BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Hingga kini belum ada upaya kongkrit untuk mengatasi tawuran pelajar di Kota Yogya, akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang terjadi disebabkan oleh berbagai macam hal, diantaranya kecemburuan sosial antara pelajar yang dicap bermasalah di sekolahnya terhadap pelajar yang berprestrasi, karena mereka tidak diberi ruang dan kesempatan untuk mengapresiasikan dirinya seperti pelajar-pelajar yang berprestasi. Prosedur pendidikan di Indonesia turut mempengaruhi maraknya keberadaan tawuran pelajar yang terjadi, pendidikan di Indonesia cenderung memaksakan pelajar untuk mengekploitasi kemampuan berfikirnya dengan mengkonstruksi pemikiran bahwa pelajar yang berprestasi ialah pelajar yang telah meraih rangking satu sampai sepuluh, sedangkan yang lainnya anggap saja mereka pelajar yang biasa-biasa saja atau bahkan pelajar yang bodoh. Akibatnya para pelajar merasa dipenjara oleh fakta sosial pendidikan yang ada, yang kemudian memunculkan ikatan kelompok yang cukup kuat seperti genk-genk dll. Kelompok-kelompok inilah yang menyebabkan meletusnya tawuran antar pelajar karena faktor spontanitas kolektif untuk membela kelompok mereka masing-masing. Kasus tawuran antar pelajar merupakan dampak dari kurangnya peranan keluarga dan masyarakat, hal ini merupakan bagian yang paling penting dalam membentuk kepribadian para pelajar untuk berpikir terbuka dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ada. Tawuran pelajar bisa terjadi sebagai akibat dari tiga hal, yakni ekspresi kegelisahan kaum muda Indonesia 83
terhadap sistem pendidikan yang terlalu memaksa otak mereka untuk selalu diperas. Padahal diluar negeri, “belajar” isinya tidak hanya melulu dengan teori-teori, tetapi melibatkan praktek dilapangan dengan cara yang menyenangkan. Kedua, ialah negara mulai abai terhadap hukum, ini kemudian mencontohkan kepada para generasi muda untuk meneruskan jejak “abai terhadap hukum” yang ada. Ketiga adalah bukti kegagalan Dunia pendidikan Indonesia, carut marut sistem pendidikan tidak lepas dari sistem politik yang turut mencampuri persoalan pendidikan di negara kita. Atribut (badge) lokasi sekolah menjadi simbol utama dalam memunculkan “identitas” para pelajar, bahwa ketika badge lokasi sekolah masih dipakai, identitas itu yang akan selalu melekat terhadap para pelajar yang memakainya. Identitas yang menjadi simbol ini kemudian menimbulkan konflik. Tawuran ini berusaha diselesaikan oleh Dinas Pendidikan sebagai aktor yang memiliki kekuatan untuk menjalankan aturan/sistem, dimunculkan suatu sistem yang dirancang oleh Dinas Pendidikan untuk meredakan tawuran tersebut, yakni dengan penghilangan simbol (penyeragaman atribut identitas sekolah). Penelitian terhadap salah satu kebijakan pendidikan di Kota Yogya ini, yakni Kebijakan penyeragaman atribut sekolah dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebijakan tersebut bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan tawuran antar pelajar yang ada di Kota Yogya. Karena tawuran pelajar sudah menjadi momok utama yang meresahkan kita semua, terlebih ancaman bagi stabilitas keamanan dunia pendidikan. Bukan hanya karena akibat yang ditimbulkan pasca tawurannya saja, tetapi bagaimana koordinasi dari para aktor untuk bisa bekerja sama dengan baik dalam menyelesaian konflik/tawuran pelajar ini. Tawuran pelajar saat ini memang sudah mulai mereda, tapi tidak bisa dipungkiri, bisa kita dengar kasus tawuran pelajar masih saja terjadi. 84
Setelah kebijakan penyeragaman badge sekolah diterapkan di tiap-tiap sekolah di wilayah Kota Yogyakarta sejak tahun 2008, tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap tawuran pelajar yang berada di Kota Yogyakarta. Kebijakan penyeragaman badge sekolah ini belum bisa dikatakan berhasil dalam mengatasi masalah, buktinya adalah tawuran yang masih berkembang hingga saat ini. Kebijakan ini termasuk kebijakan yang belum berhasil dalam implementasinya. Memang beberapa implementor dengan cepat mengimplementasikan kebijakan, tetapi SMASMA di Kota Yogyakarta teryata belum sepenuhnya menerapkan kebijakan penyeragaman badge sekolah ini dan kebijakan ini belum dapat mengatasi persoalan tawuran di wilayah Kota Yogyakarta. Indikatornya adalah tingkat tawuran di Kota Yogyakarta yang masih belum berkurang, serta SMA-SMA di Kota Yogyakarta teryata belum sepenuhnya menerapkan kebijakan penyeragaman badge sekolah, sekitar 40% SMA swasta di Yogyakarta belum menerapkan kebijakan ini. Kebijakan ini termasuk gagal karena beberapa faktor, diantaranta ialah : 1. Kekurangan yang terletak pada target group, target group dalam pelaksanaan kebijakan ini memang sudah ada, yakni para pelajar SMA di Kota Yogya. Tetapi dalam proses implementasinya, target group dirasa kurang mendapatkan apresiasi yang baik. Karena bersifat top-down maka target group sebagai sasaran kebijakan dipaksa untuk tunduk patuh terhadap aturan yang ada tanpa proses sosialisasi yang jelas terlebih dahulu. 2. Implementor yang belum maksimal dalam mengimplementasikan kebijakan, tidak semua sekolah mendukung adanya kebijakan ini dengan tidak menerapkannya di beberapa sekolah swasta di Kota Yogyakarta. 3. Kebijakan ini masih lemah dalam mengatasi tawuran pelajar, karena tujuan utamanya yang masih kurang jelas. Ada dua tujuan dikeluarkannya kebijakan ini, yang pertama 85
sebagai pemersatu pelajar Kota Yogya agar lebih erat dengan siswa sekolah lainnya. Sedangkan tujuan utama menjadi faktor yang sangat penting dalam mensuskseskan suatu kebijakan. Kebijakan ini akan sangat mengena ketika tawuran yang terjadi timbul akibat dari sistem klitih, kebijakan ini bekerja dengan mengecoh para pelaku tawuran yang sedang mengincar musuhnya agar tidak mengenali pelajar dari sekolah musuh yang sedang diincar. 4. Kebijakan tidak berhasil karena penyebab tawuran pelajar yang terjadi di Kota Yogya tidak hanya diakibatkan oleh identitas pelajar saja, tapi lebih kompleks dari itu. Identitas pelajar hanyalah salah satu dari segelintir masalah penyebab terjadinya peristiwa tawuran pelajar di Kota Yogya, jadi kebijakan yang bertujuan hanya untuk menghilangkan identitas pelajar tidak akan efektif dalam mengatasi tawuran pelajar yang terjadi. Karena pada kenyataannya, masalah tawuran pelajar yang terjadi tidak diakibatkan oleh sebatas identitas pelajar saja, tapi lebih kompleks dari itu. 5. Dalam permasalahan tawuran pelajar, banyak yang harus berperan aktif dalam proses pencegahannya, menangani, serta mengendalikan tingkat konflik agar tidak terus menerus terjadi. Peran orang tua dalan melakukan pendidikan karakter dan perilaku sejak dini dapat dibentuk dalam lingkup keluarga yang merupakan lingkungan terkecil ini. Selanjutnya guru sebagai “mata” para orangtua disekolah dalam mengawasi tindak tanduk para anak didiknya, sekolah sebagai lingkungan terbesar yang mempertemukan pelajar yang satu dengan yang lain dengan berbagai karakter, sifat serta perilakunya harus mengawasi betul-betul para siswanya. Adanya aturan sekolah yang ditegakkan dengan benar, maka akan menciptakan situasi yang kondusif, aman serta nyaman dalam dunia pendidikan. Bisa dibayangkan jika Dinas Pendidikan saja yang berusaha mengatur
86
tawuran pelajar dengan regulasi tidak akan memberikan efek yang signifikan bila tidak didukung oleh peran serta orang tua, guru serta masyarakat sekitar. B. Saran Rekomendasi yang ditawarkan adalah dengan meningkatkan ajaran pendidikan masingmasing agama di tiap-tiap sekolah guna meningkatkan keimanan para pelajar terhadap agamanya. Karena keinginan untuk tawuran berasal dari diri sendiri yang didukung dengan adanya peluang untuk melakukan. Kebijakan yang dikeluarkan pun untuk mengatasi tawuran antar pelajar sebaiknya meliputi aspek-aspek sebagai berikut : -
Pemerintah sebaiknya meningkatkan koordinasi antar kementerian/lembaga lainnya untuk menggali permasalahan dan merumuskan kebijakan dalam untuk mengatasi tawuran pelajar
-
Pembaruan kebijakan pendidikan melalui konsensus antara birokrat dan komunitas masyarakat sekolah tampaknya harus dijadikan prioritas oleh para pembuat kebijakan. Dan hal ini harus dijadikan bingkai dialog secara terbuka antar birokrasi di tingkat pusat dan daerah dalam mencermati dan membuat rancangan program pembaharuan pendidikan yang selanjutnya.
-
Kebijakan yang dibuat sebaiknya dapat mendorong institusi pendidikan untuk lebih memperhatikan masalah tawuran pelajar ini.
-
Kesepakatan dalam bidang pendidikan sangat diperlukan untuk mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran kepada para civitas akademika untuk terlibat secara
87
langsung dalam memecahkan masalah. Apa yang menjadi janji-janji birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan dimonitoring secara bersama. -
Kebijakan sebaiknya memiliki beberapa komponen-komponen pendukung, karena satu komponen dirasa kurang cukup efektif untuk memerangi aksi tawuran pelajar ini.
-
Kebijakan yang dikeluarkan sebaiknya dimulai sejak tingkat yang paling rendah dengan maksud untuk dapat mendeteksi serta mengatasi masalah perilaku para pelajar sejak dini, misal mulai dari lembaga pendidikan tingkat Sekolah Dasar, dsb..
-
Tidak hanya kebijakan dari tingkat pusat, sekolah pun memegang peranan penting dalam menerapkan tiap-tiap kebijakan yang dikeluarkan. Menegakkan aturan dan tata tertib sekolah secara tegas, konsisten dan adil. Jika peraturan ditegakkan, bukan hal yang mustahil, keteraturan dan ketertiban para pelajar akan terwujud.
-
Upaya-upaya yang dilakukan sebaiknya diarahkan pada institusional daripada pada perubahan individual, yang menjadi titik berat disini adalah meningkatkan kualitas pendidikan, bukan kuantitas, bagi anak-anak yang “bermasalah”.
-
Mengadakan pelatihan-pelatihan secara kontinu dan terprogram terhadap para guru untuk meningkatkan kepekaan dan inovasi seorang guru dalam proses pembelajaran untuk melihat karakter positif apa saja yang bisa dikembangkan dari siswa-siswanya.
-
Memberi perhatian yang intensif pada setiap individu pelajar dan merancang program-program yang bermanfaat bagi tiap anak merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam menangani anak-anak yang beresiko untuk berkonflik.
-
Kebijakan juga didukung dengan adanya kerja sama antara aparat kepolisian dengan masyarakat sekitar dalam rangka membangun sistem keamanan dan pengawasan
88
terpadu. Hal ini dapat diwujudkan dengan melakukan patroli ketempat-tempat berkumpul pelajar dan titik-titik rawan kekerasan. -
Evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan yang hanya fokus pada pembelajaran kognitif saja, perlu adanya keseimbangan untuk membangun karakter dan kepribadian para pelajar.
-
Perlu dikembangkannnya kebijakan yang berkesinambungan untuk mendapatkan manfaat yang berkelanjutan dari suatu kebijakan agar tidak menghilang begitu saja.
Jika selama ini kita melihat bahwa kekuatan pengambilan kebijakan publik lebih banyak ada pada level eksekutif dan legislatif, sudah saatnya kita membuat lembaga-lembaga nonpemerintah yang kuat sebagai pressure group terhadap masalah pendidikan. Dari perspektif politik pendidikan, semakin banyak lembaga dan perorangan terlibat dalam urusan kebijakan publik bidang pendidikan, maka akan semakin baik kualitas pendidikan di Indonesia.
89