ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERBUATAN CABUL SESAMA ANAK
Oleh:
CHANDRA KUSUMA DEWI NIM. 030610247 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2010
i Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERBUATAN CABUL SESAMA ANAK SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH CHANDRA KUSUMA DEWI NIM 030610247
DOSEN PEMBIMBING
PENYUSUN
SOEDARTI, S.H., M.H NIP. 19460425 197802 2001
CHANDRA KUSUMA DEWI NIM. 030610247
ii Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2010
Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan dihadapan panitia penguji pada Tanggal 25 Januari 2010
Panitia Penguji Skripsi :
Ketua
: Tilly A.A Rampen,S.H.,M.Hum.
....................................
NIP: 19480830 197603 2001
Anggota
: 1. Soedarti , S.H,M.H
....................................
NIP. 19460425 197802 2001
2. Bambang Suheriyadi, S.H., MH
.………………………
NIP. 19680928 199702 2001
3. Dr.Sarwirini,S.H,MS
………………………
NIP. 1960929 198502 2001
iii Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRAK Banyaknya perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak. Salah satunya adalah kejahatan kesusilaan yaitu perbuatan cabul. Dimana korban dari perbuatan itu adalah anak permpuan dan terjadi pada lingkup anak dengan anak dikarenakan suka sama suka. Terdapat peranan korban dalam hal terjadinya perbuatan cabul pada anak dengan anak. Dengan adanya peran korban maka sudah selayaknya peran korban dijadikan salah satu pertimbangan dalm penjatuhan pidana, karena baik pelaku maupun korban bertanggungjawab atas perbuatannya, karena baik korban maupun pelaku berada didalam posisi sama – sama salah. Provokasi atau kontribusi korban terhadap terjadinya viktimisasi dalam perspektif viktimologi sering
disebut
victim
precipitation
yang
sekaligus
berkaitan
dengan
pertanggungjawaban korban atas viktimisasi. Mengacu pada konsep tersebut, korbanpun dapat memiliki andil dalam terjadinya viktimisasi dan sudah selayaknya demi keadilan korbanpun dapat dipertanggungjawabkan dan dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana.
iv Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
ii
KATA PENGANTAR......................................................................................
vii
ABSTRAK……………………………………………………………….......
ix
DAFTAR ISI....................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................
1
1.
Latar Belakang.........................................................................
1
2.
Rumusan Masalah....................................................................
14
3.
Metode.....................................................................................
14
1.3.1
Pendekatan Masalah………………………………….
14
1.3.2
Sumber Bahan Hukum.................................................
14
1.3.3
Prosedur Pengumpulan dan pengolahan Bahan
1.3.4 BAB II
Hukum……………………………………………….
15
Analisis Bahan Hukum………………………………
15
ANAK YANG MENAWARKAN DIRI DILAKUKANNYA PERBUATAN CABUL................................................................. 2.1
Kedudukan dan
Peranan Anak Perempuan Dalam
Perbuatan Cabul….................................................................. 2.2 Persekongkolan
16
Antara
Korban
dan
16
Pelaku
Kejahatan…….........................................................................
24
2.3 Status HukumAnak Dalam Perbuatan Cabul………………..
27
v Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG BERPERAN SERTA DALAM PERBUATAN CABUL.... 35 3.1 Delik-Delik
Susila
Tentang
Perbuatan
Cabul
Dan
Pertanggungjawabannya..........................................................
35
3.2 Pertanggungjawaban Pidana Bagi Orang Dewasa Yang Melakukan Perbuatan Cabul Pada Anak……….…………….
47
3.3 Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak Yang Melakukan Perbuatan Cabul Pada Sesama Anak………………………...
51
BAB IV PENUTUP........................................................................................
58
4.1 Kesimpulan..............................................................................
58
4.2 Saran........................................................................................
59
DAFTAR BACAAN
vi Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG Problematika pada manusia beragam bentuknya dan datang silih berganti.
Problem tersebut tidak akan kenal kata akhir. Manusia dililit oleh berbagai masalah yang kadang di buatnya sendiri atau akibat dari perbuatan orang lain dimana hal tersebut terkadang menjadikan manusia kehilangan arah dan tujuan hidup. Manusia mempunyai keinginan dan tuntutannya yang dibalut oleh nafsu tetapi dengan adanya kegagalan mengendalikan hasrat yang berlebihan tersebut menyebabkan masalah yang di hadapinya semakin beragam. Setiap orang memiliki ambisi untuk memperoleh kedudukan maupun kesenangan dalam hidup. Kepentingan ekonomi, tuntutan biologis, kompetensi prestise, status dan harga diri, dimana hal tersebut terkadang membuat seseorang melakukan penyimpangan untuk memenuhi ambisinya. Akibatnya timbul kejahatan yang akhirnya menjadi masalah bagi dirinya sendiri maupun orang lain yang ada disekitarnya. Kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatannya merupakan bentuk pengingkaran terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam prespektif historis dapat dikatakan bahwa usia kejahatan itu sama dengan usia sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini. Sejak Qabil putra Nabi Adam membunuh adiknya Habil karena perasaan dendam, dengki dan kecemburuan, maka sejak saat itulah sejarah mencatat mengenai suatu peristiwa 1 Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
2
kejahatan/criminal yang terjadi antara sesama manusia. Kejahatan dapat terjadi karena disulut ambisi dan nafsu yang tidak dikendalikan. Hasrat untuk memuaskan nafsu dan dendam dapat mengakibatkan seseorang kehilangan naluri kemanusiaannya. Bahkan saat manusia kehilangan naluri kemanusiannya, mereka tidak akan mengenali saudaranya sendiri. Saudara sendiri pun dapat menjadi korban
kejahatan
seorang manusia
yang
menjadi
gelap
mata
karena
keserakahannya. Sehubungan dengan kejahatan, terdapat banyak pendapat dari para pakar, salah satunya adalah pendapat dari J. E Sahetapy, beliau berpendapat bahwa, “ berbicara mengenai kejahatan dan penjahat saya berkesimpulan bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, mengandung suatu pengertian dan penamaan yang relative mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif) yang dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai suatu perbuatan yang anti sosial, suatu perkosaan terhadap nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu”.1 Pengertian kejahatan menurut kamus hukum adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis yang dalam hal ini hukum pidana.2 Namun secara yuridis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak ada peraturan tentang pengertian kejahatan,
yang ada adalah perbuatan pidana yang dimasukkan
sebagai kejahatan yang diatur dalam buku ke dua KUHP dari Bab I sampai dengan bab XXXI.
1
J.E.Sahetapy, Paradoks Dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta, h .2.
2
Skripsi
Sudarsino, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.121.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
3
Membicarakan perbuatan pidana tidak terlepas dengan akibat-akibat yang ditimbulkanya di tengah masyarakat, baik akibat terhadap individu maupun kelompok dan bersifat institusional dan keorganisasian. Akibat-akibat yang ditimbulkan ini menjadi tolak ukur suatu modus dari perbuatan pidana, apakah perbuatan pidana itu merupakan kejahatan atau pelanggaran. Ada yang berasumsi bahwa suatu kejahatan itu tidak tergolong serius, meresahkan, dan merugikan masyarakat, namun ada pula yang menyatakan bahwa kejahatan itu terjadi benarbenar mengakibatkan penderitaan yang luar biasa. Persoalan kejahatan kemudian menjadi problem serius yang dihadapi oleh setiap bangsa dan Negara di dunia ini, karena kejahatan pasti menimbulkan korban. Problem kejahatan tetap menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat yang kemungkinan munculnya seringkali tidak dapat diduga atau tibatiba saja terjadi di suatu lingkungan dan komunitas yang sebelumnya tidak pernah diprediksi akan timbul suatu kejahatan. Siapa saja dapat
menjadi korban
kejahatan namun pada umumnya adalah perempuan dan anak karena berdasarkan fisik mereka lebih lemah dari pelaku yang pada umumnya laki- laki. Khusus kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan, Dra. Kristi Purwandari, M.Hum, dalam makalahnya yang berjudul “Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologi Feministik” memberikan pemetaan gambaran umum tentang kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya, ada berbagai bentuk kekerasan, yaitu:
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
4
a. Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, mencekik dan sebagainya; b. Kekerasan
psikologis,
seperti
berteriak-teriak,
menyumpah,
mengancam, melecehkan dan sebagainya; c. Kekerasan seksual, seperti melakukan tindakan yang mengarah keajakan/ desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan sebagainya; d. Kekerasan financial seperti mengmbil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan financial dan sebagainya; e. Kekerasan
spiritual
seperti
merendahkan
kepercayaan
dan
keyakinan korban memaksa korban mempraktekan ritual tertentu;3 Kekerasan yang menonjol dan sering terjadi akhir-akhir ini pada perempuan adalah kekerasan seksual. Kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual itu bahkan tidak hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur yaitu belum genap 18 tahun atau dapat diketegorikan sebagai anak-anak. Anak perempuan dijadikan sebagai objek komoditas(perdagangan) atau pemuas nafsu bejat (animalistik) dari seseorang dan kelompok tertentu yang menjalankan bisnis seksual guna meraih keuntungan ekonomi berlipat ganda. Banyak anak perempuan yang menjadi korban kejahatan kesusilaan yaitu perbuatan cabul baik yang dilakukan oleh orang terdekat maupun orang lain. 3
Achie Sudiarti Lhulima, Penahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Alumni, Jakarta h.IXs
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
5
Pelecehan seksual atau pun pencabulan pada dasarnya adalah merupakan bagian dari kekerasan gender, artinya kedua bentuk tindak pelanggaran terhadap hak perempuan ini dilakukan bukan semata-mata karena faktor spontanitas atau sekedar penyaluran libido para lelaki bejat yang sudah tak bisa lagi ditunda, melainkan peristiwa ini terjadi karena di belakang benak pelaku maupun korban terdapat nilai dan ideologi gender yang menempatkan perempuan, khususnya anak perempuan dalam posisi yang marginal atau tersubordinasi. Dalam berbagai kasus pencabulan atau kekerasan seksual lainnya, sering kali yang dipersalahkan adalah pihak korban. Pengertian cabul menurut Oemar Seno Adji adalah sesuatu yang melanggar kesusilaan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan. Berbeda dengan pengertian cabul, pornografi diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan dengan tulisan atau gambaran. Kedua hal tersebut tersebut termasuk dalam ruang lingkup dari delik susila. Pengertian delik susila adalah segala delik yang berhubungan dengan dengan sex dan karena itu selalu sex related sifatnya. Sebagai delik susila dan sebagai obyek hukum pidana ia didasarkan aturan-aturan kesusilaan dalam arti yang luas. Jadi pada dasarnya menurut Oemar Seno Adji antara cabul maupun pornogarfi mempunyai pengertian yang sama yaitu merupakan sesuatu yang melanggar kesusilaan.4 Perlu diketahui bahwa dalam prespektif masyarakat, kejahatan seksual memiliki bentuk yang bermacam-macam seperti perzinahan, homoseksual, samen leven (kumpul kebo), lesbian, pelacuran, pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dengan cara 4
Skripsi
Oemar Seno Adji, Mass Media dan Hukum, Erlangga, Jakarta,1973, h. 123.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
6
berganti-ganti pasangan). Namun demikian diantara kejahatan seksual itu ada diantaranya tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ada diantara kejahatan seksual atau kejahatan kesusilaan yang dilakukan atas dasar suka sama suka dan melalui transaksi (ada imbalan berupa uang atau barang untuk melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran dan prostitusi. . Diantara kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak perempuan salah satu modus yang digunakan adalah penipuan. Dalam kasus kekerasan terhadap anak perempuan, adakalanya anak tersebut tidak mengetahui bahwa dirinya akan dijadikan obyek perkosaan, dicabuli dan kemudian di perdagangkan. Perbuatan cabul bisa dilakukan dalam lingkup keluarga dan bisa juga terjadi dalam lingkup pelacuran. Dalam pelacuran apalagi yang menjadikan anak sebagai pekerja tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali anak mendapatkan perlakuan cabul dari para penikmat bisnis pelacuran ini.
Anak – anak yang
menjajakan dirinya di pinggir – pinggir jalan dengan memakai pakaian – pakaian minimalis dapat mengundang orang untuk berbuat cabul terhadap dirinya. Pendapat dari Kartini Kartono mengenai pelacuran dan prostitusi adalah sebagai berikut: Prostitusi adalah bentuk penyimpangan sosial dengan pola-pola organisasi impuls/ dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersional tanpa afeksi sifatnya. Pelacuran adalah peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
7
kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.5
Jadi prostitusi atau pelacuran dapat diartikan sebagai suatu transaksi antara perempuan pelacur dan si pemakai jasa pelacur yang memberi sejumlah uang, jasa maupun barang untuk interaksi seksual. Secara garis besar Saptari (1997) menyebutkan paling tidak ada tiga faktor yang mendorong seseorang menjadi pelacur. Pertama karena keadaaan ekonomi atau kondisi kemiskinan rumah tangga perempuan maupun anak yang menjadi pelacur. Kedua karena pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk peran yang diciptakan untuk mereka. Ketiga, karena sistem paksaan dan kekerasan.6 Istilah anak yang dilacurkan menunjuk pada objek yakni anak-anak yang terlibat dalam prostitusi dan sengaja dipilih untuk memberikan tekanan pada bobot yuridis dimana seorang anak yang pada dasarnya berbeda dari orang dewasa harus dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk memilih prostitusi sebagai profesi, dengan demikian istilah tersebut menegaskan posisi anak sebagai korban dan bukan pelaku. Ketika seorang dewasa melakukan hubungan seksual dengan anak yang belum berumur 18 tahun maka orang tersebut akan dianggap sebagi pelaku yang 5
Kartini Kartono, Phatologi Sosial, Rajawali, Jakarta, 1981, h 211.
6
Bagong Suyanto dan Sri Sianturi Hariadi, Krisis& Child Abuse, Jakarta, 2002,
h. 56.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
8
telah melakukan penyimpangan seksual ataupun kejahatan seksual kepada anak. Secara yuridis orang dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan anak dianggap mempunyai kelainan dan telah melakukan perbuatan cabul pada anak, namun dewasa ini perbuatan cabul juga sering dilakukan oleh ayah kepada anaknya, saudara ataupun teman dan hubungan kekasih. Perbuatan cabul ini dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak bahkan oleh anak kepada anak. Perbuatan cabul merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam bab XIV Buku ke dua KUHP tentang kejahatan kesusilaan. Pengertian perbuatan cabul itu sendiri adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, yang semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya
mencium, meraba-raba anggota kemaluan,
meraba-raba buah dada. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul akan tetapi dalam undang-undang ditentukan sendiri.7 Dalam peraturan per undang-undangan di Indonesia terdapat beberapa aturan yang melarang perbuatan cabul terhadap anak yaitu pelaku yang sengaja menjadikan anak sebagai korban dari perbuatan cabul dimana ancaman pidananya antara lain terdapat dalam pasal 293 ayat 1 KUHP dimana dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa ; ”Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakan seorang yang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup 7
Skripsi
R soesilo, KUHP serta komentar – komentarnya, Politeia, Bogor , 1966 h. 212.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
9
umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Bagi mereka yang memberi sarana dilakukannya perbuatan cabul dan menjadikannya sebagai penghasilan diancam pidana paling lama satu tahun empat bulan. Dimana pengaturannya pada pasal 296 KUHP disebutkan bahwa : ”Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagi pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah”. Adapun Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak dimana ancaman pidananya lebih berat daripada pasal-pasal tersebut diatas yaitu paling lama 15 tahun. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 82 yang menyebutkan bahwa : ”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah)dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. Berdasarkan beberapa pasal diatas dapat disimpulkan bahwa dalam perbuatan cabul, korbannya adalah anak. Dalam hal membahas tentang anak perlu pengertian apa yang dimaksud dengan anak. Batasan umur untuk disebut sebagai anak terdapat dalam berbagai peraturan antara lain terdapat dalam :
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
-
10
UU Perlindungan Anak yaitu UU no 23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas ) tahun, termasuk yang masih dalam kandungan.
-
Sedangkan menurut UU no 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 menyebutkan anak adalah : Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8(delapan) tahun tapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
-
Adapun UU tentang Kesejahteraan Anak yaitu UU no 4 tahun 1979 disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 : Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin.
Dewasa ini tidak jarang bahwa pelacuran anak dilakukan atas kemauan dan kesadaran anak itu sendiri atau anak berperan aktif dalam melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan perubahan sikap hidup yang cenderung komsumtif dan hedonisme, dimana anak-anak terutama usia remaja ingin mendapatkan semua kebutuhanya dengan cara mudah atau melalui jalan pintas. Mereka tidak lagi menjadi objek melainkan sebagai subjek dalam ekploitasi komersial seksual itu sendiri. Dalam perkembangannya anak secara sadar terjun ke dalam ekploitasi komersial seksual kepada dirinya sendiri dengan berbagai alasan dan salah satu alasan adalah pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam pelacuran anak tidak terlepas dari
kegiatan lain yang
berhubungan dengan praktik-praktik seksual lainya antara lain
pencabulan,
perdagangan anak, eksploitasi seksual komersial terhadap anak, dan pornografi
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
11
anak. Banyak sekali kasus kejahatan kesusilaan yang tidak lagi menjadikan anak sebagai korban namun juga sebagai pelaku. Hubungan seksual antara anak dengan anak, dimana anak perempuan kerap dijadikan sebagai korban dalam perkembangannya pun sering sekali dilakukan dengan alasan suka sama suka. Perkembangan akhir-akhir ini yang terjadi dalam masyarakat, anak yang berpacaran kerap kali melakukan perbuatan cabul dengan dasar suka sama suka. Kemudian hubungan ini menjadi lebih intim dimana pihak perempuan secara sukarela menjadikan dirinya korban dari kejahatan kesusilaan yang menimpa dirinya dalam hal ini pencabulan. Dalam KUHP masalah ekploitasi komersial seksual terhadap anak diatur dalam Bab XIV mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. Beberapa pasal dalam Bab ini, memberikan definisi anak sebagai seorang yang berumur di bawah 15 tahun. Namun ketentuan dalam KUHP tidak mengatur mengenai penggunaan anak untuk produksi bahan atau pertunjukan pornografi. Eksploitasi seksual komersial anak yaitu penggunaan anak untuk keperluan seksual dengan imbalan berupa uang atau bentuk penghargaan lain antara si anak sendiri, pelanggan, calo dan lainya yang mendapatkan keuntungan dari perdagangan anak untuk tujuan seperti ini. Sedangkan pornografi didefinisikan sebagai semua bahan visual atau audio yang menggunakan anak dalam konteks seksual.8
8
Ikawati, Pengkajian Permasalahan Pelacuran Anak, Depsos RI, Yogyakarta, 2004, h.11.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
12
Suatu kasus yang terjadi di tangani oleh Reskrim Polwiltabes Surabaya unit PPAT yaitu adanya perbuatan cabul yang dilakukan oleh anak kepada anak dengan tersangka Dimas yang didasari atas dasar suka-sama suka, merupakan salah satu contoh penyimpangan perilaku anak baik sebagia objek maupun subjek dalam eksploitasi seksual yang terjadi pada dirinya sendiri. Berdasarkan hal ini maka diangkat lah tema tentang pencabulan anak dimana anak secara sadar menjadikan dirinya sebagai subjek bukan lagi objek dari eksploitasi seksual komersil yang terjadi pada dirinya, yaitu anak bukan lagi hanya sebagi korban namun juga sebagi pelaku terjadinya ekspoitasi seksual terhadap dirinya. Meskipun anak berperan aktif dalam terjadinya tindak pidana anak tetap memerlukan perlindungan hukum baginya. Pengertian perlindungan terhadap anak berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang serta berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta melindungi perlindungan kekerasan dan diskriminasi. Pserilaku penyimpangan anak yang marak terjadi akhir-akhir ini tidak boleh lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangn fisik, mental dan sosial serta
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
13
perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Tidak adanya perlindungan hukum yang memadai kepada anak, dan kurangnya pengetahuan anak perempuan bahwa penyimpangan perilaku yang mereka lakukan dapat membawa dampak yang merugikan bagi masa depannya dan tidak adanya sanksi yang tegas dari aparat penegak hukum membuat semakin banyak anak yang terjun dalam pelacuran.Dari sudut manapun kita memandang jelas masalah kejahatan kesusilaan, pencabulan terlebih jika melibatkan anak-anak adalah sesuatu yang memprihatinkan dan karenanya sudah sejawarnya dihapuskan. Oleh karena itu dalam skripsi ini akan dijelaskan perlindungan hukum dan sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada anak yang tidak lagi hanya sebagai obyek namun telah menjadi subyek terjadinya kejahatan seksual pada dirinya sehingga terdapat perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Erlangga Wibisono (Kriminolog UI) mengatakan bahwa kejahatan terhadap anak cenderung meningkat karena terjadi perubahan norma ditengah masyarakat, kalau dulu norma keluarga sangat melindungi anak karena menganggap anak sebagai asset ekonomi dan komoditas. Sedangkan Mulyono W Kusumah mengatakan bahwa ” kecenduranngan kejahatan terhadap anak meningkat karena perlindungan dari keluarga semakin longgar sebab para orang tua mereka terfokus atau disibukkan mengurusi masalah ekoni keluarga. 9
9
www.kompas.com, Kekerasan Seksual Terhadap Anak Akibat Melonggarnya Pengawasan, 10 september 2003.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
1.2
14
RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana status hukum anak yang menawarkan diri untuk dilakukannya perbuatan cabul? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang berperan serta dalam perbuatan cabul?
1.3
METODE PENELITIAN
1.3.1
Pendekatan Masalah Berdasarkan dengan judul dan rumusan masalah di atas maka penulis
menggunakan pendekatan masalah sebagai berikut : a. Statue approach Dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan per undang-undangan yang berlaku dengan dikaitkan pada isu yang diangkat dalam penulisan ini. Melakukan pembahasan berdasarkan kasus yang ditemui di Koran ataupun dalam majalah, website, dan masyarkat dengan menggunakan pendekatan ini. 1.3.2
Sumber Bahan Hukum Bahan hukum primer ; 1. Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUHP); 2. UU no 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 3. UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
15
4. UU no 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Bahan hukum sekunder: Buku-buku dan artikel-artikel baik dari surat kabar maupun dari website yang berhubungan dengan kasus yang diangkat dalm penulisan skripsi ini. 1.3.3
Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan yang meliputi peraturan
Perundang-undangan yang berlaku, literature, buku dan makalah serta artikelartikel yang terdapat dalam majalah, surat kabar dan internet serta ditunjang dengan mengumpulkan sumber bahan hukum yang terkait dengan komersial seksual terhadap anak. Sumber bahan hukum tersebut disusun secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok bahasan dalam tiap-tiap bab. 1.3.4 Analisis Bahan hukum Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan sumber bahan hukum dilakukan analisis bahan hukum dengan menggunakan deskriptif analisis artinya bahan yang diperoleh digambarkan berdasarkan kenyataan yang ada dan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Setelah itu dikaji menggunakan analisa hukum.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II ANAK YANG MENAWARKAN DIRI DILAKUKANNYA PERBUATAN CABUL 2.1
Kedudukan dan Peranan Anak perempuan Dalam Perbuatan Cabul Menurut Moeljatno perbuatan / tindak pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 10 Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, bahwasanya larangan ditunjukan kepada perbuatan sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang melakukan perbuatan itu. Yang merupakan unsur perbuatan pidana adalah : a. kelakuan dan akibat; b. hal ikhwal atau keadaaan yang menyertai perbuatan; c. keadaan tambahan yang memberatkan pidana; d. unsur melawan hukum yang obyektif; e. unsur melawan hukum yang subyektif.11 Suatu tindak pidana yang menimbulkan reaksi keras dalam masyarakat adalah tindak pidana pencabulan, apalagi jika tindak pidana tersebut dilakukan
10
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka cipta, Jakarta, 2002, h 54.
11
Ibid h.63.
16
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
17
terhadap anak-anak, dimana korban perbuatan cabul tersebut anak-anak dibawah umur 18 tahun. Pencabulan atau perbuatan cabul itu sendiri adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya melakukan ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada. Persetubuhan termasuk pula dalam pengertian perbuatan cabul12. Oemar Seno Adji memberikan pengertian tentang kata cabul yaitu perbuatan yang melanggar kesusilaan. Kesusilaan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan seks, jadi dapat disimpulkan bahwa cabul merupakan suatu perbuatan yang berhubungan dengan seks, dimana obyek atau korban
dari
perbuatan itu biasanya adalah anak-anak di bawah umur 18 tahun13. Apabila kita mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya, secara dimensional maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peranan dari korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban mempunyai peranan fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya tidak akan timbul suatu kejahatan jika tidak ada korban kejahatan, dimana korban tersebut mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku kejahatan yang mencari pemenuhan terhadap kepentingannnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan, yaitu korban mempunyai peranan yang menentukan terjadinya suatu kejahatan terhadap dirinya.
12 13
Skripsi
R.Soesilo KUHP Loc.cit OEmar Seno Adji Loc.cit
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
18
Sehubungan dengan kedudukan korban dan peranannya dalam tindak pidana, maka perlu untuk diketahui beberapa pengertian yang menjadi dasar pemikiran dan pembatasan penulisan ini. Definisi korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.14 Korban dapat pula diartikan sebagai orang yang mengalami penderitaan karena sesuatu hal yaitu meliputi perbuatan orang, institusi atau lembaga dan struktur, maka berdasar uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap orang dapat menjadi korban ataupun pelaku tindak pidana yang menimbulkan korban, dimana korban yang dimaksud dapat berarti individu maupun kelompok. Pada era modernisasi ini banyak terjadi perkembangan delik-delik tertentu terkait dengan kenakalan anak khususnya anak perempuan dimana mereka berkedudukan sebagai pelaku maupun korban kejahatan. Dalam penulisan ini dimasukkan kategori korban adalah anak perempuan usia 13- belum 18 tahun/belum dewasa, karena kebanyakan anak yang terjun dalam suatu bisnis pelacuran adalah anak usia tersebut, sebab pada usia tersebut anak perempuan telah memiliki ciri kelamin sekunder pada wanita contohnya tumbuhnya payudara, telah mengalami menstruasi sehingga dapat menarik nafsu birahi kaum pria.
14
Arif gosita , Masalah Korban Kejahatan, Akademika Presindo, Jakarta, 1985,
h. 41.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
19
Peranan korban dalam hal terjadinya suatu kejahatan antara lain berhubungan dengan apa yang dilakukan oleh korban, bilamana dilakukan sesuatu, serta dimana hal tersebut dilakukan. Peran korban ini mempunyai akibat dan pengaruh bagi diri korban sendiri serta pihak-pihak lain, termasuk pula lingkungannya. Antara pihak korban dan pelaku terdapat hubungan fungsional, dan pada kejahatan-kejahatan tertentu korban dinilai wajib bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa tanpa adanya korban, tidak mungkin terjadi suatu kejahatan, jadi jelas bahwa pihak korban merupakan partisipan utama yang memainkan peranan penting dalam suatu kejahatan bahkan setelah kejahatan tersebut dilakukan. Dalam beberapa kasus, korban dapat berperan dengan berbagai derajat kesalahan, dari yang tidak bersalah sama sekali hingga derajat lebih bersalah daripada pelaku. Situasi dan kondisi pada korban dapat menimbulkan niat pada pelaku untuk melakukan kejahatan terhadap korban, karena seringkali korban maupun pelaku tidak saling mengenal satu sama lain. Bisa juga terdapat kemungkinan korban merupakan individu yang mengalami keterbelakangan mental, fisik, dan sosial dimana ia tidak mampu melakukan pembelaan diri sehingga sering dimanfaatkan oleh pelaku yang ingin mengambil keuntungan dari keadaan tersebut. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dalam kasus-kasus tertentu maupun secara umum bahwa korban dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, bertanggung jawab atau tidak, secara aktif atau pasif, dengan motivasi positif atau
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
20
negatif, dimana semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat atau sebelum kejahatan itu berlangsung. Mengenai peranan korban dalam suatu kejahatan, Ezzat Abdul Fatah mengemukakan beberapa tipe-tipe korban sebagai berikut: 1. Nonparticipacing Victims adalah mereka yang menyangkal atau menolak kejahatan tetapi mereka tidak berpartisipasi dalam menanggulangi kejahatan. 2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban dari pelanggaran tertentu. 3. Provocative victim adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau yang merangsang timbulnya kejahatan. 4. Participating victims adalah mereka yang tidak peduli atau perilaku lain yang memudahkan dirinya sendiri menjadi korban. 5. Fals victim adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.15 Ada kemungkinan dalam suatu kasus tertentu korban ikut serta atau bekerjasama dalam suatu tindak pidana. Pada anak perempuan yang berada dalam bisnis pelacuran, dimana anak tersebut memiliki kemungkinan besar menjadi korban perbuatan cabul, maka berdasarkan tipe korban manurut Ezzat Abdul Fatah diklasifikasikan sebagai Provocative Victims ataupun Participating Victims maupun Fals Victim. Provocative victims dalam arti keberadaan anak yang terjun ke dalam bisnis pelacuran menjadikan mereka sebagai obyek seks yang secara 15
J.E. Sahetapy, Karya Ilmiah Para Pakar: Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995. h. 205.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
21
langsung menimbulkan kejahatan pada dirinya. Sebagai Participating Victims berarti anak tersebut secara aktif melakukan sesuatu perbuatan, baik itu perkataan atau bahasa tubuhnya yang dapat menimbulkan niat pada orang lain untuk melakukan kejahatan terhadapnya, dalam hal ini adalah perbuatan cabul, karena mereka memang sengaja melakukan suatu perbuatan agar orang lain tertarik untuk menggunakan jasa mereka sebagai pelacur. Fals Victim yaitu anak menjadi korban dikarenakan dirinya sendiri akibat tingkah laku dan segala kondisi yang ada pada anak perempuan tersebut.
Dengan kata lain perlu dijelaskan bahwa untuk
menciptakan keadilan dan untuk memahami masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya, secara dimensional perlu dilakukan penyelidikan dan peninjauan yang berpersfektif interaktif. Apalagi diketahui bahwasanya kriminalitas itu adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara kejahatan (crime) dan si korban (victim). Dalam perbuatan cabul korban bisa dipertanggungjawabkan sehingga kualifikasi korban berdasarkan tanggung jawab korban menurut Stepehen scahfer yaitu: 1. unrelated victims adalah mereka yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan penjahat kecuali jika penjahat telah melakukan kejahatan terhadapnya. 2. provocative victim adalah siapa yang melakukan sesuatu terhadap pelanggaran konsekuensinya menjadi perangsang atau untuk mendorong terjadinya korban. 3. participating victim adalah mereka yang secara khusus tidak berbuat sesuatu terhadap penjahat tapi tidak terpikirkan bahwa tingkah lakunya mendorong pelaku untuk berbuat jahat kepada dirinya. 4. biologically weak victims adalah mereka yang mempunyai bentuk fisik atau mental tertentu yang menyebabkan orang melakukan kejahatan terhadapnya
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
22
5. socially weak victims merupakan orang – orang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat luas sebagai anggota dalam masyarakat tersebut. 6. Self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. 7. political victims adalah mereka yang menderita karena lawan politiknya. Dimana dalam hal ini secara sosiologis korban tidak dapat dipertanggungjawabkan.16
Pada perbuatan cabul yang terjadi pada anak perempuan dalam bisnis pelacuran, berdasarkan pertanggungjawaban pidana oleh anak dan berdasarkan tipe korban yang dikemukakan oleh Stephen scahfer maka anak dapat digolongkan dalam provocative victims yaitu korban melakukan sesuatu pelanggaran terhadap norma sosial serta norma kesusilaan yang ada di masyarakat. Pelanggaran terhadap norma sosial dan norma kesusilaan dalam masyarakat dalam hal ini adalah anak sengaja atau berperan aktif pada pelacuran. Anak perempuan menawarkan diri sebagai pelacur-pelacur yang menjajakan diri di pinggir jalan dengan menggunakan pakaian yang dapat menimbulkan rangsangan yang berakibat terjadinya kejahatan pada dirinya, sehingga dalam hal tersebut, anak perempuan berkedudukan sebagai korban sekaligus sebagai pelaku utama sehingga dengan demikian maka pertanggungjawaban pidana terletak baik pada pihak pelaku yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak maupun anak perempuan itu sendiri. Bahkan secara tegas sesudah kejahatan berlangsungpun anak perempuan tersebut dimungkinkan untuk turut bekerjasama dengan pelaku kejahatan baik secara sadar atau tidak misalnya dengan tidak melaporkan kepada pihak kepolisian mengenai kejahatan yang telah terjadi.
16
Skripsi
Ibid, h. 206.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
23
Sellin dan Wolfgang memberikan gambaran bahwa korban tidak hanya dialami oleh individu saja tetapi juga oleh kumpulan orang, dimana Sellin dan Wolfgang membagi tipe korban sebagai berikut :17
1. primary victimization adalah korban individual/ perorangan. 2. secondary victimization adalah yang menjadi korban merupakan kelompok. 3. tertiary victimization adalah yang menjadi korban masyarakat luas. 4. mutual victimization adalah yang menjadi korban merupakan pelaku sendiri. 5. no victimization adalah dimana korban tidak segera diketahui. Berdasarkan tipe korban yang disebut diatas maka kedudukan anak perempuan dalam hal menawarkan diri untuk terjadinya perbuatan cabul terhadap dirinya ialah mutual victimization dimana ia berkedudukan sebagai korban sekaligus pelaku. Anak perempuan tersebut berkedudukan sebagai korban apabila ia menjadi obyek perbuatan cabul dari pelaku yang menginginkan pemenuhan kebutuhan seks nya. Sedangkan anak perempuan akan menjadi pelaku apabila dia menjadi subyek yaitu menginginkan terjadinya perbuatan cabul tersebut pada dirinya sehingga dia akan mendapatkan imbalan berupa barang ataupun uang untuk memenuhi keinginannya.
17
Skripsi
Ibid, h. 207.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
2.2
24
Persekongkolan Antara Korban dan Pelaku Kejahatan Persekongkolan dalam perbuatan cabul, dalam hal ini dapat terjadi dengan
cara korban dengan sengaja melakukan suatu tindakan yang menempatkan dirinya sebagai korban kejahatan dengan membujuk pihak pelaku untuk melaksanakan kejahatan pada dirinya, maka hal ini dapat disimpulkan bahwa pihak korban turut serta dengan pelaku dalam kejahatan tersebut. Dalam kasus pencabulan misalnya si korban secara sukarela melakukan tindakan seksual bersama pelaku padahal sebenarnya korban masih belum dewasa dan dengan sengaja korban menawarkan diri supaya pelaku berhubungan seks dengannya dan korban mendapat imbalan berupa uang sebagai pembayaran. Dalam hal lain korban juga bisa saja berperan sebagai korban semu yang bekerjasama dengan pelaku dalam melakukan suatu kejahatan. Apabila sesuatu yang diinginkan dalam kejahatan ini berhasil maka pihak korban berperan ganda untuk mewujudkan kejahatan, yaitu sebagai korban yang menyuruh orang lain untuk melakukan kejahatan. Pada berapa kasus bisa juga pihak korban dapat pula berperan sebagai yang merasa menjadi korban atas perbuatan orang lain lalu melakukan kejahatan sebagai pembalasan. Menjadi korban tindakan individual atau kelompok tertentu di masa lampau dapat mendorong pihak korban untuk melakukan pembalasan.18
Unsur korban seharusnya menjadi pertimbangan dalam pemidanaan untuk mewujudkan rasa keadilan bagi pelaku maupun korban. Pemikiran ini perlu 18
Skripsi
Arif Gosita Op.cit h.86.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
25
digunakan dengan mendasarkan pada pendapat para viktimolog. Pandangan para viktimolog dimaksud dengan meminjam terminologi dalam hukum pidana selama ini
dipakai
untuk
menjelaskan
antara
lain
istilah
pertanggungjawaban
(responsibility), kealpaan (culpability), kesalahan (guilty), pada dasarnya dapat pula diterapkan untuk korban, artinya korban juga dapat diposisikan sebagai pihak dalam pertanggungjawaban, kealpaan maupun kesalahan.
Pandangan ini
sekaligus sebagai upaya koreksi terhadap pandangan ortodok yang dipandang tidak seimbang dan terlalu berorientasi terhadap pelaku (criminal oriented).19
Ketiga aspek tersebut memang dikenal dalam pembahasan viktimologi. Terkait dengan pertanggungjawaban pidana, Schafer menyatakan bahwa korban mempunyai tanggungjawab fungsional yakni secara aktif menghindari untuk menjadi korban dan tidak memprovokasi serta memberikan kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana. Provokasi atau kontribusi korban terhadap terjadinya viktimisasi dalam perspektif viktimologi sering disebut dengan istilah victim precipitation yang sekaligus berkaitan dengan derajat pertanggungjawaban korban atas viktimisasi. Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa korbanpun dapat mempunyai andil dalam hal terjadinya viktimisasi, oleh karena itu sudah selayaknya demi keadilan korbanpun dapat dipertanggungjawabkan (shares responsibility) dan dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana.20
19
www. Jurnal.com/Angkasa, Jurnal Penelitian Hukum "Supremasi Hukum" , Vol. 12, 2007, h. 119. 20 Ibid.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
26
Pada kasus pencabulan dengan melibatkan anak-anak dimana pada saat ini anak secara sadar melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis dimana anak perempuan tersebut memiliki kecenderungan sebagai pihak yang mengajak atau menawarkan diri terhadap pelaku yang kadang merupakan kekasih si anak ataupun orang lain. Peranan anak dalam kejahatan kesusilaan yang dalam hal ini pencabulan adalah anak menawarkan diri untuk terjadinya pencabulan terhadapnya, ia menjadi obyek seks dimana ia secara sadar terjun ke dalam profesi prostitusi. Dalam masalah tersebut,
sebagaimana yang terjadi dalam praktik,
seorang anak tidak lagi menjadi obyek namun juga sebagai subyek yaitu anak adalah pelaku dan bukan berposisi sebagai korban saja. Hal ini dilakukan supaya anak tersebut dapat memperoleh imbalan demi memenuhi kebutuhan hidup mewahnya, hal tersebut merupakan salah satu contoh dimana korban berperan secara sadar terhadap kejahatan yang berlangsung pada dirinya. Namun kadang kala korban tidak sadar bahwa pelaku telah melakukan kejahatan pada dirinya sehingga korban ikut berperan aktif dalam timbulnya kejahatan yang terjadi pada dirinya. Berperan aktif dalam arti korban membujuk sang pelaku untuk berhubungan dengan dia sehingga akhirnya pelaku melakukan pencabulan pada dia, dimana sangat jelas dalam undang – undang bahwa seks dengan anak adalah kejahatan. Namun karena bujuk rayu si anak yang menginginkan pelaku memakai jasa si anak sehingga anak mendapatkan imbalan maka pelaku pun akhirnya melakukan hubungan seksual dengan anak (terjadi pada prostitusi anak yang marak akhir-akhir ini dimana anak secara sadar melakukan prostitusi). Dalam hal
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
27
ini korban tidak sadar bahwa yang dia lakukan merupakan kejahatan meskipun kejahatan tersebut menimpa dirinya.
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini banyak pencabulan pada anak dilakukan oleh orang yang tidak punya hubungan darah bahkan orang lain yang belum dikenal sebelumnya. Misalnya pacar atau orang yang bahkan baru satu kali kenal dijalan. Dengan merayu dan menggunakan pakaian yang minim anak-anak ini menjajakan diri sehingga para pelaku melakukan kejahatan seksual pada mereka. Dalam hal ini maka korban di tingkat derajat lebih salah dari pelaku. Korban menjadikan dirinya sedimikian rupa sehingga timbul hasrat seksual dan niat pelaku untuk melakukan kejahatan pada korban. Dalam hal ini, korban dan pelaku saling memberikan kontribusi untuk terjadinya kejahatan, sehingga dalam hal ini si anak perempuan maupun pelaku kejahatan berkedudukan sama yaitu sebagai pelaku, yang berarti bahwa korban ikut berperan terhadap terjadinya kejahatan dan secara langsung korban membantu pelaku melakukan kejahatan, meskipun kejahatan ini dilakukan terhadap korban itu sendiri. Ini juga berarti korban dapat dimintai pertanggungjawaban karena kejahatan tersebut tidak mungkin terjadi tanpa peran korban. Korban dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan kesalahan atau kealpaan korban.
2.3 Status Hukum Anak Dalam Perbuatan Cabul
Apabila korban ikut dipersalahkan dan bertanggungjawab terhadap kejahatan yang terjadi maka harus ditentukan posisi korban dalam kejahatan itu sebagai apa. Sebagai korban semu atau sebagai korban yang turut serta melakukan
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
28
kejahatan. Sebagai korban semu itu berarti korban bekerja sama dengan pelaku untuk melakukan kejahatan. Sebagai korban yang turut serta, korban merupakan pelaku peserta sehingga pencabulan dapat terjadi dengan mudah terhadapnya.
Berdasarkan tipologi korban yang dikemukakan Ezzat Abdel Fatah, menurut penulis apabila korban menawarkan diri sehingga terjadi pencabulan terhadap dirinya maka korban termasuk dalam false victim. Dimana anak perempuan menjadi korban karena dirinya sendiri yaitu dalam hal menawarkan diri. Korban secara aktif berperan dalam terjadinya kejahatan terhadapnya. Peran korban secara aktif terlihat dari adanya rayuan korban supaya pelaku tertarik untuk berhubungan dengan korban. Korban juga memakai pakaian minim sehingga pelaku tertarik secara seksual terhadap korban.
Tipologi korban berdasarkan tanggungjawab korban yang dikemukakan oleh schafer, maka menurut penulis korban dalam hal berperan terhadap perbuatan cabul ini merupakan provocative victims yaitu dimana korban melakukan sesuatu pelanggaran, yaitu korban melakukan pelanggaran terhadap norma sosial yang ada di masyarakat. Korban juga telah melanggar norma kesusilaan yang ada dalam masyarakat. Sehingga dalam hal tersebut korban merupakan pelaku utama dan dengan demikian maka pertanggungjawaban terletak baik pada pihak pelaku maupun korban.
Pemberian sarana dan kesempatan merupakan cara untuk menggerakkan seseorang. Misal pada pencabulan anak perempuan memberi kesempatan (sarana) kepada pelaku untuk melakukan perbuatan cabul, jika pada anak perempuan,
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
29
keinginan/kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu pertama kali sudah ada, sedangkan pada pelaku baru ada setelah ia digerakkan dengan pemberian kesempatan/ sarana dan kemudian pelaku melakukan tindak pidana maka hal tersebut merupakan bentuk penyertaan penggerak. Dalam hal ini anak perempuan adalah penggerak, dan pelaku adalah orang yang digerakan. Namun apabila pada pelaku sejak semula sudah ada kehendak untuk melakukan perbuatan cabul dan ia minta diberi kesempatan pada anak perempuan tersebut dimana anak perempuan itu sengaja memberikannya dan diketahuinya bahwa kesempatan itu diperlukan oleh pelaku untuk melakukan perbuatan cabul tersebut, maka hal ini merupakan bentuk penyertaan pembantuan dimana anak perempuan sebagai pembantu dan pelaku sebagai petindak. Secara ringkas ditinjau dari sudut anak perempuan apakah ia memberi kesempatan itu karena kehendak menggerakan pelaku untuk melakukan perbuatan cabul atau karena diminta oleh pelaku.
Dalam kasus perbuatan cabul tersebut, pelaku sebagai tergerak atau sebagai petindak ancaman pidananya adalah sama yaitu dipidana sebagai petindak. Tetapi bagi anak perempuan tidak demikian, karena dalam hal bentuk penyertaan penggerakan ia dipidana sebagai petindak, tetapi dalam hal bentuk penyertaan pembantu ia dipidana sebagai pembantu-petindak. Dalam hal ini maka anak perempuan tersebut dapat saja dikatakan sebagai pelaku ikut serta karena ia secara aktif dan sadar melakukan perbuatan yang menempatkan posisinya sebagi korban. Ketentuan mengenai penyertaan dalam KUHP, diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berbunyi:
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
30
Pasal 55 :
(1)
Dipidana sebagai petindak dari suatu tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan 2. Mereka yang dengan suatu pemberian, suatu perjanjian, penyalah gunaan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, penyesatan atau dengan pemberian kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menggerakkan ornag lain untuk melakukan suatu tindakan (2) Terhadap penggerak tersebut hanya tindakan yang dengan sengaja di gerakkannya beserta akibat- akibatnya saja yang diperhitungkan
Didalam pasal 55 ayat 1,dijelaskan bahwa yang dihukum sebagai yang melakukan perbuatan pidana : 1. Orang yang melakukan (dader) ialah orang yang telah berbuat, mewujudkan segala elemen pidana dari peristiwa pidana
2. Orang
yang menyuruh lakukan (doenplegen),
penyuruh tidak
melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana melainkan menyuruh orang lain. Penyuruh berada dibelakang layar sedangkan yang melakukan tindak pidana adalah orang lain yang disuruh. Dalam hal ini yang disuruh telah melakukan tindakan tersebut karena ketidaktahuan, kekeliruan (dwaling), paksaan.
Penyuruh dipidana
sebagai petindak sedangkan yang disuruh tidak dipidana karena
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
31
padanya tiada unsur kesalahan atau setidak-tidaknya unsur kesalahanya ditiadakan. Jadi dapat disimpulkan bahwa penyuruh adalah merupakan petindak yang melakukan suatu tindak pidana dengan memperalat orang lain untuk melakukannya, yang pada orang lain itu tiada kesalahan, karena tidak disadarinya, ketidaktahuannya, kekeliruannya atau dipaksa. 3. Orang yang turut serta melakukan (medelplegen) yaitu mereka yang bersama-sama orang lain melakukan suatu tindakan. Para pelaku dan pelaku peserta dipidana sebagai petindak 4.
Orang yang dengan sengaja menggerakan orang lain melakukan suatu tindakan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan secara pasti (limitatif).
Pasal 56 KUHP. Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan: Ke-1 mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu klejahatan dilakukan Ke-2 mereka yang sengaja memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan Yang dipidana menurut pasal 56 adalah: 1.orang yang sengaja memberi bantuan 2.orang yang sengaja member kesempatan,sarana atau keterangan
Pada turut serta menurut Hooge Raad pelaku harus memenuhi sebagian unsur – unsur delik, bahwa suatu keturutsertaan diisyaratkan adanya kerjasama yang disadari dengan kata lain kerjasama ini harus dibuktikan keberadaannya.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
32
Hal ini mengimplikasikan ada dua bentuk kensengajaan yang yang dilakukan bersama –sama oleh pelaku yaitu kesengajaan untuk memunculkan akibat delik dan kesengajaan untuk melakukan kerjasama. Tidak perlu adanya rencana atau kesepakatan yang dibuat terlebih dahulu. Namun yang perlu dibuktikan adalah adanya saling pengertian diantara sesama pelaku dan pada saat diwujudkan masing – masing pelaku. Jika kemudian memang terbukti ada keikutsertaan pihak – pihak yang terkait akan saling bertanggungjawab atas tindakan masing – masing serta akibat yang ditimbulkannya.21 Berdasarkan pasal 55 KUHP, anak dalam hal menawarkan diri memenuhi unsur turut serta melakukan kejahatan, meskipun kejahatan tersebut dilakukan pada anak itu sendiri yaitu pencabulan. Dalam penulisan ini yang dimaksud turut serta adalah apabila anak bersama-sama dengan orang lain melakukan suatu tindakan yaitu dia secara sadar dan aktif berhubungan seksual dengan pelaku. Jadi dalam hal ini anak sebagai peserta telah melakukan tindakan pelaksanaan misalnya: merayu, membiarkan adanya rangsangan sexsual yang ditujukan padanya dan lain sebagainya.. Ada 2 hal dalam pencabulan yang dilakukan oleh anak yaitu pertama adanya kesepakatan pembayaran sebagai bentuk imbalan pada anak ketika kejahatan selesai dilakukan. Yang ke dua adalah adanya dasar suka sama suka, disini tidak perlu adanya kesepakatan namun adanya saling pengertian diantara anak dan pelaku dan hal itu diwujudkan. Dimana akibat dari perbuatan ini ditanggung baik oleh korban atau anak itu sendiri dan pelaku. Jadi
21
Sri Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, AlumniAheam, Jakarta, 1986, h.347.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
33
kerugian pada pihak korban merupakan tanggung jawab yang memang harus dipikul korban akibat perbuatanya.
Pada pencabulan, korban berdasarkan yuridis tidak bisa dikategorikan sebagai pelaku dalam delik penyertaan. Baik sebagai orang yang telah menyuruh lakukan, orang yang turut serta melakukan maupun membantu melakukan tindak pidana tersebut. Meskipun senyatanya anak sebagai korban dalam hal ini membantu terjadinya kejahatan terhadap dirinya namun anak tetap saja akan dianggap sebagai korban. Karena dalam model pemidanaan yang saat ini belum memperhitungkan unsur keterlibatan korban dalam suatu perbuatan pidana. Hal ini juga dikarenakan teori, doktrin, dan peraturan perundang-undangan yang cenderung berorientasi pada pelaku daripada berorientasi pada korban. Bahkan meskipun korban turut andil sehingga memudahkan kejahatan terjadi tetap saja berdasarkan Undang-undang, korban tidak bisa dianggap sebagai pelaku, berbeda menurut viktimologis perbuatan korban dalam hal menawarkan diri sehingga terjadi perbuatan cabul terhadapnya maka perbuatan korban tersebut dapat dikategorikan sebagai penyertaan.
Anak akan dianggap bertanggungjawab apabila anak tersebut memang pelaku dari perbuatan cabul tersebut. Misalnya pada pada hubungan pacar, dan anak laki-laki melakukan hubungan seksual atau meraba-raba tubuh anak perempuan yang merupakan pacarnya, maka anak laki-laki ini telah melakukan perbuatan cabul dan baru dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku berdasarkan KUHP. Anak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hal
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
34
perbuatan cabul apabila anak tersebut sebagai pelaku, sebagai orang yang menyuruh lakukan, turut serta melakukan maupun membantu melakukan.
Namun dalam hal anak sebagai korban yang menawarkan diri sehingga terjadi perbuatan cabul terhadapnya dianggap bukan sebagi pelaku karena dalam masyarakat dan hukum yang berkembang saat ini anak itu dianggap belum dapat menginsyafi nilai maupun akibat dari tindakan maupun belum dapat menginsyafi ketercelaan dari tindakannya yang dengan demikian tiada kesalahan padanya, dan hal ini juga akibat dari pandangan ortodok yang dipandang tidak seimbang dan terlalu berorientasi terhadap pelaku (criminal oriented).
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU PERBUATAN CABUL
3.1 Delik – Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul Dan pertanggungjawabannya Tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan, mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat dan juga dengan adanya hukum pidana yang bersifat represif diharapkan pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya dan apabila kembali ke masyarakat dapat diterima seperti dahulu sebelum ia di penjara. Telah diketahui bahwa Undang-undang hanya memuat ketentuan mengenai hal-hal yang umum, dan hakimlah yang berkewajiban untuk menafsirkan dan menerapkannya dalam suatu peristiwa konkret. Peraturan perundang-undangan harus diciptakan secara tegas sehingga dapat mengurangi segala masalah dan tidak setiap kali harus mengadakan perubahan dan penyesuaian dengan perkembangan teknologi dan tuntutan kemajuan kebutuhan hukum masyarakat. Pada KUHP diatur tentang larangan berbuat cabul terhadap anak yang belum cukup umur. Larangan-larangan tersebut terdapat dalam pasal- pasal antara lain:
35 Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
36
Pasal 290 KUHP : diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: (1) barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui bahwa orang itu pinngsan atau tidak berdaya. (2) barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalo umurnya tidak ternyata bahwa belum mampu dikawin. (3) barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak ternyata bahwa belum mampu dikawin untuk melakukan atau membiarakan dilakukan perbuatan cabul atau bersetubuh di luar pernikahan dengan orang lain. Unsur delik : barang siapa berbuat cabul atau membiarkan perbuatan cabul atau bersetubuh dengan orang pingsan atau tidak berdaya, yang diduga belum berumur 15 tahun, belum mampu di kawin. Pasal 293 ayat 1 KUHP dimana dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa ; Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakan seorang yang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Unsur delik pada pasal 293 adalah:
1. Sengaja membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul pada dirinya. 2. Membujuk dengan menggunakan :
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
37
hadiah/ uang.
pengaruh yang berlebihan yang ada disebabkan oleh hubungan yang ada.
Tipuan.
3. Bujukan ditujukan pada orang yang belum dewasa yang patut disangka oleh pembujuk dan baik tingkah lakunya.
Membujuk berarti berusaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk bukan memaksa. Apabila dengan bujuk rayu tersebut maka terjadi perbuatan cabul tersebut maka pelaku baru dapat dikenai sanksi pidana.
Pasal 294 KUHP mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan kepada anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak dibawah pengawasanya, yang belum cukup umur, atau orang yang belum cukup umur dimana pemeliharaan, pendidikan ditanggungkan kepadanya. Dalam pasal ini maka pelaku akan dikenai sanksi pidana apabila perbuatan cabul dilakukan terhadap anak yang dibawah umur yang masih terdapat hubungan dengannya dimana ancaman pidana nya jauh lebih berat.
294 (1) : barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya anak dibawah pengawasanya, yang belum cukup umur atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikannya dan penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
38
bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
Dalam pasal 296 perbuatan yang dilarangan adalah menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul orang lain dan menjadikannya sebagai mata pencaharian. Pasal ini digunakan untuk orang-orang yang bekerja dalam bisnis pelacuran yaitu sebagai penyedia tempat, penyalur anak- anak dibawah umur yang dilacurkan. Pasal 296 KUHP disebutkan bahwa : Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain denga orang lain dan menjadikan nya sebagi pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan tau denda paling banyak seribu rupiah Adapun Undang-undang Perlindungan Anak yaitu undang-undang No. 23 tahun 2002 mengatur tindak pidana pencabulan terhadap anak ancaman pidananya lebih berat daripada pasal-pasal tersebut di atas yaitu paling lama 15 tahun. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 82 yang menyebutkan bahwa : setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Unsur delik pada Pasal 82 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah sebagai berikut: 1. setiap orang yang dengan sengaja
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
39
2. melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,serangkaian kebohongan atau membujuk 3. kepada anak di bawah umur dimana dalam UU ini disebutkan bahwa anak adalah dibawah usia 18 tahun (pasal 1 ayat 1 ) Perbuatan cabul yang dilakukan baik oleh anak kepada anak maupun orang dewasa kepada anak harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responbility atau “ pertanggungjawaban “ itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan “ an act does not make a person guality, unless the mind is legally blame worthy “. Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang atau perbuatan pidana ( actus reus ) dan ada sikap batin jahat atau tercela ( mens rea ). 20 Berbicara konsep pertanggungjawaban pidana ( strafbaarheid ) mau tidak mau harus didahului dengan pembicaraan tentang konsep perbuatan pidana (strafbaarfeit). Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu perbuatan, sedang ia sendiri tidak melakukan perbuatan itu.21 Di antara ahli hukum pidana masih ada 20
Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,2008 hal 6
21
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana), cetakan ke tiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983, h. 20-23
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
40
perbedaan pendapat apakah konsep perbuatan pidana di dalamnya terkandung juga konsep pertanggungjawaban pidana atau kedua konsep tersebut merupakan konsep yang berbeda namun tidak dipisahkan. Simons misalnya mengatakan bahwa dalam perbuatan pidana di dalamnya juga terkandung makna pertanggungjawaban pidana. Pendapat serupa dikemukakan oleh Van Hamel yang mengatakan bahwa istilah strafbaarfeit diartikan sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Pemikiran tersebut pada akhirnya melahirkan suatu aliran yang tidak memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Moeljatno dan Roeslan Saleh yang menyatakan konsep perbuatan pidana harus dipisahkan dari konsep pertanggungjawaban pidana. Hal ini karena untuk menentukan salah tidaknya seseorang terlebih dahulu harus dibuktikan bahwa ia melakukan suatu perbuatan. Dari pemikiran ini kemudian memunculkan suatu aliran yang dalam hukum pidana dikenal dengan aliran dualisme, yaitu aliran yang memisahkan konsep perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.22 Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas ( principle of legality ), sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan ( principle of culpability ). Ini
22
Skripsi
Moeljatno, Op.cit, h. 62-63.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
41
berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. 23 Sudarto menyatakan : “ Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang – undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan ( bersalah ). Dengan kata lain, orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut“.24 Apa yang dikemukakan Sudarto mengindikasikan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Maka dari itu dalam hukum pidana dikenal asas “ tiada pidana tanpa kesalahan “ ( geen straf zonder schuld ) sebagaimana telah banyak disebutkan dalam paragraf terdahulu. Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas ini sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana. Kesalahan dalam arti luas yang bisa dipersamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna bisa dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, jika dikatakan bahwa orang bersalah melakukan suatu perbuatan pidana, itu
23
Ibid h 25.
24
Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan bahan-bahan kuliah, FH UNDIP, Semarang , 1988, h. 85.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
42
berarti orang tersebut dicela atas perbuatannya. Unsur-unsur kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah sebagai berikut :25 a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, atinya keadaan jiwa si pembuat harus normal. b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan ( dolus ) atau kealpaan ( culpa ), ini disebut bentuk – bentuk kesalahan. c. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan ( alasan pembenar/alasan pemaaf ).
Menurut Roeslan Saleh tiga unsur itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, dalam arti uruturutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebut terlebih dahulu. Singkatnya, tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan penghapus pidana, apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab dan tidak pula adanya kesengajaan atau kealpaan.26 ad.a Unsur yang pertama adalah kemampuan bertanggungjawab yang diartikan sebagai kondisi sehat dan mempunyai akal dalam membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk, atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat 25
Sri Sianturi, Asas – Asas hHukum Penerapannya,Alumniahaem,Jakarta,1986,h 165 26
Skripsi
Pidana
Di
Indonesia
Dan
Roeslan Saleh, Op. Cit., h. 78.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
43
melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Jadi, paling tidak ada dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal bisa membedakan antara perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan kehendak berarti bisa menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. ad.b Unsur yang kedua adalah hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan ( dolus ) atau kealpaan ( culpa ). Yang dimaksud dengan sengaja terdapat dalam Wetboek van Strafrecht 1908, yaitu kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang.
27
Sedangkan
menurut Memorie van Toelechting sama dengan “ willens en wetens “ yang berarti diketahui atau dikehendaki. 28 Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berisi menghendaki dan mengetahui, dalam ilmu hukum pidana terdapat dua teori yaitu teori kehendak yang dikemukakan oleh Von Hippel dalam “ die grenze von vorsatz und fahrlassigkeil ” 1903 dan teori pengetahuan yang dikemukakan oleh Frank dalam “ festcshrift Gieszen” 1907.29 Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu 27
Schaffmeiser Dorman, N. Keijzer, PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor penerjemah, J.E Sahetapy , Liberti , Yogyakarta, 1995, h. 87
Skripsi
28
E Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, h. 300
29
Moeljatno, Op. Cit., h. 185
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
44
akibat karena tindakan itu. Dengan kata lain, “ sengaja “ adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut. Sedangkan teori membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki suatu tindakan, manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat. Rumus Frank berbunyi : adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dan oleh sebabmitu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut. Sedangkan kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga yaitu : kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willens en wetens , yaitu bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya, artinya maksud di sini adalah maksud untuk menimbulkan akibat tertentu,30 kesengajaan sebagai kemungkinan ( opzet bij mogelijkheitswustzijn ). Kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti 31, dan kesengajaan sebagai kepastian ( opzet bij noodzakelijkheids ). Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Dengan kata lain, pembuat sudah mengetahui
30
Sri sianturi, Op.Cit, h172
31
Skripsi
Ibid 178
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
45
akibat yang akan terjadi bila ia melakukan suatu perbuatan pidana.32 Sementara, kealpaan adalah keadaan batin si pelaku perbuatan pidana yang bersifat ceroboh atau teledor atau kurang hati-hati sehingga perbuatan dan akibat yang dilarang hukum itu terjadi. Jadi dalam kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali memang tidak ada niat kesengajaan sedikitpun untuk melakukan sesuatu perbuatan pidana yang dilarang hukum. Meskipun demikian, ia tetap patut dipersalahkan atas terjadinya perbuatan dan akibat yang dilarang hukum itu karena sikapnya yang kurang hati-hati tersebut. Hal ini dikarenakan nilai-nilai kepatutan yang ada dalam masyarakat mengharuskan agar setiap orang memiliki sikap hati-hati dalam bertindak. ad.c Unsur yang ketiga yaitu tidak ada alasan yang menghapus kesalahan baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Secara sederhana, yang dimaksud alasan pembenar adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini, salah satu syaratnya adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Secara normatif hal tersebut diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. Jika diteliti secara mendalam, sesungguhnya dalam teori hukum pidana dikenal teori yang disebut dengan teori kesalahan normatif. Pada intinya teori ini menyatakan bahwa kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan 32
Skripsi
Ibid 177
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
46
bahwa pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana.33 Kesalahan dalam konteks ini diartikan sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut34. Sebagai suatu pengertian yang normatif, kesalahan merupakan masalah penilaian yang dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang manjadi patokan penilaian tentang kesalahan diorientasikan terhadap fungsi dan sistem norma tersebut. Kesalahan berarti pembuat ( seseorang atau badan hukum ) telah berbuat bertentangan dengan harapan masyarakat. Hukum mengatur kehidupan seseorang agar tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian maupun keresahan pada masyarakat. Seseorang dikatakan bersalah ketika melakukan suatu tindak pidana karena telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan hukum maupun harapan masyarakat. Padahal pada dirinya selalu terbuka kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana tersebut, dimana hal ini berarti bahwa tiap individu memiliki pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu penyimpangan. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai sekarang anak dianggap mampu bertanggungjawab asal jiwanya sehat. Berdasarkan UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka batas usia anak adalah belum 18 tahun. Namun demikian terhadap anak yang dianggap mampu bertanggung jawab 33
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Pertama, Prenada Media, Jakarta, 2006, h. 83 34
Skripsi
Ruslan Saleh, Op. Cit, h. 77
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
47
masih tetap diadakan kemungkinan untuk tidak dipidana. Alasan untuk tidak dipidana terutama bagi anak yang sangat muda bahwa anak itu belum dapat menginsyafi nilai maupun akibat dari tindakan maupun belum dapat menginsyafi ketercelaan dari tindakannya yang dengan demikian tiada kesalahan terhadapnya. Pasal – pasal dalam KUHP menyebutkan bahwa batas usia anak adalah belum berusia 16 tahun, sedangkan dalam UU no 23 tahun 2002 batas usia anak adalah belum 18 tahun. Batas usia anak yang digunakan adalah pada UU no 3 tahun 1997 yang menyatakan dalam pasalnya bahwa anak adalah belum berusia 18 tahun. Jadi apabila ada perbedaan dalam pengaturan umur maka yang digunakan adalah batas usia anak dalam UU Perlindungan Anak yaitu belum 18 tahun. Dan juga batas umur dalam KUHP sudah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan UU Pengadilan Anak pasal 67. Berdasarkan
teori-teori
tersebut
diatas
maka
dalam
konsep
pertanggungjawaban yang dapat dikatakan bertangungjawab adalah pelaku. Namun dalam teori viktimilogi unsur korban perlu dipertimbangkan dalam penjatuhan
pidana,
artinya
korban
juga
dapat
diposisikan
dalam
pertanggungjawaban, kealpaan maupun kesalahan. 3.2 Pertanggungjawaban Pidana Bagi Orang Dewasa Yang Melakukan Perbuatan Cabul Pada Anak Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada petindak jika telah melakukan sesuatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dari sudut pandang terjadinya suatu tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan apabila tindakan
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
48
orang tersebut bersifat melawan hukum dan orang tersebut mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab. Pada perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak, pelaku dalam hal ini yang merupakan orang dewasa bisa siapa saja. Pelaku bisa merupakan orang lain contohnya pada bisnis pelacuran pelaku merupakan orang lain yang tidak dikenal oleh anak itu dimana hubungan pelaku dan korban tidak lain merupakan hubungan bisnis dan jasa yaitu pelaku menggunakan jasa anak untuk mendapatkan kepuasan secara seksual dan anak mendapatkan imbalan berupa uang atau barang. Namun bisa juga pelaku mempunyai hubungan dengan korban misalnya hubungan keluarga atupun korban sudah mengenal cukup baik pelaku, sebagai contoh, pencabulan guru kepada murid. Pada perbuatan cabul pelaku harus memenuhi setiap unsur delik yang ada dalam undang-undang, dimana setelah dinyatakan memenuhi unsur tindak pidana tersebut, maka dipertimbangkan pula ada tidaknya alasan pemaaf dan pembenar, termasuk cakap hukum atau tidak, dimana setelah dipertimbangkan mengenai halhal tersebut, maka dapat ditentukan apakah pelaku dapat dijatuhi sanksi pidana atau tidak sebagai bentuk pertanggungjawabannya.
Akan tetapi sebelum
penjatuhan pidana, dipertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan dari terdakwa baru kemudian dijatuhi pidana. Pada perbuatan cabul pelaku harus senyata-nyata berbuat cabul kepada anak. Tindakan itu dapat berupa meraba-raba, ciuman dan perbuatan lain yang berhubungan dengan nafsu birahi termasuk didalamnya bersetubuh. Pelaku melakukan perbuatan membujuk atau menggoda dimana perbuatan membujuk
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
49
ditujukan supaya orang memenuhi atau menuruti kehendak yang membujuk. Dimana membujuk itu dapat dengan mempergunakan hadiah, uang, barang ataupun pengaruh yang berlebih-lebihan dan dapat juga menggunakan tipudaya. Ancaman pidana bagi orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak-anak dalam KUHP ancaman pidana baginya adalah maksimal tujuh tahun pidana penjara. Dalam UU Perlindungan Anak, ancaman pidana bagi pelaku perbuatan cabul adalah maksimal 15 tahun penjara dan minimal 3 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Pada orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul kepada anak maka peraturan perundang-unddangan yang digunakan adalah Undang-unndang Perlindungan Anak dimana ancaman pidana pada undang-undang tersebut lebih besar daripada ancaman pidana perbuatan cabul pada KUHP. Meskipun dalam hal perbuatan cabul tersebut anak ikut andil dalam terjadinya
kejahatan
tersebut
namun anak
tetap tidak
dapat
dimintai
pertanggungjawaban, karena dalam hal pelaku orang dewasa maka anak dianggap tidak cakap untuk menentukan nilai atau akibat dari perbuatannya. Sehingga orang dewasa bertanggungjawab secara mutlak terhadap perbuatannya yang dianggap menimbulkan penderitaan kepada anak yang menjadi korban. Meskipun secara jelas terdapat keterlibatan korban dalam perbuatan cabul tersebut, sehingga korban juga merupakan subyek dari perbuatan pidana itu sendiri namun korban tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dikarenakan korban yang berperan
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
50
dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab dilihat dari segi usia korban yang masih anak-anak atau belum dewasa dan belum cakap. Pada pasal 66 UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa: (1). Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (2). Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan melalui: a.
penyebarluasan dan/ atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secar ekonomi dan/atau seksual
b.
pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi, dan
c.
pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan,serikat pekerja,lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual
(3). Setiap orang dilarang menempatkan, membiarakan, melakukan, menyuruh lakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Jadi berdasarkan pasal tersebut maka seharusnya orang dewasa memberikan perlindungan kepada anak dan bukannya malah menjerumuskan anak dalam kejahatan dengan berlaku cabul pada anak.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
51
3.3 Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak Yang Melakukan Perbuatan Cabul Pada Sesama Anak Anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak secara yuridis anak sebagai pelaku maka dapat dimintai pertanggungjawaban. Menurut peraturan yang berlaku mengenai sistem pertanggungjawaban pidana terhadap anak adalah sama dengan orang dewasa hanya saja ancaman pidananya tidak sama dengan orang dewasa. Semua anak, asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggung jawab dan dapat dituntut. Pembatasan usia anak dalam Undang-undang No 3 tahun 1997 yaitu batas usia anak adalah 18 tahun, apabila melakukan suatu tindak pidana dan sudah berakal anak itu harus dipidana dengan pengurangan ½ nya. Tetapi terdapat pengecualian apabila anak belum berakal maka anak tidak dipidana akan tetapi dapat dijatuhkan tindakan.
Apabila Anak dianggap belum dapat
menginsyafi nilai maupun akibat dari tindakan dan pula belum menginsyafi ketercelaan dari tindakannya maka dianggap tiada kesalahan padanya. Apabila anak melakukan perbuatan pidana pidana maka berdasarkan Pasal 23 Undang-undang No. 3 tahun 1997, anak dapat dijatuhi hukuman berupa pidana pokok maupun tambahan serta tindakan. Tindakan dapat digunakan demi kepentingan terbaik bagi anak, sedangkan pemidanaan merupakan solusi terakhir yang harus dipilih. Karena bagaimanapun anak tetap harus dilindungi sesuai prinsip the best interest of child pada Konvensi Hak Anak. Pada Pasal 26, pidana penjara yang dapat dijatuhkan pada anak nakal adalah paling lama ½ dari pidana maksimum orang dewasa. Jadi apabila anak melakukan pebuatan cabul terhadap sesama anak maka berdasarkan Pasal 293 KUHP maka pidana maksimum yang
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
52
dapat dikenakan pada anak maksimal adalah ½ dari lima tahun atau 2,5 tahun penjara. Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal berdasar Pasal 24 U No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah mengembalikan kepada orangtua, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidkan, pembinaan, dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada DEPSOS atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yng bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Dalam hal korban menawarkan diri sehingga terjadi perbuatan cabul maka korban dan pelaku
yang merupakan
anak dapat
sama-sama
dimintai
pertanggungjawaban. Namun hal ini cenderung tidak diperhatikan oleh para penegak hukum. Unsur korban cenderung diabaikan dan derajat kesalahan yang dilakukan
korban
diabaikan
sehingga
tetap
saja
anak
laki-laki
yang
bertanggungjawab sendiri atas kesalahan dua belah pihak. Keterlibatan korban tidak menjadikan korban dapat dimintai pertanggungjawaban dan tidak digunakan untuk meringankan pidana pada pelaku. Pada suatu kasus dimana korban dan pelaku merupakan anak-anak, maka pada prakteknya anak laki-laki lah yang dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku meskipun perbuatan cabul terjadi atas dasar suka sama suka. Perbuatan cabul ini dapat terjadi karena korban dan pelaku biasanya mempunyai hubungan yaitu pacaran. Pada praktiknya apabila terjadi perbuatan cabul dengan pelaku anak dan korban anak yang didasari rasa suka sama suka maka aparat penegak hukum dalam hal ini polisi akan berusaha mendamaikan ke dua belah pihak berdasarkan kewenangan diskresi yang dimiliki oleh polri. Biasanya polisi akan menggunakan jalur kekeluargaan untuk menyelesaikan kasus pencabulan yang dilakukan anak
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
53
pada anak. Polisi akan mengembalikan anak kepada orang tua dan Polisi akan menyarankan anak laki-laki untuk mengawini anak perempuan sebagai bentuk pertanggungjawaban akibat perbuatan yang dilakukannya. Apabila perdamaian tidak bisa terwujud maka barulah ditempuh jalur hukum. Perdamaian dimaksudkan agar ke dua anak baik korban maupun pelaku tidak semuanya dirugikan, dengan perdamaian diharapkan anak laki-laki bisa terus bersekolah sehingga masa depan mereka tetap terjamin. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.35 Negara Indonesia telah memiliki peraturan-peraturan mengenai prosedur penuntutan dalam Peradilan Anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak,36 dimana dalam menjalankan tugasnya kepolisian diberikan kewenangan diskresi 35
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Robert C. Trajanowics and Marry Morash, dalam Juvenile Delinquency : Concept and Control, Op.cit, h. 2. 36
http://www.ypha.or.id/files/Praktek-praktek sistem peradilan pidana anak.pdf,
h. 2.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
54
(discretionary power). Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal di mana aparat kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara anak37 sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal.38 Pengertian Diskresi menurut penjelasan umum dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian adalah Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. Diskresi juga dapat didefinisikan sebagai wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri. Ada beberapa aspek dalam diskresi, yaitu: 1. Diskresi adalah hak polisi berkaitan dengan asas kewajiban ( menjaga keamanan dan ketertiban). 2. Diskresi berada antara batasan hukum dan moral. 3. Diskresi memungkinkan petugas untuk memilih sasaran tugasnya, taktik tugas, dan hasil akhir dari tugasnya. Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, untuk kepentingan umum , pejabat
Kepolisian Negara Republik
37
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk menyitir Stewart Asquith, Op.cit, hal. 74 38
http://www.ypha.or.id/files/Praktek-praktek sistem peradilan pidana anak.pdf, Op cit, h. 27.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
55
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri dimana pelaksanaannya hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Walaupun penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum ditingkat Kepolisian belum sensitif terhadap hak anak,39 namun pada tataran kebijakan institusi sudah mengalami kemajuan dan telah dilakukan sosialisasi kebijakan tersebut hingga pada tingkat pelaksana lapangan. Kebijakan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Mabes Polri bekerjasama dengan UNICEF telah berhasil menyusun Manual Pelatihan untuk Polisi mengenai Penanganan terhadap Anak yang berhadapan dengan Hukum, yang dilaksanakan pada tahun 2004; 2. Kapolri mengeluarkan perintah kepada seluruh Kapolda melalui TR No. Pol. 1124/XI/2006 tentang penanganan Anak yang berkonflik dengan Hukum pada tingkat penyidik, dimana Kapolri memerintah agar penyidik mengedepankan asas kepentingan terbaik bagi anak dan sebisa mungkin menjauhkan anak dari proses hukum formal.40 Ditinjau dari pengaturan kewenangan Polri dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana disebutkan diatas serta beberapa kebijakan yang dibentuk oleh institusi Polri, maka tidak tertutup kemungkinan diskresi tersebut juga diterapkan terhadap anak-anak pelaku perbuatan cabul, karena pada dasarnya di dalam kasus
39
Lihat Fathuddin Muchtar, Restorative Justice System dan Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Indonesia, Restorasi Edisi 9 Volume IV 2008, Lembaga Advokasi Hak Anak, Bandung, 2008, h. 24
40
Skripsi
Ibid.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
56
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak, aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses penanganan perkara harus melakukan upaya untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak anak tersebut sebagaimana prinsip the best interest of child pada Konvensi Hak Anak. Dalam rangka mendorong diversi pada tingkat penyidikan oleh Polri, diperlukan beberapa langkah: 1. Peningkatan pengetahuan Polri khususnya penyidik tentang eksesekses negatif dari Sistem Peradilan Pidana Anak serta manfaat dari pendekatan non penal terhadap masalah kenakalan anak; 2. Diperlukan adanya pedoman tentang perosedur penangkapan maupun penahanan terhadap tersangka anak yang berorientasi pada UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak, maupun instrumeninstrumen internasional lainnya; 3. Diperlukan adanya pedoman bagi penyidik anak yang berisi kriteria maupun prosedur dalam kewenangan diskresionernya untuk melakukan diversi; 4. Manajemen Kepolisian perlu mengembangkan nilai yang memandang penggunaan kewenangan diskresioner yang tepat sebagai langkah positif, daripada sebagai langkah yang perlu dimintakan pertanggungjawaban. 5. Diperlukannya upaya menjalin kerja sama, baik dengan instansi pemerintah terkait maupun dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, sebagai bagian dari upaya Polri dalam melakukan diversi.41 Program Diversi ini diharapkan dapat menunjang Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Restorative Justice merupakan suatu konsep yang pada dasarnya merupakan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan cara penyelesaian diluar criminal justice sistem (sistem peradilan pidana). Tujuan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara anak pelaku perbuatan 41
Skripsi
Ibid, h. 128.
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
57
cabul adalah untuk mencapai konsensus mengenai solusi yang paling baik dalam menyelesaikan perkara yang terjadi, sehingga pihak-pihak yang terkait dapat mengambil suatu tindakan yang tepat untuk memberikan pembinaan sekaligus perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi pelaku perbuatan cabul tersebut. Contoh kasus yang terjadi di polwiltabes Surabaya dengan tersangka Dimas, polisi mengajukan jalur kekeluargaan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Polisi juga tidak melakukan penahanan namun mewajibkan Dimas untuk lapor ke kepolisian setiap harinya, dengan pertimbangan Dimas masih tetap dapat melanjutkan
sekolahnya.
Pihak
perempuan
meminta
pihak
laki-laki
bertanggungjawab untuk menikahi pihak perempuan karena pihak perempuan hamil akibat perbuatan cabul dan persetubuhan yang dilakukan karena suka sama suka. Namun karena pihak laki-laki tidak beritikad baik pada akhirnya kasus ini tetap
diselesaikan
melalui
jalur
hukum.
Anak
laki-laki
dimintai
pertanggungjawaban secara pidana berdasarkan pasal 293 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun, dengan pengurangan ½ dari pidana orang dewasa maka hukuman maksimal menjadi 2,5 tahun penjara.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB IV PENUTUP
4.1
KESIMPULAN : 4.1.1
Korban dalam tindak pidana pencabulan dalam hal korban menawarkan diri dipandang dari segi viktimologi, terdapat peran serta yang dilakukan korban sehingga kejahatan dapat terjadi. Hal ini dapat dibuktikan dari perbuatan dan tingkah laku korban sebelum kejahatan terjadi. Yaitu sebagai orang yang telah membantu lakukan perbuatan cabul pada dirinya. Korban dalam hal menawarkan diri berdasarkan tipologi korban maka korban merupakan provocative dan participacing victim. Provocative dalam arti keberadaan anak yang terjun kedalam bisnis pelacuran menjadikan mereka sebagai obyek seks yang secara langsung menimbulkan kejahatan pada dirinya. Sebagai Participacing victims itu berarti secara aktif anak melakukan sesuatu perbuatan entah itu dari perkataan atau bahasa tubuhnya yang memancing orang lain melakukan kejahatan terhadapnya dalam hal ini perbuatan cabul.
4.1.2
Korban dalam tindak pidana pencabulan secara yuridis tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku dalam delik penyertaan baik sebagai orang yang telah menyuruh lakukan, turut serta melakukan, dan membantu melakukan. Hal ini karena perbuatan korban sulit 58
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
59
dibuktikan, dikarenakan dalam peraturan undang-undangan pun tidak ada yang mengatur tentang pertangungjawaban korban sebagai akibat dari keterlibatan korban. Peraturan yang ada hanya berorientasi pada pelaku.Anak akan dimintai pertanggungjawaban pidana apabila anak memang sebagai pelaku dalam perbuatan cabul tersebut yaitu baik anak yang melakukan, yang menyuruh lakukan, ataupun turut serta melakuan tindakan cabul terhadap sesama
anak
di
bawah
umur
dimana
maksimal
pertanggungjawaban pidananya adalah ½ dari ancaman pidana maksimal bagi orang dewasa. 4.2
SARAN:
4.2.1
Model pemidanaan saat ini menurut hemat penulis masih belum secara optimal memenuhi rasa keadilan karena tampaknya terdapat unsur-unsur yang belum dipertimbangkan dalam pemidanaan tersebut. Unsur yang dimaksud adalah unsur korban dan demi keadilan
unsur
ini
perlu
dipertimbangkan.
Dalam
hal
pertanggungjawaban pidana, korban mempunyai tanggungjawab fungsional yakni secara aktif menghindar untuk menjadi korban dan tidak memprovokasi serta memberikan kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana.
Provokasi atau kontribusi korban
terhadap terjadinya viktimisasi dalam perspektif viktimologi sering disebut victim precipitation yang sekaligus berkaitan dengan pertanggungjawaban korban atas viktimisasi.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Mengacu pada
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
60
konsep tersebut, korbanpun dapat memiliki andil dalam terjadinya viktimisasi dan sudah selayaknya demi keadilan korbanpun dapat dipertanggungjawabkan dan dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana.
4.2.2 Apabila perbuatan cabul dilakukan oleh anak dengan anak atas dasar suka sama suka dan kemudian berakibat merugikan anak perempuan petanggungjawaban pidana berdasarkan kepentingan yang terbaik untuk anak baik pelaku maupun korban. Yaitu pertanggungjawaban pidana merupakan hal terakhir yang dipilih. Dengan
menggunakan
kewenangan
Disversi
polri
dapat
menghentikan penyidikan maupun penuntutan pada anak dengan mempertimbangkan kepentingan ke dua belah pihak, karrena pada dasarnya perbuatan itu tidak akan terjadi tanpa peran kedua belah pihak.
Pada perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa pada anak, maka orang dewasa memang harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Karena bagaimanapun peran anak dalam perbuatan tersebut, anak dianggap tidak bisa menyikapi akibat dari perbuatannya. Jadi meskipun ada peran anak sebagai korban tetap saja pertanggungjawaban pidana terletak pad pelaku yang sudah dewasa.
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR
BACAAN
BUKU Adji, Oemar Seno, Mass Media dan Hukum, Erlangga, Jakarta,1973 Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Presindo, Jakarta, 1985 Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Pertama, Prenada Media, Jakarta, 2006 Ikawati,
Pengkajian
permasalahan
Pelacuran
Anak,
Depsos
RI,
Yogyakarata,2004 Kartono, Kartini, Phatologi Sosial, Rajawali, Jakarta, 1981 Luhulima, Achie Sudarti, Pemahaman Bentuk – Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Alumni, Jakarta, 2000 Moeljatno, Asas –Asas Hukum Pidana,cetakan ke enam, Rineka Cipta, Jakarta, 2000 Remmelink, Jan, Hukum Pidana ( Komentar atas pasal-pasal terpenting dari kitab undang-undang hukum pidana Belanda dan padanannya dalam kitab undang-undang Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
Sahetapy J.E, Bunga Rampai Viktimisasi, PT. eresco, Bandung, 1995
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana), cetakan ke tiga, Aksara Baru, Jakarta, 1983
Sianturi,Sri, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem- petehaem, Jakarta,1986
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan bahan-bahan kuliah, FH UNDIP, Semarang , 1988
Suyanto, Bagong dan Sri Sianturi Hariadi, Krisis &Child Abuse, Jakarta ,2002 Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986
Artikel Dari Website http://www.ypha.or.id, Praktek-praktek Sistem Peradilan Pidana Anak.pdf. HTTP Status 404 /newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/posisi_korban_SPP_files/image015.gif www. Jurnal.com/Angkasa, Jurnal Penelitian Hukum "Supremasi Hukum" , Vol. 12, 2007, h. 119.
Undang _ Undang Undang – undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang – Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang – Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang 1 Tahun 1946 jo Undang-undang 73 Tahun 1958 tentang Peraturan Hukum Pidana Undang-undang 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Skripsi
Pertanggungjawaban pidana....
Chandra Kusuma Dewi