ADAKAH PENGKHIANATAN ITU ? Meski Pak Harto mengatakan sudah tua dan ingin lengser keprabon,namun tetap saja ia dipuja puji dan didorong oleh sejumlah tokoh nasional, ulama, parpol, ormas, untuk tampil kembali menjadi Presiden RI untuk ke 7 kalinya, periode masa bakti 1998-2003. Padahal usia Pak Harto 77 tahun. "Et Tu Brutus (kamujuga Brutus ?)," sergah Yulis Caesar, kaisar Romawi, terkejut dan tak percaya manakala mengetahui, ternyata Brutus, salah satu orang kepercayaannya, ikut pula menikamnya dari belakang. Brutus telah mengkhianatinya. Brutus adalah sang pengkhianat, demikian tulis William Shakespeare dalam kisah "Yulius Caesar". Sebuah legenda pengkhianatan, yang sudah menjadi "tragedi" manusia dari zaman ke zaman. Termasuk juga dalam tatanan politik yang kita kenali istilah: Dalam politik, tak ada kawan dan lawan yang abadi selain kepentingan. Lantas Bagaimana dengan Pak Harto ? Jatuhnya Pak Harto - demikian Probosutedjo mengung-kapkan - karena sanjungan. Dan sanjungan inilah yang dibuat oleh orang-orang yang secara sengaja, hingga akhirnya menjebloskan Pak Harto. Kebulatan tekad, Bapak pembangunan, dan berbagai puja dan puji bermunculan dari sana-sini pada saat Pak Harto berkuasa. Namun, ketika Pak Harto jatuh dan dihujat habis-habisan, mereka semua lenyap menghilang. Semua menyembunyikan diri. Tak satu pun tampil membela. Karena terlalu lama dijajah - demikian kata Probosutedjo lagi -maka nilai nilai primordialisme benar-benar melekat dalam kehidupan masyarakat sehingga rakyat kecil selalu silau dan kagum terhadap atasan, bahkan di jawa, rakyat kecil mengharap "sawab" dari pemimpin (atasan). Kalau di Tapanuli (Sumatera Utara) seorang pemimpin itu selalu disanjung dan dihormati. Di Tapanuli dikenal adanya pepatah yang berbunyi : "Si Togu Nau Tindang, Si Tunjang Magedap" yang kurang lebih artinya, siapapun yang sudah kuat, sudah kokoh kedudukannya, selalu didukung dan disanjung, sebaliknya kalau sudah lengser, tidak menjabat, dan menderita disepaknya. Umumnya, sikap bangsa Indonesia selalu menyanjung pemim-pin (atasan) dan meremehkan bawahan.
Dalam masyarakat Indonesia, selain pemimpin, or-ang kaya juga selalu disanjung, dikagumi dan dihormati, tanpa meneliti kekayaan itu darimana asalnya. Sebaliknya orang kaya selalu menganggap remeh orang miskin. Di Tapanuli juga dikenal pepatah yang berbunyi "Moloho monang mardjudji sude mandok lae, moloho alah mardjudji sude mandok te" (kepada yang menang judi semua orang memanggil lae ù dianggap saudaraù, tapi bagi yang kalah judi, semua orang memanggil te). Maksudnya siapapun yang menang mardjudji (judi) atau mendapat rezeki yang banyak, atau kepada yang sedang berkuasa, semua orang akan menghormati bahkan menyebut lae artinya lae kedudukannya sangat terhormat, bahkan saking hormatnya siapun yang dipanggil lae boleh kawin dengan adik perempuannya. Sebaliknya terhadap orang kalah judi, tidak mempunyai kekayaan, tidak menjabat tidak punya kedudukan, semua orang akan meremehkan dan menghinanya dengan memanggil te artinya kotoran atau barang najis. Sikap seperti itu seharusnya segera dikikis.2 Kekuasaan adalah candu. Periama, karena kekuasaan amat sangat mempengaruhi manusia - kita semua. Kedua, manusia cenderung memuja kekuasaan, dan ketiga, mereka yang berkuasa cenderung ingin dipuja, suka memaksakan kehendak dan mempertahankan kekuasaannya. Menurut Probo, kejatuhan Pak Harto tidak berbeda jauh dengan Bung Karno, keduanya jatuh dengan "skenario" yang sama: hanyut dalam sanjungan. Bung Karno disanjung sebagai komando Operasi tertinggi/panglima tertinggi ABRI/ panglima Besar Komando Operasi Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi dan didaulat menjadi Presiden seumur hidup. Pak Harto disanjung sebagai bapak pembangunan ahli strategi/ahli manajerial, dan lain sebagainya, yang notabene mendudukkan Pak Harto sebagai satu-satunya pilihan bangsa. Didaulat untuk terus memimpin bangsa ini walau usianya telah lanjut. Padahal, Pak Harto sendiri telah jauh-jauh hari mengharapkan dirinya kelak akan mengabdi kepada bangsa sebagai pandito. Pak Harto memang benar-benar ingin lengser keprabon. Karena itu, sesungguhnya tak ada niat Pak Harto untuk terus menerus mempertahankan kekuasaan. Terus menerus menjadi Presiden RI. Indikasi
itu, sesungguhnya sudah tampak pada periode ke 5 masa kepemimpinannya, sebagaimana pernah dikemukakan Pak Harto; "Anak-anak saya hadir pada pelantikan saya sebagai Presiden RI untuk masa bhakti 1988-1993 itu. Memang mereka yang menginginkannya. Saya paham akan keinginan mereka itu. Sebelum ini mereka tidak pernah menyaksikan dari dekat saya dilantik sebagai presiden/mandataris MPR. Masakan pula sekarang untuk kelima kalinya dilantik sebagai Presiden mereka tidak menyaksikan dari dekat. Maka disediakanlah bagi mereka kursi di ruangan Graha Sabha Paripurna. Bahwasannya diantara anak-anak saya ada yang menyatakan, pelantikan kali ini (1988) merupakan terakhir sebagai presiden buat saya, itu bisa dimaklumi. Dilihat dari segi rasio manusia, memang pada usia yang sudah akan mencapai 67 tahun ini, pantas saja pelantikan ini merupakan terakhir untuk saya. Kalau sampai selesai saya merampungkan tugas sebagai presiden masa bhakti 19881993, berarti nanti pada usia mendekati 72 tahun, saya berhenti sebagai presiden" Lalu ù masih dalam konteks usia - lima tahun kemudian, menjelang pengangkatannya kembali untuk jabatan Presiden yang ke 6, sudah berulangkali pula Pak Harto mengatakan: Mengingat bahwa usia rata-rata umur orang Indo-nesia 56 tahun, kalau saya tidak salah maka umur 72 tahun itu terhitung lebih dari rata-rata, terhitung cukup tua. Jadi rasanya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sebagai presiden/mandataris MPR yang terakhir buat saya. Saya ini sudah TOPP, artinya sudah tua, ompong, peyot, dan pikun". Sebagai manusia, Pak Harto memang menyadari factor usia menjadi satusatunya alasan, keengganan dirinya untuk kembali memimpin negeri ini. Termasuk juga pada saat usianya menjelang 77 tahun ketika ia diminta kembali tampil sebagai presiden RI untuk yang ke 7 kalinya. Kembali Pak Harto mengingatkan pasal usia, dan keinginannya untuk lengser keprabon mandeg pandito Namun, tetap saja alasan usia tua ini dinafikkan. Padahal, batas umur seseorang - demikian kata guru mengaji kita ù hanyalah Tuhan yang tahu. Ketika usia makin bertambah, kemampuan fisik juga akan terus berkurang, seiring dengan makin uzurnya seseorang. Dan hukum alam inilah yang diingatkan kembali oleh Pak Harto kepada tujuh pengurus
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang meng-hadapnya di kediaman Jalan Cendana no 8, pada bulan April 1997. "Tolong perhatikan umur saya. Sudah 77 tahun. Apakah saya ini masih mampu ?", demikian ucapan Pak Harto kepada rombongan KNPI itu, seperti ditirukan oleh Maulana Isman, Ketua Umum DPP KNPI. Namun toh, jajaran kepengurusan KNP itu terus memohon agar Pak Harto bersedia dicalonkan kembali untuk menjadi Presiden periode 1998-2003. Sebab, barisan KNPI itu menyatakan tidak meragukan kesehatan Pak Harto yang dinilai mereka sangat jempolan. Dari segi kearifan dan kewibawaan, jajaran KNPI melihat Pak Harto tak tertandingi. Dan ucapan Pak Harto mengenai usianya yang lanjut itu, nampaknya tidak ditanggapi serius oleh DPP KNPI. Karena usulan ini - demikian kata mereka - merupakan amanat keputusan Kongres KNPI yang diselenggarakan pada Oktober 1996. Tanggapan Pak Harto terhadap pencalonan itu, yang menyebutkan usianya sudah lanjut, tampaknya, secara tak langsung ditujukan juga ke berbagai pihak, baik organisasi maupun perorangan, yang menginginkan ayah enam anak ini menjadi presiden untuk yang ke tujuh kalinya. Presiden untuk masa bakti 1998 -2003. Sekitar setahun menjelang sidang Umum MPR 1998 sudah banyak yang mengharapkan Pak Harto untuk tetap menjadi kepala negara RI 19982003. Majelis Ulama Indo-nesia (MUI), misalnya, pada bulan Maret 1997 malah mendoakan Pak Harto agar tetap sehat dan bersedia memimpin Indonesia lagi. Lalu sebelumnya, dari kalangan ulama di berbagai daerah, kalangan organisasi, professional, dan pelbagai ormas pun hampir semua menyuarakan hal yang sama: Pak Harto harus memimpin kembali bangsa ini. Malah, jauh-jauh hari sejak September 1995, sejumlah organisasi dan tokoh masyarakat menyatakan kebulatan tekad mendukung Pak Harto sebagai calon Presiden RI periode 1998-2003. Dukungan itu dimulai oleh GM Gakari pimpinan Ais Ananta Said, kemudian disusul oleh Ketua DPP Golkar Agung Laksono yang mengatakan; Belum ada pemimpin yang mampu menandingi Pak Harto. Lalu, sebagai Menteri Transmigrasi, Siswono Yudho Husodo berulang kali mengungkapkan pernyataan senada. "Terus terang, saya belum
menemukan orang yang dapat memimpin bangsa dan negara ini lebih baik daripada Pak Harto" Menurut Siswono, bukti nyata kemampuan Pak Harto adalah keberhasilannya melaksanakan pembangunan jangka panjang tahap I. "Bila kita jejer misalnya, Pak Harto, Habibie, Harmoko, atau Try Sutrisno, yang terbaik sekarang ini tetap Pak Harto," kata Siswono lagi yang dikenal sebagai tokoh senior dan alumni GMNI. Kemudian, saat membuka Mubes Kosgoro VII, pada 11 November 1995 di Stadion tenis Senayan, Ketua Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro ù waktu itu ù Soeprapto, dengan tegas mencalonkan kembali Pak Harto sebagai Presiden RI periode 1998-2003. Kosgoro adalah ormas yang menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar. "Titip kepada Bung Harmoko, tidak ada lain kecuali Pak Harto," kata Soeprapto saat itu, yang di dalam acara pemandangan umum, hampir separuh pimpinan daerah kolektif mencalonkan kembali Pak Harto sebagai Presiden RI periode 1998-2003. "Sejak awal Orde Baru, Kosgoro tegas mendukung kepemimpinan Pak Harto, sampai kapanpun," kata Soeprapto. Lalu yang cukup menarik, Menteri Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadja, yang dikenal cukup vokal di antara para menteri Kabinet Pembangunan VI, juga menggelindingkan dukungan buat Pak harto. "Jangan cari pemimpin baru. Cari perkara saja," ujarnya seperti dikutip Forum Keadilan, 4 Desember 1995. Sementara Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Mien Sugandhi, yang juga Ketua Umum Musyawarah Kerja Gotong Royong (MKGR), tidak mau ketinggalan. "MKGR pasti mencalonkan kembali Pak Harto sebagai Presiden RI periode mendatang," katanya, yang menurutnya, belum ada calon lain yang menandingi Pak Harto. Akan halnya Rais Syuriah PBNU, K.H. Wahid Zaini, termasuk ulama yang setuju agar Pak Harto dicalonkan kembali sebagai Presiden RI19982003. "Kita harus obyektif menilai keberhasilan beliau, disamping masih ada keku-rangannya." Yang dimaksud Kiai Wahid adalah berbagai kebijakan Pak Harto yang banyak memberikan kemas-lahatan bagi umat Islam. Ambillah contoh pendirian ratu-san masjid oleh Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, pengiriman da'i-da'i ke daerah transmigrasi, pengesahan berbagai peraturan perundangan yang menyerap aspirasi umat, penghapusan larangan berjilbab bagi pelajar sekolah umum, serta pendirian ICMI dan Bank Muamalat Indone-sia (BMI). Juga, dukungan
Pak Harto terhadap perjuangan otonomi Moro dan aktivitasnya di kancah internasional. Kiai Wahid Zaini memberikan kaidah ushul ficjih terkenal untuk mendukung tampilnya kembali Pak Harto sebagai presiden RI: al yaqin la yuzaalu bis syak (sesuatu yang meyakinkan tidak bisa dihapus oleh sesuatu yang masih meragukan.) Prestasi dan kemampuan Pak Harto telah jelas dan meyakinkan, sedangkan sosok lain masih meragukan. "Prestasi itu membuat rakyat semakin mantap memin-tanya kembali menjadi Presiden/' demikian kata K.H Badri Masduki, ulama Jawa Timur yang pernah memelopori pengumpulan ribuan tandatangan buat mencalonkan kembali Pak Harto menjelang Sidang Umum MPR 1993. Bahkan, Kiai Badri mangaku telah menyisipkan surat saat menemui Pak Harto bersama para ulama Jawa Timur. Isinya: meminta kesediaan Pak Harto dipilih kembali sebagai Presiden RI tahun 1998-2003. Kiai Badri juga memberikan alternative. "Jika Pak Harto merasa sudah uzur, mohon diberikan petunjuk siapa yang pantas menggantikannya," katanya. Tak hanya itu, sejumlah menteri dan para tokoh nasional pun bersamasama menuliskan pelbagai sanjungan terhadap Pak Harto. Hal ini tertera dengan jelas di dalam sebuah buku berjudul "Pak Harto di Antara Para Sahabat" lalu buku "Manajemen Soeharto. Penuturan 17 Menteri" (tahun 1996). Memang ada sejumlah nama-nama seperti Soesilo Sudarman, Hartarto Sastrosoenarto, Azwar Annas, Harmoko, Wardiman Djojonegoro, Joop Ave, Subiakto Tjakrawerdaya, Siswono Yudo Husodo, Sujudi, Akbar Tanjung, Sanyoto Sastriwardojo, Haryono Suyono, dan juga Hayono Isman yang pada dasarnya menyikapi manajemen dan kepemimpinan Pak Harto. Atau, bagaimana seorang Tanri Abeng menuliskan analisisnya dalam ulasan buku "Manajemen Presiden Soeharto" (tahun 1996) mengenai manajemen dan kepemimpinan Pak Harto yang amat sangat dikaguminya, sebagaimana ia kemukakan: Jadi ternyata, Pak Harto benar-benar telah dapat mengimplementasikan manajemen sebagai ilmu maupun sebagai seni, sehingga pelaksanaan tugasnya dapat menghasilkan karya-karya prestatif secara konsisten dan berkesinambungan. Karak-teristik kepemimpinan dan manajerial yang berlaku universal diatas lalu diperkuat dengan kejujuran atau integritas
profesional serta ketaqwaan. Itulah sebabnya dalam penuturan para penulis, terbentang benang merah yang menyatakan bahwa Presiden Soeharto adalah pemimpin yang serba lengkap. Dalam istilah Waren Bennis, penulis buku Visionary Leadership, Pak Harto dapat diistilahkan sebagai a complete leader alias pemimpin yang paripurna. Tanri Abeng menyimpulkan bahwasanya manajemen Pak Harto memiliki kecanggihan dalam mengoperasionalkan menajeman sebagai ilmu maupun seni. Dengan demikian, manajemen Presiden tak lain dari universal managemen atau manajemen modern, yang diperkaya luar biasa dengan fondasi nilai-nilai moral keagamaan serta nilai-nilai warisan budaya bangsa. Dengan perkataan lain, manajemen Pak Harto dapat dimasukkan dalam cetakan manajemen mod-ern, namun lebih kokoh lagi dari sekedar manajemen uni-versal, karena menajemen Pak Harto diperkaya nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai leluhur. Puja-puji memang terus ditujukan kepada Pak Harto. Hampir semua tokoh nasional, pejabat tinggi, ulama, partai politik, ormas dan organisasi kemasyarakatan melakukan hal yang sama. Mendaulat Pak Harto sebagai satu-satunya tokoh bangsa, dan layak kembali memimpin bangsa ini. Kemudian hal yang paling menarik adalah pernyataan kesediaan Pak Harto untuk "lengser keprabon", pada perayaan hari ulang tahun Golkar ke 33 pada 20 Oktober 1997 di Istora Senayan, Jakarta, justru dijawab dengan kebulatan tekad untuk mencalonkan kembali Pak Harto sebagai presiden RI untuk periode 1998-2003. Golkar yang meraih 74% suara dalam pemilu 1997 tak punya calon lain kecuali Pak Harto. Hal ini dikemukakan secara tegas oleh Harmoko selaku Ketua Umum Golkar pada acara tersebut. Bahwa seluruh kader Golkar sudah berbulat tekad untuk mencalonkan kembali Pak Harto. Memang pada malam resepsi HUT Golkar ke-33 tersebut, Pak Harto tidak serta-merta menerima pencalonan kembali dirinya oleh Golkar menjadi Presiden (periode 19982003). Meskipun demikian, Pak Harto sendiri meminta agar proses pencalonannya kembali dicek lagi, apakah benar semua jajaran Keluarga Besar Golkar menghendaki dirinya kembali menjadi Presiden. Dalam sambutan tanpa teks, Pak Harto menanggapi pencalonan itu dengan cerita
perwa-yangan tentang seorang Prabu (Raja) yang akan turun dari singgasananya dan siap menjadi pandito. Saat itu Pak Harto mempertanyakan kembali: "Apa benar Rakyat masih mempercayai saya ?" Harmoko dengan lantang menjawab; Bahwa seluruh rakyat masih mempercayai dan menginginkan Pak Harto kembali menjadi Presiden. Lalu tepuk tangan pun bergemuruh. Tak hanya Golkar, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi In-donesia pun menyatakan hal senada. Maka tepuk tangan pun sambung menyambung diperdengarkan para wakil rakyat di DPR/ MPR manakala Pak Harto terpilih kembali sebagai presiden RI untuk ketujuh kalinya lewat Sidang Umum MPR pada tanggal 11 Maret 1998. Dan usia Pak Harto saat itu adalah 77 tahun. Sebuah usia yang rentan untuk ukuran pemimpin bangsa Indonesia. Sementara itu, hampir semua orang tahu, bahwa situasi ekonomi sedang mengalami krisis, dimana nilai tukar rupiah terus melemah. Namun ini sama sekali tidak diperhitungkan. Para tokoh partai terus saja mendorong Pak Harto untuk tampil kembali. Dan agaknya hampir seluruh anggota MPR/DPR tidak menyadari bahwa memilih Pak Harto yang sudah berulangkali menegaskan bahwa usianya sudah uzur sesungguhnya berakibat fatal. Sementara Pak Harto sendiri memang tidak ingin menjadi Presiden terus menerus. Bahkan, jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri jika tidak menjadi Presiden lagi. Mantan Menkop/Kabulog Bustanil Arifin menceritakan, suatu ketika ia naik mobil bersama Pak Harto. Saat melewati jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Pak Harto menunjuk Gedung Granadi, kantor Yayasan Dharmais, yang sedang dibangun. "Kalau sudah tidak menjabat, nanti saya akan berkantor disitu," kata Bustanil, menirukan ucapan Pak Harto. Akan halnya Haryono Suyono - orang dekat Pak Harto -menceritakan hal yang sama, pernah suatu kali ia juga bersama Pak Harto melewati jalan Kuningan, Jakarta Selatan. Dan di depan gedung Granadi, Pak Harto menunjukan tangan sambil mengatakan, "Nanti, setelah tidak jadi presiden, kantor saya disitu."
Memang, jauh-jauh hari Pak Harto telah menyiapkan sebuah ruangan di lantai 4 gedung Granadi, Kuningan, Jakarta Selatan. Sebuah ruangan kerja, dimana di dalamnya terdapat sebuah foto lukisan Pak Harto dan Bu Tien (almarhumah) dan sejumlah foto-foto Pak Harto lainnya. Ruangan yang didesain sedemikian rupa dan tertata apik. Namun Pak Harto, belum sekali pun berkantor di situ sejak ia lengser. Dari data dan fakta di atas, jelas menunjukkan adanya dorongan dari sejumlah orang kepada Pak Harto, baik itu dalam bentuk pernyataan kebulatan tekad untuk memilih kembali Pak Harto sebagai Presiden untuk ke 7 kalinya, masa bakti 1998-2003, maupun dalam bentuk sanjungan dan puja-puji yang sangat meyakinkan. Meski tentu saja tidak semua puja-puji itu salah. Tidak semua berarti buruk lantaran tak sedikit pula bertolak dari kerangka objektifitas, baik pandangan maupun pemikiran mereka mengenai apa, siapa, dan bagaimana sesungguhnya kepemimpinan dan manajemen Pak Harto. Bahwa memang ada hal-hal baik yang patut dikemukakan dari Pak Harto. Namun, dari sejumlah nama-nama di atas, realitasnya memang menunjukkan adanya sejumlah nama yang tidak konsisten dengan komitmennya, tidak "setia" pada ucapannya, tidak loyal, bahkan juga sebagian di antaranya ikut melakukan hujatan dan melengserkan Pak Harto dari kursi kepresidenan. Dan itu semua terbukti manakala Pak Harto lengser pada 21 Mei 1998, dan hari-hari setelah itu, siapa-siapa sajakah mereka itu ? Tahun 1998 yang Meresahkan MEMANG TAK bisa dipungkiri, adanya krisis moneter menjadi salah satu pemicu terjadi riak gelombang kegelisahan yang terjadi di tengahtengah masyarakat. Awal dari meruyaknya Reformasi. Krisis ekonomi di kawasan Asia yang diawali dengan jatuhnya nilai mata uang bath di Thailan terhadap dolar AS pada 2 Juli 1997, mulai merambah ke negaranegara Asia lainnya, termasuk juga Indonesia, yang merupakan bagian dari efek domino. Di Indonesia, tanda-tanda adanya krisis terjadi pada minggu kedua Juli 1997, ketika kurs rupiah merosot dari Rp. 2.432 per dolar AS menjadi sekitar Rp. 3.000 per dolar AS. Bank Indonesia berusaha membuat
sejumlah kebijakan dengan melebarkan rentang kendali rupiah, namun krisis moneter, yang diikuti dengan semakin menipisnya tingkat kepercayaan, membuat nilai rupiah semakin sulit dikontrol. Pak Harto sendiri dalam upaya menangani krisis, segera mengundang Dana Moneter Internasional (IMF) pada 8 Oktober 1997, namun tidak banyak membantu. Kebijakan pemeritah untuk menutup 16 Bank, justru membuat pelaku usaha semakin kehilangan arah. Sementara nilai rupiah semakin terperosok pada level Rp. 5.097 per dolar AS. Pada Januari 1998, rupiah semakin lemah menjadi Rp. 9.800 per dolar AS dan mencapai Rp. 11.050 pada akhir Januari 1998. Walhasil, dampak krisis moneter dan macetnya dunia usaha, pada gilirannya mengakibatkan banyak perusahaan memutuskan hubungan kerja, dan memperbanyak jumlah pengangguran. Krisis moneter ini juga menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran terbuka, dari 4,68 juta orang pada tahun 1997, menjadi 5,46 juta orang pada tahun 1998. Demikian pula jumlah setengah pengangguran, meningkat dari 28,2 juta jiwa pada 1997 menjadi 32,1 juta jiwa pada 1998. Pertambahan jumlah pengangguran dan setengah pengganguran tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat. Selanjutnya berimplikasi pada krisis sosial di berbagai bidang dan mempengaruhi keamanan masyarakat. Ketidakpastian akibat dari perubahan-perubahan cepat seperti itulah yang menyebabkan kredibilitas politik maupun ekonomi, yang dilakukan pemerintah menurun. Masyarakat pun cemas, dan wujud dari kecemasan itulah berbentuk dalam berbagai unjuk rasa yang digerakkan oleh para mahasiswa. Hampir di sejumlah kota besar terjadi pelbagai aksi unjuk rasa. Dan itu terjadi manakala seusai Pak Harto dilantik kembali pada 11 Maret 1998. Mulai dari skala kecil, hingga skala besar, berbagai aksi unjuk rasa itu terjadi seperti; 23 Maret 1998. Unjuk rasa di Solo. Bentrokan di Univeritas 11 Maret, terjadi. Sebanyak 25 orang mahasiswa luka.
24 Maret 1998. Mahasiswa berunjuk rasa men-datangi Komnas HAM memprotes kekerasan yang dilakukan aparat terhadap aksi-aksi mereka. 3 April 1998.Terjadi sebuah Insiden Yogyakarta. Petugas bertindak tegas menghadapi aksi unjuk rasa di UGM. 5 April 1998. Mendikbud melarang aksi di kampus 11 April 1998. Pangab berdialog dengan 32 organisasi kepemudaan. 15 April 1998. Mahasiswa se-jabotabek, lebih dari 30 kampus mengadakan aksi unjuk rasa serentak yang diikuti oleh ribuan mahasiswa. April 1998.Presiden Soeharto menyatakan aksi mahasiswa jangan menggangu proses belajar mengajar. April 1998.Pemerintah, sejumlah menteri dan Pangab melakukan dialog dengan para mahasiswa dan tokoh masyarakat di PRJ Kemayoran. 2 Mei 1998. Aksi keprihatinan di berbagai kampus melibatkan mahasiswa. Insiden berdarah terjadi di IKIP Jakarta, 33 mahasiswa IKIP luka serius, puluhan lainnya mengalami cedera. 4 Mei 1998. Unjuk rasa terjadi ketika pemerintah menaikan harga BBM dan listrik. DPR menolak harga-harga terus membumbung. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik di atas 71 persen. Selama 3 hari terjadi kerusuhan di Medan, Sumater Utara. Dalam kerusuhan itu 6 orang meninggal dunia. Mei 1998. Dalam aksi unjuk rasa, Moses Gatutkaca tewas dengan kepala luka dalam di depan kampus Sanata Dharma, Yogyakarta Mei 1998. Ketika Pak Harto berangkat ke KTT G-15 di Cairo Mesir, Presiden yakin, stabilitas politik dan nasional akan tetap terpelihara selama keberangkatannya (sepekan) ke luar negeri. Namun unjuk rasa yang terjadi di Universitas Djuanda Bogor sempat menewaskan Lettu Anumerta (Pol)
Dadang Rusmana yang tewas saat bertugas memantau aksi unjuk rasa di Bogor. Pada mulanya, belum terdengar tuntutan agar presiden mengundurkan diri. Namun selanjutnya, semakin tampak dukungan rakyat kepada pemerintah mulai surut. Akhirnya unjuk rasa bukan lagi menuntut perubahan politik dan ekonomi, melainkan menuntut perubahan kepemimpinan nasional. Sejak itu, dari hari ke hari, tuntutan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin nyaring. Demikianlah, rangkaian aksi -aksi unjuk rasa mencapai puncaknya ditandai dengan meletusnya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998. Pada waktu itu, mahasiswa Universitas Trisakti sedang melancarkan aksi unjuk rasa, namun mereka dihadang oleh aparat keamanan, dan terjadilah bentrokan yang menewaskan empat orang mahasiswa akibat tembakan peluru tajam. Dan mahasiswa yang menjadi korban ini adalah Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana dan Hafidhin Royan. Lantas, tragedi Trisaksi ini kemudian menjadi bagian pemicu bagi rangkaian kerusuhan yang lebih besar pada tanggal 13-14 Mei 1998. Kota Jakarta dan sekitarnya mengalami kerusuhan yang menimbulkan korban ratusan jiwa dan harta benda. Aksi-aksi kekerasan massa, perusakan, pembakaran, penjarahan, hingga tindakan asusila terjadi diberbagai tempat. Di Jakarta, korban-korban akibat kerusuhan telah berjatuhan. Pemerintah Daerah Tanggerang mencatat lebih dari seratus jenazah hangus terbakar di sebuah kompleks pertokoan. Pemda Bekasi juga menemukan puluhan mayat korban kerusuhan. Pusat Penerangan ABRI bahkan melaporkan jumlah korban jiwa mencapai 500 orang. Belum lagi korban kerusuhan yang terjadi di Surakarta, Jawa Tengah dan beberapa daerah lainnya, yang diperkirakan korban melebihi jumlah tersebut. Sementara itu untuk kerugian material, Pemerintah menjelaskan bahwa kerusuhan massa yang terjadi di Jakarta 13-14 Mei 1998 menelan kerugian material senilai Rp 2,5 triliun. Menurut perincian Gubernur DKI Jaya, Sutiyoso, disebutkan; Kerusuhan ini telah merusak 13 pasar, 2.476 ruko, 40 mal/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kantor kecamatan, 11 polsek, 383 kantor swasta, 65
bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pom bensin, 8 bis kota dan metro mini, 1.119 mobil, 821 motor, 486 rambu lalu lintas, 11 taman, 18 pagar, dan 1.026 rumah penduduk dan gereja Kerugian akibat kerusuhan Mei 1998 jauh lebih buruk dibandingkan kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta yang telah merusak 144 bangunan atau dibandingkan kasus 27 Juli 1996, yang menghancurkan puluhan bangunan dan kendaraan senilai 100 miliar rupiah, belum termasuk korban jiwa. Sementara itu, Minggu 17 Mei 1998, Menko Ekuin Ginadjar Kartasasmita, memaparkan kepada pers, bahwa di DKI Jakarta sedikitnya terdapat lima ratus satuan usaha yang mengalami gangguan. Jika satu usaha menyerap 10 pekerja, maka akan mencapai 50.000 orang yang mengalami gangguan, belum termasuk keluarganya. Memang kerusuhan Mei 1998, bila dibandingkan dengan kerusuhankerusuhan sebelumnya, merupakan kerusuhan yang terburuk yang pernah dialami bangsa In-donesia. Menurut laporan TPGF (Tim Gabungan Pencari Fakta), korban yang meninggal dan luka-luka serta hilang adalah sebagai berikut: 1.217 orang meninggal dunia (dimana 1.190 orang diantaranya meninggal karena luka bakar), 91 orang luka-luka, dan 31 orang yang hilang. Lalu, terjadi juga 78 kasus kekerasan seksual yang terdiri 52 kasus perkosaan, 14 kasus perkosaaan disertai penganiayaan, dan 15 kasus pelecehan seksual7 Adapun tersangka kerusuhan tersebut mencapai 1.000 orang yang sempat ditangkap aparatur. Mereka adalah para pelaku kerusuhan dan penjarahan di Jakarta dan sekitarnya. Namun, hingga kini para pelaku tersebut tidak pernah diseret ke pengadilan, baik penjarah maupun korban pelaku tak pernah diusut lebih lanjut. Semua lenyap begitu saja. Sementara hingga kini tak pernah dicari, siapa sesungguhnya aktor intelektual di belakang aksi kerusuhan ini ? Dan siapa pula yang paling bertanggung jawab ? Karena kita semua tahu, tak satu pun aparat yang yang berada di tempat kejadian perkara - tempat kerusuhan, aksi masa, dan penjarahan berlangsung. Yang pasti, aksi kerusuhan massal ini bukan merupakan aksi-aksi unjuk rasa terbuka sebagaimana yang dilakukan para mahasiswa selama ini, melainkan aksi kebrutalan, amuk massa, penjarahan, pembakaran yang
sangat mem-permalukan bangsa sendiri. Terbukti, warga negara asing menjadi panik, cemas, dan takut berlama-lama tinggal di Indonesia. Bahkan, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat segera memerintahkan agar 8.000 warganya di Jakarta segera meninggalkan Indonesia, Jumat, 15 Mei 1998. Demikian pula dengan Pemerintah Jerman, yang juga melarang warganya yang hendak wisata ke Bali dan wilayah Indonesia. Larangan serupa, juga dikeluarkan pemerintah Taiwan, China, Australia dan Filipina. Persoalannya, memang terletak pada; bagaimana kerusuhan dan amuk masa itu bisa terjadi dan tidak terkait langsung dengan aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa ? Selain beda tema, juga tentunya beda bentuk. Sementara ketika kerusuhan terjadi, Pak Harto sendiri sedang berada di Kairo, Mesir untuk mengadakan pertemuan KTT G-15 pada tanggal 13-14 Mei 1998. Pak Harto meninggalkan tanah air pada 9 Mei 1998. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab manakala seorang presiden ke luar negeri, apakah Wakil Presiden ataukah Menhankam/Pangab ? Sementara kita tahu, Jenderal Wiranto selaku Menhankam/Pangab, saat kerusuhan terjadi ia justru sedang tidak berada di Jakarta. Jenderal Wiranto beserta sejumlah jenderal justru pergi ke Malang, Jawa Timur guna menghadiri dan bertindak selaku Inspektur upacara dalam rangka serah terima tanggung jawab PPRC (Pasukan pemukul Reaksi Cepat) ABRI dari devisi 1 Kostrad kepada Devisi 2 Kostrad. Konon Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto sendiri telah menyarakan agar Pangab tidak usah berangkat ke Malang. Letjen Prabowo beberapa kali menelepon Jenderal Wiranto, tetapi keputusan Panglima ABRI tetap ke Malang. Konon, semula direncanakan Kasum ABRI yang akan bertindak selaku Inspektur Upacara, namun pada tanggal 7 Mei 1998 rencana diubah oleh Jenderal Wiranto, dimana dia selaku Panglima ABRI menjadi Inspektur Upacara menggantikan Kasum ABRI Pertanyaan yang timbul, kenapa ketika kerusuhan terjadi justru saat Pak Harto tidak berada di dalam negeri ? Kenapa pula Panglima ABRI Jenderal Wiranto tidak berada di Jakarta, justru ia bersama jenderaljenderal lainnya pergi ke Malang ? Dan kenapa pula kerusuhan brutal ini seolah dibiarkan begitu saja, dan sampai kini tak pernah ada kelanjutannya? Artinya, adakah penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan mengenai kasus kerusuhan itu ? Hingga kini memang belum
terjawab. Ada apakah di balik itu sebenarnya ? Apakah telah terjadi sebuah rekayasa ? Namun yang pasti, setelah Pak Harto usai mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok G-15 di Kairo Mesir, 13-14 Mei 1998, Pak Harto sempat mengadakan acara silaturahmi dengan masyarakat Indonesia di Kairo. Sebagai reaksi atas maraknya aksi demonstrasi dan kerusuhan di Jakarta, Pak Harto mengatakan, bila rakyat tak lagi memberi kepercayaan dirinya sebagai Presiden, maka ia siap mundur dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. la selanjutnya akan mengundurkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan keluarga, anak-anak dan cucu-cucu. Namun, kata Pak Harto lagi, semua itu harus dilakukan secara konstitusional, sebab jika dilakuan secara inkonstitusional, berarti mengkhianati Pancasila dan UUD 1945. Pak Harto mengungkapkan keputusannya tersebut dalam bahasa jawa yang terkenal dengan istilah lengser keprabon mandeg pandito. Istilah ini bermakna, berhenti dari jabatan yang diemban dan kemudian beralih menjadi pandito. Dan ucapan Pak Harto - yang kemudian dilansir media massa sebagai rencana Pak Harto untuk mengundurkan diri - menyebabkan arah dari unjuk rasa berubah secara signifikan. Dari tuntutan reformasi total, berubah menjadi tuntutan agar Pak Harto mundur dari jabatan Presiden. Kendati hal ini dibantah oleh Menteri Penerangan Alwi Dahlan, bahwa Pak Harto tidak pernah mengatakan akan mundur. Menirukan ucapan Pak Harto di Kairo, Alwi mengatakan bahwa Pak Harto yang benar berbicara; kalau masyarakat tidak lagi memberikan keper-cayaan, sebenarnya tidak ada masalah. Kalau tidak percaya ya sudah. Saya tidak akan mempertahankan dengan kekuatan senjata. Saya barangkali tidak dipercaya oleh rakyat, saya akan menjadi pandito, akan mendekatkan diri dengan Tuhan, mem-bimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik, kepada masyarakat bisa memberikan nasihat, bagi negara tuturi handayani. Namun bantahan Alwi Dahlan diabaikan. Stigma Pak Harto mau mundur menjadikan tuntutan agar Pak Harto memang benar-benar harus mundur. Sementara Pak Harto sendiri, Sabtu, 16 Mei 1998, pukul 09.00, saat menerima delegasi Guru besar Universitas Indonesia yang dipimpin oleh
Rektor UI Asman Budisantoso di jalan Cendana Jakarta, kembali Pak Harto menegaskan, bahwa menjadi presiden bukanlah keinginannya, tetapi sebagai wujud rasa tangggung jawabnya sebagai mandataris MPR. Lalu, pada pertemuan dengan pimpinan DPR, yang terdiri atas Harmoko (Ketua), Ismail Hasan Metareum, Fatimah Ahmad, Syarwan Hamid, Abdul Gafur (Wakil) dan Sekretaris Jendral DPR RI Afif Maroef, Pak Harto juga mengawali pertemuan dengan menanggapi pemberitaan pers, yang menjelaskan, bahwa ia siap mundur dari jabatan presiden, adalah tidak benar. Apa yang telah menjadi berita utama media ternyata tidak sesuai dengan maksudnya. Telah terjadi penyimpangan fakta. Atau boleh jadi memang ada upaya untuk memanaskan situasi ? Sementara, pada awalnya pimpinan DPR sendiri bermaksud mengadakan klarifikasi atas pernyataan Pak Harto di Kairo, tentang keinginannya untuk mundur sebagai presiden. Tetapi, materi konsultasi itu kemudian berubah. Pimpinan DPR hanya menyampaikan dua hal, pertama Dewan akan menyampaikan agenda Reformasi, kedua Dewan menyampaikan aspirasi masyarakat yang datang ke DPR. Sementara di dalam pertemuan antara Pak Harto dan pimpinan DPR tersebut, yang berlangsung 1 jam 30 menit tersebut, Pak Harto selanjutnya meminta penilaan DPR. la juga bertanya, apakah DPR dengan fraksifraksinya juga menilai dirinya akan mengundurkan diri. Pak Harto sendiri mengerti adanya kegelisahan rakyat dan adanya kerusakan. Karena itu, ia menegaskan akan melindungi harta benda rakyat, aset nasional, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, Pancasila dan UUD 1945. Untuk melaksanakan janji-janjinya tersebut, Pak Harto menegaskan tiga hal. Pertama mempersilahkan kelanjutan jalannya reformasi, kedua memperbaiki kinerja peme-rintahan dengan melakukan reshuffel kabinet. Dan terkahir, Presiden akan menggunakan wewenang untuk melindungi keamanan rakyat dengan Tap MPR No.5/1998. Pernyataan Pak Harto kepada rombongan pimpinan DPR, kurang lebih sama dengan sudah disampaikan kepada delegasi pimpinan Univeristas Indonesia, di tempat yang sama. Pak Harto mengatakan, jika rakyat memang menginginkan dia diganti, ia mempersilahkan, asal dilakukan secara konstitusional, dan hal itu sepenuhnya berada di tangan DPR/MPR. Jabatan yang diembannya sekarang, tegas Pak Harto, tidak atas kemauan
sendiri, tetapi atas kehendak rakyat yang disalurkan melalui DPR/MPR, sehingga semuanya terserah kepada DPR/MPR, demikian ungkap Pak Harto. Seusai pertemuan, Harmoko mendapat berbagai pertanyaan dari pers. Namun, di depan pers, Harmoko hanya menjelaskan tanggapan Presiden bahwa reformasi akan jalan terus, akan ada reshuffle kabinet, dan akan digunakan Tap MPR No.5/1998 untuk melindungi rakyat. Adapun tentang pernyataan pengunduran diri Presiden tidak dikemukakan Harmoko, karena hal tersebut belum dibahas dengan fraksi-fraksi. Namun, media massa khususnya surat kabar yang terbit sore, justru memberitakan bahwa Pak Harto akan mengundurkan diri jika ada permintaan dari rakyat dan permintaan itu harus disalurkan melalui DPR. Lalu, ada sebuah peristiwa langka selama pemerintahan Presiden Soeharto, terjadi keesokan harinya. Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya, Abdul Latief melakukan langkah mengejutkan pada Ahad, 17 Mei 1998, ia menga-jukan surat pengunduran diri kepada Pak Harto dengan alasan masalah keluarga, terutama desakan anak-anaknya. Dan kredibilitas Pak Harto mau tak mau ikut "dijatuhkan" lantaran selama ini tak pernah terjadi peristiwa serupa ini. Sementara rapat menteri bidang Polkam juga digelar menanggapi meluasnya gejolak aksi unjuk rasa pada 17 Mei 1998. Gelombang aksi unjuk rasa tersebut menuntut penurunan harga BBM, penurunan harga kebutuhan pokok dan penurunan Presiden Soeharto. Rapat merekomendasikan penurunan harga BBM dan komiditas lainnya kepada Presiden, dan tidak menyarankan perombakan kabinet. Namun, rapat Menko akhirnya juga meminta petunjuk Presiden untuk mengatasi perkembangan yang cenderung semakin buruk. Harmoko, yang berbicara atas nama Pimpinan DPR/ MPR, menyampaikan sejumlah tuntutan reformasi yang semakin mengalir deras. Tuntutan reformasi itu pada intinya dapat disimpulkan menjadi tiga hal. Pertama, perlunya melaksanakan reformasi total, kedua menyampaikan keinginan rakyat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri, ketiga mendesak dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR. Senin, 18 Mei 1998. Sejak pagi, Gedung MPR/DPR mulai dipadati mahasiswa dari berbagai unsur. Jumlah mereka semakin banyak di siang
hari. Tuntutan reformasi total, termasuk pengunduran diri Pak Harto semakin mengeras disuarakan mahasiswa dari seluruh penjuru tanah air. Mahasiswa menjadi satu, tumplek blek di gedung DPR/ MPR, Senayan, seolah mereka semua memang sudah diarahkan untuk menjadi satu di situ. Mahasiswa berkumpul dan semakin banyak jumlahnya, tanpa satu pun upaya untuk mencegahnya. Bahkan, saat itu para mahasiswa dalam kondisi berkecukupan, baik transportasi maupun makanan dan minuman. Entah siapa pula yang berada di belakang ini semua ? Sementara itu Pimpinan DPR yang telah berkumpul di dalam gedung mengadakan rapat untuk menyampaikan sebuah keterangan pers. Keputusan ini diambil setelah mencermati keadaan semakin panas dan sangat membahaya-kan kesatuan bangsa. Maka, setelah berjam- jam merun-dingkan konsep redaksional dan mengkonsultasikannya dengan pimpinan fraksi, keterangan pers tersebut akhirnya dibacakan oleh Ketua DPR RI Harmoko didampingi Wakil Ketua Syarwan Hamid (FABRI), Abdul Gafur (FKP), Ismail Hasan Metareum (FPP) dan Fatimah Achmad (FPDI). Keterangan Pers Ketua DPR/MPR tersebut selengkapnya sebagai berikut ; Pimpinan dewan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) telah mempelajari dengan cermat dan sungguh-sungguh perkembangan dan situasi nasional yang sangat cepat yang menyangkut aspirasi masyarakat tentang reformasi, termasuk Sidang Umum MPR dan pengunduran diri Presiden. Untuk membahas masalah tersebut, direncanakan esok harinya, tanggal 19 Mei 1998, pimpinan dewan akan melaksanakan pertemuan dengan pimpinan fraksi-fraksi, dan hasilnya akan disampaikan kepada Presiden Soeharto. Mekanisme tersebut ditempuh sesuai dengan peraturan Tata Tertib DPR karena dalam mengambil keputusan pimpinan dewan harus bersama-sama pimpinan fraksi-fraksinya. Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Pimpinan dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan serta mewujudkan keamanan dan ketertiban supaya segala sesuatu dapat berjalan secara konstitusional.
Keterangan pers Pimpinan DPR/MPR disambut gemuruh oleh para hadirin yang terdiri atas wartawan dan mahasiswa. Kejadian ini ditayangkan melalui siaran di televisi dan langsung mendapatkan tanggapan dari fraksifraksi di DPR. Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) Hamzah Haz mengatakan, bahwa soal permintaan Presiden Soeharto mundur juga merupakan aspirasi FPP. Sedangkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDI) menurut Ketua Fraksi FPDI Budi Hardjono, telah menerima masukan dari berbagai pihak, dan menjelaskan sepakat meminta Presiden Soeharto mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dengan penuh hormat dan dilaksanakan secara konstitusional demi kepentingan bangsa dan negara. Namun, malam harinya Pukul 19.50, sebagai reaksi atas keterangan pers pimpinan DPR/MPR tersebut, pimpinan ABRI, melalui Menhankam/Pagab Jenderal Wiranto juga menyampaikan pernyataan pers. Hadir antara lain para Kepala Staf ABRI KSAD Jenderal TNI Subagyo, KSAL, Laksamana TNI Arief Kusharyadi, KSAU, Marsekal TNI Sutria Yubagus, Kapolri, Jendral Polisi Dibyo Widodo, Letjen TNI Prabowo Subianto, dan Danjen Kopassus, Mayjen TNI Muchdi PR. Hadir juga Sekjen Dephankam, Kapuspen, Kasidpenad, Kadispenau, Kadis-penal, dan Kandispenpolri. Inti dari pernyataan Jenderal Wiranto adalah agar semua pihak mampu menahan diri dan tidak terjurumus pada anarkhisme. Ini juga dimaksudkan guna menanggapi pernyataan pimpinan DPR/MPR yang dianggapnya sebagai pernyataan pribadi. Pernyataan pers ABRI yang dibacakan Jenderal Wiranto di jalan Merdeka Barat antara lain adalah sebagai berikut; Saudara-saudara sekalian, Masih hangat dalam ingatan kita peristiwa pem-bakaran dan penjarahan massal yang dilakukan secara kalap masyarakat yang lupa, termakan ajakan, hasutan, dan dorongan dari pihak yarvg tidak bertanggung jawab. Yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Akibat dari kejadian itu, kita saksikan sungguh sangat menyedihkan, disamping korban jiwa ditambah angka kerugian material yang sangat tinggi, kita juga masih merasakan akibat berantai dari kejadian tersebut dalam waktu yang cukup lama.
Betapa berat dan mahal resiko dari sebuah komuni-tas yang sudah kehilangan kontrol sesaat atas dirinya, mengingkari agama, mengingkari hukum dan etika. Belum dingin bara api yang melalap bangunan pemerintahan, toko-toko, dan rumah penduduk, belum selesai para keluarga meratapi para familinya yang menjadi korban kerusuhan massa. Mereka terdorong oleh arus kebebasan yang berlebihan sehingga menggangu kebebasan orang lain, bahkan mengancam keselamatan jiwa, harta masyarakat dan fasilitas umum. Oleh karena itu, ABRI sebagai Bhayangkari negara yang tetap konsisten akan peranannya sebagai stabilisator yang berarti membela dan menjaga konstitusi serta stabilitas nasional, mengharapkan kepada seluruh rambu hukum-hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan tidak terpengaruh dan terhasut untuk melakukan berbagai tindakan yang nyata - nyata hanya akan mengeruhkan suasana, bahkan tergiring untuk berhadapan dengan aparat keamanan, ABRI mengingatkan bahwa bangsa yang tidak meng-hormati dan mengingkari akan sangat mudah terjerumus kedalam lembah kehancuran. Maka bagi - pihak yang ingin menghasut, mendorong rakyat untuk bertindak anarkis, saya serukan agar memikirkan dan menghentikan kegiatannya. Lalu, pada sisi lain Wiranto juga mengemukakan; Terhadap pernyataan pimpinan DPR RI yang baru saja kita dengarkan bersama, maka ABRI ber-pendapat dan memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR RI agar Presiden Soeharto mengun-durkan diri adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif. Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota dewan melalui Sidang Paripurna DPR. ABRI masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban mendesak pemerintah yang menjadi tanggung jawab Presiden reformasi secara menyeluruh, dengan mengatasi krisis, ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari masa krisis ini. Agar reformasi yang hendak dilakukan dapat berjalan dengan baik, ABRI menyarankan agar dibentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat, terutama kampus dan tokoh-tokoh kritis.
Dewan ini akan berdampingan dengan DPR dan bekerja sama secara intensif. Sementara itu Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sendiri, pada 18 Mei 1998 telah menerima Inpres No 16 Tahun 1998 dari Pak Harto. Inpres ini diberikan Pak Harto, tak lain untuk mengambil segala tindakan pengamanan yang dianggap perlu apabila situasi berubah menjadi chaos dan tidak terkendali.10 Bahwa Pak Harto memang tak menginginkan adanya kekacauan. Dan Jenderal Wiranto sendiri mengatakan bahwa kewenangan yang besar apabila digunakan pada saat yang tidak tepat, tidak akan memberikan manfaat bahkan bisa berakibat fatal. Kemudian pada tanggal 19 Mei 1998, dari pukul 09.00 hinggal pukul 11.32, di ruang Jepara, Istana Merdeka, Pak Harto mengundang sejumlah tokoh. Pertemuan tersebut disiarkan langsung melalui jaringan televisi. Para tokoh masyarakat yang diundang hadir berasal dari kalangan cendikiawan dan ulama. Mereka adalah Ketua Umum PB Nahdatul Ulama (PB NU), K.H. Abdurrahman Wahid, Budayawan, Emha Ainun Najib, Direktur Yayasan Para-madina, Nurcholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indone-sia (MUI), K.H. Ali Yafie, H. Abdul Malik Fajar dan H. Sutrisno Muhdam (Muhammadiyah), K.H Cholil Baidlowi (DDII), K.H. Maruf Amin dan H. Ahmad Bagja (NU), serta Pembantu Asisten Khusus Mensesneg Yusril Ihza Mahendra. Pertemuan ini juga dihadiri beberapa pejabat ABRI. Dalam pertemuan tersebut, Pak Harto mengemukakan bahwa jabatan presiden bukanlah hal yang mutlak. Karena itu, menurut Pak Harto, tidak masalah jika ia harus mundur. Hanya saja, ia mengingatkan apakah dengan kemun-durannya sebagai presiden akan membuat keadaan genting akan dapat diatasi ? Presiden masih sangsi apakah pengganti - yang sesuai dengan konstitusi yaitu Wakil Presiden - dapat melanjutkan tugas-tugasnya. Bahkan, papar Pak Harto, tidak tertutup kemungkinan penggantinya kelak bakal di demo oleh para demonstran. Karena itu, ia memutuskan untuk tetap meneruskan tugasnya sampai selesai. Nurcholish Madjid mengatakan, bahwa Pak Harto sempat pula berkelakar. Katanya," saya ini kapok jadi Presiden "
Cak Nur mengatakan, Pak Harto sampai tiga kali mengungkapkannya. Pernyataan Pak Harto tersebut menurut Cak Nur, dalam bahasa orang jombang, bukannya kapok tapi tuwuk (kekenyangan). Tentu saja ini memang gurauan ala Cak Nur kepada wartawan. Lalu muncul pula sejumlah komentar dari beberapa tokoh masyarakat alim ulama dan tokoh masyarakat ù setelah mengikuti pertemuan dengan Pak Harto selama 2,5 jam itu. Sebagaimana dikemukakan KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU yang mengatakan; Dalam pertemuan tersebut, kita berbicara terus terang apa saja yang kita rasakan. Hasilnya ya pernyataan itu tadi. Bagaimana mengkomuni-kasikan dengan umat, saya pikir nanti umat akan tahu sendiri setelah melihat pernyataan Pak Harto. Umat itu kan punya kebijaksanaan sendiri. Kita memang minta agar kebinet yang ada dirom-bak. Kabinet yang dirombak itulah kabinet reformasi. Ini memang permintaan kami. Saya memandang apa yang disampaikan Presiden Soeharto menjadi langkah terbaik saat ini. Saya bisa menerima itu. Karena kalau kita setia dengan konstitusi ya nggak bisa sehari dua hari kan . Dulu saja yang tahun 1967 untuk mengganti Presiden Soekarno yang terlalu menyimpang pada konstitusi membutuhkan waktu enam tahun. Kepada masyarakat, saya minta hentikan saja itu demonstrasi, karena sudah tercapai. Bahkan tadi secara spesifik Presiden akan berunding dengan parlemen, ulama, para pakar dan ABRI. Sementara itu, budayawan Emha Ainun Najib berko-mentar dan berbicara pula mengenai hasil pertemuan dengan Pak Harto; Untuk kali ini Pak Harto betul-betul tulus, mengalah betul. Mengalah dalam arti untuk proses yang baik. Dia bersikap nothing to loose. Okelah yang mundur, tetapi tolong dipikirkan begaimana cara mundur yang tidak menimbulkan gejolak. Kalau misalnya hari ini mundur, berdasarkan konstitusi yang naik wapres. Kalau wapres naik, nanti kontroversinya tinggi, nanti ada gelombang yang macam-macam lagi. Terus bagaimana. Kalau tiba-tiba ada reformasi dari luar saja tanpa melibatkan DPR/MPR berarti inkonstitusional. Nanti semakin complicated. Jadi ini jalan yang paling persuasif, yang sebaik-baiknya. Yang penting ada jaminan dari Pak Harto untuk tidak mencalonkan lagi. Pemilu akan
diselenggarakan secepatnya. Ini bisa tiga bulan, enam bulan atau bisa saja dibatasi jangan sampai akhir tahun. Ini menjadi tantangan anggota komite untuk sesegera mungkin mengerjakan reformasi undang-undang. Kalau komite dianggap mendisfungsionalkan DPR berarti inkonstitusional. Komite hanya membantu mandataris. Kita akan mengawasi bersama dengan rakyat, termasuk pers. Ini perlu segera disahkan DPR. Anda juga harus menjaga agar DPR tidak macam-macam. Dalam pertemuan tadi semua terungkap. Apa saja. Kita ungkapkan bagaimana orang-orang memaki Pak Harto. Dengan segala kebesaran hati Pak Harto menerima semua itu dan bersedia mundur. Namun mundur secara moderat dengan cara menciptakan komite reformasi. Prof Dr A. Malik Fajar yang mewakili PP Muham-madiyah mengemukakan; Saya datang sebagai anggota Muhammadiyah. Saya terlebih dulu minta izin Pak Amien Rais dan diizinkan. Jadi saya datang kesini setelah mendapat izin dari Ketua PP Muhammadiyah. Tadi Cak Nur berangkat juga sepengetahuan Pak Amien. Perlu dicatat, kami semua yang bertemu Pak Harto hari ini tidak akan duduk dalam komite maupun dalam reshuffle kabinet. Sudah pasti itu. Kita telah minta dengan hormat kepada presiden agar tidak melibat-kan kami. Pak Harto memang berjanji akan melakukan reshuffle kabinet. Anggota kabinet yang akan diganti banyak. Ada sekitar sepertiga, bahkan beliau menyatakan bisa lebih. Lalu tak ketinggalan pula Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, mengemukakan; Presiden dan wakil presiden akan dipilih berdasar-kan UU pemilu yang baru melalui SU MPR. Untuk itu presiden dengan tegas menyatakan tak bersedia lagi dicalonkan. Jadi dengan kompromi politik yang begitu besar, kita berharap malapetaka yang kemungkinan besar akan menimpa negera ini akan bisa kita hindari. Artinya kita beri kesempatan secepat-cepatnya. Kalau selesai dalam waktu enam bulan, ya enam bulan kita adakan pemilu. Presiden kemudian mundur dengan cara damai, dengan cara baik-baik tanpa menimbulkan korban di tengah-tengah masyarakat kita. Saya berharap seluruh rakyat akan menerima kompromi politik maksimum yang telah diberikan sebagai respon atas tuntutan-tuntutan yang berkembang di masyarakat. Ini bukan berarti memberi waktu hanya enam bulan. Secepat-cepatnya, kalau akan
selesai enam bulan ya enam bulan. Kalau misalnya lebih cepat dari itu, silahkan. Jadi secepat-cepatnya. Kami telah berbicara panjang lebar dengan Presiden, dua jam lebih membicarakan masalah ini, dan dengan terbuka beliau menerima saransaran yang kami kemukakan. Dan saya memang salah seorang yang memberikart tawaran kompromi maksimal. Dan kami hadir ini diundang oleh Presiden, bukan kami menghadap. Kami menyampaikan tiga pokok pikiran kepada beliau. Pertama, beliau mundur dengan segala akibatakibatnya, kedua beliau tetap bertahan dengan segala akibat-akibatnya, ketiga beliau menggunakan hak pelimpahan tugas dan wewenang dengan segala akibat-akibatnya. Dari diskusi dan dialog yang terbuka tadi, kita mencapai kesepakatankesepakatan yang berbentuk satu kompromi politik. Bagi presiden, beliau mundur itu tidak masalah, kapan saja bisa, wakil presiden otomatis menjadi presiden. Tapi apakah itu satu bentuk penyelesaian masalah, karena kita harus menyadari juga di masyarakat ini tidak satu pendapat walaupun ini merupakan satu langkah konstitusional. Tapi tidak semua orang setuju dengan wakil presiden sekarang menjadi presiden. Kalau diturunkan lagi, akhirnya kita akan terus menerus tidak menciptakan satu stabilitas politik. Karena itu diambil langkah yang paling kom-promistis, yaitu secepatcepatnya diadakan pe-milihan umum berdasarkan UU yang baru. Dengan begitu presiden dan wapres menyerahkan jabatan, mundur bersama-sama setelah terpilih presiden dan wapres yang baru. Ini suatu kompromi politik supaya bangsa ini tak terjadi perang saudara." Memang, dari hasil pertemuan itu Pak Harto juga mengumumkan akan melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) secepat-cepatnya, berdasarkan Undang-Undang (UU) Pemilu yang baru, dan Pak Harto juga menegaskan, ia tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai presiden. Pada kesempatan itu, Pak Harto mengemukakan akan segera membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU AntiMonopoli dan UU Anti-Korupsi, sesuai dengan keinginan masyarakat. Anggota Komite terdiri atas unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan para pakar. Tentu saja Pak Harto mengambil keputusan ini setelah mendegar
saran-saran dan pendapat dari para ulama, tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai organisasi kemasyarakatan, dan ABRI. Keputusan membentuk Komite Reformasi, menurut Pak Harto, demi untuk, menyelamatkan negara dan bangsa, pembangunan nasional, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan tersebut, sesuai dengan wewenang Kebijakan yang diberikan oleh MPR. Sebagai Presiden Mandataris MPR, Pak Harto berjanji akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin. Pak Harto juga mengatakan akan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Adapun tentang Sidang Umum MPR, Pak Harto menje-laskan akan melaksanakan pada tahun 2000 dengan agenda memilih Presiden dan Wakil Presiden baru. Sesuai pertemuan dengan para tokoh masyarakat, Pak Harto membacakan pernyataan sebagai berikut; Hari ini saya mengadakan pertemuan dengan beberapa tokoh ulama dan tokoh masyarakat dan juga pimpinan ABRI. Antara lain, saya minta beberapa pandangan dan nasihat untuk menghadapi keadaan negara yang sama-sama telah kita alami dan kita telah mengetahui sekarang. Tentu semua ini adalah keprihatinan bagi kita yang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kesela-matan negara dan bangsa ini. Antara lain, ada keinginan-keinginan agar saya mundur dari kedudukan sebagai Presiden. Bagi saya, sebetulnya mundur tidaknya itu tidak akan menjadi masalah. Yang perlu kita perhatikan, apakah dengan kemun-duran saya kemudian segera keadaan ini akan bisa diatasi. Sebab, bagi saya soal kedudukan presiden adalah bukan hal yang mutlak. Saudara-saudara tentu juga ingat proses pemilihan dan pelantikan presiden pada waktu saya akan dicalonkan menjadi presiden untuk 1998-2003 oleh kekuatan sosial politik dan disampaikan kepada fraksi-fraksi dalam MPR. Sebelumnya saya sudah mengatakan apakah benar rakyat Indonesia masih percaya pada saya, karena saya sudah 77 tahun. Saya minta supaya dicek benar-benar semuanya itu. Dan ternyata semua kekuatan sosial politik, PPP, PDI, Golkar maupun ABRI mengatakan memang benar sebagian besar rakyat masih menghendaki saya sebagai Presiden untuk masa bakti 1998-2003.
Baiklah, kalau demikian, tentu saya berterima kasih dengan rasa tanggungjawab. Jadi, saya terima bukan karena kedudukan, tetapi karena tanggung jawab, lebih-lebih pada saat kita menghadapi kesulitan akibat berbagai krisis tersebut. Rasanya kalau saya meninggalkan begitu saja, lantas bisa dikatakan, tinggal gelanggang colong playu. Artinya meninggalkan keadaan yang sebenarnya saya masih harus turut bertanggung jawab. Karena itu, pada waktu itu, sekali lagi saya terima dengan rasa tanggung jawab semata-mata terhadap negara dan bangsa Indonesia. Sekarang, ternyata baru saja timbul suara yang tidak seluruhnya mendukung dan percaya. Mereka telah melakukan unjuk rasa bahwa mereka sudah tidak percaya lagi kepada saya, sehingga lantas mengajukan tuntutan supaya saya mundur. Bagi saya, mundur itu sekali lagi tidak masalah, karena saya sudah punya pendirian untuk tidak menjadi presiden dan saya bertekad ngamandito. Dalam arti, saya akan mendekatkan diri kepada Tuhan, kemudian mengasuh anak-anak dengan sebaik-baiknya supaya menjadi warga negara yang baik. Kepada masyarakat saya akan memberikan nasihat, kepada negara dengan sendirinya tut wuri handayani, menggunakan segala apa yang kita miliki untuk membantu negara. Sekarang, kalau tuntutan pengunduran diri itu saya penuhi secara konstitusional, maka harus saya serahkan kepada Wakil Presiden. Kemudian timbul apakah ini juga merupakan jalan penyelesaian masalah dan tidak akan timbul lagi masalah baru. Nanti jangan-jangan Wakil Presiden juga lantas harus mundur lagi. Kalau begitu terus-menerus dan itu menjadi presenden atau menjadi kejadian buruk dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, dengan sendirinya negara dan bangsa kita akan kacau, seolah-olah tidak mem-punyai landasan yang dalam menjamin kehidupan kita dalam berbangsa dan bermasyarakat. Sedangkan kita memiliki dasar Pancasila dan UUD 1945, berarti kita memiliki konstitusi itu oleh setiap warga negara dan kita tidak berpegang teguh, tentu negara dan bangsa akhirnya akan menjadi tidak langgeng berdirinya. Bahkan mungkin ganti-berganti yang kemungkinan juga berkibat ada yang setuju dan ada yang tidak, yang berarti pula akan mengakibatkan pertentangan yang lebih tajam, mungkin sampai pada perang saudara, dan lain sebagainya.
Kalau ini terjadi, siapa yang rugi, tentu juga bangsa kita sendiri. Sedangkan negara RI yang diprokla-masikan pada 17 Agustus 1945, kemudian dengan diiringi lahirnya Pancasila dan UUD 45 sehari sesudahnya, merupakan warisan dari pejuang-pejuang kita yang telah gugur, untuk menjadikan landasan yang baik bagi bangsa kita yang sangat bermasyarakat, sehingga negara Republik Indone-sia benar-benar akan terus menerus dapat diperta-hankan, dan kita bisa hidup sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan juga diakui oleh bangsa-bangsa yang lain. Sekali lagi bahwa soal mundur bagi saya tidak masalah. Hanya masalahnya, rasa tanggung jawab saya. Perlu dipikirkan bagaimana negara danbangsa kita. Jadi saya andai kata belum mengambil keputusan mundur, tidak, tapi bagaimana agar dengan kemunduran saya ini negara dan bangsa tetap terjaga. Konstitusi kita tetap bisa dilaksanakan dengan sebaikbaiknya, berarti bahwa Pancasila dan UUD 45 pun juga akan tetap dilaksanakan. Karena itulah, saya harus mengambil langkah yang tidak meninggalkan konstitusi, tapi yang bisa digunakan sebagai landasan untuk menyelesaikan persoalan, mengatasi berbagai krisis kepercayaan. Perusakan-perusakan yang terjadi akhir-akhir ini dengan sendirinya menambah kemampuan bangsa dan negara menjadi lebih kecil. Sehingga untuk mengadakan rehabilitas apalagi kelanjutan pem-bangunan, membutuhkan ketenangan, membu-tuhkan kesiapan untuk perencanaan maupun juga pelaksanaannya. Untuk itulah, saudara-saudara sekalian sebangsa dan setanah air, kita harus memikirkan betul-betul agar ada satu fase yang bisa menjamin kelangsungan negara dan bangsa, dimana tidak menimbulkan kerusuhan, tapi apa yang diinginkan, ialah reformasi dan sebagainya itu, bisa berjalan dengan baik. Sekali lagi saudara-saudara sebangsa dan setanah air, hendaknya kita benar-benar meresapkan, pikirlah nasib negara dan bangsa Indonesia, pikirlah keselamatan rakyat dan bangsa Indonesia. Jangan sampai karena emosi tidak terkendali, kemudian bangsa kita akan menjadi lebih miskin dan lebih menderita. Sedangkan, cita-cita perjuangan kita untuk memproklamasikan negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 adalah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Kita berjuang
untuk mengisi kemerdekaan dan membangun agar masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila itu benar-benar akan bisa terwujud. Sekali lagi, maksud saya dalam mengambil jalan yang saya kemukakan tadi, semata-mata untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Segala sesuatu harus kita laksanakan berdasarkan konstitusi kita. Saya harap, semuanya itu dapat dimengerti dan tidak perlu lagi khawatir, saya tidak akan mempertahankan untuk menjadi presiden, sama sekali tidak. Ada yang mengatakan, apabila saya tidak menjadi presiden, kembali menjadi anggota masyarakat biasa saya masih bisa berguna bagi masyarakat dan bangsa. Dan masih banyak pengabdian yang bisa saya berikan. Jadi demikianlah ada juga yang mengatakan terus terang saja dalam bahasa jawanya tidak menjadi presiden tidak akan patheken. Kembali menjadi warga negara biasa tidak kurang terhormat daripada menjadi presiden asalkan bisa memberikan pengabdian kepada negara dan bangsa. Jadi jangan dinilai saya sebagai penghalang, tidak sama sekali. Sematamata karena tanggung jawab saya untuk membuat keselamatan bangsa dan negara, kita harus mengambil langkah-langkah yang konstitusional, tetapi juga diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa, dengan menempuh jalan yang benar. Saya mengharap semua pernyataan saya bisa dimengerti oleh rakyat seluruhnya, sehingga lantas hentikanlah segala kegiatan yang akhirnya akan membawa akibat penderitaan bagi rakyat kita. Hentikanlah menghasut, dan lantas mendorong rakyat untuk berbuat salah, tapi jika sampai rakyat tidak mempunyai jiwa untuk berbuat salah, tapi jika sampai rakyat berbuat salah, karena dihasut, didorong sampai lantas lupa. Dan memang ini harus kita akhiri, karena bisa mempengaruhi nama dan martabat pada bangsa kita. Sekali lagi, terima kasih atas perhatian para wartawan dan juga saudarasaudara ulama Setelah mendengar saran-saran dan pendapat dari para ulama, tokoh-tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan pendapat dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), maka untuk menyelematkan negara dan bangsa, pembangunan nasional, Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, serta persatuan dan kesatuan bangsa, saya mengambil keputusan, sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Majelis Permu-syawaratan Rakyat MPR, sebagai Presiden Man-dataris MPR, saya akan melaksanakan dan memim-pin reformasi nasional secepat mungkin. Untuk itu, saya akan membentuk Komite Refor-masi, yang anggotaanggotanya terdiri atas tokoh masyarakat dan para pakar dari dunia perguruan tinggi. Tugas komite ini segera menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU anti-Monopoli, UU Anti-Korupsi, dan lainnya sesuai dengan keinginan masyarakat.Pemilihan umum akan dilaksanakan secepat-cepatnya berdasarkan Undang-Undang pemilu yang baru. Melaksanakan Sidang Umum MPR hasil pemilihan tersebut, antara lain untuk menetapkan GBHN, memilih presiden dan wakil presiden, dan ketetapan-ketetapan lainnya. Saya dengan ini menyatakan bahwa saya tidak akan bersedia lagi untuk dicalonkan sebagai presiden. Untuk melaksanakan tugas-tugas yang sangat berat karena berbagai krisis, di bidang ekonomi, politik dan hukum, maka saya segera melaksanakan reshuffel kabinet, sehingga Kabinet Pembangunan VII berubah menjadi Kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi. Saya minta ABRI menjaga kewaspadaan dan keselamatan nasional, menciptakan keamanan dan ketertiban, bersama-sama dan bergandengan tangan dengan seluruh rakyat. Kesempatan ini saya gunakan untuk menyampaikan duka cita yang sedalam-dalamnya kepada keluarga korban peristiwa trisakti dan keluarga korban kerusuhan yang terjadi. Semoga arwah para korban diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya. Kepada sanak keluarga korban kiranya diberikan kekuatan iman dan ketabahan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya atas dukungan masyarakat dalam melaksanakan reformasi nasional yang sedang kita laksanakan. Semoga Allah melindungi bangsa dan negara Republik Indonesia. Demikian antara lain pernyataan Pak Harto yang disiarkan melalui televisi. Jelas, bahwa Pak Harto sesung-guhnya tidak ingin
mempertahankan kekuasaannya. Pak Harto juga memenuhi segala tuntutan yang disampaikan. Sesuai dengan saran, pendapat dan pertimbangan dari para ulama, tokoh-tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan pendapat dari ABRI, maka untuk menyelamatkan negara dan bangsa, pembangunan nasional, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta persatuan dan kesatuan bangsa, sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh MPR, Pak Harto akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin. Namun Amin Rais "tokoh reformasi", dalam jumpa pers di PP Muhammadiyah, Selasa, 19 Mei 1998, mengatakan sangat kecewa dengan Pak Harto yang tetap bersikukuh tak mau lengser keprabon. Katanya; "Pak Harto gagal menangkap aspirasi rakyatnya sendiri, yang ingin ia turun dari kursi kepresidenan." Bahkan tentang Komite Reformasi yang dipimpin langsung Pak Harto, menurut Amien adalah po-liticaljoke belaka. "Keterangan Soeharto ini hanya cara untuk membeli waktu agar bisa tetap berkuasa. Oleh karena itu gerakan reformasi harus terus digulirkan sampai Soeharto turun". Pernyataan Amin Rais ini pun berpengaruh pada aksi-aksi unjuk rasa yang kian menggelembung. Bahkan, niat dan rencana Amin Rais untuk melakukan aksi peopel Power dan menggerakan sejuta massa di lapangan Monas - walau tidak jadi ù menyulut semangat yang berapi-api. Pemenuhan tuntutan melakukan reformasi, tampaknya kalah jauh dari tuntutan Pak Harto untuk mundur. Dan Pimpinan Dewan pun menyambutnya sesuai dengan kesepakatan yang dihasilkan, yakni; Mengenai Reformasi. Bahwa Aspirasi masyarakat dan tuntutan masyarakat mengenai reformasi dilakukan secara menyeluruh, sebagaimana diserap oleh dewan dilaksanakan secara berkelanjutan. Untuk itu dewan mempercepat pelaksanakan agenda reformasi itu. Kesimpulan awal menambahkan reformasi dalam bidang politik, ekonomi dan hukum yang akan diimplementasikan dalam masa sidang ini. Mengenai Pengunduran diri Presiden. Berkenaan dengan adanya aspirasi dari masyarakat yang menghendaki Presiden mengundurkan diri, sebagaimana yang telah disampaikan pimpinan dewan kepada Presiden, fraksi-fraksi sepenuhnya dapat memahami dan sepakat untuk dilaksanakan secara konstitusional.
Bulan Mei yang Kelabu ARUS kencang mewarnai awal hingga pertengahan bulan Mei 1998. Tuntutan reformasi menjadi agenda utama banyak kalangan terhadap Pak Harto. Lebih-lebih setelah terjadinya kerusuhan, reformasi menjadi tuntutan utama. Pak Harto sendiri berupaya menjawab tuntutan reformasi dari berbagai kalangan. Bahkan, Pak Harto sendiri, awalnya memang berniat untuk segera membentuk kabinet Reformasi. Namun, hinga pada detik-detik terakhir, akhirnya terjadi perubahan yang siginifikan sebagaimana dikemu-kakan Mensekneg, Saadilah Mursjid; Hari rabu 20 Mei 1998 sekitar pukul 19.30, Presiden Soeharto menerima mantan Wakil Presiden Bapak Sudharmono., SH di kediaman Jalan Cendana 8. Pada pukul 20.15 setelah selesai bertemu Presiden, saya menemui Bapak Sudharmono., SH di ruang tunggu. Bapak Sudharmono., SH menyampaikan bahwa Presiden Soeharto menyatakan tetap akan melaksanakan tugas-tugas kepresidenan dan segera akan mengumumkan pembentukan Komite Reformasi serta mengadakan perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII. Sesudah pembicaraan singkat itu Bapak Sudharmono., SH pulang. Kemudian sekitar pukul 20.30 saya diminta menemui Presiden Soeharto di ruang tamu kedia-man jalan cendana 8. Ketika saya memasuki ruangan, ternyata didalam sudah ada Wakil Presiden B.J Habibie. Di hadapan Wakil Presiden B.J Habibie, Presiden Soeharto minta agar saya, Menteri Sekretaris Negara, mempersiapkan naskah final. l.Keputusan Presiden tentang Komite Reformasi, 2.Keputusan Presiden tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Presiden Soeharto kemudian menyatakan akan mengumumkan dan melaksanakan pelantikannya pada hari berikutnya. Kamis 21 Mei 1998 untuk keperluan itu Presiden Soeharto minta agar ruangan upacara atau yang lazim disebut ruangan kredensial di Istana Merdeka dipersiapkan. Sekitar pukul 21.007 setelah Wakil Presiden B.J Habibie pulang, saya mohon untuk bisa melan-jutkan bertemu dengan Presiden. Dalam kesempatan itu saya melaporkan bahwa sejumlah orang-orang yang direncanakan untuk menjadi anggota Komite Reformasi telah menyatakan menolak. Kemudian juga ada informasi bahwa empat belas orang yang
direncanakan akan duduk dalam Kabinet Reformasi menyatakan tidak bersedia ikut serta dalam kabinet. Setelah selesai saya beristirahat, sekitar pukul 21.30, saya harus mendapatkan perawatan kesehatan. Kemudian, sesuai prosedur yang ditentukan oleh dokter, saya harus beristirahat dengan tiduran sekitar satu jam. Belum selesai saya beristirahat, Ajudan mem-beritahukan bahwa saya diminta menemui Presiden. Saya bergegas menuju ruangan ditempat biasanya Presiden menerima tamu, termasuk menerima para Menteri. Saya terkejut karena Presiden tidak ada di ruangan itu. Ketika saya tanyakan, barulah Ajudan memberitahukan bahwa Presiden Soeharto me-nunggu saya diruang kerja pada bagian kediaman pribadi beliau. Saya baru sadar, walaupun sudah menjadi Menteri selama sepuluh tahun lebih, dalam dua masa kerja Kabinet, saya tidak pernah dan bahkan tidak tahu bagian kediaman pribadi Presiden. Jam tangan saya menunjukan sekitar pukul 22.15 hari Rabu 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mempersilahkan saya duduk disebelah beliau, kursi hanya ada satu, di situ Presiden Soeharto duduk. Saya dipersilahkan beliau mengeser puff, sebuah tempat duduk empat persegi agar lebih dekat. Setelah hening sejenak, kemudian Presiden Soeharto mengatakan segala usaha untuk menye-lamatakan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara Mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu saya memutuskan untuk berhenti sebagai presiden. Menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai presiden, Pak Harto tahu persis apa yang harus dia lakukan. Tahu persis kekuasaan yang bisa ia gunakan, karena semua itu memang telah dijamin oleh UUD. Namun, sebagai manusia Pak Harto juga menyadari sepenuhriya bahwa Allah SWT memang telah berkehendak lain. Pak Harto tidak mengingin-kan adanya pertumpahan darah, tak ingin melakukan tindak kekerasan, melainkan justru mengundur-kan diri dengan sadar dan tetap berdasarkan konstitusi, yakni sesuai pasal 8 UUD 1945 Demikian pada malam itu, kepada Mensekneg Saadilah Mursid, justru Pak Harto memintanya untuk segera 1) Mempersiapkan Konsep Pernyataan Berhenti dari Jabatan Presiden RI. 2) Memberitahukan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bahwa permintaan pimpinan DPR untuk bertemu dan
melakukan konsultasi dengan Presiden akan dilaksanakan hari Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.00 di ruang Jepara Istana Merdeka 3) Memberitahukan Wakil Presiden B.J Habibie agar hadir di Istana Merdeka hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 dan agar siap untuk mengucapkan Sumpah Jabatan Presiden di hadapan Ketua Mahkamah Agung dan ke 4) Memohon kehadiran Ketua Mahkamah Agung di Istana Merdeka hari kamis 21 Mei 1998 pukul 09.0013 Entah apa yang terjadi sesungguhnya dengan Pak Harto. Yang pasti, malam itu sejak kedatangan mantan Wapres Sudharmono (jam 19.30 WIB -20.15 WIB) lalu kemudian menerima Wapres BJ Habibie (jam 20.30) di ruang kerjanya, Pak Harto kemudian berubah pikiran 180 derajat. Yang semula rencana membentuk kabinet Reformasi dan akan mengumumkannya pada tanggal 21 Mei 1998, dan melakukan pelantikan pada 22 Mei 1998, berubah menjadi pernyataan pengunduran dirinya. Dan hal itu terjadi pada malam itu juga. Ada apakah gerangan ? Hanya Pak Harto sendiri yang tahu. Sebab malam itu, dalam pertemuan dengan Mantan Wapres Sudharmono dan Wapres BJ Habibie sama sekali tak disinggung soal pengunduran diri. Selain peristiwa langka di masa kepemimpinan Pak Harto, yakni pada tanggal 17 Mei 1998, dimana seorang menteri mengundurkan diri, yakni Abdul Latif dengan alasan keluarga, juga hal yang pokok adalah adanya 14 menteri kabinet Pembangunan VII yang menolak tawaran Pak Harto untuk duduk kembali dalam kabinet Reformasi yang akan dibentuk Pak Harto, yang rencananya akan diumumkan pada 21 Mei 1998. Keempatbelas menteri yang menolak tawaran tersebut menulis surat berikut ini ;
Kepada Yth, Bapak Presiden RI Dengan hormat, Bersama ini dengan hormat kami laporkan bahwa setelah melakukan evaluasi terhadap situas akhir-akhir ini terutama di bidang ekonomi, kami berkesimpulan bahwa situasi ekonomi kita tidak akan mampu bertahan lebih dari 1 (satu) minggu apabila tidak diambil langkah-langkah politik yang cepat dan tepat sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat khususnya mengenai reformasi di segala bidang, seperti antara lain yang direkomendasikan oleh DPR-RI dengan Pimpinan Fraksi-fraksi pada hari Selasa, 19 Mei 1998. Dalam hubungan itu kami bersepakat bahwa langkah pembentukan kabinet baru sebagaimana yang Bapak rencanakan tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami secara pribadipribadi menyatakan tidak bersedia diikutsertakan dalam susunan kabinet baru tersebut. Sebagai anggota Kabinet Pembangunan VII kami akan tetap membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas yang Bapak emban dalam menyukseskan Catur Krida Kabinet Pembangunan VII.
Atas perhatiannya dan perkenan Bapak, kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami, Ir. Akbar Tandjung Ir. Drs. A.M. Hendropriyono, S.H.,S.E.,M.B.A. Prof. Dr. Ir. Ginandjarkartasasmita Ir. Giri Suseno Hadibaradjono, M.S, M.E Dr. Haryanto Dhanutirto Mangkusubroto, M.Sc
Ir. Rachmadi Bambang Sumadhijo Prof. Dr. Ir. Rahardi Ramelan, M.Sc Subiakto Tjakrawerdaya, S.E Sanyoto Sastrowardoyo, M.Sc Ir. Sumahadi, M.B.A Prof. Dr. Ir. Justika S. Bahasjah, M.Sc Dr. Ir. Kuntoro Drs. Theo L. Sambuaga Tanri Abeng, M.B.A
Seperti diketahui, semua nama-nama menteri yang menolak di atas, adalah mereka yang masih duduk dalam kabinet pembangunan VII. Namun, dengan tegas mereka menolak ajakan Pak Harto untuk duduk dalam kabinet Reformasi. Padahal pembentukan kabinet Reformasi adalah untuk menjawab tuntutan mahasiswa. Bahkan, Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita yang mewakili ke 14 tokoh tersebut di atas, malah mendatangi Wapres BJ Habibie dan melaporkan soal penolakan mereka itu. Bahkan, Ginanjar konon juga melaporkan hal ini kepada mantan Wapres Sudharmono. Pak Dhar ù demikian panggilan mantan Wapres itu ù tampaknya tidak setuju dengan langkah Ginanjar. Lalu, Pak Dhar bertanya apakah surat tersebut sudah disampaikan kepada Pak Harto ? Ginanjar menjawab; "Sudah Pak, melalui Mbak Tutut !" Mendengar itu Pak Dhar marah besar. Sangkin marahnya, Pak Dhar langsung membanting gagang telpon yang dipegangnya. Kemarahan Pak Dhar tentu saja beralasan lantaran apa yang dilakukan Ginanjar sangat keterlaluan. Di saat yang genting itu, justru Ginanjar memimpin pengunduran diri beramai-ramai sejumlah menteri di bawah kordinasinya selaku Menko Ekuin. Demikian sebuah sumber menceritakan. Akan halnya di dalam buku BJ Habibie "Detik Detik Yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi" diceritakan, sore hari jam 17.00 ADC Wapres BJ Habibie melaporkan Menko Ekuin Ginanjar
Kartasasmita ingin berbicara melalui telepon. Sebagaimana BJ Habibie kemukakan dalam bukunya; Ternyata laporan yang saya peroleh adalah per-nyataan bahwa Menko Ekuin bersama 14 menteri yang berada dalam kordinasinya, tidak bersedia lagi untuk duduk di dalam kabinet Reformasi yang anggotanya sedang disusun. Tetapi sebagai anggota kabinet Pembangunan VII, mereka akan tetap melaksanakan tugas masing-masing sampai kabinet reformasi terbentuk. Pertanyaan saya singkat; "Apakah anda sudah bicarakan dengan Presiden ?" Jawaban Ginanjar; "Belum, tetapi keputusan itu sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis kepada Presiden melalui Tutut, puteri tertua Pak Harto" Saya bertanya; "Mengapa harus begini ?" Empat belas Menteri tersebut adalah: Akbar Tanjung, AM Hendroprijono, Ginanjar Kartasasmita, Giri Suserio, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsyah, Kuntoro Mangku Subroto, Rachmadi Bam-bang Sumadhijo, Rahadi Ramelan, Subijakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L Sambuaga dan Tanri Abeng. Saya juga bertanya pada Ginanjar, siapa saja menteri yang tidak hadir ? Ginanjar kemudian menyebut satu persatu menleri tersebut. Saya katakan, supaya hasil rapat disampaikan juga kepada mereka agar pendapat mereka bisa didengar Jelas dari uraian cerita BJ Habibie di atas, sebelum bertemu dengan Pak Harto pada 20 Mei 1998 malam hari pukul 20.30 WIB, sesungguhnya BJ Habibie baik selaku Wapres dan Kordinator Harian Keluarga Besar Golkar telah mengetahui adanya 14 Menteri yang menolak duduk dalam kabinet Reformasi yang akan dibentuk Pak Harto, namun BJ Habibie tidak melaporkan hal itu sebagai suatu perkembangan yang mengejutkan. Karena tindakan pengunduran diri beramai-ramai itu sesungguhnya merupakan sebuah peristiwa langka, ekstrim, yang tak pernah terjadi dalam era kepemimpinan Pak Harto. Malam itu, BJ Habibie malah hanya bertanya kepada Pak Harto, apakah Pak Harto telah menerima surat pernyataan dari Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita dan empat belas menteri di bawah kordinasi Menko Ekuin ?
Pak Harto mengatakan bahwa ia sudah dengar dari Mbak Tutut, tapi belum sempat membacanya. Entah apa pertimbangan BJ Habibe waktu itu untuk tidak melaporkan perkembangan ekstrim yang terjadi. Sementara menurut Habibie, malam itu, malah ia dan Pak Harto malah terlibat dalam perdebatan kecil mengenai siapa saja yang akan duduk dalam Kabinet Reformasi sebagaimana hal ini dikemukakan oleh BJ Habibie Sementara itu, dalam catatan lain, masih dalam waktu yang sama, sore hari pada tanggal 20 Mei 1998, sekitar jam 18.00 sebelum BJ Habibie menuju kediaman Pak Harto di Jalan Cendana, sesungguhnya BJ Habibie juga menerima telepon dari Harmoko selaku Ketua DPR/MPR dan Ketua Umum Golkar. Harmoko menjelaskan, hasil pertemuan antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi lainnya kepada BJ Habibie. Intinya, demi persatuan dan kesatuan bangsa, secara arif dan bijaksana, Presiden Soeharto sebaiknya mengundurkan diri. Karena itulah, Harmoko mengaku perlu menelpon Wakil Presiden B.J Habibie, agar hal tersebut disam-paikan kepada Presiden Soeharto. Selain itu, melalui Wakil Presiden, Harmoko mengharapkan kesediaan Presiden meluangkan waktu untuk mendengarkan penjelasan langsung darinya.16 Dan hal ini juga tidak dibicarakan oleh BJ Habibie kepada Pak Harto pada malam harinya ketika mereka bertemu di Cendana. Mengenai pembicaraan BJ Habibie dan Pak Harto pada malam itu di Jl. Cendana, Abdul Gafur di dalam buku "Hari-hari Terakhir Seorang Presiden" (hal 141) menuliskan ; Pak Harto: "Nanti besok saya akan umumkan (kabinet). Habibie harus dampingi saya sebagai Wapres. Hari Jum'at (22 Mei) saya akan lantik, Habibie harus ikut. Hari Sabtu akan saya undang pimpinan DPR ke Istana Merdeka dan saat itu saya akan menyampaikan, saya akan mengundurkan diri." Disini Habibie berbeda dengan Pak Harto beliau menyampaikan bahwa nanti sebagai Presiden akan memiliki satu kabinet yang ia tidak ikut menyu-sunnya. "Nanti kamu bisa bentuk kabinet lagi", ujar Pak Harto menjawab Habibie. "Saya tanya Pak, kapan saya jadi Presiden?" cetus Habibie. Pak Harto menjawab, "Terserah keadaan, bisa hari ini, apa hari Senin atau satu minggu lagi, atau satu bulan lagi terserah".
Pada malam hari itu pula, sepulang dari Cendana, di rumah kediaman BJ Habibie di Kuningan, telah berkumpul sejumlah tokoh, anggota DPR/MPR, para pejabat tinggi, dan ke 14 menteri yang menandatangani penolakan masuk dalam kabinet Reformasi bentukan Pak Harto. Kepada yang hadir BJ Habibie yang baru pulang dari Cendana menceritakan pembicaraannya dengan Pak Harto, katanya ; "Pak Harto mengatakan akan mengundurkan diri hari Senin -25 Mei melalui suatu proses. Besok -21 Mei beliau akan mengumumkan kabinet reformasi dan komite reformasi, kemudian pada tanggal 22 Mei, beliau akan mengadakan pelantikan dan 23 Mei akan memanggil Ketua DPR untuk mengatakan bahwa hari Senin Pak Harto akan mundur". Setelah BJ Habibie mengatakan demikian, terjadilah sebuah diskusi yang hangat dan panjang. Tak jelas, apa yang mereka diskusikan, yang jelas pada saat diskusi berlangsung hingga larut malam, ajudan Wapres masuk dan mem-beritahukan bahwa ada telepon dari Saadillah Mursyid. BJ Habibie pun kemudian masuk untuk menerima telepon. Tak berapa lama kemudian, Habibie keluar dan mengatakan, "Sudah selesai saudarasaudara, tidak usah diperdebatkan. Besok Pak Harto akan mengundurkan diri dan saya akan dilantik sebagai Presiden." Mereka yang hadir di rumah BJ Habibie, serentak berkata "Alhamdulillah." Kemudian mereka-pun berdoa bersama. Entah, apakah maksud ucapan syukur Alhamdulillah ini, karena Pak Harto telah mengundurkan diri, ataukah karena BJ Habibie esok harinya akan dilantik sebagai Presiden RI menggantikan Pak Harto? Tak jelas memang. Hanya mereka yang berkumpul itulah yang tahu. Dan kenapa pula mereka harus berkumpul di rumah BJ Habibie pada saat-saat penting itu ? Adakah sebuah rekayasa politik di dalamnya ? Yang pasti, begitu malam itu usai mendengar kabar Pak Harto mundur, mereka mengucapkan syukur Alhamdulillah dan berdoa bersama-sama. Demikianlah, akhirnya, keesokan harinya, Kamis 21 Mei 1998 sekitar pukul 10.00 pagi diruangan upacara Istana Merdeka, yang lazim ketika itu disebut ruangan kredensial, Pak Harto menyampaikan pidato pernyataan berhentinya dari Jabatan Presiden Republik Indonesia secara konstitusional. Dalam pidatonya itu Pak Harto menyatakan;
Saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air. Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Sejak beberapa waktu terakhir saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dsan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional, demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pem-bangunan Nasional VII. Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melak-sanakan reformasi dengan cara yang sebaikbaiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan Nasional VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan diatas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Fraksi-fraksi yang ada didalamnya, saya menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari kamis, 21 Mei 1998. Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia saya sampaikan dihadapan saudara-saudara pimpinan DPR yang juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, maka wakil presiden Republik Indonesia Prof. Dr Ir BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden /Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada
kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945. Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah dihadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara Wakil Presiden sekarang juga akan melaksanakan peng-ucapan sumpah jabatan Presiden dihadapan Makamah Agung Republik Indonesia. Demikianlah, Pak Harto pun lengser. BJ Habibie tampil sebagai Presiden RI ke 3 dan Reformasi menggulirkan wujud yang sebenarnya. Euforia kebebasan terjadi dimana-mana. Dan BJ Habibie mulai menampakkan sosoknya sebagai sang pelopor "kebebasan" dan "demokrasi baru" di negeri ini. Maka, dalam tempo sekejap, perubahan besar benar-benar terjadi di negeri ini. Persoalannya, apakah perubahan ini menuju arah perbaikan atau sebaliknya bagi bangsa ini ? Hakekat Reformasi, tentulah sesungguhnya memperbaiki. Bukan merombak total atau menghancurkan tatanan yang sudah ada, utamanya yang sudah baik dan benar. Sebagaimana Orde Baru memperbaiki Orde Lama, tentulah "Orde Reformasi" pun sudah seharusnya demikian. Setelah lengser dari kursi kepresidenan, hari-hari panjang memang dilalui Pak Harto dengan sepi. Kediaman di Jalan Cendana no 8 Jakarta Pusat, yang dulu ramai, kini bagai sebuah rumah tua nan sepi. Hanya beberapa kawan dekat dan sanak keluarganya yang mondar-mandir ke rumah itu. Kemanakah orang-orang yang dulu memuja-muja Pak Harto? Kemanakah orang-orang yang pernah dibesarkan oleh Pak Harto ? Akan halnya Saadilah Mursid, salah seorang yang dekat dengan Pak Harto, pada saat-saat Pak Harto lengser mengemukakan; Ketika Pak Harto sudah terbilang tahun tidak memegang jabatan Presiden, hati nurani saya merasakan sentuhan yang dalam, ada doa harapan muncul dalam lubuk hati saya, kiranya dengan memelihara silaturrahmi dan persahabatan dengan Pak Harto, Allah S.W.T akan menerima sebagai wujud melaksanakan perintah-Nya untuk memelihara hubungan silaturrahmi dan persahabatan (Al quran, Surah Ar Rad ayat 20-21).
Mudah-mudahan saya terhindar dari orang-orang yang semasa Pak Harto memegang jabatan Presiden, selalu mendekat-dekat, menjilat dan mencari muka. Pada waktu Pak Harto tidak lagi menjadi Presiden orang-orang itu pula yang bersuara lantang menghujat, mencaci, melempar segala kesalahan kepada Pak Harto. Kelompok orang-orang seperti itu memperoleh kutukan Allah dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk, jahanam (Al Quran Surah Ar Rad ayat 2). Saadilah Mursyid tentulah salah seorang saksi kunci, yang tahu lebih banyak, melihat dari dekat apa, bagaimana peristiwa sesungguhnya di sekitar "misteri" peristiwa mundurnya Pak Harto sebagai Presiden RI. Ia sendiri berniat, suatu saat akan memaparkan fakta sejarah menurut apa adanya, apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi. Pemaparan fakta tanpa terkontaminasi bumbu-bumbu khayalan. Namun, hasratnya untuk memaparkan fakta-fakta sejarah yang objektif tersebut akhirnya memang tak kesampaian karena Saadilah Mursyid dipanggil keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa pada tahun 2005 lalu. Namun, siapa pun tahu memang ada banyak fakta mengenai sosok-sosok di sekitar Pak Harto, yang dulu memuja muja, kini langsung "berbalik badan" menjauhkan diri, bahkan ada pula yang ikut mendorong menjatuhkan Pak Harto. Dan manakala Pak Harto lengser, dihujat, dan dicerca habis-habisan, tak satu pun tampil sebagai pembela. Bahkan sebelas nama dari empatbelas menteri yang menolak masuk dalam kabinet Reformasi yang akan dibentuk Pak Harto, malah muncul dalam kabinet Reformasi bentukan Presiden BJ Habibie, dan dilantik secara resmi pada 23 Mei 1998 di Istana Merdeka. Ini artinya saat itu, apakah mereka memang tidak lagi mempercayai Pak Harto, ataukah memang telah melakukan tindakan penyelamatan sendiri-sendiri ? Tak jelas memang. Adapun sebelas nama-nama itu adalah Ir. Akbar Tandjung (Mensekneg), Ir. Drs. A.M. Hendropriyono, S.H.,SE.,MBA (Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan); Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin); Ir. Giri Suseno Hadibaradjono (Menteri Perhubungan), M.S, M.E; Ir. Rachmadi Bambang Sumadhijo (Menteri Pekerjaan Umum); Prof. Dr. Ir. Rahardi Ramelan (Menteri Perindustrian dan Perdagangan), Prof. Dr. Ir. Justika S. Bahasjah, M.Sc (Menteri Sosial); Dr. Ir.
Kuntoro (Menteri Pertambangan dan Enerji); Drs. Theo L. Sambuaga (Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Pemu-kirnan) dan Tanri Abeng, M.B.A (Menteri Negara Pandaya-gunaan BUMN) dan Haryanto Dhanutirto. Sementara ketiga nama lainnya seperti Subiakto Tjakrawerdaya, Sumahadi, dan Sanyoto Sastrowardoyo tidak tercantum namanya dalam susunan Kabinet Reformasi bentukan Presiden BJ Habibie. Namun hal menarik dan patut dicatat dari peristiwa ini adalah fakta adanya sejumlah menteri di dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah yang beramai-ramai melakukan penolakan masuk dalam kabinet Reformasi bentukan Pak Harto, namun kemudian ramai-ramai pula masuk ke dalam kabinet Reformasi bentukan BJ Habibie. Sebuah hal yang unik, tentu saja. Jika secara etis, ada sesuatu yang dirasakan tidak etis, namun secara politis menjadi sesuatu yang sah-sah saja. Persoalannya, apakah politik memang benar tidak mengenal etika ? Sebab, seandainya saja tak ada penolakan, tentulah kabinet Reformasi Pak Harto akan tetap terbentuk, dan Pak Harto sendiri akan tetap mundur sebagai Presiden sesuai dengan rencana dan keinginannya. Tidak mendadak seperti itu. Lantas, kenapa Pak Harto mendadak mempercepat mundur, hingga kini memang masih mengundang pertanyaan, apakah karena 14 menteri yang menolak masuk dalam kabinetnya ? Apakah karena sejumlah tokoh yang ditawari masuk kabinet sebagian besar juga menolak ? Ataukah, karena adanya pertemuan dan diskusi hangat di rumah kediaman BJ Habibie malam itu ? Tak jelas, memang. Yang pasti, malam itu seusai menerima mantan Wapres Sudharmono dan BJ Habibie, Pak Harto tetap sesuai rencana: Kamis, 21 Mei 1998, mengumumkan kabinet Reformasi; Jumat, 22 Mei 1998 melantik; Sabtu, 23 Mei 1998 mengundang dan menerima pimpinan DPR/MPR, dan Senin, 25 Mei 1998, Pak Harto akan menyatakan mundur sebagai Presiden. Namun, malam itu juga dalam tempo singkat, Pak Harto berubah pikiran. Pak Harto dan BJ Habibie Pada akhirnya. Hal yang menarik, hingga saat ini Pak Harto tak pernah bersedia ditemui oleh BJ Habibie. Ada apakah gerangan ? Kenapa pula Pak Harto yang
notabene begitu sangat dekat dengan BJ Habibie, tak pernah mau menerima BJ Habibie ? Hal ini juga menjadi tandatanya bagi BJ Habibie, sebagai-mana yang dikemukakannya ; Pada hari Selasa tanggal 9 Juni, sehari setelah HUT ke-77 Pak Harto, saya dapat berbicara melalui telepon dengan Pak Harto sebagai berikut : "Pak Harto saya mohon bapak berkenan menerima saya. Saya mohon penjelasan dan saran bapak mengenai semua yang telah terjadi", demikian ucapan saya. "Tidak menguntungkan bagi keadaan sekarang, jikalau saya bertemu dengan Habibie. Laksanakan tugasmu dengan baik, saya hanya dapat melak-sanakan tugas sampai disini saja". "Saya sudah tua", demikian jawab Pak Harto. "Pak Harto, untuk dapat melanjutkan tugas dengan baik dan untuk menjawab beberapa pertanyaan, penting sekali pertemuan dengan Bapak", demikian ucapan saya. "Laksanakan saja tugasmu dengan baik, saya doakan agar Habibie selalu dilindungi Allah SWT dalam melaksanakan tugas. Kita nanti bertemu secara bathin saja", lanjut Pak Harto. Padahal menurut BJ Habibie, ribuan jam telah ia lewati berdiskusi bersama Pak Harto secara terbuka tanpa ada kendala. Dalam pembicaraan dan diskusi tersebut, BJ Habibie sendiri banyak belajar dari Pak Harto. Juga, ù menurut BJ Habibie - Pak Harto banyak belajar kepadanya. Banyak hal yang diterima oleh BJ Habibie dari sang guru bernama Pak Harto ini. Bahkan menurut BJ Habibie, berdasarkan akumulasi pengalaman, beberapa saran masukan yang berkali-kali ia terima dari Pak Harto dalam pertemuan selama seperempat abad adalah bahwa, Kepentingan rakyat harus diutamakan di atas kepentingan golongan, partai, kawan, keluarga dan kepentingan sendiri. Tidak boleh terjadi suatu revolusi lagi di bumi Indonesia karena rakyat tidak dapat mengatasinya. Yang dikehendaki rakyat adalah ketentraman, masa depan dan hari depan yang cerah bagi anak cucunya. Dan memang bukan rahasia lagi Pak Harto - juga keluarga Cendana enggan menerima BJ Habibie. Kendati dalam keadaan sakit sekali pun. Hal ini terjadi pada bulan September 1999, ketika Pak Harto dirawat di RS Pertamina karena mengalami stroke, ketika BJ Habibie akan keluar Istana
guna mengunjungi Pak Harto ke RS Pertamina, tim dokter Pak Harto menyampaikan pesannya agar BJ Habibie membatalkan niatnya mengunjungi Pak Harto. Sebagai-mana dikemukakan BJ Habibie ; Namun sewaktu saya mau keluar Istana Merdeka, tim dokter kepresidenan menyampaikan agar saya membatalkan niat tersebut, karena keadaan kesehatan Pak Harto tidak mengizinkan. Pendarahan di otak Pak Harto dapat bertambah. Menurut mereka ada dua kemungkinan jikalau saya berkunjuhg untuk menjenguknya, yaitu : Pak Harto senang atau marah, dan keduanya akan mengakibatkan gejolak emosi yang dapat meningkatkan pendarahan otak yang berakibat fatal. Oleh karena itu, mereka sarankan agar saya tidak berkunjung ke Pak Harto, cukup memanjatkan doa untuk Pak Harto saja. Pak Harto enggan menerima BJ Habibie. Apa sebabnya, tak pernah diketahui Habibie dengan pasti. Seperti kata BJ Habibie lagi; saya perlu mengungkapkan sekali lagi bahwa sampai saat berakhirnya tugas saya sebagai Presiden, walaupun saya selalu berusaha lewat berbagai "jalur", saya tetap tidak pernah berhasil bersila-turahim dengan Pak Harto, baik lewat telepon, apalagi bertemu langsung. Pertemuan secara fisik terakir saya dengan Pak Harto adalah pada tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka, pada saat Pak Harto menyatakan pengunduran diri sebagai presiden ke-2 dan saya mengangkat sumpah sebagai Presiden ke 3. Kemudian hubungan berikutnya adalah lewat telepon pada saat saya menyampaikan selamat Ulang Tahun pada bulan Juni 1998, sebagaimana saya telah ceritakan di depan. Kedua pertemuan terakhir secara fisik dan telepon-tersebut juga tidak mengungkap jawaban sejumlah pertanyaan dan harapan yang berada di benak saya, antara lain tentang apa sesungguhnya alasan Pak Harto mengundurkan diri dari kepresidenan, mengapa Pak Harto tidak memberikan informasi dan masukan sedikit pun tentang berbagai hal yang terjadi menjelang keputusan pengunduran diri tersebut, sehingga seolaholah saya harus memulai semuanya dari "nol". Kemudian, pertanyaan yang tetap tak terjawabkan sampai saat ini adalah, "Mengapa Pak Harto tidak bersedia bertemu atau berkomunikasi dengan saya sampai saat ini ?" "Misterius" tersebut, saya yakin bahwa Pak Harto mempunyai alasan tersendiri, dan mungkin beranggapan bahwa sebaiknya biarlah saya tidak mengetahuinya. Dan saya ikhlas kalau memang begitu
kehendak Pak Harto. Karena saya percaya sepenuhnya bahwa Allah SWT jualah dzat yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu tentang hambaNya. Dan sejarah jualah nanti yang akan mengungkap "teka-teki" kemisteriusan ini. Apa alasan Pak Harto tak mau menerima BJ Habibie, hingga kini memang tidak pernah jelas. Namun, bolehjadi sebagaimana manusia pada umumnya, siapa pun orangnya, tentu akan memendam kekecewaan yang luar biasa kepada orang yang pernah dibantu, pernah dibesarkan, yang ternyata kemudian justru mengkhianatinya. Agaknya, demikian pula dengan Pak Harto terhadap BJ Habibie. Sebab, siapa pun tahu hubungan Pak Harto dengan keluarga Habibie - juga BJ Habibie - begitu dekat. Pak Hartolah yang membesarkan BJ Habibie. Bahkan, Pak Harto sendiri mengenal akrab seluruh keluarga Habibie sejak tahun 1950, ketika Pak Harto masih berpangkat Letkol dan memimpin pasukan Brigade Mataram dalam rangka operasi penumpasan pemberontakan Andi Aziz di Makasar. Saat itu, kebetulan markas Brigade Mataram berada di jalan Klapertaan, dan bertetanggaan dengan rumah kediaman keluarga Habibie. Seperti juga dengan warga sekitarnya, hubungan Letkol Soeharto dengan keluarga Habibie berlangsung sangat akrab. Atau sebagaimana dikemukakan Pak Harto dalam rangka memperingati setengah abad Habibie; Dalam operasi teritorial menggalang persatuan dengan rakyat, segenap anggota brigade selalu berhubungan dengan rakyat, selalu mengadakan anjangsana pada rakyat, lebih-lebih pada hari libur. Anggota staf brigade juga sangat erat hubungannya dengan penduduk di sekitar markas brigade Mataram di jalan Klapertaan itu adalah keluarga Habibie. Lebih lanjut berkisah, suatu hari ketika tengah malam. Pada saat seluruh anggota staf brigade Mataram tertidur nyenyak, anak-anak Habibie datang ke asrama sambil menangis. Mereka memberitahukan bahwa ayah mereka sakit keras. Letkol Soeharto segera berangkat kerumah mereka bersama dokter Irsan. Namun, ternyata pak Habibie terkena serangan jantung dan tidak tertolong lagi. Atau, dikisahkan Pak Harto lagi; Pak Habibie menghembuskan nafas terakhir di depan saya, dokter Irsan dan keluarganya. Dan saya berkesempatan menutup matanya sambil memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tahun 1950an itu, seluruh keluarga Habibie memang dekat dengan Letkol Soeharto. Malah, sepeninggal Pak Habibie, sang komandan Brigade Mataram itu sering menengok keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, hubungan kian terwujud dan akrab ketika salah seorang kakak Habibie disunting oleh anggota Brigade Mataram pimpinan Pak Harto, Pak Subono. Dan ketika perkawinan dilangsungkan, Letkol Soeharto sebagai Komandan Brigade pun tampil berbesanan dengan ibu Habibie. Kedekatan keluarga Habibie memang terus berlanjut. Usai kuliah di ITB Bandung, BJ Habibie meneruskan sekolahnya ke Jerman. Pada tahun 1966, pada saat awal Orde Baru, dari Jerman BJ Habibie pernah menulis surat kepada Pak Harto, bahwa ia siap kembali ke tanah air untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Namun Pak Harto membalas menyurati Habibie lewat kakak iparnya, Kolonel Subono. Pak Harto memberi petunjuk agar Habibie tetap melanjutkan studinya dulu. Nanti pada waktunya, tentu ia akan dipanggil. Pada tahun 1969, Pak Harto bertemu lagi dengan Habibie di Jerman. Waktu itu, Habibie telah bekerja di MBB, sebuah perusahaan pesawat terbang terbesar di Jerman. Pak Harto kemudian memberi petunjuk agar Habibie bersiap-siap untuk kembali pulang ke tanah air. Kata Pak Harto, negara kita sekarang ini sedang sibuk-sibuknya membangun. Karena itu, Habibie harus segera mempersiapkan diri. Pada tahun 1974, sesuai janjinya, Pak Harto pun memanggil pulang BJ Habibie. Padahal saat itu, Habibie telah duduk sebagai wakil presiden dan Direktur Teknologi di MBB. Tapi, karena merupakan panggilan tugas negara dan bangsa - lebihlebih atas panggilan Pak Harto - Habibie pun kembali ke tanah air dan segera mempersiapkan dirinya dengan sejumlah tugas yang akan diberikan Pak Harto. Pada tahun 1978, BJ Habibie pun diangkat sebagai Menristek pada Kabinet Pembangunan III. Memang tak tanggung-tanggung kepercayaan yang diberikan Pak Harto. Selain Habibie dipercaya menjadi ketua BPPT dan Puspitek, juga menjadi Ketua Otorita Pengembangan Pulau Batam, Dirut PT PAL, Direktur PT PINDAD, Ketua Dewan Pembina dan Pengelolaan Industri Strategi dan Industri Hankam, dan juga Ketua Dewan Riset Nasional.
Sementara itu, sebelumnya sejak 1989, BJ Habibie sendiri telah diserahi jabatan sebagai Ketua Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang membawahi sejumlah BUMN besar seperti PT Krakatau Steel, PT Boma Bisma Indra, PT Brata Indonesia, dan PT IPTN. Kemudian, tak ketinggalan pula Pak Harto pun mempercayakan Habibie untuk memimpin proyek pengembangan Natuna dengan nilai Rp 170 trilyun lebih. Pak Harto tampaknya memang percaya penuh pada BJ Habibie. Mengenai jabatan rangkap di pelbagai bidang itu, malah Pak Harto membelanya dengan mengatakan, bahwa rangkap jabatan itu satu sama lain saling berhubungan, kesemuanya masih disektor yang sama, yakni bidang teknologi dan industri. Jadi seorang Habibie dapat menguasainya, sesuai dengan bidang keahliannya. Kepercayaan kepada Habibie, ternyata tak sampai di situ saja. Selain tetap duduk sebagai Menteri dalam Kabinet Pembangunan IV, Habibie juga direstui Pak Harto untuk duduk sebagai Ketua umum ICMI pada 1990, dan menjelang Sidang Umum MPR dan Munas Golkar, Habibie pun diangkat pula menjadi Koordinator Harian Ketua Dewan Pembina Golkar pada tahun 1993. Sebuah jabatan dan kedudukan yang sangat strategis. Ini artinya, Pak Harto memang sangat percaya pada Habibie hingga mencapai puncaknya, nama BJ Habibie tampil sebagai calon tunggal Wakil Presiden RI pada Sidang Umum MPR 1997. Menengok dari gaya Pak Harto, tampaknya persiapan sebagai Wakil Presiden itu memang sudah terencana dengan matang. Termasuk juga menjadikan Habibie sebagai orang nomor satu di Republik ini. Tak heran, pada saat Habibie menaiki tangga ke puncak lembaga kepresidenan, banyak orang yang menduga : Habibie adalah seorang putera mahkota. Pengganti Pak Harto. Tapi apakah iya Habibie memiliki kemampuan seperti Pak Harto? Atau, dengan kata lain, apakah BJ Habibie berkemampuan menjadi Pak Harto kedua ? Sampai tahun 1997, hubungan Pak Harto dan BJ Habibie tampaknya makin tak tergoyahkan. Selain hubungan struktural dan fungsional, hubungan pribadi dan historis pun tampaknya sangat mempengaruhi keduanya. Dan itu telah terbina sejak tahun 1950, sejak Habibie muda, Habibie mahasiswa, dan Habibie menjadi 'orang jerman' cukup lama di Jerman - malah pernah timbul isu Habibie adalah seorang (pernah menjadi) warganegara Jerman.
Pak Harto sendiri telah menganggap Habibie sebagai orang kepercayaannya. Setiap saat, pintu rumahnya selalu terbuka buat Habibie. Bahkan, bila keduanya bertemu, bisa ngobrol berjam-jam lamanya tentang pelbagai masalah apa saja. Mulai dari A sampai Z, termasuk soal-soal yang sangat pribadi. Tak heran, Habibie pernah mengemukakan di sebuah majalah ibukota, katanya; "saya disiapkan Pak Harto sejak 1985" Ungkapan ini dilontarkan pada saat Habibie mulai diributkan oleh banyak orang ketika perannya sangat dominan dalam Munas Golkar 1993. Bahkan, dalam pelbagai kesempatan, Habibie sendiri mengakui Pak Harto sebagai gurunya. Habibie banyak belajar dari Pak Harto. Dan memang Habibie berulangkali berujar; Dalam tempo 19 tahun lebih saya mendapatkan pelajaran intensif dari Profesor Soeharto. Kalau itu saya gunakan untuk kuliah di universitas, itu berarti saya sudah tiga kali mendapat title doktor. Tapi apa yang terjadi kemudian? Ibarat layang-layang putus, sejak Reformasi bergulir dan Pak Harto meng-undurkan diri digantikan oleh BJ Habibie, hubungan ini sampai pada klimaknya. Manakala Habibie tampil pada puncak kekuasaan, manakala Pak Harto dicerca dan dihujat habishabisan, manakala Habibie yang mengaku murid dari Pak Harto justru berbalik arah. Apa yang telah dibuat Pak Harto, justru dirombak habishabisan. Malah pada era Presiden BJ Habibie inilah justru Pak Harto digempur habis-habisan tanpa perlindungan sama sekali. Dan di era BJ Habibie inilah justru keluar TAP MPR No. 11/1998, Inpres No.30/1998 tentang pengusutan kekayaan Pak Harto, serta pembentukan tim khusus kejaksaan untuk menyelidiki kekayaan Pak Harto di luar negeri. Disamping mengorek-korek kembali soal tuduhan korupsi terhadap Pak Harto dan membiarkan Pak Harto dihujat, dicerca dan dihina. BJ Habibie bukan saja tidak meneruskan apa-apa yang telah dibangun Pak Harto, justru atas nama reformasi dan demokrasi, semua tatanan kebijakan Pak Harto berubah 180 derajat. Malah dengan lantang pada pasca lengsernya Pak Harto, Habibie pernah mengatakan; "Saya bukan Soeharto. Saya bukan presiden lemah." Apakah ini bentuk air susu dibalas dengan air tuba ? Entahlah. Yang pasti jika sampai sekarang Pak Harto memang enggan menerima BJ Habibie, tentulah ada alasan alasan yang sangat prinsip dan mendasar. Apakah Pak
Harto merasa sakit hati ? Apakah Pak Harto merasa dikhianati ? Entahlah. Hanya Pak Harto sendiri yang tahu. Kita hanya bisa menduga, siapa pun orangnya bila kita sebagai manusia - tentu akan merasa perih, pedih - jika ternyata apa yang telah kita bangun dirombak oleh tangan dari orang yang pernah kita besarkan, dan pernah kita percayai dengan sepenuh hati. Dan fakta memang menunjukkan, terlepas dari baik dan buruknya, BJ Habibie memang telah merubah segalanya. Ikhtisar dan Kesimpulan 1. Terjadinya krisis ekonomi yang kita kenal dengan istilah Krisis Moneter (baca: Krismon) di Asia, sejak 1997, lalu merembet ke Indonesia, hingga menjadi penyebab terjadinya unjuk rasa di berbagai tempat. Krisis ekonomi ini tidak terkendali dan Pemerintah di bawah kepe-mimpinan Pak Harto kehilangan kredibilitas, utamanya karena adanya pelbagai aksi unjuk rasa, kekerasan, kerusuhan, dan pembakaran. Pak Harto yang ingin lengser keprabon mandeg pandhito, terus didorong dengan penuh puja-puji dan kebulatan tekad untuk terus menjadi Presiden RI untuk ke 7 kalinya, masa bakti periode 1998-2003, meski Pak Harto telah berusia tua, 77 tahun. Peristiwa Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 dan aksi kerusuhan, penjarahan, pembakaran pada 13-14 Mei 1998 terjadi, Pak Harto sedang berada di luar negeri, di Kairo, guna menghadiri acara Konperensi Tingkat Tinggi G-15. Pak Harto berangkat pada tanggal 9 Mei 1998 dan kembali pada 16 Mei 1998 dini hari karena situasi di dalam negeri tak terkendali. Guna memenuhi tuntutan Reformasi, Pak Harto berusaha menyelamatkan bangsa dengan rencana mempercepat Pemilu, membentuk Kabinet Reformasi, yang kemudian gagal karena orang-orang yang ditunjuk dan sejumlah 14 Menteri di bawah Menko Perekonomian Ginanjar Kartasasmita menolak masuk dalam cabinet Reformasi bentukan Pak Harto. Adanya opini publik (pemutar balikan fakta) dimana pada saat Pak Harto berada di Kairo, media massa menuliskan Pak Harto bersedia mundur, akhirnya tuntutan reformasi berubah menjadi tuntutan agar Pak Harto harus mundur dari jabatan Presiden. Krisis ekonomi berubah menjadi
krisis politik. Isu ekonomi berubah menjadi isu politik. Ada Politisisasi yang kental. Hubungan akrab Pak Harto dan BJ Habibie berubah. Tatanan yang telah dibangun Pak Harto, secara drastis dirubah oleh Presiden BJ Habibie atas nama reformasi, demokrasi dan kebebasan. Catatan Kaki 1 Wawancara dengan Probosutedjo, Bandung, Nopember 2006 2 Buku Kesaksian Probosutedjo, 2003 3.Lihat Ulasan buku "Manajemen Presiden Soeharto. Penuturan 17 Menteri", Tanri Abeng, (1996) 4 Buku Soeharto 1998, Adian Husaini, Gema Insani Press 1996, hal 108 5 Lihat prolog buku "Detik detik Yang menentukan" BJ Habibie, 2006 6 Lihat Buku "Politik Huru hara Mei 1998" Fadli Zon, Institut For Policy Studies, 2004, hal 105 7 Lihat Buku "Politik Huru hara Mei 1998" Fadli Zon, Insritur For Policy Studies, 2004, hal 103 8 Buku Konflik dan Integrasi TNI AD, hal 85 10 Kivlan Zein, Konflik dan Integrasi TNI AD, 2004, hal 88 11 Harian Republika, 20 Mei 1998 12 Lihat hasil rapat konsultasi pimpinan Dewan dan pimpinan Fraksi, 19 Mei 1998 13. " Sambutan Saadilah Mursyid di dalam Buku "Proses Preadilan Soeharto, Presiden RI ke 2", Ismail Saleh, SH, Penerbit Yayasan Dharmais, Juni 2001 14 Buku Detik-detik yang Menentukan, hal 33-34, THC Mandiri, September 2006 " 15. Ibid hal 35 16 Ibid hal 28 Prolog Buku Detik-detik Yang Menenrukan, prolog hal 28 17 Harian Media Indonesia, 22 Mei 1998 18 Buku "Detik Detik Yang Menentukan", BJ Habibie, September 2006, hal 294 19 ibid 20 ibid, hal 300 21 Sambutan Pak Harto dalam memperingati 50 tahun BJ Habibie 22 Lihar Catatan kronologis "Hari-hari Panjang yang Melelahkan"