AKIBAT PERCERAIAN BAGI ISTERI (STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA GORONTALO)
Nining Abdul Aziz Jurusan Ilmu Hukum Pembimbing I Dr. Nur M. KAsim, S.Ag, MH Pembimbing II Dian Ekawaty Ismail, SH, MH
ABSTRAK Nining Abdul Aziz, NIM 271 409 118, Akibat Hukum Terhadap Perceraian, Perceraian mempunyai beberapa akibat hukum yang harus diterima oleh kedua belah pihak, baik dari pihak suami maupun pihak isteri. Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas isteri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah. Tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui akibat hukum terhadap perceraian di Pengadilan Agama Gorontalo dan untuk mengaetahui upaya pihak Pengadilan untuk mencegah terjadinya perceraian. Metode Penelitian menggunakan Jenis penelitian Hukum Normatif, Jenis pendekatan yakni Pendekatan Kasus. Hasil penelitian ialah dari perkara perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama Gorontalo yakni akibat hukum itu Penggugat menjatuhkan talak dan berpisah dari Tergugat. Dan dalam hal anak akibat hukumnya Penggugat dan Tergugat pisah rumah dan anak yang masih dibawah umur dikuasai oleh ibu. Upaya dari pihak Pengadilan Agama untuk mencegah terjadinya perceraian dan merukunkan kembali kedua belah pihak yaitu dengan jalan melakukan mediasi. Pengadilan Agama Gorontalo melalui mediator membacakan hal – hal yang membuat rumah tangga Harmonis. Kata Kunci : Perceraian PENDAHULUAN Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya, tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia menuju terwujudnya ketenangan, kenyamanan bagi suami isteri serta anggota keluarga. Perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia tak lepas dari
kondisi lingkungan dan budaya dalam membina dan mempertahankan jalinan hubungan antar keluarga suami isteri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut berakibat terjadinya hambatanhambatan pada kehidupan keluarga, yang akhirnya dapat menjadi perselisihan dan keretakan dalam tubuh keluarga. Zaman sekarang ini, semakin banyak persoalan-persoalan baru yang melanda rumah tangga, semakin banyak pula tantangan yang dihadapi sehingga bukan saja sebagai problem yang dihadapi bahkan kebutuhan rumah tangga semakin meningkat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak perkawinan yang harus berakhir dengan perceraian. Perkawinan bukan lagi diaggap sesuatu yang sacral sehingga apabila terjadi perceraian maka merupakan hal yang biasa dan bukan merupakan hal yang tabu, bahkan dikalangan tertentu perceraian bisa dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan popularitas. Perceraian merupakan salah satu sebab bubarnya suatu perkawinan, yang dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 disamping asas monogami, perceraian mendapat tempat tersendiri, karena kenyataannya, di dalam masyarakat, perkawinan seringkali terjadi berakhir dengan perceraian yang begitu mudah. Juga perceraian adakalanya terjadi, karena tindakan sewenang-wenang daripada laki-laki. Di beberapa daerah di Indonesia, angka perceraian meningkat, sebelum Rancangan Undang-Undang Perkawinan berhasil diundangkan. Perceraian pada hakikatnya adalah suatu proses dimana hubungan suami isteri tatkala tidak ditemui lagi keharmonisan dalam perkawinan. Perceraian merupakan salah satu sebab bubarnya suatu perkawinan, yang dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 disamping asas monogami, perceraian mendapat tempat tersendiri, karena kenyataannya, di dalam masyarakat, perkawinan seringkali terjadi berakhir dengan perceraian yang begitu mudah. Juga perceraian adakalanya terjadi, karena tindakan sewenang-wenang daripada laki-laki. Di beberapa daerah di Indonesia, angka perceraian meningkat, sebelum Rancangan Undang-Undang Perkawinan berhasil diundangkan. Kadangkala
pihak isteri tidak mampu menaggulangi kesulitan-kesulitan tersebut, sehingga perkawinan yang didambakan tidak tercapai dan berakhir dengan perceraian. Putusnya perkawinan karena perceraian ini akan menimbulkan akibat hukum yang akan mempengaruhi hak dan kewajiban antara mantan suami dan mantan isteri serta anak yang lahir dari perkawinan yang sah tersebut. Demikian juga mengenai harta bersama yang diperoleh sepanjang perkawinan maupun harta bawaan dari masing-masing suami isteri. Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami isteri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Perceraian mempunyai beberapa akibat hukum yang harus diterima oleh kedua belah pihak, baik dari pihak suami maupun pihak isteri. Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas isteri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah. METODE PENULISAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian normatif. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Jenis pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah jenis pendekatan kasus ( The Case Approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yag berkaitan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan materi penelitian yang telah diputus oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan denga studi pustaka yaitu dengan cara melalui studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan sekunder, primer, tersier. Dalam pengumpulan data ini dilakukan dengan cara membaca, melihat, mendengarkan. Setelah data selesai, yang akan dilakukan selanjutnya adalah analasis data, yaitu data yang diperoleh
dan dikumpulkan akan diolah dan di mnafaatkan
sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat dalam menyelesaikan masalah. Teknik analisis yang
digunakan adalah analasis deskriptif, yaitu dalam menganisis penulis berkeingainan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian. Sehingga tercapai kejelasan mengenai peremasalahan yang akan diteliti. HASIL DAN PENELITIAN Akibat Hukum Terhadap Perceraian di Pengadilan Agama Terdapat berbagai alasan yang dapat mendasari pasangan suami isteri untuk bercerai. Tentu saja alasan-alasan ini diajukan sebagai dasar pada saat isteri mengajukan gugatan cerai atau suami mengajukan permohonan talak di Pengadilan Agama. Alasan-lasan ini diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 dikatakan bahwa salah satu pihak berbuat zina, mabuk, berjudi, terus kemudian salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut. Apabila suami sudah meminta izin untuk pergi, namun tetap tidak ada kabar dalam jangka waktu yang lama, maka isteri tetap dapat mengajukan permohonan cerai melalui putusan verstek. Selain itu, alasan cerai lainnya adalah apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya, misalnya karena frigid atau impoten. Alasan lain adalah apabila salah satu pihak (biasanya suami) melakukan kekejaman. Dari perkara perceraian yang ada di Pengadilan Agama Gorontalo menunjukan bahwa perkara perceraian ditiap tahunnya selalu meningkat dimana pada tahun 2012 kasus terbanyak mengenai perceraian di pengadilan agama gorontalo dan sudah memiliki putusan yang ingkrah oleh pengadilan. Dan dalam usaha mendamaikan para pihak, masing-masing hakim telah melakukan cara-cara pendekatan tersendiri dengan melihat keadaan perkara dan kondisi maupun budaya para pihak, misalnya dalam mendamaikan para pihak yang mau bercerai karena keadaan ekonomi dengan karena salah satu pihak memiliki WIL/PIL atau dalam mendamaikan para pihak yang mau bercerai dan sudah punya anak dengan orang yang belum punya anak. Sseorang hakim termasuk hakim mediator dalam mendamaikan para pihak harus mempunyai dan mengetahui beberapa
pendekatan dalam memediasikan para pihak, seperti pendekatan psikologis, pendekatan sosial. Selain pendekatan tersebut, juga yang terpenting adalah pendekatan agama, sebagai petunjuk bagi muslim dalam kehidupan, termasuk kehidupan berumah tangga. Syariah menjadi jalan lurus yang harus ditempuh seorang muslim, sehingga tidak ada jalan lain bagi muslim kecuali menggunakan syariah Islam sebagai hukum yang mengatur hidupnya. Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian. Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah. Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Adanya putusnya hubungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami-istri masing-masing terhadapnya. Seperti dalam perkara Cerai Talak yang di tangani oleh Hakim Pengadilan Gorontalo dalam hal ini Drs. Mohammad Yamin, SH. MH yang perkara Cerai Nomor : 101 /Pdt.G/2013/PA.Gtlo, dari Perceraian antara Penggugat yang menguasakan kepada Kasmun Gani, SH yang ingin bercerai dengan Tergugat maka akibat hukumnya yaitu Perkawinan berakhir atau talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat
yang ditandai dengan
Pembacaan Putusan dari Hakim Ketua yang telah dirundingkan dengan Hakim Anggota yakni Drs. Ramlan Monoarfa, MH dan Djufri Bobihu, S. Ag., SH dan Anak dari Penggugat yang namanya disamarkan yakni Lk dan Pr masih dikuasai oleh Penggugat sebagai Ibu kandungnya dan akibat hukumnya lain yaitu Penggugat dan Tergugat pisah rumah selama empat tahun yakni dari tahun 2009 sampai 2013 ini sehingga sudah tidak ada komunikasi layaknya suami isteri. Dan tidak ada lagi kewajiban lahir batin antara kedua belah pihak yang berperkara. Dalam
Perkara Cerai yakni Nomor : 154/Pdt.G/2013/PA.Gtlo yang diketuai oleh Hakim Drs. Burhanudin Mokodompit, seperti halnya Pemohon dan Termohon yang memutuskan ingin mengakhiri perkawinannya di depan persidangan. Pemohon dan Termohon yang sering terjadi pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus mengakibatkan rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak ada kebahagiaan lahir dan bathin dan tidak ada harapan untuk kembali membina Rumah tangga. Pemohon juga ingin agar perkawinannya dengan Termohon diceraikan dengan alasan sejak tahun 2001 ketentraman rumah tangga mulai goyah. Maka akibat hukum dari perceraian ini yakni Pemohon telah menjatuhkan talak satu raj’i terhadap termohon di depan sidang Pengadilan Agama Gorontalo. Akibat Hukum yang kedua dari perkara ini yakni anak dari kedua belah pihak yang berperkara yakni Antara Pemohon dan Termohon masih tetap dikuasai oleh Pemohon atau Ibunya karena anak tersebut masih duduk di Sekolah Menengah Pertama yang masih membutuhkan kasih sayang dari ibunya. Tetapi Anak tersebut masih diperhatikan oleh Termohon dalam hal ini ayah kandungnya karena bagaimanapun seorang anak tetap membuthkan perhatian kedua orang tua. Meski kedua orang tuanya berpisah dan tidak lagi tinggal serumah. Meskipun diantara suami-istri yang telah menjalin perjanjian suci (miitshaaqan ghaliizhaan), namun tidak menutup kemungkinan bagi suami-istri tersebut mengalami pertikaian yang menyebabkan perceraian dalam sebuah rumah tangga. Hubungan suami-istri terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan. Pada umumnya mantan isteri mendapatkan hak pemeliharaan anak bila si anak belum berumur 12 tahun ke atas (belum baligh/mummayiz). Tentu saja ini berdasarkan keputusan hakim di pengadilan. Mantan suami tetap wajib membiayai dan menafkahi anaknya untuk kepentingan kehidupannya sehari-hari dan biaya pendidikannya. Inilah yang disebut dengan kewajiban alimentasi. Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan
dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan salah seorang panitera muda hukum di pengadilan agama Ibu Miranda Moki S.Ag, 8/10/2013, bahwa sampai sekarang biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-istri yang bersalah. Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang selama 90 (sembilan puluh) hari. Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas istrinya lagi. Bahkan sesudah masa iddah, bekas istri itu harus keluar dari rumah suaminya andaikata ia masih hidup di rumah yang disediakan oleh suaminya. Ketentuan itu bisa dengan damai atas persetujuan bekas suami begitupun mengenai jumlah biaya hidupnya atau dapat pula dengan putusan perdamaian apabila bekas suami tidak dengan sukarela menyediakan diri untuk memberi biaya hidup tersebut. Ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam Pasal 41 huruf C, yang berbunyi: “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri dan apabila bekas istri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas istrinya itu menikah lagi dengan pria lain.
Upaya Pihak Pengadilan Agama Untuk Mencegah Terjadinya Perceraian Dalam proses sidang perceraian di Indonesia baik pihak isteri maupun suami memang harus hadir dalam sidang tersebut, terutama dalam sidang pertama dimana Hakim akan berusaha
mendamaikan kedua belah pihak. Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka ketua majelis hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Namun demikian, berdasarkan Pasal 30 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, suami dapat tidak hadir dalam persidangan dengan memberikan kuasa kepda Kuasa Hukumnya untuk mewakili dirinya. Jika dapat dicapai perdamaian, maka pada hari persidangan hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang telah disepakati itu. Putusan perdamaian yang dibuat di muka persidangan itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi sebagaimana layaknya putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap putusan perdamaian ini tidak dapat diajukan banding ke pengadilan tingkat banding. Pengadilan Agama tersebut yang bersangkutan mempelajari permohonan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil pemohondan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga. Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama, tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Syarat Formal Upaya Perdamaian a. Adanya persetujuan kedua belah pihak Dalam usaha melaksanakan perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim dalam persidangan, kedua belah pihak harus bersepekat dan menyetujui dengan suka rela untuk mengakhiri perselisihan yang sedang berlangsung. Persetujuan itu harus betul-betul murni datang dari kedua belah pihak. Persetujuan yang memenuhi syarat formil adalah sebagai berikut: 1)
Adanya kata sepakat secara sukarela (toestemming).
2)
Kedua belah pihak cakap membuat persetujuan (bekwanneid).
3)
Obyek persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bapaalde onderwerp).
4)
Berdasarkan alasan yang diperbolehkan (georrlosofde oorzaak).
b. Mengakhiri Sengketa Apabila perdamaian telah dapat dilaksanakan maka dibuat putusan perdamaian yang lazim disebut dengan akta perdamaian. Putusan perdamaian yang dibuat dalam majelis hakim harus betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi diantara pihak-pihak yang berperkara secara tuntas. Putusan perdamaian hendaknya meliputi keseluruhan sengketa yang diperkarakan, hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya perkara lagi dengan masalah yang sama. c. Mengenai Sengketa Yang Telah Ada Syarat untuk dijadikan dasar putusan perdamaian itu hendaknya persengketaan para pihak sudah terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru akan diajukan ke pengadilan sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang pengadilan. d. Bentuk Perdamaian Harus Tertulis Persetujuan perdamaian itu sah apabila dibuat secara tertulis, syarat ini bersifat imperative (memaksa), jadi tidak ada persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan dengan cara lisan dihadapan pejabat yang berwenang. Jadi akta perdamaian harus dibuat secara tertulis sesuai dengan format yang telah ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku. Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para pihak yang berperkara.Apabila upaya perdamaian itu berhasil, maka dibuatlah akta perdamaian (Acta van Vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka. Akta perdamaian memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim dan dapat dieksekusikan. Apabila ada pihak yang tidak mau menaati isi perdamaian, maka pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Eksekusi dilaksanakan seperti menjalankan putusan hakim biasa. Akta perdamaian hanya bisa dibuat dalam sengketa mengenai kebendaan saja yang memungkinkan untuk dieksekusi. Akta perdamaian dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan pada kolom putusan. Akta perdamaian tidak dapat dimintakan banding, kasasi ataupunpeninjauan kembali. Demikian pula terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan gugatan baru lagi. Dalam sengketa yang berkaitan dengan perkara percerian, maka tindakan hakim dalam mendamaiakan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan
persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian. Pada sidang pertama pemeriksaan perkara perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Dalam sidang tersebut, suami isteri (pihak principal) harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri dan tidak dapat menghadap secara pribadi, dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, maupun kasasi selama perkara belum diputus pada tingkat tersebut, jadi tidak hanya dalam sidang pertama sebagaimana lazimnya perkara perdata. Dalam upaya perdamaian kedua belah pihak, pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. Dan dimungkinkan pengadilan membentuk tiem mediasi secara khusus untuk menangani perkara perceraian. Dalam gugatan atau permohonan terdapat dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling sengketa, untuk menyelesaikan sengketa tersebut kadangkala mereka selesaiakn sendiri atau melibatkan pihak lain di luar sidang pengadilan. Disaat perkara itu belum dimajukan di pengadilan atau sudah dimajukan di pengadilan telah diselesaikan sendiri dengan cara perdamaian, sehingga permohonan atau gugatan tersebut dicabut, yang demikian itu secara hukum tidak mengikat, sehingga tidak tertutup kemungkinan dikemudian hari terjadi persengketaan kembali yang diajukan di pengadilan. Perdamaian lewat proses pengadilan adalah lebih mengikat para pihak, menurut Pasal 30 ayat (1) HIR / Pasal 154 R.Bg, hakim sebelum memeriksa perkara perdata terlebih dahulu harus berusaha mendamaiakn kedua belah pihak, bahkan usaha mendamaikan itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam tahap banding dan kasasi. Mekanisme perdamaian perkara perceraian harus dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. 2)
Pada sidang perdamaian, suami isteri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap sendiri secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
3) Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Hasil perdamaian harus dijunjung tinggi antara kedua belah pihak, sebab sekali perdamaian disepakati, maka tertutup baginya untuk mengajukan gugatan baru dengan alasan yang sama, artinya apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian beru berdasar alasan yang sudah ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian dicapai. Apabila usaha perdamaian berhasil, maka perkara dicabut dengan persetujuan para pihak, untuk itulah tidak mungkin dibuat suatu ketentuan atau syarat yang bermaksud melarang salah satu pihak melakukan perbuatan tertentu, misalnya dilarang menganiaya dan lain-lain atau mewajibkan salah satu pihak melakukan sesuatu misalnya harus menyayangi isteri, harus mentaati suami dan lain sebagainya. Syarat-syarat tersebut di atas tidaklah mungkin dibuat akta perdamaian. Sebab apabila ketentuan tersebut dilanggar, putusan (akta perdamaian) tersebut tidak dapat dieksekusi, karena akibat pelanggaran tersebut tidak mengakibatkan putusnya perkawinan. Apabila salah satu pihak menghendaki perceraian, satu-satunya jalan adalah mengajukan perkara perceraian baru. Apabila tercapai perdamaian, maka perkara perceraian tersebut dicabut, untuk itu hakim membuat “penetapan” yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan para pihak masih dalam ikatan perkawinan yang syah berdasarkan akta nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan yang bersangkutan, dimana mereka dahulu melakukan perkawinannya. Penetapan yang semacam ini tidak dapat dimintakan upaya hukum. Apabila tercapai perdamaian maka tidak dapat diajukan permohonan / gugatan cerai lagi berdasarkan alas an yang serupa atas kemungkinan dengan alas an lain yang telah diketahui pada saat perdamaian itu terjadi. Permohonan perceraian hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan baru yang terjadi setelah perdamaian tersebut. Apabila putusan perceraian dimintakan banding atau kasasi, logikanya perceraian itu sama sekali belum pernah terjadi, sebab terjadinya suatu perceraian apabila setelah putusan cerai berkekuatan hukum tetap atau ikrar talak telah diucapkan di muka persidangan majelis hakim. Oleh karena itu pengadilan tingkat banding atau kasasi sangat terbuka untuk mengupayakan perdamaian. Jika pada pemeriksaan perkara tingkat banding telah terjadi perdamaian sebelum perkara diputus, maka perkaranya dicabut dengan persetujuan kedua belah pihak (suami isteri) yang berperkara. Dengan dicabutnya perkara tersebut, maka pengadilan tingkat banding membuat “penetapan” yang isinya : mengijinkan pihak pembanding untuk mencabut perkaranya dan membatalkan
putusan pengadilan tingkat pertama yang mengabulkan perceraian itu karena terjadi perdamaian sebelum putusan memiliki kekuatan hukum tetap, serta menyatakan bahwa kedua belah pihak tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang syah dan tetap berpegang pada akta nikah yang dimilikinya. Apabila putusan perceraian pada tingkat banding diajukan kasasi, kemudian terjadi perdamaian sebelum Mahkamah Agung menjatuhkan putusannya, maka kedua belah pihak dapat mencabut kasasinya, disebabkan telah terjadi perdamaian. Kemudian Mahkamah Agung membuat “penetapan” yang isinya mengijinkan pemohon kasasi untuk mencabut perkaranya, membatalkan putusan cerai yang dikeluarkan oleh pengadilan tingkat banding karena terjadi perdamaian sebelum perkara perceraian memiliki kekuatan hukum tetap dan menyatakan bahwa kedua belah pihak tersebut masih tetap dalam ikatan perkawinan yang berdasar akta nikah yang dimilikinya. Melihat sifat dan karakteristik perkara perceraian itu sendiri, tetap tingginya angka perceraian atau dengan kata lain adanya permainan tidak membawa penurunan angka perceraian di Pengadilan Agama Gorontalo, memang menunjukkan bahwa Perma N0.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan belum efektif, dalam mencegah terjadinya perceraian disebabkan karena tidak adanya relevansi antara substansi peraturan dengan sifat perkara yang diatur. Perkara yang masuk di Pengadilan Agama Gorontalo selain terdapat perkara yang dicabut karena mediasi berhasil, juga terdapat perkara yang dicabut karena perdamaian setelah menjalani beberapa kali sidang pemeriksaan lanjutan setelah sidang mediasi dinyatakan tidak berhasil.
KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari Penelitian ini yakni : a. Akibat hukum dari Perkara Perceraian ini yakni, dalam perkara Nomor :
101
/Pdt.G/2013/PA.Gtlo, akibat hukum dari perkara ini Perkawinan berakhir atau talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat yang ditandai dengan Pembacaan Putusan dari Hakim Ketua yang telah dirundingkan dengan Hakim Anggota. Dan Nomor Nomor : 154/Pdt.G/2013/PA.Gtlo Maka akibat hukum dari perceraian ini yakni Pemohon telah menjatuhkan talak satu raj’i terhadap termohon di depan sidang Pengadilan Agama Gorontalo. b. Upaya pihak Pengadilan Agama untuk mencegah terjadinya perceraian yakni Mediasi. Perkara Nomor : 101 /Pdt.G/2013/PA.Gtlo bahwa Majelis Hakim dan Hakim Mediator bernama Djufri Bonihu, S. Ag, SH berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat
secara Intensif, yakni Mediator membacakan hal – hal yang mencoba untuk mengurungkan niat dari untuk bercerai, seperti membacakan hal – hal indah yang pernah dialami selama dalam ikatan pernikahan yang harmonis. namun tetap tida berhasil, sehingga dibacakanlah gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan Penggugat. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka peneliti menyarankan bahwa : 1. Agar kiranya masa perkawinan ataupun setelah terjadinya perceraian dapat memenuhi kebutuhan seorang anak meliputi sandang, pangan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya yang merupakan kewajiban dari seorang anak; 2. Agar nantinya nafkah anak yang seringkali dilalaikan ayah setelah terjadinya percerain, sebenarnya nafkah yang dilalaikan dapat dimintakan eksekusi oleh ibu atau anak. Apabila tidak terlaksananya alimentasi pada sang anak, maka para pihak sepakat untuk menempuh jalur hukum, yakni melalui jalur mediasi terlebih dahulu,jika tidak ada kata mufakat maka dapat dimulailah proses persidangan yang akan di ambil keputusan oleh hakim agar agar pihak orang tua dapat diwajibkan mengasuh dan membiayai anak; 3. Agar kiranya pelaksanaan mediasi tidak lagi memperlihatkan tingkat kegagalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat keberhasilan mediasi yang disebabkan karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor perkara, faktor para pihak, faktor mediator, dan faktor budaya hukum.
DAFTAR PUSTAKA Anshary. 2009. Hukum Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bahari, Adib. 2012. Prosedur Gugatan Cerai + Pembagian Harta Gono-Gini + Hak Atas Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta. Fajar, Mukti., Achmad, Yulianto. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Group, Jakarta. Supadi. 2007. Skripsi Tingkat Kesadaran Hukum tentang Perceraian Bagi Istri. Salatiga Undang-udang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Kompilasi Hukum Islam, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, 2004 Infoperkara.badilag. net Perkara.net/framework www.pa-gorontalo.go.id