Amir Sjarifuddin Antara Negara dan Revolusi oleh: Jacques Leclerc
Pengantar Penerbit Saat buku ini terbit, baik tokoh yang dibicarakan maupun pengarangnya, telah meninggal. Amir Sjarifuddin meninggal tahun 1948, menyusul Peristiwa Madiun yang melibat dirinya. Ia meninggal dalam arus revolusi yang bergerak begitu cepat, melebihi kemampuan tiap-tiap orang untuk menangkap apalagi mengarahkannya. Seperti ditulis Abu Hanifah ketika menutup tulisannya tentang tokoh ini dalam majalah Prisma, "Revolusi memakan anaknya sendiri". Jejak langkah Amir Sjarifuddin sudah berulangkali berusaha ditulis orang, tapi selalu saja terasa kekurangannya di sana-sini. Menulis tentang tokoh kontroversial seperti Amir memang bukan barang mudah. Mengambil satu aspek saja dari dirinya berarti melupakan aspek lain. Melihatnya sebagai seorang Kristen yang taat saja, dan menelusuri seluruh perjalanannya dari perspektif ini, akan membuat kita kedodoran memahami sikap politiknya yang radikal sebagai "anak revolusi". Di pihak lain, melihatnya hanya sebagai politisi radikal, pemimpin Partai Sosialis (dengan segala kekeliruan dan kekacauan tentang paham dan partai ini di zaman sekarang), juga tidak akan membuahkan apa-apa. Apalagi mengingat perjalanan politiknya tidak hanya dituntun oleh pikiran, tapi lebih oleh pergolakan dalam masyarakat sezaman. Mungkin paling baik jika kita menempatkannya kembali dalam zamannya; membiarkan dirinya tampil melalui pikiran dan tindakannya dalam sejarah. Jacques Leclerc, meninggal bulan April 1995, setelah mengidap kanker ganas dalam tubuhnya selama bertahun-tahun. Ia juga sosok kontroversial dalam bidangnya, seorang penulis yang tidak kenal lelah dalam memahami proses revolusi yang rumit dan berliku. Jacques mengerahkan banyak tenaganya untuk meneliti dan menulis tentang kurun yang sulit dan penuh perdebatan, yakni revolusi Indonesia. Ia menjadi kontroversial karena cara pikir dan tradisi yang dibawanya tidak lazim dalam studi tentang Indonesia. la gemar membandingkan kehidupan politik di tahun 1940-an dengan kisah-kisah revolusi Prancis yang sangat akrab baginya, dan menyumbangkan tradisi penulisan sejarah Prancis yang kaya dalam wilayah studi ini. Sejak tahun 1970-an is mulai menulis tentang gerakan rakyat tahun 1940-an, dan di situlah ia menyelami kehidupan Amir Sjarifuddin. Sepagi 1982 ia sudah menulis biografi Amir Sjarifuddin, dan sejak itu terus membuat penelitian tentang pemikiran dan perjalanan hidup tokoh ini. Tulisan di hadapan ini lebih sebuah renungan tentang Amir ketimbang tulisan ilmiah yang menyajikan fakta dan interpretasi dalam langgam yang ketat. Mungkin sekali bukan yang terbaik, tapi di sinilah ia mengerahkan pengetahuan dan kepiawaiannya dalam menulis, untuk mengambil kesimpulan yang cerdas tentang seorang manusia, lingkungan dan zamannya. Januari 1996
I TANGGAL 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol pada kepalanya oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu. Beberapa hari sebelumnya ia, dan beberapa orang lainnya lagi, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta. Pada malam itu juga Polisi Militer berkeliling ke rumah-rumah penjara besar, yang masih bisa mereka datangi, khususnya di Magelang dan Purworejo, untuk meneruskan rencana eksekusi-eksekusi mereka. Perintah pembantaian itu turun langsung dari mantan kepala satuan khusus tersebut, Kolonel Gatot Subroto, yang pada 17 September 1948 telah diangkat sebagai Gubernur Militer Surakarta. Barangkali Gatot takut, bahwa para tahanan akan memanfaatkan keadaan untuk melarikan diri, seperti yang memang telah terjadi di rumah penjara di Yogyakarta. Seperti diketahui, pasukan payung Belanda telah diterjunkan di Yogyakarta pada pagi hari sebelumnya, dan segera menduduki daerah ini. Kalangan dekat dengan para korban eksekusi mengatakan, bahwa tanpa jaminan atasannya Gatot tidak akan mungkin berani mengambil prakarsa sendiri, membunuh tokoh seperti Amir, seorang mantan perdana menteri dan juga menteri pertahanan selama lebih dua tahun. Oleh karena itu tuduhan lalu mereka lempar kepada perdana menteri pengganti Amir saat itu, yaitu Mohammad Hatta. Desas-desus juga beredar, yaitu tentang sidang kabinet terakhir sebelum Yogyakarta diserang Belanda, yang disusul dengan peristiwa penangkapan Sukarno, Hatta dan beberapa tokoh negara lainnya. Konon pada sidang kabinet tersebut juga dibicarakan nasib Amir dan tawanan-tawanan sesama lainnya, yang pada saat itu masih ada di Yogyakarta; dan bahwa Sukarno menentang keras dijatuhkannya hukuman mati secara sumir. Karena itulah, di luar pengetahuan Sukarno, mereka itu diserahkan kepada Gatot. Barangkali ini merupakan sebuah rekonstruksi, sengaja untuk membebankan seluruh tanggungjawab atas apa yang terjadi pada pundak Hatta sendiri. Notulen sidang kabinet itu, seandainya pernah ada, sampai sekarang tidak pernah ditemukan. Tetapi bagaimanapun juga, jika pembicaraan tentang nasib mereka itu memang pernah terjadi di dalam sidang tersebut, kiranya tidak akan termasuk sebagai bahan yang boleh disiarkan. Ketika Gatot meninggal mendadak tahun 1962, sekali lagi terdengar kabar burung tentang apa penyebabnya. Sejak malam di bulan Desember 1948 itu, ia terus-menerus hidup dalam bayangan rasa takut terhadap pembalasan. Sementara orang bahkan mengatakan: bayangan rasa sesal yang mendalam. Tetapi semuanya patut kiranya diragukan. Gatot telah diangkat sebagai dewa pelindung dari sistem, yang telah disusun sejak Oktober 1965, di bawah pimpinan Jenderal Suharto. Pada bas-relief untuk memperingati kemenangan ABRI atas kaum komunis, yang merupakan bagian sentral dari sebuah monumen simbolis yang dibangun di Lubang Buaya pada awal tahun 70an, Gatot dan Suharto digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang sejajar dan dalam pose
yang sama pula. Di tengah-tengah kemelut politik ini sebelas makam di Ngalihan, yang dalam bulan November 1950 telah digali oleh keluarga masing-masing, dan yang setelah diautopsi dimakamkan kembali, semuanya hilang tanpa bekas. Bahkan ketika majalah Prisma pada hari ulang tahun Amir Sjarifuddin ke-75, dalam bulan November 1982, menerbitkan ringkasan biografinya yang ditulis dengan sangat berhati-hati itu, Menteri Penerangan mengancam pembreidelan majalah tersebut. Disertasi Pendeta Frederiek Djara Wellem, di bawah bimbingan Pendeta Belanda Th. van den End, tentang pemikiran keagamaan Amir, Amir Sjarifoeddin, Pergumulan Imannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan, yang telah berhasil terbit oleh penerbit Kristen Sinar Harapan tahun 1984, terpaksa harus dihancurkan ketika izin peredarannya ditolak pemerintah. "Saya ingin melihat sejauh mana yang bisa kita lakukan", kata penerbit W.B. Sidjabat tentang naskah tesis itu setahun sebelumnya. "Kita ingin tahu, apakah sekarang sudah mungkin berbicara secara terbuka tentang Amir Sjarifuddin". Tesis Wellem yang mencerminkan pandangan sementara orang Kristen Indonesia, yang secara kebetulan mengenal Amir ini, melukiskan Amir sebagai semacam rasul. Justru karena cintanya kepada manusia, Amir menjadi terseret oleh godaan untuk menandatangani perjanjian dengan setan komunis, yang akhirnya ternyata harus ditebus dengan nyawanya. Dengan sangat emosional tesis itu bermaksud memulihkan nama tokoh yang dilaknat ini. Kiranya para pejabat yang telah menjatuhkan larangan terhadap buku itu tidak mungkin mengetahui lebih selain dari judulnya saja. Tetapi usaha untuk mengusir setan dari tokoh yang oleh Negara telah dinyatakan kerasukan, dan kemudian menjadikannya semacam Faustus politik ini, sudah merupakan langkah awal tindak subversi, jika Negara yang dimaksud di sini ialah negara yang dibayangkan Gatot dan Suharto.
II MASA hidup Amir Sjarifuddin terentang sepanjang paruh pertama abad ke-20. Usia itu habis diserap oleh penemuan dan kegagalan harapan-harapan besar dari jamannya, seperti yang terungkap dalam kata-kata "kemerdekaan nasional", "kedaulatan rakyat", dan "sosialisme". Seperti juga di mana-mana, di Indonesia pun, bagi barang siapa yang ambil bagian di dalamnya, semua kata-kata itu dipadatkan dalam sepatah kata saja: "revolusi". Amir, seperti beberapa pemuda Indonesia lain yang seangkatan dan sepergaulan dengannya, disadarkan tentang arti kata "revolusi" dan janji-janjinya, pertama-tama melalui apa yang dipelajarinya dari guru-guru Belanda mereka tentang Revolusi Prancis, ketika masih belajar di sekolah menengah dan sekolah tinggi hukum. Memang lebih banyak kepada Revolusi Prancis inilah, dan bukan revolusi-revolusi Amerika atau Rusia, ia selalu memalingkan pandangannya. Bagi Amir "Prinsip Harapan" (meminjam kata-kata kunci Ernst Bloch) untuk Indonesia pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga gabungannya: "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Rangkaian konsep-konsep ini didasarkan pada gagasan akademis Belanda tentang Taal-, Land- en Volkerakunde sebagai keseluruhan, dan diambil oleh para mahasiswa yang menamakan diri sebagai bangsa Indonesia, serta mengubahnya menjadi tuntutan Yakobin dalam tahun 1928. Tetapi "Prinsip Harapan" itu juga berfungsi lain. Sebagai sarana memasuki Indonesia yang
baru saja dirumuskan, yang sepertinya sudah ada, bisa dimengerti dan diterima oleh semua, prinsip ini juga membentuk suatu labirin yang kabur dan goyah walaupun telah diberi contoh-contoh untuk meneranginya. Sepanjang duapuluh tahun, 1928-1948, Amir telah membaktikan separuh umurnya kepada politik. Dan untuk itu ia pun harus menempuh sepanjang labirin, untuk menemukan jalan ke luar daripadanya. Namun tidak jarang harus menemui jalan buntu. Bagi Amir labirin itu berbentuk permainan enam orang tokoh, yang satu sama lain saling berhadapan dalam pasang-pasangan yang selalu berubah-ubah. Ada pemainpemain utama, yaitu Sukarno dan Hatta sebagai pimpinan golongan "partai nasional" (inilah yang dimaksud sebagai "Prinsip Harapan"), yang tertambat pada perjuangan tak terdamaikan untuk menguasai kendali. Sifat permusuhan persekutuan itu mengabadikan mereka dengan sebutan "dwitunggal", sebagai suatu monumen sejarah yang tak bisa diganggu-gugat, simbol persatuan Indonesia yang tak terpisahkan, sejak mereka bersama menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya ada persekutuan-persekutuan yang masing-masing tersusun dengan pemain-pemain mudanya, yaitu Hatta dengan Sjahrir; dan, walaupun dengan cara yang kurang jelas benar, Sukarno dengan Amir. Ada lagi pasangan antara dua sesama pemain muda saja, yaitu Amir dan Sjahrir. Mereka ini hanya dihubungkan sebagai pasangan untuk para pemain utama, ketika empat pemimpin itu—ibarat empat pilar penyangga dunia—tampil sebagai lambang negara Indonesia antara November 1945 sampai Juni 1947. Tetapi terjadi juga formasi berbalikan: pemain muda yang kuat berpasangan dengan pemain tua yang lemah, yaitu Sjahrir sebagai perdana menteri dan Hatta sebagai wakil presiden. Dalam hal ini Amir sebenarnya sudah menjadi semacam 'kartu mati'. Hatta dan Sjahrir praktis tak terpisahkan lagi sejak mereka pertama kali bertemu, dan mereka pun pernah tinggal bersama selama di pengasingan dari tahun 1934 sampai 1942. Tetapi Amir, bintang Partindo (Partai Indonesia) yang tengah marak itu, dijebloskan ke penjara ketika Sukarno, pimpinan partainya, dibuang ke pulau pengasingan seperti halnya juga Hatta dan Sjahrir. Terpisah dengannya sejak tahun 1933, Amir baru bertemu kembali dalam tahun 1942, dan itu pun hanya selama beberapa minggu. Jika pasangan dua tokoh muda Amir-Sjahrir ini selama bulan-bulan terakhir tahun 1945 oleh sementara sejarawan ditonjolkan, namun tidak dengan katakata yang digunakan pasangan tokoh-tokoh yang tua: kata-kata rujukan pada sosialisme menggantikan nasionalisme (inilah salah satu cara bicara tentang arti Perang Dunia II dari sudut sang pemenang), walaupun tetap di dalam acuan yang ditempa para tokoh tua itu. Partai Rakyat Sosialis yang diumumkan berdirinya oleh Sjahrir dalam bulan November 1945 itu (walaupan hanya hidup di atas kertas, tetapi ini masalah lain lagi), dapat disepadankan dengan Nationale Volkspartij (Partai Rakyat Nasional) bentukan Hatta di Negeri Belanda lima belas tahun sebelumnya, sesudah Partai Nasional Indonesia didirikan Sukarno di Indonesia. Dari Sukarno ke Amir dan Partai Sosialis Indonesia, urutan hubungannya pun sama: "sosialisme" menggantikan "nasionalisme". Kata "revolusioner" yang, dalam rapat-rapat pendahuluan bulan Oktober 1945, disarankan agar dicantumkan pada nama partai sosialis (partai masa depan dari generasi akan datang), ternyata tidak tercantum. Walaupun hal ini tidak disebabkan oleh ketakutan terhadap akibat yang bisa timbul dari sepatah kata itu.
Lalu ada pula pasangan Kanan-Kiri, yang biasa dipakai untuk mengenali kandungan gerakan kebangsaan, untuk pengganti pasangan Kolot-Modern. Ini justru timbul dalam tahun-tahun 1936-1940, ketika Amir telah bebas dari penjara dalam bulan Juni 1935, dan dipandang sebagai sisa hidup dan saksi dari jaman kepahlawanan. Strategi heroisme, yaitu strategi yang dinamakan "nonkoperasi" dengan pemerintah kolonial, telah mengalami kegagalan. Oposisi radikal terhadap pemerintah menjadi lumpuh, oleh karenanya terlalu lemah untuk berhadapan dengan represi yang keras. Dalam debat tentang strategi jangka panjang untuk mengusir Belanda (karena "kaum loyalis" juga menginginkan kekuasaan), masalah nonkoperasi dan koperasi lalu tersisih (menurut istilah saat itu koperasi ialah "loyalitas"). Masalah beralih pada usaha mencari cara-cara aksi yang lain, sehingga karenanya cita-cita sosial dari aksi-aksi politik menjadi jelas, dan bentuk-bentuk identifikasi baru pun ditemukan. Golongan yang menempuh jalan nonkoperasi menamakan diri mereka sebagai "Kiri", dan menyebut golongan "loyalis" sebagai "Kanan". Kaum Kiri baru ini diidentifikasi pada pribadi Amir, dan berdasar ini juga tahun-tahun 1936-1940 merupakan "tahun-tahun Amir". Tetapi juga kaum Kanan mempunyai tokoh simbolnya, yang baik oleh para pejabat Belanda maupun sementara tokoh Kiri sebagai lawan berdebat, yaitu Thamrin. Pada akhir tahun '30-an gerakan anti-kolonialisme yang luas beraneka macam, seperti yang pada tahun 1939 tergabung dalam GAPI atau Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia itu, mempunyai dua kepala: Amir dan Thamrin. Ini sungguh keterlaluan. Ternyata kedua-duanya memang digeser, masing-masing ditarik oleh partainya dari sekretariat GAPI. Namun sebenarnya ini hanya suatu krisis baru dalam gerakan, yang diakibatkan oleh invasi Jerman atas Negeri Belanda. Krisis ini berakibat tragis. Oleh alasan-alasan yang sama sekah tidak jelas, Amir menarik diri atau minggir dari percaturan. Langkah ini dilakukannya sesudah terjadi polemik yang panjang dan ramai dengan Thamrin, yang berlangsung melalui seorang wartawan (yaitu Tabrani, pemimpin redaksi Pemandangan, yang ingin membuat perhitungan pribadi dengan Thamrin). Thamrin, yang dicurigai melakukan hubungan gelap dengan Jepang itu, dalam bulan Januari 1941 meninggal oleh serangan jantung pada umur 47 tahun, yaitu sesudah rumahnya digerebek dan digeledah oleh polisi Belanda. Kemudian ada tokoh keenam, yaitu Musso. Beberapa bulan sesudah disingkirkan Sukarno, Amir diberi tanggungjawab (atau, tergantung bagaimana orang melihatnya, dibiarkan mengambil tanggungjawab sendiri), untuk atas nama Indonesia menandatangani perundingan gencatan senjata Renville yang sangat buruk itu. Ini terjadi bulan Januari 1948. Beberapa bulan sesudah itu Amir menyatakan dirinya sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, yang menurut sejarah resmi partai ini telah "dibangun kembali" oleh Musso dalam tahun 1935. Dalam bulan Agustus 1948, setelah bertahun-tahun dalam pengasingannya di Moskow, Musso kembali ke Indonesia. Segera sesudah tiba ia berusaha menempatkan dirinya sebagai pengasuh citarasa politik bangsa Indonesia. Dengan demikian pernyataan keanggotaan Amir pada Partai Komunis yang retroaktif, pada periode kritis pencarian strategi yang menjelaskan tentang sambutan terhadap kedatangan Musso saat itu, juga harus diartikan bahwa yang disebut "tahun-tahun Amir" sebenarnya adalah "tahun-tahun Musso". Artinya, bahwa sejak 1935 Amir tidak lagi sebagai anak-buah Sukarno, melainkan anak-buah Musso. Tetapi justru Hatta yang melempar ide pasangan Musso-Amir ke tengah gelanggang, sebagai alternatif pasangan Sukarno-Hatta. Yaitu pada tanggal 20 September 1948, ketika ia mengumumkan pernyataan seperti yang diucapkan Sukarno sehari sebelumnya,
bahwa sebuah republik soviet baru saja diproklamasikan di Madiun. "Malahan kabarnya, saya tidak tahu benar dan tidaknya, bahwa Musso akan menjadi presiden republik serobotannya ini, dan Amir menjadi perdana menterinya."1) Sukarno mengecam kup golongan Musso itu, tetapi tanpa menyebut-nyebut nama Amir. Secara fungsional memang Musso yang sama dengannya. Sedangkan Amir adalah masalah Hatta. Dan bukankah Hatta juga yang telah mengambil alih dua jabatan Amir, sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan? Empat tokoh yang memimpin negara Indonesia selama bulan-bulan pertama, yaitu Sukarno-Hatta-Sjahrir-Amir, menurut urutan kehormatan institusional, naik-turun kursi perdana menteri beriring-iringan seperti angka-angka sebuah arloji otomatis. Satu demi satu mereka turun, angka-angka masing pun berkurang. Akhirnya formasi segi-empat itu hancur, dengan Sukarno dan Hatta saja tersisa. Angkatan muda lenyap. Dan bersama itu, untuk jangka waktu yang lama, juga impian mereka tentang sosialisme, serta harapan mereka tentang kehidupan politik Indonesia sebagai bagian dari sejarah dunia Kiri. Generasi muda tampil bersama-sama mengecam kekuasaan berlebihan, yang diberi oleh Undang Undang Dasar 18 Agustus 1945 pada presiden Republik, yang sekaligus juga perdana menteri. Tentu saja pendirian itu mendapat tumpuannya yang kuat pada Wakil Presiden. Maka sudah dalam bulan November 1945, pemerintah Sukarno diganti pemerintah yang dipimpin Sjahrir. Mungkin sekali justru hubungannya dengan wakil presiden inilah yang telah memudahkan pengangkatan baginya. Sejak itu dewan menteri bertanggung jawab kepada suatu majelis yang diangkat dari wakil-wakil berbagai organisasi, dan yang sifat perwakilannya tidak diketahui. Orang hanya mengharap bahwa kelak, pada suatu ketika, majelis ini dapat diganti suatu badan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum. Amir yang mengganti Sjahrir memimpin pemerintahan selama enam bulan hanyalah merupakan suatu parentesis. Sekalipun masa enam bulan ini merupakan bulan-bulan perang dan perundingan gencatan senjata. Situasinya eksplosif, dan terasa sedang mencari-cari kambing hitam. Seketika Amir telah dikorbankan, demi dirinya Hatta merestorasi sistem presidentil (yang dahulu ia sendiri membantu menghapusnya itu), dengan dukungan mereka yang selalu melawan pemerintah apa pun sejak November 1945. Dialah pemenang besar dalam permainan ini. Dan seperti Sukarno yang telah meninggalkan Amir, Hatta pun dapat berjalan sendiri tanpa Sjahrir, yang memang tidak lagi tampil di dalam pemerintahan. Dari Empat Serangkai itu Amir yang paling lemah. Satu-satunya kekuatan padanya hanyalah karena ia pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman mati oleh Jepang. Kecuali itu sebagai menteri ia bisa dipakai sebagai jaminan pemerintah (tetapi yang sekaligus menimbulkan rasa tidak enak), yang risau ingin memperlihatkan kedekatannya pada Sekutu yang pada 29 September 1945 telah mendarat. Amir ialah jaminan, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bukanlah tanda-mata perpisahan dari Jepang. Secara eksplisit Amir tidak pernah mengatakan, bahwa nyawanya telah disambung berkat campur-tangan Sukarno atau Sukarno dan Hatta, sebagai pemimpin-pemimpin pemerintah Indonesia saat di bawah Jepang itu. Tetapi ketika masalah ini diangkat oleh pers, ia juga tidak membantahnya. Dengan demikian Amir telah ikut membantu menyebar citra Sukarno dan Hatta sebagai pelindungpelindung gerakan bawah tanah, yang untuk saat itu diperlukan dan bahkan sangat
penting. Namun demikian, walaupun sementara itu Amir sudah diangkat sebagai menteri, ia baru dibebaskan dari penjara pada tanggal 1 Oktober, enam minggu sesudah proklamasi kemerdekaan; karena Sekutu sudah mendarat, maka menjadi sangat penting tokoh Amir ditampilkan. Hal ini menimbulkan beberapa tanda tanya: sejauh mana sesungguhnya pengetahuan Sukarno dan Hatta tentang nasib Amir selama masa pendudukan Jepang; dan selanjutnya juga tentang kapasitas mereka mengintervensi penguasa Jepang di dalam masalah ini. Selain itu, sekali percaturan politik telah beralih dari masalah perlawanan terhadap Jepang, dan kisah tentang gerakan bawah tanah itu pun sudah tidak terlalu diperlukan lagi, maka tanpa malumalu Sjahrir berbicara sarkastis tentang kegiatan anti-Jepang Amir (misalnya jika kita baca bagian terakhir Out of Exile). Lebih dari itu Sjahrir bahkan melukiskan Amir tidak lebih sebagai seorang kacung Belanda belaka. Jelas, juga Sjahrir pribadi mempunyai citra "pejuang bawah tanah" yang hendak dibelanya. Karena masingmasing orang angkatan tua harus mempunyai "tokoh pejuang"-nya sendiri-sendiri, jika Amir untuk Sukarno, maka Sjahrir untuk Hatta. Tetapi karena citra "pahlawan" pada dirinya itu agak kabur, tentu saja Sjahrir hanya akan berhasil membelanya dengan jalan mendiskreditkan citra tokoh-tokoh lain yang lebih jelas gambarannya.
III BERBEDA dengan Sukarno, Hatta dan Sjahrir, yang ditahan jauh dari Jakarta karena exorbitante rechten Gubernur Jenderal, Amir tidak pernah diasingkan. Tetapi gelombang-gelombang penahanan besar-besaran, yang membawa banyak korban pada gerakan kebangsaan dalam tahun 1933-1934, juga menyeret dirinya. Saat itu ia sebagai salah seorang di antara aktivis mahasiswa yang sangat dikenali polisi, dan juga sebagai salah seorang pembantu terdekat Sukarno di dalam Partindo. Oditur Jenderal sebenarnya sudah menyusun tuntutan untuk "menginternir" (pengasingan di dalam negeri), ketika ia pada tahun 1933 dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena pelanggaran undang-undang pers. Tetapi hukuman penjara itu menyebabkan keputusan internir tersebut menjadi tertunda. la dipenjarakan di rumah penjara politik pusat Sukamiskin di dekat Bandung, semacam "Bastille" Indonesia., tempat segala macam tokoh menarik dapat dijumpainya. Namun sesudah Amir dibebaskan, Oditur Jenderal segera mengambil langkah untuk membuangnya jauh-jauh. Maka pengasingannya ke Digul kembali diperbincangkan. Setelah berunding dengan Dewan Hindia Belanda, Gubernur Jenderal menolak tuntutan mahkamah pengadilan, dan memutuskan pembebasan bersyarat untuk Amir. Tampaknya sedikit pun tidak ada jaminan pada Amir untuk memenuhi syarat tersebut. Namun Schepper dan Mulia, yang memohonkan pengampunan bagi pembebasannya kepada Gubernur jenderal, menjamin Amir akan bertingkah-laku baik. Orang tersebut pertama ialah bekas guru Amir di Sekolah Hukum, dan pejabat tinggi di departemen kehakiman; dan yang kedua ialah saudara sepupu Amir, dan anggota Volksraad. Kedua mereka terutama mempunyai pengaruh besar di kalangan misi Kristen. Tidak lama sesudah itu diduga Amir berusaha menjalin hubungan dengan Musso, tetapi waktu tidak memungkinkan hal itu. Musso tidak hendak mengambil resiko, apalagi Amir. Di samping itu, kawan-kawan yang mengatur pertemuannya dengan Musso mempunyai banyak alasan untuk mencurigainya sebagai perangkap; atau menduga-duga, bahwa pembebasannya itu disebabkan oleh karena Amir telah menyeberang ke pihak sana.
Masalah yang dihadapi Amir dalam bulan-bulan terakhir tahun 1935 tersebut, juga dirasakan oleh siapa saja yang dari sudut tinjauan politik mempunyai pandangan yang sama. Yaitu bahwa perjalanan gerakan sepanjang tahun-tahun sebelum 1935 mereka pandang sebagai telah membentur tembok represi. Oleh karenanya masalah yang mereka hadapi ialah bagaimana mencari jalan baru untuk maju, baik secara praktis maupun secara intelektual. Strategi konfrontasi yang ditempuh Partindo ternyata telah menghancurkan kehidupan partai itu sendiri, sehingga sarana politik pokok ini perlu dibangun kembali dengan dan demi strategi yang lain. Selama bulan-bulan yang serba tak menentu dan menggelisahkan ini banyak dibicarakan orang tentang "partai baru" dan tentang "reorientasi". Amir sajalah yang, dari kalangan kelompoknya, memprakarsai adanya sebuah harian baru Kebangoenan, yang hanya bisa terbit berkat bantuan kelompok Cina Siang Po. Redaktur kelompok ini ialah penyair dan dramawan Sanusi Pane, yang dalam awal tahun 1937 menerbitkan serangkaian karangan berjudul "Herorientatie". Dari pergolakan pikiran-pikiran itu lahirlah putusan untuk membentuk partai baru Gerindo, Gerakan Rakyat Indonesia. "Gerindo bukan hanya partainya Amir dan Yamin saja", berkata suatu ketika Asmara Hadi, salah seorang muda pimpinan partai ini. la menjadi jengkel terhadap kesan "kaum reduksionis" (sekali lagi memandang suatu kelompok sebagai terdiri dua orang saja!), yang suaranya bergema di dalam tubuh Gerindo. Bagaimanapun memang segera ternyata, bahwa partai itu bukanlah milik Yamin. la belakangan memasuki Gerindo karena hatinya yang masih tertambat pada Partindo, dan kemudian segera pula meninggalkannya untuk kembali kepada partainya sendiri itu. Ketika berdirinya Gerindo diumumkan Amir masih tinggal di Sukabumi bekerja di sebuah kantor pengacara, yang dalam bulan Agustus 1938, tak lama sesudah kongres partai yang pertama ditinggalkannya, untuk kembali ke Jakarta. Di sini ia pun mendapat pekerjaan di kantor pengacara yang dipimpin oleh Lie Tjiong Tie. Tokoh ini baru saja terpilih sebagai wakil golongan Cina untuk dewan kota Jakarta, guna menghadapi gembong-gembong, yang sampai saat itu tak terlawan, dari Perserikatan Cina di bawah pimpinan H.H. Kan, seorang anggota terkemuka Volksraad. Ini merupakan pertanda datangnya kemungkinan-kemungkinan baru yang sangat penting. Sambil memimpin partai Amir mencurahkan perhatiannya terutama pada masalah-masalah komunikasi dan pendidikan politik, bahasa, pers dan kantor berita, sekolah dan pendidikan civik. Sebenarnya sudah sejak awal karir politiknya bidang kegiatan tersebut selalu ditekuninya, terutama bidang pers, penerbitan dan pendidikan. Walau secara simbolik ia ikut mengusahakan penerbitan beberapa majalah; dan tidak selalu majalah yang terang-terangan politik. Beberapa di antara majalah penerbitannya itu, misalnya Poedjangga Baroe, cukup menjadi terkenal walaupun bertiras kecil saja. Dalam konteks pencarian bentuk-bentuk baru komunikasi itulah, ia mulai memikirkan tentang kampanye pemilihan, dan di atas prinsip-prinsip ini pulalah Gerindo mengarahkan pandangannya ke depan. Orisinalitas strategi fundamental partai baru ini terletak pada dua hal. Pertama pada analisisnya mengenai perkembangan hubungan-hubungan internasional dan sistemsistem politik global, dan kedua pada idenya bahwa krisis ekonomi kolonial yang di Indonesia ditandai dengan runtuhnya perkebunan-perkebunan, dapat mengakibatkan terjadinya krisis bagi politik kolonial. Dan krisis politik kolonial ini akan menimbulkan persoalan tentang pemilikan tanah-tanah jajahan oleh negara-negara kolonial. Strategi ini menegaskan tentang kemungkinan dilakukannya dialog antara Belanda dan Indonesia tentang masalah demokrasi, dan tentang hubungan
komplementer antara pembelaan demokrasi di Negeri Belanda menghadapi fasisme yang sedang bangkit di Eropa, dengan memasukkan prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia, khususnya tentang "hak-hak manusia dan warga negara" seperti yang dalam bentuknya yang klasik dinyatakan oleh Revolusi Prancis. Strategi partai menegaskan, bahwa Indonesia merupakan sasaran ekspansi Jepang, seperti halnya Belanda sasaran Jerman; dan bahwa pertahanan bersama melawan ambisi-ambisi negara-negara Poros di semua bidang, menuntut dilaksanakannya prinsip-prinsip demokrasi di segala bidang, baik politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan. Khusus untuk Indonesia hal ini menuntut terbentuknya dewan-dewan yang dipilih dan berlakunya prinsip pemilihan umum. Tidak ada masalah jalan tengah, dalam arti berusaha mencari kompromi yang bisa diterima kedua belah pihak, yang berdasar atas ketakutan terhadap perebutan kekuasaan. Strategi ini berdasarkan teori mengenai analisis terhadap krisis hubungan internasional (Amir menulis banyak karangan tentang ini), dan mengenai hubungan antara negeri jajahan dan negara penjajah yang merupakan bagian integral daripadanya. Tetapi strategi ini pun dapat dipandang sebagai sekedar langkah taktis belaka, suatu sikap mundur untuk mengurangi tuntutan kemerdekaan. Maka karenanya lalu dapat dituduh sebagai meninggalkan prinsipprinsip para pendiri pergerakan, bertekuk-lutut di depan kesulitan perjuangan anti kolonialisme, dan de facto memang melakukan kerjasama dengan kaum penjajah. Tuduhan pokok terhadap Amir sebagai "intel Belanda" oleh lawan-lawannya dari segala pihak, kaum ultra-nasionalis ataupun bukan, sedikit banyak bersumber dari penafsiran mereka yang demikian itu. Strategi front persatuan untuk membela dan mengembangkan hak-hak dan prinsipprinsip demokratis itu mengingatkan pada apa yang ketika itu diajukan dengan nama "Front Rakyat" oleh kaum kiri, khususnya oleh partai-partai yang dekat dengan Komunis Internasional. Strategi ini terjadi khususnya di Eropa, tetapi juga di seluruh bagian dunia lainnya. Perkataan Belanda "Volksfront" (front rakyat) muncul dalam penerbitan-penerbitan Gerindo, dan tetap tertera dalam kosakata politik bangsa Indonesia selama satu dasawarsa, yang diberi arti menurut pandangan masing-masing partai tentangnya. Konon untuk membuktikan dirinya sebagai komunis sejak lama itu, konon Amir dalam tahun 1948 pernah mengatakan bahwa inspirasi garis politik Gerindo ditariknya dari analisis Komunisme Internasional. Memang Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda pun sejak tahun 1936 selalu berbicara tentang strategi demikian. Dan ketika dalam tahun 1936 itu juga Dr. Sutomo berkunjung ke Eropa, Perhimpunan Indonesia mengajukan usul kerjasama dengan Parindra yang didirikan setahun sebelumnya oleh Dr. Sutomo tersebut. Bagaimanapun juga strategi yang ditempuh dan dikembangkan oleh Gerindo dilaksanakan juga oleh kaum aktivis, yang pada umumnya termasuk golongan kiri (seperti mereka sendiri menyatakannya). Dari sudut intelektualitas mereka berbeda-beda, tetapi semuanya mempunyai kebutuhan yang sama untuk memulai lagi dari awal. Front Rakyat sebagai bentuk resam persatuan nasional, baik jika kita berbicara tentang Gerindo maupun tentang suatu aliansi dengan Gerindo terlibat, merupakan suatu pihak yang mendapat solidaritas demokrasi dari gerakan internasional. Pemerintah kolonial dan Negeri Belanda tidak sedikit pun mengacuhkan Gerindo. Satu-satunya mitra bicara yang diacuhkannya ialah Parindra, walaupun apa yang dinamakan pemimpin-pemimpin tradisional itu tidak mempunyai wibawa di kotakota. Pada pemilihan dewan kotapraja tahun 1938, "pribumi" yang berhak ambil bagian (sekitar 2% penduduk kota-kota bersangkutan) sebagian besar diwakili oleh
orang Parindra. Pemerintah tidak mau memperluas jumlah pemilih pribumi, karena hal ini akan membuka kesempatan bagi Gerindo untuk mengajukan calon-calonnya. Juga pemerintah tidak bersedia memberi kursi pada Gerindo di dalam Volksraad, dengan jalan menunjuk salah seorang dari pimpinan mereka, seperti yang lazim berlaku bagi organisasi-organisasi yang dipandangnya sebagai "loyal". Terbentuknya badan-badan perwakilan, khususnya Parlemen sejati untuk menggantikan Volksraad yang ada, menjadi tuntutan pokok dari komite penghubung di mana Gerindo duduk di dalamnya, seperti yang dilakukan oleh komite pusat pendukung petisi Sutardjo (1936) dan GAPI, Gabungan Politik Indonesia (1939). Sesungguhnya antara Parindra dan Gerindo, sebagai elemen-elemen pokok dalam setiap kesatuan nasional itu, pada dasarnya saling bertentangan terutama dalam sepakterjang ketimbang prinsip. Pertentangan itu bertolak dari analisis mereka tentang situasi internasional, dan dalam pemahaman mereka yang bertolak belakang dalam hal konflik Sino-Jepang. Walhasil pendirian mereka dalam hal kedudukan orangorang yang oleh hukum Belanda digolongkan sebagai "bangsa Timur Asing" (dalam hal ini Cina) di tengah masyarakat dan lembaga-lembaga Indonesia juga saling bertentangan. Bagi Parindra hanyalah mereka yang oleh Belanda digolongkan sebagai "pribumi" itulah yang Indonesia sejati. Baik ke dalam maupun ke luar Parindra berpandangan anti Cina. Karena itu pula Parindra mendapat cap sebagai pro-Jepang, dan dalam pada itu penerbitan-penerbitan mereka pun umumnya memperlihatkan sikap yang sama sekali tidak kritis terhadap fasisme, termasuk fasisme Eropa. Dari sudut ini barangkali Gerindo lebih mewakili perasaan umum di kalangan kaum nasionalis Indonesia saat itu. Bagaimanapun juga Amir, yang sebagai ahli hukum dan jurnalis bekerja bersamasama orang Cina rekan-rekannya, mempunyai konsep tentang kewarganegaraan Indonesia atas dasar tempat kediaman dan bukan darah, seperti sudah dikemukakan juga oleh Tjipto Mangunkusumo dan sementara tokoh lainnya. Konsep kewarganegaraan yang demikian ini diajukan dalam kongres ke-2 Gerindo tahun 1939. Apakah konflik ini, yang diperburuk oleh wakil-wakil Gerindo dan Parindra dalam sekretariat GAPI yaitu Amir dan Thamrin, yang mengakibatkan terjadinya krisis antara kedua partai bersangkutan? Sehingga pimpinan mereka masing-masing berusaha mengatasinya dengan mengganti Amir dengan Gani dan Thamrin dengan Sukardjo? Ataukah semata-mata karena pertentangan antara kedua tokoh itu, sehingga masing-masing saling caci-mencaci? Sudah dalam bulan Juli 1940 suasana di Jakarta menjadi terasa sangat tegang. Ketika itu Negeri Belanda sudah diduduki Jerman, dan pemerintahnya pun sudah mengungsi ke London. Konflik antara Amir dan Thamrin terjadi untuk pertama kali pada waktu menghadapi pemilihan dewan kota praja yang direncanakan tanggal 12 Juni. Dalam awal bulan Mei Gerindo mengusulkan Amir sebagai calon bersama GAPI, dan semua partai menerimanya kecuali Parindra (Partai Indonesia Raya). Karena pemilihan ini untuk dewan kota praja Jakarta, maka yang menentang Amir sebagai calon bersama GAPI itu pun pimpinan Parindra Jakarta, yaitu Thamrin. Amir tampil sebagai calon koalisi berhadapan dengan calon Parindra, dan mendapat sepertiga jumlah suara. Perolehan suara yang kecil ini, sekitar seribu suara, merupakan pertanda yang tidak baik. Apakah benar karena Thamrin berusaha menghalangi terpilihnya Amir, yang dipandangnya dapat menjadi saingan berbahaya baginya di dalam dewan? Komunike Gerindo tentang penarikan Amir dari pengurus GAPI menyebut usul Amir, tentang
langkah yang harus diambil berkaitan dengan didudukinya Belanda oleh Jerman, tetapi usul itu ditolak GAPI. Bagaimana isi setepatnya usul itu tidak dijelaskan. Tetapi apakah memang demikian? Dalam bulan Juni hanya Parindra yang menolak mendukung pencalonan Amir dalam pemilihan dewan kota. Tetapi kemudian perhatikanlah, pada pemilihan untuk pimpinan baru Gerindo, baik Amir sebagai ketua lama maupun Wikana dan bahkan sesudah penghitungan kembali suara ternyata juga Adam Malik, termasuk tokoh-tokoh yang tidak lagi dicalonkan. (Wikana dan Adam Malik, kedua-duanya anggota pimpinan partai). Pemilihan ini dilakukan melalui surat menyurat, oleh karena adanya pelarangan hak berkumpul berkenaan dengan dilakukannya keadaan darurat. Menurut komunike yang ditandatangani Gani dan agak membingungkan Gerindo, hal itu terjadi atas permintaan mereka yang bersangkutan sendiri. Dalam bulan Juni Amir dan Wikana diinterogasi lama oleh polisi politik, untuk menyidik pamflet-pamflet komunis yang mereka dapati di daerah Bandung. Isi pamflet itu sendiri tidak diumumkan. Apakah Amir dan Wikana sudah masuk dalam jaringan perjuangan bawah-tanah? (Gerindo memang merupakan partai pelarian aktivis-aktivis dari semua partai yang terlarang). Apakah karena inilah mereka sendiri memutuskan, atau atas permintaan jaringan tersebut, menarik diri dari kehidupan umum agar tidak menarik perhatian polisi? Kepada orang-orang yang dekat dengannya Amir mengatakan, dalam interogasi itu ia diperingatkan pada syarat-syarat pembebasannya lima tahun yang lalu, dan diancam bisa segera dibuang ke Digul atau karena pimpinan harian Gerindo mulai menjadi panik, di tengah-tengah "keadaan darurat" dan menghadapi pada satu pihak konflik dengan Parindra dan pada lain pihak pemeriksaan polisi, yang kedua-duanya terpusat pada diri Amir? Pendamping Gani waktu itu ialah Sartono, tokoh yang sesudah Sukarno dipenjara dalam tahun 1929 telah membubarkan PNI. Namun kenyataan yang terjadi ialah, bahwa Amir yang sampai bulan Juni 1940 masih ketua Gerindo, dalam bulan Juli tidak lebih selain sebagai anggota biasa. Dalam bulan September ia meninggalkan pekerjaan sebagai pengacara dan memasuki lapangan pemerintahan. Dalam hubungan ini Amir sama sekah bukan saja sekedar seorang militan angkatan lama, tetapi juga salah satu dari sebagian besar calon-calon pimpinan pemerintahan sipil Indonesia merdeka kelak. la bekerja pada bagian ekspor Departemen Perekonomian yang dikepalai H.J. van Mook, yang pengangkatannya pada jabatan ini mendapat sambutan hangat dari Sanusi Pane di dalam Kebangoenan (ia menyebutnya sebagai "seorang merah"). Dalam tahun 1945 kelak H.J. van Mook kembali ke Jakarta, sebagai Letnan Gubernur Jenderal untuk berusaha membangun kembali kekuasaan Belanda. Bahwa ia menduduki jabatan demikian, dan dipimpin atasan yang demikian pula, menjadi bukti tambahan tentang keterlibatan Amir yang ultranasionalis itu dengan kolonialisme. Dalam tahun 1940 Amir menjelaskan, bahwa dalam asas-asas Gerindo tidak ada sepatah kata pun yang melarangnya bekerja sebagai pegawai negeri. Pekerjaan dalam bidang ekspor justru akan memberi kesempatan baginya, untuk memperdalam pengetahuannya tentang perekonomian kolonial dan hubungan-hubungan perekonomian internasional. Tetapi sesungguhnya menarik diri dari kehidupan politik tidak mungkin. Kalangan diskusi Kristen mengundangnya hadir pada pembahasan-pembahasan yang tidak selalu tentang teologi. Amir seorang ahli dalam pembentukan dan pengorganisasian partai. Gerindo tampaknya tidak lagi menghendaki dirinya, bahkan juga sesudah keadaan darurat perang dicabut. Partai cabang Jakarta usul, agar dia dan Wikana duduk lagi dalam komite eksekutif partai, tetapi usul ini tidak diterima kongres bulan
Oktober 1941. Beberapa hari kemudian ia mengikuti konperensi tahunan Perhimpunan Misi, yang antara lain membahas masalah pembentukan Partai Kristen Indonesia. Tidak diketahui, apakah kehadirannya pada konperensi ini berkaitan dengan kekalahannya di dalam Gerindo. Tampaknya Amir tidak melihat adanya kebutuhan mendesak untuk mendirikan partai Kristen, kecuali seandainya ada partai Islam yang kuat, dan yang akan mengancam kebebasan beragama. Berita-berita sangat singkat dalam pers berbahasa Belanda seperti menabur sekam pada bara api. Polemik berkecamuk sepanjang satu bulan penuh, memenuhi seluruh halamanhalaman pada kebanyakan harian-harian berbahasa Indonesia. Dalam pada itu golongan Islam menolak pendapat, bahwa adanya partai Islam akan membahayakan bagi kebebasan beragama. Sedangkan dari kalangan kaum sekuler tidak seorang pun mengerti, mengapa urusan mempertahankan kemerdekaan beragama harus dilakukan oleh partai-partai agama, dan terutama tidak dapat diterima bahwa pandangan demikian dari seorang seperti Amir. Ketika Gani mengundangnya untuk menjelaskan masalah tersebut pada pimpinan Gerindo, Amir menyatakan bahwa ia semata-mata menyumbangkan pendapatnya dalam suatu pertukaran pikiran tanpa mengaitkan dirinya dengan sesuatu kedudukan apa pun. Maka Gerindo pun menyatakan, masalahnya telah selesai. Tetapi perdebatan itu masih terus berbekas sampai tahun 1945. Sejak berdirinya Masyumi memandang Amir sebagai salah seorang musuhnya yang paling jahat. Kenyataan asal-usul pribadinya yang dari keluarga Islam justru memperburuk persoalan. Hanya beberapa bulan sesudah perselisihan itu Amir berusaha, setelah dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Sesama aktivis rekan-rekannya masih belum pulih kepercayaan mereka terhadapnya, yang sudah hilang sejak tahun 1940 itu. Selama paroh kedua tahun 1942 Amir, mewakili organisasi-organisasi Kristen, menyusun pranata-pranata peralihan yang dipaksakan oleh Jepang. Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu kelompok terorganisasi, yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Tetapi barangkali kelompok ini baru terbentuk belakangan, sesudah mereka di dalam penjara. Namun demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Hal ini barangkali dapat diartikan, bahwa penerimaan mereka terhadap gagasan front anti-fasis dan terhadap pembentukan persekutuan dengan Belanda anti-poros, mempunyai hubungan dengan pekerjaan politik Musso dalam tahun 1936.
IV PERISTIWA Madiun yang membersihkan FDR (Front Demokrasi Rakyat) pada akhir 1948, dan Peristiwa 3 Juli 1946 yang memusnahkan Persatuan Perjuangan, bagaimanapun juga terjadi menurut pola yang sama. Seperti dikatakan, jika sejarah berulang maka cenderung menjadi dagelan. Tetapi dalam hal ini bukan menjadi
dagelan, melainkan suatu malapetaka dengan ribuan korban yang luasnya sama sekali berbeda. Pemerintahan tandingan yang buru-buru disusun di Madiun, barangkali bisa dipandang juga sebagai salah satu "Komune" dalam sejarah revolusi-revolusi abad ke20, yang sedikit-banyak mengingatkan kita pada Komune Paris tahun 1871. Dalam banyak hal Hatta mengingatkan kita pada Thiers. Perebutan meriam-meriam Garda Nasional di Paris tahun 1871, di bawah tatapan rasa puas orang-orang Prusia, serupa dengan dilucutinya pasukan rakyat Pesindo tahun 1948, demi ketenteraman hati Amerika. Tetapi semuanya itu hanyalah sekedar analogi-analogi. "Peristiwa" tahun 1946 seperti halnya "peristiwa" tahun 1948. Yaitu terjadi sebagai akibat pemerintah menolak mentoleransi terhadap setiap oposisi, yang berusaha berbicara kepada rakyat secara langsung. Kaum oposisi lalu bertindak menurut kepentingan sendiri, dan bukannya berunding dalam ruang tertutup bersama pemerintah. Pada setiap kesempatan pemerintah menegaskan, bahwa pengakuan internasional terhadap Indonesia merupakan pertaruhan. Artinya, pengakuan itu hanya akan diperoleh jika pemerintah dapat membuktikan adanya dukungan luas, yang berupa kemampuannya menguasai situasi di dalam negeri. Dalam pada itu perlu dikemukakan bahwa pemilihan umum, sebagai bukti keabsahan yang diterima Konstitusi satu-satunya, hanya dapat berlangsung dalam suasana dalam negeri yang damai dan aman. Belanda selalu berbicara tentang "rust en orde". Itulah alasan tetap suatu "pemerintah yang kuat", yang saling diperolok-olokkan oleh kedua belah pihak. Pemerintah mengatakan posisinya dibikin lemah oleh cara-cara oposisi, dan oposisi mengatakan bahwa politik pemerintah yang mencontoh Belanda itu suatu pertanda kelemahan. Pemerintah mengatakan konsolidasi kekuasaan, sedangkan oposisi mengatakan mempercepat jalannya Revolusi. Akibatnya ialah konfrontasi. Dalam bulan Maret 1946 Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan Menteri Dalam Negeri Sudarsono, kedua-duanya tokoh penting Partai Sosialis, menemukan alasan bersama bahwa ide "masa genting" untuk memungkinkan penahanan Tan Malaka itu sama sekali tidak sah. Tan Malaka, kalau bukan pemimpin Persatuan Perjuangan yang sebenarnya setidak-tidaknya secara intelektual, adalah tokoh penentang politik berunding dengan Belanda. Walaupun merupakan suatu masalah penting namun barangkali tidak pernah diketahui, mengapa pada 19 September 1948 Sukarno memutuskan untuk mengubah kejadian-kejadian yang terjadi di Madiun tersebut menjadi suatu perang saudara, yaitu dengan menyatakannya sebagai proklamasi berdirinya sebuah Republik Soviet di sana. Padahal proklamasi seperti itu tidak seorang pun pernah mendengarnya, begitu juga tidak seorang pun berminat membuktikan kebenaran kabar yang diucapkannya itu. Terlebih-lebih lagi, dalam dua kejadian tersebut, pemerintah pun telah memutuskan untuk menampakkan kemampuannya menguasai keadaan. Oleh karena kejadiankejadian ini berlangsung di bawah pengawasan pengamat-pengamat yang sangat kuat, yang dukungan mereka sangat diperlukan, yaitu Inggris untuk kejadian tahun 1946 dan Amerika untuk kejadian tahun 1948. Bahwa drama kecil tahun 1946 itu telah menjadi drama besar tahun 1948, barangkali bisa diterangkan dengan perbedaan besarnya taruhan untuk dua kejadian itu masing-masing. Perpindahan alat-alat pemerintah yang penting ke Yogyakarta pada tahun 1946, sementara Sjahrir tetap berada di Jakarta, menyebabkan peranan Amir sebagai Menteri Pertahanan menjadi lebih menonjol, dan praktis menjadi tokoh kedua
pemerintah secara tidak resmi. Oleh karenanya dialah juga dan bukan Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri atau Menteri Kehakiman, yang dipandang sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap penahanan Tan Malaka dan kawan-kawannya. Maka ketika ia harus mundur dalam tahun 1948, orang-orang yang telah meragukannya itu pun, segera melihat datangnya saat pembalasan. Persaingan antara pemerintah dengan Persatuan Perjuangan (yang semula juga disebut sebagai "Volksfront", suatu referensi sejarah yang diikuti juga oleh kaum sosialis) tidak banyak bersumber pada analisis yang bertentangan (menurut wacana Persatuan Perjuangan, dengan meminjam kata-kata Lenin, tidak ada "analisis kongkret tentang situasi kongkret"), melainkan lebih banyak pada rumusan-rumusan yang berbeda mengenai revolusi, demokrasi, negara, dan Indonesia. Sehingga pemerintah, seperti yang pernah diperbuat Hatta tahun 1945 sesudah terjadinya berbagai peristiwa, tergerak untuk menjawab slogan-slogan mereka: revolusi bukanlah sekedar konflik bersenjata, demokrasi bukanlah pembagian kekuasaan terus-menerus. Berbicara tentang perjuangan diplomasi Amir, dalam bulan November 1945 mengatakan, bahwa Indonesia harus menempuhnya jika ingin kemerdekaannya diakui pihak Belanda. Bagi para pendukung "perjuangan" kesempatan menjadi terbuka untuk membantah kata-kata yang diucapkan Amir tersebut. Walaupun merupakan kata-kata biasa di dalam bahasa militan saat itu, bagi lalu digunakan untuk mempertentangkan kata "perjuangan", menurut artinya yang positif, dengan kata "diplomasi", menurut artinya yang negatif. Dengan demikian kata "perjuangan" lalu mendapat arti absolut, yang dengan cara apa pun tidak dapat dirinci-rinci. Dalam gayanya sendiri represi juga merupakan persoalan semantik, oleh karena pasal 28 Undang Undang Dasar berbicara tentang kemerdekaan berserikat, kemerdekaan berkumpul, dan kemerdekaan mengeluarkan pikiran. Benar bahwa komunike Jaksa Agung Kasman Singodimedjo 16 Januari 1946 telah memberikan penjelasannya tentang macam-macam kemerdekaan itu. Komunike itu memperingatkan para pembacanya, dalam melaksanakan kemerdekaan tersebut, tidak mengabaikan akibatakibat yang terkandung di dalamnya. Di atas segala-galanya keamanan dan ketertiban itulah yang harus diutamakan. Amir yang, sesuai dengan wewenangnya, dalam bulan April 1946 dibebani tugas sulit untuk meredakan ketegangan yang memuncak di Sumatra, tentang penahananpenahanan yang terjadi di Jawa dalam bulan sebelumnya menerangkan di Medan sebagai berikut. "Marilah kita jadikan sebagai semboyan bersama: Bagaimanapun pemerintah itu, selama masih pemerintah kita, harus kita taati dan kita dukung seratus persen". Kata-kata ini diucapkan seorang Amir yang sama, yang dua bulan kemudian mengucapkan pidatonya di depan para utusan Kongres Pemuda ke-2 di Yogyakarta. Di situ ia menyerukan agar para pemuda meneruskan revolusi yang telah mereka mulai, dan tidak membiarkannya jatuh ke tangan para calo-calo politik dan koruptor yang berjiwa dari jaman lain. Pemerintah memerlukan semangat para pemuda... Salah satu resolusi Kongres dirumuskan berdasarkan kata-kata tersebut: "Tugas para pemuda ialah memperbarui semua kekuatan, agar mereka dapat bertindak sesuai dengan tuntutan Revolusi. Dalam masa sekarang ini sikap yang korektif-konstruktif merupakan sikap yang paling sesuai dengan semangat pemuda. Korektif berarti berani mengubah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Konstruktif oleh karena kita perlu membangun dan menempatkan kekuatan-kekuatan yang menegakkan dan mempertahankan Negara".
Yang sukar ialah bagaimana menemukan cara yang bisa mempertemukan antara Negara dan Revolusi, antara stabilitas dan perubahan, dan antara yang lama dan yang baru. Ide tentang "sikap korektif-konstruktif" agaknya dirumuskan untuk menentang sikap kaum oposisi yang destruktif. Masalahnya ialah, bahwa dengan mengirim pasukan untuk melawan "PKI-Musso" dalam bulan September 1948, seperti dikatakannya sendiri, Sukarno menggunakan kata-kata "tindakan korektif" melawan kaum pengacau yang mengancam ketertiban umum dan keamanan nasional. Sementara itu mereka yang dikecamnya, antara lain termasuk Amir dan Suripno, membela diri dengan mengatakan justru mereka telah melakukan "tindakan korektif demi menyelamatkan kemerdekaan tanah air. "Koreksi" itu tidak secara "konstruktif". Sistem dan kritiknya satu sama lain saling berlawanan. Justru di Kementerian Pertahananlah, dalam usaha menyusun tentara rakyat nasional, Amir jelas dapat menilai lebih baik betapa sulitnya mengintegrasikan Revolusi dengan aparatur Negara. la memang dalam posisi untuk menarik pengalaman Revolusi Prancis, ketika suatu "amalgam" antara antusiasme pemuda dengan kemampuan militer dari bekas anggota pasukan kerajaan melebur dalam "levée en masse". Model Tentara Merah yang tidak dikenal umum, pun Amir telah mengenalnya. Tetapi ia hampir tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakannya. Ketika pada 14 November 1945 ia ditunjuk memangku jabatan Menteri Pertahanan, sebagai entitas administratif kementerian ini sebenarnya tidak ada. Lagi pula pada 11 November 1945 di Yogya diselenggarakan konperensi, yaitu di markas besar barisan kelasykaran, untuk memilih panglima tertinggi dan juga menteri pertahanan. (Pasukan Sukarela yang terdiri dari berbagai pasukan yang bergabung bersama-sama, di tengah suasana vakum kekuasaan itu, dan menyatakan diri sebagai tentara pemerintah). Sebagai menteri pertahanan terpilih saat itu ialah Sultan Yogya, yang berperanan selaku pelindung konperensi tersebut. Amir yang baru diangkat tiga hari sesudah itu tentu saja berada dalam kedudukan yang sulit. Bagaimanapun golongan tentara pastilah tidak pernah menerima, jika mereka tidak diberi hak untuk memilih menteri pertahanan mereka sendiri. Bagi Amir tentara adalah batu-alang utama. Inilah juga penyebab kekalahannya secara politik dan militer dalam bulan Juli 1947. Bahkan sesudah kementeriannya pindah ke Yogyakarta pun, bulan Januari 1946, hubungannya dengan markas besar angkatan perang tetap sulit. Tiba-tiba golongan tentara menghadapi masalah dalam gabungannya dengan lasykar-lasykar lain, yang telah tumbuh di dalam keadaan yang berbeda dan tidak mau ikut serta bersikap memusuhi Kementerian Pertahanan. Pembentukan badan koordinasi kelasykaran, Biro Perjuangan, di bawah kementerian pertahanan dan bukannya markas besar angkatan perang, ditanggapi oleh golongan tentara sebagai usaha Menteri Pertahanan untuk membangun pasukan pribadinya. Ide "tentara masyarakat" yang merupakan ide sentral bagi politik militer, dan yang di dalam sejarah Prancis dilambangkan melalui pertempuran di Valmy, tidak pernah bisa berkembang menjadi semangat korps di kalangan tentara Indonesia. Bersamaan dengan perjalanan waktu justru ide "dwifungsi" yang telah meresapinya, dan mengangkatnya menjadi golongan "supra-masyarakat". Segala daya-upaya Kementerian Pertahanan untuk memberi jiwa politik pada tentara, menanamkan ide "kemasyarakatan", membuang paham korporatisme, patronase, faksionalisme dan, meminjam kata-kata Jenderal A.H. Nasution sendiri, segala macam "vertikalisme" memang telah selalu dirintangi oleh markas besar angkatan perang. Terbentuknya Staf Pendidikan Tentara di dalam Kementerian Pertahanan dalam bulan Januari 1946,
dengan hebat telah diboikot oleh berbagai kesatuan tentara. Alasan pemboikotan mereka ialah bahwa pemerintah, dalam hal ini menteri yang bersangkutan atau pihaknya, hendak berusaha mengindoktrinasi tentara, dan mengganti fungsi perwira tentara dengan komisaris politik. Sejak pengangkatan Sjahrir, tuntutan Partai Masyumi yang tak kunjung henti untuk posisi puncak dalam kekuasaan dan disingkirkannya Amir, berkat bantuan Hatta akhirnya berhasil. Ketika semuanya itu telah terjadi, angkatan muda di dalam partai ini pun beramai-ramai di depan kantor-kantor pemerintah menyerukan yel yel "Allahu Akbar, Kabinet Amir bubar". Dan sulit bagi Amir untuk menempatkan dirinya dalam oposisi. Sejak pemerintah republik yang pertama terbentuk, ia terus-menerus menjadi menteri. Lebih dari itu dialah juga yang, dalam saat-saat sulit, telah selalu menegaskan tentang perlunya menyatukan kekuatan di belakang pemerintah. Pada waktu Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang selalu mempunyai hubungan istimewa dengan Amir, mengorganisasi demonstrasi besar-besaran menentang penyingkiran Amir dari kedudukannya itu, ia justru membantu Hatta untuk melicinkan jalannya saat peralihan. Bersama Hatta ia pergi ke Sumatra selama beberapa hari. Di depan rapat pertama FDR (Front Demokrasi Rakyat) di Solo tanggal 26 Februari 1948, Amir mengritik pemerintah baru lebih banyak dari wataknya yang otoriter ketimbang dari program politiknya. Satu bulan kemudian, ketika harus memberi kesaksian di depan pengadilan terhadap para pengatur "komplotan" 3 Juli 1946, Amir tetap mempertahankan pendiriannya seperti yang telah dikemukakan pada saat peristiwa itu terjadi. Namun secara pribadi tanpa bimbang ia mengatakan, bahwa masalahnya berkenaan dengan pemberian jaminan kepada pihak Inggris, yang ketika itu bertindak sebagai juru damai antara pihak Indonesia dan Belanda. Janganlah kepada Inggris diberi kesempatan untuk memenangkan pihak Belanda, dengan berdasar pada dalih "bahaya kaum ekstremis". Dengan kata-kata lain, sedikit banyak merupakan ulangan dari peristiwa bentrokan bersenjata di Surabaya, yang terjadi dalam bulan-bulan Oktober dan November 1945. Perubahan pendirian 180 derajat yang dialami Amir itu berkaitan dengan suasana ketegangan Timur-Barat yang memburuk, dan perkembangan peranan diplomasi Amerika di Indonesia. Barangkali memburuknya hubungan Timur-Barat tersebut juga merupakan sebab-musabab jatuhnya pemerintah Amir, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur partai komunis itu. Sejak bulan Oktober 1947 sejumlah lusinan penasihat dan wartawan Barat tiba di Indonesia, bersama-sama dengan para anggota Komisi Jasa-Jasa Baik PBB, yang menyebarkan seruan pembasmian kaum komunis, dan sejalan dengan itu mendesak para pengambil wewenang politik di Indonesia untuk segera mengambil tindakan. Dari bulan April 1948 dan seterusnya kampanye anti FDR yang luar biasa kasar dilancarkan oleh koran-koran Masyumi dan GRR (Gerakan Rakyat Revolusioner), suatu organisasi berkecenderungan teroris yang tumbuh dari tubuh Persatuan Perjuangan. Saat inilah ketika Amir mulai ditetapkan sebagai pengkhianat par excellence, yang pada masa kanak-kanaknya mengkhianati Islam untuk masuk Kristen agama penjajah, dan yang dalam masa mudanya meninggalkan nasionalisme untuk bekerjasama dengan Van Mook. Saat inilah juga ketika Amir, melihat Mao Ze-dong di Cina hampir memperoleh kemenangan dan Vietnam masih terus dalam perlawanan (yang di Indonesia, setelah perjanjian Fontainebleau, dikecam luas), mulai berpikir tentang kemungkinan menempuh jalan perjuangan lain. Untuk itu, is berpikir, kiranya akan lebih baik jika ia pun ikut melibatkan diri di dalam pemerintahan dan negerinya.
V TIDAK seperti Sukarno, Hatta dart Sjahrir, Amir tidak banyak menulis. Hanya beberapa karangan pendek pernah ditulisnya di sana-sini. Ia tidak meninggali autobiografi, memoar, renungan, kumpulan pidato, dan catatan-catatan. Pihak keluarganya menyebut-nyebut tentang adanya sebuah buku harian, yang diduga selamat dari penggrebegan di rumah tinggalnya di Yogya dalam bulan September 1948, tetapi kemudian buku itu entah di mana. Ia memang seorang orator yang, agaknya, tidak pernah menyiapkan sebelumnya pidato-pidatonya. Para wartawan setidak-tidaknya tidak pernah menerima salinan pidato-pidatonya, sehingga masingmasing berbeda-beda dalam pemberitaannya. la seorang orator besar yang, menurut semua saksi, bisa disejajarkan dengan Sukarno. Tetapi menurut Surjono, yang bekerja pada bagian pers Pesindo, sebagai orator Amir tidak mempunyai gaya yang sama seperti Sukarno yang mendasarkan kiat pidatonya pada irama bahasa dan dampak suaranya. Gaya pidato Amir terletak pada permainan citra-citra. Jika bicara tentang Surabaya dipakainya kata-kata: kota Kalimas, kota Tanjung Perak, kota Gang Ringgit, kota kemelaratan. Laporan Belanda tahun 1933 menggambarkan Amir sebagai seorang orator yang sangat brilyan, yang suka membumbui penalaran-penalarannya dengan humor sarkastis, sehingga karenanya ia menjadi sangat populer. Pemerintah Belanda menaruh hormat terhadapnya. Barangkali karena citra tokoh muda Kristen ini menjanjikan sebagai juru khotbah pada kemudian hari, suatu gema kerinduan pada Politik Etis tentang konvergensi Timur-Barat. Dalam suratnya tertanggal 10 November 1933, Gubernur Jawa Barat membandingkan antara Yamin dengan Amir. Tentang yang pertama dilukiskannya sebagai anak-panggung yang hingar-bingar dan demagog, ekstremis di gedung kesenian, pribadi yang tak berwatak, tak berpengaruh dan tak punya minat, yang bisa ditinggal sendirian tanpa khawatir. Adapun Amir, seorang ekstremis dengan sepenuh hati, tegas, yakin dan mantap, yang bagaimanapun juga harus ditahan. Pendapat Gubernur itu agaknya bertolak dari alasan, karena Amir sebagai redaktur, menolak menyebut nama pengarang anonim sebuah artikel berjudul "Massa Actie" yang diterbitkannya. Sementara itu, walaupun Yamin sendiri tidak pernah mengakui, semua orang tahu dialah yang menulisnya. Penolakan Amir itu berakibat pelarangan baginya untuk menulis dan juga memimpin sebuah penerbitan. Sekali lagi, dalam bulan Juli 1948 lima belas tahun kemudian, barangkali dengan harapan samar-samar untuk menarik Amir kembali, harian Belanda Nieuwsgier menulis sebuah karangan. Ditulisnya bahwa ia tidak seperti Sjahrir, yang sudah merasa senang dengan berada di tengah kalangan intelektual dan menyukai menulis di atas segala-galanya. Tetapi Amir memang seorang pemimpin rakyat yang senang berbicara di tengah-tengah massa, dan juga tabu bagaimana berbicara dengan mereka itu. Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), jawatan rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir, "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut". Belanda mungkin tahu bahwa kultus terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sesamanya, bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang terhadapnya. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas...
Dalam salah satu dari ceramahnya yang terakhir (Choises and Circumstances, 1988) Soedjatmoko berbicara tentang Amir: "orang yang tinggi pengetahuannya, dengan kehangatan dan pesona pribadi yang luar biasa". Para penginjil yang dalam tahun 1941 pernah minta bantuan kepadanya mengatakan, bahwa mereka memerlukan seseorang yang "berpikir horisontal". Orang-orang yang pernah mengunjungi Amir di rumahnya di Menteng Pulo, sebuah kawasan di Jakarta yang sangat sederhana, teringat pada sambutannya yang langsung dan lugas. Sesama pelajar teman-temannya dari Gymnasium di Haarlem juga mengenangnya sebagai seorang yang sangat senang bergaul. Membaca Hatta dan Sjahrir orang akan diberi kesan yang sama sekali berbeda. Seorang ambisius yang mentah, tidak berwatak, tidak berkeyakinan, yang gampang berganti pikiran seperti berganti baju. Seorang yang berangasan dan sewenangwenang. "la. suka memukuh istrinya", kata Hatta (Bung Hatta Menjawab,1978: 23). Mereka yang tidak percaya bahwa ia telah diperdayakan oleh setan, karena sedikit banyak dia sendiri pun setan, akan mengatakan: "Lihat dalam tahun 1927 ia kembali dari Belanda. Padahal di sana ia bisa belajar hukum, tetapi mengapa ia tidak melakukannya? Ia kembali tahun 1927, mengapa justru tahun ini? Karena Partai Komunis Indonesia baru saja dipukul hancur, dan ia mendapat mandat dari Partai Komunis Belanda untuk membangunnya kembali. Partai Komunis Indonesia yang baru bukanlah partainya Musso, tetapi partainya Amir." Hanyalah pada medan angan-angan, legenda hitam menjadi sangat dekat pada legenda keemasan: Amir Sang Pembangun. oo0oo
Ikhtisar Riwayat Amir Sjarifuddin2) 27 April 1907: Hari bulan lahirnya Amir Sjarifuddin di Medan, menurut catatan yang disimpan keluarga. Ia anak sulung Djamin gelar Baginda Soripada (lk. 1885-1949) dari marga Harahap, dengan Basunu (lk. 1890-1931) dari marga Siregar. Dua marga ini termasuk dalam golongan masyarakat Batak Angkola. Ayah Baginda Soripada, yaitu Ephraim gelar Sutan Gunung Tua (lk. 1840-1916) keturunan keluarga kepalakepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas Tapanuli. Ia bersekolah di sekolah yang dipimpin seorang penginjil Kristen A. Schreider di Parausorat antara 1868-1873. Sesudah dipermandikan Ephraim meniti karir sebagai djaksa di Sipirok dari 1875 sampai 1885. Kemudian menjadi hoofddjaksa di Padang Sidempuan sampai 1907, dan di Sibolga sampai 1909. Sesudah pensiun ia kembali ke Padang Sidempuan, ke rumah keluarga yang masih ada di sana. Soripada, anaknya yang ke-4, pindah ke Medan. Pada saat perkawinannya dengan seorang gadis, dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu-Islam di Deli, sesuai dengan hukum adat yang berlaku, ia pun memeluk Islam. 28 Maret 1912: Soripada diangkat menjadi asisten hoofddjaksa di Medan. 1914 (?): Amir masuk sekolah dasar Belanda di Medan (ELS: Euroeeshe Lagere School).
4 Desember 1915: Berkat ayahnya Soripada mendapat kedudukan sebagai hoofddjaksa di Sibolga, dan di sini Amir masuk sekolah dasar. Agustus 1921: Atas undangan saudara sepupunya, Mulia, Amir datang di Leiden, yang belajar di kota ini sejak 1911. Mulia baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad, tak lama sebelum kedatangan Amir. Ia tinggal di rumah guru pemeluk Kristen Calvijn, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang. September 1921: Amir masuk Gymnasium di Leiden. September 1925: Pindah dari Leiden, masuk Gymnasium di Haarlem. Maret (?) 1926: Soripada dipecat, karena pada bulan April 1925 memukul seorang tahanan di penjara Sibolga. 25 Mei 1926: Soripada dijatuhi hukuman penjara 3½ tahun, ditambah 5 tahun tidak boleh bekerja sebagai pegawai negeri. Hukuman itu kemudian diperingan. 1926-1927: Amir menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem. September 1927: Sesudah lulus ujian tingkat kedua, karena masalah keluarga, Amir kembali ke kampung halaman, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar meneruskan pendidikannya di Belanda itu. Ia masuk Sekolah Hukum di Batavia (sekarang Jakarta). Mula-mula menumpang di rumah Mulia, direktur sekolah pendidikanguru di Jatinegara. Kemudian pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Ia ditampung teman sependidikan yang beberapa tahun lebih tua darinya, Mr. Muhammad Yamin. Oktober 1928: Sebagai wakil "Pemuda Batak" (Jong Batak) Amir duduk sebagai bendahara panitia penyelenggara Kongres Pemuda Ke-2 yang berlangsung di Jalan Kramat 106. 1928-1930: Pemimpin Redaksi Indonesia Raja, majalah Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI). 24 Mei 1929: Baginda Soripada diangkat sebagai juru tulis pemerintah daerah Batak di Tarutung. 1929-1930: Amir duduk dalam pengurus Jong Sumatranen Bond (Persatuan Pemuda Sumatera). 1931: Menjadi propagandis Partindo sejak berdirinya partai ini. Ia mulai lebih giat mengikuti kelompok-kelompok diskusi Kristen. 14 Juni 1931: Ibu Amir meninggal menggantung diri di dapur rumahnya di Tarutung. 15 Juli 1931: Amir menjadi wakil ketua Partindo cabang Jakarta urusan penerbitan.
1931-1933: Amir menggantikan Arnold Mononutu, pendiri universitas rakyat Perguruan Rakyat, sebagai kepala pendidikan. Januari 1932: Ikut serta dalam Kongres ke-3 Indonesia Muda di Surabaya. 15-17 Mei 1932: Kongres ke-1 Partindo (Jakarta). Sartono dipilih sebagai ketua, dan Amir pengurus bagian "sekolah dan pendidikan". 4-19 April 1933: Kongres ke-2 Partindo (Surabaya). Sukarno ketua, Sartono wakil ketua ke-1, Amir wakil ketua ke-2 dan wakil ketua "komite tetap" (sekretariat politik). Ia penanggung jawab komisi sekolah dan pendidikan. Ia membantu gerakan perlawanan terhadap peraturan pelarangan terhadap yang dinamakan "sekolah liar". 30 Maret 1933: Terbit karangan anonim berjudul "Massa Actie" dalam Banteng, majalah Partindo cabang Jakarta yang di bawah pimpinan Amir. Penulis karangan ini sebenarnya Muhammad Yamin. 10 Oktober 1933: Penuntut Umum melalui Gubernur Jenderal menuntut hukuman internir bagi Amir, yaitu pengasingan di dalam negeri. 25 Oktober 1933: Soripada dinaikkan jabatannya di kantor register Balige. 5 Desember 1933: Amir lulus ujian akhir. 7 Desember 1933: Amir dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena kejahatan pers (karangan "Massa Actie" tersebut di atas). Ia ditahan 6 bulan di penjara Struiswijk (Salemba, Jakarta), dan 1 tahun di Sukamiskin (Bandung). Hukuman penjara ini membatalkan tuntutan hukuman internir tersebut. 22 Maret 1935: Departemen Kehakiman minta Gubernur Jenderal agar Amir diinternir begitu bebas dari penjara. 5 Juni 1935: Amir dibebaskan sesudah Dewan Hindia memeriksa berkas perkaranya. Kepadanya diperingatkan, sewaktu-waktu bisa diinternir jika ternyata ia mengulang melakukan kegiatan politik. 16 Oktober 1935: Menyimpang dari hukum adat Batak, Amir mengawini gadis sesama marga bernama Djaenah (1911-1987), di gereja Kristen Gang Kernolong Jakarta. Amir dan Djaenah (anak dari suami-istri beragama Islam) konon dipermandikan menjelang saat perkawinan mereka. Medio 1935-medio 1936: Musso di Surabaya mencari kontak dengan pimpinan Partindo setempat, mungkin juga dengan sementara tokoh lain termasuk Amir. 9-13 April 1936: Kongres Perguruan Rakyat (Jakarta); Sumanang dipilih sebagai ketua, dan Amir wakil ketua. 5 Juni 1936: Nomor perdana harian Kebangoenan. Dewan redaksi: Muh. Yamin (pimpinan umum), Sanusi Pane (ketua redaksi), Liem Koen Hian dan Amir (staf redaksi).
September 1936: Nomor perdana berkala bulanan Ilmoe dan Masjarakat yang memuat karangan Amir "Pemberontakan di Spanyol dan Hukum Internasional". 24 Mei 1937: Berdirinya Gerindo, A.K. Gani ketua. Amir anggota pimpinan urusan propaganda. 5 Oktober 1937-11 Mei 1939: Amir duduk di komite pusat "Petisi Sutardjo". 3 Desember 1937: Terdaftar sebagai pengacara pada Mahkamah Agung (Hooggerechtshof). Praktek pengacara di Sukabumi sampai Agustus 1938, kemudian kembali ke Jakarta. 13 Desember 1937: Terbit buletin pertama kantor berita Antara, yang didirikan oleh Sumanang dan A.M. Sipahutar. Amir sebagai koresponden politik dan konsultan hukum kantor berita ini. 25-28 Juni 1938: Kongres Bahasa Indonesia di Solo. Amir berbicara dengan makalah tentang "Adaptasi kata-kata asing dan konsep-konsep ke dalam bahasa Indonesia". Ia duduk sebagai wakil ketua panita kongres urusan pelaksanaan keputusan kongres. 20-24 Juli 1938: Kongres pertama Gerindo (Jakarta). Gani ketua, Amir wakil ketua (sementara itu ia masih di Sukabumi). Oktober 1938: Kembali ke Jakarta Amir menjadi ketua komite tetap Partindo. Oktober 1938: Nomor perdana majalah bulanan politik Toedjoean Rakjat; dewan redaksi: Amir Sjarifuddin, Asmara Hadi, A.M. Sipahutar, dan Wikana. November 1938: Amir dan Sanusi Pane menjadi calon Partindo di Volksraad untuk daerah pemilihan Jakarta. Tetapi tidak seorang pun dari calon partai ini dipilih atau diangkat. 1938-1941: Amir sebagai salah seorang ketua redaksi majalah sastra Poedjangga Baroe, menulis karangan-karangan tentang politik internasional. 2 April 1939: Amir dicalonkan Partindo untuk pemilihan dewan kotapraja Jakarta tanggal 26 April 1939. Yamin, calon terpilih dari Sumatra Barat untuk Volksraad, menentang pencalonan Amir. 26 April 1939: Amir mendapat 241 suara (dari 1430); namanya dihapus pada pemilihan babak ke-2, dan Yamin mendapat 170 suara. 21 Mei 1939: Pembentukan GAPI, Amir duduk di sekretariat. 21 Juli 1939: Yamin mendirikan Parpindo (Partai Persatuan Indonesia). 24-30 Juli 1939: Kongres ke-2 Gerindo (Palembang), Amir dipilih sebagai ketua, Wilopo wakil ketua komite tetap. Kongres memutuskan, membuka kesempatan semua penduduk Indonesia, termasuk keturunan Cina, duduk dalam pimpinan partai.
23-25 Desember 1939: Kongres Rakyat Indonesia. Makalah Amir berjudul "Adat dan pergerakan". Ia menandatangani manifesto kongres sebagai Ketua Gerindo. 10 Mei 1940: Amir diinterogasi sehari penuh oleh intelijen pilitik Belanda (PID; Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Pengawasan Politik). 12 Juni 1940: Pemilihan dewan kotapraja Jakarta baru. Terjadi perundinganperundingan untuk menggagalkan pencalonan Amir oleh GAPI, karena Parindra menolak pencalonannya itu. Amir mendapat 359 suara, dan calon Parindra 698 suara. 20-27 Juni 1940: Amir ditangkap dan ditahan, sehubungan dengan penyelidikan yang sedang dilakukan terhadap tersiarnya buletin-buletin Komunis. 28 Juni-20 Juli dan 25-27 Juli 1940: Kampanye menentang Thamrin dilancarkan Moh. Tabrani di dalam korannya Pemandangan. Thamrin dituduh tidak membantu Amir selama ia di dalam tahanan. 21 Juli 1940: Gani mengganti Amir sebagai wakil Gerindo dalam sekretariat GAPI. Agustus 1940: Kongres ke-3 Gerindo yang direncanakan di Semarang diundur, karena berlakunya SOB (Staat van Oorlog en Beleg; Keadaan Darurat Perang). Dalam daftar calon anggota komite eksekutif, yang akan dipilih dengan kartu suara melalui pos, tidak tercantum nama-nama Amir dan Wikana. Edaran partai menyatakan, tidak tercantumnya nama mereka karena permintaan yang bersangkutan. September 1940: Amir bekerja di kantor perdagangan luar negeri Departemen Perekonomian, untuk urusan informasi dan dokumentasi. Di sini ia menerbitkan majalah mingguan Economisch Weekblad (Berkala Mingguan Ekonomi). Oktober 1940: Pemungutan suara Gerindo melalui pos memilih Gani sebagai ketua partai dan Sartono ketua komite tetap. 1940-1941: Amir duduk di dewan redaksi penerbitan Marcel Koch, Kritiek en Opbouw (Kritik dan Pembangunan). 10-12 Oktober 1941: Kongres ke-3 Gerindo (Jakarta). Kedudukan Gani dan Sartono pada pimpinan partai dikukuhkan lagi. Tetapi pencalonan Amir dan Wikana, yang diusulkan cabang Jakarta, untuk duduk di komite partai ditolak. 20-24 Oktober 1941: Konperensi Perhimpunan Misi di Hindia Belanda (NIZB) diadakan di Karangpandan. Amir bicara tentang perlu dan tidaknya partai Kristen berdiri. Masalah ini menimbulkan polemik dalam pers. Amir tetap di dalam Gerindo, sesudah ia mempertanggungjawabkan pendiriannya di depan pengurus. Desember 1941 (?): Amir menerima tawaran sekretaris kabinet Gubernur Jenderal, P.J. Idenburg, dan juga C.o. van der Plas untuk menyusun jaringan informasi sekitar invasi Jepang. Maret-Juni 1942: Amir menyembunyikan diri.
Juli 1942: Amir muncul di Jakarta. Ia mengajar sosiologi, psikologi dan filsafat ketimuran pada kader-kader muda pergerakan, Angkatan Baru Indonesia, di Jalan Menteng 31 Jakarta. September 1942: Amir mengetuai panitia pembentukan Persatuan Kaum Kristen. Desember 1942: Amir menjadi anggota kelompok "7 S" wakil Kristen, atas penunjukan Shimizu Hitoshi. 30 Januari 1943: Amir ditangkap Kempetai (intelijen politik Jepang). Januari 1943-Desember 1944: Ditahan di penjara Cipinang Jakarta dan penjara Kalisosok Surabaya. 29 Februari 1944: Dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Hukuman tidak dilaksanakan (karena intervensi Sukarno dan Hatta?). 17 Desember 1944-1 Oktober 1945: Di dalam penjara Lowok Waru Malang. 4 Desember 1945: Diangkat sebagai menteri penerangan in absentia oleh Sukarno. 2 Oktober 1945: Kembali ke Jakarta. Memangku jabatan sebagai menteri. 17 Oktober 1945: Pembentukan BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Amir dipilih sebagai wakil ketua (Sjahrir ketua). 24 Oktober 1945: Sebagai menteri, melalui radio, ia membuka Kongres Pemuda di Yogyakarta 10-11 November 1945. 26 Oktober 1945: Rapat umum pemuda "revolusioner" di Yogyakarta dengan maksud mendirikan partai sosialis. Nama-nama yang dipilih sebagai pimpinan akhirnya ialah Amir, Sjahrir, dan Hindromartono. 12-13 November 1945: Kongres fraksi Partai Sosialis Indonesia (PARSI) di Yogyakarta memilih Amir sebagai ketua. 14 November 1945: Pembentukan pemerintah Sjahrir; Amir sebagai menteri penerangan dan pertahanan. Desember 1945: Konperensi di Cirebon melebur PARSI dan PARAS (Partai Rakyat Sosialis, yang didirikan Sjahrir pada 20 November 1945). Partai baru ini dinamakan Partai Sosialis; Amir salah seorang di antara para pimpinannya. 28 Desember 1945: Mobil Amir dibakar, di luar rumah Sukarno. 1 Januari 1946: Amir diganti Moh. Natsir sebagai menteri penerangan. 4 Januari 1946: Karena Jakarta tidak aman lagi, Amir pindah ke Yogyakarta, untuk memangku jabatan sebagai menteri pertahanan. Ia bergabung dengan Sukarno, Hatta, dan beberapa pimpinan pemerintahan lainnya, Sjahrir tetap di Jakarta.
24 Januari 1946: Dibentuk Staf Pendidikan Tentara dalam Kementrian Pertahanan. Timbul ketidak-senangan pada sementara kalangan perwira panglima, karena memandangnya sebagai staf pendidikan politik. 17 Maret 1946: Tan Malaka dan Sukarni ditangkap, dengan tuduhan mengganggu ketirtiban umum, menjelang berlangsungnya kongres Persatuan Perjuangan di Madiun. Dikeluarkan komunike bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan, "Tindakan dalam Masa Genting", berkenaan dengan masalah ketertiban umum itu. 10 April 1946: Pidato Amir di Medan, tentang penangkapan bulan Maret tersebut, menekankan perlunya masyarakat mendukung negara, pemerintah dan tentara sebagai institusi. 25 Mei 1946: Pembentukan Biro Perjuangan, yang memungkinkan Menteri Pertahanan melakukan kontrol dan koordinasi terhadap berbagai kesatuan lasykar bersenjata. Pimpinan tentara pemerintah menerima badan baru ini dengan enggan. 9 Juni 1946: Kongres Pemuda Ke-2 di Yogyakarta. Amir memperingatkan pemuda, sebagai pelopor revolusi, agar tidak sampai dipisahkan revolusi itu. 27 Juni-6 Juli 1946: "Peristiwa 3 Juli". Beberapa pengikut Tan Malaka menculik atau mencoba menculik sementara menteri dan pejabat tinggi, termasuk Amir dan Sjahrir. Tujuannya untuk memaksa Sukarno agar menyusun pemerintahan, dengan Persatuan Perjuangan sebagai unsur pokok. Usaha ini akhirnya mengalami kegagalan. 6-10 September 1946: Kongres Partai Sosialis di Yogyakarta. Kongres memilih tiga tokoh ketua, yaitu Sjahrir, Oei Gee Hwat, dan Amir. Maret-Juni 1947: Sesudah Persetujuan Linggajati, krisis di kalangan pimpinan negara dan pimpinan Partai Sosialis semakin tajam. Masalah penyebabnya ialah, cara bagaimana menghadapi tuntutan-tuntutan baru dari pihak Belanda. 27 Juni 1947: Pemerintah Sjahrir jatuh. 30 Juni 1947: Sukarno menghendaki terbentuknya pemerintah koalisi, dan menunjuk sebagai formatur Amir (Sosialis), Gani (PNI), Setiadjit (Partai Buruh), dan Sukiman (Masjumi). Karena tuntutan-tuntutan Sukiman, akibatnya terbentuk pemerintah tanpa Masjumi. 3 Juli 1947: Dalam kabinet baru ini Amir sebagai Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan; Gani dan Setiadjit Wakil-Wakil Perdana Menteri. Terjadi perpecahan di kalangan pimpinan Partai Sosialis. Golongan Sjahrir menolak duduk dalam kabinet. Dibentuk sekretariat darurat untuk menyelamatkan keutuhan Partai. 21 Juli 1947: "Aksi polisionil" Belanda. 4 Agustus 1947: Seruan gencatan senjata dari PBB. 27 Oktober 1947: Komisi Jasa-Jasa Baik PBB tiba di Jakarta.
11 November 1947: Wakil-wakil Masjumi duduk dalam kabinet. 8 Desember 1947: Perundingan gencatan senjata di atas kapal "Renville". Amir ketua delegasi Indonesia. 23 Desember 1947: Karena perundingan menghadapi jalan buntu, Amir kembali ke Yogyakarta. Awal Januari 1948: Tersiar desas-desus kabinet akan segera jatuh. 7 Januari 1948: Delegasi kembali ke Jakarta. 13 Januari 1948: Konperensi semua pimpinan partai politik dan departemendepartemen pemerintah berlangsung di Yogyakarta. 15 Januari 1948: Menteri-menteri Masjumi mengundurkan diri, diikuti para menteri PNI. 16 Januari 1948: Perdana Menteri memberi laporan pada BP-KNIP. 17 Januari 1948: Konperensi pers Perdana Menteri: "Pengunduran itu hanya untuk sementara. Saya tidak akan mengangkat menteri baru seorang pun". Penandatanganan naskah gencatan senjata dengan pihak Belanda di atas kapal "Renville". 22 Januari 1948: Deklarasi menteri-menteri Sayap Kiri/Front Demokrasi Rakyat, yang disiapkan oleh komite penghubung tetap partai-partai kiri (disiarkan radio sehari kemudian). Sukarno mengumumkan pengunduran diri pemerintah Amir, dan menunjuk Wakil Presiden Moh. Hatta membentuk pemerintah baru. 23-29 Januari 1948: Dengar pendapat untuk pembentukan kabinet baru. Hatta menawarkan memberi tiga kursi kelas dua pada Sayap kiri, antara lain jabatan Menteri Pemuda untuk Amir. Sayap Kiri menolak tawaran itu. 24 Januari 1948: Gelombang pertama demonstrasi mendukung Amir di Yogyakarta. Kemudian juga satu kali di Madiun. 4 Februari 1948: Amir hadir pada upacara pelantikan kabinet Hatta. 4-9 Februari 1948: Amir mengikuti Hatta meninjau Sumatra dan Jakarta. 10 Februari 1948: Sidang pertama kabinet Hatta. 26 Februari 1948: Rapat umum pertama FDR (Front Demokrasi Rakyat) di Solo. Rapat menyerang karakter kabinet presidentil. 21 Maret 1948: Amir memberi kesaksian dalam pengadilan Peristiwa 3 Juli 1946; ia tetap pada pendirian yang pernah dikemukakannya pada saat peristiwa terjadi.
11 Agustus 1948: Musso di Yogyakarta. Menganjurkan agar partai-partai dalam FDR bersatu di bawah pimpinan Partai Komunis. 29 Agustus 1948: Pemimpim-pemimpin Partai Sosialis menerima anjuran Musso, dan mengadakan kongres luar biasa pada 29-30 September 1948. 30 Agustus 1948: Amir menyatakan telah menjadi anggota Partai Komunis sejak partai ini dibangun kembali Musso tahun 1935. Mengingat pertanggungjawaban masalah perlawanan dalam peta organisasi PKI sementara setelah dipersatukan. 7 September 1948: Amir meninggalkan Yogyakarta bersama Musso, Harjono (ketua SOBSI; Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), dan beberapa tokoh lainnya lagi untuk menghadiri beberapa rapat. Tanggal 7 September di Solo menghadiri kongres serikat buruh gula; taanggal 8 September di Madiun; tanggal 10 dan 11 September di Kediri; tanggal 13 September di Jombang; tanggal 14 September di Bojonegoro; tanggal 15 September di Cepu; tanggal 17 September di Purwodadi, dan di sini Amir bermalam. 17-18 September 1948 malam: Sumarsono, ketua komite tetap Kongres Pemuda yang bertempat di Madiun, melucuti semua kesatuan tentara yang dianggapnya mengganggu keamanan umum di kota; dan Residen Sumadikun yang sedang tidak di tempat digantinya dengan Wakil Walikota Supardi (FDR). 18-19 September 1948 malam: Amir dan rombongan di Madiun, memenuhi permintaan pimpinan FDR setempat. 19 September 1948 petang: Pidato Sukarno mengutuk kudeta "PKI-Musso", dan berseru pada golongan loyalis untuk merebut kembali Madiun. 23 September 1948: Pidato Amir melalui radio Madiun menolak tuduhan kudeta kaum Komunis di Madiun, dan berusaha meredakan suasana. 30 November 1948: Amir ditangkap batalyon Kemal Idris di Kelambu, Purwodadi, bersama Harjono dan Suripno (bekas menteri). Kemudian dibawa ke penjara Kudus. 2 Desember 1948: Interviu Amir di penjara Kudus, terbit di Hidup tanggal 18 Desember. Di situ ia menyangkal tuduhan kudeta yang telah sengaja direncanakannya. 4 Desember 1948: Ditahan di Benteng di Yogyakarta, setelah bersama dua kawannya diarak keliling kota. Medio Desember 1948: Diam-diam Amir dibawa ke Solo. 19 Desember 1948: "Aksi polisionil" Belanda ke-2. Yogyakarta diduduki tentara Belanda. 19-20 Desember 1948 malam: Sebelas orang tahanan dieksekusi dengan cepat di Ngalihan dekat Solo. Mereka yang mati ialah Amir, Suripno, Harjono, Maruto Darusman dan Sardjono, semuanya anggota pimpinan sementara PKI baru; Oei Gee
Hwat dari Badan Harian SOBSI; S. Karno dari pimpinan Pesindo; Djokosujono, mantan kepala Biro Perjuangan di Kementrian Pertahanan; serta tiga orang tahanan lainnya, yaitu Katamhadi, D. Mangku, Ronomarsono (kacau dengan Sumarsono?). Para mantan menteri dalam kabinet Amir dan beberapa teman dekatnya dieksekusi di berbagai tempat. Catatan: 1)
Mendayung Antara Dua Karang, hal. 97.
2)
catatan: Ejaan nama-nama diri dan peristilahan lama seperti "hoofddjaksa" berasal dari jamannya, walaupun "oe" Belanda telah diubah menjadi "u", jika bukan soal kutipan, berasal dari dokumen tertulis. oo0oo