ADSORPSI METILEN BIRU DENGAN ABU DASAR PT. IPMOMI PROBOLINGGO JAWA TIMUR DENGAN METODE KOLOM Lidya Pratiwi A*, Dra. Ita Ulfin M.Si1, Nurul Widiastuti, Ph.D1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
ABSTRAK Pada penelitian ini mempelajari tentang kapasitas adsorpsi dari abu dasar untuk mengadsorpsi metilen biru dari larutan. Uji adsorpsi dilakukan dengan cara penentuan laju alir, penentuan konsentrasi, dan pH optimum. Variasi laju alir influen dalam kolom yakni 1,6 mL/menit, 4 mL/menit, 16 , mL/menit 26,4 mL/menit , 33 mL/menit, 43,2 mL/menit (pH awal metilen biru tanpa dikondisikan). Data hasil penelitian konsentrasi awal diketahui bahwa semakin meningkatnya konsentrasi metilen biru maka semakin meningkat kapasitas adsorpsinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin meningkatnya laju alir dapat menurunkan kapasitas adsorpsi adsorben terhadap metilen biru. pH effluent tidak dipengaruhi pH awal influen. Akan tetapi, kapasitas adsorpsi dipengaruhi pH awal influen. Pada influen yang dikondisikan pH 2 merupakan kapasitas adsorpsi lebih tinggi. Kata kunci: abu dasar, adsorpsi, metode kolom, zat warna, metilen biru 1.
Pendahuluan Salah satu pencemar organik yang bersifat non biodegradable adalah zat warna tekstil. Zat warna tekstil umumnya dibuat dari senyawa azo dan turunannya dari gugus benzen. Diketahui bahwa gugus benzen sangat sulit didegradasi, kalaupun dimungkinkan dibutuhkan waktu yang lama. Senyawa azo bila terlalu lama berada di lingkungan, akan menjadi sumber penyakit karena sifatnya karsinogenik dan mutagenik. Karena itu perlu dicari alternatif efektif untuk menguraikan limbah tersebut. Zat warna ini berasal dari sisa - sisa zat warna yang tak larut dan juga dari kotoran yang berasal dari serat alam. Warna selain mengganggu keindahan, beberapa juga dapat bersifat racun dan sukar dihilangkan. Beberapa penelitian tentang biodegradasi zat warna khususnya zat warna azo telah dilaporkan (Seshadri dkk.,1994; Carliell dkk. 1995; Kenapp dan Newby, 1995 ; Nigam dkk. 1996; Oxspring dkk. 1996). Zat warna azo ini banyak digunakan dalam industri tekstil, makanan, obat-obatan dan kosmetika. Pada tahun 1990 di negara Amerika Serikat penjualan zat warna azo menduduki nomor teratas daripada golongan zat warna lain (Heaton, 1994). Zat warna azo adalah senyawa
yang paling banyak terdapat dalam limbah tekstil, yaitu sekitar 60% - 70 %. Senyawa azo memiliki struktur umum R-N=N-R’, dengan R dan R’ adalah rantai organik yang sama atau berbeda. Senyawa ini memiliki gugus –N=Nyang dinamakan stuktur azo (Sen dan Demirer,2003). Beberapa cara penghilangan zat warna dan senyawa organik yang ada dalam pengolahan limbah cair industri tekstil dapat dilakukan secara kimia, fisika, biologi ataupun gabungan dari ketiganya (Lara Abraiman dan Houssam El-Rassy,2000). Pengolahan limbah cair secara fisika dapat dilakukan dengan cara adsorpsi, filtrasi dan sedimentasi. Adsorpsi dilakukan dengan penambahan adsorben, karbon aktif atau sejenisnya. Sistem pada adsorpsi terdiri dari dua macam yaitu sistem batch dan sistem kontinyu (kolom). *Corresponding author phone : 085236542136 e-mail:
[email protected] 1 alamat sekarang : Jur Kimia, Fak. MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Sistem batch akan memberikan gambaran kemampuan dari adsorben dengan cara mencampurkannya dengan larutan yang tetap jumlahnya dan mengamati perubahan kualitasnya pada selang waktu tertentu (Ruthven See,1984). Sedangkan sistem kontinyu secara praktis, proses ini mempunyai pendekatan yang jauh lebih baik untuk penerapan di lapangan karena sistem operasinya yang selalu mengontakkan adsorben dengan larutan segar, sehingga adsorben dapat mengadsorp dengan optimal sampai kondisi jenuhnya (Aksu,2003). Filtrasi merupakan proses pemisahan padat - cair melalui suatu alat penyaring (filter). Sedimentasi merupakan proses pemisahan padat - cair dengan cara mengendapkan partikel tersuspensi dengan adanya gaya gravitasi (Lara Abraiman dan Houssam El-Rassy,2000). Pengolahan limbah cair secara biologi salah satunya adalah dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang dapat menguraikan bahan-bahan organik yang terkandung dalam air limbah. Dari ketiga cara pengolahan diatas masing - masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pengolahan limbah cair secara kimia menghasilkan lumpur dalam jumlah yang besar, sehingga menimbulkan masalah baru untuk penanganan lumpurnya. Oksidasi menggunakan ozon selain biaya tinggi juga tidak efektif untuk mereduksi sulfur (Lara Abraiman dan Houssam El-Rassy,2000). Dari beberapa metode yang disebutkan diatas, metode adsorpsi adalah metode yang relatif lebih murah meskipun hal ini tergantung dari jenis adsorben yang digunakan. Sebagai upaya untuk mendapatkan adsorben yang relatif murah dapat dilakukan dengan cara pemanfaatan limbah, salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan adalah limbah dari abu batu bara. Abu batu bara merupakan materi sisa yang ada setelah semua materi yang dapat bakar (flameable) pada batu bara telah habis terbakar (Hessley,dkk., 1986). Oleh karena itu abu batu bara merupakan campuran yang kompleks sebagai hasil perubahan kimia komponen batu bara yang berlangsung selama pembakaran. Setelah pembakaran, batu bara menghasilkan dua macam limbah yaitu limbah abu layang dan limbah abu dasar. Limbah abu dasar dan abu layang merupakan salah satu abu limbah buangan dari hasil proses pembakaran batu bara
yang digunakan pada pembangkit tenaga listrik. Limbah abu layang adalah abu hasil transformasi, pelelehan atau gasifikasi dari material anorganik yang terkandung dalam abu batu bara, sedangkan limbah abu dasar adalah bahan buangan dari proses pembakaran batu bara pada tungku (boiler) (Molina & poole,2004). Dibandingkan abu layang, abu dasar ini relatif kurang pemanfaatannya. Hal ini dikarenakan jumlah abu layang yang dihasilkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan abu dasar. Pada satu proses pembakaran abu batu bara dihasilkan limbah abu layang sekitar 80% dan limbah abu dasar sekitar 20%. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2006, limbah abu layang yang dihasilkan mencapai 52,2 ton/hari dan limbah abu dasar mencapai 5,8 ton/hari. Sementara menurut peraturan (PP85/1999), limbah abu dasar dapat dikategorikan sebagai limbah bahan beracun dan berbahaya. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara memanfaatkannya. Abu dasar memiliki ukuran partikel dan berat yang lebih besar dibandingkan dengan abu layang (fly ash) sehingga menyebabkan abu dasar (bottom ash) jatuh pada dasar tungku pembakaran (boiler) dan terkumpul pada penampung debu (ash hopper), kemudian dikeluarkan dari tungku dengan cara disemprot air untuk dibuang atau diolah kembali untuk dapat dimanfaatkan dalam bentuk lain (Hermanus, 2001). Abu layang merupakan hasil limbah batubara yang sangat ringan dan berwarna coklat muda, sedangkan abu dasar memiliki berat lebih besar dibandingkan abu layang dan warnanya kecoklatan yang disebabkan adanya karbon yang tidak terbakar. Disamping sifat fisiknya yang berbeda, komposisi kimia abu layang dan abu dasar juga berbeda. Perbedaan yang paling mendasar adalah jumlah Si dan Al nya. Abu layang memiliki kandungan Si sebesar 56,13% dan Al sebesar 18,49%, sedangkan abu dasar mengandung Si dan Al sebesar 50,58% dan 14,99% (Kula,2008). Pemanfaatan abu dasar sebagai adsoben penyerap zat warna Vertigo navy marine telah diteliti oleh Dincer,dkk., 2007. Hasilnya menunjukkan bahwa abu dasar dapat mengadsorp zat warna dengan kapasitas adsorpsi hingga 3,82% mg/g dengan konsentrasi Navy
Marine
300
mg/L.
2.
Metodologi Abu dasar batubara yang digunakan pada penelitian ini berasal dari PT. IPMOMI Probolinggo. Struktur Kristal dan mineralogi dari abu dasar telah dianalisa pada penelitian sebelumnya yang menggunakan abu dasar yang sama dengan analisa X-ray Diffraction (XRD) dan komposisi kimia dianalisa menggunakan analisa X-ray Fluoroscene (XRF) (Yanti, 2009). 2.1 Studi Adsorpsi Studi adsorpsi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi (i) penentuan waktu setimbang, (ii) mempelajari beberapa variabel yang mempengaruhi kinerja adsorpsi yaitu konsentrasi awal adsorbat dan pH adsorbat. 2.1.1 Penentuan Laju Alir Untuk menentukan waktu setimbang dilakukan prosedur percobaan sebagai berikut. Pertama gelas kimia disiapkan dan dimasukkan methylen blue 10 mg/L sebanyak 50 mL. Abu dasar (bottom ash) sebanyak 0.5035 gram dimasukkan kedalam kolom gelas kemudian larutan metilen biru tersebut dialirkan dengan laju alir tertentu dan dilakukan pada suhu ruang. Effluent yang keluar kemudian di analisa metilen biru yang tidak diserap dengan UV-VIS dengan panjang gelombang maksimum 665 nm. 2.2.2 Variasi Konsentrasi Metilen Biru Metilen biru dengan variasi konsentrasi 7 mg/L, 10 mg/L, 15 mg/L, 18 mg/L, 20 mg/L, 22 mg/L, 25 mg/L, dan 28 mg/L. Kemudian abu dasar 0,5026 gram dimasukkan kedalam kolom gelas tersebut dan larutan dimasukkan kedalam kolom gelas lalu dialirkan dengan laju alir optimum yaitu 1,6 mL/menit. Kemudian effluent yang keluar dianalisa metilen biru yang tidak terserap dengan UV-VIS menggunakan panjang gelombang maksimum 665 nm. Setelah itu, adsorben dari proses adsorpsi metilen biru juga dianalisa menggunakan SEM JEOL JSM6360LA di Badan Geologi Bandung. 2.2.3 Penentuan pH optimum Percobaan ini bertujuan untuk menentukan pH optimum larutan pada proses adsorpsi metilen biru. Larutan metilen biru diatur pada pH 1 dengan menggunakan
penambahan HCL 0,1 M dan NaOH 0,1 M. Variasi pH yang digunakan pada penelitian ini adalah pH 1 sampai dengan pH 11. Adsorben sebanyak 0,512 gram di masukkan ke dalam kolom gelas. Kemudian larutan metilen biru yang telah diketahui pHnya di alirkan ke dalam kolom gelas tersebut dengan menggunakan laju alir optimum yaitu 1,6 mL/menit. Effluent yang dihasilkan dianalisa metilen biru yang tidak terserap dengan spektrofotomer UV – VIS menggunakan panjang gelombang maksimum 665 nm. 2.2 SEM Untuk mengetahui morfologi permukaan abu dasar sebelum dan setelah proses adsorpsi methylene blue dilakukan analisis menggunakan SEM. Sebelum dilakukan analisis, sampel dilapisi dengan emas paladium. Adsorben dari proses adsorpsi metilen biru dianalisa menggunakan SEM JEOL JSM-6360LA di Badan Geologi Bandung. 3. Hasil dan Diskusi 3.1 Pembuatan larutan kerja, penentuan panjang gelombang dan kurva kalibrasi Larutan metilen biru yang digunakan berwarna biru kehijauan. Setelah dilarutkan dalam aqua demineralisasi menjadi biru pekat. Larutan kerja metilen biru yang digunakan dibuat menjadi konsentrasi 7 mg/L dari larutan stok 100 mg/L untuk diukur panjang gelombang maksimum dari metilen biru menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis. Penentuan panjang gelombang maksimum diukur dari panjang gelombang (λ) 605nm 725nm, dari pengukuran tersebut diperoleh absorbansi tertinggi pada panjang gelombang (λ) 665nm. Data absorbansi pada tiap panjang gelombang yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.1
2
i
ps
i
r
s n
1,5
o
s d
b
a
)
r
o
1
o
a
s
(
t b
q
a
s
A
0,5
i
s
pa
0
k a
1000 800 600 400 200 0
580 600 620 640 660 680 700 720 740
0
2
4 (
w
a
6
k
)
t
P
a
n
j
a
n
g
G
e
l
o
m
b
a
nn
g
(
n
m
t
(
m
8
e
n
i
10
)
u
t
)
Gambar 4.2 Hubungan waktu kontak (menit) dengan kapasitas adsorpsi (qo) dengan konsentrasi awal 10 mg/l dengan metode kolom
Gambar 4.1 Grafik Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Metilen Biru 3.2 Studi Adsorpsi 3.2.1 Penentuan laju alir
)
o
s
(
t
q
a
i
i
Perlakuan variasi laju alir ini bertujuan untuk mengetahui besarnya kapasitas serapan maksimum dari masing-masing masing adsorben seiring dengan semakin tingginya laju alir alir. Setelah dilakukannya lakukannya adsorpsi dengan metode kolom maka dilakukan analisa pengukuran absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer UV – VIS dengan engan panjang gelombang 665 nm. Laju alir yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1,6 mL/menit; 4 mL/menit; 16 mL/menit; 26,4 mL/menit; nit; 33 mL/menit; 43,2 mL/menit mL/menit. Konsentrasi larutan metilen biru yang digunakan sebesar 10 mg/L.. Laju alir influen yang berbeda menyebabkan metilen biru yang ng diadsorpsi oleh adsorben berbeda pula. Laju alir larutan yang disirkulasi pada kolom adsorpsi sangat mempengaruhi jumlah metilen biru yang dapat diserap oleh absorbent. Pada hasil percobaan terlihat bahwa jumlah metilen biru lebih banyak diadsorp oleh adsorbent dsorbent pada saat laju alir yang kecil. Hal ini berkaitan dengan waktu kontak yang dibutuhkan oleh larutan dengan adsorbent agar terjadi pertukaran ion. Untuk laju alir kecil mengakibatkan waktu kontak yang lebih lama sehingga pertukaran ion lebih sering terjadi dibandingkan dengan laju alir yang lebih besar.
ps
s
r
pa
o
k a
s d
a
1000 800 600 400 200 0 0
10 Q
20 (
l
a
j
a
l
30 i
)
u
(
m
L
/
m
40 e
n
i
) t
r
Gambar 4.3 Hubungan laju alir (Q) dengan kapasitas adsorpsi (qo) dengan konsentrasi awal 10mg/l dengan metode kolom Gambar 4.3 menggambarkan bahwa hubungan antara waktu kontak dengan kapasitas serapan menunjukkan bahwa semakin lama waktu kontak maka kapasitas adsorpsinya juga semakin besar. Terlihat pula dari gambar bahwa pada menit ke 2,83 ke menit 6,93 kenaikan kapasitas adsorpsi yang sangat terlihat jelas. Tampak bahwa peningkatan laju alir mampu menurunkan kapasitas adsorpsi (qo), dan menaikkan waktu olah (t). Pada penelitian ini belum bisa isa didapatkan waktu setimbang (optimum) yang konstan demikian pula dengan laju alir hal ini dikarenakan harga kapasitas adsorpsi yang masih meningkat. Pada gambar 4.4 menjelaskan hubungan antara laju alir dan kapasitas adsorpsi bahwa peningkatan eningkatan laju alir ali mampu menurunkan kapasitas adsorpsi hal ini berhubungan dengan reaktivitas metilen biru dan interaksi yang terjadi di dalam kolom kol antara larutan metilen biru dengan adsorben akibat tekanan yang bertambah dari aliran influen. Seperti halnya untuk laju alir ali ini juga belum diperoleh laju alir maksimum dikarenakan harga kapasitas adsorpsi masih meningkat. Pada laju alir yang berbeda akan mempengaruhi waktu
50
pembuangan dan waktu penerobosan (tB) yaitu waktu yang dibutuhkan larutan keluaran untuk mencapai konsentrasi tertentu sehingga semakin besar laju alir maka semakin kecil pula influen yang teradsorp oleh adsorben adsorben. Waktu penerobosan akan meningkat dengan menurunnya laju alir yang digunakan pada sistem tersebut. Sedangkan waktu pembuangan (tE) yaitu waktu yang dibutuhkan larutan keluaran untuk mencapai hampir 99% , akan menurunn dengan meningkatnya laju alir alir. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah bahwa waktu kontak dalam kolom tidak cukup lama untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi pada laju alir. Larutan meninggalkan inggalkan kolom sebelum kesetimbangan terjadi. Dengan laju alir yang bervariasi maka dapat diperoleh kapasitas serapan yang bervariasi pula seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Z. Aksu et al. (2004). Pada saat yang sama peneliti lain melakukan adsorpsi metilen biru dengan metode bacth. Hasil yang didapat oleh peneliti terseb tersebut dapat dilihat pada gambar 4.5: 1
yang terjadi pada penelitian ini merupakan adsorpsi fisika. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya intermolekular lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang y relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben, gaya ini disebut gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben (Khartikeyan,2004). (Khartikeyan,2004) Bir 3.2.2 Variasi Konsentrasi Metilen Biru Perlakuan variasi konsentrasi ini sama dengan perlakuan sebelumnya yaitu bertujuan untuk mengetahui besarnya kapasitas serapan maksimum dari masing-masing masing adsorben seiring dengan semakin tingginya konsentrasi. Setelah dilakukannya lakukannya adsorpsi dengan metode kolom maka dilakukan analisa pengukuran absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer UV – VIS dengan engan panjang gelombang maksimum pada 665 nm, sehingga ehingga didapat hasil pada tabel 4.3 dan pada gambar 4.6 berikut. berikut Sedangkan pada gambar 4.7 .7 diberikan gambar hubungan hub konsentrasi dengan kapasitas adsorpsi pada sistem bacth. : 3000 )
o
t
0,5
s
q
(
t
q
a
i
i
0
2000
ps
s
r
pa
o
0
500
1000
1500
2000
a
s d
a
w
a
k
( t
u
m
e
n
i
) t
1000
k
0 0
k
o
n
10 s
e
n
a t
s
ii
(
p
20 p
m
)
30
r
ariasi waktu versus persen Gambar 4.4 Variasi removal dari abu dasar dengan metode bacth (Permata Sari, 2010) Pada sistem kolom semakin meningkatnya waktu kontak maka semakin banyak adsorben sorben mengadsorp metilen biru biru. Hal ini pun terjadi pula pada adsorpsi sistem bacth yaitu dengan engan bertambahnya waktu kontak kontak, jumlah adsorbat yang terserap pada permukaan adsorben semakin meningkat hingga tercapai titik setimbang. Dari kedua metode yang ada baik dengan metode kolom maupun metode bacth sama – sama mengalami peningkatan kapasitas adsorpsi dengan waktu kontak yang lama. Hal yang mempengaruhi adsorp adsorpsi adalah kadar karbon yang ada dalam adsorben, karena semakin in banyak kadar karbon maka semakin cepat proses adsorpsi berlangsung. Adsorpsi
Gambar 4.6 Hubungan variasi konsentrasi konse dengan kapasitas adsorpsi (qo) pada waktu optimum dengan sistem kolom Tabel 4.3 Data pengaruh konsentrasi yang teradsorp pada waktu optimum Kapasitas Co Absorbansi Ct Co – Ct Adsorpsi (mg/L) (mg/L) (mg/L) (qo) (mg/g) 6,382 633,764 0,216 0,618 7 0,296 8,939 887,686 1,061 10 1287,189 0,473 2,038 12,962 15 0,624 1502,185 2,873 15,127 18 0,851 1576,266 4,127 15,873 20 0,983 1702,483 4,856 17,144 22 1,025 1977,358 5,088 19,912 25 1,198 21,956 2180,338 6,044 28
15 10 t
q
5 0 0
50 k
o
n
s
100 e
n
a
s
i
(
p
p
mm
150 )
t
r
Gambar 4.7 Variasi ariasi konsentrasi versus kapasitas removal dari abu dasar pada sistem batch (Permata Sari,2010) Dari gambar 4.6 tersebut tampak bahwa kemampuan mampuan penyerapan metilen biru meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi metilen biru. Pada konsentrasi 7 mg/L ke konsentrasi 10 mg/L mengalami peningakatan, hal tersebut terlihat juga pada saat konsentrasi metilen biru ditingkatkan maka kapasitas adsorpsi yang didapat juga semakin meningkat. Tetapi dari penelitian ini belum didapatkan konsentrasi maksimum dari metilen biru yang dapat diadsorp oleh abu dasar sehingga dimungkinkan masih dapat terjadi adsorpsi pada konsentrasi yang lebih tinggi hal ini dikarenakan pada konsentrasi rasi setelah 28 mg/L masih didapatkan kapasitas adsorpsi yang semakin meningkat. Peningkatan konsentrasi disebabkan oleh peningkatan daya dorong yang lebih besar akibat meningkatnya atnya konsentrasi metilen biru.. Alok mittal,V.K Gupta, Arti malviya,dan Jyotimittal imittal juga meneliti pengaruh konsentrasi awal terhadap penyerapan zzat warna menggunakan abu dasar. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penyerapan zat warna meningkat dengan meningkatnya gkatnya konsentrasi awal zat warna. na. Pada kedua gambar terlihat bahwa semakin kin besar konsentrasi metilen biru maka semakin besar pula zat yang teradsorp. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsentrasi zat warna dapat menyebabkan meningkatnya daya dorong adsorbat at sehingga banyak metilen biru yang terserap. Nilai q merupakan bbesarnya kapasitas penyerapan metilen biru yaitu jumlah metilen biru yang terserap dalam permukaan adsorben. Demikian pula pada gambar 4.7 dimana dalam adsorpsi menggunakan sistem
bacth juga mengalami kenaikan kapasitas adsorpsi dengan meningkatnya konsentrasi konsentr metilen biru. Tetapi dalam sistem bacth belum juga didapatkan konsentrasi maksimum dari metilen biru dikarenakan semakin besar konsentrasi maka kapasitas adsorpsi yang didapat semakin meningkat. Meningkatnya kekuatan ion akan menurunkan kapasitas adsorpsi rpsi jika terjadi daya tarik elektrostatik antara permukaan adsorben dengan ion dari adsorbat. Tetapi jika kekuatan ion meningkat sehingga akan meningkat pula kapasitas adsorpsi maka tidak terjadi gaya tarik elektrostatik antara permukaan adsorben dengan ion on adsorbat. Peningkatan adsorpsi zat warna dengan adanya penambahan kekuatan ion dikarenakan adanya peningkatan dimerisasi dari pewarna reaktif pada larutan. Dimerisasi molekul zat warna dipengaruhi oleh induksi ion garam, sehingga akan meningkatkan adsorpsi adsor zat warna pada permukaan adsorben. Dimerisasi zat warna dijelaskan oleh gaya Van Der Waals (P. ( Pengthamkeerati, 2007). Janos, dkk dan AlAl Degs, dkk juga menemukan pengaruh atau tidaknya kekuatan ion pada adsorpsi zat warna oleh karbon aktif. Menurutt penelitian Marmagne (2004) pengurangan warna pada limbah tekstil dengan karbon aktif memberikan hasil jenis pewarna mordant dan asam dapat berkurang 90%, jenis pewarna direk dan dispersi dapat berkurang menggunakan berbagai adsorben untuk mengurangi zat warna dan mendapatkan hasil bahwa karbon aktif adalah yang paling efektif dengan pengurangan warna hingga 90%. Sedangkan pada penelitian Somboon menggunakan karbon aktif berbahan dasar kayu untuk mengadsorpsi jenis pewarna direk dengan intensitas penyerapann mencapai 57-80%. 57 Yassin (2004) menggunakan karbon aktif komersial untuk menurunkan intensitas zat warna metilen biru memberikan hasil pengurangan sebesar 8080 90% . 3.2.3 Penentuan pH optimum Variasi pH ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pH yang optimum untuk penyerapan metilen biru. Hasil variasi pH ini dapat dilihat pada tabel 4.4 dan pada Gambar 4.88 sedangkan pada gambar 4.9 diberikan
gambar hubungan pH dengan kapasitas adsorpsi pada sistem bacth. 1200 )
o
(
q
1000
i
800
ps
r
o
600
s d
A
400
s
t
a
i
200
s
pa
0
K
a
0
5
10
H
p
15
Gambar 4.8 Hubungan pH dengan kapasitas adsorpsi (qo) pada waktu optimum dengan metode kolom Tabel 4.4 Data pengaruh pH pada adsorpsi metilen biru pH
Absorbansi
Ct (mg/L)
Co – Ct (mg/L)
2 3 5 6 8 9 10 11 12
0,160 0,180 0,215 0,223 0,266 0,284 0,306 0,444 0,578
0,309 0,419 0,613 0,713 0,895 0,994 1,116 1,878 3,193
9,691 9,581 9,387 9,287 9,105 9,006 8,884 8,122 6,807
Kapasitas Adsorpsi (qo) (mg/g) 962,36 951,43 932,174 922,244 904,171 894,33 882,22 806,55 675,96
5 4,9 t
4,8 q
4,7 4,6 0
5
10 p
15
H
Grafik 4.9 Kurva pH versus kapasitas adsorpsi abu dasar sistem bacth (Permata Sari,2010) Gambar 4.8 menunjukkan bahwa pengaruh pH terhadap proses adsorpsi menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi metilen biru menurun dengan semakin tingginya pH. Kapasitas adsorpsi pada pH asam lebih besar
daripada pH basa. Pada gambar menunjukkan bahwa pada saat metilen biru dengan pH 2 dengan pH 3 terlihat penurunan kapasitas adsorpsi dari metilen biru. Hal ini juga ditunjukkan pada pH lainnya yaitu semakin menurunnya kapasitas adsorpsi pada metilen biru seiring meningkatnya pH dari metilen biru. Pada gambar 4.9 dimana adsorpsi metilen biru dengan menggunakan metode bacth juga mengalami hal yang serupa dengan metode kolom yaitu penurunan kapasitas adsorpsi dengan meningkatnya pH pada metilen biru. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian dari Adnan,dkk, (2006) bahwa tingginya proses adsorpsi pada pH asam dikarenakan meningkatnya protonasi oleh penetralan muatan negatif dari permukan adsorben. Sistem reaksi- difusi adalah konsentrasi dari satu atau lebih substansi terdistribusi dalam ruang berubah karena pengaruh dua proses yaitu reaksi kimia lokal dimana substansi diubah menjadi yang lain, dan difusi yang menyebabkan substansi menyebar dalam ruang. R – Cl(aq) + H2O R – OH(aq) + H+(aq)
R – OH(aq) + HCl(aq) R - OH2+
Adsorpsi maksimum metilen biru terjadi pada pH 2 dimana terjadinya kesetimbangan antara zat warna dengan ion hidroksil didalam larutan, sehingga zat warna mampu menangkap ion hidroksil yang ditambahkan dan metilen biru terus mengalami penurunan kapasitas adsorpsi pada pH 3 sampai pH 10. Agregasi fasa padat dari metilen biru diaktifkan oleh karbon sehingga terjadi interaksi antara kationik pada dye dan karboksil, karbonil, dan dasar funsgsional pada struktur karbon aktif (Walker dan Weatherley, 2001). Jika dianalisa pada daerah pH netral kemungkinannya pada metilen biru dapat terjadi oksidasi di permukaannya, sehingga dapat memberikan muatan positif ke permukaan karbon (Mohan,dkk, 2002). Pada pH rendah permukaan dari adsorben menjadi muatan positif dan akan terjadi serapan dari kation metilen biru sehingga terjadi pertukaran adsorpsi (Mohan,dkk, 2002). Selanjutnya pada pH 11 dan pH 12 terjadi penurunan kapasitas adsorpsi yang cukup drastis. dikarenakan pH basa dapat mengganggu peningkatan protonasi
pada larutan metilen biru. Hal ini dikarenakan -
ion OH yang terlalu banyak dalam larutan tidak mampu ditangkap oleh zat warna, sehingga -
masih banyak ion OH yang bebas didalam larutan yang menyebabkan terjadinya kompetisi -
antara zat warna dengan ion OH bebas untuk menempati permukaan karbon aktif yang akan menurunkan daya adsorpsi zat warna dengan karbon aktif. Hal lain juga dikarenakan OHakan menetralkan larutan metilen biru sehingga kecenderungan muatan negatif pada adsorben tidak menarik adsorbat (Adnan,dkk, 2006). Oleh karena itu pH 12 terjadi perubahan warna menjadi ungu setelah mengalami adsorpsi. Pada pH tinggi permukaan metilen biru akan meningkatkan kation bermuatan positif melalui kekuatan elektrostatik tarik menarik. Dengan meningkatnya kebasaan maka lapisan adsorben mengalami perubahandari positif ke negative, oleh karena itu dapat menurunkan kapasitas adsorpsi (Gupta,dkk, 2003) 3.3 SEM Morfologi abu dasar dipelajari dengan menggunakan mikroskop elektron (SEM). Hasil SEM dari abu dasar murni ditunjukkan pada gambar 2.2. Pada gambar dapat terlihat bahwa abu dasar yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk seperti bola dan bentuknya tidak beraturan. Permukaan abu dasar halus dan kasar. Hal inilah yang berfungsi ketika abu dasar digunakan sebagai adsorben untuk memisahkan limbah zat warna.
Gambar 4.10 (a) SEM perbesaran 1000x.(b)SEM perbesaran 10000x dari abu dasar Gambar 4.10 merupakan hasil SEM dari abu dasar yang telah mengadsorp metilen biru. Pada gambar terlihat bahwa partikel abu dasar
tidak terlihat lagi karena tertutupi oleh metilen biru. Hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi metilen biru pada abu dasar termasuk jenis adsorpsi fisika. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya intermolekular lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben, gaya ini disebut gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben (Khartikeyan, 2004). 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Laju alir maksimum pada adsorpsi metilen biru ini adalah 1,6 mL/menit. Sehingga semakin meningkat laju alir maka semakin turun kapasitas adsorpsinya. Semakin meningkat waktu kontak maka semakin besar kapasitas adsorpsi.
2. Berdasarkan hasil variasi konsentrasi diperoleh bahwa semakin meningkat konsentrasi, kapasitas adsorpsinya juga meningkat. 3. pH optimum untuk adsorpsi metilen biru terjadi pada pH 2.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNYA 2. Orang tua tercinta dan seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya baik berupa material maupun spiritual. 3. Dra.Ita Ulfin M.Si dan Nurul Widiastuti Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, arahan, pemahaman dan segala diskusi serta semua ilmu yang bermanfaat selama penyusunan tugas akhir. 4. Teman – teman dan seperjuangan tugas akhir, sahabat – sahabat tercinta atas bantuan, semangat, dan kerjasamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Aksu, Z., Gonen, H., Demircan, (2002), Biosorption of Chromium (VI) Ions by Mowital®B30H Resin Immobilized Activated Sludge in a Packed Bed: Comparison with Granular Activated Carbon, Process Biochem, 38: 175–186
Kementrian Lingkungan Hidup, (2006),” Pengelolahan Bahan dan Limbah Berbahaya dan Beracun”, www.Lingkunganhidup.com Kroschwitz, Jacqueline(ed), (2009),”Polymers: Polymer Characterization and Analysis”, John Wiley and Sons: USA.
Aksu, Z. dan Gonen, H., (2004), Biosorption of Phenol by Immobilized Activated Sludge in A Continuous Packed Bed: Prediction of Breakthrough Curves, Process Biochem, 39: 599–613
Lara Abramian, and Houssam El-Rassy, (2000), ”Adsorption kinetics and thermodynamics of azo-dye Orange II onto highly porous titania aerogel”, Journal Dyes and Pigment, Elsevier
Chindaprasirt, Prinya, (2008), “Comparative Study on the Charateristics of fly ash and Bottom ash Geopolymers”, Journal of Waste Management, P.1-5 Dincer, Gunes, dkk., (2006), “Comparison of Actived Carbon and Bottom Ash for Removal Dye from Aqueos Solution”,Journal Bioresource Technology, hal 834-839
Molina,
A. and Poole, C, (2004), “A Comparative Study Using Two Methods To Produce Zeolite from Fly Ash”, Minerals Engineering, 17, hal 167 – 173
Noor
dan Slamet, (2008) “Tinjauan Kesetimbangan Adsorpsi Tembaga Dalam Limbah Pencuci PCB dengan Zeolit”, Skripsi Universitas Tinggi Teknologi Nuklir- Batan, Yogyakarta.
Dizge, dkk., (2007), “ Adsorption or Reactiv Dyes from Aqueos Solutions by Fly Ash: Kinetic and equilibrium Studies”, Journal of Hazardous Materials, Elseviers. Harvey
David, (2000), “Analitycal Chemistry”, Mc.Graw Hill, Osborne.
Hermanus, Patrick A.Y, (2001), “Perilaku Penggunaan Bottom Ash Pada Campuran Aspal Beton’, Skripsi Universitas Kristen Petra, Surabaya. Irvan, Renita, dkk, (2004), “Perombakan Zat Warna Azo Reaktif Secara anaerob – aerob”, Skripsi Universits Sumatera Utara. Karthikeyan, G., Anbalagan, K., Andal, N.M. 2004. Adsorption Dynamics and equilibrium Studies of Zn(II) onto Chitosan. Indian Journal Chemical Science. 116. pp. 119-127
Rastogi dan Sahu, dkk., (2008), “Removal of Methylene Blue from Waterwaste Using Fly Ash an Adsorbent Adsorption Kinetics and Mechanism of Cationic Methyl Violet and Methylen BlueDyes Onto Sepiolite”, Journal of Hazardous Materials, hal 531-540.
Ruthven, See. (1984), “Principles of Adsorption and adsorption process”, john wiley, New York, Hal.124. Sen,
S. and Demirer, G.N, (2003), “Anaerobic Treatment of Synthetic Textile Wastewater Containing a Reactiv Azo Dye, Journal of Enviromental Engineering (ASCE)”, Hal. 129.595-601.
Sook Shim, Young, et al, (2002), “The adsorption characteristics of heavy metals by various particle sized of
MSWI bottom ash”, Journal of waste management, P.851-857 Wan Ngah, W.S., 2002. Removal Copper (II) ions from aqueous Solution onto Chitosan and Cross-linked Chitosan Beads. Reactive and Functional Polymers. 50, 181-190 Yanti, (2009), “Sintesis Zeolit A dan Zeolit AKarbon dari Abu Dasar PT.IPMOMI PAITON dengan metode fusi”, Thesis Kimia FMIPA ITS, Surabaya.