BAB II KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK DAN PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK
A.
Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Per Undang -Undangan Sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur
tentang pengangkatan anak, namun praktik pengangkatan anak ditengah-tengah kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menajdi bagian dari budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan. Pemerintah melalui Menteri sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan kehidupan sosial tidak semua orang tua mempunyai kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan kesajahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Sambil menunggu dikeluarkannya undang-undang pengangkatan anak telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1984 proses kearah lahirnya undang-undang yang khusus membahas pengangkatan anak telah sedang berjalan, dan yang mengatur ketertiban praktik pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa aturan kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga yudikatif. 14
14
Ahmad Kamil dan Fauzan, op.cit., hal. 50
Universitas Sumatera Utara
Meskipun
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
pengangkatan anak belum mencukupi telah ada garis hukum bahwa ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”, bahkan Pasal 22 AB (algemene Bepalingen van wetgeving vor Indonesia) secar tegas menentukan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untukk dihukum karena menolak diadili. Asas hukum tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia juga menjunjung tinggi sistem hukum dalam common law yang menghargai hakim sebagai makhluk mulia dan memiliki hati nurani serta kemampuan untuk menangkap sinyal nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum riil yang oleh hakim dapat digali sebagai ramuan untuk menciptakan hukum yurisprudensi 15 dalam menangani kasus yang hukum tertulisnya belum mencukupi seperti hukum pengangkatan anak di Indonesia. Temuan hukum oleh hakim (yurisprudensi) tersebut, kedepannya akan menjadi sumber hukum dalam praktik peradilan. 16 1. Staatblad 1917 Nomor 129 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang merupakan warisan dari pemerintahan Belanda tidak mengenal peraturan mengenai lembaga 15
Hukum yurisprudensi adalah semua putusan hakim terhadap suatu perkara yang dasarnya hukumnya tidak ada atau kurang jelas, yang telah berkekuatan hukum tetap, diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan kasus yang sama dalam waktu lama secara berulangulang 16 Ahmad Kamil dan Fauzan, op.cit., hal. 49
Universitas Sumatera Utara
pengangkatan anak. Oleh karena itu bagi golongan Tionghoa diadakan pengaturannya secara tertulis di dalam Stb. 1917 Nomor 129, yang mulai berlaku tanggal 1 Mei 1919, sedangkan untuk golongan Pribumi berlaku hukum adatnya masing-masing. Baru pada tahun 1956 Negeri Belanda memasukkan ketentuan adopsi dalam BW. 17 Dari Stb.1917 No 129 ini, Bahwa pengangkatan anak hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki, atau seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki sepanjang almarhum suaminya tidak meninggalkan surat wasiat yang isinya tidak menghendaki jandanya melakukan pengangkatan anak
18
Jadi yang dapat diadopsi ialah seorang anak Tionghoa yang laki-laki, anak itu haruslah tidak kawin, tidak mempunyai anak dan tidak pula telah diadopsi oleh orang lain. Beda usia itu haruslah sekurang-kurang 18 tahun. Dan dengan Ibu yang yang mengadopsinya beda usia itu haruslah sekurang-kurangnya 15 tahun. Bila anak yang diadopsi itu adalah seorang anggota keluarga, sah atau tidak sah (artinya diluar nikah), maka hubungan keturunannya haruslah sama sederajatnya seperti hubungan dalam adopsi. Untuk dapat mengadopsi harus ada persetujuan terlebih dahulu antara suami-isteri yang hendak melakukannya. Bila yang hendak diadopsi adalah seorang anak yang sah, maka diperlukan persetujuan orang tua kandungnya. Kalau salah seorang dari padanya telah meninggal dunia kecuali bila
17
Ali, Affandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Yayasan Badan Penerbit GaJah Mada, Yogyakarta, 1997, hal. 57 18 Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
yang masih hidup itu adalah seorang ibu yang telah menikah kembali dengan lakilaki lain; dalam hal itu bagi anak yang masih dibawah umur yang memberikan persetujuannya ialah walinya dan Balai harta Peninggalan. Demikian pula bila kedua orang tua kandungnya telah meninggal dunia, wali dan balai harta Peninggalan memberikan persetujuannya. 19 Dalam stb. 1917 Nomor 129 ini tidak mengatur mengapa orang melakukan adopsi. Tetapi jika dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat Tionghoa, bahwa anak laki-laki yang meneruskan keturunan, maka dapat diketahui bahwa alasan pengangkatan anak menurut stb ini adalah untuk melanjutkan/meneruskan keturunan. Hal ini dipertegas lagi oleh pasal 12 (1) stb. 1917 Nomor 129, berbunyi: Jika suami Isteri mengadopsi anak laki-laki, maka anak itu dianggap telah dilahirkan dari perkawinan mereka. Selanjutnya dapat ditambahkan, alasan melakukan adopsi adalah: a. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memelihara kelak kemudian dihari tua b. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga c. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak dirumah maka akan dapat mempunyai anak sendiri d.
Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya atau demi kemanusiaan
e.
Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada
f.
Untuk mendapatkan/ menambahkan tenaga kerja, dll 19
B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta akibat-akibat hukumnya di kemudian hari, Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 149
Universitas Sumatera Utara
lalu kemudian, ada 2 (dua) ketentuan lagi yang menarik untuk diperhatikan, yaitu Pasal 11 dan Pasal 14. Pasal 11 stb. 1917 No 129, menyatakan bahwa adopsi karena hukum menyebabkan orang yang diadopsi memakai nama keluarga orang tua angkatnya. Kemudian Pasal 14, menyatakan bahwa adopsi karena hukum menyebabkan putusnya keperdataan antara anak yang bersangkutan dengan orang tua kandungnya 20. 2. Hukum Adat Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang dan tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan orang banyak degan resmi dan secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya. Sedangkan Tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditari kembali, sebagaimana dikutip oleh Bushar Muhammad, Teer Haar menyatakan: “Pertama-tama harus dikemukakan mengambil anak dari lingkungan keluarga kedalam lingkungan suatu klan atau kerabat tertentu, anak itu dilepaskan dari lingkungan yang lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantinya berupa benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak yang dipungut itu masuk kedalam lingkungan kerabat yang emngambilnya sebagai suatu perbuata tunai. Surojo Wignjodipuro menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Kedudukan hukum naka yang diangkat demikian ini adalah sama dengan 20
Djaja S, Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 117
Universitas Sumatera Utara
anak kandung dari pada suami isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat putus, seperti yang terdapat didaerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan Kalimantan. 21 Berdasarkan pembagian Hukum adat di Indonesia, di beberapa daerah, hukum adat tersebut mengalami adanya pengangkatan anak, walaupun tidak ada keseragaman karena berkaitan dengan hukum keluarga. Di daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki (kebapakan) antara lain terdapat di Tapanuli, Nias, gayo, Lampung, Bali dan Kepulauan Timor, dimana pengangkatan anak hanya dilakukan terhadap anak laki-laki saja, dengan tujuan adalah untuk meneruskan garis keturunan dari pihak bapak. Mengenai kewenangan anak angkat pada umumnya dapat dikatakan sama dengan kewenangan anak kandung, dalam arti anak angkat sama seperti kandung. Mempunyai kewenangan dalam pengurusan hari tua orangtua angkat. Ia menjadi generasi penerus bagi orangtua angkatnya. Di
daerah
yang
mengikuti
garis
keibuan
(matrilineal)
terutama
Minangkabau. Hal ini ditegaskan oleh Mr. B. Ter Haar tidak mengenal lembaga pengangkatan anak. Karena menurut hukum adat yang berlaku di daerah Minangkabau harta warisan seorang ayah (bapak) tidak akan jatuh (diwarisi) oleh anak-anak keturunannya, melainkan diwarisi oeh saudara-saudara sekandung beserta saudara perempuan yang berasal dari satu ibu. Dengan demikian di Minangkabau yang perempuan tidak mendesak untuk melakukan perbuatan
21
Ahmad kamil dan Fauzan, op.cit. hal. 32
Universitas Sumatera Utara
pengangkatan anak karena yang mewarisi adalah anak-anak dari saudaranya yang perempuan. Didaerah yang mengikuti garis keturunan keibu-bapakan (Parental) seperti Jawa dan Sulawesi, dimana pengangkatan anak (laki-lai perempuan) pada umumnya dilakukan terhadap anak keponakannya sendiri dengan maksud dan tujuan untuk: a. Memperkuat pertalian kekeluargaan b. Suatu kepercayaan, dengan mengangkat anak itu, kedua orangtua angkat akan dikarunia anak c. Menolong anak yang diangkat karena belas kasihan 22 Pengangkatan anak di Jawa dan Madura, dan didaerah Jakarta Raya orang lazim mengangkat anak angkat adalah anak pungut. Didaerah tebet disebut Kukutan, sedangkan didaerah Rawasani, Senen, dan Grogol keponakan dari ayah angkat yang diambil menjadi anak piara. Anak angkat (anak pungut) selama masih hidup tetap dengan orangtua angkat. Anak angkat yang dijadikan anak angkat tidak ada ketentuan batas umur, pada umumnya adalah anak-anak yang masih hidup dibawah umur, ketentuan-ketentuan anak di madura umumnya tidak berbeda dengan hukum adat di Jawa. 23
Selanjutnya B. Bastian Tafal menyatakan bahwa: Pengangkatan anak di Sumatera, seperti Di Aceh disebut “ancuk geuteung” disekitar aceh timur di langsa, kuala simpang, disebut “anak Bela” dan di 22 23
R, Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal. 15 B. Bastian Tafal op.cit. hal. 104
Universitas Sumatera Utara
meulaboh dengan “anak pungut” (anak Seubut). Sifatnya hanya memelihara saja dan tidak mempunyai akibat hukum. Didaerah kuala simpang penyerahan anak bela dilakukan dihadapan kepala-kepala adat, datuk, iman kampung dan keluarga. Walaupun hubungan yang timbul karena pengangkatan anak itu adalah akrab, akan tetapi tidak menimbulkan hak mewaris. Malahan anak angkat dapat dikawinkan dengan anak kandung sendiri, hal mana seseuai dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Didaerah aceh Tengah, dimana yang diangkat adalah seorang anak laki-laki. Istilah adatnya adalah luten aneuk ni jema menajdi aneuk te isahan (mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri dengan disahkan) yang boleh diangkat hanyalah seorang laki-laki dan dilakukan dengan upacara yang dihadiri oleh sarek opat dan ahli famili anak angkat mendapat bagian warisan dari orang tua angkat berupa kenangan Kero sejuk (artinya memakan nasi dingin). Hal ini karena dalam kewarisan selaku anak kandung yang diutamakan, sedangkan anak angkat menerima sekedar hibah dari orangtua angkatnya. Disamping itu si anak angkat mendapat warisan dari orangtua kandung. 24 Didaerah Aceh umumnya hal ini dilukiskan dengan kata-kata: euoh, geseutot, gadoh geumita, udep gepeujahan, mate geupeuhgafah, artinya jauh disusul, hilang dicari, hidup dibimbing, mati dikafan. Pengangkatan anak dapat dilakukan dengan cara yang berlaku sesuai hukum adat masing-masing daerah tetapi sebaiknya dibuat akta otentik, walaupun
24
Ibid., hal. 104
Universitas Sumatera Utara
tidak dilakukan oleh seorang notaris, cukup hanya keterangan kepala desa/lurah yang diketahui camat.
3.
Hukum Islam Dalam hukum Islam memperkenankan dilakukannya pengangkatan anak
sepanjang tidak diangkat sebagai anak kandung. Hukum Islam mengenal pengangkatan anak dalam arti terbatas. Maksud terbatas pada pemberian nafkah, pendidikan, dan memenuhi segala kebutuhannya tidak boleh memutuskan hubungan anak yang bersangkutan dengan orang tua kandungnya. Disinilah letak perbedaan hukum adat dibeberapa daerah dengan Hukum Islam. 25 Perbedaan (Prinsip) inilah yang melatar belakangi diaturnya mengenai pengangkatan anak dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 (Undang-Undang Tentang Kesejahteraan anak). Hanya dalam Pasal 12 UU No 4 Tahun 1979 dikatakan: a. pengangkatan anak angkat menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak b. kepentingan kesejahteraan anak yang termasuk dalam ayat 12 (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. c. pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan diluar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan
25
Djaja, S, Meliala, op.cit, hal. 86
Universitas Sumatera Utara
4.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) No. 2 Tahun
1979 tertanggal 7 April 1979, tentang pengangkatan anak yang mengatur tentang prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau permohonana pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya.
5. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) No. 6 tahun 1983 Tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 Tahun 1979 Mengenai Tata Cara Pengangkatan Anak Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) No. 6 Tahun 1983 Tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 Tahun 1979 Mengenai Tata Cara Pengangkatan Anak ditegaskan bahwa pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, supaya ada jaminan dan memperoleh kepastian hukum anak tersebut, maka pengangkatannya harus melalui suatu keputusan pengadilan. Mahkamah agung lewat suratnya edarannya ingin menegaskan bahwa penetapan dan keputusan pengadilan merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak. Belum belum dari kata pengangkatan anak hanya sah sifatnya apabila diberikan oleh badan pengadilan (harus melalui suatu keputusan pengadilan) 6. Keputusan Menteri Sosial RI NO 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang pelaksanaan perizinan pengangkatan anak, yang mulai berlaku sejak Tgl 14 Juni 1984 7. Bab VIII, bagian Kedua dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, yang mulai berlaku sejak Tanggal 22 Oktober 2002 dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 berbunyi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua kandungnya 3. Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat 4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir 5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak tersebut disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat Pasal 40 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 : a. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya b. Pemberitahuan asal-usul orangtua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan. 8. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) No. 3 Tahun 2005, Tentang Pedoman bagi Hakim dalam melaksanakan Pengangkatan anak harus berpedoman Kepada (SEMA) No. 6 tahun 1983 Tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 Tahun 1979 Mengenai Tata Cara Pengangkatan Anak yang berlaku mulai 8 Februari 2005 Setelah terjadinya bencana alam gempa dan gelombang tsunami yang melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial; berupa banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak angkat oleh Lembaga Swada Masyarakat dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut. 9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan Atas Undangundang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a, angka
Universitas Sumatera Utara
20. menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang “…. Penetapan asal-usul seorang anak dalam penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam” . 11. Beberapa yurisprudensi Mahkamah agung dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakimhakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang.
B. Akibat Hukum Tentang Pengangkatan Anak
1. Menurut beberapa Peraturan Menurut stb 1917 masalah akibat hukum pengangkatan anak diatur dalam Pasal 11, 12, 13, dan 14 staatblad 1717 berikut ini uraian pokok-pokok dari beberapa pasal tersebut: Pasal 11 menyatakan bahwa pengangkatan anak membawa akibat demi hukum bahwa orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain, berganti menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diangkat secara serta merta menjadi anak kandung orang tua kandung yang mengangkatnya atau ibu angkatnya, dan secara otomatis terputus hubungan nasab dengan orang tua kandung, kecuali: a. Mengenai larangan kawin yang berdasarkan pada tali kekeluargaan b. mengenai peraturan hukum perdata yang berdasarkan pada tali kekeluargaan
Universitas Sumatera Utara
c. Mengenai perhitungan biaya perkara di muka hakim dan penyanderaan d. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi e. Mengenai bertindak sebagai saksi f. Apabila orangtua angkatnya seorang lai-laki yang telah kawin, maka anak angkat secara serta merta dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka g. Apabila ayah angkatnya seorang suami yang telah kawin dan perkawinannya telah putus, maka anak angkat harus dianggap sebagai anak yang lahir dari mereka yang disebabkan putus karena kematian h. Apabila seseorang janda mengangkat seorang anak, maka ia dianggap dilahirkan dari perkawinannya dengan suami yang telah meninggal dunia, dengan ketentuan, bahwa ia dapat dimasukkan sebagai ahli waris dalam harta peninggalan orang yan telah meninggal dunia, sepanjang tidak ada surat wasiat. Akibat dari terputusnya hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya dan masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya, anak angkat disejajarkan kedudukan hukumnya dengan anak kandungn orangtua angkatnya. Akibatnya anak angkat harus memperoleh hak-hak sebagaimana hak-hak yang diperoleh anak kandung orang tua angkat, maka anak angkat memiliki hak waris seperti hak waris anak kandung secara penuh yang dapat menutup hak waris saudara kandung dan juga orang tua kandung orang tua angkat 26
26
Ahmad, Kamil dan M. Fauzan, opcit, hal.28
Universitas Sumatera Utara
Adanya adopsi maka terputuslah segala hubungan keperdataan antara anak adopsi dengan orangtua kandungnya. Pasal 39 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 berbunyi sebagai berikut: 1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 2. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua kandungnya 3. Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat 4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir 5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak tersebut disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat 6. Orangtua angkat wajib memberitahukan asal-usul dan orang tua kandungnya dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan Dari bunyi pasal diatas bahwa pengangkatan anak yang dilakukan dengan adat maupun penetapan pengadilan tidak diperbolehkan memisahan hubungan darah antara si anak angkat dengan orangtua kandungnya yang bertujuan antara lain untuk mencegah kemungkinan terjadinya perkawinan sedarah. Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terhadap anak angkat dan pada saat yang tepat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
Universitas Sumatera Utara
Dilakukannya adopsi putuslah hubungan perdata yang berasal dari keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orangtua kandungnya), anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.
2.
Menurut Hukum adat Pengangkatan anak menurut hukum adat biasanya dilakukan menurut adat
setempat dan tidak ada suatu kesatuan cara yang berlaku bagi seluruh wilayah/daerah indonesia. Menurut hukum adat indonesia, anak angkat ada yang menjadi pewaris bagi orangtua angkatnya, tetapi adapula yang tidak menjadi ahli waris orangtua angkatnya. Hal ini tergantung dari daerah mana perbuatan pengangkatan itu dilakukan Kedudukan anak angkat terhadap akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat adalah kedudukan anak angkat didalam masyarakat. Yang sifat susunannya kerabatan patrilineal seperti Bali. Perbedaannya adalah di Jawa perbuatan pengangkatan anak hanya diambil dari keluarga terdekat, sehingga keadaan tersebut tidak memutuskan hubungan pertalian kekerabatan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung. Akibatnya anak itu tetap berhak mewarisi harta peninggalan dari orangtua kandungnya. Di Bali tindakan mengangkat anak merupakan kewajiban hukum untuk melepaskan anak yang diangkat dari kekeluarganya masuk kedalam keluarga yang mengangkatnya, sehingga anak itu selanjutnya berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan garis keturunan dari orang tua angkatnya.
Universitas Sumatera Utara
C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Warga Negara Asing Kepada Warga Negara Indonesia
1. Bagi Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia Sebagai pihak pemohon pengangkatan anak adalah calon orang tua angkat. Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat yang ditentukan 27. SEMA No. 6 Tahun 1983 mengatur syarat calon orangtua angkat bagi pengangkatan anak Warga Negara Indonesia (domestic adoption) yaitu: a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orangtua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) dibolehkan. b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seseorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah atau belum menikah (single parent adoption) dibolehkan. Ada beberapa hal yang perlu ditegaskan dalam kedua syarat tersebut sebagai berikut: 1. Syarat pertama itu memberi kesan bahwa pengangkatan anak dapat secara langsung dilakukan oleh orang tua kandung dengan orang tua angkat, tanpa melalui pengadilan. Hal ini selaras dengan pandangan masa itu bahwa pengangkatan anak antara warga Negara Indonesia tidak perlu pengadilan. Kecuali ada urgensi, misalnya berkaitan dengan perkara kewarisan.Oleh sebab itu, syarat tersebut harus ditafsir bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat, tanpa melalui yayasan atau
27
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana Prenada Media Grup, 2008, Jakarta, Hal. 86
Universitas Sumatera Utara
organisasi sosial. Kendati perbuatan pengangkatan anak itu dilakukan secara langsung antara orangtua kandung dengan orangtua angkat, penetapan atau putusan pengadilan tetap diperlukan demi kepastian hukum perbuatan pengangkatan anak tersebut. 2.
Syarat kedua mengenai penerapan kebolehan pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang berstatus tidak atau belum menikah (single parent) di pengadilan agama harus ditetapkan secara terbatas. Misalnya harus benar-benar memperhatikan motif pengangkatan anak, jenis kelamin antara calon orang tua angkat single parent
yang hidup sendirian atau terhadap
anggota keluarga yang lain dalam rumah tangganya. Calon orangtua angkat single parent yang hidup sendirian dalam rumahnya kemudian mengangkat anak yang berbeda dikhawatirkan terjadi hal-hal yang dilarang agama, karena mereka tinggal serumah sampai anak dewasa. Hal yang demikian harus menjadi perhatian untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut, keputusan Menteri Sosial RI No 41/HUK/KEP/VII/1984 mengatur tentang syarat-syarat calon orang tua angkat bagi pengangkatan anak warga negara Indonesia (WNI) yang berada dalam organisasi sosial yaitu 28: a. Berstatus kawin dengan berumur 25 tahun maksimal 45 tahun b. Selisih umur calon antara calon orang tua angkat dengan anak angkat minimal 20 tahun
28
Ibid., Hal. 88
Universitas Sumatera Utara
c. Pada saat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun, dengan mengutamakan keadaan: - tidak mungkin mempunyai anak ( surat keterangan dokter kebidanan, dokter ahli) - belum mempunyai anak - mempunyai anak kandung seorang - mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung d. Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan pejabat yang berwenang serendah-rendahnya lurah atau kepala desa etempat e. Berkelakuan baik berdasarkan keterangan polisi Republik Indonesia f.
Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter pemerintah
g. Mengajukan pernyataan bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan esejahteraan anak. Syarat-syarat tersebut relatif yang memadai, kendatipun syarat-syarat itu untuk pengangkatan anak antar warga negara Indonesia (WNI) yang berada dalam organisasi sosial, tetapi dapat dijadikan rujukan untuk pengangkatan anak Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak melalui organisasi sosial. Berkaitan dengan persyaratan telah kawin minimal 5 (lima) Tahun serta batas umur minimal dan maksimal dimaksudkan untuk meyakinkan kesiapan dan kemampuan calon orangtua angkat dalam memberikan pemeliharaan yang baik trhadap anak angka. Baik kesiapan kematangan jiwa maupun ekonomi. Sedangkan syarat selisih umur diharapkan ada kesalarasan seperit selisih orang tua dengan
Universitas Sumatera Utara
anaknya secara umum, sehingga hubungan mereka dapat berlangsung seperti layaknya hubungan antara orang tua dan anak 29
D. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Kepada Warga Negara Asing Syarat-syarat pengangkatan anak Warga Negara indonesia kepada Warga negara Asing oleh Surat Edaran Mahkahmah Agung No 6 Tahun 1983 : 1. Pengangkatan anak Warga Negara Asing harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari departemen sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak Warga Negara Asing yang lagsung dilakukan antara orangtua kandung anak Warga Negara Asing dengan calon orang tua angkat Warga Negara Indonesia (private adoption) tidak diperbolehkan 2.
Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh seorang Warga Negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan. Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 tahun 1983 mengatur syarat calon
orang tua angkat bagi anak antar negara: 1. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun 2. Pada saat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun, dengan mengutamakan keadaan:
29
Ibid., hal. 89
Universitas Sumatera Utara
- Tidak mungkin mempunyai anak ( surat keterangan dokter
kebidanan,
dokter ahli) - Belum mempunyai anak - Mempunyai anak kandung seorang - Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung -Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan pejabat yang berwenang serendah-rendahnya lurah atau kepala desa etempat -Berkelakuan baik berdasarkan keterangan Polisi Republik Indonesia -Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter pemerintah -Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan anak Syarat-syarat bagi calon anak menurut Surat Edaran Mahkahmah Agung No 6 Tahun 1983: 1. Usia calon anak angkat harus mencapai umur lima tahun 2. Disertai penjelasan tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang berwenang yang ditunjuk bahwa calon anak angkat izinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua angkat Warga Negara indonesia yang bersangkutan dalam keputusan Mensos RI No 41/HUK/KEP/VII/1984 syarat-syarat calon anak angkat yaitu; 1. Berumur kurang dari lima (5) tahun 2. Persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal calon anak angkat
Universitas Sumatera Utara
3. Berada dalam asuhan organisasi soial
Syarat-syarat Pengangkatan anak warga negara indonesia kepada warga negara asing Syarat calon orangtua angkat bagi pengangkatan anak antar negara (intercountry adoption) menurut Surat Edaran Mahkahmah Agung No 6 Tahun 1983: 1. Pengangkatan anak harus melalui yayasan sosial yang memiliki izin dari depsos bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak, sehingga pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) tidak dibolehkan, demikian pula pengangkatan anak oleh calon orang tua angkat yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah atau belum menikah (single parent adoption) tidah dibolehkan 2. Untuk calon orang tua angkat warga negara asing , selain syarat tersebut juga harus berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia minimal 3 (tiga) tahun disertai izin tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa ia dizinkan untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang warga negara indonesia Dalam Keputusan Menteri Sosial RI No 41/HUK/KEP/VII/1984 menentukan syarat-syarat bagi calon orang tua angkat
Universitas Sumatera Utara
a. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun b. Pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun dengan mengutamakan keadaan; 1. Tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter ahli; atau 2. Belum mempunyai anak; 3. Mempunyai anak kandung seorang; 4. Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung c. Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan negara d. Persetujuan terrtulis dari pemerintah negara asal pemohon e. Berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan kepolian republik Indonesia f.
Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter pemerintah Republik indonesia
g. Telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia minimal 3 tahun berdasarkan surat
keterangan
dari
pejabat
yang
berwenang
serendah-rendahnya
upati/walikota setempat. h. Telah memelihara dan merawat anak yang bersangkutan : 1. 6 (enam) bulan untuk anak di bawah umur 3 (tiga) tahun 2. 1 (satu) tahun untuk anak umur 3 (tiga) tahun sampai 5 (lima) tahun i.
Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan anak.
Universitas Sumatera Utara
Syarat-syarat calon anak angkat menurut Surat edaran mahkamah agung No 6 tahun 1983 1. Usia calon anak angkat harus belum mencapai 5 (lima) tahun 2. Disertai penjelasan tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang berwenang yang ditunjuk bahwa calon anak angkat warga negara indonesia iizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orangtua angkat Warga Negara asing yang bersangkutan Sedangkan syarat-syarat anak angkat menurut Keputusan Menteri Sosial RI No 41/HUK/KEP/VII/1984; a. Berumur kurang dari 5 (lima) tahun b. Berada dalam asuhan organisasi c. Persetujuan tertulis dari orangtua/ wali (apabila diketahui masih ada)
Pengaturan syarat-syarat calon orang tua angkat maupun calon anak angkat dalam peraturan perundang-undangan belum memadai. Sedangkan syaratsyarat menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 tahun 1983 dan keputusan menteri sosial tersebut itu terbatas pada pengangkatan calon anak angkat yang berada dalam organisasi sosial kendati demikian, selama belum ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengangkatan anak bagi anak angkat yang tidak berada dalam oraganisasi sosial, maka syarat-syarat orangtua maupun anak angkat tersebut dianggap relevan untuk kepentingan anak angkat dapat dijadikan pedoman dalam penerapan pengangkatan anak.
Universitas Sumatera Utara
Syarat calon orang tua angkat dan calon anak angkat dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam undang-undang RI No 23 Tahun 2003 tentang perlindungan anak, yaitu calon anak orang tua angkat harus seagama yang dianut oleh calon anak angkat
E. Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing 1. Dasar Hukum Dalam rangka mencapai tujuan pengangkatan anak maka pelaksanaannya didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yaitu: a. Undang-Undang No 62 Tahun 1958 yang telah diubah menjadi UndangUndang No 12 Tahun 2006 b. Undang-Undang No 6 Tahun 1974 Tentang-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial c. Undang-Undang No 4 Tahun 1979 Kesejahteraan Anak d. Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 Tahun 1983 Tentang Penyermpurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak e. Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan Anak f.
Keputusan Menteri Sosial RI No 4 1/HUK/KEP/VII/1984 14 Juli Tentang Petunjukan Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak
Universitas Sumatera Utara
2. Proses Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing Berdasarkan hasil pengamatan Mahkamah Agung Republik Indonesia menemukan fakta bahwa peraturan perundang-undang yang mengatur tentang prosedur , tata cara menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan permohonana pengangkatan anak dipandang belum mencukupi. Maka Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan kehakimanan di Indonesia, memandang perlu mengeluarkan surat edaran yang menyempurnakan surat edaran sebelumnya yang mengatur prosedur dan syarat-syarat pengajuan permohonan pengangkatan anak. Disamping hukum acara perdata yang berlaku, prosedur pengangkatan anak dan syarat-syarat pengangkatan anak secara teknis diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 2 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak. Prosedur pengangkatan anak baik antara Warga Negara Indonesia ataupun antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing a. Permohonan 1. Syarat dan bentuk permohonan pengangkatan anak warga negara asing a. Surat permohonan bersifat voluntair b. Permohonan dilakukan secara lisan sesuai dengan hukum yang berlaku di pengadilan negeri atau permohonan secara tertulis
Universitas Sumatera Utara
c. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undangundangnya d. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh pemohon sendiri atau oleh kuasa hukumnya e. Dibubuhi materai yang secukupnya f. Surat permohonan mengangkat anak ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak warga negara indonesia yang akan diangkat 2. Isi surat pengangkatan anak permohonan Warga Negara Asing a. Bagian dasar hukum permohonan pangangkatan anak, harus secara jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak b. Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/kepentingan calon anak angkat warga negara Indonesia yang bersangkutan dengan uraian yang memberikan kesan bahwa calon orangtua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal yaitu hanyalah memohon “agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B” tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti “agar anak bernama A ditetapkan sebagai Ahli waris dari si B”
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya syarat bagi perbuatan pengangkatan anak warga negara asing (inter country adoption) yang harus dipenuhi sebagai berikut: 1. Syarat calon orangtua angkat warga negara asing/pemohon, berlaku ketentuan sebagi berikut: a. harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun b. Harus disertai izin tertuis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjukkan bahwa calon orangtua angkat warga negara asing memperoleh izin untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang warga negara Indonesia c. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia harus dilakukan melalui suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak warga negara indonesia yang langsung dilakukan anatara orangtua kandung warga negara Indonesia dengan orangtua angkat warga negara asing (private adoption) tidak diperbolehkan. d. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Seorang Warga Negara Asing yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan e. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angka 2.Syarat bagi calon anak angkat warga negara asing yang diangkat a. Usia calon anak angkat harus belum mencapai umur 5 (lima) tahun
Universitas Sumatera Utara
b. Disertai penjelasan tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa calon anak angkat warga negara indonesia yang bersangkutan diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orangtua angkat warga negara asing yang bersangkutan b. Pemeriksaan Permohonan pengangkatan anak termasuk perkara voluntair. Proses pemeriksaan perkara voluntair berbeda denga perkara contentiosa, yakni bersifat sepihak (ex parte). Hanya keterangan dan bukti pemohon, dan tidak menerapkan asas mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem) atau asas memberi kesempatan yang sama (to give the same opportunity) Pemeriksaan perkara permohonan pengangkatan anak yang bersifat voluntair tidak ada tahapan jawaban, replik, dan duplik. Pengadilan hanya mendengar keterangan pemohon dan/atau kuasa sehubungan dengan permohonan tersebut dan memeriksa bukti serta saksi yang diajukan pemohon.
1. Mendengar langsung Pemeriksaan permohonan pengangkatan anak tidak hanya mendengar keterangan pemohon, tetapi mendengar pihak-pihak yang terkait sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 tahun 1983. Pengadilan Negeri dalam memeriksa perkara permohonan pengangkatan anak mendengar langsung:
Universitas Sumatera Utara
a. Calon orang tua angkat Warga Negara Asing (suami isteri) dan orang tua kandung Warga Negara Indonesia b. Badan/yayasan sosial yang telah mendapat izin dari departemen sosial /pejabat sosial setempat bergerak dibidang kegiatan pengangkatan tersebut. c. Seorang petugas/pejabat instansi sosial setempat yang akan memberikan penjelasan tentang latar belakang kehidupan sosial ekonomi anak warga negara indonesia yang dimohonkan untuk diangkat oleh orang tua angkat warga negara asing d. Calon anak angkat Warga Negara Indonesia kalau menurut umurnya sudah dapat berbicara e. Petugas/pejabat imigrasi bilamana tidak ada pejabat imigrasi disuatu daerah, petugas/pejabat tertentu dari pemerintah daerah yang ditunjuk memberi penjelasan tentang status imgratur dari calon anak warga negara indonnesai dan/atau calonrga negara asing orangtua angkat warga negara asing f. Pihak kepolisian setempat 2. Memeriksa Dan Meneliti Alat-Alat Bukti Pengadilan negeri memeriksa dan meneliti alat-alat bukti lain yang dapat menjadi dasar permohonan ataupun pertimbangan putusan pengadilan anatara lain sebagai berikut: 1. Surat-surat resmi tentang kelahiran anak angkat Warga Negara Indonesia dan lain-lain
Universitas Sumatera Utara
2. Akte kelahiran, akta kenal lahir yang ditandatangani oleh bupati atau walikota setempat 3. Akta-akta, surat resmi pejabat lainnya yang diperlukan (sura izin departemen sosial) 4. Akta notaris, surat-surat dibawah tangan (korespodensi-korespondensi) 5. Surat-surat keterangan. Laporan sosial, pertanyaan-pertanyaan 6. Surat keterangan dari kepolisian tentang clon orangtua angkat warga negara asing, termasuk bahwa calon orangtua WNA, tersebut telah berada dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya 3 tahun. Dan calon anak angkat Warga Negara Indonesia tersebut. 7. Surat-surat tentang pribadi calon orangtua angkat WNA mencakup: a. Surat nikah calon orangtua angkat b. Surat lahir mereka c. Surat keterangan kesehatan d. Surat keterangan pekerjaan dan penghasilan calon orang tua angkat (suami istri) e. Persetujuan atau izin untuk mengangkat anak/bayi indonesia dari instansi/lembaga sosial yang berwenang dari negara asal calon orang tua angkat wrga negara asing f. Surat keterangan atas dasar penelitian social worker dari instansi/lembaga sosial yang berwenang dari negara asal calon orang tua angkat warga negara asing
Universitas Sumatera Utara
g. Surat pernyataan calon orangtua angakat WNA bahwa mereka tetap berhubungan
dengan
departemen
luar
negeri/perwakilan
republik
indonesia setempat sungguhpun anak tersebut telah memperoleh kewarganegaraan oran tua angkat Warga Negara Asing nya. Surat-surat resmi tentang pibadi orangtua angkat (poin 4 s/d 5) harus telah didaftarkan dan dilegalisir oleh Departemen Luar Negeri/Perwakilan Republik Indonesia negara asal calon orang tua angkat Warga Negara Asing tersebut surat dari syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak orang WNA
3. Pengadilan Negeri mengarahkan Pemeriksaan Di Persidangan ; a. Untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang latar belakang/motif dari pihak-pihak yang akan melepaskan anak angkat Warga Negara Indonesia, termasuk
organisasi sosial/yayasan sosial dari mana anak angkat Warga
Negara Indonesia tersebut berasal ataupun pihak orangtua angkat Warga Negara Asing b. Untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa dalam kesungguhan, ketulusan dan kesadaran kedua belah pihak akan akibat-akibat dari perbuatan hukum melepas dan mengangkat anak tersebut, hakim menjelaskan hal-hal tersebut kepada kedua belah pihak c. Untuk mengetahui keadaan ekonomi, keadaan rumah tangga (kerukunan, keserasian, kehidupan keluargaang terdekat ) serta cara mendidik dan mengasuh dari kedua calon orang tua angkat tersebut
Universitas Sumatera Utara
a. Untuk menilai bagaimana tanggapan anggota keluarga yang terdekat (anakanak yang telah besar) dari kedua orangtua angkat Warga Negara Asing tersebut b. Untuk memperoleh keterangan dari pihak Departemen Luar Negeri, imigrasi, dan kepolisian setempat Hal ini untuk menghindari menghindari agar penyelundupan legal terhadap ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Kewarganegaraan dapat dihindarkan. Disini tampak adanya faktor-faktor hukum publik dan mungkin faktor-faktor keamanan negara. Pengangkatan seorang anak Warga Negara Indonesia , oleh orang tua Warga Negara Asing diperlukan adanya jaminan dan kepastian yang meyakinkan bahwa hari kemudian dari anak yang diangkat lebih cerah daripada keadaan sekarang . agar diteliti bahwa calon anak angkat harus berumur 5 tahun. Disamping itu kepentingan martabat bangsa yang dirugikan karena pengangkatan anak tersebut. 4. Untuk Mengadakan Pemeriksaan Setempat Dimana Calon Anak Angkat Warga Negara Indonesia Itu Berada Menurut SEMA No. 6 tahun 1983 Tentang Penyempurnaan SEMA No 2 Tahun 1979 mengenai pengangkatan anak memberikan petunjuk bahwa untuk permohonn pengangkatan anak (intercountry adoption) berupa “putusan” voluntair yang diktumnya berbunyi “ MENGADILI” dan sistematik kedua jenis permohonan tersebut serupa dengan sistematik putusan perkara gugatan perdata yang terdiri dari dua bagian yaitu: Tentang jalannya kejadian dan tentang pertimbangan hukum
Universitas Sumatera Utara
c. Putusan terhadap permohonan-permohonan pengesahan pengangkatan anak Isi putusan dalam bagian “tentang jalannya kejadian agar secara lengkap dimuat pokok-pokok yang terjadi selama pemeriksaan dimuka sidang, dan dalam bagian “ tentang pertimbangan hukum” dipertimbangkan/diadakan penilaian tentang: 1. Motif yang mendasari/mendorong yang menjadi latar belakang mengapa disatu pihak ingin melepaskan anak, dilain pihak mengapa ingin mengadakan pengangkatan 2. Keadaan kehidupan ekonomi, kehidupan rumah tangga (apakah rumah tangga yang bersangkutan dalam keadaan harmonis) cara-cara pendidikan yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang tua yang bersangkutan 3. Kesungguhan, ketulusan, serta kerelaan pihak yang melepaskan maupun kesadaraannya akibat-akibat yang menjadi bebannya setelah pengangkatan itu terjadi. 4. Kesungguhan, ketulusan serta kerelaan pihak yang mengankat maupun kesadaraannya
akibat-akibat
yang
menjadi
bebannya
setelah
pengangkatan itu terjadi. 5. Kesan-kesan yang diperoleh pengadilan tentang kemungkinan hari depan calon anak angkat Warga Negara Indonesia/Warga Negara Asing yang bersangkutan, terutama bila mana anak Warga Negara Indonesia diangkat orangtua angkat Warga Negara Asing dipahami anak tersebut akan lepas dari jangkauan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Amar putusan dalam pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh orang tua angkat Warga Negara Asing berbunyi sebagai berikut:
MENGADILI 1.
Menetapkan
Anak
Laki-Laki/perempuan
bernama........................umur/tanggal lahir............di.................sebagai anak angkat dari
suami
istri.........................alamat....................warga
negara............................................ 2.
menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara yang ditetapkan
sebesar Rp.......................................
Pengiriman salinan penetapan atau putusan pengangkatan anak ditentukan Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 Tahun 1983 . Sebagai pedoman terbaru dalam Surat Edaran Mahkamah Agung no. 3 tahun 2005 bahwa dalam rangka pengawasan Mahkamah Agung maka setiap salinan putusan penangankatan anak agar dikirim kepada: 1. Mahkamah Agung Cq. Panitera Mahkamah Agung RI 2. Departemen Sosial 3. Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia Cq. Direktorat Jendral Imigrasi 4. Departemen Luar Negeri 5. Departemen Kesehatan 6. Kejaksaan 7. Kepolisian
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka pengawasan dan perlindungan terhadap anak angkat, sudah sepatutnya apabila orang tua asal diberi salinan putusan atau penetapan, adapun dimaksud orang tua asal tersebut, bisa orangtua kandung, wali yang sah, dan organisasi sosial atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan membesarkan anak tersebut sebelum dialihkan kekuasaannya kepada orangtua angkat selama dalam kekuasaan oragtua angkatnya. Apabila di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang mengganggu atau mengancam kepentingan anak, salinan tersebut dijadikan dasar untuk mengajukan pencabutan kekuasaan orangtua angkat. Adapun mengenai bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan ini akan diatur dalam peraturan pemerintah sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 41 UU No 23 tahun 2003 Dalam Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksaan Pengangkatan Anak menyerahkan pengawasan pelaksanaan adopsi kepada pemerintah dan masyarakat. Tetapi pengawasan pasca adopsi sangatlah kurang. Pasal 32 menyatakan bahwa “ Pengawasan dilaksanakan agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran dalam pengangkatan anak” Pasal 33 Menyatakan bahwa ”Pengawasan dilaksanakan Untuk; mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangundangan,
mengurangi
kasus-kasus
penyimpangan
atau
pelanggaran
pengangkatan anak, memantau pelaksanaan anak”
Universitas Sumatera Utara
Pasal 34 menyatakan bahwa “pengawasan dilaksankan kepada: orang perseorangan, lembaga pengasuhan, rumah sakit bersalin, praktek-praktek kebidanan, panti sosial pengasuhan anak”. Pasal 35 menyatakan bahwa “pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat” Pasal 36 menyatakan bahwa “Pengawasan oleh pemerintah sebagaiman dimaksud Pasal 35 dilakukan oleh Departemen Sosial” Pasal 37 menyatakan bahwa “Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan oleh: orang perorangan, keluarga, kelompok, lembaga pengasuhan anaka, dan lembaga perlindungan anak” Pasal 38 menyatakan bahwa “(1) dalam hal terjadi atau diduga terjadi penyimpangan atau pelanggaran terhadap pelaksaan pengangkatan anak, masyarakat dapat melakukan pengaduan kepada aparat penegak hukum dan/atau Komosi Perlindungan Anak Indonesia, Instansi sosila setempat atau Menteri, (2) Pengaduan diajukan secara tertulis disertai dengan identitas diri pengadu dan data awal tentang adanya dugaan penyimpangan atau pelanggaran”
Di Indonesia ada 7 organisasi Sosial yang mendapatkan izin dari Departemen Sosial untuk melakukan pengangkatan anak. Yayasan itu adalah 30: 1. Yayasan Sayap Ibu di Jakarta dan Jogjakarta 2. Yayasan Tiara Putra di Jakarta
30
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090109035558AAwvJWv 6 organisasi sosial yang mendapat izin dari Departemen Sosial RI untuk melakukan proses pengangkatan anak” diakses pada hari Sabtu, tanggal 13 Februari 2009, Pkl 20.45 WIB
Universitas Sumatera Utara
3. Yayasan Asuhan Bunda di Bandung dan Batam 4. Yayasan Pemeliharaan Anak dan Bayi di Surakarta, Jawa Tengah 5. Yayasan Bala Keselamatan Matahari Terbit di Surabaya untuk adopsi Lintas Negara 6. Yayasan Kesejahteraan Ibu dan Anak di Kalimantan 7. Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda di Riau Cabang Batam Ketujuh yayasan tersebut diatas diakui oleh pemerintah sebagai organisasi sosial yang dapat melakukan pengangkatan anak. Apabila ada organisasi sosial lainnya diluar ketujuh organisasi dimaksud maka pengangkatan anak tersebut dapat dibatalkan melalui permohonan Departemen Sosial ke Pengadilan Negeri. Dalam hal agar hubungan si anak tidak terputus sama sekali dengan orang tua
biologisnya,
Mahkamah
Agung
Menghimbau
hakim-hakim
yang
mengeluarkan penetapan tentang pengangkatan anak alias adopsi untuk memperhatikan kelengkapan administrasi, khususnya akta kelahiran anak. Sebelum mengabulkan permohonana adopsi, hakim harus memastikan bahwa kata kelahiran anak sudah lengkap. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2009 tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta kelahiran. Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut tetap merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung terdahuku yang mengatur hal serupa, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung No. Tahun 1979 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983. Selain itu, Mahkamah Agung merujuk pada perundang-udangan terbaru yaitu, Undang-undang No 23 Tentang
Universitas Sumatera Utara
Administrasi Kependudukan, dan peraturan teknisnya, Perpres No. 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Catatan sipil 31.
31
www.online.com “Pengawasan pelaksanaan adopsi” tanggal 16 Februari 2009, Pkl. 15.30 WIB
diakses pada hari selasa,
Universitas Sumatera Utara