http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
ADA APA DENGAN DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA Muhammad Kadafi
(Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian teoritis terhadap implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia. Dengan mengkomparasikan desentralisasi fiskal pada konsep teori dan praktik di Indonesia penulis menyimpulkan bahwa Desentralisasi di Indonesia cenderung kepada desentralisasi pengeluaran dimana pemerintah daerah diberi tanggung jawab berlebih pada pengeluaran (Brodjonegoro, 2002; Fane, 2003; Lewis, 2003). Desentralisasi fiskal di Indonesia tidak pada desentralisasi pada sisi pendapatan, kewenangan pajak pemerintah pusat masih sangat sentralistik. Ini disebabkan pemerintah pusat masih menguasai pajak dengan basis yang besar. Pemerintah Propinsi yang merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah (dekonsentrasi) menguasai basis pajak yang besar pula.Pajak yang dikelola pemerintah daerah kabupaten dan kota saat in adalah pajak yang relatif kecil dan belum memberikan kontibusi berarti pada Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Menurut Bird dan Vaillancourt (1998) dalam Brodjonegoro (2000), resiko dari jenis desentralisasi tipe ini adalah berdampak pada ketidak mampuan pemerintah daerah kabupaten dan kota untuk memberian pelayanan dengan kualitas yang seharusnya dikarenakan kurangnya pendanaan pemerintah daerah. Konsep desentralisasi fiskal harus dikembalikan pada sandaran filosofinya dengan tetap mengaspirasi keutuhan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata Kunci: Desentralisasi Fiskal, Pajak.
PENDAHULUAN Negara memainkan peranan penting dalam perekonomian. Peranan tersebut antara lain mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan standar kehidupan masyarakat pada tingkat yang layak. Depkeu RI (2004) menegaskan bahwa dengan melihat berbagai kelemahan mekanisme pasar, fungsi negara dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Fungsi Alokasi, yaitu fungsi penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan bagaimana komposisi barang publik ditetapkan. 2. Fungsi Distribusi, yaitu penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin pemerataan dan keadilan.
Riset / 1965
3. Fungsi Stabilisasi, yaitu penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja, stabilisasi ekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi dengan memperhitungkan akibat kebijakan pada perdagangan dan neraca pembayaran. Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan dan kepala yang dipilih oleh rakyat, serta adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (Sidik, 2002).
JURNAL EKSIS
Vol.7 No.2, Agustus 2011: 1267 – 2000
Faktor-faktor yang menjadi pendorong desentralisasi di berbagai negara berkembang disebabkan oleh: pertama, tanda-tanda adanya disintegrasi bangsa, sehingga dengan desentralisasi sebagai jalan untuk mempersatukan negara (Lewis, 2005). Kedua, latar belakang pengalaman negara dan peranannya dalam globalisasi dunia. Ketiga, kemunduran dalam pembangunan ekonomi. Keempat, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan sebagai respon terhadap banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif. Tadjoedin dkk. (2001) menegaskan bahwa dengan desentralisasi diharapkan akan meningkatkan kemampuan daerah untuk mencapai suatu standar nasional minimum (A Minimum National Standard) dalam bidang kesejahteraan masyarakat yang merupakan suatu komitmen nasional yang ditetapkan dan disepakati bersama. Desentralisasi mempunyai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi, dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial ekonomi. Sidik (2002) menyatakan secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political Decentralization), Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization), Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization), dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization). Sidik (2003) mengemukakan bahwa desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu : 1. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan Pemerintah Pusat di Daerah. 2. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yangtidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, PemerintahDaerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarkiorganisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.
JURNAL EKSIS Vol.7 No.2, Agustus 2011: 1816 – 2000
3.
Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu : pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luarstruktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung olehPemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur denganketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihakpemberi wewenang (sovereign-authority).
Di Indonesia, dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat dan daerah. Perubahan tersebut terutama dalam bidang administrasi pemerintah dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah, yang dalam banyak literatur keuangan publik disebut intergovernmental fiscal relation. Sedangkan konteks Indonesia dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 disebut dengan perimbangan keuangan. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah atau secara spesifik dikenal dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan efisien dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Sedangkan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Bagaimanakah format hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (intergovernmental fiscal relation) sejak otonomi 1 Januari 2001 ? Apakah selama berjalannya desentralisasi fiskal selama kurang lebih 10 tahun telah berhasil membawa masyarakat pada cita-cita desentralisasi ? penulis mencoba untuk mendeskripsikan dengan mengkomparasikan desentralisasi fiskal pada konsep teori dan desentralisasi fiskal pada praktiknya. Teori Desentralisasi Desentralisasi fiskal sebagai perwujudan peralihan kewenangan memungut pajak dan
Riset / 1966
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id belanja serta pemberian grants kepada level pemerintah yang lebih rendah telah menjadi tema penting di banyak negara saat ini (Fjeldstad, 2001). Beberapa pendapat mengenai desentralisasi dikemukakanoleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast(1995), dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena : a. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya; b. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; c. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkaninovasinya. Sidik (2003) mengemukakan pendapat Tiebot (1956) yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" dengan ungkapannya "Love it or leave it". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemdanya. Masyarakat akan memilih untuk tinggaldi lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari Pemdanya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah local dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal,maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya (Hyman, 1993).Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untukmencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal. Sejalan dengan Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast(1995) Enemuo (2000) dalam Fjeldstad (2001) menyatakan bahwa desentralisasi dalam negara demokratis akan menghasilkan kesesuaian yang lebih baik terhadap permintaan dan penawaran barang publik. Menjadi semakin dekat kepada masyarakat, otoritas lokal dapat lebih mudah mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan menyuplai bentuk dan tingkatan pelayanan publik Desentralisasi akan memberikan dampak positif terhadap penyediaan barang-barang publik yang efisien. Pemerintah daerah mengerti kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya, ini
Riset / 1967
dikarenakan kedekatan pemerintah daerah dengan masyarakatnya. Desentralisasi akan mendorong pemerintah daerah berkompetisi memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada masyarakatnya. Pada sisi yang lain, masyarakat dengan senang hati membayar pajak kepada pemerintah daerah. Terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara masyarakat dengan pemerintahnya. Praktik Desentralisasi Otonomi daerah haruslah disadari sebagai instrumen untuk berbagi beban nasional yang cukup berat dengan luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari banyak pulau.Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik. Yani (2002) menjelaskan bahwa prinsip dasar yang diatur dalam perimbangan keuangan yaitu pembangunan daerah, ini merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dan menjadi bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pemberian otonomi kepada daerah bertujuan agar daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Terwujudnya otonomi daerah secara efektif dan efisien sangat tergantung pada tersedianya sumber-sumber pendukungnya. Sumber daya ini merupakan faktor yang sangat dominan dalam mempengaruhi otonomi daerah. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Terkait dengan kewenangan dan tanggung jawab daerah ini, maka kesiapan daerah yang didukung oleh kesiapan sumber daya manusia dan perangkat kelembagaan yang berkualitas dan representatif menjadi suatu keharusan. Sidik (2003) menjelaskan bahwa keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk
JURNAL EKSIS
Vol.7 No.2, Agustus 2011: 1267 – 2000
meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilakubirokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. Menurut Kaho (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah adalah sebagai berikut: pertama, aparatur pelaksana haruslah baik. Kedua, sumber dana keuangan yang baik. Ketiga, peralatan, organisasi dan manajemen yang baik. Sejalan dengan hal tersebut Mawhood (1983) mengemukakan bahwa desentralisasi hanya dapat terselenggara dengan baik apabila daerah mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Momentum disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah serta UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah adalah langkah besar yang diambil oleh pemerintah pusat dan sudah lama ditunggu-tunggu oleh pemerintah daerah menjadi suatu kenyataan. Peristiwa ini adalah langkah pemerintah pusat yang dijiwai dengan semangat reformasi. Peran pemerintah pusat yang sangat sentralistik, baik dari segi kekuasaan maupun keuangan dianggap kurang memberi kemandirian kepada daerah dalam mengatur rumah tangganya. Lahirnya undangundang ini dapat diharapkan menjadi landasan percepatan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang selama ini dirasakan adanya ketimpangan-ketimpangan dalam pembangunan antara pusat dan daerah.
pemerintah daerah antara lain Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21. Besarnya bagian penerimaan antara satu pajak dengan pajak lainnya berbeda. Setelah berlangsungnya desentralisasi fiskal kurang lebih 10 tahun sejak tahun 2001, atas dasar desakan pemerintah daerah kabupaten dan kota maka pada tahun 2011 pemerintah pusat menyerahkan pengelolaan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi Bangunan (PBB) kepada pemerintah daerah. Hal ini atas dasar kemampuan pajak daerah (Local Taxing Power) yang belum memberikan kontribusi yang berarti pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam membiayai pembangunan di daerah. Pemerintah pusat masih menguasai pajakpajak yang gemuk sedangkan pemerintah daerah menguasai pajak-pajak yang relatif kecil. Kondisi ini tentu saja sangat jauh dari cita-cita desentralisasi de = mengurangi, sentralisasi = terpusat, (mengurangi kekuasaan pemerintah pusat). Pada sisi pendapatan, terutama berkaitan dengan pengelolaan pajak, pemerintah pusat masih sangat sentralistik. Sentralistiknya penguasaan pajak oleh pemerintah pusat dapat di lihat pada tabel di bawah ini. TABEL 1 WEWENANG PERPAJAKAN DI INDONESIA
Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut, mengakibatkan pemerintah pusat harus melimpahkan sebagian besar kewenangan yang dimilikinya kepada daerah dalam bentuk desentralisasi di bidang pemerintahan dan pengelolaan keuangan, yang selama ini di tangan pusat. Secara teoritis, desentralisasi akan banyak memberi manfaat bagi kemajuan daerah, karena daerah yang lebih mengetahui dan mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk memajukan daerahnya. Desentralisasi akan melahirkan otonomi daerah di mana daerah diberi kebebasan untuk mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri. Mendukung pelaksanaan otonomi daerah dalam bidang perpajakan, pemerintah pusat telah memberikan bagian penerimaan yang berasal dari pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat untuk kegiatan pembiayaan dan pembangunan bagi pemerintah daerah. Saat ini, pajak pusat yang sebagian penerimaannya telah diberikan kepada
JURNAL EKSIS Vol.7 No.2, Agustus 2011: 1816 – 2000
Sumber : Rangkuman Berbagai sumber
Riset / 1968
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Catatan : P= Pemerintah Pusat, S= Pemerintah Propinsi, K= Pemerintah Kab/Kota * Selain ketiga PPh di atas, alokasi penerimaan 100% masih di tangan pemerintah pusat
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa wewenang atau tanggung jawab pajak sangat sentralistis. Dasar pengenaan pajak dan penentuan tarif masih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal yang relevan demi keberlanjutan perkembangan otonomi di Indonesia adalah dengan memberikan basis pajak yang substansi kepada pemerintah daerah. Basis pajak yang dikuasai oleh pemerintah pusat idealnya dialihkan ke pemerintah daerah. Tanpa hal tersebut, pemerintah daerah tidak akan sukses dalam meningkatkan sumber keuangan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah. Pemerintah pusat haruslah memberikan akses untuk hal tersebut. Lewis (2003) mengungkapkan bahwa salah satu solusi atas permasalahan desentralisasi di Indonesia adalah dengan memberikan wewenang atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Penghasilan Perorangan kepada pemerintah daerah. Menurut Susanto dkk. (2005) usulan beberapa alternatif (yang satu sama lain bisa saling melengkapi) untuk memperbaiki PAD pada khususnya dan kewenangan pajak daerah pada umumnya dengan kriteria: pertama, menyerahkan PBB dan BPHTB kepada daerah menjadi pajak daerah. Kedua, sumber-sumber lain yang bisa memperkuat PAD Kabupaten/Kota sebagai tumpuan otonomi daerah ini adalah misalnya: retribusi (khususnya telepon), pajak dunia usaha (business license taxes). Ketiga, yang bisa dipertimbangkan sebagai pajak kabupaten/kota dalam rangka otonomi juga Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Bastian (2006) menerjemahkan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab sebagai berikut: luas, kewenangan residu berada di pemerintah pusat (seperti negara federal). Nyata, kewenangan yang diselenggarakan menyangkut kebutuhan untuk bertahan dan berkembang di suatu daerah. Bertanggung jawab, kewenangan yang diserahkan harus diselenggarakan dalam konteks tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antara daerah. Di samping itu, otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi, harus
Riset / 1969
pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Implementasi desentralisasi di Indonesia belum memberikan kewenangan pengalihan pendapatan pada pemerintah daerah. Fenomena ini nampak pada penguasaan basis pajak yang besar oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi. Pemerintah kabupaten dan kota hanya menguasai pajak-pajak yang relatif kecil dan belum memberikan kontribusi yang berarti dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sejalan dengan hal tersebut Aswarodi dalam Halim (2001) menyatakan bahwa pemberlakuan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 menyebabkan pengalokasian sebagian jenis-jenis pajak yang gemuk kepada pemerintah pusat. Hal ini menurut Aswarodi dalam Halim (2001), merupakan salah satu faktor penyebab keterbatasan kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaannya. Kondisi semacam ini, jelas tidak akan mampu mendukung pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana yang diharapkan. Penyelenggaraan otonomi perlu diimbangi dengan kemampuan untuk menggali dan kebebasan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan prioritas dan preferensi daerah. Menurut Panjaitan (2002) hal tersebut akan berdampak pada berkurangnya welfare loss, ketika sumber-sumber pembiayaan tersebut tidak sentralistik. Dengan mendekatkan pihak produsen (dalam hal ini pemerintah), dengan pihak konsumen (masyarakat), maka diharapkan akan ada suatu alokasi yang lebih efisien dan turut menggambarkan preferensi dari masyarakat daerah tersebut. Sentralistiknya kewenangan pajak pemerintah pusat juga terlihat dalam bagi hasil pajak PPh WPODN Pasal 25 dan 29 serta PPh Pasal 21 . Pemerintah pusat memperoleh porsi bagi hasil sebesar 80%, sedangkan pemerintah daerah memperoleh porsi bagi hasil sebesar 20%, dengan rincian 8% untuk propinsi yang bersangkutan dan 12% untuk kabupaten dan kota dalam propinsi yang bersangkutan. Pemerintah pusat memperoleh bagi hasil yang jauh sangat besar dari pemerintah daerah, apalagi pajak PPh WPODN Pasal 25 dan 29 serta PPh Pasal 21 adalah basis pajak yang besar. Penguasaan pajak-pajak utama oleh pemerintah pusat tentunya di dasari oleh beberapa pertimbangan. Sidik (2002) menyatakan bahwa pertimbangan pusat berangkat pada pemikiran perspektif makro, antara lain untuk stabilisasi dan distribusi pajak, perlunya power yang besar dalam pemungutan pajak, mobilitas objek pajak. Hal inilah yang menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah pusat untuk memiliki basis pajak yang besar.
JURNAL EKSIS
Vol.7 No.2, Agustus 2011: 1267 – 2000
Pertimbangan-pertimbangan tersebut sebagian menunjukkan realitas sebenarnya, namun dari perspektif pemerintah daerah mempunyai pandangan yang lain mengenai hal tersebut. Efisiensi dan efektivitas justru terwujud apabila pengelolaan pajak-pajak yang memang milik daerah diserahkan kepada daerah. Desentralisasi di Indonesia cenderung kepada desentralisasi pengeluaran dimana pemerintah daerah diberi tanggung jawab berlebih pada pengeluaran (Brodjonegoro, 2002; Fane, 2003; Lewis, 2003). Desentralisasi di Indonesia tidak pada desentralisasi pada sisi pendapatan tetapi lebih kepada desentralisasi pada sisi pengeluaran. Kewenangan pajak pemerintah pusat masih sangat sentralistik. Ini disebabkan pemerintah pusat masih menguasai pajak dengan basis yang besar. Menurut Bird dan Vaillancourt (1998) dalam Brodjonegoro (2000), resiko dari jenis desentralisasi tipe ini adalah berdampak pada ketidakmampuan pemerintah daerah untuk melanjutkan pemberian pelayanan dengan kualitas yang seharusnya dikarenakan kurangnya pendanaan pemerintah daerah. Sentralistiknya kewenangan pajak pemerintah pusat menyebabkan pemerintah daerah mempunyai ketergantungan yang sangat besar pada transfer (grants) dari pemerintah pusat. Belanja pemerintah daerah akan lebih dominan dibiayai oleh grants dibandingkan dengan pendapatan yang bersumber dari keuangan sendiri (PAD). Desentralisasi dan otonomi daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu dengan lainnya. Lebih spesifik, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan ada atau tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh seberapa jauh wewenang telah didesentralisasikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Susanto dkk., 2005). Penyerahan kewenangan akan mengarahkan struktur keuangan daerah lebih mencerminkan kemampuan fiskal daerah sebagai sumber pendapatan utama dalam pelaksanaan otonomi daerah (Basri dalam Halim, 2002). Pelimpahan ini juga akan membantu daerah untuk meningkatkan kemandiriannya dalam hal keuangan sehingga tidak tergantung grants dari pemerintah pusat. Kaho (1997) mengemukakan bahwa salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Idealnya transfer atau grants, yang salah satunya bersumber dari bagi hasil SDA, hanyalah bersifat pendamping keuangan pemerintah daerah dan bukan merupakan sumber utama keuangan.Sejalan
JURNAL EKSIS Vol.7 No.2, Agustus 2011: 1816 – 2000
dengan hal tersebut Susanto dkk. (2005) menjelaskan Dana Bagi Hasil (DBH) minyak dan gas bumi (dan sumber daya alam lainnya) haruslah direvisi, mengingat ini sebenarnya bukan merupakan sumber-sumber penerimaan yang cocok untuk dibagi-hasilkan atas dasar beberapa alasan: pertama, tidak terdistribusi secara merata. Kedua, penerimaannya sangat fluktuatif. Ketiga, bukan merupakan sumber penerimaan jangka panjang yang buoyant, karena sifat non renewable dari SDA. Kemandirian daerah harus berangkat pada orientasi pemikiran untuk pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan masa depan, berbasis pada ketersediaan sumber daya yang dimiliki dan dikelola atas dasar partisipasi masyarakat. KESIMPULAN Desentralisasi fiskal haruslah diupayakan untuk memandirikan daerah, meningkatkan rasa tanggung jawab daerah dan meningkatkan daya saing antar daerah. Desentralisasi fiskal bukanlah momen untuk berbagi lahan. Implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia belum memberikan kewenangan pengalihan pendapatan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota. Fenomena ini nampak pada penguasaan basis pajak yang besar oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi. Pemerinah daerah kabupaten dan kota hanya menguasai basis pajak yang keciL. Dampaknya pajak daerah belum memberikan kontribusi yang berarti dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam membiayai pembangunan atau dalam literatur keuangan publik Local Taxing Power pemerintah kabupaten dan kota belum berperan dalam perekonomian daerah. Penyerahan kewenangan basis pajak yang besar kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota harus di pertimbangkan oleh pemerintah pusat. Penyerahan ini akan mengarahkan struktur keuangan daerah lebih mencerminkan kemampuan fiskal daerah sebagai sumber pendapatan utama dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pelimpahan ini juga akan membantu daerah untuk meningkatkan kemandiriannya dalam hal keuangan sehingga tidak tergantung grants(Dana Perimbangan yaitu DAU, DAK dan DBH Pajak dan SDA) dari pemerintah pusat. Grants yang bersumber dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam haruslah direvisi, mengingat ini sebenarnya bukan merupakan sumber-sumber penerimaan yang cocok untuk dibagi-hasilkan atas dasar beberapa alasan: pertama, tidak terdistribusi secara merata. Kedua, penerimaannya sangat fluktuatif. Ketiga, bukan merupakan sumber penerimaan jangka panjang yang buoyant, karena sifat non renewable dari SDA.
Riset / 1970
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Desentralisasi fiskal bukanlah momen untuk berbagi lahan, tetapi berbagi beban untuk memberikan pelayanan publik yang efektif dan efisien kepada masyarakat. Konsep desentralisasi fiskal harus dikembalikan pada sandaran filosofinya dengan tetap mengaspirasi keutuhan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik Suatu Pengantar. Erlangga. Yogyakarta. Brodjonegoro, B. 2002. Indonesian Intergovernmental Transfer in Decentralization Era: The Case of General Allocation Fund, Mini Economica, (32): 4-31. Departemen Keuangan RI. 2004. Dasar-Dasar Keuangan Publik, LPKPAP-BPK, Jakarta. Fane,
G. 2003. Change and Continuity in Indonesia’s New Fiscal Decentralisation Arragements, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39 (1): 159-176.
Fjeldstad, O.H. 2001. Intergovernmental Fiscal Realtion in Developing Countries, Working Paper No. 11. Halim, A. 2001. Anggaran Daerah dan Fiscal Stress (Sebuah Studi Kasus Pada Anggaran Daerah Propinsi di Indonesia), Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 16 (4): 346357. ------------ 2002. SeriBunga rampai Manajemen Keuangan Daerah, Akuntansi dan Pengendalian Keuangan Daerah. Edisi 2. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pusat. --------------------------. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. --------------------------. 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pusat. --------------------------. 2009. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sidik, M., 2002. Kebijakan, Implementasi dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Makalah Seminar Nasional Menciptakan Good Governance Demi Mendukung Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, Yogyakarta 20 April 2002. Susanto, H., Ahmad H., Zarmawis, I., Syarif, H., Toerdin, S. U., Jiwa, S., Agus, S.H, Purwanto. 2005. Otonomi Daerah: Teori Dan Kenyataan Empiris. Abstrak P2E-LIPI. (online), (http://www.ekonomi. lipi..go.id/informasi/penelitian/Dpenelitian_det il.asp), diakses tanggal 6 juni 2006. Tadjoedin, M.H., Suharyo, W.I, Mishra, S. 2001. Aspirasi terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia, Working Paper No. 1. Yani,
A. 2002. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kaho, R.J. 1995. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lewis, B.D. 2005. Indonesian Local Goverment Spending, Taxing and Saving: An Explanation of Pre-and Post-decentralization Fiscal Outcome, Asian Economics Jurnal, 19 (3): 291-317. Mawwood, P. 1983. Local Government in Third World, The Experience of Trofical of Africa. John Weley and Sons. New York. Prud’homme, R. 1995. The Dangers of Fiscal Decentralization, The World Bank Research Observer,10 (2): 201-220. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. --------------------------. 1999. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Riset / 1971
JURNAL EKSIS
Vol.7 No.2, Agustus 2011: 1267 – 2000