Akibat Hukum Pengangkatan Anak Jatmiko Winarno *) *) Dosen Fakultas Hukum Unisla
ABSTRAKSI Anak merupakan amanat sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga serta dilindungi karena dalam diri seorang anak melekat harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi keberadaannya. Perlindungan hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan terhadap anak menjadi penting karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Pengangkatan anak tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata hanya mengatur ketentuan tentang pengakuan anak di luar kawin yang diatur dalam Buku I Bab XII bagian ketiga, tepatnya pada Pasal 280 sampai Pasal 289. Mengingat meningkatnya kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak dan kultur budaya masyarakat telah lama mempraktikkan pengangkatan anak, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsbald 1917 No.129 yang isinya mengatur secara khusus mengenai lembaga pengangkatan anak yang termuat dalam Bab II pasal 5 sampai dengan pasal 15 yang lebih dikenal dengan istilah adopsi. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan permasalahan yaitu Bagaimana syarat dan tata cara pengangkatan anak? Dan Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak? Kata kunci : anak angkat, akibat hukum A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga serta dilindungi karena dalam diri seorang anak melekat harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi keberadaannya. Perlindungan hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan terhadap anak menjadi penting karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.6
Tahun 1983 disamping menjadi pedoman bagi hakim-hakim di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia dalam hal menerima, memeriksa dan memutus permohonan pengesahan pengangkatan anak juga merupakan produk hukum yang dibentuk guna melengkapi peraturan perundang-undangan yang tidak mencukupi dalam hal pengaturan mengenai pengangkatan anak. Selain itu pada kenyataannya, cara pemeriksaan maupun bentuk serta isi pertimbangan dalam putusan Pengadilan Negeri di bidang pengangkatan anak menunjukkan adanya kesalahan-kesalahan yang kurang menguntungkan. Padahal sangat diharapkan dari putusan-putusan semacam itu merupakan faktor yang determinan (menentukan). Permohonan pengangkatan anak berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 dibedakan antara: 1. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak antar-WNI (Domestic Adoption); 2. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNI (Intercountry Adoption); dan 3. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat WNA (Intercountry Adoption). Sedangkan putusan terhadap permohonan tersebut menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Penetapan : dalam hal pengangkatan anak
tersebut terjadi antar-WNI(Domestic Adoption). 2. Putusan : dalam hal anak yang diangkat oleh orang tua angkat WNI berstatus WNA atau dalam hal anak yang diangkat tersebut berstatus WNI diangkat oleh orang tua angkat WNA (Intercountry Adoption). Mengenai akibat hukum pengangkatan anak di Pengadilan Negeri, Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak menyatakan bahwa isi putusan dalam pertimbangan hukum hendaknya jangan dilupakan hukum apa yang diterapkan. Pada umumnya dalam hal ini diterapkan hukum dari pihak yang mengangkat, kadang-kadang diperlukan perhatian juga terhadap adanya segi-segi dari hukum antargolongan yang disebabkan oleh perbedaan suku atau golongan, mungkin peleburan.
mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya sendiri. 3 Oleh sebab itu, diaturlah kctentuan mengenai pengangkatan anak (adopsi) yang berlaku bagi masyarakat dalam Staatsblad 1917 No.129 khususnya Bab II. Pengertian pengangkatan anak tidak ditemukan dalam pasal-pasal Staatsblad tersebut untuk mengetahui pengertian pengangkatan anak dapat dibaca dalam pasal-pasalnya, antara lain Pasal 5 yang menyatakan sebagai berikut : 1. Apabila seorang laki-laki, beristri atau telah pernah beristri, tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran, maupun keturunan karena pengangkatan, maka bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya. 2. Pengangkatan yang demikian harus dilakukan oleh si orang laki-laki tersebut bersama-sama dengan istrinya, atau jika dilakukannya setelah perkawinannya bubar, oleh dia sendiri. 3. Apabila kepada seorang perempuan janda, yang tidak telah kawin lagi. oleh suaminya yang telah meninggal dunia, tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagaimana termaksud dalam ayat kesatu pasal ini, maka boleh pun ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya. Jika sementara itu si suami yang telah meninggal dunia, dengan surat wasiat telah menyatakan tak menghendaki pengangkatan anak oleh istrinya, maka pengangkatan itu pun tak boleh dilakukannya. Ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai calon orang tua angkat. Sedangkan anak angkat dapat diketahui dari Pasal 6 Staatsblad 1917 No.129 yang menyatakan sebagai berikut : Yang boleh diangkat hanya orang-orang Tionghoa lakilaki yang tak beristri pun tak beranak, dan tidak telah diangkat oleh orang lain. Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut pengertian pengangkatan anak (adopsi) berdasarkan Staatsblad 1917 No.129 adalah pengangkatan anak Tionghoa laki-laki oleh seorang laki-laki beristri atau pernah beristri atau seorang janda cerai mati, tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis baik karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, yang berakibat hukum anak yang diangkat mendapat nama keluarga yang mengangkat, berkedudukan sebagai anak sah, putus segala hubungan perdata dengan keluarga asalnya, tidak mewaris dari keluarga sedarah asalnya dan mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkatnya.
B. Tujuan Penelitian 1. Untuk mngetahui bagaimana syarat dan tata cara pengangkatan anak. 2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum pengangkatan anak.
II. Kajian Teori Pengertian pengangkatan anak ada bermacammacam, masing-masing pakar mengemukakan pendapatnya sendiri-sendiri bedasarkan ketentuanketentuan yang terdapat dalam hukum adat, agama dan kepercayaan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kita hingga kini tidak mengenal adanya lembaga pengangkatan anak (di negara asalnya telah terjadi perkembangan bahwa B.W. Nederland sekarang telah mengenal lembaga adoptie)1. Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang perkawinan sebagai bentuk hidup bersama bukan untuk mengadakan keturunan.2 Selain dalam hukum adat, pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad 1917 No.129, khususnya Bab II. Di dalam Staatsblad tersebut pengangkatan anak dikenal dengan istilah adopsi. Adapun Hal yang menjadi latar belakang diaturnya lembaga pengangkatan anak (adopsi) dalam Hukum Perdata Barat adalah Kitab Undangundang Hukum Perdata diberlakukan pula untuk golongan Tionghoa dimana masyarakat mengenal adanya pengangkatan anak (adopsi). Menurut tradisi mereka, dalam keluarga harus ada anak lakilaki untuk melanjutkan keturunan dalam garis keturunan lurus laki-laki. Karena, hanya anak yang wajib memelihara kuburan dan sembahyang abu untuk nenek moyang. Oleh karena itu, jika tidak ada keturunan laki-laki maka seyogyanya
Tujuan Pengangkatan Anak Hakikat dari suatu perkawinan adalah bertujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam masyarakat suatu keluarga dianggap sebagai keluarga yang lengkap apabila keluarga tersebut terdiri dari suami, istri dan anak. Namun pada kenyataannya banyak keluarga yang tidak lengkap
1
Soetojo Prawirohamijojo, 2000, Hukum Orang dan Keluarga (Personen En Familie-Recht), Surabaya : Airlangga University Press, hal. 194. 2 Ali Afandi, 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta, hal.149.
3
Soetojo Prawiroharridjojo, Op cit, hal. 194.
atau dengan kata lain tidak memiliki anak. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, mungkin karena belum mempunyai anak atau bahkan karena pasangan suami istri tersebut memang tidak dapat memiliki anak. Berdasarkan hal tersebut, maka pengangkatan anak merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan tersebut. Imam Sudiyat dalam bukunya mengatakan bahwa pengangkatan anak tidak hanya dilakukan oleh keluarga yang tidak memiliki anak, tetapi tidak jarang pengangkatan anak juga dilakukan oleh keluarga yang sudah mempunyai anak. Dari hal tersebut diketahui bahwa bukan hanya pasangan suami istri yang tidak rnempunyai anak saja yang dapat melakukan pengangkatan anak, namun mereka yang telah mempunyai anak pun dapat pula melakukan pengangkatan anak. 4 Pasal 5 ayat (1) Staatsblad 1917 No.129 mengatakan bahwa, "Bila seorang laki-laki yang kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki naik karena perhubungan darah maupun karena pengangkatan anak, dapat mengangkat seorang sebagai anak laki-lakinya. Dari ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa yang mendorong seorang untuk mengangkat anak (mengadopsi) adalah karena tidak mempunyai anak laki-laki dalam keluarganya. Hal tersebut disebabkan Staatsblad tersebut menganut filosofi dan budaya masyarakat keturunan Tionghoa yang didasarkan adat istiadat dan kepercayaan mereka. Pengangkatan anak lakilaki dimaksudkan untuk melanjutkan pemujaan kepada leluhur yang hanya dapat dilakukan oleh seorang anak laki-laki. Selain itu, pengangkatan anak laki-laki juga untuk mempertahankan garis keturunan karena masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Sehingga apabila mereka tidak mempunyai seorang anak laki-laki mereka akan berusaha mendapatkannya dengan jalan mengangkat anak laki-laki. Dalam hukunn adat, tujuan dari pengangkalan anak tersebut dibedakan dari masingmasing daerah. Hal tersebut didasarkan pada sistem kekeluargaan yang dikenal dalam masyarakat Indonesia yaitu, patrilineal, matrilineal dan parental. Namun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak menunjukan adanya persamaan diantara sistem kekeluargaan satu dengan sistem kekeluargaan yang lain. Sifat kesamaan dalam hukum adat tetaplah sama. Isti Sulistyorini berpendapat bahwa tujuan pengangkatan anak sangat bervariasi, antara lain: 1. Karena tidak mempunyai anak. 2. Karena belas kasihan. 3. Karena hanya mempunyai anak laki-laki maka diangkatlah anak perempuan dan sebaliknya. 4. Sebagai upaya memancing agar segera mempunyai anak karena, lama tidak mengandung.
5. 6. 7.
Untuk mempererat tali persaudaraan. Untuk menambah/membantu dalam usaha. Karena unsur budaya.5 Motivasi yang beragam tersebut disebabkan karena keberagaman suku, adat dan kebiasaan di Indonesia. Terlaksananya proses pengangkatan anak tersebut tidak terlepas dari para pihak baik orang tua kandung maupun orang tua angkat. Para pihak mempunyai latar belakang yang mendasari pelaksanaan pengangkatan anak tersebut. Ikut sertanya orang tua kandung dalam pelaksanaan pengangkatan anak antara lain disebabkan oleh: a. Merasa tidak mampu untuk membesarkan anaknya; b. Melihat adanya kesempatan untuk meringankan beban oleh karena ada yang ingin mengangkat anak; c. Adanya imbalan pada persetujuan anak kandungnya diangkat oleh orang tua angkat; d. Nasib atau pandangan orang lain disekelilingnya; e. Ingin anaknya tertolong material selanjutnya; f. Masih mempunyai anak lainnya; g. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri; h. Merasa bertanggung jawab atas masa depan anaknya; i. Tidak menghendaki anak yang dikandungnya karena hubungan yang tidak sah. 6 Pada mulanya pengangkatan anak mengandung maksud untuk memenuhi kebuluhan dan kepentingan orang tua yang mengangkat anak yang antara lain untuk memperoleh anak dalam hal orang tua angkat tersebut tidak mempunyai anak. Namun dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat, pengangkatan anak dilaksanakan dengan maksud dan tujuan tidak lagi semata-mata untuk kepentingan orang tua angkat lagi tetapi demi kesejahteraan dan masa depan anak. Ketentuan mengenai pengangkatan anak yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamat Agung No.6 Tahun 1933 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979, Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menunjukkan kesungguhan untuk mewujudkan pelaksanaan pengangkatan anak yang didasarkan pada tujuan kesejahteraan anak. Pada Surat Edaran Mahkamah Agung No.61 Tahun 1983, perwujudan pengangkatan anak dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan anak tercermin dari proses pemeriksaan terhadapan pengangkatan anak tersebut. Dalam hal tersebut, hakim-hakim pengadilan harus memperoleh 5
4
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat dan Sketsa, Yogyakarta: Liberty, hal. 102.
Isti Sulistyorini, Loc.Cit. Arif Gosida. 1985. Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademika, hal. 26. 6
gambaran yang benar tentang motivasi pengangkatan anak, hak dari pihak yang akan melepaskan anak maupun pihak yang akan mengangkat anak. Apabila diketahui ada alasan dari para orang tua angkat dalam pelaksanaan pengangkatan anak tersebut yang menyebabkan berkurangnya jaminan kesejahteraan terhadap calon anak angkat, maka dapat dijadikan alasan bagi hakim untuk menolak pengangkatan anak tersebut. Pengangkatan anak yang didasarkan pada pengutamaan kesejahteraan anak ini didorong oleh keinginan mewujudkan hak-hak anak seperti yang tertuang dalam "Declaration of the Right of The Child" (Deklarasi Hak-Hak Anak) yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1959. Tujuan pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dipertegas dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan unian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak ada bermacam-macam. Tujuan pengangkatan anak (adopsi) bagi orang Tionghoa sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1917 No.129 adalah untuk meneruskan keturunan laki-laki. Tujuan pcngangkatan anak menurut hukum Adat bersifat variatif. Menurut hukum Islam, pengangkatan anak bertujuan sebagai suatu amal yang baik. Sedangkan pengangkatan anak menurut peraturan perundangundangan yang berlaku bertujuan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Macam- macam Pengangkatan Anak Musthofa Sy. dalam bukunya mengelompokan pengangkatan anak berdasarkan beberapa kategori, diantaranya kewarganegaraan orang tua angkat, status perkawinan calon orang tua angkat, keberadaan anak yang akan diangkat dan akibat hukum pengangkatan anak. Dilihat dari kewarganegaraan orang tua angkat, pengangkatan anak dibedakan menjadi dua macam, yaitu pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (domestic adoption) dan pengangkatan anak internasional (intercountry adoption). Domestic adoption adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua angkat WNI terhadap anak angkat WNI. Sedangkan intercountry adoption adalah pengangkatan anak, yang dilakukan oleh orang tua angkat WNI terhadap anak angkat WNA atau pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua angkat WNA terhadap anak angkat WNI.7 7
Musthofa Sy., Op.cit. hal. 42.
Dilihat dari status perkawinan calon orang tua angkat, pengangkatan anak dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat berstatus belum kawin (single parent adoption), pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat berstatus kawin dan pengangkatan anak yang dilakukan oleh janda atau duda (posthurrus adoption).8 Dilihat dari keberadaan anak yang akan diangkat, pengangkatan anak dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada dalam kekuasaan orang tua kandung atau orang tua asal (private adoption), pengangkatan anak yang dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada dalam organisasi social (non private adoption) dan anak angkat yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua asal maupun organisasi sosial misalnya anak yang ditemukan karena dibuang oleh orangtuanya. 9 Dilihat dari akibat hukum pengangkatan anak, dalam kepustakaan hukum biasanya membedakan pengangkatan anak menjadi dua macam, yaitu pengangkatan anak berakibat hukum sempurna (adoption plena) dan pengangkatan arak berakibat hukum terbatas (adoption minus plena).10 Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dari akibat hukumnya, maka pengertian pengangkatan anak (adopsi) berdasarkan Staatsblad 1917 No. 1129 dapat dimasukan ke dalam pengangkatan anak berakibat hukum sempuma (adoption plena). Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat bersifat variatif, sehingga pengangkatan anak menurut hukum adat ada yang termasuk pengangkatan anak berakibat hukum sempurna (adoption plena) dan ada pula vang termasuk pengangkatan anak berakibat hukum terbatas (adoption minus plena). Sedangkan pengangkatan anak menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undang yang berlaku dapat dimasukan ke dalam pengangkatan anak berakibat hukum terbatas (adoption minus plena). Dasar Hukum Pengangkatan Anak Pengangkatan anak melibatkan peran pengadilan diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Staatsblad 1917 No.l29. pengadilan mempunyai kewenangan untuk memberi izin pengangkatan anak bagi janda cerai mati apabila izin dari keluarga mendiang suaminya tidak diperoleh izin pengadilan itu harus disebutkan dalam akta pengangkatan anak. Ketentuan yang membolehkan janda cerai mati untuk melakukan pengangkatan anak adalah pengecualiaan dengan beberapa syarat sebagrimana Pasal 5 ayat (3) Staatsblad tersebut mengatur. Syarat lain bagi jauda perlu 8
Ibid Ibid 10 Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1983, Sendisendi Hukum Perdata International, Jakarta: Rajawali, hal. 44-45. 9
mendapatkan kata sepakat dari saudara laki-laki yang telah dewasa dan ayah mendiang suaminya lebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4). Apabila izin dari keluarga mendiang suaminya tidak diperoleh, maka izin dapat diperoleh melalui izin pengadilan. Pengangkatan anak golongan Tionghoa hanya untuk laki-laki, sehingga menutup peluang pengangkatan anak perempuan melalui notaris. Keinginan WNI keturunan Tionghoa untuk melakukan pengangkatan terhadap anak perempuan tidak tertampung oleh lembaga tersebut dan notaris menolak terhadap pengangkatan anak yang demikian. Demikian pula pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat yang belum menikah. Untuk bisa melakukan pengangkatan anak yang demikian Itu harus ditempuh melalui putusan pengadilan. Putusan-putusan pengadilan telah mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam perkembangan lembaga pengangkatan anak. Pengangkatan anak melalui pengadilan akan memberikan perlindungan kepentingan anak dan kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan European Convention on the Adoption of Children (Konvensi Adopsi Den Haaag Tahun 1965) yang menetapkan bahwa penetapan atau putusan pengadilan merupakan syarat esensial bagi sahnya pengangkatan anak. Dalam perkembangannya, permohonan pengangkatan anak melalui pengadilan semakin banyak. Semula hanya dikenal pengangkatan anak menurut Staatsblad 1917 Mo. 129 dan hukum adat namun kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Rl No.7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil memungkinkan pengangkatan anak untuk memperoleh tunjangan anak. Selain itu, berdasarkan Pasal 2 Undang-undanp, No.62 Tahun 1958 banyak terjadi pengangkatan anak warga negara asing yang belurn berumur 5 (lima) tahun oleh warga Negara Indonesia. 11 Jumlah permohonan pengangkatan anak yang diajukan ke Pengadilan Negeri terus bertambah, baik yang dikumulasikan dengan gugatan perdata maupun diajukan dalam permohonan khusus. Hal ini menunjukan pergeseran variasi motif pengangkatan anak dan kebutuhan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan untuk memperoleh kepastian hukum hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan. 12 Dalam perkembangannya, khusus mengenai pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat WNA melalui notaris, Menteri Kehakiman dengan Surat edaran No.THA 1/1/2 tanggal 24 Februari 1978 melarang notaris membuatkan akta pengangkatan anak dan pengangkatan anak tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui 11
Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hal. 36-37 12 Musthofa Sy., 2008, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana, hal. 55.
Pengadilan Negeri. Atas keluarnya surat edaran tersebut, Menteri Sosial menindaklanjuti dengan Surat Edaran No.Huk 3-1-58.78 tanggal 7 Desember 1978. Selanjutnya Mahkamah Agung RI memberikan petunjuk mengenai pengangkatan anak antar-negara (intercountry adoption) dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 tanggal 7 April 1979. 13 Berdasarkan SEMA Ko.6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979, pengangkatan anak yang dilakukan oleh golongan Tionghoa melalui notaris tidak dibenarkan tetapi harus melalui pengadilan. 14 Demikian pula berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977, anak angkat dapat diajukan untuk mendapat tunjangan anak bagi Pegawai Negeri Sipil, maka banyak permohonan pengangkatan anak yang diajukan ke Pengadilan Negeri. 15 Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 membedakan pengangkatan anak menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: a. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak antar-WNI (domestic adoption). b. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNl (intercountry adoption). c. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat WNA (intercountry adoption). Dengan belakunya Surat Edaran Mahkamah Agung No.5 Tahun 1983 maka Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 dianggap tidak berlaku lagi. Pengadilan yang dimaksud untuk pengangkatan anak pada saat itu adalah Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama di lingkungan Peradilan Umum. Peradilan Unnnn adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Kekuasaan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan segala perkara pidana dan perdata di tingkat pertama, kecuali peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan secara khusus kepada pengadilan lain (attributie van rechismacht), yaitu 13
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 260. Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum, Beberapa Yurisprudensi Perdata yang penting serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal. 551. 15 Amir Martosedono, 1999, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Semarang Dahara Prize, hal. 23-28. 14
Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tala Usaha Negara. Kewenangan terhndap perkara pengangkatan anak belum ada pelimpahan kepada pengadilan lain pada saat itu, oleh karenanya semua perkara yang berkaitan pengangkatan anak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. III. Hasil Penelitian Dan Pembahasan A. Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan Anak Pada prinsipnya tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pengangkatan anak dilakukan dengan penetapan dari pengadilan. Hal tersebut karena penetapan pengadilan tersebut hanya berfungsi untuk menguatkan pengangkatan anak yang dilakukan dan untuk lebih memberikan jaminan hukum pengangkatan anak adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum adat, hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut tergantung pada dipenuhi atau tidaknya syarat-syarat dan tata cara dalam melakukan pengangkatan anak. Sebagai contoh yaitu dalam hal harus adanya persetujuan dari masing-masing pihak, baik pihak yang mengangkat anak ataupun pihak yang akan melepaskan anak tersebut. Jika tidak ada persetujuan dari salah satu pihak, maka pengangkatan anak tersebnt dianggap tidak sah. Menurut hukum adat, syarat dan tata cara pengangkatan anak pada umumnya dilaksanakan dengan beberapa cara. Cara tersebut sangat bergantung pada tujuan dan akibat hukum dari dilakukannya perbuatan pengangkatan anak tersebut, yaitu: 16 1. Pengangkatan Anak Secara Terang Dan Tunai Pengangkatan anak dalam cara ini dilakukan olch masyarakat yang yang menganut perbuatan hukum pengangkatan anak sebagai perbuatan hukum untuk menjadikan anak orang lain sebagai anak kandung. Anak angkat pada masyarakat ini selain dimasukan ke dalam ikatan somah (rumah tangga) orang tua angkatnya, ia juga secara sosial dimasukkan pula ke dalam ikatan kekerabatan orang tua angkatnya. Selain itu anak angkat menduduki posisi sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya baik terhadap harta benda yang bersifat materiil maupun untuk benda-benda imateriil (gelar-gelar adat dan kebangsaan). Secara terang berarti bahwa pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan sepengetahuan dan dihadapan kepala persekutuan (kepala adat) dengan melakukan upacara-upacara adat. Hal ini dilakukan dengan maksud agar khalayak ramai dapat mengetahui bahwa telah terjadi tindakan untuk 16
Afdol, 2007, Pengangkatan Anak dan Aspek hukumnya Menurut Hukum Adat, Suara Uldilag Vol.3 No.XI September 2007, MA RI, Jakarta, hal.63.
2.
17
memutuskan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya sendiri dan memasukan anak angkat tersebut ke dalam ikatan hak dan kewajiban orang tua angkat dan kerabat angkatnya. Hal tersebut terdapat dalam pengangkatan anak di Bali. Di Bali pemutusan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya ditandai dengan adanya upacara pembakaran seutas benang (tali) hingga putus. Sedangkan di daerah Pasemah (Sumatera Selatan), pengangkatan anak dilakukan secara terang dihadapan orang sedusun (laman dusun). Sedangkan yang dimaksud dengan secara tunai adalah pengangkatan anak tersebut harus disertai dengan pemberian atau pembayaran adat, berupa benda-benda magis, uang atau pakaian. Pengangkatan anak dianggap telah selesai dengan adanya pemberian-pemberian tersebut. Pada saat itu juga anak angkat beralih bubungan hukumnya dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya. Pengangkatan anak selesai seketika itu juga dan tidak mungkin ditarik kembali (eenmalig).17 Prinsip terang ini juga terdapat di Bali melalui pembayaran adat berupa 1000 (seribu) kepeng. Sedangkan di Jawa Timur terdapat satu lembaga yang menyatakan pengangkatan anak itu suatu perbuatan kontan, yaitu dengan pembayaran mata uang sejumlah rong wang segobang (17 ½ sen) kepada orang tua kandung sebagai sarana magis untuk memutus ikatan anak dengan orang tua kandungnya. 18 Pengangkatan Anak Tidak Secara Terang Dan Tunai Pengangkatan anak yang tidak bertujuan untuk menjadikan anak angkat sebagai anak kandung tidak harus dilakukan secara terang dan tunai. Di Jawa, pengangkatan anak pada umumnya tidak memutus pertalian kerabat antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya. Sifat pengangkatan anak pada masyarakat ini umumnya hanya untuk memasukan anak angkat itu ke dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkatnya saja. Anak angkat dalam hal ini tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan orang tua angkatnya. Anak angkat yang diangkat pada umumnya adalah keponakannya sendiri, baik laki-laki atau perempuan. Dasar pengangkatan anak seperti ini adalah untuk: a. Untuk memperkuat pertalian orang tua anak yang diangkat; b. Kadang-kadang oleh sebab belas kasihan, jadi pengangkatan anak untuk menolong anak angkat tersebut;
Bushar Muhammad, 1985, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 33 18 Imam Sudiyat, Op.cit. hal. 103.
c.
3.
Berhubungan dengan kepercayaan, jika mengangkat anak akan mendapat anak sendiri; d. Mungkin pula untuk mendapat laki-laki di rumah yang dapat membantu pekerjaan orang tua angkat sehari-hari. 19 Pada bentuk pengangkatan anak pada masyarakat di atas, perbuatan hukum pengangkatan anak itu tidak dilakukan secara terang dan tunai. Bahwa hal tersebut tidak harus dilakukan di hadapan dan sepengetahuan kepala adat untuk keabsahannya. Selain itu tidak ada keharusan untuk melakukan pemberian-pemberian atau pembayaran adat kepada orang tua kandung dari anak angkat tersebut. Pengangkatan anak pada masyarakat ini tidak memutus hubungan hukum hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Sehingga ia tetap akan bertindak sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya. Sementara itu anak angkat juga berhak memperoleh bagian dari harta gono-gini orang tua angkatnya sebagai anggota rumah tangga dari orang tua angkatnya. Akibat dari tidak dilakukannya pengangkatan anak secara terang dan tunai maka pada mayarakat ini sering terjadi keraguraguan apakah anak tersebut telah diangkat sebagai anak dari orang tua angkatnya sehingga mempunyai hak-hak tertentu terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya kelak, atau anak tesebut hanya sebagai anak yang dipelihara saja sehingga tidak mempunyai hakhak tersebut. Meskipun demikian, Soepomo dalam bukunya mengatakan, bahwa : Bagaimanapun juga dengan mengambil anak sebagai anak angkat dan memelihara anak itu hingga menjadi orang dewasa yang kuat gawe, maka timbul dan berkembanglah hubungan rumah tangga (gezinsverhouding) antara bapak dan ibu angkat disatu pihak dan anak angkat di lain pihak. Hubungan rumah tangga ini menimbulkan hak-hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, yang mempunyai k konsekuensi terhadap harta benda rumah tangga tersebut.20 Pengangkatan Anak Hanya Secara Tunai Saja Secara terbatas perbutan pengangkatan anak yang hanya dilakukan secara tunai saja dapat ditemui dalam masyarakat Indonesia. Sebagai contoh pada masyarakat suku Rejang (Bengkulu), seorang ayah yang karena perkawinannya tidak berhak atas seorang anak pun yang lahir dari perkawinannya. Hal tersebut disebabkan karena si ayah tersebut hanya mampu membayar kurang dari setengah uang adat (pelapik) yang disyaratkan oleh pihak keluarga istrinya pada saat
perkawinannya. Maka secara adat semua anak yang lahir dari perkawinannya akan masuk klan (tobo) ibunya dan si ayah tidak berhak untuk itu. Meskipun demikian, hukum adat daerah tersebut masih memberi kesempatan kepada si ayah untuk mengambil seorang anak dari perkawinannya itu untuk dimasukan ke dalam klan-nya sendiri. Agar dapat melakukan hal tersebut, si ayah harus melakukan pembayaran uang adat yang disebut dengan uang pedaut kepada istrinya. Adanya pemberian uang pedaut dari si ayah kepada keluarga istrinya yang berakibat si ayah dapat memasukan anak itu ke dalam klannya itu dan pada saat bersamaan memutuskan hubungan hukum anak Itu dengan ibunya (istrinya) dan kerabat ibunya itu dipandang sebagai suatu perbuatan pengangkatan anak pula. Hanya saja pada bentuk pengangkatan anak semacam ini tidak perlu dilakukan secara terang yang harus dilakukan dengan upacara-upacara adat dan dengan bantuan oleh kepala persekutuan (pasirah) sehingga semua orang lain mengetahuinya. Hal tersebut disebabkan karena hanya terjadi pergeseran hubungan hukum terhadap orang-orang yang telah hidup sekeluarga (serumah tangga) tersebut.21 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa pengangkatan anak berdasarkan hukum adat dapat dilakukan secara terang yang berarti wajib dilakukan dengan upacara-upacara adat dan dengan bantuan kepala adat dan tunai yaitu dengan pembayaran adat berupa sejumlah uang atau benda-benda yang mempunyai nilai magis oleh keluarga yang mengangkat anak bagi keluarga kandung dari anak yang diangkat. Selain itu pengangkatan anak berdasarkan hukum adat juga dapat dilakukan tidak secara terang dan tunai serta dapat pula dilakukan hanya secara tunai saja. Sedangkan Staatsblad 1917 No. 129 menentukan bahwa pihak-pihak yang dapat melakukan pengangkatan anak (adopsi) adalah: a. Seorang laki-laki yang sudah atau pernah kawin tapi tidak mempunyai keturunan laki-laki, baik karena hubungan darah maupun dari pengangkatan anak. b. Dilakukan oleh suami istri secara bersamasama dan apabila perkawinan telah bubar, maka dapat dilakukan oleh pihak suami sendiri. c. Jika suami meninggal lebih dahulu tanpa meninggalkan keturunan laki-laki, maka janda yang tidak kawin lagi dapat mengadopsi anak laki-laki sebagai anaknya (adoptie posthuum). Adopsi oleh janda dilarang jika suami dalam wasiatnya
19
Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 102. 20 Ibid
21
Abdullah Siddik,1980, Hukum Adat Rejang, Jakarta: Dalai Pustaka, hal. 232.
menyatakan bahwa ia tidak menghendaki adopsi oleh jandanya. Staatsblad 1917 No. 129 menentukan bahwa adopsi hanya dapat dilakukan terhadap seorang laki-laki dari golongan Tionghoa yang tidak kawin dan tidak mempunyai anak serta belum diadopsi oleh orang lain. Selain itu harus diperhatikan perbedaan usia antara anak yang akan diadopsi dengan orang tua angkatnya. Perbedaan umur tersebut adalah paling sedikit 18 (Jelapan belas) tahun lebih muda dari usia suami dan paling sedikit 15 (lima belas) tahun lebih muda dari usia istri atau janda yang mengadopsinya. Jika yang diadopsi itu seorang anak dari keluarga sedarah, misalnya dari saudara pihak laki-laki atau wanita akan mengadopsi anak laki-laki dari pamannya, maka hal ini tidak diperkenankan. Berdasarkan Stoatsblad 1917 No.129 adopsi juga harus dilakukan dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak, yaitu baik pihak yang melepaskan anak dan pihak orang tua angkat. Untuk lebih jelasnya kata sepakat dalam melakukan adopsi tersebut harus dilakukan dengan cara seperti tersebut dibawah ini: 1. Antara suami istri yang hendak mengangkat anak harus ada kesepakatan. Hal ini berarti bahwa seorang laki-laki yang telah beristri tidak dapat mengadopsi anak bila istrinya tidak memberikan kesepakatan dan menolak untuk ikut serta menandatangani akta notaris. 2. a. Jika yang diangkat itu anak sah, maka harus ada kata sepakat dari bapak dan ibu kandungnya. Kalau salah satu dari mereka sudah meninggal maka harus ada kata sepakat dari pihak orang tua yang masih hidup baik itu bapak ataupun ibunya. Namun dalam hal pihak ibu kandung yang masih hidup dan kemudian dia kawin lagi atau jika kedua orang tua dari anak telah meninggal dunia, maka harus ada kata sepakal dari pihak wali anak angkat atau dari Balai Harta Peninggalan. b. Jika yang diaugkat tersebut anak luar kawin, maka harus ada kata sepakat dari orang tua yang mcngakuinya. Bila salah satu dari orang tua yang mengakuinya tersebut telah meninggal, maka harus ada kata sepakat dari atau ibunya yang masih hidup. Dalam hal orang tua tersebut tidak lagi mengakui atau keduanya mengakui tapi sudah meninggal, maka harus ada kata sepakat dari walinya atau dari Balai Harta Peninggalan. 3. Jika yang akan diadopsi telah mencapai umur 15 tahun, maka anak yang bersangkutan harus memberikan juga kesepakatannya.
4. Bila adopsi dilakukan oleh seorang janda maka diperlukan kesepakatan dari saudara ipar laki-laki yang telah dewasa (meederjarig) dan ayah mendiang suaminya. Jika mereka tidak ada lagi atau orang-orang tersebut tidak bertempat tinggal di Indonesia, maka diperlukan kesepakatan dari dua anggota laki-laki sedarah yang telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia dari pihak ayah suami sampai dengan derajat keempat. Jika tidak diperoleh kesepakatan (toestemming) dari sanak keluarga yang dimaksud oleh pasal 8 ayat (4), karena mereka bukan ayah atau wali dari anak yang diangkat atau tidak ada sanak keluarga laki-laki sampai dengan derajat keempat, maka kesepakatan tersebut dapat digantikan dengan kuasa dari hakim (Pengadilan Negeri) di tempat tinggal sang janda. Keputusan pengadilan yang diberikan atas permohonan janda tersebut tak dapat diajukan banding ataupun kasasi. Staatsblad 1917 No.129 juga menentukan bahwa adopsi hanya dapat dilakukan dengan akta notaris. Jika yang berkepentingan tidak dapat menghadap sendiri di muka notaris, maka boleh diwakili oleh seorang kuasa yang diangkat dengan akte notaris yang khusus dibuat untuk keperluan itu. Semua Kesepakatan yang diperlukan dapat diberikan dengan menggunakan akta notrris tersendiri, kecuali ayah atau wali dari sang anak yang akan menyerahkan anak itu untuk diadopsi. Setiap orang yang berkepentingan berhak meminta pada Catatan Sipil agar diberi catatan mengenai adopsi itu di pinggir akta kelahirannya. Tetapi, tanpa adanya catatan adopsi tersebut tidak dapat digunakan untuk menentang keabsahan adopsi. Dengan kata lain, tidak ada akibat hukumnya apabila catatan adopsi tersebut tidak dibuatkan. Adopsi berdasarkan Staatsblad 1917 No. 129 tidak dapat dibatalkan atas dasar kesepakatan bersama. Sedangkan adopsi anak perempuan dan adopsi dengan cara lain daripada akta notaris adalah batal demi hukum. Adopsi dapat dinyakan batal apabila bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, atau ayat (2) dan (3) pasal 10. Untuk pengangkatan anak yang dimintakan pengesahannya ke Pengadilan Negeri maka harus dilakukan menurut ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 Tentang penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979. Syarat dan bentuk surat permohonan dalam pengangkatan anak tersebut menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 adalah sebagai berikut: 1. Permohonan tersebut diajukan dengan cara lisan dengan hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Negeri maupun dengan cara tertulis dengan menggunakan surat permohonan. 2. Dapat diajukan oleh pemohon sendiri atau kuasanya. Namun demikian, meskipun pemohon memakai seorang kuasa, dia wajib hadir dalam pemeriksaan sidang di Pengadilan Negeri. 3. Surat permohonan tersebut dibubuhi materai secukupnya. 4. Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal domisili dari anak yang diangkat tersebut. Di dalam surat permohonan tersebut harus memuat: 1. Motivasi yang dijadikan dasar diajukannya permohonan pengangkatan anak tersebut. 2. Penjelasan mengenai tujuan pengangkatan anak, yaitu terutama untuk kepentingan calon anak angkat yang bersangkutan serta adanya gambaran mengenai kemungkinan hari depan anak tersebut setelah pengangkatan anak terjadi. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 menentukan bahwa pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dapat dilakukan baik terhadap pihak-pihak di luar panti asuhan atau yayasan sosial (private adoption) maupun terhadap anak-anak yang berada dalam panti asuhan atau yayasan sosial. Dalam hal anak yang akan diangkat tersebut berada dalam panti asuhan atau yayasan sosial, maka Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 menentukan bahwa surat permohonan pengangkatan anak tersebut harus dilampiri dengan surat izin tertulis dari menteri sosial. Dalam surat izin tersebut hanya menyatakan bahwa yayasan atau organisasi sosial yang bersangkutan telah diijinkan bergerak dibidang pengangkatan anak serta bagi calon anak angkat harus mempunyai izin tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang ditunjuk yang menyatakan bahwa anak tersebul telah diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat. Untuk pengangkatan anak secara umum yang dilakukan melalui yayasan atau rumah sakit, dilaluikan sebagai berikut: Seorang, yang bermaksud melakukan pengangkatan anak mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada yayasan, panti asuhan atau rumah sakit biasanya ada syaratsyarat yang harus dipenuhi. Karena undangundang yang khusus mengenai pengangkatan anak belum ada, maka yang dipakai sebagai pedoman adalah Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan anak dari yayasan atau rumah sakit yaitu
dengan cara diajukan permohonan dari pihak yang ingin mengangkat anak yang isinya antara lain identitas dari orang mengangkat baik itu merupakan pasangan suami istri, janda atau duda atau bahkan orang yang masih berstatus lajang, pekerjaan dan alamat tempat tinggal. Dalam permohonan tersebut harus disertai alasan-alasan dan tujuan dari perbuatan pengangkatan anak. Demikian juga identitas dari anak yang akan diangkat (nama, umur, tempat asil atau tempat tinggal harus dicantumkan). Apabila anak tersebut masih mempunyai orang tua kandung maka dibuatkan surat persetujuan yang ditandatangani oleh lurah dan camat. Andaikata anak yang diangkat sudah tidak mempunyai orang tua atau saudara-saudara maka yang berwenang adalah yayasan atau rumah sakit yang mengasuh anak tersebut. Khusus bagi pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia yang dilakukan terhadap anak-anak yang berada dalam panti asuhan atau yayasan sosial maka pelaksanaannya didasarkan menurut ketentuan yang berlaku dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 menentukan tata cara permohonan untuk mendapat izin pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia yaitu sebagai beikut: 1. Mengajukan pemohonan untuk mendapatkan ijin pengangkatan anak secara tertulis diatas kertas bermaterai cukup kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi dimana yayasan atau organisasi sosial tersebut berada. 2. Tembusan dari surat permohonan tersebut disampaikan kepada Menteri Sosial melalui Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial. 3. Kemudian diadakan penelaahan dan penelitian atas perrnohonan yang diajukan kepada Kantor Wilayah Departemen Sosial dibantu oleh Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak Provinsi. 4. Berdasarkan laporan sosial dari pekerja sosial tersebut maka kepala sektor provinsi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya permohonan pengangkatan anak tersebut apabila ditolak maka harus disebutkan alasan-alasannya. Selain itu, di dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 tersebut juga menentukan bahwa umur orang tua angkat minimal 30 tahun dan maksimal 45 tahun dan mereka harus telah menikah minimal 5 tahun. Akan tetapi Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 memberikan pengecualian dalam hal pasangan suami isteri tersebut telah dinyatakan dengan surat keterangan dokter bahwa mereka tidak
mungkin mempunyai anak atau melahirkan anak. Sehingga berkaitan dengan hal tersebut maka mereka dapat melakukan pengangkatan anak walaupun usia perkawinannya belum mencapai 5 tahun. Mengenai selisih umur antara orang tua angkat dengan anak angkat tidak diatur dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun 1993. Hal tersebut diatur dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.41 Tahun 1984 yaitu selisih umurnya minimal 20 tahun. Sedangkan alasan yang digunakan untuk mengangkat anak yang berasal dari panti asuhan atau yayasan sosial menurut Surat Keputusan Menten Sosial No.41 Tahun 1984 adalah sebagai berikut: 1. Tidak mungkin mempunyai anak. 2. Belum mempunyai anak. 3. Hanya mempunyai anak kandung seorang. 4. Mempunyai seorang anak angkat dan tidak mempunyai anak kandung. Selanjutnya dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun 1993 alasan bahwa hanya mempunyai seorang anak angkat dan tidak mempunyai anak kandmg tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat dilakukannya pengangkatan anak. Selain alasan-alasan tersebut, calon orang tua angkat juga harus mampu dalam hal ekonomi dan sosial. Hal tersebut bertujuan tidak lain untuk kesejahteraan dan kepentingan calon anak angkat. Lebih jauh lagi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun 1993 bersifat melengkapi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983. Hal tersebut antara lain dalam hal minimal usia perkawinan calon orang tua angkat untuk melakukan pengangkatan anak adalah 5 tahun, sementara hal tersebut tidak diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983. Mengenai batas usia calon orang tua angkat, di dalam Surat Kepulusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 menentukan maksimal 45 tahun dan minimal 30 tahun. Hal tersebut bertujuan agar anak angkat dapat dipelihara dan dididik oleh calon orang tua angkatnya sampai dewasa. Selain itu Surat Kepatusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 juga mengatur mengenai selisih usia antara anak angkat dengan calon orang tua angkat, yaitu 20 tahun. Kedua hal tersebut juga tidak diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983. Ketentuan mengenai syarat-syarat pengangkatan anak kemudian diubah dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Dengan berlakunya ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tersebut. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Hingga saat ini, peraturan perundangundangan yang secara khusus mengatur mengenai pengangkatan anak belum ada, begitu pula hingga saat ini belum ada pengatnran yang pasti mengenai akibat hukum dari pelaksanaan pengangkatan anak. Dalam ketentuan-ketentuan pengangkatan anak menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 maupun Surat Keputusan Menteri Sosial No.41/HUR/NEP/VII/1984 maupun penyempurnaannya yaitu Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tidak disebutkan mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak. Namun demikian di dalam pasal 39 ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 4 Peraturan Pemerinlah No.54 Tahon 2007 dinyatakan bahwa, "Pengangkatan anak berdasarkan tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan". Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukannya pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua Kandungnya. Sedangkan pengangkatrn anak (adopsi) menurut Staatsblad 1917 No. 129 menimbulkan akibat hukum bahwa anak yang diangkat oleh suami istri sebagai anak mereka, dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri tersebut. Hubungan peidata antara orang tua dengan sanak keluarganya di satu pihak dengan anak tersebut di lain pihak menjadi putus, dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak yang diadopsi itu mempunyai nama keluarga lain, karena hukum akan memperbolehkan nama keluarga dari ayah yang mengadopsi. Jika seorang suami mengadopsi anak setelah perkawinan bubar, maka anak tersebut dianggap lahir dari perkawinan pria tersebut yang telah bubar karena kematian istrinya. Maksud ketentuan tersebut adalah anak itu harus dianggap telah dilahirkan dari suatu perkawinan fiktif, yaitu perkawinan antara ayahnya dengan seorang wanita yang sesungguhnya tidak ada, yang telah bubar karena istri telah meninggal dunia. Beberapa pakar berpendapat bahwa maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa adopsi oleh seorang suami setelah perkawinan bubar hanya mempunyai akibat hukum terhadap dia sendiri dan sanak keluarganya akan tetapi tidak terhadap bekas istri atau sanak keluarganya. Lain halnya jika seorang janda mengadopsi anak setelah suaminya meninggal dunia, maka anak yang diadopsi hanya dapat dianggap sebagai ahli waris suami dari ibu angkatnya jika suami tidak
memberikan ketentuan-ketentuan atau harta peninggalannya di dalam wasiatnya, maka hal ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam wasiat suami yang telah meninggal dunia tidak dapat diganggu gugat oleh anak angkat. Dengan demikian maka anak angkat tidak mempunyai legitime portie atas warisan suami dari ibu angkatnya. Selain itu, pasal 13 ayat (1) memerintahkan apabila seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan istri yang berwenang untuk mengadopsi, maka Balai Harta Peninggalan wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu dan mendesak untuk menyelamatkan dan mengurus harta peninggalannya yang akan jatuh pada anak yang diadopsi. Sedangkan hak-hak pihak ketiga yang dapat dipengaruhi oleh adopsi ini tetap ditangguhkan sampai dengan dilakukannya adopsi. Tenggang waktu penangguhan itu selambat-lambatnya selama yang dimaksud oleh pasal 12 ayat (3) yaitu satu bulan. Adopsi yang telah dilakukan dalam jangka waktu enam bulan setelah meninggalnya suami atau janda dalam tenggang waktu itu telah meminta izin dari hakim seperti yang dimaksud dalam pasal 9. lalu dalam waktu satu bulan setelah izin atau kuasa itu diperoleh, ia baru menggunakan haknya. Apabila seorang janda yang melakukan adopsi, maka anak tersebut dianggap sebagai anak yang lahir dari janda tersebut dengan suaminya yang telah meninggal. Dari pengertian tersebut anak angkat akan mendapatkan bagian warisan almarhum ayah angkatnya sejauh tidak ditentukan lain dalam surat wasiat almarhum semasa hidupnya dan sejauh adopsi tersebut dilakukan dalam jangka waktu 6 bulan terhitung mulai saat meninggalnya almarhum. Kemudian Pasal 14 Staatsblud 1917 No. 129 menjelaskan bahwa, adopsi berakibat putusnya hubungan hukum antara anak yang diadopsi dengan orang tuanya sendiri, kecuali: 1. Mengenai larangan kawin yang berdasar atas suatu tali kekeluargaan. 2. Mengenai peraturan hukum pidana yang berdasar pada tali kekeluargaan. 3. Mengenai ganti rugi biaya-biaya perkara dan sandera. 4. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi. 5. Mengenai bertindak sebagai saksi. Ditinjau dari hukum adat, pengangkatan anak tidak selalu mengakibatkan terputusnya hubungan perdata dengan orang tua kandung. Meskipun pada umumnya dengan terjadinya pengangkatan anak, orang tua angkat akan menggantikan kedudukan orang tua kandung. Sehingga tanggung jawab orang tua kandung akan beralih kepada orang tua angkat.22 Pada dasarnya akibat hukum yang timbul dari pengangkatan anak itu tidak terlepas hubungannya dengan tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan 22
Isti Sulistyowati, Loc. Cit.
oleh B. Bastian Tafal bahwa : Pengangkatan anak yang dilakukan tanpa disertai dengan upacaraupacara khusus dan tanpa surat-surat, maka pengangkatan anak seperti ini tidak memutus pertalian keluarga antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Meskipun secara lahiriah hubungan anak itu terputus dengan orang tua kandungnya karena dimasukan ke dalam keluarga orang yang mengangkatnya, tetapi secara batiniah hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya tetap ada. Kemudian dengan saudara angkat timbul hubungan seperti layaknya saudara kandung dan dengan keluarga atau kerabat dari orang tua angkatnya dianggap sebagai sanak keluarganya sendiri. Selanjutnya dalam upacara perkawinan bagi anak angkat perempuan, maka yang menjadi wali nikahnya adalah orang tua kandungnya atau saudara laki-laki sekandung dari anak angkat tersebut.23 Dalam hal hubungan dengan orang tua kandungya tidak terputus, maka hak dan kewajiban anak angkat masih bercabang dua yaitu terhadap orang tua angkat maupun terhadap orang tua kandung. Hal ini mempunyai konsekuensi lebih lanjut bahwa anak angkat yang tidak terputus hubungannya dengan orang tua kandung akan menerima warisan baik dari orang tua kandung maupun dari orang tua angkat. Keadaan seperti ini biasanya terjadi pada masyarakat parental. Akan tetapi sesuai dengan keanekaragaman sistem hukum pengangkatan anak di berbagai daerah di Indonesia, maka pandangan masyarakat dalam hubungannya dengan kedudukan anak angkatpun beraneka ragam pula. Kadang anak angkat mendapat warisan dari orang tua angkat berupa harta asal dan harta bersama, tetapi terkadang hanya harta bersama saja.24 Sedangkan pengangkatan anak menurut Hukum Islam pada dasarnya diperbolehkan tapi semata-mata hanya didasarkan pada tujuan untuk membantu anak-anak terlantar dan hal itu tidak membawa akibat hukum apapun. Hal ini disebabkan karena dalam hukum Islam ada larangan pengangkatan anak dalam pengertian adopsi yaitu pemberian status kepada anak sama dengan status anak kandung. : Pengangkatan anak menurut Agama Islam tidak membawa akibat hukum dalam hak hubungan darah, perwalian dan pewarisan dengan orang tua kandungnya. Anak angkat tetap memakai nama orang tua kandungnya dan tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya. 25 IV. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pada prinsipnya tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pengangkatan anak 23
B. Bastian Tafal, 1989, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, Jakarta : Rajawali Press, hal. 85. 24 Isti Sulistyorini, Loc. Cit. Hal. 27 25 M. Budiarto, Op.cit, hal. 2.
2.
dilakukan dengan penetapan dari pengadilan. Hal tersebut karena penetapan pengadilan tersebut hanya berfungsi untuk menguatkan pengangkatan anak yang dilakukan dan untuk lebih memberikan jaminan hukum pengangkatan anak adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum adat, hukum agama dan kepercayaan dari masingmasing pihak yang bersangkutan. Sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut tergantung pada dipenuhi atau tidaknya syaratsyarat dan tata cara dalam melakukan pengangkatan anak. Sebagai contoh yaitu dalam hal harus adanya persetujuan dari masing-masing pihak, baik pihak yang mengangkat anak ataupun pihak yang akan melepaskan anak tersebut. Jika tidak ada persetujuan dari salah satu pihak, maka pengangkatan anak tersebnt dianggap tidak sah. Menurut hukum adat, syarat dan tata cara pengangkatan anak pada umumnya dilaksanakan dengan beberapa cara. Cara tersebut sangat bergantung pada tujuan dan akibat hukum dari dilakukannya perbuatan pengangkatan anak tersebut, yaitu: a. Pengangkatan Anak Secara Terang Dan Tunai b. Pengangkatan Anak Tidak Secara Terang Dan Tunai c. Pengangkatan Anak Hanya Secara Tunai Saja Akibat hukum pengangkatan anak menurut menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tidak disebutkan mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak. Namun demikian di dalam pasal 39 ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 4 Peraturan Pemerinlah No.54 Tahon 2007 dinyatakan bahwa, "Pengangkatan anak berdasarkan tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan". Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukannya pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua Kandungnya. Sedangkan pengangkatrn anak (adopsi) menurut Staatsblad 1917 No. 129 menimbulkan akibat hukum bahwa anak yang diangkat oleh suami istri sebagai anak mereka, dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri tersebut.
B. Saran 1. Hakim Pengadilan Negeri hendaknya memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
2.
pengangkatan anak khususnya Undangundang No.3 Tahun 2006. Para pihak yang terlibat dalam pengangkatan anak hendaknya mengetahui akibat hukum dari pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Sehingga diharapkan para pihak dapat mengetahui kedudukan dan hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkat maupun anak angkat dengan orang tua kandungnya.
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Abdul Manar, 2005, Penerapan Hukum Acara perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada Media. Abdullah Siddik.1980, Hukum Adat Rejang, Jakarta: Balai Pustaka. Ali Afandi, 1997, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta. Amir Martosedono, 1999, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Semarang: Dahara Prize. Arif Gosida, 1985, Masalah Perlidungan Anak, Jakarta: Akademika. A. Rachmad Budiono, 1999, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti. Bastian Tafal, 1989, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya Dikemudian Hari, Jakarta: Rajawali Press. Bushar Muhammad, 1985, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Prajnya Paramita. Djaja Meliala, 1982, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Bandung: Tarsito. Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat Dan Sketsa, Lamongan: Liberty. Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang 2006 Muderis Zaini, 1985, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Bina Aksara Jakarta . M. Budiarto, 1991, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Jakarta: Akademika Presindo. M. Yahya Harahap, 1990, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini. M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika. Musthofa Sy., 2008, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana. Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1983, Sendi-sendi Hukum Perdata International, Jakarta: Rajawali. Retno Wulan S., 1979, Wanita Dan Hukum, Bandung: Alumni. Satria Effendi M. Zein, 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana. Soepomo 1977, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita. Soerjono Soekamto, 1992, Intisari Hukum Keluarga, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soetojo Prawirohamidjojo, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie.-Recht), Surabaya: Airlangga University Press. Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Lamongan: Liberty. Surojo Wignodipuro, 1982. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung. Zakaria Ahmad Al-Barry, 2004, Hukum Anak-Anak Dalam Islam (Saduran, Dra. Chadijah Nasution), Jakarta: Bulan Bintang. Afdol, 2007, Pengangkatan Anak dan Aspek Hukumnya Menurut Hukum Adat, Suara Uldilag Vol.3 No.XI September 2007. H. Sarmin, 2007, Hukum Formil dan Materil Penetapan Pengaesahan / Pengangkatan Anak Pada Peradilan Agama, Suara Uldilag Vol. I No XI September 2007. Isti Sulistyorini, 1997, Adopsi Menurut Staatsblad 1917 No. 129 Dan Kaitannya Dengan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, PENA, Jurnal Ilmu pengetahuan Dan Teknologi: V (9). M. Karsayuda, 2007, Pengangkatan Anak dari Keluarga Non-muslim di Pengadilan Agama, Suara Undilag Vol.3 No.XI September 2007. Muslich Mauzi, 1984, Beberapa Bentuk Pengangkatan Anak Di Indonesia Menurut Hukum Islam, Walisongo, Edisi II Mei 1984. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Staatblad No.l29 Tahun 1917; Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-undang No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan; Undang-undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak; Undang-undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum; Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; Undang-undang No.4 'l'ahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman; Undang-undang No.8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.2 Tahun 1985 Tentang Peradilan Umum; Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam; Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak; Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979; Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979;