saing komoditas sapi potong di daerah sentra. Sentra populasi sapi potong di Indonesia berada di Pulau Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Sumatera. Provinsi dengan populasi sapi potong terbesar di Indonesia adalah Jawa Timur, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Lampung. Berdasarkan data Ditjennak (2014) populasi sapi potong Provinsi Jawa Timur tahun 2013 mencapai 5 058 853 ekor, angka tersebut berkontribusi sebesar 30.46 persen dari populasi sapi potong secara keseluruhan Indonesia. Pertumbuhan populasi sapi potong di Jawa Timur dari tahun 2012 sampai tahun 2013 sebesar 2.04 persen, lebih lambat perkembangannya dibandingkan pertumbuhan rata-rata nasional yang mencapai angka 3.92 persen. Berikut data populasi sapi potong di Kabupaten sentra, Provinsi Jawa Timur.
4 Tabel 1 Pertumbuhan populasi sapi di kabupaten sentra, Provinsi Jawa Timur tahun 2009-2013 Keterangan 2009 2010 2011 2012 1. Sumenep 296 978 316 571 357 038 360 862 2. Tuban 221 122 202 835 312 013 314 810 3. Probolinggo 188 929 177 170 287 480 296 867 4. Jember 225 417 237 675 324 230 350 170 5. Malang 142 344 147 865 225 895 240 746 6. Bondowoso 164 316 172 877 203 735 212 621 7. Bangkalan 155 454 164 201 193 576 205 157 8. Kediri 114 751 123 954 138 139 217 943 9. Sampang 123 597 176 076 196 414 196 807 10. Bojonegoro 127 624 182 297 290 879 201 992 Sumber : BPS, Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2012-2014 (Diolah)
2013 349 095 311 359 239 564 217 763 189 145 188 740 186 027 141 727 140 849 170 037
Growth(%)
4.02 11.33 10 3.01 10.44 4.04 5.04 10.56 6.44 13.99
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa Kabupaten Bojonegoro merupakan Kabupaten yang tingkat pertumbuhan populasi sapinya terbesar tahun 2009 sampai 2013 dibandingkan dengan Kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Timur. Bojonegoro juga merupakan satu dari dua Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang dijadikan sebagai Kabupaten penerapan Sistem Integrasi Padi-Sapi (SIPT) yang berlangsung selama 2 tahun yaitu tahun 2004 sampai 2005. Selain itu Kabupaten Bojonegoro juga merupakan daerah yang terpilih menjadi Klaster Pembibitan Sapi Potong Lokal Nasional pada tahun 2011 sampai 2013 yang diadakan oleh Bank Indonesia Surabaya. Kemudiaan pada tahun 2014 ini Kabupaten Bojonegoro bekerjasama dengan PSP3 IPB (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan) dalam rangka pengadaan Sekolah Peternak Rakyat (SPR) yang bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi impor dan menjaga indukan lokal agar tidak punah, serta berusaha meningkatkan kesejahteraan peternak lokal melalui aliansi bisnis dan peternak yang berdaulat. Banyaknya program untuk peternak sapi potong yang diselenggarakan di Kabupaten Bojonegoro, harus diimbangi dengan kualitas usaha sapi tersebut. Apabila jumlah populasi sapi potong meningkat namun tidak diimbangi dengan adanya daya saing maka produk-produk peternakan lokal di Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan produk peternakan impor, untuk itu penting untuk diteliti daya saing sapi potong skala peternakan rakyat di Kabupaten Bojonegoro. Diharapkan dengan produk-produk peternakan yang berdaya saing mampu mengurangi impor, dan Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan daging sapi dalam negeri. Perumusan Masalah Kebutuhan daging Indonesia pada tahun 2013 dipenuhi dari produksi dalam negeri (86 persen) dan melalui impor dari Australia (14 persen). Pada tahun 2014, Kementrian Pertanian RI menargetkan swasembada daging untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dari dalam negeri. Pasar terbesar untuk daging sapi, domba, dan kambing di Indonesia adalah wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Ketiga Provinsi ini memasok daging dari daerah-daerah di Indonesia dan impor dari Australia. Produsen sapi dan daging sapi di Australia terorganisir dengan baik, sehingga mereka memiliki kekuatan dalam menentukan harga pasar dan juga mampu bekerjasama baik dengan feedloter dan importer daging di Indonesia. Berbeda dengan kondisi tersebut, produsen sapi dan daging sapi di
5 Indonesia mayoritas merupakan peternak dengan skala kecil. Terlebih lagi, di Indonesia tidak ada wadah yang cukup kuat untuk mengorganisir peternakpeternak kecil tersebut. Akibatnya, peternak kecil tidak mempunyai daya tawar yang kuat. Pada era perdagangan bebas seperti ini, diharapkan produk-produk peternakan di Indonesia mempunyai daya saing dengan produk-produk impor. Pada tahap awal Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri, dengan cara memperbanyak populasi sapi dalam negeri yang berkualitas, sehingga semakin memperkecil jumlah impor daging sapi. Namun pada kenyataannya sapi-sapi potong skala peternakan rakyat masih belum berdaya saing jika dilihat dari sisi harga, seperti salah satunya yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro. Berdasarkan informasi yang didapat di lokasi penelitian, bahwa harga sapi impor yaitu rata-rata berkisar Rp34 000 per kilogram bobot hidup, sedangkan untuk sapi impor hidup yaitu berkisar antara Rp30 000 sampai Rp31 000. Dalam kondisi seperti ini mengharuskan peternak untuk dapat menawarkan sapi potong dengan kualitas yang baik dan harga bersaing. Selain masalah tersebut peternak dihadapkan pada sulitnya mendapatkan akses permodalan, ada berbagai lembaga seperti Bank Indonesia dan PT. Petrokimia Gresik yang menginvestasikan dananya untuk pengembangan klaster sapi potong di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, pada tahun 2012 lalu sampai sekarang. Namun Kecamatan yang lain belum mendapatkan bantuan permodalan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan peningkatkan daya saing, agar investor tertarik untuk menanamkan modal pada usaha penggemukkan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Jika dilihat pada pertumbuhan populasi yang meningkat pada tahun 2009 sampai 2013 (Tabel 1) di Kabupaten Bojonegoro, diharapkan kondisi ini dapat memacu meningkatnya daya saing sapi potong. Pencapaian peternakan rakyat yang berdaya saing, perlu memperhatikan tingkat produktivitasnya. Produktivitas adalah tingkat output per input yang digunakan termasuk tenaga kerja dan barang-barang modal yang digunakan dalam proses produksi. Daya saing juga terkait dengan efisiensi dan efektivitas, efisiensi dan efektivitas usaha dalam meningkatkan daya saing produksi dengan memanfaatkan potensi domestik, keunggulan komparatif dan kompetitif. Daya saing juga harus didukung dengan kebijakan pemerintah untuk melindungi peternak sapi potong. Salah satu kontribusi metode PAM (Policy Analysis Matrix) dalam penelitian ini adalah menganalisis kebijakan Pemerintah, apakah sudah memberikan perlindungan kepada peternak atau sebaliknya. Kebijakan yang mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong, sedangkan kebijakan yang mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun akan menurunkan daya saing. Dengan berdayasaingnya usaha sapi potong di Indonesia diharapkan mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, yang selama ini masih harus mengimpor dalam jumlah yang besar. Esensi dari daya saing suatu komoditas adalah efisiensi dan produktivitas, dimana salah satu sumber pertumbuhan produktivitas tersebut adalah efisiensi teknis (technical efficiency) (Coelli et al. 1998). Kenyataannya kebijakan yang diterapkan selama ini seperti kuota impor belum mampu menghasilkan keberpihakan kepada peternak lokal. Pemerintah melakukan impor daging dan mensuplai kebutuhan sapi di seluruh Indonesia serta menekan harga yang tinggi, kebijakan tersebut
6 tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 46/MDAG/PER/8/2013, dan Nomor 24/MDAG/PER/89/2011, serta Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 699/MDAG/KEP/7/2013, yang mengatur mengenai penghapusan peraturan pembatasan kuota impor sapi hidup dan daging sapi, juga belum dirasakan memihak ke peternak. Kebijakan penghapusan kuota impor daging hanya bertahan beberapa bulan saja, pada pertengahan tahun 2014 pemerintah mengeluarkan pelaksanan kebijakan pembatasan kuota kembali yang dilakukan sejak tahun 2011, pembatasan kuota ini dilakukan secara bertahap sampai pada tahap yang disesuaikan dengan kondisi ketersediaan daging sapi di dalam negeri, sejak tahun 2011 sampai tahun 2013 kuota impor terus dikurangi namun pada tahun 2014 kuota impor daging sapi meningkat mencapai 70 000 ton daging beku. Besarnya jumlah impor daging sapi beku ini diakibatkan dari permintaan daging sapi dari sektor industri, perhotelan, catering, dan restoran yang sangat tinggi yaitu sebesar 63 800 ton daging beku (BPS 2015), untuk permintaan daging sapi rumah tangga sebenarnya sudah dipenuhi dari produksi daging dalam negeri dan impor sapi hidup, namun karena banyaknya permintaan untuk sektor industri dan perhotelan maka impor daging beku sangat diperlukan. Kondisi defisit daging seperti inilah yang belum bisa dipenuhi dari produksi peternak lokal, sehingga diharapkan dengan berdaya saingnya usaha sapi potong dapat memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, dengan berdaya saing artinya usaha tersebut sudah mencapai tingkat efisiensi. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi peternak, maka penting untuk menganalisis daya saing sapi potong skala peternakan rakyat di Kabupaten Bojonegoro. Permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro sudah berdaya saing? 2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro? 3. Bagaimana dampak perubahan harga input output dan faktor lain terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro? Tujuan Penelitian Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang melandasi dilakukannya penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. 3. Menganalisis pengaruh perubahan harga input output dan faktor lain terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan rekomendasi kebijakan dalam agribisnis sapi potong khususnya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Hasil penelitian ini juga
7 diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak terkait tingkat daya saing usaha penggemukan sapi potong yang dijalankan sehingga ada upaya untuk melakukan perbaikan kedepannya. Bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai daya saing usaha peternakan khususnya usaha sapi potong. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis daya saing komoditas sapi potong yang meliputi daya saing komparatif dan kompetitif melalui indikator perhitungan nilai sumberdaya domestic (DRC), Private Cost Ratio (PCR), analisis efisiensi yang berupa keuntungan privat maupun sosial, dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Penghitungan keunggulan komparatif melalui indikator DRC (Domestic Resource Cost) menggunakan satuan per Kg (Kilogram) daging sapi. Penelitian ini meneliti daya saing usaha penggemukan sapi potong pada skala peternakan rakyat bukan tingkat perusahaan (pengolahan) baik usaha utama bagi peternak maupun usaha sampingan. Analisis kualitatif yang berupa analisis agribisnis usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, hanya sebatas untuk mengetahui potensi dan informasi penting terkait agribisnis usaha ternak sapi potong.
2 TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Pemerintah terkait Peternakan Sapi Potong Suatu kebijakan sangat diperlukan dalam mengatur dan menunjang berjalannya suatu sistem agribisnis, salah satunya dalam agribisnis sapi potong. Kebijakan merupakan suatu upaya Pemerintah dalam mengatasi permasalahan di dalam suatu negara, dan sudah seharusnya mendukung kepentingan rakyat kecil. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang tepat dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak rakyat, seperti yang diungkapkan oleh Maltsoglou dan George (2010) bahwa kebijakan pemerintah Vietnam dalam sektor peternakan menurunkan tingkat kemiskinan peternak hingga 20 persen, kebijakan tersebut berupa keharusan peternak untuk mengkomersilkan dan mendifersivikasikan usaha ternaknya. Selain itu kebijakan juga merupakan alat Pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang dialami peternak, seperti yang diungkapkan oleh Kim et al. (2009) bahwa kebijakan Pemerintah North Carolina yang membagi kawasan peternakan menjadi berbagai level (26 Craven County) dan membatasi pengeluaran biaya untuk pakan konsentrat dalam wadah parcel, kebijakan ini mengurangi konfik antara masyarakat dengan peternak. Kebijakan yang terkait dalam mendukung suatu program harus tepat, sehingga dapat tepat sasaran. Hal yang berbeda jika kebijakan yang dibuat Pemerintah kurang tepat sehingga pada akhirnya membatasi peternak dalam berbagai akses ekonomi. Di kawasan Afrika khususnya di negara berkembang seperti Burkina Faso, kebijakan
8 Pemerintahan setempat sangat mempengaruhi kehidupan peternak yang rata-rata masih hidup dalam kemiskinan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Martha (2011) bahwa kebijakan pemerintah Burkina Faso yaitu membentuk kebijakan yang membatasi kontribusi distribusi ternak. Selain itu organisasi dan asosiasi yang terbentuk tidak mampu memenuhi kebutuhan peternak dan kurang memberikan pelayanan yang nyata kepada para anggotanya. Namun hanya ada dua asosiasi yang sedikit mempunyai peranan yaitu asosiasi regional dan asosiasi perkotaan yang secara signifikan meningkatkan akumulasi sumber daya peternak. Seperti halnya yang terjadi di Filipina, penelitian yang dilakukan oleh Lapar et al. (2003), hasil menunjukan bahwa kebijakan yang ada menghambat peternak dalam mengikuti program. Kemudian partispasi peternak juga ditentukan oleh preferensi pasar. Hasil-hasil penelitian diatas menunjukan bahwa kebijakan pemerintah tidak semuanya memberikan dampak yang baik, akan tetapi juga ada yang menghambat. Adanya kebijakan yang mendukung agribisnis sapi potong maka menjadi mungkin sektor peternakan merupakan sektor unggulan tanpa harus mengimpor produk peternakan dari Negara lain. Berbagai kebijakan telah dilakukan Pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi ternak dalam negeri, salah satunya melalui jalan meningkatkan populasi sapi. Untuk menanggulani penurunan populasi, Pemerintah melakukan pendekatan teknis dengan menerapkan Inseminasi Buatan (IB), menekan kematian dengan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit, pengendalian pemotongan, larangan penyembelihan sapi betina produktif dan melakukan impor bibit (Soehadji 1995). Namun berbagai permasalahan timbul akibat berbagai kebijakan pemerintah tersebut, berdasarkan tinjauan kebijakan Yusdja dan Ilham (2002) kebijakan Inseminasi Buatan (IB) tidak banyak menolong dalam meningkatkan populasi ternak di Indonesia. Berbagai masalah terjadi di lapang, hal ini disebabkan karena peternak tidak mampu menggunakan sinyal pasar, seperti harga dan perkembangan konsumsi serta selera konsumen, berdasarkan hal tersebut Pemerintah pada masa yang akan datang sudah seharusnya memdorong pembangunan dengan menyediakan fasilitas umum yang dibutuhkan dan penelitian-penelitian lain yang diperlukan. Hal ini didukung oleh penelitian dari Hardjosubroto (2004) bahwa program Inseminasi Buatan kurang diimbangi dengan program pemuliaan yang tearah, apabila tidak dibenahi justru dapat berdampak negatif terhadap perbaikan mutu bibit. Selain kebijakan mengenai non tarif, Indonesia juga menerapkan kebijakan tarif berupa penerapan kuota bagi pengimpor baik daging sapi, sapi hidup, maupun sapi bakalan. Namun kebijakan ini juga masih memiliki banyak kekurangan, Menurut Yusdja dan Ilham (2007) kebijakan kuota menyebabkan perdagangan antarpulau menjadi tidak efisien. Pertama, jatah kuota dikuasai oleh perusahaan yang kuat dan cenderung berbentuk monopsoni. Kedua, jumlah kuota tidak ditentukan oleh kebutuhan wilayah konsumsi tetapi oleh kekuatan produksi (antara lain populasi, tingkat kelahiran dan tingkat kematian padahal datanya tidak pernah dapat dipercaya. Akibatnya, tarikan konsumsi tidak mampu memberikan insentif ke wilayah produsen. Ketiga, harga sapi di wilayah produsen, tidak begitu terdorong naik, karena produsen yang terdiri dari peternak kecil terancam tidak dibeli oleh pedagang karena ancaman kuota, sehingga terpaksa menjual dengan harga rendah. Keempat, karena tarikan dari wilayah konsumsi mendorong pengiriman sapi gelap ke wilayah konsumsi.
9 Kelima, kebijakan kuota menghambat gairah persaingan antara daerah produksi sehingga tidak mendorong perbaikan mutu. Tidak jauh berbeda dengan negara berkembang seperti Bangladesh kebijakan di sektor peternakan menjadi alat untuk mengembangkan sektor pertanian yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan peternak, seperti kajian yang dilakukan oleh Shamsuddoha (2009) bahwa perubahan kebijakan Pemerintah Bangladesh yang mendorong LSM dan sektor swasta untuk ikut dalam pengembangan peternakan di Bangladesh. Kebijakan pemerintah Bangladesh tersebut berupa penerapan program BRAC (Bangladesh Rural Advancement Committee), kebijakan ini memberikan dampak yang positif berupa peningkatan kesejahteraan bagi peternak yang rata-rata merupakan keluarga miskin. Dampak kebijakan peternakan yang tepat selain untuk kesejahteraan petani juga mengakibatkan kemudahan bagi peternak dalam mengakses informasi pasar, kredit, akses lahan dan lainya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Benin et al. (2001) bahwa kebijakan Pemerintah Ethiopia yang terdiri dari tiga program yaitu ACSI (Amhara Credit and Saving Institution), PADETES (Participatory Agricultural Demonstration Extennsion and Training System), dan program dari BOA (Bereau of Agriculture), hanya 1 program yang memberikan dampak positif kepada peternak yaitu adalah program PADETES. Program PADETES sangat bermanfaat bagi peternak di Ethiopia dalam mengakses informasi pasar dan kredit sehingga usaha ternak yang dijalankan semakin berkembang. Revitalisasi kebijakan peternakan juga terjadi di negara Yunani, yang dulu merupakan negara maju semenjak tahun 2007 kembali menjadi negara berkembang, perubahan ini mengakibatkan adanya revitalisasi kebijakan peternakan. Berdasarkan penelitian dari Andreopoulou et al. (2014) kebijakan pemerintah Yunani yaitu CAP (Common Agricultural Policy) yang merupakan bagian dari program Uni Eropa pada tahun 2003 kemudian direvitalisasi menjadi EDA (Evaluation of the Implementation of the Farm Advisory System) memberikan dampak yang baik kepada peternak, dibuktikan melalui keterlibatan peternak dalam program konsultasi dan informasi yang dibentuk oleh pemerintah Yunani. Jumlah peternak yang mengikuti program tersebut adalah 67 persen dari total responden sedangkan sisanya 37 persen peternak masih merasa ragu dalam mengikuti program konsultasi peternakan tersebut. Peternak yang mengikuti program konsultasi tersebut mendapatkan manfaat konsultasi permasalah peternak dalam berbagai hal seperti inovasi, pemasaran, kewirausahaan, informasi pasar ternak dan masalah-masalah lainnya secara gratis. Daya Saing Peternakan Sapi Potong Sektor Peternakan mempunyai peran penting dalam perekonomian di Indonesia, karena selain bermata pencaharian sebagai petani, masyarakat juga mengusahakan ternak seperti sapi, kambing, ayam, domba dan lain-lainya, untuk itu penting untuk mengetahui daya saing usaha ternak sapi potong di Indonesia. Daya saing usaha sapi potong ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya potensi sumber daya seperti pakan dan jenis sapi, tenaga kerja, teknologi serta permintaan pasar. Seperti kajian yang dilakukan oleh Rouf et al. (2014) yang menggunakan indikator Domestic Resource Cost (DRC) menyatakan bahwa daya saing usaha ternak sapi potong di Indonesia ditentukan oleh (1) ketersediaan pakan yang
10 melimpah melalui sistem penggembalaan dan tanaman Sistem ternak dapat memberikan keunggulan komparatif ; (2) jenis sapi potong yang dipelihara mampu berdaya saing (3) upah tenaga kerja secara bersamaan dapat membuat daya saing ; (4) faktor teknologi di tingkat petani menunjukkan bahwa semakin tinggi teknologi yang diterapkan akan membuat daya saing meningkat; dan (5) jumlah petani. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi di beberapa tempat di Indonesia telah memiliki daya saing yang baik (DRC lebih kecil daripada 1), tetapi di beberapa daerah, nilainya mendekati satu (kurang kompetitif). Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan daya saing, perumusan dan pelaksanaan kebijakan pertanian subsektor harus dianggap sebagai suatu sistem termasuk hulu ke hilir subsistem sehingga diharapkan koordinasi dan sinergi kebijakan antar pemangku kepentingan dan pelaku ekonomi akan lebih baik. Penelitian di Indonesia mengenai daya saing usaha ternak sapi potong di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dilakukan oleh Indrayani (2011) meneliti di Kecamatan Puar dan Kecamatan Tilatang Kamang, hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak di kedua lokasi penelitian memiliki keunggulan kompetitif (PCR lebih kecil daripada 1) dan komparatif (DRC lebih kecil daripada 1). Nilai PCR untuk Kecamatan Sungai Puar adalah 0.856 dan Kecamatan Tilatang Kamang 0.725, yang menunjukkan bahwa masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan biaya kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Nilai indikator keunggulan komparatif yang dilihat dari nilai DRC, diperoleh 0.947 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.812 untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini berarti di Kabupaten Agam akan lebih menguntungkan jika kebutuhan sapi potong dipenuhi dari pengusahaan sendiri dari pada mengimpornya. Berdasarkan nilai DRC yang diperoleh dikedua kecamatan menunjukkan Kecamatan Tilatang Kamang lebih unggul secara kompetitif dan komparatif dibandingkan Kecamatan Sungai Puar. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Marques et al. (2011) pada peternak sapi potong di Rio Grande do Sul State, Brazil, yang hasil penelitiannya menunjukkan bahwa daya saing usaha ternak sapi potong ditentukan oleh Technology (TEC), management (MAN), market relationships (MR) and institutional environment (IE). Peternak sapi Potong dibagi menjadi tiga kriteria daya saing yaitu low (LCL), medium (MCL) and high (HCL). Hasil penelitian menunjukan bahwa peternak yang berdaya saing rendah cenderung memiliki akses kelembagaan dan manajemen yang rendah. Sedangkan peternak yang berdaya saing menengah jika dibandingkan dengan peternak yang berdaya saing tinggi lebih rendah dalam hal tingkat inovasi dan manajamen. Namun secara keseluruhan peternak mempunyai daya saing kompetetif terutama karena penggunaan teknologi. Pengukuran daya saing usaha ternak juga berdasarkan pada tingkat efisiensi usaha ternaknya. Usaha ternak yang daya saingnya rendah, maka bisa dipastikan usaha ternaknya tidak efisien (inefisiensi). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Bahta dan Malope (2014) pada 556 peternak rakyat Bostwana, hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian peternak mempunyai daya saing yang rendah ditunjukkan dari tingkat inefisiensi usaha ternak sapi rakyat sebesar 74 persen dari variansi dalam keuntungan maksimum, kemudian tingkat efisiensi keuntungannya sebesar 0.58 menunjukkan b ahwa ada peluang yang besar dalam meningkatkan profitibilitas daging sapi di Bostwana. Faktor
11 inefisiensi ini ditentukan oleh pendidikan, jarak ke pasar, ukuran pasar, akses informasi dan akses terhadap penghasilan dari produksi tanaman. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa akses pasar mempunyai peranan yang penting terhadap daya saing usaha ternak sapi potong, namun akses non pasar (produksi) ternyata juga signifikan mempengaruhi daya saing usaha ternak seperti hasil penelitian dari Ouma et al. (2004) terhadap 250 peternak rakyat Kenya yang terbagi menjadi tiga sistem usaha (intensif, semi intensif, dan ekstensif) untuk menilai kontribusi keuntungan non pasar ternak untuk daya saing dan kelangsungan hidup petani kecil. Hasil menunjukkan bahwa hingga 50 sampai 70 persen perolehan manfaat dari sistem ternak petani yang berorientasi non-pasar. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa sistem produksi ternak petani relatif kompetitif dan efisien dalam pemanfaatan faktor-faktor produksi rumah tangga, ketika manfaat non pasar dipertimbangkan, khususnya bagi sistem yang luas yang berorientasi non pasar. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Ternak Kebijakan merupakan kebutuhan bagi setiap negara, khususnya dalam konteks pemerintahan. Kebijakan dapat mendorong atau menekan aktivitas masyarakat pada satu negara. Keunggulan suatu negara ditentukan oleh keunggulan kebijakannya, dengan demikian daerah yang unggul adalah daerah yang mempunyai kebijakan publik yang tepat (effectiveness, efficiency, responsiveness, equity, accountability, rule of law). Kebijakan publik tertinggi di daerah adalah peraturan daerah. Peran setiap negara/daerah (Pemerintah Pusat /daerah) semakin penting, dalam rangka membangun daya saing global bagi negara atau daerahnya. Pencapaiannya sangat bergantung pada kebijakan publik yang ditetapkan. Pada hakekatnya kebijakan publik adalah intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mengubah yang ada atau mempengaruhi arah dan kecepatan dari perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat, guna mewujudkan kondisi yang diinginkan. Intervensi itu dilakukan melalui suatu atau serangkaian strategi kebijakan dengan menggunakan berbagai instrumen kebijakan (Bachtiar 2005). Kebijakan yang tepat akan menciptakan keunggulan yang berdaya saing, seperti yang terjadi di Perancis, penelitian yang dilakukan oleh Brette dan Yves (2007) menunjukan hasil bahwa kebijakan baru Pemerintah Perancis mengenai Pengembangan dan Perencanaan Regional (CIADT), semenjak dua tahun diimplementasikan mendapatkan hasil 67 klaster industri yang berdaya saing dari 105 proyek klaster yang dibentuk. Klaster industri yang berdaya saing tersebut telah melakukan inovasi dan penelitian untuk mengembangkan usahanya. Selain itu klaster yang berdaya saing juga memiliki hubungan mitra yang baik dengan para peternak dan petani yang merupakan penyedia bahan mentah untuk klaster industri. Intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan daya saing usaha ternak rakyat. Penelitian pengaruh kebijakan pemerintah terhadap daya saing usaha ternak diteliti oleh Kavcic dan Emil (2003) pada peternak di Slovenia. Terdapat tiga skenario yaitu Optimistic accession scenario (EUo), Pessimistic accession scenario (EUp), dan Realistic accession scenario (EUr). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adopsi kebijakan dari Uni Eropa (EUo) yaitu CAP (Common Agriculture Policy)
12 meningkatkan pendapatan agregat dengan perubahan moderat pada komoditas dasar. Diskriminasi negara aksesi di bidang pembayaran langsung dan sektor hilir non-kompetitif diasumsikan oleh skenario EuP memburuk situasi pendapatan produsen dalam negeri. Bagi banyak komoditas, daya saing industri pengolahan makanan dengan asumsi tingkat harga yang berbeda untuk bahan baku bisa berdampak lebih besar pada situasi ekonomi ternak produksi dari lingkungan kebijakan pertanian itu sendiri. Intervensi kebijakan juga dilakukan Pemerintah Amerika Selatan dalam meningkatkan tingkat daya saing produk pertaniannya. Seperti penelitian yang dilakukan Jolly et al. (2007) yang hasil penelitiannya menunjukan bahwa kebijakan pemerintah dalam menerapkan bioteknologi bagi tanaman pangan memberikan dampak peningkatan daya saing genetik kapas, namun untuk komoditas jagung dan kedelai tidak memberikan dampak yang signifikan karena adanya risiko pasar, dan risiko produksi. Kebijakan input berupa subsidi dan pajak terhadap produsen maupun konsumen akan mempengaruhi daya saing baik keunggulan komparatif maupun kompetitif, seperti penelitian yang dilakukan oleh Sargazi dan Hasanvand (2013), kebijakan pemerintah Provinsi Lorestan, Iran yang menetapkan pajak tak langsung pada sapi bakalan yang diimpor menyebabkan nilai keunggulan komparatif (DRC) sebesar 0,44, dan nilai NPC input (Nominal Protection Coefisient) sebesar 1,57. Hal ini menunjukan bahwa sapi potong di Provinsi Lorestan, Iran memiliki keuntungan sosial. Kebijakan output yang dilakukan oleh pemerintah Maroko (Mekki et al. 2006) berkaitan dengan penetapan tarif nol persen dan membuka akses pasar terhadap daging sapi impor menyebabkan peningkatan daya saing keunggulan komparatif (DRC) sebesar 21 persen, hal ini diakibatkan karena pemerintah tidak memproteksi daging lokal dari pemasukan impor daging sapi. Pengukuran Daya Saing dengan Analisis PAM (Policy Analysis Matrix) Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun Pemerintah Daerah bisa mengintervensi sektor pertanian melalui kebijakan, baik kebijakan harga, kebijakan investasi public, dan kebijakan makroekonomi. Dampak intervensi dar ketiga bentuk kebijakan tersebut dapat diukur melalui metode PAM (Policy Analysis Matrix). Hasil analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan base line information yang penting bagi Benefit-Cost analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian. Menurut Pearson (2005), tiga tujuan utama dari metode PAM adalah (1) memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian, (2) menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity costs), (3) tujuan ketiga dari analisis PAM adalah menghitung transfer effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Pengukuran daya saing sapi potong di Jawa Barat dengan metode PAM dilakukan oleh Yuzaria dan Suryadi (2011), yang hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keuntungan privat usaha penggemukan sapi baik lokal maupun impor adalah lebih besar dari pada nol, berarti peternak memperoleh profit pada harga actual. Kemudian nilai PCR (Privat Cost Ratio) dan DCR
13 (Domestic Cost Ratio) adalah lebih kecil daripada 1, menunjukkan usaha penggemukan mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. Metode PAM juga digunakan untuk melihat bagaimana perubahan harga input maupun output terhadap daya saing suatu produk. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Babu dan Muhammad (2013) yang melakukan penelitian daya saing peternakan dengan produksi susu segar di Karantanka, India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran daya saing global seperti Effective Protection Coefisients (EPC), Domestic Resources Coefisien (DRC) dan Nominal Protection Coefisient (NPC) menunjukkan bahwa nilai daya saing global produksi susu 0.80, ini berarti bahwa sektor susu dapat menahan persaingan dari impor. Akan tetapi tidak semua bisa merasakan dampak ekspor susu, hanya memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas. Surplus produksi susu akibat globalisasi serta modernisasi akan menimbulkan tantangan pemasaran yang serius untuk industri. Pada intinya sektor susu di India harus mengurangi biaya produksi dan meningkatkan kualitas, dan juga diharapkan mampu mingkatkan produksi susu dari daerah agar mampu mendorong investasi di sektor industri susu. Penelitian daya saing usaha sapi perah juga dilakukan di Indonesia, oleh Feryanto (2010) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Penelitian tersebut dilakukan di tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang. Berdasarkan analisis PAM, hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga Kecamatan tersebut memiliki keuntungan privat dan ekonomi, hal ini ditunjukkan dari keuntungan privat dan ekonomi yang besar dari nol untuk ketiga lokasi. Berdasarkan nilai PCR dan DCR yang diperoleh ketiga lokasi memiliki keunggulan kompetetitif, yakni 0.79 (Kecamatan Lembang), 0.94 (Kecamatan Pangalengan), dan 0.9 (Kecamatan Cikajang) yang menunjukkan masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan biaya kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Terakhir metode PAM juga dapat digunakan untuk membandingkan daya saing antara dua komoditas. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kreuter dan Workman (1994), yang membandingkan daya saing ternak sapi dan sapi liar di Zimbabwe, hasil menunjukkan bahwa keuntungan sosial ternak lebih rendah dibandingkan sapi liar, hal ini mengindikasikan bahwa adanya inefisiensi pada produksi daging sapi.
3 KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Perdagangan Internasional Pengertian perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain 1 . Bila dibandingkan 1
Pengertian Perdagangan Internasional. [Internet]. [Diakses 30 November 2014]. Tersedia pada : http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional
14 dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau kuota barang impor. Menurut Tambunan (2000) perdagangan internasional didefinisikan sebagai perdagangan antar atau lintas Negara, yang mencakup ekspor dan impor. Perdagangan internasional dibagi menjadi dua kategori, yakni perdagangan barang (fisik) dan perdagangan jasa. Perdagangan jasa, antara lain, terdiri dari biaya transportasi, perjalanan (travel), asuransi, pembayaran bunga, dan remittance seperti gaji tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan pemakaian jasa konsultan asing di Indonesia serta fee atau royalty teknologi (lisensi). Berikut teori yang menerangkan tentang timbulnya perdagangan internasional (Noor 2007). Teori Pra Klasik (Merkantilisme) Merkantilisme adalah falsafah ekonomi yang menganut konsep bahwa penting bagi sebuah negara untuk mengakumulasi pesediaan logam–logam berharga demi mencapai kesejahteraan. Para penganut merkantilisme berpendapat bahwa cara bagi suatu negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkannya selanjutnya akan dibentuk dalam aliran emas lantakan, atau logam-logam mulia, khususnya emas dan perak. Semakin banyak emas dan perak yang dimiliki oleh suatu negara maka semakin kaya dan kuatlah negara tersebut. Dengan demikian, pemerintah harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong ekspor, dan mengurangi serta membatasi impor (khususnya impor barang-barang mewah). Namun, oleh karena setiap negara tidak secara simultan dapat menghasilkan surplus ekspor, juga karena jumlah emas dan perak adalah tetap pada satu saat tertentu, maka sebuah negara hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan negara lain. Teori Klasik Teori Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage Theory) Adam Smith mengemukakan bahwa masing–masing negara akan mengkhususkan diri dalam memproduksi barang–barang yang dapat di produksinya dengan lebih efisien memiliki suatu keunggulan absolut, baik alamiah maupun yang dibuat atau di produksi. Dalam hal ini Adam Smith sependapat dengan doktrin merkantilis yang menyatakan bahwa kekayaan suatu negara dicapai dari surplus ekspor. Kekayaan akan bertambah sesuai dengan skill serta efisiensi dengan tenaga kerja yang digunakan dan sesuai dengan persentase penduduk yang melakukan pekerjaan tersebut. Adam Smith berpendapat bahwa sumber tunggal pendapatan adalah produksi hasil tenaga kerja serta sumber daya ekonomi. Menurut Smith suatu negara akan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah dari pada negara lain, yaitu karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Adapun keunggulan mutlak menurut Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit dibanding kemampuan negara-negara lain.
15 Teori Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage Theory) Keunggulan komparatif merupakan kemampuan suatu negara untuk memproduksi beberapa produk lebih murah atau lebih baik dari pada negara lain. Suatau negara dikatakan memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) akan suatu produk apabila dapat memproduksi secara efisien atau lebih baik dari pada barang-barang lainnya. Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo untuk melengkapi teori Adam Smith yang tidak mempersoalkan kemungkinan adanya negara-negara yang sama sekali tidak mempunyai keuntungan mutlak dalam memproduksi suatu barang terhadap negara lain misalnya negara yang sedang berkembang terhadap negara yang sudah maju. Melengkapi kelemahan-kelemahan dari teori Adam Smith, David Ricardo membedakan perdagangan menjadi dua keadaan yaitu perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri. Menurut Ricardo keuntungan mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith dapat berlaku di dalam perdagangan dalam negeri yang dijalankan atas dasar ongkos tenaga kerja, karena adanya persaingan bebas dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi tenaga kerja dan modal. Teori Modern (Teori Heckscher-Ohlin (H-O) Teori Perdagangan Internasional modern dimulai ketika ekonom Swedia yaitu Eli Hecskher (1919) dan Bertil Ohlin (1933) mengemukakan penjelasan mengenai perdagangan internasional yang belum mampu dijelaskan dalam teori keunggulan komparatif. Ada beberapa kelemahan teori klasik yang mendorong munculnya teori H-O, dan kemudian menjadi acuan hingga saat ini. Kelemahan tersebut diantaraya, teori klasik comparative advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam productivity of labor (faktor produksi yang secara eksplisit dinyatakan) antarnegara (Salvatore 2006). Namun teori ini tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O kemudian mencoba memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O menyatakan penyebab perbedaan produktivitas karena adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) oleh masing-masing negara, sehingga selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu teori modern H-O ini dikenal sebagai. The Proportional Factor Theory. Selanjutnya negaranegara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya. Konsep Daya saing Daya saing merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik kedepan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara. Daya saing menurut Michael Porter (1990) adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World Economic Forum, daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional
16 untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Bank Indonesia (2002) harus mempertimbangkan beberapa hal: 1. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekadar produktivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor swasta atau perusahaan” 2. Pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Peran besar perusahaan swasta dalam sektor perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing. 3. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan masyarakat. Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup. Menurut Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu: 1. Strategi, struktur, dan tingkat persaingan perusahaan, yaitu bagaimana unitunit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya. 2. Sumber daya di suatu negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal. 3. Permintaan domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan konsumen. 4. Keberadaan industri terkait dan pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industriindustri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif. Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara lainnya. Perdagangan internasional terjadi karena beberapa hal, diantaranya perbedaan dalam keragaman sumberdaya dan pengelolaannya, perbedaan selera (preferensi) masing-masing negara, dan perbedaan biaya. Perbedaan dalam keragaman sumberdaya berhubungan dengan faktor-faktor yang secara alamiah dimiliki oleh negara tertentu.Selain itu
17 perdagangan dapat saling menguntungkan atas dasar perbedaan selera (preferensi) dimasing-masing negara. Perbedaan biaya berkaitan dengan biaya produksi, yang menyebabkan setiap negara akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditasnya. Jika negara-negara melakukan spesialisasi, maka skala ekonomi akan tercapai dan biaya produksi per unit akan semakin murah. Selain itu hubungan saling ketergantungan antara negara satu dengan yang lain dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan berkembang dan menjadi penting. Namun daya saing tidak hanya mencakup suatu negara, melainkan juga dapat ditetapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah. Esterhuizen et al. (2010) mendefinisikan “Daya saing sebagai kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumberdaya yang digunakan” dengan kata lain, daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan suatu produsen untuk menghasilkan produk sesuai dengan permintaan konsumen dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi rendah. Menggunakan asumsi biaya produksi rendah sehingga produk dapat di produksi dan di pasarkan oleh produsen sehingga dapat mempertahankan keberlangsungan produksinya. Konsep dayasaing terdiri dari dua aspek yang berbeda, yakni konsep daya saing ekonomi mikro dan ekonomi makro. Daya saing mikro secara umum didefinisikan sebagai kemampuan suatu perusahaan atau usahatani bertambah besar, baik dari segi pangsa pasar dan profit. Sedangkan konsep dayas aing makro koheren dengan dayasaing suatu negara atau perekonomian. Sehingga mendefinisikan daya saing adalah kemampuan suatu negara dalam pasar terbuka untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan selera konsumen asing dan mempertahankan dan memperluas tingkat pendapatan domestiknya. Sedangkan menurut Kagochi (2007) mendefinisikan daya saing adalah kemampuan untuk menjual produk yang menguntungkan dan untuk menjadi kompetitif, produsen harus melemahkan harga atau menawarkan produkproduk yang lebih baik dari segi kualitas atau pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan kompetitornya. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan kompetitif. Berdasarkan hal tersebut konsep daya saing yang digunakan adalah daya saing menurut Esterhuizen et al. (2008), dimana memungkinkan ditingkat produsen suatu komoditas dapat memiliki keunggulan komparatif yakni memiliki biaya opprtunity cost yang relatif lebih rendah, namun ditingkat konsumen komoditas tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif karena adanya distorsi pasar. Sebaliknya karena ada intervensi dari pemerintah suatu komoditas memiliki keunggulan kompetitif namun tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan Komparatif Sudaryanto dan Simpatupang (1993) menyebutkan bahwa konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial
18 dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki keunggulan efisiensi secara ekonomi. Istilah keunggulan komparatif (Comparative Adventage) pertama kali dikenalkan oleh David Ricardo, yang menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien dibanding dengan negara lain dalam memproduksi dua komoditas, namun masih dapat melakukan perdagangan yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak, dengan asumsi proporsi kerugian absolut satu negara pada komoditas tersebut tidak sama (Salvaltore 1997). Kelemahan keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo ini hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas setiap tenaga kerja saja. Tenaga kerja bukanlah satu-satunya factor produksi yang berpengaruh dalam menentukan keunggulan komparatif melainkan masih terdapat faktor lain seperti teknologi, modal, tanah, dan sumberdaya lainnya. Teori keunggulan komparatif disempurnakan dengan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Teory). Teori ini berdasarkan biaya imbangan, biaya sebuah komoditas adalah jumlah komoditas kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama, artinya setiap negara yang memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditas akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam kondisi kedua (Salvaltore 1997). Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Heckscher dan Ohlin menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditas yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia dinegara itu dalam jumlah dan harga yang relatif murah, serta mengimpor komoditas yang padat dengan faktor produksi yang mahal dan langka (Salvaltore 1997). Keunggulan komparatif akan menjadi ukuran daya saing, apabila perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi. Pearson et al. (2005), mengemukakan bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis, dengan kata lain keunggulan komparatif tidak stabil dan dapat diciptakan karena dipengaruhi oleh perubahan dalam sumberdaya alam, perubahan faktor-faktor biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya transportasi. Suatu daerah yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampum empertahankan dan bersaing dengan negara lain. Komoditas yang memilki keunggulan komparatif dapat dikatakan telah mencapai efisiensi ekonomi yang terkait dengan kelayakan secara ekonomi. Artinya kelayakan ekonomi menilai aktivitas ekonomi bagi masyarakat secara general atau menyeluruh, tanpa meliihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut. Keunggulan Kompetitif Konsep keunggulan kompetitif (Competitive Adventage) dikembangkan oleh Porter. Menurut Porter (1990), dalam era persaingan global saat ini suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu yakni, pertama, factor conditions yakni posisi negara dalam pengusaan faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur. Kedua, Demand Conditions, berupa besarnya permintaan pasar domestik untuk produk-produk dan jasa-jasa industri. Ketiga,
19 relating and supporting industries, berupa kehadiran industri pemasokatau pendukung dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan dayasaing industri-industri di pasar internasional. Keempat, Firmstrategy, structure and rivalary, yakni kondisi permerintahan di dalam suatu negara bagaimana perusahaan diciptakan, diorganisasi dan dikelola, sebaik persaingan domestik secara ilmiah. Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) juga dapat didefinisikan sebagai alat bantu untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan perekonomian aktual atau harga pasar. Hal ini berbeda dengan konsep keunggulan komparatif yang mengukur manfaat aktivitas ekonomi dari segi masyarakat keseluruhan atau general. Keunggulan kompetitif dalam perkembangannya merupakan konsep yang sesuai untuk mengukur kelayakan secara finansial. Sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan untuk menggantikan konsep keunggulan komparatif, namun saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Artinya jika suatu komoditas memiliki keunggulan secara kompetitif dan komparatif, maka komoditas tersebut layak dan menguntungkan untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar internasional. Jika keunggulan komparatif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan sosial dan dihitung berdasarkan harga sosial dan harga bayangan nilai tukar, maka keunggulan kompetitif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Akan tetapi jika suatu komoditas hanya memiliki keunggulan komparatif namun tidak memiliki kunggulan kompetitif, dapat diasumsikan telah terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi seperti administrasi, perpajakan dan lain-lain. Sebaliknya jika suatu komoditas hanya memiliki keunggulan kompetitif dan tidak memiliki keunggulan komparatif berarti pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditas tersebut seperti melalui stabilitas harga, kemudahan perizinan, dan lainnya. Konsep Kebijakan Pemerintah Snodgrass dan Wallace (1975) mendefenisikan kebijakan pertanian sebagai usaha pemerintah untuk mencapai tingkat ekonomi yang lebih baik dan kesejahteraan yang lebih tinggi secara bertahap dan kontinu melalui pemilihan komoditas yang diprogramkan, produksi bahan makanan dan serat, pemasaran, perbaikan structural, politik luar negeri, pemberian fasilitas dan pendidikan. Widodo (1990) mengemukakan bahwa politik pertanian adalah bagian dari politik ekonomi di sektor pertanian, sebagai salah satu sektor dalam kehidupan ekonomi suatu masyarakat. Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi ke dalam tiga tujuan utama yaitu efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasaan yang paling tinggi. Menurut Pearson et al. (1987), kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan kepada tiga kategori yaitu kebijakan harga, kebijakan makroekonomi dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga bisa mempengaruhi input pertanian, kebijakan makroekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu Negara, sehingga kebijakan makroekonomi akan mempengaruhi seluruh komoditas. Kebijakan investasi publik mengalokasikan
20 pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan yang ditetapkan Pemerintah pada komoditas pertanian terbagi menjadi dua bentuk subsidi, serta hambatan perdagangan. Subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan terdiri dari pajak atau kuota yang sifatnya membatasi impor atau ekspor. Kebijakan tersebut diberlakukan untuk output maupun input yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi (harga sosial). Berikut ini kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Menurut Monke dan Pearson (1989) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya. Beberapa tipe klasifikasi kebijakan harga komoditas disajikan dalam Tabel 2 untuk membantu menjelaskan dampak kebijakan perubahan. Tabel 2 Klasifikasi kebijakan harga pada komoditas pertanian Instrumen
Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen Kebijakan Subsidi Kebijakan Subsidi Subsidi pada produsen Subsidi pada Konsumen 1. Tidak Merubah Harga 1. Pada barang-barang 1. Pada barang-barang 2. Merubah harga pasar dalam substitusi impor (S+PI;Ssubstitusi impor (S+CI;Snegeri PI) CI) 2. Pada barang-barang 2. Pada barang-barang substitusi impor (S+PE;Sorientasi ekspor (S+CE;SPE) CE) Kebijakan perdagangan Hambatan pada barang impor Hambatan pada barang ekspor (Merubah harga pasar dalam (TPI) (TPE) negeri) Sumber : Monke dan Pearson, 1989
Keterangan : S+ : Subsidi S: Pajak PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor CE : Konsumen Barang Orientasi Ekspor CI : Konsumen Barang Substitusi Impor TCE : Hambatan Barang Ekspor TPI : Hambatan Barang Impor Kebijakan harga, dibedakan berdasarkan tiga kriteria yaitu jenis instrumen (subsidi atau perdagangan kebijakan), berdasarkan yang dimaksudkan sebagai penerima (produsen atau konsumen), dan jenis komoditas (diimpor atau diekspor). 1. Tipe Instrumen Dalam kebijakan tipe instrumen, dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran untuk pemerintah, apabila dibayar dari pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan apabila dibayar untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen dalam negeri. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada ekspor atau
21 impor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Untuk barang yang di impor misalnya dapat dilakukan dengan menekan tarif per unit (pajak impor) maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi kuantitas yang di impor dan meningkatkan harga domestik di atas harga internasional. Perbedaan kebijakan subsidi dan perdagangan terbagi dalam tiga aspek, yaitu sebagai berikut : a. Implikasi untuk Anggaran Pemerintah Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan subsidi akan mempengaruhi anggaran pemerintah. Subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah sedangkan subsidi negatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah. Beberapa subsidi memungkinkan konsumen untuk terus membeli dengan harga dunia, karena harga domestik yang terus berubah. Kebijakan subsidi lainnya memudahkan produsen untuk terus menerima harga dunia sehingga berdampak pada penentuan harga di tingkat konsumen. Kebijakan subsidi dapat mempengaruhi harga baik harga produsen maupun konsumen. b. Jumlah Alternatif Subsidi dan Kebijakan Perdagangan Delapan jenis kebijakan subsidi, yang bisa diterapkan baik oleh produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor (PE) maupun barang yang berorientasi impor (SI), kebijakan tersebut antara lainnya adalah sebagai berikut : 1) Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) 2) Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) 3) Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) 4) Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) 5) Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) 6) Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) 7) Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) 8) Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE) c. Tingkat Penerapannya Semua barang dan layanan yang baik dapat diperdagangkan, tergantung pada tingkat perbandingan biaya domestik produksi dan biaya transfer internasional. Menurut definisi, kebijakan perdagangan dapat berlaku hanya untuk barang tradable (barang yang diperdagangkan secara internasional), karena pembatasan dapat dikenakan jika ada arus perdagangan. Kebijakan subsidi, dapat diterapkan untuk semua barang, termasuk nontradables. 2. Kelompok Penerima Kriteria kedua untuk klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan ini dimaksudkan untuk menguntungkan produsen atau konsumen. Subsidi maupun kebijakan perdagangan menyebabkan transfer antara produsen, konsumen, dan anggaran pemerintah. Kecuali jika pemerintah membayar seluruh transfer, ketika produsen diuntungkan, maka sebaliknya konsumen akan mendapatkan kerugian, dan ketika konsumen diuntungkan, sebaliknya produsen dirugikan. 3. Tipe Komoditas
22 Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga di pasar internasional, dimana untuk barang yang di ekspor digunakan harga FOB (free on board) yaitu harga di pelabuhan ekspor dan untuk barang yang dapat di impor digunakan harga CIF (cost, insurance, freight) atau harga pelabuhan impor. Kebijakan perdagangan yang dapat ditetapkan pemerintah pada input dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak), baik kebijakan subsidi positif maupun negatif dapat diterapkan pada produsen ekspor impor dan konsumen ekspor impor, serta kebijakan hambatan seperti tarif. Kebijakan Subsidi Terhadap Barang Impor dan Hambatan (Retriksi) Kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah yang bertujuan menghambat adalah kebijakan subsidi. Subsidi adalah bantuan pemerintah kepada produsen atau konsumen. Biasanya subsidi ini dalam bentuk pemberian sejumlah uang atau fasilitas kepada produsen guna meningkatkan produksi, menjaga ketersedian pasokan barang di masyarakat. Tujuan pemberian subsidi utamanya adalah untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional, bisa dalam bentuk peningkatan pasokan barang jasa domestic untuk menjaga stabilitas perekonomian, bisa juga untuk mendorong pembukaan lapangan pekerja melalui peningkatan kegiatan/aktvitas produksi. Untuk mendapat gambaran mengenai kebijakan subsidi terhadap barang impor dapat dilihat pada Gambar 1.
Price
Price
Output
(a)S+PI
Output
(b)S+CI
Gambar 1 Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor Sumber : Monke dan Pearson 1989
Keterangan Pw : Harga di pasar internasional Pd : Harga di pasar domestik + S PI : Subsidi positif kepada produsen untuk barang impor S + CI : Subsidi positif kepada konsumen untuk barang impor
23 Gambar 1 (a) menggambarkan adanya subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga pasar internasional (Pw) lebih rendah dari harga dalam negeri (Pd), sehingga menghasilkan tingkat subsidi sebesar Pd-Pw. Kebijakan subsidi sebesar Pd-Pw kepada produsen akan meningkatkan produksi dari Q1 ke Q2, namun kenyataannya produksi dalam negeri tetap pada Q3 karena tidak merubah harga dalam negeri. Transfer total dari pemerintah kepada produsen (domestik) barang impor sebesar Q2 x (Pd-Pw) atau sebesar PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor akan diproduksi sendiri dengan biaya opportunity cost sebesar Q1CAQ2 dan biaya opportunity cost bila barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2 atau seluas CAB. Gambar 1 (b) menunjukkan adanya subsidi positif untuk konsumen barang impor. Harga di pasar internasional (Pw) lebih tinggi daripada harga dalam negeri (Pd). Terdapat subsidi sebesar Pw-Pd kepada konsumen barang impor mengakibatkan produksi barang impor menurun dari Q1 menjadi Q2, akan tetapi konsumsi dalam negeri meningkat dari Q3 menjadi Q4. Hal ini diakibatkan karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menurun. Subsidi kepada konsumen barang impor ini menyebabkan meningkatnya impor dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Terdapat transfer dari pemerintah sebesar PwGHPd, yang teridiri dari dua bagian. Transfer dari produsen dan konsumen sebesar PwABPd dan transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar sebesar ABHG. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen, output turun dari Q1 menjadi Q2 mengakibatkan hilangnya pendapatan sebesar Q2FAQ1 atau sebesar Pw x (Q1-Q2), kemudian terdapat penghematan input yaitu sebesar Q2BFQ1, yang menyebabkan inefisiensi sebesar AFB. Meningkatnya konsumsi dari Q3 menjadi Q4 mengakibatkan adanya opportunity cost sebesar Pw x (Q4-Q3) atau sebesar Q3EGHQ4. Inefisiensi yang terbentuk adalah EGH, sehingga inefisiensi total yang terbentu adalah sebesar AFB dan EGH. Selain kebijakan subsidi terdapat pula kebijakan hambatan perdagangan barang impor dan ekspor, dapat dilihat pada gambar 2 berikut. Gambar 2 (a) menjelaskan adanya hambatan pada barang impor. Adanya pengenaan tarif sebesar PD-PW akan menyebabkan adanya kenaikan harga output domestik dan permintaan dalam negeri menurun dari Q3 ke Q4, kemudian produksi domestik meningkat dari Q1 ke Q2, dan impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Produsen menerima transfer dari konsumen yaitu sebesaar PDEFPW dan pemerintah sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang pada konsumen yaitu merupakan selisih antara Q4ACQ3 (willingness to pay) dengan Q4BCQ3 (opportunity cost), sehingga konsumen dan produsen kehilangan efisiensi berurutan sebesar luas daerah ABC dan EFG.
24 Price
Price
Output
(2a)
(2b)
Output
Gambar 2 Penerapan kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif pada barang impor (2a) dan barang ekspor (2b) Gambar 2 (b) menunjukkan adanya kebijakan hambatan pada barang ekspor, penerapan tarif ekspor sebesar PW-PD menyebabkan turunnya harga output domestik dan diikuti meningkatnya permintaan dari Q1 ke Q2. Adapun ekspor akan meningkat dari Q2Q4 menjadi Q1Q3. Produsen menerima transfer dari pemerintah dan konsumen berturut-turut sebesar PDEFPW dan FEAB. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input Kebijakan pemerintah juga ditetapkan pada harga input, kebijakan input tersebut diberlakukan dalam input tradable (Input impor), dan impor non tradable (input domestik). Kebijakan berupa subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) dapat diterapkan pada kedua input tersebut, baik tradable maupun non tradable. Akan tetapi untuk kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input non tradable diproduksi dan di konsumsi di dalam negeri. Berikut adalah ilustrasi intervensi pemerintah terhadap harga input baik tradable maupun non tradable. 1. Input Tradable (Input Impor) Price
Price
(3a)
Output
(3b)
Gambar 3 Penerapan pajak dan subsidi pada input tradable
Output
25 Sumber: Monke and Pearson 1989
Keterangan : Gambar 3a : Penerapan pajak pada input tradable Gambar 3b : Penerapan subsidi pada input tradable Pw : Harga di pasar internasional Pada Gambar 3a, adanya pajak pada input yang diperdagangkan menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output dalam negeri turun dari Q1 ke Q2 dan kurva penawaran bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CA Q2 dengan biaya produksi dari output Q2BC Q1. Gambar 3b mengilustrasikan pengaruh subsidi pada input yang diperdagangkan, menyebabkan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke kanan bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat (Q1ACQ2) dengan meningkatnya output yaitu sebsar Q1ABQ2. 2. Kebijakan Input Non Tradable (Input Domestik) Price
Price
Output Output
(4a) (4b) Gambar 4 Penerapan kebijakan pajak dan subsidi pada input non tradable Sumber : Monke and Pearson 1989
Keterangan : Gambar 4a : Penerapan pajak pada input non tradable Gambar 4b : Penerapan subsidi pada input non tradable Pd : Harga awal Penerapan kebijakan pajak baik pada produsen maupun konsumen tidak berbeda, pada Gambar 4a terlihat dengan adanya subsidi negatif atau pajak (PC PP) menyebabkan adanya keseimbangan baru yang dimana produsen dan konsumen akan membagi beban pajak karena output yang dihasilkan hanya sebesar Q2. Apabila seluruh pajak dibebankan pada produsen maka produksi akan berkurang (dibawah Q2) misalkan di Q3, maka pada kondisi ini harga yang diterima produsen setelah pajak adalah diatas PP’, sedangkan harga yang diterima
26 konsumen akan diatas PC. Efisiensi ekonomi yang hilang sebesar BAC sedangkan efisiensi produksi adalah sebesar DAB. Penerapan subsidi pada barang non tradable dapat dilihat pada gambar 4b, adanya subsidi akan meningkatkan output dari Q1 ke Q2 sehingga agar yang diterima konsumen lebih rendah dibandingkan harga awal (PD), sedangkan harga yang ditetapkan produsen lebih tinggi dibandingakan harga awal (PD). Efisiensi yang hilang dihitung dari perbandingan antara nilai tambahan output (Q1ABQ2) terhadap tambahan biaya produksi dan willingness to pay konsumen yaitu sebesar ACD. Policy Analysis Matrix Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan suatu alat atau pendekatan yang mengkaji dampak kebijakan Pemerintah di bidang pertanian baik kebijakan harga maupun kebijakan investasi. Menurut Monke dan Pearson (1989), tiga tujuan utama dari metode PAM adalah (1) memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian yang berkaitan dengan isu daya saing usahatani, dampak investasi public dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani, dan isu yang terakhir adalah dampak investasi baru dalam bentuk riset dan teknologi, (2) tujuan kedua, menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity costs), (3) menghitung transfer effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Metode PAM menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi output maupun factor produksi (lahan, tenaga kerja dan modal). Beberapa asumsi yang digunakan dalam metode PAM, diantaranya adalah 1. Perhitungan berdasarkan harga privat (privat cost) yaitu harga yang benarbenar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen baik input maupun output atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan. 2. Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna ( atau harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan. Harga sosial ini juga merupakan harga yang akan menghasilkan alokasi terbaik dari sumberdaya. 3. Output bersifat tradable (dapat diperdagangkan) dan input dapat dipasarkan ke dalam input faktor domestik dan input tradable. 4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniandakan, sehingga dengan demikian eksternalitas dianggap nol. Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom, dan terdiri atas dua identitas, identitas tingkat keungtungan (profitability identity) dan identitas penyimpangan (divergences identity). Identitas keuntungan pada sebuah Tabel PAM adalah hubungan perhitungan lintas kolom dari matriks. Keuntungan didefinisikan sebagai pendapatan dikurangi biaya. Semua angka dibawah kolom bernama profit, dengan sendirinya identik dengan selisih antara kolom yang berisi revenue dan kolom yang berisi cost (termasuk didalamnya biaya input tradable dan factor domestik). Identitas penyimpangan (divergences identity) adalah hubungan lintas baris dari matriks. Divergensi menyebabkan harga privat suatu komoditas berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat, baik karena pengaruh kebijakan yang distortif, yang menyebabkan harga privat berbeda
27 dengan harga sosialnya, atau karena kekuatan pasar gagal menghasilkan efisiensi. Semua angka pada baris ketiga pada Tabel PAM didefinisikan sebagai “effects of divergences” dan sama dengan selisih antara angka pada baris pertama, yang dinilai dengan harga privat (private price) dan angka pada baris kedua, yang dinilai dengan harga sosial (social price). Menurut Pearson et al (2005) kelebihan analisis PAM adalah perhitungan dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, output beragam, dan dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, tipe usahatani, dan teknologi. Namun matriks PAM juga memiliki kelemahan diantaranya adalah tidak membahas analisis dan perhitungan secara mendalam. Menurut Morrison dan Balcombe (2002), kelemahan dari metode PAM, yaitu: 1. Keakuratan data yang digunakan, diantaranya: pertama, harga pasar dan kuantitas input yang digunakan pada baris pertama matrik PAM sering dikumpulkan dalam keadaan sistem informasi pasar pertanian yang kurang berkembang. Di sektor pertanian, keragaman harga-harga input dan output tidak cukup digambarkan dengan harga rata-rata biasa. Kedua, umumnya harga dunia (world price) digunakan untuk menyusun harga perbatasan (border parity price), kemudian digunakan sebagai proxy dari harga ekonomi. Hal ini menimbulkan kesulitan karena adanya hambatan perdagangan di banyak negara menyebabkan variabilitas harga dunia cenderung tinggi, namun variabilitas ini umumnya tidak ditransmisikan secara penuh ke harga domestik. 2. Metode PAM merupakan kerangka kerja parsial dan statis, serta mengabaikan umpan balik (feedback) dan efek multiplier. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat dampak perubahan di sisi input, output dan alternatif kebijakan terhadap suatu komoditas. Analisis sensivitas merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui akibat dari perubahan parameter-parameter produksi terhadap perubahan kinerja system produksi dalam menghasilkan keuntungan. Dengan melakukan analisis sentivitas maka akibat yang mungkin terjadi dari perubahan-perubahan tersebut dapat diketahui dan diantisifikasi sebelumnya. Langkah ini perlu dilakukan karena analisis dalam metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan analisis yang bersifat statis. Analisis sensitivitas digunakan untuk mengurangi kelemahan tersebut. Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana perubahan hasil analisis suatu kegiatan ekonomi bila ada suatu kesalahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Menurut Kadariah (2001), analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan cara: 1. Mengubah besarnya variabel-variabel penting secara terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase tertentu, dan menentukan tingkat kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut. 2. Menentukan sampai sejauh mana suatu variabel harus berubah hingga hasil perhitungan menyatakan bahwa proyek tersebut tidak diterima.
28 Kerangka Pemikiran Operasional Daya saing komoditas yang dihasilkan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan daya kerja sumberdaya manusia terutama kemampuan manajerialnya. Keunggulan daya kerja manusia ditentukan empat faktor berikut (Yusdja 2004) ; (1) kemampuan manusia memanfaatkan dan mengelola alam mencakup kemampuan manusia dalam bekerja yang tidak dapat digantikan oleh daya kerja yang lain (2) kemampuan mengelola dalam menggunakan sumberdaya yang dikuasainya; (3) kemampuan menguasai modal, finansial, dan sumber daya alam dan (4) kemampuan menciptakan dan menggunakan teknologi. Landasan pemikiran tersebut di atas seharusnya dapat diimplementasikan pada tataran operasional di tingkat mikro. Seperti halnya di tingkat peternak sapi di Kabupaten Bojonegoro misalnya, sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan agribisnis sapi potong, harus mempunyai daya saing agar mampu bersaing dengan semakin banyak sapi hasil persilangan dengan bakalan impor. Apalagi pada tahun 2015 yang akan datang, Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang merupakan perjanjian untuk meliberalisasi perdagangan barang, jasa, dan investasi, salah satunya adalah komoditas pertanian. Indonesia juga telah menandatangi perjanjian AANZFTA (ASEANAustralia-New Zealand FTA), yang salah satu isinya adalah liberalisasi perdagangan. Australia dan New Zealand merupakan Negara importir terbesar sapi hidup dan daging untuk Indonesia, berkisar sebesar 90 persen. Volume impor sapi hidup dari Australia dari Januari-September 2014 adalah sebesar 174 705 ton sapi hidup, dengan nilai impor sebesar 470 079 821 US$. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan kebijakan pemerintah untuk melindungi industry peternak sapi dalam negeri yang terancam kalah saing dengan sapi impor. Kabupaten Bojonegoro mempunyai daya dukung lahan yang potensial untuk pengembangan ternak rumainansia. Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Bojonegoro, pada tahun 2013 dari luas wilayah 230 706 Ha, terdapat 104 514.7 Ha (45.30 persen) lahan yang potensial sebagai sumber Hijauan Makanan Ternak (HMT) yang berupa rumput lapangan, rumput unggul dan limbah pertanian. Keseluruhan sumber daya lahan dapat menghasilkan pakan ternak yang dapat menampung 198 648 satuan ternak (ST). Potensi peternakan yang ada di Kabupaten Bojonegoro juga tidak lepas dari berbagai permasalahannya diantaranya adalah (1) harga daging sapi lokal belum bersaing dengan daging impor, (2) kepemilikan ternak 1 sampai 4 sapi potong, (3) Belum berorientas bisnis (4) lemahnya permodalan peternak, (5) rendahnya pengetahuan dan teknologi yang dimiliki peternak. Dengan adanya permasalahan tersebut, lalu bagaimana dengan peranan kebijakan Pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Identifikasi kebijakan diperlukan dalam menganalisis kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dalam bidang peternakan sapi pada khususnya. Kebijakan yang selama ini ditetapkan pemerintah terkait dengan peternakan sapi potong, apakah berdampak terhadap daya saing sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Bentuk intervensi pemerintah tersebut dapat di analisis melalui Matriks PAM (Policy Analysis Matrix). Beberapa indikator yang digunakan dalam analisis menggunakan metode PAM adalah indikator keunggulan komparatif terdiri dari keungtungan sosial dan rasio sumber daya
29 domestik (DRC), Indikator keunggulan kompetetitif yang terdiri dari keuntungan privat dan rasio biaya privat (PCR), dan indicator yang terakhir adalah indikator dampak kebijakan yang terdiri dari kebijakan output (TO, NPCO), kebijakan input (IT, NPCI, TF), kebijakan input-output (EPC, TB, PC, SRP). Indikator-Indikator daya saing tersebut diharapkan dapat menjadi indikator implikasi kebijakan yang bisa diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terkait kebijakan agribisnis sapi potong. Secara lengkap kerangka penelitian operasional analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Tengah dapat diihat pada Gambar 5 di bawah ini.
Sapi Potong merupakan komoditas unggulan Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu sentra produksi sapi potong
Permasalahan : 1. Harga daging sapi lokal belum bersaing dengan daging impor 2. Kepemilikan ternak 1-4 sapi 3. Belum berorientasi bisnis 4. Rendahnya pengetahuan dan teknologi yang dimiliki peternak
PAM (Policy Analysis Matrix) Daya Saing 1. Keunggulan Komparatif a. Keungtungan Sosial b. Rasio Sumber Daya Domestik (DRC) 2. Keunggulan Kompetetitif a. Keuntungan Privat b. Rasio Biaya Privat (PCR) Dampak Kebijakan 1. Kebijakan Output (TO, NPCO) 2. Kebijakan Input (IT, NPCI, TF) 3. Kebijakan Input-Output (EPC, TB, PC, SRP) Analisis Sensitivitas &Elastisitas
Kebijakan Pemerintah : - Input - Output - Input dan Output
Implikasi Kebijakan Usaha Sapi Potong Gambar 5 Kerangka pemikiran daya saing ternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro
30
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai daya saing sapi potong ini dilaksanakan di Kabupaten Bojonegoro dimana pemilihan lokasi ini secara purposive (sengaja), dan juga berdasarkan pertimbangan karena Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu daerah sentra populasi sapi potong yang pertumbuhan populasinya sapinya terbesar (selama tahun 2009-2013) di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Kecamatan sebagai daerah penelitian, yaitu Kecamatan Tambakrejo, berdasarkan pada Kecamatan sentra yang terbesar populasi sapi dan produksi dagingnya di Kabupaten Bojonegoro, data dapat dilihat pada Tabel 3. Pemilihan desa ditentukan berdasarkan pada jumlah ternak sapi potong terbesar di Kecamatan Tambakrejo, yaitu di Desa Napis, dengan populasi sapi potong pada tahun 2013 (BPS, 2014) adalah 2 471 ekor. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2015. Tabel 3 Populasi sapi potong dan produksi daging di Kabupaten Bojonegoro tahun 2013 No. Kecamatan Populasi (Ekor) 1. Margomulya 8 253 2. Ngraho 8 960 3. Tambakrejo 14 784 4. Ngambon 3 062 5. Sekar 7 023 6. Bubulan 2 006 7. Gondang 4 208 8. Temayang 6 129 9. Sugiwaras 6 559 10. Kedungadem 12 034 11. Kepohbaru 3 041 12. Baureno 3 021 13. Kanor 3 648 14. Sumberejo 4 037 15. Balen 3 741 16. Sukosewu 3 682 17. Kapas 4 520 18. Bojonegoro 1 383 19. Trucuk 4 974 20. Dander 5 686 21. Ngasem 10 926 22. Kalitidu 7 471 23. Malo 7 311 24. Purwosari 6 218 25. Padangan 3 645 26. Kasiman 6 105 27. Kedewan 3 583 28. Gayam 4 027 Sumber : Bojonegoro Dalam Angka, BPS (2014)
Produksi Daging Sapi (Ton) 201.60 218.87 361.14 74.80 171.56 49.00 102.79 149.72 160.22 293.96 74.28 73.80 89.11 98.61 91.38 89.94 110.41 33.78 121.50 138.90 266.90 182.50 178.59 151.89 89.04 149.13 87.52 98.37
31 Jenis dan Sumber Data Penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, wawancara, dan pengisian kuesioner oleh peternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Data primer meliputi data mengenai usaha penggemukan diantaranya berupa biaya dan penerimaaan, serta data karakteristik peternak sapi potong yang terdiri dari umur dan jenis kelamin peternak, tingkat pendidikan, pengalaman usaha ternak, skala usaha, kepemilikan asset dan modal, dan deskripsi usaha ternak sapi potong. Data sekunder adalah data pelengkap yang diperoleh berdasarkan literatur-literatur yang diambil dari buku dan artikel serta lembaga atau instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik (BPS) data populasi sapi potong dan produksi daging sapi, data kebijakan mengenai impor sapi, harga daging sapi baik lokal maupun impor, data statistik perdagangan dari Kementrian Perdagangan, serta jurnal dan artikel ilmiah terkait topik penelitian. Metode Penentuan Responden Penelusuran dan pemilihan responden dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dimana setelah penentuan lokasi penelitian, maka responden yang dipilih adalah responden yang mempunyai ternak sapi potong, dan melakukan usaha penggemukan. Metode penentuan sampel digunakan untuk memperoleh data primer yang mewakili populasi yang ada karena tidak semua peternak sapi potong sumber data primer. Peternak sapi potong yang dipilih adalah peternak sapi potong yang sedang mengusahakan ternaknya, dan melakukan perdagangan. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 40 peternak. Berdasarkan data BPS (Sensus Pertanian tahun 2013) populasi jumlah rumah tangga yang melakukan usaha peternakan sapi potong di Desa Napis adalah 523 rumah tangga, dengan rincian usaha yang melakukan penggemukan atau pembesaran sapi potong adalah 207 peternak, usaha pembibitan 182 peternak, dan sisanya sebesar 134 adalah rumah tangga yang melakukan usaha sapi potong campuran antara pembibitan dan pembesaran. Penentuan jumlah responden 40 peternak didasarkan pada metode statistik yang mendekati distribusi normal. Menurut Gay dan Diehl (1992) untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10 persen dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok. Namun dalam analisis PAM (Policy Analysis Matrix) jumlah responden yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Menurut Pearson et al. (2005) bahwa data yang diambil untuk PAM bisa dari contoh yang tidak terlampau besar, baik dari segi petani, peternak pedagang, pelaku usaha, maupun pengolahan, karena data yang dimasukkan dalam PAM merupakan modus (central tendency), bukan parameter yang diestimasi melalui model ekonometrik dengan jumlah contoh yang valid secara statistik. Peneliti dirangsang untuk mengumpulkan lebih banyak informasi baik dari segi aspek maupun kedalaman, dibanding jumlah petani yang diwawancara.
32 Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan gambaran umum usaha peternakan dan sistem agribisnis sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, kemudian untuk mengetahui daya saing dan pengaruh kebijakan Pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro digunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dalam penelitian ini meliputi pendeskripsian usaha agribisnis sapi potong di Kabupaten Bojonegoro yang meliputi karakteristik peternak responden, kepemilikan ternak sapi potong, lama penggemukan sapi potong, keragaan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, kesehatan ternak dan pertambahan bobot ternak, lembaga pemasaran sapi potong, dan kebijakan input, output usaha penggemukan sapi potong. Analisis usaha agribisnis sapi potong ini bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan usahaternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro mulai dari penyediaan pakan sampai lembaga-lembaga yang terkait dalam usaha agribisnis sapi potong. Selain itu juga memberikan informasi terkait potensi peternakan khususnya ternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Analisis Kuantitatif Metode Policy Analysis Matrix (PAM) Matriks PAM terdiri dari dua identitas perhitungan yaitu: profitability identity dan divergences identity, namun dalam penelitian ini analisis yang digunakan dibatasi yaitu hanya menghitung keuntungan privat, keuntungan sosial, daya saing dengan analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Metode analisis PAM tidak hanya digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif (keuntungan social), tetapi juga mengukur dampak intervensi pemerintah pada suatu aktivitas ekonomi. Dalam penelitian ini, metode PAM digunakan untuk melakukan kajian daya saing usaha penggemukan sapi potong. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis PAM yaitu tahapan penyusunan metode PAM. Berikut tahapan penyusunan metode PAM adalah sebagai berikut : a. Analisis indikator kebijakan b. Penentuan input dan output usaha penggemukan sapi potong c. Identifikasi biaya yang terdiri dari input tradable dan input non tradabel (input domestik) d. Menentukan harga bayangan (harga sosial/ekonomi) input dan output usaha penggemukan sapi potong e. Menghitung penerimaan dan pendapatan usaha penggemukan sapi potong f. Tabulasi dan analisis indikator keunggulan komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi potong Berikut secara lengkap PAM disajikan dalam Tabel 4
33
Keterangan Harga privat Harga Sosial Efek Divergensi
Tabel 4 Policy Analysis Matrix Biaya Penerimaan Input Non Keuntungan Input Tradable Tradable A B C D E F G H I J K L
Keterangan: A : Penerimaan Privat B : Biaya input Tradable Privat C : Biaya input non tradable Privat D : Keuntungan Privat = A-(B+C) E : Penerimaan Sosial
G : Biaya Input non tradable Sosial H : Keuntungan Sosial = E-(F+G) I : Transfer Output = A-E J : Transfer input Tradable = B-F K : Transfer Faktor = C-G
F : Biaya input tradable Sosial
L : Transfer bersih
= I-(K+J)
Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Ukuran keuntungan dan transfer bersih (net transfer) merupakan hasil analisis terpenting dalam sebuah analisis PAM. Meskipun demikian format sebuah Tabel PAM memungkinkan hasil analisis tersebut dirinci menurut komponen pendapatan maupun biaya sehingga memungkinkan untuk mengukur output transfer , input transfer, dan factor domestic transfer (Tabel 4). Analisis PAM bisa digunakan untuk sistem komoditas individual yang berbeda, jenis usaha penggemukan, dan teknologi. Tabel 4 memperlihatkan bentuk Tabel (matrix) PAM. Baris pertama didasarkan pada harga privat. Nilai-nilai pada baris ini menggunakan data harga yang benar-benar diterima atau dibayar oleh petani (harga aktual) atau oleh pelaku agribisnis lainnya. Keuntungan privat mengukur daya saing, yakni insentif bagi petani untuk memproduksi suatu komoditas. Baris kedua, berisi nilai-nilai yang didasarkan pada estimasi pendapatan dan biaya social. Nilai-nilai ini didasarkan pada harga paritas untuk barang-barang tradable dan opportunity cost untuk sumberdaya domestik. Kolom keuntungan memberikan nilai untuk mengukur tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya dan menunjukkan apakah sebuah komoditas memiliki keunggulan komparatif. Pada baris ketiga, setiap kolom berisikan selisih antara nilai-nilai yang dihitung berdasarkan harga privat (baris pertama) dengan nilai-nilai yang dihitung menggunakan harga social (baris kedua). Bila kegagalan pasar pengaruhnya tidak besar, maka selisish tersebut disebabkan oleh intervensi kebijakan pemerintah. intervensi kebijakan ini merupakan focus utama dalam penelitian ini. Pada Tabel 4 PAM di atas, kemudian dapat dianalisis dengan berbagai indikator, yang juga menjawab tujuan penelitian yang pertama adalah sebagai berikut: 1) Analisis Keuntungan privat atau Private Profitability (PP) : D = A – (B + C); Ket : D = Profit atau Keuntungan berdasarkan harga aktual (Keuntungan Privat). A = Penerimaan (Harga aktual). Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian antara rata–rata jumlah produksi (Kg) dikalikan harga jual (Rp). B = Biaya input yang diperdagangkan (Tradable) berdasarkan harga aktual. C = Biaya Faktor domestik (Biaya Input non tradable) berdasarkan harga aktual. Jika keuntungan privat negatif (D lebih kecil daripada 0), maka usaha pengemukan
34 sapi potong mengalami kerugian atau tidak layak untuk diusahakan. Sebaliknya jika D lebih besar daripada 0 berarti usaha penggemukan sapi potong layak untuk diusahakan karena memiliki keuntungan diatas normal. 2) Analisis keuntungan sosial atau Sosial Profitability (SP): H=E–(F +G); Ket : H = Profit atau Keuntungan berdasarkan harga sosial. E = Penerimaan (Harga sosial) Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian antara rata – rata jumlah produksi (kg) dikali dengan harga sosial sapi potong. F = Biaya input yang diperdagangkan di pasar internasional. G =Biaya faktor domestik (Biaya input non tradable) berdasarkan harga sosial. Apabila H lebih kecil daripada 0 maka usaha penggemukan dikatakan tidak efisien. Sebaliknya jika jika H lebih besar daripada 0 menunjukan bahwa usaha penggemukan makin efisien dan memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. 3) Efisiensi Finansial (Keunggulan Kompetitif) dengan indikator Private Cost Ratio: PCR=C/(A– B); Usaha penggemukan dikatakan memiliki Keunggulan Kompetitif apabila nilai PCR lebih kecil daripada 1. Semakin kecil nilai PCR berarti semakin kompetitif. 4) Analisis efisiensi ekonomik atau keunggulan komparatif dengan indikator Domestik Resource Cost Ratio : DRCR = G / (E – F); Nilai DRCR lebih kecil daripada 1 menunjukan usaha penggemukan sapi potong efisien atau menguntungkan secara ekonomis dalam pemanfaatan sumberdaya domestik dan apabila DRCR lebih besar daripada 1 menunjukan kegiatan tersebut tidak efisien. Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah Indikator dampak kebijakan pemerintah merupakan metode analisis untuk menjawab tujuan kedua dari penelitian daya saing sapi potong ini, yaitu dampak kebijakan yang berupa penghapusan pembatasan kuota sapi dan daging sapi, serta penerapan tarif impor pakan ternak. 1. Kebijakan Input a. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F Koefisien proteksi input nominal merupakan rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga financial (privat) dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi dari pemerintah terhadap produsen input sehingga sektor yang menggunakan input tersebut terpaksa dirugikan dengan tingginya biaya produksi. b. Transfer Faktor (K) = C-G Transfer factor atau transfer input domestik merupakan indikator yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input non tradable. Apabila transfer faktor bernilai positif berarti terdapat kebijakan pemerintah yang sifatnya melindungi produsen input domestik. Nilai transfer faktor diperoleh dari selisih antara biaya input non tradable privat dengan biaya input non tradable sosial. c. Transfer Input (J) = B-F Transfer input merupakan indikator yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input tradable. Transfer input merupakan selisih antara biaya berdasarkan harga finansial dan
35 biaya berdasarkan harga sosial. Nilai transfer input positif mencerminkan bahwa produsen harus membayar inputnya lebih mahal. Apabila nilai transfer input negatif berarti bahwa produsen tidak perlu membayar secara penuh korban sosial yang seharusnya dibayarkan.
2. Kebijakan Output a. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio antara penerimaan berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Apabila nilai NPCO lebih besar dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan harga output di pasar lokal lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia. b. Transfer Output (I) = A- E Transfer Output (I) = A-E, output transfer mengukur implicit pajak atau subsidi dengan cara pendapatan privat (A) dikurangi pendapatan sosial (E). jika nilai transfer input lebih besar daripada 0, menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable, demikian juga sebaliknya. 3. Kebijakan Input-Output a. Transfer Bersih (L) = I- (K+J) Transfer bersih atau net transfer bisa dihitung baik dengan identitas keuntungan (I-(J+K) maupun dengan identitas divergensi (D-H). Dengan kata lain, net transfer bisa diartikan sebagai sebagai dampak bersih (Net Effect) dari seluruh divergensi atau selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Apabila nilai NT lebih besar daripada 0, maka menunjukkan adanya tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian juga sebaliknya. b. Koefisien Keuntungan (PC) = D/H Koefisien keuntungan didapat melalui pembagian antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial, Apabila nilai koefisien keuntungan lebih besar dari satu, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya apabila nilai koefisien keuntungan lebih kecil dari satu, berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tidak ada intervensi pemerintah. c. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A-B)/(E-F) Nilai EPC diperoleh melalui selisih antara pendapatan dengan biaya input tradabel privat atau selisih antara pendapatan sosial dengan biaya input tradabel sosial. Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat melindungi atau justru menghambat kegiatan pengusahaan suatu komoditas. d. Rasio Subsidi Bagi Produsen (SRP) = L/(A-B) Nilai SRP diperoleh dari nilai transfer bersih dibagi dengan selisih nilai penerimaan privat dengan input tradable pada privat. Nilai SRP yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya di atas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan.
36 Penentuan Alokasi Komponen Input Salah satu asumsi yang digunakan dalam metode PAM (Policy Analysis Matrix) menurut Monke dan Pearson (1989) adalah input yang dianalisis dibagi menjadi input tradable (tradable goods) dan input domestik (non tradables goods). Input tradable adalah input yang diperdagangkan secara internasional sehingga memiliki harga pasar sedangkan input non tradable adalah input yang tidak diperdagangkan secara internasional sehingga tidak memiliki harga pasar internasional. Selanjutnya menurut Kadariah (1978), yang disebut dengan tradable goods adalah barang yang: (1) sekarang di ekspor atau di impor; (2) bersifat pengganti yang erat hubungannya dengan jenis lain yang di ekspor atau di impor; (3) komoditas selain diatas dan dilindungi oleh pemerintah, yang sebenarnya dapat diperdagangkan secara internasional. Penentuan alokasi komponen input yang diklasifikasikan menjadi input tradable dan non tradable menjadi aspek yang penting dalam analisis PAM karena terkait dengan besarnya nilai indikator daya saing. Dalam metode PAM menurut Monke dan Pearson (1989) ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengalokasikan biaya (input) kedalam komponen domestik (non tradable) dan asing (tradable), yaitu pendekatan langsung dan pendekatan total. Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik diimpor maupun produksi domestik, dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable baik barang yang diimpor maupun produksi domestik dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Sedangkan pada pendekatan total, setiap biaya dari input tradable produksi domestik dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing. Pertambahan input tradable diasumsikan dipenuhi dari produk domestik. Pendekatan ini lebih tepat digunakan apabila produsen domestik dilindungi, sehingga tambahan penawaran input tradable datang dari produsen domestik. Pendekatan alokasi input dalam penelitian ini menggunakan pendekatan total. Penentuan persentase input tradable dan non tradable berdasarkan tabel Input dan Output Nasional Indonesia tahun 2008, dan karena keterbatasan data updating maka penentuan persentase input juga berdasarkan data BPS mengenai jumlah produksi dan jumlah impor untuk bahan utama yang digunakan input tersebut. Penentuan alokasi biaya input disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Alokasi biaya input berdasarkan komponen tradable (asing) dan non tradable (domestik) Jenis Input Sapi Bakalan Hijauan Dedak Garam Lahan Tenaga Kerja Peralatan Kandang Albenola Obat Nyamuka Bensin (BBM)b Vitamin B Complexc
Komponen domestik (%) Komponen asing (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 65 65 4 20
0 0 0 0 0 0 0 0 35 35 96 80
37 Sumber : aTabel Input Output Indonesia tahun 2008, disinkronkan dengan data BPS tahun 2013 mengenai Produksi dan Impor bahan utama albenol (Oxfendozole dan mebendzole), obat nyamuk (transflutrin, dan propoxur); b Data BPS Indonesia tahun 2013 mengenai Produksi dan Impor bahan utama bensin yaitu Minyak Mentah kode HS 2709001000 ; c Data BPS tahun 2013 mengenai bahan utama vitamin B complex (Vit B1,B2,B5,B6 sudah produksi dalam negeri, Vit B12 masih impor)
Penentuan Harga Bayangan Input dan Output Penggemukan Sapi Potong Harga Bayangan Input : 1. Harga Bayangan Lahan Menurut Pearson et al. (2005) salah satu cara menentukan harga bayangan lahan yaitu berdasarkan nilai sewa yang berlaku di daerah setempat. Penggunaan lahan sewa untuk peternakan di Kabupaten Bojonegoro sudah jarang sekali ditemukan, karena peternak lebih banyak yang memanfaatkan lahan milik sendiri. Akan tetapi kegiatan sewa menyewa lahan pertanian masih tetap berlangsung. Berdasarkan hal tersebut maka harga bayangan lahan pertanian di Kabupaten Bojonegoro adalah Rp800 000 000 per ha, atau Rp80 000 per m2. 2. Harga Bayangan Tenaga Kerja Harga bayangan tenaga kerja ditentukan berdasar tingkat harga upah dalam pertanian dan tingkat pengangguran di Kabupaten Bojonegoro. Menurut Gittenger (1986) dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminkan nilai produktivitas marjinalnya, dimana sebenarnya produk marginal masih dapat ditingkatkan, sehingga tingkat upah bayangan diduga lebih rendah dari upah aktual. Tingkat pengangguran di Kabupaten Bojonegoro adalah sebesar 29.7 persen, sehingga tingkat tenaga kerja di Kabupaten Bojonegoro yang sedang bekerja adalah 71.3 persen. Harga bayangan tenaga kerja dihitung dari nilai persentase penduduk yang bekerja dikalikan dengan tingkat upah tenaga kerja pertanian di Kabupaten Bojonegoro. 3. Harga Bayangan Sapi Bakalan Harga bayangan sapi bakalan ditentukan berdasarkan harga input tradable hal ni disebabkan oleh input bakalan sapi yang dipergunakan oleh peternakan sapi di Bojonegoro merupakan jenis sapi impor. Hal ini berarti penentuan harga bayangan sapi bakalan, diperoleh dari harga CIF (Cost Insurance Freight) sapi bakalan yang sudah disesuaikan dengan harga bayangan nilai tukar, kemudian ditambah biaya transportasi dan biaya tataniaga lainnya seperti bongkar muat, biaya penyusutan sehingga sampai ditingkat konsumen akhir. Penentuan harga sapi bakalan berdasarkan harga impor CIF sapi bakalan asal Australia (HS 0102291090) di pelabuhan Tanjung Priok-Jakarta. 4. Harga Bayangan Pakan Ternak dan Konsetrat Menurut Indrayani (2011), hampir seluruh bahan baku penyusun konsentrat (dedak dan ampas tahu) dan juga hijauan dapat digolongkan sebagai komponen non tradable, maka harga bayangannya diasumsikan sama dengan harga pasar, dimana didekati dengan harga konsentrat (dedak dan ampas tahu) yang berlaku di daerah penelitian. Untuk harga hijauan didekati dengan harga ditingkat petani yang menggambarkan harga biaya produksi yang digunakan untuk menghasilkan hijauan (didekati dengan hasil perkalian antara jumlah
38
5.
6.
7.
8.
tenaga kerja yang diperlukan untuk menyediakan hijauan dengan harga bayangan tenaga kerja tiap satuan atau total hijauan). Sedangkan bahan pakan suplemen berupa mineral didekati dengan harga CIF ditambah biaya transportasi sampai di lokasi penelitian. Harga Bayangan Obat-Obatan Harga bayangan untuk obat-obatan walaupun sudah diproduksi di dalam negeri namun sebagian bahan bakunya masih diimpor, sehingga harga bayangan untuk mineral dan obat-obatan berdasarkan harga CIF ditambah dengan biaya tataniaga lainnya. Kode HS untuk albenol atau obat cacing adalah H2933991000, kode HS garam HS 250109010, dan kode HS untuk vitamin B Complex adalah HS 2936220000-2936260000. Harga Bayangan Alat Pertanian Menurut Indrayani (2011), sebagian besar bahan bangunan kandang dan peralatan di Indonesia merupakan hasil produksi domestik, maka harga bayangan kandang dan peralatan sama dengan harga privat yang dihitung berdasarkan nilai penyusutannya. Harga bayangan kandang menurut Pearson et al. (2005) dapat dihitung dengan menggunakan Capital Cost Recovery Factor (CRCF), yang merupakan cara penghitungan yang sederhana yang memperhitungkan tingkat bunga modal (sebagai balas jasa untuk modal atau return to capital) dan biaya penyusutan investasi (return of capital). Harga Bayangan Bahan Bakar Minyak (Bensin) Bahan bakar minyak khususnya bensin biasa digunakan oleh peternak sebagai sumber energi motor untuk mencari atau membeli pakan seperti rumput, dedak maupun ampas tahu. Menurut Rouf (2014), saat ini Indonesia masih melakukan impor bensin, sehingga harga bayangan bensin yang digunakan adalah berdasarkan harga impor bahan bakar motor jenis RON 88 tanpa timbal (HS 2710121600) yang dikonversi dengan nilai tukar bayangan dan ditambah biaya transportasi dan penanganan. Harga Bayangan Nilai Tukar Menetapkan nilai tukar Rupiah dilakukan dengan berdasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing acuan yakni US Dollar pada tahun 2014. Menetapkan nilai tukar Rupiah dilakukan dengan berdasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing acuan yakni US Dollar pada tahun 2010. Gittinger (1986) berdasarkan Squire Van de Tak merumuskan formula dalam menentukan harga bayangan nilai tukar mata uang, yakni: Nilai faktor konversi standar menurut merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut:
SCF
Mt Xt ( Mt Tmt) ( Xt Txt ) ,
SERt
OERt SCFt
Keterangan : SCF = Standard Conversion Factor (faktor konversi standar tahun ke-t) SER = Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan tahun ke-t) OER = Official Exchane Rate (nilai tukar resmi pemerintah) Xt = Nilai Ekspor tahun ke-t (Rp) TXt = Pajak Ekspor tahun ke-t (Rp) Mt = Nilai Impor tahun ke-t (Rp) TMt = Pajak Impor tahun ke-t (Rp)
39 9. Harga Bayangan Bunga Modal Bunga modal merupakan harga dari penggunaan dana investasi/produksi selama periode tertentu. Penentuan harga privat bunga modal adalah dengan mengetahui bunga kredit pinjaman yang digunakan masyarakat di sekitar Bojonegoro. Pinjaman kredit yang paling banyak yang digunakan masyarakat Bojonegoro adalah kredit KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi). Bunga kredit KKPE yang berlaku untuk komoditas non tebu adalah bunga kredit LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) pada tahun 2014 ditambah 6 persen. Nilai bunga kredit LPS pada tahun 2014 rata-rata adalah 7 persen, ditambah dengan 6 persen, akan tetapi nilai bunga tersebut disubsidi pemerintah sebesar 4 persen jadi bunga keseluruhan dalam harga privat adalah 13 persen dikurangi 7 persen,menjadi 9 persen dari total biaya produksi. Harga bayangan untuk bunga modal ditentukan dengan menghitung bunga KKPE tanpa adanya subsidi dari pemerintah, karena konsep dari harga sosial adalah harga tanpa adanya kebijakan dari pemerintah. Tingkat bunga kredit pinjaman sebesar 14 persen dikalikan dengan total biaya produksi merupakan penentuan harga social bunga modal. Harga Bayangan Output Harga bayangan output ditentukan berdasarkan harga cif ditambah dengan biaya transportasi dan biaya tata niaga lainya, output dari sapi potong adalah daging sapi. Karena daging sapi merupakan komoditas impor maka digunakan harga CIF (Cost Insurance Freight), Menurut BPS tahun 2014 harga rata-rata CIF daging sapi dari Australia dan Selandia Baru adalah U$6.62/Kg di Pelabuhan Utama Tanjung Priuk, Jakarta. Harga impor daging sapi beku yang dipilih berdasarkan kode HS 020230. Harga CIF tersebut masih harus dikalikan dengan SER (Shadow Exchange Rate) serta dijumlahkan dengan biaya transportasi, bongkar muat, dan biaya penyusutan. Harga bayangan output belum dapat ditentukan karena informasi mengenai biaya transportasi dan biaya tambahan lainnya belum diperoleh sampai ada inforrmasi dilokasi penelitian. Identifikasi Kebijakan Adapun kebijakan-kebijakan tentang kegiatan impor sapi antara lain: 1. Peraturan Menteri Pertanian Nomor (19/Permentan/OT.140/2/2010) Hal ini berisi tentang Progam Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDSK-2014) yang merupakan upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik khususnya sapi potong. 2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER9/2011 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/9/2011. Peraturan enteri tersebut masing-masing berisi tentang ketentuan impor dan ekspor hewan dan produk hewan serta rekomendasi persetujuan pemasukan karkas, daging, jeroan dan olahan ternak ke dalam negeri yang menyimpulkan bahwa kegiatan impor akan dibatasi untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan yang berasal dari hewan lokal serta perwujudan progam swasembada pangan nasional. 3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 87/Permentan/ PD.410/9/2013 Peraturan kementerian pertanian ini berisi tentang rekomendasi persetujuan pemasukan sapi bakalan, sapi indukan dan sapi siap potong ke
40 dalam wilayah negara Indonesia. Pemerintah memberikan kepastian dalam pelayanan kepabeanan, kode HS Sapi dalam lampiran peraturan PD.410/8/2013 harus diharmonisasikan dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) dan peraturan perundang-undangan. 4. Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699/ M-DAG/ KEP/ 7/ 2013 Keputusan menteri ini berisi tentang stabilitas harga daging sapi. Harga daging sapi yang terus melonjak sepanjang tahun 2012 hingga 2013 membuat Menteri Perdagangan membutuskan untuk menghapus peraturan pembatasan kuota impor sapi. Hal ini dikarenakan tidak mampunya sumber daya ternak lokal untuk memenuhi kebutuhan nasional yang semakin besar yang akhirnya menimbulkan inflasi pada harga daging sapi. Tabel 6 Identifikasi kebijakan pemerintah berdasarkan input output No.
Jenis Kebijakan
Kebijakan
Isi Kebijakan
1.
Input
UU No.18 Tahun 2009
Peternakan dan Kesehatan Hewan, bebas dari Negara dari penyakit hewan menular utama dan Zoonatic Berbahaya (PHMU)
Hambatan Non Tarif Sanitary dan Phitosanitary (SPS) AgrementPermentan No 85 tahun 2013, Permentan No 87 tahun 2013; Permentan No 97 tahun 2013
Indonesia terhindar dari penyakit eksotik seperti Penyakit mulut dan kuku (PMK, Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), dan penyakit Rinderpest
Kebijakan tarif impor sapi dan daging sapi, Perpres No 26 tahun 2011 , Permenkeu No 208 tahun 2013, Permenkeu No 213 tahun 2011
Peraturan-peraturan tersebut menetapkan besar tarif impor untuk sapi bakalan sebesar 5 persen
Tarif pakan ternak sesuai dengan Permenkeu No 213 tahun 2011 adalah 0 persen dan 5 persen
Input yang dikenakan tarif sebesar 5 persen : dedak padi, tepung jagung, bahan tepung tulang dan vitamin B6 sedangkan input yang tidak dikenakan adalah premiks atau bahan tambahan makanan, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B5 dan obat cacing Untuk pengamanan pemasukan dari luar daerah retribusi makanan ternak sebesar Rp.5/Kg, dan ternak sapi sebesar Rp 10.000/ekor
Retribusi Pakan Ternak dan Pemasukan Ternak Sapi, PERDA Provinsi Jawa Timur N.9 Tahun 2009 Peraturan Meteri Pertanian 87/Permentan/ PD.410/9/2013
2.
3.
Output
Input-Output
Nomor
Pemasukan sapi bakalan, sapi indukan dan sapi siap potong ke dalam wilayah negara Indonesia.
Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699/ M-DAG/ KEP/ 7/ 2013
Menghapus peraturan pembatasan kuota impor sapi.
Peraturan Menteri Pertanian No. 20 Tahun 2009
Pemasukan karkas, daging dan atau hewan diatur hanya pihak tertentu, dan merupakan peluang ekspor ke Indonesia
Peraturan pembaharuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER9/2011 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/9/2011
Persetujuan pemasukan karkas, daging, jeroan dan olahan ternak ke dalam negeri kegiatan impor akan dibatasi.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 39 tahun 2014
Peraturan mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi berlaku semenjak tanggal 18 November 2014 solar, naik Rp 2000, per liternya.
Sumber : Kementan, Kemenndag, Pemda Prov Jawa Timur 2014
41 Definisi Operasional ; 1.
Responden merupakan peternak yang melakukan usaha penggemukan sapi potong. 2. Umur adalah lamanya (tahun) hidup peternak, diukur sejak responden dilahirkan sampai dengan wawancara dilakukan. Pengelompokan umur menggunakan skala rasio. 3. Status dalam rumah tangga dan jumlah anggota keluarga adalah status responden dalam rumah tangga peternak sapi potong dan jumlah tanggungan yang dimiliki oleh peternak sapi potong termasuk peternak sapi potong itu sendiri, dihitung berdasarkan kondisi pada saat wawancara dilakukan. 4. Pendidikan formal adalah lamanya (tahun) responden mengenyam pendidikan formal, diukur berdasarkan lamanya responden menempuh pendidikan sekolah hingga wawancara dilakukan menggunakan skala rasio. 5. Pengalaman beternak adalah lamanya (tahun) responden mengusahakan sapi. 6. Kepemilikan asset adalah jumlah aset yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga peternak sapi potong pada saat wawancara dilakukan. 7. Biaya produksi (Harga Privat) biaya yang dikeluarkan oleh peternak sapi potong terdiri atas: a. Biaya input Tradable yaitu sapi bakalan, konsentrat, dan obat. b. Biaya input Non-Tradable yaitu biaya tenaga kerja (RP/HOK), lahan (Rp), Modal, dan lainnya. 8. Biaya Produksi (Harga Sosial) atau harga bayangan (Shadow Price) yaitu biaya yang dihitung untuk menggambarkan nilai sosial yang sesungguhnya bagi unsur- unsur biaya atau hasil, terdiri atas: a. Biaya input Tradable (sapi bakalan, obat), yaitu semua yang diperdagangkan di pasar Internasional. Untuk barang/komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost Insurance Freight), sedangkan untuk barang/komoditas yang di ekspor digunakan harga FOB (Free on Board). 9. Biaya input Non Tradable yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal. 10. Bobot akhir sapi saat diperdagangkan (Kg). 11. Harga jual sapi pada saat itu (Kg) di tingkat peternak sapi potong (harga privat). 12. Keuntungan privat, yaitu perhitungan dari penerimaan dikurangi biaya untuk input yang diperdagangkan dan faktor domestik pada harga privat. 13. Keuntungan sosial, yaitu perhitungan dari penerimaan dikurangi biaya untuk input yang diperdagangkan dan faktor domestik pada harga sosial. 14. Rasio biaya privat, yaitu rasio antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah pada harga privat. 15. Rasio biaya sumberdaya domestik, yaitu rasio antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah output pada harga sosial. Analisis Sensitivitas dan Elastisitas Analisis sensitivitas merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui akibat dari perubahan parameter-parameter produksi terhadap perubahan kinerja sistem produksi dalam menghasilkan keuntungan. Dengan melakukan analisis sensitvitas maka akibat yang mungkin terjadi dari perubahan-perubahan tersebut
42 dapat diketahui dan diantisipasi sebelumnya. Analisis sensitivitas ini merupakan analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan ketiga dari penelitian daya saing sapi potong ini. Dalam penelitian ini analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui pengaruh kebijakan pemerintah, lingkungan strategis, struktur biaya produksi, dan perubahan produktivitas. Analisis sensitivitas penting untuk dilakukan, mengingat bahwa metode PAM merupakan metode analisis yang statis. Dalam analisis sensitivitas ini terdapat empat skenario perubahan input dan output akibat adanya kebijakan pemerintah. Adapun skenario tersebut antara lain. 1. Meningkatnya harga input pakan yaitu harga dedak atau bekatul sebesar 30 persen, disebabkan karena pada musim kemarau sangat sulit untuk mencari dedak, berdasarkan pengamatan dilapang harga dedak tinggi sangat musim kemarau karena kekeringan sehingga tidak banyak padi dan jerami yang dihasilkan. 2. Meningkatnya harga output yang berupa daging sapi baik harga dunia maupun harga lokal. Skenario meningkatnya harga output ini didasarkan pada meningkatkan harga daging sapi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berdasarkan data dari World Bank dan Pusdatin (2015), harga daging sapi lokal dalam kurun waktu 5 terakhir ini mengalami peningkatan, sedangkan untuk harga daging dunia fluktuatif selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Persentase meningkatnya harga daging dunia dan lokal tersedia pada Gambar 5.
100 80 60 40 % kenaikan 20 0 -20
Dunia Bojonegoro
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
-40 -60 Tahun
Gambar 6 Persentase kenaikan harga daging sapi lokal dan dunia Persentase kenaikan harga dunia daging sapi reratanya adalah 20.8, sedangkan untuk harga lokal di Kabupaten Bojonegoro rata-rata persentase kenaikannya adalah 8.8. Harga output yang fluktuatif ini akan mempengaruhi tingkat penawaran dari daging sapi di Indonesia. 3. Meningkatnya Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) sapi potong berjenis PO adalah 0.8 per kilogram per hari. Menurut Cahyo dan Yulianto (2011) pertambahan bobot badan harian untuk jenis sapi Peranakan Ongole adalah lebih besar dari 0.7 per kilogram per hari, penelitian sebelumnya menurut
43 Goyache et al. (2003) menyebutkan bahwa average daily gain sapi potong di Daerah Asturiana, Spanyol jenis limousine yang memiliki bobot diatas 350 kg adalah diantara 0.92-0.96 kg per hari, sedangkan untuk sapi yang memiliki berat kurang dari 300 kg standar average daily gain nya adalah 0.67 sampai 0.83 kg per hari, yang diusahakan selama 5 bulan. 4. Meningkatnya harga BBM bersubsidi sebesar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 39 tahun 2014 tentang perhitungan harga jual eceran bahan bakar minyak, kebijakan tersebut menetapkan harga bensin turun dari kebijakan sebelumnya yaitu per liternya sebesar Rp7 600 atau naik 17 persen dari harga Rp6 500 per liter nya. 5. Adanya penurunan tarif impor daging sapi dari 5 persen menjadi 0 persen, sebagai akibat jangka panjang perjanjian AANZFTA yang salah satu isi perjanjiannya adalah diterapkannya tarif impor 0 persen pada tahun 2025 baik daging sapi, sapi bakalan, maupun sapi hidup (Peraturan Kementerian Keuangan No 208/PMK.001 tahun 2013). Analisis selanjutnya setelah dianalisis sensitivas, dilakukan analisis elastisitas untuk mengukur tingkat kepekaan kebijakan perubahan harga input dan output terhadap tingkat daya saingnya baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Untuk mengukur elastisitas nilai PCR dan nilai DRC terhadap perubahan harga input dan output digunakan perhitungan sebagai berikut : 𝐸𝑙𝑎𝑠𝑡𝑖𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑃𝐶𝑅 =
∆𝑃𝐶𝑅/𝑃𝐶𝑅 ∆𝑋𝑖/𝑋𝑖
𝐸𝑙𝑎𝑠𝑡𝑖𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐷𝑅𝐶 =
∆𝐷𝑅𝐶/𝐷𝑅𝐶 ∆𝑋𝑖/𝑋𝑖
Keterangan untuk rumus diatas adalah sebagai berikut : ∆PCR = Perubahan nilai PCR ∆DRC = Perubahan nilai DRC ∆Xi = Perubahan parameter yang diuji Xi = Perubahan yang diuji Dimana kriteria, jika : Nilai elastisitas PCR atau DRC < 1, berarti perubahan harga input dan output tidak peka (inelastis) terhadap perubahan daya saing Nilai elastisitas PCR atau DRC ≥ 1, berarti perubahan harga input dan output peka (elastis) terhadap perubahan daya saing.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten yang dilalui oleh aliran sungai Bengawan Solo ini dulu merupakan bagian dari kerajaan Mataram. Bojonegoro dulu merupakan
44 Kadipaten yang diubah menjadi Kabupaten pada tanggal 20 Oktober 1677, tanggal ini hingga sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Bojonegoro. Secara astronomis Kabupaten Bojonegoro terletak pada posisi 112o25’ sampai 112o09’ Bujur Timur dan 6o59’ sampai 7037’ Lintang Selatan. Berdasarkan letak geografis Kabupaten Bojonegoro sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Madiun, Nganjuk, dan Ngawi, batas timur adalah Kabupaten Lamongan, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tuban, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Blora Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Bojonegoro terdiri atas dataran rendah yang meliputi sepanjang aliran sungai Bengawan Solo, dan dataran tinggi di bagian selatan termasuk daerah gunung Pandan Kramat dan Gajah. Menurut BPS Bojonegoro Dalam Angka (2014), luas wilayah di Kabupaten Bojonegoro adalah 2 307.06 km2 atau setara dengan 4.77 persen luas wilayah keseluruhan Provinsi Jawa Timur. Secara administratif Kabupaten Bojonegoro terbagi menjadi 28 kecamatan dan 430 desa/kelurahan. Topografi wilayah Kabupaten Bojonegoro terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi. Wilayah dataran rendah mencakupi 18.71 persen dari keseluruhan wilayah Kabupaten Bojonegoro dengan ketinggian dibawah 25 m (pusat kota +15 mdpl), sedangkan 81.29 persen merupakan wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 115 m diatas permukaan laut. Ketinggian wilayah yang paling rendah adalah Kecamatan Kepoh Baru dan Kecamatan Kanor dengan ketinggian wilayah yaitu 9 mdpl, sedangkan wilayah tertinggi adalah Kecamatan Ngasem dan Temayang dengan ketinggian 115 mdpl. Kemiringan wilayah kurang dari 2 persen merupakan wilayah terluas, kemiringan wilayah antara 2 sampai dengan 14.99 persen meliputi 36.16 persen wilayah, dan sisanya pada kemiringan lebih besar dari 15 persen meliputi 8.74 wilayah Kabupaten Bojonegoro. Menurut BMKG Jawa Timur suhu terendah Kabupaten bojonegoro pada tahun 2014 adalah 21oC, dan suhu tertinggi mencapai 40oC pada musim kemarau. Adapun kelembaban udara rata-rata 94.7 persen, dengan kelembaban udara terendah pada bulan Oktober 92.7 persen dan tertinggi pada bulan Maret yaitu mencapai 97.3 persen. Curah hujan rata pada tahun 2013 adalah 1805 mm, dengan hari hujan rata-rata 104 hari. Hari hujan tertinggi yaitu 139 hari terjadi di Kecamatan Sukosewu, sedangkan hari huja paling sedikit terjadi di Kecamatan Baureno yaitu hanya 67 hari (BPS Kab Bojonegoro 2014). Kecamatan Tambakrejo merupakan salah satu wilayah administrasi dari Kabupaten Bojonegoro. Kecamatan Tambakrejo terdiri dari 18 Desa dengan luas desa seluruhnya adalah 209.52 Km2, sedangkan untuk jumlah penduduknya adalah 60 961 jiwa yang terdiri dari 30 561 jiwa penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dan 30 400 jiwa penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Wilayah administrasi 18 Desa di Kecamatan Tambakrejo tersebut berada di sebelah barat pusat pemerintahan Kabupaten Bojonegoro. Kepadatan penduduk Kecamatan Tambakrejo pada akhir tahun 2013 sebanyak 291 jiwa per Km2. Mata pecaharian penduduk di Kecamatan Tambakrejo adalah mayoritas petani yang memiliki lahan sendiri maupun menyewa adalah sebesar 7 959 jiwa (60.39 persen), sedangkan penduduk yang pekerjaannya sebagai buruh tani sebesar 2 237 jiwa (16.96 persen). Mata pencaharian terbesar ketiga adalah pedagang dengan 971 jiwa (7.36 persen), selanjutnya yang berprofesi sebagai tukang kayu sebesar 770 jiwa (5.84 persen), PNS sebesar 598 jiwa (4.53 persen), yang bermata pencaharian dalam bidang industri sebesar 529 jiwa (4.01 persen), dan dalam bidang lainnya sebesar 120
45 jiwa (0.91 persen). Penggunaan lahan di Kecamatan Tambakrejo terdiri dari lahan sawah dan lahan kering, penggunaan lahan di Kecamatan Tambakrejo disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Penggunaan lahan di Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Desa Jatimulyo Napis Ngrancang Turi Mulyorejo Kacangan Sendangrejo Dolokgede Malingmati Tambakrejo Bakalan Jawik Sukorejo Gading Pengkol Tanjung Gamongan Kalisumber Jumlah
Luas Tanah Sawah (Ha) 189.5 381.4 200.6 159.4 249.6 29.3 78.5 126.9 261.1 198.6 242.8 110.7 180.0 167.4 112.0 147.0 264.9 202.5 3 302.2
Luas Tanah Kering (Ha) 1 138.5 4 750.6 2 485.4 2 415.6 708.4 51.0 99.5 177.1 1 852.9 752.4 553.2 207.3 311.0 167.6 119.0 137.0 873.1 850.5 17 650.1
Sumber : BPS Bojonegoro 2014
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa penggunaan lahan sawah terbesar di Desa Napis yaitu 381.4 Ha, lahan sawah tersebut sebagian besar merupakan sawah tadah hujan yang pengairannya sangat tergantung dengan curah hujan. Jenis sawah tadah hujan ini hanya menghasilkan ketika musim penghujan. Oleh karena itu banyak masyarakat di Bojonegoro yang memanfaatkan lahan kering yaitu seluas 17 650.1 Ha lebih luas penggunaannya dibandingkan luas tanah sawah. Pada saat musim kemarau masyarakat memanfaatkan tanah sawah untuk pertanian yang tidak memerlukan banyak air seperti jagung, kacang tanah, maupun kedelai. Selain itu lahan di Kecamatan Tambakrejo banyak ditanami pohon jati dan padang rumput, sehingga sebagian besar masyarakat memanfaatkan utuk pakan ternak atau sebagai tempat untuk menggembalakan hewan ternaknya. Karakteristik Peternak Responden Karakteristik peternak sapi potong di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo Kabupaten Bojonegoro, sama pada umumnya dengan karakteristik peternak Indonesia yang mempunyai ciri-ciri kepemilikan ternak skala kecil hanya 1-5 ternak, bukan merupakan pekerjaan utama tetapi merupakan pekerjaan sampingan. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan responden, sebagian besar peternak mempunyai pekerjaan utama sebagai petani maupun buruh tani, walaupun begitu sapi potong merupakan hewan ternak yang sangat di
46 istimewakan di Desa Napis. Masyarakat Desa Napis menganggap seseorang tersebut mampu jika memiliki sapi. Perlakuan terhadap sapi potong di Desa Napis sedikit berbeda dengan daerah lain, sapi potong di Desa Napis diberi minum yang hangat setiap pagi dan disediakan obat anti nyamuk agar pada malam hari sapisapi milik peternak tersebut dapat tidur dengan nyaman. Perlakuan-perlakuan tersebut merupakan salah satu karakteristik usaha sapi potong di Desa Napis. Beberapa karakteristik peternak responden yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah antara lain, usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, pekerjaan utama, pengalaman beternak, dan kepemilikan ternak. Sebaran petani responden berdasarkan usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman beternak dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik peternak sapi potong di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur No 1.
2.
3.
4.
5.
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur (tahun) a. 25-34 b. 35-44 c. 45-54 d. 55-64 e. 65-74 Berdasarkan Pendidikan a. Tidak Sekolah (0 tahun) b. SD (1-6 tahun) c. SMP (7-9 tahun) d. SMA/SMK (10-12) Berdasarkan Pengalaman Beternak (tahun) a. 1-5 b. 6-10 c. 11-15 d. 16-20 e. 20-25 f. >20 Jumlah Tanggungan Dalam Keluarga (jiwa) a. 1 b. 2 c. 3 d. 4 e. 5 Pekerjaan Utama a. Peternak b. Sampingan : Pedagang Sapi Petani Tukang kayu
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
6 14 10 9 1
15.00 35.00 25.00 22.50 2.50
8 26 4 2
20.00 65.00 10.00 5.00
12 9 7 6 1 5
30.00 22.50 17.50 15.00 2.50 12.50
5 19 8 7 1
12.50 47.50 20.00 17.50 2.50
31
77.50
5 2 2
12.50 5.00 5.00
Berdasarkan Tabel 8 umur peternak responden rata-rata berada pada usia produktif (25 sampai 54 tahun) yaitu 28 peternak, dengan persentase hampir mencapai 75 persen. Banyaknya responden yang berada di usia produktif menandakan bahwa usaha penggemukan sapi potong di Desa Napis ini dapat
47 menghasilkan keuntungan jika dikelola dengan baik. Responden yang berada pada usia non produktif adalah sebesar 25 persen yaitu 9 peternak, rata-rata usia peternak yang non produktif adalah 55 sampai 64 tahun, dan 1 responden berada pada umur 65 sampai 74 tahun. Usia yang produktif merupakan salah satu faktor yang penting berperan dalam usaha penggemukan sapi. Kegiatan penggemukan sapi merupakan suatu kegiatan yang memerlukan banyak tenaga diantaranya adalah kegiatan mencari pakan, membersihkan kandang, memberi pakan, dan lainnya, sehingga diharapkan peternak yang berada diusia produktif lebih memberikan kinerja yang efektif dan efisien bagi usaha penggemukan sapi potong. Karakteristik peternak berdasarkan pendidikan, diketahui bahwa responden yang menempuh bangku pendidikan sebesar 32 peternak dengan persentase 80 persen yang terdiri dari 26 peternak menempuh pendidikan selama 6 tahun atau SD (Sekolah Dasar) sebanyak 26 peternak dengan persentase sebesar 65 persen, peternak yang menempuh pendidikan selama 9 tahun atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 4 peternak dengan persentase sebesar 10 persen, dan peternak yang tidak menempuh bangku pendidikan sebanyak 8 peternak dengan persentase 20 persen. Masih adanya peternak yang belum mengenyam pendidikan mengindikasikan bahwa peternak sapi potong di Desa Napis masih sangat rendah akses terhadap pendidikannya. Menurut hasil wawancara dengan responden salah satu faktor yang menjadi penghambat untuk menempuh pendidikan adalah karena akses transsportasi yang yang sulit, dan jarak tempuh sekolah yang cukup jauh. Pendidikan penting untuk menunjang kemampuan peternak dalam menyerap informasi, inovasi, dan teknologi yang semakin maju. Karakteristik selanjutnya adalah karakteristik peternak berdasarkan pengalaman berternak, berdasarkan wawancara dengan responden diperoleh bahwa paling banyak peternak telah melakukan usaha penggemukan sapi selama 1 sampai 5 tahun yaitu sebanyak 12 peternak dengan persentase 30 persen, sedangkan untuk peternak yang telah melakukan usaha penggemukan selama 6 sampai 10 tahun adalah 9 peternak dengan persentase sebesar 22.5 persen, sisanya adalah peternak yang lebih dari 10 tahun dalam melakukan usaha penggemukan sapi. Pengalaman beternak yang belum terlalu lama ini mengindikasikan bahwa usaha penggemukan memang baru menarik minat masyarakat, karena rata-rata peternak yang berada di Desa Napis bukan melakukan usaha penggemukan tetapi melakukan usaha pembibitan. Usaha penggemukan dianggap peternak lebih menguntungkan karena langsung bisa dijual dengan cepat, dan keuntungan yang diperoleh lebih besar jika dibanding peternak melakukan usaha pembibitan. Pada tahun-tahun sebelumnya peternak melakukan usaha pembibitan, yaitu dengan tidak menjual sapi betina yang produktif sampai bisa menghasilkan anakan, anakan yang jantan akan dijual kemudian yang betina dipelihara, sehingga produktif untuk menghasilkan anakan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, sebenarnya masih banyak penduduk yang mengusahakan ternaknya baik penggemukan dan pembibitan, akan tetapi banyak yang tidak berkembang. Salah satu permasalahan yang menjadi penyebab usaha penggemukan ataupun pembibitan di Desa Napis tidak berkembang adalah karena beternak bukan merupakan pekerjaan utama akan tetapi pekerjaan sampingan. Kebanyakan peternak melakukan kegiatan usahatani dan beternak, seperti pada saat berada di sawah mereka mencari makan untuk ternaknya hanya sekitar 0.5 sampai 1 jam setelah itu kembali mengusahakan
48 lahannya. Akibatnya pakan yang didapat hanya sekedarnya berupa rumputrumputan saja, padahal untuk mendapatkan berat sapi yang selalu bertambah diperlukan kombinasi pakan yang baik seperti hijauan, konsentrat, serta vitamin lainnya. Kenyataannya di Desa Napis peternak masih belum berorientasi bagaimana untuk meningkatkan berat badan sapi. Hal-hal tersebut yang menjadikan usaha penggemukan yang ada belum berkembang. Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa responden yang pekerjaan utamanya sebagai peternak ada 31 peternak, 9 responden merupakan peternak yang mempunyai pekerjaan sampingan selain berternak diantaranya pedagang sapi 5 responden, petani 2 responden, dan tukang kayu sebesar 2 responden.
Kepemilikan Ternak Tersedianya suplai daging dalam negeri secara konsisten merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan daging yang semakin meningkat dengan bertambahnya pendapatan masyarakat. Ketersediaan daging dalam negeri sangat tergantung dari banyaknya ternak sapi yang dikomersiilkan. Pada kenyataannya kepemilikan sapi di Indonesia sangat berbeda dengan Negara-negara lain yang hanya 1 sampai 6 ternak, seperti halnya yang terjadi di Desa Napis kepemilikan ternak rata hanya 1 sampai 3 ternak. Kepemilikan ternak di Desa napis dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran petani responden menurut kepemilikan ternak sapi potong di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro No. Kepemilikan Ternak 1. Milik Sendiri (ekor) a. 1 b. 2 c. 3 2. Bagi Hasil/Maro (ekor) a. 1 b. 3
Jumlah Responden
Persentase
14 19 5
35.00 47.50 12.50
1 1
2.50 2.50
Kepemilikan ternak sapi di Desa Napis didominasi oleh milik sendiri yaitu total sebesar 95 persen dengan kepemilikan ternak 1 sapi dimiliki oleh 14 responden, kepemilikan 2 ternak sapi sebanyak 19 responden dan kepemilikan 3 ekor sapi oleh 5 responden. Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak banyaknya responden yang hanya memiliki 2 ternak sapi di Desa Napis disebabkan karena peternak belum mempunyai keinginan dan kesadaran untuk mengembangkan usahanya, hanya sebatas untuk untuk memenuhi kebutuhan yang mendadak sehingga bisa dijual cepat, hal ini tentunya sangat berbeda dengan negara-negara lainnya seperti Australia dan Selandia Baru yang memiliki ratusan ternak bahkan ribuan ternak per peternak, yang tujuan usaha sudah sangat komersial dan sangat memperhatikan gizi pakan ternak agar dapat lebih menghasilkan. Sistem kepemilikan ternak di Desa Napis selain milik sendiri adalah sistem gaduh atau sistem bagi hasil, sistem bagi hasil ini dilakukan dengan bekerjasama dengan Koperasi yang ada di Desa Napis yaitu KSU (Koperasi Serba Usaha)
49 Lembu Seto. Semenjak tahun 2013 KSU Lembu Seto mendapatkan bantuan dari Dinas peternakan dan BI (Bank Indonesia) berupa sapi bakalan untuk diusahakan penggemukan sapi, beberapa anggota ada yang meminjam kemudian jika sudah menghasilkan dijual, keuntungannya di bagi dengan pihak koperasi. Berdasarkan wawancara dengan responden yang menjadi anggota koperasi, usaha penggemukan sapi dengan sistem gaduh dirasa lebih menguntungkan dibandingkan dengan mengusahakan sendiri, hal ini dikarenakan ada beberapa bantuan seperti IB (Inseminasi Buatan), vitamin B complex, albenol, dan ketersediaan konsentrat yang mempunyai nilai gizi yang tinggi sehingga dapat meningkat berat hidup sapi lebih cepat dibanding dengan tanpa nutrisi apapun. Sebaran responden dengan kepemilikan ternak sistem gaduh mengelola 1 ternak hanya 1 responden dengan persentase 2.5 persen, dan yang mengelola 3 ternak dengan sistem gaduh yaitu 1 responden dengan persentase yang sama. Diharapkan dengan lebih menguntungkan sistem gaduh maka peternak dapat bekerjasama dengan KSU Lembu Seto. Lama Penggemukan Sapi Potong Lamanya penggemukan sapi potong tergantung dari bobot awal sapi, target bobot sapi, dan pertambahan berat sapi yang diinginkan. Selain faktor tersebut lama penggemukan sapi juga tergantung dari umur sapi bakalan. Apabila umur bakalan masih muda kurang dari setahun maka baiknya penggemukan dilakukan lebih dari 9 bulan, untuk umur bakalan yang lebih tua 1 sampai 2 tahun maka lama penggemukan dilakukan antara 4 sampai 6 bulan, sedangkan untuk umur bakalan yang sudah tua lebih bari 3 tahun maka sebaiknya penggemukan dilakukan singkat mengingat umur sapi yang mendekati tidak produktif yaitu 3 sampai 4 bulan. Lama penggemukan sapi potong di Desa Napis dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Lama Penggemukan sapi potong di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro No 1 2 3 4 5
Lama Penggemukan Sapi (bulan) 5-6 7-8 9-10 11-12 13-14 Jumlah
Jumlah (orang) 24 11 3 1 1 40
Persentase (%) 60.00 27.50 7.50 2.50 2.50 100.00
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden lama penggemukan sapi potong di Desa Napis didominasi selama 5 sampai 6 bulan terdapat 24 responden dengan persentase 60 persen, kemudian yang menggemukkan sapi antara 7 sampai 8 bulan ada 11 orang dengan persentase sebanyak 27.5 persen, menggemukan sapi selama 9 sampai 10 bulan terdapat 3 responden dengan persentase sebesar 7.5 persen dan yang menggemukan sapi selama 11 sampai 12, 13 sampai 14 bulan masing-masing 1 responden dengan persentase 2.5 persen. Rerata periode usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro adalah selama 7 bulan. Mayoritas peternak yang menggemukan sapinya selama kurang dari 6 bulan
50 menandakan bahwa sapi bakalan yang dibeli merupakan sapi bakalan yang sudah berumur, jadi hanya beberapa bulan saja untuk menggemukannya. Lama penggemukan sapi akan berpengaruh terhadap konsumsi pakan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap bobot sapi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Soebagya (1998) mengenai pengaruh lama penggemukan terhadap pertambahan bobot badan harian dan komposisi asam lemak daging sapi jenis Brahman Cross yang hasil penelitiannya menunjukan bahwa semakin singkat sapi dipelihara yaitu 2 bulan maka semakin tinggi konsumsi pakan yaitu 1.14 kg BK/hari sehingga menyebabkan pertambahan bobotnya juga akan lebih tinggi, dibandingkan dengan sapi yang dipelihara selama 4 bulan konsumsi pakan jauh lebih rendah yaitu 9.93 kg bahan kering per hari sehingga menyebabkan pertambahan bobotnya sedikit melambat. Keragaan Usaha Penggemukan Sapi Potong Sapi potong merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Bojonegoro, karena merupakan penyumbang produksi terbesar dalam sektor peternakan. Selain itu Kabupaten Bojonegoro merupakan sentra produksi sapi jenis Peranakan Ongole, yang didukung dengan tersedianya sumber pakan hijauan yang memadai. Sektor peternakan di Kabupaten Bojonegoro tidak hanya sapi potong saja yang diusahakan tetapi juga jenis ternak yang lain seperti kambing, domba dan ayam. Menurut hasil wawancara dari Dinas Peternakan Kabupaten Bojonegoro ada berbagai wilayah pengembangan sapi potong selain di Kecamatan Tambakrejo, diantaranya adalah Kecamatan Kedungadem, Kecamatan Trucuk, Kecamatan Kepuhbaru, Kecamatan Malo, dan Kecamatan Kasiman, kecamatan tersebut merupakan wilayah pengembangan untuk sapi pembibitan. Kecamatan yang dikembangkan untuk wilayah usaha penggemukan sapi potong diantaranya adalah Kecamatan Tambakrejo, Kecamatan Bojonegoro, Kecamatan Kapas, dan Kecamatan Ngasem. Sektor peternakan khususnya usaha penggemukan dan pembibitan sapi terus dikembangkan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bahkan menjadi isu utama dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) tahun 2013 sampai dengan 2018. Usaha penggemukan sapi di Desa Napis setiap satu kali periode rata-rata berlangsung selama 4 sampai 6 bulan, sehingga dalam satu tahun peternak mengusahakan sapi potong hingga dua periode. Pada dua periode penggemukan tersebut peternak menekankan adanya penambahan bobot sapi secara optimal, sehingga untuk mencapai hal tersebut harus memperhatikan berbagai aspek seperti pakan dan kesehatan. Usaha penggemukan sapi potong akan berhasil tergantung pada pola usaha yang digunakan. Pengelolaan usaha penggemukan di Desa Napis menggunakan usaha semi intensif, yaitu pada siang hari sapi-sapi ditambatkan atau digembalakan di ladang, kebun, atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur. Pada sore harinya, sapi tersebut dimasukan ke dalam kandang, dan pada malam harinya sapi diberi pakan tambahan seperti hijauan yaitu rumput dan tebon serta daun-daunan lainnya, dan juga diberi pakat penguat berupa dedak halus yang dicampur dengan sedikit garam. Pemberian makan di dalam kandang dilakukan satu atau dua kali perhari tergantung dari kebutuhan sapi peliharaan tersebut. Selain pakan ada beberapa hal unik yang diketahui pada saat wawancara dengan
51 responden yaitu adaanya beberapa perlakuan khusus peternak terhadap ternak sapinya terutama untuk jenis sapi yang diusahakan jenis sapi Brahman dan brangus, pemberian combor atau pakan penguat. Biasanya pada ternak biasa campuran tersebut terdiri dari dedak atau bekatul, garam, dan air biasa, pada ternak sapi yang diusahakan di Desa Napis rata-rata peternak memberi air matang dan hangat untuk campuran combor tersebut. Sehingga secara tidak langsung peternak harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli atau mencari kayu yang digunakan untuk memasak air. Faktor selanjutnya yang penting selain pakan dalam penggemukan sapi adalah faktor kesehatan. Pemberian obat-obatan pada sapi diantaranya adalah obat cacing atau albenol, vitamin B Complex dan vaksin Ivermex. Obat cacing biasanya diberikan pada sapi bakalan yang baru dibeli atau dikandangkan. Hal ini dilakukan karena dikhawatirkan di tempat sebelumnya bakalan tidak dirawat dengan baik, jika kondisi sapi dalam keadaan kurus maka dapat ditaksirkan merupakan tanda sapi terserang cacing. Sedangkan vitamin B Complex dan Ivermex digunakan peternak sebagai vitamin agar sapi dan mudah terserang penyakit dan dapat menunjang peningkatan bobot sapi. Obat-obatan didapat petani dari KSU Lembu Seto sebagian ada yang merupakan bantuan dan ada yang beli, seperti albenol seringkali merupakan bantuan dari koperasi karena albenol merupakan vaksin yang paling banyak yang dicari oleh peternak, yang sapinya rentan terkena infeksi cacing. Selain obat-obatan KSU Lembu Seto juga menyediakan layanan konsultasi kesehatan ternak sapi setiap minggunya kepada peternak, serta disediakannya timbangan sapi untuk memantau pertambahan bobot sapi. KSU Lembu Seto dan Dinas Peternakan Kab.Bojonegoro seringkali melakukan pemeriksaan terhadap kesehatan ternak sapi di Desa Napis. Usaha pengemukan sapi potong di Desa Napis memang masih sedikit dilakukan oleh peternak, kebanyakan dari peternak melakukan usaha pembesaran dan pembibitan, sehingga sangat sulit untuk mencari peternak yang melakukan usaha penggemukan sapi sebagai responden dalam penelitian ini. Usaha penggemukan sapi sebenarnya lebih praktis dari usaha pembesaran karena membutuhkan waktu pemeliharaan yang lebih pendek, bakalan sapi yang digemukan juga sudah dewasa sehingga pengelolaan dan perawatannya relatif lebih mudah daripada pedet. Berikut beberapa hal mengenai usaha penggemukan sapi potong di Desa Napis adalah sebagai berikut : 1. Pemberian pakan pada penggemukan sapi potong hanya digunakan untuk menggemukkan daging saja. Sementara itu pemberian pakan pada pembesaran sapi sejak anak sapi (pedet) selain untuk pertumbuhan, juga untuk perkembangan tubuh. 2. Waktu pemeliharaan yang cukup pendek memberikan risiko lebih kecil, baik risiko sapi terserang penyakit, kematian, perubahan harga bahan pakan, atau faktor lainnya. 3. Penggemukan sapi potong di Desa Napis menggunakan sapi potong saja, karena ada larangan baik dari Pemkab Bojonegoro maupun Pemprov Jawa Timur untuk tidak menjual sapi betina atau induk. Selain itu berbagai pertimbangan atau keunggulan penggemukan sapi potong menggunakan sapi jantan menurut Yulianto dan Cahyo (2011) adalah sebagai berikut : a. Sapi jantan memiliki pertumbuhan lebih cepat daripada sapi betina b. Sapi jantan mempunyai bobot daging yang lebih banyak
52 c. Penggemukan dengan sapi jantan tidak mempengaruhi proses reproduksi sapi d. Sapi betina produktif dilarang untuk dipotong. Pemotongan sapi betina diperbolehkan setelah beranak tujuh kali, infertil, atau dalam keadaan sakit. Tanpa adanya pengawasan yang ketat dan sanksi yang berat bila pemotongan sapi betina produktif terus berlangsung dikhawatirkan sumber penghasil sapi bakalan akan menjadi berkurang. Setelah sapi digemukkan dalam kurun waktu 4 sampai 6 bulan tergantung dari umur sapi bakalan, maka sapi hidup akan dijual ke pasar hewan atau tengkulak yang datang kerumah peternak. Harga sapi hidup tergantung dari bobot dan jenis sapinya, beberapa peternak ada yang sudah menimbang sapi hidupnya ke KSU Lembu Seto untuk menentukan harga jual sapi tersebut, tapi kebanyakan peternak dan tengkulak masih menggunakan sistem taksiran dalam menentukan berat sapi, sehingga keakuratan sistem taksiran masih diiragukan karena akan berdampak adanya kerugian yang diterima peternak jika tidak sesuai dengan bobot yang sebenarnya. Keengganan peternak untuk menimbang sapinya ke koperasi dikarenakan akses jalan dan transportasi yang kurang memadai dan sistem taksiran dirasa lebih praktis daripada harus menimbang ke koperasi. Harga jual sapi hidup saat penelitian yaitu tahun 2014 adalah Rp6 000 000 sampai Rp9 000 000 untuk jenis sapi Peranakan Ongole dengan berat sapi sekitar 200 kg sampai 270 kg, sedangkan untuk berat 300 kg sampai 350 kg harga jualnya Rp10 000 000 sampai Rp11 000 000. Untuk sapi jenis Brangus dan Brahman dengan berat 350 kg sampai 400 kg harga jualnya menyampai Rp14 000 000 sampai Rp15 500 000. Kesehatan Ternak dan Pertambahan Bobot Badan Harian Sapi Keberhasilan usaha penggemukan sapi potong salah satunya ditentukan oleh kesehatan ternak, peternak harus mewaspadai serangan penyakit, baik yang terlihat secara fisik maupun tidak terlihat secara fisik. Kesehatan ternak penting karena terkait dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan apabila ternak yang diusahakannya terjangkit penyakit. Berdasarkan pengamatan dilapang dan hasil wawancara dengan responden, kesehatan ternak sapi potong di Desa Napis sangat diperhatikan oleh peternak. Hal ini terbukti dari banyaknya peternak yang cepat tanggap apabila sapi yang dipelihara terkena cacing dan dirasa kurus, peternak akan segera memberikan perlakuan khusus dan obat untuk sapi peliharaan. Walaupun ada beberapa peternak yang menggunakan obat-obatan tradisional untuk diberikan pada sapi peliharaan. Selain itu ada beberapa peternak yang masih menjaga budaya suwuk (dukun) untuk menyembuhkan penyakit pada sapi. Penyakit yang banyak menjangkiti ternak sapi di Desa Napis adalah penyakit cacingan, dan kembung (bloat), obat yang digunakan untuk meredakan penyakit tersebut adalah albenol dan memberikan pakan yang berasal dari leguminosa (kacang-kacangan) dalam kadar yang berlebihan. Pada dasarnya cara untuk menghindari dan mencegah penyakit yang menyerang sapi potong adalah dengan menjaga lingkungan ternak agar tetap sehat, dirawat dengan baik dan benar, serta diberi pakan yang berkualitas. Kesehatan ternak dan pakan berkualitas akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertambahan bobot ternak, pada usaha penggemukan sapi
53 potong pertambahan bobot ternak sangat penting karena merupakan tujuan utama dari usaha ini. Menurut Goyache et al. 2003;Yulianto dan Cahyo 2011 pertambahan bobot yang harus dicapai untuk jenis sapi PO adalah diatas 0.7 kg/hari, sedangkan untuk sapi potong jenis Brahman dan Simental adalah diatas 1.2 kg/hari, untuk memacu pertambahan bobot harian sapi yang tinggi, diperlukan pakan konsentrat sebagai pakat penguat, dengan demikian kebutuhan gizi pada sapi akan terpenuhi dan pertambahan bobot akan tercapai. Pertambahan bobot ternak sapi di Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat pada gambar 7 berikut.
17.50% (7 responden)
> 0.7
5% (2 responden)
0.7
77.5% (31 responden)
< 0.7 0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
100,00%
Gambar 7 Pertambahan bobot sapi di Kabupaten Bojoenegoro Berdasarkan gambar 7 diketahui bahwa pertambahan bobot sapi di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro rata-rata kurang dari 0.7 kg per hari dengan persentase sebesar 77.5 persen sebanyak 31 responden, sedangkan pertambahan bobot perharinya sama dengan 0.7 kg terdapat 2 responden dengan persentase sebesar 5 persen. Untuk sapi peternak yang pertambahan bobotnya lebih dari 0.7 kg perhari hanya sebesar 17.5 persen yaitu 7 responden. Banyaknya sapi peternak yang pertambahan bobotnya kurang dari 0.7 kg per hari disebabkan karena peternak hanya memberikan pakan hijauan tanpa pemberian konsentrat, pakan hijauanpun tidak bervariasi hanya jenis rumput dan jerami. Pemberian konsentrat sangat penting untuk memperoleh tingkat pertumbuhan yang maksimal dalam waktu relatif singkat. Konsentrat yang mengandung energi lebih tinggi dari 2 250 kkal per kg diantaranya adalah pati, tetes tebu, ubi jalar, singkong, dedak padi dan dedak jagung. Dedak padi dan tetes merupakan konsentrat yang digunakan peternak yang sapinya memiliki pertambahan bobot diatas 0.7 kg per hari. Saluran Pemasaran Harga daging sapi yang tinggi akhir-akhir ini, salah satu penyebabnya adalah dari panjangnya lembaga pemasaran yang dilalui oleh daging sapi. Harga yang tinggi di pasaran tidak diimbangi dengan meningkatnya harga beli sapi ditingkat peternak karena panjangnya rantai pemasaran sehingga margin yang diterima ternak kecil. Keadaan seperti ini juga terjadi pada pemasaran sapi potong sampai menjadi daging di Desa Napis. Peternak di Desa Napis mayoritas menjual sapinya kepada tengkulak desa (pedagang keliling), namun berdasarkan hasil wawancara dengan responden, ada beberapa peternak yang menjual sapinya ke
54 KSU Lembu Seto, ke tengkulak luar desa, dan blantik kecamatan. Berikut sebaran responden menurut saluran pemasarannya. 27.5%
52.5%
Peternak
Tengkuak Desa
20%
Tengkulak Luar Desa
Pasar
Pedagang pengepul
RPH
Koperasi Lembu Seto
Gambar 8 Saluran pemasaran sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Berdasarkan gambar 8 dapat diketahui bahwa sebanyak 21 peternak menjual sapinya ke tengkulak desa dengan persentase 52.50 persen, alasan responden mengambil keputusan untuk menjual sapinya ke tengkulak desa adalah tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk menjual sapi, karena tengkulak desa akan mendatangi peternak, selain itu alasan sudah berlangganan menjadi salah satu faktor keputusan peternak. Tengkulak desa ini adalah pedagang yang berkeliling untuk mencari sapi siap potong untuk di jual ke pasar hewan. Saluran pemasaran yang dilalui sapi potong setelah dijual ke tengkulak desa, kemudian dibawa ke Pasar sapi di Kecamatan, selanjutnya dibeli oleh pedagang pengepul, pedagang pengepul adalah pedagang yang mengumpulkan sapi diberbagai pasar untuk dibawa ke pedagang besar atau RPH, dari pedagang pengepul sapi masuk ke RPH (Rumah Pemotongan Hewan). Namun ada beberapa, sapi dari pedagang pengepul didistribusikan ke berbagai wilayah di Jawa untuk memenuhi ketersediaan daging sapi diantaranya adalah Jakarta (Tangerang), Jawa Tengah (Pati), Jawa Timur (Madura). Saluran pemasaran sapi melalui tengkulak desa ini merupakan saluran terpanjang sehingga pemasarannya tidak efesien. Selanjutnya responden yang menjual sapinya ke tengkulak luar desa ada sebanyak 11 responden dengan persentase sebesar 27.5 persen. Alasan responden yang memilih menjual sapinya ke tengkulak luar desa adalah karena harga yang diterima peternak lebih tinggi dibandingkan apabila dijual ke tengkulak desa. Selain itu peternak juga tidak mengeluarkan biaya untuk mengangkut sapi, karena tengkulak desa akan mengangkut sendiri sapi-sapi peternak untuk dibawa ke pasar hewan. Saluran pemasaran yang dilalui sapi setelah dijual ke tengkulak desa, kemudian ke pasar hewan, selanjutnya ke pedagang pengepul, dari pedagang pengepul sapi di bawa ke RPH atau di kirim ke Jakarta dan Kota lainnya. Saluran pemasaran sapi melalui tengkulak luar desa ini lebih ringkas dibandingkan pemasaran melalui tengkulak desa karena memotong satu lembaga pemasaran tengkulak desa.
55 Berdasarkan gambar 8 diketahui bahwa sebaran responden yang menjual sapinya ke KSU Lembu Seto berjumlah 8 orang dengan persentase 20 persen. Alasan beberapa peternak yang menjual sapinya ke KSU Lembu Seto adalah karena terjamin harga yang ditetapkan oleh koperasi serta keakuratan penghitungan bobot sapi sehingga tidak berdasarkan prinsip taksir yang akan merugikan peternak jika tidak tepat bobot yang ditaksir. Walaupun pihak koperasi sudah menyediakan fasilitas tersebut banyak petani yang tidak menjual sapi ke KSU Lembu Seto dikarenakan jarak koperasi yang cukup jauh yang berada di pusat Desa di Dukuh Napis, dan adanya standar dari koperasi untuk sapi yang akan dijual. Sapi dari koperasi setelah dijual ke peternak akan langsung di bawa ke RPH Padangan sehingga saluran pemasarannya cukup pendek. Kebijakan Input pada Usaha Penggemukan Sapi Potong Kebijakan input pada usaha penggemukan sapi potong di Indonesia terbagi menjadi 2 yaitu kebijakan non tarif dan kebijakan tarif. Menurut John (2008) kebijakan perdagangan internasional berupa tarif maupun non tarif merupakan kebijakan yang membatasi perdagangan, tujuan Negara memberlakukan tariff adalah untuk memproteksi produk nasional dalam bersaing dengan barang impor. Kebijakan non tarif yang diterapkan pada usaha penggemukan sapi potong adalah sebagai berikut : 1. Pengaturan Sumber Daya Lahan dan Sumber Daya Genetik UU No.41 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.18 tahun 2009 pasal 4, pasal 5, dan pasal 6 mengenai penjaminan ketersediaan lahan dan kesehatan hewan, kemudian pasal 7 mengenai ketersediaan air untuk peternakan dan kesehatan hewan. Pasal 8 dan 9 mengenai sumber daya genetik dimiliki oleh Negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal 13 mengenai penyediaan dan pengembangan benih, bibit, dan bakalan dillakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri, pemerintah berkewajiban untuk melakukan pemuliaan terhadap sumber daya genetik. Dalam pasal 13 juga mengatur pemasukan dan pengeluaran baik sumber daya genetik maupun benih, bibit, dan bakalan pada pasal 15 pemasukan benih dari luar negeri ke wilayah NKRI harus memenuhi syarat (a) meningkatkan mutu dan keragaman genetic, (b) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, (c) mengatasi kekurangan benih, (d) memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan, (d) memenuhi persyaratan mutu, (e) memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan, dan (f) bebas dari penyakit hewan menular. Peraturan ini juga sebelumnya termuat dalam Peraturan Pemerintah No 48 tahun 2011, Permentan No 19 tahun 2012. 2. Penyelenggaran Ketersediaan Bibit UU No 41 tahun 2014 pasal 18, ternak ruminansia betina produktif diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan untuk ternak betina yang sudah tidak produktif bisa dipotong, dan peraturan mengenai dilarangnya menyembelih ternak ruminasia kecil betina produktif atau ternak ruminansia besar betina produktif kecuali untuk penelitian, pemuliaan, pengendalian penyakit, ketentuan agama, dan adat istiadat. 3. Pemasukan sapi bakalan, sapi indukan, dan sapi siap potong ke dalam wilayah Indonesia, Permentan No 108 tahun 2014, yang merupakan peraturan perubahan dari Permentan No 85 tahun 2013, Permentan No 87 tahun 2013,
56 dan Permentan No 97 tahun 2013. Dalam Permentan yang baru pasal 6 dan 7 pemasukan sapi bakalan, sapi indukan, dan sapi siap potong harus memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan. Persyaratan pemasukan sapi bakalan adalah (a) sehat, dibuktikan dengan sertifikat kesehatan hewan (health certificate) yang diterbitkan oleh otoritas veteriner negara asal sebagai pemenuhan persyaratan kesehatan hewan (health requirement) dan sertifikat asal ternak (certificate of origin) yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara asal, (b) telah melewati withholding periods antibiotik dan hormon pertumbuhan sebelum dinaikkan ke atas alat angkut di tempat pengeluaran, yang dibuktikan dengan sertifikat kesehatan hewan (health certificate) yang diterbitkan oleh otoritas veteriner negara asal; dan (c) berat badan per ekor maksimal 350 kg pada saat tiba di tempat pemasukan, dan berumur tidak lebih dari 30 (tiga puluh) bulan serta harus digemukkan minimal 60 (enam puluh) hari setelah selesai dilakukan tindakan karantina. Pada pasal 14 persyaratan Negara asal pemasukan sapi bakalan adalah (a) Disetujui oleh Menteri Pertanian; (b) Bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Rift Valley Fever (RVF), Contagious Bovine Pleuropneumonia, Peste des Petit Ruminant, dan Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE (Negligible BSE risk country) yang mengacu pada deklarasi Badan Kesehatan Hewan Dunia/World Organization for Animal Health/Office International des Epizooties (WOAH/OIE); dan (c) Melaksanakan program monitoring dan surveilans residu antibiotik, hormon, dan bahan lain yang membahayakan kesehatan hewan dan manusia. 4. Pengawasan Terhadap Pengadaaan Pakan Ternak Pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran bahan pakan dan tumbuhan atau tanaman pakan yang tergolong bahan pangan dilakukan secara terkoordinasi antarinstansi atau departemen (UU No.18 tahun 2009 dan UU No.41 tahun 2014 pasal 20). 5. Tindakan Karantina Hewan Terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Benih Hewan ( Permentan No 104/OT.140 tahun 2014, Permentan 113/PD.410 tahun 2013. Tindakan karantina terhadap benih,bibit hewan ternak yang masuk maupun keluar Indonesia yaitu melalui pemeriksaan, penahanan, penolakan, pembebasan, dan pemusnahan. 6. Kebijakan mengenai pakan ternak, pedoman pengawasan mutu pakan Permentan No 65 tahun 2007, kebijakan ini berisi mengenai persyaratan pengawas mutu pakan ternak, pelatihan, tugas, dan wewenang pengawas mutu pakan, rencana pengawasan, lokasi dan obyek pengawasan, tata cara dan teknik pengambilan sampel, tata cara pengawasan dan tindak lanjut hasil pengawasan. Pengawasan mutu pakan meliputi persyaratan administratif seperti surat izin usaha, label atau nomor pendaftaran, kualitas pakan dan bahan baku serta pengemasan pengawasan pakan di tingkat peternak/pengguna bahan baku pakan dan pakan, meliputi (a) pemeriksaan tempat penyimpanan bahan baku pakan dan pakan (b) pemeriksaan terhadap jenis bahan baku pakan dan pakan yang digunakan dan pemberiannya kepada ternak, (3) pengambilan sampel bahan baku pakan dan pakan untuk dilakukan pengujian mutu pada Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak atau laboratorium pengujian mutu pakan yang telah terakreditasi. Kekurangan dalam kebijakan ini adalah belum dilakukannya pengawasan terhadap pakan yang diimport .
57 7. Permentan No 19/OT.140/4/2009, peraturan mengenai syarat dan tatacara pendaftaran pakan ternak. Peraturan ini merupakan dasar hukum untuk pelaksanakan pendaftaran, pengujian, dan labelisasi pakan, dengan tujuan agar pakan yang beredar di wilayah Negara Republik Indonesia terjamin keamanannya dan memenuhi standar mutu pakan atau persyaratan teknis minimal yang ditetapkan. 8. Permentan No 75/OT.140 tahun 2007, kebijakan mengenai alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan. Diatur mengenai jenis dan standar alsin peternakan, jenis alsin yang diproduksi di dalam negeri dan atau pemasukan dari luar negeri terdiri dari alsin yang dipergunakan untuk peternakan dan alsin yang dipergunakan untuk pelayanan kesehatan hewan, jenis alsin dalam pembibitan, pakan, budidaya, panen dan pasca panen termasuk pengoalahan dan pemasaran serta alat angkut ternak dan hasil ternak. 9. Permentan No 87 tahun 2013, Permentan No 87 tahun 2013, dan Permentan No 97 tahun 2013, berisi tentang kebijakan Sanitary dan Phitosanitary Agrement (SPS), Ternak Indonesia terhindar dari penyakit eksotik seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), dan penyakit Rinderpest. Kebijakan-kebijakan non tarif diatas bertujuan untuk melindungi input-input pada komoditas sapi potong, terutamanya untuk keamanan input pakan ternak yang masuk agar dapat menunjang peternakan sapi potong dalam negeri. Adapun kebijakan tarif pada input yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk komoditas sapi potong adalah sebagai berikut : 1. Peraturan Menteri Keuangan No 208/PMK.001 tahun 2013 yang merupakan perubahan dari dari Peraturan Menteri Keuangan No 213/PMK.011/2011, dalam rangka pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN Australia Selandia Baru (Agreement Establishing the ASEAN Australia New Zealand Free Trade Area) adanya pembebanan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan Harmonized System Tahun 2012 dari Negara anggota ASEAN, Australia, dan Selandia Baru, kemudian dalam rangka AANZFTA mulai pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2020 telah disepakati skema penurunan tarif bea masuk. Berdasarkan kesepakatan AANZFTA tarif bea masuk untuk impor sapi hidup 0 persen dan daging sapi serta sapi bakalan dari Negara Australia dan Selandia Baru adalah 5 persen. 2. Kebijakan mengenai tarif impor pakan ternak dan obat-obatan, Peraturan Menteri Keuangan No 208/PMK.001 tahun 2013, disepakati bahwa pakan ternak yang dikenai tarif masuk sebesar 5 persen adalah dedak padi, tepung jagung, dan bahan tepung tulang ikan, sedangkan pakan dan obat-obatan seperti garam, albenol atau obat cacing, vitamin B complex tidak dikenai tarif bea masuk atau tarif 0 persen. 3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No 9 Tahun 2009 mengenai retribusi pakan ternak dan pemasukan ternak sapi. Untuk pengamanan bahan pakan ternak yang masuk ke wilayah Provinsi Jawa Timur akan dikenakan biaya retribusi sebesar Rp 5 per kg, sedangkan untuk ternak sapi yang masuk baik bakalan maupun sapi hidup siap potong dikenakan retribusi sebesar Rp10 000 per ekor. Selain kebijakan tarif terdapat kebijakan kuota yang membatasi masuknya input usaha penggemukan sapi potong di Indonesia, yaitu sapi bakalan dan sapi
58 hidup. Peraturan Menteri Pertanian No 87 tahun 2013, menjelaskan bahwa pemasukan sapi bakalan berat maksimal adalah 350 kg, kemudian selanjutnya dikeluarkan nya Keputusan Menteri Perdagangan No 699/M-DAG/KEP/7/2013 tentang stabilisasi harga daging, dan pembukaan keran impor sapi dalam jumlah yang cukup menjaga ketersediaan daging sapid dan menjaga stabilisasi harga, dalam arti kuota impor sapi maupun daging sapi pada akhir tahun 2013 ditiadakan. Kemudian pada pertengahan tahun 2014 dikeluarkan kembali kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan No 17/M-DAG/PER/3/2014 mengenai pembatasan kuantitatif untuk impor ternak hidup maupun daging sapi, pembatasn tersebut didasarkan pada estimasi bandingan pasokan domestik dengan kebutuhan, kebijakan ini merupaka perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan No 46/M-DAG/PER/8/2013, yang sebelum kebijakan penghapusan kuota telah menerpkan kebijakan pembatasan impor sapi. Berdasarkan data dari Deptan, pada tahun-tahun sebelumnya kuota untuk ternak hidup baik sapi bakalan maupun sapi hidup secara sistematis telah dikurangi dari 401 000 ekor di tahun 2011 menjadi 283 000 pada tahun 2012, dan 267 000 untuk tahun 2013 awal, dan tahun 2014 pembatasan kuota dikurangi sampai mencapai 109 500 ekor. Kebijakan kebijakan penghapusan dan pembatasan kuota ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Kebijakan Output pada Usaha Penggemukan Sapi Potong Kebijakan output pada usaha penggemukan sapi potong ini adalah berupa kebijakan yang berkaitan mengenai daging sapi. Seperti halnya kebijakan kebijakan input sapi, dalam kebijakan output daging sapi ini terbagi menjadi kebijakan tarif dan kebijakan non tarif. Berikut adalah kebijakan non tarif yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi output daging sapi. 1. Peraturan Menteri Pertanian No 139 tahun 2014 yang merupakan perubahan kebijakan dari Peraturan Menteri Pertanian No 110 tahun 2014 mengenai pemasukan karkas, daging, dan/atau olahannya ke dalam Indonesia. Kebijakan ini memuat persyaratan dan tata cara pemasukan karkas, persyaratan pemasukan karkas diantaranya adalah pelaku pemasukan karkas hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha, BUMN, BUMD, Lembaga Sosial yang mendapatkan izin dari Menteri Perdagangan dan memperoleh Rekomendasi dari Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen. Lembagalembaga tersebut setelah mendapatkan izin pemasukan karkas maupun daging wajib menyerap daging sapi lokal rumah potong hewan yang telah memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Kebijakan pemasukan karkas, daging, dan olahannya disusun dengan tujuan untuk (a) Melindungi kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan, (b) memastikan terpenuhi persyaratan aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan, (c) menjamin karkas, daging, dan/atau olahannya yang dimasukkan bebas dari zoonosis dan penyakit hewan menular, bahaya kimiawi, dan bahaya fisik, serta (d) memberikan kelancaran dan kepapstian dalam pemasukan karkas, daging, dan/atau olahannya. 2. Peraturan Menteri Perdagangan No 36 tahun 2014 yang merupakan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan No 83 tahun 2012 tentang ketentuan impor produk tertentu, salah satunya adalah daging sapi. Kebijakan ini berisi
59 mengenai adanya verifikasi atau penelurusan teknis impor atas produk tertentu diantaranya adalah impor makanan. Verifikasi atau penelusuran teknis impor meliputi data atau keterangan paling sedikit mengenai (a) Negara dan pelabuhan muat, (b) waktu pengapalan, (c) pelabuhan tujuan, (d) Pos tarif/HS dan uraian barang, (e) Nomor sertifikasi produk penggunaan tanda SNI (SPPT SNI) untuk produk tertentu yang SNI nya diberlakukan secara wajib, (f) surat pemberitahuan notifikasi atau surat persetujuan Izin Edar produk tertentu yang dipersyaratkan, dan (g) Certificate of Analysis (CoA) untuk Produk tertentu yang dipersyaratakan. Adapun kebijakan tarif untuk membatasi impor daging sapi yang masuk di Indonesia khususnya Provinsi Jawa Timur adalah sebagai berikut : 1. Peraturan Menteri Keuangan No 208/PMK.001 tahun 2013 yang merupakan perubahan dari dari Peraturan Menteri Keuangan No 213/PMK.011/2011, dalam rangka pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN Australia Selandia Baru (Agreement Establishing the ASEAN Australia New Zealand Free Trade Area) adanya pembebanan tariff bea masuk atas barang impor berdasarkan Harmonized System Tahun 2012 dari Negara anggota ASEAN, Australia, dan Selandia Baru, kemudian dalam rangka AANZFTA mulai pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2020 telah disepakati skema penurunan tarif bea masuk. Berdasarkan kesepakatan AANZFTA tarif bea masuk untuk impor daging sapi dengan kode HS 020230 adalah 5 persen. 2. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No 15 tahun 2013 yang merupakan kebijakan perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No 1 tahun 2012 mengenai retribusi daerah. Kebijakan ini mengatur adanya retribusi yang dibebankan pada produk ternak yang masuk ke Provinsi Jawa Timur salah satunya adalah karkas maupun daging sapi sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti/surat keterangan kesehatan hewan dari daerah asal per ekor/kilogram/liter, maka dikenakan biaya Rp200 000 per pemeriksaan. Selain itu jika daging sapi yang masuk ke Provinsi Jawa Timur terindikasi berpenyakit maka terkena retribusi untuk pemakaian laboratorium bagi pemeriksaan daging/jeroan. Tarif untuk pengujian organoleptic sebesar Rp20 000 persampel, pengujian pembusukan daging dikenai tarif Rp20 000 per sampel, pengujian pemalsuan daging sapi dan hasil olahannya dikenai tarif sebesar Rp400 000 Selain kebijakan tarif yang berupa bea masuk dan retribusi, terdapat kebijakan pemerintah terkait output sapi yaitu daging sapi. Kebijakan tersebut adalah kebijakan kuota daging sapi, seperti halnya sapi bakalan dan sapi hidup daging sapi yang masuk ke Indonesia juga dibatasi dengan sistem kuota. Pembatasan sistem kuota bertahap dilakukan mulai tahun 2011 sampai sekarang, namum pada tahun 2013 terdapat kebijakan penghapusan kuota yang hanya berlangsung selama kurang lebih 6 bulan. Menurut data dari Departemen Pertanian tahun 2014, untuk daging sapi kotak yang masuk kuota telah berkurang dari 100 000 ton pada tahun 2011 menjadi 34 000 pada tahun 2012, menurun lagi pada tahun 2013 menjadi 32 000 ton, dan pada tahun 2014 sebaliknya meningkat menjadi 70 000 ton.
60 Kebijakan Input Output pada Usaha Penggemukan Sapi Potong Kebijakan yang mempengaruhi input dan output pada usaha pengemukan sapi potong adalah kebijakan mengenai BBM (Bahan Bakar Minyak). Kebijakan mengenai BBM ini termuat dalam Peraturan Mentari Energi dan Sumber Daya Mineral No 34 tahun 2014 tentang harga jual eceran dan konsumen pengguna jenis bahan bakar minyak tertentu. Kebijakan tersebut berisi peraturan mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi berlaku semenjak 18 November 2014, untuk bahan bakar bensin naik Rp2 000 perliternya, untuk bensin bersubsidi menjadi Rp8 500. Kemudian kebijakan tersebut pada bulan Desember 2014 diperbaharui oleh Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 39 tahun 2014 tentang perhitungan harga jual eceran bahan bakar minyak, kebijakan tersebut menetapkan harga bensin turun dari kebijakan sebelumnya yaitu per liternya sebesar Rp7 600 kebijakan ini terhitung mulai tanggal 1 Januari 2015 pukul 00.00 WIB. Bahan bakar merupakan salah satu biaya yang mempengaruhi baik input maupun output dalam usaha penggemukan daging sapi. Salah satu kendala pemasaran sapi potong adalah akses transportasi yang sulit mengingat Kabupaten Bojonegoro merupakan wilayah perbukitan yang masih banyak desa-desa di pedalaman, maka dari itu BBM merupakan input yang harus diperhitungkan dalam usaha penggemukan sapi potong.
6 ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI Analisis Keuntungan Usaha Penggemukan Sapi Potong Analisis keuntungan suatu usaha penting untuk dilakukan mengingat apakah usaha tersebut layak untuk diusahakan. Analisis keuntungan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro dihitung berdasarkan biaya tunai maupun biaya non tunai. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai oleh peternak, sedangkan biaya yang tidak termasuk kedalam biaya tunai tetapi diperhitungkan dalam suatu usaha disebut biaya non tunai. Berikut keuntungan usaha penggemukan sapi potong dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa biaya tunai yang benar-benar dikeluarkan peternak pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro terdiri dari biaya pakan dan vitamin seperti dedak, molase, garam, vitamin B, dan obat cacing atau albenol. Pakan utama hijauan seperti rumput dan jerami atau tebon masuk dalam biaya non tunai karena peternak mendapatkan pakan hijauan di padang rumput dan hutan secara gratis atau tidak mengeluarkan uang secara tunai. Tenaga kerja pada usaha penggemukan sapi potong ini keseluruhan merupakan tenaga kerja dalam keluarga, hal ini disebabkan karena kepemilikan ternak yang hanya 1 sampai 4 ekor sapi mengharuskan peternak untuk mengurus sendiri dengan dibantu tenaga keluarga untuk mengelola usaha sapi potong, pertimbangan lainnya adalah karena peternak tidak mampu untuk membayar tenaga kerja luar keluarga, dan dirasa menghabiskan banyak biaya. Alokasi biaya terbesar yang dikeluarkan peternak adalah sapi bakalan dengan persentase sebesar 50.67 persen, terbesar kedua adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga dengan persentase sebesar 18.63 persen, dan alokasi terbesar ketiga adalah biaya sewa lahan dengan persentase sebesar 12.02 persen.
61 Berdasarkan hasil wawancara dengan responden besarnya alokasi biaya untuk tenaga kerja dalam keluarga disebabkan karena dalam pengelolaan usaha penggemukan sapi potong terdiri dari beberapa pekerjaan yang tidak sedikit menyerap tenaga kerja seperti mencari pakan, memandikan ternak, membersihkan kandang, memberikan pakan, dan kegiatan lainnya. Besarnya alokasi tenaga kerja dalam keluarga tidak dihitung peternak sebagai biaya, hal ini merupakan salah satu penyebab pendapatan atas biaya total tidak memberikan keuntungan bagi peternak akan tetapi sebaliknya peternak mengalami kerugian. Tabel 11 Rata-rata keuntungan penggemukan sapi potong Di Kabupaten Bojonegoro (Rp/perekor/periode) dengan responden 40 peternak Uraian 1. Penerimaan Penjualan Sapi Hidup (Kg) 2. Biaya Tunai : a. Sapi Bakalan (Kg) b. Pakan & Vitamin : - Dedak (Kg) - Molase (botol) - Garam (Kg) - Vitamin B (Botol) - Albenol (Kapsul) - Obat Tradisional c. Listrik&Lampu d. Biaya Giling dedak e. Obat Nyamuk (Kotak) f. Kayu bakar (ikat) g. BBM (liter) h. Pajak (m2) 3. Biaya non tunai a. Pakan -Rumput (keranjang) - Jerami/tebon (keranjang) b. TKDK -Mencari Pakan (HOK) -Memberi pakan & minum (HOK) -Membersihkan kandang (HOK) -Memandikan Ternak (HOK) -Mengambil/Memompa air (HOK) -Membeli dedak/garam (HOK) -Menggiling Dedak (HOK) c. Penyusutan investasi &Alat d. Sewa Lahan e. Bunga Modal 4. Total Biaya Tunai 5. Total Biaya (2+3) 6. Pendapatan atas Biaya Tunai 7. Pendapatan atas Biaya Total 8. R/C atas Biaya Tunai 9. R/C atas Biaya Total
Fisik
Nilai (Rp)
Alokasi (%)
266.75
8 807 571.00
151.62
5 148 017.00
50.67
37.85 11.22 10.75 1.90 4.29
2.99 50.57 12.68 25.84
94 625.00 56 111.00 21 345.59 9 500.00 4 285.71 14 000.00 15 250.00 16 642.00 8 968.00 25 286.00 88 727.00 135.65
0.93 0.55 0.21 0.09 0.04 0.14 0.15 0.16 0.09 0.25 0.87 0.01
330.75 191.63
496 125.00 153 300.00
4.88 1.51
32.57 22.87 3.91 0.22 1.23 0.31 0.45
1 025 250.00 744 000.00 59 500.00 3 500.00 52 500.00 1 587.50 5 850.00 54 730.02 1 221 083.33 838 812.48 5 502 712.82 10 158 951.14 3 304 857.88 -1 351 380.45 1.60 0.87
10.09 7.32 0.59 0.03 0.52 0.02 0.06 0.56 12.02 8.26 100.00
Pendapatan atas biaya total bernilai negatif yaitu sebesar Rp1 351 380.45, sedangkan pendapatan atas biaya tunai yang benar-benar dikeluarkan oleh peternak adalah sebesar Rp3 304 857.88. Nilai R/C atas biaya tunai adalah 1.0,
62 nilai tersebut menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro menguntungkan jika biaya yang dihitung berdasarkan biaya tunai yang dikeluarkan petani. Mayoritas peternak yang mengusahakan sapinya tidak menghitung besarnya biaya non tunai seperti biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusutan alat-alat, biaya bunga modal, dan biaya sewa lahan. Selama ini peternak tidak menghitung biaya non tunai apabila mereka bekerja untuk mengelola sapi, peralatan ternak yang mengalami penyusutan, dan modal usaha yang memiliki bunga. Nilai R/C atas biaya total, yaitu penjumlahan antara biaya tunai dan biaya non tunai adalah 0.87, nilai tersebut menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong belum memberikan keuntungan bagi peternak jika dihitung berdasarkan biaya total. Hasil analisis keuntungan penggemukan sapi potong ini juga memberikan gambaran bahwa selama ini peternak masih terus mengusahakan sapi potongnya, karena merasa sudah mendapatkan keuntungan, padahal jika dihitung berdasarkan biaya total maka peternak mengalami kerugian. Struktur Penerimaan dan Biaya Usaha Penggemukan Sapi potong Struktur penerimaan dan biaya pada usaha penggemukan sapi potong menjelaskan bagaimana sebaran penerimaan dan biaya apa saja yang dikeluarkan baik biaya tunai maupun biaya non tunai, dan sebaran pada harga privat atau harga pasar dengan harga sosial (harga dengan alokasi sumberdaya terbaik). Struktur penerimaan dan biaya pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro ini tidak hanya sampai pada peternak tetapi sampai pada output terakhir sapi yaitu daging sapi, sehingga melalui jasa rumah potong, pedagang yang ada di pasar besar Kabupaten Bojonegoro. Berikut sebaran penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten bojonegoro dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa struktur penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro terdiri dua sistem yaitu sistem yang pertama adalah penerimaan dan biaya di peternak, kemudian yang kedua adalah biaya pemotongan di RPH (Rumah Potong Hewan) dan penerimaan dari jeroan, kepala, dan kulit, serta strutur biaya dan penerimaan ketika karkas sudah sampai di pedagang yang ada di pasar. Dalam penelitian usaha penggemukan sapi potong ini output yang diteliti adalah daging sapi sehingga terdapat dua sistem yang dilalui sapi potong untuk menjadi output berupa daging segar. Biaya diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan harga privat atau harga pasar, dan harga sosial atau harga bayangan. Baik harga privat maupun harga sosial terdiri dari biaya tradable (asing), dan non tradable (domestik). Struktur penerimaan peternak diperoleh dari penjualan sapi hidup yaitu sebesar Rp8 807 570.69 pada harga privat, dan pada harga sosial yaitu sebesar Rp9 394 632.41, harga sosial lebih tinggi dari harga privat karena pada harga sosial sapi hidup dihargai dengan harga cif (harga impor sapi hidup) ditambah dengan biaya-biaya tataniaga. Struktur penerimaan setelah dari peternak adalah ke rumah potong hewan, diasumsikan disini peternak membayar biaya-biaya untuk pemotongan sapi, penerimaan yang diterima peternak adalah penerimaan dari jeroan, kepala, tulang, dan kulit adalah sebesar Rp1 003 730.31 pada harga privat dan sosial. Selanjutnya daging yang diterima peternak dijual dipasar dengan penerimaan sebesar Rp8 764 081.92 pada harga privat dan pada harga sosial
63 sebesar Rp7 888 672.44, penerimaan pada harga privat lebih tinggi dibanding dengan harga sosial karena pada harga sosial daging atau karkas menggunakan harga cif yang lebih murah daripada harga yang diterima pedagang daging dipasar. Penerimaan total dari penjualan daging, jeroan, dan kulit pada harga privat adalah Rp9 767 812.23 dan pada harga sosialnya sebesar Rp8 892 402.75. Tabel 12 Rata-rata struktur penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro (Rp/Kg/Periode) Fisik Uraian I. Penerimaan Peternak : Sapi Hidup (Kg) Biaya: 1. Bakalan (kg) 2. Pakan dan Vitamin : a. Rumput (kr/ekor/prd) b. Jerami/tebon (kr/ek/prd) c. Dedak padi (kg/ek/prd) d. Molase (btl/ek/prd) e. Garam (kg/ek/prd) f. Vitamin B (btl/ek/prd) g. Albenol (kpsl/ek/prd) h. Obat tradisional (ek/prd) 3. Tenaga Kerja (HOK/ek/p) 4. Penyusutan (Rp/ek/p) a. Kandang & Sumur b. Cangkul c. Sekop d. Sabit e. Keranjang f. Karung g. Pengki Bambu 5. Listrik & Lampu 6. Biaya giling dedak 7. Obat Nyamuk (bungkus) 8. Kayu (ikat) 9. BBM (liter) 10. Pajak (m2/ekor/periode) 11. Sewa Lahan 12. Bunga Modal 13. Biaya Angkut ke RPH 14. Biaya Pemotongan 15. Biaya Lainnya II. Penerimaan (jeroan dll) III. Pasar a. Biaya - daging dari RPH - biaya transportasi& Penanganan Total Penerimaan (II + III) Total Biaya (I + II) Total Keuntungan Total Penerimaan (Rp/Kg) Total Biaya (Rp/Kg) Total Keuntungan (Rp/Kg)
Private Budget
Unit
Domestik (Rp)
266.75
8 807 570.69
330.75 191.63 37.80 11.22 10.75 1.90 4.29 61.55
2.99 50.57 12.68 25.83
96.03
Social Budget
Asing (Rp)
Domestik (Rp)
Asing (Rp)
9 394 632.41
5 148 017.49
0
4 744 419.84
0
496 125.00 153 300.00 94 625.00 56 111.11 21 345.59 1 900.00 2 785.71 14 000.00 1 892 187.50
0 0 0 0 0 7 600.00 1 500.00 0 0
496 125.00 152 300.00 94 625.00 56 111.00 12 487.74 1 787.90 2 601.75 14 000.00 1 055 154.33
0 0 0 0 0 7 151.60 1 400.94 0 0
46 648.19 94.33 472.92 770.83 3 033.33 325.00 3 385.42 15 250.00 16 461.54 5 829.03 25 285.71 3 549.09 135.65 1 221 083.33 838 816.48 15 000.00 60 000.00 20 000.00 1 003 730.31
0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 040.16 0 85 178.18 0 0 0 0 0 0
46 648.19 94.33 472.92 770.83 3 033.33 325.00 3 395.42 15 250.00 16 461.54 5 829.03 25 285.71 4 843.26 135.65 1 221 083.33 969 562.70 15 000.00 60 000.00 20.000.00 1 033 730.31
0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 138.71 0 116 238.12 0 0 0 0 0 0 0
8 764 081.92 53 856.00 9 767 812.23 10 191 534.25 -539 994.91 101 716.26 106 128.65 -5 623.19
0 0 96 318.34
1 003.00
0 53 856.00 8 892 402.75 9 095 346.47 - 315 873.10 92 600.26 94 713.59 -3 289.32
7 888 672.44 0
127 929.37
1 332.18
64 Struktur biaya terbesar yang dialokasikan peternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro adalah bakalan pada harga privat yaitu sebesar Rp5 148 017.49 merupakan komponen domestik, sedangkan pada harga sosialnya sapi bakalan komponen domestiknya sebesar Rp4 744 419.84, karena input sapi bakalan merupakan input 100 persen domestik maka untuk nilai komponen asing baik pada harga privat maupun sosial adalah 0. Komponen biaya terbesar kedua setelah bakalan adalah tenaga kerja, pada harga privat maupun harga sosialnya berasal dari komponen domestik yaitu sebesar Rp1 892 187.50, selanjutnya biaya terbesar ketiga adalah sewa lahan berasal dari input domestik yaitu sebesar Rp1 221 083.33 baik pada harga privat maupun sosial. Total biaya pada usaha penggemukan sapi potong sampai mencapai output daging adalah sebesar Rp10 191 534.25 input domestik, Rp96 318.34 input asing pada harga privat, sedangkan pada harga sosialnya adalah Rp 9 095 346.47 input domestik, dan input asingnya sebesar Rp127 929.37. Total biaya pada harga privat lebih besar dari harga sosialnya, hal ini dikarenakan biaya pada harga sosial merupakan produk impor yang harganya lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar dalam negeri. Keuntungan dari usaha penggemukan sapi potong bernilai negatif yaitu sebesar adalah - Rp539 944.91 pada harga privat yang menandakan bahwa peternak dirugikan dan harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Keuntungan pada harga sosial yaitu sebesar sampai - Rp315 873.10, menandakan bahwa pada harga sosial input yang dikeluarkan lebih kecil sehingga keuntungan yang didapatkan peternak pada harga sosial lebih besar dibanding harga privat, walaupun baik pada harga privat maupun sosial sama-sama dalam kondisi dirugikan. Keuntungan pada harga privat maupun sosial merupakan keuntungan usaha penggemukan sapi pada tingkat output daging yaitu berat 90.3 kilogram untuk perekornya, biaya yang dikeluarkan peternak per kilogram daging adalah Rp107 131.65 pada harga privat dan perkilogram daging Rp95 889.57 pada harga sosial. Untuk penerimaan perkilogram daging sapi pada harga privat yaitu sebesar Rp101 716.26, dan pada harga sosial yaitu Rp92 600.26. Penerimaan dan biaya perkilogram pada harga sosial yang lebih rendah dibandingkan harga privatnya mengindikasikan bahwa harga dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan harga di pasar internasional yang salah satu penyebabnya adalah akses peternak terhadap informasi dan transportasi yang sulit untuk mencapai pasar output. Usaha pengemukan sapi potong Kabupaten Bojonegoro secara keseluruhan menerima kerugian pada harga privat, dan menguntungkan pada harga sosial. Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur Efisiensi komoditas pertanian merupakan salah satu parameter untuk menilai daya saing suatu produk pertanian. Efisiensi digunakan untuk merujuk pada sejumlah konsep yang terkait pada kegunaan pemaksimalan serta pemanfaatan seluruh sumber daya dalam proses produksi barang dan jasa. Produk yang berdaya saing sudah dapat dipastikan produk tersebut efesien, namun produk yang efisien belum tentu berdaya saing tanpa diimbangi dengan faktor eksternal yang mendukung. Bersamaan dengan hal itu metode PAM (Policy Analysis Matrix) mempunyai tujuan untuk menghitung tingkat keuntungan sosial yang
65 dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (harga sosial), selain melihat efisensi daya saing dengan menggunakan metode PAM juga melihat keuntungan aktual, keunggulan kompetitif, dan keunggulan komparatif. Analisis PAM untuk mengetahui daya saing usaha penggemukan sapi potong ini berawal dengan menghitung penerimaan, biaya, dan keuntungan usaha ternak, kemudian komponen input dibedakan menjadi input tradable dan non tradable pada tingkat harga privat maupun harga sosial. Tahap selanjutnya menghitung tingkat keuntungan pada harga privat dan sosial, keuntungan privat dan sosial menjadi data untuk menghitung tingkat keunggulan komparatif dan kompetetif usaha penggemukan sapi potong. Berikut hasil perhitungan keuntungan privat dan sosial mengunakan metode PAM pada Tabel 13. Keuntungan pada harga privat adalah keuntungan pada kondisi adanya kebijakan pemerintah yang mendistorsi dan adanya pengaruh kegagalan pasar. Keuntungan diperoleh dengan mencari selisih antara penerimaan dengan total biaya baik input domestik maupun input asing, sedangkan keuntungan sosial adalah keuntungan pada alokasi terbaik dari sumberdaya dan tanpa adanya campur tangan kebijakan pemerintah, serta kegagalan pasar. Tabel 13 Policy Analysis Matrix (PAM) usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (Rp/Kg) Uraian Privat Sosial Dampak Kebijakan
Penerimaan 101 716.26 92 600.26 9 116.00
Biaya Input Tradable Faktor Domestik 1 003.00 106 128.65 1 332.18 94 713.59 -329.18
11 415.06
Keuntungan - 5 415.39 - 3 445.52 -1 969.88
Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa keuntungan privat dari usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro adalah - Rp5 415.39, hal ini berarti usaha penggemukan sapi potong pada harga privat tidak layak untuk diusahakan. Keuntungan sosial pada usaha penggemukan sapi potong ini adalah – Rp3 445.52, hasil ini mengindikasikan bahwa keuntungan usaha penggemukan pada harga sosial juga tidak layak diusahakan karena memiliki nilai keuntungan yang kurang dari 0. Keuntungan pada harga privat lebih rendah dibanding dengan harga sosial, hal ini disebabkan karena penerimaan pada harga privat yang lebih tinggi daripada harga sosial dan biaya pada harga sosial lebih rendah dibandingkan dengan biaya pada harga privat baik alokasi input domestik maupun asing. Penerimaan yang lebih tinggi pada harga privat dibanding pada harga sosial disebabkan karena harga daging dalam negeri yang masih tinggi, namun harga daging dalam negeri yang tinggi ini tidak memberikan insentif dan keuntungan bagi peternak karena panjangnya rantai pemasaran dalam pemasaran sapi potong, penyebab lainnya diduga bahwa penerimaan pada harga privat yang tinggi dikarenakan adanya kebijakan pemerintah yang berupa pembatasan kuota dan penetapan tarif baik untuk sapi bakalan maupun daging sapi, sehingga ketersediaan daging dalam negeri berkurang dan peternak enggan untuk menjual ternaknya karena tidak menerima insentif, akibatnya harga daging dalam negeri
66 meningkat. Keuntungan privat yang lebih rendah disebabkan karena biaya pada harga privat lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga sosial. Input tradable atau input asing pada harga privat yang berupa sapi bakalan, pakan dan obatobatan yaitu garam dan albenol harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga sosialnya. Keuntungan pada harga sosial bernilai kurang dari nol atau bernilai negatif yaitu sebesar - Rp3 445.52, hal ini berarti peternak mengalami kerugian pada harga sosial. Kerugian pada harga sosial disebabkan karena tingginya input baik pada input domestik maupun pada input asing. Alokasi input domestik pada harga sosial tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan input asingnya yaitu berupa input tenaga kerja dan bunga modal yang merupakan alokasi komponen biaya terbesar kedua dan ketiga dalam usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Biaya input baik domestik dan asing yang lebih rendah pada harga sosial menyebabkan keuntungan peternak pada harga sosial lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar atau aktualnya, namun jika dilihat dari tingkat keuntungannya baik pada harga privat maupun sosial usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro belum layak diusahakan, karena peternak harus membayar biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan yang diterima. Setelah menganalisis keuntungan privat (Privat Profit) dan keuntungan sosial (Social Profit), indikator daya saing selanjutnya dalam metode PAM adalah keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif adalah keunggulan pada kondisi dimana suatu komoditas tidak terpengaruhi oleh kebijakan pemerintah ataupun kegagalan pasar, keunggulan komporatif dinilai pada tingkat harga sosial (harga bayangan). Keunggulan kompetitif adalah keunggulan pada kondisi dimana suatu komoditas dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar, keunggulan kompetitif ini dinilai pada tingkat harga privat atau harga aktual. Keunggulan komparatif diukur berdasarkan indikator DRC (Rasio Biaya Sumberdaya Domestik), sedangkan keunggulan kompetetif diukur berdasarkan indikator PCR (Rasio Biaya Privat). Nilai DRC yang lebih kecil daripada 1 mengindikasikan bahwa memiliki keunggulan komparatif dan faktor domestik digunakan secara efisien. Sedangkan nilai PCR yang lebih kecil daripada 1 mengindikasikan bahwa memiliki keunggulan kompetitif, yang secara harga privat menguntungkan. Hasil analisis indikator daya saing usaha pengemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat pada Gambar 9.
67 1,05
1,06 1,05
Unit
1,05 1,04
1,04
1,04 1,03 1,03 Domestic Ratio Cost (DRC)
Private Cost Ratio (PCR)
Gambar 9 Keunggulan komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro Nilai DRC (Domestic Ratio Cost) pada usaha penggemukan usaha sapi potong di Kabupaten Bojonegoro adalah sebesar 1.04, hal berarti bahwa usaha penggemukan sapi tidak memiliki keunggulan komparatif. Nilai tersebut menunjukan bahwa untuk mendapatkan 1 unit nilai tambah pada usaha penggemukan sapi diperlukan tambahan biaya input faktor domestik sebesar 1.04 satuan pada harga sosial. Sedangkan nilai PCR (Private Cost Ratio) adalah sebesar 1.05, hal ini berarti bahwa usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro tidak memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR tersebut menunjukan bahwa untuk mendapatkan 1 unit nilai tambah/keuntugan pada usaha penggemukan sapi diperlukan tambahan biaya input faktor domestik sebesar 1.05 pada harga privat. Hasil analisis daya saing ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang usaha penggemukan sapi potongnya berdaya saing baik secara komparatif maupun kompetitif (Indrayani 2011; Yuzaria dan Suryadi 2011; Rouf 2014), hasil analisis daya saing penggemukan sapi di Kabupaten Bojonegoro ini menghasilkan nilai PCR dan DRC yang lebih tinggi dari 1, yang dapat disimpulkan bahwa usaha tersebut tidak berdaya saing baik secara komparatif maupun kompetetif. Tidak berdaya saingnya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro disebabkan karena tingginya biaya yang harus dibayar peternak baik pada harga pasar maupun harga sosialnya, walaupun tidak berdaya saing jika dibandingkan nilai DRC dan PCR pada usaha sapi potong ini diketahui bahwa nilai DRC lebih tinggi dibandingkan dengan nilai PCR nya artinya bahwa keunggulan kompetitif lebih rendah dibandingkan dengan keunggulan komparatif, hasil ini tidak berbeda dengan penelitian Rouf (2014) yang meneliti daya saing sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan keunggulan kompetitif disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah besarnya biaya pada harga privat. Harga privat input sapi potong masih tinggi sehingga menyebabkan adanya tambahan biaya untuk meningkatkan nilai tambahan 1 satuan. Komponen input sapi potong yang terbesar alokasinya adalah bakalan sapi. Harga pasar atau harga privat sapi bakalan dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi bakalan impor. Harga pasar sapi bakalan di Bojonegoro adalah Rp31 352.02 per kg, sedangkan harga sosial untuk sapi bakalan adalah Rp31
68 290.49, selisih harga hanya sebesar Rp61.53 per kg namun jika dikalikan dengan bobot sapi biaya yang dikeluarkan juga akan lebih besar pada harga privat. Perbedaan besarnya biaya juga terdapat input sapi potong lainnya yaitu garam dan albenol pada harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Harga privat garam adalah Rp1 985.29 per kg sedangkan harga sosialnya adalah Rp1 161.45 per kg, untuk harga privat albenol Rp1 000 per kapsul sedangkan harga sosialnya adalah Rp933.96. Perbedaan harga input pada harga privat dan sosial ini dikarenakan, biaya logistik dari negara pengekspor ke Indonesia lebih murah dibandingkan dengan biaya logistik dari sentra sapi potong atau daging sapi Jawa Timur misalnya ke daerah konsumen seperti wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat. Sehingga keunggulan kompetitif bisa dilakukan dengan memotong biaya logistik dengan penggunaan teknologi, alat angkut yang efisien serta akses transportasi yang memadai yang memungkinkan pengiriman daging sapi dari wilayah sentra produksi ke wilayah konsumen dapat berlangsung dalam waktu yang singkat. Nilai DRC yang lebih tinggi daripada nilai PCR mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah pada tahun 2013 sampai 2014 belum mendukung usaha penggemukan sapi potong. Hal ini terkait dari adanya kebijakan pemerintah seperti pembatasan kuota yang tiap kuartal berubah dan penetapan tarif impor baik sapi bakalan maupun daging sapi sebesar 5 persen diduga menyebabkan ketersediaan daging sapi dalam negeri berkurang, karena daging lokal belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga harga pasar sapi dalam negeri akan meningkat, sehingga diduga menyebabkan perbedaan antara harga pasar dan harga sosialnya. Kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir tahun 2014, juga menyebabkan dampak semakin tingginya biaya privat untuk mengusahakan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Selain faktor-faktor diatas penyebab rendahnya keunggulan kompetitif sapi potong di Kabupaten Bojonegoro juga disebabkan oleh pertambahan bobot sapi yang cendurung lambat, dibandingkan dengan pertambahan bobot rata-rata sapi normal, rata-rata pertambahan bobot sapi pada sapi PO (Peranakan Ongole) di Kabupaten Bojonegoro adalah kurang dari 0.7 kg per hari. Padahal menurut Yulianto dan Cahyo (2011) untuk sapi jenis PO pertambahan bobot yang ideal untuk usaha penggemukan sapi adalah diatas 0.7 kg per hari, sedangkan untuk jenis sapi keturunan seperti sapi jenis Brahman, Simental, dan Limaosin pertambahan bobot sapi yang ideal adalah diatas 0.9 kg per hari, pertambahan bobot sapi juga berkaitan dengan produktivitas sapi dalam menghasilkan daging, untuk itu salah satu cara untuk meningkatkan keunggulan kompetitif adalah peningkatan produktivitas sapi dengan cara pemberian pakan yang berkualitas, yang seimbang antara pakan hijauan dan konsentrat serta ditunjang dengan vitamin sebagai pakan penguat. Berdasarkan hasil analisis nilai PCR dan DRC yang lebih dari 1, yang berarti usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro tidak berdaya saing, mengindikasikan bahwa sesuai dengan konsep daya saing David Ricardo sebaiknya Pemerintah masih mempertahankan kebijakan impor baik berupa daging maupun sapi bakalan untuk memenuhi konsumsi daging dalam negeri. Bersamaan dengan kebijakan tersebut, harus diimbangi dengan kebijakan menyeluruh terkait perbaikan sistem agribisnis usaha penggemukan sapi potong dalam negeri, agar kedepannya diharapkan produksi dalam negeri mampu untuk memenuhi permintaaan konsumsi daging. Kebijakan tersebut dapat berupa
69 kebijakan terkait karaktersitik peternakan sapi di Indonesia yang merupakan peternakan rakyat dapat dibentuk melalui sistem kemitraan sehingga dapat mengusahakan peternakan sapi potong dalam skala yang lebih besar, selain itu juga harus adanya peningkatan kemampuan dan pengalaman peternak melalui kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan oleh Pemerintah. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur Tingkat daya saing suatu usaha tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah yang mempengaruhinya. Kebijakan tersebut ada yang berdampak meningkatkan daya saing atau justru sebaliknya akan berdampak pada penurunan daya saing suatu usaha. Pada sektor peternakan kebijakan Pemerintah menjadi aspek yang cukup penting dan krusial mengingat peternakan merupakan sektor pangan yang menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia. Pengaruh kebijakan tersebut dalam metode PAM (Policy Analysis Matrix) yang dikemukakan oleh Monke dan Pearson (1989) tertuang dalam efek divergensi pada baris ketiga. Efek divergensi tersebut terbagi menjadi tiga dampak kebijakan yaitu yang pertama dampak kebijakan pemerintah terhadap output sapi potong terdiri dari dua indikator yaitu Transfer Output (TO), dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO), kedua dampak kebijakan pemerintah terhadap input yang terdiri dari tiga indikator yaitu Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), ketiga dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output terdiri dari empat indikator yaitu Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsisdi Bagai Produsen. Berikut hasil analisis dampak kebijakan input dan output terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Tabel 14 Hasil indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur Indiktor Dampak Kebijakan Terhadap Input Transfer Input (TI) Transfer Faktor (TF) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) Dampak Kebijakan Terhadap Output Transfer Output Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Dampak Kebijakan Terhadap Input-Output Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Transfer Bersih (TB) Koefisien Keuntungan (PC) Rasio Subsidi Produsen (SRP)
Satuan
Nilai
Rp/kg Rp/kg
-329.18 11 415.06 0.75
Rp/kg
9 116.00 1.10
Rp/kg
1.10 -1 969.88 0.64 -0.02
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input Usaha Sapi Potong Ada berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah terhadap input usaha penggemukan sapi potong, dampak kebijakan tersebut dapat dilihat dalam hasil
70 analisis matrix PAM. Dampak kebijakan tersebut berpengaruh baik pada input tradable maupun input domestik. Dampak kebijakan input pada usaha sapi potong dalam metode PAM diukur melalui tiga indikator yaitu transfer input, transfer faktor, dan koefisien proteksi input nominal. Nilai transfer input untuk melihat kebijakan pemerintah terhadap input tradable sedangkan transfer faktor untuk melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap input domestik, apabila nilai transfer input lebih dari satu maka ada kebijakan pemerintah yang membuat peternak harus membayar input tradable yang lebih mahal daripada harga sosialnya. Nilai transfer faktor yang positif menunjukan terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga input domestik di pasar lebih mahal dibandingkan harga sosial, sedangkan nilai koefisien proteksi input nominal dan bernilai positif maka menandakan bahwa peternak membayar input asing lebih mahal daripada harga sosialnya dan sebaliknya. Berikut hasil analisis dampak kebijakan input terhadap usaha sapi potong. Tabel 15 Indikator dampak kebijakan input terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur Indikator Satuan Nilai Transfer Input (TI) Rp/kg -329.18 11 453.76 Transfer Faktor (TF) Rp/kg Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 0.91 Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode PAM, pada Tabel 15 dihasilkan nilai indikator transfer input yaitu sebesar -Rp329.18 per kg daging, hal ini menunjukan bahwa peternak di Kabupaten Bojonegoro membayar input tradable yang lebih murah dibandingkan harga sosialnya, sehingga peternak tidak perlu membayar secara penuh korbanan sosial yang harus dibayarkan. Kebijakan input pada sapi potong menyebabkan peternak di Kabupaten Bojonegoro membayar input tradable yang lebih murah dibandingkan harga sosialnya. Diduga kebijakan input terkait yang menjadikan input tradable pada harga privat lebih murah dibandingkan harga sosialnya adalah kebijakan mengenai subsidi BBM, pada tahun 2014 harga eceran bensin ditetapkan pada harga Rp6 500 per liternya. Kemudian pemerintah pada bulan November 2014 lalu menetapkan kebijakan mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi untuk BBM jenis bensin dari harga Rp6 500 menjadi harga Rp8 500, melalui Peraturan Mentari Energi dan Sumber Daya Mineral No 34 tahun 2014 peraturan ini tidak bertahan lama berjarak beberapa bulan keluar kebijakan baru, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 39 tahun 2014 tentang perhitungan harga jual eceran bahan bakar minyak, kebijakan tersebut menetapkan harga bensin turun dari kebijakan sebelumnya yaitu per liternya sebesar Rp7 600 kebijakan ini terhitung mulai tanggal 1 Januari 2015 pukul 00.00 WIB, meskipun ada kebijakan baru data penelitian ini menggunakan data kegiatan usaha penggemukan sapi tahun 2014, sehingga kenaikan harga bensin pada akkhir tahun 2014 tidak begitu mempengaruhi besarnya input tradable yang harus dibayarkan peternak. Selain itu harga sosial bensin yang lebih mahal yaitu Rp9 941 per liter menjadi penyebab peternak membayar input bensin yang lebih murah dibandingkan dengan harga sosialnya.
71 Nilai transfer faktor pada penelitian ini adalah Rp11 415.06, nilai ini menunjukan bahwa biaya input domestik yang dibayarkan peternak lebih mahal dibandingkan dengan biaya input domestik pada harga sosialnya. Tingginya biaya input domestik pada harga privat diduga disebabkan oleh kebijakan Pemerintah yang menerapkan tarif impor masuk untuk daging dan sapi bakalan yang hanya sebesar 5 persen pada perjanjian AANZFTA, selain itu pemerintah juga menetapkan sistem kuota pada input sapi yaitu sapi bakalan (Permendag No 17/M-DAG/PER/3/2014). Sistem kuota impor pada sapi bakalan menyebabkan ketersediaan sapi di pasaran berkurang sehingga menyebabkan adanya kenaikan pada harga privat sapi. Tidak adanya subsidi untuk pakan input seperti garam juga merupakan salah satu penyebab nilai input pada harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Kebijakan kredit KKPE belum memberikan insentif kepada peternak, hal ini disebabkan karena alokasi terbesar dari usaha penggemukan sapi potong adalah sapi bakalan, seharusnya pemberian subsidi difokuskan pada input seperti sapi bakalan. Nilai koefisien proteksi input nominal usaha pengemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro adalah 0.91, nilai ini menunjukkan bahwa ada kebijakan subsidi yang ditetapkan Pemerintah pada input tradable, yaitu kebijakan subsidi BBM. Nilai NPCI yang kurang dari 1 juga menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga proses produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri, seperti input sapi bakalan. Dampak Kebijakan Output terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong Di Kabupaten Bojonegoro Dampak kebijakan output yang ditetapkan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, dapat dianalisis melalui dua indikator yaitu transfer output (TO) dan koefisien proteksi output nominal (NPCO). Nilai transfer output yang lebih besar daripada 0 dan nilai koefisien proteksi output nominal yang lebih besar daripada 1 mengindikasikan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga output ditingkat peternak lebih tinggi dari harga sosial dan begitu sebaliknya. Berikut hasil perhitungan indikator dampak kebijakan output terhadap usaha sapi potong. Tabel 16 Indikator dampak kebijakan output terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur Indikator Satuan Nilai Transfer Output Rp/kg 9 116.00 Koefisien Proteksi Output Nominal 1.10 Nilai transfer output usaha pengemukan sapi di Kabupaten Bojonegoro lebih besar daripada 0, yaitu sebesar Rp9 116.00, nilai tersebut tidak jauh berbeda dari hasil penelitian sebelumnya yaitu Rp1 107 948 per ekor, Rp1 574 709 per ekor, Rp1 386 622 per ekor, dan Rp2 290 001 per ekor (Rouf 2014: Indrayani 2011; Yuzaria dan Suryadi 2011; Muthalib et al. 2010). Nilai output transfer yang positif mengindikasikan bahwa peternak menerima harga output daging sapi lebih besar dari harga sosialnya atau harga tanpa adanya kebijakan pemerintah. Hal tersebut berarti bahwa ada kebijakan pemerintah yang memproteksi output usaha
72 penggemukan sapi potong sehinga harga daging yang diterima peternak lebih tinggi dibanding dengan harga sosialnya. Kebijakan output yang diduga mempengaruhi harga privat daging sapi yang diterima peternak adalah kebijakan tarif yang dikenakan untuk daging sapi sebesar 5 persen yaitu pada Peraturan Menteri Keuangan No 208/PMK.001 tahun 2013 dan adanya kebijakan pembatasan kuota daging impor. Kebijakan proteksi tersebut menyebabkan ketersediaan daging dalam negeri berkurang, sehingga menyebabkan harga privat daging sapi lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya. selain kebijakan tarif kebijakan proteksi juga terjadi pada kebijakan non tarif, yaitu Peraturan Menteri Pertanian No 139 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Perdagangan No 36 tahun 2014. Kedua kebijakan ini pada intinya mengatur pemasukan karkas daging sapi secara ketat, pihak yang melakukan impor karkas adalah pihak yang mendapat rekomendasi dari menteri perdagangan yang sebelumnya harus mempunyai NKV (Nomor Kontrol Veteriner). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian dari Wulandari et al. 2013 yang menyatakan bahwa jumlah impor daging merupakan salah satu penyebab meningkatnya harga daging sapi dalam negeri, apabila impor daging sapi naik 100 kg maka harga daging domestik juga akan meningkat sebesar Rp2 per kg, namun ketika pemerintah melakukan pembatasan kuota dan tarif impor diturunkan harga daging sapi lebih meningkat tajam. Kebijakan output lainnya yang mempengaruhi harga privat daging sapi yang tinggi adalah permintaan daging sapi pada hari-hari tertentu seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan bulan Romadhan meningkat karena merupakan hari raya umat islam yang mayoritas di Indonesia. Nilai NPCO usaha pengemukan sapi di Kabupaten Bojonegoro yaitu sebesar 1.10, nilai tersebut dapat diartikan bahwa penerimaan yang diterima peternak lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan pada harga sosialnya atau harga output daging sapi di pasar lokal lebih tinggi dibandingkan dengan harga daging dipasar dunia. Harga daging yang tinggi dipasar lokal sebenarnya tidak mencerminkan margin yang diterima peternak juga besar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang sedikitnya margin yang diterima peternak disebabkan karena panjangnya rantai pemasaran dari sapi hidup menjadi daging sapi, melewati berbagai pedagang, jagal, kemudian baru pedagang daging di pasar. Hasil penelitian dari Rusdianto et al. 2014 menunjukan bahwa margin yang diterima oleh peternak hanya sekitar 2 persen, pedagang daging di pasar memperoleh margin sebesar 7 persen, sedangkan jagal dan pendagang sapi memperoleh margin yang besar dibanding peternak dan pedagang daging yaitu masing-masing sebesar 16 persen dan 17 persen, margin harga tersebut dihitung berdasarkan harga beli, biaya produksi, biaya transportasi, serta biaya lainnya. Hal ini menunjukan bahwa harga daging yang tinggi tidak menunjukan margin yang besar bagi peternak karena peternak tidak mendapatkan insentif, dan faktor lainnya seperti perubahan harga sapi siap potong belum tentu akan menyebabkan kenaikan harga daging sapi, hal ini disebabkan pada pemasaran ternak sapi terdapat perbedaan pada permintaan dan penawaran dengan daging sapi. Sebagian besar permintaan sapi hidup oleh peternak untuk dipelihara atau keperluan lainnya, sedangkan permintaan sapi potong sebagian besar oleh jagal yang dipengaruhi oleh permintaan daging sapi.
73 Dampak Kebijakan Input-Output terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro Beberapa Indikator dampak kebijakan input output terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro adalah koefisien proteksi efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Hasil dari indikator dampak kebijakan input output terhadap usaha penggemukan sapi di Kabupaten Bojonegoro adalah sebagai berikut. Tabel 17 Indikator dampak kebijakan input-output terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur Indikator Satuan Nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 1.10 Transfer Bersih (TB) Rp/kg -1 969.88 0.64 Koefisien Keuntungan (PC) -0.02 Rasio Subsidi Produsen (SRP) Indikator dampak kebijakan input output terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro yaitu indikator transfer bersih bernilai negatif sebesar -Rp1 969.88 dan rasio subsidi produsen sebesar – 0.02. Nilai indikator ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya -Rp184 717 per ekor (Rouf 2014), namun berbeda dengan penelitian lainnya yang net transfernya bernilai positif atau lebih dari 0 yaitu Rp1 089 609/ekor (Indrayani 2011), dan Rp393 821 per ekor (Yuzaria dan Suyadi 2011). Nilai transfer bersih yang negatif pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro berarti bahwa ada kerugian peternak yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, karena peternak mendapatkan keuntungan privat yang lebih kecil dibandingkan dengn harga pasar. Pada analisis sebelumnya indikator dampak kebijakan ouput, nilai transfer yang positif peternak mendapatkan harga daging yang lebih mahal dari harga privatnya, meskipun begitu jika kebijakan input dan output diterapkan maka keuntungan peternak pada harga privat ternyata lebih kecil dibandingkan dengan harga sebelumnya. Kebijakan input dan ouput yang belum memberikan insentif kepada peternak diantaranya adalah kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp2 000 per liter, kebijakan penerapan tarif impor sapi bakalan dan daging sapi sebesar 5 persen, serta adanya pembatasan kuota dirasa belum mampu memberikan keuntungan bagi peternak. Nilai indikator EPC yang lebih dari satu yaitu 1.10 , mengindikasikan kebijakan input dan output yang diterapkan pada usaha penggemukan sapi potong sudah efektif melindungi peternak usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro karena peternak membayar harga input asing yang sesuai dengan harga jual daging. Kebijakan input output tersebut adalah tarif masuk daging sapi dan bakalan sebesar 5 persen, subsidi BBM, serta adanya subsidi kredit KKPE. Indikator lain yang menunjukan ada tidaknya dukungan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong adalah koefisien keuntungan (PC) dan rasio subsidi produsen (SRP) yang bernilai -0.02. Nilai PC merupakan rasio antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial, jika nilainya adalah 0.64, menunjukan bahwa kebijakan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah belum
74 sepenuhnya memberikan dukungan bagi usaha penggemukan sapi potong. Peternak tidak menerima keuntungan pada saat adanya kebijakan, begitu pula apabila tidak ada kebijakan, peternak juga tidak mendapatkan keuntungan. Berikutnya nilai rasio subsisdi produsen (SRP) yang bernilai negatif menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang dilakukan selama ini menyebabkan peternak harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosial yang seharusnya dikeluarkan. Hal ini sangat berbeda apabila kebijakan input dan kebijakan output diterapkan, nilai NPCI dan NPCO menunjukan bahwa penerimaan peternak pada harga privat lebih tinggi dibandingkan harga sosial, sedangkan jika dilihat dari kebijakan input dan output seperti kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi misalnya menyebabkan keuntungan peternak pada harga privat lebih kecil dibandingkan dengan harga sosialnya, hal ini menunjukan bahwa kebijakan mengenai BBM bersubsidi mempengaruhi indikator input output usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten. Secara keseluruhan kebijakan input dan output yang diterapkan oleh pemerintah belum mampu untuk melindungi peternak ditunjukkan dengan nilai TB dan SRP yang kurang dari 0, dan nilai PC yang kurang dari 1. Peternak menerima harga output yang lebih mahal dibandingkan dengan harga sosialnya, akan tetapi menerima keuntungan yang lebih kecil dibandingkan dengan tidak ada kebijakan, hal ini disebabkan karena peternak membayar biaya yang lebih tinggi pada harga privat. Analisis Sensitivitas dan Elastisitas Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur Kebijakan pemerintah yang berupa tarif maupun non tarif akan memberikan pengaruh terhadap daya saing sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kebijakan tersebut ada yang bersifat memproteksi dan adanya yang malah berdampak negatif bagi peternak. Faktor lain yang mempengaruhi daya saing potong diantaranya selain faktor kebijakan pemerintah atau faktor eksternal adalah faktor internal, diantaranya adalah pengetahuan peternak dalam mengusahakan sapi potong, dan penggunaan teknologi. Kebijakan dan faktor lainnya tersebut bersifat sangat dinamis atau berubah-berubah sesuai dengan kondisi pasar sapi potong yang berlangsung, seperti adanya pengaruh budaya pada saat mendekati hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha harga daging sapi akan meningkat, karena permintaan yang meningkat, dan peternak akan menjual sapi potongnya lebih sering dibandingkan dengan hari biasanya. Begitu pula pada sisi kebijakan pemerintah, dalam periode triwulan pada tahun 2013 pemerintah sudah menerapkan dua kebijakan yang sangat kontras sebagai contoh pada bulan oktober 2013 pemerintah mengleuarkan kebijakan menghapus kuota impor baik daging maupun sapi hidup untuk menstabilisasi harga daging yang tinggi dalam negeri, bulan Desember dalam tahun yang sama Pemerintah kembali menetapkan sistem pembatasan kuota, karena dianggap sudah cukup ketersediaan daging dalam negeri. Kondisi-kondisi tersebut tentunya akan berdampak terhadap daya saing, untuk itu diperlukan analisis sensitivitas, untuk mengukur perubahan-perubahan tersebut terhadap daya saing sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Analisis sensitivitas dalam penelitian ini berupa, kenaikan harga dedak sebesar 30 persen (studi empirik), harga daging sapi dunia naik 20.8 persen (World Bank 2014), harga domestik daging naik sebesar 8.8 persen (Dinas
75 Peternakan Kabupaten Bojonegoro), harga BBM naik sebesar 17 persen pada tahun 2015 (Keputusan Menteri ESDM 2015), diterapkannya tarif impor 0 persen pada tahun 2025 baik daging sapi, sapi bakalan, maupun sapi hidup sebagai akibat jangka panjang perjanjian AANZFTA (Peraturan Kementerian Keuangan No 208/PMK.001 tahun 2013), dan pertambahan bobot badan harian sapi potong lebih besar 0.7 kg/hari (Goyache et al. 2003;Yulianto dan Cahyo 2011). Hasil analisis sensitivitas dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19. Pada hasil analisis sensitivitas, kondisi yang paling merugikan peternak adalah pada saat dimana tarif masuk impor daging ditetapkan sebesar 0 persen sebagai akibat jangka panjang dari adanya perjanjian perdagangan bebas AANZFTA yang artinya bahwa tidak adanya tarif masuk baik untuk daging sapi, sapi hidup, maupun sapi bakalan. Kondisi ini menunjukan bahwa dalam jangka panjang impor daging sapi akan merugikan peternak, karena impor daging sapi tanpa ada kebijakan proteksi seperti kebijakan tarif misalnya akan menyebabkan penawaran daging dalam negeri meningkat, namun pemenuhan permintaan daging bukan dari produksi dalam negeri sehingga menyebabkan peternak mengalami kerugian. Selain itu harga dedak yang meningkat sebesar 30 persen tanpa adanya kebijakan subsidi dari pemerintah akan menyebabkan kerugian yang diterima peternak semakin besar. Diharapkan pemerintah menerapkan impor daging sapi hanya dalam jangka waktu yang pendek diiringi dengan perbaikan sistem peternakan dalam negeri. Tabel 18 Dampak perubahan input dan output terhadap keuntungan privat dan sosial usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (Rp/kg/periode) Skenario Keuntungan Privat Keuntungan Sosial Kondisi Awal -5 415.39 -3 445.52 Harga dedak naik 30 % -5 415.39 -3 445.52 Harga dunia daging naik 20.8% -5 415.39 19 555.92 Harga domestik daging naik 8.8% 2 615.84 -3 445.52 Tarif impor daging menjadi 0% -5 415.39 -7 413.52 Harga BBM naik 17% -5 415.39 -3 444.52 PBBH menjadi 0.8 kg/hari 10 578.11 10 714.07 Keuntungan yang negatif pada kondisi tarif impor daging sebesar 0 persen juga diikuti dengan tidak berdaya saingnya secara kompetitif usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, akibat adanya penghapusan tarif impor. Pada Tabel 19 nilai PCR pada kondisi tarif impor daging senilai 0 persen adalah 1.05, hal ini berarti bahwa usaha penggemukan sapi potong tidak kompetitif, dan juga tidak memiliki keunggulan komparatif yaitu ditunjukan dengan nilai DRC sebesar 1.08. Harga daging sapi di pasaran akan berpengaruh terhadap daya saing dan keuntungan sistem, namun jika dilihat dari sisi peternak, menurut pengamatan di lapang harga daging di pasaran sebenarnya tidak begitu responsif terhadap keputusan peternak dalam menjual sapinya, ketika harga daging turun ataupun naik peternak belum tentu segera atau tidak sama sekali menjual ternak, keputusan peternak tergantung dari kebutuhan dalam rumah tangganya karena pada prinsipnya mereka beternak bukan untuk dikembangkan tetapi hanya untuk saving
76 maupun untuk memenuhi kebutuhan yang mendadak kecuali pada saat menjelang idul adha, peternak di Kabupaten Bojonegoro akan segera menjual sapinya. Keputusan yang seperti ini yang seharusnya diubah, keputusan peternak seharusnya berorientasi pada permintaan dan harga dipasar, tidak berdasarkan saving atau kebutuhan mendadak. Kondisi yang paling menguntungkan dari beberapa skenario diatas adalah adanya peningkatan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) sapi menjadi 0.8 kg per hari. Bertambahnya PBBH menjadi 0.8 kg per hari akan menyebabkan keuntungan privat dan sosial akan meningkat, masing-masing menjadi Rp10 578.11, dan Rp10 714.07. Analisis sensitivitas pengaruh beberapa skenario kebijakan juga berdampak terhadap nilai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitifnya. Berikut adalah tabel dampak skenario kebijakan terhadap nilai PCR dan DRC. Kondisi daya saing yang tetap ditunjukan pada skenario harga dedak naik 30 persen dan naiknya harga BBM yang naik sebesar 17 persen, skenario ini tidak berdampak terhadap daya saing karena alokasi input dedak dan bensin bukan yang terbesar pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, skenario ini hanya mengubah nilai keuntungan saja baik privat maupun sosial (Tabel 19). Tabel 19 Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (Kg/periode) Skenario Kondisi Awal Harga dedak naik 30 % Harga daging dunia naik 20.8% Harga daging lokal naik 8.8% Tarif Impor daging menjadi 0% Harga BBM naik 17% PBBH menjadi 0.8 kg/hari
Keunggulan Kompetitif (PCR) 1.05 1.05 1.05 0.98 1.05 1.05 0.89
Keunggulan Komparatif (DRC) 1.04 1.04 0.83 1.04 1.08 1.04 0.88
Perubahan PCR
DRC
0 0 0.07 0 0 0.16
0 0.21 0 -0.04 0 0.16
Harga dedak padi naik sebesar 30 persen, pada saat musim kemarau di Kabupaten Bojonegoro disebabkan karena sulitnya untuk mendapatkan dedak padi dibandingkan dengan musim penghujan, yang biasanya peternak menggiling sendiri padinya hingga menjadi dedak. Menurut wawancara dengan peternak, harga dedak pada saat musim penghujan perkilogramnya adalah Rp2 500, sedangkan pada saat musim kemarau bisa mencapai Rp3 000 sampai Rp3 500 perkilogramnya, walaupun sulit untuk didapatkan dedak padi merupakan konsentrat yang penting bagi peternak di Kabupaten Bojonegoro karena dirasa memberi efek pertambahan bobot yang lebih besar dibandingkan dengan dedak lainnya. Kondisi ini jika dianalisis dalam sensitivitas ternyata tidak berpengaruh terhadap keuntungan privat maupun sosial. Hal ini disebabkan oleh alokasi biaya yang kecil dari dedak terhadap seluruh komponen biaya, presentase alokasinya hanya sebesar 1.18 sehingga pengaruhnya kecil terhadap daya saing usaha sapi potong di Kabupaten Bojonegoro.
77 Kenaikan harga BBM bersubsidi pada bulan November tahun 2014 sebesar Rp2 000 perliter tentunya akan memberikan pengaruh terghadap daya saing usaha sapi potong. Kemudian pada bulan Januari 2015 harga BBM subsidi kembali turun, pemerintah menetapkan harga eceran bensin adalah Rp7 600, walaupun begitu harga ecerean bensin tersebut tetap meningkat dibandingkan dengan harga eceran bensin tahun 2013 sampai 2014 yaitu hanya Rp6 500, sehingga tetap mengalami kenaikan harga sebesar 17 persen. Kenaikan harga bensin sebesar 17 persen ini tidak berpengaruh terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro dikarenakan alokasi biaya input hanya 0.09 dari keseluruhan besarnya komponen input. Simulasi kebijakan selanjutnya kenaikan harga daging baik dunia maupun domestik menyebabkan perubahan daya saing. Perubahan harga daging dunia yang meningkat sebesar 20.8 persen menyebabkan nilai DCR meningkat menjadi 0.83, artinya bahwa ketika harga daging dunia meningkat usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro memiliki keunggulan komparatif, dan apabila harga daging domestik meningkat maka akan menyebabkan usaha sapi potong memiliki keunggulan kompetitif ditunjukkan dengan nilai PCR yang meningkat menjadi 0.98. Dengan adanya kondisi tersebut, memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk dapat menerapkan kebijakan yang dapat menstabilkan harga daging sapi di pasar, karena akan mempengaruhi tingkat daya saing usaha penggemukan sapi potong. Kebijakan yang menunjukan perubahan keuntungan dan daya saing yang signifikan adalah kondisi apabila pertambahan bobot harian ternak (PBBH) menjadi 0.8 kg per hari, dan pengaruhnya yang lain dianggap tetap. Rata-rata pertambahan bobot sapi di Desa Napis per hari nya kurang dari 0.7 kg per hari yaitu 0.68 per hari, pertambahan bobot ini dianggap belum mencapai standar yang ditetapkan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Bojonegoro. Pertambahan bobot harian sapi hingga mencapai 0.7 per kg atau lebih perharinya memberikan pengaruh yang besar baik keuntungan privat, keuntungan sosial, keunggulan komparatif, dan keunggulan kompetitif. Keuntungan privat dan keuntungan sosial meningkat setelah adanya perubahan bobot akhir sapi yaitu sebesar Rp10 578.11, dan Rp10 714.07 yang kondisi sebelumnya untuk keuntungan privatnya hanya sebesar - Rp5 415.39 dan untuk keuntungan sosialnya sebesar – Rp3 445.52. Perubahan keuntungan pada usaha penggemukan sapi potong ini menunjukan bahwa bobot akhir sapi potong sangat menentukan keberhasilan dari usaha tersebut. Sama halnya dengan keuntungan nilai indikator daya saing usaha sapi potong setelah adanya simulasi ini meningkat yaitu menjadi 0.89 untuk nilai PCR dan 0.88 untuk nilai DRC nya. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan produksi daging melalui peningkatan bobot hidup sapi akan meningkat daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro baik daya saing komparatif maupun daya saing secara kompetitif. Simulasi terakhir yang memberikan dampak yang sangat signifikan adalah simulasi kombinasi dari kondisi harga dedak yang meningkat sebesar 30 persen, harga daging dunia meningkat 20.8 persen, harga daging domestik meningkat sebesar 8.8 persen, harga BBM bersubsidi meningkat sebesar 17 persen, dan meningkatnya pertambahan bobot sapi menjadi 0.8 kg per hari. Berdasarkan hasil analisis simulasi maka kebijakan yang paling tepat untuk meningkatkan keuntungan peternak dan mengubah usaha penggemukan usaha sapi potong di
78 Kabupaten Bojonegoro menjadi berdaya saing adalah kebijakan terkait pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi menjadi 0.8 kg per hari, kebijakan yang terkait diantaranya adalah kebijakan subsidi konsentrat, penyuluhan dan pendampingan sangat diperlukan karena pendidikan dan pengalaman beternak peternak di Kabupaten Bojonegoro sangat rendah. Namun setelah dianalisis lebih mendalam meskipun kebijakan tersebut berdampak meningkatkan keuntungan, untuk nilai keuntungan privat dan nilai PCR nya lebih kecil dibandingkan dengan nilai keunggulan sosial dan nilai DRC nya. Hal ini menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro memerlukan biaya yang lebih besar pada harga privat dibandingkan harga sosialnya, sehingga sangat wajar sekali secara umum Indonesia masih harus mengimpor daging, sapi bakalan, dan sapi hidup untuk memenuhi kebutuhan akan daging sapi, karena biaya penggemukan sapi di dalam negeri memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan biaya penggemukan sapi pada harga sosial. Besarnya biaya ini menyebabkan keuntungan privat dan keunggulan kompetitif lebih rendah dibandingkan keuntungan sosial dan keunggulan kompetitif. Tingkat keuntungan privat yang rendah juga disebabkan karena margin yang diterima peternak lebih kecil dibandingkan dengan pedagang sapi, RPH, dan pedagang daging sapi di pasar. Apabila peternak dapat memotong saluran pemasaran sapi potong dengan menjual hasil ternaknya sendiri ke RPH maka margin yang diperoleh peternak juga akan semakin tinggi, karena terbatasnya sarana transportasi pada akhirnya peternak menjual sapinya ke tengkulak. Berbagai kebijakan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan keuntungan privat dan keunggulan kompetetif yaitu salah satunya dengan meningkatkan kemampuan peternak untuk menghasilkan ternak sapi yang pertambahan bobot perharinya mencapai diatas 0.7 kg per hari, dan merubah keputusan peternak yang beranggapan menjual sapi pada saat butuh dan hanya sebagai tabungan, harus diubah menjadi orientasi bisnis yang menguntungkan. Kondisi ini juga sesuai dengan hasil penelitian dari Purba dan Hadi 2012 yang meneliti usaha penggemukan sapi potong di Indonesia bagian timur, yang menyebutkan bahwa permasalahan krusial yang dihadapi peternak adalah saran transportasi yang meliputi alat angkut ternak dan pelabuhan bongkar muat ternak yang terbatas dan belum kondisif. Solusi adalah dengan pembaharuan fasilitas transportasi dan fasilitas bongkar muat pelabuhan yang memadai, dan pengendalian impor ternak sapi bakalan dan daging sapi sampai batas tertentu sehinga dapat melindungi peternak dari kerugian. Tahap selanjutnya setelah analisis sensitivitas, untuk mengukur berapa besar pengaruh satu persen sensitivitas terhadap parameter yang diuji dalam penelitian ini adalah analisis elastisitas. Pada intinya analisis sensitivitas ini digunakan untuk mengukur perubahan nilai PCR dan DRC terhadap perubahan harga input dan output. Skenario kenaikan harga dedak dan BBM tidak dimasukkan dalam analisis elastisitas karena, tidak mengubah nilai PCR maupun DRC. Berikut hasil analisis kepekaan sensitivitas.
79 Tabel 20 Elastisitas perubahan daya saing terhadap harga output dan input Skenario Elastisitas PCR DRC 0.000 0.967 Harga daging dunia naik 1% 0.839 0.000 Harga daging lokal naik 1% Tarif impor daging turun 1%
PBBH meningkat 1%
0.000 1.015
- 0.909 1.009
Skenario peningkatan harga daging lokal yang naik sebesar 1 persen bersifat inelatis, ditunjukan dengan nilai elasitisitas DRC sebesar 0.967 yang artinya bahwa setiap perubahan 1 persen dari harga daging lokal menyebabkan perubahan nilai DRC atau keunggulan komparatifnya meningkat sebesar 0.967 persen. Nilai elastisitas yang tidak inelastis juga berarti bahwa naik turunnya harga daging lokal tidak akan menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, kebijakan peningkatan harga daging lokal hanya berpengaruh pada nilai DRC nya saja. Berdasarkan hasil analisis elastisitas diketahui bahwa skenario kebijakan yang paling peka dan mendekati terhadap perubahan harga input maupun output adalah kebijakan peningkatan PBBH sapi potong menjadi 0.8 kg per hari. Skenario kebijakan tersebut bersifat elastis yang berpengaruh pada keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Nilai elastisitas skenario PBBH untuk PCR adalah 1.015 dan untuk DRC adalah 1.009, yang artinya peningkatan PBBH sebesar 1 persen akan meningkat nilai PCR sebesar 1.015 persen dan nilai DRC sebesar 1.009 persen. Setelah dianalisis kebijakan yang paling berpengaruh terhadap peningkatan daya saing sapi potong di Kabupaten Bojonegoro yaitu peningkatan PBBH (Pertambahan Bobot Badan Harian) sapi potong sampai minimal mencapai 0.7 kg per harinya, diperlukan analisis switching value untuk mengetahui berapa besar persentase kenaikan PBBH yang mempengaruhi usaha sapi potong sampai mencapai tingkat daya saing. Berikut adalah hasil analisis switching value analisis sensitivitas. Tabel 21 Analisis switching value PBBH untuk mencapai daya saing Keterangan Nilai Bobot rata-rata sapi bakalan (kg) Bobot rata-rata sapi hidup setelah digemukkan (kg) Pertambahan bobot per periode (kg) PBBH (kg/hari) PBBH minimal yang harus dicapai untuk berdaya saing (kg/hari) Peningkatan PBBH (kg/hari) Persentase peningkatan PBBH (%)
264.00 287.00 23.00 0.55 0.66 0.11 17.33
Berdasarkan tabel 21 dapat diketahui bahwa persentase nilai PBBH (Pertambahan Bobot Badan Harian) yang harus ditingkatkan untuk mencapai nilai DRC dan PRC sama dengan 1 adalah sebesar 17.33 persen atau 0.11 kg per hari. Nilai tersebut diperoleh dari selisih antara PBBH minimal yang harus ditingkatkan dengan PBBH awal. Pertambahan bobot per periode penggemukan sapi potong di
80 Kabupaten Bojonegoro selama kurang lebih 7 bulan adalah 23 kg, dari bobot sapi bakalan sebesar 264 kg setelah digemukkan menjadi 287 kg. Implikasi Kebijakan Usaha Penggemukan Sapi Potong Kebijakan merupakan suatu aturan baik tertulis maupu tidak tertulis yang dapat diterapkan pemerintah dalam rangka untuk mensejahterakan rakyatnya, dalam konteks penelitian ini kebijakan pemerintah sangat penting terkait dalam pengembangan usaha penggemukan sapi potong sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yang semakin meningkat. Berdasarkan hasil penelitian ini implikasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro yaitu dengan meningkatkan pertambahan bobot ternak sapi potong sampai mencapai 0.8 kg perharinya atau minimal 0.66 kg per hari dengan persentase kenaikan PBBH sebesar 17.33 persen dari PBBH sebelumnya yaitu 0.55 kg per hari. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian input pakan dan konsentrat yang berkualitas mengingat peternak di Kabupaten Bojonegoro belum menggunakan input yang berkualitas dan bergizi tinggi karena terbatasnya akses terhadap informasi dan permodalan, untuk itu pemerintah dapat menerapkan kebijakan berupa pemberian subsidi pada pakan konsentrat seperti dedak, jagung, dan obat-obatan seperti vitamin B komplek. Selain itu berdasarkan karakterisitik peternak di Kabupaten Bojonegoro diantaraya adalah masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengalaman beternak maka diperlukan penyuluhan kepada peternak mengenai pentingnya pakan yang berkualitas untuk meningkatkan bobot sapi dalam waktu yang singkat. Untuk meningkatkan kemampuan peternak diperlukan adanya pelatihan dan pendampingan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terkait teknis penggemukan sapi potong, seperti penanganan penyakit, Inseminasi Buatan (IB), kemudian dari segi teknologi peternak bisa mendapatkan pelatihan mengenai teknologi pakan diantaranya adalah pembuatan silase. Silase merupakan hijauan tanaman biasanya berupa daun jagung, tebu, jerami dan yang lainnya yang telah difermentasi selama beberapa minggu untuk meningkatkan nilai gizi bahan pakan tersebut. Menurut Yulianto dan Cahyo (2010) ada beberapa teknologi yang dapat meningkatkan kualitas pakan diantaranya adalah fermentasi jerami dengan menggunakan NaOH selama 6 jam, fermentasi jerami dengan urin sapi selama 30 hari, fermentasi jerami dengan menggunakan abu sekam padi selama 2 hari, dan teknologi pemberian sumplemen UMB (Urea Molasis Block) yang merupakan percampuran 3 persen urea, 65 persen molase (tetes tebu), 3 persen kapur, 2 persen gypsum, 7 persen mineral, dan 20 persen dedak melalui proses pemanasan. Komposisi pemberian pakan hijauan, konsentrat, fermentasi jerami, dan pemberian minuman juga akan berpengaruh terhadap target penambahan bobot sapi potong. Menurut Ernawati et al. (2010) komposisi pakan perhari untuk meningkatkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi potong lebih besar atau mencapai 0.7 kg per hari adalah 1 persen dari bobot badan (2.5 sampai 4 kg) pakan konsentrat, 10 persen dari bobot badan (25-40 kg) pakan hijauan, 2.5 persen dari bobot badan (6 sampai 9 kg) jerami fermentasi, dan pemberian minum campuran garam sesuai kebutuhan.
81 Peningkatan pendapatan peternak juga merupakan salah satu alternatif kebijakan untuk meningkatkan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Salah satu upaya tersebut adalah pemanfaatan limbah ternak sapi diantaranya pengelolaan kotoran sapi untuk pupuk organik dan pemanfaatan fermentasi urine sapi sebagai campuran pembuatan pestisida alami. Pelatihan pemanfaatan limbah ternak sapi sebenarnya sudah dilakukan pemerintah Kabupaten Bojonegoro melalui KSU Lembu Seto akan tetapi untuk partisipasi peternak dirasa masih kurang hanya menjangkau peternak di wilayah sekitar koperasi belum sampai pada ternak ke wilayah yang pelosok seperti Dusun Pencol, Dusun Ndaplangu, dan Dusun Ndolog. Perlu adanya pelatihan-pelatihan pemanfaatan limbah dan pakan berkualitas yang menjangkau wilayah-wilayah yang sulit untuk diakses. Kebijakan yang diterapkan selain kebijakan teknis adalah, harus adanya perubahan mindset peternak untuk meningkatkan usahanya agar berorientasi bisnis dan berani mengambil risiko, kegiatan ini dapat dilakukan dengan adanya penyuluhan dan pendampingan dari Dinas Peternakan Kabupaten Bojonegoro dan pemerintahannya yang terkait. Selanjutnya, perubahan mindset tidak hanya pada peternak saja akan tetapi pada semua pemangku kepentingan (stakeholder), diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mendukung kebijakan terkait peningkatan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) sapi potong menjadi 0.8 kg per hari, bahkan diharapkan lebih dari standar tersebut. Kebijakan pemerintah pada usaha penggemukan sapi potong ini harus dapat mengatasi permasalahan ditingkat hulu sampai ditingkat hilir, dengan demikian upaya berbaikan yang perlu dilakukan disetiap subsistem dan perlunya keterkaitan dalam setiap subsistem tersebut. Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan pada subsistem dari hulu ke hilir pengembangan usaha sapi potong adalah sebagai berikut (1) pada subsistem hulu, perlu adanya peningkatan program penelitian dan pemuliaan bibit sapi yang memiliki mutu yang tinggi sehingga dapat meningkatkan produktivitas dari sapi potong, menurut Rikhanah (2008) salah satu program pemuliaan bibit yang dapat diterapkan adalan program pemuliaan inti terbuka yaitu dengan sistem bergabungnya pemilik ternak dalam suatu kelompok untuk bekerja sama dalam pengembangan pembibitan sapi potong di perdesaan, (2) pada subsistem usahatani, perlu adanya penjaminan ketersediaan pakan yang berkualitas bagi peternak dapat dilakukan melalui peningkatan aplikasi bagi peternak terutama teknologi pengadaan pakan murah berkualitas dan mudah yang bisa di jangkau oleh peternak seperti pembuatan konsentrat dari jagung, dan pemanfaatan konsentrat lainnya yang berasal dari sumber daya domestik, pengembangan sapi potong sistem integrasi terutama integrasi sapi-tanaman pangan mempunyai potensi sangat besar untuk mewujudkan swasembada daging sapi berbasis sumberdaya lokal melalui peningkatan populasi dan produktivitas, inovasi pakan, pengelolaan kompos, optimalisasi IB ditujukan untuk mencapai sasaran swasembada sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani (Dwiyanto dan Rusastra 2013), (3) pada subsistem hilir, peningkatan nilai tambah daging menjadi produk olahan, pembangunan RPH modern pada beberapa sentra produksi, dan peningkatan efektifitas RPH diarahkan untuk mempersiapkan penyediaan daging tidak lagi hanya dalam bentuk ternak hidup, tetapi dalam bentuk karkas atau daging, dan penyediaan informasi pasar yang semakin akurat (Yusdja dan Ilham 2007), dari segi pemasaran diperlukan fasilitas pemasaran seperti timbangan, ram
82 untuk bongkar muat perlu dibangun di pasar-pasar hewan dan pelabuhan antar pulau, hal ini sangat penting untuk mencegah terjadinya stress dan kecelakaan pada ternak yang berakibat menambah biaya yang pada akhirnya dibebankan peternak sehingga harga sapi ditingkat peternak lebih rendah dari yang seharusnya (4) pada sistem penunjang, kebijakan penyediaan plafon kredit untuk pengadaan ternak dengan bunga yang rendah yang mudah diakses dengan aturan yang lebih fleksibel sangat membantu peternak dalam meningkatkan skala usaha ternak sapi potong, selain itu perlu adanya penguatan lembaga penyuluhan, penguatan lembaga penelitian dan pengembangan, penciptaan iklim usaha yang kondusif sehingga mendorong pasar yang efisien, serta perlu adaya kerjasama antara stakeholder terkait seperti pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan pihak swasta untuk mendukung upaya-upaya yang berkaitan dengan peningkatan produk ternak yang berdaya saing (Winarso dan Basuno 2013). Berbagai implikasi kebijakan yang menyeluruh dari hulu sampai hilir, akan memberikan dampak pada kondisi peternakan sapi potong yang lebih baik, Indonesia dapat memenuhi kebutuhan daging dalam negeri dan peternak dapat mencapai kesejahteraan. Beberapa kebijakan yang dihasilkan dalam penelitian ini juga diharapkan dapat diterapkan oleh pemerintah Kabupaten Bojonegoro pada khususnya, dan pemerintah pusat pada umumnya. Konsekuensi yang harus diterima apabila tidak ada perubahan kebijakan dalam usaha sapi potong skala peternakan rakyat maka selamanya pemenuhan kebutuhan daging Indonesia akan dipenuhi dari impor dan swasembada daging sapi akan mustahil untuk dicapai.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Usaha pengemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur tidak menguntungkan dilihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang bernilai negatif yaitu Rp5 426.83, dan keuntungan sosialnya adalah Rp3 445.52. Usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro juga tidak berdaya saing, dilihat dari nilai DRC (Domestic Ratio Cost) yaitu 1.04, dan nilai PCR (Privat Cost Ratio) yaitu 1.05. 2. Tidak adanya kebijakan subsidi pada input pakan dan obat-obatan menyebabkan peternak harus membayar input tradable yang lebih mahal dibandingkan dengan harga sosialnya, kebijakan output menyebabkan harga output daging sapi di pasar lokal lebih tinggi dibandingkan dengan harga daging dipasar dunia. Secara keseluruhan kebijakan input dan output yang diterapkan oleh pemerintah belum mampu untuk melindungi peternak ditunjukkan dengan nilai TB dan SRP yang kurang dari 0, dan nilai PC yang kurang dari 1. 3. Dampak perubahan harga input yaitu meningkatnya harga dedak sebesar 30 persen dan BBM bersubsidi sebesar 17 persen tidak memberikan pengaruh
83 terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, penurunan tarif impor daging sebagai akibat jangka panjang perjanjian AANZFTA diduga mempengaruhi keunggulan komparatif yang ditunjukkan dengan nilai DRC yang semakin menurun, sedangkan perubahan harga output yaitu meningkatnya harga daging dunia sebesar 20.8 persen akan meningkatkan keunggulan komparatif, dan meningkatnya harga daging lokal sebesar 8.8 persen akan meningkatkan keunggulan kompetitif usaha sapi potong. 4. Hasil analisis elastisitas perubahan kebijakan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa peningkatan pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi potong sebesar 0.8 kg per hari merupakan kebijakan yang paling peka terhadap peningkatan daya saing usaha sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang diperoleh maka dapat dirumuskan saran terkait implikasi kebijakan, yaitu sebagai berikut : 1. Persentase peningkatan PBBH (Pertambahan Bobot Badan Harian) yang harus dicapai untuk menjadikan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro berdaya saing adalah sebesar 17.33 persen atau sama dengan peningkatan sebesar 0.11 kg per hari dari PBBH sebelumnya yaitu 0.55 kg per hari. 2. Kebijakan yang dapat diterapkan terkait dengan meningkatkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi potong adalah diperlukannya penyuluhan kepada peternak mengenai pentingnya pakan yang berkualitas untuk meningkatkan bobot sapi dalam waktu yang singkat, selain itu diperlukan adanya pelatihan dan pendampingan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terkait teknologi peningkatan kualitas pakan yaitu fermentasi jerami, fermentasi silase (pakan hijauan) seperti daun jagung dan daun tebu, sumplemen UMB (Urea Molasis Block) yang merupakan percampuran antara molase (tetes tebu) dengan urea, serta pemanfaatan limbah sapi untuk meningkatkan pendapatan peternak. 3. Kebijakan lain yang dapat meningkatkan daya saing usaha penggemukan sapi potong diantaranya adalah adanya kebijakan subsidi input pakan yang dapat membantu peternak lokal dalam mengusahakan sapi potong, tersedianya akses informasi dan transportasi bagi peternak yang memadai sehingga biaya yang dikeluarkan peternak tidak terlalu tinggi untuk pemasaran sapi potong. Dari segi teknologi, RPH yang ada harus memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner) sebagai upaya untuk menjaga kehigienisan RPH (Rumah Potong Hewan) agar layak sebagai tempat penjagalan sapi potong, dan adanya perubahan mindset pada semua pemangku kepentingan (stakeholder), diperlukan kerjasama yang baik antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk mendukung kebijakan terkait peningkatan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) sapi potong menjadi 0.8 kg per hari, bahkan diharapkan lebih dari standar tersebut. 4. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa keterbatasan penelitian antara lain (1) data yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada data cross section (kerat lintang), sehingga diharapkan penelitian
84 selanjutnya dapat menggunakan data time series (deret waktu), (2) Pemilihan lokasi penelitian terbatas pada indikator pertumbuhan populasi sapi potong di Jawa Timur, penelitian selanjutnya dapat menjadikan indikator populasi sapi potong terbesar sebagai lokasi penelitian, (3) Penelitian ini dilakukan terbatas pada peternakan rakyat, penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti daya saing sapi potong berdasarkan usaha skala sedang, dan besar, serta berdasarkan asal sapi bakalan (impor dan lokal), (4) penelitian ini terbatas pada indikator daya saing dilihat dari usahataninya diharapkan penelitian selanjutnya dapat menganalisis daya saing berdasarkan setiap subsistem agribisnis.
DAFTAR PUSTAKA Andreopouloua Z, Tsekouropoulos G, Theodoridis G, Samathrakis V, Batzios C. 2014. Consulting for sustainable development, information technologies adoption, marketing and entrepreneurship issues in livestock farms. Procedia Journal of Economics and Finance. 9 (14) : 302-309. Babu AS, Muhammad R. 2013. Global Competitiveness Of Dairy farming in Karantaka. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology. 2 (7) : 155-167. Bachtiar HM. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bandung (ID) : ISIE Bahta S, Malope P. 2014. Measurement of Competitiveness in Smallholder livestock systems dan emerging policy advocacy : An application to Botswana. Elsevier Journal of Food Policy 201. 3 (6) : 212-235. Ball DA, McCulloc WH, Frantz PL, Geringer JM, Michael SM. 2005. International Business, Tantangan Persaingan Global. Jakarta (ID) : Salemba Empat. Basis Data Ekspor-Impor Deptan, 2014. Diunduh 21 Oktober 2014. Tersedia pada www.database.deptan.go.id/eksim/ Benin S, Ehui S, Pender J. 2001. Policies For Livestock Development In The Ethiopion Highlands. Journal of Environtment, Development, and Sustainability. 5(2) : 491-501. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Tabel Input Output Indonesia. Jakarta (ID) [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Tambakrejo Dalam Angka. Jawa Timur (ID) [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Pertanian Bojonegoro. Jawa Timur (ID) [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Perdagangan Luar Negeri (Ekspor dan Impor). Jakarta (ID) Brette O, Yves H. 2007. The French Competitiveness Clusters Towards a New Public Policy For Innovation and Research?. Journal of Economic Issues. 41(2) : 55-61. Coelli TJ, Rao DSP, O’Donnell CJ, Battese GE. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis Second Edition. New York (USA) : Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.
85 Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Bogor (ID). IPB Press Daryanto A. 2010. Penataan Impor Dalam Rangka Swasembada Daging 20102014. Diunduh 4 November 2014. Tersedia pada web.mb.ipb.ac.id/.../Penataan_Impor_Dalam_Rangka_Swasembada_Dag.. Direktorat Jendral Peternakan. 2012. Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan . Jakarta (ID) Direktorat Jendral Peternakan. 2014. Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta (ID) Dwiyanto K, Rusastra I W. 2013. Pemberdayaan Peternak Untuk Meningkatkan Populasi dan Produktivitas Sapi Potong Berbasis Sumber Daya Lokal. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementan. 6 (3) : 105 -118. Ernawati, Nuschati U, Subinarta, Ernawati Y, Hayati R N. Pedoman Teknis Budidaya Sapi Potong. Semarang (ID) : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Esterhuizen DJ, Rooyen V, Lindie S. 2006. Analysing Competitiveness Performance in the Beef Industry : The south African Case. Agrekon Journal, 45 (4) : 467-485 Feryanto. 2010. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Susu Sapi impor di Jawa Barat. [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Gay LR, Diehl PL. 1992, Research Methods for Business and Management. New York (USA) : MacMillan Publishing Company. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi Kedua. Jakarta (ID). UI-Press dan John Hopkins. Goyache F, Fernandez I, Royo LJ, Alvarez I, JB Gutierrez. 2003. Factor Affecting Actual Weaning Weight, Preweaning Average Daily Gain and Relative Growth Rate in Asturiana de los Valles Beef Cattle Breed. Arch Tierz Journal. 46 (3) : 235-243 Hardjosubroto W. 2004. Alternatif Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan Sumber Daya Genetik Sapi Potong Lokal Dalam Sistem Pembibitan Ternak Nasional. Diunduh 24 November 2014. Tersedia pada peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lopo04-5.pdf?...1 Indrayani I. 2011. Analisis Produksi dan Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Jolly C, Kenrett Y, Jefferson M, Greg T. 2007. Consequences of Biotechology Policy for Compettiveness and Trade of Southern U.S. Agriculture. Journal of Agricultural and Applied Economics, 37 (2) : 393-407. Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Jakarta (ID) : FE UI Press. Kagochi, JM. 2007. Evaluating The Competitiveness Of Us Agricultural Market Commodities. [Disertasi]. Alambama (USA) : Auburn University. Kavec S, Emil E. 2003. Competitiveness of Livestock Production in Slovenia in View of Approaching EU Accession. Journal of Agriculturae Conspectificus, 68(3) : 173-177.
86 Kementerian Perdagangan. 2012. Harga Komoditas Strategis. Diunduh 5 November 2014. Tersedia pada http://www.kemendag.go.id/id/economicprofile/prices.LR. Gay dan P.L.Diehl. 1992. Research Methods for Bussiness. New York. Kim J, Peter G, Michael HT. 2009. Economic impact and public costs of confined animal feeding operations at the parcel level of Craven County, North Carolina. Journal of Agriculture Hum Values. 42 (2) : 201-212. Kreuter UP, Workman JP. 1994. Government Policy Effects on Cattle and Wildlife ranching profits in Zimbabwe. Journal of Range Management. 47(2) : 264-269. Lapar ML, Holloway G, Ehui S. 2003. Policy options promoting market participation among smallholder livestock producers: a case study from the Phillipines. Elsevier, Journal of Food Policy. 28(7) : 187-211. Maltsoglou I, George R. 2010. The Contribution of Livestock to Household Income in Vietnam: A Household Typology Based Analysis. Diunduh 26 November 2014. Tersedia pada r4d.dfid.gov.uk/.../livestock/pplpiexecsumm_wp2. Manalu DS. 2014. Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Komoditas Kentang di Kabupaten, Wonosobo. [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Martha CG. 2011. Navigating the Livestock Sector: The Political Economy of Livestock Policy in Burkina Faso. Diunduh pada 17 November 2014. Tersedia pada www.fao.org/ag/againfo/programmes/.../wp28.pd... Marques PM, Barcellos JOJ, McManus C, Oaigen RP, Collares FC, Canozzi MEA, Lampert VN . 2011. Competitiveness of beef farming in Rio Grande do Sul State, Brazil. Journal of Agricultural System. 104 (2) : 689-693. Mekki AAE, Jaafari S, Tyner W. 2006. Economic Competitiveness of the Meat Sub-Sector in Morocco:The Case of Beef and Poultry. Ninth Annual Conference on Global Economic Analysis, GTAP/UNECA, Addis Ababa, Ethiopia, 15 (3) : 507-521. Monke AE, Pearson SR. 1989. Policy Analysis Matrix for Agricultural Develop ment. New York (USA) : Cornell University Press. Noor HF. 2011. Ekonomi Manajerial. Jakarta (ID) : Raja Grafindo Persada. Ouma EA, Obare GA, Staal SJ. 2004. The Sosio-economic Dimensions of Smallholder Livestock Management in Kenya and its Effects on Competitiveness of Crop Livestock System. NARO Conference on “Integrated Agricultural Research for Development-Achievements, Lessons Learnt and Best Practice”, Journal of Uganda Economic. 7 (2) : 178-201 Pearson S, Carl G, Bahri S. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor. Porter, ME. (1990). Competitive Advantage Of Nations. NewYork (USA): WordPress. Purba HJ, Hadi PU. Dinamika dan Kebijakan Pemasaran Produk Ternak Sapi Potong di Indonesia Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian PSEKP. 10(4):361-373. Pusat Data Pertanian. 2014. Kementrian Pertanian. Indikator Ekonomi Indonesia. Jakarta (ID).
87 Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan (PSPK) Bank Indonesia. 2002. Regional Competitiveness in Indonesia. Yogyakarta (ID). PT BPFE. Reza P. 2012. Strategi Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi (PSDSK) Tahun 2014 di Provinsi Sumatera Barat. Diunduh 4 November 2014. Tersedia pada pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09/artikel8.pdf Rikhanah. 2008. Sistem Pemuliaan Inti Terbuka Upaya Penningkatan Mutu Genetik Sapi Potong. Jurnal MEDIAGRO. 4 (1) : 37-43. Rochadi, Sulaeman T, Udiantono TS. 1993. Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah. (Tesis). Bandung (ID) Rouf AA, Daryanto A, Fariyanti A. 2014. Daya Saing Usaha Sapi Potong di Indonesia: Pendekatan Domestic Resources Cost. Jurnal WARTAZOA. 24 (2) : 97-107. Rusdianto SW, Sukmawati F, Dwi P. 2014. Analisis Margin pada Tingkat Pelaku Pasar Ternak Sapi dan Daging Sapi di Nusa Tenggara Barat. Diunduh 1 September 2015. Tersedia pada https://www. bengkulu.litbang.pertanian.go.id. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahaan oleh Haris Munandar. Jakarta (ID): Erlangga. Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Profitibilitas dan Dayasaing Sistem Komoditi Ayam Ras di Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sargazi A, Hasanvand M. 2013. The Study of Comparative Advantage of Nomad’s Livestock Using Policy Analysis Matrix (Case Study of City of Khorram Abad, Lorestan Province, Iran. ECISI International Journals of Agriculture. 3 (4), 737-741. Shamsuddoha M. 2009. Development Of Livestock Sector Through Leading Ngo In Bangladesh. Journal Fascicle Of the Faculty of Economics and Administration. 9(1) : 9-17. Snograss ML, Wallace LT. 1975. Agriculture, Economics and Resource Management. New York (USA) Prentice Hall; 3rd edition. Soebagyo Y. 1998. Pengaruh Lama Penggemukan Terhadap Pertambahan Bobot Badan Harian dan Komposisi Asam lemak Daging Sapi Brahman Cross. Diunduh 23 Agustus 2015. Tersedia pada http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Pene litianDetail&act=view&typ=html&buku_id=2884 Soehadji. 1995. Peluang usaha sapi potong. Makalah disampaikan pada seminar Nasional Industri Peternakan Rakyat sapi potong di Indonesia, di Bandar Lampung Ditjen Peternakan . Jakarta (ID). Sudaryanto T, Simatupang P. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis: Suatu Catatan Kerangka analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Diunduh pada 20 Desember 2014. Tersedia pada digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10676-Bibliography.pdf Tambunan T. 2000. Perdagangan internasional dan neraca pembayaran: teori dan temuan empiris. Jakarta (ID) : LP3ES. Widiyazid I, Parwati NS, Guntoro S, Yasa R. 1999. Analisis usahatani penggemukan sapi potong dalam berbagai masukan teknologi. Proseding
88 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor (ID). Hal: 475-485 Widodo HT. 1990.Ekonomi Indonesia, dalam Era Liberalisasi, Yogyakarta (ID) : Kanisius. Winarso B, Basuno E. 2013. Pengembangan Pola Integrasi Tanaman Ternak Merupakan Bagian Upaya Mendukung Usaha Pembibitan Sapi Potong Dalam Negeri. Jurnal Forum Agro Ekonomi PSEKP. 31 (2) : 151-169. Wulandari WA, Supriana T, Muhammad J. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Indonesia. Diunduh 1 September 2015. Tersedia pada ttps://www.google.co.id/url? download.portalgaruda. 2t9XS8w&bvm=bv.99804247,d.c2E.pdf. Yulianto P, Cahyo S. 2010. Pembesaran Sapi Potong Secara Intensif. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya. Yulianto P, Cahyo S. 2011. Penggemukan Sapi Potong Hari per Hari. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya. Yusdja Y, Ilham N. 2002. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat. Diunduh 13 November 2014. Tersedia pada blogs.unpad.ac.id/dwicipto/files/2009/09/penunjang-3.pdf Yusdja Y, Ilham N. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong . Jurnal AKP Volume 2 No. 2 Juni 2004. Bogor : Pusat Penelitian danPengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Yusdja Y, Ilham N. 2007. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong. Diunduh 13 November 2014. Tersedia pada pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART02-2d.pdf Yuzaria D, Suryadi D. 2011. Analisis Tingkat Keuntungan, Keunggulan Kompetitif, Keunggulan Kompratif, dan Dampak Kebijakan Impor Pada Usaha Peternakan Sapi Potong di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Agripet. 11 (1) : 32-38.
89
LAMPIRAN Lampiran 1 Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange rate, tahun 2014 URAIAN
NILAI (Rp Milyar)
Total Nilai Ekspor (Xt)1
2 062 621.78
1
2 084 692.15
Total Nilai Impor (Mt)
Penerimaan Pajak Ekspor (TXt)1
19 978.00
Penerimaan Pajak Impor (TMt)1
33 937.00
Nilai Tukar Resmi (OER) (Rp/US $)2
11 953.62
Xt + Mt
4 147 313.93
Xt –TXt
2 042 643.78
Mt + TMt
2 118 629.15
Faktor Konversi Standar (SCFt) Nilai Tukar Bayangan (SER) (Rp/US $)
1.00 11 993.85
Sumber: 1. 2.
Indikator Ekonomi Badan Pusat Statistik, Januari 2015 RAPBN (2014) (BPS)
Lampiran 2 Penentuan harga bayangan sapi bakalan URAIAN
SATUAN
HARGA/NILAI
1
CIF Indonesia US $/Kg Nilai Tukar Rp/US $ Premium Nilai Tukar % Nilai Tukar Ekuilibrium Rp/US $ CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik Rp/kg Biaya pelabuhan 2 Rp/kg Biaya karantina 2 Rp/kg Biaya transportasi ke Priuk 2 Rp/kg 3 Biaya transportasi ke peternak Bojonegoro Rp/kg Susut mencapai 25kg 3 Rp/kg Harga Paritas Impor di Tingkat Peternak Rp/kg 1 Sumber : http://aplikasi.pertanian.go.id/eksim2013/hasilimporSubsek.asp, Pelabuhan Tanjung Priuk, 3Importir Sapi Bakalan
2.33 11 993.85
2
11 993.85 27 985.66 1 399.28 699.64 1 055.25 150.65 279.86 31 290.49 Bea Cukai Pusat dan
90 Lampiran 3 Penentuan harga bayangan sapi hidup URAIAN
SATUAN
HARGA/NILAI
1
CIF Indonesia US $/Kg Nilai Tukar Rp/US $ Premium Nilai Tukar % Nilai Tukar Ekuilibrium Rp/US $ CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik Rp/kg 2 Biaya pelabuhan Rp/kg Biaya karantina 2 Rp/kg Biaya transportasi ke Priuk 2 Rp/kg Biaya transportasi ke peternak Bojonegoro 3 Rp/kg Susut mencapai 25kg 3 Rp/kg Harga Paritas Impor di Tingkat Peternak Rp/kg Sumber : 1http://aplikasi.pertanian.go.id/eksim2013/hasilimporSubsek011.asp, dan Pelabuhan Tanjung Priuk, 3Importir Sapi Hidup
2.64 11 993.85 11 993.85 31 639.97 1 582.00 791.00 1 055.25 150.65 316.40 35 218.87 2
Bea Cukai Pusat
Lampiran 4 Penentuan harga bayangan daging sapi URAIAN 1
CIF Indonesia Nilai Tukar Premium Nilai Tukar Nilai Tukar Ekuilibrium CIF Indonesia dalam Rupiah Biaya Pelabuhan+Retribusi +Pajak 2 Biaya Transportasi dari priuk-surabaya 3 biaya transportasi surabaya-BJN 3 Harga Paritas Impor
SATUAN US $/Kg Rp/US $ % Rp/US $ Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg
HARGA/NILAI 6.62 11 993.85 11 993.85 79 360.10 1 055.25 150.65 1 582.00 82 148.00
Sumber : 1http://aplikasi.pertanian.go.id/eksim2013/hasilimporSubsek21103.asp, Pusat dan Pelabuhan Tanjung Priuk, 3Ekspedisi
2
Bea Cukai
Lampiran 5 Penentuan harga bayangan bensin URAIAN 1
BBM non subsidi Biaya distribusi dari bojonegoro ke tambakrejo 2 biaya distribusi ke napis 2 Harga bayangan di tingkat peternak
SATUAN Rp/Lt Rp/Lt Rp/Lt Rp/Lt
HARGA/NILAI 9 816.00 100 25 9 941.00
Sumber : 1 BPS, 2Data primer wawancara dengan distributor bensin
Lampiran 6 Penentuan harga bayangan garam URAIAN 1
CIF garam Nilai Tukar CIF Indonesia dalam Rupiah Biaya pelabuhan 2 biaya transportasi surabaya-BJN 3 Harga ditingkat peternak 1
SATUAN US $/Kg Rp/US $ Rp/kg Rp/kg Rp/kg Rp/kg
http://aplikasi.pertanian.go.id/eksim2013/hasilimporSubsek3206.asp, Pelabuhan Tanjung Perak, 3Ekspedisi
HARGA/NILAI 0.046 11 993.85 551.45 187.45 422.55 1 161.45 2
Bea Cukai Pusat dan
91
Lampiran 7 Penentuan harga bayangan vitamin complex URAIAN 1
HET Harga di pedagang besar 1 biaya transportasi BJN-Desa Napis 1 Harga bayangan di tingkat peternak
SATUAN Rp/50ml Rp/50ml Rp/50ml Rp/50ml
HARGA/NILAI 4 500.00 4 600.00 105.00 4 705.00
Sumber : 1Data primer wawancara dengan toko saprotan,
Lampiran 8 Penentuan harga bayangan albenol URAIAN 1
HET biaya transportasi Lamongan-Desa Napis 1 Harga bayangan di tingkat peternak
SATUAN Rp/kapsul Rp/kapsul Rp/kapsul
Sumber : 1Data primer wawancara dengan toko saprotan,
HARGA/NILAI 623.69 310.00 933.96
92
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 6 April 1990 dari ayah Sukatni dan ibu Tasemi. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ngawi pada tahun 2008 dan melanjutkan studi sarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada program studi Agribisnis di Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selama mengikuti pendidikan S1 di Universitas Sebelas Maret Surakarta, penulis menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) mulai tahun kedua sampai tahun keempat. Penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di Universitas Sebelas Maret Surakarta diantaranya organisasi mahasiswa muslim Forum Ukhuwah dan Studi Islam (FUSI) FP UNS tahun 2008–2010 sebagai ketua Departemen Badan Semi Otonom, Jamaah Nurul Huda Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (JN UKMI) UNS tahun kepengurusan 2009– 2010, Bursa Mahasiswa (BM) FP UNS tahun 2009-2010, Keluarga Mahasiswa Agribisnis (KAMAGRISTA) FP UNS, dan berbagai kepanitiaan pada organisasi kemahasiswaan di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan penulisan diantaranya Program Kreativitas Mahasiswa bidang Gagasan Teknik pada tahun 2010 dan bidang Kewirausahaan pada tahun 2011. Sejak tahun 2009-2012 penulis bekerja sebagai asisten praktikum beberapa mata kuliah di antaranya adalah Ekonomi Pertanian, Ekonomi Sumber Daya Pertanian, dan Manajemen Agribisnis. Penulis juga berkesempatan bekerja sebagai supervisor pada Lembaga Demografi Universitas Indonesia dalam proyek penelitian mengenai keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat sekitar Jalan Tol Boyolali-Solo-Sragen-Ngawi, dan berpartisipasi sebagai enumerator dalam berbagai penelitian unggulan fakultas maupun sponsor dari DIKTI Kementrian Pendidikan. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 2012 dan pada tahun 2013 melanjutkan studi ke jenjang S2 pada program studi Magister Sains Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor yang disponsori oleh Bakrie Center Foundation (BCF) melalui Bakrie Graduate Fellowship (BGF) pada tahun kedua. Penulis berkesempatan menjadi juara 3 sebagai tim perwakilan program studi MSA dalam acara “Cooking Battle” melalui kegiatan Pasca Cup IPB tahun 2014. Sejak tahun 2014 penulis aktif mengajar les privat tingkat SD sampai SMP.